IMPLIKASI MAKROEKONOMI DARI INOVASI DIGITAL ......diambil alih oleh otomatisasi. Sektor tenaga kerja...

52
OP/1/2018 OCCASIONAL PAPER IMPLIKASI MAKROEKONOMI DARI INOVASI DIGITAL: STUDI LITERATUR Berry A. Harahap, Angsoka Y. Paundralingga, Anggita Cinditya M. Kusuma 2018 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Transcript of IMPLIKASI MAKROEKONOMI DARI INOVASI DIGITAL ......diambil alih oleh otomatisasi. Sektor tenaga kerja...

  • 1

    OP/1/2018 OCCASIONAL PAPER

    IMPLIKASI MAKROEKONOMI DARI INOVASI

    DIGITAL: STUDI LITERATUR

    Berry A. Harahap, Angsoka Y. Paundralingga,

    Anggita Cinditya M. Kusuma

    2018

    Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan

    kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

  • 0

    Implikasi Makroekonomi Dari Inovasi Digital: Studi Literatur

    Berry A. Harahap , Angsoka Y. Paundralingga,

    Anggita Cinditya M. Kusuma1

    Abstrak

    Penelitian ini menganalisis implikasi makroekonomi dari inovasi digital, khususnya terkait ekonomi digital, melalui pendekatan studi

    literatur. Ruang lingkup makroekonomi yang dibahas dalam penelitian ini adalah ketenagakerjaan, produktivitas, pertumbuhan ekonomi, perilaku penetapan harga dan inflasi, kesenjangan pendapatan dan kekayaan, kinerja

    fiskal, serta keseimbangan eksternal yang meliputi cross-border trade dan investasi.

    Sejumlah studi literatur menunjukkan bahwa ekonomi digital berpotensi menambah jumlah lapangan kerja, meningkatkan produktivitas melalui berbagai efisiensi yang tercipta, memberikan dampak secara

    langsung ataupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, membawa efek disinflasi, mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan, mendorong kebutuhan terhadap model perpajakan baru, serta

    meningkatkan perdagangan dan investasi cross border. Meskipun demikian, dampak inovasi digital dan ekonomi digital terhadap makroekonomi belum

    dapat secara mudah diukur melalui pendekatan empiris karena keterbatasan data dan metodologi yang tersedia.

    Keywords: digital innovation, digital economy, labor, productivity, economic growth, inflation, income inequality, fiscal, external balance

    JEL classification: O33, J24

    1 Peneliti Ekonomi Senior dan Peneliti Ekonomi di Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak

    merefleksikan pandangan DKEM atau Bank Indonesia. E-mail: [email protected], [email protected] dan [email protected]

    mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]

  • 1

    1. Pendahuluan

    1.1. Latar Belakang

    Inovasi digital terutama di bidang ekonomi, atau sering kali disebut sebagai

    ekonomi digital, semakin berkembang dan merambah ke berbagai aspek kehidupan

    masyarakat. Sebagaimana disampaikan OECD (2015), perekonomian digital telah

    mempengaruhi beragam sektor seperti perbankan, ritel, energi, transportasi,

    pendidikan, penerbitan, dan sektor kesehatan. Teknologi informasi dan komunikasi

    juga mengubah jalannya interaksi sosial melalui jaringan fixed, mobile, dan

    broadcast yang terkoneksi dengan berbagai perangkat dan membentuk internet of

    things (IoT).

    Inovasi digital secara umum dan ekonomi digital secara khusus tentu

    memiliki dampak terhadap aktivitas perekonomian. Implikasi makroekonomi dari

    inovasi digital tersebut meliputi banyak aspek. Sebagai langkah awal dalam

    melakukan analisis terhadap perkembangan inovasi digital dan ekonomi digital,

    penelitian ini mencoba menggunakan pendekatan studi literatur untuk mengetahui

    implikasi makroekonomi dari inovasi digital, khususnya terkait aspek

    ketenagakerjaan, produktivitas, pertumbuhan ekonomi, perilaku penetapan harga

    dan inflasi, kesenjangan pendapatan dan kekayaan, kinerja fiskal, serta

    keseimbangan eksternal meliputi cross-border trade dan investasi

    1.2. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah menganalisis implikasi makroekonomi dari

    inovasi digital, terutama pada aspek ketenagakerjaan, produktivitas, pertumbuhan

    ekonomi, perilaku penetapan harga dan inflasi, kesenjangan pendapatan dan

    kekayaan, kinerja fiskal serta keseimbangan eksternal yaitu cross-border trade dan

    investasi melalui pendekatan studi literatur.

    1.3. Sistematika Pembahasan

    Penelitian ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama merupakan

    pendahuluan penelitian yang berisi latar belakang serta tujuan penelitian. Bagian

    kedua merupakan kumpulan studi literatur dan penelitian terdahulu, kemudian

    bagian ketiga berisi simpulan yang diperoleh dari studi literatur tersebut.

  • 2

    2. Studi Literatur

    Inovasi digital, terutama di bidang ekonomi, dimulai dengan pertumbuhan

    cepat internet pada pertengahan tahun 1990-an. Menurut Barefoot et al. (2018),

    lanskap digital meningkatkan dan mengubah cara bisnis beroperasi dan bagaimana

    konsumen terlibat dalam transaksi bisnis antara yang satu dan yang lain..

    Komputer tersedia di mana-mana dan ekonomi sangat tergantung pada teknologi

    digital dan internet yang tidak pernah diantisipasi pada beberapa tahun

    sebelumnya. Teknologi terus mengubah cara orang bekerja, berkomunikasi,

    membeli barang dan jasa, serta menjalankan tugas sehari-hari. Dengan melihat

    besarnya perkembangan inovasi digital dan ekonomi digital dalam mempengaruhi

    aktivitas perekonomian, analisis terhadap implikasi makroekonomi dari inovasi

    digital tersebut menjadi penting untuk dilakukan. Penelitian ini akan membahas

    implikasi makroekonomi dari inovasi digital, terutama pada aspek ketenagakerjaan,

    produktivitas, pertumbuhan ekonomi, inflasi, income inequality, fiskal, dan

    keseimbangan eksternal melalui pendekatan studi literatur.

    2.1. Inovasi Digital dan Ketenagakerjaan

    Pemanfaatan ekonomi digital telah membuka ruang usaha baru di dunia

    digital. Maraknya perkembangan e-commerce di Indonesia telah mengubah cara

    hidup masyarakat dalam melakukan konsumsi, bahkan mulai mengancam retailer

    besar. Di sektor jasa terdapat beberapa penyedia aplikasi jasa transportasi yang

    berkembang dengan pesat. Peluang itu perlu ditangkap oleh pelaku usaha, mikro,

    kecil, dan menengah (UMKM) seiring dengan jumlah pengguna internet di Indonesia

    yang semakin bertambah. Hal itu tentu akan mempengaruhi kesempatan kerja dan

    perubahan hubungan kerja seperti yang telah disampaikan oleh ILO (2016) bahwa

    56% tenaga kerja di ASEAN-5 berada dalam risiko akibat teknologi dalam dua

    dekade ke depan. Sejumlah 1,7 juta pekerja di Indonesia memiliki potensi risiko

    yang besar. Meskipun terdapat sejumlah pekerjaan yang berpotensi menghilang,

    ekonomi digital juga berpotensi untuk menambah jumlah lapangan kerja. Nomura

    (2015) menyampaikan dalam presentasinya pada tahun 2015 mengenai Go-Jek

    Indonesia yang mampu membuka lapangan kerjabaru—menjadi pengemudi—bagi

    lebih dari 300,000 individu. Penelitian McKinsey pada digitalisasi di Cina juga

    menunjukkan bahwa dampak adanya penggunaan internet pada 4800 UMKM

    (small-medium enterprises) menciptakan 2,6 pekerjaan untuk setiap pekerjaan yang

    hilang. Selain itu, potensi adanya kehilangan pekerjaan tersebut diprediksi akan

  • 3

    menyebabkan adanya labor shifting yang berasal dari formal sektor menjadi informal

    sektor.

    Dalam hal labor shifting terkait dengan ekonomi digital di Indonesia, banyak

    pengamat memprediksi bahwa akan terjadi labor shifting dengan cara yang berbeda

    dengan pada tahun 1998. Permata, Yanfitri, dan Prasmuko (2010) melaporkan

    bahwa pada tahun 1998, shifting terjadi untuk menghindari unemployment dan

    beralih kepada sektor dengan produktivitas yang rendah. Sebaliknya, Frey &

    Osborne (2013) berpendapat bahwa revolusi digital menghilangkan pekerjaan-

    pekerjaan rutin dan pekerjaan yang dilakukan pekerja berpendidikan rendah.

    Hilangnya pekerjaan tersebut akan mendorong labor shifting menuju pekerjaan yang

    membutuhkan kreativitas dan intelegensi sosial yang tinggi sehingga sangat sulit

    diambil alih oleh otomatisasi. Sektor tenaga kerja Indonesia akan dipengaruhi

    digitalisasi dalam hal komposisi tenaga kerja di sektor formal dan sektor informal.

    Beberapa masalah yang perlu diperhatikan adalah kecenderungan turunnya tenaga

    kerja di sektor formal yang diikuti dengan kenaikan upah. Sementara itu, di tengah

    kecenderungan kenaikan upah tersebut produktivitas tidak naik, bahkan turun.

    Gambar 2.1. Pekerjaan yang Terdampak oleh Perkembangan Teknologi

    Sumber: ILO (2016). ASEAN in Transformation – The Future Jobs

    Di Indonesia penelitian pertama mengenai dampak teknologi digital,

    khususnya jasa transportasi daring melalui aplikasi Go-Jek dilakukan oleh Wisana

    et al. (2017) merupakan penelitian resmi antara Go-Jek dan Lembaga Demografi UI.

    Penelitian tersebut bertujuan untuk mengukur dampak Go-Jek terhadap

    perekonomian Indonesia dan bersifat survei yang melibatkan lebih dari 7.500

    responden dengan komposisi 3.315 pengemudi roda dua, 3.465 konsumen, dan 806

    mitra UMKM. Pertanyaan survei ditujukan untuk menjawab kualitas pelayanan,

    peningkatan pendapatan sebelum dan sesudah bergabung dengan Go-Jek, dan

    berbagai variabel lain. Penelitian itu menghasilkan simpulan bahwa Go-Jek motor

    mengurangi tekanan pengangguran dengan memperluas kesempatan kerja. Namun,

  • 4

    studi tersebut hanya bersifat survei sehingga terbatas pada pendapat responden

    terhadap dampak layanan Go-Jek terhadap beberapa variabel ekonomi. Dengan

    demikian, belum diketahui apakah dampak Go-Jek itu berlaku secara menyeluruh

    terhadap variabel-variabel makro terkait tenaga kerja.

    Studi mengenai ekonomi digital merupakan bagian besar dari studi

    perubahan struktur ekonomi. Dalam penelitiannya, Swiecki (2017) berusaha

    mencari faktor terpenting dalam perubahan struktural secara kuantitatif dengan

    menggunakan empat framework, yaitu (1) perkembangan teknologi sektoral (sector-

    biased technological progress), (2) perubahan selera konsumen, (3) perdagangan

    internasional, dan (4) perubahan upah dan biaya faktor produksi di antara sektor

    industri. Dengan menggunakan indeks realokasi tenaga kerja, penelitian tersebut

    menemukan bahwa perubahan teknologi merupakan faktor pendorong utama dalam

    perubahan struktural. Selain itu, perubahan preferensi juga menjadi komponen

    yang vital untuk menghitung realokasi tenaga kerja dari manufaktur ke jasa pada

    tahap selanjutnya.

    Studi McKinsey Global Institute (2014) menunjukkan bahwa karakteristik

    Cina berubah dari consumer menjadi enterprises-driven. Perkembangan internet

    memberikan dampak yang relatif positif walaupun terjadi beberapa disrupsi, yaitu

    sejumlah jenis pekerjaan menghilang. Namun, Cina juga memanfaatkan internet

    untuk ekspansi pasar serta melakukan digitalisasi sejumlah jenis aktivitas. Survei

    menunjukkan bahwa 2,6 pekerjaan tercipta untuk setiap pekerjaan yang hilang.

    Studi ILO (2016) di ASEAN 5 melaporkan beberapa jenis pekerjaan yang

    berisiko hilang karena terdampak otomasi adalah hotel dan restoran, perdagangan

    eceran, serta konstruksi dan manufaktur. Sementara itu, industri yang memiliki

    risiko rendah adalah pendidikan, kesehatan, dan aktivitas sosial. Secara khusus

    studi tersebut memprediksi bahwa lebih kurang 1,7 juta pekerja kantor rendahan

    (office clerk) di Indonesia sangat rentan diberhentikan.

    Packard dan Montenegro (2017) menggunakan analisis multivariate

    correlation untuk meneliti hubungan antara penggunaan teknologi digital pada

    bisnis dan kebijakan pasar tenaga kerja. Variabel yang digunakan antara lain adalah

    variabel upah minimum, aspek pelindungan tenaga kerja, dan besarnya asuransi

    tenaga kerja pada negara OECD dan negara berpenghasilan tinggi lainnya. Mereka

    mendapati bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara tingginya upah

    minimum dan penggunaan teknologi digital. Tingginya upah minimum akan

    mendorong penggunaan teknologi digital dengan korelasi 0.35%.

  • 5

    Frey dan Osborne (2013) melakukan penelitian mengenai pekerjaan yang

    akan hilang dan terbentuk akibat adanya teknologi, dalam hal ini karena

    komputerisasi. Penelitian ini menggunakan 702 data jenis pekerjaan di Amerika

    yang kemudian 70 di antaranya ditentukan secara manual probabilitas

    terkomputerisasi secara subjektif. Metode yang digunakan menggunakan regresi

    logit model kuadratik eksponensial, yaitu algoritma komputerisasi 1 dan tidak

    terkomputerisasi 0. Hasil menunjukkan bahwa 47% pekerja di Amerika berada

    dalam kategori berisiko. Mereka juga mengemukakan bahwa upah dan pendidikan

    memiliki hubungan negatif yang kuat dengan probabilitas komputerisasi.

    Perubahan struktural juga terkait dengan pertumbuhan produktivitas tenaga

    kerja. McMillan & Rodrik (2014), dengan menggunakan data sektoral dan agregat

    produktivitas tenaga kerja, pendapatan, dan share tenaga kerja di Afrika, meneliti

    hubungan antar-labor gaps pada produktivitas tenaga kerja. Negara-negara di Afrika

    dipilih sebagai sampel dengan harapan bisa membandingkan dampaknya terhadap

    ekonomi tradisional dan modern. Mereka mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi

    ekspor bahan mentah suatu negara akan semakin sedikit perubahan struktural

    yang terjadi. Demikian juga negara yang menjadikan mata uangnya undervalued

    akan mengalami perubahan struktural lebih cepat daripada negara yang memilih

    untuk menganut rezim mata uang fixed. Dalam hal pasar tenaga kerja, negara yang

    memiliki pasar yang fleksibel memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami

    perubahan struktural.

    Beberapa peneliti seperti Morin (2015) menggunakan kerangka teoretis untuk

    meneliti perubahan struktur tenaga kerja seiring dengan perubahan teknologi.

    Penelitian tersebut berusaha melihat hubungan teknologi, dalam hal ini komputer,

    dengan perilaku pasar tenaga kerja dalam jangka menengah dan pendek. Model

    teoretis tersebut memprediksikan bahwa perubahan pasar tenaga kerja akan terjadi

    jauh lebih cepat seiring dengan menurunnya harga teknologi sekaligus semakin

    memudahkan pekerjaan terhubung dengan teknologi.

    Tidak hanya ke pasar tenaga kerja, penggunaan teknologi digital juga

    membawa perubahan ke hampir seluruh aspek ekonomi dan membuat satu

    klasifikasi usaha baru yang dikenal dengan ekonomi berbagi (sharing economy). Ada

    banyak alasan untuk mengelompokkan bisnis tersebut ke dalam kelompok ekonomi

    yang baru, salah satunya adalah karena penggunaan teknologi untuk memfasilitasi

    pertukaran aset oleh agen ekonomi yang ingin berhubungan. Sama halnya dengan

    department store yang merupakan inovasi terhadap cara berbelanja, berbagai

  • 6

    aplikasi terkait teknologi digital ini juga mengubah waktu, tempat, cara, dan tujuan

    konsumsi.

    Airbnb, misalnya, memungkinan konsumen untuk langsung menyewa

    kamar, apartemen, atau rumah dengan menghubungi pengelola/pemiliknya.

    Layanan yang diluncurkan sejak tahun 2008 itu, hanya dalam waktu 7 tahun (2015)

    sudah memiliki lebih dari 1 juta daftar kamar yang tersebar di lebih dari 190 negara.

    Pada bulan Oktober 2014, valuasi dari perusahaan ini ditakar lebih dari USD13

    miliar. Sebagai perbandingan dengan ekonomi konvensional, Intercontinental Hotel

    Group, jaringan hotel terbesar di dunia, hanya memiliki 674.000 kamar di lebih dari

    100 negara dan memiliki kapitalisasi pasar sekitar USD10 miliar sampai Maret

    2015.

    Bisnis jasa transportasi Lyft, Sidecar, dan Uber merupakan bisnis penyedia

    layanan ride-sharing (berbagi tumpangan) yang paling sukses, tetapi hanya Uberlah

    yang menjadi pemilik pangsa terbesar. Uber diluncurkan pada tahun 2009 dan

    sampai pertengahan 2014 telah memiliki delapan juta pengguna dan 160.000

    pengemudi di 250 kota di 50 negara. Pada Desember 2014 valuasi Uber dinilai sudah

    mencapai USD40 miliar.

    Aplikasi jasa transportasi digital tersebut sudah dilengkapi dengan perangkat

    GPS (global positioning system) yang mampu melacak jarak perjalanan dan

    memprediksi biaya total sehingga menjadi unsur transparansi bagi konsumen.

    Tidak seperti taksi konvensional yang tidak diketahui biayanya ketika konsumen

    masuk mobil pertama kali dan menggunakan jasa mereka. Tidak hanya itu, aplikasi

    juga sudah menghubungkan informasi kartu pembayaran dari konsumen sehingga

    pengendara dapat masuk dan keluar mobil tanpa perlu memusingkan pembayaran

    yang sudah dilakukan secara otomatis. Dengan demikian, baik pengendara maupun

    pengemudi tidak berurusan dengan pembayaran. Perusahaan penyedia aplikasi

    hanya mengambil sebagian persentase biaya dan sisanya langsung menjadi bagian

    pengemudi.

    Ketika terjadi kompetisi dengan pelaku ekonomi konvensional, konsumen

    akan memiliki opsi baru dan pemain lama akan dipaksa untuk merespons. Hal

    tersebut akan semakin jelas seiring dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi.

    Zervas et al. (2015) mempelajari pengaruh Airbnb pada industri hotel di Texas dan

    menemukan bagaimana layanan Airbnb mendorong penurunan pendapatan dan

    harga hotel.

  • 7

    Salah satu alasan keberhasilan luar biasa itu adalah kemampuan teknologi

    untuk mengatasi berbagai penghambat (barrier entrant) terhadap industri baru.

    Sebagian besar kota, misalnya, membatasi jumlah taksi yang diizinkan untuk

    beroperasi. Akibatnya, mereka bisa menjaga harga lebih tinggi dari yang

    seharusnya, bahkan pada saat tertentu taksi tidak cukup untuk melayani

    permintaan. Di New York City (NYC) terjadi kekurangan suplai relatif terhadap

    permintaan yang menyebabkan izin taksi Medalion (taksi resmi di NYC) dijual

    seharga lebih dari USD1 juta pada tahun 2013. Sampai pada tahun 2015, sebagai

    akibat masuknya Uber, harga izin taksi Medallion jatuh sekitar 25 persen.

    Dalam kaitan dampak industri digital terkait dengan jasa transportasi,

    beberapa peneliti awal yang melaporkan hasil analisis mereka adalah Wallsten

    (2015). Peneliti tersebut mengamati dua kota metropolis, yaitu New York City dan

    Chicago dengan kurang lebih sejuta data dari penumpang taksi dan limousine yang

    dibobot dengan variabel popularitas Uber dari Google Trends. Mereka mendapati

    efek kompetitif dari kehadiran Uber terhadap peningkatan kualitas pelayanan taksi

    yang diukur dengan membaiknya perilaku pengemudi taksi.

    Pada tahun 2016 Zickuhr (2016) melakukan penelitian pertama mengenai

    dampak jasa transportasi Uber dan Lyft terhadap pasar tenaga kerja dengan kategori

    pengemudi taksi, pengemudi mandiri, dan tenaga kerja dengan banyak pekerjaan

    (multiple job-holding). Namun, Zickuhr tidak mendapatkan bukti yang kuat bahwa

    jasa transportasi luring (online) tersebut mempengaruhi jumlah pengemudi taksi di

    daerah metropolitan. Namun, keberadaan layanan jasa transportasi meningkatkan

    jumlah pengemudi mandiri. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa keberadaan jasa

    transportasi luring menyerap pekerja bukan dari sektor pengemudi taksi. Mereka

    juga menyimpulkan bahwa pengaruh jasa transportasi terhadap perubahan

    struktural pengaturan kerja yang lebih fleksibel masih belum kuat.

    Pengaruh jasa transportasi terhadap pasar tenaga kerja baru terlihat pada

    tahun 2017 melalui penelitian Berger et al. (2017). Penelitian tersebut menganalisis

    pengaruh Uber terhadap tenaga kerja sopir taksi dengan menggunakan data jumlah

    pengemudi Uber di setiap kota di Amerika dan survei tenaga kerja (American

    Community Survey) selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2015. Mereka

    mendapati bahwa secara rata-rata jumlah pengemudi taksi mandiri di setiap kota

    naik sebesar 50% sesudah Uber diperkenalkan. Di kota tempat Uber diperkenalkan,

    penghasilan pengemudi taksi juga turun rata-rata 10% jika dibandingkan dengan

    pengemudi taksi di kota tempat Uber tidak ada. Total pekerja juga bertambah di

  • 8

    kota-kota Uber dan pada saat bersamaan terjadi penurunan pendapatan pegawai

    yang sudah bekerja yang secara parsial disebabkan terjadinya pergeseran karena

    peningkatan pada pendapatan per jam di antara pengemudi mandiri. Perubahan

    struktural terjadi dengan terjadinya pergeseran di pasar tenaga kerja menuju

    pekerja individual yang lebih mandiri (marked-relative shift towards self-

    employment).

    Hall dan Krueger (2016) meneliti perubahan kondisi pasar tenaga kerja terkait

    dengan ekonomi digital melalui survei terhadap pengemudi Uber dan mendapati

    beberapa alasan yang menyebabkan aplikasi digital layanan transportasi lebih

    disukai. Alasan yang pertama adalah fleksibilitas untuk memilih waktu kerja yang

    ditawarkan oleh Uber. Pengemudi Uber juga memiliki umur dan tingkat pendidikan

    yang lebih homogen daripada perusahaan taksi konvensial. Pengemudi taksi

    konvensional yang pindah menjadi pengemudi taksi online juga minimal

    mendapatkan penghasilan yang sama. Teknologi yang lebih modern berupa aplikasi

    memberikan lebih banyak keuntungan dengan harga yang lebih murah untuk

    konsumen jika dibandingkan dengan sistem konvensional. Hal tersebut mendorong

    peningkatan permintaan atas jasa transportasi yang kemudian meningkatkan

    permintaan terhadap pekerja dengan kemampuan tersebut. Secara keseluruhan,

    teknologi digital di bidang jasa transportasi ini sangat potensial untuk

    meningkatkan penghasilan seluruh pekerja dengan kemampuan dasar tersebut.

    Dampak jasa transportasi digital tidak hanya berdampak secara langsung

    pada tenaga kerja pengemudi, tetapi juga melalui transmisi kendaraan umum.

    Dengan menggunakan model regresi diskontinu (regression discontinuity design),

    Sadowsky (2017) mendapati bahwa penggunaan transportasi umum menurun

    seiring dengan semakin besarnya penetrasi Uber dan Lyft. Dengan demikian, dua

    layanan jasa transportasi digital tersebut menjadi substitusi transportasi umum.

    Di luar Amerika, Chang (2017) menganalisis dampak ekonomi Uber terhadap

    performa perusahaan taksi di Taiwan sebagai studi kasus. Dengan menggunakan

    model difference-in-difference terhadap kurang lebih 29.434 pengemudi taksi,

    penelitian ini mendapati bahwa pelayanan Uber berdampak negatif terhadap

    pendapatan perusahaan taksi sebesar 12% pada tahun pertama dan 18% pada

    tahun ketiga sesudah kehadiran Uber. Penurunan itu berhubungan dengan

    pengurangan jarak tempuh pengemudi taksi.

    Untuk kasus Indonesia, Go-Jek menjadi pionir pemanfaatan teknologi online

    dalam jasa transportasi yang menghubungkan tidak hanya antara masyarakat yang

  • 9

    membutuhkan dan pengemudi ojek, tetapi juga antara masyarakat dan UMKM. Go-

    Jek adalah perusahaan startup pertama Indonesia yang menjadi unicorn. Sampai

    bulan Februari 2018, Go-Jek mampu menyerap kurang lebih 1,16 juta pengemudi

    aktif dengan 707 ribu (60,7%) di antaranya beroperasi di provinsi DKI Jakarta.

    Berdasarkan moda transportasi, 808 ribu (69,5%) di antaranya merupakan

    pengemudi Go-Jek motor.

    Penelitian Paundralingga (2018) menganalisis dampak yang ditimbulkan Go-

    Jek terhadap pasar tenaga kerja Indonesia melalui analisis regresi panel dan cross-

    section. Studi itu mengukur dampak Go-Jek di 22 provinsi, mulai dari periode 2015

    sampai dengan awal 2018. Studi tersebut mendapati bahwa masuknya Go-Jek

    membawa dampak terhadap pasar tenaga kerja. Penambahan pengemudi Go-Jek

    berasosiasi dengan penambahan jumlah orang yang bekerja, tetapi hanya mampu

    menurunkan pengangguran pada awal implementasi. Dengan kata lain, riset itu

    menemukan pengaruh Go-Jek terhadap penambahan jumlah orang yang bekerja,

    tetapi tidak diikuti dengan penurunan jumlah pengangguran.

    Hasil penelitian tersebut memperkuat riset yang dilakukan oleh Go-Jek dan

    Lembaga Demografi UI, Wisana (2017) menyebutkan bahwa tenaga kerja yang

    diserap oleh Go-Jek pada awal implementasi didominasi oleh pengangguran dan

    tenaga kerja informal, yaitu tukang ojek pangkalan (opang). Selanjutnya, pada

    periode selanjutnya, Go-Jek justru lebih banyak menyerap mereka yang sudah

    bekerja atau pekerja baru. Faktor fleksibilitas waktu kerja dan lebih tingginya

    pendapatan yang diterima merupakan dua faktor utama yang membuat mereka

    yang sudah bekerja keluar dan berpindah kerja untuk menjadi pengemudi Go-Jek.

    Mitra pengemudi Go-Jek mengalami peningkatan penghasilan kurang lebih 44%

    dari penghasilan sebelum bergabung dengan Go-Jek. Rata-rata penghasilan juga

    meningkat dari kurang lebih Rp2 juta per bulan menjadi Rp3,31 juta per bulan.

    Beberapa layanan yang disediakan oleh Go-Jek seperti Go-Food dan Go-Send juga

    ikut menyumbang pada penciptaan lapangan pekerjaan baru seiring dengan

    perluasan pasar sektor UMKM. Dengan demikian, Go-Jek juga mengubah struktur

    pasar tenaga kerja dengan mendorong pekerja informal masuk menjadi pekerja

    formal dengan struktur pendapatan yang tercatat dan terhubung dengan

    perbankan. Di sisi lain, ketidakmampuan Go-Jek untuk menyerap pengangguran

    disebabkan oleh beberapa hambatan teknis seperti batas usia pengemudi dan

    kualifikasi terkait teknologi.

  • 10

    2.2. Inovasi Digital dan Produktivitas

    Inovasi digital dan ekonomi digital dipercaya dapat meningkatkan

    produktivitas melalui berbagai efisiensi yang tercipta dari penggunaannya di

    berbagai aspek kehidupan. Produktivitas secara sederhana didefinisikan sebagai

    rasio dari keluaran (output) yang diproduksi terhadap masukan (input) yang

    digunakan. Output diukur sebagai nilai tambah dari perekonomian dengan

    menggunakan harga konstan (produk domestik bruto riil), sedangkan input diukur

    sebagai jumlah jam kerja. Oleh karena itu, produktivitas dapat juga diartikan

    sebagai kapasitas bisnis, pemerintah, atau ekonomi untuk mengonversikan sumber

    dayanya ke dalam ouput yang bernilai (Productivity Commission, 2016).

    Paterson et al. (2017) mengungkapkan bahwa produktivitas menjadi penting

    karena merefleksikan efisiensi produksi dalam perekonomian atau merefleksikan

    tingkat produksi saat input diubah menjadi barang dan jasa final. Pertumbuhan

    produktivitas penting karena merefleksikan kemampuan suatu bangsa

    memanfaatkan sumber daya alam dan manusia untuk memproduksi lebih banyak

    barang dan jasa, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan standar hidup

    bangsa tersebut. Sebagaimana dikutip dari Krugman (1997) yang menyatakan

    bahwaproductivity isn’t everything, but in the long run it is almost everything.

    Pendorong utama dari pertumbuhan produktivitas adalah inovasi, yaitu

    pengembangan dan adopsi teknologi baru, serta implementasi teknik manajemen

    baru dan proses produksi. Pentingnya inovasi dalam pertumbuhan ekonomi

    digarisbawahi oleh Schumpeter (1934) serta Brynjolfsson dan McAfee (2014) yang

    menyatakan bahwa inovasi adalah penentu dari pertumbuhan produktivitas.

    Pertumbuhan produktivitas pada tingkat korporasi bukan hanya permasalahan

    bagaimana menurunkan biaya. Inovasi adalah melakukan sesuatu yang berbeda–

    memperkenalkan cara baru dan lebih baik dalam memproduksi output–atau

    memproduksi produk baru dengan kualitas lebih baik.

    Productivity Commission (2016) mengidentifikasi bagaimana teknologi digital

    dapat memiliki implikasi terhadap ekonomi, yaitu sebagai berikut:

    a) mengurangi biaya dari transmisi informasi serta mendorong munculnya produk

    baru dengan komponen barang dan jasa;

    b) memungkinkan pengumpulan, pemrosesan dan aplikasi data–sebagai sumber

    daya baru dan berharga yang memungkinkan akumulasi tanpa batas–dengan

  • 11

    penggunaannya oleh satu pihak tidak mengurangi ketersediaannya untuk pihak

    yang lain;

    c) memungkinkan otomasi tugas dan substitusi pekerja dengan modal;

    d) menciptakan model bisnis baru; dan

    e) membawa sumber daya manusia dan modal baru ke dalam perekonomian

    dengan memungkinkan lebih banyak pekerja untuk berpartisipasi dan

    menggunakan aset pribadi mereka (contohnya pengendara Uber dan pemilik

    Airbnb).

    Paterson et al. (2017) melakukan reviu terhadap berbagai penelitian yang

    bersifat statistik dan komersial di Australia dan menemukan bahwa inovasi digital

    telah mendorong produktivitas selama satu dekade terakhir di negara tersebut

    meskipun implikasinya paling terasa sepanjang tahun 1995–2005. Kajian tersebut

    juga menemukan bahwa terkait masa depan produktivitas yang didorong oleh

    inovasi digital terdapat 2 (dua) pendapat yang optimis dan pesimis. Pihak optimis

    berpendapat bahwa teknologi digital memiliki potensi untuk mendorong

    pertumbuhan produktivitas pada masa yang akan datang karena dampak disruptif

    teknologi terhadap industri di seluruh sektor ekonomi. Inovasi teknologi bersifat

    disruptif terhadap industri yang ada sebelumnya karena teknologi tersebut akan

    menggantikan cara kerja industri yang berjalan tradisional selama ini dengan sistem

    yang lebih cepat, lebih efisien, dan lebih mudah diakses. Sementara itu, pihak

    pesimis berpendapat bahwa digitalisasi lebih fokus pada hiburan yang secara

    material belum dapat meningkatkan kapasitas dunia usaha dalam menggunakan

    modal dan sumber daya manusia dengan cara baru.

    Bridgman (2016) menyatakan bahwa perhitungan output tidak

    mengikutsertakan produksi yang bukan berasal dari pasar. Banyak dari inovasi

    digital terkini, seperti telepon selular, memberi nilai tambah pada leisure time

    sehingga nilai tambah yang sepenuhnya dari inovasi tersebut tidak tertangkap oleh

    output. Oleh karena itu, dampak dari inovasi tersebut terhadap produktivitas

    menjadi understated. Dalam penelitiannya, Bridgman (2016) mengembangkan dasar

    teoretis untuk mengukur value of leisure yang diproduksi dengan menggunakan

    waktu luang dan barang rekreasi. Kerangka tersebut lalu digunakan untuk

    mengestimasi value of leisure di AS pada tahun 1950 hingga tahun 2014. Meskipun

    value of leisure terbilang besar, terdapat hubungan yang stabil antara PDB yang

    terhitung dan leisure yang tidak terhitung. Bridgman menyimpulkan bahwa

  • 12

    penggunaan inovasi digital berdasarkan peralatan internet yang digunakan oleh

    rumah tangga terbilang kecil terhadap perekonomian secara keseluruhan. Oleh

    karena itu, inovasi digital yang digunakan oleh rumah tangga secara kuantitatif

    tidak memiliki dampak penting terhadap produktivitas.

    Van Ark (2016) menjelaskan bahwa meskipun terdapat peningkatan

    pengeluaran bisnis terhadap modal dan jasa terkait information and communication

    technology (ICT), ekonomi digital yang meliputi mobile technology, internet, dan cloud

    belum menunjukkan peningkatan nyata terhadap pertumbuhan produktivitas.

    McKinsey (2018) mengungkapkan bahwa pengukuran produktivitas dapat menjadi

    tantangan sulit. Peningkatan kualitas di banyak area, terutama teknologi dan

    software, sulit ditangkap. Banyak jasa konsumen baru yang saat ini disediakan

    tanpa biaya–seperti mobile GPS, Google, aplikasi berbasis smartphone, dan jasa

    berbasis cloud–memiliki kontribusi terhadap produktivitas yang saat ini belum

    dapat diukur.

    Salah satu kajian yang dilakukan di Australia oleh Bureau of Communication

    Research (2016) menunjukkan bahwa investasi dalam modal ICT terus memberikan

    kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sejak

    pertengahan tahun 2000-an, tetapi peran investasi teknologi informasi (TI) pada

    pertumbuhan produktivitas tenaga kerja telah berkurang terhadap dekade

    sebelumnya. Secara spesifik, pendalaman modal TI–terutama substitusi komputer

    terhadap modal manusia–berkontribusi sekitar 0,5 persen terhadap pertumbuhan

    produktivitas tenaga kerja tahunan pada dekade 2003-2004 (sekitar sepertiga dari

    pertumbuhan produktivitas tahunan total), lebih rendah jika dibandingkan dengan

    kontribusi sekitar 0,8 persen pada dekade 1993-1994 (meskipun angka ini juga

    merupakan sepertiga dari pertumbuhan produktivitas tahunan total).

    Shahiduzzaman dan Alam (2014) menemukan bahwa dalam beberapa tahun

    terakhir kontribusi modal TI pada output dan produktivitas tenaga kerja telah

    melambat karena investasi TI yang lebih rendah (industri dengan investasi ICT di

    atas rata-rata mengalami pertumbuhan multifactor productivity (MFP) positif selama

    2005-2014). Mereka juga menemukan elastisitas yang lebih tinggi dari produktivitas

    (tenaga kerja) terhadap digitalisasi dalam beberapa tahun terakhir jika

    dibandingkan dengan tahun 1990-an. Hal itu kemungkinan disebabkan oleh

    meningkatnya investasi dalam aset tidak berwujud komplementer, seperti database,

    perangkat lunak dan modal organisasi, serta kerangka kerja kebijakan dan

    peraturan yang lebih baik. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh

  • 13

    Shahiduzzaman, Layton, dan Alam (2015) untuk periode 1965 hingga 2013

    menemukan bukti dampak produktivitas jangka panjang dari modal ICT sebagai

    general purpose technology (GPT). GPT pada internet, sebagaimana disebutkan oleh

    Guerrieri dan Padoan (2007) serta Carlaw et al. (2007), disematkan karena pada

    mulanya internet merupakan alat penting untuk meningkatkan komunikasi, tetapi

    telah bertransformasi menjadi teknologi universal yang mendukung seluruh aspek

    dalam perekonomian. Salah satu contoh lain dari GPT adalah listrik.

    Basu et al. (2003) mengkaji peran ICT sebagai GPT dalam pertumbuhan

    produktivitas di AS dan Inggris. Kajiannya menyimpulkan bahwa penggunaan ICT

    berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas AS. Connolly

    dan Fox (2006) menemukan bahwa hubungan yang signifikan dan positif hanya

    untuk beberapa industri yang memperoleh manfaat investasi dalam modal teknologi

    tinggi, tetapi tidak tersebar merata di seluruh perekonomian. Shahiduzzaman dan

    Alam (2014) juga mengutip kajian di AS yang menunjukkan kontribusi yang

    signifikan dari modal TI untuk pertumbuhan produktivitas pada tahun 1990-an.

    Peran ICT dalam mendorong pertumbuhan produktivitas pada akhir tahun

    1990-an diakui baik oleh 'digital optimis' Brynjolfsson maupun oleh McAfee di The

    Second Machine Age (2014), tetapi Gordon lebih pesimistis dalam The Rise and Fall

    of American Growth (2016) yang (setelah skeptisisme awal) menyematkan peran

    signifikan untuk ICT dalam pertumbuhan produktivitas akhir 1990-an dari

    perkawinan antara komputasi dan komunikasi yang memberdayakan internet

    sebagai general purpose technology (GPT).

    Centre for International Economics (2014) di Australia menemukan bahwa

    produktivitas di industri komunikasi seluler Australia meningkat rata-rata lebih dari

    10 persen per tahun pada periode 2006-2013 dan bahwa peningkatan efisiensi itu

    diteruskan ke bisnis dan rumah tangga dengan cara menurunkan biaya. Sebuah

    survei terhadap 1002 bisnis di Australia yang dilakukan pada 2013 untuk penelitian

    tersebut menunjukkan bahwa jalur penting dari perubahan dalam produktivitas

    dunia usaha dimediasi oleh teknologi broadband seluler yang digunakan, termasuk

    peninjauan dokumen dan pengambilan keputusan yang lebih cepat, penggunaan

    downtime yang lebih produktif, dan kemampuan menggunakan internet di mana

    saja. Dari bisnis yang disurvei, 25 persen mengindikasikan bahwa mobile broadband

    mengurangi biaya dan 75 persen mengindikasikan teknologi menghemat waktu

    karyawan.

  • 14

    The McKinsey Global Institute (MGI) juga menerbitkan Digital America

    (Manyika et al., 2015) dan Digital Europe (Bughin et al., 2016) yang berfokus pada

    seberapa jauh digitalisasi berbagai perusahaan dan industri yang terkait dengan

    digital frontier, manfaat digitalisasi bagi perusahaan dan ekonomi untuk menutup

    kesenjangan ini (termasuk pertumbuhan MFP), serta peran yang dapat dimainkan

    pemerintah dalam proses tersebut. Kajian dalam Digital America menyimpulkan

    bahwa ketika digitalisasi semakin cepat, Amerika Serikat memiliki peluang besar

    untuk mendorong pertumbuhan produktivitas, termasuk dari digitalisasi sebagai

    teknologi tujuan umum yang memungkinkan inovasi. Studi itu menjelaskan

    pendorong utama pertumbuhan produktivitas sebagai berikut.

    a) Produktivitas tenaga kerja: dari bekerja dengan aset digital, sampai lebih baik

    dan lebih cepat, serta mencocokkan pekerja dengan pihak yang membutuhkan

    tenaga kerja.

    b) Produktivitas modal: peningkatan efisiensi aset melalui pengurangan waktu

    downtime dari pemeliharaan preventif, dan peningkatan pemanfaatan aset.

    c) Produktivitas multifactor: research and development (R&D) yang diaktifkan

    secara digital dan siklus pengembangan produk yang lebih cepat dari analisis

    data; optimisasi operasional dan supply chain, termasuk routing logistik yang

    lebih baik melalui optimalisasi jalur dan penentuan prioritas; serta

    meningkatkan kapabilitias manajemen sumber daya seperti peningkatan

    efisiensi energi dan mengurangi limbah bahan baku.

    Brynjolfsson dan McAfee (2014) mendukung bahwa revolusi digital yang

    sekarang terjadi mendorong pertumbuhan produktivitas dan akan terus terjadi

    dengan kekuatan yang semakin meningkat. Mereka melihat perlambatan

    pertumbuhan produktivitas AS pasca-2005 sebagai penyimpangan siklus sementara

    yang disebabkan oleh resesi pasca-GFC daripada impotensi produktivitas digital

    selama dekade terakhir. Brynjolfsson dan McAfee mengandaikan bahwa kemajuan

    teknologi meningkat secara eksponensial dari digitalisasi di seluruh aspek dalam

    ekonomi dan kehidupan pribadi dengan lingkup luas untuk produktivitas yang

    sangat besar dan kesejahteraan manusia. Perkembangan digital tersebut termasuk

    analisis big data, terobosan robotik, artificial intelligence, dan machine learning.

    Dalam pandangan mereka, ekonomi pasar dan masyarakat sedang dan akan

    berubah secara fundamental dan lebih menguntungkan meskipun tetap ada

    tantangan dalam penyesuaian. Secara keseluruhan, Brynjolfsson dan McAfee

    menyimpulkan bahwa inovasi dan produktivitas akan tumbuh pada tingkat yang

  • 15

    sehat pada masa yang akan datang. Mereka percaya bahwa building blocks atau

    fondasi yang penting terkait inovasi digital dalam perekonomian sudah ada dan akan

    terus-menerus direkombinasi dengan cara yang baru dan lebih baik.

    2.3. Inovasi Digital dan Pertumbuhan Ekonomi

    OECD (2008) mendefinisikan perekonomian berbasis internet (ekonomi

    digital) adalah seluruh cakupan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya yang

    didukung oleh internet serta teknologi informasi dan komunikasi. Porsi besar dari

    transaksi ekonomi yang meliputi produksi, penjualan, distribusi, dan konsumsi saat

    ini telah dijalankan di internet. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman mengenai

    perekonomian berbasis internet sebagai nilai dari seluruh aktivitas ekonomi yang

    dijalankan atau didukung oleh internet.

    Sama halnya dengan produktivitas, implikasi dari inovasi digital dan ekonomi

    digital tidak dapat secara mudah diukur dan diperkirakan dapat menimbulkan

    mismeasurement dalam perhitungan PDB. Ahmad dan Schreyer (2016) berargumen

    bahwa peningkatan sementara dalam kesejahteraan konsumen dari layanan digital

    gratis harus diakui dalam beberapa cara, yaitu menambahkannya ke PDB (dan

    karenanya produktivitas), tidak akan terlalu terlihat secara ekonomi. Mereka

    menjelaskan bahwa pengukuran PDB dirancang secara hati-hati agar

    mencerminkan tingkat kegiatan ekonomi pasar (nilai tambah) dalam ekonomi yang

    tidak termasuk surplus konsumen (nilai kepada konsumen di luar apa yang mereka

    bayar), termasuk dari layanan digital gratis. Mereka menyimpulkan bahwa,

    tantangan praktis substansial dalam mengukur PDB dan produktivitas memang

    ada, kerangka statistik PDB (dan produktivitas) yang mendasari tetap terukur di era

    digital.

    OECD (2013) mengklasifikasikan pendekatan untuk mengukur dampak

    ekonomi dari perekonomian berbasis internet menjadi (i) dampak langsung (direct

    impact); (ii) dampak dinamis (dynamic impact), dan (iii) dampak tidak langsung

    (indirect impact) sebagai dapat dilihat pada Gambar 2.2.

  • 16

    Gambar 2.2. Mekanisme Klasifikasi Pengukuran Perekonomian Berbasis Internet

    Sumber: OECD (2013)

    Pendekatan pertama (direct impact) mengukur perekonomian berbasis

    internet sebagai bagian dari pertumbuhan domestik bruto (PDB). Pendekatan kedua

    (dynamic impact) mengukur dampak internet terhadap semua industri yang

    mempengaruhi pertumbuhan produktivitas dan pada akhirnya pertumbuhan PDB.

    Pendekatan ketiga (indirect impact) mengukur efek internet terhadap fenomena

    ekonomi, seperti surplus konsumen atau bagaimana internet berkontribusi

    terhadap kesejahteraan sosial.

    Pendekatan direct impact mencoba mengukur porsi PDB value added yang

    dihasilkan dari aktivitas terkait internet. Hal itu mencakup value added yang

    dihasilkan dari (i) aktivitas pendukung internet (contohnya internet service providers

    dan manufaktur peralatan internet) dan (ii) aktivitas menggunakan internet

    (contohnya search engines dan layanan e-commerce) meskipun perlu digarisbawahi

    bahwa dampak ekonomi tidak terbatas hanya pada aktivitas pendukung internet

    atau aktivitas menggunakan internet. Pada kenyataannya dampak ekonomi dari

    internet jauh lebih luas, sebagai contoh mengurangi biaya pencarian bagi korporasi,

    akses lebih baik terhadap informasi, atau meningkatnya proses search and matching

    dalam perekonomian. Dengan demikian, total dampak ekonomi dari internet lebih

    luas dari yang dapat ditangkap, bahkan dengan menggunakan pendekatan ini dapat

    dijangkau seluruh aktivitas ekonomi secara virtual.

  • 17

    Gambar 2.3. Direct Impact dari Internet

    Sumber: OECD (2013)

    Pada pendekatan direct impact, terdapat beberapa kajian yang telah

    dihasilkan untuk mengukur nilai aktivitas yang berbasis internet. Kajian tersebut

    dilakukan oleh Hamilton Consultants (2009), BCG (2010 dan 2011), Deloitte (2011),

    dan McKinsey (2011). Semua kajian tersebut menganalisis ukuran dari aktivitas

    berbasis internet sebagai persentase dari total PDB untuk sejumlah negara maju.

    Hasil kajian berkisar antara 0,8 dana 7% (Tabel 2.1), tetapi metodologi yang

    digunakan berbeda antarlembaga riset.

    Tabel 2.1. Nilai Tambah dari Internet dalam Berbagai Negara, Hasil dari

    Penelitian Terdahulu

    Kajian Negara yang Dianalisis Estimasi Nilai Tambah

    dari Aktivitas Berbasis

    Internet (% PDB)

    Hamilton Consultants

    (2009)

    Amerika Serikat 2%

    BCG (2010) Inggris Raya 7,2%

    BCG (2011) Swedia 6,6%

    BCG (2011) Hong Kong 5,9%

    BCG (2011) Denmark 5,8%

    BCG (2011) Belanda 4,3%

    BCG (2011) Republik Cekoslowakia 3,6%

    BCG (2011) Jerman 3,4%

    BCG (2011) Polandia 2,7%

    BCG (2011) Belgia 2,5%

    BCG (2011) Spanyol 2,2%

    BCG (2011) Italia 1,9%

    BCG (2011) Mesir 1,6%

  • 18

    BCG (2011) Rusia 1,6%

    BCG (2011) Turki 1,2%

    McKinsey (2011) Brazil, Kanada, Cina, Prancis,

    Jerman, India, Italia, Jepang,

    Rusia, Inggris Raya, Amerika

    Serikat, Korea Selatan, dan Swedia

    3,4% secara rata-rata

    Deloitte (2011) Australia 3,6%

    Sumber: BCG, McKinsey, Deloitte sebagaimana disadur dari OECD (2013)

    Boston Consulting Group (2010) berusaha mendefinisikan dan

    mengkuantifikasi ekonomi berbasis internet dan mengevaluasi bagaimana internet

    mentransformasi perekonomian di Inggris Raya. BCG kemudian menggunakan

    metode itu di negara-negara lainnya. Secara khusus, BCG memisahkan empat

    elemen utama dari dampak langsung penggunaan internet terhadap ekonomi, yaitu

    sebagai berikut.

    1. Bagian dari PDB yang dikaitkan ke internet, termasuk konsumsi, investasi,

    belanja pemerintah, dan ekspor neto.

    2. Dampak ekonomi konsumen dan bisnis yang tidak ditangkap oleh PDB,

    termasuk e-commerce dan iklan online.

    3. Dampak produktivitas, termasuk keuntungan dari e-procurement di bidang

    manufaktur dan produktivitas yang diperoleh melalui penjualan online dalam

    perdagangan grosir dan eceran.

    4. Dampak sosial yang lebih luas, termasuk konten buatan pengguna, jejaring

    sosial, penipuan, dan pembajakan.

    Sementara itu, pendekatan dynamic impact mencoba mengukur dampak dari

    internet melalui net share dari tambahan PDB yang dihasilkan dari seluruh aktivitas

    ekonomi terkait internet di seluruh sektor ekonomi. Secara khusus, pendekatan

    tersebut mengecek agregasi dan net impact yang dihasilkan internet terhadap PDB.

    Hal itu mencakup (i) seluruh industri yang mungkin menghasilkan value added

    berkat penggunaan internet (tidak hanya industri pendukung internet dan

    beroperasi hanya menggunakan internet) dan (ii) dampak net ekonomi yang

    dihasilkan internet terhadap PDB.

  • 19

    Gambar 2.4. Dynamic Impact dari Internet

    Sumber: OECD (2013)

    Pendekatan dynamic impact mencakup tiga tahapan untuk melihat dampak

    internet terhadap pertumbuhan ekonomi. Tahap pertama, perkembangan

    infrastruktur internet. Tahap kedua, penyedia jasa berbasis internet seperti search

    companies, e-mail hosting companies, dan korporasi penyedia konten yang muncul

    dan menggunakan infrastruktur internet untuk menyediakan jasa baru. Tahap

    ketiga, dampak internet menyebar lebih luas secara virtual ke semua aktivitas dalam

    seluruh sektor perekonomian.

    Dampak dinamis internet terhadap pertumbuhan ekonomi telah dilakukan

    kajian oleh beberapa peneliti. Salah satu kajian awal yang mencatat dampak

    menguntungkan internet terhadap laba perusahaan adalah Varian et al. (2002).

    Kajian tersebut menganalisis dampak teknologi internet pada kegiatan ekonomi

    berdasarkan survei perusahaan dari berbagai industri. Penelitian tersebut

    didasarkan pada respons yang dikumpulkan dan ditemukan bahwa pada tahap awal

    pengembangan broadband (2002), perusahaan secara aktif mencari solusi

    menggunakan internet yang membantu mereka dalam memotong biaya dan

    meningkatkan pendapatan. Secara spesifik perusahaan di Amerika Serikat, Inggris,

    Prancis, dan Jerman melaporkan realisasi penghematan biaya kumulatif sebesar

    163,5 miliar dolar AS dengan sebagian besar penghematan terjadi sejak tahun 1998.

  • 20

    Penelitian oleh Czernich et al. (2009) menguji pengaruh infrastruktur

    broadband pada pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara OECD (1996-2007)

    dengan menggunakan tingkat penetrasi broadband sebagai proxy untuk

    perkembangan internet. Untuk mengatasi masalah potensial dengan endogenitas,

    penulis melakukan analisis dalam dua langkah. Pada langkah pertama, mereka

    membangun pola prediksi evolusi broadband (bebas dari shocks dan intervensi

    kebijakan) dengan menggunakan data pada TV kabel dan saluran telepon sebagai

    instrumen. Estimator prediksi itu kemudian digunakan dalam langkah kedua untuk

    menjelaskan laju pertumbuhan ekonomi. Studi tersebut menemukan bahwa

    peningkatan penetrasi broadband sebesar 10 poin persentase meningkatkan

    pertumbuhan per kapita per tahun sebesar 0,9-1,5 poin persentase.

    Qiang et al. (2009) juga menemukan hubungan positif antara adopsi

    broadband dan laju pertumbuhan ekonomi. Studi tersebut memperkenalkan model

    empiris lintas negara untuk menganalisis hubungan antara broadband dan

    pertumbuhan ekonomi. Para penulis menggunakan data dari 120 negara

    berkembang dan negara maju dalam model pertumbuhan endogen berdasarkan

    Barro (1991). Pendekatan itu memungkinkan mereka untuk menguji hubungan

    kuantitatif antara tingkat penetrasi broadband dan tingkat pertumbuhan rata-rata

    PDB per kapita antara tahun 1980 dan tahun 2006 sambil mengendalikan faktor-

    faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan. Qiang et al. (2009)

    menemukan bahwa tingkat penetrasi broadband yang 10 persen lebih tinggi

    disejajarkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi per kapita per tahun sebesar

    1,21 poin persentase lebih tinggi.

    Korelasi tersebut tidak menyiratkan hubungan sebab-akibat karena asosiasi

    dasar antara tahap perkembangan Internet dan pertumbuhan ekonomi dapat

    didorong oleh kausalitas terbalik dan variabel lainnya, bahkan beberapa studi

    menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor penentu

    utama perkembangan internet (Kiiski dan Pohjola, 2002; Chinn dan Fairlie, 2007).

    Simpulan tersebut menyoroti ketergantungan timbal balik antara perkembangan

    internet dan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang lebih maju berinvestasi

    lebih banyak dalam perkembangan internet, tetapi internet yang lebih maju juga

    dapat berkontribusi pada laju pertumbuhan ekonomi.

    Nakamura et al. (2017) mengembangkan metode eksperimental untuk dapat

    memberi nilai terhadap konten digital melalui sudut pandang produksi. Kajian itu

    mengombinasikan konten marketing dan advertising dan menemukan bahwa

  • 21

    dampak dari konten digital yang gratis terhadap PDB AS mengalami akselerasi

    belakangan ini, terutama sejak tahun 2005. Dengan memasukkan asumsi konten

    digital, pertumbuhan PDB riil di AS seharusnya tumbuh sebesar 1,53% per tahun

    dari 2005 hingga 2015, lebih tinggi daripada angka pertumbuhan resmi sebesar

    1,42% per tahun atau sepersepuluh kali lebih cepat.

    Sementara itu, untuk kasus Indonesia, secara umum perkembangan

    teknologi digital di Indonesia juga berpotensi meningkatkan produktivitas dan

    pertumbuhan ekonomi pada masa yang akan datang. Berdasarkan laporan

    McKinsey (2016), pemanfaatan teknologi digital (digitization) dapat meningkatkan

    produktivitas yang diperkirakan akan memberikan dampak tambahan hingga 120

    miliar dolar AS pada perekonomian Indonesia pada tahun 2025. Penggunaan

    teknologi, termasuk di sektor keuangan, diperkirakan akan meningkatkan

    produktivitas. Peningkatan produktivitas dari teknologi digital berasal dari

    berkurangnya biaya operasional serta meningkatnya efisiensi di sepanjang value

    chain. Teknologi digital juga akan menyediakan inovasi produk baru serta

    peningkatan sales. Peningkatan produktivitas melalui teknologi digital akan

    dirasakan berbagai sektor termasuk keuangan, manufaktur, ritel, serta

    transportasi. Teknologi digital juga berpotensi menambah lapangan kerja bagi 3,7

    juta tenaga kerja dan meningkatkan PDB Indonesia hingga 35 miliar dolar AS pada

    tahun 2025. Teknologi digital membuka akses data, baik bagi pencari kerja maupun

    perusahaan. Teknologi akan membantu mempertemukan pencari dan penyedia

    kerja secara lebih efektif serta menghubungkan orang yang tepat dengan pekerjaan

    yang tepat sehingga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja secara

    menyeluruh. Teknologi digital akan mendayagunakan informal employment,

    memperkerjakan tenaga kerja yang belum aktif, dan mengurangi pengangguran.

  • 22

    Gambar 2.5. Potensi Dampak Teknologi Digital terhadap PDB dan Lapangan Kerja

    Indonesia

    Sumber: McKinsey (2016)

    2.4. Inovasi Digital dan Inflasi

    Pada tahun-tahun sesudah terjadi krisis keuangan global (global financial

    crises), dunia menyaksikan inflasi yang sangat rendah di banyak negara maju,

    bahkan di negara-negara tempat output gap mendekati nol. Di Kanada, sebagai

    contoh, inflasi tetap landai, bahkan ketika ekonomi sudah pulih dari krisis terkait

    harga minyak dan berbagai penyebab kelambatan ekonomi hilang.

    Terkadang fenomena rendahnya inflasi tersebut dapat dijelaskan oleh faktor

    faktor spesifik yang khas di setiap negara, tetapi dengan semakin meluasnya gejala

    tersebut hampir di seluruh negara maju, terdapat indikasi kuat bahwa terdapat

    faktor-faktor eksternal lain yang terintegrasi dalam kurva Phillips. Beberapa

    penelitian terbaru berpendapat bahwa faktor global seperti harga impor,

    kesenjangan output global, dan integrasi perdagangan dan produksi terkait rantai

    nilai global tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan teka-teki rendahnya inflasi.

    Salah satu saluran transmisi baru, yang dicurigai sebagai penyebab rendahnya

    inflasi adalah digitalisasi ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa

    peneliti ekonomi berpendapat bahwa kemungkinan efek disinflasi digitalisasi dapat

    menjelaskan inflasi yang lemah di negara maju.

    Digitalisasi mempengaruhi inflasi melalui tiga saluran transmisi utama: (i)

    secara langsung, melalui efeknya pada harga barang dan jasa yang terkait dengan

    TIK (teknologi informasi dan komunikasi); (ii) dengan mengubah struktur pasar dan

  • 23

    tingkat persaingan di sektor-sektor tertentu; dan (iii) dengan mempengaruhi

    produktivitas dan berbagai persyaratan tenaga kerja.

    Saluran 1: Dampak Langsung Digitalisasi pada Indeks Harga

    Saluran pertama ketika ekonomi digital mempengaruhi inflasi adalah melalui

    indeks harga. Harga beberapa produk TIK telah menurun dengan cepat sejak tahun

    1990-an dan seterusnya karena perubahan teknologi. Beberapa penelitian memberi

    bukti bagaimana teknologi mampu menekan inflasi di banyak negara, khususnya di

    Eropa.

    Secara khusus harga-harga peralatan dan perangkat komputasi digital dan

    peralatan hiburan rumah, suku cadang, dan jasa menurun selama 20 tahun

    terakhir. Namun, di beberapa periode terakhir tidak terjadi penurunan harga

    peralatan digital. Beberapa komponen digital juga belum memberikan tekanan

    tambahan pada inflasi yang kemudian dapat menjelaskan dinamika rendahnya

    inflasi. Tren penurunan tersebut lebih terasa pada akhir tahun 1990-an dan awal

    tahun2000-an serupa dengan apa yang telah didokumentasikan oleh Sveriges

    Riksbank di Swedia.

    Dengan semakin berkembangnya ekonomi digital, pengukuran harga menjadi

    tantangan baru bagi banyak biro pencatatan statistik. Dua riset yang dilakukan oleh

    Durand (2016) dan Schreyer (2017) mencatat bahwa hal tersebut antara lain

    disebabkan oleh terjadinya pengembangan barang baru, penambahan layanan baru,

    serta produk yang disesuaikan dengan pelanggan (kustomisasi) dan barang yang

    sama, tetapi dengan kualitas yang berbeda.

    Dengan perubahan teknologi yang sangat cepat, metode pencatatan lama,

    yaitu kualitas barang di akhir disesuaikan, tidak akan dapat mencatat terjadinya

    perbaikan produk (undervalue). Ahmad dan Schreyer (2016) melaporkan terjadinya

    pencatatan harga yang terlalu tinggi karena hal tersebut.

    Selain itu, ketika produk mengalami kustomisasi (disesuaikan dengan

    keinginan atau selera pembeli), perubahan harga menjadi lebih sukar diukur. Selain

    itu, peningkatan jumlah produk digital gratis (seperti aplikasi ponsel dan

    pemesanan perjalanan online) tidak terekam dengan baik dalam PDB nominal atau

    tercatat dalam CPI. Ketika konsumen beralih ke produk produk ini, hal itu

    menyebabkan terjadinya bias terkait substitusi dalam CPI. Ahmad dan Schreyer

    (2016) mencatat bahwa masalah itu tidak menjadi lebih signifikan daripada yang

    terjadi pada masa lalu. Namun, hal tersebut bisa berubah ketika laju digitalisasi

  • 24

    meningkat, yaitu ketika konsumen beralih ke toko online yang lebih murah, akan

    terjadi bias ke atas karena PDB hanya mencatat harga yang dicatat oleh toko

    konvensional yang jauh lebih mahal.

    Saluran 2: Struktur Pasar, Persaingan, dan Kebangkitan E-commerce

    Saluran kedua digitalisasi dapat mempengaruhi inflasi adalah efeknya pada

    struktur pasar dan persaingan. Seiring dengan penetrasi teknologi digital ke hampir

    semua sektor, struktur pasar berubah dan preferensi konsumen bergeser. Tahap

    berikutnya, seiring dengan perubahan elastisitas permintaan terhadap harga

    (pricing power), perubahan struktur tersebut akan berujung pada perubahan tingkat

    dan perilaku inflasi. Hal itu juga bisa dilihat dari dua sudut: konsentrasi pasar dan

    e-commerce.

    Saluran Transmisi 2.1: Konsentrasi Pasar

    Ada dua teori yang sedang bersaing mengenai dampak digitalisasi pada

    struktur pasar, yaitu sebagai berikut.

    1) Beberapa pengamat ekonomi mencatat bahwa internet dan teknologi berhasil

    mengurangi hambatan masuk dan dengan demikian meningkatkan persaingan.

    OECD (2017) dan Trainer (2016) melaporkan bahwa hampir semua perusahaan

    (termasuk perusahaan kecil, perusahaan khusus, dan perusahaan baru) kini

    dapat terlibat dalam perdagangan global dan menjangkau pelanggan potensial

    lebih cepat dengan biaya yang lebih rendah.

    Pada gilirannya, persaingan terhadap perusahaan petahana meningkat.

    Peningkatan kompetisi tersebut terjadi, baik di perusahaan digital yang

    menginvasi sektor nonteknologi maupun kompetisi dengan perusahaan asing

    yang lebih mudah dalam menjangkau pasar domestik. Trainer (2016) mencatat

    bahwa penjual lokal tidak dapat lagi mempertahankan monopoli di wilayah

    mereka secara geografis sehingga terjadi perlombaan untuk menurunkan harga

    (race to the bottom).

    2) Pada saat yang sama, teknologi digital memungkinkan perusahaan superstar

    dengan kekuatan pasar yang cukup besar meraih posisi dominan. Perusahaan-

    perusahaan ini tumbuh dengan ukuran yang kemudian memungkinkan mereka

    untuk memaksa pemain tradisional dan lebih kecil keluar dari pasar. Teknologi

    digital berperan penting dalam keberhasilan perusahaan, seperti jaringan sosial

    (social network), mesin pencari, dan penyedia platform perangkat lunak yang

    memungkinkan mereka untuk meningkatkan jangkauan pasar dan dengan

  • 25

    cepat meningkatkan jumlah pengguna. Besarnya jaringan digital itu membawa

    efek jaringan yang langsung memberi keuntungan berupa besarnya skala dan

    ukuran ekonomi. Dengan demikian, mereka dapat langsung mendominasi

    pasar. Selain itu, teknis perdagangan digital yang lebih efisien memungkinkan

    harga kompetitif yang tentu memikat lebih banyak konsumen. Sebagai

    tambahan, posting harga secara daring yang terbuka dan perbandingan kualitas

    yang transparan juga memudahkan konsumen untuk menentukan pilihan.

    Andrews, Criscuolo, dan Gal (2015) mengungkapkan terjadinya konsentrasi

    industri yang meningkat dan perbedaan margin keuntungan dan produktivitas

    antara perusahaan awal (frontier) dan sesudahnya.

    Besarnya dampak kemunculan perusahaan superstar terhadap peningkatan

    persaingan dan perubahan struktur pasar berbeda-beda untuk setiap negara dan

    bahkan setiap industri. Hatzius et al. (2017a) adalah salah satu periset yang

    mendokumentasikan terjadinya peningkatan konsentrasi perusahaan online di di

    Amerika Serikat.

    Sejauh ini, pengaruh perubahan struktur pasar pada harga masih ambigu

    meskipun bukti menunjukkan terjadinya tekanan disinflasionari. Secara teoretis

    konsentrasi pasar dan kekuatan pasar yang lebih besar akan menghasilkan harga

    yang lebih tinggi. Namun, dalam praktiknya, tekanan harga secara keseluruhan

    menurun karena melalui teknologi digital perusahaan superstar dapat memotong

    biaya sangat signifikan. Perusahaan penguasa pasar yang lebih dominan tidak lagi

    dapat menerjemahkan dominasi pasar tersebut menjadi peningkatan harga karena

    pendatang baru dapat dengan cepat meniru model bisnis dan produk untuk

    mengambil pelanggan.

    Saluran Transmisi 2.2: E-Commerce

    Pertumbuhan pesat e-commerce menjadi saluran tempat digitalisasi dapat

    meningkatkan persaingan dan mempengaruhi inflasi. Teknologi baru berhasil

    mengubah cara konsumen mencari dan membandingkan harga produk dan

    konsumen mendapatkan manfaat dari transparansi harga dan komparabilitas yang

    mudah. Efek transparansi dan komparabilitas harga itu sangat nyata terjadi di

    pasar online. Dua efek ekonomi digital dalam hal ini adalah sebagai berikut.

    1) Pertama, jika banyak konsumen mengalihkan pembelian mereka ke sumber

    online yang lebih murah, hal itu akan berdampak pada inflasi yang mungkin

    tidak ditangkap oleh statistik resmi. Efek tersebut sering disebut sebagai bias

  • 26

    outlet (bias perbedaan harga online dan offline). Dalam laporan terbaru, Hatzius

    et al. (2017b) berpendapat bahwa, untuk Amerika Serikat, bias tersebut

    mungkin kecil, bahkan lebih kecil daripada saat munculnya Walmart. Secara

    teknis dalam analisis mereka diperoleh simpulan bahwa,bias outlet yang disebut

    efek Amazon lebih kecil daripada efek Walmart pada akhir 1990-an dan awal

    2000-an (Amazon.com merupakan web penjualan online terbesar dunia).

    2) Kedua, munculnya penjual online dengan harga lebih rendah seperti Amazon

    dan semakin mudahnya perbandingan harga secara online dapat memaksa

    pengecer (tradisional) untuk menurunkan harga mereka, bahkan jika e-

    commerce hanya merupakan bagian kecil dari penjualan ritel, itu mungkin

    memiliki efek spillover yang penting pada harga dan inflasi pada tingkat

    pengecer. Namun, seiring dengan peningkatan pangsa ritel online, perbedaan

    antara harga online dan offline akan berdampak pada inflasi.

    Dalam konteks ini, pemahaman terhadap perbedaan harga di pasar online

    menjadi penting. Perbedaan antara harga online dan offline memberi indikasi

    besarnya bias outlet. Apabila kedua harga itu sama, harga yang tertulis dalam CPI

    bisa dinyatakan akurat. Efek kedua sering kali disebut sebagai efek Amazon, yaitu

    penjual luring berusaha menyamakan harga dengan harga di Amazon.

    Cavallo dan Rigobon (2017) menabulasi harga online harian di sepuluh negara

    maju, antara lain, Amerika Serikat dan Kanada. Secara keseluruhan, ia menemukan

    bahwa harga online sangat mirip dengan harga offline. Di Kanada, sebagai contoh,

    harga identik 91 persen selama kurun waktu sampel, bahkan jauh lebih besar dari

    rata-rata 10 negara, harga identik selama 72 persen sampel waktu. Ketika terjadi

    perbedaan harga, perbedaannya cenderung kecil dengan harga online rata-rata

    turun 4 persen. Kekurangan dalam riset itu yang harus diperbaiki adalah mereka

    hanya menggunakan situs penjualan banyak barang (multi-channel retailers) sebagai

    pembanding dengan asumsi bahwa mereka sudah memiliki pangsa besar.

    Penelitian Gorodnichenko, Sheremirov, dan Talavera (2016) menggunakan

    harga yang disediakan oleh platform belanja (situs perbandingan harga) yang

    mencakup lebih banyak barang dan pengecer daripada Cavallo (2017). Hasil mereka

    sebagian besar mirip dengan Cavallo. Mereka menemukan bahwa harga online

    mencerminkan harga offline dalam banyak hal; Namun, perubahan harga lebih

    besar terjadi secara online daripada offline.

  • 27

    Gorodnichenko dan Talavera (2017) juga menggunakan data dari situs

    perbandingan harga untuk melihat harga online di Amerika Serikat dan Kanada

    yang secara khusus meneliti pengaruh pass-through nilai tukar. Mereka juga

    menemukan bahwa secara keseluruhan perilaku harga online mirip dengan harga

    offline meskipun mereka lebih sering berubah dengan deviasi yang kecil. Dalam hal

    pass-through nilai tukar, mereka menemukan bahwa pengaruh tersebut tidak

    terbentuk secara lengkap di pasar online, tetapi jauh lebih besar jika dibandingkan

    dengan pasar offline (60 hingga 75 persen jika dibandingkan dengan 20 hingga 40

    persen yang ditemukan dalam literatur). Kecepatan penyesuaian harga online juga

    jauh lebih cepat daripada harga offline.

    Secara keseluruhan literatur yang mendokumentasikan perilaku harga online

    menemukan bahwa meskipun ada persaingan yang lebih tinggi, biaya pencarian

    konsumen yang lebih rendah, serta biaya yang lebih rendah untuk perusahaan

    perubahan harga dan pembelian antarnegara yang lebih mudah, harga online

    menunjukkan perilaku yang sticky dan sangat mirip dengan offline. Tentu saja hal

    tersebut harus dikombinasikan dengan pangsa e-commerce. Apabila penjualan

    online masih relatif kecil, dampaknya tentu tidak akan besar.

    Secara umum ada banyak upaya untuk mengukur secara langsung pengaruh

    teknologi digital dan e-commerce terhadap inflasi. Sebagai contoh, Bank Sentral

    Eropa mengikuti metodologi Yi dan Choi (2005) dengan menggunakan panel negara-

    negara UE dan menemukan bahwa variabel teknologi internet mereka (didefinisikan

    sebagai perubahan persentase poin pada individu yang mencari penawaran barang

    atau layanan secara online) memiliki efek yang negatif kecil, tetapi signifikan secara

    statistik terhadap inflasi (rata-rata 0,1 poin persentase per tahun).

    Saluran Transmisi 2.2: Digitalisasi, Produktivitas, dan Inflasi

    Digitalisasi juga dapat mempengaruhi inflasi dengan menurunkan biaya

    operasional perusahaan karena keuntungan efisiensi, otomatisasi, dan model bisnis

    baru. Sveriges Riksbank (2015) melaporkan bahwa teknologi digital meningkatkan

    produktivitas dengan menghemat tenaga tenaga kerja. Hasil akhir, bagaimana

    inflasi dipengaruhi akan sangat tergantung pada efek mana yang mendominasi.

    2.5. Inovasi Digital dan Income Inequality

    Aspek berikutnya dari ekonomi digital yang harus dibahas adalah dampaknya

    terhadap ketimpangan ekonomi (economic inequality), termasuk di dalamnya

    ketimpangan pendapatan bagi pekerja. Semakin eratnya komunikasi digital dengan

  • 28

    kehidupan masyarakat, timbul narasi di masyarakat bahwa konektivitas digital

    sudah tersedia di semua wilayah. Tanpa sadar, pemerintah juga seakan mendesak

    warga untuk berinteraksi dengan negara secara online. Namun, perlu disadari

    bahwa belum semua warga negara terhubung secara digital, termasuk di negara

    maju. Office for National Statistics (2014), lembaga statistik Inggris mengadakan

    survei dan mendapati bahwa sebanyak 16% rumah tangga atau kurang lebih sekitar

    4 juta orang, tidak terhubung secara online. Bagi negara maju di Eropa dan Amerika

    Utara, ketidakikutsertaan mereka dengan dunia digital tentu merupakan pilihan.

    Beberapa peneliti seperti Chen dan Wellman (2005), Fuentes-Bautista dan

    Inagaki (2012), dan Warren (2007) mendapati beberapa penghambat koneksi digital

    tersebut antara lain karena adanya persyaratan keterampilan dasar terkait literasi

    digital dan ketidakmampuan membeli perangkat digital atau paket data Internet.

    Mereka juga mendapati hubungan yang erat antara mereka yang terasing secara

    keuangan (financial exclusion) dan mereka yang terasing secara sosial (social

    exclusion). Namun, juga terdapat hambatan terkait geografi yang menyulitkan

    pembangunan infrastruktur telekomunikasi digital.

    Tema kesenjangan pendapatan terkait inovasi digital termasuk dalam

    kategori besar mengenai kesenjangan digital. Di dalamnya juga terkait narasi

    akademis mengenai keterasingan digital (digital exclusion) dan kesenjangan digital

    (digital divide) yang mulai banyak diperbincangkan sejak awal tahun 2000-an.

    OECD (2001) memberi definisi kerja terhadap kesenjangan digitaladalah

    ’kesenjangan peluang untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi (ICT)

    antarindividu, rumah tangga, pelaku usaha, dan wilayah geografis berdasarkan

    tingkat sosial ekonomi yang berbeda’. Sementara itu, DiMaggio et al. (2010)

    mendefinisikan kesenjangan digital sebagai ’ketidaksetaraan dalam akses ke

    internet, tingkat penggunaan, pengetahuan tentang strategi pencarian informasi,

    kualitas koneksi teknis, dan kemampuan untuk mengevaluasi kualitas informasi’.

    Lebih dari itu, definisi-definisi tersebut menyinggung dua aspek penyebab

    kesenjangan digital yang saling terkait: (i) perbedaan digital karena faktor sosio-

    ekonomi dan (ii) perbedaan digital akibat ketidaksamaan dalam infrastruktur

    teknologi yang diperlukan untuk mendukung konektivitas digital.

    Faktor pertama adalah kesenjangan digital yang disebabkan keadaan sosial-

    ekonomi. Beberapa penelitian yang menganalisis hubungan faktor sosial ekonomi

    dan kesenjangan digital bisa mendokumentasi dampak internet selama tiga dekade

    terakhir. Blank dan Groselj (2015) dalam studi mereka menganalisis yang mereka

  • 29

    sebut sebagai "kesenjangan digital tingkat pertama". Fokus studi mereka adalah

    dinamika antarwaktu penduduk yang sudah memiliki akses internet (online) dan

    tidak (offline). Kemudian analisis diskriminasi diterapkan pada dua kelompok

    tersebut dalam hal tingkat pendidikan, keterampilan mereka dalam teknologi dasar,

    pendapat mereka terhadap teknologi (terutama apakah mereka menganggap

    teknologi digital berguna dan menarik atau tidak bagi mereka), keadaan keuangan,

    usia, dan berbagai modal sosial. Faktor-faktor tersebut menjadi pembeda

    keterlibatan mereka dengan teknologi.

    Penelitian kemudian juga bergeser dari penggunaan internet dengan

    menggunakan koneksi internet melalui jaringan tetap, menjadi komputer umum di

    warnet dan perpustakaan, menjadi generasi internet murah tempat koneksi bisa

    dilakukan dengan banyak cara dan dari banyak lokasi. Perkembangan seperti

    koneksi Wi-Fi, jaringan seluler seluler 3G dan 4G, serta proliferasi dan kepemilikan

    berbagai perangkat seperti laptop, tablet, ponsel pintar, dan perangkat lain yang

    mendukung internet yang memfasilitasi konektivitas internet saat bergerak (mobile)

    menghadirkan wacana yang lebih rumit mengenai bagaimana teknologi digital

    mempengaruhi ketimpangan pendapatan.

    Dampak digitalisasi terhadap distribusi ekonomi dan ketimpangan ekonomi

    juga bisa diukur melalui perubahan distribusi pendapatan. Pergeseran pendapatan

    karena digital tersebut bisa terjadi di dalam negara yang sama. Kemungkinan kedua

    adalah digitalisasi menggeser pekerjaan ke negara berpenghasilan rendah. Beberapa

    penelitian fokus pada kemungkinan terjadinya perubahan distribusi pendapatan

    karena fenomena perusahaan bintang (superstar). Perusahaan bintang terjadi ketika

    satu atau dua perusahaan mendapat pangsa besar karena keunggulan teknologi

    mereka. Efek itu diteliti oleh Rosen (1981) yang mendapati bahwa perusahaan

    bintang menyebabkan ketimpangan pendapatan.

    Digitalisasi pasar tenaga kerja kontrak merupakan salah satu area tempat

    digitalisasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan seluruh pekerja. Dengan

    teknologi perusahaan dapat mengidentifikasi calon pegawai dan memberikan

    kontrak hanya kepada calon pekerja terbaik yang umumnya lebih memiliki

    ketrampilan teknologi digital lebih tinggi. Dengan demikian distribusi tagihan gaji

    akan bergeser ke salah satu sisi.

    Anderson (2006) mengemukakan dampak yang kemudian disebut sebagai

    long tail effect yaitu digitalisasi mengurangi ketimpangan pendapatan karena

    kemudahan perusahaan untuk mendapatkan informasi secara efisien dan

  • 30

    digitalisasi meningkatkan peluang pegawai yang lebih piawai memanfaatkan

    teknologi.

    Teknologi digital juga mampu mengubah organisasi perusahaan secara

    keseluruhan karena perusahaan yang berbasis digital mampu memberikan

    fleksibilitas waktu kerja. Penelitian dari Bank Indonesia, Paundralingga (2018),

    memberikan indikasi awal bahwa dengan adanya implementasi aplikasi jasa

    transportasi online, seperti Go-Jek, Grab, dan Uber di Indonesia, menjadikan para

    pekerja di sektor formal dapat beralih profesi karena faktor waktu kerja yang lebih

    fleksibel selain pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, digitalisasi

    berimplikasi pada keseluruhan struktur organisasi kerja yang berujung pada

    kesejahteraan masyarakat.

    Dua efek teknologi digital dalam ekonomi tersebut, yaitu superstar effect dan

    long tail effect diteliti oleh banyak peneliti. Tucker dan Zhang (2007) sebagai contoh

    melaporkan hasil riset superstar effect dengan menggunakan situs pernikahan,

    konsumen hanya terpusat ke situs vendor pernikahan tertentu yang lebih populer.

    Elberse dan Oberholzer-Gee (2008) juga menemukan hasil serupa dengan studi

    kasus penyewaan video online. Studi Zentner, Smith, dan Kaya (2013) meneliti

    perbedaan usaha persewaan video online dan offline dan mendapati bahwa efek

    superstar itu lebih kuat terjadi di pasar fisik. Hal yang serupa didapatkan oleh Peltier

    dan Moreau (2012) dengan studi kasus penjualan buku online di Prancis.

    Brynjolfsson, Hu, dan Simester (2011) menemukan bahwa penjualan online untuk

    pakaian wanita kurang terkonsentrasi jika dibandingkan dengan penjualan katalog.

    Riset-riset tersebut berpendapat bahwa biaya pencarian online yang relatif lebih

    rendah mengakibatkan konsumen bisa lebih mudah membuat perbandingan. Oleh

    karena itu, dalam kasus-kasus tersebut tidak dihasilkan perusahaan superstar.

    Ujung dari penelitian ini adalah tentu saja ketimpangan upah pegawai antara

    perusahaan dan teknologi dengan perusahaan tradisional.

    Efek teknologi digital dalam distribusi pendapatan tersebut juga bisa terjadi

    secara bersamaankarena sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari pasar dan

    produk yang diperdagangkan. Bar-Isaac, Caruana, dan Cuñat (2012) mengambil

    simpulan bahwa pasar yang terdiferensiasi secara vertikal (dibedakan berdasarkan

    kualitas) akan mendorong timbulnya efek superstar, sedangkan pasar yang

    terdiferensiasi secara horizontal (dibedakan berdasarkan banyaknya variasi produk)

    memicu efek long tail.

  • 31

    Dalam konteks ekonomi internasional, efek superstar juga akan

    menghasilkan peningkatan ketimpangan pendapatan karena pengusaha cenderung

    mengarah pada kontraktor dengan kualitas tertinggi berdasarkan pencarian global

    daripada pencarian lokal yang terbatas. Dengan demikian, pendapatan akan

    bergeser dari kontraktor yang memberikan kualitas terbaik secara lokal kepada

    mereka yang memberikan kualitas terbaik secara global. Selanjutnya, meningkatnya

    permintaan juga akan menyeret dan meningkatkan upah pekerja berkualitas tinggi,

    terutama dalam kasus upah lokal dan global berbeda sangat jauh. Efek superstar

    akan semakin diperparah dengan adanya informasi yang asimetris dan fitur pasar.

    Perusahaan lokal yang terdiferensiasi secara horizontal, misalnya karena

    bergerak dalam bidang yang kurang umum, akan memiliki upah offline yang lebih

    rendah. Rendahnya upah tersebut terjadi karena permintaan lokal terhadap

    pekerjaan dengan keahlian khusus t masih sangat terbatas. Di tengah ekonomi

    digital yang tidak memiliki batas antarnegara, perusahaan semacam itu akan

    mendapat manfaat karena mendapat permintaan secara global yang jauh lebih

    besar. Dengan kata lain, digitalisasi dapat menggeser distribusi pendapatan dengan

    cara yang menguntungkan perusahaan/pegawai dengan keterampilan yang

    terdiferensiasi secara vertikal (yaitu dibedakan karena kualitas yang lebih tinggi),

    terdiferensiasi secara horizontal (yaitu karena jumlah yang sedikit), atau bahkan

    karena memiliki struktur biaya yang lebih murah.

    Dampak total dari dua efek ekonomi digital tersebut akan berbeda, baik pada

    tingkat negara maupun pada tingkat individu. Pada tingkat negara efek langsung

    dari digitalisasi adalah untuk mengurangi ketidaksetaraan pendapatan karena

    pekerjaan bergeser dari negara-negara berpenghasilan tinggi ke negara

    berpenghasilan rendah seiring dengan perluasan pencarian pekerja dengan tingkat

    upah yang lebih rendah di negara-negara berpenghasilan rendah. Namun,

    peningkatan produktivitas perusahaan di negara-negara berpenghasilan tinggi

    karena teknologi juga akan meningkatkan gaji pekerja di sana yang selanjutnya

    akan mengimbangi efek offshoring.

    Pada tingkat individu, digitalisasi akan menguntungkan pekerja yang lebih

    terampil menggunakan teknologi jika dibandingkan dengan mereka yang kurang

    terampil. Beberapa operator berbasis teknologi juga memiliki keunggulan dalam hal

    biaya marginal yang lebih rendah. Kemudahan pencarian pekerja itu akan secara

    parsial mengimbangi peningkatan persaingan antarindividu yang kemudian juga

    berujung pada perbaikan distribusi dan ketimpangan pendapatan.

  • 32

    Asimetri informasi juga dapat mempengaruhi distribusi pendapatan. Oleh

    karena itu, kemudahan teknologi dapat menurunkan beberapa hambatan karena

    memudahkan masyarakat mendapatkan informasi mengenai perusahaan ataupun

    produk. Riset yang dilakukan Pallais (2012) dan Agrawal, Lacetera, dan Lyons (2013)

    memberi bukti bahwa teknologi digital meningkatkan daya saing perusahaan-

    perusahaan kecil dan baru melalui platform teknologi. Distribusi pendapatan yang

    terlalu landai dan tidak berpihak pada perusahaan kecil menjadi berubah.

    Perusahaan rintisan yang masih kecil tetapi memberi inovasi teknologi online dan

    memberikan impresi positif kepada masyarakat adalah perusahaan yang mendapat

    keuntungan dengan ekonomi digital ini, setidaknya dalam jangka pendek. Di sisi

    lain, pasar digital juga menjadi platform uji coba berbiaya rendah untuk produk baru

    atau perusahaan rintisan, yang kemudian dapat lebih mudah mempublikasikan

    kualitas mereka dan diuji oleh masyarakat. Agrawal, Lacetera, dan Lyons (2013)

    secara khusus mendokumentasi beberapa perusahaan rintisan teknologi yang dapat

    memenangkan pasar secara efektif melalui ekonomi digital.

    2.6. Inovasi Digital dan Kinerja Fiskal

    Di tengah perkembangan inovasi digital dan ekonomi digital yang semakin

    pesat, salah satu sektor yang ikut terpengaruh adalah sektor fiskal. Salah satu

    karakteristik utama dari ekonomi digital adalah berkurangnya kebutuhan atas

    kehadiran fisik di dalam pasar tempat produsen beroperasi. Sementara itu,

    kehadiran fisik merupakan prasyarat dalam menerapkan perpajakan di negara

    asing. Hal itu menyebabkan tekanan signifikan pada bagaimana penerapan pajak

    terhadap perusahaan multinasional yang beroperasi di banyak pasar. Hal tersebut

    juga menjadi tantangan bagi otoritas pajak untuk dapat menciptakan solusi inovatif

    untuk dapat menetapkan pajak di tengah meningkatnya jumlah transaksi digital.

    Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2018) dalam pertemuan antara

    para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Buenos Aires, Argentina,

    menyebutkan bahwa dunia membutuhkan model perpajakan baru yang lebih sesuai

    dengan perkembangan ekonomi digital saat ini. Hal itu disebabkan model

    perpajakan tradisional yang didasarkan pada keberadaan fisik suatu perusahaan

    (physical presence) dinilai sudah tidak relevan. Model perpajakan yang lebih tepat

    digunakan saat ini adalah model pendekatan kegiatan ekonomi (significant economic

    presence).

  • 33

    OECD (2015) meluncurkan laporan mengenai tantangan yang dihadapi oleh

    perpajakan dari ekonomi digital. Di dalam laporannya, OECD mendefinisikan

    ekonomi digital sebagai hasil dari proses transformatif yang dibawa oleh information

    and communication technology (ICT) yang dapat membuat teknologi menjadi lebih

    murah, lebih kuat, dan terstandardisasi secara luas; meningkatkan proses bisnis;

    dan memperkuat inovasi di seluruh sektor perekonomian.

    Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital tersebut mampu menekan

    perekonomian dunia dari sektor retail, transportasi online, edukasi, kesehatan,

    interaksi sosial, hingga hubungan antarindividu (sosial media). United Nations

    (2017) dalam Handbook on Protecting the Tax Base of Developing Countries

    menjelaskan bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah

    meningkatkan permasalahan yang berkaitan dengan penggerusan basis pajak dan

    pengalihan laba.

    Juswanto dan Simms (2017) memaparkan bahwa secara internasional, dan

    khususnya untuk negara berkembang, meningkat pesatnya inovasi digital yang

    menyatu dengan ekonomi seharusnya dapat membawa keuntungan. Namun,

    pembuat kebijakan harus dapat memastikan bahwa keuntungan yang tercipta dari

    ekonomi digital tersebut dapat dinikmati semerata mungkin. Berkembangnya

    ekonomi digital membawa tantangan untuk sistem perpajakan internasional dan

    juga domestik. Karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara dalam

    membiayai berbagai sektor publik dan proyek-proyek, otoritas pajak harus belajar

    untuk menyesuaikan kapabilitasnya dengan perubahan cepat dalam aktivitas

    ekonomi digital.

    Katz (2015) menjelaskan bahwa terdapat dua trend saling berlawanan yang

    dapat diidentifikasi dalam kebijakan digital taxation. Yang pertama bertujuan untuk

    memaksimalkan pengumpulan pajak berdasarkan meningkatnya aliran digital

    secara eksponensial. Yang kedua bermaksud menurunkan pajak untuk memberi

    keuntungan bagi konsumen dan dunia usaha sehingga pada akhirnya

    meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut trend pertama, pemerintah

    menyadari bahwa digitalisasi sangat penting dalam meningkatkan penerimaan

    pajak sehingga pemerintah menetapkan lebih banyak mekanisme untuk

    memaksimalkan pengumpulan pajak dalam aktivitas ekonomi digital. Di sisi lain,

    pada trend kedua, beberapa negara mempertimbangkan bahwa menurunkan pajak

    pada sektor digital akan mendorong spillover perekonomian yang memberi manfaat

  • 34

    lebih besar daripada pajak yang hilang. Efek yang tercipta dalam penetapan pajak

    terhadap broadband tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6.

    Gambar 2.6. Dampak Pengenaan Pajak terhadap Jaringan Internet

    Sumber: Katz, R. and Berry, T. (2014) Driving Demand of Broadband Networks and Services. London: Springer

    Olbert dan Spengel (2017) mengungkapkan bahwa fenomena digitalisasi

    dianggap sebagai perkembangan paling penting dari ekonomi sejak revolusi industri

    dan merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan dan inovasi. Pada saat

    yang sama ekonomi digital dikaitkan dengan tantangan utama untuk sistem pajak

    internasional. Undang-undang perpajakan tradisional mengatur cara-cara baru

    dalam melakukan bisnis, tetapi undang-undang pajak internasional saat ini dan

    prinsip-prinsip dasarnya mungkin tidak sejalan dengan perubahan dalam praktik

    bisnis global. Sehubungan dengan model bisnis digital, tantangan pajak utama

    dalam ekonomi digital berasal dari (i) menurunnya relevansi kehadiran fisik di pasar

    pelanggan, (ii) semakin penting dan semakin tingginya mobilitas barang intangible,

    serta (iii) tingginya tingkat integrasi rantai nilai. Meskipun perkembangan tersebut

    tidak sepenuhnya baru, hal itu telah memicu diskusi politik dan akademis tentang

    bagaimana perpajakan internasional dapat direformasi untuk memberikan sistem

    yang masuk akal dan stabil untuk membebani laba perusahaan multinasional di

    abad ke-21.

  • 35

    Sebagaimana diketahui bahwa terdapat perhatian khusus di dunia mengenai

    perencanaan pajak oleh perusahaan multinasional yang menggunakan celah dalam

    sistem pajak yang berbeda antarnegara untuk mengurangi pendapatan kena pajak

    atau menggeser laba ke wilayah dengan pajak yang rendah meskipun sedikit atau

    tidak ada kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Sebagai respons dari perkembangan

    ekonomi digital dan kaitannya dengan kebijakan fiskal, OECD telah meluncurkan

    proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) pada tahun 2015. Laporan OECD

    BEPS Action 1 secara substansial dimaksudkan untuk menangani masalah

    perpajakan yang timbul dari ekonomi digital dengan garis besar isu dibagi menjadi

    dua bagian, yaitu direct tax (pajak penghasilan) dan indirect tax (pajak pertambahan

    nilai). Isu yang dibahas antara lain adalah adanya upaya perusahaan multinasional

    untuk memiliki kehadiran digital (digital presence) yang signifikan dalam

    perekonomian suatu negara tanpa harus dikenakan pajak, adanya atribusi nilai

    (baik laba maupun biaya) yang dibuat dari adanya data lokasi pemasaran yang

    relevan melalui penggunaan produk dan jasa digital, karakterisasi dari pendapatan

    yang berasal dari adanya model bisnis baru dan aplikasi dari asas sumber, serta

    cara untuk memastikan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) yang efektif

    sehubungan dengan transaksi cross-border atas barang dan jasa digital.

    Skema BEPS yang dilakukan oleh perusahaan multinasional saat ini dalam

    konteks direct taxation menurut OECD BEPS Action 1 terdiri atas empat elemen,

    yaitu sebagai berikut.

    1. Peminimalan pajak di negara pasar dengan menghindari taxable presence. Hal

    itu dilakukan dengan menggeser gross profit (profit shifting) ataupun

    mengurangi laba bersih dengan memaksimalkan pengurangan laba pada

    tingkat pemberi penghasilan.

    2. Pengenaan withholding tax yang rendah atau tidak sama sekali di negara

    sumber.

    3. Pengenaan pajak yang rendah atau tidak sama sekali pada tingkat penerima

    penghasilan melalui klaim pada pendapatan non-rutin substansial yang sering

    kali dibentuk melalui skema intragrup.

    4. Ketidakadaan pemajakan kini (current taxation) dari keuntungan perusahaan

    atas tarif pajak yang rendah pada tingkat ultimate company.

    Sementara itu, dari sisi indirect tax ekonomi digital memberikan tantangan

    dalam pemungutan PPN dengan impor barang, pemanfaatan jasa, dan barang

  • 36

    intangibles yang diperoleh konsumen akhir dari supplier luar negeri. Sejati (2018)

    memaparkan bahwa PPN di Indonesia menganut prinsip tempat tujuan (destination

    principlesehingga pesatnya ekonomi digital makin memperbesar hilangnya potensi

    penerimaan negara karena penggunaan teknologi dalam setiap penyerahan ataupun

    pemanfaatan barang/jasa, khususnya pada transaksi cross-border. Pemungutan