IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat...
Transcript of IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat...
i
IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL
ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI
DALAM MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN INKLUSIF
DI INDONESIA
SKRIPSI
Oleh:
Hidsal Jamil 135020100111028
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
iii
iv
v
RIWAYAT HIDUP
Identitas Diri
Nama
Hidsal Jamil
Tempat, tanggal lahir Luwu Timur, 9 Mei 1995 Jenis Kelamin Laki-Laki Agama Islam Alamat Jalan Poros Malili-Sorowako48,
Laskap, Malili, Luwu Timur Telepon +62-812-894-198-27 Email [email protected] atau
Pendidikan Formal
Institusi Tahun S1 Jurusan Ilmu Ekonomi, Universitas Brawijaya 2013-2017 SMA Negeri 1 Malili 2010-2013 SMP Negeri 1 Malili 2007-2010 SD Negeri 225 Karebbe 2001-2007
Pendidikan Non-Formal
Institusi Mata
Kursus/Pelatihan Instruktur Waktu Pelaksanaan
IndonesiaX Sustainable
Development Prof. Emil
Salim Juni – Juli 2017
PKDSP FEB UB Pelatihan Input-
Output Tim PKDSP Mei 2017
IndonesiaX Economic
Integration: The Case of ASEAN
Prof. Iwan Jaya Aziz
Desember 2016- Januari 2017
Eksekutif Mahasisiwa Universitas Brawijaya
Sekolah Kebangsaan Brawijaya
(Minat Politik)
Tim PK2MU Universitas Brawijaya
Oktober 2014
Pengalaman Profesional dan On Job Training
Institusi Jabatan Tahun
Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya
Asisten Peneliti
Oktober 2016 –Sekarang
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal,Kementerian Keuangan
Intern Analyst
Oktober – November 2016
vi
Pengalaman Sukarela
Institusi Jabatan Tahun
Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Ketua Komisi III Bidang Pengawasan
2016
Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi
Ketua Divisi Rnd 2015
Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi
Staf Divisi RnD 2014
Center for Islamic Economic Studies Staf Biro MIT 2014 Eksekutif Mahasiswa Univeristas
Brawijaya Staf Muda Kementerian
PSDM 2013
Publikasi Artikel
Judul Penerbit Edisi Terbit Selamat Hari Buruh, Sebastian ! Palopo Pos 4 Mei 2017
Berguru Kebahagiaan: Dari Bhutan hingga Skandinavia
Palopo Pos 19 April 2017
Menelusuri Jejak Pertumbuhan Ekonomi RI
Koran Sindo 11 Januari 2017
Merapal Mantra Pembangunan Palopo Pos 24 November 2016
Kurban dan Misi Memerangi Ketimpangan
Palopo Pos 21 September 2016
Stand by Me Doraemon dan Harapan Industri Kreatif di Indonesia
Portal Selasar 30 November 2014
Prestasi dan Penghargaan
Jenis Prestasi dan Penghargaan Penerbit Tahun
Partisipan dalam Internasional Essay Constest for Young People
The Goi Foundation and
UNESCO 2014
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Illahi Rabbi, telah memberikan kekuatan luar biasa yang
tiada terduga kepada saya sehingga mampu menyelesaikan tugas akhir ini.
Tugas akhir ini mungkin tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan Pemerintah
Indonesia melalui beasiswa yang disalurkan. Saya berharap tetap ada nyala
“pelita” yang menjangkau seluruh pelosok Indonesia.
Tugas akhir ini saya selesaikan di bawah bimbingan dan arahan Bapak
Dwi Budi Santoso, S.E., M.S., Ph.D. dengan segala pengorbanan dan
kesabarannya. Sebuah kebanggan bagi penulis telah dibimbing oleh beliau yang
juga merupakan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi. Saya berharap beliau diberikan
kekuatan agar tetap menjadi “guru” sekaligus pemimpin yang terus
mencerahkan.
Tugas akhir ini juga telah diuji oleh Bapak Prof. Ghozali Maski, SE., M.S.
selaku Dosen Penguji I dan Bapak Devanto Shasta Pratomo, SE., M.Si., Ph.D
selaku dosen Penguji II. Saya menerima banyak masukan yang konstruktif oleh
mereka demi perbaikan tugas akhir ini. Saya berharap semangat untuk perbaikan
kualitas tugas akhir di Jurusan Ilmu Ekonomi, tetap menjadi pegangan ke depan.
Saya ucapkan terima kasih pula kepada seluruh stakeholder yang telah
memfasilitasi saya, baik dalam kegiatan akademik maupun non-akademik, Bapak
Rektor Universitas Brawijaya, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ketua
Jurusan Ilmu Ekonomi, serta seluruh dosen di lingkungan FEB UB.
Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Keluarga Besar Ibu
Hj. Asia Rantia yang telah membuat kediamannya menjadi rumah kedua bagi
saya selama berada di Kota Malang. Semoga seluruh kebaikan akan diganjar
dengan pahala yang setimpal oleh-Nya.
viii
Saya ucapkan terima kasih kepada Keluarga Besar DPM FEB UB 2016
(wabilkhusus Dimas Aditya,Yand, Zul, Wella, Vero) dan seluruh BPH HMJIE
FEB UB 2015 yang telah meninggalkan banyak cerita yang penuh suka-duka.
Saya kira persahabatan tetap akan mengesankan, tak ada alasan yang menjadi
sekat pemisah di antara kita.
Saya ucapkan terima kasih kepada Keluarga Besar Pusat Kajian Ekonomi
Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) yang telah membersamai selama
setengah tahun terakhir, Mas Kholis, Mbak Visi, Mbak Daneta, Mbak Oky,
Mbak Ulfa. Dari mereka saya belajar arti pertemanan dan kekeluargaan
sekaligus.
Saya ucapkan terima kasih kepada Nasrah,yang dengan kebaikan hatinya,
telah memberikan akses terhadap referensi yang berkualitas. Saya tidak bisa
membayangkan betapa sulitnya menulis tugas akhir ini jika tanpa didukung
referensi yang memadai.
Terakhir dan terpenting, adalah emma’, Hamna Muhammad yang telah
memberikan kepercayaan penuh atas apa yang saya pilih. Beliaulah yang
membuat saya terus kuat bertahan sampai saat ini. Terima kasih juga kepada
Bapak, Jamil H. Jafar dan Kakak, Hilda Jamil yang memberikan dorongan
untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. Barangkali, sejuta terima kasih tak
dapat mewakilkan kasih sayang kalian selama ini.
ix
Jika kamu menangis
karena matahari terbenam dan malam datang,
maka air mata akan menghalangi pandanganmu
kepada bintang-bintang yang bercahaya indah
── Tagore
Janganlah kamu bersikap lemah,
dan janganlah (pula) kamu bersedih hati,
padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi(derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman.
── Q.S Ali Imran:139
x
KATA PENGANTAR
Pada tahun 2016, begawan ekonomi sekaligus negarawan Indonesia, Prof.
Dr. Boediono, merilis karya mahsyurnya berjudul Ekonomi Indonesia dalam
Lintasan Sejarah. Buku tersebut merangkum perjalanan ekonomi Indonesia
sejak kedatangan VOC pada abad ke-17 hingga periode ia menjabat sebagai
Wakil Presiden Indonesia ke-11, mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.
Sepertinya, ia hendak menyusul sejarawan ekonomi sekaliber Thee Kian Wee,
Anne Booth, dan Thomas Lindblad.
Ada satu bagian yang menarik bagi saya tentang bagaimana proses
pembangunan dibentuk dari hasil interaksi antara proses ekonomi dan politik.
Sungguh pun demikian, ada kalanya sasaran politik tak bertaut dengan sasaran
ekonomi, bahkan cenderung menegasikan satu sama lain. Pada titik ini,
Prof. Dr. Boediono mengungkap dengan lugas pergerakan kedua “pendulum”
tersebut:
“Sejarah menunjukkan bahwa secara umum sasaran ekonomi tunduk pada sasaran politik. Tetapi, pada masa-masa tertentu (misalnya, krisis ekonomi), sasaran ekonomi menempati urgensi tinggi dan mensubordinasi sasaran politik, paling tidak dalam jangka pendek sampai krisis diatasi. Sejarah juga menunjukkan bahwa apabila kesenjangan atau gap antara sasaran politik dan sasaran ekonomi terlalu lebar, kesulitan menanti negara. Penyesuaian antara keduanya harus terjadi, dan itu bisa menyakitkan.” (Halaman 271-272).
“Alarm” peringatan yang dibunyikan oleh Prof. Dr. Boediono melemparkan
ingatan saya pada dua dasawarsa lampau, kala rezim yang telah berkuasa
selama kurang lebih 32 tahun, ditumbangkan oleh kemarahan rakyat yang turun
ke jalan. Sebagian merayakannnya dengan sukacita, sebagian pula mengiba
melihat Soeharto “lengser keprabon”. Mereka yang bersuka cita tampaknya
punya tawaran menarik tentang agenda reformasi ekonomi Indonesia, sementara
xi
mereka yang mengiba terus mengulang, terus beromantisme dengan slogan
yang setengah meragukan, “Piye Kabare ? Enak Jamanku Toh?.”
Saya melihat bahwa pelajaran berharga yang dapat diambil selama dua
dasawarsa terakhir berkenaan dengan masalah kemiskinan dan ketimpangan
yang belum bisa teratasi secara komprehensif. Sejauh ini, tingkat kemiskinan
masih relatif tinggi atau di atas sepuluh persen pada tahun 2016. Bahkan ada
indikasi bahwa perlambatan penurunan kemiskinan sejak 2011, disebabkan oleh
tingkat kemiskinan tersebut telah berada menyentuh tingkatan kemiskinan kronis
(hardcore poverty). Sementara itu, ketimpangan pendapatan mengalami
pemburukan di Era Reformasi dimana pendapatan hanya dinikmati oleh segelintir
pihak.
Tulisan pada tugas akhir ini tidak berpretensi untuk membandingkan “rezim”
mana, atau, bahkan lebih esktrem lagi, “sistem” mana yang lebih baik. Tulisan
ini dimaksudkan untuk menggali khazanah perkembangan ekonomi yang
merentang dari Era Orde Baru hingga Era Reformasi. Perkembangan ekonomi
yang sebelumnya telah memberikan pengalaman pahit, dapat direnungkan
kembali agar tidak terulang dikemudian hari. Pengalaman pahit di masa lalu
diharapkan mampu memberikan pemahaman terkait bagaimana peranan
pemerintah, salah satunya melalui kebijakan fiskal, dapat mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat yang setara pada seluruh
masyarakat di Indonesia. Pada akhirnya, saya teringat kata-kata Konfusius
bahwa setiap orde selalu kita awali dengan kata-kata yang jelas dan tepat, entah
kita menyebutnya Era Orde Baru, atau barangkali Era Reformasi.
Malang, 8 Agustus 2017
TTD
Hidsal Jamil
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. .i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ . iii
SURAT PERNYATAAN ..................................................................................... . iv
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. . v
MOTTO ............................................................................................................. . ix
KATA PENGANTAR .......................................................................................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvii
ABSTRAK ....................................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
BAB II TELAAH LITERATUR
2.1 Peran Pemerintah dan Pertumbuhan Inklusif ........................................ 7
2.1.1 Konsep Pertumbuhan Inklusif .................................................. 7
2.1.2 Peran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi ......................... 9
2.1.3 Peran Pemerintah dalam Membentuk Karakter Pertumbuhan Inklusif ................................................................ 11
2.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi, Penganggurandan Kemiskinan ...... 14
2.2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran ............................ 14
2.2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan ................................. 16
2.2.3 Pengangguran dan Kemiskinan ................................................ 19
xiii
2.3 Studi Terdahulu ..................................................................................... 21
2.4 Kerangka Konseptual Penelitian ........................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian ......................................................................... 25
3.2 Definisi Operasional Variabel ................................................................. 25
3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................... 27
3.4 Metode Analisis Data ............................................................................. 28
3.4.1 Uji Stasioneritas .......................................................................... 28
3.4.2 Uji Kointegrasi .......................................................................... 29
3.4.3 Analisis Persamaan Simultan .................................................. 30
3.4.3.1 Metode Estimasi Parameter 3SLS ................................ 30
. 3.4.3.2 Spesifikasi Model ........................................................ 31
3.4.3.3 Identifikasi Model ........................................................ 32
3.4.4 Uji t-Statistik............................................................................... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum ................................................................................ 35
4.1.1 Dinamika Kebijakan Fiskal di Indonesia ..................................... 35
4.1.2 Dinamika Pertumbuhan Inklusif di Indoensia .............................. 37
4.1.3 Perkembangan Angkatan Kerja di Indoensia .............................. 41
4.1.4 Perkembangan Laju Populasi di Indoensia ................................. 42
4.1.5 Perkembangan Peranan Sektor Pertanian di Indoensia ............. 43
4.2 Hasil Penelitian .................................................................................... 44
4.2.1 Uji Stasioneritas ........................................................................ 44
4.2.2 Uji Kointegrasi ............................................................................ 45
4.2.3 Hasil Estimasi Persamaan Simultan ........................................... 46
4.3 Pembahasan ........................................................................................ 51
4.3.1 Pertumbuhan Inklusif: Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran, dan Kemiskinan di Indonesia ............................. 51
4.3.1.1 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran .. 51
4.3.1.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan ....... 53
xiv
4.3.1.3 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran .. 55
4.3.1.4 Inklusivitas Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ............ 55
4.3.2 Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ............................................... 58
4.3.3 Kebijakan Fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ..... 60
4.3.3.1 Hubungan Belanja Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi ................................................... 60
4.3.3.2 Hubungan Belanja Kesehatan dan Pertumbuhan Ekonomi ................................................... 62
4.3.3.3 Hubungan Belanja Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi .................................................. 63
4.3.3.4 Hubungan Penerimaan Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi .................................................. 63
4.3.3.5 Hubungan Belanja Infrastruktur dan Pengangguran ............................................................... 64
4.3.3.6 Implikasi Kebijakan Belanja dan Penerimaan Negara terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia................... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 67
5.2 Saran dan Rekomendasi Kebijakan ...................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Variabel Penelitian .............................. 26
Tabel 3.2 Data dan Sumber Data ............................................................... 27
Tabel 3.3 Kondisi Identifikasi Model ........................................................... 34
Tabel 4.1 Ringkasan Hasil Uji Stasioneritas ............................................... 45
Tabel 4.2 Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi .................................................. 46
Tabel 4.3 Hasil Estimasi Persamaan Pertumbuhan Ekonomi ..................... 47
Tabel 4.4 Hasil Estimasi Persamaan Pengangguran .................................. 49
Tabel 4.5 Hasil Estimasi Persamaan Kemiskinan ....................................... 50
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1966-2015 ................ 2
Gambar 1.2 Kemiskinan di Indonesia Tahun 1980-2016 .................................. 3
Gambar 1.3 Tingkat Pengangguran di Indonesia Tahun 1982-2016 ................. 4
Gambar 2.1 Dimensi dan Ukuran Pertumbuhan Inklusif ................................... 8
Gambar 2.2 Kurva Kemungkinan Produksi Barang Publik dan Privat . ………. 10
Gambar 2.3 Kurva Armey ............................................................................... 11
Gambar 2.4 Kurva Fungsi Produksi dan Tenaga Kerja ....................... ………. 14
Gambar 2.5 Kurva Fungsi Kesejahteraan ........................................... ………. 17
Gambar 2.6 Kerangka Konseptual Penelitian ..................................... ………. 23
Gambar 4.1 Perkembangan Belanja Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur Tahun 1981-2016 ................................................... 36
Gambar 4.2 Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 1981-2016. ................ 37
Gambar 4.3 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1981-2016.......... 38
Gambar 4.4 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Tahun 1982-2016 ....................................................................... 39
Gambar 4.5 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 1982-2016 ............... 40
Gambar 4.6 Perkembangan Angkatan Kerja Tahun 1982-2016 .................... 41
Gambar 4.7 Perkembangan Laju Populasi Tahun 1982-2016 ....................... 42
Gambar 4.8 Perkembangan Sektor Pertanian dan Sektor Lainnya Tahun 1982-2016 ....................................................................... 43
Gambar 4.9 Flow Chart Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ............................ 56
Gambar 4.10 Human Capital Index (HC) pada Era Orde Baru dan Reformasi ........................................................................... 61
Gambar 4.11 Flow Chart Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ................................................................................ 65
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran I Hasil Uji Stasioneritas Pada Level ........................................... 75
Lampiran II Hasil Uji Stasioneritas 1st Difference ........................................ 76
Lampiran III Uji Kointegrasi Persamaan Pertumbuhan Ekonomi .................. 77
Lampiran IV Uji Kointegrasi Persamaan Pengangguran .............................. 78
Lampiran V Uji Kointegrasi Persamaan Kemiskinan ...................... ………. 79
Lampiran VI.a Hasil Estimasi Persamaan Simultan 3SLS ................... ………. 80
Lampiran VI.b Hasil Estimasi Persamaan Simultan 3SLS .................. ………. 81
Lampiran VII Flowchart Kebijakan Fiskal dan Faktor-Faktor Lain yang Berdampak pada Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ... ………. 82
xviii
ABSTRAK
Jamil, Hidsal. 2017. Kebijakan Fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi dalam Mewujudkan Pertumbuhan Inklusif di Indonesia. Skripsi, Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Dwi Budi Santoso, S.E., MS., Ph. D.
Kebijakan fiskal di Indonesia dihadapkan pada persoalan pertumbuhan inklusif.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Era Orde Baru tidak berlanjut di Era
Reformasi. Pertumbuhan ekonomi di Era Reformasi cenderung dibarengi dengan
tingkat kemiskinan dan penganggguran yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan Era Refomasi. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yakni: (i) menguji
inklusivitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia; dan, (ii) menganalisis perbedaan
implikasi kebijakan fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi dalam mewujudkan
percepatan pertumbuhan inklusif di Indonesia. Dengan menggunakan metode
estimasi parameter 3SLS (Three Stage Least Square), penelitian ini menemukan
bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama periode 1981-2016 masih
belum inklusif. Temuan ini mengindikasikan bahwa peningkatan aktivitas
ekonomi di Indonesia mengarah pada sektor yang bersifat padat modal (capital
intensive). Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa kebijakan fiskal baik di
Era Orde Baru dan Era Reformasi memiliki implikasi yang berbeda dalam
mewujudkan pertumbuhan inklusif di Indonesia. Peningkatan pertumbuhan
ekonomi bersumber dari belanja kesehatan di Era Orde Baru dan belanja
pendidikan di Era Reformasi. Sementara itu, penurunan pengangguran berasal
dari belanja infrastruktur di Era Orde Baru.
Kata Kunci: Kebijakan Fiskal, Pertumbuhan Inklusif, Metode 3SLS.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran pemerintah sangat penting dalam mengerakkan aktivitas ekonomi agar
perekonomian menuju kondisi yang diinginkan (Ismail et al, 2014). Peran
pemerintah terutama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat
melalui mekanisme pasar dan non-pasar. Peran pemerintah melalui mekanisme
pasar terdiri dari kebijakan fiskal (melalui pengaturan belanja dan penerimaan
negara) dan moneter (melalui pengendalian jumlah uang beredar dan tingkat suku
bunga), sementara mekanisme non-pasar terdiri atas kebijakan di luar kebijakan
fiskal dan moneter (melalui pembentukan regulasi dan perundang-undangan).
Sebagai salah satu bentuk peran pemerintah, kebijakan fiskal tidak hanya
diarahkan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan fiskal
perlu menciptakan pertumbuhan ekonomi berkarakter inklusif sehingga dapat
memberikan manfaat yang setara dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan (Ramos et al., 2013). Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi
tetap penting, namun sangat tergantung pada kecepatan dan pola dari
pertumbuhan ekonomi itu sendiri (Biswas, 2016).
Peran pemerintah melalui kebijakan fiskal telah terbukti dibanyak negara
berkembang. Bukti pentingnya kebijakan fiskal dalam mempromosikan
pertumbuhan inklusif terdapat pada studi yang dilakukan oleh David dan Patri
(2013) di Mauritius, Estrada et al (2014) negara-negara di Asia, Lee dan Park
(2014) di Amerika Latin. Akan tetapi di Indonesia sendiri, studi yang
menghubungkan langsung antara kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap
pertumbuhan inklusif masih relatif belum ada. Studi yang telah dilakukan hanya
1
2
memaparkan kegagalan pemerintah dalam mencapai pertumbuhan inklusif (lihat
Hadi, 2012) atau paling tidak, mencari tahu penyebab pertumbuhan ekonomi di
Indonesia kurang inklusif (lihat Dartanto, 2013; Anderson et al., tt)
Dalam konteks Indonesia, kebijakan fiskal dihadapkan pada pola
pertumbuhan ekonomi yang kontras. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dicapai
pada Era Orde Baru, sementara pertumbuhan ekonomi yang rendah terjadi pada
Era Reformasi. Perbedaan pola pertumbuhan ekonomi yang kontras memberikan
dampak yang berbeda terhadap tingkat kemiskinan dan pengangguran baik di Era
Orde Baru maupun Reformasi.
Gambar 1.1: Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1966-2015
Sumber: Data Diolah dari World Bank, berbagai tahun
Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi Era Reformasi hanya mencapai
5,04%, masih berada di bawah Era Orde Baru dengan rata-rata pertumbuhan
ekonomi mencapai 6,45%. Setahun setelah disahkannya UU No. 1 Tahun 1967
tentang PMA, pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan sempat tercatat 12,03%.
Selama satu dasawarsa lebih berjalannya Era Reformasi, pertumbuhan tertinggi
hanya sebesar 6,22%. Argumen yang seringkali menjadi penjelas, pertumbuhan
12,03
-13,13
6,22
6,45 5,04
-15
-12
-9
-6
-3
0
3
6
9
12
15
196
6
196
8
197
0
197
2
197
4
197
6
197
8
198
0
198
2
198
4
198
6
198
8
199
0
199
2
199
4
199
6
199
8
200
0
200
2
200
4
200
6
200
8
201
0
201
2
201
4
Ting
kat P
ertu
mbu
han
(%)
Era Orde Baru Era Reformasi
3
ekonomi di Era Reformasi dihadapkan pada masalah domestik dan guncangan
perekonomian global yang semakin kompleks daripada Era Orde Baru (Tabor,
2015)
Lebih lanjut, pada awal Era Reformasi, tingkat kemiskinan di Indonesia
tercatat 24,23%. Kemudian, tingkat kemiskinan berkurang secara drastis pada
tahun 2016 menjadi 10,80%. Pola penurunan kemiskinan ini relatif sama dengan
Era Reformasi sebelum tahun 1994. Hanya saja, penurunan kemiskinan mulai
melambat sejak tahun 2012 dan belum mampu bergeser di bawah 10%. Dapat
dikatakan, tingkat kemiskinan di Indonesia sejauh ini menyentuh angka
kemiskinan yang kronis (hard core poverty). Belum lagi, golongan rentan yang
berpotensi menjadi golongan miskin selama kurun waktu 2002-2014 berada pada
kisaran 26,9% sampai dengan 33,7% (World Bank, 2016). Dengan kondisi
golongan rentan yang tinggi, upaya penurunan kemiskinan menghadapi tantangan
yang serius.
Gambar 1.2: Kemiskinan di Indonesia Tahun 1980-2016
Sumber: Data diolah dari World Bank (2016).
24,23
10.80
0
5
10
15
20
25
30
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004 2007 2010 2013 2016
Tin
gkat
Kem
iskin
an
(%
)
Era Orde Baru Era Reformasi
4
Gambar 1.3: Tingkat Pengangguran di Indonesia Tahun 1982-2016
Sumber: World Bank dan Trading Economics, berbagai tahun, diolah.
Sama halnya dengan tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran di Era
Reformasi jauh lebih tinggi dari Era Orde Baru. Secara rata rata, tingkat
pengangguran terbuka (TPT) pada Era Reformasi sebesar 7,78%. Sementara itu,
TPT pada Era Orde Baru senilai 3,36%. Pada tahun 2005 misalnya, TPT
mencapai angka 11,24%. Angka ini termasuk tinggi jika dibandingkan dengan TPT
tertinggi di Era Orde Baru yang hanya menyentuh 7,2%. .
Penelitian ini difokuskan untuk membandingkan peran pemerintah–baik Era
Orde Baru maupun Era Reformasi─melalui kebijakan fiskal yang mewujudkan
percepatan pertumbuhan inklusif di Indonesia. Kebijakan fiskal tidak saja melalui
pertimbangan rasionalitas ekonomi, namun melalui mekanisme politik yang
dinamis (Ismail et al, 2014). Era Orde Baru menekankan kepemimpinan politik
yang cenderung otoriter, sementara Era Reformasi mengarah pada kepemimpinan
politik yang demokratis (Ricklefs, 2001). Dalam konteks Indonesia, Era Orde Baru
dan Era Reformasi merupakan rezim dengan mekanisme politik yang jauh
berbeda satu sama lain.
2
7,2
11,24
3,36
7,78
0
2
4
6
8
10
12T
ing
kat
Pen
gan
gu
ran
Terb
uka
(%
)
Era Orde Baru Era Reformasi
5
1.2 Rumusan Masalah
Dengan berpijak pada kesenjangan empiris di atas, penelitian ini hendak
menjawab rumusan masalah, antara lain:
1. Apakah pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah inklusif ?
2. Apakah ada perbedaan implikasi kebijakan fiskal Era Orde Baru dan Era
Reformasi dalam mewujudkan percepatan pertumbuhan inklusif di
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini merujuk pada rumusan masalah yang telah dibuat. Pada
dasarnya, penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yakni:
1. Untuk menguji inklusivitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
2. Untuk menganalisis perbedaan implikasi kebijakan fiskal Era Orde Baru
dan Era Reformasi dalam mewujudkan percepatan pertumbuhan inklusif
di Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis kepada seluruh stakeholder terkait, bukan hanya
penulis secara pribadi. Adapun manfaat secara spesifik yang dimaksud antara
lain:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini mengangkat topik kebijakan fiskal dan pertumbuhan
inklusif. Adanya penelitian ini diharapkan mampu memperkaya lanskap kajian
mengenai kebijakan fiskal dan pertumbuhan inklusif dalam konteks Indonesia.
Khusus untuk pertumbuhan inklusif, topik ini relatif baru dan masif dibahas
6
dua dasawarsa belakangan ini sehingga memberikan potensi pengembangan
teori lebih lanjut.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini berguna bagi:
a. Pemerintah
Kebijakan fiskal sebagai instrumen yang dimiliki oleh pemerintah
perlu mendapat perhatian yang serius sebab berkenaan dengan aspek
pembangunan yang banyak menyentuh masyarakat. Dengan adanya
penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan berkenaan dengan
strategi kebijakan fiskal yang relevan dalam mendorong pertumbuhan
inklusif.
b. Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh akademisi untuk
memberikan gambaran umum mengenai pengalaman penerapan
kebijakan fiskal di Indonesia dalam rangka mewujudkan percepatan
pertumbuhan inklusif, tidak sekadar berpijak pada teori.
7
BAB II
TELAAH LITERATUR
2.1 Peran Pemerintah dan Pertumbuhan Inklusif
2.1.1 Konsep Pertumbuhan Inklusif
Pada dasarnya, pertumbuhan inklusif merupakan sebuah konsep yang
bersifat multidimensional dan kompleks. Sebagai contoh, Aoyagi dan Ganelli
(2015) mensyaratkan bahwa suatu pertumbuhan ekonomi dikatakan inklusif,
apabila setiap orang yang berpendapatan rendah mendapatkan manfaat yang
sama bahkan jauh lebih besar daripada populasi secara keseluruhan. Secara
implisit, pendapat tersebut mengetengahkan keberpihakan pada kaum miskin
yang notabene memiliki pendapatan yang rendah dalam pertumbuhan ekonomi
suatu negara.
Konsep keberpihakan terhadap kaum miskin, menurut Klasen (2010),
mengaburkan makna dari “inklusif” itu sendiri. Pertumbuhan inklusif bisa dikatakan
lebih umum daripada pertumbuhan yang sekadar berpihak pada kaum miskin.
Pertumbuhan ekonomi semestinya memberikan manfaat terhadap seluruh
kelompok masyarakat termasuk di dalamnya kelompok miskin, hampir miskin,
kelompok berpendapatan menengah, bahkan orang kaya sekalipun. Hal ini
beralasan sebab pertumbuhan yang hanya berpihak kepada kaum miskin
cenderung menimbulkan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi. Oleh
karenanya, pertumbuhan yang berkelanjutan dibutuhkan guna menciptakan dan
memperluas peluang ekonomi baru (McKinley, 2010)
Lebih lanjut, Kolawole (2016) tetap mengakomodir dimensi pembagian
manfaat, namun bukan menjadi dimensi yang utama. Kolawole (2016)
menekankan dimensi partisipasi seluruh masyarakat dalam proses produksi suatu
7
8
negara. Penekanan dimensi partisipasi mengambil posisi individu sebagai subjek
daripada objek pembangunan itu sendiri. Pada gilirannya, dimensi pembagian
manfaat hanya akan tercapai, apabila dibarengi dengan dimensi partisipasi.
Konsep partisipasi dalam pertumbuhan inklusif lebih spesifik diungkapkan
oleh Ianchovichina dan Lundtrom (2009). Dalam hal ini, pertumbuhan inklusif
menempatkan tenaga kerja produktif sebagai motor penggerak pendapatan bagi
individu. Tenaga kerja produktif berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan inklusif disini dapat dianalisis melalui
lingkungan bisnis (business environment) dan kelayakan kerja (employability).
Sementara itu, Ogbeide et al. (2015) menyatakan penting untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran dalam mendesain
kebijakan pertumbuhan inklusif. Pentingnya tingkat pengangguran berkenaan
dengan input sumber daya manusia yang digunakan dalam proses produksi.
Tingkat pengangguran yang tinggi mengindikasikan bahwa masih terdapat sumber
daya manusia yang belum terpakai. Tingkat pengangguran yang tinggi juga
berguna untuk mengukur seberapa baik kinerja aktivitas ekonomi suatu negara di
tengah kondisi pencarian kerja yang rumit, terutama pada periode resesi.
Gambar 2.1: Dimensi dan Ukuran Pertumbuhan Inklusif
Sumber: Diadaptasi dari Ramos et al (2013) dan Ali dan Son (2007)
Pertumbuhan
Inklusif
New Economic Opportunity
Pertumbuhan ekonomi tinggi
Participation
Tingkat pengangguran
rendah
Benefit Sharing
Tingkat kemiskinan
rendah
9
Meskipun belum ada konsensus baik dari aspek ruang lingkup maupun aspek
pengukurannya, pertumbuhan inklusif setidaknya, dapat diredefinisikan sebagai
pertumbuhan ekonomi yang memuat dimensi perluasan peluang ekonomi (new
economic opportunity), pembagian manfaat yang meluas (benefit sharing), dan
keikutsertaan seluruh masyarakat (participation) dalam aktivitas ekonomi. Dengan
kata lain, pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dikatakan inklusif, apabila
pertumbuhan ekonomi tinggi diringi dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran
yang rendah. (lihat Gambar 2.1).
2.1.2 Peran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi
Peran pemerintah dalam menggerakkan aktivitas ekonomi dapat dianalisis
secara sederhana melalui kurva kemungkinan produksi. Kurva kemungkinan
produksi ini dapat digunakan untuk melihat alokasi sumber daya antara sektor
pemerintah dan sektor privat. Gambar 2.2 menunjukkan kombinasi alternatif
barang publik dan barang privat yang dapat dihasilkan dalam suatu aktivitas
ekonomi. Dalam hal ini, asumsi yang digunakan yakni sumber daya yang produktif
dan teknologi telah digunakan seluruhnya.
Untuk dipahami, titik kenaikan jumlah barang publik per tahun dari G1 ke G2
menghendaki pengurangan jumlah barang privat yang disediakan dari X1 ke X2..
Selanjutnya, aktivitas produksi berpindah dari titik A ke titik B dengan kondisi
pengalokasian sumber daya cenderung public oriented dari sebelumnya(Hyman,
2011). Jika diasumsikan bahwa peran sektor pemerintah ditingkatkan dari G2 ke
G3 dan sektor swasta tidak mengalami perubahan maka kurva kemungkinan
produksi bergeser dari PPF1 ke PPF2. Selanjutnya, peningkatan peran sektor
pemerintah berlanjut tanpa diimbangi oleh peningkatan peran sektor privat, tidak
akan menggeser kurva PPF2 ke kanan.
10
Gambar 2.2: Kurva Kemungkinan Produksi Barang Publik dan Privat
Sumber: Diadaptasi dari Hyman (2011)
Penjelasan Hymen (2011), bisa ditarik pada konteks ekonomi makro, dalam
sebuah kurva yang menghubungkan antara ukuran pemerintah dan pertumbuhan
ekonomi (Lihat Gambar 2.2). Altunc dan Aydin (2013) mengilustasikan, ketika
aktivitas perekonomian hanya bertumpu pada sektor swasta, pertumbuhan
ekonomi yang dihasilkan relatiif kecil, jika tidak dikatakan hampir setara nol (Y0).
Kemudian, ukuran pemerintah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi
hingga mencapai titik maksimum (Y*). Titik maksimum dapat dicapai dengan
catatan bahwa produktivitas marjinal pengeluaran sektor pemerintah sama dengan
pengeluaran sektor swasta. Setelah mencapai titik maksimum, ekspansi
pengeluaran pemerintah menimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi, karena
adanya diminishing return pada barang publik dan disinsentif sektor swasta dalam
menggerakkan ekonomi.
Bara
ng
Pu
blik
per
Tah
un
Barang Privat per Tahun
G1
G2
X1 X2
A
B
PPF1
PPF2
G3 C
11
Gambar 2.3: Kurva Armey
Sumber: Diadaptasi dari Altunc dan Aydin (2013)
Contoh konkret mengenai peningkatan ukuran pemerintah yang akhirnya
menimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi dijelaskan oleh Vedder dan
Gallaway (1998). Pembangunan jalan pada awalnya membantu meningkatkan
output riil. Pembangunan jalan kedua dan seterusnya mulai kurang mendapat
respon dari belanja yang dikeluarkan. Apalagi, pajak yang dipungut untuk
membiayai belanja pemerintah menimbulkan beban yang semakin meningkat.
Tarif pajak yang semula rendah menjadi lebih tinggi ataupun terjadi perluasan
objek pajak baru, seperti pajak penghasilan yang ditambahkan dalam pungutan
konsumsi, dengan dampak yang semakin memburuk. Belanja pemerintah yang
baru tidak lagi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
2.1.3 Peran Pemerintah dalam Membentuk Karakter Pertumbuhan Inklusif
Peran pemerintah mengikuti evolusi kebijakan pembangunan dari waktu ke
waktu (Biswas, 2016). Dalam sudut pandang konvensional, peran pemerintah
mencakup tiga hal penting yakni (i) menyediakan barang publik; (ii)
meredistribusikan pendapatan; dan (iii) menstabilisasi ekonomi(Musgrave dan
Musgrave, 1989). Kemudian, dalam sudut pandang terbaru, dimulai sejak awal
Y0
Y*
Ou
tpu
t R
iil
Ukuran Pemerintah (G/Y)
Y0
Y*
12
tahun 2000-an, peran pemerintah mencakup dimensi yang lebih luas. Pemerintah
dituntut untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkarakter inklusif dalam
sebuah program terpadu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
memampukan pelipatgandaan pendapatan per kapita dalam waktu singkat, tanpa
mengabaikan keadilan distributif dan fokus yang tidak terbagi dalam pengurangan
kemiskinan (Naqvi, 2012).
Dalam konteks pertumbuhan inklusif, peran pemerintah juga dibutuhkan
dalam perbaikan distribusi pendapatan kelompok miskin. Ahluwalia dan Chenery
(1972) dalam Santosa (1992), menyebutkan ada tiga strategi yang bisa ditempuh
yaitu pertama, redistribusi konsumsi, dimana pemerintah pemerintah dapat
melakukan pemotongan tingkat konsumsi kelompok kaya untuk disalurkan kepada
kelompok miskin.Kedua, redistribusi investasi, dimana pemerintah dapat
mengalihkan sumber daya masyarakat guna menambah tingkat kapital (asset)
kelompok miskin. Ketiga, pembatasan upah, dimana dalam jangka pendek, akan
dapat menambah pertumbuhan pendapatan dari kelompok kaya melalui perolehan
profit, namun pada jangka panjang akan dapat meningkatkan pendapatan dari
kelompok miskin karena adanya peningkatan produksi dari kelompok kaya.
Salah satu instrumen guna mewujudkan percepatan pertumbuhan inklusif
adalah peran pemerintah melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal terdiri dua
komponen utama yaitu kebijakan belanja dan kebijakan penerimaan. Kebijakan
belanja dalam kerangka pertumbuhan inklusif diarahkan guna meraih tingkat
output yang optimal, pengangguran yang rendah dan redistribusi pendapatan yang
merata. Sementara kebijakan penerimaan yang didominasi oleh perpajakan
digunakan untuk mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, alokasi
sumber daya yang efisien dan stabilisasi ekonomi (Musgrave dan Musgrave,
1989).
13
Nallari dan Griffith (2011) mengungkapkan ada bukti yang kuat bahwa
peningkatan belanja modal fisik dan manusia dapat mengurangi kemiskinan, di
samping pertumbuhan ekonomi. Peranan belanja modal fisik dan manusia tidak
saja berfungsi dalam kondisi ekonomi yang normal, lebih dari itu, kedua belanja
tersebut sangat berguna ditengah kondisi pengetatatan anggaran (konsolidasi
fiskal). Bahkan, belanja modal fisik dan manusia memiliki dampak positif terhadap
aktivitas ekonomi dalam jangka panjang dibandingkan dengan alternatif kebijakan
lain seperti peningkatan upah sektor publik. Belanja pemerintah di bidang
pendidikan dan kesehatan berkontribusi terhadap perbaikan kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Berbeda dengan belanja pemerintah, peran pemerintah melalui perpajakan
kurang efektif dalam menciptakan pertumbuhan inklusif di negara berkembang.
Besley dan Persson (2014) menyebutkan bahwa peranan pemerintah tidak efektif
dikarenakan jumlah pajak yang dikumpulkan sangat kecil. Di negara berkembang,
memperluas basis pajak penghasilan hampir mustahil dilakukan dengan karakter
sektor informal yang besar. Hal ini mengindikasikan bahwa elastisitas pendapatan
kena pajak berkenaan dengan tingkat pajak jauh lebih tinggi daripada sebaliknya-
yaitu, ketika pemerintah di negara berkembang dengan sektor informal yang besar
mencoba menaikkan pajak, penghasilan kena pajak dilaporkan kepada pemerintah
mungkin akan turun secara substansial.
Penjelasan lain mengenai ketidakefektifan peran pemerintah melalui
perpajakan dilihat dari ciri kelompok pendapatan di negara berkembang. Orang
kaya di negara berkembang, umumnya memiliki cara untuk menghindari pajak
yang tinggi atas penghasilan mereka. Bahkan, membebaskan beberapa barang
pokok dari pajak konsumsi (pajak penjualan atau PPN) mungkin tidak memberikan
manfaat terhadap orang miskin, karena orang kaya mampu mengeluarkan uang
14
secara absolut lebih besar pada barang yang dikecualikan, oleh karenanya
mereka mendapatkan keuntungan terbesar. Dalam kasus tersebut, pencabutan
pembebasan tersebut dapat menghasilkan pendapatan yang bisa dikeluarkan
dengan cara yang lebih berpihak kepada orang miskin (Nallari dan Griffith, 2011)
2.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan
2.2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran
Untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
pengangguran, analisis mengenai tenaga kerja sebagai input dalam produksi
dapat digunakan (lihat Gambar 2.4). Pada kondisi output sebesar Y0, tenaga kerja
yang dibutuhkan sebesar L0. Kemudian ketika terjadi peningkatan output dari Y1
ke Y1 dalam kurva fungsi produksi yang sama, terjadi pergerakan sepanjang kurva
yang mengakibatkanpenambahan tenaga kerja sebesar L0-L1.
Gambar 2.4: Kurva Fungsi Produksi dan Tenaga Kerja
Sumber: Diadaptasi dari Pindyck dan Rubinfield (2001)
Seiring berjalannya waktu, bagaimanapun, penemuan dan perbaikan
teknologi lainnya memungkinkan keseluruhan kurva fungsi produksi bergeser ke
atas (dari sebelumnya berada pada kurva fungsi produksi Y0 menjadi Y1 atau
15
bahkan pada Y2), sehingga output yang lebih banyak dapat diproduksi.
Peningkatan produksi pada kurva fungsi produksiY1 masih bersifat komplementer
dengan peningkatan tenaga kerja. Sehingga, peningkatan tenaga kerja dapat
terjadi dari L0 Ke L2. Meskipun tidak sebesar peningkatan tenaga kerja
sebelumnya, peningkatan teknologi ini masih bersifat labour intensive.
Pergeseran kurva fungsi produksi ke atas ini,dimana peningkatan input
tenaga kerja yang dapat meningkatkan output, mengesankan tidak terjadi
diminishing marginal return. Padahal, efek diminishing return ini sebenarnya
terjadi. Memang, pergeseran kurva fungsi produksi menunjukkan kemungkinan
tidak adanya implikasi negatif pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Padahal, kegagalan untuk memperhitungkan perbaikan teknologi dalam jangka
panjang membuat ekonom Inggris Thomas Malthus salah memprediksi
konsekuensi mengerikan dari pertumbuhan penduduk yang terus berlanjut
(Pyndick dan Rubinfield, 2001).
Peningkatan teknologi yang lebih excessive berada pada kurva fungsi
produksi Y2. Output yang semula berada pada Y0 kemudian meningkat menjadi Y
dengan kurva fungsi produksi yang bergeser ke atas, lebih tinggi daripada kurva
fungsi produksi Y1. Berikutnya, penambahan output dari Y0 menjadi Y1
menimbulkan penurunan penggunaan tenaga kerja dari L0 menjadi L3. Oleh
sebab itu, peningkatan produksi melalui jenis teknologi ini cenderung mengarah
pada capital intensive dan meningkatkan pengangguran.
Lebih lanjut, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja
tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi juga terkait dengan jenis pekerjaan yang
diciptakan (Department for International Development, 2015). Secara khusus,
penigkatan lapangan pekerjaan di sektor informal telah menimbulkan kekhawatiran
16
seiring dengan pertumbuhan sektor formal. Lapangan pekerjaan di sektor informal
lazimnya dipahami sebagai sebuah sektor dengan “surplus” tenaga kerja yang
menggantungkan hidup di sektor informal sambil menunggu pekerjaan yang lebih
layak di sektor formal. Daripada tidak bekerja sama sekali, sektor informal dapat
dijadikan alternatif yang memungkinkan, selain bekerja di sektor formal. Pada
kenyataannya, menurut Maloney (2004), sektor informal tidak selalu dimaknai
sebagai residu dari pasar tenaga kerja. Bahkan, sektor informal mengindikasikan
tumbuhnya jiwa wirausaha di negara berkembang. Sektor informal, dalam bentuk
usaha kecil misalnya, harus dilihat sebagai bagian dari sektor usaha kecil sukarela
yang serupa dengan negara-negara maju.
2.2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Hal yang paling mendasar dalam bahasan mengenai kemiskinan terkait
apakah kemiskinan dianggap sebagaideprivasi absolut atau relatif. Apabila
kemiskinan dianggap sebagai deprivasi absolut, garis kemiskinan biasanya
didefinisikan bebas dari corak hidup masyarakat pada umumnya. Sementara, jika
kemiskinan dianggap sebagai deprivasi relatif, garis kemiskinan akan dikaitkan
dengan corak hidup masyarakat. Pilihan salah satu dari dua pendekatan ini
memiliki konsekuensi penting bagi desain kebijakan sosial. Kemiskinan absolut
dapat diatasi melalui pertumbuhan ekonomi, sementara kemiskinan relatif sangat
ditentukan oleh distribusi pendapatan negara yang bersangkutan (Hagenaars dan
Van Prag, 1985).
Kurva fungsi kesejahteraan (sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.5)
dapat merangkum dua konsep kemiskinan, baik kemiskinan absolut maupun
kemiskinan relatif. Pada awalnya, kurva fungsi kesejahteraan berada pada U(y)0
dengan jumlah penduduk miskin sebesar P0. Kurva fungsi kesejahteraan U(y)0
berikutnya dapat bergeser ke kurva fungsi kesejahteraan U(y)1, atau bisa saja ke
17
U(y)2. Pergeseran kurva fungsi kesejahteraan ke U(y)1 merupakan efek
pertumbuhan ekonomi (growth effect) sehingga jumlah orang miskin berkurang
dari P0 ke P1. Sementara itu, pergeseran fungsi kesejahteraan menjadi U(y)2 lebih
disebabkan oleh buruknya distribusi pendapatan (distributional effect) yang telah
meningkatkan jumlah orang miskin dari P0 ke P2. Pada titik ini, U(y)1 merupakan
kurva fungsi kesejahteraan yang berpihak pada orang miskin, sedangkan U(y)2
hanya berpihak pada kelompok pendapatan tinggi.
Gambar 2.5: Kurva Fungsi Kesejahteraan
Sumber: Diadaptasi dari Van Praag dan Frijters(1999) dan Angelsen dan Wunder (2006).
Lebih lanjut, efek pertumbuhan ekonomi (growth effect) yang dapat
mengurangi kemiskinan telah diterima secara umum dengan berbagai
argumentasi (Le et al, 2014; Nallari dan Griffith, 2011; Angelsen dan Wunder,
2006; Dollar dan Kray, 2002; Roemer dan Gugerty, 1997;). Adapun argumentasi
yang dimaksud antara lain:
1. Pertumbuhan ekonomi lebih cenderung mengarah langsung pada
pengurangan kemiskinan ketika aset ekonomi suatu negara didistribusikan
relatif sama
18
2. Pertumbuhan yang berbasis pada unskill labour intensive yang banyak
terjadi di negara dengan angkatan kerja yang melimpah lebih signifikan
mengurangi kemiskinan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang
berbasis skilled labour intensive. Hal ini beralasan, kelompok miskin hampir
selalu identik dengan unskill labour
3. Pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan kelompok miskin
secara proporsional karena didukung oleh kebijakan ekonomi lliberal seperti
stabilitas kebijakan fiskal dan moneter, serta keterbukaan pasar, dimana
setiap kelompok diberikan kesempatan yang sama dalam aktivitas ekonomi.
4. Di dalam pertumbuhan ekonomi, kelompok miskin tidak hanya mendapat
keuntungan dari pertumbuhan pendapatan nominalnya, tetapi juga dari
teknologi yang membuat barang yang mereka konsumsi lebih murah di
pasar, sehingga meningkatkan daya beli mereka.
5. Sebagian besar pengurangan kemiskinan secara mutlak di negara-negara
yang mengalami pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan, di mana
sebagian besar masyarakat miskin tinggal dan mencari nafkah dari
pertanian. Kebijakan pertanahan dan ketenagakerjaan mempengaruhi
partisipasi kaum miskin pedesaan dalam ekonomi.
Argumentasi mengenai dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap
kelompok misikin tidak kalah menarik. Pertumbuhan ekonomi yang melalui
penghancuran kreatif misalnya, menggantikan struktur ekonomi yang lama demi
menciptakan struktur ekonomi baru. Pertumbuhan ekonomi yang semula bertumpu
dari sektor pertanian dan manufaktur kemudian berpindah ke sektor jasa. Secara
implisit, menurut Cox dan Alm (2008), pertumbuhan melalui penghancuran kreatif
ini akan membuat beberapa individu berakhir dengan kondisi ekonomi yang lebih
buruk dari sebelumya.
19
Selain itu, argumen yang sulit dibantah terkait pertumbuhan ekonomi yang
tidak diiringi pemeraaan pendapatan akan membuat agenda pengentasan
kemiskinan menjadi kompleks. Mulok et al (2012) bahkan menyimpulkan bahwa
ketimpangan pendapatan bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Tingkat
keparahan yang bisa dikatakan persisten, telah menciptakan keraguan tentang
kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam mengentaskan kemiskinan. Belum lagi,
penyesuaian struktural yang dianjurkan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi justru memperparah kemiskinan di negara berkembang.
2.2.3 Pengangguran dan Kemiskinan
Hubungan antara pengangguran dan kemiskinan dapat ditelusurui melalui
peran pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran yang secara keseluruhan lebih
tinggi akan mempengaruhi jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan.
Mayoritas rumah tangga di negara berkembang mengandalkan pendapatan dari
pasar tenaga kerja, sehingga apabila terjadi peningkatan pengangguran, maka
dapat menggerus pendapatan yang cukup besar dari rumah tangga bersangkutan.
Pengaruh pengangguran di negara berkembang juga sangat terasa jika terjadi
kemerosotan siklus ekonomi, apalagi pendapatan yang diperoleh tidak jauh
berbeda dengan garis kemiskinan. Faktor-faktor inilah yang memunculkan dugaan
kuat bahwa tingkat pengangguran dan kemiskinan memiliki hubungan yang positif
(Powers, 1995).
Dalam pernyataan berikutnya, Powers (1995) mengklarifikasi bahwa
hubungan antara pengangguran dan tingkat kemiskinan belum tentu positif. Ada
faktor lain yang bisa mengubah hubungan keduanya. Beberapa ahli berpendapat,
pola upah selama siklus bisa bersifat pro-siklus dan transfer pemerintah juga
dapat mengurangi sensitivitas tingkat kemiskinan terhadap pengangguran
20
sehingga dapat mengurangi potensi pengeluaran yang memberatkan di masa
kemerosotan siklus ekonomi.
Dalam sudut pandang yang lain,hubungan yang erat antara tingkat
pengangguran yang tinggi dengan semi pengangguran, serta kemiskinan yang
meluas telah dijelaskan oleh Todaro (1995). Dalam banyak kasus di negara
berkembang, mereka yang bekerja secara tidak reguler atau hanya bekerja paruh
waktu biasanya digolongkan berpenghasilan sangat miskin. Mereka yang bekerja
dan dibayar secara teratur baik oleh sektor pemerintah maupun sektor swasta
termasuk kelompok berpenghasilan menengah ke atas. Akan tetapi, ada sebuah
kekeliruan apabila menganggap bahwa setiap orang yang tidak mempunyai
pekerjaan digolongkan miskin, sedangkan mereka yang bekerja purna waktu relatif
mempunyai penghasilan yang cukup baik sehingga tidak digolongkan miskin.
Sebagai contoh, mungkin ada beberapa yang “sengaja” menganggur, atau
dengan kata lain disebut sebagai pengangguran sukarela. Mereka yang berada
dalam kategori ini menganggur dengan alasan mencari jenis pekerjaan yang
sangat spesifik, mungkin karena ekspektasi tinggi berdasarkan kualifikasi
pendidikan atau keterampilan yang mereka duga. Mereka menolak menerima
pekerjaan yang mereka anggap inferior, dan mereka berani melakukannya karena
mereka memiliki sumber keuangan dari luar (misalnya, bantuan keuangan dari
teman dan kerabat). Orang-orang seperti itu menganggur menurut
definisinya,tetapi mereka mungkin tidak miskin. Di sisi lain, beberapa orang
bekerja secara penuh dalam beberapa jam per hari tapi penghasilan yang mereka
peroleh sangat sedikit sehingga seringkali mereka masih sangat miskin (Todaro,
1995).
21
2.3 Studi Terdahulu
Studi terdahulu yang membahas kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap
pertumbuhan inklusif menggunakan benchmarking study. Heshmati et al (2014)
misalnya, menggunakan negara anggota OECD sebagai benchmark guna
memberikan rekomendasi kebijakan fiskal yang relevan dalam mempromosikan
pertumbuhan inklusif di negara Asia. Hasilnya, bantuan pemerintah kepada kaum
miskin dan rentan dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai pertumbuhan
inklusif di Asia. Hal ini kemudian dilengkapkan oleh Lee dan Park (2014) melalui
pengalaman empiris di Amerika Latin. Untuk menerapkan cash conditional transfer
(CCT)secara intensif di Asia, harus dilakukan secara hati-hati sebab pertumbuhan
ekonomi di Asia relatif lebih cepat daripada Amerika Latin. Oleh karena itu,
berdasarkan temuan Estrada et al (2014), pertumbuhan inklusif harus tetap
memperhitungkan kondisi kesinambungan fiskal di negara Asia.
Selain menggunakan benchmarking study, pendekatan yang paling sering
digunakan untuk mengukur dampak kebijakan fiskal melalui analisis insiden
fiskal.David dan Petri (2013) membuktikan bahwa program perlindungan sosial
telah membantu menurunkan kemiskinan dan ketimpangan di Mauritius. Sungguh
pun demikian, value added tax (VAT) memiliki dampak yang minimal dalam
mengurangi ketimpangan. Lebih mengejutkan, Higgins dan Pereira (2014)
menemukan pajak tidak langsung yang harus dibayar oleh kelompok rumah
tangga miskin di Brazil lebih besar daripada manfaat subisidi yang diterima dari
pemerintah.Pada titik ini, kebijakan fiskal sulit untuk mencapai pertumbuhan
inklusif, jika tidak dikatakan eksklusif.
Jika analisis insiden fiskal menggunakan data mikro level rumah tangga,
kebijakan fiskal juga dapat dilihat dampaknya melalui interaksi antarvariabel
makroekonomi.Dengan menggunakan Panel Vector Autoregression (PVAR), Hur
22
(2014) menyimpulkan bahwa pengeluaran kesehatan dan pendidikan mampu
menanggulangi ketimpangan pendapatan pada negara anggota ADB
dibandingkan dengan negara anggota OECD. Dalam hal ini, efek distribusi dari
pengelauran fiskal terjadi pada jangka panjang.Selain itu, Kolawole (2016)
menggunakan Auto-regressive Distributed Lag (ARDL) untuk menguji hubungan
antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan inklusif. Secara garis besar,
belanja kesehatan, kebebasan ekonomi, public resource index, dan pertumbuhan
PDB riil secara signifikan dan positif berpengaruh terhadap pertumbuhan inklusif
dalam jangka panjang, meskipun hanya pertumbuhan PDB riil yang berpengaruh
dalam jangka pendek.
Dengan mempertimbangkan penelitian sebelumnya, implikasi kebijakan
fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada penelitian ini dilihat dalam interaksi
antarvariabel makroekonomi. Benchamarking study tidak digunakan sebab
penelitian ini tidak bermaksud mengkomparasi kebijakan fiskal antarnegara. Akan
tetapi, penelitian ini hendak membandingkan strategi kebijakan fiskal pada Era
Orde Baru dan Era Reformasi, dengan institusi ekonomi politik yang berbeda (lihat
Rao, 2011). Kemudian, analisis insiden fiskal tidak digunakan sebab hanya
memotret perilaku ekonomi secara insidental. Padahal penelitian ini di setting guna
menjelaskan kebijakan fiskal dan pertumbuhan inklusif selama periode 1981-2016.
2.4 Kerangka Konseptual Penelitian
Secara konseptual, peran pemerintah tercermin dalam kebijakan fiskal. Pada
penelitian ini kebijakan fiskal yang dimaksud menyangkut instrumen kebijakan
belanja dan penerimaan negara. Sementara itu, pertumbuhan inklusif menyentuh
dimensi perluasan peluang ekonomi (new economic opportunity), pembagian
manfaat (benefit shared) dan partisipasi (participation) seluruh masyarakat dimana
pertumbuhan ekonomi tinggi diarahkan untuk mencapai kemiskinan dan
23
pengangguran yang rendah (Ramos et al, 2013; Ali dan Son, 2007). Gambaran
mengenai konsep yang dimaksud diilustrasikan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.6: Kerangka Konseptual Penelitian
Sumber: Ilustrasi Penulis.
Lebih lanjut, implikasi kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan inklusif melalui
channel yang berbeda. Belanja negara yang sifatnya produktif seperti belanja
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Belanja produktif ini biasanya identik dengan investasi pemerintah baik
dalam bentuk akumulasi modal fisik maupun modal manusia. Belanja pemerintah
juga dapat menciptakan kesempatan kerja terutama pada investasi pemerintah
yang intensif tenaga kerja. Belanja negara yang mampu menurunkan
pengangguran ini biasanya bersumber dari belanja infrastruktur dasar. Sementara,
24
di sisi penerimaan negara, perpajakan lebih banyak menghambat aktivitas dari
pelaku ekonomi untuk menggerakkan perekonomian. Pada titik ini, perpajakan
bersifat distortif (distortionary tax) bagi pertumbuhan ekonomi.
Efek pertumbuhan ekonomi kemudian berlanjut pada tingkat pengangguran
dan kemiskinan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan
pekerjaan akan mampu mengurangi pengangguran. Tingkat pengangguran yang
menurun mengindikasikan bahwa setiap orang yang menganggur sebelumnya
dapat meningkatkan pendapatan. Pendapatan yang meningkat diatas garis
kemiskinan inilah yang mampu menurunkan kemiskinan. Sementara itu, efek
langsung pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan dapat dilihat
melalui penigkatan pendapatan dan aktivitas ekonomi masyarakat yang semula
berada di bawah garis kemiskinan kemudian bergerak diatas garis kemiskinan.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji inklusivitas pertumbuhan ekonomi di
Indonesia dan perbedaan implikasi kebijakan fiskal Era Orde Baru dan Era
Refomasi dalam percepatan pertumbuhan inklusif di Indonesia. Untuk itu,
penelitian ini didesain menggunakan pendekatan kuantitatif. Dengan
menggunakan pendekatan ini, peneliti dapat mengkonstruksi pengukuran secara
teknis yang dapat menjembatani antara konsep dan data kuantitatif yang dimiliki
(Neuman, 2007). Pengukuran secara teknis yang dimaksud berhubungan dengan
penggunaan analisis statistik (dan ekonometrika) untuk memperoleh temuan-
temuan penelitian (Marczyk et al., 2005). Dengan demikian, pendekatan kuantitatif
menjadi penting dalam penelitian ini, mengingat kemampuannya dalam
mengkuantifikasi kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap pertumbuhan inklusif.
3.2 Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini diharapkan dapat diobservasi dan dibuktikan validitasnya oleh
pihak lain. Definisi variabel bukan saja untuk kepentingan observasi dan validitas,
definisi operasional digunakan untuk memberikan pemahaman mengenai batasan
dari variabel dan bagaimana ia berlaku secara operasional (teknis). Oleh karena
itu, penyertaan definisi operasional variabel sangat diperlukan. Adapun variabel
beserta definisi operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1,
di bawah ini:
25
26
Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Variabel Penelitian
No. Variabel Satuan Definisi Variabel
Variabel Kebijakan Fiskal
1. Belanja pendidikan
(SPE_EDU) %
Rasio belanja pemerintah sektor
pendidikan terhadap PDB
2. Belanja kesehatan
(SPE_HEL) %
Rasio belanja pemerintah sektor
kesehatan terhadap PDB
3. Belanja infrastruktur dasar
(SPE_INF) %
Rasio belanja pemerintah sektor
infrastruktur dasar (mencakup
fungsi perhubungan, perumahan,
dan fasilitas umum) terhadap PDB
4. Penerimaan Pajak (TAX) % Rasio total penerimaan pajak
terhadap PDB
Variabel Pertumbuhan Inklusif
5. Pertumbuhan Ekonomi
(GRO) %
Pertumbuhan PDB Atas Dasar
Harga Konstan (ADHK)
6. Pengangguran (UNE) % Persentase jumlah pengangguran
terhadap jumlah angkatan kerja
7.
Kemiskinan (POV)
%
Persantase penduduk yang berada
di bawah garis kemiskinan
Variabel Dummy
8. Dummy Era Reformasi
(D_REFO) %
1= Era Reformasi
0= Era Orde Baru
Variabel Kontrol
9. Angkatan Kerja (LAB) juta
jiwa
Jumlah penduduk usia kerja (15
tahun dan lebih) yang bekerja, atau
punya pekerjaan namun sementara
tidak bekerja dan pengangguran.
10. Laju Populasi (POP) % Laju pertumbuhan penduduk secara
de facto
11. Share Sektor Pertanian
(AGRI) %
Rasio PDB sektor pertanian
terhadap total PDB
Sumber: Data Diolah oleh Penulis.
27
3.3 Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan dan dicatat sebelumnya baik
oleh lembaga tertentu maupun peneliti lain sehingga peneliti tidak perlu terjun
langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian. Dengan kata lain, data
sekunder memungkinkan peneliti untuk memperoleh data tanpa harus mengambil
langsung dari objek terteliti. Berkenaan dengan hal itu, data sekunder dalam
penelitian ini menjadi relevan sebab data yang digunakan sebagian besar berada
pada level makro. Data pada level ini hanya bisa ditemui melalui publikasi
lembaga tertentu yang kredibel. Tabel 3.2 dibawah ini meringkas data yang
diperlukan dalam penelitian ini.
Tabel 3.2: Data dan Sumber Data
No. Data Sekunder yang Dibutuhkan Sumber Data
1. Data ringkasan APBN Indonesia tahun
1981-2016
Kementerian
KeuanganRI
2. Data PDB Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga
Konstan tahun 1981-2016 World Bank
3. Data pertumbuhan ekonomi riil Indonesia tahun
1981-2016 World Bank
4. Data tingkat pengangguran terbuka Indonesia
tahun 1981-2016
BPS RI dan Trading
Economics
5. Data tingkat kemiskinan dalam P0 atau Head
Count Index Indonesia tahun 1981-2016
World Bank dan Badan
Kebijakan Fiskal
6. Data angkatan kerja tahun 1981-2016 BPS RI
7. Data jumlah populasi penduduk World Bank
8. Share sektor pertanian World Bank
Sumber: Diolah oleh Penulis.
28
3.4 Metode Analisis Data
3.4.1 Uji Stasioneritas
Pengujian stasioneritas data berguna untuk menghindarkan peneliti dari
model ekometrika yang menyesatkan (misleading). Hasil estimasi bisa saja
menunjukkan nilai koefisien determinasi dan derajat signifikansi seluruh variabel
tinggi, namun tidak ada jaminan bahwa hasil estimasi telah secara tepat
menyediakan informasi yang sebenarnya. Secara singkat, data time series dalam
keadaan stasioner, jika secara stokastik data menunjukkan pola variasi (variance)
yang konstan dari waktu ke waktu. Hal ini berarti, tidak ada fluktuasi yang
mencolok pada data yang diobservasi. Stasioneritas data memiliki dua perilaku
(Ekananda, 2016), yakni:
1. Data stasioner pada nilai tengah (mean stationary) yakni fluktuasi data
hanya terjadi di sekitar nilai tengah yang tetap selama waktu observasi.
Jika stasioneritas jenis ini tidak terpenuhi, hal yang dapat ditempuh melalui
pembedaan (differencing) pada tahap tertentu (biasanya hingga second
difference) terhadap data asli sampai dengan kondisi data tersebut
stasioner.
2. Data stasioner pada variansnya (variance stationary) fluktuasi data hanya
terjadi pada varians yang tetap dari waktu ke waktu. Jika stasioneritas jenis
ini tidak terpenuhi, hal yang dapat dilakukan dengan mentransformasi data
asli menjadi logaritma natural atau akar kuadrat.
Selanjutnya, stasioneritas data dapat dilakukan dengan deteksi akar unit (unit
root) melalui prosedur Augmented-Dickey Fuller (ADF) Test. Pengujian data dapat
dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dari uji ADF. Jika probabilitas nilai uji
ADF sgnifikan pada tingkat estimasi kesalahan, maka data time series yang
diobservasi telah stasioner. Jika tidak tercapai stasioneritas pada level, maka uji
29
ADF dilakukan pada First Difference. Jika data telah stasioner, maka data yang
diobservasi tidak mengandung akar unit atau dalam ekonometrika disebut sebagai
random walk.
3.4.2 Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi dimaksudkan untuk menindaklanjuti analisis data time series
dalam keadaan yang tidak stasioner. Secara ekonomi, kedua variabel bisa disebut
terkointegrasi apabila memiliki hubungan jangka panjang, atau keseimbangan
antara keduanya. Dengan demikian, apabila terjadi guncangan dalam
perekonomian, maka dalam jangka panjang terdapat kekuatan yang mendorong
ekonomi untuk kembali ke kondisi keseimbangannya, atau bisa jadi membentuk
keseimbangan baru.
Uji kointegrasi dapat dijelaskan dengan memisahkan variabel Yt dan Xt
masing-masing berintegrasi pada derajat satu, atau kedua variabel dapat
dinotasikan sebagai Yt~I(1) dan Yt~I(1). Adapun model persamaan regresinya dapat
dituliskan dalam persamaan berikut ini:
Yt = β0 + β1+ εt
Dengan estimasi kesalahan ketidakseimbangan dari model regresi:
εt = Yt - β0 - β1
Jika residual kesalahan ketidakseimbangan (εt) stasioner, maka variabel-
variabel pada persamaanregresi tersebut membentuk hubungan kointegrasi.
Sedangkan, kelompok variabel disebut tidak membentuk hubungan kointegrasi jika
residualnya tidak stasioner (Engle dan Grenger, 1987).
30
3.4.3 Analisis Persamaan Simultan
3.4.3.1 Metode Estimasi Parameter 3SLS
Estimasi model persamaan simultan dapat dilakukan dengan metode
persamaan tunggal dan metode sistem dengan diawali dengan identifikasi
persamaan menggunakan syarat order dan syarat rank. Metode estimasi dengan
persamaan tunggal pada prinsipnya dilakukan secara terpisah pada masing-
masing persamaan di dalam model. Sementara itu, estimasi dengan metode
sistem pada dasarnya dilakukan dengan menempatkan persamaan pada waktu
yang sama dan estimasi dilakukan secara simultan
Estimasi persamaan simultan dengan persamaan tunggal biasanya terdapat
pada metode OLS (Ordinary Least Square), ILS (Indirect Least Square), dan 2SLS
(Two Stage Least Square). Metode OLS mengasumsikan bahwa estimasi
dilakukan dengan meminimumkan jumlah kuadrat galat, sehingga diperoleh
estimasi parameter dengan varian yang terkecil. Metode ILS juga menggunakan
kuadrat terkecil, akan tetapi dilakukan secara tidak langsung. Metode 2SLS
menggunakan kuadrat terkecil dalam dua langkah. Metode OLS digunakan tanpa
perlu mencapai kondisi identifikasi, sedangkan metode ILS digunakan pada
apabila teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan metode 2SLS
digunakan pada kondisi teridentifikasi secara berlebihan (overidentified).
Estimasi persamaan simultan dengan metode sistem biasanya merujuk
kepada metode 3SLS (Three Stage Least Square). Metode 3SLS harus melalui
tiga langkah; (i) langkah pertama, (ii) langkah kedua dengan menggunakan 2SLS,
dan (iii) terakhir, menggunakan SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS
(Generalized Least Square). Metode estimasi 3SLS digunakan karena informasi
variabel endogen dalam model korelasi contemporaneous tidak diperhitungkan
31
dalam metode persamaan tunggal, sehingga interpretasinya kurang tepat. Jika
dibandingkan dengan model persamaan simultan lainnya, seperti 2SLS yang
bersifat Limited Information, metode 3SLS bersifat Full Information dimana model
persamaan simultan menggunakan seluruh informasi yang ada. Dengan demikian,
metode 3SLS memberikan estimasi yang konsisten dan estimasi yang secara
asimptotik lebih efisien (Hausman, 1974).
3.4.3.2 Spesifikasi Model
Model persamaan simultan yang dibentuk diharapkan mampu menangkap
fenomena kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap pertumbuhan inklusif di
Inonesia. Model dibagi dalam tiga persamaan yaitu (i) persamaan pertumbuhan
ekonomi, (ii) persamaan pengangguran, dan (iii) persamaan kemiskinan. Adapun
model yang dimaksud dapat dituliskan sebagai berikut:
1. Persamaan Pertumbuhan Ekonomi
GROt= α0 + α1 SPE_EDUt + α2 D_REFO*SPE_EDUt+ α3 SPE_HLTt +
α4 D_REFO*SPE_HLTt + α5 SPE_INFt+ α6 TAXt+ α7 LABt+ εt
dimana;
α1, α2, α3, α4, α5, α7 > 0; α6<0.
2. Persamaan Pengangguran
UNEt= β0 + β 1 GROt + β2 SPE_INFt+ α3 D_REFO*SPE_INFt + α4 POPt + μt
dimana;
β 1, β 2, β 3 < 0; β 4 >0.
3. Persamaan Kemiskinan
POVt= γ0 + γ 1 GROt + γ 2 UNEt+ γ 3AGRIt + νt
dimana;
γ 1, γ 3 < 0; γ 2>0
32
Keterangan:
t = unit waktu
ε = residual persamaan pertumbuhan ekonomi
μ = residual persamaan pengangguran
ν = residual persamaan kemiskinan
α0 = konstanta persamaan pertumbuhan ekonomi
β0 = konstanta persamaan pengangguran
γ0 = konstanta persamaan kemiskinan
α1,… α7 = koefisien persamaan pertumbuhan ekonomi
β1, … β4 = koefisien persamaan pengangguran
γ 1,… γ3 = koefisien persamaan kemiskinan
GRO = pertumbuhan ekonomi
UNE = pengangguran
POV = kemiskinan
SPE_EDU = belanja pendidikan
SPE_HLT = belanja kesehatan
SPE_INF = belanja infrastruktur dasar
TAX = penerimaan pajak
LAB = angkatan kerja
POP = laju populasi
AGRI = share sektor pertanian
D_REFO = 1 untuk Era Reformasi dan 0 untuk Era Orde Baru
3.4.3.3 Identifikasi Model
Gujarati dan Porter (2012) mengungkapkan spesifikasi variabel apa yang
endogen dan eksogen merupakan kebebasan dari pembuat model. Sungguh pun
begitu, pembuat model harus mempertahankan penilaiannya berdasarkan latar
33
belakang kenyataan atau teori. Koutsoyiannis (1977) menyarankan agar dapat
dilakukan pendugaan parameter, suatu persamaan yang disusun harus
teridentifikasi. Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
K – k > m – 1 Overidentified
K – k = m – 1 Exactly Identified
K ≥ k = m – 1 Underidentified
Dimana:
K = jumlah variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) dalam model,
termasuk intersep
k= jumlah variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) dalam persamaan
yang diestimasi
m= jumlah variabel endogen dalam persamaan yang diestimasi
Variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) hanya variabel endogen
tanpa ada variabel dependen beda kala (lag dependent variabel) di dalam model
Adapun variabel yang sudah ditentukan sejumlah 10 variabel yakni SPE_EDU,
SPE_HLT, SPE_INF, TAX, D_REFO*SPE_EDU, D_REFO*SPE_HLT,
D_REFO*SPE_INF, LAB, POP, AGRI. Sementara itu, variabel endogen di dalam
model terdiri dari 3 variabel, yakni GRO, UNE, dan POV
Lebih lanjut, di alam penelitian ini, hasil uji identifikasi persamaan simultan
menunjukkan bahwa seluruh persamaan dalam kategori overidentified
sebagaimana yang terlihat pada Tabel 3.3
34
Tabel 3.3: Kondisi Identifikasi Model
Nama Persamaan K k m K-k Tanda m-1 Kondisi Identifikasi
Persamaan Pertumbuhan Ekonomi
13 7 1 6 > 0 Overidentified
Persamaan Pengangguran
13 3 2 10 > 1 Overidentified
Persamaan Kemiskinan
13 1 3 12 > 2 Overidentified
Sumber: Data Diolah oleh Penulis.
3.4.4 Uji t-Statistik
Uji t-statistik digunakan untuk melakukan pengujian dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh signifikan variabel independen terhadap variabel dependen
secara parsial.Hipotesis mengenai uji parsial ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
H0: α1 = 0
H1: α1 ≠ 0
Dalam penelitian ini uji t-statistik yang digunakan dengan melihat Prob. Z
variabel independen secara parsial. Apabila Prob. Z lebih besar daripada tingkat
kesalahan estimasi (α=0.01%, α=0.05, atau α=0.10), maka H0 dapat diterima. Hal
ini berarti variabel indepeden secara parsial tidak memiliki pengaruh signifikan
terhadap variabel dependen. Apabila Prob. Z lebih kecil daripada tingkat
kesalahan estimasi(α=0.01%, α=0.05, atau α=0.10), maka H0 dapat ditolak. Hal ini
berarti variabel indepeden secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap
variabel dependen.
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Dinamika Kebijakan Fiskal Di Indonesia
Pola kebijakan fiskal yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi pengelolaan
belanja dan penerimaan pemerintah yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Dari sisi belanja, salah satu upaya yang paling
fundamental dilakukan ialah menggeser belanja konsumtif ke belanja produktif.
Dari sisi penerimaan, pemerintah perlu menggeser sumber penerimaan dari
sumber daya alam ekstraktif ke sumber pendapatan pajak (Nazara, 2016).
Belanja produktif berupa belanja pendidikan, belanja kesehatan, dan belanja
infrastruktur dasar telah mengalami dinamika yang beragam di Indonesia. Selama
periode 1981-2016, belanja infrastruktur dasar dan belanja pendidikan mengambil
proporsi yang lebih besar, sementara belanja kesehatan relatif lebih kecil. Proporsi
belanja kesehatan cenderung persisten di bawah 1% terhadap PDB
Jika didekomposisi menjadi dua era yakni Era Orde Baru (1981-1998) dan
Era Reformasi (1999-2016), proporsi belanja pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur dasar lebih besar terjadi di Era Orde Baru. Sebagai contoh, proporsi
belanja pendidikan di Era Orde Baru secara rata-rata mencapai 1,30% terhadap
PDB, sementara di Era Reformasi hanya tercatat sebesar 1,10% terhadap PDB.
Hal yang sama juga terjadi pada belanja kesehatan, dimana di Era Orde Baru
mencapai 0,31 %, sementara di Era Reformasi hanya tercatat sebesar 0,26 %
terhadap PDB. Terakhir, belanja infrastruktur dasar di Era Orde Baru (1,42%
terhadap PDB) masih lebih besar daripada Era Reformasi (1,31% terhadap PDB),
meskipun dalam dua tahun terakhir (2015-2016) mengalami peningkatan yang
berarti.
35
36
Gambar 4.1: Perkembangan Belanja Pendidikan, Kesehatan dan
Infrastruktur Tahun 1981-2016
Sumber: Data diolah dari Kementerian Keuangan RI dan World Bank, berbagai tahun
Tidak jauh berbeda dengan belanja produktif, kinerja penerimaan pajak di Era
Orde Baru lebih baik daripada Era Reformasi. Di Era Orde Baru, proporsi
penerimaan pajak hampir selalu di atas 15% terhadap PDB sebagaimana kondisi
ideal dan prasyarat minimum jumlah penerimaan pajak di negara berkembang.
Penerimaan pajak di bawah 15 terhadap PDB di Era Reformasi hanya terjadi pada
tahun 1986, 1993, 1995, 1996 dengan proporsi masing-masing sebesar 14,62 %;
14,36 %, 14,96 %, dan 14,23 %. Tren penurunan kinerja penerimaan pajak ini
menimbulkan kehilangan sumber penerimaan yang sangat besar. Bila merujuk
prasyarat minimum penerimaan pajak, selama Era Reformasi, potensi penerimaan
yang tidak tercapai sebesar 54,79% terhadap PDB dengan rata-rata setiap
tahunnya senilai 3,22 persen terhadap PDB.
0
1
2
3
4
5
6
7
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
% d
ari
PD
B
Belanja Pendidikan Belanja Kesehatan Belanja Infrastruktur
Era Orde Baru Era Reformasi
37
Gambar 4.2: Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 1981-2016
Sumber: Data diolah dari Kementerian Keuangan RI dan World Bank, berbagai tahun.
4.1.2 Dinamika Pertumbuhan Inklusifdi Indonesia
Sejatinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode awal 1980-an lebih
banyak ditentukan oleh dinamika harga minyak di pasar internasional (Arndt dan
Hill, 1988). Pada tahun 1982 misalnya, tekanan harga minyak di pasar global telah
menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari setahun sebelumnya mencapai
8,51 %, kemudian hanya menjadi 1,1%. Meskipun pasca penurunan pertumbuhan
ekonomi ada upaya untuk keluar dari ketergantungan minyak melalui reformasi
struktur ekonomi, akan tetapi volatiltas pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap
berlanjut sampai pada tahun 1987 (Badan Kebijakan Fiskal, 2015).
Reformasi struktur ekonomi baru memberikan manfaat pada tahun 1988.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali pada jalur yang tepat dengan tren
peningkatan pada level tertinggi pada tahun 1989 mencapai 9,08 %. Pada tahun
1992 sampai dengan 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil. Periode
ini kemudian dapat disebut sebagai faseremarkable growth (Badan Kebijakan
Fiskal, 2015).
0
5
10
15
20
25
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
% d
ari
PD
B
Era Orde Baru Era Reformasi
38
Gambar 4.3: Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1981-2016
Sumber: World Bank, berbagai tahun
Kemudian pada tahun 1997-1998 terjadi pembalikan tajam (sharp reversal)
dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dimana pada tahun 1998 menuju level
terendah sebesar -13,13 %. Dari semua negara yang terimbas krisis keuangan
Asia, kondisi Indonesia relatif lebih buruk dengan masa perbaikan yang lebih lama.
Ketidakstabilan politik dan kelemahan kelembagaan, dikombinasikan dengan
ketegangan internal, ditengarai telah menyebabkan penilaian ulang terkait prospek
Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan yang sangat tinggi. Saat
ketegangan meningkat, beberapa bahkan memprediksi bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia setelah krisis keuangan Asia tidak akan bertahan dalam
bentuknya semula (Temple, 2001).
Pertumbuhan ekonomi pasca krisis keuangan Asia, tepatnya Era Reformasi,
relatif stabil, meskipun tidak lebih tinggi dari sebelumnya. Selama 2000-2004,
Indonesia pulih perlahan dari krisis keuangan, dengan pertumbuhan ekonomi
Indonesia mencapai rata-rata 4,6% per tahun. Dari tahun 2005 sampai 2011,
pertumbuhan meningkat menjadi rata-rata 6% per tahun didukung oleh pemulihan
-15
-10
-5
0
5
10
15
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
39
yang kuat pada harga komoditas global, yang memicu periode boom komoditas.
Sejak kembali pada kondisi puncak (peak)pada kuartal kedua tahun 2010,
pertumbuhan ekonomi telah menurun secara stabil menjadi 6,2% di tahun 2011;
6,0% pada tahun 2012; 5,6% pada tahun 2013; dan 5,0% pada tahun 2014.
Perlambatan ini disebabkan oleh turunnya harga komoditas global, kondisi
keuangan global yang fluktuatif, pengetatan fiskal dan moneter, dan terus
melemahnya daya saing Indonesia dalam perekonomian global (Tabor, 2015).
Dinamika yang terjadi pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia cenderung
berjalan asimetris dengan tingkat pengangguran terbuka. Sebagaimana lumrahnya
dalam teori, peningkatan output cenderung dapat memperluas kesempatan kerja
sehingga dapat dikuti dengan penurunan pengangguran terbuka. Bisa dikatakan
bahwa, peningkatan output sudah semestinya direspon dengan penurunan tingkat
pengangguran. Akan tetapi, di Indonesia, tingkat pengangguran terbuka berjalan
dengan polanya sendiri.
Gambar 4.4: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Tahun 1981-2016
Sumber: BPS RI dan Trading Economics, berbagai tahun
0
2
4
6
8
10
12
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
40
Bukti mengenai pola asimetris antara pertumbuhan dan tingkat pengangguran
dapat ditelusuri pada periode peningkatan pengangguran. Peningkatan
pengangguran terbuka secara drastis terjadi pada tahun 1995 dan 2005. Pada
tahun 1995, tingkat pengangguran terbuka mencapai 7,46 %, padahal di satu sisi,
di tahun yang sama, pertumbuhan ekonomi mencapai fase remarkable growth,
tercatat sebesar 4,80 %. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pada tahun 2005,
dimana tingkat pengangguran terbuka sangat tinggi (tercatat sebesar 11,24%),
justru terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi (mencapai 5,69%) dalam
kecenderungan yang terus meningkat.
Gambar 4.5: Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 1981-2016
Sumber: World Bank (2016)
Dibandingkan dengan tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan relatif dapat
membentuk pola yang lebih teratur. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi
selama periode 1981-1995 diiringi dengan penurunan tingkat kemiskinan. Pada
tahun 1981, tingkat kemiskinan masih berada pada angka 26,85%, berikutnya
hanya tersisa sebesar 12,12% pada tahun 1995. Penigkatan pengangguran pada
tahun periode 1996-1998, mengikuti siklus ekonomi yang turun secara drastis
0
5
10
15
20
25
30
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
41
sehingga garis kemiskinan baru perlu dihitung kembali agar menjadi dapat
menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Praktis, pada periode setelah krisis
pola penurunan kemiskinan terus terjadi, kecuali pada tahun 2006. Tingkat
kemiskinan yang melonjak selama Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga
barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang
digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya penduduk yang
tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan
banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin (BPS RI, 2007).
4.1.3 Perkembangan Angkatan Kerja di Indonesia
Jumlah angkatan kerja di Indonesia terus mengalami perkembangandengan
laju angkatan kerja yang volatile tetapi cenderung mengarah pada tren penurunan.
Di satu sisi, pada tahun 1981, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 53,37
juta jiwa. Angka tersebut kemudian mengalami peningkatan menjadi 125,44 juta
pada tahun 2016. Di sisi lain, laju angkatan kerja tertinggi terjadi pada tahun 1983
dan 1994 dengan laju masing-masing sebesar 5,79% dan 5,58%, sementara laju
terendah terjadi pada tahun 2011 tercatat senilai 0,12 %.
Gambar 4.6: Perkembangan Angkatan Kerja Tahun 1981-2016
Sumber: Data diolah dari BPS RI, berbagai tahun.
0
1
2
3
4
5
6
7
0
20
40
60
80
100
120
140
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
%
Dala
ju
ta jiw
a
Jumlah Angkatan Kerja Laju Angkatan Kerja
42
4.1.4 Perkembangan Laju Populasi di Indonesia
Jumlah penduduk di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Pada tahun 1981, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 147,49 juta jiwa.
Kemudian 35 tahun setelahnya, jumlah penduduk di Indonesia tercatat sebesar
261,1 juta jiwa. Jumlah penduduk yang relatif besar telah menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar setelah China, India dan
Amerika dengan jumlah penduduk masing-masing negara pada tahun 2016
sebesar 1,379 milliar jiwa, 1,324 milliar jiwa, dan 323,1 juta jiwa.
Meskipun tampak terjadi peningkatan jumlah penduduk yang cukup pesat,
laju populasi mengalami tren penurunan dari waktu ke waktu. Laju populasi yang
menurun di Indonesia disebabkan oleh penurunan angka kelahiran disatu sisi,
penigkatan angka kematian di sisi lain. Dengan kata lain, tren penurunan laju
populasi disebabkan penurunan karena kelahiran lebih cepat daripada penurunan
karena kematian. Sebagai contoh, selama periode 1981-2016, penurunan laju
populasi karena kelahiran sebesar 0,39 % setiap tahunnya, sementara penurunan
karena kematian hanya sebesar 0,08 % setiap tahunnya.
Gambar 4.7: Perkembangan Laju Populasi Tahun 1981-2016
Sumber: Data diolah dari World Bank, berbagai tahun.
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
43
4.1.5 Perkembangan Peranan Sektor Pertanian di Indonesia
Perkembangan peranan sektor pertanian di Indonesia sangat erat kaitannya
dengan transformasi struktural. Peranan sektor pertanian perlahan tergantikan
oleh sektor industri, bahkan sektor jasa. Indikasi terjadinya tranformasi struktural
bisa dilihat Gambar 4.6, dimana lebih seperempat aktivitas ekonomi bersumber
dari sektor pertanian. Peranan sektor pertanian dalam aktivitas ekonomi kemudian
hanya tersisa sebesar 13,52 % pada tahun. Peranan sektor pertanian tergantikan
oleh sektor industri dan sektor jasa dengan capaian pada tahun 2016 masing-
masing sebesar 40,01 % dan 46,46%.
Gambar 4.8: Peranan Sektor Pertanian dan Sektor Lainnya Tahun 1981-2016
Sumber: Data diolah dari World Bank, berbagai tahun.
Sungguh pun begitu, sektor pertanian tetap memegang peranan penting
terutama sebagai shock absorber pada masa krisis (Daryanto, 1999). Sektor
pertanian sebagai shock absorber terlihat pada dua episode krisis yakni krisis
keuangan Asia dan krisis sub-prime mortgage yang berjangkit ke hampir semua
negara. Pada masa krisis keuangan Asia, peranan sektor pertanian mulai
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Jasa
44
meningkat yakni 16,09 % pada tahun 1998; 18,08 pada tahun 1999, dan 19,61
pada tahun 2000. Pada masa krisis sub-prime mortgage, sektor industri dan
manufaktur yang lebih terkoneksi dengan pengaruh perkembangan ekonomi
global dengan segera melakukan penyesuaian produksi. Hal yang berbeda terjadi
pada sektor pertanian dimana pada masa krisis, peranannya terhadap aktivitas
ekonomi mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 13,71% pada tahun 2008,
14,48% pada tahun 2009, dan 15,29%
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Uji Stasioneritas
Pada dasarnya, uji stasioneritas menekankan bahwa data yang digunakan
tidak mengandung unit root. Pendeteksian variabel yang mengandung unit root
dapat dilakukan melalui Uji Augmented Dickey-Fuller(ADF), yang sebelumnya
merupakan pengembangan dari Uji Dickey-Fuller. Adapun hipotesis yang disusun
dalam Uji ADFadalah:
H0 : variabel yang diamati mengandung unit root (tidak stasioner)
H1:variabel yang diamati tidak mengandung unit root (stasioner).
Dari hipotesis di atas, H0 diterima apabila nilai signifikansi ADF lebih besar
daripada tingkat estimasi kesalahan (α=0.01%, α=0.05, atau α=0.10). Sementara
itu, H0 ditolak apabila nilai signifikansi ADF lebih kecil daripada tingkat estimasi
kesalahan (α=0.01%, α=0.05, atau α=0.10). Apabila variabel tidak stasioner, maka
perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan meningkatkan derajat integrasi pada
1st Difference.
Ringkasan hasil uji stasioneritas dapat dilihat pada Tabel 4.1 Pada level,
hanya terdapat dua variabel yang berada pada kondisi stasioner yakni variabel
GRO dan SPE_HLT. Dengan kondisi seperti itu, perlu dilakukan uji lebih lanjut
dengan meningkatkan derajat integrasi pada 1st Difference. Pada 1st Difference,
45
seluruh variabel stasioner, kecuali variabel POP. Dengan kondisi variabel POP
yang tidak stasioner, perlu dilakukan uji kointegrasi.
Tabel 4.1: Ringkasan Hasil Uji Stasoneritas
Null Hypothesis: Unit Root (individual unit root process)
No. Nama Variabel Level 1st Difference
1. GRO *** 0.0016 *** 0.0000
2. UNE 0.1656 *** 0.0015
3. POV 0.6162 *** 0.0002
4. SPE_EDU 0.1908 *** 0.0000
5. SPE_HLT *** 0.0095 * 0.0522
6. SPE_INF 0.3004 *** 0.0000
7. LAB 0.9646 *** 0.0000
8. POP 0.1164 0.9897
9. AGRI 0.5280 ***0.0000
Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.
Sumber: Data Diolah dari EVIEWS9.
4.2.2 Uji Kointegrasi
Meskipun masih ada variabel yang tidak stasioner, uji kointegrasi tetap dapat
dilakukan dengan catatan, variabel yang tidak stasioner bisa terkointegrasi pada
saat dimasukkan ke dalam persamaan (Engle dan Grenger, 1987). Hal ini
kemudian dilengkapkan oleh Ariefianto (2012) bahwa suatu set variabel bisa saja
terdeviasi dari pola ekulibrium namun demikian diharapkan terdapat suatu
mekanisme jangka panjang yang mengembalikan variabel-variabel yang dimaksud
kembali pada pola ekulibriumnya. Pada uji kointegrasi, residual dari setiap
persamaan yang diestimasi harus stasioner pada level.
46
Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai probabilitas seluruh residual
persamaan lebih kecil daripada tingkat estimasi kesalahan. Dari hasil tersebut,
dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel dalam setiap persamaan terkointegrasi
pada derajat yang sama. Dengan kata lain, variabel independen dan variabel
dependen memiliki hubungan atau keseimbangan jangka panjang
Tabel 4.2: Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi
Null Hypothesis: ECT01, ECT02, ECT03 has unit root
No. Nama Persamaan Notasi Residual Singkatan Level
1. Persamaan Pertumbuhan Ekonomi
Ɛt ECT01 *** 0.0009
2. Persamaan Pengangguran
μt ECT02 * 0.0543
3. Persamaan Kemiskinan
νt ECT03 ** 0.0390
Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.
Sumber: Data Diolah dari EVIEWS9
4.2.3 Hasil Estimasi Persamaan Simultan
Setelah melewati uji stasioneritas dan kointegrasi sebagai prosedur dari data
runtut waktu, estimasi melalui persamaan simultan 3SLS dapat dilakukan karena
tidak terdapat indikasi bahwa seluruh model yang diajukan mengarah pada hasil
yang menyesatkan (misleading). Dalam penelitian ini digunakan tiga persamaan
meliputi persamaan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. Hasil
estimasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
47
1. Persamaan Pertumbuhan Ekonomi
Pada persamaan pertumbuhan ekonomi, variabel yang diduga berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi (GRO) meliputi belanja pendidikan Era Orde Baru
(SPE_EDU), belanja pendidikan Era Reformasi (D_REFO*SPE_EDU), belanja
kesehatan Era Orde Baru (SPE_HLT), belanja kesehatan Era Reformasi
(D_REFO*SPE_HLT), belanja infrastruktur (SPE_INF), penerimaan pajak (TAX),
dan angkatan kerja (LAB).
Tabel 4.3: Hasil Estimasi Persamaan Pertumbuhan Ekonomi
Variabel Koefisien Standard
Error Z Prob > |Z|
Constanta 32.13659 13.90123 2.31 ** 0.021
SPE_EDU -9.738306 3.525882 -2.76 *** 0.006
D_REFO*SPE_EDU 16.02357 5.040618 3.18 *** 0.001
SPE_HLT 43.50128 14.35849 3.03 *** 0.002
D_REFO*SPE_HLT -45.96653 15.96 -2.88 *** 0.004
SPE_INF 0.7170147 0.5018221 1.43 0.153
TAX -0.6305192 0.4198091 -1.50 0.133
LAB -0.2419183 0.0981728 -2.46 ** 0.014
Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.
Sumber: Data Diolah dari STATA10
Dari hasil estimasi persamaan pertumbuhan ekonomi, dapat disimpulkan
beberapa hal, yakni:
a. Nilai kostanta sebesar 32,14, yang berarti bahwa, tanpa pengaruh
variabel independen, pertumbuhan ekonomi sebesar 32,14 %.
b. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
adalah variabel belanja pendidikan di Era Orde Baru, belanja pendidikan
48
di Era Reformasi, belanja kesehatan di Era Orde Baru, belanja kesehatan
di Era Reformasi, dan angkatan kerja.
c. Koefisien belanja pendidikan di Era Orde Baru sebesar -9.74, yang
berarti bahwa setiap peningkatan 1% rasio belanja pendidikan terhadap
PDB di Era Orde Baru, maka akan menurunkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 9,74%. Sementara itu, koefisien belanja pendidikan di Era
Reformasi sebesar 16,02, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1%
rasio belanja pendidikan terhadap PDB di Era Reformasi, maka akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar. 6,28%.
d. Koefisien belanja kesehatan di Era Orde Baru sebesar 43,50, yang
berarti bahwa setiap peningkatan 1% rasio belanja kesehatan terhadap
PDB di Era Orde Baru, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 43,50%. Sementara itu, koefisien belanja pendidikan di Era
Reformasi sebesar -45,97, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1%
rasio belanja kesehatan terhadap PDB di Era Reformasi, maka akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,97%.
e. Koefisien angkatan kerja sebesar -0,24, yang berarti bahwa setiap
peningkatan 1 juta angkatan kerja, maka akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi sebesar 0.24%.
2. Persamaan Pengangguran
Pada persamaan pengangguran, variabel yang diduga berpengaruh terhadap
pengangguran (UNE) meliputi pertumbuhan ekonomi (GRO), belanja infrastruktur
Era Orde Baru (SPE_INF), belanja infrastruktur Era Reformasi
(D_REFO*SPE_INF), dan laju populasi penduduk (POP). Ringkasan hasil estimasi
dari persamaan pengangguran dapat dilihat dalam Tabel 4.4
49
Tabel 4.4: Hasil Estimasi Persamaan Pengangguran
Variabel Koefisien Standard
Error Z Prob > |Z|
Constanta 9.882917 1.782762 5.54 *** 0.000
GRO 0.0288351 0.1066375 0.27 * 0.087
SPE_INF -0.4817903 -0.2072119 -2.33 ** 0.020
D_REFO*SPE_INF 2.288119 0.5843848 3.92 *** 0.000
POP -3.165413 1.022364 -3.10 *** 0.002
Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.
Sumber: Data Diolah dari STATA10.
Selanjutnya, dari estimasi persamaan pengangguran, dapat disimpulkan
beberapa hal, yakni:
a. Nilai kostanta sebesar 9,88, yang berarti bahwa, tanpa pengaruh variabel
independen, tingkat pengangguran terbuka sebesar 9.88%.
b. Seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap tingkat
pengangguran terbuka.
c. Nilai koefisien pertumbuhan ekonomi sebesar 0.03%, yang berarti bahwa
setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, maka akan
meningkatkan tingkat pengangguran terbuka sebesar 0,03%.
d. Koefisien belanja infrastruktur dasardi Era Orde Baru sebesar -0.48, yang
berarti bahwa setiap peningkatan 1% rasio belanja infrastruktur dasar
terhadap PDB di Era Orde Baru, maka akan menurunkan tingkat
pengangguran terbuka sebesar 0,48%. Sementara itu, koefisien belanja
infrastruktur dasar di Era Reformasisebesar 2,29, yang berarti bahwa
setiap peningkatan 1% rasio belanja infrastruktur dasarterhadap PDB di
Era Reformasi, maka akan meningkatkan tingkat pengangguran
terbukasebesar 1,81%.
50
e. Koefisien laju populasi sebesar -3,17, yang berarti bahwa setiap
peningkatan laju populasi sebesar 1% maka akan menurunkan tingkat
pengangguran 3,17 persen.
3. Persamaan Kemiskinan
Pada persamaan kemiskinan, variabel yang diduga berpengaruh terhadap
kemiskinan (POV) meliputi pertumbuhan ekonomi (GRO), pengangguran (UNE),
peranan sektor pertanian (AGRI). Ringkasan hasil dari persamaan pengangguran
dapat dilihat dalam Tabel 4.5
Tabel 4.5: Hasil Estimasi Persamaan Kemiskinan
Variabel Koefisien Standard
Error Z Prob > |Z|
Constanta -17.93572 5.915688 -3.03 *** 0.002
GRO -0.3973441 0.1980764 -2.01 ** 0.045
UNE 1.614326 0.3597585 4.49 *** 0.000
AGRI 1.586353 0.2152436 7.37 *** 0.000
Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.
Sumber: Data Diolah dari STATA10.
Selanjutnya, dari estimasi persamaan kemiskinan, dapat disimpulkan
beberapa hal, yakni:
a. Seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap tingkat
kemiskinan.
b. Koefisien pertumbuhan ekonomi sebesar 0.40%, yang berarti bahwa
setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, maka akan
menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,40%.
51
c. Koefisien tingkat pengangguran terbuka sebesar 1,61%, yang berarti
bahwa setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, maka
akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 1,61%.
d. Koefisien share sektor pertanian sebesar 1,59%, yang berarti bahwa
setiap peningkatan share sektor terhadap PDB sebesar 1%, maka akan
meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 1,59%.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pertumbuhan Inklusif: Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi,
Pengangguran dan Kemiskinan.
Pada penelitian ini, pertumbuhan inklusif merujuk kepada konsep yang
ditawarkan oleh Ramos et al. (2013) serta Ali dan Son (2007). Oleh karenanya,
dimensi perluasan peluang ekonomi (new economic opportunity), pembagian
manfaat (benefit-share), dan penigkatan partisipasi (participation) seluruh
masyarakat penting untuk dimasukkan. Ketiga dimensi tersebut terwakilkan
melalui hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan.
4.3.1.1 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung
direspon dengan peningkatan pengangguran. Ada dua kemungkinan yang
menyebabkan fenomena tersebut terjadi. Pertama, kondisi ini sejalan dengan
teori produksi sederhana. Di dalam teori produksi, guncangan teknologi pada titik
tertentu mampu memperluas penyerapan tenaga kerja sebab teknologi yang
digunakan komplementer dengan kebutuhan tenaga kerja. Akan tetapi, guncangan
teknologi selanjutnya dapat menurunkan jumlah kebutuhan tenaga kerja sehingga
meningkatkan pengangguran secara agregat. Guncangan teknologi
52
semacaminibersifat padat modal (capital intensive). Di Indonesia, ada indikasi
bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung mengarah ke struktur produksi yang
bersifat padat modal (capital intensive).
Kemungkinan pertama ini sejalan dengan penelitian Dartanto (2013). Struktur
ekonomi Indonesia, bagi Dartanto (2013), mengarah ke sektor jasa yang notabene
bersifat padat modal (capital intensive). Sektor jasa yang dimaksud mencakup
sektor keuangan dan telekomunikasi. Kedua sektor ini menciptakan kesempatan
kerja yang lebih sedikit bagi tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang
rendah.Dengan kondisi struktur ekonomi yang padat modal (capital intensive),
sektor jasa mampu tumbuh lebih dari tujuh kali lipat, sementara sektor pertanian
yang notabene padat karya (labour intensive) hanya mampu melipatgandakan
produktivitasnya sebanyak tiga kali.
Kedua, hubungan antarapertumbuhan ekonomi dan pengangguran dalam
kasus Indonesia bisa jadi kompleks(atau bahkan cenderung tidak simetris
sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada gambaran umum tentang tingkat
pengangguran terbuka pada sub-bab 4.1.2). Islam dan Nazara (2000)
menjelaskan kompleksitas hubungan tersebut mengikuti apa yang disebut sebagai
hipotesis “unemployment as luxury”. Sebagai contoh, dengan tidak adanya
tunjangan pengangguran yang memadai di Indonesia, pengangguran selama
masa kontraksi menjadi sebuah “kemewahan” yang hanya bisa dinikmati oleh
mereka yang memiliki pendapatan di luar pekerjaan yang memadai. Dengan
anggapan menjadi penganggur bukan merupakan pilihan yang tepat, tenaga kerja
yang sebelumnya bekerja di sektor-sektor yang terimbas resesi besar pada tahun
1997, kemudian berpindah ke sektor pertanian dan sektor informal daripada tetap
“secara terbuka menganggur”. Fenomena perpindahan tenaga kerja ini dapat
disebut sebagai realokasi tenaga kerja.
53
4.3.1.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Temuan dari penelitian ini berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia yang cenderung direspon dengan penurunan kemiskinan. Dengan kata
lain, peningkatan aktivitas ekonomi telah berpihak kepada kelompok miskin (pro-
poor) tanpa melalui pasar tenaga kerja. Ada dua saluran yang menjelaskan
pertumbuhan ekonomi yang berpihak langsung kepada kelompok miskin (pro-poor
growth) di Indonesia. Pertama, saluran langsung, dimana dampak dari
peningkatan aktivitas ekonomi dapat dirasakan langsung oleh kelompok miskin.
Contoh dari saluran langsungini mencakup peningkatan aktivitas ekonomi pada
sektor infrastruktur dan layanan dasarseperti peningkatan kualitas pendidikan,
layanan kesehatan, perbaikan sanitasi, dan pembangunan jalan pedesaan.
Saluran langsung ini biasanya menyasar kelompok miskin yang memiliki akses
rendah sehingga mereka tidak mampu melakukan perbaikan terhadap tingkat
pendapatannya.
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang menurunkan kemiskinan melalui saluran
pasar.Saluran pasar ini biasanya dikaitkan dengan hipotesis Kuznets (1955) yang
menghubungkan antara pendapatan per kapita dan tingkat ketimpangan dalam
distribusi pendapatan. Tidak jauh berbeda dengan hipotesis Kuznets (1955), pada
awalnya peningkatan pendapatan per kapita meningkatkan kemiskinan, pada titik
tertentu terjadi efek rembesan ke bawah yang memungkinkan manfaat yang
diterima kelompok kaya tesebar ke kelompok miskin. Efek rembesan ke bawah
melalui pertumbuhan ekonomi, tidak hanya menempatkan kelompok miskin
mendapat keuntungan dari pertumbuhan pendapatan nominalnya, tetapi juga dari
teknologi produksi yang membuat barang yang mereka konsumsi lebih murah di
pasar, sehingga meningkatkan daya beli mereka. Pada akhirnya, daya beli yang
meningkat di atas garis kemiskinan mampu mengubah status mereka yang miskin.
54
Dalam kasus Indonesia, pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan
kemiskinan juga telah dikonfirmasi oleh Miranti (2010). Ia menyebutkan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan mampu mengurangi kemiskinan jika pemerintah
konsisten mempertahankan distribusi pendapatan yang tidak terlalu timpang atau
berubah secara ekstrem. Efek pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan
kemiskinan bahkan terjadi pada era liberalisasi pertama dengan perubahan yang
cepat (1984-1990), era liberalisasi kedua dengan perubahan yang agak lambat
(1990-1996), dan masa pemulihan dari krisis keuangan Asia (1999-2002).
Pengalaman Indonesia dalam mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang
berpihak kepada kelompok miskin terpapar dalam penelitian Timmer (2004). Di
bandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, Indonesia relatif lebih mampu
mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada kelompok miskin
dalam jangka waktu yang lama. Ada tiga faktor kunci yang berkontribusi dalam
perwujudan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada kelompok miskin di
Indonesia, yakni peningkatan kapabilitas kelompok miskin, biaya transaksi yang
rendah antara areal pedesaaan dan perkotaan, serta peningkatan permintaan
barang dan jasa yang diproduksi oleh kelompok miskin.
Temuan dari penelitian ini juga dikuatkan oleh Sumner dan Edward (2014).
Sumner dan Edward (2014) bahkan menyimpulkan dengan kalimat yang lebih
tegas. Menurut mereka, Indonesia telah mampu meningkatkan rata-rata
pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat diikuti dengan
pengurangan kemiskinan yang ekstrem. Indonesia dalam temuannya, tidak hanya
sekadar mampu keluar dari kemiskinan, Indonesia bahkan memiliki potensi
menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2025 dan mengakhiri
kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan 1,25 dan 2 dollar AS per hari pada
tahun 2030.
55
4.3.1.3 Hubungan Pengangguran dan Kemiskinan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran direspon
oleh peningkatan kemiskinan. Secara teoritis, hubungan ini dapat ditelusuri melalui
peran pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran yang secara keseluruhan lebih
tinggi akan mempengaruhi jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan.
Mayoritas rumah tangga di negara berkembang mengandalkan pendapatan dari
pasar tenaga kerja, sehingga apabila terjadi peningkatan pengangguran, maka
dapat menggerus pendapatan yang cukup besar dari rumah tangga bersangkutan
(Powers, 1995).
Temuan di dalam penelitian ini harus diinterpretasikan secara hati-hati, sebab
tidak semua yang menganggur dikategorikan miskin. Lebih lanjut, kelompok miskin
dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok miskin yang menganggur
(unemployed poor) dan kelompok miskin yang bekerja (working poor).Kelompok
miskin yang menganggur telah dianggap lazim, sementara isu kritis yang masih
menjadi pertanyaan, mengapa mereka miskin walaupun telah bekerja. Pertanyaan
ini mengerucut pada dua jawaban: (i) orang miskin yang dimaksud berada dalam
status setengah menganggur (underemployment), dan (ii) tingkat pengembalian
yang didapatkan rendah (low return to labour). Dengan demikian, kuantitas dan
kualitas pekerjaan sangat menentukan apakah pekerjaan akan mengarah kepada
pengurangan kemiskinan atau tidak sama sekali (Saleh, 2012).
4.3.1.4 Inklusivitas Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Pertumbuhan inklusif di Indonesia dapat dijelaskan melalui dua jalur, yakni:
(i) dampak pertumbuhan ekonomi secara langsung (direct effect) terhadap
kemiskinan, dan (ii) dampak pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung (indirect
effect) melalui pengangguran terhadap kemiskinan(Lihat Gambar 4.9).
56
Gambar 4.9: Flow Chart Pertumbuhan Inklusif di Indonesia
Sumber: Ilustrasi Penulis.
Adapun uraian mengenai inklusivitas pada dua jalur tersebut, dapat
dijabarkan sebagai berikut:
i. Dampak pertumbuhan ekonomi secara langsung (direct effect) terhadap
kemiskinan;
Dampak pertumbuhan ekonomi secara langsung dapat menurunkan
kemiskinan. Pada jalur ini, pertumbuhan ekonomi berada pada track yang
benar dalam mewujudkan pertumbuhan inklusif. Peningkatan aktivitas
ekonomi tanpa melalui pasar tenaga kerja di Indonesia mengindikasikan
bahwa peningkatan pendapatan yang mampu menurunkan kemiskinan bisa
bersumber dari self-employee. Adanya self-employee ini diindikasikan oleh
tumbuhnya industri kecil menengah (IKM) yang mampu menjadi solusi
peningkatan pendapatan kelompok miskin bahkan saat periode krisis.
Peranan pemerintah pada titik ini, diarahkan guna mempercepat terwujudnya
pertumbuhan inklusif melalui perbaikan lingkungan bisnis (business
environment) yang memampukan tumbuhnya usaha baru dan merevitalisasi
IKM yang sebelumnya telah berkembang.
Pertumbuhan
Ekonomi
(GRO)
Pengangguran
(UNE)
Kemiskinan
(POV) (+) (+)
(-)
57
ii. Dampak pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung (indirect effect)
melalui pengangguran terhadap kemiskinan;
Dari hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan
kemiskinan, hanya satu hubungan yang tidak sesuai dengan dugaan peneliti
yakni dampak pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran. Secara
normal, pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat menurunkan
pengangguran. Namun dalam penelitian ini, hubungan yang berbeda
didapatkan, dimana pertumbuhan ekonomi kemudian direspon oleh
peningkatan pengangguran. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi melalui
pengangguran direspon oleh peningkatan kemiskinan sebab efek total (efek
pertumbuhan terhadap pengangguran dan efek pengangguran terhadap
kemiskinan) bernilai positif. Oleh karena itu, pada jalur ini, pertumbuhan
ekonomi yang tercipta masih belum memenuhi syarat pertumbuhan inklusif.
Upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah dapat berupa peningkatan
produktivitas tenaga kerja. Peningkatan produktivitas tenaga kerja ini bisa
dilakukan dengan meningkatkan kapasitas individu agar dapat menjadi input
yang berguna bagi peningkatan produksi.
Dua jalur yang telah disebutkan sebelumnya mengarahkan pada
sebuah kesimpulan. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi melalui pasar tenaga
kerja memang belum mampu mengurangi kemiskinan. Di sisi lain,
pertumbuhan ekonomi secara langsung dapat mengurangi kemiskinan. Hal
ini mencerminkan bahwa meskipun pertumbuhan inklusif masih belum
sepenuhnya terwujud, akan tetapi track untuk menuju pertumbuhan inklusif
sangat dimungkinkan, dengan catatan produktivitas tenaga kerja di Indonesia
dapat ditingkatkan.Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan telah
mengalami fase transisi menuju pertumbuhan yang inklusif.
58
4.3.2 Faktor-Faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan
Inklusif di Indonesia
Dalam penelitian ini, terdapat tiga faktor-faktor lain di luar kebijakan fiskal
yang mempengaruhi pertumbuhan inklusif di Indonesia. Adapun faktor-faktor yang
dimaksud yakni angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, laju populasi
terhadap pengangguran, dan peranan sektor pertanian terhadap kemiskinan.
Faktor-faktor ini diharapkan dapat mengakomodir fenomena di luar kebijakan fiskal
agar menggambarkan kondisi pertumbuhan inklusif yang sesungguhnya.
Pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa angkatan kerja direspon
dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam fungsi produksi,
tenaga kerja bersama dengan akumulasi modal, menjadi determinan utama dalam
menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, ada indikasi bahwa
kualitas tenaga kerja (termasuk produktivitasnya) di Indonesia masih menjadi
faktor penghambat (constraint) dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi.
Argumen tentang lemahnya kualitas tenaga kerja di Indonesia dapat ditelaah
dalam studi Allen (2016). Ia menyebutkan bahwa peningkatan investasi di bidang
pendidikan telah memperluas jumlah pekerja berpendidikan, meskipun, investasi
ini belum menghasilkan keuntungan besar dalam produktivitas tenaga kerja.
Pekerja berkualitas rendah masih mengisi banyak posisi, dengan kekurangan
keterampilan merupakan tantangan yang terus berlanjut. Akses terhadap peluang
up-skilling dan re-skilling muncul, namun, menunjukkan bahwa tanpa investasi
dalam pendidikan dan pelatihan yang berkualitas, akses terhadap kualitas
pekerjaan dan mobilitas karir sangat terbatas.
59
Kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa laju populasi direspon dengan
penurunan pengangguran. Temuan ini menarik karena dalam kondisi yang normal,
laju populasi semestinya cenderung meningkatkan pengangguran sebab jumlah
angkatan kerja menjadi semakin bertambah. Oleh karenanya, temuan ini dapat
diartikan bahwa laju penurunan populasi lebih memiliki pengaruh dalam
mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Temuan ini perlu diinterpretasikan
secara hati-hati. Temuan ini bukan berarti mengindikasikan bahwa laju penciptaan
lapangan kerja dapat mengimbangi bertambahnya jumlah populasi. Lebih lanjut,
temuan ini mengarah pada pengangguran terselubung dimana populasi penduduk
terakomodasi dalam pasar tenaga kerja bukan karena keterampilan atau
produktivitas yang tinggi akan tetapi lebih kepada upah yang murah, hasil dari
keberlimpahan populasi.
Ketiga,hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian
direspon dengan peningkatan kemiskinan. Dengan logika yang terbalik, hasil ini
dapat diinterpretasikan bahwa penurunan peranan sektor pertanian akan
menurunkan kemiskinan. Oleh karena itu, pencapaian di sektor pertanian tidak
selalu diartikan mampu mengurangi kemiskinan. Hal ini terjadi bukan hanya di
Indonesia. Negara-negara berkembang seperti Brazil dan Bolivia dapat dijadikan
contoh konkret, dimana sektor pertanian tumbuh terkosentrasi pada komoditas
yang berorientasi ekspor. Komoditas yang berorientasi ekspor ini cenderung pada
usaha tani yang padat modal. Oleh karenanya, pekerja di sektor pertanian
menurun, dan beralih ke sektor lainnya, seperti ke sektor industri dan jasa, yang
memberikan tingkat upah yang lebih tinggi, sementara mereka yang tetap bekerja
di sektor pertanian tetap dalam kondisi yang sama, tetap berada di bawah garis
kemiskinan (World Bank, 2008).
60
4.3.3 Kebijakan Fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi dan Implikasinya
terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia
Konsep pertumbuhan inklusif menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai
aspek penting dalam mempromosikan pengurangan pengangguran dan
pengentasan kemiskinan. Dalam penelitian ini, kebijakan fiskal dari sisi belanja
yang dianggap mampu mendorong pertumbuhan ekonomi mencakup belanja
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, seturut dengan indikator belanja yang
digunakan oleh Santosa (2013) dan Hur (2014). Sementara itu, kebijakan fiskal
dari penerimaan mencakup penerimaan pajak merujuk pada Engen dan Skinner
(1992).Selain itu, khusus untuk belanja infrastruktur, dianggap berdampak
terhadap pengurangan pengangguran. Pada sub-bab ini akan dijelaskan hasil
penelitian terkait kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap pertumbuhan inklusif
di Indonesia baik di Era Orde Baru maupun Era Reformasi.
4.3.3.1 Hubungan Belanja Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Hasil penelitian ini menunjukkan belanja pendidikan di Era Orde Baru
direspon dengan penurunan pertumbuhan ekonomi, sementara di Era Reformasi,
belanja pendidikan direspon dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada Era Reformasi, kepekaan anggaran terhadap
perbaikan kualitas pendidikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi (engine of
growth) lebih tinggi dibandingkan Era Orde Baru. Kepekaan terhadap kualitas
pendidikan ini dapat dilihat melalui perkembangan Human Capital Index(HCI)yang
menggunakan komponen lama sekolah (Barro dan Lee, 2013) dan return yang
diterima sebagai hasil dari investasi pendidikan (Psacharopoulos,1994). HCIdi Era
Orde Baru hanya tercatat sebesar 1,864 angka indeks, sementara di Era
Reformasi, HCI yang dicapai sebesar 2,323 (lihat Gambar 4.10) . Artinya, kualitas
pendidikan di Era Reformasi lebih baik dan dapat menjadi engine of growth.
61
Gambar 4.10: Human Capital Index (HCI) pada Era Orde Baru dan Reformasi
Sumber: Data diolah dari University of Groningen danUniversity of California(2017).
Karakter belanja pendidikan di Era Reformasi tidak jauh berbeda dengan
negara-negara Asia lainnya. Menurut Mallick et al. (2016), belanja pendidikan
merupakan salah satu investasi yang dapat menghasilkan tenaga kerja terampil
dan produktif sehingga akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan
perbaikan tingkat output. Dengan demikian, belanja pendidikan di berbagai negara
Asia dapat menjadi faktor yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi.
Pengeluaran untuk pendidikan dapat menciptakan sumber daya manusia yang
lebih baik yang dapat mengakomodasi penggunaan teknologi modern dalam
proses produksi dengan meminimalkan biaya adopsi teknologi yang besar.
Kepekaan anggaran terhadap perbaikan kualitas pendidikan di Era Reformasi
ini juga tidak terlepas dari status belanja pendidikan sebagai mandatory spending.
Mandatory spending ini mencakup hak-hak setiap warga negara untuk
memperoleh akses pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Mandatory spending
dalam belanja pendidikan mencakup dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan yang dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
1.598
2.417
1.894 2.323 2.319
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016
Dala
m A
ng
ka I
nd
eks
Era Orde Baru Era Reformasi
62
4.3.3.2 Hubungan Belanja Kesehatan dan Pertumbuhan Ekonomi
Hasil penelitian ini menunjukkan belanja kesehatan di Era Orde Baru direspon
dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, sementara di Era Reformasi, belanja
kesehatan direspon dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
mengindikasikan bahwa sistem kesehatan nasional di Era Orde Baru lebih efektif
mengingat sistem yang digunakan lebih terintegrasi. Santosa (2013)
mencontohkan dalam kasus di Jawa Timur, penyediaan barang publik (termasuk
layanan kesehatan) bisa jadi tidak efisien di Era Reformasi. Ada tiga alasan yang
mendasari ketidakefisienan tersebut, yakni: (i) gagalnya pemerintah
mengidentifikasi barang publik yang dibutuhkan oleh masyarakat; (ii) gagalnya
pemerintah mengenali adanya efek eksternalitas atau benefit-spillover; dan (iii)
gagalnya pemerintah mengidentifikasi barang pubik yang membutuhkan skala
ekonomi tertentu.
Lebih lanjut, Piet (2003) mencatat keberhasilan program kesehatan di Era
Orde Baru melalui program keluarga berencana (family planning). Piet (2003)
menyebutkan bahwa program keluarga berencana di Era Orde Baru dikenal luas
sebagai salah satu program yang berhasil di dunia. Pada tahun 1965-1970
misalnya, tingkat kesuburan sebesar 5,6 kelahiran per perempuan setiap tahun,
kemudian menjadi 3,4 kelahiran per perempuan setiap tahun pada 1985-1990.
Program kesehatan pada Era Orde Barumampu meningkatkan harapan hidup dari
47 tahun (1966) menjadi 67 tahun (1997) dan memotong angka kematian bayi
lebih dari 60%.
Selain program keluarga berencana, Kaputra (2013) menyebutkan bahwa
Puskesmas dan Posyandu telah mampu menjangkau masyarakat desa sehingga
program kesehatan dapat berjalan secara berkesinambungan. Sebagai contoh,
penempatan bidan di desa memiliki fungsi untuk mendidik kalangan penduduk
desa sendiri sebagai kader-kader kesehatan dalam kegiatan rutin Posyandu.
63
Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang kesinambungan program
kesehatan di Era Orde Baru karena melibatkan partisipasi masyarakat dan
berorientasi pada pemberdayaan.
4.3.3.3 Hubungan Belanja Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi
Hasil penelitian ini menunjukkan belanja infrastruktur baik di Era Orde Baru
maupun di Era Reformasi tidak memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Fenomena ini bisa dijelaskan dengan dua argumen. Pertama, peningkatan belanja
infrastruktur memang tidak dirasakan langsung pada saat infrastruktur tersebut
dibangun. Peningkatan belanja infrastruktur pada saat itu, paling tidak, hanya
diarahkan untuk mencapai tingkat output yang sama, atau mencegah belanja
infrastruktur berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kenaikan stok dan penurunan rata-rata usia infrastruktur
bertepatan dengan periode peningkatan belanja tahunan infrastruktur pemerintah
yang cukup besar. Pengeluaran untuk infrastruktur dapat mencakup pengeluaran
untuk memperoleh aset infrastruktur baru atau untuk meningkatkan dan/atau
memperbaiki infrastruktur yang ada. Namun, pengeluaran tahunan tidak termasuk
biaya pemeliharaan infrastruktur yang ada. Dengan demikian, peningkatan belanja
infrastruktur tidak memiliki dampak atau netral terhadap pertumbuhan ekonomi
(Lammam dan MacIntyre, 2017)
4.3.3.4 Hubungan Penerimaan Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi
Hasil penelitian ini menunjukkan penerimaan pajak baik di Era Orde Baru
maupun di Era Reformasi tidak memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Temuan ini menarik, mengingat bahwa secara gradual, Indonesia telah melewati
berbagai rangkaian reformasi perpajakan masing-masing pada tahun 1983, 1994,
2000, dan 2004-2005 (Suhardjito, tt). Oleh karenanya, penerimaan pajak yang
64
tidak berdampak ini mesti dimaknai secara hati-hati. Temuan ini bukan berarti
mengkonfirmasi bahwa reformasi sistem perpajakan di Indonesia telah mengarah
pada good tax policy, meminjam istilah Hamid (2002), dimana pajak bersifat netral
dan tidak memberikan distorsi terhadap aktivitas ekonomi.
Penerimaan pajak yang tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi ini
lebih disebabkan oleh proses bisnis yang tidak banyak berubah (business as
usual) meskipun telah dilakukan reformasi perpajakan berulangkali. Effendi (2016)
menyatakan bahwa, dengan proses bisnis yang hampir sama, terdapat
kemungkinan penerimaan pajak tidak akan selalu terpenuhi dalam beberapa tahun
ke depan. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa penerimaan pajak selama
periode 1981-2016, tidak mendistorsi perekonomian, tetapi tidak pula menjadi
tulang punggung dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
4.3.3.5 Hubungan Belanja Infrastruktur dan Pengangguran
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belanja infrastruktur di Era Orde Baru
direspon dengan penurunan pengangguran, sementara di Era Reformasi, belanja
infrastruktur direspon dengan peningkatan pengangguran. Hal ini mengindikasikan
bahwa belanja infrastruktur di Era Orde Baru lebih bersifat labour intensive, jika
dibandingkan dengan Era Reformasi. Hal ini sangat beralasan sebab aktivitas
ekonomi dan sektor produksi di Era Orde Baru diarahkan guna mencapai jalur
pertumbuhan berbasis labour intensive (Hill, 2000). Oleh karenanya, bukan hanya
sektor industri, investasi pemerintah diarahkan pada pembangunan infrastruktur,
terutama pembangunan jaringan jalan (Hill dan Narjoko, 2010; Ricklefs, 2001),
yang notabene mampu menyerap tenaga kerja dalam skala yang cukup besar.
Proyek-proyek yang bersifat labour intensive inilah yang membedakan dampak
belanja infrastruktur di Era Orde Baru, jika dibandingkan dengan Era Reformasi.
65
4.3.3.6 Implikasi Belanja dan Penerimaan Negara terhadap Pertumbuhan
Inklusif di Indonesia
Kebijakan fiskal yang memilki dampak terhadap pertumbuhan inklusif yakni
belanja pendidikan dan kesehatan pada pertumbuhan ekonomi, serta belanja
infrastruktur pada pengangguran. Kebijakan fiskal yang tidak memiliki dampak
terhadap pertumbuhan inklusif yakni penerimaan pajak. Kebijakan fiskal dan
dampaknya terhada pertumbuhan inklusif diilustrasikan pada Gambar 4.11
Gambar 4.11: Flow Chart Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Inklusif
di Indonesia
Sumber: Ilustrasi Penulis.
Pertumbuhan
Ekonomi
(GRO)
Pengangguran
(UNE)
Kemiskinan
(POV)
Penerimaan
Pajak(TAX)
Belanja
Pendidikan
(SPE_EDU)
Belanja
Kesehatan
(SPE_HLT)
Belanja
Infrastruktur
(SPE_INF)
ORBA (-)
REFO (+)
ORBA(+)
REFO (-)
ORBA(-)
REFO (+)
(+) (+)
Keterangan
ORBA : Singkatan dari Era Orde Baru memiliki dampak
REFO : Singkatan dari Era Reformasi tidak memiliki dampak
66
Lebih lanjut, kebijakan fiskal memiliki karakter yang berbeda baik di Era Orde
Baru maupun di Era Reformasi. Era Orde Baru bertumpu pada belanja kesehatan,
sementara Era Refromasi mengandalkan belanja pendidikan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi. Dari perbedaan tersebut, strategi kebijakan yang ditempuh
berbeda pula. Ke depan, belanja kesehatan dengan merujuk pengalaman Era
Orde Baru, di desain dalam sebuah sistem kesehatan yang terintegrasi dengan
mempertimbangkan eksternalitas dan skala ekonominya. Sementara itu, belanja
pendidikan harus terus diefektifkan dengan mempertahankan peningkatan belanja
pendidikan lebih tinggi daripada perubahan harga (inflasi). Lebih lanjut, belanja
infrastruktur menjadi solusi bagi penurunan pengangguran merujuk pada
pengalaman Orde Baru, oleh karenanya, pada pasar tenaga kerja, peranan
pemerintah dalam menciptakan proyek-proyek yang bersifat unskilled labour-
intensive masih sangat diperlukan dalam jangka menengah. Implikasi kebijakan
fiskal baik di Era Orde Baru maupun di Reformasi terhadap pertumbuhan inklusif
di Indonesia.
67
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan antara lain:
1. Dampak pertumbuhan ekonomi secara langsung (direct effect) dapat
menurunkan kemiskinan, sementara dampak pertumbuhan ekonomi
secara tidak langsung (indirect effect) melalui pengangguran belum
mampu menurunkan kemiskinan. Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi
di Indonesia masih belum dapat dikatakan inklusif; dan,
2. Kebijakan fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi memiliki implikasi
yang berbeda terhadap pertumbuhan inklusif di Indonesia. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi bersumber dari belanja kesehatan di Era Orde
Baru dan belanja pendidikan di Era Reformasi. Sementara itu, penurunan
pengangguran berasal dari belanja infrastruktur di Era Orde Baru.
5.2. Saran dan Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan kesimpulan sebelumnya, ada beberapa saran dan rekomendasi
kebijakan yang diajukan oleh peneliti guna mempercepat pertumbuhan inklusif di
Indonesia. Adapun saran yang dimakud antara lain:
1. Perbaikan lingkungan bisnis (business environment) yang memampukan
tumbuhnya usaha baru dan merevitalisasi industri kecil menengah (IKM)
yang sebelumnya telah berkembang;
2. Peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan kapasitas
setiap masyarakat agar menjadi input yang berguna bagi produksi;
67
68
3. Belanja pendidikan harus terus diefektifkan dengan mempertahankan
peningkatan belanja pendidikan lebih tinggi daripada perubahan harga
(inflasi);
4. Belanja kesehatan di desain dalam sebuah sistem dan layanan
kesehatan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan permintaan
barang publik terkait, eksternalitas dan skala ekonominya; dan,
5. Peran pemerintah terutama dalam menciptakan proyek-proyek yang
bersifat unskilled labour-intensive masih sangat diperlukan dalam jangka
menengah.
69
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ifzal., &Hyun H. Son. 2007. Defining and Measuring Inclusive Growth: Application to The Philippines . ERD Working Paper Series No.98.
Allen, Emma. R. 2016. Analysis of Trends and Challenges in the Indonesian Labor Market.ADB Papers on Indonesia No. 16. Manila: Asian Development.
Altunc, O. Faruk., &Celil Aydın.2013. The Relationship between Optimal Size of Government and Economic Growth: Empirical Evidence from Turkey, Romania and Bulgaria. Procedia-Social and Behavioral Sciences92, 66-75.
Anderson, Steve., et al.tt. Inclusive Growth Diagnostic For Indonesia. AUSAID.
Angelsen, Arild., &Sven Wunder. 2006. Poverty and Inequality: Economic Growth is Better than Its Reputation. Poverty, Politics and Development: Interdisciplinary Perspectives.
Aoyagi, Chie., &Giovanni Ganelli. 2015. Asia's Quest for Inclusive Growth Revisited. Journal of Asian Economics, 40, 29-46.
Ariefianto, Moch.Doddy. 2012. Ekonometrika: Esensi dan Aplikasi dengan Menggunakan EViews. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Arndt, Heinz Wolfgang., &Hal Hill. 1988. The Indonesian Economy: Structural Adjustment after the Oil Boom. Southeast Asian Affairs, 106-119. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/2791195.July 24, 2017..
Badan Kebijakan Fiskal. 2015. Economic Challenges Lead to Budget Reforms. Dalam Seminar Budget Reform to Support Inclusive Growth, Jakarta, 12 September 2015.
Barro, Robert. J., &Jong-Wha Lee. 2013. A New Data Set Of Educational Attainment in the World, 1950–2010. Journal of Development Economics, 104, 184-198.
Besley, Timothy., &Torsten Persson. 2014. Why Do Developing Countries Tax So Little?. Journal of Economic Perspectives, 28 (4).99-120. ISSN 0895-3309.
Biswas, Arindam. 2016. Insight on the Evolution and Distinction of Inclusive
Growth. Development in Practice, 26(4), 503-516.
BPS RI. 2007. Tingkat Kemiskinan Tahun 2007. Berita Resmi Statistik, No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007. Diakses dari http://dds.bps.go.id/brs_file/ kemiskinan-02juli07.pdf pada 28 Juli 2017.
Cox, Michael. W., &Richard Alm. 2008. Myths of Rich and Poor: Why We're Better Off Than We Think. Basic Books.
Dartanto, Teguh. 2013. Why is Growth Less Inclusive in Indonesia?. MPRA Paper No. 65136.
70
Daryanto, Arief. 1999. Indonesia’s Crisis and the Agricultural Sector the Relevance of Agricultural Demand-Led Industrialisation. Insititute Pertanian Bogor.
David, Antonio., &Martin Petri. 2013. Inclusive Growth and the Inciedence of Fiscal Policy in Mauritius: Much Progress, But More Could Be Done. IMF Working Paper 13 (116), 1-27.
Department for International Development. 2015.Growth-Building Jobs and Prosperity in Developing Countries. London: DFID.Retrieved from http://www.oecd.org/derec/unitedkingdom/40700982.pdf, July 24, 2017.
Dollar, David, &Aart Kraay. 2002. Growth is Good for the Poor. Journal of Economic Growth, 7(3), 195-225.
Effendi, Yuventus. 2016. Adopsi Teori Pertumbuhan untuk Menjamin Penerimaan Pajak yang Berkelanjutan. Dalam Amir, H., & Hastiadi, F.F. (ed.), Dinamika Kebijakan Fiskal: Merespons Ketidakpastian Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ekananda, Mahyus. 2016. Analisis Ekonometrika Time Series Edisi 2. Mitra Wacana Media.
Engen, Eric M., &Jonathan Skinner. 1992. Fiscal Policy and Economic Growth. NBER Working Paper (4223), 1-44.
Engle, Robert F., &Clive W.J. Grenger. 1987. Cointegration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing. Econometrica, 55(22): 251-276.
Estrada, Gemma Bolotaulo., et al. 2014. Fiscal Policy for Inclusive Growth: An Overview. ADB Economics Working Paper Series (423), 1-24.
Gujarati, Damodar N.,&David C.Porter.2012. Dasar–dasar Ekonometrika. Jakarta: Salemba Empat.
Hadi, Syamsul. 2012. Inclusive Growth in Indonesia: Myth or Reality?. East Asian Policy, 4(67).
Hagenaars, Aldi J., &Bernard Praag. 1985. A Synthesis of Poverty Line Definitions. Review of Income and Wealth, 31(2), 139-154.
Hamid, Edi Suandi. 2002. Hukum Pajak, Edisi kedua (revisi). Jakarta: Salemba Empat.
Hausman, Jerry. A. 1974. Full Information Instrumental Variables Estimation of Simultaneous Equations Eystems. In Annals of Economic and Social Measurement, 3(4), 641-652
Heshmati, Almas., et al. 2014. Fiscal Policy and Inclusive Growth in Advanced Countries: Their Experience and Implications for Asia. ADB Economics Working Paper Series (422), 1-17.
71
Higgins, Sean., &Claudiney Pereira. 2014. The Effects Of Brazil’s Taxation and Social Spending on The Distribution of Household Income. Public Finance Review, 42(3), 346-367.
Hill, Hal. 2000. The Indonesian Economy. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.
Hill, Hal, & Dionisius Narjoko. 2010. Managing Industrialisation in a Globalising Economy: Lessons from the Soeharto Era. Soeharto’s New Order and its Legacy, 49.
Hur, Seok-Kyun. 2014. Government Spending and Inclusive Growth in Developing Asia.Asian Development Bank Economics Working Paper Series No. 415.
Hyman, David. N. 2011. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy. Cengage Learning.
Ianchovichina , Elena., &Susanna Lundstrom. 2009. Inclusive Growth Analytics: Framework and Application. Policy Working Paper No. 4851.
Islam, Iyanatul., &Suahazil Nazara.2000. Estimating Employment Elasticiy for the Indonesian Economy. Jakarta, Indonesia: International Labour Office.
Ismail, Munawar., et al. 2014. Sistem Ekonomi Indonesia: Tafsir Pancasila dan UUD 1945. Penerbit Erlangga.
Kaputra, Iswan 2013. Pemberdayaan Masyarakat Era Otonomi Daerah. DalamSimanjuntak, B.A. (ed.) Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kementerian Keuangan RI. Nota Keuangan, berbagai tahun. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.
Klasen, Stephen. 2010. Measuring And Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions, Open Questions, And Some Constructive Proposals. Asian Development Bank.
Kolawole, Bashir Olayinka. 2016. Government Spending and Inclusive-Growth Relationship in Nigeria: An Empirical Investigation. Zagreb International Review of Economics and Business, 19(2), 33-56.
Koutsoyiannis, Anna. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Me thods 2nd Edition. London: The Macmillan Press Ltd.
Kuznets, Simon. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review 45 (1), 1-25.
Lammam, Charles, &Hugh MacIntyre. 2017. Myths of Infrastructure Spending in Canada.Canada: Fraser Institute.
Le, Minh Son. et al. 2014. Economic Growth and Poverty in Vietnam: Evidence from Elasticity Approach. Griffith Business School Discussion Paper Economics No.2014-01.
72
Lee, Sang-Hyop., &Donghyun Park. 2014. Fiscal Policy and Inclusive Growth in Latin America: Lesson for Asia. ADB Economics Working Paper Series (408), 1-19.
Mallick, Lingaraj., et al. 2016. Impact of Educational Expenditure on Economic Growth in Major Asian Countries: Evidence from Econometric Analysis. Theoretical & Applied Economics, 23(2).
Maloney, William F. 2004. Informality Revisited. World development, 32(7), 1159-1178.
Marczyk, Geoffrey., et al. 2005. Essentials of Research Design and Methodology. New Jersey: John Wiley & Sons.
Mckinley, Terry. 2010. Inclusive Growth Criteria and Indicators: An Inclusive Growth Index for Diagnosis of Country Progress. Asian Development Bank.
Miranti, Riyana. 2010. Poverty in Indonesia 1984-2002: The Impact of Growth and Changes in Inequality. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 46(1), 79-97.
Mulok, Dullah., et al. 2012. Is Economic Growth Sufficient for Poverty Alleviation? Empirical evidence from Malaysia. Cuadernos de economía, 35(97), 26-32.
Musgrave, Richard.A., &Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance: In Theory and Practice. New York: Mc-Graw-Hill International.
Nallari, Raj, &Breda Griffith. 2011. Understanding Growth and Poverty: Theory, Policy, and World Bank. Retrieved from https://openknowledge. worldbank.org/handle/ 10986/2281, July 24, 2017.
Nazara, Suahazil. 2016. Kata Pengantar. Dalam Amir, H., & Hastiadi, F.F. (ed.), Dinamika Kebijakan Fiskal: Merespons Ketidakpastian Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Naqvi, Syed Nawab Haide. 2012. The Idea of Inclusive Growth and Development Policy. The Pakistan Development Review, 1-21.
Neuman, W. Lawrance. 2007. Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches (2nd Edition). Pearson Education.
Ogbeide, Frank Iyekoretin.et al. 2015. The Determinants of Unemployment and the Question of Inclusive Growth in Nigeria: Do Resource Dependence, Government Expenditure and Financial Development Matter?. Montenegrin Journal of Economics, 11(2), 49-64.
Piet, D. L., 2003. The Significance of Foreign Assistance to the Indonesian Family
Planning Program. In Niehof and Lubis, 83-106.
Pindyck, Robert S., &Daniel L. Rubinfield. 2001. Microeconomics 5th Edition. Prentice Hall: New Jersey.
73
Powers, Elizabeth T.1995. Inflation, Unemployment, and Poverty Revisited. In Economic Review of the Federal Reserve Bank of Cleveland, 2: 2–13.
Psacharopoulos, George. 1994. Returns to Investment in Education: A Global Update. World Development, 22 (9), 1325-1343.
Ramos, Raquel Almeida, et al. 2013. Mapping Inclusive Growth. IPC-IG Working PaperNo.195.
Rao, Chung-Hwa Herman. 2011. India and China: A Comparison of the Role of Sociopolitical Factors in Inclusive Growth. Economic and Political Weekly, 66, 24-28.
Ricklefs, Merle Calvin.2001. A History of Modern Indonesia Since c.1200 (3rd Edition ed.). Hampshire: Palgrave Macmillan.
Roemer, Michael., &Mary Kay Gugerty. 1997. Does economic growth reduce poverty?. CAER II Discussion Paper 4, Cambridge, MA: Harvard Institute for International Development.
Saleh, A.Z.M. 2012. Growth, Poverty & Employment InTitumir, R.A.M. (ed.) Growth or Contraction?.Dhaka: Shrabon Prokashani, 301-330.
Santosa, Dwi Budi. 1992. Analisis Redistribusi Pendapatan di Indonesia. Tesis tidak terpublikasi, Universitas Indonesia.
Santosa, Dwi Budi. 2013. Budget Decentralization and Economic Development Inequality among Regions in East Java. Journal of Global Business & Economics, 7(1), 85-103.
Suhardjito. tt. Reformasi Perpajakan dalam Rangka Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak., Tata Kelola yang Baik, serta Kemandirian Bangsa. Forum Manajemen, 13 (3), 33-39. Diakses dari http://www.pusdiklatmigas.com/ old/modules/Publikasi_Ilmiah/6.pdf pada tanggal 24 Juli 2017.
Sumner, Andy&Peter Edward. 2014. Assessing Poverty Trends in Indonesia by International Poverty Lines.Bulletin of Indonesian Economic Studies, 50(2), 207-225.
Tabor, Steven R. 2015. Constraints to Indonesia’s Economic Growth. ADB Papers on Indonesia (10), 1-18.
Temple, Jonathan. R. 2001. Growing into trouble: Indonesia after 1966.School of Economics, Finance and Management, Bristol University.
Timmer, C. Peter (2004) The Road to Pro-Poor Growth: The IndonesianExperience in Regional Perspective. Bulletin Of Indonesian Economic Studies, 40(2), 177-207
Todaro, Michael. 1995. Ekonomi Untuk Negara Berkembang: Suatu Pengantar Tentang Prinsip-prinsip Masalah dan Kebijakan Pembangunan.Jakarta: Bumi Aksara.
Trading Economics. Indonesia Unemployment Rate, berbagai tahun.Retrieved from https://tradingeconomics.com/indonesia/unemployment-rate, July 24, 2017.
74
University of Groningen and University of California. 2017.Index of Human Capital per Person for Indonesia [HCIYISIDA066NRUG], Retrieved from FRED, Federal Reserve Bank of St. Louis; https://fred.stlouisfed.org/series/ HCIYISIDA066NRUG, July 30, 2017.
Van Praag, Bernanrd. M. S, & Paul Frijters. 1999. The Measurement of Welfare and Well-Being: The Leyden Approach. Well-being: Foundations of Hedonic Psychology, 413.
Vedder, Richar. K., &Lowel Eugene Gallaway. 1998. Government Size and Economic Growth. Joint Economic Committee.
World Bank. 2008. Agriculture and Poverty Reduction. Agriculture for Development Policy Brief. Retrieved from http://siteresources.worldbank.org/SOUTH ASIAEXT/Resources/223546-1171488994713/3455847-1192738003272/Brief_AgPovRedctn_web.pdf.July 24, 2017.
World Bank. 2016. Ketimpangan yang Semakin Melebar. Jakarta: World Bank.
World Bank. World Development Indicators, berbagai tahun.Retrieved from http://data.worldbank.org/country/indonesia, July 24, 2017.