produktivitas dan upah optimal tenaga kerja sektor industri ...
Transcript of produktivitas dan upah optimal tenaga kerja sektor industri ...
WORKING PAPER
PRODUKTIVITAS DAN UPAH OPTIMAL TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI
INDONESIA
G.A. Diah Utari
Ferry Syarifudin
Retni Cristina S.
2014
WP/13/2014
1
Simpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
2
PRODUKTIVITAS DAN UPAH OPTIMAL TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI INDONESIA
G.A. Diah Utari, Ferry Syarifuddin, dan Retni Cristina1
Abstrak
Keadaan pasar tenaga kerja dengan karakteristik kelebihan penawaran tenaga kerja di satu sisi dan produktivitas tenaga kerja yang rendah di sisi lain menyebabkan upah menjadi isu sentral dalam bidang ketenagakerjaan. Penelitian ini terutama bertujuan untuk (i) melakukan analisis apakah perkembangan kenaikan upah riil di sektor industri pengolahan masih sejalan dengan perkembangan produktivitas tenaga kerja, (ii) melakukan perhitungan atas besaran upah optimal di sektor industri pengolahan, dan (iii) melakukan analisis mengenai dampak perbedaan upah aktual dan upah optimal terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan. Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian di atas masing-masing adalah metode panel kointegrasi Westerlund, metode panel data dengan metode fixed effect, serta model panel data dinamis. Data
yang digunakan adalah data statistik industri besar dan sedang dengan periode 1998–2009 untuk penghitungan fungsi produksi dan data panel provinsi sektor industri pengolahan dari tahun 2002–2012. Hasil empiris membuktikan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan kointegrasi antara produktivitas tenaga kerja dan upah riil pekerja di sektor industri pengolahan. Dari hasil perhitungan upah optimal ditemukan bahwa selama periode pengamatan, sebagian besar provinsi di Indonesia (18–20 provinsi) membayarkan upah aktual kepada pekerja di sektor industri pengolahan lebih besar jika dibandingkan dengan upah optimal. Selanjutnya, hasil empiris membuktikan bahwa semakin besar selisih upah optimal terhadap upah aktual akan berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan. Selain itu, pertumbuhan output sektor manufaktur, serta average years of schooling pada tiap-tiap provinsi berpengaruh positif
terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan. Ketidakselarasan antara pertumbuhan upah riil dan produktivitas tenaga kerja perlu mendapat perhatian agar tidak memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan ekonomi makro.
Key words : tenaga kerja, upah, industri pengolahan
JEL Classification : E24, L6
1 Peneliti Ekonomi di Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral. Tulisan dalam paper ini
merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan pendapat Bank Indonesia. Ucapan
terima kasih ditujukan kepada pimpinan PRES Bpk. Iskandar Simorangkir, Bpk. Wijoyo Santoso, dan rekan peneliti PRES serta departemen terkait atas masukan yang konstruktif.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bella Herwanda atas bantuan pengolahan
data. Peneliti dapat dihubungi di [email protected], ferry.s @bi.go.id, dan [email protected]
3
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kondisi dinamika ketenagakerjaan yang semakin kompleks, upah
masih tetap menjadi persoalan utama di negara berkembang seperti Indonesia.
Keadaan pasar tenaga kerja dengan karakteristik kelebihan penawaran tenaga kerja
di satu sisi dan mutu angkatan kerja rendah di sisi lain menyebabkan upah menjadi
isu sentral dalam bidang ketenagakerjaan. Realitas masih banyaknya pekerja
berpenghasilan rendah dan minimnya pelindungan sosial telah mendorong
pemerintah untuk menetapkan kebijakan upah minimum. Terdapat beberapa
alasan mengapa pemerintah perlu berperan dalam penetapan upah minimum, yaitu
untuk pemerataan hasil pembangunan dan menjaga daya beli masyarakat terhadap
risiko inflasi. Selain itu kebijakan upah minimum diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas pekerja dan perusahaan. Sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan
memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup layak, pertumbuhan ekonomi, dan
produktivitas.
Sumber: BPS
Grafik 1. Upah Minimum Nasional
dan Provinsi
Sumber: ILO dan CEIC, Diolah
Grafik 2. Pertumbuhan Upah Riil dan Produktivitas (2013)
Rata-rata kenaikan upah minimum nominal di Indonesia pada tahun 2013
cukup signifikan, yaitu 19% dari tahun sebelumnya (Grafik 1), tetapi secara riil
kenaikan tersebut lebih kecil. Kenaikan itu merupakan yang tertinggi dalam 8 tahun
terakhir. Kenaikan upah minimum di DKI Jakarta bahkan mencapai 43% dan
membawa pengaruh yang cukup luas, tidak hanya pada wilayah penyangga ibu
4
kota, tetapi juga ke wilayah lainnya seperti Riau Kepulauan, Kalimantan Timur, Bali,
dan Bengkulu yang kenaikannya lebih dari 20%. Anglingkusumo et al. (2013) yang
melakukan estimasi terhadap sektor pertanian, industri, dan perdagangan
menemukan bahwa dampak kebijakan upah minimum provinsi (UMP)
ditransmisikan ke upah aktual dalam tahun yang sama.
Walaupun sudah menjadi hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang
setara dengan upah minimum, tingkat kerentanan dan informalitas yang tinggi di
pasar kerja serta kapasitas pengawasan ketenagakerjaan yang terbatas
menyebabkan sekitar sepertiga dari pekerja memperoleh upah di bawah upah
minimum provinsi2. Dengan penetapan upah minimum, pemerintah berupaya agar
upah yang diterima dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan
keluarganya secara wajar3. Namun, di sisi lain produktivitas tenaga kerja Indonesia
kurang dapat bersaing jika dibandingkan dengan tenaga kerja negara-negara di
ASEAN. Dari Grafik 3 terlihat kenaikan upah riil Indonesia cukup tinggi, sedangkan
produktivitas tenaga kerjanya kurang bersaing. Pada masa akan yang datang,
Indonesia akan terjepit antara negara low income yang masih bisa mengandalkan
ekspor berbasis buruh murah dengan negara high income yang menghasilkan
produk berbasis teknologi tinggi dan inovasi dengan produktivitas tinggi.
Keselarasan antara pertumbuhan upah riil dan produktivitas tenaga kerja
telah dipahami secara luas merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk
menciptakan stabilitas makroekonomi. Kondisi tersebut membantu menjaga daya
saing perekonomian serta mencegah tekanan inflasi yang berlebihan. Dalam
kenyataannya peningkatan upah riil di negara-negara emerging market sering
melampaui peningkatan produktivitas. Adanya ketidakselarasan itu di antaranya
bersumber dari terbatasnya tenaga kerja terlatih serta kebijakan upah yang kurang
tepat (Mihaljek dan Saxena, 2010).
Tekanan akan kenaikan upah di satu sisi dapat dimaklumi karena inflasi
yang cukup tinggi telah menggerus pendapatan pekerja berpenghasilan rendah.
2 Berdasarkan laporan ILO, Desember 2013 “Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia
2013”. 3 Batas kewajaran tersebut dalam Kebijakan Upah Minimum dapat dinilai dan diukur
dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) atau seringkali disebut dengan Kebutuhan
Hidup Layak (KHL). Hal ini diatur dalam Permenakertrans No. 01 Tahun 1999 tentang Upah Minimum Juncto Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000 tentang perubahan
beberapa pasal dalam Permenaketrans No. 01 tahun 1999. Upah minimum ditetapkan
berdasarkan pada kebutuhan hidup layak buruh/pekerja lajang dengan masa kerja di
bawah satu tahun.
5
Namun, di sisi lain, penetapan kebijakan yang kurang fleksibel menimbulkan dilema
tersendiri bagi pengusaha, khususnya untuk industri padat karya yang upah
buruhnya mendominasi biaya produksi. Kondisi seperti itu dapat mengganggu
keberlangsungan perusahaan. Dari sisi makro, tekanan kenaikan upah yang tidak
diikuti peningkatan produkvitas akan membuat daya saing produk Indonesia
menjadi berkurang. Terlebih lagi dengan akan berlakunya Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015 yang aliran jasa, khususnya tenaga kerja kerah putih, akan
diperkenankan untuk berkompetisi di masing-masing negara ASEAN, issue
peningkatan produktivitas menjadi sangat penting. Setelah 2015 bukan tidak
mungkin pasar tenaga kerja yang bebas (free labour market) akan mencakup semua
golongan pekerja.
Sejauh mana aspek produktivitas mempengaruhi kebijakan upah belum
banyak dibahas. Namun, kesadaran akan pentingnya memperhitungkan
produktivitas dalam penetapan upah telah diakomodasi oleh pemerintah. Melalui
Inpres No. 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam
Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja,
pemerintah menginstruksikan kebijakan upah minimum agar diselaraskan dengan
aspek produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional untuk mewujudkan
keberlangsungan usaha dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Langkah
pemerintah memasukkan elemen produktivitas dalam sistem penghitungan upah
minimum merupakan langkah maju untuk menciptakan keadilan (fairness), baik
bagi pekerja maupun pengusaha. Dari sisi pekerja, sistem upah berbasis
produktivitas akan membuat mereka lebih dihargai dan produktif karena akan
mendapatkan imbalan yang lebih tinggi. Dari sisi perusahaan, upah berbasis
produktivitas akan meningkatkan daya saing produk dan meningkatkan
keuntungan perusahaan. Selanjutnya diharapkan iklim ketenagakerjaan dan
investasi juga semakin baik.
1.2 Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Teori ekonomi menyatakan bahwa pertumbuhan agregat upah riil ditentukan
oleh pertumbuhan produktivitas pekerja. Peningkatan upah riil yang tidak sejalan
dengan pertumbuhan produktivitas dalam jangka panjang akan menimbulkan
dampak yang serius, baik dari sisi mikro maupun makro. Dari sisi sektoral,
permasalahan UMP dan produktivitas di sektor industri pengolahan lebih
mendapatkan sorotan karena sektor ini memiliki pangsa terbesar dalam
6
perekonomian4 dan merupakan penyedia lapangan kerja terbesar ke-4. Sektor
industri pengolahan yang mampu berkompetisi dalam jaringan rantai produksi
global (global supply chain) akan dapat menjaga kesinambungan pertumbuhan
ekonomi domestik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini analisis produktivitas dan
upah tenaga kerja mengacu pada data yang bersumber dari sektor industri
pengolahan.
Dengan perumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang ingin
dijawab dari kajian ini adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia, khususnya sektor industri
pengolahan?
2) Apakah kenaikan upah riil saat ini masih sejalan dengan peningkatan
produktivitas tenaga kerja?
3) Berapakah tingkat upah optimal yang sesuai dengan produktivitas tenaga kerja
di sektor industri pengolahan ?
4) Bagaimana dampak perbedaan upah riil dan upah optimal terhadap penyerapan
tenaga kerja di sektor industri pengolahan?
Dari pertanyaan penelitian tersebut, tujuan penelitian ini dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1) melakukan analisis terhadap karakteristik pasar tenaga kerja di Indonesia,
khususnya sektor industri pengolahan;
2) melakukan analisis apakah perkembangan kenaikan upah riil masih sejalan
dengan perkembangan produktivitas tenaga kerja;
3) melakukan perhitungan atas besaran upah optimal di sektor industri
pengolahan; dan
4) melakukan analisis mengenai dampak perbedaan upah aktual dan upah optimal
terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan.
II. STUDI LITERATUR
4 Walaupun dalam perekonomian masih yang terbesar, pangsa sektor manufaktur cenderung
mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2013 share sektor
manufaktur terhadap PDB adalah 25,5% menurun dari 26,8% pada 2008 dan 28% pada
2003.
7
2.1 Upah dan Produktivitas
Teori Walrasian mengenai keseimbangan pasar tenaga kerja menyatakan
bahwa dalam kondisi tanpa adanya friksi di pasar, pekerja akan menerima upah
sesuai dengan marginal productivity yang diukur dengan unit output. Prinsip yang
serupa juga diterangkan dalam kondisi Solow, yaitu dalam memaksimalkan profit,
perusahaan harus membayar upah riil yang elastisitas dari produktivitas terhadap
upah adalah 1. Jika upah masih di bawah produktivitas, perusahaan akan lebih
untung jika menambah pekerja. Dengan menganggap faktor lain konstan, output per
tenaga kerja yang semakin tinggi akan meningkatkan permintaan tenaga kerja dan
selanjutnya akan meningkatkan kompensasi untuk tenaga kerja sepanjang kurva
labor supply tidak elastis. Dengan berlakunya diminishing return, peningkatan
kompensasi untuk tenaga kerja akan berhenti ketika tidak terjadi lagi peningkatan
produktivitas tenaga kerja.
Keterkaitan antara upah dan produktivitas salah satunya dijelaskan dalam
teori efficiency wage5. Hipotesis dasar dari teori efisiensi upah adalah bahwa
produktivitas pekerja berhubungan positif dengan upah yang diterima. Mankiw
(2003) menyatakan bahwa upah dapat digunakan sebagai pendorong produktivitas
serta motivasi dan memperkuat hubungan kerja antara pengusaha dan tenaga kerja
pada jangka panjang. Oleh karena itu, tingkat upah yang diterima perlu mencukupi
kebutuhan dan besarannya sesuai dengan harapan ekonomis. Jika hubungan
antara upah dan produktivitas ini terjadi, perusahaan akan lebih diuntungkan
dalam membayar upah yang melebihi nilai pasar. Hal itu dimungkinkan karena
upah yang meminimalkan biaya tenaga kerja, kemungkinan bukanlah upah yang
ditentukan pasar. Pengusaha akan keberatan untuk memotong upah meskipun
pada kondisi kelebihan penawaran tenaga kerja karena keuntungan yang didapat
dari pengurangan upah tidak sebanding dengan biaya yang terjadi karena
penurunan produktivitas. Implikasi dari uraian ini dapat dijelaskan pada Gambar
1. Garis ww merupakan tingkat upah yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan
kondisi Solow. Pada tingkat upah tersebut jumlah pekerja yang optimal bagi
perusahaan adalah sebesar Nd. Sementara itu, jumlah suplai tenaga kerja pada
tingkat upah sebesar w adalah Ns. Oleh karena itu, terdapat ketidakseimbangan di
5 Teori efficiency wage diperkenalkan oleh Harvey Leibenstein pada 1960-an dan Joseph
Stiglitz pada tahun 1970-an. Ulasan dalam paper ini berdasarkan tulisan dari Katz (2006) dalam paper Efficiency Wage Theories: A Partial Evolution”
8
pasar tenaga kerja karena adanya pengangguran sebesar Ns-Nd. Pada kondisi
tersebut, perusahaan tidak memilih untuk menurunkan upah dengan pertimbangan
di atas. Namun, sebagai akibatnya akan mudah terjadi permanent unemployment.
S
W
D
Efficiency Wage
Nd Ns
D
S
Real Wage
Unemployment
Quantity of Labor
Employed
W
Grafik 3. Efficiency Wage
Selain pertimbangan untuk mencegah penurunan produktivitas, alternatif
rasionalisasi dari pembayaran upah di atas upah pasar adalah (i) meminimalkan
biaya turn over dan jumlah pekerja yang keluar dari pekerjaanya. Pada umumnya
besaran upah berkaitan dengan tingkat turn over. Perusahaan dengan upah yang
tinggi umumnya memiliki turn over pegawai yang rendah demikian pula sebaliknya;
(ii) berkompromi dengan keberadaan serikat pekerja guna menciptakan kondisi
berusaha yang lebih kondusif; dan (iii) ekspektasi untuk memperoleh pelamar kerja
yang berkualitas lebih tinggi. Jika kemampuan pekerja heterogen dan jika
kemampuan dan upah berkorelasi positif, perusahaan yang menawarkan upah lebih
tinggi akan menarik pelamar kerja yang berkualitas lebih tinggi. Dalam kondisi
perusahaan tidak bisa mengamati kualitas pelamar dan dilakukan perekrutan
secara acak, upah yang lebih tinggi meningkatkan kemampuan yang diharapkan
dari pekerja (Stiglitz 1976, Weiss 1980).
Adanya distorsi antara upah yang diterima pekerja dengan upah yang berlaku
di pasar juga diterangkan dalam teori insider versus outsider (Lindbeck dan Snower,
9
2001). Menurut teori itu pekerja di perusahaan yang disebut insider menggunakan
kekuatannya untuk mendorong upah di atas harga pasar, tetapi perusahaan tidak
berupaya untuk mengganti mereka dengan tenaga kerja baru (outsider) karena biaya
turn over pekerja yang dikeluarkan akan lebih tinggi. Teori insider ini didasarkan
atas beberapa asumsi, yaitu (i) perusahaan menanggung biaya turn over yang tidak
dapat seluruhnya dibebankan kepada pekerjanya, (ii) insider memiliki market power
yaitu support oleh serikat pekerja, (iii) pekerja baru yang bekerja cukup lama di
perusahaan akan berasosiasi dengan biaya turn over pekerja yang sama besarnya
dengan insider dan memiliki kesempatan untuk menegosiasikan kembali upahnya,
(iv) keputusan mengenai tenaga kerja dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan. Oleh
karena itu, kebijakan pemerintah terkait exit policy dan peningkatan keahlian
pekerja akan membantu mengurangi kekuatan insider dan memperkuat posisi tawar
outsider.
Menurut Mankiw (2005), keterkaitan antara upah riil dan produktivitas perlu
dilihat dengan hati-hati dengan berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama,
pengukuran upah harus berdasarkan total kompensasi yang meliputi upah dalam
bentuk cash dan kompensasi yang intangible (fringe benefit.) Dalam situasi
kompensasi intangible, seperti dana pensiun dan asuransi kesehatan menjadi
bagian utama dari kompensasi, upah dalam bentuk cash umumnya tidak sejalan
dengan produktivitas. Kedua, pemilihan indeks harga sangat penting karena
produktivitas dihitung berdasarkan data output. Deflator yang tepat untuk
penghitungan adalah deflator harga yang terkait dengan ouput dan bukan deflator
yang terkait dengan konsumsi. Upah riil yang dihitung dengan indeks harga
konsumen (CPI) akan jatuh jika dibandingkan dengan produktivitas. Ketiga, adanya
heterogenitas pekerja. Produktivitas lebih mudah dihitung dengan menggunakan
rata-rata pekerja, yaitu total ouput dibagi dengan total jam kerja. Namun, tidak
semua tipe pekerja memiliki perubahan tingkat produktivitas yang sama dengan
rata-rata. Produktivitas rata-rata (average productivity) lebih sesuai jika
dibandingkan dengan upah riil rata-rata. Keempat, tenaga kerja bukan satu satunya
input faktor produksi, faktor produksi lainnya adalah kapital. Sesuai dengan teori,
pengukuran produktivitas yang tepat untuk menentukan upah riil adalah marginal
product of labor (MPL), yaitu jumlah tambahan output yang dapat dihasilkan dengan
adanya tambahan jumlah pekerja. Dengan standar fungsi produksi Cobb Douglas,
marginal productivity (dY/dL) telah proporsional dengan average productivity.
10
Teori ekonomi menyatakan hubungan antara upah riil, produktivitas tenaga
kerja, dan kaitannya dengan share tenaga kerja. Dalam suatu perekonomian yang
mengombinasikan faktor input kapital dan tenaga kerja, output dinyatakan dalam
fungsi Cobb Douglas (1960) sebagai berikut6
𝑌 = 𝐴𝐾𝛼𝐿1−𝛼 ..............................................................................................(1)
dan jika dinyatakan dalam persamaan logaritma dapat dituliskan sebagai
ln 𝑌 = ln 𝐴 + 𝛼𝑙𝑛 𝐾 + 𝛽 ln 𝐿, 𝛼 + 𝛽 = 1…………………………………...................(2)
Keterangan: Y = total output, L = input tenaga kerja, dan K = input kapital; A = indeks
agregat teknologi atau sering disebut dengan TFP (total factor productivity). 𝛼, 𝛽
adalah share dari kapital dan tenaga kerja terhadap output. Nilai 𝛼, 𝛽, dan A
merupakan estimasi statistik dari persamaan. Perubahan nilai A menunjukkan
adanya perubahan/shifting dari hubungan antara agregat output dan agregat input
yang disebabkan oleh perubahan teknologi (seperti perubahan efisiensi dan/atau
perubahan skala operasi perusahaan). Persamaan ini menggunakan asumsi sebagai
berikut.
i) Perubahan teknologi adalah eksogen artinya ditentukan di luar model. Jumlah
tenaga kerja dan kapital tidak memiliki dampak terhadap perubahan teknologi.
ii) Constant return to scale artinya peningkatan faktor produksi akan mendorong
peningkatan output dalam proporsi yang setara sehingga nilai 𝛼 berada dalam
rentang 0 dan 1.
iii) Adanya diminishing return pada faktor produksi. Dengan menganggap faktor lain
konstan, penambahan faktor produksi berakibat pada menurunnya marginal
product dari faktor yang digunakan. Penambahan faktor produksi (tenaga kerja)
pada titik tertentu hanya akan memberikan tambahan yang terbatas pada
peningkatan output. Dengan membuat turunan pertama dari persamaan (1)
terhadap tenaga kerja akan didapat persamaan (3). Dengan persamaan ini
peningkatan jumlah tenaga kerja akan menurunkan marginal product of labor.
𝜗𝑌
𝜗𝐿=
𝐴𝐾𝛼(1−𝛼)
𝐿𝛼 .............................................................................................(3)
iv) Perfect competition. Tenaga kerja dan kapital berkompetisi secara bebas dan
transaksi untuk peralihan keduanya tidak signifikan. Marginal revenue of product
6 Rumusan ini mengacu pada penurunan rumus yang terdapat dalam paper Sharpe et al.
(2008).
11
(marginal product of labor x harga output) untuk setiap faktor produksi sama
dengan kompensasinya. Setiap perusahan akan merekrut pekerja sampai pada
suatu titik, yaitu marginal product yang dihasilkan dari setiap tambahan jam
kerja akan sama dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan menggunakan
persamaan (3), hubungan antara marginal product of labor (MPL) dengan upah
riil (𝑤𝑟) yang optimal adalah
𝜗𝑌
𝜗𝐿= 𝑀𝑃𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟 = 𝑤𝑟 ...................................................................................(4)
Karena dalam perekonomian nyata perfect competition tidak atau jarang terjadi,
tenaga kerja tidak mendapatkan marginal product, tetapi mendapatkan marginal
revenue of product (MRP), yaitu tambahan revenue dari setiap tambahan jam kerja.
Dengan mengombinasikan persamaan (1) dengan harga output 𝑃𝑦, diperoleh nilai
output nominal sebagai berikut
𝑌𝑛𝑜𝑚 = 𝑃𝑦𝐴𝐾𝛼𝐿1−𝛼 .....................................................................................(5)
Output Y dinyatakan dalam nominal. Marginal revenue of product dinyatakan sebagai
𝜗𝑌𝑛𝑜𝑚
𝜗𝐿=
𝑃𝑦𝐴𝐾𝛼(1−𝛼)
𝐿𝛼 = 𝑀𝑅𝑃𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟 = 𝑃𝑦 ∗ 𝑤𝑟 = 𝑊.................................................(6)
W adalah upah nominal yang dinyatakan dalam Rp/jam kerja, berbeda dengan upah
riil (𝑤𝑟) yang dinyatakan dalam unit output. Untuk mengonversi upah nominal
menjadi upah riil, nilai W dibagi dengan harga output menjadi
𝑊
𝑃𝑦= 𝑤𝑟.....................................................................................................(7)
Produktivitas tenaga kerja diukur dengan rata-rata produktivitas tenaga kerja
riil yang diperoleh dari output riil Y dibagi dengan L, jumlah waktu kerja pegawai.
𝐿𝑎𝑏𝑜𝑢𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 = 𝑌
𝐿............................................................................(8)
Dengan menyubstitusi persamaan (1) ke dalam persamaan (8) akan dihasilkan
𝐿𝑎𝑏𝑜𝑢𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 = 𝑌
𝐿=
𝐴𝐾𝛼𝐿1−𝛼
𝐿= 𝐴 (
𝐾𝛼𝐿
𝐿.𝐿𝛼)
𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 = 𝐴 (𝐾
𝐿)
𝛼= 𝛾 .............................................................(9)
Dengan asumsi bahwa perekonomian yang beroperasi menggunakan constant return
to scale dan menerapkan kerangka pasar tenaga kerja dengan menggunakan dasar
neo-classicial (Blanchard dan Katz, 1997), marginal product of labor sama dengan
average product of labor. Oleh karena itu, upah riil sama dengan labor productivity
12
𝑤𝑟 = 𝐴 (𝐾
𝐿)
𝛼...............................................................................................(10)
Selain itu, diketahui bahwa total kompensasi bagi Labor (𝑌𝑙) adalah upah nominal
per jam kerja (W) dikalikan dengan total waktu kerja (L)
𝑊 ∗ 𝐿 = 𝑌𝑙 ..............................................................................................(11)
𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑠ℎ𝑎𝑟𝑒 = 𝑌𝑙
𝑌= 1 − 𝛼 = 𝜑 ...................................................................(12)
Dengan membagi pembilang dan penyebut pada persamaan (12) masing-masing
dengan perkalian harga output (𝑃𝑦) dan jumlah waktu kerja (L), 𝑌𝑙 = 𝑊 ∗ 𝐿 akan
menghasilkan
(𝑊∗𝐿
𝑃𝑦∗𝐿)
(𝑌
𝑃𝑦∗𝐿)
= 𝜑................................................................................................(13)
𝑊
𝑃𝑦= 𝜑 ∗ (
𝑌
𝑃𝑦∗𝐿).........................................................................................(14)
𝑟𝑒𝑎𝑙 𝑤𝑎𝑔𝑒 = 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑠ℎ𝑎𝑟𝑒 𝑥 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 ..........................................(15)
Jika persamaan (14) dinyatakan dalam logaritma dan derivasi dari waktu, akan
diperoleh upah riil optimal sebagai berikut:
𝑙𝑛 𝑤𝑟 = ln (𝜑) + ln (𝑀𝑃𝐿) .........................................................................(16)
Uraian mengenai hubungan antara upah optimal dan produktivitas di atas
didasarkan atas share tenaga kerja yang diperoleh dari fungsi produksi dengan
menggunakan dua input, yaitu kapital (K) dan tenaga kerja (L). Penggunaan 4 jenis
faktor produksi yang meliputi kapital (K), tenaga kerja (L), energi (E), dan bahan
baku (M) dalam fungsi produksi untuk mengestimasi share keempat faktor produksi
di antaranya terdapat dalam paper Berndt dan Wood (1975). Keduanya
menggunakan pendekatan translog cost function. Lebih lanjut, fungsi produksi
diasumsikan constant return to scale dan setiap technical change yang
mempengaruhi K, L, E, dan M adalah Hicks-neutral7. Metode cost function
menggunakan pendekatan optimisasi biaya produksi. Perbedaan production function
dan cost function terletak pada asumsi yang digunakan. Pada pendekatan cost
function, biaya produksi dan jumlah input dianggap endogen sementara harga input
serta tingkat output adalah eksogen. Oleh karena itu, ketika tingkat ouput dan harga
input dianggap eksogen, umumnya penggunaan metode cost function yang
7 Hicks-neutral: setiap perubahan tidak mempengaruhi komposisi keseimbangan labor dan
kapital dalam fungsi produksi.
13
menggunakan harga input sebagai variabel regresi lebih disukai. Hasil empiris dari
penggunaan 4 faktor produksi dengan asumsi constant return to scale dalam paper
Berndt dan Wood adalah parameter 𝛼𝐾 , 𝛼𝐿 , 𝛼𝑀 , dan 𝛼𝐸8 masing-masing sebesar
0,0564, 0,2539, 0,6455, dan 0,0442.
Adanya deviasi upah riil dari marginal productivity of labor dalam jangka
pendek dapat berimplikasi pada profit margin perusahaan pada skala mikro.
Sementara itu, dalam skala makro, kondisi itu dapat berpengaruh pada
menurunnya penyerapan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja (Klein, 2013).
Beberapa penelitian yang diuraikan di bawah ini menerangkan hubungan antara
produktivitas tenaga kerja dan upah riil.
Dritsakis (2001) melakukan analisis kausalitas multivariat antara upah riil,
CPI, produktivitas tenaga kerja, tingkat pengangguran, dan GDP berdasarkan model
VECM dengan menggunakan data periode 1960 sampai 2000 di Yunani. Dalam
penelitian itu ditemukan ada hubungan kausalitas yang kuat antara upah riil dan
produktvitias tenaga kerja dan tingkat pengangguran serta antara tingkat
pengangguran dan produktivitas tenaga kerja. Bildiricci (2008) melakukan
penelitian untuk melihat hubungan jangka panjang antara upah dan produktivitas
di Turki pada periode 1990–2007. Hasil empiris membuktikan bahwa hipotesis
adanya hubungan linier dalam jangka panjang antara produktivitas tenaga kerja
dan upah ditolak. Selanjutnya dengan menggunakan TAR cointegration approach
ditemukan hubungan jangka panjang yang tidak linier antara upah dan
produktivitas. Weber (2009) juga menemukan bahwa hubungan jangka panjang
antara upah riil dan produktivitas terbukti setelah dilakukan tes pengujian adanya
struktural break. Klein (2013) melakukan penelitian mengenai hubungan antara
upah riil dan produktivitas kerja dengan menggunakan analisis panel data antara
Afrika Selatan dan beberapa negara emerging dan negara maju9 pada periode 1996–
2009. Hasil empiris menunjukkan bahwa upah riil memiliki hubungan positif dan
signifikan terhadap produktivitas dalam jangka panjang walaupun elastisitas
keduanya di bawah 1 yang berarti peningkatan upah cenderung didorong oleh faktor
lain. Persamaan jangka pendek juga menemukan bahwa periode penyesuaian
deviasi terhadap titik keseimbangangannya cukup lama. Selain itu dalam analisis
8 𝛼𝐾 , 𝛼𝐿 , 𝛼𝑀, dan 𝛼𝐸 masing-masing adalah share untuk kapital, tenaga kerja, bahan baku,
dan energi. 9 Sampel negara yang digunakan adalah Argentina, Brazil, Chile, Cina, Colombia, Hungaria,
Indonesia, Israel, Korea, Malaysia, Mexico, Peru, Philippines, Polandia, Rusia, Thailand,
Turkey, Ukraina, dan India.
14
ditemukan adanya dampak negatif dari peningkatan upah riil terhadap sektor
informal yang terjadi proses subtitusi antara pekerja nonformal dan pekerja formal.
Goh dan Wong (2010) melakukan penelitian mengenai hubungan produktivitas,
upah, dan unemployment dengan data time series dari tahun 1970–2005 di Malaysia.
Hasil penelitian itu menunjukkan ada hubungan kointegrasi jangka panjang antara
upah riil dan produktivitas. Selanjutnya ditemukan elastisitas produktivitas upah
riil lebih besar dari 1 (upah riil sangat responsif terhadap perubahan produktivitas
tenaga kerja), yang menunjukkan adanya lag antara peningkatan produktivitas
pekerja dan kenaikan upah riil.
Penelitian yang mengunakan data sektor manufaktur untuk melihat
hubungan antara upah riil dan produktivitas tenaga kerja di antaranya dilakukan
oleh (i) Strauss dan Wohar (2004) untuk sektor manufaktur US, (ii) Tang (2012)
untuk sektor manufaktur Malaysia pada periode 1980–2009, dan (iii) Niyak dan
Patra (2013) untuk sektor manufaktur India pada periode 1999–2009. Strauss dan
Wohar menemukan adanya hubungan kointegrasi dalam jangka panjang antara
upah riil dan produktivitas tenaga kerja pada hampir sebagian besar subsektor
industri dan sebagian lainnya tidak memiliki hubungan tersebut. Penelitian dengan
data Malaysia menggunakan uji kointegrasi Johansen dan hasil empiris
mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut tidak bersifat
linier, tetapi menunjukkan hubungan kuadratik (inverted U-shaped curve). Oleh
karena itu, hubungan upah riil dan produktivitas tenaga kerja adalah non-
monotonic. Penelitian dengan data India menunjukkan hubungan korelasi positif di
antara kedua variabel tersebut.
2.2 Upah Minimum
Tujuan upah minimum secara umum adalah untuk aspek pemerataan
(distribusi), yaitu untuk meyakinkan bahwa golongan pekerja dengan keahlian
terbatas (low skill worker) dapat menerima kompensasi yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari hari. Namun, kebijakan upah minimum telah
mengundang banyak perdebatan. Kritik standar adalah bahwa kebijakan upah
minimum dapat menggusur tenaga kerja dengan keahlian terbatas (low skilled
worker) dari sektor pekerjaan formal sehingga kebijakan ini dapat menjadi
kontraproduktif terhadap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
(Kauffman, 1986). Kebijakan upah minimum yang merupakan intervensi dari
pemerintah dapat menjadikan pasar tenaga kerja menjadi kurang fleksibel dan
15
dalam jangka panjang dapat memiliki efek pada berkurangnya penciptaan lapangan
kerja dan meningkatnya pengangguran.
Dampak upah minimum sejatinya bergantung pada karakteristik pasar
tenaga kerja apakah kompetitif atau nonkompetitif. Dalam pasar tenaga kerja yang
perfectly competitive, banyak perusahaan berkompetisi untuk mencari pekerja.
Perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan upah, tetapi pasar yang
menentukan upah. Dalam kondisi ini, jika suatu perusahaan berdeviasi dari upah
yang ditetapkan pasar, perusahaan tersebut akan mengalami kerugian dalam
jangka panjang. Di sisi lain terdapat labor market yang nonkompetitif dan sering
disebut dengan monopsonic market. Dalam monopsonic market terdapat satu
perusahaan (major employer) yang memiliki kekuatan untuk mengatur upah tanpa
kuatir kehilangan pekerja dan kompetisi. Dampak upah minimum dalam kondisi
competitive dan monopsonistic labor market digambarkan dalam Grafik 4 dan Grafik
5 berikut.
Wa
ge
Labor demand Labor supply
N1 N*N
W*
W1
N2
Unemployment
Grafik 4. Competitive Labor Market
Wa
ge
Marginal product
of laborLabor supply
Nm N*N
Marginal cost
of labor
Wo
Wm
A
BW1
Grafik 5. Monopsonistic Labor Market
Perbedaan antara pasar tenaga kerja yang competitive dan monopsonic adalah
pada kurva supply tenaga kerja. Kurva supply untuk pasar tenaga kerja yang
kompetitif adalah perfectly elastic, yang berarti perusahaan dapat merekrut pekerja
sebanyak yang diinginkan pada harga pasar. Restaurant dan supermarket adalah
salah satu contoh competitive firm dalam labor market. Dalam pasar tenaga kerja
yang kompetitif, besaran upah sama dengan marginal product of labour (MPL). Dari
Grafik 4, upah keseimbangan dalam pasar yang kompetitif adalah pada w*. Pada
16
tingkat upah kurang dari w*, permintaan akan lebih tinggi daripada supply sehingga
akan mendorong upah bergerak menuju w*. Demikian pula halnya jika upah lebih
besar dari w*, upah akan bergerak menuju titik keseimbangannya. Apabila
pemerintah menerapkan kebijakan yang mewajibkan pemberian upah minimum
sebesar w1, pada kondisi upah yang lebih tinggi ini permintaan terhadap pekerja
akan menurun, yaitu dari N* ke N1, sedangkan supply pekerja meningkat dari N*
menjadi N2. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan di pasar tenaga kerja. Pekerja
yang sangat membutuhkan pekerjaan akan bersedia untuk dibayar di bawah upah
minimum, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan. Di lain pihak, perusahaan bersedia
untuk memberikan upah yang lebih rendah untuk pekerja, tetapi terkendala oleh
ketentuan pemerintah. Akibatnya kenaikan upah minimum akan meningkatkan
pengangguran.
Supply curve yang dihadapi perusahaan monopsonic adalah upward sloping.
Tingkat upah optimum bagi perusahaan monopsonic adalah Wo, yaitu marginal
product of labor = labor supply. Perusahaan dapat memaksimalkan profitnya ketika
biaya untuk merekrut tambahan pekerja (marginal cost of labour) sama dengan
tambahan output yang dihasilkan (MCL = MPL). Oleh karena itu, tingkat employment
yang ideal untuk perusahaan monopsonic adalah di Nm. Dengan karakteristik yang
monopsonic tersebut perusahaan dapat mengenakan tingkat upah sebesar Wm yang
lebih rendah dari upah kompetitif Wo atau upah W1. Jika akan merekrut lebih
banyak pekerja menjadi Nm, perusahaan akan mengurangi profit perusahaan.
Apabila pemerintah menetapkan kebijakan upah minimum misalnya sebesar Wo,
kurva marginal cost of labor akan menjadi lebih datar sehingga berpotongan dengan
kurva labor supply. Hal itu terjadi karena biaya untuk tambahan pekerja adalah
sebesar upah minimum (sepanjang perusahaan tidak ingin untuk merekrut pekerja
lebih dari jumlah yang bersedia bekerja pada atau di bawah upah minimum ini).
Dalam kondisi monopsonic ini kebijakan upah minimum akan berdampak positif,
yaitu meningkatkan employment dengan mengurangi efek negatif dari kekuatan
monopsonic.
Dampak kebijakan upah minimum dapat ditemukan dalam beberapa
literatur. Untuk kasus di negara maju, hasil empiris secara umum menyatakan
bahwa kebijakan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga
17
kerja10. Dengan adanya tekanan kenaikan upah dan rigiditas ketentuan
perburuhan, perusahaan dapat (i) merekrut tenaga kerja dalam jumlah yang lebih
rendah, (ii) mengganti pekerja dengan mesin, (iii) mengurangi insentif, serta (iv)
merelokasi perusahaan ke tempat lain. Pihak yang paling dirugikan dari kebijakan
tersebut adalah tenaga kerja baru, wanita dengan pengalaman kerja minimal, serta
mereka yang produktivitasnya terlalu rendah untuk menyesuaikan dengan tuntutan
upah baru. Pihak lain yang juga dirugikan adalah konsumen karena kenaikan upah
akan mendorong kenaikan biaya produksi sehingga harga barang berpeluang untuk
meningkat, sedangkan pihak yang diuntungkan adalah pegawai dengan
produktivitas rendah yang sudah berada dalam perusahaan karena mendapatkan
proteksi dari kebijakan ini.
Dalam kasus Indonesia, Alatas (2008) meneliti dampak kebijakan upah
minimum pada industri garmen serta kulit skala besar dan kecil. Hasil penelitian
membuktikan tidak ada dampak negatif dari kebijakan itu terhadap penyerapan
tenaga kerja oleh industri dengan skala besar, tetapi kebijakan itu berdampak
signifikan pada industri kecil. Penelitian lainnya dilakukan oleh Carpio et al. (World
Bank, 2012). Dengan menggunakan data survei dari Statistik Industri untuk
rentang waktu 1993 s.d. 2006 ditemukan bahwa dampak upah minimum terhadap
penyerapan tenaga kerja adalah positif jika menggunakan data panel provinsi (fixed
effects perusahaan) dan negatif jika menggunakan data panel perusahaan (fixed
effects perusahaan). Adanya anomali hasil ini menurut Carpio karena adanya
permasalahan endogeneity bias dalam persamaan. Dengan menggunakan data
panel perusahaan diperoleh hasil bahwa kebijakan upah minimum berdampak
negatif terhadap penyerapan tenaga kerja, khususnya di perusahaan kecil dan
pekerja yang kurang berpendidikan. Pengaruh negatif itu lebih kuat terjadi pada
pekerja di divisi bukan produksi dan pada pekerja wanita.
10Rocheteau dan Murat Tasci (2007) dan Elgrably (2006). Dalam tulisan ini dirangkum
beberapa hasil studi empiris mengenai dampak kebijakan upah minimum di US dan
Kanada.
18
III. KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN
Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi memiliki pasar tenaga kerja
yang sangat besar. Jumlah penduduk Indonesia selama tahun 2000 hingga tahun
2013 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 1,35 persen per tahun. Pada tahun
2013 jumlah penduduk mencapai 248 juta jiwa, tumbuh 23,64 persen dari jumlah
penduduk tahun 2000. Menurut Kemenakertrans11, secara struktural angkatan
kerja merupakan bagian dari penduduk usia kerja sehingga jumlah angkatan kerja
sangat tergantung pada jumlah penduduk usia kerja yang masuk ke dalam
angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja setiap tahunnya terus mengalami
peningkatan sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk usia kerja.
Peningkatan angkatan kerja Indonesia yang mencapai 118,19 juta orang pada 2013,
tumbuh 23,57 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2000 atau sekitar
1,6% per tahun. Pertumbuhan angkatan kerja cenderung mengalami penurunan
dalam lima tahun terakhir (Grafik 6). Apabila ditinjau dari penyebarannya, sebagian
besar angkatan kerja berada di pulau Jawa, yaitu sekitar 59%, di pulau Sumatra
19%, dan sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya. Selain itu tenaga kerja produktif
masih didominasi oleh kaum pria (Grafik 7).
Sumber: Sakernas
Grafik 6. Jumlah dan
Pertumbuhan Angkatan Kerja Produktif
Sumber: Sakernas
Grafik 7. Penyebaran Angkatan Kerja Produktif (2013)
Sektor industri pengolahan hampir sebagian besar berada di pulau Jawa
dengan komposisi terbesar berada Jawa Barat, diikuti Jawa Timur, dan DKI Jakarta
11 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
19
(Grafik 8). Hal itu tidak mengherankan karena selain faktor infrastruktur yang lebih
lengkap, Pulau Jawa juga menyediakan lebih banyak tenaga kerja produktif jika
dibandingkan dengan pulau lain. Sektor manufaktur merupakan sektor terbesar ke-
4 penyerap tenaga kerja setelah sektor pertanian, sektor perdagangan-hotel-
restoran dan sektor keuangan-sewa-jasa (Grafik 9) dengan rata-rata kisaran sebesar
12%–13%. Selanjutnya apabila ditinjau dari kualitas tenaga kerja, produktivitas
tenaga kerja sektor manufaktur sekitar 5–6 kali produktivitas sektor pertanian
(Grafik 10). Produktivitas tenaga kerja berdasarkan sektor ekonomi terbesar berada
pada sektor pertambangan, kemudian diikuti sektor keuangan-sewa-jasa, sektor
listrik-gas-air bersih, sektor transportasi dan komunikasi, serta sektor industri
pengolahan.
Sumber: Kementerian Perindustrian
Grafik 8. Penyebaran Perusahaan
Sektor Industri Pengolahan
Sumber: CEIC
Grafik 9. Penyerapan Tenaga Kerja
per Sektor Ekonomi
Sumber : CEIC
Grafik 10. Produktivitas Tenaga Kerja (Relatif terhadap Sektor
Pertanian)
Sumber : Sakernas
Grafik 11. Tingkat Pendidikan
Tenaga Kerja Sektoral
20
Tenaga kerja pada sektor industri pengolahan masih didominasi oleh pekerja
dengan tingkat pendidikan hingga SMA (Grafik 11). Tenaga kerja berpendidikan
tinggi lebih banyak terserap ke sektor jasa, keuangan, serta sektor perdagangan.
Tingkat pendidikan mempengaruhi besaran tingkat upah yang diterima oleh
pekerja. Dari Grafik 12 terlihat bahwa sektor yang didominasi pekerja dengan
tingkat pendidikan rendah umumnya memiliki tingkat upah yang lebih rendah.
Sektor pertanian memiliki tingkat upah terendah. Tingkat upah nominal pada sektor
industri pengolahan hampir setara dengan sektor perdagangan-hotel-restoran dan
sektor konstruksi, tetapi dalam dua tahun terakhir relatif lebih tinggi. Walaupun
sudah mengalami peningkatan, upah pada sektor industri pengolahan jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan sektor pertambangan, sektor keuangan, dan sektor
jasa.
Sumber : CEIC
Grafik 12. Upah Nominal Tenaga Kerja Sektoral
Sumber : CEIC
Grafik 13. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Klasifikasi Industri
Sumber : BPS, diolah
Grafik 14. Unit Biaya Tenaga Kerja
Berdasarkan Klasifikasi Industri
Sumber : BPS, diolah
Grafik 15. Produktivitas Tenaga
Kerja Berdasarkan Klasifikasi Industri
21
Apabila dipilah dalam beberapa klasifikasi industri sesuai dengan
penggunaan standar ISIC12, sebagian besar tenaga kerja umumnya bekerja di sektor
industri jenis unskilled labor intensive dan paling sedikit berada di industri jenis
footloose capital intensive (Grafik 13). Industri yang tergolong unskilled labor
intensive adalah tekstil, pakaian jadi, furnitur, serta pencetakan, reproduksi media,
dan rekaman. Industri yang tergolong footloose capital intensive adalah barang logam
bukan mesin dan peralatannya, komputer, barang elektronik dan optik, serta mesin
dan perlengkapannya. Rata-rata biaya tenaga kerja pada kelompok industri yang
tergolong unskilled labor intensive merupakan yang paling rendah jika dibandingkan
dengan jenis industri lainnya (Grafik 14). Dalam data 4 tahun terakhir, yaitu sejak
tahun 2010 biaya tenaga kerja pada jenis resource based-labour intensive meningkat
cukup signifikan. Industri ini meliputi industri makanan, minuman, dan kayu. Hal
itu menunjukkan bahwa kompensasi untuk biaya tenaga kerja dipengaruhi oleh
kompetensi tenaga kerja. Rendahnya biaya tenaga kerja untuk sektor unskilled
labour intenstive sejalan dengan produktivitas tenaga kerja yang juga relatif rendah
jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Produktivitas tenaga kerja tertinggi
dimiliki oleh sektor industri footloose capital intensive walaupun cenderung
menurun dalam tahun-tahun terakhir (Grafik 15).
Terkait dengan penerapan upah minimum, masih cukup banyak sektor
industri di daerah yang belum menerima upah di atas upah minimum provinsi yang
ditetapkan pada tahun 2012, yaitu Aceh, Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel,
Bengkulu, Lampung, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulsel, dan Sulteng (Grafik 16). Dalam
penelitian oleh Anglingkusumo (2012), upah minimum provinsi ditransmisikan
dalam tahun yang sama pada upah aktual di sektor provinsi. Hal ini terlihat dari
korelasi antara UMR dan upah aktual sektor manufaktur riil yang cenderung
meningkat dalam tiga tahun terakhir (Grafik 17).
12 Kelompok industri berdasarkan kategori ISIC (international standar industry classification)
dibedakan dalam lima kelompok, yaitu (i) unskilled labour intensive, (ii) resource based-labour intensive, (iii) resource based-capital intensive, (iv) electronics, and (v) footloose capital intensive.
22
Sumber : CEIC
Grafik 16. Penerapan Upah Minimum Regional di Sektor
Industri Pengolahan
Sumber : BPS
Grafik 17. Korelasi Antara Upah Aktual Sektor Industri Pengolahan
Riil dengan UMR riil
23
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Hubungan antara Upah Riil dan Produktivitas Pekerja
Untuk melihat hubungan jangka panjang antara upah riil dan produktivitas
pekerja, metodologi yang akan digunakan adalah panel cointegration. Prakondisi
yang dibutuhkan dalam estimasi dengan panel cointegration adalah variabel yang
digunakan memiliki unit root yang diuji dalam uji panel unit root. Terdapat beberapa
pendekatan untuk melakukan uji panel unit root, yaitu uji Levin and Lin (1992), Im,
Pesaran and Shin (1997), Harris and Tzavalis (1999), Madala and Wu (1999), Choi
(1999), serta Hadri (1999). Pemilihan metode bergantung pada karakteristik data
panel tersebut.
Panel Unit Root Test
Bentuk persamaan umum dari pengujian unit root untuk data panel
dikembangkan dari model autoregressive (Verbeek, 2008) yang dinyatakan dalam
persamaan berikut
𝑦𝑖,𝑡=𝛼𝑖 + 𝛾𝑖𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑢𝑖𝑡 …………………………………………...............................(17)
yang kemudian dapat dituliskan kembali menjadi
∆𝑦𝑖,𝑡=𝛼𝑖 + 𝜋𝑖𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑢𝑖𝑡 ...............................................................................(18)
Penjelasanya adalah 𝜋𝑖 = 𝛾𝑖 − 1 . Hipotesis nol adalah bahwa semua data memiliki
unit root yang dapat dituliskan dengan
𝐻0: 𝜋𝑖 = 0 untuk semua i.
Hipotesis alternatifnya di antaranya adalah bahwa semua data adalah stasioner
dengan parameter mean reversion yang sama yang dituliskan dengan
𝐻1: 𝜋𝑖 < 0 untuk setiap i.
Pendekatan ini digunakan dalam metode Levin dan Lin (1993), Quah(1994), Harris
dan Tzavalis (1999), dan Breitung (2000). Hipotesis alternatif lainnya yang
digunakan oleh Maddala dan Wu (1999), Choi(2001), dan Im, Pesaran dan Shim
(2003) adalah sekurangnya satu individu memiliki data stasioner yang dinyatakan
sebagai
𝐻1: 𝜋𝑖 < 0 untuk sekurangnya satu individu i
24
Pendekatan oleh Hadri (1999) menggunakan residual berdasarkan LM test untuk
menguji hipotesis null bahwa setiap data series i adalah stasioner di sekitar trend
deterministik. Hipotesis alternatifnya adalah adanya unit root di panel data.
Dalam penelitian ini uji panel root yang digunakan adalah metode Breitung dan
Hadri.
Panel Cointegration
Ketika suatu hubungan kointegrasi belum diketahui, yang merupakan kasus
pada umumnya, uji kointegrasi dilakukan dengan terlebih dahulu mengestimasi
persamaan kointegrasi. Untuk model dengan menggunakan dua variabel,
persamaan data panel dapat dinyatakan sebagai berikut.
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖𝑥𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 .................................................................................(19)
Kedua variabel 𝑦𝑖𝑡 dan 𝑥𝑖𝑡 berintegrasi dengan ordo satu. Hubungan kointegrasi
menyatakan bahwa 𝑢𝑖𝑡 adalah stasioner untuk setiap i. Hubungan kointegrasi yang
bersifat homogen mengharuskan bahwa 𝛽𝑖 = 𝛽. Jika parameter kointegrasi
heterogen dan homogenitas diwajibkan, persamaan yang diestimasi menjadi
𝑦𝑖,𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑥𝑖𝑡 + [(𝛽𝑖 − 𝛽)𝑥𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡] .............................................................(20)
dan secara umum komposit error term berintegrasi di orde (I) walaupun 𝑢𝑖𝑡 adalah
stasioner.
Untuk menguji adanya hubungan kointegrasi dalam data panel, kami
menggunakan metode terbaru dari Westerlund (2007). Westerlund mengembangkan
empat uji panel kointegrasi yang cenderung didasarkan pada pendekatan struktural
daripada residual dinamis sehingga tidak menekankan pada restriksi common factor.
Ide yang dikembangkan adalah menguji hipotesis nol tidak ada kointegrasi dengan
menyimpulkan apakah error correction term dalam panel error correction kondisional
sama dengan nol. Tes terbaru yang digunakan terdistribusi normal dan dapat
mengakomodasi efek individu dinamis dalam jangka pendek, trend individu, slope
parameter, dan cross sectional dependence. Dua uji didesain untuk mendeteksi
apakah panel terkointegrasi secara keseluruhan (panel whole cointegration test),
sedangkan dua tes terakhir digunakan untuk melihat alternatif dalam panel
setidaknya ada satu unit yang terkointegrasi (group mean cointegration test).
Pengujian error correction pada panel data dapat ditulis dengan persamaan
sebagai berikut.
25
𝛥𝑦𝑖,𝑡 = 𝛿𝑖′𝑑𝑡 + 𝛼𝑖(𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝛽𝑖
′𝑥𝑖,𝑡−1) + ∑ 𝛼𝑖𝑗𝑝𝑖𝑗=1 𝛥𝑦𝑖,𝑡−𝑗 + ∑ 𝛾𝑖𝑗
𝑝𝑖𝑗=−𝑞𝑖
𝛥𝑥𝑖,𝑡−𝑗 + 𝑒𝑖𝑡 ............(21)
atau dapat ditransformasikan sebagai berikut (Westerlund, 2007)
𝛥𝑦𝑖,𝑡 = 𝛿𝑖′𝑑𝑡 + 𝛼𝑖𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝜆𝑖
′𝑥𝑖,𝑡−1 + ∑ 𝛼𝑖𝑗𝑝𝑖𝑗=1 𝛥𝑦𝑖,𝑡−𝑗 + ∑ 𝛾𝑖𝑗
𝑝𝑖𝑗=−𝑞𝑖
𝛥𝑥𝑖,𝑡−𝑗 + 𝑒𝑖𝑡................(22)
Penjelasanya adalah 𝜆𝑖′ = −𝛼𝑖𝛽𝑖
′ . Parameter 𝛼𝑖 menentukan kecepatan koreksi error
correction menuju kembali ke keseimbangan 𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝛽𝑖′𝑥𝑖,𝑡−1 setelah terjadi
goncangan (sudden shock). Jika 𝛼𝑖 < 0, terdapat error correction yang
mengindikasikan 𝑦𝑖,𝑡 dan 𝑥𝑖,𝑡 terkointegrasi. Apabila 𝛼𝑖 = 0, tidak terdapat error
correction yang mengindikasikan 𝑦𝑖,𝑡 dan 𝑥𝑖,𝑡 tidak terkointegrasi sehingga dapat
ditulis bahwa hipotesis nol untuk tidak adanya kointegrasi adalah 𝐻0: 𝛼𝑖 = 0 bagi
semua individu i. Alternatif hipotesis tergantung pada asumsi homogenitas dari 𝛼𝑖.
Dua test pertama dinamakan group mean test yang tidak mensyaratkan 𝛼𝑖𝑠 sama,
yang berarti 𝐻0 dites versus 𝐻1𝑔
: 𝛼𝑖 < 0 setidaknya untuk satu individu i. Dua tes
terakhir disebut panel test, yang mengasumsikan bahwa 𝛼𝑖 bernilai sama untuk
semua individu i sehingga desain 𝐻1𝑝
: 𝛼𝑖 = 𝛼 < 0 untuk semua individu i.
Adapun persamaan untuk pengujian hubungan jangka panjang dari upah riil
dan produktivitas adalah sebagai berikut
ln (𝑦𝑖,𝑡) = 𝜇𝑖 + 𝜏𝑖𝑡 + 𝛼𝑖ln (𝑥𝑖,𝑡) + 𝑒𝑖𝑡 ..............................................................(23)
Penjelasanya adalah y = upah riil dan x adalah produktivitas tenaga kerja.
Persamaan di atas akan diuji dengan menggunakan metode panel kointegrasi
Westerlund yang telah terdapat dalam software STATA, yaitu command xtwest. Data
yang digunakan adalah data panel dari sektor industri pengolahan di 26 provinsi
selama rentang waktu 2002–2012 dengan frekuensi tahunan.
Tabel 1. Data Pengujian Unit Root dan Panel Kointegrasi
Variabel Keterangan Sumber
Upah riil Upah riil sektor industri pengolahan di tiap-tiap provinsi. Upah riil dihitung menggunakan deflator sektor industri pengolahan.
BPS
Produktivitas Produktivitas tenaga kerja sektor industri pengolahan provinsi yaitu PDB sektor industri pengolahan/jumlah pekerja sektor industri pengolahan.
BPS
26
4.2 Estimasi Fungsi Produksi dan Penentuan Upah Optimal
Penentuan tingkat produktivitas tenaga kerja akan mengacu pada fungsi
produksi Cobb Douglas yang dinyatakan dalam persamaan berikut.
𝑌 = 𝐴𝐿𝛼𝐾1−𝛼 ............................................................................................(24)
atau dalam fungsi linier menjadi
ln(𝑌) = a + 𝛼 ln(𝐿) + (1 − 𝛼)ln (𝐾) ................................................................(25)
Y adalah ouput riil, K= kapital, dan L = Labor (tenaga kerja), 𝛼= share tenaga kerja
yang digunakan untuk produksi output dan (1 − 𝛼) = share kapital yang digunakan
dalam produksi output. Dengan melakukan penurunan fungsi output terhadap
tenaga kerja pada persamaan (24) akan dihasilkan elastisitas output terhadap tenaga
kerja yang dilambangkan dengan
𝛼 = (𝜕𝑌
𝜕𝐿) /(
𝑌
𝐿)............................................................................................(26)
Persamaan (26) dapat ditulis menjadi persamaan berikut
𝛼 = (𝜕𝑌
𝜕𝐿) 𝑥 (
𝐿
𝑌) ........................................................................................(27)
Berdasarkan asumsi teori neoklasik tentang factor pricing dan dalam
perfectly competitive long run equilibrium, suatu industri akan memaksimalkan profit
dengan mempekerjakan tenaga kerja sampai pada tingkat marginal product of labor
(MPL) sama dengan upah riil (𝑤𝑟) atau dengan kata lain 𝜕𝑌
𝜕𝐿= 𝑤𝑟. Dengan
menyubtitusikan teori tersebut pada persamaan (27), dapat diketahui bahwa
𝛼 = 𝑤𝑟 (𝐿
𝑌) .............................................................................................(28)
Penjelasanya adalah 𝑤𝑟 (𝐿
𝑌) sering disebut sebagai share tenaga kerja terhadap
output. Oleh karena itu, tingkat upah riil dapat ditentukan dengan persamaan
berikut
𝑤𝑟 = 𝛼. (𝑌
𝐿) ............................................................................................(29)
Dengan memasukkan teori yang menyatakan tingkat upah riil optimal akan
sama dengan marginal productivity of labor (produktivitas tenaga kerja), persamaan
(29) dapat ditulis sebagai berikut.
𝑀𝑃𝐿 = 𝑤𝑜𝑝𝑡 = 𝛼. (𝑌
𝐿) ................................................................................(30)
27
Penjelasanya adalah 𝛼 = share tenaga kerja dalam fungsi produksi dan (𝑌
𝐿) =
produktivitas tenaga kerja.
Dalam penelitian ini penentuan tingkat produktivitas tenaga kerja serta
tingkat upah optimal akan menggunakan persamaan (30). Adapun fungsi produksi
Cobb Douglas yang akan diestimasi adalah fungsi produksi sektor industri
pengolahan dengan fungsi pengembangan yang memasukkan faktor input material
serta bahan bakar energi yang dinyatakan dalam persamaan
𝑌 = 𝐴 𝐿𝑎1𝐾𝑎2𝑅𝑎3𝐸𝑎4.................................................................................(31)
atau dalam fungsi linier menjadi
ln(𝑌) = ln(𝐴) + 𝑎1 ln(𝐿) + 𝑎2ln (𝐾) + 𝑎3ln (𝑅) + 𝑎4ln (𝐸) ................................(32)
Penjelasannya adalah L = jumlah tenaga kerja (labor), K = kapital, R = input material
dan E = bahan bakar energi yang digunakan. 𝑎1, 𝑎2, 𝑎3, dan 𝑎4 masing-masing
merupakan share tenaga kerja, share kapital, share input material, dan share energi
yang digunakan untuk menghasilkan output.
Untuk mengestimasi persamaan (32), metode yang akan digunakan adalah
metode data panel. Data yang digunakan adalah data Statistik Industri yang
dikelompokkan berdasarkan 3 digit ISIC (47 subsektor) dari tahun 1998–2009
dengan frekuensi tahunan. Seluruh variabel dinyatakan dalam nilai riil yang
dihitung dengan menggunakan deflator sektor industri pengolahan. Spesifikasi data
dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Data Fungsi Produksi
Variabel Keterangan Sumber
Y Total output industri BPS – Statistik Industri
K Biaya sewa barang modal BPS – Statistik Industri
L Biaya pekerja BPS – Statistik Industri
R Biaya input bahan baku (raw material) yang digunakan
BPS – Statistik Industri
E Biaya energi (bahan bakar) yang digunakan
BPS – Statistik Industri
Dalam metode data panel terdapat dua pendekatan, yaitu fixed effect model
(FEM) dan random effect model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau
28
tidaknya korelasi antara komponen error dan peubah bebas. FEM muncul ketika
antara efek individu dan periode memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola
yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu
dan waktu menjadi bagian dari intersep, yaitu
untuk one way error component: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝜆𝑖𝛽 + 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑢𝑖................................(33)
untuk two way error component: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝜆𝑖 + 𝜇𝑖 + 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑢𝑖 ...........................(34)
REM muncul ketika efek individu dan periode tidak berkorelasi dengan Xit atau
memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek
individu dan waktu dimasukkan ke dalam error karena
untuk one way error component: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜆𝑖 ............................... (35)
untuk two way error component : 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜆𝑖 ...............................(36)
Hal penting dalam melakukan pemilihan fixed atau random efek adalah
asumsi bahwa nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0, atau E(τi xit) = 0.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan Hausman test. Hausman test dapat
secara langsung digunakan untuk memilih FEM atau REM dengan hipotesis sebagai
berikut.
𝐻0 = 𝐸(𝜏𝑖|𝑥𝑖𝑡) = 0, tidak ada korelasi antara komponen error dan peubah
bebas (REM)
𝐻0 = 𝐸(𝜏𝑖|𝑥𝑖𝑡) ≠ 0, komponen error memiliki korelasi dengan peubah bebas
(FEM)
Setelah mendapatkan model terbaik, langkah selanjutnya adalah melakukan
uji homoskedastisitas dan uji autokorelasi. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi
dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi
bersifat BLUE (best linier unbiased estimate) sehingga var (ui) harus sama dengan σ2
(konstan) atau semua residual/error mempunyai varian yang sama. Panel
heterokedastisitas dapat diartikan bahwa varian error dalam kluster bernilai
konstan 𝐸(𝑒𝑖𝑡2 ) = 𝐸(𝑒𝑖𝑆
2 ) = Ơ𝑖2, tetapi bervariasi antar-unit 𝐸(𝑒𝑖𝑡
2 ) ≠ 𝐸(𝑒𝑗𝑡2 )
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar-observasi dalam satu peubah
atau korelasi antar-error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji
autokorelasi yang dilakukan bergantung pada jenis data dan sifat model yang
digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Korelasi
serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi.
29
Jika model data panel terbukti memiliki masalah heteroskedastisitas dan
autokorelasi, perlu dilakukan perhitungan dengan panel corrected standard error
(PCSE). PCSE mampu mengakomodasi masalah heterokedastisitas dan
contemporaneously correlated errors.
4.3 Dampak Deviasi Upah Optimal dan Upah Aktual terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja
Untuk menguji dampak kebijakan upah minimum terhadap penyerapan tenaga
kerja digunakan persamaan berikut.
𝑒𝑚𝑝𝑙𝑜𝑦𝑖,𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝛼 𝑒𝑚𝑝𝑙𝑜𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝛽𝑥𝑖𝑡 + 𝛾𝑍𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 , 𝑖 .......................................(37)
Penjelasanya adalah employ = employment, x adalah selisih antara upah optimal dan
upah aktual per propinsi, dan Z adalah variabel kontrol lainnya
Data yang akan digunakan dalam persamaan ini adalah data panel 26 provinsi
periode 2002–2012 dengan frekuensi tahunan.
Tabel 3. Data Dampak Deviasi Upah terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Variabel Keterangan Sumber
employ Employment sektor industri pengolahan provinsi.
BPS
selisih_upah riil Selisih upah optimal dengan upah aktual sektor industri pengolahan yang diterima untuk tiap-tiap provinsi.
BPS dan hasil hitungan
g_gdpsektor industri Pertumbuhan GDP sektor industri provinsi
BPS
schooling Average year of schooling provinsi BPS
Metode analisis data yang digunakan untuk mengestimasi persamaan (37)
adalah metode panel data dinamis dengan teknik estimasi yang menggunakan
pendekatan GMM (generalized method of moments) yang mengacu pada metodologi
Verbeek (2004). Hubungan dinamis dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen
di antara variabel-variabel regresor. Penggunaan metode panel dinamis dengan
pendekatan GMM bertujuan untuk mengontrol bias yang berkaitan dengan
simultanitas dan individual special effect setiap individu yang tidak bisa teramati.
30
Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua
alasan yang mendasari. Pertama, GMM merupakan common estimator dan
memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian.
Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya,
terutama terhadap maximum likelihood..Namun, penduga GMM juga tidak terlepas
dari kelemahan, asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar, tetapi kurang
efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan estimator ini terkadang
memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu
perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Adapun
jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model
linear autoregresif adalah (i) first-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM) dan (ii)
system GMM (SYS-GMM)
31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hubungan Jangka Panjang Antara Upah Riil dan Produktivitas
Untuk melihat hubungan jangka panjang antara tingkat upah dan
produktivitas dalam penelitian ini, digunakan metode panel kointegrasi yang
dikembangkan oleh Westerlund (2007). Sebelum menguji apakah terdapat
kointegrasi antara upah riil dan produktivitas, perlu dipastikan terlebih dahulu
bahwa semua data series terintegrasi pada orde atau derajat yang sama, yaitu I(1).
Dalam hal ini dilakukan uji unit root dengan menggunakan metode Breitung dan
Hardi untuk melihat apakah tiap-tiap variabel yang diuji memiliki unit root
(nonstasioner) atau tidak memiliki unit root (stasioner).
Tabel 4. Hasil Uji Unit Root
Variabel
Metode Unit Root Test
1.Breitung
H0 : Panels contain unit roots
H1 : Panels are
stationer
2. Hadri
H0 : All panels are stationary
H1 : Some panels contain unit roots
P-Value P-Value
Upah Riil (level)
Produktivitas (level)
0,5538
0,2055
0,000
0,000
Upah Riil (first diff)
Produktivitas (first diff)
0,000
0,000
1,000
0,1157
Berdasarkan uji Breitung diperoleh bahwa p-value untuk variabel upah riil
dan produktivitas tenaga kerja adalah 0,5538 dan 0,2055 yang berarti hasil uji
statistik menunjukkan hasil yang tidak signifikan atau kedua variabel tersebut
memiliki unit root (tidak stasioner) pada level. Begitu juga dengan metode Hadri, uji
statistik menunjukkan upah riil dan produktivitas tenaga kerja (p-value = 0.000)
adalah tidak stasioner pada level. Kemudian, metode yang sama digunakan untuk
melihat stasioneritas dari kedua variabel pada first differenced. Berdasarkan hasil
uji Breitung dan Hadri diperoleh simpulan bahwa kedua variabel telah stasioner
pada first differenced, seperti yang ditampilkan pada Tabel 4. Oleh sebab itu, dapat
32
disimpulkan bahwa variabel upah riil dan produktivitas telah memiliki derajat
integrasi yang sama, yaitu pada I(1).
Setelah mengetahui bahwa variabel upah riil dan produktivitas memiliki
derajat integrasi yang sama, yaitu pada derajat satu I(1), metode panel kointegrasi
yang dikembangkan oleh Westerlund dapat digunakan. Adapun hasil uji kointegrasi
dengan metode Westerlund dapat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Kointegrasi Metode Westerlund
Statistic Value Z-value P-value
Gt
Ga
Pt
Pa
-1,146
-1,888
-4,005
-1,676
-0,833
2,146
-1,201
-1,145
0,202
0,984
0,115
0,126
Dengan metode Westerlund dilakukan empat pengujian kointegrasi yang
dibagi dalam dua kelompok tes, yaitu uji panel kointegrasi group mean test (Gt dan
Ga) dan uji panel kointegrasi keseluruhan whole panel test (Pt dan Pa). Dari
pengujian tersebut tidak ditemukan hasil yang signifikan untuk membuktikan
bahwa terdapat kointegrasi linier dalam jangka panjang antara upah riil dan
produktivitas atau, dengan kata lain, tidak terdapat kointegrasi (tidak tolak H0:
terdapat kointegrasi).
Tidak adanya hubungan linier jangka panjang antara upah riil dan
produktivitas kurang sejalan dengan asumsi teori yang ada meskipun beberapa
penelitian juga menemukan hal serupa, di antaranya di Turki oleh Bildiricci (2008)
dan Strauss dan Wohar pada beberapa sektor industri di US. Mihaljek dan Saxena
(2010) juga mengemukakan fakta bahwa peningkatan upah riil di negara-negara
emerging market sering melampaui peningkatan produktivitas. Adanya
ketidakselarasan ini di antaranya bersumber dari terbatasnya tenaga kerja terlatih
serta kebijakan upah yang kurang tepat. Sebagaimana diketahui bahwa upah yang
berlaku saat ini, khususnya untuk medium to low skilled labour, cenderung
ditentukan oleh komponen standar biaya hidup minimal atau, dengan kata lain,
penentuan upah belum sepenuhnya memperhitungkan kinerja dan produktivitas
tenaga kerja. Tuntutan pekerja untuk kenaikan upah memaksa pemerintah
mengeluarkan besaran upah minimum yang dimungkinkan lebih tinggi
33
dibandingkan kenaikan produktivitas buruh. Hal itu berdampak pada
ketidakseimbangan antara biaya tenaga kerja yang dikeluarkan perusahaan dan
nilai tambah dari kegiatan produksi.
Ketidakterdeteksian hubungan kointegrasi tersebut terlihat pula dari
perbandingan antara pertumbuhan upah aktual dengan pertumbuhan
produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan relatif terhadap tahun
dasar 2001 yang dihitung secara riil (Grafik 18). Pertumbuhan produktivitas
terhadap tahun dasar cenderung stagnan, sedangkan pertumbuhan upah aktual
mengalami peningkatan yang signifikan. Gap yang semakin besar dapat
mengindikasikan hubungan antara upah dan produktivitas semakin tidak sejalan.
Adanya ketidakseimbangan antara produktivitas dan upah riil dalam jangka
panjang dapat memberikan implikasi negatif terhadap keseimbangan makro, di
antaranya pengurangan lapangan kerja di pasar tenaga kerja domestik dan
berkurangnya daya saing (competitiveness) produk Indonesia. Dalam jangka pendek
hal itu dapat berakibat pada berkurangnya profitabilitas perusahaan.
Sumber : BPS, diolah
Grafik 18. Pertumbuhan Upah dan Produktivitas Sektor Industri Pengolahan (Riil)13
13 Pertumbuhan upah aktual dan produktivitas (riil) dihitung relatif terhadap tahun dasar,
yaitu 2001.
34
5.2 Upah Optimal Sektor Industri Pengolahan Provinsi
Untuk menghitung tingkat upah optimal di sektor industri pengolahan,
terlebih dahulu dilakukan estimasi fungsi produksi industri untuk memperoleh nilai
koefisien share tenaga kerja. Nilai koefisien itu selanjutnya digunakan untuk
menghitung marginal product of labor (MPL) yang merupakan upah optimal. Estimasi
fungsi produksi dilakukan dengan menggunakan model panel statis terhadap 563
observasi yang terdiri atas 47 subsektor industri pengolahan. Jumlah 47 subsektor
itu merupakan subsektor industri ISIC tiga digit dari tahun 1998–2009. Sebelumnya,
dilakukan pengujian terlebih dahulu dengan menggunakan Hausman test untuk
memilih model yang tepat antara fixed effect atau random effect. Berdasarkan hasil
uji Hausman14, model yang dipilih adalah model fixed effect, selanjutnya dilakukan
uji asumsi, yaitu uji homoskedastisitas dan uji autokorelasi terhadap model tersebut.
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah
bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (best linier unbiased
estimate) sehingga var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau
error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut homoskedastisitas,
sedangkan apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan
heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas, dilakukan
beberapa prosedur, yakni membandingkan hasil dengan generalized least square
(GLS) yang memasukkan opsi dengan heteroskedasticity dan tanpa
heteroskedasticity. Selanjutnya digunakan lrtest untuk membandingkan kedua
model tersebut. Berdasarkan uji yang dilakukan, terindikasi bahwa model yang
dibangun mengandung heterokedastisity. Hipotesis nol adalah model bersifat
homoskedastik. Dari hasil tes diketahui bahwa probabilitas dari chi square adalah
0,000 yang mengindikasikan model melanggar asumsi homoskedastisity. Untuk
melihat adanya autokorelasi dalam model, digunakan uji xtserial dalam STATA. Pada
STATA, H0 dari uji autokorelasi adalah tidak ada korelasi, artinya jika hasil
menunjukkan tolak H0, model yang dibangun memiliki masalah autokorelasi.
Berdasarkan uji yang dilakukan, diketahui bahwa p-value dari uji panel autokorelasi
bernilai 0,09 yang berarti tidak signifikan pada level 1% dan 5% sehinggga dapat
disimpulkan ada indikasi autokorelasi. Untuk mengatasi permasalahan
heteroskedastisitas dan autokorelasi, model panel yang dibangun diestimasi dengan
14 Hausman Test
H0 : Random Effect chi2 (4) = (b-B)’ [(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
H1 : Fixed Effect = 16,49
Prob>chi2 = 0,0024
35
pendekatan panel-corrected standard errors (PCSE). Berdasarkan langkah-langkah
tersebut diperoleh gambaran fungsi produksi sektor manufaktur Indonesia tampak
seperti yang ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Estimasi Fungsi Produksi
Dalam fungsi produksi, share tenaga kerja (labor share) merupakan koefisien
dari faktor produksi tenaga kerja dan dari Tabel 6 adalah sebesar 0,221. Nilai
koefisien dari faktor tenaga kerja, modal, energi, dan bahan baku yang diperoleh
dari hasil estimasi relatif mendekati hasil dalam paper Berndt dan Wood yang
menggunakan pendekatan cost function dan asumsi constant return to scale.15
Parameter 𝛼𝐾 , 𝛼𝐿 , 𝛼𝑀 , dan 𝛼𝐸16 masing-masing adalah sebesar 0,0564, 0,2539,
0,6455, dan 0,0442.
Sementara itu, labor productivity merupakan produktivitas tenaga kerja yang
diukur dari perbandingan antara output sektor industri terhadap total tenaga kerja
sektor industri pengolahan.
𝑟𝑒𝑎𝑙 𝑤𝑎𝑔𝑒 = 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑠ℎ𝑎𝑟𝑒 𝑥 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦.....................................................(38)
Hasil estimasi dari fungsi produksi tersebut akan dijadikan acuan besaran
share tenaga kerja sektor industri pengolahan di seluruh provinsi Indonesia. Dengan
15 untuk sektor manufaktur di US dari tahun 1947–1971 16 𝛼𝐾 , 𝛼𝐿 , 𝛼𝑀, dan 𝛼𝐸 masing-masing adalah share untuk kapital, tenaga kerja, bahan baku,
dan energi.
Ln_OutputEstimated
Coefficients
Robust Standard
ErrorP>IzI
Ln. Labor 0.221 0.024 0.000
Ln_Modal 0.029 0.014 0.040
Ln_Energi 0.052 0.012 0.000
Ln_Raw Material 0.708 0.023 0.000
Constanta 1.416 0.168 0.000
Rho 0.564
Uji Heterokedastis Lr chi2 (47) = 2965.36
H0 : Homokedastis Prob > chi2 = 0.000
H1 : Heterokedastis
Uji Autokorelasi F(1,46) = 2.975
H0 : No Autokorelasi Prob > F = 0.0913
H1 : Autokorelasi
36
demikian, upah optimal (riil) tenaga kerja di sektor industri pengolahan di setiap
provinsi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.
𝑈𝑝𝑎ℎ 𝑜𝑝𝑡𝑖𝑚𝑎𝑙 = 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑠ℎ𝑎𝑟𝑒 ∗ (𝐺𝐷𝑃 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑓𝑎𝑘𝑡𝑢𝑟
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑓𝑎𝑘𝑡𝑢𝑟)..............................(39)
𝑈𝑝𝑎ℎ 𝑜𝑝𝑡𝑖𝑚𝑎𝑙 = 0, 221 ∗ (𝐺𝐷𝑃 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑓𝑎𝑘𝑡𝑢𝑟 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑓𝑎𝑘𝑡𝑢𝑟).......................(40)
Dengan menggunakan rumus pada persamaan (40), dapat diperoleh
gambaran upah optimal pekerja sektor industri pengolahan pada tiap-tiap provinsi
seperti tampak pada Tabel 7. Upah optimal dan upah aktual dinyatakan dalam nilai
riil. Hasil analisis dalam tabel ini juga perlu dicermati dengan hati-hati, khususnya
untuk daerah-daerah kaya migas seperti Aceh, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur,
dan Papua. Idealnya sektor manufaktur di keempat provinsi itu dipisahkan antara
nonmigas dan migas, tetapi terkendala dengan data jumlah tenaga kerja di sektor
manufaktur nonmigas. Oleh karena itu, kami tetap menggunakan data sektor
manufaktur total untuk provinsi-provinsi yang tercatat memiliki SDA migas besar.
Selain itu, mengingat data yang digunakan adalah sektor manufaktur, fakta
mengenai konsentrasi sektor manufaktur di Pulau Jawa yang sebesar 89% juga
perlu dipertimbangkan dalam melihat hasil dari analisis upah dari provinsi di luar
Jawa.
37
Tabel 7. Upah Optimal Sektor Manufaktur Per Provinsi
Sumber: CEIC dan hasil pengolahan data
Pada Tabel 7 periode pengamatan dibagi per lima tahun, yaitu 2002, 2007,
dan 2012. Jika dilihat secara keseluruhan, hampir semua pekerja pada sektor
industri pengolahan tiap-tiap provinsi menerima upah aktual yang lebih tinggi
daripada upah optimal, yaitu masing-masing 19, 18, dan 20 provinsi pada tahun
2002, 2007, dan 2012. Rata-rata selisih upah aktual dengan upah optimal
cenderung mengalami pelebaran, yaitu dari Rp289.772,00 pada tahun 2002 menjadi
Rp345.062,00 pada tahun 2007 dan menjadi Rp606.533,00 pada tahun 2012.
Provinsi
Jawa 2002 2007 2012 2002 2007 2012
1. Jakarta - - - (389,526) (160,163) (59,631)
2. Jawa Barat V V V 10,434 9,168 519,492
3. Jawa Tengah V V V 142,725 187,154 290,615
4. Yogyakarta V V V 192,493 397,058 669,270
5. Jawa Timur V V V 50,496 120,604 266,711
Sumatera 2002 2007 2012 2002 2007 2012
1. Aceh - - V (2,292,702) (296,900) 380,369
2. Sumatera Utara - - - (456,677) (204,883) (119,469)
3. Sumatera Barat - V V (34,424) 277,515 352,200
4. Riau V - V 237,132 (215,215) 140,082
5. Jambi V V - 170,715 36,280 (371,724)
6. Sumatera Selatan - - - (198,604) (383,511) (167,916)
7. Bengkulu V V V 256,164 568,059 457,085
8. Lampung V V V 38,893 227,965 576,576
BalNusTra 2002 2007 2012 2002 2007 2012
1. Bali V V V 297,191 528,179 746,554
2. Nusa Tenggara Barat V V V 846,691 448,792 846,691
3. Nusa Tenggara Timur V V V 476,555 846,607 653,432
Kalimantan 2002 2007 2012 2,002 2007 2012
1. Kalimantan Barat V - - 60,901 (304,635) (7,653)
2. Kalimantan Tengah V V V 459,055 102,681 493,637
3. Kalimantan Selatan V V V 313,947 336,180 1,864,069
4. Kalimantan Timur - - - (2,819,077) (5,985,025) (3,310,157)
Sulampua 2002 2007 2012 2002 2007 2012
1. Sulawesi Utara V V V 370,213 343,927 523,441
2. Sulawesi Tengah V V V 118,352 160,657 525,421
3. Sulawesi Selatan - - V (26,459) (19,068) 48,952
4. Sulawesi Tenggara V V V 178,566 153,833 277,760
5. Maluku V V V 438,612 625,077 1,064,177
6. Papua V V V 548,750 841,381 1,434,126
Jml Propinsi dgan upah aktual >
upah nominal19 18 20
Rata-Rata selisih upah aktual
thd upah nominal 289,772 345,062 606,533
Upah Aktual Riil yang diterima
> Upah Optimal Riil (√)
Selisih Upah Aktual – Upah
Optimal (Rp)
38
Dari Tabel 7 terlihat beberapa provinsi yang konsisten menerima upah aktual
lebih rendah dari upah optimal selama tiga kurun tersebut, yaitu Jakarta, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Namun, selisih upah tersebut
mengalami penurunan dari waktu ke waktu, kecuali untuk Kalimantan Timur.
Sebagai contoh untuk Jakarta penurunan selisih upah adalah dari Rp389.526,00
pada tahun 2002, Rp160.163,00 pada tahun 2007, dan Rp59.631,00 pada tahun
2012. Provinsi lain yang tercatat menerima upah aktual lebih rendah dari upah
optimal pada tahun 2007 s.d. 2012 adalah Kalimantan Barat meskipun selisih
tersebut relatif kecil pada tahun 2012.
Beberapa provinsi yang tercatat memiliki selisih upah aktual terhadap upah
optimal yang cukup besar (di atas rata-rata nasional) selama waktu pengamatan
(2002, 2007, dan 2012) adalah Balnustra, Kaltim, Maluku, dan Papua, sedangkan
selisih upah aktual di Yogyakarta hanya terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2012.
Gambaran selengkapnya dari pergerakan upah aktual dan upah optimal dari
tiap-tiap provinsi selama 2002–2012 disajikan dalam Grafik 19–24. Dari grafik
tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar provinsi dalam setiap tahun pada
periode tersebut menerima upah aktual yang lebih besar daripada upah optimal.
Apabila ditelisik lebih dalam, terdapat beberapa provinsi yang mengalami pelebaran
selisih upah riil terhadap upah optimal, khususnya pada tahun 2008–2012 yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sumatera
Barat, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua.
Provinsi DKI Jakarta
Provinsi Jawa Barat
39
Provinsi Jawa Tengah
Provinsi DI Yogyakarta
Provinsi Jawa Timur
Grafik 19. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Jawa
Berdasarkan Grafik 19–24 tersebut dapat ditemukan pula provinsi yang
semula menerima upah aktual riil di bawah upah optimal, kemudian sejak tahun
2008 upah optimalnya di atas upah aktual yaitu provinsi DKI Jakarta, Aceh,
Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Barat. Namun, terdapat juga beberapa
provinsi yang secara konsisten selalu menerima upah aktual di atas upah optimal
yang seharusnya diterima. Provinsi tersebut antara lain adalah Jawa Tengah,
Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Bengkulu, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, dan
Maluku. Selama periode 2002–2012 provinsi yang sebagian besar periodenya
menerima upah aktual di bawah upah optimal adalah Sumatra Selatan, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat. Dari grafik per provinsi terdapat pula temuan yang
cukup menarik, yaitu terdapat beberapa provinsi yang memiliki pola yang sangat
dinamis setiap tahunnya karena upah yang diterima terkadang berada di bawah
upah optimal dan sebaliknya. Adapun provinsi tersebut adalah Jambi, Sumatera
Barat, dan Sulawesi Tengah, terutama sebelum tahun 2009.
40
Provinsi Bali
Provinsi NTB
Provinsi NTT
Grafik 20. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Balnustra
Provinsi Aceh
Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatra Barat
Provinsi Riau
41
Provinsi Jambi
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Bengkulu
Provinsi Lampung
Grafik 21. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Sumatra
Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Timur
Grafik 22. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Kalimantan
42
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara
Grafik 23. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Sulawesi
Provinsi Maluku
Provinsi Papua
Grafik 24. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Sulawesi
Kecenderungan semakin melebarnya selisih antara upah aktual dan upah
optimal yang mencerminkan produktivitas di berbagai provinsi sejalan dengan
penelitian Mihaljek dan Saxena (2010) karena peningkatan upah riil di negara-
negara emerging market sering melampaui peningkatan produktivitas. Adanya
ketidakselarasan itu di antaranya bersumber dari terbatasnya tenaga kerja terlatih
serta kebijakan upah yang kurang tepat. Tekanan akan kenaikan upah, khususnya
di Jawa, juga diperkuat oleh besarnya peran serikat pekerja untuk
mempertahankan kondisi eksisting. Sebagaimana diterangkan dengan teori insider
43
versus outsider (Lindbeck dan Snower, 2001), pekerja di perusahaan yang disebut
insider menggunakan kekuatannya untuk mendorong upah berada di atas harga
pasar, tetapi perusahaan tidak berupaya untuk mengganti mereka dengan tenaga
kerja baru (outsider) karena biaya turn over pekerja yang dikeluarkan akan lebih
tinggi. Terlebih lagi dengan ketentuan kompensasi pemutusan hubungan kerja yang
cukup berat.
Dari gambaran pergerakan upah aktual yang dibandingkan dengan upah
optimal, selanjutnya dapat dipetakan hubungan antara selisih upah optimal
terhadap upah aktual sektor manufaktur dan tingkat produktivitas pekerja pada
tiap-tiap provinsi seperti yang digambarkan pada Grafik 25–27. Pada grafik tersebut,
hubungan antara selisih upah dan produktivitas dibagi ke dalam empat kuadran
sebagaimana terdapat dalam gambaran berikut.
Kuadran 4
Upah optimal < Upah Aktual
Produktivitas TK > Nasional
Kuadran 1
Upah optimal > Upah Aktual
Produktivitas TK > Nasional
Kuadran 3
Upah optimal <Upah Aktual
Produktivitas TK < Nasional
Kuadran 2
Upah optimal > Upah Aktual
Produktivitas TK < Nasional
Grafik 25–27 secara berurutan menunjukkan hubungan selisih upah optimal
dan upah aktual yang dikaitkan dengan tingkat produktivitas yang dibagi ke dalam
tiga periode waktu, yaitu periode 2002, 2007, dan 2012. Hal yang perlu dicermati
adalah posisi di kuadran 1 dan kuadran 3. Kedua kuadran menunjukkan kondisi
ketidaksesuaian antara upah dan produktivitas tenaga kerja yang signifikan. Pada
tahun 2002 Provinsi Aceh, Jakarta, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan
merupakan provinsi yang berada pada kuadran 1. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pada tahun tersebut, dengan tingkat produktivitas tenaga kerja di
atas rata-rata nasional, upah aktual pekerja sektor industri pengolahan pada
keempat provinsi tersebut masih berada di bawah upah optimal yang seharusnya
diterima. Untuk kategori kuadran tiga, pada tahun 2002 terdapat delapan belas
provinsi yang termasuk kategori tersebut, yaitu Provinsi Jambi, Bengkulu,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Dengan demikian, dapat
44
disimpulkan bahwa hampir 70% provinsi di Indonesia menerima upah aktual di atas
upah optimal meskipun produktivitas tenaga kerjanya termasuk ke dalam kategori
rendah (di bawah rata-rata nasional).
Grafik 25. Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja dan Deviasi Upah Provinsi
(2002)
Setelah lima tahun yaitu pada tahun 2007, terjadi pergeseran yang cukup
signifikan daripada tahun 2002. Untuk kuadran 1 terdapat penambahan jumlah
provinsi, dari yang semula hanya Jakarta, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara
bertambah menjadi Jakarta, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau, Aceh, dan
Kalimantan Barat. Riau yang semula masuk ke dalam kuadran empat, pada tahun
2007 bergeser menuju kuadran satu. Sementara itu, Aceh dan Kalimantan Barat
yang semula berada pada kuadran tiga, pada tahun 2007 masuk ke dalam kategori
kuadran 1 sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun 2007 terjadi peningkatan
jumlah provinsi yang menerima upah aktual di bawah upah optimal. Selain itu,
produktivitas juga semakin meningkat pula jika dibandingkan dengan rata-rata 5
tahun sebelumnya, sedangkan untuk kuadran 3 meskipun jumlah provinsi yang
masuk ke dalam kategori ini tetap sama, yaitu 18 provinsi atau setara 70% nasional,
tetapi terjadi perubahan nama provinsi yang masuk ke dalam kategori ini. Provinsi
tersebut, antara lain, adalah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku,
dan Papua.
45
Grafik 26. Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja dan Deviasi Upah Provinsi (2007)
Pada tahun 2012 provinsi yang termasuk dalam kuadran 1 adalah Jakarta,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat berada dalam
kuadran 1. Dari kelima provinsi tersebut empat di antaranya selalu berada pada
kuadran satu sejak periode 2002, 2007, dan 2012, hanya Provinsi Jambi yang
mengalami pergeseran yang signifikan dari kuadran tiga menuju kuadran satu.
Untuk kuadran 3 terdapat 17 provinsi yang masuk ke dalam kategori tersebut, yaitu
Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Pada
tahun 2012 pekerja sektor industri pengolahan di ketujuh belas provinsi tersebut
menerima selisih upah aktual di atas upah optimal meskipun produktivitas tenaga
kerjanya cenderung rendah di bawah rata-rata nasional.
46
Grafik 27. Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja dan Deviasi Upah Provinsi
(2012)
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa selama periode
2002, 2007, dan 2012 sebagian besar provinsi Indonesia memberikan upah aktual
di atas upah optimal kepada tenaga kerja pada sektor industri pengolahan.
Sementara itu, upah aktual yang tinggi tersebut tidak didukung oleh produktivitas
tenaga kerja yang tinggi pula. Secara kontinu hampir seluruh provinsi di Pulau
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, serta sebagian Sulawesi dan Sumatera masuk ke dalam
kategori tersebut. Di sisi lain Provinsi Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
dan Kalimantan Barat secara kontinu menjadi provinsi yang menerima upah aktual
di bawah upah optimal yang seharusnya diterima, sedangkan produktivitas tenaga
kerja sektor industri pengolahan di provinsi tersebut lebih tinggi jika dibandingkan
dengan rata-rata produktivitas nasional. Meskipun begitu, selisih upah aktual yang
berada di bawah upah optimal tersebut tidak berada dalam kisaran yang signifikan,
hanya berkisar antara Rp30.000,00–Rp300.000,00, sedangkan untuk kondisi
kuadran 3, selisih upah aktual yang terjadi jauh berada di atas upah optimal yang
seharusnya diterima dengan rentang selisih yang cukup besar.
5.3 Dampak Perbedaan Upah Optimal dan Upah Aktual terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja
Pada bagian ini akan dianalisis bagaimana dampak perbedaan upah tersebut
terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan pada tiap-tiap
provinsi serta bagaimana melihat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
47
penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut. Sebagai tahap awal dilakukan uji
untuk melihat apakah terjadi permasalahan endogenity antara selisih upah dan
tingkat penyerapan tenaga kerja. Untuk mengetahui hal tersebut, tes yang
dilakukan adalah tes yang dikembangkan oleh Hausman dengan hipotesis nol, yaitu
variabel bersifat exogenous. Berdasarkan uji Hausman17 yang dilakukan, diperoleh
hasil bahwa nilai p-value-nya sebesar 0,395 sehingga dapat disimpulkan bahwa
selisih upah tersebut bersifat exogenus. Setelah memastikan tidak terdapat
permasalahan endogeneity dalam model, estimasi panel dinamis dapat dilakukan
sesuai dengan model yang telah dibangun. Selanjutnya, model panel dinamis yang
digunakan adalah two step GMM-system (GMM-SYS) yang telah memenuhi kriteria
model terbaik untuk panel dinamis seperti yang ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Estimasi Panel Dinamis
Ln. Employment
Estimated
Coefficients Standard Error P>|z|
L1. Lnemployment
Ln. Selisih upah*
Growth Ymanufaktur
Ln. Schooling
Constanta
0,7949
-0,1521
0,0091
0,4607
1,4277
0,0266
0,0269
0,0014
0,1138
0,3317
0,000
0,000
0,000 0,000
0,000
Arellano Bond Test
Order 1
Order 2
H0: no autocorrelation
z Prob > z
-2,6855 0,0072
-0,3968 0,6915
Sargan Test
H0: Overidentfying restriction are valid
chi2(17) = 22,64098
Prob > chi2 = 0,1613
Ket: * = selisih upah optimal – upah aktual
Secara umum metode estimasi dalam model data panel dinamis
menunjukkan hasil estimasi yang baik. Hal itu terlihat dari tingkat signifikansi dan
17 Hausman Test for Endogeneity
H0 : ln selisih upah dalam model exogenous chi2 (3) = (b-B)’ [(V_b-V_B)^(-1)](b-B)
H1 : ln selisih upah dalam model endogeneous = 2,98
Prob>chi2 = 0,3953
48
tanda koefisien estimasi pada model yang sesuai dengan harapan teoretis. Selain
itu, metode panel dinamis dengan pendekatan GMM yang digunakan telah
memenuhi kriteria model terbaik secara statistik. Kriteria model panel dinamis
dengan pendekatan GMM terbaik adalah konsistensi dan validitas instrumen. Pada
model yang dibangun, kedua kriteria tersebut terpenuhi dengan baik sehingga
disimpulkan bahwa model dinamis yang dibangun adalah model terbaik.
Pada model pertama, konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil
Arellano-Bond (AB) dengan nilai statistik order 1 (-2,6855) dan peluang 0,007
menunjukkan signifikansi pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%, sedangkan nilai
statistik m2 (-0,3968) dan peluang 0,6915 menunjukkan nilai yang tidak signifikan
pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%. Oleh karena itu, berdasarkan uji ini penduga
dikatakan konsisten dan tidak ditemukan adanya autokorelasi. Kriteria
kesempurnaan model dinamis pada estimasi ini juga dilihat dari uji Sargan yang
dilakukan dengan nilai statistik sebesar 22,6409 dan peluang 0,1613 yang tidak
signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
korelasi antarresidu dan over-identifying restrictions sehingga bisa dikatakan tidak
ada masalah dengan validitas instrumen.
Hasil empiris membuktikan bahwa semakin besar selisih upah optimal
terhadap upah aktual akan berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja
pada sektor industri di seluruh provinsi dengan nilai koefisien sebesar 0,15. Hasil
itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan di antaranya oleh Elgin dan Kuzubas
(2013), untuk kasus Turki, yang menunjukkan bahwa upah yang tidak sejalan
dengan produktivitas berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran.
Sementara itu, pertumbuhan output sektor manufaktur serta average years of
schooling pada tiap-tiap provinsi berdasarkan hasil estimasi diduga berpengaruh
positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor industri pengolahan
dengan nilai koefisien berturut-turut sebesar 0,009 dan 0,46. Hal itu menunjukkan
semakin tinggi pertumbuhan output sektor industri pengolahan akan berdampak
pada peningkatan penyerapan jumlah tenaga kerja pada sektor tersebut. Begitu pula
dengan faktor average years of schooling, semakin tinggi rata-rata lama pendidikan
penduduk pada masing-masing provinsi akan berdampak pada peningkatan jumlah
penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan.
Hasil pada penelitian ini mendukung temuan sebelumnya, misalnya,
Suryadarma et al. (2007) menemukan hubungan positif antara pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, baik di perdesaan maupun di
49
perkotaan. Secara keseluruhan, seluruh variabel pertumbuhan PDB (pertanian,
industri, dan jasa di perkotaan dan perdesaan) memiliki hubungan positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan tenaga kerja. Rizwanul Islam (2004) juga
menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan kapasitas
produksi yang meningkat dan, karena itu, terdapat peningkatan kesempatan kerja
dengan produktivitas yang meningkat. Pertumbuhan ekonomi mengakibatkan
tingkat penyerapan tenaga kerja yang meningkat dengan upah riil yang lebih baik
sebagai akibat dari peningkatan produktivitas. Sementara itu, Mohammad Ikhsan
(2005) menemukan bahwa dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kesempatan
kerja sangat tergantung pada harga relatif tenaga kerja dan modal serta tahapan
pembangunan Indonesia. Distorsi dalam harga tenaga kerja, baik dalam bentuk
rigiditas pasar tenaga kerja maupun kebijakan upah minimum akan meningkatkan
harga relatif tenaga kerja dan mengurangi penciptaan lapangan kerja karena
pengusaha cenderung akan menggunakan teknologi yang menggunakan intensitas
modal yang lebih tinggi.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
50
5.1 Simpulan
1. Berdasarkan pengujian panel kointegrasi dengan metode Westerlund tidak
ditemukan hasil yang signifikan untuk membuktikan adanya hubungan
kointegrasi linier dalam jangka panjang antara upah riil dan produktivitas.
Adanya ketidakselarasan itu di antaranya dapat bersumber dari kebijakan
pengupahan yang masih belum sepenuhnya memperhitungkan kinerja dan
produktivitas tenaga kerja. Sebagaimana diketahui upah yang berlaku saat ini
khususnya untuk medium to low skilled labour lebih ditentukan oleh komponen
standar biaya hidup minimal. Tidak terdeteksinya hubungan kointegrasi
tersebut terlihat pula dari perbandingan antara pertumbuhan upah aktual dan
pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan relatif
terhadap tahun dasar 2001 yang tidak sejalan. Pertumbuhan produktivitas
terhadap tahun dasar cenderung stagnan, sedangkan pertumbuhan upah
aktual mengalami peningkatan yang signifikan.
2. Sebagian besar sektor industri pengolahan provinsi tercatat memberikan upah
aktual yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah optimal. Deviasi antara
upah optimal dan upah aktual pada tiap-tiap daerah cukup variatif, tetapi
terdapat beberapa provinsi yang mengalami pelebaran selisih upah aktual
terhadap upah optimal selama tahun 2008–2012, yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sumatera Barat, Bengkulu,
Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Maluku, dan Papua.
3. Jika upah tenaga kerja dikaitkan dengan produktivitas rata-rata sektor industri
pengolahan, selama periode 2002, 2007, dan 2012 hampir sebagian besar
provinsi Indonesia (sekitar 18–20 ) memberikan upah aktual di atas upah
optimal. Di lain pihak upah aktual yang tinggi tersebut tidak didukung oleh
produktivitas tenaga kerja yang tinggi (produktivitasnya berada di bawah rata-
rata produktivitas nasional). Provinsi yang secara kontinu berada dalam kategori
tersebut adalah hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara,
serta sebagian Sulawesi dan Sumatera.
4. Beberapa provinsi, yaitu DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan
Kalimantan Barat secara kontinu menerima upah aktual di bawah upah optimal
yang seharusnya diterima, sedangkan produktivitas tenaga kerja pada sektor
51
industri pengolahan lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
produktivitas nasional. Meskipun begitu, selisih upah aktual yang berada di
bawah upah optimal tersebut tidak berada dalam kisaran yang signifikan.
5. Semakin besar selisih upah optimal terhadap upah aktual akan berdampak
negatif terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor manufaktur di seluruh
provinsi. Selain itu, penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan
dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan output sektor industri pengolahan
serta average years of schooling pada tiap-tiap provinsi.
5.2 Saran
Deviasi antara upah optimal dan upah aktual pada sektor industri
pengolahan perlu mendapat perhatian yang serius karena dalam jangka pendek
dapat berimplikasi pada profit margin perusahaan pada skala mikro. Sementara itu,
dalam skala makro, kondisi tersebut dapat berpengaruh pada menurunnya
penyerapan tenaga kerja serta daya saing produk sektor industri pengolahan
Indonesia. Oleh karena itu, penerapan kebijakan upah minimum perlu lebih
memperhatikan tingkat produktivitas tenaga kerja. Sementara itu, di lain pihak
upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan keahlian harus
terus diaktifkan.
DAFTAR PUSTAKA
52
Alatas, Vivi & Cameron, Lisa A. “ The Impact of Minimum Wages on Employment in a Low-Income Country: A Quasi Natural Experiment in Indonesia”. Dalam ILR Review Vol. 61 No. 2 Cornell University.
Anglingkusumo, Reza et al. (2013). “Dampak Upah terhadap Produktivitas dan Inflasi” DKEM Working Paper No. WP/6/2013.
Berndt, Ernst & Wood, David (1975).”Technology, Prices, and the Derived Demand for Energy”. Dalam The Review of Economics and Statistics, Vol. 57, No. 3 (Aug., 1975), pp. 259–268,The MIT.
Carpio, Ximena D., Nguyen, Ha. & Wang, Liang C (2012).”Does the Minimum Wage Affect Employment?” World Bank Policy Research Working Paper 6147
Elgin, Cyhun & Kuzubas, Tolga U. (2013).” Wage-Productivity Gap in OECD Economies”. http://www.economics-ejournal.org/economics/journalarticles /2013-21
Kaufman, Bruce E. (2001) “The Economics of Labor Markets and Labor Relations”, The Dryden Press.
Klein, Nir (2012).” Real Wage, Labor Productivity, and Employment Trens in south Africa: A Closer Look”, IMF Working Paper No. 12/92
Kumar, Saten., Webber, Don., Perry, Geoff (2009).”Real Wages, Inflation & Labour Productivity in Australia”. Department of Busines Economics, Auckland University of Technology, New Zealand. https://ideas.repec.org/p/uwe/ wpaper/0921.html
Mankiw, Gregory (2003).Macro Economics. Fourth Edition. Worth Publisher
Mihaljek, Dubravko & Saxena, Sweta (2010).”Wages, Productivity & Structural Inflation in Emerging Market Economies”. BIS Paper http://www.bis.org/publ/bppdf/bispap49d.pdf
Nayak, Satya R. & Patra, Sudhakar (2013).” Wage-Labour Productivity Relationship in Manufacturing Sector of Odisha: An Observed Analysis”. Dalam International Journal of Engineering Science Invention. Volume 2 Issue 3.
Rocheteau, Guillaume & Tasci, Murat (2007),”The Minimum Wage and The Labor Market”. Federal Reserves Bank of Cleveleland.
Strauss, Jack & Wohar, Mark E. (2004).”The Linkage between Prices, Wages and Labor Productivity: A Panel Study of Manufacturing Industries”. Dalam Southern Economic Journal Vol 70 No. 4 (Apr., 2004, pp 920–941).
Sharpe, Andrew et al (2008), “The Relationship Between Labour Productivity and Real Wage Growth in Canada and OECD Countries” CSLS Research Report No. 2008-8
Tang, Chor Foon (2012).”The Non–Monotonic Effect of Real Wages on Labour Productivity: New Evidence From the Manufacturing Sector in Malaysia”. Dalam International Journal of Social Economics Volume 39 Issue 6.
Verbeek, Marno (2004).”A Guide to Modern Econometrics” Third Edition. John Wiley& Sons.
Westerlund, Joakim & Perysn, Damiaan (2008).“Error Correction Based Cointegration Test for Panel Data”. The Stata Journal 8 Numer 2, pp 232–241.