IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat...

92
i IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI DALAM MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN INKLUSIF DI INDONESIA SKRIPSI Oleh: Hidsal Jamil 135020100111028 Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat...

Page 1: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

i

IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL

ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI

DALAM MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN INKLUSIF

DI INDONESIA

SKRIPSI

Oleh:

Hidsal Jamil 135020100111028

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 2: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

ii

Page 3: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

iii

Page 4: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

iv

Page 5: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

v

RIWAYAT HIDUP

Identitas Diri

Nama

Hidsal Jamil

Tempat, tanggal lahir Luwu Timur, 9 Mei 1995 Jenis Kelamin Laki-Laki Agama Islam Alamat Jalan Poros Malili-Sorowako48,

Laskap, Malili, Luwu Timur Telepon +62-812-894-198-27 Email [email protected] atau

[email protected]

Pendidikan Formal

Institusi Tahun S1 Jurusan Ilmu Ekonomi, Universitas Brawijaya 2013-2017 SMA Negeri 1 Malili 2010-2013 SMP Negeri 1 Malili 2007-2010 SD Negeri 225 Karebbe 2001-2007

Pendidikan Non-Formal

Institusi Mata

Kursus/Pelatihan Instruktur Waktu Pelaksanaan

IndonesiaX Sustainable

Development Prof. Emil

Salim Juni – Juli 2017

PKDSP FEB UB Pelatihan Input-

Output Tim PKDSP Mei 2017

IndonesiaX Economic

Integration: The Case of ASEAN

Prof. Iwan Jaya Aziz

Desember 2016- Januari 2017

Eksekutif Mahasisiwa Universitas Brawijaya

Sekolah Kebangsaan Brawijaya

(Minat Politik)

Tim PK2MU Universitas Brawijaya

Oktober 2014

Pengalaman Profesional dan On Job Training

Institusi Jabatan Tahun

Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya

Asisten Peneliti

Oktober 2016 –Sekarang

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal,Kementerian Keuangan

Intern Analyst

Oktober – November 2016

Page 6: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

vi

Pengalaman Sukarela

Institusi Jabatan Tahun

Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Ketua Komisi III Bidang Pengawasan

2016

Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi

Ketua Divisi Rnd 2015

Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi

Staf Divisi RnD 2014

Center for Islamic Economic Studies Staf Biro MIT 2014 Eksekutif Mahasiswa Univeristas

Brawijaya Staf Muda Kementerian

PSDM 2013

Publikasi Artikel

Judul Penerbit Edisi Terbit Selamat Hari Buruh, Sebastian ! Palopo Pos 4 Mei 2017

Berguru Kebahagiaan: Dari Bhutan hingga Skandinavia

Palopo Pos 19 April 2017

Menelusuri Jejak Pertumbuhan Ekonomi RI

Koran Sindo 11 Januari 2017

Merapal Mantra Pembangunan Palopo Pos 24 November 2016

Kurban dan Misi Memerangi Ketimpangan

Palopo Pos 21 September 2016

Stand by Me Doraemon dan Harapan Industri Kreatif di Indonesia

Portal Selasar 30 November 2014

Prestasi dan Penghargaan

Jenis Prestasi dan Penghargaan Penerbit Tahun

Partisipan dalam Internasional Essay Constest for Young People

The Goi Foundation and

UNESCO 2014

Page 7: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Illahi Rabbi, telah memberikan kekuatan luar biasa yang

tiada terduga kepada saya sehingga mampu menyelesaikan tugas akhir ini.

Tugas akhir ini mungkin tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan Pemerintah

Indonesia melalui beasiswa yang disalurkan. Saya berharap tetap ada nyala

“pelita” yang menjangkau seluruh pelosok Indonesia.

Tugas akhir ini saya selesaikan di bawah bimbingan dan arahan Bapak

Dwi Budi Santoso, S.E., M.S., Ph.D. dengan segala pengorbanan dan

kesabarannya. Sebuah kebanggan bagi penulis telah dibimbing oleh beliau yang

juga merupakan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi. Saya berharap beliau diberikan

kekuatan agar tetap menjadi “guru” sekaligus pemimpin yang terus

mencerahkan.

Tugas akhir ini juga telah diuji oleh Bapak Prof. Ghozali Maski, SE., M.S.

selaku Dosen Penguji I dan Bapak Devanto Shasta Pratomo, SE., M.Si., Ph.D

selaku dosen Penguji II. Saya menerima banyak masukan yang konstruktif oleh

mereka demi perbaikan tugas akhir ini. Saya berharap semangat untuk perbaikan

kualitas tugas akhir di Jurusan Ilmu Ekonomi, tetap menjadi pegangan ke depan.

Saya ucapkan terima kasih pula kepada seluruh stakeholder yang telah

memfasilitasi saya, baik dalam kegiatan akademik maupun non-akademik, Bapak

Rektor Universitas Brawijaya, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ketua

Jurusan Ilmu Ekonomi, serta seluruh dosen di lingkungan FEB UB.

Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Keluarga Besar Ibu

Hj. Asia Rantia yang telah membuat kediamannya menjadi rumah kedua bagi

saya selama berada di Kota Malang. Semoga seluruh kebaikan akan diganjar

dengan pahala yang setimpal oleh-Nya.

Page 8: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

viii

Saya ucapkan terima kasih kepada Keluarga Besar DPM FEB UB 2016

(wabilkhusus Dimas Aditya,Yand, Zul, Wella, Vero) dan seluruh BPH HMJIE

FEB UB 2015 yang telah meninggalkan banyak cerita yang penuh suka-duka.

Saya kira persahabatan tetap akan mengesankan, tak ada alasan yang menjadi

sekat pemisah di antara kita.

Saya ucapkan terima kasih kepada Keluarga Besar Pusat Kajian Ekonomi

Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) yang telah membersamai selama

setengah tahun terakhir, Mas Kholis, Mbak Visi, Mbak Daneta, Mbak Oky,

Mbak Ulfa. Dari mereka saya belajar arti pertemanan dan kekeluargaan

sekaligus.

Saya ucapkan terima kasih kepada Nasrah,yang dengan kebaikan hatinya,

telah memberikan akses terhadap referensi yang berkualitas. Saya tidak bisa

membayangkan betapa sulitnya menulis tugas akhir ini jika tanpa didukung

referensi yang memadai.

Terakhir dan terpenting, adalah emma’, Hamna Muhammad yang telah

memberikan kepercayaan penuh atas apa yang saya pilih. Beliaulah yang

membuat saya terus kuat bertahan sampai saat ini. Terima kasih juga kepada

Bapak, Jamil H. Jafar dan Kakak, Hilda Jamil yang memberikan dorongan

untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. Barangkali, sejuta terima kasih tak

dapat mewakilkan kasih sayang kalian selama ini.

Page 9: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

ix

Jika kamu menangis

karena matahari terbenam dan malam datang,

maka air mata akan menghalangi pandanganmu

kepada bintang-bintang yang bercahaya indah

── Tagore

Janganlah kamu bersikap lemah,

dan janganlah (pula) kamu bersedih hati,

padahal kamulah orang-orang

yang paling tinggi(derajatnya),

jika kamu orang-orang yang beriman.

── Q.S Ali Imran:139

Page 10: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

x

KATA PENGANTAR

Pada tahun 2016, begawan ekonomi sekaligus negarawan Indonesia, Prof.

Dr. Boediono, merilis karya mahsyurnya berjudul Ekonomi Indonesia dalam

Lintasan Sejarah. Buku tersebut merangkum perjalanan ekonomi Indonesia

sejak kedatangan VOC pada abad ke-17 hingga periode ia menjabat sebagai

Wakil Presiden Indonesia ke-11, mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.

Sepertinya, ia hendak menyusul sejarawan ekonomi sekaliber Thee Kian Wee,

Anne Booth, dan Thomas Lindblad.

Ada satu bagian yang menarik bagi saya tentang bagaimana proses

pembangunan dibentuk dari hasil interaksi antara proses ekonomi dan politik.

Sungguh pun demikian, ada kalanya sasaran politik tak bertaut dengan sasaran

ekonomi, bahkan cenderung menegasikan satu sama lain. Pada titik ini,

Prof. Dr. Boediono mengungkap dengan lugas pergerakan kedua “pendulum”

tersebut:

“Sejarah menunjukkan bahwa secara umum sasaran ekonomi tunduk pada sasaran politik. Tetapi, pada masa-masa tertentu (misalnya, krisis ekonomi), sasaran ekonomi menempati urgensi tinggi dan mensubordinasi sasaran politik, paling tidak dalam jangka pendek sampai krisis diatasi. Sejarah juga menunjukkan bahwa apabila kesenjangan atau gap antara sasaran politik dan sasaran ekonomi terlalu lebar, kesulitan menanti negara. Penyesuaian antara keduanya harus terjadi, dan itu bisa menyakitkan.” (Halaman 271-272).

“Alarm” peringatan yang dibunyikan oleh Prof. Dr. Boediono melemparkan

ingatan saya pada dua dasawarsa lampau, kala rezim yang telah berkuasa

selama kurang lebih 32 tahun, ditumbangkan oleh kemarahan rakyat yang turun

ke jalan. Sebagian merayakannnya dengan sukacita, sebagian pula mengiba

melihat Soeharto “lengser keprabon”. Mereka yang bersuka cita tampaknya

punya tawaran menarik tentang agenda reformasi ekonomi Indonesia, sementara

Page 11: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

xi

mereka yang mengiba terus mengulang, terus beromantisme dengan slogan

yang setengah meragukan, “Piye Kabare ? Enak Jamanku Toh?.”

Saya melihat bahwa pelajaran berharga yang dapat diambil selama dua

dasawarsa terakhir berkenaan dengan masalah kemiskinan dan ketimpangan

yang belum bisa teratasi secara komprehensif. Sejauh ini, tingkat kemiskinan

masih relatif tinggi atau di atas sepuluh persen pada tahun 2016. Bahkan ada

indikasi bahwa perlambatan penurunan kemiskinan sejak 2011, disebabkan oleh

tingkat kemiskinan tersebut telah berada menyentuh tingkatan kemiskinan kronis

(hardcore poverty). Sementara itu, ketimpangan pendapatan mengalami

pemburukan di Era Reformasi dimana pendapatan hanya dinikmati oleh segelintir

pihak.

Tulisan pada tugas akhir ini tidak berpretensi untuk membandingkan “rezim”

mana, atau, bahkan lebih esktrem lagi, “sistem” mana yang lebih baik. Tulisan

ini dimaksudkan untuk menggali khazanah perkembangan ekonomi yang

merentang dari Era Orde Baru hingga Era Reformasi. Perkembangan ekonomi

yang sebelumnya telah memberikan pengalaman pahit, dapat direnungkan

kembali agar tidak terulang dikemudian hari. Pengalaman pahit di masa lalu

diharapkan mampu memberikan pemahaman terkait bagaimana peranan

pemerintah, salah satunya melalui kebijakan fiskal, dapat mewujudkan

pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat yang setara pada seluruh

masyarakat di Indonesia. Pada akhirnya, saya teringat kata-kata Konfusius

bahwa setiap orde selalu kita awali dengan kata-kata yang jelas dan tepat, entah

kita menyebutnya Era Orde Baru, atau barangkali Era Reformasi.

Malang, 8 Agustus 2017

TTD

Hidsal Jamil

Page 12: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. .i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ . iii

SURAT PERNYATAAN ..................................................................................... . iv

RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. . v

MOTTO ............................................................................................................. . ix

KATA PENGANTAR .......................................................................................... x

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvii

ABSTRAK ....................................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 5

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 5

BAB II TELAAH LITERATUR

2.1 Peran Pemerintah dan Pertumbuhan Inklusif ........................................ 7

2.1.1 Konsep Pertumbuhan Inklusif .................................................. 7

2.1.2 Peran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi ......................... 9

2.1.3 Peran Pemerintah dalam Membentuk Karakter Pertumbuhan Inklusif ................................................................ 11

2.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi, Penganggurandan Kemiskinan ...... 14

2.2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran ............................ 14

2.2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan ................................. 16

2.2.3 Pengangguran dan Kemiskinan ................................................ 19

Page 13: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

xiii

2.3 Studi Terdahulu ..................................................................................... 21

2.4 Kerangka Konseptual Penelitian ........................................................... 22

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian ......................................................................... 25

3.2 Definisi Operasional Variabel ................................................................. 25

3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................... 27

3.4 Metode Analisis Data ............................................................................. 28

3.4.1 Uji Stasioneritas .......................................................................... 28

3.4.2 Uji Kointegrasi .......................................................................... 29

3.4.3 Analisis Persamaan Simultan .................................................. 30

3.4.3.1 Metode Estimasi Parameter 3SLS ................................ 30

. 3.4.3.2 Spesifikasi Model ........................................................ 31

3.4.3.3 Identifikasi Model ........................................................ 32

3.4.4 Uji t-Statistik............................................................................... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum ................................................................................ 35

4.1.1 Dinamika Kebijakan Fiskal di Indonesia ..................................... 35

4.1.2 Dinamika Pertumbuhan Inklusif di Indoensia .............................. 37

4.1.3 Perkembangan Angkatan Kerja di Indoensia .............................. 41

4.1.4 Perkembangan Laju Populasi di Indoensia ................................. 42

4.1.5 Perkembangan Peranan Sektor Pertanian di Indoensia ............. 43

4.2 Hasil Penelitian .................................................................................... 44

4.2.1 Uji Stasioneritas ........................................................................ 44

4.2.2 Uji Kointegrasi ............................................................................ 45

4.2.3 Hasil Estimasi Persamaan Simultan ........................................... 46

4.3 Pembahasan ........................................................................................ 51

4.3.1 Pertumbuhan Inklusif: Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran, dan Kemiskinan di Indonesia ............................. 51

4.3.1.1 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran .. 51

4.3.1.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan ....... 53

Page 14: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

xiv

4.3.1.3 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran .. 55

4.3.1.4 Inklusivitas Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ............ 55

4.3.2 Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ............................................... 58

4.3.3 Kebijakan Fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ..... 60

4.3.3.1 Hubungan Belanja Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi ................................................... 60

4.3.3.2 Hubungan Belanja Kesehatan dan Pertumbuhan Ekonomi ................................................... 62

4.3.3.3 Hubungan Belanja Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi .................................................. 63

4.3.3.4 Hubungan Penerimaan Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi .................................................. 63

4.3.3.5 Hubungan Belanja Infrastruktur dan Pengangguran ............................................................... 64

4.3.3.6 Implikasi Kebijakan Belanja dan Penerimaan Negara terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia................... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 67

5.2 Saran dan Rekomendasi Kebijakan ...................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 15: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Variabel Penelitian .............................. 26

Tabel 3.2 Data dan Sumber Data ............................................................... 27

Tabel 3.3 Kondisi Identifikasi Model ........................................................... 34

Tabel 4.1 Ringkasan Hasil Uji Stasioneritas ............................................... 45

Tabel 4.2 Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi .................................................. 46

Tabel 4.3 Hasil Estimasi Persamaan Pertumbuhan Ekonomi ..................... 47

Tabel 4.4 Hasil Estimasi Persamaan Pengangguran .................................. 49

Tabel 4.5 Hasil Estimasi Persamaan Kemiskinan ....................................... 50

Page 16: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1966-2015 ................ 2

Gambar 1.2 Kemiskinan di Indonesia Tahun 1980-2016 .................................. 3

Gambar 1.3 Tingkat Pengangguran di Indonesia Tahun 1982-2016 ................. 4

Gambar 2.1 Dimensi dan Ukuran Pertumbuhan Inklusif ................................... 8

Gambar 2.2 Kurva Kemungkinan Produksi Barang Publik dan Privat . ………. 10

Gambar 2.3 Kurva Armey ............................................................................... 11

Gambar 2.4 Kurva Fungsi Produksi dan Tenaga Kerja ....................... ………. 14

Gambar 2.5 Kurva Fungsi Kesejahteraan ........................................... ………. 17

Gambar 2.6 Kerangka Konseptual Penelitian ..................................... ………. 23

Gambar 4.1 Perkembangan Belanja Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur Tahun 1981-2016 ................................................... 36

Gambar 4.2 Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 1981-2016. ................ 37

Gambar 4.3 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1981-2016.......... 38

Gambar 4.4 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Tahun 1982-2016 ....................................................................... 39

Gambar 4.5 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 1982-2016 ............... 40

Gambar 4.6 Perkembangan Angkatan Kerja Tahun 1982-2016 .................... 41

Gambar 4.7 Perkembangan Laju Populasi Tahun 1982-2016 ....................... 42

Gambar 4.8 Perkembangan Sektor Pertanian dan Sektor Lainnya Tahun 1982-2016 ....................................................................... 43

Gambar 4.9 Flow Chart Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ............................ 56

Gambar 4.10 Human Capital Index (HC) pada Era Orde Baru dan Reformasi ........................................................................... 61

Gambar 4.11 Flow Chart Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ................................................................................ 65

Page 17: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran I Hasil Uji Stasioneritas Pada Level ........................................... 75

Lampiran II Hasil Uji Stasioneritas 1st Difference ........................................ 76

Lampiran III Uji Kointegrasi Persamaan Pertumbuhan Ekonomi .................. 77

Lampiran IV Uji Kointegrasi Persamaan Pengangguran .............................. 78

Lampiran V Uji Kointegrasi Persamaan Kemiskinan ...................... ………. 79

Lampiran VI.a Hasil Estimasi Persamaan Simultan 3SLS ................... ………. 80

Lampiran VI.b Hasil Estimasi Persamaan Simultan 3SLS .................. ………. 81

Lampiran VII Flowchart Kebijakan Fiskal dan Faktor-Faktor Lain yang Berdampak pada Pertumbuhan Inklusif di Indonesia ... ………. 82

Page 18: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

xviii

ABSTRAK

Jamil, Hidsal. 2017. Kebijakan Fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi dalam Mewujudkan Pertumbuhan Inklusif di Indonesia. Skripsi, Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Dwi Budi Santoso, S.E., MS., Ph. D.

Kebijakan fiskal di Indonesia dihadapkan pada persoalan pertumbuhan inklusif.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Era Orde Baru tidak berlanjut di Era

Reformasi. Pertumbuhan ekonomi di Era Reformasi cenderung dibarengi dengan

tingkat kemiskinan dan penganggguran yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan

dengan Era Refomasi. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yakni: (i) menguji

inklusivitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia; dan, (ii) menganalisis perbedaan

implikasi kebijakan fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi dalam mewujudkan

percepatan pertumbuhan inklusif di Indonesia. Dengan menggunakan metode

estimasi parameter 3SLS (Three Stage Least Square), penelitian ini menemukan

bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama periode 1981-2016 masih

belum inklusif. Temuan ini mengindikasikan bahwa peningkatan aktivitas

ekonomi di Indonesia mengarah pada sektor yang bersifat padat modal (capital

intensive). Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa kebijakan fiskal baik di

Era Orde Baru dan Era Reformasi memiliki implikasi yang berbeda dalam

mewujudkan pertumbuhan inklusif di Indonesia. Peningkatan pertumbuhan

ekonomi bersumber dari belanja kesehatan di Era Orde Baru dan belanja

pendidikan di Era Reformasi. Sementara itu, penurunan pengangguran berasal

dari belanja infrastruktur di Era Orde Baru.

Kata Kunci: Kebijakan Fiskal, Pertumbuhan Inklusif, Metode 3SLS.

Page 19: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peran pemerintah sangat penting dalam mengerakkan aktivitas ekonomi agar

perekonomian menuju kondisi yang diinginkan (Ismail et al, 2014). Peran

pemerintah terutama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat

melalui mekanisme pasar dan non-pasar. Peran pemerintah melalui mekanisme

pasar terdiri dari kebijakan fiskal (melalui pengaturan belanja dan penerimaan

negara) dan moneter (melalui pengendalian jumlah uang beredar dan tingkat suku

bunga), sementara mekanisme non-pasar terdiri atas kebijakan di luar kebijakan

fiskal dan moneter (melalui pembentukan regulasi dan perundang-undangan).

Sebagai salah satu bentuk peran pemerintah, kebijakan fiskal tidak hanya

diarahkan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan fiskal

perlu menciptakan pertumbuhan ekonomi berkarakter inklusif sehingga dapat

memberikan manfaat yang setara dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan (Ramos et al., 2013). Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi

tetap penting, namun sangat tergantung pada kecepatan dan pola dari

pertumbuhan ekonomi itu sendiri (Biswas, 2016).

Peran pemerintah melalui kebijakan fiskal telah terbukti dibanyak negara

berkembang. Bukti pentingnya kebijakan fiskal dalam mempromosikan

pertumbuhan inklusif terdapat pada studi yang dilakukan oleh David dan Patri

(2013) di Mauritius, Estrada et al (2014) negara-negara di Asia, Lee dan Park

(2014) di Amerika Latin. Akan tetapi di Indonesia sendiri, studi yang

menghubungkan langsung antara kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap

pertumbuhan inklusif masih relatif belum ada. Studi yang telah dilakukan hanya

1

Page 20: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

2

memaparkan kegagalan pemerintah dalam mencapai pertumbuhan inklusif (lihat

Hadi, 2012) atau paling tidak, mencari tahu penyebab pertumbuhan ekonomi di

Indonesia kurang inklusif (lihat Dartanto, 2013; Anderson et al., tt)

Dalam konteks Indonesia, kebijakan fiskal dihadapkan pada pola

pertumbuhan ekonomi yang kontras. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dicapai

pada Era Orde Baru, sementara pertumbuhan ekonomi yang rendah terjadi pada

Era Reformasi. Perbedaan pola pertumbuhan ekonomi yang kontras memberikan

dampak yang berbeda terhadap tingkat kemiskinan dan pengangguran baik di Era

Orde Baru maupun Reformasi.

Gambar 1.1: Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1966-2015

Sumber: Data Diolah dari World Bank, berbagai tahun

Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi Era Reformasi hanya mencapai

5,04%, masih berada di bawah Era Orde Baru dengan rata-rata pertumbuhan

ekonomi mencapai 6,45%. Setahun setelah disahkannya UU No. 1 Tahun 1967

tentang PMA, pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan sempat tercatat 12,03%.

Selama satu dasawarsa lebih berjalannya Era Reformasi, pertumbuhan tertinggi

hanya sebesar 6,22%. Argumen yang seringkali menjadi penjelas, pertumbuhan

12,03

-13,13

6,22

6,45 5,04

-15

-12

-9

-6

-3

0

3

6

9

12

15

196

6

196

8

197

0

197

2

197

4

197

6

197

8

198

0

198

2

198

4

198

6

198

8

199

0

199

2

199

4

199

6

199

8

200

0

200

2

200

4

200

6

200

8

201

0

201

2

201

4

Ting

kat P

ertu

mbu

han

(%)

Era Orde Baru Era Reformasi

Page 21: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

3

ekonomi di Era Reformasi dihadapkan pada masalah domestik dan guncangan

perekonomian global yang semakin kompleks daripada Era Orde Baru (Tabor,

2015)

Lebih lanjut, pada awal Era Reformasi, tingkat kemiskinan di Indonesia

tercatat 24,23%. Kemudian, tingkat kemiskinan berkurang secara drastis pada

tahun 2016 menjadi 10,80%. Pola penurunan kemiskinan ini relatif sama dengan

Era Reformasi sebelum tahun 1994. Hanya saja, penurunan kemiskinan mulai

melambat sejak tahun 2012 dan belum mampu bergeser di bawah 10%. Dapat

dikatakan, tingkat kemiskinan di Indonesia sejauh ini menyentuh angka

kemiskinan yang kronis (hard core poverty). Belum lagi, golongan rentan yang

berpotensi menjadi golongan miskin selama kurun waktu 2002-2014 berada pada

kisaran 26,9% sampai dengan 33,7% (World Bank, 2016). Dengan kondisi

golongan rentan yang tinggi, upaya penurunan kemiskinan menghadapi tantangan

yang serius.

Gambar 1.2: Kemiskinan di Indonesia Tahun 1980-2016

Sumber: Data diolah dari World Bank (2016).

24,23

10.80

0

5

10

15

20

25

30

1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004 2007 2010 2013 2016

Tin

gkat

Kem

iskin

an

(%

)

Era Orde Baru Era Reformasi

Page 22: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

4

Gambar 1.3: Tingkat Pengangguran di Indonesia Tahun 1982-2016

Sumber: World Bank dan Trading Economics, berbagai tahun, diolah.

Sama halnya dengan tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran di Era

Reformasi jauh lebih tinggi dari Era Orde Baru. Secara rata rata, tingkat

pengangguran terbuka (TPT) pada Era Reformasi sebesar 7,78%. Sementara itu,

TPT pada Era Orde Baru senilai 3,36%. Pada tahun 2005 misalnya, TPT

mencapai angka 11,24%. Angka ini termasuk tinggi jika dibandingkan dengan TPT

tertinggi di Era Orde Baru yang hanya menyentuh 7,2%. .

Penelitian ini difokuskan untuk membandingkan peran pemerintah–baik Era

Orde Baru maupun Era Reformasi─melalui kebijakan fiskal yang mewujudkan

percepatan pertumbuhan inklusif di Indonesia. Kebijakan fiskal tidak saja melalui

pertimbangan rasionalitas ekonomi, namun melalui mekanisme politik yang

dinamis (Ismail et al, 2014). Era Orde Baru menekankan kepemimpinan politik

yang cenderung otoriter, sementara Era Reformasi mengarah pada kepemimpinan

politik yang demokratis (Ricklefs, 2001). Dalam konteks Indonesia, Era Orde Baru

dan Era Reformasi merupakan rezim dengan mekanisme politik yang jauh

berbeda satu sama lain.

2

7,2

11,24

3,36

7,78

0

2

4

6

8

10

12T

ing

kat

Pen

gan

gu

ran

Terb

uka

(%

)

Era Orde Baru Era Reformasi

Page 23: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

5

1.2 Rumusan Masalah

Dengan berpijak pada kesenjangan empiris di atas, penelitian ini hendak

menjawab rumusan masalah, antara lain:

1. Apakah pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah inklusif ?

2. Apakah ada perbedaan implikasi kebijakan fiskal Era Orde Baru dan Era

Reformasi dalam mewujudkan percepatan pertumbuhan inklusif di

Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini merujuk pada rumusan masalah yang telah dibuat. Pada

dasarnya, penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yakni:

1. Untuk menguji inklusivitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2. Untuk menganalisis perbedaan implikasi kebijakan fiskal Era Orde Baru

dan Era Reformasi dalam mewujudkan percepatan pertumbuhan inklusif

di Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian

Secara umum, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis kepada seluruh stakeholder terkait, bukan hanya

penulis secara pribadi. Adapun manfaat secara spesifik yang dimaksud antara

lain:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini mengangkat topik kebijakan fiskal dan pertumbuhan

inklusif. Adanya penelitian ini diharapkan mampu memperkaya lanskap kajian

mengenai kebijakan fiskal dan pertumbuhan inklusif dalam konteks Indonesia.

Khusus untuk pertumbuhan inklusif, topik ini relatif baru dan masif dibahas

Page 24: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

6

dua dasawarsa belakangan ini sehingga memberikan potensi pengembangan

teori lebih lanjut.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini berguna bagi:

a. Pemerintah

Kebijakan fiskal sebagai instrumen yang dimiliki oleh pemerintah

perlu mendapat perhatian yang serius sebab berkenaan dengan aspek

pembangunan yang banyak menyentuh masyarakat. Dengan adanya

penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan berkenaan dengan

strategi kebijakan fiskal yang relevan dalam mendorong pertumbuhan

inklusif.

b. Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh akademisi untuk

memberikan gambaran umum mengenai pengalaman penerapan

kebijakan fiskal di Indonesia dalam rangka mewujudkan percepatan

pertumbuhan inklusif, tidak sekadar berpijak pada teori.

Page 25: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

7

BAB II

TELAAH LITERATUR

2.1 Peran Pemerintah dan Pertumbuhan Inklusif

2.1.1 Konsep Pertumbuhan Inklusif

Pada dasarnya, pertumbuhan inklusif merupakan sebuah konsep yang

bersifat multidimensional dan kompleks. Sebagai contoh, Aoyagi dan Ganelli

(2015) mensyaratkan bahwa suatu pertumbuhan ekonomi dikatakan inklusif,

apabila setiap orang yang berpendapatan rendah mendapatkan manfaat yang

sama bahkan jauh lebih besar daripada populasi secara keseluruhan. Secara

implisit, pendapat tersebut mengetengahkan keberpihakan pada kaum miskin

yang notabene memiliki pendapatan yang rendah dalam pertumbuhan ekonomi

suatu negara.

Konsep keberpihakan terhadap kaum miskin, menurut Klasen (2010),

mengaburkan makna dari “inklusif” itu sendiri. Pertumbuhan inklusif bisa dikatakan

lebih umum daripada pertumbuhan yang sekadar berpihak pada kaum miskin.

Pertumbuhan ekonomi semestinya memberikan manfaat terhadap seluruh

kelompok masyarakat termasuk di dalamnya kelompok miskin, hampir miskin,

kelompok berpendapatan menengah, bahkan orang kaya sekalipun. Hal ini

beralasan sebab pertumbuhan yang hanya berpihak kepada kaum miskin

cenderung menimbulkan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi. Oleh

karenanya, pertumbuhan yang berkelanjutan dibutuhkan guna menciptakan dan

memperluas peluang ekonomi baru (McKinley, 2010)

Lebih lanjut, Kolawole (2016) tetap mengakomodir dimensi pembagian

manfaat, namun bukan menjadi dimensi yang utama. Kolawole (2016)

menekankan dimensi partisipasi seluruh masyarakat dalam proses produksi suatu

7

Page 26: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

8

negara. Penekanan dimensi partisipasi mengambil posisi individu sebagai subjek

daripada objek pembangunan itu sendiri. Pada gilirannya, dimensi pembagian

manfaat hanya akan tercapai, apabila dibarengi dengan dimensi partisipasi.

Konsep partisipasi dalam pertumbuhan inklusif lebih spesifik diungkapkan

oleh Ianchovichina dan Lundtrom (2009). Dalam hal ini, pertumbuhan inklusif

menempatkan tenaga kerja produktif sebagai motor penggerak pendapatan bagi

individu. Tenaga kerja produktif berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan

pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan inklusif disini dapat dianalisis melalui

lingkungan bisnis (business environment) dan kelayakan kerja (employability).

Sementara itu, Ogbeide et al. (2015) menyatakan penting untuk mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran dalam mendesain

kebijakan pertumbuhan inklusif. Pentingnya tingkat pengangguran berkenaan

dengan input sumber daya manusia yang digunakan dalam proses produksi.

Tingkat pengangguran yang tinggi mengindikasikan bahwa masih terdapat sumber

daya manusia yang belum terpakai. Tingkat pengangguran yang tinggi juga

berguna untuk mengukur seberapa baik kinerja aktivitas ekonomi suatu negara di

tengah kondisi pencarian kerja yang rumit, terutama pada periode resesi.

Gambar 2.1: Dimensi dan Ukuran Pertumbuhan Inklusif

Sumber: Diadaptasi dari Ramos et al (2013) dan Ali dan Son (2007)

Pertumbuhan

Inklusif

New Economic Opportunity

Pertumbuhan ekonomi tinggi

Participation

Tingkat pengangguran

rendah

Benefit Sharing

Tingkat kemiskinan

rendah

Page 27: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

9

Meskipun belum ada konsensus baik dari aspek ruang lingkup maupun aspek

pengukurannya, pertumbuhan inklusif setidaknya, dapat diredefinisikan sebagai

pertumbuhan ekonomi yang memuat dimensi perluasan peluang ekonomi (new

economic opportunity), pembagian manfaat yang meluas (benefit sharing), dan

keikutsertaan seluruh masyarakat (participation) dalam aktivitas ekonomi. Dengan

kata lain, pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dikatakan inklusif, apabila

pertumbuhan ekonomi tinggi diringi dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran

yang rendah. (lihat Gambar 2.1).

2.1.2 Peran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi

Peran pemerintah dalam menggerakkan aktivitas ekonomi dapat dianalisis

secara sederhana melalui kurva kemungkinan produksi. Kurva kemungkinan

produksi ini dapat digunakan untuk melihat alokasi sumber daya antara sektor

pemerintah dan sektor privat. Gambar 2.2 menunjukkan kombinasi alternatif

barang publik dan barang privat yang dapat dihasilkan dalam suatu aktivitas

ekonomi. Dalam hal ini, asumsi yang digunakan yakni sumber daya yang produktif

dan teknologi telah digunakan seluruhnya.

Untuk dipahami, titik kenaikan jumlah barang publik per tahun dari G1 ke G2

menghendaki pengurangan jumlah barang privat yang disediakan dari X1 ke X2..

Selanjutnya, aktivitas produksi berpindah dari titik A ke titik B dengan kondisi

pengalokasian sumber daya cenderung public oriented dari sebelumnya(Hyman,

2011). Jika diasumsikan bahwa peran sektor pemerintah ditingkatkan dari G2 ke

G3 dan sektor swasta tidak mengalami perubahan maka kurva kemungkinan

produksi bergeser dari PPF1 ke PPF2. Selanjutnya, peningkatan peran sektor

pemerintah berlanjut tanpa diimbangi oleh peningkatan peran sektor privat, tidak

akan menggeser kurva PPF2 ke kanan.

Page 28: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

10

Gambar 2.2: Kurva Kemungkinan Produksi Barang Publik dan Privat

Sumber: Diadaptasi dari Hyman (2011)

Penjelasan Hymen (2011), bisa ditarik pada konteks ekonomi makro, dalam

sebuah kurva yang menghubungkan antara ukuran pemerintah dan pertumbuhan

ekonomi (Lihat Gambar 2.2). Altunc dan Aydin (2013) mengilustasikan, ketika

aktivitas perekonomian hanya bertumpu pada sektor swasta, pertumbuhan

ekonomi yang dihasilkan relatiif kecil, jika tidak dikatakan hampir setara nol (Y0).

Kemudian, ukuran pemerintah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi

hingga mencapai titik maksimum (Y*). Titik maksimum dapat dicapai dengan

catatan bahwa produktivitas marjinal pengeluaran sektor pemerintah sama dengan

pengeluaran sektor swasta. Setelah mencapai titik maksimum, ekspansi

pengeluaran pemerintah menimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi, karena

adanya diminishing return pada barang publik dan disinsentif sektor swasta dalam

menggerakkan ekonomi.

Bara

ng

Pu

blik

per

Tah

un

Barang Privat per Tahun

G1

G2

X1 X2

A

B

PPF1

PPF2

G3 C

Page 29: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

11

Gambar 2.3: Kurva Armey

Sumber: Diadaptasi dari Altunc dan Aydin (2013)

Contoh konkret mengenai peningkatan ukuran pemerintah yang akhirnya

menimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi dijelaskan oleh Vedder dan

Gallaway (1998). Pembangunan jalan pada awalnya membantu meningkatkan

output riil. Pembangunan jalan kedua dan seterusnya mulai kurang mendapat

respon dari belanja yang dikeluarkan. Apalagi, pajak yang dipungut untuk

membiayai belanja pemerintah menimbulkan beban yang semakin meningkat.

Tarif pajak yang semula rendah menjadi lebih tinggi ataupun terjadi perluasan

objek pajak baru, seperti pajak penghasilan yang ditambahkan dalam pungutan

konsumsi, dengan dampak yang semakin memburuk. Belanja pemerintah yang

baru tidak lagi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.1.3 Peran Pemerintah dalam Membentuk Karakter Pertumbuhan Inklusif

Peran pemerintah mengikuti evolusi kebijakan pembangunan dari waktu ke

waktu (Biswas, 2016). Dalam sudut pandang konvensional, peran pemerintah

mencakup tiga hal penting yakni (i) menyediakan barang publik; (ii)

meredistribusikan pendapatan; dan (iii) menstabilisasi ekonomi(Musgrave dan

Musgrave, 1989). Kemudian, dalam sudut pandang terbaru, dimulai sejak awal

Y0

Y*

Ou

tpu

t R

iil

Ukuran Pemerintah (G/Y)

Y0

Y*

Page 30: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

12

tahun 2000-an, peran pemerintah mencakup dimensi yang lebih luas. Pemerintah

dituntut untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkarakter inklusif dalam

sebuah program terpadu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang

memampukan pelipatgandaan pendapatan per kapita dalam waktu singkat, tanpa

mengabaikan keadilan distributif dan fokus yang tidak terbagi dalam pengurangan

kemiskinan (Naqvi, 2012).

Dalam konteks pertumbuhan inklusif, peran pemerintah juga dibutuhkan

dalam perbaikan distribusi pendapatan kelompok miskin. Ahluwalia dan Chenery

(1972) dalam Santosa (1992), menyebutkan ada tiga strategi yang bisa ditempuh

yaitu pertama, redistribusi konsumsi, dimana pemerintah pemerintah dapat

melakukan pemotongan tingkat konsumsi kelompok kaya untuk disalurkan kepada

kelompok miskin.Kedua, redistribusi investasi, dimana pemerintah dapat

mengalihkan sumber daya masyarakat guna menambah tingkat kapital (asset)

kelompok miskin. Ketiga, pembatasan upah, dimana dalam jangka pendek, akan

dapat menambah pertumbuhan pendapatan dari kelompok kaya melalui perolehan

profit, namun pada jangka panjang akan dapat meningkatkan pendapatan dari

kelompok miskin karena adanya peningkatan produksi dari kelompok kaya.

Salah satu instrumen guna mewujudkan percepatan pertumbuhan inklusif

adalah peran pemerintah melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal terdiri dua

komponen utama yaitu kebijakan belanja dan kebijakan penerimaan. Kebijakan

belanja dalam kerangka pertumbuhan inklusif diarahkan guna meraih tingkat

output yang optimal, pengangguran yang rendah dan redistribusi pendapatan yang

merata. Sementara kebijakan penerimaan yang didominasi oleh perpajakan

digunakan untuk mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, alokasi

sumber daya yang efisien dan stabilisasi ekonomi (Musgrave dan Musgrave,

1989).

Page 31: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

13

Nallari dan Griffith (2011) mengungkapkan ada bukti yang kuat bahwa

peningkatan belanja modal fisik dan manusia dapat mengurangi kemiskinan, di

samping pertumbuhan ekonomi. Peranan belanja modal fisik dan manusia tidak

saja berfungsi dalam kondisi ekonomi yang normal, lebih dari itu, kedua belanja

tersebut sangat berguna ditengah kondisi pengetatatan anggaran (konsolidasi

fiskal). Bahkan, belanja modal fisik dan manusia memiliki dampak positif terhadap

aktivitas ekonomi dalam jangka panjang dibandingkan dengan alternatif kebijakan

lain seperti peningkatan upah sektor publik. Belanja pemerintah di bidang

pendidikan dan kesehatan berkontribusi terhadap perbaikan kesejahteraan

masyarakat dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

Berbeda dengan belanja pemerintah, peran pemerintah melalui perpajakan

kurang efektif dalam menciptakan pertumbuhan inklusif di negara berkembang.

Besley dan Persson (2014) menyebutkan bahwa peranan pemerintah tidak efektif

dikarenakan jumlah pajak yang dikumpulkan sangat kecil. Di negara berkembang,

memperluas basis pajak penghasilan hampir mustahil dilakukan dengan karakter

sektor informal yang besar. Hal ini mengindikasikan bahwa elastisitas pendapatan

kena pajak berkenaan dengan tingkat pajak jauh lebih tinggi daripada sebaliknya-

yaitu, ketika pemerintah di negara berkembang dengan sektor informal yang besar

mencoba menaikkan pajak, penghasilan kena pajak dilaporkan kepada pemerintah

mungkin akan turun secara substansial.

Penjelasan lain mengenai ketidakefektifan peran pemerintah melalui

perpajakan dilihat dari ciri kelompok pendapatan di negara berkembang. Orang

kaya di negara berkembang, umumnya memiliki cara untuk menghindari pajak

yang tinggi atas penghasilan mereka. Bahkan, membebaskan beberapa barang

pokok dari pajak konsumsi (pajak penjualan atau PPN) mungkin tidak memberikan

manfaat terhadap orang miskin, karena orang kaya mampu mengeluarkan uang

Page 32: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

14

secara absolut lebih besar pada barang yang dikecualikan, oleh karenanya

mereka mendapatkan keuntungan terbesar. Dalam kasus tersebut, pencabutan

pembebasan tersebut dapat menghasilkan pendapatan yang bisa dikeluarkan

dengan cara yang lebih berpihak kepada orang miskin (Nallari dan Griffith, 2011)

2.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan

2.2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran

Untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan

pengangguran, analisis mengenai tenaga kerja sebagai input dalam produksi

dapat digunakan (lihat Gambar 2.4). Pada kondisi output sebesar Y0, tenaga kerja

yang dibutuhkan sebesar L0. Kemudian ketika terjadi peningkatan output dari Y1

ke Y1 dalam kurva fungsi produksi yang sama, terjadi pergerakan sepanjang kurva

yang mengakibatkanpenambahan tenaga kerja sebesar L0-L1.

Gambar 2.4: Kurva Fungsi Produksi dan Tenaga Kerja

Sumber: Diadaptasi dari Pindyck dan Rubinfield (2001)

Seiring berjalannya waktu, bagaimanapun, penemuan dan perbaikan

teknologi lainnya memungkinkan keseluruhan kurva fungsi produksi bergeser ke

atas (dari sebelumnya berada pada kurva fungsi produksi Y0 menjadi Y1 atau

Page 33: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

15

bahkan pada Y2), sehingga output yang lebih banyak dapat diproduksi.

Peningkatan produksi pada kurva fungsi produksiY1 masih bersifat komplementer

dengan peningkatan tenaga kerja. Sehingga, peningkatan tenaga kerja dapat

terjadi dari L0 Ke L2. Meskipun tidak sebesar peningkatan tenaga kerja

sebelumnya, peningkatan teknologi ini masih bersifat labour intensive.

Pergeseran kurva fungsi produksi ke atas ini,dimana peningkatan input

tenaga kerja yang dapat meningkatkan output, mengesankan tidak terjadi

diminishing marginal return. Padahal, efek diminishing return ini sebenarnya

terjadi. Memang, pergeseran kurva fungsi produksi menunjukkan kemungkinan

tidak adanya implikasi negatif pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Padahal, kegagalan untuk memperhitungkan perbaikan teknologi dalam jangka

panjang membuat ekonom Inggris Thomas Malthus salah memprediksi

konsekuensi mengerikan dari pertumbuhan penduduk yang terus berlanjut

(Pyndick dan Rubinfield, 2001).

Peningkatan teknologi yang lebih excessive berada pada kurva fungsi

produksi Y2. Output yang semula berada pada Y0 kemudian meningkat menjadi Y

dengan kurva fungsi produksi yang bergeser ke atas, lebih tinggi daripada kurva

fungsi produksi Y1. Berikutnya, penambahan output dari Y0 menjadi Y1

menimbulkan penurunan penggunaan tenaga kerja dari L0 menjadi L3. Oleh

sebab itu, peningkatan produksi melalui jenis teknologi ini cenderung mengarah

pada capital intensive dan meningkatkan pengangguran.

Lebih lanjut, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja

tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi juga terkait dengan jenis pekerjaan yang

diciptakan (Department for International Development, 2015). Secara khusus,

penigkatan lapangan pekerjaan di sektor informal telah menimbulkan kekhawatiran

Page 34: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

16

seiring dengan pertumbuhan sektor formal. Lapangan pekerjaan di sektor informal

lazimnya dipahami sebagai sebuah sektor dengan “surplus” tenaga kerja yang

menggantungkan hidup di sektor informal sambil menunggu pekerjaan yang lebih

layak di sektor formal. Daripada tidak bekerja sama sekali, sektor informal dapat

dijadikan alternatif yang memungkinkan, selain bekerja di sektor formal. Pada

kenyataannya, menurut Maloney (2004), sektor informal tidak selalu dimaknai

sebagai residu dari pasar tenaga kerja. Bahkan, sektor informal mengindikasikan

tumbuhnya jiwa wirausaha di negara berkembang. Sektor informal, dalam bentuk

usaha kecil misalnya, harus dilihat sebagai bagian dari sektor usaha kecil sukarela

yang serupa dengan negara-negara maju.

2.2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

Hal yang paling mendasar dalam bahasan mengenai kemiskinan terkait

apakah kemiskinan dianggap sebagaideprivasi absolut atau relatif. Apabila

kemiskinan dianggap sebagai deprivasi absolut, garis kemiskinan biasanya

didefinisikan bebas dari corak hidup masyarakat pada umumnya. Sementara, jika

kemiskinan dianggap sebagai deprivasi relatif, garis kemiskinan akan dikaitkan

dengan corak hidup masyarakat. Pilihan salah satu dari dua pendekatan ini

memiliki konsekuensi penting bagi desain kebijakan sosial. Kemiskinan absolut

dapat diatasi melalui pertumbuhan ekonomi, sementara kemiskinan relatif sangat

ditentukan oleh distribusi pendapatan negara yang bersangkutan (Hagenaars dan

Van Prag, 1985).

Kurva fungsi kesejahteraan (sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.5)

dapat merangkum dua konsep kemiskinan, baik kemiskinan absolut maupun

kemiskinan relatif. Pada awalnya, kurva fungsi kesejahteraan berada pada U(y)0

dengan jumlah penduduk miskin sebesar P0. Kurva fungsi kesejahteraan U(y)0

berikutnya dapat bergeser ke kurva fungsi kesejahteraan U(y)1, atau bisa saja ke

Page 35: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

17

U(y)2. Pergeseran kurva fungsi kesejahteraan ke U(y)1 merupakan efek

pertumbuhan ekonomi (growth effect) sehingga jumlah orang miskin berkurang

dari P0 ke P1. Sementara itu, pergeseran fungsi kesejahteraan menjadi U(y)2 lebih

disebabkan oleh buruknya distribusi pendapatan (distributional effect) yang telah

meningkatkan jumlah orang miskin dari P0 ke P2. Pada titik ini, U(y)1 merupakan

kurva fungsi kesejahteraan yang berpihak pada orang miskin, sedangkan U(y)2

hanya berpihak pada kelompok pendapatan tinggi.

Gambar 2.5: Kurva Fungsi Kesejahteraan

Sumber: Diadaptasi dari Van Praag dan Frijters(1999) dan Angelsen dan Wunder (2006).

Lebih lanjut, efek pertumbuhan ekonomi (growth effect) yang dapat

mengurangi kemiskinan telah diterima secara umum dengan berbagai

argumentasi (Le et al, 2014; Nallari dan Griffith, 2011; Angelsen dan Wunder,

2006; Dollar dan Kray, 2002; Roemer dan Gugerty, 1997;). Adapun argumentasi

yang dimaksud antara lain:

1. Pertumbuhan ekonomi lebih cenderung mengarah langsung pada

pengurangan kemiskinan ketika aset ekonomi suatu negara didistribusikan

relatif sama

Page 36: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

18

2. Pertumbuhan yang berbasis pada unskill labour intensive yang banyak

terjadi di negara dengan angkatan kerja yang melimpah lebih signifikan

mengurangi kemiskinan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang

berbasis skilled labour intensive. Hal ini beralasan, kelompok miskin hampir

selalu identik dengan unskill labour

3. Pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan kelompok miskin

secara proporsional karena didukung oleh kebijakan ekonomi lliberal seperti

stabilitas kebijakan fiskal dan moneter, serta keterbukaan pasar, dimana

setiap kelompok diberikan kesempatan yang sama dalam aktivitas ekonomi.

4. Di dalam pertumbuhan ekonomi, kelompok miskin tidak hanya mendapat

keuntungan dari pertumbuhan pendapatan nominalnya, tetapi juga dari

teknologi yang membuat barang yang mereka konsumsi lebih murah di

pasar, sehingga meningkatkan daya beli mereka.

5. Sebagian besar pengurangan kemiskinan secara mutlak di negara-negara

yang mengalami pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan, di mana

sebagian besar masyarakat miskin tinggal dan mencari nafkah dari

pertanian. Kebijakan pertanahan dan ketenagakerjaan mempengaruhi

partisipasi kaum miskin pedesaan dalam ekonomi.

Argumentasi mengenai dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap

kelompok misikin tidak kalah menarik. Pertumbuhan ekonomi yang melalui

penghancuran kreatif misalnya, menggantikan struktur ekonomi yang lama demi

menciptakan struktur ekonomi baru. Pertumbuhan ekonomi yang semula bertumpu

dari sektor pertanian dan manufaktur kemudian berpindah ke sektor jasa. Secara

implisit, menurut Cox dan Alm (2008), pertumbuhan melalui penghancuran kreatif

ini akan membuat beberapa individu berakhir dengan kondisi ekonomi yang lebih

buruk dari sebelumya.

Page 37: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

19

Selain itu, argumen yang sulit dibantah terkait pertumbuhan ekonomi yang

tidak diiringi pemeraaan pendapatan akan membuat agenda pengentasan

kemiskinan menjadi kompleks. Mulok et al (2012) bahkan menyimpulkan bahwa

ketimpangan pendapatan bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Tingkat

keparahan yang bisa dikatakan persisten, telah menciptakan keraguan tentang

kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam mengentaskan kemiskinan. Belum lagi,

penyesuaian struktural yang dianjurkan untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi justru memperparah kemiskinan di negara berkembang.

2.2.3 Pengangguran dan Kemiskinan

Hubungan antara pengangguran dan kemiskinan dapat ditelusurui melalui

peran pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran yang secara keseluruhan lebih

tinggi akan mempengaruhi jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan.

Mayoritas rumah tangga di negara berkembang mengandalkan pendapatan dari

pasar tenaga kerja, sehingga apabila terjadi peningkatan pengangguran, maka

dapat menggerus pendapatan yang cukup besar dari rumah tangga bersangkutan.

Pengaruh pengangguran di negara berkembang juga sangat terasa jika terjadi

kemerosotan siklus ekonomi, apalagi pendapatan yang diperoleh tidak jauh

berbeda dengan garis kemiskinan. Faktor-faktor inilah yang memunculkan dugaan

kuat bahwa tingkat pengangguran dan kemiskinan memiliki hubungan yang positif

(Powers, 1995).

Dalam pernyataan berikutnya, Powers (1995) mengklarifikasi bahwa

hubungan antara pengangguran dan tingkat kemiskinan belum tentu positif. Ada

faktor lain yang bisa mengubah hubungan keduanya. Beberapa ahli berpendapat,

pola upah selama siklus bisa bersifat pro-siklus dan transfer pemerintah juga

dapat mengurangi sensitivitas tingkat kemiskinan terhadap pengangguran

Page 38: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

20

sehingga dapat mengurangi potensi pengeluaran yang memberatkan di masa

kemerosotan siklus ekonomi.

Dalam sudut pandang yang lain,hubungan yang erat antara tingkat

pengangguran yang tinggi dengan semi pengangguran, serta kemiskinan yang

meluas telah dijelaskan oleh Todaro (1995). Dalam banyak kasus di negara

berkembang, mereka yang bekerja secara tidak reguler atau hanya bekerja paruh

waktu biasanya digolongkan berpenghasilan sangat miskin. Mereka yang bekerja

dan dibayar secara teratur baik oleh sektor pemerintah maupun sektor swasta

termasuk kelompok berpenghasilan menengah ke atas. Akan tetapi, ada sebuah

kekeliruan apabila menganggap bahwa setiap orang yang tidak mempunyai

pekerjaan digolongkan miskin, sedangkan mereka yang bekerja purna waktu relatif

mempunyai penghasilan yang cukup baik sehingga tidak digolongkan miskin.

Sebagai contoh, mungkin ada beberapa yang “sengaja” menganggur, atau

dengan kata lain disebut sebagai pengangguran sukarela. Mereka yang berada

dalam kategori ini menganggur dengan alasan mencari jenis pekerjaan yang

sangat spesifik, mungkin karena ekspektasi tinggi berdasarkan kualifikasi

pendidikan atau keterampilan yang mereka duga. Mereka menolak menerima

pekerjaan yang mereka anggap inferior, dan mereka berani melakukannya karena

mereka memiliki sumber keuangan dari luar (misalnya, bantuan keuangan dari

teman dan kerabat). Orang-orang seperti itu menganggur menurut

definisinya,tetapi mereka mungkin tidak miskin. Di sisi lain, beberapa orang

bekerja secara penuh dalam beberapa jam per hari tapi penghasilan yang mereka

peroleh sangat sedikit sehingga seringkali mereka masih sangat miskin (Todaro,

1995).

Page 39: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

21

2.3 Studi Terdahulu

Studi terdahulu yang membahas kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap

pertumbuhan inklusif menggunakan benchmarking study. Heshmati et al (2014)

misalnya, menggunakan negara anggota OECD sebagai benchmark guna

memberikan rekomendasi kebijakan fiskal yang relevan dalam mempromosikan

pertumbuhan inklusif di negara Asia. Hasilnya, bantuan pemerintah kepada kaum

miskin dan rentan dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai pertumbuhan

inklusif di Asia. Hal ini kemudian dilengkapkan oleh Lee dan Park (2014) melalui

pengalaman empiris di Amerika Latin. Untuk menerapkan cash conditional transfer

(CCT)secara intensif di Asia, harus dilakukan secara hati-hati sebab pertumbuhan

ekonomi di Asia relatif lebih cepat daripada Amerika Latin. Oleh karena itu,

berdasarkan temuan Estrada et al (2014), pertumbuhan inklusif harus tetap

memperhitungkan kondisi kesinambungan fiskal di negara Asia.

Selain menggunakan benchmarking study, pendekatan yang paling sering

digunakan untuk mengukur dampak kebijakan fiskal melalui analisis insiden

fiskal.David dan Petri (2013) membuktikan bahwa program perlindungan sosial

telah membantu menurunkan kemiskinan dan ketimpangan di Mauritius. Sungguh

pun demikian, value added tax (VAT) memiliki dampak yang minimal dalam

mengurangi ketimpangan. Lebih mengejutkan, Higgins dan Pereira (2014)

menemukan pajak tidak langsung yang harus dibayar oleh kelompok rumah

tangga miskin di Brazil lebih besar daripada manfaat subisidi yang diterima dari

pemerintah.Pada titik ini, kebijakan fiskal sulit untuk mencapai pertumbuhan

inklusif, jika tidak dikatakan eksklusif.

Jika analisis insiden fiskal menggunakan data mikro level rumah tangga,

kebijakan fiskal juga dapat dilihat dampaknya melalui interaksi antarvariabel

makroekonomi.Dengan menggunakan Panel Vector Autoregression (PVAR), Hur

Page 40: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

22

(2014) menyimpulkan bahwa pengeluaran kesehatan dan pendidikan mampu

menanggulangi ketimpangan pendapatan pada negara anggota ADB

dibandingkan dengan negara anggota OECD. Dalam hal ini, efek distribusi dari

pengelauran fiskal terjadi pada jangka panjang.Selain itu, Kolawole (2016)

menggunakan Auto-regressive Distributed Lag (ARDL) untuk menguji hubungan

antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan inklusif. Secara garis besar,

belanja kesehatan, kebebasan ekonomi, public resource index, dan pertumbuhan

PDB riil secara signifikan dan positif berpengaruh terhadap pertumbuhan inklusif

dalam jangka panjang, meskipun hanya pertumbuhan PDB riil yang berpengaruh

dalam jangka pendek.

Dengan mempertimbangkan penelitian sebelumnya, implikasi kebijakan

fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada penelitian ini dilihat dalam interaksi

antarvariabel makroekonomi. Benchamarking study tidak digunakan sebab

penelitian ini tidak bermaksud mengkomparasi kebijakan fiskal antarnegara. Akan

tetapi, penelitian ini hendak membandingkan strategi kebijakan fiskal pada Era

Orde Baru dan Era Reformasi, dengan institusi ekonomi politik yang berbeda (lihat

Rao, 2011). Kemudian, analisis insiden fiskal tidak digunakan sebab hanya

memotret perilaku ekonomi secara insidental. Padahal penelitian ini di setting guna

menjelaskan kebijakan fiskal dan pertumbuhan inklusif selama periode 1981-2016.

2.4 Kerangka Konseptual Penelitian

Secara konseptual, peran pemerintah tercermin dalam kebijakan fiskal. Pada

penelitian ini kebijakan fiskal yang dimaksud menyangkut instrumen kebijakan

belanja dan penerimaan negara. Sementara itu, pertumbuhan inklusif menyentuh

dimensi perluasan peluang ekonomi (new economic opportunity), pembagian

manfaat (benefit shared) dan partisipasi (participation) seluruh masyarakat dimana

pertumbuhan ekonomi tinggi diarahkan untuk mencapai kemiskinan dan

Page 41: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

23

pengangguran yang rendah (Ramos et al, 2013; Ali dan Son, 2007). Gambaran

mengenai konsep yang dimaksud diilustrasikan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.6: Kerangka Konseptual Penelitian

Sumber: Ilustrasi Penulis.

Lebih lanjut, implikasi kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan inklusif melalui

channel yang berbeda. Belanja negara yang sifatnya produktif seperti belanja

pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, dapat meningkatkan pertumbuhan

ekonomi. Belanja produktif ini biasanya identik dengan investasi pemerintah baik

dalam bentuk akumulasi modal fisik maupun modal manusia. Belanja pemerintah

juga dapat menciptakan kesempatan kerja terutama pada investasi pemerintah

yang intensif tenaga kerja. Belanja negara yang mampu menurunkan

pengangguran ini biasanya bersumber dari belanja infrastruktur dasar. Sementara,

Page 42: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

24

di sisi penerimaan negara, perpajakan lebih banyak menghambat aktivitas dari

pelaku ekonomi untuk menggerakkan perekonomian. Pada titik ini, perpajakan

bersifat distortif (distortionary tax) bagi pertumbuhan ekonomi.

Efek pertumbuhan ekonomi kemudian berlanjut pada tingkat pengangguran

dan kemiskinan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan

pekerjaan akan mampu mengurangi pengangguran. Tingkat pengangguran yang

menurun mengindikasikan bahwa setiap orang yang menganggur sebelumnya

dapat meningkatkan pendapatan. Pendapatan yang meningkat diatas garis

kemiskinan inilah yang mampu menurunkan kemiskinan. Sementara itu, efek

langsung pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan dapat dilihat

melalui penigkatan pendapatan dan aktivitas ekonomi masyarakat yang semula

berada di bawah garis kemiskinan kemudian bergerak diatas garis kemiskinan.

Page 43: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji inklusivitas pertumbuhan ekonomi di

Indonesia dan perbedaan implikasi kebijakan fiskal Era Orde Baru dan Era

Refomasi dalam percepatan pertumbuhan inklusif di Indonesia. Untuk itu,

penelitian ini didesain menggunakan pendekatan kuantitatif. Dengan

menggunakan pendekatan ini, peneliti dapat mengkonstruksi pengukuran secara

teknis yang dapat menjembatani antara konsep dan data kuantitatif yang dimiliki

(Neuman, 2007). Pengukuran secara teknis yang dimaksud berhubungan dengan

penggunaan analisis statistik (dan ekonometrika) untuk memperoleh temuan-

temuan penelitian (Marczyk et al., 2005). Dengan demikian, pendekatan kuantitatif

menjadi penting dalam penelitian ini, mengingat kemampuannya dalam

mengkuantifikasi kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap pertumbuhan inklusif.

3.2 Definisi Operasional Variabel

Penelitian ini diharapkan dapat diobservasi dan dibuktikan validitasnya oleh

pihak lain. Definisi variabel bukan saja untuk kepentingan observasi dan validitas,

definisi operasional digunakan untuk memberikan pemahaman mengenai batasan

dari variabel dan bagaimana ia berlaku secara operasional (teknis). Oleh karena

itu, penyertaan definisi operasional variabel sangat diperlukan. Adapun variabel

beserta definisi operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1,

di bawah ini:

25

Page 44: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

26

Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Variabel Penelitian

No. Variabel Satuan Definisi Variabel

Variabel Kebijakan Fiskal

1. Belanja pendidikan

(SPE_EDU) %

Rasio belanja pemerintah sektor

pendidikan terhadap PDB

2. Belanja kesehatan

(SPE_HEL) %

Rasio belanja pemerintah sektor

kesehatan terhadap PDB

3. Belanja infrastruktur dasar

(SPE_INF) %

Rasio belanja pemerintah sektor

infrastruktur dasar (mencakup

fungsi perhubungan, perumahan,

dan fasilitas umum) terhadap PDB

4. Penerimaan Pajak (TAX) % Rasio total penerimaan pajak

terhadap PDB

Variabel Pertumbuhan Inklusif

5. Pertumbuhan Ekonomi

(GRO) %

Pertumbuhan PDB Atas Dasar

Harga Konstan (ADHK)

6. Pengangguran (UNE) % Persentase jumlah pengangguran

terhadap jumlah angkatan kerja

7.

Kemiskinan (POV)

%

Persantase penduduk yang berada

di bawah garis kemiskinan

Variabel Dummy

8. Dummy Era Reformasi

(D_REFO) %

1= Era Reformasi

0= Era Orde Baru

Variabel Kontrol

9. Angkatan Kerja (LAB) juta

jiwa

Jumlah penduduk usia kerja (15

tahun dan lebih) yang bekerja, atau

punya pekerjaan namun sementara

tidak bekerja dan pengangguran.

10. Laju Populasi (POP) % Laju pertumbuhan penduduk secara

de facto

11. Share Sektor Pertanian

(AGRI) %

Rasio PDB sektor pertanian

terhadap total PDB

Sumber: Data Diolah oleh Penulis.

Page 45: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

27

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder. Data

sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan dan dicatat sebelumnya baik

oleh lembaga tertentu maupun peneliti lain sehingga peneliti tidak perlu terjun

langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian. Dengan kata lain, data

sekunder memungkinkan peneliti untuk memperoleh data tanpa harus mengambil

langsung dari objek terteliti. Berkenaan dengan hal itu, data sekunder dalam

penelitian ini menjadi relevan sebab data yang digunakan sebagian besar berada

pada level makro. Data pada level ini hanya bisa ditemui melalui publikasi

lembaga tertentu yang kredibel. Tabel 3.2 dibawah ini meringkas data yang

diperlukan dalam penelitian ini.

Tabel 3.2: Data dan Sumber Data

No. Data Sekunder yang Dibutuhkan Sumber Data

1. Data ringkasan APBN Indonesia tahun

1981-2016

Kementerian

KeuanganRI

2. Data PDB Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga

Konstan tahun 1981-2016 World Bank

3. Data pertumbuhan ekonomi riil Indonesia tahun

1981-2016 World Bank

4. Data tingkat pengangguran terbuka Indonesia

tahun 1981-2016

BPS RI dan Trading

Economics

5. Data tingkat kemiskinan dalam P0 atau Head

Count Index Indonesia tahun 1981-2016

World Bank dan Badan

Kebijakan Fiskal

6. Data angkatan kerja tahun 1981-2016 BPS RI

7. Data jumlah populasi penduduk World Bank

8. Share sektor pertanian World Bank

Sumber: Diolah oleh Penulis.

Page 46: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

28

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Uji Stasioneritas

Pengujian stasioneritas data berguna untuk menghindarkan peneliti dari

model ekometrika yang menyesatkan (misleading). Hasil estimasi bisa saja

menunjukkan nilai koefisien determinasi dan derajat signifikansi seluruh variabel

tinggi, namun tidak ada jaminan bahwa hasil estimasi telah secara tepat

menyediakan informasi yang sebenarnya. Secara singkat, data time series dalam

keadaan stasioner, jika secara stokastik data menunjukkan pola variasi (variance)

yang konstan dari waktu ke waktu. Hal ini berarti, tidak ada fluktuasi yang

mencolok pada data yang diobservasi. Stasioneritas data memiliki dua perilaku

(Ekananda, 2016), yakni:

1. Data stasioner pada nilai tengah (mean stationary) yakni fluktuasi data

hanya terjadi di sekitar nilai tengah yang tetap selama waktu observasi.

Jika stasioneritas jenis ini tidak terpenuhi, hal yang dapat ditempuh melalui

pembedaan (differencing) pada tahap tertentu (biasanya hingga second

difference) terhadap data asli sampai dengan kondisi data tersebut

stasioner.

2. Data stasioner pada variansnya (variance stationary) fluktuasi data hanya

terjadi pada varians yang tetap dari waktu ke waktu. Jika stasioneritas jenis

ini tidak terpenuhi, hal yang dapat dilakukan dengan mentransformasi data

asli menjadi logaritma natural atau akar kuadrat.

Selanjutnya, stasioneritas data dapat dilakukan dengan deteksi akar unit (unit

root) melalui prosedur Augmented-Dickey Fuller (ADF) Test. Pengujian data dapat

dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dari uji ADF. Jika probabilitas nilai uji

ADF sgnifikan pada tingkat estimasi kesalahan, maka data time series yang

diobservasi telah stasioner. Jika tidak tercapai stasioneritas pada level, maka uji

Page 47: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

29

ADF dilakukan pada First Difference. Jika data telah stasioner, maka data yang

diobservasi tidak mengandung akar unit atau dalam ekonometrika disebut sebagai

random walk.

3.4.2 Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dimaksudkan untuk menindaklanjuti analisis data time series

dalam keadaan yang tidak stasioner. Secara ekonomi, kedua variabel bisa disebut

terkointegrasi apabila memiliki hubungan jangka panjang, atau keseimbangan

antara keduanya. Dengan demikian, apabila terjadi guncangan dalam

perekonomian, maka dalam jangka panjang terdapat kekuatan yang mendorong

ekonomi untuk kembali ke kondisi keseimbangannya, atau bisa jadi membentuk

keseimbangan baru.

Uji kointegrasi dapat dijelaskan dengan memisahkan variabel Yt dan Xt

masing-masing berintegrasi pada derajat satu, atau kedua variabel dapat

dinotasikan sebagai Yt~I(1) dan Yt~I(1). Adapun model persamaan regresinya dapat

dituliskan dalam persamaan berikut ini:

Yt = β0 + β1+ εt

Dengan estimasi kesalahan ketidakseimbangan dari model regresi:

εt = Yt - β0 - β1

Jika residual kesalahan ketidakseimbangan (εt) stasioner, maka variabel-

variabel pada persamaanregresi tersebut membentuk hubungan kointegrasi.

Sedangkan, kelompok variabel disebut tidak membentuk hubungan kointegrasi jika

residualnya tidak stasioner (Engle dan Grenger, 1987).

Page 48: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

30

3.4.3 Analisis Persamaan Simultan

3.4.3.1 Metode Estimasi Parameter 3SLS

Estimasi model persamaan simultan dapat dilakukan dengan metode

persamaan tunggal dan metode sistem dengan diawali dengan identifikasi

persamaan menggunakan syarat order dan syarat rank. Metode estimasi dengan

persamaan tunggal pada prinsipnya dilakukan secara terpisah pada masing-

masing persamaan di dalam model. Sementara itu, estimasi dengan metode

sistem pada dasarnya dilakukan dengan menempatkan persamaan pada waktu

yang sama dan estimasi dilakukan secara simultan

Estimasi persamaan simultan dengan persamaan tunggal biasanya terdapat

pada metode OLS (Ordinary Least Square), ILS (Indirect Least Square), dan 2SLS

(Two Stage Least Square). Metode OLS mengasumsikan bahwa estimasi

dilakukan dengan meminimumkan jumlah kuadrat galat, sehingga diperoleh

estimasi parameter dengan varian yang terkecil. Metode ILS juga menggunakan

kuadrat terkecil, akan tetapi dilakukan secara tidak langsung. Metode 2SLS

menggunakan kuadrat terkecil dalam dua langkah. Metode OLS digunakan tanpa

perlu mencapai kondisi identifikasi, sedangkan metode ILS digunakan pada

apabila teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan metode 2SLS

digunakan pada kondisi teridentifikasi secara berlebihan (overidentified).

Estimasi persamaan simultan dengan metode sistem biasanya merujuk

kepada metode 3SLS (Three Stage Least Square). Metode 3SLS harus melalui

tiga langkah; (i) langkah pertama, (ii) langkah kedua dengan menggunakan 2SLS,

dan (iii) terakhir, menggunakan SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS

(Generalized Least Square). Metode estimasi 3SLS digunakan karena informasi

variabel endogen dalam model korelasi contemporaneous tidak diperhitungkan

Page 49: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

31

dalam metode persamaan tunggal, sehingga interpretasinya kurang tepat. Jika

dibandingkan dengan model persamaan simultan lainnya, seperti 2SLS yang

bersifat Limited Information, metode 3SLS bersifat Full Information dimana model

persamaan simultan menggunakan seluruh informasi yang ada. Dengan demikian,

metode 3SLS memberikan estimasi yang konsisten dan estimasi yang secara

asimptotik lebih efisien (Hausman, 1974).

3.4.3.2 Spesifikasi Model

Model persamaan simultan yang dibentuk diharapkan mampu menangkap

fenomena kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap pertumbuhan inklusif di

Inonesia. Model dibagi dalam tiga persamaan yaitu (i) persamaan pertumbuhan

ekonomi, (ii) persamaan pengangguran, dan (iii) persamaan kemiskinan. Adapun

model yang dimaksud dapat dituliskan sebagai berikut:

1. Persamaan Pertumbuhan Ekonomi

GROt= α0 + α1 SPE_EDUt + α2 D_REFO*SPE_EDUt+ α3 SPE_HLTt +

α4 D_REFO*SPE_HLTt + α5 SPE_INFt+ α6 TAXt+ α7 LABt+ εt

dimana;

α1, α2, α3, α4, α5, α7 > 0; α6<0.

2. Persamaan Pengangguran

UNEt= β0 + β 1 GROt + β2 SPE_INFt+ α3 D_REFO*SPE_INFt + α4 POPt + μt

dimana;

β 1, β 2, β 3 < 0; β 4 >0.

3. Persamaan Kemiskinan

POVt= γ0 + γ 1 GROt + γ 2 UNEt+ γ 3AGRIt + νt

dimana;

γ 1, γ 3 < 0; γ 2>0

Page 50: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

32

Keterangan:

t = unit waktu

ε = residual persamaan pertumbuhan ekonomi

μ = residual persamaan pengangguran

ν = residual persamaan kemiskinan

α0 = konstanta persamaan pertumbuhan ekonomi

β0 = konstanta persamaan pengangguran

γ0 = konstanta persamaan kemiskinan

α1,… α7 = koefisien persamaan pertumbuhan ekonomi

β1, … β4 = koefisien persamaan pengangguran

γ 1,… γ3 = koefisien persamaan kemiskinan

GRO = pertumbuhan ekonomi

UNE = pengangguran

POV = kemiskinan

SPE_EDU = belanja pendidikan

SPE_HLT = belanja kesehatan

SPE_INF = belanja infrastruktur dasar

TAX = penerimaan pajak

LAB = angkatan kerja

POP = laju populasi

AGRI = share sektor pertanian

D_REFO = 1 untuk Era Reformasi dan 0 untuk Era Orde Baru

3.4.3.3 Identifikasi Model

Gujarati dan Porter (2012) mengungkapkan spesifikasi variabel apa yang

endogen dan eksogen merupakan kebebasan dari pembuat model. Sungguh pun

begitu, pembuat model harus mempertahankan penilaiannya berdasarkan latar

Page 51: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

33

belakang kenyataan atau teori. Koutsoyiannis (1977) menyarankan agar dapat

dilakukan pendugaan parameter, suatu persamaan yang disusun harus

teridentifikasi. Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

K – k > m – 1 Overidentified

K – k = m – 1 Exactly Identified

K ≥ k = m – 1 Underidentified

Dimana:

K = jumlah variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) dalam model,

termasuk intersep

k= jumlah variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) dalam persamaan

yang diestimasi

m= jumlah variabel endogen dalam persamaan yang diestimasi

Variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) hanya variabel endogen

tanpa ada variabel dependen beda kala (lag dependent variabel) di dalam model

Adapun variabel yang sudah ditentukan sejumlah 10 variabel yakni SPE_EDU,

SPE_HLT, SPE_INF, TAX, D_REFO*SPE_EDU, D_REFO*SPE_HLT,

D_REFO*SPE_INF, LAB, POP, AGRI. Sementara itu, variabel endogen di dalam

model terdiri dari 3 variabel, yakni GRO, UNE, dan POV

Lebih lanjut, di alam penelitian ini, hasil uji identifikasi persamaan simultan

menunjukkan bahwa seluruh persamaan dalam kategori overidentified

sebagaimana yang terlihat pada Tabel 3.3

Page 52: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

34

Tabel 3.3: Kondisi Identifikasi Model

Nama Persamaan K k m K-k Tanda m-1 Kondisi Identifikasi

Persamaan Pertumbuhan Ekonomi

13 7 1 6 > 0 Overidentified

Persamaan Pengangguran

13 3 2 10 > 1 Overidentified

Persamaan Kemiskinan

13 1 3 12 > 2 Overidentified

Sumber: Data Diolah oleh Penulis.

3.4.4 Uji t-Statistik

Uji t-statistik digunakan untuk melakukan pengujian dengan tujuan untuk

mengetahui pengaruh signifikan variabel independen terhadap variabel dependen

secara parsial.Hipotesis mengenai uji parsial ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

H0: α1 = 0

H1: α1 ≠ 0

Dalam penelitian ini uji t-statistik yang digunakan dengan melihat Prob. Z

variabel independen secara parsial. Apabila Prob. Z lebih besar daripada tingkat

kesalahan estimasi (α=0.01%, α=0.05, atau α=0.10), maka H0 dapat diterima. Hal

ini berarti variabel indepeden secara parsial tidak memiliki pengaruh signifikan

terhadap variabel dependen. Apabila Prob. Z lebih kecil daripada tingkat

kesalahan estimasi(α=0.01%, α=0.05, atau α=0.10), maka H0 dapat ditolak. Hal ini

berarti variabel indepeden secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap

variabel dependen.

Page 53: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

4.1.1 Dinamika Kebijakan Fiskal Di Indonesia

Pola kebijakan fiskal yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi pengelolaan

belanja dan penerimaan pemerintah yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN). Dari sisi belanja, salah satu upaya yang paling

fundamental dilakukan ialah menggeser belanja konsumtif ke belanja produktif.

Dari sisi penerimaan, pemerintah perlu menggeser sumber penerimaan dari

sumber daya alam ekstraktif ke sumber pendapatan pajak (Nazara, 2016).

Belanja produktif berupa belanja pendidikan, belanja kesehatan, dan belanja

infrastruktur dasar telah mengalami dinamika yang beragam di Indonesia. Selama

periode 1981-2016, belanja infrastruktur dasar dan belanja pendidikan mengambil

proporsi yang lebih besar, sementara belanja kesehatan relatif lebih kecil. Proporsi

belanja kesehatan cenderung persisten di bawah 1% terhadap PDB

Jika didekomposisi menjadi dua era yakni Era Orde Baru (1981-1998) dan

Era Reformasi (1999-2016), proporsi belanja pendidikan, kesehatan dan

infrastruktur dasar lebih besar terjadi di Era Orde Baru. Sebagai contoh, proporsi

belanja pendidikan di Era Orde Baru secara rata-rata mencapai 1,30% terhadap

PDB, sementara di Era Reformasi hanya tercatat sebesar 1,10% terhadap PDB.

Hal yang sama juga terjadi pada belanja kesehatan, dimana di Era Orde Baru

mencapai 0,31 %, sementara di Era Reformasi hanya tercatat sebesar 0,26 %

terhadap PDB. Terakhir, belanja infrastruktur dasar di Era Orde Baru (1,42%

terhadap PDB) masih lebih besar daripada Era Reformasi (1,31% terhadap PDB),

meskipun dalam dua tahun terakhir (2015-2016) mengalami peningkatan yang

berarti.

35

Page 54: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

36

Gambar 4.1: Perkembangan Belanja Pendidikan, Kesehatan dan

Infrastruktur Tahun 1981-2016

Sumber: Data diolah dari Kementerian Keuangan RI dan World Bank, berbagai tahun

Tidak jauh berbeda dengan belanja produktif, kinerja penerimaan pajak di Era

Orde Baru lebih baik daripada Era Reformasi. Di Era Orde Baru, proporsi

penerimaan pajak hampir selalu di atas 15% terhadap PDB sebagaimana kondisi

ideal dan prasyarat minimum jumlah penerimaan pajak di negara berkembang.

Penerimaan pajak di bawah 15 terhadap PDB di Era Reformasi hanya terjadi pada

tahun 1986, 1993, 1995, 1996 dengan proporsi masing-masing sebesar 14,62 %;

14,36 %, 14,96 %, dan 14,23 %. Tren penurunan kinerja penerimaan pajak ini

menimbulkan kehilangan sumber penerimaan yang sangat besar. Bila merujuk

prasyarat minimum penerimaan pajak, selama Era Reformasi, potensi penerimaan

yang tidak tercapai sebesar 54,79% terhadap PDB dengan rata-rata setiap

tahunnya senilai 3,22 persen terhadap PDB.

0

1

2

3

4

5

6

7

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

% d

ari

PD

B

Belanja Pendidikan Belanja Kesehatan Belanja Infrastruktur

Era Orde Baru Era Reformasi

Page 55: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

37

Gambar 4.2: Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 1981-2016

Sumber: Data diolah dari Kementerian Keuangan RI dan World Bank, berbagai tahun.

4.1.2 Dinamika Pertumbuhan Inklusifdi Indonesia

Sejatinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode awal 1980-an lebih

banyak ditentukan oleh dinamika harga minyak di pasar internasional (Arndt dan

Hill, 1988). Pada tahun 1982 misalnya, tekanan harga minyak di pasar global telah

menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari setahun sebelumnya mencapai

8,51 %, kemudian hanya menjadi 1,1%. Meskipun pasca penurunan pertumbuhan

ekonomi ada upaya untuk keluar dari ketergantungan minyak melalui reformasi

struktur ekonomi, akan tetapi volatiltas pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap

berlanjut sampai pada tahun 1987 (Badan Kebijakan Fiskal, 2015).

Reformasi struktur ekonomi baru memberikan manfaat pada tahun 1988.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali pada jalur yang tepat dengan tren

peningkatan pada level tertinggi pada tahun 1989 mencapai 9,08 %. Pada tahun

1992 sampai dengan 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil. Periode

ini kemudian dapat disebut sebagai faseremarkable growth (Badan Kebijakan

Fiskal, 2015).

0

5

10

15

20

25

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

% d

ari

PD

B

Era Orde Baru Era Reformasi

Page 56: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

38

Gambar 4.3: Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1981-2016

Sumber: World Bank, berbagai tahun

Kemudian pada tahun 1997-1998 terjadi pembalikan tajam (sharp reversal)

dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dimana pada tahun 1998 menuju level

terendah sebesar -13,13 %. Dari semua negara yang terimbas krisis keuangan

Asia, kondisi Indonesia relatif lebih buruk dengan masa perbaikan yang lebih lama.

Ketidakstabilan politik dan kelemahan kelembagaan, dikombinasikan dengan

ketegangan internal, ditengarai telah menyebabkan penilaian ulang terkait prospek

Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan yang sangat tinggi. Saat

ketegangan meningkat, beberapa bahkan memprediksi bahwa pertumbuhan

ekonomi Indonesia setelah krisis keuangan Asia tidak akan bertahan dalam

bentuknya semula (Temple, 2001).

Pertumbuhan ekonomi pasca krisis keuangan Asia, tepatnya Era Reformasi,

relatif stabil, meskipun tidak lebih tinggi dari sebelumnya. Selama 2000-2004,

Indonesia pulih perlahan dari krisis keuangan, dengan pertumbuhan ekonomi

Indonesia mencapai rata-rata 4,6% per tahun. Dari tahun 2005 sampai 2011,

pertumbuhan meningkat menjadi rata-rata 6% per tahun didukung oleh pemulihan

-15

-10

-5

0

5

10

15

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

Page 57: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

39

yang kuat pada harga komoditas global, yang memicu periode boom komoditas.

Sejak kembali pada kondisi puncak (peak)pada kuartal kedua tahun 2010,

pertumbuhan ekonomi telah menurun secara stabil menjadi 6,2% di tahun 2011;

6,0% pada tahun 2012; 5,6% pada tahun 2013; dan 5,0% pada tahun 2014.

Perlambatan ini disebabkan oleh turunnya harga komoditas global, kondisi

keuangan global yang fluktuatif, pengetatan fiskal dan moneter, dan terus

melemahnya daya saing Indonesia dalam perekonomian global (Tabor, 2015).

Dinamika yang terjadi pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia cenderung

berjalan asimetris dengan tingkat pengangguran terbuka. Sebagaimana lumrahnya

dalam teori, peningkatan output cenderung dapat memperluas kesempatan kerja

sehingga dapat dikuti dengan penurunan pengangguran terbuka. Bisa dikatakan

bahwa, peningkatan output sudah semestinya direspon dengan penurunan tingkat

pengangguran. Akan tetapi, di Indonesia, tingkat pengangguran terbuka berjalan

dengan polanya sendiri.

Gambar 4.4: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Tahun 1981-2016

Sumber: BPS RI dan Trading Economics, berbagai tahun

0

2

4

6

8

10

12

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

Page 58: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

40

Bukti mengenai pola asimetris antara pertumbuhan dan tingkat pengangguran

dapat ditelusuri pada periode peningkatan pengangguran. Peningkatan

pengangguran terbuka secara drastis terjadi pada tahun 1995 dan 2005. Pada

tahun 1995, tingkat pengangguran terbuka mencapai 7,46 %, padahal di satu sisi,

di tahun yang sama, pertumbuhan ekonomi mencapai fase remarkable growth,

tercatat sebesar 4,80 %. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pada tahun 2005,

dimana tingkat pengangguran terbuka sangat tinggi (tercatat sebesar 11,24%),

justru terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi (mencapai 5,69%) dalam

kecenderungan yang terus meningkat.

Gambar 4.5: Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 1981-2016

Sumber: World Bank (2016)

Dibandingkan dengan tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan relatif dapat

membentuk pola yang lebih teratur. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi

selama periode 1981-1995 diiringi dengan penurunan tingkat kemiskinan. Pada

tahun 1981, tingkat kemiskinan masih berada pada angka 26,85%, berikutnya

hanya tersisa sebesar 12,12% pada tahun 1995. Penigkatan pengangguran pada

tahun periode 1996-1998, mengikuti siklus ekonomi yang turun secara drastis

0

5

10

15

20

25

30

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

Page 59: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

41

sehingga garis kemiskinan baru perlu dihitung kembali agar menjadi dapat

menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Praktis, pada periode setelah krisis

pola penurunan kemiskinan terus terjadi, kecuali pada tahun 2006. Tingkat

kemiskinan yang melonjak selama Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga

barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang

digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya penduduk yang

tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan

banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin (BPS RI, 2007).

4.1.3 Perkembangan Angkatan Kerja di Indonesia

Jumlah angkatan kerja di Indonesia terus mengalami perkembangandengan

laju angkatan kerja yang volatile tetapi cenderung mengarah pada tren penurunan.

Di satu sisi, pada tahun 1981, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 53,37

juta jiwa. Angka tersebut kemudian mengalami peningkatan menjadi 125,44 juta

pada tahun 2016. Di sisi lain, laju angkatan kerja tertinggi terjadi pada tahun 1983

dan 1994 dengan laju masing-masing sebesar 5,79% dan 5,58%, sementara laju

terendah terjadi pada tahun 2011 tercatat senilai 0,12 %.

Gambar 4.6: Perkembangan Angkatan Kerja Tahun 1981-2016

Sumber: Data diolah dari BPS RI, berbagai tahun.

0

1

2

3

4

5

6

7

0

20

40

60

80

100

120

140

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

%

Dala

ju

ta jiw

a

Jumlah Angkatan Kerja Laju Angkatan Kerja

Page 60: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

42

4.1.4 Perkembangan Laju Populasi di Indonesia

Jumlah penduduk di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat.

Pada tahun 1981, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 147,49 juta jiwa.

Kemudian 35 tahun setelahnya, jumlah penduduk di Indonesia tercatat sebesar

261,1 juta jiwa. Jumlah penduduk yang relatif besar telah menempatkan Indonesia

sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar setelah China, India dan

Amerika dengan jumlah penduduk masing-masing negara pada tahun 2016

sebesar 1,379 milliar jiwa, 1,324 milliar jiwa, dan 323,1 juta jiwa.

Meskipun tampak terjadi peningkatan jumlah penduduk yang cukup pesat,

laju populasi mengalami tren penurunan dari waktu ke waktu. Laju populasi yang

menurun di Indonesia disebabkan oleh penurunan angka kelahiran disatu sisi,

penigkatan angka kematian di sisi lain. Dengan kata lain, tren penurunan laju

populasi disebabkan penurunan karena kelahiran lebih cepat daripada penurunan

karena kematian. Sebagai contoh, selama periode 1981-2016, penurunan laju

populasi karena kelahiran sebesar 0,39 % setiap tahunnya, sementara penurunan

karena kematian hanya sebesar 0,08 % setiap tahunnya.

Gambar 4.7: Perkembangan Laju Populasi Tahun 1981-2016

Sumber: Data diolah dari World Bank, berbagai tahun.

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

Page 61: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

43

4.1.5 Perkembangan Peranan Sektor Pertanian di Indonesia

Perkembangan peranan sektor pertanian di Indonesia sangat erat kaitannya

dengan transformasi struktural. Peranan sektor pertanian perlahan tergantikan

oleh sektor industri, bahkan sektor jasa. Indikasi terjadinya tranformasi struktural

bisa dilihat Gambar 4.6, dimana lebih seperempat aktivitas ekonomi bersumber

dari sektor pertanian. Peranan sektor pertanian dalam aktivitas ekonomi kemudian

hanya tersisa sebesar 13,52 % pada tahun. Peranan sektor pertanian tergantikan

oleh sektor industri dan sektor jasa dengan capaian pada tahun 2016 masing-

masing sebesar 40,01 % dan 46,46%.

Gambar 4.8: Peranan Sektor Pertanian dan Sektor Lainnya Tahun 1981-2016

Sumber: Data diolah dari World Bank, berbagai tahun.

Sungguh pun begitu, sektor pertanian tetap memegang peranan penting

terutama sebagai shock absorber pada masa krisis (Daryanto, 1999). Sektor

pertanian sebagai shock absorber terlihat pada dua episode krisis yakni krisis

keuangan Asia dan krisis sub-prime mortgage yang berjangkit ke hampir semua

negara. Pada masa krisis keuangan Asia, peranan sektor pertanian mulai

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Jasa

Page 62: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

44

meningkat yakni 16,09 % pada tahun 1998; 18,08 pada tahun 1999, dan 19,61

pada tahun 2000. Pada masa krisis sub-prime mortgage, sektor industri dan

manufaktur yang lebih terkoneksi dengan pengaruh perkembangan ekonomi

global dengan segera melakukan penyesuaian produksi. Hal yang berbeda terjadi

pada sektor pertanian dimana pada masa krisis, peranannya terhadap aktivitas

ekonomi mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 13,71% pada tahun 2008,

14,48% pada tahun 2009, dan 15,29%

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Uji Stasioneritas

Pada dasarnya, uji stasioneritas menekankan bahwa data yang digunakan

tidak mengandung unit root. Pendeteksian variabel yang mengandung unit root

dapat dilakukan melalui Uji Augmented Dickey-Fuller(ADF), yang sebelumnya

merupakan pengembangan dari Uji Dickey-Fuller. Adapun hipotesis yang disusun

dalam Uji ADFadalah:

H0 : variabel yang diamati mengandung unit root (tidak stasioner)

H1:variabel yang diamati tidak mengandung unit root (stasioner).

Dari hipotesis di atas, H0 diterima apabila nilai signifikansi ADF lebih besar

daripada tingkat estimasi kesalahan (α=0.01%, α=0.05, atau α=0.10). Sementara

itu, H0 ditolak apabila nilai signifikansi ADF lebih kecil daripada tingkat estimasi

kesalahan (α=0.01%, α=0.05, atau α=0.10). Apabila variabel tidak stasioner, maka

perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan meningkatkan derajat integrasi pada

1st Difference.

Ringkasan hasil uji stasioneritas dapat dilihat pada Tabel 4.1 Pada level,

hanya terdapat dua variabel yang berada pada kondisi stasioner yakni variabel

GRO dan SPE_HLT. Dengan kondisi seperti itu, perlu dilakukan uji lebih lanjut

dengan meningkatkan derajat integrasi pada 1st Difference. Pada 1st Difference,

Page 63: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

45

seluruh variabel stasioner, kecuali variabel POP. Dengan kondisi variabel POP

yang tidak stasioner, perlu dilakukan uji kointegrasi.

Tabel 4.1: Ringkasan Hasil Uji Stasoneritas

Null Hypothesis: Unit Root (individual unit root process)

No. Nama Variabel Level 1st Difference

1. GRO *** 0.0016 *** 0.0000

2. UNE 0.1656 *** 0.0015

3. POV 0.6162 *** 0.0002

4. SPE_EDU 0.1908 *** 0.0000

5. SPE_HLT *** 0.0095 * 0.0522

6. SPE_INF 0.3004 *** 0.0000

7. LAB 0.9646 *** 0.0000

8. POP 0.1164 0.9897

9. AGRI 0.5280 ***0.0000

Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.

Sumber: Data Diolah dari EVIEWS9.

4.2.2 Uji Kointegrasi

Meskipun masih ada variabel yang tidak stasioner, uji kointegrasi tetap dapat

dilakukan dengan catatan, variabel yang tidak stasioner bisa terkointegrasi pada

saat dimasukkan ke dalam persamaan (Engle dan Grenger, 1987). Hal ini

kemudian dilengkapkan oleh Ariefianto (2012) bahwa suatu set variabel bisa saja

terdeviasi dari pola ekulibrium namun demikian diharapkan terdapat suatu

mekanisme jangka panjang yang mengembalikan variabel-variabel yang dimaksud

kembali pada pola ekulibriumnya. Pada uji kointegrasi, residual dari setiap

persamaan yang diestimasi harus stasioner pada level.

Page 64: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

46

Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai probabilitas seluruh residual

persamaan lebih kecil daripada tingkat estimasi kesalahan. Dari hasil tersebut,

dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel dalam setiap persamaan terkointegrasi

pada derajat yang sama. Dengan kata lain, variabel independen dan variabel

dependen memiliki hubungan atau keseimbangan jangka panjang

Tabel 4.2: Ringkasan Hasil Uji Kointegrasi

Null Hypothesis: ECT01, ECT02, ECT03 has unit root

No. Nama Persamaan Notasi Residual Singkatan Level

1. Persamaan Pertumbuhan Ekonomi

Ɛt ECT01 *** 0.0009

2. Persamaan Pengangguran

μt ECT02 * 0.0543

3. Persamaan Kemiskinan

νt ECT03 ** 0.0390

Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.

Sumber: Data Diolah dari EVIEWS9

4.2.3 Hasil Estimasi Persamaan Simultan

Setelah melewati uji stasioneritas dan kointegrasi sebagai prosedur dari data

runtut waktu, estimasi melalui persamaan simultan 3SLS dapat dilakukan karena

tidak terdapat indikasi bahwa seluruh model yang diajukan mengarah pada hasil

yang menyesatkan (misleading). Dalam penelitian ini digunakan tiga persamaan

meliputi persamaan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. Hasil

estimasi dapat dijabarkan sebagai berikut:

Page 65: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

47

1. Persamaan Pertumbuhan Ekonomi

Pada persamaan pertumbuhan ekonomi, variabel yang diduga berpengaruh

terhadap pertumbuhan ekonomi (GRO) meliputi belanja pendidikan Era Orde Baru

(SPE_EDU), belanja pendidikan Era Reformasi (D_REFO*SPE_EDU), belanja

kesehatan Era Orde Baru (SPE_HLT), belanja kesehatan Era Reformasi

(D_REFO*SPE_HLT), belanja infrastruktur (SPE_INF), penerimaan pajak (TAX),

dan angkatan kerja (LAB).

Tabel 4.3: Hasil Estimasi Persamaan Pertumbuhan Ekonomi

Variabel Koefisien Standard

Error Z Prob > |Z|

Constanta 32.13659 13.90123 2.31 ** 0.021

SPE_EDU -9.738306 3.525882 -2.76 *** 0.006

D_REFO*SPE_EDU 16.02357 5.040618 3.18 *** 0.001

SPE_HLT 43.50128 14.35849 3.03 *** 0.002

D_REFO*SPE_HLT -45.96653 15.96 -2.88 *** 0.004

SPE_INF 0.7170147 0.5018221 1.43 0.153

TAX -0.6305192 0.4198091 -1.50 0.133

LAB -0.2419183 0.0981728 -2.46 ** 0.014

Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.

Sumber: Data Diolah dari STATA10

Dari hasil estimasi persamaan pertumbuhan ekonomi, dapat disimpulkan

beberapa hal, yakni:

a. Nilai kostanta sebesar 32,14, yang berarti bahwa, tanpa pengaruh

variabel independen, pertumbuhan ekonomi sebesar 32,14 %.

b. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi

adalah variabel belanja pendidikan di Era Orde Baru, belanja pendidikan

Page 66: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

48

di Era Reformasi, belanja kesehatan di Era Orde Baru, belanja kesehatan

di Era Reformasi, dan angkatan kerja.

c. Koefisien belanja pendidikan di Era Orde Baru sebesar -9.74, yang

berarti bahwa setiap peningkatan 1% rasio belanja pendidikan terhadap

PDB di Era Orde Baru, maka akan menurunkan pertumbuhan ekonomi

sebesar 9,74%. Sementara itu, koefisien belanja pendidikan di Era

Reformasi sebesar 16,02, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1%

rasio belanja pendidikan terhadap PDB di Era Reformasi, maka akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar. 6,28%.

d. Koefisien belanja kesehatan di Era Orde Baru sebesar 43,50, yang

berarti bahwa setiap peningkatan 1% rasio belanja kesehatan terhadap

PDB di Era Orde Baru, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi

sebesar 43,50%. Sementara itu, koefisien belanja pendidikan di Era

Reformasi sebesar -45,97, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1%

rasio belanja kesehatan terhadap PDB di Era Reformasi, maka akan

menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,97%.

e. Koefisien angkatan kerja sebesar -0,24, yang berarti bahwa setiap

peningkatan 1 juta angkatan kerja, maka akan menurunkan pertumbuhan

ekonomi sebesar 0.24%.

2. Persamaan Pengangguran

Pada persamaan pengangguran, variabel yang diduga berpengaruh terhadap

pengangguran (UNE) meliputi pertumbuhan ekonomi (GRO), belanja infrastruktur

Era Orde Baru (SPE_INF), belanja infrastruktur Era Reformasi

(D_REFO*SPE_INF), dan laju populasi penduduk (POP). Ringkasan hasil estimasi

dari persamaan pengangguran dapat dilihat dalam Tabel 4.4

Page 67: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

49

Tabel 4.4: Hasil Estimasi Persamaan Pengangguran

Variabel Koefisien Standard

Error Z Prob > |Z|

Constanta 9.882917 1.782762 5.54 *** 0.000

GRO 0.0288351 0.1066375 0.27 * 0.087

SPE_INF -0.4817903 -0.2072119 -2.33 ** 0.020

D_REFO*SPE_INF 2.288119 0.5843848 3.92 *** 0.000

POP -3.165413 1.022364 -3.10 *** 0.002

Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.

Sumber: Data Diolah dari STATA10.

Selanjutnya, dari estimasi persamaan pengangguran, dapat disimpulkan

beberapa hal, yakni:

a. Nilai kostanta sebesar 9,88, yang berarti bahwa, tanpa pengaruh variabel

independen, tingkat pengangguran terbuka sebesar 9.88%.

b. Seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap tingkat

pengangguran terbuka.

c. Nilai koefisien pertumbuhan ekonomi sebesar 0.03%, yang berarti bahwa

setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, maka akan

meningkatkan tingkat pengangguran terbuka sebesar 0,03%.

d. Koefisien belanja infrastruktur dasardi Era Orde Baru sebesar -0.48, yang

berarti bahwa setiap peningkatan 1% rasio belanja infrastruktur dasar

terhadap PDB di Era Orde Baru, maka akan menurunkan tingkat

pengangguran terbuka sebesar 0,48%. Sementara itu, koefisien belanja

infrastruktur dasar di Era Reformasisebesar 2,29, yang berarti bahwa

setiap peningkatan 1% rasio belanja infrastruktur dasarterhadap PDB di

Era Reformasi, maka akan meningkatkan tingkat pengangguran

terbukasebesar 1,81%.

Page 68: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

50

e. Koefisien laju populasi sebesar -3,17, yang berarti bahwa setiap

peningkatan laju populasi sebesar 1% maka akan menurunkan tingkat

pengangguran 3,17 persen.

3. Persamaan Kemiskinan

Pada persamaan kemiskinan, variabel yang diduga berpengaruh terhadap

kemiskinan (POV) meliputi pertumbuhan ekonomi (GRO), pengangguran (UNE),

peranan sektor pertanian (AGRI). Ringkasan hasil dari persamaan pengangguran

dapat dilihat dalam Tabel 4.5

Tabel 4.5: Hasil Estimasi Persamaan Kemiskinan

Variabel Koefisien Standard

Error Z Prob > |Z|

Constanta -17.93572 5.915688 -3.03 *** 0.002

GRO -0.3973441 0.1980764 -2.01 ** 0.045

UNE 1.614326 0.3597585 4.49 *** 0.000

AGRI 1.586353 0.2152436 7.37 *** 0.000

Catatan: * )Sign. 10%, **) Sign. 5% & ***)Sign. 1%.

Sumber: Data Diolah dari STATA10.

Selanjutnya, dari estimasi persamaan kemiskinan, dapat disimpulkan

beberapa hal, yakni:

a. Seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap tingkat

kemiskinan.

b. Koefisien pertumbuhan ekonomi sebesar 0.40%, yang berarti bahwa

setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, maka akan

menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,40%.

Page 69: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

51

c. Koefisien tingkat pengangguran terbuka sebesar 1,61%, yang berarti

bahwa setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, maka

akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 1,61%.

d. Koefisien share sektor pertanian sebesar 1,59%, yang berarti bahwa

setiap peningkatan share sektor terhadap PDB sebesar 1%, maka akan

meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 1,59%.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Pertumbuhan Inklusif: Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi,

Pengangguran dan Kemiskinan.

Pada penelitian ini, pertumbuhan inklusif merujuk kepada konsep yang

ditawarkan oleh Ramos et al. (2013) serta Ali dan Son (2007). Oleh karenanya,

dimensi perluasan peluang ekonomi (new economic opportunity), pembagian

manfaat (benefit-share), dan penigkatan partisipasi (participation) seluruh

masyarakat penting untuk dimasukkan. Ketiga dimensi tersebut terwakilkan

melalui hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan.

4.3.1.1 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung

direspon dengan peningkatan pengangguran. Ada dua kemungkinan yang

menyebabkan fenomena tersebut terjadi. Pertama, kondisi ini sejalan dengan

teori produksi sederhana. Di dalam teori produksi, guncangan teknologi pada titik

tertentu mampu memperluas penyerapan tenaga kerja sebab teknologi yang

digunakan komplementer dengan kebutuhan tenaga kerja. Akan tetapi, guncangan

teknologi selanjutnya dapat menurunkan jumlah kebutuhan tenaga kerja sehingga

meningkatkan pengangguran secara agregat. Guncangan teknologi

Page 70: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

52

semacaminibersifat padat modal (capital intensive). Di Indonesia, ada indikasi

bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung mengarah ke struktur produksi yang

bersifat padat modal (capital intensive).

Kemungkinan pertama ini sejalan dengan penelitian Dartanto (2013). Struktur

ekonomi Indonesia, bagi Dartanto (2013), mengarah ke sektor jasa yang notabene

bersifat padat modal (capital intensive). Sektor jasa yang dimaksud mencakup

sektor keuangan dan telekomunikasi. Kedua sektor ini menciptakan kesempatan

kerja yang lebih sedikit bagi tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang

rendah.Dengan kondisi struktur ekonomi yang padat modal (capital intensive),

sektor jasa mampu tumbuh lebih dari tujuh kali lipat, sementara sektor pertanian

yang notabene padat karya (labour intensive) hanya mampu melipatgandakan

produktivitasnya sebanyak tiga kali.

Kedua, hubungan antarapertumbuhan ekonomi dan pengangguran dalam

kasus Indonesia bisa jadi kompleks(atau bahkan cenderung tidak simetris

sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada gambaran umum tentang tingkat

pengangguran terbuka pada sub-bab 4.1.2). Islam dan Nazara (2000)

menjelaskan kompleksitas hubungan tersebut mengikuti apa yang disebut sebagai

hipotesis “unemployment as luxury”. Sebagai contoh, dengan tidak adanya

tunjangan pengangguran yang memadai di Indonesia, pengangguran selama

masa kontraksi menjadi sebuah “kemewahan” yang hanya bisa dinikmati oleh

mereka yang memiliki pendapatan di luar pekerjaan yang memadai. Dengan

anggapan menjadi penganggur bukan merupakan pilihan yang tepat, tenaga kerja

yang sebelumnya bekerja di sektor-sektor yang terimbas resesi besar pada tahun

1997, kemudian berpindah ke sektor pertanian dan sektor informal daripada tetap

“secara terbuka menganggur”. Fenomena perpindahan tenaga kerja ini dapat

disebut sebagai realokasi tenaga kerja.

Page 71: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

53

4.3.1.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

Temuan dari penelitian ini berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi di

Indonesia yang cenderung direspon dengan penurunan kemiskinan. Dengan kata

lain, peningkatan aktivitas ekonomi telah berpihak kepada kelompok miskin (pro-

poor) tanpa melalui pasar tenaga kerja. Ada dua saluran yang menjelaskan

pertumbuhan ekonomi yang berpihak langsung kepada kelompok miskin (pro-poor

growth) di Indonesia. Pertama, saluran langsung, dimana dampak dari

peningkatan aktivitas ekonomi dapat dirasakan langsung oleh kelompok miskin.

Contoh dari saluran langsungini mencakup peningkatan aktivitas ekonomi pada

sektor infrastruktur dan layanan dasarseperti peningkatan kualitas pendidikan,

layanan kesehatan, perbaikan sanitasi, dan pembangunan jalan pedesaan.

Saluran langsung ini biasanya menyasar kelompok miskin yang memiliki akses

rendah sehingga mereka tidak mampu melakukan perbaikan terhadap tingkat

pendapatannya.

Kedua, pertumbuhan ekonomi yang menurunkan kemiskinan melalui saluran

pasar.Saluran pasar ini biasanya dikaitkan dengan hipotesis Kuznets (1955) yang

menghubungkan antara pendapatan per kapita dan tingkat ketimpangan dalam

distribusi pendapatan. Tidak jauh berbeda dengan hipotesis Kuznets (1955), pada

awalnya peningkatan pendapatan per kapita meningkatkan kemiskinan, pada titik

tertentu terjadi efek rembesan ke bawah yang memungkinkan manfaat yang

diterima kelompok kaya tesebar ke kelompok miskin. Efek rembesan ke bawah

melalui pertumbuhan ekonomi, tidak hanya menempatkan kelompok miskin

mendapat keuntungan dari pertumbuhan pendapatan nominalnya, tetapi juga dari

teknologi produksi yang membuat barang yang mereka konsumsi lebih murah di

pasar, sehingga meningkatkan daya beli mereka. Pada akhirnya, daya beli yang

meningkat di atas garis kemiskinan mampu mengubah status mereka yang miskin.

Page 72: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

54

Dalam kasus Indonesia, pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan

kemiskinan juga telah dikonfirmasi oleh Miranti (2010). Ia menyebutkan bahwa

pertumbuhan ekonomi akan mampu mengurangi kemiskinan jika pemerintah

konsisten mempertahankan distribusi pendapatan yang tidak terlalu timpang atau

berubah secara ekstrem. Efek pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan

kemiskinan bahkan terjadi pada era liberalisasi pertama dengan perubahan yang

cepat (1984-1990), era liberalisasi kedua dengan perubahan yang agak lambat

(1990-1996), dan masa pemulihan dari krisis keuangan Asia (1999-2002).

Pengalaman Indonesia dalam mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang

berpihak kepada kelompok miskin terpapar dalam penelitian Timmer (2004). Di

bandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, Indonesia relatif lebih mampu

mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada kelompok miskin

dalam jangka waktu yang lama. Ada tiga faktor kunci yang berkontribusi dalam

perwujudan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada kelompok miskin di

Indonesia, yakni peningkatan kapabilitas kelompok miskin, biaya transaksi yang

rendah antara areal pedesaaan dan perkotaan, serta peningkatan permintaan

barang dan jasa yang diproduksi oleh kelompok miskin.

Temuan dari penelitian ini juga dikuatkan oleh Sumner dan Edward (2014).

Sumner dan Edward (2014) bahkan menyimpulkan dengan kalimat yang lebih

tegas. Menurut mereka, Indonesia telah mampu meningkatkan rata-rata

pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat diikuti dengan

pengurangan kemiskinan yang ekstrem. Indonesia dalam temuannya, tidak hanya

sekadar mampu keluar dari kemiskinan, Indonesia bahkan memiliki potensi

menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2025 dan mengakhiri

kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan 1,25 dan 2 dollar AS per hari pada

tahun 2030.

Page 73: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

55

4.3.1.3 Hubungan Pengangguran dan Kemiskinan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran direspon

oleh peningkatan kemiskinan. Secara teoritis, hubungan ini dapat ditelusuri melalui

peran pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran yang secara keseluruhan lebih

tinggi akan mempengaruhi jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan.

Mayoritas rumah tangga di negara berkembang mengandalkan pendapatan dari

pasar tenaga kerja, sehingga apabila terjadi peningkatan pengangguran, maka

dapat menggerus pendapatan yang cukup besar dari rumah tangga bersangkutan

(Powers, 1995).

Temuan di dalam penelitian ini harus diinterpretasikan secara hati-hati, sebab

tidak semua yang menganggur dikategorikan miskin. Lebih lanjut, kelompok miskin

dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok miskin yang menganggur

(unemployed poor) dan kelompok miskin yang bekerja (working poor).Kelompok

miskin yang menganggur telah dianggap lazim, sementara isu kritis yang masih

menjadi pertanyaan, mengapa mereka miskin walaupun telah bekerja. Pertanyaan

ini mengerucut pada dua jawaban: (i) orang miskin yang dimaksud berada dalam

status setengah menganggur (underemployment), dan (ii) tingkat pengembalian

yang didapatkan rendah (low return to labour). Dengan demikian, kuantitas dan

kualitas pekerjaan sangat menentukan apakah pekerjaan akan mengarah kepada

pengurangan kemiskinan atau tidak sama sekali (Saleh, 2012).

4.3.1.4 Inklusivitas Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Pertumbuhan inklusif di Indonesia dapat dijelaskan melalui dua jalur, yakni:

(i) dampak pertumbuhan ekonomi secara langsung (direct effect) terhadap

kemiskinan, dan (ii) dampak pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung (indirect

effect) melalui pengangguran terhadap kemiskinan(Lihat Gambar 4.9).

Page 74: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

56

Gambar 4.9: Flow Chart Pertumbuhan Inklusif di Indonesia

Sumber: Ilustrasi Penulis.

Adapun uraian mengenai inklusivitas pada dua jalur tersebut, dapat

dijabarkan sebagai berikut:

i. Dampak pertumbuhan ekonomi secara langsung (direct effect) terhadap

kemiskinan;

Dampak pertumbuhan ekonomi secara langsung dapat menurunkan

kemiskinan. Pada jalur ini, pertumbuhan ekonomi berada pada track yang

benar dalam mewujudkan pertumbuhan inklusif. Peningkatan aktivitas

ekonomi tanpa melalui pasar tenaga kerja di Indonesia mengindikasikan

bahwa peningkatan pendapatan yang mampu menurunkan kemiskinan bisa

bersumber dari self-employee. Adanya self-employee ini diindikasikan oleh

tumbuhnya industri kecil menengah (IKM) yang mampu menjadi solusi

peningkatan pendapatan kelompok miskin bahkan saat periode krisis.

Peranan pemerintah pada titik ini, diarahkan guna mempercepat terwujudnya

pertumbuhan inklusif melalui perbaikan lingkungan bisnis (business

environment) yang memampukan tumbuhnya usaha baru dan merevitalisasi

IKM yang sebelumnya telah berkembang.

Pertumbuhan

Ekonomi

(GRO)

Pengangguran

(UNE)

Kemiskinan

(POV) (+) (+)

(-)

Page 75: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

57

ii. Dampak pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung (indirect effect)

melalui pengangguran terhadap kemiskinan;

Dari hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan

kemiskinan, hanya satu hubungan yang tidak sesuai dengan dugaan peneliti

yakni dampak pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran. Secara

normal, pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat menurunkan

pengangguran. Namun dalam penelitian ini, hubungan yang berbeda

didapatkan, dimana pertumbuhan ekonomi kemudian direspon oleh

peningkatan pengangguran. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi melalui

pengangguran direspon oleh peningkatan kemiskinan sebab efek total (efek

pertumbuhan terhadap pengangguran dan efek pengangguran terhadap

kemiskinan) bernilai positif. Oleh karena itu, pada jalur ini, pertumbuhan

ekonomi yang tercipta masih belum memenuhi syarat pertumbuhan inklusif.

Upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah dapat berupa peningkatan

produktivitas tenaga kerja. Peningkatan produktivitas tenaga kerja ini bisa

dilakukan dengan meningkatkan kapasitas individu agar dapat menjadi input

yang berguna bagi peningkatan produksi.

Dua jalur yang telah disebutkan sebelumnya mengarahkan pada

sebuah kesimpulan. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi melalui pasar tenaga

kerja memang belum mampu mengurangi kemiskinan. Di sisi lain,

pertumbuhan ekonomi secara langsung dapat mengurangi kemiskinan. Hal

ini mencerminkan bahwa meskipun pertumbuhan inklusif masih belum

sepenuhnya terwujud, akan tetapi track untuk menuju pertumbuhan inklusif

sangat dimungkinkan, dengan catatan produktivitas tenaga kerja di Indonesia

dapat ditingkatkan.Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan telah

mengalami fase transisi menuju pertumbuhan yang inklusif.

Page 76: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

58

4.3.2 Faktor-Faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan

Inklusif di Indonesia

Dalam penelitian ini, terdapat tiga faktor-faktor lain di luar kebijakan fiskal

yang mempengaruhi pertumbuhan inklusif di Indonesia. Adapun faktor-faktor yang

dimaksud yakni angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, laju populasi

terhadap pengangguran, dan peranan sektor pertanian terhadap kemiskinan.

Faktor-faktor ini diharapkan dapat mengakomodir fenomena di luar kebijakan fiskal

agar menggambarkan kondisi pertumbuhan inklusif yang sesungguhnya.

Pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa angkatan kerja direspon

dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam fungsi produksi,

tenaga kerja bersama dengan akumulasi modal, menjadi determinan utama dalam

menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, ada indikasi bahwa

kualitas tenaga kerja (termasuk produktivitasnya) di Indonesia masih menjadi

faktor penghambat (constraint) dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang

tinggi.

Argumen tentang lemahnya kualitas tenaga kerja di Indonesia dapat ditelaah

dalam studi Allen (2016). Ia menyebutkan bahwa peningkatan investasi di bidang

pendidikan telah memperluas jumlah pekerja berpendidikan, meskipun, investasi

ini belum menghasilkan keuntungan besar dalam produktivitas tenaga kerja.

Pekerja berkualitas rendah masih mengisi banyak posisi, dengan kekurangan

keterampilan merupakan tantangan yang terus berlanjut. Akses terhadap peluang

up-skilling dan re-skilling muncul, namun, menunjukkan bahwa tanpa investasi

dalam pendidikan dan pelatihan yang berkualitas, akses terhadap kualitas

pekerjaan dan mobilitas karir sangat terbatas.

Page 77: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

59

Kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa laju populasi direspon dengan

penurunan pengangguran. Temuan ini menarik karena dalam kondisi yang normal,

laju populasi semestinya cenderung meningkatkan pengangguran sebab jumlah

angkatan kerja menjadi semakin bertambah. Oleh karenanya, temuan ini dapat

diartikan bahwa laju penurunan populasi lebih memiliki pengaruh dalam

mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Temuan ini perlu diinterpretasikan

secara hati-hati. Temuan ini bukan berarti mengindikasikan bahwa laju penciptaan

lapangan kerja dapat mengimbangi bertambahnya jumlah populasi. Lebih lanjut,

temuan ini mengarah pada pengangguran terselubung dimana populasi penduduk

terakomodasi dalam pasar tenaga kerja bukan karena keterampilan atau

produktivitas yang tinggi akan tetapi lebih kepada upah yang murah, hasil dari

keberlimpahan populasi.

Ketiga,hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian

direspon dengan peningkatan kemiskinan. Dengan logika yang terbalik, hasil ini

dapat diinterpretasikan bahwa penurunan peranan sektor pertanian akan

menurunkan kemiskinan. Oleh karena itu, pencapaian di sektor pertanian tidak

selalu diartikan mampu mengurangi kemiskinan. Hal ini terjadi bukan hanya di

Indonesia. Negara-negara berkembang seperti Brazil dan Bolivia dapat dijadikan

contoh konkret, dimana sektor pertanian tumbuh terkosentrasi pada komoditas

yang berorientasi ekspor. Komoditas yang berorientasi ekspor ini cenderung pada

usaha tani yang padat modal. Oleh karenanya, pekerja di sektor pertanian

menurun, dan beralih ke sektor lainnya, seperti ke sektor industri dan jasa, yang

memberikan tingkat upah yang lebih tinggi, sementara mereka yang tetap bekerja

di sektor pertanian tetap dalam kondisi yang sama, tetap berada di bawah garis

kemiskinan (World Bank, 2008).

Page 78: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

60

4.3.3 Kebijakan Fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi dan Implikasinya

terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia

Konsep pertumbuhan inklusif menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai

aspek penting dalam mempromosikan pengurangan pengangguran dan

pengentasan kemiskinan. Dalam penelitian ini, kebijakan fiskal dari sisi belanja

yang dianggap mampu mendorong pertumbuhan ekonomi mencakup belanja

pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, seturut dengan indikator belanja yang

digunakan oleh Santosa (2013) dan Hur (2014). Sementara itu, kebijakan fiskal

dari penerimaan mencakup penerimaan pajak merujuk pada Engen dan Skinner

(1992).Selain itu, khusus untuk belanja infrastruktur, dianggap berdampak

terhadap pengurangan pengangguran. Pada sub-bab ini akan dijelaskan hasil

penelitian terkait kebijakan fiskal dan implikasinya terhadap pertumbuhan inklusif

di Indonesia baik di Era Orde Baru maupun Era Reformasi.

4.3.3.1 Hubungan Belanja Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi

Hasil penelitian ini menunjukkan belanja pendidikan di Era Orde Baru

direspon dengan penurunan pertumbuhan ekonomi, sementara di Era Reformasi,

belanja pendidikan direspon dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini

mengindikasikan bahwa pada Era Reformasi, kepekaan anggaran terhadap

perbaikan kualitas pendidikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi (engine of

growth) lebih tinggi dibandingkan Era Orde Baru. Kepekaan terhadap kualitas

pendidikan ini dapat dilihat melalui perkembangan Human Capital Index(HCI)yang

menggunakan komponen lama sekolah (Barro dan Lee, 2013) dan return yang

diterima sebagai hasil dari investasi pendidikan (Psacharopoulos,1994). HCIdi Era

Orde Baru hanya tercatat sebesar 1,864 angka indeks, sementara di Era

Reformasi, HCI yang dicapai sebesar 2,323 (lihat Gambar 4.10) . Artinya, kualitas

pendidikan di Era Reformasi lebih baik dan dapat menjadi engine of growth.

Page 79: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

61

Gambar 4.10: Human Capital Index (HCI) pada Era Orde Baru dan Reformasi

Sumber: Data diolah dari University of Groningen danUniversity of California(2017).

Karakter belanja pendidikan di Era Reformasi tidak jauh berbeda dengan

negara-negara Asia lainnya. Menurut Mallick et al. (2016), belanja pendidikan

merupakan salah satu investasi yang dapat menghasilkan tenaga kerja terampil

dan produktif sehingga akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan

perbaikan tingkat output. Dengan demikian, belanja pendidikan di berbagai negara

Asia dapat menjadi faktor yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi.

Pengeluaran untuk pendidikan dapat menciptakan sumber daya manusia yang

lebih baik yang dapat mengakomodasi penggunaan teknologi modern dalam

proses produksi dengan meminimalkan biaya adopsi teknologi yang besar.

Kepekaan anggaran terhadap perbaikan kualitas pendidikan di Era Reformasi

ini juga tidak terlepas dari status belanja pendidikan sebagai mandatory spending.

Mandatory spending ini mencakup hak-hak setiap warga negara untuk

memperoleh akses pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Mandatory spending

dalam belanja pendidikan mencakup dana pendidikan selain gaji pendidik dan

biaya pendidikan kedinasan yang dialokasikan minimal 20% dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

1.598

2.417

1.894 2.323 2.319

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1981 1986 1991 1996 2001 2006 2011 2016

Dala

m A

ng

ka I

nd

eks

Era Orde Baru Era Reformasi

Page 80: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

62

4.3.3.2 Hubungan Belanja Kesehatan dan Pertumbuhan Ekonomi

Hasil penelitian ini menunjukkan belanja kesehatan di Era Orde Baru direspon

dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, sementara di Era Reformasi, belanja

kesehatan direspon dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini

mengindikasikan bahwa sistem kesehatan nasional di Era Orde Baru lebih efektif

mengingat sistem yang digunakan lebih terintegrasi. Santosa (2013)

mencontohkan dalam kasus di Jawa Timur, penyediaan barang publik (termasuk

layanan kesehatan) bisa jadi tidak efisien di Era Reformasi. Ada tiga alasan yang

mendasari ketidakefisienan tersebut, yakni: (i) gagalnya pemerintah

mengidentifikasi barang publik yang dibutuhkan oleh masyarakat; (ii) gagalnya

pemerintah mengenali adanya efek eksternalitas atau benefit-spillover; dan (iii)

gagalnya pemerintah mengidentifikasi barang pubik yang membutuhkan skala

ekonomi tertentu.

Lebih lanjut, Piet (2003) mencatat keberhasilan program kesehatan di Era

Orde Baru melalui program keluarga berencana (family planning). Piet (2003)

menyebutkan bahwa program keluarga berencana di Era Orde Baru dikenal luas

sebagai salah satu program yang berhasil di dunia. Pada tahun 1965-1970

misalnya, tingkat kesuburan sebesar 5,6 kelahiran per perempuan setiap tahun,

kemudian menjadi 3,4 kelahiran per perempuan setiap tahun pada 1985-1990.

Program kesehatan pada Era Orde Barumampu meningkatkan harapan hidup dari

47 tahun (1966) menjadi 67 tahun (1997) dan memotong angka kematian bayi

lebih dari 60%.

Selain program keluarga berencana, Kaputra (2013) menyebutkan bahwa

Puskesmas dan Posyandu telah mampu menjangkau masyarakat desa sehingga

program kesehatan dapat berjalan secara berkesinambungan. Sebagai contoh,

penempatan bidan di desa memiliki fungsi untuk mendidik kalangan penduduk

desa sendiri sebagai kader-kader kesehatan dalam kegiatan rutin Posyandu.

Page 81: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

63

Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang kesinambungan program

kesehatan di Era Orde Baru karena melibatkan partisipasi masyarakat dan

berorientasi pada pemberdayaan.

4.3.3.3 Hubungan Belanja Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi

Hasil penelitian ini menunjukkan belanja infrastruktur baik di Era Orde Baru

maupun di Era Reformasi tidak memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Fenomena ini bisa dijelaskan dengan dua argumen. Pertama, peningkatan belanja

infrastruktur memang tidak dirasakan langsung pada saat infrastruktur tersebut

dibangun. Peningkatan belanja infrastruktur pada saat itu, paling tidak, hanya

diarahkan untuk mencapai tingkat output yang sama, atau mencegah belanja

infrastruktur berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, kenaikan stok dan penurunan rata-rata usia infrastruktur

bertepatan dengan periode peningkatan belanja tahunan infrastruktur pemerintah

yang cukup besar. Pengeluaran untuk infrastruktur dapat mencakup pengeluaran

untuk memperoleh aset infrastruktur baru atau untuk meningkatkan dan/atau

memperbaiki infrastruktur yang ada. Namun, pengeluaran tahunan tidak termasuk

biaya pemeliharaan infrastruktur yang ada. Dengan demikian, peningkatan belanja

infrastruktur tidak memiliki dampak atau netral terhadap pertumbuhan ekonomi

(Lammam dan MacIntyre, 2017)

4.3.3.4 Hubungan Penerimaan Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi

Hasil penelitian ini menunjukkan penerimaan pajak baik di Era Orde Baru

maupun di Era Reformasi tidak memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Temuan ini menarik, mengingat bahwa secara gradual, Indonesia telah melewati

berbagai rangkaian reformasi perpajakan masing-masing pada tahun 1983, 1994,

2000, dan 2004-2005 (Suhardjito, tt). Oleh karenanya, penerimaan pajak yang

Page 82: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

64

tidak berdampak ini mesti dimaknai secara hati-hati. Temuan ini bukan berarti

mengkonfirmasi bahwa reformasi sistem perpajakan di Indonesia telah mengarah

pada good tax policy, meminjam istilah Hamid (2002), dimana pajak bersifat netral

dan tidak memberikan distorsi terhadap aktivitas ekonomi.

Penerimaan pajak yang tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi ini

lebih disebabkan oleh proses bisnis yang tidak banyak berubah (business as

usual) meskipun telah dilakukan reformasi perpajakan berulangkali. Effendi (2016)

menyatakan bahwa, dengan proses bisnis yang hampir sama, terdapat

kemungkinan penerimaan pajak tidak akan selalu terpenuhi dalam beberapa tahun

ke depan. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa penerimaan pajak selama

periode 1981-2016, tidak mendistorsi perekonomian, tetapi tidak pula menjadi

tulang punggung dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

4.3.3.5 Hubungan Belanja Infrastruktur dan Pengangguran

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belanja infrastruktur di Era Orde Baru

direspon dengan penurunan pengangguran, sementara di Era Reformasi, belanja

infrastruktur direspon dengan peningkatan pengangguran. Hal ini mengindikasikan

bahwa belanja infrastruktur di Era Orde Baru lebih bersifat labour intensive, jika

dibandingkan dengan Era Reformasi. Hal ini sangat beralasan sebab aktivitas

ekonomi dan sektor produksi di Era Orde Baru diarahkan guna mencapai jalur

pertumbuhan berbasis labour intensive (Hill, 2000). Oleh karenanya, bukan hanya

sektor industri, investasi pemerintah diarahkan pada pembangunan infrastruktur,

terutama pembangunan jaringan jalan (Hill dan Narjoko, 2010; Ricklefs, 2001),

yang notabene mampu menyerap tenaga kerja dalam skala yang cukup besar.

Proyek-proyek yang bersifat labour intensive inilah yang membedakan dampak

belanja infrastruktur di Era Orde Baru, jika dibandingkan dengan Era Reformasi.

Page 83: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

65

4.3.3.6 Implikasi Belanja dan Penerimaan Negara terhadap Pertumbuhan

Inklusif di Indonesia

Kebijakan fiskal yang memilki dampak terhadap pertumbuhan inklusif yakni

belanja pendidikan dan kesehatan pada pertumbuhan ekonomi, serta belanja

infrastruktur pada pengangguran. Kebijakan fiskal yang tidak memiliki dampak

terhadap pertumbuhan inklusif yakni penerimaan pajak. Kebijakan fiskal dan

dampaknya terhada pertumbuhan inklusif diilustrasikan pada Gambar 4.11

Gambar 4.11: Flow Chart Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Inklusif

di Indonesia

Sumber: Ilustrasi Penulis.

Pertumbuhan

Ekonomi

(GRO)

Pengangguran

(UNE)

Kemiskinan

(POV)

Penerimaan

Pajak(TAX)

Belanja

Pendidikan

(SPE_EDU)

Belanja

Kesehatan

(SPE_HLT)

Belanja

Infrastruktur

(SPE_INF)

ORBA (-)

REFO (+)

ORBA(+)

REFO (-)

ORBA(-)

REFO (+)

(+) (+)

Keterangan

ORBA : Singkatan dari Era Orde Baru memiliki dampak

REFO : Singkatan dari Era Reformasi tidak memiliki dampak

Page 84: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

66

Lebih lanjut, kebijakan fiskal memiliki karakter yang berbeda baik di Era Orde

Baru maupun di Era Reformasi. Era Orde Baru bertumpu pada belanja kesehatan,

sementara Era Refromasi mengandalkan belanja pendidikan dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi. Dari perbedaan tersebut, strategi kebijakan yang ditempuh

berbeda pula. Ke depan, belanja kesehatan dengan merujuk pengalaman Era

Orde Baru, di desain dalam sebuah sistem kesehatan yang terintegrasi dengan

mempertimbangkan eksternalitas dan skala ekonominya. Sementara itu, belanja

pendidikan harus terus diefektifkan dengan mempertahankan peningkatan belanja

pendidikan lebih tinggi daripada perubahan harga (inflasi). Lebih lanjut, belanja

infrastruktur menjadi solusi bagi penurunan pengangguran merujuk pada

pengalaman Orde Baru, oleh karenanya, pada pasar tenaga kerja, peranan

pemerintah dalam menciptakan proyek-proyek yang bersifat unskilled labour-

intensive masih sangat diperlukan dalam jangka menengah. Implikasi kebijakan

fiskal baik di Era Orde Baru maupun di Reformasi terhadap pertumbuhan inklusif

di Indonesia.

Page 85: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

67

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan temuan penelitian sebelumnya, dapat ditarik beberapa

kesimpulan antara lain:

1. Dampak pertumbuhan ekonomi secara langsung (direct effect) dapat

menurunkan kemiskinan, sementara dampak pertumbuhan ekonomi

secara tidak langsung (indirect effect) melalui pengangguran belum

mampu menurunkan kemiskinan. Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi

di Indonesia masih belum dapat dikatakan inklusif; dan,

2. Kebijakan fiskal Era Orde Baru dan Era Reformasi memiliki implikasi

yang berbeda terhadap pertumbuhan inklusif di Indonesia. Peningkatan

pertumbuhan ekonomi bersumber dari belanja kesehatan di Era Orde

Baru dan belanja pendidikan di Era Reformasi. Sementara itu, penurunan

pengangguran berasal dari belanja infrastruktur di Era Orde Baru.

5.2. Saran dan Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan sebelumnya, ada beberapa saran dan rekomendasi

kebijakan yang diajukan oleh peneliti guna mempercepat pertumbuhan inklusif di

Indonesia. Adapun saran yang dimakud antara lain:

1. Perbaikan lingkungan bisnis (business environment) yang memampukan

tumbuhnya usaha baru dan merevitalisasi industri kecil menengah (IKM)

yang sebelumnya telah berkembang;

2. Peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan kapasitas

setiap masyarakat agar menjadi input yang berguna bagi produksi;

67

Page 86: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

68

3. Belanja pendidikan harus terus diefektifkan dengan mempertahankan

peningkatan belanja pendidikan lebih tinggi daripada perubahan harga

(inflasi);

4. Belanja kesehatan di desain dalam sebuah sistem dan layanan

kesehatan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan permintaan

barang publik terkait, eksternalitas dan skala ekonominya; dan,

5. Peran pemerintah terutama dalam menciptakan proyek-proyek yang

bersifat unskilled labour-intensive masih sangat diperlukan dalam jangka

menengah.

Page 87: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

69

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ifzal., &Hyun H. Son. 2007. Defining and Measuring Inclusive Growth: Application to The Philippines . ERD Working Paper Series No.98.

Allen, Emma. R. 2016. Analysis of Trends and Challenges in the Indonesian Labor Market.ADB Papers on Indonesia No. 16. Manila: Asian Development.

Altunc, O. Faruk., &Celil Aydın.2013. The Relationship between Optimal Size of Government and Economic Growth: Empirical Evidence from Turkey, Romania and Bulgaria. Procedia-Social and Behavioral Sciences92, 66-75.

Anderson, Steve., et al.tt. Inclusive Growth Diagnostic For Indonesia. AUSAID.

Angelsen, Arild., &Sven Wunder. 2006. Poverty and Inequality: Economic Growth is Better than Its Reputation. Poverty, Politics and Development: Interdisciplinary Perspectives.

Aoyagi, Chie., &Giovanni Ganelli. 2015. Asia's Quest for Inclusive Growth Revisited. Journal of Asian Economics, 40, 29-46.

Ariefianto, Moch.Doddy. 2012. Ekonometrika: Esensi dan Aplikasi dengan Menggunakan EViews. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Arndt, Heinz Wolfgang., &Hal Hill. 1988. The Indonesian Economy: Structural Adjustment after the Oil Boom. Southeast Asian Affairs, 106-119. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/2791195.July 24, 2017..

Badan Kebijakan Fiskal. 2015. Economic Challenges Lead to Budget Reforms. Dalam Seminar Budget Reform to Support Inclusive Growth, Jakarta, 12 September 2015.

Barro, Robert. J., &Jong-Wha Lee. 2013. A New Data Set Of Educational Attainment in the World, 1950–2010. Journal of Development Economics, 104, 184-198.

Besley, Timothy., &Torsten Persson. 2014. Why Do Developing Countries Tax So Little?. Journal of Economic Perspectives, 28 (4).99-120. ISSN 0895-3309.

Biswas, Arindam. 2016. Insight on the Evolution and Distinction of Inclusive

Growth. Development in Practice, 26(4), 503-516.

BPS RI. 2007. Tingkat Kemiskinan Tahun 2007. Berita Resmi Statistik, No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007. Diakses dari http://dds.bps.go.id/brs_file/ kemiskinan-02juli07.pdf pada 28 Juli 2017.

Cox, Michael. W., &Richard Alm. 2008. Myths of Rich and Poor: Why We're Better Off Than We Think. Basic Books.

Dartanto, Teguh. 2013. Why is Growth Less Inclusive in Indonesia?. MPRA Paper No. 65136.

Page 88: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

70

Daryanto, Arief. 1999. Indonesia’s Crisis and the Agricultural Sector the Relevance of Agricultural Demand-Led Industrialisation. Insititute Pertanian Bogor.

David, Antonio., &Martin Petri. 2013. Inclusive Growth and the Inciedence of Fiscal Policy in Mauritius: Much Progress, But More Could Be Done. IMF Working Paper 13 (116), 1-27.

Department for International Development. 2015.Growth-Building Jobs and Prosperity in Developing Countries. London: DFID.Retrieved from http://www.oecd.org/derec/unitedkingdom/40700982.pdf, July 24, 2017.

Dollar, David, &Aart Kraay. 2002. Growth is Good for the Poor. Journal of Economic Growth, 7(3), 195-225.

Effendi, Yuventus. 2016. Adopsi Teori Pertumbuhan untuk Menjamin Penerimaan Pajak yang Berkelanjutan. Dalam Amir, H., & Hastiadi, F.F. (ed.), Dinamika Kebijakan Fiskal: Merespons Ketidakpastian Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ekananda, Mahyus. 2016. Analisis Ekonometrika Time Series Edisi 2. Mitra Wacana Media.

Engen, Eric M., &Jonathan Skinner. 1992. Fiscal Policy and Economic Growth. NBER Working Paper (4223), 1-44.

Engle, Robert F., &Clive W.J. Grenger. 1987. Cointegration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing. Econometrica, 55(22): 251-276.

Estrada, Gemma Bolotaulo., et al. 2014. Fiscal Policy for Inclusive Growth: An Overview. ADB Economics Working Paper Series (423), 1-24.

Gujarati, Damodar N.,&David C.Porter.2012. Dasar–dasar Ekonometrika. Jakarta: Salemba Empat.

Hadi, Syamsul. 2012. Inclusive Growth in Indonesia: Myth or Reality?. East Asian Policy, 4(67).

Hagenaars, Aldi J., &Bernard Praag. 1985. A Synthesis of Poverty Line Definitions. Review of Income and Wealth, 31(2), 139-154.

Hamid, Edi Suandi. 2002. Hukum Pajak, Edisi kedua (revisi). Jakarta: Salemba Empat.

Hausman, Jerry. A. 1974. Full Information Instrumental Variables Estimation of Simultaneous Equations Eystems. In Annals of Economic and Social Measurement, 3(4), 641-652

Heshmati, Almas., et al. 2014. Fiscal Policy and Inclusive Growth in Advanced Countries: Their Experience and Implications for Asia. ADB Economics Working Paper Series (422), 1-17.

Page 89: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

71

Higgins, Sean., &Claudiney Pereira. 2014. The Effects Of Brazil’s Taxation and Social Spending on The Distribution of Household Income. Public Finance Review, 42(3), 346-367.

Hill, Hal. 2000. The Indonesian Economy. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.

Hill, Hal, & Dionisius Narjoko. 2010. Managing Industrialisation in a Globalising Economy: Lessons from the Soeharto Era. Soeharto’s New Order and its Legacy, 49.

Hur, Seok-Kyun. 2014. Government Spending and Inclusive Growth in Developing Asia.Asian Development Bank Economics Working Paper Series No. 415.

Hyman, David. N. 2011. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy. Cengage Learning.

Ianchovichina , Elena., &Susanna Lundstrom. 2009. Inclusive Growth Analytics: Framework and Application. Policy Working Paper No. 4851.

Islam, Iyanatul., &Suahazil Nazara.2000. Estimating Employment Elasticiy for the Indonesian Economy. Jakarta, Indonesia: International Labour Office.

Ismail, Munawar., et al. 2014. Sistem Ekonomi Indonesia: Tafsir Pancasila dan UUD 1945. Penerbit Erlangga.

Kaputra, Iswan 2013. Pemberdayaan Masyarakat Era Otonomi Daerah. DalamSimanjuntak, B.A. (ed.) Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Kementerian Keuangan RI. Nota Keuangan, berbagai tahun. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.

Klasen, Stephen. 2010. Measuring And Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions, Open Questions, And Some Constructive Proposals. Asian Development Bank.

Kolawole, Bashir Olayinka. 2016. Government Spending and Inclusive-Growth Relationship in Nigeria: An Empirical Investigation. Zagreb International Review of Economics and Business, 19(2), 33-56.

Koutsoyiannis, Anna. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Me thods 2nd Edition. London: The Macmillan Press Ltd.

Kuznets, Simon. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review 45 (1), 1-25.

Lammam, Charles, &Hugh MacIntyre. 2017. Myths of Infrastructure Spending in Canada.Canada: Fraser Institute.

Le, Minh Son. et al. 2014. Economic Growth and Poverty in Vietnam: Evidence from Elasticity Approach. Griffith Business School Discussion Paper Economics No.2014-01.

Page 90: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

72

Lee, Sang-Hyop., &Donghyun Park. 2014. Fiscal Policy and Inclusive Growth in Latin America: Lesson for Asia. ADB Economics Working Paper Series (408), 1-19.

Mallick, Lingaraj., et al. 2016. Impact of Educational Expenditure on Economic Growth in Major Asian Countries: Evidence from Econometric Analysis. Theoretical & Applied Economics, 23(2).

Maloney, William F. 2004. Informality Revisited. World development, 32(7), 1159-1178.

Marczyk, Geoffrey., et al. 2005. Essentials of Research Design and Methodology. New Jersey: John Wiley & Sons.

Mckinley, Terry. 2010. Inclusive Growth Criteria and Indicators: An Inclusive Growth Index for Diagnosis of Country Progress. Asian Development Bank.

Miranti, Riyana. 2010. Poverty in Indonesia 1984-2002: The Impact of Growth and Changes in Inequality. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 46(1), 79-97.

Mulok, Dullah., et al. 2012. Is Economic Growth Sufficient for Poverty Alleviation? Empirical evidence from Malaysia. Cuadernos de economía, 35(97), 26-32.

Musgrave, Richard.A., &Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance: In Theory and Practice. New York: Mc-Graw-Hill International.

Nallari, Raj, &Breda Griffith. 2011. Understanding Growth and Poverty: Theory, Policy, and World Bank. Retrieved from https://openknowledge. worldbank.org/handle/ 10986/2281, July 24, 2017.

Nazara, Suahazil. 2016. Kata Pengantar. Dalam Amir, H., & Hastiadi, F.F. (ed.), Dinamika Kebijakan Fiskal: Merespons Ketidakpastian Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Naqvi, Syed Nawab Haide. 2012. The Idea of Inclusive Growth and Development Policy. The Pakistan Development Review, 1-21.

Neuman, W. Lawrance. 2007. Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches (2nd Edition). Pearson Education.

Ogbeide, Frank Iyekoretin.et al. 2015. The Determinants of Unemployment and the Question of Inclusive Growth in Nigeria: Do Resource Dependence, Government Expenditure and Financial Development Matter?. Montenegrin Journal of Economics, 11(2), 49-64.

Piet, D. L., 2003. The Significance of Foreign Assistance to the Indonesian Family

Planning Program. In Niehof and Lubis, 83-106.

Pindyck, Robert S., &Daniel L. Rubinfield. 2001. Microeconomics 5th Edition. Prentice Hall: New Jersey.

Page 91: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

73

Powers, Elizabeth T.1995. Inflation, Unemployment, and Poverty Revisited. In Economic Review of the Federal Reserve Bank of Cleveland, 2: 2–13.

Psacharopoulos, George. 1994. Returns to Investment in Education: A Global Update. World Development, 22 (9), 1325-1343.

Ramos, Raquel Almeida, et al. 2013. Mapping Inclusive Growth. IPC-IG Working PaperNo.195.

Rao, Chung-Hwa Herman. 2011. India and China: A Comparison of the Role of Sociopolitical Factors in Inclusive Growth. Economic and Political Weekly, 66, 24-28.

Ricklefs, Merle Calvin.2001. A History of Modern Indonesia Since c.1200 (3rd Edition ed.). Hampshire: Palgrave Macmillan.

Roemer, Michael., &Mary Kay Gugerty. 1997. Does economic growth reduce poverty?. CAER II Discussion Paper 4, Cambridge, MA: Harvard Institute for International Development.

Saleh, A.Z.M. 2012. Growth, Poverty & Employment InTitumir, R.A.M. (ed.) Growth or Contraction?.Dhaka: Shrabon Prokashani, 301-330.

Santosa, Dwi Budi. 1992. Analisis Redistribusi Pendapatan di Indonesia. Tesis tidak terpublikasi, Universitas Indonesia.

Santosa, Dwi Budi. 2013. Budget Decentralization and Economic Development Inequality among Regions in East Java. Journal of Global Business & Economics, 7(1), 85-103.

Suhardjito. tt. Reformasi Perpajakan dalam Rangka Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak., Tata Kelola yang Baik, serta Kemandirian Bangsa. Forum Manajemen, 13 (3), 33-39. Diakses dari http://www.pusdiklatmigas.com/ old/modules/Publikasi_Ilmiah/6.pdf pada tanggal 24 Juli 2017.

Sumner, Andy&Peter Edward. 2014. Assessing Poverty Trends in Indonesia by International Poverty Lines.Bulletin of Indonesian Economic Studies, 50(2), 207-225.

Tabor, Steven R. 2015. Constraints to Indonesia’s Economic Growth. ADB Papers on Indonesia (10), 1-18.

Temple, Jonathan. R. 2001. Growing into trouble: Indonesia after 1966.School of Economics, Finance and Management, Bristol University.

Timmer, C. Peter (2004) The Road to Pro-Poor Growth: The IndonesianExperience in Regional Perspective. Bulletin Of Indonesian Economic Studies, 40(2), 177-207

Todaro, Michael. 1995. Ekonomi Untuk Negara Berkembang: Suatu Pengantar Tentang Prinsip-prinsip Masalah dan Kebijakan Pembangunan.Jakarta: Bumi Aksara.

Trading Economics. Indonesia Unemployment Rate, berbagai tahun.Retrieved from https://tradingeconomics.com/indonesia/unemployment-rate, July 24, 2017.

Page 92: IMPLIKASI KEBIJAKAN FISKAL ERA ORDE BARU DAN ...repository.ub.ac.id/6450/1/Hidsal Jamil.pdfPusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan, Universitas Brawijaya Asisten Peneliti Oktober

74

University of Groningen and University of California. 2017.Index of Human Capital per Person for Indonesia [HCIYISIDA066NRUG], Retrieved from FRED, Federal Reserve Bank of St. Louis; https://fred.stlouisfed.org/series/ HCIYISIDA066NRUG, July 30, 2017.

Van Praag, Bernanrd. M. S, & Paul Frijters. 1999. The Measurement of Welfare and Well-Being: The Leyden Approach. Well-being: Foundations of Hedonic Psychology, 413.

Vedder, Richar. K., &Lowel Eugene Gallaway. 1998. Government Size and Economic Growth. Joint Economic Committee.

World Bank. 2008. Agriculture and Poverty Reduction. Agriculture for Development Policy Brief. Retrieved from http://siteresources.worldbank.org/SOUTH ASIAEXT/Resources/223546-1171488994713/3455847-1192738003272/Brief_AgPovRedctn_web.pdf.July 24, 2017.

World Bank. 2016. Ketimpangan yang Semakin Melebar. Jakarta: World Bank.

World Bank. World Development Indicators, berbagai tahun.Retrieved from http://data.worldbank.org/country/indonesia, July 24, 2017.