IMPLIKASI MAKROEKONOMI DARI INOVASI DIGITAL ......diambil alih oleh otomatisasi. Sektor tenaga kerja...
Transcript of IMPLIKASI MAKROEKONOMI DARI INOVASI DIGITAL ......diambil alih oleh otomatisasi. Sektor tenaga kerja...
-
1
OP/1/2018 OCCASIONAL PAPER
IMPLIKASI MAKROEKONOMI DARI INOVASI
DIGITAL: STUDI LITERATUR
Berry A. Harahap, Angsoka Y. Paundralingga,
Anggita Cinditya M. Kusuma
2018
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan
kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
-
0
Implikasi Makroekonomi Dari Inovasi Digital: Studi Literatur
Berry A. Harahap , Angsoka Y. Paundralingga,
Anggita Cinditya M. Kusuma1
Abstrak
Penelitian ini menganalisis implikasi makroekonomi dari inovasi digital, khususnya terkait ekonomi digital, melalui pendekatan studi
literatur. Ruang lingkup makroekonomi yang dibahas dalam penelitian ini adalah ketenagakerjaan, produktivitas, pertumbuhan ekonomi, perilaku penetapan harga dan inflasi, kesenjangan pendapatan dan kekayaan, kinerja
fiskal, serta keseimbangan eksternal yang meliputi cross-border trade dan investasi.
Sejumlah studi literatur menunjukkan bahwa ekonomi digital berpotensi menambah jumlah lapangan kerja, meningkatkan produktivitas melalui berbagai efisiensi yang tercipta, memberikan dampak secara
langsung ataupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, membawa efek disinflasi, mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan, mendorong kebutuhan terhadap model perpajakan baru, serta
meningkatkan perdagangan dan investasi cross border. Meskipun demikian, dampak inovasi digital dan ekonomi digital terhadap makroekonomi belum
dapat secara mudah diukur melalui pendekatan empiris karena keterbatasan data dan metodologi yang tersedia.
Keywords: digital innovation, digital economy, labor, productivity, economic growth, inflation, income inequality, fiscal, external balance
JEL classification: O33, J24
1 Peneliti Ekonomi Senior dan Peneliti Ekonomi di Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak
merefleksikan pandangan DKEM atau Bank Indonesia. E-mail: [email protected], [email protected] dan [email protected]
mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]
-
1
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Inovasi digital terutama di bidang ekonomi, atau sering kali disebut sebagai
ekonomi digital, semakin berkembang dan merambah ke berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Sebagaimana disampaikan OECD (2015), perekonomian digital telah
mempengaruhi beragam sektor seperti perbankan, ritel, energi, transportasi,
pendidikan, penerbitan, dan sektor kesehatan. Teknologi informasi dan komunikasi
juga mengubah jalannya interaksi sosial melalui jaringan fixed, mobile, dan
broadcast yang terkoneksi dengan berbagai perangkat dan membentuk internet of
things (IoT).
Inovasi digital secara umum dan ekonomi digital secara khusus tentu
memiliki dampak terhadap aktivitas perekonomian. Implikasi makroekonomi dari
inovasi digital tersebut meliputi banyak aspek. Sebagai langkah awal dalam
melakukan analisis terhadap perkembangan inovasi digital dan ekonomi digital,
penelitian ini mencoba menggunakan pendekatan studi literatur untuk mengetahui
implikasi makroekonomi dari inovasi digital, khususnya terkait aspek
ketenagakerjaan, produktivitas, pertumbuhan ekonomi, perilaku penetapan harga
dan inflasi, kesenjangan pendapatan dan kekayaan, kinerja fiskal, serta
keseimbangan eksternal meliputi cross-border trade dan investasi
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis implikasi makroekonomi dari
inovasi digital, terutama pada aspek ketenagakerjaan, produktivitas, pertumbuhan
ekonomi, perilaku penetapan harga dan inflasi, kesenjangan pendapatan dan
kekayaan, kinerja fiskal serta keseimbangan eksternal yaitu cross-border trade dan
investasi melalui pendekatan studi literatur.
1.3. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama merupakan
pendahuluan penelitian yang berisi latar belakang serta tujuan penelitian. Bagian
kedua merupakan kumpulan studi literatur dan penelitian terdahulu, kemudian
bagian ketiga berisi simpulan yang diperoleh dari studi literatur tersebut.
-
2
2. Studi Literatur
Inovasi digital, terutama di bidang ekonomi, dimulai dengan pertumbuhan
cepat internet pada pertengahan tahun 1990-an. Menurut Barefoot et al. (2018),
lanskap digital meningkatkan dan mengubah cara bisnis beroperasi dan bagaimana
konsumen terlibat dalam transaksi bisnis antara yang satu dan yang lain..
Komputer tersedia di mana-mana dan ekonomi sangat tergantung pada teknologi
digital dan internet yang tidak pernah diantisipasi pada beberapa tahun
sebelumnya. Teknologi terus mengubah cara orang bekerja, berkomunikasi,
membeli barang dan jasa, serta menjalankan tugas sehari-hari. Dengan melihat
besarnya perkembangan inovasi digital dan ekonomi digital dalam mempengaruhi
aktivitas perekonomian, analisis terhadap implikasi makroekonomi dari inovasi
digital tersebut menjadi penting untuk dilakukan. Penelitian ini akan membahas
implikasi makroekonomi dari inovasi digital, terutama pada aspek ketenagakerjaan,
produktivitas, pertumbuhan ekonomi, inflasi, income inequality, fiskal, dan
keseimbangan eksternal melalui pendekatan studi literatur.
2.1. Inovasi Digital dan Ketenagakerjaan
Pemanfaatan ekonomi digital telah membuka ruang usaha baru di dunia
digital. Maraknya perkembangan e-commerce di Indonesia telah mengubah cara
hidup masyarakat dalam melakukan konsumsi, bahkan mulai mengancam retailer
besar. Di sektor jasa terdapat beberapa penyedia aplikasi jasa transportasi yang
berkembang dengan pesat. Peluang itu perlu ditangkap oleh pelaku usaha, mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) seiring dengan jumlah pengguna internet di Indonesia
yang semakin bertambah. Hal itu tentu akan mempengaruhi kesempatan kerja dan
perubahan hubungan kerja seperti yang telah disampaikan oleh ILO (2016) bahwa
56% tenaga kerja di ASEAN-5 berada dalam risiko akibat teknologi dalam dua
dekade ke depan. Sejumlah 1,7 juta pekerja di Indonesia memiliki potensi risiko
yang besar. Meskipun terdapat sejumlah pekerjaan yang berpotensi menghilang,
ekonomi digital juga berpotensi untuk menambah jumlah lapangan kerja. Nomura
(2015) menyampaikan dalam presentasinya pada tahun 2015 mengenai Go-Jek
Indonesia yang mampu membuka lapangan kerjabaru—menjadi pengemudi—bagi
lebih dari 300,000 individu. Penelitian McKinsey pada digitalisasi di Cina juga
menunjukkan bahwa dampak adanya penggunaan internet pada 4800 UMKM
(small-medium enterprises) menciptakan 2,6 pekerjaan untuk setiap pekerjaan yang
hilang. Selain itu, potensi adanya kehilangan pekerjaan tersebut diprediksi akan
-
3
menyebabkan adanya labor shifting yang berasal dari formal sektor menjadi informal
sektor.
Dalam hal labor shifting terkait dengan ekonomi digital di Indonesia, banyak
pengamat memprediksi bahwa akan terjadi labor shifting dengan cara yang berbeda
dengan pada tahun 1998. Permata, Yanfitri, dan Prasmuko (2010) melaporkan
bahwa pada tahun 1998, shifting terjadi untuk menghindari unemployment dan
beralih kepada sektor dengan produktivitas yang rendah. Sebaliknya, Frey &
Osborne (2013) berpendapat bahwa revolusi digital menghilangkan pekerjaan-
pekerjaan rutin dan pekerjaan yang dilakukan pekerja berpendidikan rendah.
Hilangnya pekerjaan tersebut akan mendorong labor shifting menuju pekerjaan yang
membutuhkan kreativitas dan intelegensi sosial yang tinggi sehingga sangat sulit
diambil alih oleh otomatisasi. Sektor tenaga kerja Indonesia akan dipengaruhi
digitalisasi dalam hal komposisi tenaga kerja di sektor formal dan sektor informal.
Beberapa masalah yang perlu diperhatikan adalah kecenderungan turunnya tenaga
kerja di sektor formal yang diikuti dengan kenaikan upah. Sementara itu, di tengah
kecenderungan kenaikan upah tersebut produktivitas tidak naik, bahkan turun.
Gambar 2.1. Pekerjaan yang Terdampak oleh Perkembangan Teknologi
Sumber: ILO (2016). ASEAN in Transformation – The Future Jobs
Di Indonesia penelitian pertama mengenai dampak teknologi digital,
khususnya jasa transportasi daring melalui aplikasi Go-Jek dilakukan oleh Wisana
et al. (2017) merupakan penelitian resmi antara Go-Jek dan Lembaga Demografi UI.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengukur dampak Go-Jek terhadap
perekonomian Indonesia dan bersifat survei yang melibatkan lebih dari 7.500
responden dengan komposisi 3.315 pengemudi roda dua, 3.465 konsumen, dan 806
mitra UMKM. Pertanyaan survei ditujukan untuk menjawab kualitas pelayanan,
peningkatan pendapatan sebelum dan sesudah bergabung dengan Go-Jek, dan
berbagai variabel lain. Penelitian itu menghasilkan simpulan bahwa Go-Jek motor
mengurangi tekanan pengangguran dengan memperluas kesempatan kerja. Namun,
-
4
studi tersebut hanya bersifat survei sehingga terbatas pada pendapat responden
terhadap dampak layanan Go-Jek terhadap beberapa variabel ekonomi. Dengan
demikian, belum diketahui apakah dampak Go-Jek itu berlaku secara menyeluruh
terhadap variabel-variabel makro terkait tenaga kerja.
Studi mengenai ekonomi digital merupakan bagian besar dari studi
perubahan struktur ekonomi. Dalam penelitiannya, Swiecki (2017) berusaha
mencari faktor terpenting dalam perubahan struktural secara kuantitatif dengan
menggunakan empat framework, yaitu (1) perkembangan teknologi sektoral (sector-
biased technological progress), (2) perubahan selera konsumen, (3) perdagangan
internasional, dan (4) perubahan upah dan biaya faktor produksi di antara sektor
industri. Dengan menggunakan indeks realokasi tenaga kerja, penelitian tersebut
menemukan bahwa perubahan teknologi merupakan faktor pendorong utama dalam
perubahan struktural. Selain itu, perubahan preferensi juga menjadi komponen
yang vital untuk menghitung realokasi tenaga kerja dari manufaktur ke jasa pada
tahap selanjutnya.
Studi McKinsey Global Institute (2014) menunjukkan bahwa karakteristik
Cina berubah dari consumer menjadi enterprises-driven. Perkembangan internet
memberikan dampak yang relatif positif walaupun terjadi beberapa disrupsi, yaitu
sejumlah jenis pekerjaan menghilang. Namun, Cina juga memanfaatkan internet
untuk ekspansi pasar serta melakukan digitalisasi sejumlah jenis aktivitas. Survei
menunjukkan bahwa 2,6 pekerjaan tercipta untuk setiap pekerjaan yang hilang.
Studi ILO (2016) di ASEAN 5 melaporkan beberapa jenis pekerjaan yang
berisiko hilang karena terdampak otomasi adalah hotel dan restoran, perdagangan
eceran, serta konstruksi dan manufaktur. Sementara itu, industri yang memiliki
risiko rendah adalah pendidikan, kesehatan, dan aktivitas sosial. Secara khusus
studi tersebut memprediksi bahwa lebih kurang 1,7 juta pekerja kantor rendahan
(office clerk) di Indonesia sangat rentan diberhentikan.
Packard dan Montenegro (2017) menggunakan analisis multivariate
correlation untuk meneliti hubungan antara penggunaan teknologi digital pada
bisnis dan kebijakan pasar tenaga kerja. Variabel yang digunakan antara lain adalah
variabel upah minimum, aspek pelindungan tenaga kerja, dan besarnya asuransi
tenaga kerja pada negara OECD dan negara berpenghasilan tinggi lainnya. Mereka
mendapati bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara tingginya upah
minimum dan penggunaan teknologi digital. Tingginya upah minimum akan
mendorong penggunaan teknologi digital dengan korelasi 0.35%.
-
5
Frey dan Osborne (2013) melakukan penelitian mengenai pekerjaan yang
akan hilang dan terbentuk akibat adanya teknologi, dalam hal ini karena
komputerisasi. Penelitian ini menggunakan 702 data jenis pekerjaan di Amerika
yang kemudian 70 di antaranya ditentukan secara manual probabilitas
terkomputerisasi secara subjektif. Metode yang digunakan menggunakan regresi
logit model kuadratik eksponensial, yaitu algoritma komputerisasi 1 dan tidak
terkomputerisasi 0. Hasil menunjukkan bahwa 47% pekerja di Amerika berada
dalam kategori berisiko. Mereka juga mengemukakan bahwa upah dan pendidikan
memiliki hubungan negatif yang kuat dengan probabilitas komputerisasi.
Perubahan struktural juga terkait dengan pertumbuhan produktivitas tenaga
kerja. McMillan & Rodrik (2014), dengan menggunakan data sektoral dan agregat
produktivitas tenaga kerja, pendapatan, dan share tenaga kerja di Afrika, meneliti
hubungan antar-labor gaps pada produktivitas tenaga kerja. Negara-negara di Afrika
dipilih sebagai sampel dengan harapan bisa membandingkan dampaknya terhadap
ekonomi tradisional dan modern. Mereka mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi
ekspor bahan mentah suatu negara akan semakin sedikit perubahan struktural
yang terjadi. Demikian juga negara yang menjadikan mata uangnya undervalued
akan mengalami perubahan struktural lebih cepat daripada negara yang memilih
untuk menganut rezim mata uang fixed. Dalam hal pasar tenaga kerja, negara yang
memiliki pasar yang fleksibel memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami
perubahan struktural.
Beberapa peneliti seperti Morin (2015) menggunakan kerangka teoretis untuk
meneliti perubahan struktur tenaga kerja seiring dengan perubahan teknologi.
Penelitian tersebut berusaha melihat hubungan teknologi, dalam hal ini komputer,
dengan perilaku pasar tenaga kerja dalam jangka menengah dan pendek. Model
teoretis tersebut memprediksikan bahwa perubahan pasar tenaga kerja akan terjadi
jauh lebih cepat seiring dengan menurunnya harga teknologi sekaligus semakin
memudahkan pekerjaan terhubung dengan teknologi.
Tidak hanya ke pasar tenaga kerja, penggunaan teknologi digital juga
membawa perubahan ke hampir seluruh aspek ekonomi dan membuat satu
klasifikasi usaha baru yang dikenal dengan ekonomi berbagi (sharing economy). Ada
banyak alasan untuk mengelompokkan bisnis tersebut ke dalam kelompok ekonomi
yang baru, salah satunya adalah karena penggunaan teknologi untuk memfasilitasi
pertukaran aset oleh agen ekonomi yang ingin berhubungan. Sama halnya dengan
department store yang merupakan inovasi terhadap cara berbelanja, berbagai
-
6
aplikasi terkait teknologi digital ini juga mengubah waktu, tempat, cara, dan tujuan
konsumsi.
Airbnb, misalnya, memungkinan konsumen untuk langsung menyewa
kamar, apartemen, atau rumah dengan menghubungi pengelola/pemiliknya.
Layanan yang diluncurkan sejak tahun 2008 itu, hanya dalam waktu 7 tahun (2015)
sudah memiliki lebih dari 1 juta daftar kamar yang tersebar di lebih dari 190 negara.
Pada bulan Oktober 2014, valuasi dari perusahaan ini ditakar lebih dari USD13
miliar. Sebagai perbandingan dengan ekonomi konvensional, Intercontinental Hotel
Group, jaringan hotel terbesar di dunia, hanya memiliki 674.000 kamar di lebih dari
100 negara dan memiliki kapitalisasi pasar sekitar USD10 miliar sampai Maret
2015.
Bisnis jasa transportasi Lyft, Sidecar, dan Uber merupakan bisnis penyedia
layanan ride-sharing (berbagi tumpangan) yang paling sukses, tetapi hanya Uberlah
yang menjadi pemilik pangsa terbesar. Uber diluncurkan pada tahun 2009 dan
sampai pertengahan 2014 telah memiliki delapan juta pengguna dan 160.000
pengemudi di 250 kota di 50 negara. Pada Desember 2014 valuasi Uber dinilai sudah
mencapai USD40 miliar.
Aplikasi jasa transportasi digital tersebut sudah dilengkapi dengan perangkat
GPS (global positioning system) yang mampu melacak jarak perjalanan dan
memprediksi biaya total sehingga menjadi unsur transparansi bagi konsumen.
Tidak seperti taksi konvensional yang tidak diketahui biayanya ketika konsumen
masuk mobil pertama kali dan menggunakan jasa mereka. Tidak hanya itu, aplikasi
juga sudah menghubungkan informasi kartu pembayaran dari konsumen sehingga
pengendara dapat masuk dan keluar mobil tanpa perlu memusingkan pembayaran
yang sudah dilakukan secara otomatis. Dengan demikian, baik pengendara maupun
pengemudi tidak berurusan dengan pembayaran. Perusahaan penyedia aplikasi
hanya mengambil sebagian persentase biaya dan sisanya langsung menjadi bagian
pengemudi.
Ketika terjadi kompetisi dengan pelaku ekonomi konvensional, konsumen
akan memiliki opsi baru dan pemain lama akan dipaksa untuk merespons. Hal
tersebut akan semakin jelas seiring dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi.
Zervas et al. (2015) mempelajari pengaruh Airbnb pada industri hotel di Texas dan
menemukan bagaimana layanan Airbnb mendorong penurunan pendapatan dan
harga hotel.
-
7
Salah satu alasan keberhasilan luar biasa itu adalah kemampuan teknologi
untuk mengatasi berbagai penghambat (barrier entrant) terhadap industri baru.
Sebagian besar kota, misalnya, membatasi jumlah taksi yang diizinkan untuk
beroperasi. Akibatnya, mereka bisa menjaga harga lebih tinggi dari yang
seharusnya, bahkan pada saat tertentu taksi tidak cukup untuk melayani
permintaan. Di New York City (NYC) terjadi kekurangan suplai relatif terhadap
permintaan yang menyebabkan izin taksi Medalion (taksi resmi di NYC) dijual
seharga lebih dari USD1 juta pada tahun 2013. Sampai pada tahun 2015, sebagai
akibat masuknya Uber, harga izin taksi Medallion jatuh sekitar 25 persen.
Dalam kaitan dampak industri digital terkait dengan jasa transportasi,
beberapa peneliti awal yang melaporkan hasil analisis mereka adalah Wallsten
(2015). Peneliti tersebut mengamati dua kota metropolis, yaitu New York City dan
Chicago dengan kurang lebih sejuta data dari penumpang taksi dan limousine yang
dibobot dengan variabel popularitas Uber dari Google Trends. Mereka mendapati
efek kompetitif dari kehadiran Uber terhadap peningkatan kualitas pelayanan taksi
yang diukur dengan membaiknya perilaku pengemudi taksi.
Pada tahun 2016 Zickuhr (2016) melakukan penelitian pertama mengenai
dampak jasa transportasi Uber dan Lyft terhadap pasar tenaga kerja dengan kategori
pengemudi taksi, pengemudi mandiri, dan tenaga kerja dengan banyak pekerjaan
(multiple job-holding). Namun, Zickuhr tidak mendapatkan bukti yang kuat bahwa
jasa transportasi luring (online) tersebut mempengaruhi jumlah pengemudi taksi di
daerah metropolitan. Namun, keberadaan layanan jasa transportasi meningkatkan
jumlah pengemudi mandiri. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa keberadaan jasa
transportasi luring menyerap pekerja bukan dari sektor pengemudi taksi. Mereka
juga menyimpulkan bahwa pengaruh jasa transportasi terhadap perubahan
struktural pengaturan kerja yang lebih fleksibel masih belum kuat.
Pengaruh jasa transportasi terhadap pasar tenaga kerja baru terlihat pada
tahun 2017 melalui penelitian Berger et al. (2017). Penelitian tersebut menganalisis
pengaruh Uber terhadap tenaga kerja sopir taksi dengan menggunakan data jumlah
pengemudi Uber di setiap kota di Amerika dan survei tenaga kerja (American
Community Survey) selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2015. Mereka
mendapati bahwa secara rata-rata jumlah pengemudi taksi mandiri di setiap kota
naik sebesar 50% sesudah Uber diperkenalkan. Di kota tempat Uber diperkenalkan,
penghasilan pengemudi taksi juga turun rata-rata 10% jika dibandingkan dengan
pengemudi taksi di kota tempat Uber tidak ada. Total pekerja juga bertambah di
-
8
kota-kota Uber dan pada saat bersamaan terjadi penurunan pendapatan pegawai
yang sudah bekerja yang secara parsial disebabkan terjadinya pergeseran karena
peningkatan pada pendapatan per jam di antara pengemudi mandiri. Perubahan
struktural terjadi dengan terjadinya pergeseran di pasar tenaga kerja menuju
pekerja individual yang lebih mandiri (marked-relative shift towards self-
employment).
Hall dan Krueger (2016) meneliti perubahan kondisi pasar tenaga kerja terkait
dengan ekonomi digital melalui survei terhadap pengemudi Uber dan mendapati
beberapa alasan yang menyebabkan aplikasi digital layanan transportasi lebih
disukai. Alasan yang pertama adalah fleksibilitas untuk memilih waktu kerja yang
ditawarkan oleh Uber. Pengemudi Uber juga memiliki umur dan tingkat pendidikan
yang lebih homogen daripada perusahaan taksi konvensial. Pengemudi taksi
konvensional yang pindah menjadi pengemudi taksi online juga minimal
mendapatkan penghasilan yang sama. Teknologi yang lebih modern berupa aplikasi
memberikan lebih banyak keuntungan dengan harga yang lebih murah untuk
konsumen jika dibandingkan dengan sistem konvensional. Hal tersebut mendorong
peningkatan permintaan atas jasa transportasi yang kemudian meningkatkan
permintaan terhadap pekerja dengan kemampuan tersebut. Secara keseluruhan,
teknologi digital di bidang jasa transportasi ini sangat potensial untuk
meningkatkan penghasilan seluruh pekerja dengan kemampuan dasar tersebut.
Dampak jasa transportasi digital tidak hanya berdampak secara langsung
pada tenaga kerja pengemudi, tetapi juga melalui transmisi kendaraan umum.
Dengan menggunakan model regresi diskontinu (regression discontinuity design),
Sadowsky (2017) mendapati bahwa penggunaan transportasi umum menurun
seiring dengan semakin besarnya penetrasi Uber dan Lyft. Dengan demikian, dua
layanan jasa transportasi digital tersebut menjadi substitusi transportasi umum.
Di luar Amerika, Chang (2017) menganalisis dampak ekonomi Uber terhadap
performa perusahaan taksi di Taiwan sebagai studi kasus. Dengan menggunakan
model difference-in-difference terhadap kurang lebih 29.434 pengemudi taksi,
penelitian ini mendapati bahwa pelayanan Uber berdampak negatif terhadap
pendapatan perusahaan taksi sebesar 12% pada tahun pertama dan 18% pada
tahun ketiga sesudah kehadiran Uber. Penurunan itu berhubungan dengan
pengurangan jarak tempuh pengemudi taksi.
Untuk kasus Indonesia, Go-Jek menjadi pionir pemanfaatan teknologi online
dalam jasa transportasi yang menghubungkan tidak hanya antara masyarakat yang
-
9
membutuhkan dan pengemudi ojek, tetapi juga antara masyarakat dan UMKM. Go-
Jek adalah perusahaan startup pertama Indonesia yang menjadi unicorn. Sampai
bulan Februari 2018, Go-Jek mampu menyerap kurang lebih 1,16 juta pengemudi
aktif dengan 707 ribu (60,7%) di antaranya beroperasi di provinsi DKI Jakarta.
Berdasarkan moda transportasi, 808 ribu (69,5%) di antaranya merupakan
pengemudi Go-Jek motor.
Penelitian Paundralingga (2018) menganalisis dampak yang ditimbulkan Go-
Jek terhadap pasar tenaga kerja Indonesia melalui analisis regresi panel dan cross-
section. Studi itu mengukur dampak Go-Jek di 22 provinsi, mulai dari periode 2015
sampai dengan awal 2018. Studi tersebut mendapati bahwa masuknya Go-Jek
membawa dampak terhadap pasar tenaga kerja. Penambahan pengemudi Go-Jek
berasosiasi dengan penambahan jumlah orang yang bekerja, tetapi hanya mampu
menurunkan pengangguran pada awal implementasi. Dengan kata lain, riset itu
menemukan pengaruh Go-Jek terhadap penambahan jumlah orang yang bekerja,
tetapi tidak diikuti dengan penurunan jumlah pengangguran.
Hasil penelitian tersebut memperkuat riset yang dilakukan oleh Go-Jek dan
Lembaga Demografi UI, Wisana (2017) menyebutkan bahwa tenaga kerja yang
diserap oleh Go-Jek pada awal implementasi didominasi oleh pengangguran dan
tenaga kerja informal, yaitu tukang ojek pangkalan (opang). Selanjutnya, pada
periode selanjutnya, Go-Jek justru lebih banyak menyerap mereka yang sudah
bekerja atau pekerja baru. Faktor fleksibilitas waktu kerja dan lebih tingginya
pendapatan yang diterima merupakan dua faktor utama yang membuat mereka
yang sudah bekerja keluar dan berpindah kerja untuk menjadi pengemudi Go-Jek.
Mitra pengemudi Go-Jek mengalami peningkatan penghasilan kurang lebih 44%
dari penghasilan sebelum bergabung dengan Go-Jek. Rata-rata penghasilan juga
meningkat dari kurang lebih Rp2 juta per bulan menjadi Rp3,31 juta per bulan.
Beberapa layanan yang disediakan oleh Go-Jek seperti Go-Food dan Go-Send juga
ikut menyumbang pada penciptaan lapangan pekerjaan baru seiring dengan
perluasan pasar sektor UMKM. Dengan demikian, Go-Jek juga mengubah struktur
pasar tenaga kerja dengan mendorong pekerja informal masuk menjadi pekerja
formal dengan struktur pendapatan yang tercatat dan terhubung dengan
perbankan. Di sisi lain, ketidakmampuan Go-Jek untuk menyerap pengangguran
disebabkan oleh beberapa hambatan teknis seperti batas usia pengemudi dan
kualifikasi terkait teknologi.
-
10
2.2. Inovasi Digital dan Produktivitas
Inovasi digital dan ekonomi digital dipercaya dapat meningkatkan
produktivitas melalui berbagai efisiensi yang tercipta dari penggunaannya di
berbagai aspek kehidupan. Produktivitas secara sederhana didefinisikan sebagai
rasio dari keluaran (output) yang diproduksi terhadap masukan (input) yang
digunakan. Output diukur sebagai nilai tambah dari perekonomian dengan
menggunakan harga konstan (produk domestik bruto riil), sedangkan input diukur
sebagai jumlah jam kerja. Oleh karena itu, produktivitas dapat juga diartikan
sebagai kapasitas bisnis, pemerintah, atau ekonomi untuk mengonversikan sumber
dayanya ke dalam ouput yang bernilai (Productivity Commission, 2016).
Paterson et al. (2017) mengungkapkan bahwa produktivitas menjadi penting
karena merefleksikan efisiensi produksi dalam perekonomian atau merefleksikan
tingkat produksi saat input diubah menjadi barang dan jasa final. Pertumbuhan
produktivitas penting karena merefleksikan kemampuan suatu bangsa
memanfaatkan sumber daya alam dan manusia untuk memproduksi lebih banyak
barang dan jasa, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan standar hidup
bangsa tersebut. Sebagaimana dikutip dari Krugman (1997) yang menyatakan
bahwaproductivity isn’t everything, but in the long run it is almost everything.
Pendorong utama dari pertumbuhan produktivitas adalah inovasi, yaitu
pengembangan dan adopsi teknologi baru, serta implementasi teknik manajemen
baru dan proses produksi. Pentingnya inovasi dalam pertumbuhan ekonomi
digarisbawahi oleh Schumpeter (1934) serta Brynjolfsson dan McAfee (2014) yang
menyatakan bahwa inovasi adalah penentu dari pertumbuhan produktivitas.
Pertumbuhan produktivitas pada tingkat korporasi bukan hanya permasalahan
bagaimana menurunkan biaya. Inovasi adalah melakukan sesuatu yang berbeda–
memperkenalkan cara baru dan lebih baik dalam memproduksi output–atau
memproduksi produk baru dengan kualitas lebih baik.
Productivity Commission (2016) mengidentifikasi bagaimana teknologi digital
dapat memiliki implikasi terhadap ekonomi, yaitu sebagai berikut:
a) mengurangi biaya dari transmisi informasi serta mendorong munculnya produk
baru dengan komponen barang dan jasa;
b) memungkinkan pengumpulan, pemrosesan dan aplikasi data–sebagai sumber
daya baru dan berharga yang memungkinkan akumulasi tanpa batas–dengan
-
11
penggunaannya oleh satu pihak tidak mengurangi ketersediaannya untuk pihak
yang lain;
c) memungkinkan otomasi tugas dan substitusi pekerja dengan modal;
d) menciptakan model bisnis baru; dan
e) membawa sumber daya manusia dan modal baru ke dalam perekonomian
dengan memungkinkan lebih banyak pekerja untuk berpartisipasi dan
menggunakan aset pribadi mereka (contohnya pengendara Uber dan pemilik
Airbnb).
Paterson et al. (2017) melakukan reviu terhadap berbagai penelitian yang
bersifat statistik dan komersial di Australia dan menemukan bahwa inovasi digital
telah mendorong produktivitas selama satu dekade terakhir di negara tersebut
meskipun implikasinya paling terasa sepanjang tahun 1995–2005. Kajian tersebut
juga menemukan bahwa terkait masa depan produktivitas yang didorong oleh
inovasi digital terdapat 2 (dua) pendapat yang optimis dan pesimis. Pihak optimis
berpendapat bahwa teknologi digital memiliki potensi untuk mendorong
pertumbuhan produktivitas pada masa yang akan datang karena dampak disruptif
teknologi terhadap industri di seluruh sektor ekonomi. Inovasi teknologi bersifat
disruptif terhadap industri yang ada sebelumnya karena teknologi tersebut akan
menggantikan cara kerja industri yang berjalan tradisional selama ini dengan sistem
yang lebih cepat, lebih efisien, dan lebih mudah diakses. Sementara itu, pihak
pesimis berpendapat bahwa digitalisasi lebih fokus pada hiburan yang secara
material belum dapat meningkatkan kapasitas dunia usaha dalam menggunakan
modal dan sumber daya manusia dengan cara baru.
Bridgman (2016) menyatakan bahwa perhitungan output tidak
mengikutsertakan produksi yang bukan berasal dari pasar. Banyak dari inovasi
digital terkini, seperti telepon selular, memberi nilai tambah pada leisure time
sehingga nilai tambah yang sepenuhnya dari inovasi tersebut tidak tertangkap oleh
output. Oleh karena itu, dampak dari inovasi tersebut terhadap produktivitas
menjadi understated. Dalam penelitiannya, Bridgman (2016) mengembangkan dasar
teoretis untuk mengukur value of leisure yang diproduksi dengan menggunakan
waktu luang dan barang rekreasi. Kerangka tersebut lalu digunakan untuk
mengestimasi value of leisure di AS pada tahun 1950 hingga tahun 2014. Meskipun
value of leisure terbilang besar, terdapat hubungan yang stabil antara PDB yang
terhitung dan leisure yang tidak terhitung. Bridgman menyimpulkan bahwa
-
12
penggunaan inovasi digital berdasarkan peralatan internet yang digunakan oleh
rumah tangga terbilang kecil terhadap perekonomian secara keseluruhan. Oleh
karena itu, inovasi digital yang digunakan oleh rumah tangga secara kuantitatif
tidak memiliki dampak penting terhadap produktivitas.
Van Ark (2016) menjelaskan bahwa meskipun terdapat peningkatan
pengeluaran bisnis terhadap modal dan jasa terkait information and communication
technology (ICT), ekonomi digital yang meliputi mobile technology, internet, dan cloud
belum menunjukkan peningkatan nyata terhadap pertumbuhan produktivitas.
McKinsey (2018) mengungkapkan bahwa pengukuran produktivitas dapat menjadi
tantangan sulit. Peningkatan kualitas di banyak area, terutama teknologi dan
software, sulit ditangkap. Banyak jasa konsumen baru yang saat ini disediakan
tanpa biaya–seperti mobile GPS, Google, aplikasi berbasis smartphone, dan jasa
berbasis cloud–memiliki kontribusi terhadap produktivitas yang saat ini belum
dapat diukur.
Salah satu kajian yang dilakukan di Australia oleh Bureau of Communication
Research (2016) menunjukkan bahwa investasi dalam modal ICT terus memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sejak
pertengahan tahun 2000-an, tetapi peran investasi teknologi informasi (TI) pada
pertumbuhan produktivitas tenaga kerja telah berkurang terhadap dekade
sebelumnya. Secara spesifik, pendalaman modal TI–terutama substitusi komputer
terhadap modal manusia–berkontribusi sekitar 0,5 persen terhadap pertumbuhan
produktivitas tenaga kerja tahunan pada dekade 2003-2004 (sekitar sepertiga dari
pertumbuhan produktivitas tahunan total), lebih rendah jika dibandingkan dengan
kontribusi sekitar 0,8 persen pada dekade 1993-1994 (meskipun angka ini juga
merupakan sepertiga dari pertumbuhan produktivitas tahunan total).
Shahiduzzaman dan Alam (2014) menemukan bahwa dalam beberapa tahun
terakhir kontribusi modal TI pada output dan produktivitas tenaga kerja telah
melambat karena investasi TI yang lebih rendah (industri dengan investasi ICT di
atas rata-rata mengalami pertumbuhan multifactor productivity (MFP) positif selama
2005-2014). Mereka juga menemukan elastisitas yang lebih tinggi dari produktivitas
(tenaga kerja) terhadap digitalisasi dalam beberapa tahun terakhir jika
dibandingkan dengan tahun 1990-an. Hal itu kemungkinan disebabkan oleh
meningkatnya investasi dalam aset tidak berwujud komplementer, seperti database,
perangkat lunak dan modal organisasi, serta kerangka kerja kebijakan dan
peraturan yang lebih baik. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh
-
13
Shahiduzzaman, Layton, dan Alam (2015) untuk periode 1965 hingga 2013
menemukan bukti dampak produktivitas jangka panjang dari modal ICT sebagai
general purpose technology (GPT). GPT pada internet, sebagaimana disebutkan oleh
Guerrieri dan Padoan (2007) serta Carlaw et al. (2007), disematkan karena pada
mulanya internet merupakan alat penting untuk meningkatkan komunikasi, tetapi
telah bertransformasi menjadi teknologi universal yang mendukung seluruh aspek
dalam perekonomian. Salah satu contoh lain dari GPT adalah listrik.
Basu et al. (2003) mengkaji peran ICT sebagai GPT dalam pertumbuhan
produktivitas di AS dan Inggris. Kajiannya menyimpulkan bahwa penggunaan ICT
berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas AS. Connolly
dan Fox (2006) menemukan bahwa hubungan yang signifikan dan positif hanya
untuk beberapa industri yang memperoleh manfaat investasi dalam modal teknologi
tinggi, tetapi tidak tersebar merata di seluruh perekonomian. Shahiduzzaman dan
Alam (2014) juga mengutip kajian di AS yang menunjukkan kontribusi yang
signifikan dari modal TI untuk pertumbuhan produktivitas pada tahun 1990-an.
Peran ICT dalam mendorong pertumbuhan produktivitas pada akhir tahun
1990-an diakui baik oleh 'digital optimis' Brynjolfsson maupun oleh McAfee di The
Second Machine Age (2014), tetapi Gordon lebih pesimistis dalam The Rise and Fall
of American Growth (2016) yang (setelah skeptisisme awal) menyematkan peran
signifikan untuk ICT dalam pertumbuhan produktivitas akhir 1990-an dari
perkawinan antara komputasi dan komunikasi yang memberdayakan internet
sebagai general purpose technology (GPT).
Centre for International Economics (2014) di Australia menemukan bahwa
produktivitas di industri komunikasi seluler Australia meningkat rata-rata lebih dari
10 persen per tahun pada periode 2006-2013 dan bahwa peningkatan efisiensi itu
diteruskan ke bisnis dan rumah tangga dengan cara menurunkan biaya. Sebuah
survei terhadap 1002 bisnis di Australia yang dilakukan pada 2013 untuk penelitian
tersebut menunjukkan bahwa jalur penting dari perubahan dalam produktivitas
dunia usaha dimediasi oleh teknologi broadband seluler yang digunakan, termasuk
peninjauan dokumen dan pengambilan keputusan yang lebih cepat, penggunaan
downtime yang lebih produktif, dan kemampuan menggunakan internet di mana
saja. Dari bisnis yang disurvei, 25 persen mengindikasikan bahwa mobile broadband
mengurangi biaya dan 75 persen mengindikasikan teknologi menghemat waktu
karyawan.
-
14
The McKinsey Global Institute (MGI) juga menerbitkan Digital America
(Manyika et al., 2015) dan Digital Europe (Bughin et al., 2016) yang berfokus pada
seberapa jauh digitalisasi berbagai perusahaan dan industri yang terkait dengan
digital frontier, manfaat digitalisasi bagi perusahaan dan ekonomi untuk menutup
kesenjangan ini (termasuk pertumbuhan MFP), serta peran yang dapat dimainkan
pemerintah dalam proses tersebut. Kajian dalam Digital America menyimpulkan
bahwa ketika digitalisasi semakin cepat, Amerika Serikat memiliki peluang besar
untuk mendorong pertumbuhan produktivitas, termasuk dari digitalisasi sebagai
teknologi tujuan umum yang memungkinkan inovasi. Studi itu menjelaskan
pendorong utama pertumbuhan produktivitas sebagai berikut.
a) Produktivitas tenaga kerja: dari bekerja dengan aset digital, sampai lebih baik
dan lebih cepat, serta mencocokkan pekerja dengan pihak yang membutuhkan
tenaga kerja.
b) Produktivitas modal: peningkatan efisiensi aset melalui pengurangan waktu
downtime dari pemeliharaan preventif, dan peningkatan pemanfaatan aset.
c) Produktivitas multifactor: research and development (R&D) yang diaktifkan
secara digital dan siklus pengembangan produk yang lebih cepat dari analisis
data; optimisasi operasional dan supply chain, termasuk routing logistik yang
lebih baik melalui optimalisasi jalur dan penentuan prioritas; serta
meningkatkan kapabilitias manajemen sumber daya seperti peningkatan
efisiensi energi dan mengurangi limbah bahan baku.
Brynjolfsson dan McAfee (2014) mendukung bahwa revolusi digital yang
sekarang terjadi mendorong pertumbuhan produktivitas dan akan terus terjadi
dengan kekuatan yang semakin meningkat. Mereka melihat perlambatan
pertumbuhan produktivitas AS pasca-2005 sebagai penyimpangan siklus sementara
yang disebabkan oleh resesi pasca-GFC daripada impotensi produktivitas digital
selama dekade terakhir. Brynjolfsson dan McAfee mengandaikan bahwa kemajuan
teknologi meningkat secara eksponensial dari digitalisasi di seluruh aspek dalam
ekonomi dan kehidupan pribadi dengan lingkup luas untuk produktivitas yang
sangat besar dan kesejahteraan manusia. Perkembangan digital tersebut termasuk
analisis big data, terobosan robotik, artificial intelligence, dan machine learning.
Dalam pandangan mereka, ekonomi pasar dan masyarakat sedang dan akan
berubah secara fundamental dan lebih menguntungkan meskipun tetap ada
tantangan dalam penyesuaian. Secara keseluruhan, Brynjolfsson dan McAfee
menyimpulkan bahwa inovasi dan produktivitas akan tumbuh pada tingkat yang
-
15
sehat pada masa yang akan datang. Mereka percaya bahwa building blocks atau
fondasi yang penting terkait inovasi digital dalam perekonomian sudah ada dan akan
terus-menerus direkombinasi dengan cara yang baru dan lebih baik.
2.3. Inovasi Digital dan Pertumbuhan Ekonomi
OECD (2008) mendefinisikan perekonomian berbasis internet (ekonomi
digital) adalah seluruh cakupan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya yang
didukung oleh internet serta teknologi informasi dan komunikasi. Porsi besar dari
transaksi ekonomi yang meliputi produksi, penjualan, distribusi, dan konsumsi saat
ini telah dijalankan di internet. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman mengenai
perekonomian berbasis internet sebagai nilai dari seluruh aktivitas ekonomi yang
dijalankan atau didukung oleh internet.
Sama halnya dengan produktivitas, implikasi dari inovasi digital dan ekonomi
digital tidak dapat secara mudah diukur dan diperkirakan dapat menimbulkan
mismeasurement dalam perhitungan PDB. Ahmad dan Schreyer (2016) berargumen
bahwa peningkatan sementara dalam kesejahteraan konsumen dari layanan digital
gratis harus diakui dalam beberapa cara, yaitu menambahkannya ke PDB (dan
karenanya produktivitas), tidak akan terlalu terlihat secara ekonomi. Mereka
menjelaskan bahwa pengukuran PDB dirancang secara hati-hati agar
mencerminkan tingkat kegiatan ekonomi pasar (nilai tambah) dalam ekonomi yang
tidak termasuk surplus konsumen (nilai kepada konsumen di luar apa yang mereka
bayar), termasuk dari layanan digital gratis. Mereka menyimpulkan bahwa,
tantangan praktis substansial dalam mengukur PDB dan produktivitas memang
ada, kerangka statistik PDB (dan produktivitas) yang mendasari tetap terukur di era
digital.
OECD (2013) mengklasifikasikan pendekatan untuk mengukur dampak
ekonomi dari perekonomian berbasis internet menjadi (i) dampak langsung (direct
impact); (ii) dampak dinamis (dynamic impact), dan (iii) dampak tidak langsung
(indirect impact) sebagai dapat dilihat pada Gambar 2.2.
-
16
Gambar 2.2. Mekanisme Klasifikasi Pengukuran Perekonomian Berbasis Internet
Sumber: OECD (2013)
Pendekatan pertama (direct impact) mengukur perekonomian berbasis
internet sebagai bagian dari pertumbuhan domestik bruto (PDB). Pendekatan kedua
(dynamic impact) mengukur dampak internet terhadap semua industri yang
mempengaruhi pertumbuhan produktivitas dan pada akhirnya pertumbuhan PDB.
Pendekatan ketiga (indirect impact) mengukur efek internet terhadap fenomena
ekonomi, seperti surplus konsumen atau bagaimana internet berkontribusi
terhadap kesejahteraan sosial.
Pendekatan direct impact mencoba mengukur porsi PDB value added yang
dihasilkan dari aktivitas terkait internet. Hal itu mencakup value added yang
dihasilkan dari (i) aktivitas pendukung internet (contohnya internet service providers
dan manufaktur peralatan internet) dan (ii) aktivitas menggunakan internet
(contohnya search engines dan layanan e-commerce) meskipun perlu digarisbawahi
bahwa dampak ekonomi tidak terbatas hanya pada aktivitas pendukung internet
atau aktivitas menggunakan internet. Pada kenyataannya dampak ekonomi dari
internet jauh lebih luas, sebagai contoh mengurangi biaya pencarian bagi korporasi,
akses lebih baik terhadap informasi, atau meningkatnya proses search and matching
dalam perekonomian. Dengan demikian, total dampak ekonomi dari internet lebih
luas dari yang dapat ditangkap, bahkan dengan menggunakan pendekatan ini dapat
dijangkau seluruh aktivitas ekonomi secara virtual.
-
17
Gambar 2.3. Direct Impact dari Internet
Sumber: OECD (2013)
Pada pendekatan direct impact, terdapat beberapa kajian yang telah
dihasilkan untuk mengukur nilai aktivitas yang berbasis internet. Kajian tersebut
dilakukan oleh Hamilton Consultants (2009), BCG (2010 dan 2011), Deloitte (2011),
dan McKinsey (2011). Semua kajian tersebut menganalisis ukuran dari aktivitas
berbasis internet sebagai persentase dari total PDB untuk sejumlah negara maju.
Hasil kajian berkisar antara 0,8 dana 7% (Tabel 2.1), tetapi metodologi yang
digunakan berbeda antarlembaga riset.
Tabel 2.1. Nilai Tambah dari Internet dalam Berbagai Negara, Hasil dari
Penelitian Terdahulu
Kajian Negara yang Dianalisis Estimasi Nilai Tambah
dari Aktivitas Berbasis
Internet (% PDB)
Hamilton Consultants
(2009)
Amerika Serikat 2%
BCG (2010) Inggris Raya 7,2%
BCG (2011) Swedia 6,6%
BCG (2011) Hong Kong 5,9%
BCG (2011) Denmark 5,8%
BCG (2011) Belanda 4,3%
BCG (2011) Republik Cekoslowakia 3,6%
BCG (2011) Jerman 3,4%
BCG (2011) Polandia 2,7%
BCG (2011) Belgia 2,5%
BCG (2011) Spanyol 2,2%
BCG (2011) Italia 1,9%
BCG (2011) Mesir 1,6%
-
18
BCG (2011) Rusia 1,6%
BCG (2011) Turki 1,2%
McKinsey (2011) Brazil, Kanada, Cina, Prancis,
Jerman, India, Italia, Jepang,
Rusia, Inggris Raya, Amerika
Serikat, Korea Selatan, dan Swedia
3,4% secara rata-rata
Deloitte (2011) Australia 3,6%
Sumber: BCG, McKinsey, Deloitte sebagaimana disadur dari OECD (2013)
Boston Consulting Group (2010) berusaha mendefinisikan dan
mengkuantifikasi ekonomi berbasis internet dan mengevaluasi bagaimana internet
mentransformasi perekonomian di Inggris Raya. BCG kemudian menggunakan
metode itu di negara-negara lainnya. Secara khusus, BCG memisahkan empat
elemen utama dari dampak langsung penggunaan internet terhadap ekonomi, yaitu
sebagai berikut.
1. Bagian dari PDB yang dikaitkan ke internet, termasuk konsumsi, investasi,
belanja pemerintah, dan ekspor neto.
2. Dampak ekonomi konsumen dan bisnis yang tidak ditangkap oleh PDB,
termasuk e-commerce dan iklan online.
3. Dampak produktivitas, termasuk keuntungan dari e-procurement di bidang
manufaktur dan produktivitas yang diperoleh melalui penjualan online dalam
perdagangan grosir dan eceran.
4. Dampak sosial yang lebih luas, termasuk konten buatan pengguna, jejaring
sosial, penipuan, dan pembajakan.
Sementara itu, pendekatan dynamic impact mencoba mengukur dampak dari
internet melalui net share dari tambahan PDB yang dihasilkan dari seluruh aktivitas
ekonomi terkait internet di seluruh sektor ekonomi. Secara khusus, pendekatan
tersebut mengecek agregasi dan net impact yang dihasilkan internet terhadap PDB.
Hal itu mencakup (i) seluruh industri yang mungkin menghasilkan value added
berkat penggunaan internet (tidak hanya industri pendukung internet dan
beroperasi hanya menggunakan internet) dan (ii) dampak net ekonomi yang
dihasilkan internet terhadap PDB.
-
19
Gambar 2.4. Dynamic Impact dari Internet
Sumber: OECD (2013)
Pendekatan dynamic impact mencakup tiga tahapan untuk melihat dampak
internet terhadap pertumbuhan ekonomi. Tahap pertama, perkembangan
infrastruktur internet. Tahap kedua, penyedia jasa berbasis internet seperti search
companies, e-mail hosting companies, dan korporasi penyedia konten yang muncul
dan menggunakan infrastruktur internet untuk menyediakan jasa baru. Tahap
ketiga, dampak internet menyebar lebih luas secara virtual ke semua aktivitas dalam
seluruh sektor perekonomian.
Dampak dinamis internet terhadap pertumbuhan ekonomi telah dilakukan
kajian oleh beberapa peneliti. Salah satu kajian awal yang mencatat dampak
menguntungkan internet terhadap laba perusahaan adalah Varian et al. (2002).
Kajian tersebut menganalisis dampak teknologi internet pada kegiatan ekonomi
berdasarkan survei perusahaan dari berbagai industri. Penelitian tersebut
didasarkan pada respons yang dikumpulkan dan ditemukan bahwa pada tahap awal
pengembangan broadband (2002), perusahaan secara aktif mencari solusi
menggunakan internet yang membantu mereka dalam memotong biaya dan
meningkatkan pendapatan. Secara spesifik perusahaan di Amerika Serikat, Inggris,
Prancis, dan Jerman melaporkan realisasi penghematan biaya kumulatif sebesar
163,5 miliar dolar AS dengan sebagian besar penghematan terjadi sejak tahun 1998.
-
20
Penelitian oleh Czernich et al. (2009) menguji pengaruh infrastruktur
broadband pada pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara OECD (1996-2007)
dengan menggunakan tingkat penetrasi broadband sebagai proxy untuk
perkembangan internet. Untuk mengatasi masalah potensial dengan endogenitas,
penulis melakukan analisis dalam dua langkah. Pada langkah pertama, mereka
membangun pola prediksi evolusi broadband (bebas dari shocks dan intervensi
kebijakan) dengan menggunakan data pada TV kabel dan saluran telepon sebagai
instrumen. Estimator prediksi itu kemudian digunakan dalam langkah kedua untuk
menjelaskan laju pertumbuhan ekonomi. Studi tersebut menemukan bahwa
peningkatan penetrasi broadband sebesar 10 poin persentase meningkatkan
pertumbuhan per kapita per tahun sebesar 0,9-1,5 poin persentase.
Qiang et al. (2009) juga menemukan hubungan positif antara adopsi
broadband dan laju pertumbuhan ekonomi. Studi tersebut memperkenalkan model
empiris lintas negara untuk menganalisis hubungan antara broadband dan
pertumbuhan ekonomi. Para penulis menggunakan data dari 120 negara
berkembang dan negara maju dalam model pertumbuhan endogen berdasarkan
Barro (1991). Pendekatan itu memungkinkan mereka untuk menguji hubungan
kuantitatif antara tingkat penetrasi broadband dan tingkat pertumbuhan rata-rata
PDB per kapita antara tahun 1980 dan tahun 2006 sambil mengendalikan faktor-
faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan. Qiang et al. (2009)
menemukan bahwa tingkat penetrasi broadband yang 10 persen lebih tinggi
disejajarkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi per kapita per tahun sebesar
1,21 poin persentase lebih tinggi.
Korelasi tersebut tidak menyiratkan hubungan sebab-akibat karena asosiasi
dasar antara tahap perkembangan Internet dan pertumbuhan ekonomi dapat
didorong oleh kausalitas terbalik dan variabel lainnya, bahkan beberapa studi
menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor penentu
utama perkembangan internet (Kiiski dan Pohjola, 2002; Chinn dan Fairlie, 2007).
Simpulan tersebut menyoroti ketergantungan timbal balik antara perkembangan
internet dan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang lebih maju berinvestasi
lebih banyak dalam perkembangan internet, tetapi internet yang lebih maju juga
dapat berkontribusi pada laju pertumbuhan ekonomi.
Nakamura et al. (2017) mengembangkan metode eksperimental untuk dapat
memberi nilai terhadap konten digital melalui sudut pandang produksi. Kajian itu
mengombinasikan konten marketing dan advertising dan menemukan bahwa
-
21
dampak dari konten digital yang gratis terhadap PDB AS mengalami akselerasi
belakangan ini, terutama sejak tahun 2005. Dengan memasukkan asumsi konten
digital, pertumbuhan PDB riil di AS seharusnya tumbuh sebesar 1,53% per tahun
dari 2005 hingga 2015, lebih tinggi daripada angka pertumbuhan resmi sebesar
1,42% per tahun atau sepersepuluh kali lebih cepat.
Sementara itu, untuk kasus Indonesia, secara umum perkembangan
teknologi digital di Indonesia juga berpotensi meningkatkan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi pada masa yang akan datang. Berdasarkan laporan
McKinsey (2016), pemanfaatan teknologi digital (digitization) dapat meningkatkan
produktivitas yang diperkirakan akan memberikan dampak tambahan hingga 120
miliar dolar AS pada perekonomian Indonesia pada tahun 2025. Penggunaan
teknologi, termasuk di sektor keuangan, diperkirakan akan meningkatkan
produktivitas. Peningkatan produktivitas dari teknologi digital berasal dari
berkurangnya biaya operasional serta meningkatnya efisiensi di sepanjang value
chain. Teknologi digital juga akan menyediakan inovasi produk baru serta
peningkatan sales. Peningkatan produktivitas melalui teknologi digital akan
dirasakan berbagai sektor termasuk keuangan, manufaktur, ritel, serta
transportasi. Teknologi digital juga berpotensi menambah lapangan kerja bagi 3,7
juta tenaga kerja dan meningkatkan PDB Indonesia hingga 35 miliar dolar AS pada
tahun 2025. Teknologi digital membuka akses data, baik bagi pencari kerja maupun
perusahaan. Teknologi akan membantu mempertemukan pencari dan penyedia
kerja secara lebih efektif serta menghubungkan orang yang tepat dengan pekerjaan
yang tepat sehingga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja secara
menyeluruh. Teknologi digital akan mendayagunakan informal employment,
memperkerjakan tenaga kerja yang belum aktif, dan mengurangi pengangguran.
-
22
Gambar 2.5. Potensi Dampak Teknologi Digital terhadap PDB dan Lapangan Kerja
Indonesia
Sumber: McKinsey (2016)
2.4. Inovasi Digital dan Inflasi
Pada tahun-tahun sesudah terjadi krisis keuangan global (global financial
crises), dunia menyaksikan inflasi yang sangat rendah di banyak negara maju,
bahkan di negara-negara tempat output gap mendekati nol. Di Kanada, sebagai
contoh, inflasi tetap landai, bahkan ketika ekonomi sudah pulih dari krisis terkait
harga minyak dan berbagai penyebab kelambatan ekonomi hilang.
Terkadang fenomena rendahnya inflasi tersebut dapat dijelaskan oleh faktor
faktor spesifik yang khas di setiap negara, tetapi dengan semakin meluasnya gejala
tersebut hampir di seluruh negara maju, terdapat indikasi kuat bahwa terdapat
faktor-faktor eksternal lain yang terintegrasi dalam kurva Phillips. Beberapa
penelitian terbaru berpendapat bahwa faktor global seperti harga impor,
kesenjangan output global, dan integrasi perdagangan dan produksi terkait rantai
nilai global tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan teka-teki rendahnya inflasi.
Salah satu saluran transmisi baru, yang dicurigai sebagai penyebab rendahnya
inflasi adalah digitalisasi ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa
peneliti ekonomi berpendapat bahwa kemungkinan efek disinflasi digitalisasi dapat
menjelaskan inflasi yang lemah di negara maju.
Digitalisasi mempengaruhi inflasi melalui tiga saluran transmisi utama: (i)
secara langsung, melalui efeknya pada harga barang dan jasa yang terkait dengan
TIK (teknologi informasi dan komunikasi); (ii) dengan mengubah struktur pasar dan
-
23
tingkat persaingan di sektor-sektor tertentu; dan (iii) dengan mempengaruhi
produktivitas dan berbagai persyaratan tenaga kerja.
Saluran 1: Dampak Langsung Digitalisasi pada Indeks Harga
Saluran pertama ketika ekonomi digital mempengaruhi inflasi adalah melalui
indeks harga. Harga beberapa produk TIK telah menurun dengan cepat sejak tahun
1990-an dan seterusnya karena perubahan teknologi. Beberapa penelitian memberi
bukti bagaimana teknologi mampu menekan inflasi di banyak negara, khususnya di
Eropa.
Secara khusus harga-harga peralatan dan perangkat komputasi digital dan
peralatan hiburan rumah, suku cadang, dan jasa menurun selama 20 tahun
terakhir. Namun, di beberapa periode terakhir tidak terjadi penurunan harga
peralatan digital. Beberapa komponen digital juga belum memberikan tekanan
tambahan pada inflasi yang kemudian dapat menjelaskan dinamika rendahnya
inflasi. Tren penurunan tersebut lebih terasa pada akhir tahun 1990-an dan awal
tahun2000-an serupa dengan apa yang telah didokumentasikan oleh Sveriges
Riksbank di Swedia.
Dengan semakin berkembangnya ekonomi digital, pengukuran harga menjadi
tantangan baru bagi banyak biro pencatatan statistik. Dua riset yang dilakukan oleh
Durand (2016) dan Schreyer (2017) mencatat bahwa hal tersebut antara lain
disebabkan oleh terjadinya pengembangan barang baru, penambahan layanan baru,
serta produk yang disesuaikan dengan pelanggan (kustomisasi) dan barang yang
sama, tetapi dengan kualitas yang berbeda.
Dengan perubahan teknologi yang sangat cepat, metode pencatatan lama,
yaitu kualitas barang di akhir disesuaikan, tidak akan dapat mencatat terjadinya
perbaikan produk (undervalue). Ahmad dan Schreyer (2016) melaporkan terjadinya
pencatatan harga yang terlalu tinggi karena hal tersebut.
Selain itu, ketika produk mengalami kustomisasi (disesuaikan dengan
keinginan atau selera pembeli), perubahan harga menjadi lebih sukar diukur. Selain
itu, peningkatan jumlah produk digital gratis (seperti aplikasi ponsel dan
pemesanan perjalanan online) tidak terekam dengan baik dalam PDB nominal atau
tercatat dalam CPI. Ketika konsumen beralih ke produk produk ini, hal itu
menyebabkan terjadinya bias terkait substitusi dalam CPI. Ahmad dan Schreyer
(2016) mencatat bahwa masalah itu tidak menjadi lebih signifikan daripada yang
terjadi pada masa lalu. Namun, hal tersebut bisa berubah ketika laju digitalisasi
-
24
meningkat, yaitu ketika konsumen beralih ke toko online yang lebih murah, akan
terjadi bias ke atas karena PDB hanya mencatat harga yang dicatat oleh toko
konvensional yang jauh lebih mahal.
Saluran 2: Struktur Pasar, Persaingan, dan Kebangkitan E-commerce
Saluran kedua digitalisasi dapat mempengaruhi inflasi adalah efeknya pada
struktur pasar dan persaingan. Seiring dengan penetrasi teknologi digital ke hampir
semua sektor, struktur pasar berubah dan preferensi konsumen bergeser. Tahap
berikutnya, seiring dengan perubahan elastisitas permintaan terhadap harga
(pricing power), perubahan struktur tersebut akan berujung pada perubahan tingkat
dan perilaku inflasi. Hal itu juga bisa dilihat dari dua sudut: konsentrasi pasar dan
e-commerce.
Saluran Transmisi 2.1: Konsentrasi Pasar
Ada dua teori yang sedang bersaing mengenai dampak digitalisasi pada
struktur pasar, yaitu sebagai berikut.
1) Beberapa pengamat ekonomi mencatat bahwa internet dan teknologi berhasil
mengurangi hambatan masuk dan dengan demikian meningkatkan persaingan.
OECD (2017) dan Trainer (2016) melaporkan bahwa hampir semua perusahaan
(termasuk perusahaan kecil, perusahaan khusus, dan perusahaan baru) kini
dapat terlibat dalam perdagangan global dan menjangkau pelanggan potensial
lebih cepat dengan biaya yang lebih rendah.
Pada gilirannya, persaingan terhadap perusahaan petahana meningkat.
Peningkatan kompetisi tersebut terjadi, baik di perusahaan digital yang
menginvasi sektor nonteknologi maupun kompetisi dengan perusahaan asing
yang lebih mudah dalam menjangkau pasar domestik. Trainer (2016) mencatat
bahwa penjual lokal tidak dapat lagi mempertahankan monopoli di wilayah
mereka secara geografis sehingga terjadi perlombaan untuk menurunkan harga
(race to the bottom).
2) Pada saat yang sama, teknologi digital memungkinkan perusahaan superstar
dengan kekuatan pasar yang cukup besar meraih posisi dominan. Perusahaan-
perusahaan ini tumbuh dengan ukuran yang kemudian memungkinkan mereka
untuk memaksa pemain tradisional dan lebih kecil keluar dari pasar. Teknologi
digital berperan penting dalam keberhasilan perusahaan, seperti jaringan sosial
(social network), mesin pencari, dan penyedia platform perangkat lunak yang
memungkinkan mereka untuk meningkatkan jangkauan pasar dan dengan
-
25
cepat meningkatkan jumlah pengguna. Besarnya jaringan digital itu membawa
efek jaringan yang langsung memberi keuntungan berupa besarnya skala dan
ukuran ekonomi. Dengan demikian, mereka dapat langsung mendominasi
pasar. Selain itu, teknis perdagangan digital yang lebih efisien memungkinkan
harga kompetitif yang tentu memikat lebih banyak konsumen. Sebagai
tambahan, posting harga secara daring yang terbuka dan perbandingan kualitas
yang transparan juga memudahkan konsumen untuk menentukan pilihan.
Andrews, Criscuolo, dan Gal (2015) mengungkapkan terjadinya konsentrasi
industri yang meningkat dan perbedaan margin keuntungan dan produktivitas
antara perusahaan awal (frontier) dan sesudahnya.
Besarnya dampak kemunculan perusahaan superstar terhadap peningkatan
persaingan dan perubahan struktur pasar berbeda-beda untuk setiap negara dan
bahkan setiap industri. Hatzius et al. (2017a) adalah salah satu periset yang
mendokumentasikan terjadinya peningkatan konsentrasi perusahaan online di di
Amerika Serikat.
Sejauh ini, pengaruh perubahan struktur pasar pada harga masih ambigu
meskipun bukti menunjukkan terjadinya tekanan disinflasionari. Secara teoretis
konsentrasi pasar dan kekuatan pasar yang lebih besar akan menghasilkan harga
yang lebih tinggi. Namun, dalam praktiknya, tekanan harga secara keseluruhan
menurun karena melalui teknologi digital perusahaan superstar dapat memotong
biaya sangat signifikan. Perusahaan penguasa pasar yang lebih dominan tidak lagi
dapat menerjemahkan dominasi pasar tersebut menjadi peningkatan harga karena
pendatang baru dapat dengan cepat meniru model bisnis dan produk untuk
mengambil pelanggan.
Saluran Transmisi 2.2: E-Commerce
Pertumbuhan pesat e-commerce menjadi saluran tempat digitalisasi dapat
meningkatkan persaingan dan mempengaruhi inflasi. Teknologi baru berhasil
mengubah cara konsumen mencari dan membandingkan harga produk dan
konsumen mendapatkan manfaat dari transparansi harga dan komparabilitas yang
mudah. Efek transparansi dan komparabilitas harga itu sangat nyata terjadi di
pasar online. Dua efek ekonomi digital dalam hal ini adalah sebagai berikut.
1) Pertama, jika banyak konsumen mengalihkan pembelian mereka ke sumber
online yang lebih murah, hal itu akan berdampak pada inflasi yang mungkin
tidak ditangkap oleh statistik resmi. Efek tersebut sering disebut sebagai bias
-
26
outlet (bias perbedaan harga online dan offline). Dalam laporan terbaru, Hatzius
et al. (2017b) berpendapat bahwa, untuk Amerika Serikat, bias tersebut
mungkin kecil, bahkan lebih kecil daripada saat munculnya Walmart. Secara
teknis dalam analisis mereka diperoleh simpulan bahwa,bias outlet yang disebut
efek Amazon lebih kecil daripada efek Walmart pada akhir 1990-an dan awal
2000-an (Amazon.com merupakan web penjualan online terbesar dunia).
2) Kedua, munculnya penjual online dengan harga lebih rendah seperti Amazon
dan semakin mudahnya perbandingan harga secara online dapat memaksa
pengecer (tradisional) untuk menurunkan harga mereka, bahkan jika e-
commerce hanya merupakan bagian kecil dari penjualan ritel, itu mungkin
memiliki efek spillover yang penting pada harga dan inflasi pada tingkat
pengecer. Namun, seiring dengan peningkatan pangsa ritel online, perbedaan
antara harga online dan offline akan berdampak pada inflasi.
Dalam konteks ini, pemahaman terhadap perbedaan harga di pasar online
menjadi penting. Perbedaan antara harga online dan offline memberi indikasi
besarnya bias outlet. Apabila kedua harga itu sama, harga yang tertulis dalam CPI
bisa dinyatakan akurat. Efek kedua sering kali disebut sebagai efek Amazon, yaitu
penjual luring berusaha menyamakan harga dengan harga di Amazon.
Cavallo dan Rigobon (2017) menabulasi harga online harian di sepuluh negara
maju, antara lain, Amerika Serikat dan Kanada. Secara keseluruhan, ia menemukan
bahwa harga online sangat mirip dengan harga offline. Di Kanada, sebagai contoh,
harga identik 91 persen selama kurun waktu sampel, bahkan jauh lebih besar dari
rata-rata 10 negara, harga identik selama 72 persen sampel waktu. Ketika terjadi
perbedaan harga, perbedaannya cenderung kecil dengan harga online rata-rata
turun 4 persen. Kekurangan dalam riset itu yang harus diperbaiki adalah mereka
hanya menggunakan situs penjualan banyak barang (multi-channel retailers) sebagai
pembanding dengan asumsi bahwa mereka sudah memiliki pangsa besar.
Penelitian Gorodnichenko, Sheremirov, dan Talavera (2016) menggunakan
harga yang disediakan oleh platform belanja (situs perbandingan harga) yang
mencakup lebih banyak barang dan pengecer daripada Cavallo (2017). Hasil mereka
sebagian besar mirip dengan Cavallo. Mereka menemukan bahwa harga online
mencerminkan harga offline dalam banyak hal; Namun, perubahan harga lebih
besar terjadi secara online daripada offline.
-
27
Gorodnichenko dan Talavera (2017) juga menggunakan data dari situs
perbandingan harga untuk melihat harga online di Amerika Serikat dan Kanada
yang secara khusus meneliti pengaruh pass-through nilai tukar. Mereka juga
menemukan bahwa secara keseluruhan perilaku harga online mirip dengan harga
offline meskipun mereka lebih sering berubah dengan deviasi yang kecil. Dalam hal
pass-through nilai tukar, mereka menemukan bahwa pengaruh tersebut tidak
terbentuk secara lengkap di pasar online, tetapi jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan pasar offline (60 hingga 75 persen jika dibandingkan dengan 20 hingga 40
persen yang ditemukan dalam literatur). Kecepatan penyesuaian harga online juga
jauh lebih cepat daripada harga offline.
Secara keseluruhan literatur yang mendokumentasikan perilaku harga online
menemukan bahwa meskipun ada persaingan yang lebih tinggi, biaya pencarian
konsumen yang lebih rendah, serta biaya yang lebih rendah untuk perusahaan
perubahan harga dan pembelian antarnegara yang lebih mudah, harga online
menunjukkan perilaku yang sticky dan sangat mirip dengan offline. Tentu saja hal
tersebut harus dikombinasikan dengan pangsa e-commerce. Apabila penjualan
online masih relatif kecil, dampaknya tentu tidak akan besar.
Secara umum ada banyak upaya untuk mengukur secara langsung pengaruh
teknologi digital dan e-commerce terhadap inflasi. Sebagai contoh, Bank Sentral
Eropa mengikuti metodologi Yi dan Choi (2005) dengan menggunakan panel negara-
negara UE dan menemukan bahwa variabel teknologi internet mereka (didefinisikan
sebagai perubahan persentase poin pada individu yang mencari penawaran barang
atau layanan secara online) memiliki efek yang negatif kecil, tetapi signifikan secara
statistik terhadap inflasi (rata-rata 0,1 poin persentase per tahun).
Saluran Transmisi 2.2: Digitalisasi, Produktivitas, dan Inflasi
Digitalisasi juga dapat mempengaruhi inflasi dengan menurunkan biaya
operasional perusahaan karena keuntungan efisiensi, otomatisasi, dan model bisnis
baru. Sveriges Riksbank (2015) melaporkan bahwa teknologi digital meningkatkan
produktivitas dengan menghemat tenaga tenaga kerja. Hasil akhir, bagaimana
inflasi dipengaruhi akan sangat tergantung pada efek mana yang mendominasi.
2.5. Inovasi Digital dan Income Inequality
Aspek berikutnya dari ekonomi digital yang harus dibahas adalah dampaknya
terhadap ketimpangan ekonomi (economic inequality), termasuk di dalamnya
ketimpangan pendapatan bagi pekerja. Semakin eratnya komunikasi digital dengan
-
28
kehidupan masyarakat, timbul narasi di masyarakat bahwa konektivitas digital
sudah tersedia di semua wilayah. Tanpa sadar, pemerintah juga seakan mendesak
warga untuk berinteraksi dengan negara secara online. Namun, perlu disadari
bahwa belum semua warga negara terhubung secara digital, termasuk di negara
maju. Office for National Statistics (2014), lembaga statistik Inggris mengadakan
survei dan mendapati bahwa sebanyak 16% rumah tangga atau kurang lebih sekitar
4 juta orang, tidak terhubung secara online. Bagi negara maju di Eropa dan Amerika
Utara, ketidakikutsertaan mereka dengan dunia digital tentu merupakan pilihan.
Beberapa peneliti seperti Chen dan Wellman (2005), Fuentes-Bautista dan
Inagaki (2012), dan Warren (2007) mendapati beberapa penghambat koneksi digital
tersebut antara lain karena adanya persyaratan keterampilan dasar terkait literasi
digital dan ketidakmampuan membeli perangkat digital atau paket data Internet.
Mereka juga mendapati hubungan yang erat antara mereka yang terasing secara
keuangan (financial exclusion) dan mereka yang terasing secara sosial (social
exclusion). Namun, juga terdapat hambatan terkait geografi yang menyulitkan
pembangunan infrastruktur telekomunikasi digital.
Tema kesenjangan pendapatan terkait inovasi digital termasuk dalam
kategori besar mengenai kesenjangan digital. Di dalamnya juga terkait narasi
akademis mengenai keterasingan digital (digital exclusion) dan kesenjangan digital
(digital divide) yang mulai banyak diperbincangkan sejak awal tahun 2000-an.
OECD (2001) memberi definisi kerja terhadap kesenjangan digitaladalah
’kesenjangan peluang untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi (ICT)
antarindividu, rumah tangga, pelaku usaha, dan wilayah geografis berdasarkan
tingkat sosial ekonomi yang berbeda’. Sementara itu, DiMaggio et al. (2010)
mendefinisikan kesenjangan digital sebagai ’ketidaksetaraan dalam akses ke
internet, tingkat penggunaan, pengetahuan tentang strategi pencarian informasi,
kualitas koneksi teknis, dan kemampuan untuk mengevaluasi kualitas informasi’.
Lebih dari itu, definisi-definisi tersebut menyinggung dua aspek penyebab
kesenjangan digital yang saling terkait: (i) perbedaan digital karena faktor sosio-
ekonomi dan (ii) perbedaan digital akibat ketidaksamaan dalam infrastruktur
teknologi yang diperlukan untuk mendukung konektivitas digital.
Faktor pertama adalah kesenjangan digital yang disebabkan keadaan sosial-
ekonomi. Beberapa penelitian yang menganalisis hubungan faktor sosial ekonomi
dan kesenjangan digital bisa mendokumentasi dampak internet selama tiga dekade
terakhir. Blank dan Groselj (2015) dalam studi mereka menganalisis yang mereka
-
29
sebut sebagai "kesenjangan digital tingkat pertama". Fokus studi mereka adalah
dinamika antarwaktu penduduk yang sudah memiliki akses internet (online) dan
tidak (offline). Kemudian analisis diskriminasi diterapkan pada dua kelompok
tersebut dalam hal tingkat pendidikan, keterampilan mereka dalam teknologi dasar,
pendapat mereka terhadap teknologi (terutama apakah mereka menganggap
teknologi digital berguna dan menarik atau tidak bagi mereka), keadaan keuangan,
usia, dan berbagai modal sosial. Faktor-faktor tersebut menjadi pembeda
keterlibatan mereka dengan teknologi.
Penelitian kemudian juga bergeser dari penggunaan internet dengan
menggunakan koneksi internet melalui jaringan tetap, menjadi komputer umum di
warnet dan perpustakaan, menjadi generasi internet murah tempat koneksi bisa
dilakukan dengan banyak cara dan dari banyak lokasi. Perkembangan seperti
koneksi Wi-Fi, jaringan seluler seluler 3G dan 4G, serta proliferasi dan kepemilikan
berbagai perangkat seperti laptop, tablet, ponsel pintar, dan perangkat lain yang
mendukung internet yang memfasilitasi konektivitas internet saat bergerak (mobile)
menghadirkan wacana yang lebih rumit mengenai bagaimana teknologi digital
mempengaruhi ketimpangan pendapatan.
Dampak digitalisasi terhadap distribusi ekonomi dan ketimpangan ekonomi
juga bisa diukur melalui perubahan distribusi pendapatan. Pergeseran pendapatan
karena digital tersebut bisa terjadi di dalam negara yang sama. Kemungkinan kedua
adalah digitalisasi menggeser pekerjaan ke negara berpenghasilan rendah. Beberapa
penelitian fokus pada kemungkinan terjadinya perubahan distribusi pendapatan
karena fenomena perusahaan bintang (superstar). Perusahaan bintang terjadi ketika
satu atau dua perusahaan mendapat pangsa besar karena keunggulan teknologi
mereka. Efek itu diteliti oleh Rosen (1981) yang mendapati bahwa perusahaan
bintang menyebabkan ketimpangan pendapatan.
Digitalisasi pasar tenaga kerja kontrak merupakan salah satu area tempat
digitalisasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan seluruh pekerja. Dengan
teknologi perusahaan dapat mengidentifikasi calon pegawai dan memberikan
kontrak hanya kepada calon pekerja terbaik yang umumnya lebih memiliki
ketrampilan teknologi digital lebih tinggi. Dengan demikian distribusi tagihan gaji
akan bergeser ke salah satu sisi.
Anderson (2006) mengemukakan dampak yang kemudian disebut sebagai
long tail effect yaitu digitalisasi mengurangi ketimpangan pendapatan karena
kemudahan perusahaan untuk mendapatkan informasi secara efisien dan
-
30
digitalisasi meningkatkan peluang pegawai yang lebih piawai memanfaatkan
teknologi.
Teknologi digital juga mampu mengubah organisasi perusahaan secara
keseluruhan karena perusahaan yang berbasis digital mampu memberikan
fleksibilitas waktu kerja. Penelitian dari Bank Indonesia, Paundralingga (2018),
memberikan indikasi awal bahwa dengan adanya implementasi aplikasi jasa
transportasi online, seperti Go-Jek, Grab, dan Uber di Indonesia, menjadikan para
pekerja di sektor formal dapat beralih profesi karena faktor waktu kerja yang lebih
fleksibel selain pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, digitalisasi
berimplikasi pada keseluruhan struktur organisasi kerja yang berujung pada
kesejahteraan masyarakat.
Dua efek teknologi digital dalam ekonomi tersebut, yaitu superstar effect dan
long tail effect diteliti oleh banyak peneliti. Tucker dan Zhang (2007) sebagai contoh
melaporkan hasil riset superstar effect dengan menggunakan situs pernikahan,
konsumen hanya terpusat ke situs vendor pernikahan tertentu yang lebih populer.
Elberse dan Oberholzer-Gee (2008) juga menemukan hasil serupa dengan studi
kasus penyewaan video online. Studi Zentner, Smith, dan Kaya (2013) meneliti
perbedaan usaha persewaan video online dan offline dan mendapati bahwa efek
superstar itu lebih kuat terjadi di pasar fisik. Hal yang serupa didapatkan oleh Peltier
dan Moreau (2012) dengan studi kasus penjualan buku online di Prancis.
Brynjolfsson, Hu, dan Simester (2011) menemukan bahwa penjualan online untuk
pakaian wanita kurang terkonsentrasi jika dibandingkan dengan penjualan katalog.
Riset-riset tersebut berpendapat bahwa biaya pencarian online yang relatif lebih
rendah mengakibatkan konsumen bisa lebih mudah membuat perbandingan. Oleh
karena itu, dalam kasus-kasus tersebut tidak dihasilkan perusahaan superstar.
Ujung dari penelitian ini adalah tentu saja ketimpangan upah pegawai antara
perusahaan dan teknologi dengan perusahaan tradisional.
Efek teknologi digital dalam distribusi pendapatan tersebut juga bisa terjadi
secara bersamaankarena sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari pasar dan
produk yang diperdagangkan. Bar-Isaac, Caruana, dan Cuñat (2012) mengambil
simpulan bahwa pasar yang terdiferensiasi secara vertikal (dibedakan berdasarkan
kualitas) akan mendorong timbulnya efek superstar, sedangkan pasar yang
terdiferensiasi secara horizontal (dibedakan berdasarkan banyaknya variasi produk)
memicu efek long tail.
-
31
Dalam konteks ekonomi internasional, efek superstar juga akan
menghasilkan peningkatan ketimpangan pendapatan karena pengusaha cenderung
mengarah pada kontraktor dengan kualitas tertinggi berdasarkan pencarian global
daripada pencarian lokal yang terbatas. Dengan demikian, pendapatan akan
bergeser dari kontraktor yang memberikan kualitas terbaik secara lokal kepada
mereka yang memberikan kualitas terbaik secara global. Selanjutnya, meningkatnya
permintaan juga akan menyeret dan meningkatkan upah pekerja berkualitas tinggi,
terutama dalam kasus upah lokal dan global berbeda sangat jauh. Efek superstar
akan semakin diperparah dengan adanya informasi yang asimetris dan fitur pasar.
Perusahaan lokal yang terdiferensiasi secara horizontal, misalnya karena
bergerak dalam bidang yang kurang umum, akan memiliki upah offline yang lebih
rendah. Rendahnya upah tersebut terjadi karena permintaan lokal terhadap
pekerjaan dengan keahlian khusus t masih sangat terbatas. Di tengah ekonomi
digital yang tidak memiliki batas antarnegara, perusahaan semacam itu akan
mendapat manfaat karena mendapat permintaan secara global yang jauh lebih
besar. Dengan kata lain, digitalisasi dapat menggeser distribusi pendapatan dengan
cara yang menguntungkan perusahaan/pegawai dengan keterampilan yang
terdiferensiasi secara vertikal (yaitu dibedakan karena kualitas yang lebih tinggi),
terdiferensiasi secara horizontal (yaitu karena jumlah yang sedikit), atau bahkan
karena memiliki struktur biaya yang lebih murah.
Dampak total dari dua efek ekonomi digital tersebut akan berbeda, baik pada
tingkat negara maupun pada tingkat individu. Pada tingkat negara efek langsung
dari digitalisasi adalah untuk mengurangi ketidaksetaraan pendapatan karena
pekerjaan bergeser dari negara-negara berpenghasilan tinggi ke negara
berpenghasilan rendah seiring dengan perluasan pencarian pekerja dengan tingkat
upah yang lebih rendah di negara-negara berpenghasilan rendah. Namun,
peningkatan produktivitas perusahaan di negara-negara berpenghasilan tinggi
karena teknologi juga akan meningkatkan gaji pekerja di sana yang selanjutnya
akan mengimbangi efek offshoring.
Pada tingkat individu, digitalisasi akan menguntungkan pekerja yang lebih
terampil menggunakan teknologi jika dibandingkan dengan mereka yang kurang
terampil. Beberapa operator berbasis teknologi juga memiliki keunggulan dalam hal
biaya marginal yang lebih rendah. Kemudahan pencarian pekerja itu akan secara
parsial mengimbangi peningkatan persaingan antarindividu yang kemudian juga
berujung pada perbaikan distribusi dan ketimpangan pendapatan.
-
32
Asimetri informasi juga dapat mempengaruhi distribusi pendapatan. Oleh
karena itu, kemudahan teknologi dapat menurunkan beberapa hambatan karena
memudahkan masyarakat mendapatkan informasi mengenai perusahaan ataupun
produk. Riset yang dilakukan Pallais (2012) dan Agrawal, Lacetera, dan Lyons (2013)
memberi bukti bahwa teknologi digital meningkatkan daya saing perusahaan-
perusahaan kecil dan baru melalui platform teknologi. Distribusi pendapatan yang
terlalu landai dan tidak berpihak pada perusahaan kecil menjadi berubah.
Perusahaan rintisan yang masih kecil tetapi memberi inovasi teknologi online dan
memberikan impresi positif kepada masyarakat adalah perusahaan yang mendapat
keuntungan dengan ekonomi digital ini, setidaknya dalam jangka pendek. Di sisi
lain, pasar digital juga menjadi platform uji coba berbiaya rendah untuk produk baru
atau perusahaan rintisan, yang kemudian dapat lebih mudah mempublikasikan
kualitas mereka dan diuji oleh masyarakat. Agrawal, Lacetera, dan Lyons (2013)
secara khusus mendokumentasi beberapa perusahaan rintisan teknologi yang dapat
memenangkan pasar secara efektif melalui ekonomi digital.
2.6. Inovasi Digital dan Kinerja Fiskal
Di tengah perkembangan inovasi digital dan ekonomi digital yang semakin
pesat, salah satu sektor yang ikut terpengaruh adalah sektor fiskal. Salah satu
karakteristik utama dari ekonomi digital adalah berkurangnya kebutuhan atas
kehadiran fisik di dalam pasar tempat produsen beroperasi. Sementara itu,
kehadiran fisik merupakan prasyarat dalam menerapkan perpajakan di negara
asing. Hal itu menyebabkan tekanan signifikan pada bagaimana penerapan pajak
terhadap perusahaan multinasional yang beroperasi di banyak pasar. Hal tersebut
juga menjadi tantangan bagi otoritas pajak untuk dapat menciptakan solusi inovatif
untuk dapat menetapkan pajak di tengah meningkatnya jumlah transaksi digital.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2018) dalam pertemuan antara
para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Buenos Aires, Argentina,
menyebutkan bahwa dunia membutuhkan model perpajakan baru yang lebih sesuai
dengan perkembangan ekonomi digital saat ini. Hal itu disebabkan model
perpajakan tradisional yang didasarkan pada keberadaan fisik suatu perusahaan
(physical presence) dinilai sudah tidak relevan. Model perpajakan yang lebih tepat
digunakan saat ini adalah model pendekatan kegiatan ekonomi (significant economic
presence).
-
33
OECD (2015) meluncurkan laporan mengenai tantangan yang dihadapi oleh
perpajakan dari ekonomi digital. Di dalam laporannya, OECD mendefinisikan
ekonomi digital sebagai hasil dari proses transformatif yang dibawa oleh information
and communication technology (ICT) yang dapat membuat teknologi menjadi lebih
murah, lebih kuat, dan terstandardisasi secara luas; meningkatkan proses bisnis;
dan memperkuat inovasi di seluruh sektor perekonomian.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital tersebut mampu menekan
perekonomian dunia dari sektor retail, transportasi online, edukasi, kesehatan,
interaksi sosial, hingga hubungan antarindividu (sosial media). United Nations
(2017) dalam Handbook on Protecting the Tax Base of Developing Countries
menjelaskan bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah
meningkatkan permasalahan yang berkaitan dengan penggerusan basis pajak dan
pengalihan laba.
Juswanto dan Simms (2017) memaparkan bahwa secara internasional, dan
khususnya untuk negara berkembang, meningkat pesatnya inovasi digital yang
menyatu dengan ekonomi seharusnya dapat membawa keuntungan. Namun,
pembuat kebijakan harus dapat memastikan bahwa keuntungan yang tercipta dari
ekonomi digital tersebut dapat dinikmati semerata mungkin. Berkembangnya
ekonomi digital membawa tantangan untuk sistem perpajakan internasional dan
juga domestik. Karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara dalam
membiayai berbagai sektor publik dan proyek-proyek, otoritas pajak harus belajar
untuk menyesuaikan kapabilitasnya dengan perubahan cepat dalam aktivitas
ekonomi digital.
Katz (2015) menjelaskan bahwa terdapat dua trend saling berlawanan yang
dapat diidentifikasi dalam kebijakan digital taxation. Yang pertama bertujuan untuk
memaksimalkan pengumpulan pajak berdasarkan meningkatnya aliran digital
secara eksponensial. Yang kedua bermaksud menurunkan pajak untuk memberi
keuntungan bagi konsumen dan dunia usaha sehingga pada akhirnya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut trend pertama, pemerintah
menyadari bahwa digitalisasi sangat penting dalam meningkatkan penerimaan
pajak sehingga pemerintah menetapkan lebih banyak mekanisme untuk
memaksimalkan pengumpulan pajak dalam aktivitas ekonomi digital. Di sisi lain,
pada trend kedua, beberapa negara mempertimbangkan bahwa menurunkan pajak
pada sektor digital akan mendorong spillover perekonomian yang memberi manfaat
-
34
lebih besar daripada pajak yang hilang. Efek yang tercipta dalam penetapan pajak
terhadap broadband tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Dampak Pengenaan Pajak terhadap Jaringan Internet
Sumber: Katz, R. and Berry, T. (2014) Driving Demand of Broadband Networks and Services. London: Springer
Olbert dan Spengel (2017) mengungkapkan bahwa fenomena digitalisasi
dianggap sebagai perkembangan paling penting dari ekonomi sejak revolusi industri
dan merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan dan inovasi. Pada saat
yang sama ekonomi digital dikaitkan dengan tantangan utama untuk sistem pajak
internasional. Undang-undang perpajakan tradisional mengatur cara-cara baru
dalam melakukan bisnis, tetapi undang-undang pajak internasional saat ini dan
prinsip-prinsip dasarnya mungkin tidak sejalan dengan perubahan dalam praktik
bisnis global. Sehubungan dengan model bisnis digital, tantangan pajak utama
dalam ekonomi digital berasal dari (i) menurunnya relevansi kehadiran fisik di pasar
pelanggan, (ii) semakin penting dan semakin tingginya mobilitas barang intangible,
serta (iii) tingginya tingkat integrasi rantai nilai. Meskipun perkembangan tersebut
tidak sepenuhnya baru, hal itu telah memicu diskusi politik dan akademis tentang
bagaimana perpajakan internasional dapat direformasi untuk memberikan sistem
yang masuk akal dan stabil untuk membebani laba perusahaan multinasional di
abad ke-21.
-
35
Sebagaimana diketahui bahwa terdapat perhatian khusus di dunia mengenai
perencanaan pajak oleh perusahaan multinasional yang menggunakan celah dalam
sistem pajak yang berbeda antarnegara untuk mengurangi pendapatan kena pajak
atau menggeser laba ke wilayah dengan pajak yang rendah meskipun sedikit atau
tidak ada kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Sebagai respons dari perkembangan
ekonomi digital dan kaitannya dengan kebijakan fiskal, OECD telah meluncurkan
proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) pada tahun 2015. Laporan OECD
BEPS Action 1 secara substansial dimaksudkan untuk menangani masalah
perpajakan yang timbul dari ekonomi digital dengan garis besar isu dibagi menjadi
dua bagian, yaitu direct tax (pajak penghasilan) dan indirect tax (pajak pertambahan
nilai). Isu yang dibahas antara lain adalah adanya upaya perusahaan multinasional
untuk memiliki kehadiran digital (digital presence) yang signifikan dalam
perekonomian suatu negara tanpa harus dikenakan pajak, adanya atribusi nilai
(baik laba maupun biaya) yang dibuat dari adanya data lokasi pemasaran yang
relevan melalui penggunaan produk dan jasa digital, karakterisasi dari pendapatan
yang berasal dari adanya model bisnis baru dan aplikasi dari asas sumber, serta
cara untuk memastikan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) yang efektif
sehubungan dengan transaksi cross-border atas barang dan jasa digital.
Skema BEPS yang dilakukan oleh perusahaan multinasional saat ini dalam
konteks direct taxation menurut OECD BEPS Action 1 terdiri atas empat elemen,
yaitu sebagai berikut.
1. Peminimalan pajak di negara pasar dengan menghindari taxable presence. Hal
itu dilakukan dengan menggeser gross profit (profit shifting) ataupun
mengurangi laba bersih dengan memaksimalkan pengurangan laba pada
tingkat pemberi penghasilan.
2. Pengenaan withholding tax yang rendah atau tidak sama sekali di negara
sumber.
3. Pengenaan pajak yang rendah atau tidak sama sekali pada tingkat penerima
penghasilan melalui klaim pada pendapatan non-rutin substansial yang sering
kali dibentuk melalui skema intragrup.
4. Ketidakadaan pemajakan kini (current taxation) dari keuntungan perusahaan
atas tarif pajak yang rendah pada tingkat ultimate company.
Sementara itu, dari sisi indirect tax ekonomi digital memberikan tantangan
dalam pemungutan PPN dengan impor barang, pemanfaatan jasa, dan barang
-
36
intangibles yang diperoleh konsumen akhir dari supplier luar negeri. Sejati (2018)
memaparkan bahwa PPN di Indonesia menganut prinsip tempat tujuan (destination
principlesehingga pesatnya ekonomi digital makin memperbesar hilangnya potensi
penerimaan negara karena penggunaan teknologi dalam setiap penyerahan ataupun
pemanfaatan barang/jasa, khususnya pada transaksi cross-border. Pemungutan