Implementasi Untuk Material Pertahanan

200
BIOMATERIAL-BOTANI Implementasi Untuk Material Pertahanan Riyadi Juhana Sovian Aritonang B I O M A T E R I A L - B OTA NI l I mpl e me nt a si U nt u k Ma te ri a l Pe rt a h an an

Transcript of Implementasi Untuk Material Pertahanan

Page 1: Implementasi Untuk Material Pertahanan

BIOMATERIAL-BOTANIImplementasi Untuk Material Pertahanan

Riyadi JuhanaSovian Aritonang

BIO

MA

TE

RIA

L-B

OT

AN

Il

Im

ple

me

nta

si U

ntu

k M

ate

rial P

erta

ha

na

n

Page 2: Implementasi Untuk Material Pertahanan
Page 3: Implementasi Untuk Material Pertahanan

i

PENGANTAR PENULIS

Rekayasa biomaterial untuk teknologi pertahanam merupakan salah

satu pilar utama dalam mendukung kemajuan dibidang teknologi

pertahanan Indonesia. Karena dukungan sumber daya alam yang

dimiliki Indonesia sangat berlimpah terutama sumber daya alam hayati

yaitu hutan yang terdiri botani (tumbuhan dan pohon) yang

keanekaragamannya sangat kaya. Ini dapat dimanfaatkan untuk

pengembangan kemandirian kebutuhan material pada industri

pertahanan. Karena sampai saat ini kebutuhan material untuk industri

pertahanan masih didatangkan dari luar, terutama material untuk

memproduksi propelan, amunisi dan bahan peledak, yang bahan

dasarnya berupa bahan nabati yaitu selulosa dan resin yang berasal

dari tumbuhan atau pepohonan.

Buku Biomaterial-Botani, Implementasi Untuk Material

Pertahanan sebagai rujukan dan referensi mahasiswa yang akan

mendalami dan meneliti teknologi pertahanan khusus biomaterial untuk

industri pertahanan, untuk mengetahui berbagai material yang

dibutuhkan untuk memproduksi alat dan peralatan di bidang

pertahanan. Saat ini jumlah universitas atau perguruan tinggi yang

memiliki Fakultas Teknologi Pertahanan hanya satu perguruan tinggi

yaitu Universitas Pertahanan. Namun, kami melihat belum ada satu

buku yang mengupas dengan lengkap mengenai Biomaterial Untuk

Material Pertahanan yang mendukung industri pertahanan.

Walaupun disusun sebagai buku teks mahasiswa, buku ini juga

bermanfaat bagi para praktisi di industri yang ingin memahami tentang

perkembangan dan peluang untuk masuk sebagai pelaku industri

pertahanan.

Page 4: Implementasi Untuk Material Pertahanan

ii

Tidak ada ilmu yang sempurna dan kesempurna hanya milik Nya.

Dalam buku ini, kami memahami bahwa akan banyak kekurangan

disana-sini untuk penyempurnaan di masa yang akan datang. Kami

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca

semua. Terima kasih.

Sentul-Bogor, Desember 2019

Sovian Aritonang

Riyadi Juhana

Page 5: Implementasi Untuk Material Pertahanan

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................... iii

BAB 1 PENGANTAR MATRIAL BOTANI ........................................... 1

1.1 Hutan Indonesia .......................................................... 1

1.2 Potensi Keanekaragaman Botani Indonesia ................... 4

1.3 Pohon dan Tumbuhan Untuk Material Pertahanan ..... 1313

1.3.1 Golongan Pohon dan Tumbuhan

Berpati/Berselulosa ...........................................13

1.3.2 Golongan Pohon dan Tumbuhan

Beresin dan Bergetah ......................................22

1.3.3 Golongan Pohon dan Tumbuhan

Mengandung Serat ..........................................25

Referensi ..........................................................................38

BAB 2 GOLONGAN MATERIAL BOTANI BERSELULOSA ...................41

2.1 Jenis Botani Mengandung Selulosa...............................41

2.1.1 Kapas ..............................................................41

2.1.2 Kapuk ..............................................................48

2.1.3 Kelapa Sawit ....................................................52

2.2 Proses Pembuatan Selulosa .........................................63

2.2.1 Selulosa Asetat .................................................64

2.2.2 Serat Selulosa Asetat dan Triasetat ....................72

2.2.3 Selulosa α .......................................................74

2.3 Proses Pembuatan Nitrocellulose .................................79

Referensi ......................................................................... 85

Page 6: Implementasi Untuk Material Pertahanan

iv

BAB 3 GOLONGAN BOTANI MENGANDUNG RESIN ........................87

3.1 Jenis Botani Mengandung Resin ...................................87

3.1.1 Pohon Damar....................................................87

3.1.2 Pohon Pinus .....................................................98

3.2 Pemanfaatan Resin ................................................... 106

3.3 Proses Pembuatan Gliserin ........................................ 112

3.3.1 Proses Saponifikasi.......................................... 113

3.3.2 Proses Transesterifikasi ................................... 115

3.3.3 Proses Fat Splitting ......................................... 117

3.3.4 Seleksi Proses ................................................. 121

Referensi ........................................................................ 123

BAB 4 GOLONGAN BOTANI MENGANDUNG SERAT ...................... 127

4.1 Jenis Botani Mengandung Serat ................................. 127

4.1.1 Pohon Rami (Boehmeira Nivea) ....................... 129

4.1.2 Struktur Molekul Rami ..................................... 133

4.1.3 Tanaman Rotan .............................................. 135

4.1.4 Tanaman Bambu ............................................. 154

4.2 Proses Pengolahan Serat ........................................... 166

4.2.1 Pengolahan Serat Rami ................................... 167

4.2.2 Pembuatan Serat Bambu ................................. 170

4.2.3 Tanaman Rotan .............................................. 175

4.3 Pemanfaatan Serat ................................................... 175

Referensi ........................................................................ 176

BAB 5 IMPLEMENTASI MATERIAL BOTANI PADA

TEKNOLOGI PERTAHANAN ............................................... 179

5.1 Implementasi Material Botani Mengandung Selulosa ... 179

Page 7: Implementasi Untuk Material Pertahanan

v

5.2 Implementasi Material Botani Mengandung Resin ..... 181

5.3 Implementasi Material Botani Mengandung Serat ...... 184

Referensi ....................................................................... 186

INDEKS ...................................................................................... 187

TENTANG PENULIS ..........................................................................

Page 8: Implementasi Untuk Material Pertahanan

1

BAB 1

PENGANTAR MATERIAL BOTANI

1.1 Hutan Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang

mengalokasikan 63% atau seluas 120,6 juta hektar daratannya,

merupakan Kawasan Hutan, dan sekurangnya sekitar 37% merupakan

Areal Penggunaan Lain (APL). Di samping itu, sekitar 5,3 juta hektar

dari perairan wilayah Indonesia telah ditetapkan sebagai Kawasan

Konservasi Perairan yang pengelolaannya dimandatkan kepada

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan ditunjuk/ditetapkan

berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

tentang Luas Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan

Indonesia. Sampai dengan Desember 2017, luas total kawasan hutan

dan kawasan konservasi perairan sekitar 125,9 juta hektar (lihat

Gambar 1.1).

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa, berdasarkan fungsinya Kawasan

Hutan Indonesia diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) fungsi berbeda, yaitu:

Hutan Produksi (HP), seluas 68,8 juta hektar, Hutan Lindung (HL)

seluas 29,7 juta hektar, dan Hutan Konservasi (HK) seluas 22,1 juta

hektar. Kawasan hutan produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP),

Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi yang Dapat

Dikonversi (HPK).

Page 9: Implementasi Untuk Material Pertahanan

2

HP HPK KSA/KPA laut

HPT KSA/KPA Darat HL

KSA = Kawasan Suaka Alam KPA = Kawasan Pelestarian Alam

HL = Hutan Lindung

HP = Hutan Produksi Tetap HPT = Hutan Produksi Terbatas

HPK = Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi

Gambar 1.1 Persentase Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia (KLHK 2017a, Data sampai Desember 2017)

Kawasan hutan konservasi diklasifikasikan menjadi Kawasan Suaka

Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA terdiri dari Cagar

Alam (CA)11, dan Suaka Margasatwa (SM). KPA terdiri dari Taman

Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA), dan Taman Hutan Raya

(Tahura). Areal KSA/KPA dapat berupa daratan maupun perairan.

Semua tipe KSA/KPA yang sebagian besar wilayahnya berupa daratan

diklasifikasikan sebagai KSA/KPA daratan yang luasnya sekitar 22,1 juta

hektar. Sedangkan, semua tipe KSA/KPA yang sebagian besar

wilayahnya berupa lautan/perairan diklasifikasikan sebagai KSA/KPA

perairan yang luasnya sekitar 5,3 juta hektar.

Page 10: Implementasi Untuk Material Pertahanan

3

Demikian juga dengan “Areal Penggunaan Lain” (APL), dimana

wilayahnya dapat berupa lahan “berhutan” atau lahan “tidak berhutan”.

Luas hutan Indonesia biasanya mengacu pada “areal berhutan” atau

“luas tutupan hutan”, yang wilayahnya meliputi Kawasan Hutan dan

APL. Penutupan lahan pada Kawasan Hutan dan APL dapat

diklasifikasikan sebagai hutan, hutan tanaman, perkebunan, pertanian,

semak, pemukiman, dan lain-lain. Terdapat 23 kelas penutupan lahan

di Indonesiadan sampai saat ini, kelas penutupan lahan ini telah

digunakan untuk penilaian dan monitoring sumber daya hutan.

Berdasarkan hasil rekalkulasi penutupan lahan yang dilaksanakan pada

Tahun 2017 dengan menggunakan hasil penafsiran citra Landsat Data

Continuity Mission (LDCM)/Landsat 8 OLI liputan Tahun 2017, kondisi

penutupan lahan berupa hutan yang berada di hutan konservasi

sebesar 78,5%; di hutan lindung sebesar 80,6%; dan di hutan produksi

terbatas sebesar 79,4%. Dimana hutan terdiri dari hutan primer, hutan

sekunder dan hutan tanaman. Pada hutan produksi tetap dan hutan

produksi yang dapat dikonversi, kondisi penutupan lahan yang masih

berupa hutan masing-masing sekitar 58,3% dan 49,1%. Tipe

penutupan lahan hutan lainnya adalah hutan tanaman, yaitu lahan yang

ditanami pohon oleh manusia dan tumbuh sesuai dengan definisi hutan,

baik berupa Hutan Tanaman Industri (HTI) atau reforestasi dan

kegiatan penghijauan kembali di dalam dan di luar kawasan hutan. Tipe

penutupan lahan lainnya adalah perkebunan, pertanian, semak,

permukiman dan lain-lain, yang diklasifikasikan sebagai areal bukan

hutan (non hutan). Tabel 1.1 menyajikan data penutupan lahan

Indonesia di dalam dan di luar kawasan hutan.

Page 11: Implementasi Untuk Material Pertahanan

4

Tabel 1.1 Luas Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2017 (KLHK 2017a, Data sampai Desember 2017)

Penutupan Hutan

Kawasan Hutan (juta ha)

APL Jumlah Hutan Tetap HPK Total

HK HL HPT HP

Hutan Primer 12,5 15,2 9,7 4,7 6,3 85,8 8,1 93,9

Hutan Sekunder 4,7 8,4 11,3 9,7 2,5 44,7 1,5 46,1

Hutan tanaman 0,1 0,3 0,3 2,7 0,0 3,4 1,3 4,7

Non hutan 4,8 5,8 5,5 12,2 6,5 34,7 59,4 94,0

1.2 Potensi Keanekaragaman Botani Indonesia

Keanekaragaman tumbuhan (botani) Indonesia sangat beragam dan

melimpah. Karena berdasar penelitian Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan tahun 1993

tercatat 4000 jenis pohon dan ribuan jenis tanaman yang belum

tercatat. Dengan 4000 jenis pohon yang tercatat dan ribuan pohon

yang tidak tercatat, dengan potensi penyebaran dibeberapa pulau

seluruh Indonesia.

Berdasarkan data penyebaran dari 4000 jenis kayu, potensi penyebaran

beberapa jenis kayu utama yang dinyatakan dalam mater kubik (m3)

tiap hektar (ha) tersebar dibeberapa daerah meliputi.

1. Sumatera

Jenis kayu yang terdapat di Sumatera Keruing, meranti merah atau

Famili Dipterocarpaceae dengan dominasi genus Shorea, Hopea,

Anissoptere, Vatica dan Dipterocarpus dengan massa kayu berkisar 40

Page 12: Implementasi Untuk Material Pertahanan

5

sampai dengan 100 m3 tiap hektar (ha) yang diameter pohonnya 35 cm

keatas.

Jenis pohon bakau yang terdapat disepanjang pantai timur, terutama

daerah Riau, mempunyai massa kayu berkisar 60 m3 tiap hektarnya

(volume kayu tebal), sedang jenis ulin tersebat secara acak di daerah

Palembang dan Jambi dengan massa kayu 30 sampai 60 m3 tiap

hektarnya.

Gambar 1.2 Pohon Keruing (KLKH, 2017)

Gambar 1.3 Pohon Meranti (KLKH, 2017)

Page 13: Implementasi Untuk Material Pertahanan

6

2. Kalimantan

Jenis kayu yang terdapat di Kalimantan hampir sama seperti di

Sumatera yaitu Famili Dipterocarpaceae dengan susunan genus

indentik, dengan massa kayu sekitar 45 sampai 160 m3 dalam satu

hektar. Untuk daerah tengah dan barat Kalimantan massa kayunya

lebih rendah yaitu sekitar 30 sampai 100 m3 tiap hektarnya.Jenis pohon

lainnya yaitu Ramin sebarannya di Kalimantan bagian barat dan tengah

tumbuh di hutan rawa gambut bercampur dengan jenis-jenis kayu

genus Dyera, Palaquium serta Famili Dipterocarpaceae yang

mempunyai massa bervariasi dari 60 sampai 100 m3 tiap hektarnya.

Untuk jenis ulin sebarannya di bagian selatan dan timur Kalimantan

yang mempunyai massa sekitar 30 sampai 60 m3 tiap hektarnya,

sedang jenis agatis hidup pada tanah yang mengandung pasir kuarsa

mempunyai massa 10 sampai 150 m3 per hektar.

Jenis kayu bakau di Kalimantan terdapat di sekitra pantai timur dan

barat dengan massa kayu berkisar 70 m3 per hektar (diamter 10 cm ke

atas).

Gambar 1.4 Pohon Ramin (KLKH, 2017)

Page 14: Implementasi Untuk Material Pertahanan

7

Gambar 1.5 Pohon Ulin (KLKH, 2017)

3. Sulawesi

Jenis pohon Famili Dipterocarpaceae banyak terdapat di Sulawesi

dengan genus Hopea (Merawan) dan Vatica (Resak/Jenis Meranti)

mempunyai massa antara 30 sampai 45 m3 per hektar. Genus ini

tersebar secara acak di Sulawesi bagian tengah dan utara.

Selain genus Hopea dan Vatica. Jenis kayu lainnya adalah Merbau yang

banyak di temui di bagian tengah Sulawesi dengan massa kayu 40

sampai 75 m3 tiap hektarnya.

Selain Merbau, kayu Eboni terdapat pula di Sulawesi terutama di daerah

Teluk Tomini dan Sulawesi bagian tengah, yang hidupnya bercampur

dengan jenis genus Santiria (Kambajau Burung), Madhuca (Mahua),

serta Hopea. Juga jenis agatis juga terdapat si Sulawesi bagian utara,

tengah, serta tenggara yang mempunyai massa kayu kira-kira 100 m3

tiap hektarnya.

Page 15: Implementasi Untuk Material Pertahanan

8

Gambar 1.6 Pohon Eboni/Kayu Hitam (KLKH, 2017)

Gambar 1.7 Daun Merawan (KLKH, 2017)

4. Maluku

Famili Dipterocarpaceae yaitu jenis Shorea Selanica serta genus Vatica

banyak terdapat di pulau Seram, Buru, Obi, Sula, serta Halmahera yang

mempunyai massa kayu sekitar 120 m3 tiap hektarnya. Jenis lainnya

yaitu kayu genus Canarium (Pohon Kenari) dan Eucalyptus (Kayu Putih)

terdapat di Pulau Halmahera serta Seram.

Page 16: Implementasi Untuk Material Pertahanan

9

Gambar 1.8 Pohon Kenari (KLKH, 2017)

Gambar 1.9 Pohon Eucalytus/Kayu Putih (KLKH, 2017)

5. Papua

Famili Dipterocarpaceae banyak terdapat di daerah ini yaitu genus

Vatica yang bercampur dengan genus Pometia, Intsia serta Eugenia

mempunyai massa kayu masing-masing 60 m3 tiap hektarnya.

Page 17: Implementasi Untuk Material Pertahanan

10

Juga terdapat jenis agatis secara berkelompok dengan massa kayu 60

m3 tiap hektarnya. Selain itu jenis bakau terdapat di beberapa tempat

sepanjang pantai barat dengan dengan massa kayu sekitar 60 m3 tiap

hektarnya.

Gambar 1.10 Pohon Pometia/Matoa (KLKH, 2017)

Gambar 1.11 Pohon Intsia/Merbau (KLKH, 2017)

Page 18: Implementasi Untuk Material Pertahanan

11

6. Nusa Tenggara

Jenis Duabanga Moluccana terdapat di pulau Sumbawa potensinya

sangat tinggi dengan massa kayu 118 m3 per hektarnya.

Gambar 1.12 Pohon Duabanga Moluccana/Benuang/Raba (KLKH, 2017)

7. Jawa dan Bali

Untuk Jawa dan Bali umumnya ditumbuhi hutan produksi yang

merupakan hutan buatan yang potensinya relatif tinggi, diantaranya

hutan jati seluas ±760.000 hektar, selain jati, tusan dan agatis

Page 19: Implementasi Untuk Material Pertahanan

12

potensinya ±140.000 hektar serta hutan rimba dengan jenis rasamala

dan lainnya luasnya sekitar 85.000 hektar.

Gambar 1.13 Pohon Jati (KLKH, 2017)

Gambar 1.14 Pohon Agatis/Damar (KLKH, 2017)

Gambar 1.15 Pohon Rasamala (KLKH, 2017)

Page 20: Implementasi Untuk Material Pertahanan

13

Dari 4000 jenis pohon, kurang lebih beberapa dapat dimanfaatkan

sebagai bahan material untuk teknologi pertahanan.

1.3 Pohon dan Tumbuhan Untuk Material Pertahanan

Dengan 4000 jenis pohon yang telah teridentifikasi dan ribuan lagi

yang belum terinventarisir, maka potensi pohon dan tumbuhan yang

dapat dijadikan material untuk pertahanan sangatlah besar. Karena

semua pohon atau tumbuhan mempunyai kandungan pati atau selulosa

pada batang pohonnya, serta beberapa pohon mengandung getah,

yang getahnya dapat dimanfaat sebagai resin dan minyak, dan ada juga

sebagian pohon mengandung fiber alami.

Untuk material pertahanan karakteristik pohon atau tumbuhan yang

dapat digunakan sebagai bahan material untuk material pertahanan

karakteristikny dibagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:

1. Golongan pohon dan tumbuhan yang mengandung pati atau

selulosa.

2. Golongan pohon dan tumbuhan yang mengandung resin atau

getah.

3. Golongan pohon dan tumbuhan yang mengadung serat atau fiber.

1.3.1 Golongan Pohon atau Tumbuhan Berpati/Berselulosa

Golongan pohon yang berpati atau berselulosa yang dapat

dimanfaatkan sebagai material dibidang pertahanan yang kandungan

pati atau selulosanya.

Page 21: Implementasi Untuk Material Pertahanan

14

Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan

ditemukan di dalam dinding sel pelindung tumbuhan terutama pada

tangkai batang, dahan dan semua bahagian berkayu dari jaringan

tumbuhan.

Gambar 1.16 Struktur Selulosa untuk Kayu (KLKH, 2017)

Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi

selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pectin,

hemiselulosa, dan xilan. Di dalam tumbuhan molekul selulosa tersusun

dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul paralel yang

dihubungkan oleh ikatan glikosidik sehingga sulit diuraikan (Fitriani,

2003).

Selulosa pertama kali dijelaskan oleh Anselme Payen pada 1838 sebagai

serat padat yang tahan dan tersisa setelah pemurnian jaringan

tanaman dengan asam dan amonia. Payen mengamati bahwa bahan

yang telah dimurnikan mengandung satu jenis senyawa kimia yang

Page 22: Implementasi Untuk Material Pertahanan

15

seragam, yaitu karbohidrat. Hal ini berdasarkan residu glukosa yang

mirip dengan pati (Brown dan Saxena, 2007). Selulosa adalah polimer

glukosa yang berbentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan ß-1,4

glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin

dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia

maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan

polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka

utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple, 2003).

Selulosa mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi berkisar

antara 50.000 hingga 2,5 juta bergantung pada sumbernya. Ukuran

panjang rantai molekul selulosa dinyatakan sebagai derajat polimerasi

(DP) (Fengel dan Wegener, 1984).

Ester selulosa banyak digunakan sebagai serat dan plastik, sedangkan

eter selulosa sebagai pengikat dan bahan tambahan untuk mortir

khusus atau kimia khusus untuk bangunan dan konstruksi juga

stabilisator viskositas pada cat, makanan, produk farmasetik, dan lain-

lain. Selulosa juga merupakan bahan dasar dalam pembuatan kertas.

Seratnya mempunyai kekuatan dan durabilitas yang tinggi. Jika

dibasahi dengan air, menunjukkan pengembangan ketika jenuh, dan

juga higroskopis. Bahkan dalam keadaan basah, serat selulosa alami

tidak kehilangan kekuatannya. Turunan selulosa telah digunakan

secara luas dalam sediaan farmasi seperti etil selulosa, metil selulosa,

karboksimetil selulosa, dan dalam bentuk lainnya yang digunakan

dalam sediaan oral, topikal, dan injeksi (Zugenmaier, 2008).

Page 23: Implementasi Untuk Material Pertahanan

16

1. Jenis-Jenis Selulosa

Menurut Nuringtyas (2010), terdapat tiga jenis selulosa berdasarkan

derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida

(NaOH), yaitu sebagai berikut:

a. Selulosa α (Alpha Cellulose)

Selulosa α adalah jenis selulosa berantai panjang, tidak larut dalam

larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat

polimerisasi 600 - 1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau

penentu tingkat kemurnian selulosa. Selulosa α merupakan kualitas

selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α > 92% memenuhi syarat

untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan

atau bahan peledak, sedangkan selulosa kualitas dibawahnya

digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri

sandang/kain. Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin baik

mutu bahannya.

Gambar 1.17 Struktur Kimia Selulosa α (Nuringtyas, 2010)

Page 24: Implementasi Untuk Material Pertahanan

17

b. Selulosa β (Betha Cellulose)

Selulosa ß adalah jenis selulosa berantai pendek, larut dalam larutan

NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 - 90, dapat

mengendap bila dinetralkan.

Gambar 1.19 Struktur Kimia Selulosa β (Nuringtyas, 2010)

c. Selulosa (Gamma Cellulose)

Selulosa γ adalah Selulosa yang sama dengan selulosa ß, tetapi derajat

polimerisasinya kurang dari 15.

2. Struktur Selulosa

Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya

membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular

terbentuk antara:

a. Gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa

yang terdapat pada unit glukosa terdekat.

Page 25: Implementasi Untuk Material Pertahanan

18

Gambar 1.20 Ikatan Hidrogen Intra dan Antar Rantai SelulosaStruktur

(Klemm, 1998)

b. Gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada C6 unit glukosa

tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara gugus

hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b.

Gambar 1.21 Model Fibril Struktur Supramolekul Selulosa (Klemm, 1998)

Page 26: Implementasi Untuk Material Pertahanan

19

Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang

terbentuk, maka struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan

membentuk daerah kristalin. Di samping itu, juga terbentuk rangkaian

struktur yang tidak tersusun secara teratur yang akan membentuk

daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing density-nya

maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah

packing density maka selulosa akan berbentuk amorf.

Derajat kristalinitas selulosa dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan

yang diberikan. Rantai-rantai selulosa akan bergabung menjadi satu

kesatuan membentuk mikrofibril, bagian kristalin akan bergabung

dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan bergabung

membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat.

3. Sifat-Sifat Selulosa

Menurut Fengel dan Wegener (1984), sifat selulosa terdiri dari sifat

fisika dan sifat kimia. Selulosa rantai panjang mempunyai sifat fisik

yang lebih kuat, lebih tahan lama terhadap degradasi yang disebabkan

oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun pengaruh biologis.

Berikut beberapa sifat lain dari selulosa, yaitu:

a. Dapat terdegradasi oleh hidrolisa, oksidasi, fotokimia maupun

secara mekanis sehingga berat molekulnya menurun.

b. Tidak larut dalam air maupun pelarut organik, tetapi sebagian larut

dalam larutan alkali.

Page 27: Implementasi Untuk Material Pertahanan

20

c. Dalam keadaan kering, selulosa bersifat higroskopis, keras dan

rapuh. Bila selulosa cukup banyak mengandung air maka akan

bersifat lunak. Jadi fungsi air disini adalah sebagai pelunak.

d. Selulosa dalam kristal mempunyai kekuatan lebih baik jika

dibandingkan dengan bentuk amorfnya.

Sedangkan menurut Harsini dan Susilowati (2010), sifat-sifat serat

selulosa adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kekuatan tarik yang tinggi.

b. Mampu membentuk jaringan.

c. Tidak mudah larut dalam air, alkali dan pelarut organik.

d. Relatif tidak berwarna.

e. Memiliki kemampuan mengikat yang lebih kuat.

4. Sumber Selulosa

Selulosa dalam serat tanaman bervariasi menurut sumbernya dan

biasanya berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin,

protein, lignin dan substansi-substansi mineral.

Adapun beberapa jenis pohon, tumbuhan, dan bahan pangan nabati

yang mengandung selulosa dengan jumlah senyawa kimia yang

terdapat dalam beberapa bahan yang mengandung selulosa dapat

dilihat Tabel 1.2 di bawah ini (Zugenmaier, 2008).

Page 28: Implementasi Untuk Material Pertahanan

21

Tabel 1.2 Pohon, Tumbuhan dan Bahan Pangan Mengandung Selulosa

Sumber Komposisi (%)

Selulosa Hemiselulosa Lignin Ekstrak

Hardwood 43-47 25-35 16-24 2-8 Softwood 40-44 25-29 25-31 1-5 Tebu 40 30 20 10 Coir/Sabut 32-43 10-20 43-49 4 Tongkol Jagung 45 35 15 5 Tangkai jagung 35 25 35 5 Serat Bonggol Sawit* 47,43 - - - Serat Tandan Sawit* 41,39 - - - Kapas/Randu 95 2 1 0,4 Flax (dibasahi) 71 21 2 6 Flax (tidak dibasahi) 63 12 3 13 Hamp 70 22 6 2 Henequen 78 4-8 13 4 Istle 73 4-8 17 2 Jute 71 14 13 2 Kenaf 36 21 18 2 Rami 76 17 1 6 Sisal 73 14 11 2 Sunn 80 10 6 3 Jerami Gandum 30 50 15 5

Sumber lain selulosa adalah hasil biosintesis selulosa oleh

mikroorganismeseperti bakteri, alga, dan jamur. Alga dan jamur

menghasilkan selulosa melalui sintesis in vitro secara enzimatik dari

selobiosil fluorida, dan kemosintesis dari glukosa dengan pembukaan

cincin polimerisasi turunan benzil dan pivaloyl. Dari ketiga

mikroorganisme tersebut, hanya spesies Acetobacter xylinum yang

diketahui dapat menghasilkan selulosa dalam jumlah besar. Sumber

selulosa lain adalah dari hewan, yang disebut tunicin atau selulosa

hewan karena diperoleh dari organisme bahari tertentu dari kelas

Tunicata (Gea, 2010).

Page 29: Implementasi Untuk Material Pertahanan

22

1.3.2 Golongan Pohon atau Tumbuhan Beresin dan Bergetah

Beberapa pohon yang tumbuh di hutan Indonesia mengandung resin

dan getah yang dapat dimanfaatkan untuk material pertahanan.

1. Resin

Resin merupakan senyawa organik atau campuran berbagai senyawa

polimer alam yang disebut terpentin, berbentuk padat atau semi padat.

Resin mudah larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air

(Boer dan Ella, 2000). Resin alam merupakan resin yang tereksudasi

secara alamiah dan keluar secara alami maupun buatan. Resin yang

tereksudasi secara alamiah mengandung campuran antara gum dan

minyak atsiri. Resin alam memiliki bentuk berupa padatan, berwarna

mengkilap dan bening kusam, rapuh, meleleh bila kena panas dan

mudah terbakar (Sedtler et al. 1975).

Kirk dan Othmer (1941) dalam Larasati (2007), mengklasifikasikan resin

alam sebagai berikut:

a. Damar, yaitu golongan resin yang memilki bilangan asam rendah

dan dapat larut dalam minyak serta pelarut organik, contohnya

adalah damar mata kucing.

b. Golongan resin yang termasuk dalam resin semi fosil, jenis ini juga

dapat larut dalam minyak serta pelarut organik, contoh golongan

resin ini adalah damar resak, damar biru, dan damar hitam.

Page 30: Implementasi Untuk Material Pertahanan

23

c. Kopal, yaitu golongan resin yang memiliki bilangan asam lebih

tinggi dibandingkan damar, resin ini dihasilkan dari jenis pohon

damar (Agathis sp) yang tergolong dalam Famili Araucariacea.

d. Jenis-jenis resin yang lain seperti gondorukem, shellac, dan balsam.

Gambar 1.22 Pohon Gondorukem (KLHK, 2017)

2. Getah Pinus

Getah pinus diperoleh dari hasil penyadapan Pohon Pinus (Pinus

Merkusii Jungh. et deVries) yang tumbuh tersebar di kawasan hutan di

Indonesia pada ketinggian 900 - 1.800 meter dari permukaan laut (dpl).

Untuk mempoleh getah pinus akan dilakukan penyadapan getah pinus

sesuai dengan SOP Penyadapan Getah Pinus dari Kementerian

Kehutanan RI, dengan umur tanam termasuk dalam Kelompok Umur

Page 31: Implementasi Untuk Material Pertahanan

24

VI yaitu berusia rata-rata diatas 30 tahun dengan lingkar pohon ± 126

cm. Pohon Pinus tergolong jenis yang cepat tumbuh dan tidak

membutuhkan persyaratan yang khusus untuk tumbuh.

Penyadapan getah pinus menggunakan metode pengeboran batang

pohon yang berdasarkan ditentukan umur dan ukuran lingkaran pohon

serta ketinggian lokasi tanaman dari permukaan laut, selain itu juga

ditentukan bahwa untuk satu pohon pinus maksimum diperbolehkan

melakukan 3 titik pengeboran batang untuk mendapatkan getahnya.

Lama waktu penyadapan ± 15 hari baru dipanen getahnya, selanjutnya

getah disaring untuk menghilangkan kotorannya.

Pinus Merkusii Jungh. et deVries merupakan satu-satunya jenis pinus

yang tumbuh di Indonesia seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.22

Pinus merkusii Jungh Et Devries termasuk suku Pinacea. Pohon Pinus

pada umumya batangnya berkayu, bulat, keras, bercabang horizontal,

kulit retak-retak seperti saluran dan berwarna cokelat, daunnya

majemuk dan bentuk jarum, memiliki buah dengan perisai ujung

berbentuk jajaran genjang, akhirnya merenggang, (Steenis and Van,

2003) tinggi kisaran 20-40 m dan diameter 30-60 cm. Pinus merkusii

dapat tumbuh di tanah kurang subur, tanah berpasir, dan tanah

berbatu, dengan curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200-1.700 m

diatas permukaan laut. Di hutan alam masih banyak ditemukan pohon

besar berukuran tinggi 70 m dengan diameter 170 cm. Pinus termasuk

dalam jenis pohon serba guna yang terus-menerus dikembangkan dan

diperluas masa penanamanya masa mendatang untuk penghasil kayu

Page 32: Implementasi Untuk Material Pertahanan

25

produksi, getah dan konservasi lahan, kayunya dapat dimanfaatkan

menjadi bahan konstruksi, korek api, pulp, kertas serat panjang.

Gambar 1.23 Pohon Pinus (KPH Bali, 2005)

1.3.3 Golongan Pohon dan Tumbuhan Mengadung Serat

Serat dikenal orang sejak ribuan tahun sebelum Masehi seperti pada

tahun 2.640 SM negara Cina sudah menghasilkan Serat sutera dan

tahun 1.540 SM telah berdiri industri kapas di India, Serat flax pertama

digunakan di Swiss pada tahun 10.000 SM dan Serat wol mulai

digunakan orang di Mesopotamia pada tahun 3000 SM. Selama ribuan

tahun Serat flax, wol, sutera dan kapas melayani kebutuhan manusia

paling banyak. Pada awal abad ke 20 mulai diperkenalkan Serat buatan

hingga sekarang bermacam-macam jenis Serat buatan diproduksi.

Page 33: Implementasi Untuk Material Pertahanan

26

Menurut kamus bahasa indonesia, serat adalah suatu material yang

perbandingan panjang dan lebarnya sangat besar dan molekul

penyusunnya terorientasi terutama ke arah panjang. Serat kapas

misalnya memiliki perbandingan panjang:lebar dari mulai 500 : 1

sampai dengan 1000 : 1. Sedangkan serat tekstil adalah serat-serat

yang digunakan untuk aplikasi tekstil.

Serat adalah suatu benda yang berbanding panjang diameternya

sangat besar sekali. Serat merupakan bahan baku yang digunakan

dalam pembuatan benang dan kain. Sebagai bahan baku dalam

pembuatan benang dan pembuatan kain, Serat memegang peranan

penting, sebab :

- Sifat-sifat SERAT akan mempengaruhi sifat-sifat benang atau kain

yang dihasilkan.

- Sifat-sifat SERAT akan mempengaruhi cara pengolahan benang atau

kain baik pengolahan secara mekanik maupun pengolahan secara

kimia.

Produksi Serat alam dari tahun ke tahun boleh dikatakan tetap, tetapi

persentase terhadap seluruh produksi Serat tekstil makin lama makin

menurun mengingat kenaikan produksi Serat-Serat buatan yang makin

tinggi. Hal ini disebabkan karena :

- Tersedianya Serat alam sangat terbatas pada lahan yang ada dan

iklim.

- Pada umumnya sifat-sifat Serat buatan lebih baik daripada serat

alam.

Page 34: Implementasi Untuk Material Pertahanan

27

- Produksi serat buatan dapat diatur baik jumlah, sifat, bentuk dan

ukurannya.

Serat pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu :

1. Serat alam, serat alam terbagi dalam 3 kategori besar, serat yang

berasal dari tumbuhan, serat yang berasal dari hewan dan materi

dan anorganik. Kapas, rami, kapuk adalah beberapa sontoh serat

alam yang berasal dari tumbuhan, sedangkan wol dan sutera serat

yang berasal dari hewan, sementara serat asbes adalah contoh

serat yang berasal dari material anorganik.

2. Serat buatan, serat buatan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu yang

bahan bakunya berasal dari alam tetapi kemudian mengalami

proses polimerisasi lanjutan seperti; viskosa, asetat,

kuproamonium, dsb. Ada juga yang bahan bakunya berasal dari

hasil sintesis polimerisasi misalnya; polyester, nilon, poliuretan,

polivinil, dsb. Sedangkan yang ketiga yaitu yang berbahan dasar

anorganik misalnya serat logam, gelas, dsb.

Pada dasarnya semua material serat merupakan polimer. Supaya dapat

dibuat menjadi serat, polimer harus memenuhi syarat sebagai berikut:

Polimer harus linear dan mempunyai berat molekul lebih dari 10.000,

tetapi pada saat yang bersamaan juga tidak boleh terlalu besar sebab

nantinya akan sulit untuk dilelehkan atau dilarutkan. Molekul harus

simetris dan mempunyai gugus-gugus samping yang besar yang dapat

mencegah terjadinya susunan yang rapat. Polimer harus memberikan

kemungkinan untuk mendapatkan derajat orientasi yang tinggi,

sehingga sewaktu terjadi proses penarikan pada serat akan menambah

Page 35: Implementasi Untuk Material Pertahanan

28

kekuatan. Polimer harus mempunyai gugus polar yang letaknya teratur

untuk mendapatkan kohesi antar molekul yang kuat dan titik leleh yang

tinggi. Khusus untuk keperluan tekstil sandang, serat harus mudah

diberi zat warna. Apabila diberi zat warna maka sifat fisika seratnya

tidak boleh mengalami perubahan yang mencolok dan warna bahan

jadinya harus tahan terhadap pencucian, keringat dan cahaya.

Serat menurut arah panjangnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu

serat-serat pendek atau biasa disebut stapel dan filamen. Filamen

adalah serat yang sangat panjang dan langsung dijadikan benang,

sehingga istilah filamen itu sering mengacu pada pengertian jenis

benang. Berbeda halnya dengan filamen, serat stapel harus terlebih

dahulu melalui proses pemintalan sebelum dijadikan benang. Manfaat

pengembangan dan penerapan material komposit berbasis bahan serat

alam adalah:

a. Untuk pengembangan potensi pemanfaatan serat alam yang

tersedia berlimpah di Indonesia sebagai hasil aktivitas pertanian

melalui karakterisasi material dan teknologi pemprosesan produk

komposit ramah lingkungan yang bernilai ekonomis.

b. Dapat memenuhi kebutuhan industri yang berkembang di

masyarakat. Melihat ketersedisan di alam yang cukup besar dan

biaya bahan baku yang lebih murah, produk yang dihasilkan dapat

lebih ringan dan membutuhkan konsumsi energi yang rendah,

sehingga dapat menentukan biaya produksi selain upaya

meningkatkan upaya produk lokal.

Page 36: Implementasi Untuk Material Pertahanan

29

Peningkatan kemampuan rancang bangun dan manufacture material

komposit berbasis bahan serat alam untuk menunjang pembangunan

industri dan kemandirian bangsa.

1. Jenis-Jenis Serat Alami

Beberapa serat-serat alami yang biasa digunakan terdiri atas serat

alam menurut Jumaeri (1977) yaitu serat yang langsung diperoleh di

alam. Pada umumnya serat alam mempunyai sifat yang hampir sama

yaitu kuat, padat, mudah kusut, dan tahan penyetrikaan. Adapun serat

alam digolongkan lagi menjadi:

a. Serat Tumbuh-tumbuhan (selulosa)

Serat tumbuh-tumbuhan memiliki dasar kimia selulosa yang berdasrkan

pada asal tumbuhannya dapat berasal dari bijih, daun, batang, dan,

buah.

- Bijih

Serat yang berasal dari biji terdiri atas serat kapas dan kapok. Namun

dalam pembuatan busana lebih banyak digunakan serat kapas (cotton).

Serat kapok digunakan sebagai bahan pengisi. Menurut perkiraan,

kapas telah dikenal orang sejak 5.000 tahun sebelum Masehi. Sukar

untuk dipastikan negeri mana yang pertama-tama menggunakan

kapas, tetapi para ahli mengatakan bahwa India adalah Negara tertua

yang pertama menggunakan kapas. Sifat serat kapas adalah memiliki

Page 37: Implementasi Untuk Material Pertahanan

30

kekuatan yang cukup tinggi dan dapat dipertinggi dengan proses

perendaman dalam larutan soda kostik. Hal ini juga akan menambah

kilau dan daya serap serat pada waktu pencelupan atau proses kimia

lainnya. Kekuatan serat kapas terutama dipengaruhi oleh kadar selulosa

dalam serat, panjang rantai molekul dan orientasinya. Kekuatan serat

kapas dalam keadaan basah lebih tinggi dibandingkan dalam keadaan

kering. Oleh karena kapas sebagian besar tersusun dari selulosa serat

kapas pada umumnya tahan terhadap penyimpanan, pengolahan, dan

pemakaian sehari-hari, kapas bersifat higroskopis atau menyerap air.

Kapas memiliki ketahanan terhadap panas yang tinggi, dan tahan sabun

alkali.

Asam akan merusak kapas dan membentuk hidroselulosa. Lebih jauh

asam kuat akan melarut kapas. Alkali sedikit berpengaruh pada kapas,

kecuali larutan alkali pekat akan menyebabkan penggelembungan pada

serat, seperti pada proses Merserisasi, yang menyebabkan serat

menjadi lebih mengkilap dan kekuatannya juga lebih tinggi. Kapas

mudah diserang oleh jamur dan bakteri terutama pada keadaan

lembab, dan pada suhu hangat, kapas memiliki beberapa sifat

istimewa, misalnya mudah dicuci, dan dalam pemakaianny nyaman

saat dipakai, menyerap panas tubuh sehingga kapas lebih unggul dari

serat-serat lain.

Salah satu kain yang berasal dari serat kapas, yaitu kain katun. Kain

katun memiliki kelebihan dibanding dari bahan sintetis, katun lembut di

tubuh, karena memiliki sirkulasi udara yang baik, menyerap panas

tubuh sehingga terasa tetap sejuk, dan kering, karena mampu

Page 38: Implementasi Untuk Material Pertahanan

31

menyerap keringat, berdasarkan sifat tersebut kain katun ideal untuk

dijadikan busana anak. Kelebihan katun yang lain adalah katun memiliki

sifat hypoallergenic dan resisten terhadap tungau debu, sehingga cocok

bagi penderita asma, atau yang berkulit sensitif. Katun mudah kusut,

maka dari itu para pakar tekstil bereksperimen mencampur katun

dengan bahan lain, yang disebut dengan nama cotton blend, katun

dicampur dengan poliester, linen. Biasanya katun dicampur dengan 65

% Serat sintesis, dan 35 % kapas. Kekurangan kain campuran ini yaitu

serat kapas cepat menjadi rusak, sementara serat sintetisnya tidak.

Ketahanan yang berbeda ini terbentuknya gumpalan benang bulat-

bulat kecil yang muncul dipermukaan kain.

Gambar 1.24 Bijih Randu (satuharapan.com, 2018)

- Serat Kapas

Serat Kapas adalah serat halus yang menyelubungi biji beberapa jenis

Gossypium atau biasa disebut pohon atau tanaman kapas yang berasal

Page 39: Implementasi Untuk Material Pertahanan

32

dari daerah tropika atau subtropika. Serat kapas dapat dipintall atau

ditenun. Serat kapas biasa disebut dengan bahan tekstil katun. Tekstil

yang terbuat dari kapas (katun) dapat menyerap keringat dan juga

bersifat menghangatkan diri juga menyejukkan di kala panas.

Menurut sejarah serat kapas sudah ada sejak 5000 SM dan berasal dari

biji-bijian seperti yang saya sebut diatas. Beberapa sifat-sifat serat

kapas adalah dapat menghisap air, tahan panas untuk setrika bersuhu

tinggi, mudah kusut, dan sebagainya.

Gambar 1.25 Serat Kapass (satuharapan.com, 2018)

- Serat Jute

Serat Jute berasal dari kulit batang pohon yang digunakan untuk

membuat karung. Jute sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, Jute

mempunya kekuatan dan kilau sedang. Serat ini adalah serat

Page 40: Implementasi Untuk Material Pertahanan

33

terpenting nomor dua dalam perindustrian tekstil karena sangat

diperlukan dalam kehidupan manusia. Serat jute selain dibuat untuk tali

tambang dan karung goni, diperlukan juga untuk karpet, korden,

bahan pembuat kertas, bahkan untuk membuat jaring-jaring topi pada

masa Perang Dunia II.

Gambar 1.26 Serat Jute (satuharapan.com, 2018)

- Serat Flax

Serat Flax berasal dari batang linum usitatissimun. Serat Flax ini biasa

disebut dengan nama linen. tanaman flax adalah tanaman pertama

dalam kehidupan manusia, dan udah ditanam sejak 6000 tahun yang

lalu di Timur Tengah. Kegunaan serat flax dalam bahan pakaian untuk

benang jahit dan jala. Kekuatan benang flax dua kali lipatnya dibanding

serat kapas, dengan tekstur lebih kaku. Pemisahan serat flax dilakukan

dengan cara pembusukan (retting).

Page 41: Implementasi Untuk Material Pertahanan

34

Gambar 1.28 Serat Flex (satuharapan.com, 2018)

- Serat Rami

Serat Rami berasal dari tanaman rami (Boehmeria nivea), tanaman ini

berumur panjang, mempunyai batang yang tinggi dibanding tanaman

serat lainnya, juga kecil dan lurus. Serat rami biasa dipintal menjadi

benang atau ditenun untuk menjadi kain di daerah Jepang, sedangkan

di Indonesia biasa digunakan untuk bahan jala, kanvas, juga untuk tali

temali. Rami juga baik digunakan untuk bahan kerajinan dengan

tenunan ATBM dan dikombinasi dengan sulaman. Rami mempunya

sifat-sifat umum seperti kapas, yaitu lebih berkilap, kuat, lebih

menyerap air, dan lebih tahan terhadap bakteri-bakteri.

Gambar 1.29 Serat Rami (satuharapan.com, 2018)

Page 42: Implementasi Untuk Material Pertahanan

35

b. Serat Protein

Serat proteina dapat berbentuk staple atau filamen. Serat protein

berbentuk stapel berasal dari rambut hewan berupa domba, alpaca,

unta, cashmer, mohair, kelinci, dan vicuna. Yang paling sering

digunakan adalah wol dari bulu domba.

- Serat wol

Serat Wol berasal dari bulu-bulu binatang atau bulu biri-biri. Serat wol

dikelompokkan menjadi 3 yaitu, wol halus, wol sedang, dan wol kasar.

Ketiganya mempunyai kepentingan tersendiri, seperti wol kasar biasa

dibutuhkan untuk membuat bahan tekstil yang lebih berat. Wol biasa

dibuat untuk kebutuhan bahan pakaian, baju hangat, selimut, kerajinan

tenun, rajut, dan lain sebagainya. Sifat dari wol adalah kuat elastik,

lembut, keriting sehingga dapat di buat benang halus. Wol berasal dari

Asia Tengah yang menyebar ke Eropa Barat dan Cina Timur, wol juga

mempunyai sejarah yang panjang.

Baju wol jika dipakai terasa hangat dan dapat digunakan untuk baju

anak. dikatakan suatu bahan konduktor yang jelek, wol bersifat

hidroskopis. Tetapi Serat tersebut juga melepaskan uap air secara

perlahan-lahan, sewaktu wol melepaskan uap uap air akan

menimbulkan panas pada bahan tekstil . Wol tahan kusut dan bersifat

dapat menahan lipatan, misalnya karena penyetrikaan. Wol dan serat-

serat yang sejenis merupakan serat-serat alam yang dapat (felting)

menggumpal, apabila dikerjakan dalam larutan sabun bersuhu panas.

Page 43: Implementasi Untuk Material Pertahanan

36

Gambar 1.30 Serat Wol (satuharapan.com, 2018)

- Serat sutera

Serat sutera berasal dari serangga yang disebut Lepidoptera, terbentuk

dari kepompong ulat sutera. Serat sutera berbentuk filamen yang

dihasilkan larva ulat sutera saat membentuk kepompong seperti yang

sudah saya sebutkan diatas. Sutera mempunyai beberapa sifat,

diantaranya adalah daya serapnya tinggi, kekuatannya tinggi,

pegangan yang lembut, dan kenampakannya yang mewah dan indah,

juga tidak mudah kusut. Sutra banyak dipakai di India, Jepang, Korea,

bahkan Indonesia. Sutera juga banyak dipakai untuk membuat

pakaian-pakaian tradisional, karena keindahan yang ada pada sutera

memberikan efek formal juga mempunyai estetika yang lebih terhadap

si pemakainya.

Serat sutera berbentuk filamen, dihasilkan oleh larva ulat sutera waktu

membentuk kepompong. Sutra dapat digunakan untuk busana pesta

anak, yang sering digunakan adalah sutra campuran dengan serat

sintetis.

Page 44: Implementasi Untuk Material Pertahanan

37

Sutra dihasilkan dari kepompong ulat sutra. Ulat sutra menghasilkan

kepompong yang dapat dipintal menjadi serat sutra. Ada ratusan jenis

ulat sutra, namun sutra yang terbaik dihasilkan oleh kepompong dari

ulat sutra pohon murbei yang memiliki nama ilmiah Bombyx mori.

Induk sutra dapat menelurkan hingga 500 butir telur ulat sutra

seukuran kepala jarum pentul. Setelah sekitar 20 hari, telur tersebut

menetas menjadi larva ulat yang sangat kecil. Larva ulat ini akan

memakan daun murbei dengan agresif. Sekitar 18 hari kemudian,

ukuran badan larva ulat tersebut telah membesar hingga 70 kali ukuran

tubuh semula serta empat kali mengganti cangkangnya. Kemudian

larva ulat tersebut akan terus membesar hingga beratnya mencapai

10.000 kali berat semula. Pada saat itu ulat sutra akan berwarna

kekuningan dan lebih padat. Itulah tanda ulat sutra akan mulai

membungkus dirinya dengan kepompong.

Kemudian kepompong direbus agar larva ulat di dalamnya mati. Karena

jika dibiarkan, ulat akan matang lalu menggigiti kepompongnya

sehingga tidak bisa digunakan lagi. Setelah ulat mati, serat di

kepompong dapat diuraikan menjadi serat sutra yang sangat halus.

Satu buah kepompong sutra dapat menghasilkan untaian serat

sepanjang 300 meter hingga 900 meter dengan diameter 10

mikrometer (1/1000 milimeter). Di seluruh dunia dalam satu tahun

dapat menghasilkan total serat sutra sepanjang 112,7 milyar kilometer

atau sekitar 300 kali perjalanan pergi-pulang ke matahari dari bumi.

Page 45: Implementasi Untuk Material Pertahanan

38

Kemudian serat sutra yang halus tersebut dipintal. Serat sutra dipintal

dengan proses yang menyerupai proses pada saat ulat sutra memintal

kepompongnya. Proses itulah yang dibuat menjadi alat pemintalan

serat sutra untuk dibuat menjadi kain sutra yang indah. Bahan kain dari

sutra inilah yang kemudian dibuat menjadi berbagai produk pakaian

maupun produk lainnya. Beberapa batik kelas terbaik di Indonesia juga

menggunakan bahan dari sutra.

Gambar 1.31 Serat Sutra (satuharapan.com, 2018)

Referensi

1. Annisa, 2005, Struktur Anatomi Kayu Jati Plus Perhutani dari

Beberapa Seedln yang Tumbuh di KPH Ciamis Pada Kelas Umur I,

Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Bogor.

2. Brown, R.M.Jr dan Saxena, I.M. 2007. Cellulose: Molecular and

Structure Biology. Dordrecht: Springer.

3. Chen, Q., Zhao, T., Wang, M., and Wang, J., 2013. Studies of the

fibre structure and dyeing properties of Calotropis gigantea, kapok

and cotton fibres. Color. Technol., 129 : 448-453.

4. Data hasil uji penyusunan standar mutu serat kapas (2016).

Page 46: Implementasi Untuk Material Pertahanan

39

5. Dilli Babu, G., Sivaji Babu, K., and Nanda Kishore, P., 2014. Tensile

and Wear Behavior of Calotropis Gigantea Fruit Fiber Reinforced

Polyester Composites. Procedia Engineering, 97 : 531-535.

6. Du, Q., and Chen, Y., 2014. R & D Status and Countermeasures of

Natural Functional Kapok. Color. Technol.

7. Fengel G, dan Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure,

Reactions. Berlin: Walter de Gruyter.

8. Fitriani, E. 2003. Skripsi: Aktivitas Enzim Karboksilmetil Selulase

Bacillus pumilus Galur 55 pada Berbagai suhu Inkubasi. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

9. Gea, S. 2010. Innovative Bio-nanocomposites Base on Bacterial

Cellulose. London: Queen MaryUniversity.

10. Harsini, T dan Susilowati. 2010. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Dari

Limbah Perkebunan Kakao Sebagai Bahan Baku Pulp Dengan

Proses Organosolv. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.2 No. 2.

11. Heyne, K., 1988.Tanaman Berguna Indonesia.

12. Holtzapple, M.T. 2003. Hemicelluloses. In Encyclopedia of Food

Sciences and Nutrition. Academic Press.

13. KLHK, 2018. Stutus Hutan dan Kehutanan Indonbesia 2018, KLHK

Press

14. KLHK, 2017. Statistik Lingkunagan Hidup dan Kehutanan 2017,

KLHK Press.

15. Martawijaya, Abdurahim, 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I, Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutananan, Departemen

Kehutanan Republik Indonesia

Page 47: Implementasi Untuk Material Pertahanan

40

16. Nasser, R.A., Al-mefarrej, H.A., Khan, P.R., et al.. 2013.

Technological properties of Calotropis procera (AIT) wool and its

relation to utilizations. Am Eurasian J Agric Environ Sci.,12: 5–16.

17. SNI 0444 : 2009, Cara uji kadar selulosa alfa, beta dan gamma.

18. Nuringtyas, Tri Rini. 2010. Karbohidrat. Yogyakarta: Gajah

MadaUniversity Press.

19. SNI 7881 : 2013, Tekstil – Serat kapas – Cara uji pengukuran sifat

fisika menggunakan high volume instrument (HVI).

20. SNI 08 - 0033 : 2006, Benang Ring Tunggal kapas.

21. Zheng, Y., Zhu, Y.F., Wang, A., Huimin, H., 2013. Potential of

Calotropis gigantea fiber as an absorbent for removal of oil from

water : Industrial Crops and Products. Chemical Engineering

Journal,

22. Zugenmaier, P. 2008. Crystalline Cellulose and Derivatives. Jerman:

Springer-Verlag.

Page 48: Implementasi Untuk Material Pertahanan

41

BAB 2

GOLONGAN MATERIAL BOTANI BERSELULOSA

2.1 Jenis Botani Mengandung Selulosa

Potensi jenis botani/tumbuhan yang mengandung selulosa dari 4000

pohon/tumbuhan di Indonesia sangatlah besar. Beberapa diantaranya

kandungan selulosanya sangat besar seperti Kapas, Kapuk/Randu,

Kelapa Sawit, Kelapa, Nenas, Pisang, Rami serat pohon berbatang

keras dan lain sebagainya.

Untuk pengolongan tumbuhan yang mengandung selulosa tinggi yaitu

tumbuhan yang mengandung selulosa lebih dari 40%, beberapa

diantaranya banyak terdapat di Indonesia yaitu:

2.1.1 Kapas

Serat kapas merupakan salah satu jenis bahan tekstil yang sudah

dikenal sejak ± 5.000 tahun sebelum masehi. Merupakan salah satu

bahan tekstil yang berasal dari serat alam, yaitu serat biji tanaman

Gossypium yang tumbuh di daerah lembab dan banyak disinari

matahari. Tanaman Gossypium termasuk keluarga Malvaceae.

Pertumbuhan tanaman kapas sangat bergantung pada tempat

tumbuhnya.Tanaman ini tumbuh di daerah yang beriklim subtropis

seperti Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Amerika Utara.

Page 49: Implementasi Untuk Material Pertahanan

42

Komposisi serat kapas tergantung pada jenis tanaman dan derajat

kesadahannya. Sekitar 90% komposisi serat kapas terdiri dari selulosa,

sedangkan sisanya adalah protein, pektin, malam, lemak, pigmen alam,

mineral, dan air. Serat kapas memegang peranan penting dalam bidang

tekstil. Dengan berkembangnya serat sintetik tidak menyebabkan serat

kapas mulai ditinggalkan, namun dengan adanya perkembangan serat

buatan, meningkatkan penggunaan serat campuran yang memiliki sifat

saling melengkapi kedua sifat tersebut. Hal ini disebabkan karena serat

kapas masih memiliki beberapa keunggulan yang tidak dapat ditiru oleh

serat buatan. Keunggualan serat kapas diantaranya mempunyai daya

serap yang baik terhadap air, sehingga nyaman apabila dipakai. Serat

kapas juga mempunyai beberapa kekurangan seperti mudah kusut dan

mengkeret dalam pencucian.

1. Morfologi Serat Kapas

Bentuk morfologi penampang melintang serat kapas sangat bervariasi

dari bentuk pipih sampai bentuk bulat, tetapi pada umumnya berbentuk

seperti ginjal yang terdiri dari bagian kutikula, dinding primer, dinding

sekunder, dan lumen. Sedangkan bentuk penampang membujur serat

kapas adalah pipih seperti bentuk pita yang terpilin atau terpuntir

membentuk puntiran dengan interval tertentu. Kearah memanjang,

serat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian besar, bagian badan, dan

bagian ujung.

Bentuk penampang melintang dan bentuk penampang membujur serat

kapas disajikan pada gambar berikut ini :

Page 50: Implementasi Untuk Material Pertahanan

43

Gambar 2.1 Struktur Micro dan Nanofiber Selulosa Kapas (Balai Besar Tekstil, 2017)

2. Komposisi Serat Kapas

Serat kapas mentah mengandung selulosa. Selain selulosa, pada kapas

mentah mengandung pektin, lemak/malam, pigmen alam, mineral dan

air. Komposisi serat kapas berbeda-beda tergantung dari berbagai hal,

antara lain jenis tanaman kapasnya, kondisi tanah, cuaca, kualitas air

untuk irigasi, dan zat kimia yang digunakan untuk pupuk dan

pestisidanya. Komposisi serat kapas dapat dilihat pada Tabel 2.1

berikut:

Page 51: Implementasi Untuk Material Pertahanan

44

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Serat Kapas (Soeprijono, Serat-Serat Tekstil, ITT Bandung 1974)

No. Komposisi %Terhadap Berat Kering

1 Selulosa 94 2 Protein 1,3 3 Pektat 1,2 4 Lilin 0,6 5 Abu 1,2 6 Pigmen dan zat-zat lain 1,7

3. Struktur Kimia Serat Kapas

Serat kapas tersusun atas selulosa yang komposisi murninya telah lama

diketahui sebagai zat yang terdiri dari unit-unit anhidro-beta-glukosa

dengan rumus empiris (C6H10O5)n dengan n adalah derajat

polimerisasi yang tergantung dari besarnya molekul. Selulosa dengan

rumus empiris (C6H10O5)n merupakan suatu rantai polimer linier yang

tersusun dari kondensat molekul-molekul glukosa yang dihubungkan

oleh jembatan oksigen pada posisi atom karbon nomor satu dan empat.

Stuktur rantai-rantai molekul selulosa disusun dan diikat satu dengan

yang lainnya melalui ikatan Van der Waals. Struktur kimia dari selulosa

dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Struktur Kimia Selulosa Kapas (Soeprijono, Serat-Serat Tekstil, ITT Bandung 1974)

Page 52: Implementasi Untuk Material Pertahanan

45

Setiap satuan glukosa mengandung tiga gugus hidroksil (-OH). Gugus

hidroksil pada atom karbon nomor lima merupakan alkohol primer

(-CH2OH), sedangkan pada posisi 2 dan 3 merupakan alkohol sekunder

(HCOH). Kedua jenis alkohol tersebut mempunyai tingkat kereaktifan

yang berbeda. Gugus hidroksil alkohol primer lebih reaktif daripada

gugus hidroksil alkohol sekunder. Gugus hidroksil merupakan gugus

fungsional yang sangat menentukan sifat kimia serat kapas, sehingga

serat selulosa dinotasikan sebagai sel-OH dalam penulisan mekanisme

reaksi.

4. Susunan Fisika Serat Kapas

Komposisi fisika serat kapas terdiri dari bagian amorf dan kristalin,

dimana bagian amorf mempunyai daya serap yang lebih besar dari

pada bagian kristalin, tetapi kekuatannya lebih kecil. Pada bagian

kristalin memiliki susunan molekul yang teratur dan sejajar satu sama

lain. Sedangkan pada bagian amorf, susunan molekulnya tersusun

secara tidak pararel dan tidak teratur. Bagian kristalin dan amorf pada

serat kapas disajikan pada Gambar 2.3 dibawah ini:

Gambar 2.3 Bagian Kristalin dan Amorf Serat Kapas (Balai Besar Tekstil, 2017)

Page 53: Implementasi Untuk Material Pertahanan

46

5. Sifat-sifat Serat Kapas

Sifat-sifat dari serat kapas terdiri dari sifat fisika dan sifat kimia yang

selengkapnya sifat-sifat tersebut adalah:

a. Sifat-sifat Fisika

Berdasarkan hasil penelitian Soeprijono (1974), Sifat-sifat fisika yang

terkandung dalam serta kapas meliputi:

- Warna

Warna kapas tidak betul-betul putih biasanya sedikit krem. Adanya

warna ini disebabkan oleh pigmen alam yang terkandung di dalam

serat kapas. Pigmen yang menimbulkan warna pada kapas belum

diketahui dengan pasti. Warna kapas akan semakin tua setelah

penyimpanan selama 2 sampai 5 tahun. Karena pengaruh cuaca

yang lama, debu, dan kotoran akan menyebabkan warna keabu-

abuan.

- Kekuatan

Kekuatan serat terutama dipengaruhi oleh kadar selulosa dalam

serat, panjang rantai dan orientasinya. Dalam suasana basah, serat

kapas akan memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding dalam

keadaan kering. Hal ini disebabkan karena pada keadaan basah

bentuk serat akan mengelembung sehingga puntiran hilang.

Dengan demikian gaya tarik yang diderita akan tersebar sepanjang

serat.

Page 54: Implementasi Untuk Material Pertahanan

47

- Mulur

Mulur saat putus serat kapas termasuk tinggi diantara serat-serat

selulosa yang lainnya yaitu berkisar 4-13 % bergantung pada jenis

serat kapasnya dan rata-rata mulur sebesar 7%.

- Moisture Regain

Serat kapas mempunyai affinitas yang besar terhadap air. Serat

kapas yang kering bersifat kasar, rapuh dan kekuatannya rendah.

Moisture regain serat kapas bervariasi sesuai dengan perubahan

kelembaban relatif, pada kondisi standar kandungan air serat kapas

berkisar antara 7-8,5%.

- Keliatan (Toughness)

Keliatan adalah ukuran yang menunjukkan kemampuan suatu

benda untuk menerima kerja. Serat kapas memiliki keliatan yang

relatif tinggi jika dibandingkan dengan serat-serat selulosa yang

diregenerasi.

- Indeks Bias

Indeks bias serat kapas sejajar dengan sumbu serat adalah 1,58.

Sedangkan indeks bias melintang sumbu serat adalah 1,53.

- Berat Jenis

Berat jenis serat kapas adalah 1,5 sampai 1,56

b. Sifat-sifat Kimia

Berdasarkan hasil penelitian Soeprijono (1974), Sifat-sifat kimia yang

terkandung dalam serta kapas meliputi:

Page 55: Implementasi Untuk Material Pertahanan

48

- Pengaruh asam

Serat kapas tahan terhadap asam lemah, sedangkan asam kuat

akan mengurangi kekuatan serat kapas karena dapat memutuskan

rantai molekul selulosa (hidroselulosa).

- Pengaruh alkali

Alkali kuat pada suhu didih air dan pengaruh adanya oksigen dalam

udara akan menyebabkan terbentuknya oksiselulosa. Alkali pada

kondisi tertentu akan mengelembungkan serat kapas.

- Pengaruh oksidator

Oksidator dapat menyebabkan terjadinya oksiselulosa yang

mengakibatkan penurunan kekuatan serat. Derajat kerusakan serat

bergantung pada konsentrasi, pH dan suhu pengerjaan.

- Pengaruh mikroorganisma

Dalam keadaan lembab dan hangat, serat kapas mudah terserang

jamur dan bakteri. Tetapi pada kondisi kering, serat kapas

mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap jamur dan

mikroorganisma.

2.1.2 Kapuk

Kapuk atai Ceiba Pentandra, dikenal juga Eriodendron anfractuosum

dan Eriodendron Orientale Kapuk dapat tumbuh baik di daerah tropis

karena iklim dan tanahnya sesuai untuk penanaman kapuk. Kapuk

dapat berkembang biak dengan biji atau batang. Bila dikehendaki

penanaman dalam jumlah yang besar, kapuk ditanam dari bijinya.

Untuk mendapatkan hasil yang bermutu tinggi, kapuk ditanam dengan

memotong batangnya.

Page 56: Implementasi Untuk Material Pertahanan

49

Panjang serat kapuk berkisar 0,75–3 cm, rata-rata 1,75 cm dan

berdiameter 30-36 mikron. Bentuk penampang melintangnya, bulat

atau lonjong dengan lumen yang lebar dan dinding yang sangat tipis.

Pada lumen nampak terdapat gelembung-gelembung udara. Bentuk

penampang membujur seperti silinder meruncing ke arah ujung dan

mempunyai pilinan seperti serat kapas.

1. Morfologi Kapuk/Randu

Kapuk randu memiliki ketinggian mencapai 8-30 m dan memiliki batang

pohon utama yang cukup besar hingga mencapai diameter 3 m, pada

batangnya juga terdapat duri-duri tempel besar yang berbentuk

kerucut. Tumbuhan ini tahan terhadap kekurangan air sehingga dapat

tumbuh di kawasan pinggir pantai serta lahan-lahan dengan ketinggian

100-800 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan tahunan 1.000-

2.500 mm dan suhu dari 20- 27°C (Setiadi dalam Widhianti, 2011).

Selain itu kapuk randu dapat tumbuh di atas berbagai macam tanah,

dari tanah berpasir sampai tanah liat berdrainase baik, tanah aluvial,

sedikit asam sampai netral. Pohon randu dapat juga hidup pada daerah

kering dan suhu di bawah nol dalam jangka pendek serta peka terhadap

kebakaran (Pratiwi, 2014).

Secara morfologi bentuk bentuk kristalin dan amorf kapuk berbentuk

penampang membujur seperti silinder meruncing ke arah ujung dan

mempunyai pilinan seperti serat kapas. Penampang melintang, bulat

atau lonjong dengan berbentuk lumen yang lebar dan dinding yang

sangat tipis.

Page 57: Implementasi Untuk Material Pertahanan

50

Gambar 2.4 Bagian Kristalin dan Amorf Serat Kapuk (Balai Besar Tekstil, 2017)

2. Komposisi Serat Kapuk

Komposisi kandung serat kapuk berupa unsur-unsur pati dan selulosa

dengan susunan lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Komposisi Serat Kapuk (Balai Besar Tekstil, 2016)

No. Komposisi/Susunan % Terhadap Berat Kering

1 Selulosa ±64 2 Lignin ±13 3 Pentosan (Hemiselulosa) ±23

Disamping ketiga komponen utama di atas kapuk juga mengandung

cutine, sebangsa lilin yang bergabung dengan selulosa yang bersifat

tidak higroskopis.

3. Sifat-Sifat Kapuk

Berdasarkan hasil penelitian Balai Besar Tekstil (1974), Sifat-sifat fisika

yang terkandung dalam serta kapas meliputi:

Page 58: Implementasi Untuk Material Pertahanan

51

a. Serat kapuk berwarna coklat kekuning-kuningan dan mengkilap.

b. Serat kapuk sangat lembut, licin, getas, dan tidak elastis karena

dindingnya sangat tipis. Sifat tersebut menyebabkan serat kapuk

tidak mudah dipintal.

c. Berat jenis zat serat sangat kecil (b.d 0,04) yang menyebabkan

serat kapuk mudah mengembang.

d. Sifat melenting yang baik, transparan, tidak higroskopis, menyerap

suara, mudah sekali terbakar, anti septik, dan bersifat menghambat

panas yang tidak baik.

4. Kegunaan Serat Kapuk

Kegunaan serat kapuk masih terbatas, belum ada terobosan yang baru

beda dengan serat kapas. Adapun kegunaan dari serat kapuk adalah

sebagai berikut:

a. Serat kapuk digunakan sebagai pengisi pelampung penyelamat

karena mempunyai sifat mengembang yang baik.

b. Serat kapuk sangat baik dipakai sebagai kaur dan bantal karena

mempunyai sifat melentingnya yang tinggi.

c. Serat kapuk sangat baik digunakan untuk isolasi suara dan isolasi

panas.

d. Serat kapuk tidak digunakan sebagai bahan pakaian karena

sifatnya yang getas dan tidak elastis yang menyebabkan serat

kapuk tidak dapat dipintal.

Page 59: Implementasi Untuk Material Pertahanan

52

2.1.3 Kelapa Sawit

Potensi kelapa sawit untuk selulosa dapat dimanfaatkan dari hasil

proses pembuatan crude palm oil (CPO) yaitu limbah padat yang

berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS). TKSS memiliki potensi

besar menjadi sumber biomassa selulosa dengan kelimpahan cukup

tinggi dan sifatnya yang terbarukan. TKKS merupakan hasil samping

dari pengolahan minyak kelapa sawit yang pemanfaatannya masih

terbatas sebagai pupuk, dan media bagi pertumbuhan jamur serta

tanaman. Limbah kelapa sawit jumlahnya sangat melimpah, setiap

pengolahan 1 ton TBS (Tandan Buah Segar) akan dihasilkan TKKS

(Tandan Kosong Kelapa Sawit) sebanyak 23% TKKS atau sebanyak 230

kg TKKS (Sunawan dan Juhana, 2013).

Data bahwasanya sebuah pabrik dengan kapasitas pengolahan 12,7

juta ton/jam, waktu operasi selama 1 jam, maka akan dihasilkan

sebanyak 2,3 juta ton TKKS. Total limbah TKKS seluruh Indonesia, 2004

diperkirakan mencapai 18,2 juta ton. Disimpulkan memproduksi

bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak diusahakan karena

tingkat keuntungan mencapai 75 % (Sunawan dan Juhana, 2013).

Untuk potensi TKKS yang dapat diambil selulosanya diseluruh Indonesia

dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.

Page 60: Implementasi Untuk Material Pertahanan

53

Tabel 2.3 Potensi TKKS Hasil Produksi Kelapa Sawit di Indonesia (Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian, 2006)

No Provinsi Luas Area

(Ha)

Produksi Kelapa Sawit

(ton)

Produksi TKKS (ton)

1 NAD 261.101 112.000 26.000 2 Sumatera Utara 964.257 414.000 95.000 3 Sumatera Barat 324.332 139.000 32.000 4 Riau 1.340.036 559.000 129.000 5 Kepulauan Riau 2.067 888 205 6 Jambi 466.709 200.000 46.000 7 Sumatera Selatan 532.365 228.000 53.000 8 Bangka Belitung 100.681 430.000 99.000 9 Bengkulu 83.583 35.000 8.050 10 Lampung 163.589 71.000 16.000 11 Kalimantan Barat 466.900 201.000 46.000 12 Kalimantan

Tengah 269.043 116.000 27.000

13 Kalimantan Selatan

150.211 64.500 15.000

14 Kalimantan Timur 222.132 95.000 22.000 15 Sulawesi Tengah 44.215 18.000 4.100 16 Sulawesi selatan 13.925 60.000 14.000 17 Sulawesi Barat 84.248 36.000 8.300 18 Papua 41.640 18.000 4.200

Nasional 5.518.219 2.300.000 529.000

Data dari (Ditjen Perkebunan, 2006) tersebut menginformasikan bahwa

perkebunan kelapa sawit saat ini menempati wilayah sangat luas, yaitu

berkembang di 18 propinsi. Wilayah terluas terdapat di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi dan Papua (yang mencakup Jair, Kabupaten

Boven Digoel). Lima propinsi terluas berturut-turut adalah Riau (1,3

juta Ha), Sumatera Utara (964,3 ribu Ha), Sumatera Selatan (532,4 ribu

Ha), Kalimantan Barat (466,9 ribu Ha) dan Jambi (466,7 ribu Ha).

Page 61: Implementasi Untuk Material Pertahanan

54

Kelima propinsi tersebut memiliki 3,770 juta Ha atau 67,4% dari 5,597

juta Ha di seluruh Indonesia.

1. Jenis dan Potensi Limbah Kelapa Sawit

Jenis limbah kelapa sawit pada generasi pertama adalah berupa limbah

padat, terdiri dari tandan kosong, pelepah, cangkang dan lain-lain.

Sedangkan limbah cair terjadi pada in house keeping pada

pengolahan CPO (Crude Palm Oil).

Limbah yang terjadi pada generasi pertama baik itu limbah padat atau

cair setelah diproses menjadi suatu produk yang akan menyisakan

limbah generasi berikutnya dan limbah generasi kedua ini juga dapat

dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah. Tabel 2.4

terlihat potensi limbah yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai

nilai ekonomi yang tidak sedikit.

Diantara potensi limbah yang diketahui untuk Kebun sawit yaitu dapat

dimanfaatkan sebagai sebagai sumber selulosa yang dapat

dimanfaatkan untuk pembuatan nitrocellulose yang manfaatnya

sebagai bahan dasar propelan. Pemanfaatan limbah baik padat

maupun cair secara umum dapat dilakukan melalui proses pengolahan

yang dapat dibedakan dalam tiga proses yakni ; proses kimia, proses

fisika serta proses biologi.

Page 62: Implementasi Untuk Material Pertahanan

55

Tabel 2.4 Jenis, Potensi dan Pemanfaatan limbah Kelapa Sawit (PT. Korindo – Jair, 2013)

Jenis Limbah Potensi per ton

TBS (%) Manfaat

Tandan kosong 23,0 Pupuk kompos,

Wet Decanter Solid 4,0 Pupuk, kompos

Cangkang 6,5 Sumber Energi

Serabut (fiber) 13,0 Sumber Energi

Limbah cair 50,0 Pupuk

Air kondensat Air umpan broiler

Berdasarkan penelitian literatur diketahui persentase Tankos/TKKS

terhadap TBS sekitar 20% dan setiap ton Tankos mengandung unsur

hara N, P, K, dan Mg berturut-turut setara dengan 3 Kg Urea; 0,6

Kg CIRP; 12 Kg MOP; dan 2 Kg Kieserit (Sunarwan dan Juhana, 2013).

Dalam upaya pemanfaatan limbah kelapa sawit secara optimal untuk

setiap kasus, perlu dikaji beberapa aspek teknis, ekonomis, sosial dan

lingkungan yang meliputi perihal berikut:

a. Jumlah, waktu pengadaan dan lokasi keberadaan limbah maupun

fluktuasinya sepanjang tahun atau musim.

b. Pemanfaatan di lapangan, jumlah biomasa, kebutuhan tenaga kerja,

peralatan, kondisi jalan, bahaya, resiko kerusakan atau pelapukan.

Transportasi, volume limbah, jarak sampai ditujuan, kondisi jalan.

c. Struktur fisik dan komposisi kimia maupun kandungan energi (nilai

kalor bakar) bahan limbah.

d. Berbagai alternatif pemanfaatan limbah, teknologi yang tersedia,

biaya dan nilai produk yang dihasilkan.

Page 63: Implementasi Untuk Material Pertahanan

56

e. Tingkat pencemaran lingkungan dan teknologi penanganan untuk

kelestarian lingkungan hidup.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka

pemanfaatan limbah dapat dilakukan secara optimal.

2. Karakteristik Limbah Kelapa Sawit

Dalam proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) di Pabrik Kelapa

Sawit selalu menghasilkan produk dan limbah. Adapun produk yang

dihasilkan yaitu Minyak Sawit Mentah/Crude Palm Oil (CPO) dan

Minyak inti Sawit (Kernel Inti sawit), sedangkan limbah yang dihasilkan

adalah sebagai berikut:

a. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

Limbah ini dapat dihasilkan dari tandan brondolan yaitu tandan buah

segar yang terlalu matang yang buahnya terlepas dari tandannya saat

masih berada di perkebunan/di kebun, keadaan tandannya kering serta

di pabrik pengolahan kelapa sawit adalah hasil proses Sterilising dan

Thresing dengan keadaan tandan basah. Berdasarkan penelitian Ditjen

Perkebunan (2006) kandungan tandan kosong kelapa sawit (TKKS)

mengandung Selulosa 41,3%-46,5% (C6H10O5)n, Hemi Selulosa

25,3%-32,5% dan mengandung lignin 27,6%-32,5%.

Page 64: Implementasi Untuk Material Pertahanan

57

Gambar 2.5 Tandan Kosong Kelapa Sawit (Sunarwan dan Juhana, 2013)

b. Cangkang (Shell)

Cangkang merupakan limbah yang dihasilkan dari pemrosesan kernel

inti sawit dengan bentuk seperti tempurung kelapa yang mempunyai

kalor 3500 kkal/kg-4100 kkal/kg.

Gambar 2.6 Cangkang (Shell) (Sunarwan dan Juhana, 2013)

Page 65: Implementasi Untuk Material Pertahanan

58

c. Serabut (Fiber)

Serat merupakan limbah sisa perasan buah sawit merupakan serabut

berbentuk seperti benang. Bahan ini mengandung protein kasar sekitar

4% dan serat kasar 36% (lignin 26%) serta mempunyai kalor 2637

kkal/kg-3998 kkal/kg.

Gambar 2.7 Penimbunan Serabut/Fiber (Sunarwan dan Juhana, 2013)

Dari hasil uji laboratorium nilai kalor sampel untuk sampel Serabut,

Cangkang dan Tandan Kosong Kelapa Sawit yang diambil dari PT.

Korindo Group-Jair, Boven Digoel dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut:

Tabel 2.5 Hasil uji laboratorium Kimia Fisik ITB menilai kalor sampel limbah sawit (Sunarwan dan Juhana, 2013)

No. Sampel Nilai Kalor (Kalori/gr)

Nilai Kalor (Joule/gr)

1 Serabut Kelapa Sawit 4.875,7857 20.315,4489 2 Tandan Kosong Kelapa Sawit 4.492,7436 18.719,4656 3 Cangkang Kelapa Sawit 5.656,7127 23.569,2595

Page 66: Implementasi Untuk Material Pertahanan

59

Sedangkan dari hasil uji laboratorium terhadap contoh limbah padat

dari PT. Korindo-Group , Jair, Kabupaten Boven Digoel , 2013 dapat

dilihat pada Tabel 4.5 berikut:

Tabel 2.6 Hasil Uji Kandungan Selulosa Laboratorium Teknik Kimia ITB sampel Pabrik Kelapa Sawit PT. Korindo

(Sunarwan dan Juhana, 2013)

No Limbah Sawit Kandungan atas dasar % berat kering

Selullosa Glukosa Lemak

1 TKKS 41,392 0,022 -

2 Bonggol TKKS 47,430 0,024 -

3 Buah Berondolan 12,357 0,463 40,834

3. Pemanfaatan Limbah Sawit

Berdasarkan karakateristik dari masing-masing limbah yang dihasilkan

oleh proses pembuatan minyak mentah kelapa sawit (Crude Palm Oil)

maka untuk masing-masing limbah sesuai karakteristik tiap jenis

lembah Pabrik Kelapa Sawit dapat dimanfaatkan menjadi.

a. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

Limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) ini sesuai karakteristik dan

kandungan kimianya dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol.

Pengolahan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) menjadi bioetanol

menggunakan perpaduan 2 (dua) metoda yaitu metoda Aryafatta dan

metoda Prihandana.

Page 67: Implementasi Untuk Material Pertahanan

60

Pada prinsipnya, metoda ini sama dengan pengolahan singkong

menjadi bioetanol yaitu melalui tahapan hidrolisis, fermentasi dan

destilasi., akan tetapi karena bahan berselulosa lebih komplek maka

diperlukan tambahan perlakuan berupa prêtreatment untuk

menghilangkan lignin.

Lignin perlu dihilangkan karena dapat mengganggu/menghambat

proses hidrolisis selulosa. Penghilangan lignin dapat dilakukan dengan

cara perendaman dalam larutan NaOH 5% disertai dengan pemanasan

pada suhu 120oC.

Sebelum perlakuan pre treatment TKKS terlebih dulu dipotong–potong

kemudian dikeringkan lalu digiling menggunakan mesin penggiling

(Willey mill). Setelah pre treatment ampas yang tersisa dihidrolisis

dengan enzim selulase 13 menjadi gula – gula sederhana (glukosa).

(Sebenarnya proses hidrolisis ini dapat juga dilakukan dengan cara

penambahan asam kuat seperti H2SO4 pekat atau HCl pekat dan

berlangsung lebih cepat).

Tetapi karena sifat asam kuat yang tidak spesifik terhadap substrat

maka asam tidak hanya menghidrolisis selulosa tetapi juga

menguraikan hemiselulosa menjadi senyawa furfural yang dapat

menghambat proses hidrolisis. Sehingga rendemen glukosa yang

dihasilkan sedikit.

Page 68: Implementasi Untuk Material Pertahanan

61

Berdasar Hasil Uji kandungan hara terhadap limpah padat pabrik kelapa

sawit dari PT. Korindo – Jair, Boven Digoel dihasilkan pati, sellulosa dan

glukosa dengan kandungan cukup besar yaitu Sellulosa 12.357 sampai

47,43% dan Glukosa 0.022 sampai 0,463%, sementara diketahui

bahwa cairan glukosa yang terbentuk dengan kisaran 0.022 sampai

0.463% berat kemudian difermentasi menggunakan khamir

Saccharomyces cereviseae yang mampu mengubah glukosa menjadi

alkohol (alkohol). Saccharomyces cereviseae ini bersifat fakultatif

anaerob sehingga masih membutuhkan oksigen dalam jumlah sedikit.

Kondisi optimum fermentasi adalah pada suhu 30oC, pH 4,0 – 4,5 dan

kadar gula (10 – 18) %. Selama fermentasi dilakukan pengadukan

(aerasi) dan akan terjadi kenaikan suhu sehingga perlu dilakukan

pendinginan. Pada awal fermentasi perlu ditambahkan nutrien dan

kofaktor yang berperan penting bagi kehidupan khamir seperti karbon,

oksigen, nitrogen, hidrogen, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium

agar pertumbuhan khamir bisa optimal.

Proses fermentasi berlangsung selama 30 – 72 jam dan akan terhenti

setelah kadar etanol sebesar 12%. Hal ini karena etanol 12% dapat

membunuh khamir itu sendiri sehingga menghambat fermentasi. Etanol

yang dihasilkan kemudian didestilasi untuk meningkatkan kadarnya.

Etanol yang telah didestilasi mempunyai kadar (91 – 92) %.

Peningkatan kemurnian etanol dapat dicapai dengan cara dehidrasi

sehingga mencapai kemurnian 99,7%.

Page 69: Implementasi Untuk Material Pertahanan

62

b. Cangkang dan Serabut

Berdasar uji laboratorium (Tabel 4.4) terhadap serabut kelapa sawit

(4.875.7857 kal/gram), TKKS (4.492,7446 kal/gram) dan Cangkang

(5.656.7127 kal/gram) maka Cangkang kernel inti sawit bisa dijadikan

sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Litrik Tenaga Uap (PLTU)

dalam bentuk arang atau dibuat dahulu menjadi bio-briket dengan

proses densitifikasi (pemadatan) yang prosesnya dapat dilihat dibawah

ini.

Gambar 2.8 Prosedur pembuatan bio-briket (PTPN, 2009)

Limbah

biomassa

Pengeringan

Sortasi

Penyeragaman

ukuran

Pengarangan/

karbonisasi

Penambahan

perekat

Pengadukan

Pengempaan

BiobriketA

A

Page 70: Implementasi Untuk Material Pertahanan

63

Gambar 2.9 Bio-briket (PTPN, 2009)

2.2 Proses Pembuatan Selulosa

Selulosa adalah polisakarida yang terdiri dari rantai linier dari beberapa

ratus hingga lebih dari sepuluh ribu ikatan β(1→4) unit D-glukosa.

Selulosa adalah karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan

menempati hampir 60% komponen penyusun struktur kayu. Selulosa

merupakan serat-serat panjang yang bersama-sama hemiselulosa,

pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat

dinding sel tanaman. Jumlah selulosa di alam sangat berlimpah sebagai

sisa tanaman atau dalam bentuk sisa pertanian seperti jerami padi, kulit

jagung, gandum,kulit tebu dan lain-lain tumbuhan.

Selulosa hampir sama dengan amilosa yaitu sama-sama polimer

berantai lurus hanya saja berbeda pada jenis ikatan glukosidanya.

Pengempa briket manual Pengempa briket mekanis

Berbagai bentuk dan jenis briket

biomassa

Page 71: Implementasi Untuk Material Pertahanan

64

Selulosa bila dihidrolisis oleh enzim selobiase yang cara kerjanya

serupa denga beta- amilase akan menghasilkan dua molekul glukosa

dari ujung rantai sehingga dihasilkan selobiosa beta-1,4 - G-G.

Dalam pembuatan selulosa ada beberapa metode proses yang dapat

digunakan sesuai dengan keluaran jenis selulosa yang diinginkan.

Selulosa yang banyak digunakan dalam industri maupun kebutuhan

lainnya yaitu:

1. Selulosa Asetat.

2. Selulosa Triasetat.

3. Selulosa alfa (α).

2.2.1 Selulosa Asetat

Selulosa asetat merupakan salah satu senyawa turunan selulosa

(cellulose derivate) dalam bentuk eter yang penting dan banyak

digunakan untuk industri, antara lain untuk pembuatan membran,

serat, plastik serta pelapis. Gugus OH pada molekul selulosa dapat

digantikan oleh gugus fungsi lain selama esterifikasi. Adanya tiga gugus

OH pada molekul selulosa memungkinkan untuk menghasilkan selulosa

asetat dalam bentuk monoasetat, diasetat, serta triasetat. Selulosa

yang diesterifikasi menjadi selulose triasetat memiliki rumus emperik

C5H7O2(CH3CO)3 (Bydson, 1995).

Sifat teknis selulosa asetat komersial yang penting adalah derajat

subtitusi (DS) dan derajat polimerisasinya. Derajat substitusi suatu

selulosa asetat akan berpengaruh terhadap penggunaanya terutama

Page 72: Implementasi Untuk Material Pertahanan

65

kemampuannya larut dalam jenis pelarut tertentu (Fengel dan

Wegener, 1984). Derajat polimerisasi selulosa asetat berpengaruh pada

sifat-sifat mekanik dan kinerja produk yang dihasilkan. Derajat

polimerisasi selulosa asetat dipengaruhi oleh derajat polimerisasi bahan

baku yang digunakan serta kondisi yang dialami selama prose

pembuatan selulosa asetat (Bydson, 1995). Kekentalan selulosa asetat

akan turun selama esterifikasi bahkan setelah pembentukan seluloss

triasetat. Penurunan kekentalan dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain nisbah anhidrida asetat, konsentrasi katalis dan suhu (Malm

et al., 1961). Kadar asetil selulosa asetat berpengaruh terhadap

kelarutannya dalam pelarut organik. Variasi jenis selulosa asetat

sehubungan dengan kadar astil, derajat substitusi dan pelarut yang

sesuai serta aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Variasi Jenis Selulose Asetat (Fengel dan Wegener, 1984)

No. Kadar Asetil

(%) Derajat

Substitusi Pelarut Aplikasi

1 13,0 – 18,6 0,6 -0,9 Air - 2 22,2 – 32,2 1,2 – 1,8 2-metoksi etanol Plastik, pernis 3 36,5 – 42,2 2,2 – 2,7 Aseton Serat, Film 4 43,0 -44,8 2,8 – 2,3 Kloroform Serat, Lembaran

Selulosa asetat mempunyai gugus-gugus fungsi yang khas yang tidak

dimiliki oleh selulosa. Hasil analisis dengan spektrometri infra merah

menunjukkan gugus-gugus fungsi yang khas yang terdapat pada

selulosa asetat tapi tidak terdapat pada selulosa gugus fungsi, tapi tidak

terdapat pada selulosa yaitu gugus fungsi karbonil (C=O) dan gugus

fungsi C-O (Silverstein el al., 1991).

Page 73: Implementasi Untuk Material Pertahanan

66

1. Proses Pembuatan Selulosa Asetat

Produksi selulosa asetat secara komersial umumnya dilakukan dengan

mereaksikan selulosa dengan anhidrida asetat, dengan menggunakan

katalis asam sulfat atau asam perklorat serta asam asetat sebagai

pelarut. Asam sulfat adalah katalis yang paling banyak digunakan pada

produksi selulosa asetat (Kuo et al., 1997).

Kualitas selulosa yang dipakai untuk bahan baku dalam pembuatan

selulosa asetat sangat berpengaruh terhadap mutu keluaran produk

yaitu selulosa asetat. Untuk bahan baku sebaiknya selulosa yang

dipakai mempunyai tingkat kemurnian tinggi dalam hal ini sebaiknya

menggunakan selulosa α. Pulp kayu dan kapas kualitas tinggi biasanya

dipakai untuk bahan baku pembuatan selulosa asetat mempunya

kandungan selulosa α ≥ 95%, pentosan ≤ 2,1%, viskositas intrisik

550 – 750 dm3/kg, kelarutan dalam eter < 0,08%, serta kandungan zat

besi lebih kecil dari 10 mg/kg (Achmadi, 1990).

Menurut Ott et al. (1954) dan Nevel dan Zeronian (1985), pembuatan

selulosa asetat terdiri atas 4 (empat) tahap yaitu:

1) Praperlakuan (pretreatmet).

2) Asetilasi (acetylation).

3) Hidrolisis (Hydrolysis).

4) Pemurnian (purification).

Lebih jelasnya mengenai proses pembuatan selulosa asetat diberikan

pada Gambar 2.10 berikut:

Page 74: Implementasi Untuk Material Pertahanan

67

Gambar 2.10. Skema Pembuatan Selulosa Asetat (Kirk Othmer, 1998)

1) Praperlakuan/Penyediaan selulosa untuk asetilasi

Pulp kayu disuplai dalam sebuah roll dengan beban 300 kg. Lembaran

pulp harus terdispersi tanpa merusak serat individual untuk

menghasilkan luas permukaan yang cukup untuk asetilasi sempurna.

Beberapa pembuatan menggunakan disk refiner, ada juga yang

menggunakan metoda basah. Dalam satu contoh, untuk meningkatkan

pencapaian proses, maka pulp-pulp halus (fluffed) diaduk dengan

campuran asam asetat-air selama 1 jam pada temperatur 25-40oC.

Tahap aktivasi termasuk dalam proses katalis rendah dengan

menggunakan campuran asam asetat-asam sulfat dengan konsentrasi

asam sulfat 1-2% dari berat pulp. Tahap aktivasi berlangsung selama

Page 75: Implementasi Untuk Material Pertahanan

68

1-2 jam dimana derajat polimerisasi dari selulosa berkurang.

Pengontrolan waktu aktivasi dan temperatur dapat menghasilkan

derajat polimerisasi yang diinginkan. Pulp kemudian diumpankan ke

reaktor asetilasi setelah tahap pengolahan awal dan aktivasi.

2) Asetilasi

Esterifikasi selulosa dengan asetat anhidrida membebaskan panas 1.03

kJ/g selulosa dan reaksi asetat anhidrida dengan air dari tahap

pretreatment menghasilkan panas 3.3 kJ/g air. Oleh karena itu, heat

sink dibutuhkan untuk dua reaksi eksotermik yang terdapat pada proses

asetilasi. Pada asetilasi katalis tinggi, panas terbentuk dengan sangat

cepat dan sebuah bejana berjaket tidak menyediakan kapasitas

pendinginan yang tidak mencukupi. Maka, campuran asetilasi sedikit

didinginkan di bejana terpisah yang dinamakan dengan crystallizer

sehingga beberapa asam asetat membeku. Hal ini sangat penting

dalam tahap awal asetilasi, dimana bila terdapat sedikit kenaikan

temperatur akan mengurangi derajat polimerisasi.

Ketika asetilasi telah siap, maka campuran ditambahkan air untuk

menghilangkan anhidrida yang berlebihan dan membuat konsentrasi air

sebesar 5-10% untuk hidrolisis. Konsentrasi selulosa asetat yang

didapat sekitar 10-25%.

Semua proses asetilasi komersial bersifat heterogen. Proses homogen

dengan bahan baku serpihan pulp (flaked pulp) akan membuat kualitas

Page 76: Implementasi Untuk Material Pertahanan

69

produk asetat lebih baik meskipun kerugiannya terletak pada biaya

pemulihan pelarut.

3) Hidrolisis

Jumlah gugus asetil yang terdapat pada setiap unit anhidroglukosa

pada kekomplitan reaksi asetilasi yaitu kurang dari 3.0 dan harus

dikurangi hingga 2.4 untuk membuat selulosa asetat sekunder yang

dapat larut dalam aseton. Jumlah gugus asetil dikurangi dan gugus

sulfat yang bergabung dikurangi dengan hidrolisis asam dengan

pengaruh pengontrolan waktu, temperatur dan keasaman. Gugus sulfat

yang lebih mudah terhidrolisis daripada gugus asetil meningkatkan

keasaman reaksi. Temperatur hidrolisis berkisar 50-100oC dan waktu

reaksi bervariasi dari 1 hingga 24 jam. Hidrolisis juga dapat dilakukan

pada kondisi lain. Sebagai contoh, ketika dilakukan pada temperatur

yang lebih tinggi, akan terjadi degradasi terhadap polimer dan yield

produk yang berkurang.

4) Pemurnian

Pengendapan, pencucian, dan pengeringan merupakan tahap terakhir

dalam pembuatan polimer. Pengendapan dimulai dengan

menghidrolisis larutan selulosa asetat dengan asam asetat encer (10-

15%) hingga mencapai titik pengendapan. Asam asetat yang encer

ditambahkan secepat mungkin dan segera diaduk. Untuk memperoleh

bubuk endapan, larutan yang diaduk kemudian diencerkan sampai

endapan terbentuk. Proses lain melibatkan ekstrusi dari larutan

Page 77: Implementasi Untuk Material Pertahanan

70

terhidrolisis ke dalam larutan asam; proses ini kemudian membentuk

untaian halus yang bila dipotong akan membentuk pelet.

Endapan selulosa asetat kemudian disaring dari asam asetat encer (25-

36%). Asam asetat dan garam yang tersisa dari netralisasi asam sulfat

kemudian dihilangkan dengan pencucian.

Polimer basah kemudian dikeringkan hingga mencapai kelembaban 1-

5%. Asam asetat encer yang kemudian didapatkan dari tahap

pencucian dan pengendapan tidak dapat digunakan untuk proses

lainnya. Faktor pemulihan dan daur ulang merupakan keperluan

ekonomi.

Polimer asetat dan triasetat merupakan padatan amorf putih dalam

bentuk glanular, serpihan, bubuk dan serat. Polimer ini digunakan

sebagai bahan baku dalam pembuatan serat, film, dan plastik. Densitas

polimer bervariasi dari 100 kg/m3 untuk bentuk serat hingga 500 kg/m3

untuk bentuk granula.

Sekitar 4.0-4.5 kg asam asetat per kg selulosa asetat digunakan dalam

proses larutan; 0.5 kg digunakan untuk produk dan sisanya 3.5-4.0 kg

dipulihkan sebagai larutan dengan kandungan asam asetat 25-35%.

Larutan ini juga mengandung garam terlarut dari netralisasi asam sulfat

yang larut dan selulosa berat molekul rendah dan hemiselulosa asetat.

Asam asetat dipulihkan dari aliran asam lemah dengan ekstraksi pelarut

dengan solven seperti etil asetat atau metil etil keton. Hasil ekstrak

kemudian diumpankan ke kolom distilasi dan fasa rafinat yang

Page 78: Implementasi Untuk Material Pertahanan

71

mengandung garam anorganik diambil. Ekstraksi pelarut di distilasi dan

meninggalkan sisa asam asetat glasial.

2. Kegunaan Utama Selulosa Asetat

Beberapa keguanaan utama dari selulosa asetat adalah:

1) Bidang Pakaian: tombol, kacamata hitam, pelapis, blus, gaun,

pernikahan dan pakaian pesta, perabot rumah, gorden, kain pelapis

dan penutup slip.

2) Penggunaan bidang industri : rokok dan filter lainnya, tinta untuk

pena dengan ujung serat.

3) Produk dengan daya serap tinggi : popok dan produk bedah.

4) Mainan Produk Lego

Gambar 2.11 Ujung Pen dengan Bahan Selulosa Asetat (www.art-social.com)

Gambar 2.12 Filter Rokok (www.tokorokok.com)

Page 79: Implementasi Untuk Material Pertahanan

72

2.2.2 Serat Selulosa Asetat dan Triasetat

Proses pembuatan serat selulosa asetat dan triasetat terdiri 4 (empat)

proses yaitu:

1. Proses Ekstrusi

Larutan polimer diubah ke bentuk fiber dengan ekstrusi. Proses ekstrusi

kering atau dry spinning merupakan proses utama dalam asetat dan

triasetat. Pada operasi ini, larutan polimer dalam pelarut volatil dipaksa

melalui sejumlah orifis paralel ke kabinet yang berisi udara hangat;

serat dibentuk dengan penguapan pelarut. Dalam ekstrusi basah,

larutan polimer dipaksa melalui spinneret ke sebuah cairan yang

mengkoagulasikan filamen dan menghilangkan pelarut. Dalam ekstrusi

leleh, lelehan polimer dipaksa melalui multihole die ke udara yang akan

mendinginkan untaian benang menjadi filamen.

Proses ekstrusi kering terdiri atas empat operasi : pelarutan polimer

dalam pelarut volatil; penyaringan larutan untuk menghilangkan

material tidak larut; ekstrusi larutan untuk membentuk serat; dan

pelumasan, pembentukan rajutan benang (yarn formation), dan

pengepakan.

2. Pelarutan Polimer

Konsentrasi optimum untuk spinning larutan asetat bergantung pada

keseimbangan antara konsentrasi padatan tertinggi dengan produk

Page 80: Implementasi Untuk Material Pertahanan

73

larutan yang memiliki viskositas besar. Meskipun konsentrasi padatan

yang tinggi membentuk serat dengan sifat yang baik tetapi akan

mengurangi jumlah pelarut yang akan dipulihkan. Solven dengan

komposisi aseton 95% dan air 5% serta kandungan padatan polimer

20-30% bergantung pada berat molekul polimer. Viskositas larutan

pada temperatur ruangan sekitar 100-300 Pa.s

Selulosa triasetat kurang larut dalam aseton dan solven lain yang

umumnya digunakan untuk proses ekstrusi kering yaitu hidrokarbon

terklorinasi, metil asetat, asam asetat, dan dimetil sulfoksida.

Polimer asetat dan triasetat diumpankan ke pencampur beban berat

bersamaan dengan solven dan sebuah alat filter seperti serat kayu-

pulp. Konsentrasi, temperatur, dan kehomogenan pencampuran

merupakan faktor yang perlu dikontrol. Untuk serat yang pudar, sekitar

1-2% pigmen titanium dioksida ditambahkan dalam proses

pencampuran atau injeksi setelah proses filtrasi.

3. Penyaringan Larutan

Larutan polimer, yang bebas dari selulosa tak terasetilasi, mengandung

partikel kontaminan kaku dan pengotor harus melewati spinneret

dengan diameter lubang 30-80 um. Partikel yang tidak diinginkan

seperti hemiselulosa asetat yang terdapat pada pengotor selulosa

cenderung ditipiskan daripada dihilangkan.

Page 81: Implementasi Untuk Material Pertahanan

74

4. Ekstrusi

Filtrat yang berupa larutan polimer terpanaskan kemudian diumpankan

ke spinneret untuk ekstrusi pada volume konstan. Spinneret merupakan

bahan dari stainless steel dan mengandung tiga belas hingga ratusan

lubang untuk membentuk serat sesuai ukuran dan bentuk yang

diinginkan.

Sebelum masuk ke spinneret, larutan ekstusi yang dinamakan dope

dipanaskan untuk mengurangi viskositas dan menyediakan panas untuk

menyorotkan solven dari filamen yang terekstrusi. Larutan polimer yang

panas menyatu seketika filamen dari spinneret masuk ke kolom dengan

udara kering. Pemanasan dengan udara kering akan membuat solven

menguap. Sekitar 80% dari solven dapat dihilangkan dalam pemanasan

ini. Aliran udara dapat bersifat searah (cocurrent) dan berlawanan arah

(counter current) terhadap pergerakan serat.

Solven yang digunakan untuk membentuk dope diuapkan ketika proses

ekstrusi berlangsung dan harus dipulihkan. Hal ini biasanya

menggunakan metoda adsorbsi dengan karbon aktif atau kondensasi.

Untuk pemurnian akhir, solven kemudian didestilasi.

2.2.3 Selulosa alfa (α)

Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (mumi).

Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan

baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak. Sedangkan

Page 82: Implementasi Untuk Material Pertahanan

75

selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada

industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon). Selulosa dapat

disenyawakan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat

(NC), asam sulfat (SC) dan asam fosfat (FC). Dari ketiga unsur tersebut,

NC memiliki nilai ekonomis yang strategis daripada asam sulfat/SC dan

fosfat/FC karena dapat digunakan sebagai sumber bahan baku

propelan/bahan peledak pada industri pembuatan munisi/mesin dan

atau bahan peledak.

Dalam proses pembuatan Selulosa alfa (α) bahan bakunya dapat

berupa tumbuhan yang berserat dan mengandung pati, adapun

beberapa bahan baku yang umumnya adalah Tandan Kosong Kelapa

Sawit (TKKS), Pelapah Sawit, Sabut Kelapa, Pisang, Kapas, dan Kapuk,

dengan bahan baku tersebut maka dapat dibuat selulosa α dengan

peralatan, bahan dan proses skala laboratorium berikut.

1. Peralatan dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada proses ini meliputi gelas beker,

erlenmeyer, corong pemisah, pipet tetes, gelas ukur, oven, refluks,

derigen, ember, kain penyaring, kertas saring, indikator universal, botol

gelap, alumunium foil, neraca analitik, pengaduk, pembakar bunsen,

magnetic stirer,desikator, kertas saring whatman nomer 2, lemari

asam, statif, buret, FT-IR (Fourer Transform Infra Red) dan DSC

(Differential Scanning Calorimetry).

Page 83: Implementasi Untuk Material Pertahanan

76

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelepah

kelapa sawit, larutan NaOH, larutan H2SO4, H2O2, NaOCl, Na2SO3,

NaNO2, larutan kalium dikromat, indikator ferroin, larutan ferro

ammonium sulfat, dan aquades.

2. Prosedur Pembuatan

Beberapa tahapan dan prosedur dalam proses pembuatan selulosa α

adalah berikut ini.

a. Preparasi Sampel

Sampel berasal dari Kebun milik Politeknik Teknologi Kimia Industri

medan. Langkah pertama, mencuci sampel dengan air bersih dan

menjemurnya di bawah sinar matahari selama satu hari. Selanjutnya,

membelah pelepah kelapa sawit yang setengah kering menjadi empat

dan menjemurnya kembali di bawah sinar matahari selama satu hari

agar kadar airnya berkurang. Kemudian memotong tandan sawit

menjadi berukuran sekitar 2 cm tahap terakhir adalah memblender

sampel hingga diperoleh serbuk halus.

b. Isolasi α-Selulosa dari Pelepah Kelapa Sawit

75 gram serat TKS dilarutkan ke dalam satu liter HNO3 3,5 % dan

ditambahkan 10 mg NaNO2. Campuran sampel dipanaskan diatas hot

plate pada suhu 90oC selama dua jam. Selanjutnya, campuran disaring

dan dicuci sampai didapatkan ampas dengan filtrat netral. Ampas

Page 84: Implementasi Untuk Material Pertahanan

77

direfluk dengan campuran NaOH 2 % dan Na2SO3 2 % perbandingan

(1:1) yang berjumlah 750 ml pada suhu 50oC selama dua jam.

Kemudian campuran disaring dan dicuci hingga didapat ampas dengan

filtrat netral. Tahap berikutnya proses pemutihan yang dilakukan

dengan melarutkan ampas sampel ke dalam 250 ml NaOCl 1,75 % pada

temperatur mendidih selama 30 menit. Kemudian campuran disaring

dan dicuci sampai 27 filtrat dari ampas sampel netral . Pemurnian α-

selulosa dilakukan dengan cara sampel dilarutkan ke dalam 500 ml

NaOH 17,5 % pada suhu 80oC selama 30 menit. Selanjutnya campuran

disaring dan dicuci sampai filtrat ampas netral. Tahap akhir, sampel

dilarutkan ke dalam larutan H2O2 10 % selama satu jam. Sampel yang

didapatkan disaring dan dicuci sampai filtrat ampas netral. Kemudian

ampas (pulp) yang didapat dioven pada suhu 60oC hingga diperoleh

bobot konstan. Pulp kemudian disimpan dalam desikator (Patraini,

2014). Pada penelitian ini, α-selulosa dibuat dari pelepah kelapa sawit

melalui proses delignifikasi dengan memvariasi konsentrasi NaOH 2 %,

4 %, dan 6%.

c. Penentuan Kadar α-Selulosa Menggunakan Metode Uji

SNI 0444:2009

Penentuan kadar α-selulosa dilakukan dengan cara sampel ditimbang

sebanyak 1,5 gr. Selanjunya sampel dimasukkan ke gelas piala dan

ditambahkan 75 ml larutan NaOH 17,5 %, sebelumnya NaOH

disesuaikan pada suhu 25oC sambil mencatat waktu pada saat larutan

NaOH ditambahkan. Setelah itu, sampel diaduk menggunakan stirer

perlahan sampai terdispersi sempurna. Hati-hati dalam proses

Page 85: Implementasi Untuk Material Pertahanan

78

pengadukan untuk menghindari terjadinya gelembung udara dalam

suspensi pulp selama proses pengadukan.

Pengaduk dicuci menggunakan 25 ml larutan NaOH 17,5% diatas gelas

piala yang mengandung sampel sehingga volume mencapai 100 ml.

Selanjutnya suspensi pulp diaduk menggunakan batang pengaduk dan

dimasak dalam air dengan suhu 50oC sampai waktu 30 menit dari awal

perhitungan waktu. Campuran yang 28 diperoleh didiamkan pada suhu

ruang, kemudian ditambah dengan aquades 100 ml. Campuran diaduk

menggunakan batang pengaduk dan dimasak pada suhu 50oC selama

30 menit sehingga total waktu pada proses ini 60 menit. Suspensi yang

didapatkan, selanjutnya diaduk dan disaring sehingga didapatkan

filtrat.

10 ml sampai 20 ml filtrat pertama dibuang, kemudian sisa filtrat

diisihkan untuk analisis kadar α-selulosanya. Selanjutnya filtrat dipipet

sebanyak 10 ml dan ditambah 7 ml larutan kalium dikromat 0,5 N ke

dalam labu 250 ml. Sampel ditambah secara hati-hati 50 ml asam sulfat

pekat dengan menggoyang labu dalam lemari asam. Campuran

dibiarkan tetap panas selama 15 menit dan dipanaskan pada suhu

125oC sampai 135oC lalu ditambahkan 50 ml aquades dan didinginkan

pada suhu ruangan.

Langkah selanjutnya sampel ditambah 2 tetes sampai 4 tetes indikator

ferroin, kemudian dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat 0,1 N

sampai berwarna ungu. Terakhir blanko dibuat dengan perlakuan sama

seperti persiapan sampel namun tidak dimasukkan sampel. Kemudian

fitrat tanpa sampel ini diberi perlakuan sama seperti penambahan

Page 86: Implementasi Untuk Material Pertahanan

79

kalium kromat dan lainnya, kemudian dititrasi menggunakan larutan

ferro ammonium sulfat 0,1 N. Hasil analisis dibandingkan antara sampel

NaOH 2%, NaOH 4%, NaOH 6%, NaOH 8%, sehingga dapat ditentukan

keadaan yang paling optimum menggunakan rumus berikut:

X = 100 - 6,85 (𝑉1−𝑉2)𝑥 𝑁 𝑥 20

𝐴 𝑥 𝑊

Dimana:

X = Selulosa alfa (%); V1 = Volume titrasi blanko (ml); V2 = Volume titrasi filtrat pulp (ml); N = Normalitas larutan ferro ammonium sulfat; A = Volume filtrat pulp yang dianalisa (ml); W = Berat kering oven contoh uji pulp (g).

2.3 Proses Pembuatan Nitrocellulose

Sekarang ini tanaman kapas dan kapuk masih terbatas dalam

penggunaannya. Penggunaan kapas diantaranya adalah digunakan

sebagai peralatan kecantikan, sedangkan kapuk digunakan sebagai alas

tidur, dan digunakan dalam industri tekstil. Di sisi lain penggunaannya

juga terus berkurang karena adanya bahan yang lebih baik kualitasnya

karena adanya penggunaan bahan seperti dacorn. Oleh karena hal

tersebut perlu dipikirkan penggunaan untuk meningkatkan nilai guna

dari kapas dan kapuk tersebut sehingga bisa meningkatkan

kesejahteraan dari petani kapas dan kapuk.

Page 87: Implementasi Untuk Material Pertahanan

80

Salah satu yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai guna dan

nilai ekonomis dari bahan selulosa kapas dan kapuk adalah

pemanfaatannya sebagai bahan baku pembuatan nitroselulosa dengan

menggunakan reaksi nitrasi. Reaksi ini adalah reaksi pembuatan

nitroselulosa dengan menggunakan campuran asam nitrat dan asam

sulfat dengan bantuan air dengan atau tanpa pengadukan. Komposisi

reaktan diatur agar dihasilkan nitroselulose dengan kadar N = 12,2%.

Nitroselulosa yang dihasilkan distabilkan dengan memanaskan dalam

asam panas diikuti dengan larutan natrium karbonat encer panas

(Hantaya, 2010).

Nitroselulosa mempunyai rumus molekul (C6H7O2(OH)3)n. Dari rumus

molekul ini tampak bahwa unsur-unsur bahan bakar (fuel) yaitu C dan

H bergabung dengan unsur oksidator (oxidizer), yaitu O membentuk

satu senyawa yang mampu terbakar apabila dikenai energi aktivasi

walaupun tanpa kehadiran oksigen dari udara (udara mengandung 21

%v oksigen dan 79 %v nitrogen). Nitroselulose (<12,6 % N) biasanya

dipertahankan basah dan mengandung ± 30 % air agar tidak mudah

meledak. Nitroselulosa dengan kadar N lebih tinggi dikenal sebagai

guncotton dan mudah meledak meski sedikit basah. Jika kering semua

jenis nitroselulosa sangat peka terhadap ledakan dan cukup berbahaya.

Nitroselulosa kering diperlukan untuk jenis bahan peledak tertentu, dan

ini dibuat dengan pengeringan pelan-pelan dari nitroselulosa basah

dalam aliran air hangat (Selwitz, 1988).

Pemanfaatan dari nitroselulosa sendiri saat ini sangat luas. Diantaranya

pemanfaatan nitroselulosa dapat digunakan sebagai bahan bakar yang

Page 88: Implementasi Untuk Material Pertahanan

81

bisa digunakan dalam skala rumah tangga maupun dalam skala

industri. Nitroselulosa juga dapat digunakan untuk bahan bakar

pengganti minyak gas dan juga LPG dalam memasak dengan

melarutkan dalam methanol sehingga dihasilkan metanol gel

nitroselulosa. Penggunaan lainnya pada era modern ini adalah

pengembangan penggunaan nitroselulosa sebagai bahan peledak,

maupun sebagai bahan baku penggerak roket. Oleh karena

pemanfaatannya yang sangat luas dan dapat meningkatkan nilai

kegunaan dan nilai keekonomisan dari bahan selulosa kapas dan kapuk,

maka penelitian pembuatan nitroselulosa dari bahan kapas dan kapuk

dengan reaksi nitrasi sederhana menggunakan HNO3 dalam media

H2SO4 ini perlu dilakukan. Di samping hal tersebut, pada saat ini

pembuatan nitroselulosa hanya memanfaatkan selulosa yang terdapat

di dalam kapas, sehingga penelitian ini mencoba mengangkat bahan

baku baru untuk pembuatan nitroselulosa yaitu dengan menggunakan

kapuk yang banyak terdapat di Indonesia.

Dalam proses pembuatan nitrocellulose beberapa tahapan yang

dilakukan yaitu:

1. Preparasi Bahan

Selulosa diperoleh dari kapas dan kapuk. Larutan HNO3 65% dan

larutan H2SO4 98% digunakan sebagai pereaksi dalam reaksi nitrasi

selulosa menjadi nitroselulosa. Larutan NaHCO3 dan aquadest

digunakan sebagai zat pencuci hasil reaksi.

Page 89: Implementasi Untuk Material Pertahanan

82

2. Deskripsi Penggunaan Peralatan

Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah reaktor yang

terbuat dari kaca, sebagai tempat berlangsungnya reaksi nitrasi.

Reaktor dilengkapi dengan termometer, digunakan untuk mengukur

suhu reaksi nitrasi, dan diletakkan dalam ice bath untuk

mengkondisikan reaksi berlangsung pada suhu rendah.

3. Prosedur Pembuatan

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitun tahap pembuatan

nitroselulosa dan tahap analisis kualitas produk nitroselulosa yang

meliputi uji kelarutan untuk mengetahui perhitungan besarnya %

nitroselulosa produk dan uji Fourier Transform Infra Red FTIR untuk

mengetahui gugus nitro yang telah terbentuk.

Pada tahapan pembuatan nitroselulosa dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Langkah Pertama

Menimbang kapas dan kapuk sesuai dengan variabel massa yang

ditentukan yaitu sebesar 5 gram. Selanjutnya disiapkan bahan

HNO3 65 %, bahan H2SO4 98 %, dan NaHCO3 yang cukup encer (10

%). Sebanyak 30 ml HNO3 dan 60 ml H2SO4 dimasukkan dalam

reaktor supaya terjadi reaksi nitrasi, kemudian ditunggu suhunya

hingga mencapai 5oC, yang dikondisikan dengan ice bath. Ketika

suhu reaksi yang diinginkan sudah tercapai maka dimasukkan

Page 90: Implementasi Untuk Material Pertahanan

83

variabel kapas atau kapuk ke dalam reaktor dengan selama 30

menit.

b. Langkah Kedua

Apabila waktu reaksi telah tercapai, maka langkah selanjutnya

adalah mencuci kapas dan kapuk dengan menggunakan aquadest

dan dilanjutkan dicuci dengan NaHCO3 untuk stabilisasi dan

menyamakan distribusi gugus nitro (-NO2) dalam nitroselulosa yang

sudah terbentuk (Rahmad, 2010). Setelah dilakukan pencucian

dengan NaHCO3 selanjutnya nitroselulosa yang terbentuk dicuci

kembali dengan menggunakan aquadest dan ditiriskan. Selanjutnya

dilakukan untuk variabel-variabel yang lain.

c. Langkah Terakhir

Terakhir dalam penelitian ini adalah melakukan uji terhadap

nitroselulosa melalui untuk mengetahui kualitas nitroselulosa yang

dihasilkan melalui perhitungan %rasio nitroselulosa produk dan uji

Fourier Transform Infra Red (FTIR).

4. Kondisi Operasi dan Variabel

Dalam melakukan proses pembuatan nitrocellulose harus

memperhatikan kondisi operasi dan variabel yang digunakan dalam

proses ini. Adapun kondisi operasi dan variabel yang wajib dikontrol

yaitu:

- Tekanan atmosferik.

- Sistem operasi : Batch.

- Volume H2SO4 : 60 ml.

- Volume HNO3 : 30, 45, dan 60 ml.

Page 91: Implementasi Untuk Material Pertahanan

84

- Waktu reaksi : 30, 45, dan 60 menit.

- Suhu reaksi : 5oC, 15oC, dan 25oC.

- Bahan Baku : Kapas dan Kapuk.

5. Hasil Proses

Pada penelitian ini kualitas nitroselulosa yang dihasilkan didasarkan

kepada ratio % nitroselulosa yang dihasilkan, dan kandungan gugus

nitro yang terdapat dalam nitroselulosa. Pada Gambar 2.1 merupakan

hasil analisa FTIR dari bahan selulosa kapas dan bahan selulosa kapuk.

Gambar 2.13 Kurva FTIR Kapas (Suhu 5OC, Waktu 30 menit, H2SO4

60 ml, HNO3 30 ml) (Erlangga, 2012)

Page 92: Implementasi Untuk Material Pertahanan

85

Referensi

1. Achmadi. 1990. Kimia Kayu. Bahan Pengajaran Universitas Ilmu

Hayati. Institut Pertanian Bogor. 120 hlm. Anonim, 2005.

Pemanfaatan Ampas Tebu

2. Bydson, J.A. 1995. Plastic Material. 6th ed., Butterworth-

Heinemann, London

3. Erlangga Bayu P., Tafdhila, Ilham, Mahfud, Prihatini, Pantjawarni

Rr., 2012. Pembuatan Nitroselulosa dari Kapas (Gossypium Sp.)

dan Kapuk (Ceiba Pentandra) Melalui Reaksi Nitrasi, Jurnal Teknik

ITS Vol. 1, No. 1, ISSN: 2301-9271.

4. Fengel, D. and Wegener, G. (1984) Wood, Chemistry,

Ultrastructure, Reactions. Waster & Grugter, New York.

5. Hartaya, Kendra, 2010. Pembuatan Nitroselulosa dari Bahan

Selulosa Sebagai Komponen Utama Propelan Double Base. Pusat

Teknologi Dirgantara Terapan LAPAN Bogor.

6. Kirk Othmer, 1998, ”Encyclopedia of Chemical Technolog “, 4 nd

.ed. Vol.7. Interscience Willey.

7. Kuo MH, et al. (1997) Multiple phosphorylated forms of the

Saccharomyces cerevisiae Mcm1 protein include an isoform induced

in response to high salt concentrations. Mol Cell Biol 17(2):819-32.

8. Malm et al., 1961, “Cellulose and Cellulose Derivatives”, Part 2 of

High Polymer, Interscience Publishers.

9. Nevell, T. D. and Zeronian, S.H. 1985. Oxidant of Cellulose in

Cellulose Chemistry and Its Aplications, Ellis Hardwood Limited

Chicherter-West Sussex. Hlm. 243-265

Page 93: Implementasi Untuk Material Pertahanan

86

10. Pratiwi RH., 2014, Potensi Kapuk Randu (Ceiba Pentandra Gaertn.)

dalam Penyediaan Obat Herbal , E-Journal WIDYA Keshatan Dan

Lingkungan Volume: 1

11. Rahmad, Alfein, 2010. Potensi Reject Pulp sebagai Bahan Baku

Pembuatan Propelan. Jurnal Universitas Riau, Pekan Baru.

12. Selwitz, Charles, 1988. Cellulose Nitrate in Conservation. The Getty

Conservation Institute.

13. Setiadi. Wi2011. Bertanam Kapuk Randu. Penebar Swadaya.

Anggota IKAPI. Jakarta.

14. Silverstein, R.M., Bassler, G.C. and Morrill, T.C. (1991)

Spectrometric Identification of Organic Compounds. John Wiley,

New York.

15. Soeprijono, 1974. Serat-Serat Tekstil, Institut Teknologi Tekstil

Bandung.

16. Sunarwan, Bambang, Juhana, Riyadi, 2013. Pemanfaatan Limbah

Sawit Untuk Bahan Bakar Energi Baru Terbarukan (EBT) Studi

Kasus: Limbah Sawit Produksi Sawit Daerah Kabupaten Boven

Digoel Provinsi Papua. Jurnal Tekno-Insentif Volume 7, Nomor 2

Page 94: Implementasi Untuk Material Pertahanan

87

BAB 3

GOLONGAN BOTANI MENGANDUNG RESIN

3.1 Jenis Botani Mengandung Resin

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan.

Selain itu juga hutan dapat diartikan sebagai sumber daya alam yang

banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Manusia melakukan

interaksi dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hutan

memiliki berbagai aspek manfaat bagi kehidupan manusia baik manfaat

langsung yang dirasakan maupun yang tidak langsung.

Beberapa pohon atau tanaman yang ada di dalam hutan mengandung

ressin yang dimanfaatkan oleh manusia untuk kebutuhan industri.

Pohon atau tanaman yang mengandung resin tersebut adalah:

1. Pohon Damar.

2. Pohon Pinus.

3.1.1 Pohon Damar

Resin merupakan senyawa organik atau campuran berbagai senyawa

polimer alam yang disebut terpen, berbentuk padat atau semi padat.

Resin mudah larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air

(Boer dan Ella 2001). Resin alam merupakan resin yang tereksudasi

Page 95: Implementasi Untuk Material Pertahanan

88

secara alamiah dan keluar secara alami maupun buatan. Resin yang

tereksudasi secara alamiah mengandung campuran antara gum dan

minyak atsiri. Resin alam memiliki bentuk berupa padatan, berwarna

mengilap dan bening kusam, rapuh, meleleh bila kena panas dan

mudah terbakar (Sedtler et al. 1975 dalam Namiroh 1998).

Kirk dan Othmer (1941) dalam Larasati (2007), mengklasifikasikan

resin alam sebagai berikut:

1. Damar, yaitu golongan resin yang memilki bilangan asam rendah

dandapat larut dalam minyak serta pelarut organik, contohnya

adalah damar mata kucing.

2. Golongan resin yang termasuk dalam resin semi fosil, jenis ini juga

dapat larut dalam minyak serta pelarut organik, contoh golongan

resin ini adalah damar resak, damar biru, dan damar hitam.

3. Kopal, yaitu golongan resin yang memiliki bilangan asam lebih

tinggi dibandingkan damar, resin ini dihasilkan dari jenis pohon

damar (Agathis sp) yang tergolong dalam famili Araucariacea.

4. Jenis-jenis resin yang lain seperti gondorukem, shellac, dan balsam.

Damar merupakan hasil eksudasi dari famili Dipterocarpaceae dan

Burseraceae, contoh jenis famili Burseraceae adalah Canarium

luzonicum. Pohon damar tumbuh baik di Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, dan Maluku. Menurut Jafarsidik (1987) dalam Mulyono (2009)

dan Sari (2002), resin damar diklasifikasikan menjadi resin bermutu

sedang dan bermutu baik. Resin damar bermutu sedang dihasilkan oleh

H. mengarawan, H. sangal, S. kunstleri, S. laevifolia, S. platycarpa, dan

Page 96: Implementasi Untuk Material Pertahanan

89

S. faguetiana. Sedangkan resin damar bermutu baik dihasilkan oleh

S.lamellata, S. virescens, S. retinodes, H. celebica dan S. Javanica.

Berdasarkan dari warnanya resin damar dapat dibedakan menjadi

damar rasak, damar putih, damar merah, damar hitam, dan damar

mata kucing. Damar mata kucing merupakan resin damar yang

dihasilkan dari jenis Shorea javanica dengan mutu terbaik dan tertinggi.

Damar ini berwarna mengilap dan tampak seperti kaca.

1. Damar Mata Kucing (Shorea Javanica)

Pohon Shorea Javanica tingginya dapat mencapai 40-50 meter,

diameter mencapai 150 cm, dan berbanir. Permukaan kulit pada batang

berwarna kelabu tua sampai sawo matang, beralur dangkal, sedikit

mengelupas, kulit hidup berwarna kuning. Daunnya agak tebal,

berbentuk bulat telur memanjang, panjang 8-15 cm, lebar 4-7 cm,

ujung berbentuk meruncing, pangkal sedikit tumpul ( Boer dan Ella

2001, Al-rasyid 1991 dalam Larasati (2007).

Boer dan Ella (2001) melaporkan bahwa jenis pohon Shorea javanica

dikenal dengan berbagai nama daerah, yaitu damar mata kucing

(Sumatera Selatan) dan damar sibolga (Sumatra Utara). Secara umum

juga disebut damar kaca. Di Indonesia sendiri jenis Shorea javanica

tersedia cukup melimpah. Menurut Hadjib dan Abdurrachman (2005),

Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil resin damar

yang cukup besar, memiliki hutan damar seluas 17.500 ha. Dari luasan

tersebut, 7500 ha diantaranya merupakan hutan rakyat yang dikelola

dengan berbagai sistem budidaya dan usaha tani. Menurut

Page 97: Implementasi Untuk Material Pertahanan

90

Djajapertjunda dan Partadireja (1973) dalam Larasati (2007), damar

dari jenis Shorea javanica banyak dihasilkan di Provinsi Sumatra Barat,

Sumatra Utara, dan Riau.

Gambar 3.1 Struktur Buah dan Bunga Damar Mata Kucing (TaniPedia.co.id)

2. Penyadapan Damar

Menurut Lukman (2001), dengan teknik penyadapan yang selama ini

diterapkan di Krui, produksi damar mata kucing per pohon sangat

bervariasi, yakni bekisar antara 0,5-4,5 kg/bulan. Boer dan Ella (2001),

melaporkan bahwa produktivitas pohon Shorea javanica yang

berdiameter 60-80 cm dapat mencapai 4-5 kg/bulan. Produktivitas

tergantung lokasi pohon yang disadap, periode sadap, faktor genetik

pohon, dan faktor teknologi pohon. Produktivitas getah masih dapat

ditingkatkan dengan perlakuan fisika dan kimia. Perlakuan fisika telah

dicoba pada shorea javanica, yaitu dengan melubangi batang tanaman

dan menutupnya dengan plastik sehingga produktivitas dapat

Page 98: Implementasi Untuk Material Pertahanan

91

meningkat sebanyak 66,4%-114%. Sedangkan perlakuan kimia dapat

dilakukan dengan menggunakan cairan stimulans yang berfungsi untuk

memperlancar aliran getah dari saluran damar. Cairan stimulans yang

dapat digunakan adalah 10% CEPA (chloro-ethyl phosporic acid) dan

asam sulfat berkonsentrasi 10%. Masing-masing cairan tersebut dapat

meningkatkan produktivitas sebesar 110% dan 219%.

Pohon damar mulai disadap pada umur 20 tahun atau apabila diameter

batang telah mencapai 25-30 cm. Penyadapan damar dilakukan dengan

cara melukai bagian batang pohon dalam bentuk takik. Adapun bentuk

takik sadap pada umumnya berbentuk segitiga sama sisi dengan

ukuran bervariasi dari 7,5-12 cm dengan kedalaman 2-4 cm (Trison

2001, Boer dan Ella 2001). Resin yang tereksudasi dibiarkan mengalir

dan terkumpul di dalam lubang sadap hingga mengering dan mengeras.

Setelah resin damar mengering kemudian damar dikumpulkan. Periode

pengumpulan biasanya dalam waktu seminggu hingga satu bulan

setelah penyadapan (Lukman 2001).

Gambar 3.2 Teknik Penyadapan Damar (TaniPedia.co.id)

Page 99: Implementasi Untuk Material Pertahanan

92

Menurut Trison (2001), setelah kegiatan pemanenan berakhir, maka

dilakukan proses pengolahan sederhana di tingkat pengumpul. Sampai

saat ini pengolahan dilakukan dengan pembersihan bongkahan-

bongkahan, kemudian disaring menggunakan saringan bertingkat.

Setelah itu dilakukan penyortiran berdasarkan warna dan ukuran

bongkahan.

Gambar 3.3 Getah Damar Mata Kucing (PenglolaanHasilBumi.com)

3. Kegunaan Damar Mata Kucing

Damar mata kucing banyak dimanfaatkan sebagai bahan untuk

menyalakan obor, bahan membuat batik, bagian sambungan kapal,

sebagai bahan baku untuk perekat, cat, lilin, dan bahan pengisi kertas.

Menurut Djajapertjunda dan Partadireja (1973) dalam Larasati (2007),

damar mata kucing banyak digunakan sebagai bahan mentah dalam

industri-industri campuran karet, lak, vernis, plastik, macam-macam

kulit, korek api, bahan isolator, obat-obatan dan industri bahan

peledak. Beberapa penelitian terapan menunjukkan bahwa resin

Page 100: Implementasi Untuk Material Pertahanan

93

damar berpotensi digunakan sebagai antirayap dan anti jamur (Sari

2002 dan Setyawati, 2001), bahan pengeruh dan pemberat (Mulyono

2009), minyak atsiri (Wiyono 1998 dan 2000), anti virus herpes

(Poehland et al. 1987 dalam Mulyono 2009), dan Pernis (Sumadiwangsa

et al. 2004).

Damar mata kucing di luar negeri telah banyak digunakan sebagai

bahan baku untuk pembuatan piringan hitam, campuran karet, water

proofing, pelapis permen untuk memberikan penampakan yang

mengkilap dan keras. Selain itu, dapat digunakan juga sebagai sebagai

campuran kuku kutek, dan saat ini sudah mendapat pengakuan food

and drugatministration di Amerika selatan (LATIN 2004 dalam Sakinah

2006).

4. Klasifikasi Damar Mata Kucing

Boer dan Ella (2001), menyatakan bahwa penentuan mutu damar di

Indonesia, masih dilakukan dengan sangat sederhana, yaitu

berdasarkan warna, kebersihan, dan ukuran bongkahannya. Mutu A, B,

dan C merupakan damar kualitas ekspor, ukuran bongkahan mutu A

dapat mencapai 10-15 cm, mutu B ukuran bongkahannya sekitar 1-2

cm, dan mutu C lebih kecil dari 1 cm. Mutu D dan E adalah kualitas

sedang dengan kotoran relatif lebih banyak.

Penentuan damar mata kucing di pasaran domestik yaitu dari tingkat

petani, penghadang, pedagang pengumpul desa, pedagang besar krui,

sampai ke industri maupun eksportir masih dilakukan secara visual.

Page 101: Implementasi Untuk Material Pertahanan

94

Trison (2001), melaporkan bahwa pengklasifikasian damar mata kucing

di Krui Lampung berdasarkan ukuran bongkahan, kebersihan, dan

warna. Pengklasifikasian mutu damar tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mutu A, yaitu merupakan resin damar berwarna kuning bening

dengan ukuran bongkahan besar ( 3 cm x 3 cm atau lebih).

b. Mutu B, yaitu resin damar berwarna kuning bening dengan ukuran

bongkahan agak lebih kecil (2 cm x 2 cm, atau lebih).

c. Mutu AB, merupakan resin damar berwarna kuning kehitaman

dengan ukuran bongkahan kecil ( 1 cm x 1 cm, atau lebih).

d. Mutu AC, merupakan resin damar yang berwarna kehitam-hitaman

dan berupa butiran-butiran kecil.

e. Mutu debu/Abu, yaitu mutu damar mata kucing yang berwujud

debu.

Pembagian mutu damar menurut SNI 01-2900-1999 disajikan pada

Tabel 3.1.

Tabel 3.1 spesifikasi syarat mutu damar mata kucing (SNI, 1999)

Jenis Uji Satuan Persyaratan

Titik lunak oC 95-100 Bilangan asam (b/b) Mg/gr 19-36 Kadar abu (b/b) % 0,50-4,0 Bahan tak larut dalam toluena: Golongan A, (b/b) % Maks 0,40 Golongan B, (b/b) % Maks 0,40 Golongan C, (b/b) % Maks 0,45 Golongan D, (b/b) % Maks 1,50 Golongan E, (b/b) % Maks 4,50 Golongan bubuk, (b/b) % Maks 7,50 Golongan A/D, (b/b) % Maks 0,75 Golongan A/E, (b/b) % Maks 1,80

Page 102: Implementasi Untuk Material Pertahanan

95

5. Sifat-Sifat Damar Mata Kucing

Damar mata kucing memiliki bentuk bongkahan yang tidak beraturan,

bersifat rapuh, mudah melekat pada tangan, dan berwarna kuning

bening. Selain itu damar mata kucing juga bersifat sebagai isolator dan

tidak tahan panas serta mudah terbakar tetapi tidak bersifat volatil bila

tidak terdekomposisi. Warnanya mudah berubah terutama jika

disimpan dalam waktu yang lama. Mudah larut dan larut sempurna

dalam pelarut benzena, kloroform dan tetrahydronaptalena (Namiroh

1998, Setianingsih 1992). Bobot jenisnya kurang lebih 1,05 g/ml, kadar

air maksimum 1,4 %, susut bobot maksimum selama pengeringan

(105°C, 18 jam) 6%, kadar Pb maksimum 2 ppm (Boer & Ella 2000,

Weatherwax 2006 dalam Mulyono 2009). Titik leleh mencapai 120°C

(Sedtler et al.1925 dalam Setianingsih 1992). Sifat fisik damar mata

kucing disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Sifat-Sifat Damar Mata Kucing (Namiroh, 1988)

Perlakukan Kadar air

(5) Titik lunak (oC)

Tanpa perlakukan 0,70 95-100

Dengan pemurnian fisik - 88,0

Dengan pemurnian Kombinasi pelarut: Benzene-Metanol 0,64-0,83 69,33-73,67 Benzene-etanol 0,38-0,70 65,00-68,00 Toluena-etanol 0,51-0,85 63,00-76,67 Pelarut+arang aktif - 87,25-97,50

Pemurnian dengan pemanasan

- 93,00-104,125

Page 103: Implementasi Untuk Material Pertahanan

96

Menurut Sedtler (1925) dalam Setianingsih (1992), senyawa yang

terdapat dalam resin damar dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu

ester resin serta produk dekomposisinya, asam resin dan resen. Ester

resin berasal dari alkohol resin yang terdiri dari resinol dan resinotanol.

Resen merupakan senyawa yang mengandung oksigen, bukan

merupakan alkohol, aldehida, ester, asam, maupun keton. Selain itu

resen juga tidak dapat bereaksi dengan basa. Sedangkan asam resin

merupakan senyawa yang kompleks dan mengandung satu atau lebih

gugus hidroksil. Umumnya asam resin memiliki bobot molekul tinggi.

Secara umum kandungan damar dapat terlihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Komposisi Kimia Damar Mata Kucing (Namiroh, 1998)

Bahan Jumlah (%)

Asam damarolat 23,0 Senyawa α-damarresen 40,0 Senyawa β-damarresen 22,5 Abu 3,5 Air 2,5 Minyak atsiri 0,5 Kotoran 8,0

Komposisi utama damar adalah resin yang mengandung fraksi yang

bersifat asam dan netral. Fraksi yang bersifat netral dikelompokkan

menjadi fraksi yang larut dalam etanol (disebut alfa-resin) dan fraksi

yang tidak dapat larut dalam etanol (disebut beta-resin). Beta-resin

merupakan fraksi yang memiliki bobot molekul rendah, sedangkan alfa-

resin umumnya merupakan senyawa terpen yang merupakan senyawa-

senyawa tetrasiklik. Fraksi yang bersifat asam antara lain asam

Page 104: Implementasi Untuk Material Pertahanan

97

damarolat, asam ursonat, asam damarenolat dan asam damarenoat

serta metil ester dari asam-asam ini. (Doelen et al. 1998 dan Tan 1990

dalam Mulyono et al. 2004)

Hasil analisis gas kromatografi spektrum masa terhadap damar mata

kucing yang dilakukan oleh Mulyono (2009), berhasil mendeteksi

sejumlah 67 senyawa yang terdiri atas empat golongan, yaitu 30

senyawa karbon tetrasiklik, 3 senyawa pentasiklik, 11 senyawa C15 dan

23 Senyawa golongan lain. Komponen terbanyak dalam damar mata

kucing dan merupakan golongan karbon tetrasiklik adalah brasikasterol,

yaitu sebanyak 20,23%.

Yamaguchi (1971) dalam Setianingsih (1992), melaporkan bahwa di

dalam resin damar terdapat berbagai molekul yang termasuk ke dalam

golongan alkohol, asam, keton, dan ester. Menurut Manitto (1981)

dalam Setianingsih (1992), molekul di dalam resin damar termasuk

dalam golongan triterpen dan triterpen-o yang merupakan hasil reaksi

siklisasi dari polisoprene. Lenny (2006), melaporkan bahwa triterpen

merupakan senyawa yang memiliki atom C30 dan bersifat tidak

menguap. Perbandingan sifat kimia damar mata kucing berbagai mutu

yang belum dimurnikan dan damar mata kucing berbagai mutu yang

telah dimurnikan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Page 105: Implementasi Untuk Material Pertahanan

98

Tabel 3.4 Sifat Kimia Damar Mata Kucing yang belum dimurnikan dan damar yang telah dimurnikan (Wiyono dan Silitonga, 2001).

Sifat Mutu Belum Murni

Dimurnikan dengan Pelarut

Benzene Toluena

Bilangan asam

A 22,58 19,66 20,99

B 23,20 19,61 22,09

C 25,08 22,79 24,34

D 26,60 23,11 24,62

E 28,15 23,89 25,67

Abu 29,20 - -

Bilangan penyabunan

A 31,30 21,62 21,96

B 30,55 22,10 22,37

C 34,68 27,75 28,62

D 37,18 29,11 30,16

E 39,65 32,61 34,48

Abu 58,02 - -

Kadar abu

A 0,69 0,44 0,47

B 0,71 0,48 0,49

C 0,74 0,49 0,54

D 8,03 0,52 1,07

E 11,22 0,57 1,22

Abu 0,79 - -

Ketidaklarutan dalam toluena

A 0,42 0,28 0,28

B 0,42 0,29 0,30

C 0,44 0,30 0,31

D 1,84 0,31 0,32

E 3,90 0,31 0,34

Abu 6,248 - -

3.1.2 Pohon Pinus

Pinus pertama kali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok,

Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman Dr. FR Junghuhn

pada tahun 1841, dengan karakteristik dan ciri berikut.

Page 106: Implementasi Untuk Material Pertahanan

99

1. Karakteristik dan Ciri Pohon Pinus

Spesies ini tergolong spesies cepat tumbuh dan tidak membutuhkan

persyaratan tempat tumbuh secara khusus, merupakan satu satunya

spesies pinus yang menyebar alami ke Selatan khatulistiwa sampai

melewati 2°LS. Tanda-tanda khusus dari pohon pinus adalah tidak

berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua,

tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam (Siregar 2005). Ciri lain

dari pohon pinus ialah pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan

pinus dewasa dapat mencapai tinggi 30 m dan diameter 60–80 cm,

sedangkan tegakan tua dapat mencapai tinggi 45 m dan diameter 140

cm (Hidayat dan Hansen 2001).

Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada

bulan Juli-November (Siregar 2005). Pohon pinus berumah satu dengan

bunga berkelamin tunggal, bunga jantan dan betina berada dalam satu

tunas, buah pinus berbentuk kerucut, silindris dengan panjang 5–10 cm

dan lebar 2–4 cm, lebar setelah terbuka lebih dari 10 cm, dan benih

pinus memiliki sayap yang dihasilkan dari dasar setiap sisik buah. Setiap

sisik menghasilkan 2 benih dengan panjang sayap 22–30 mm dan lebar

5–8 mm, dalam satu strobilus buah umumnya terdapat 35–40 benih

per kerucut dengan jumlah benih 50.000–60.000 benih per kg (Hidayat

dan Hansen 2001).

Kayu pinus memiliki berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat

III serta kelas awet IV (Siregar 2005). Kayu pinus memiliki ciri warna

teras yang sukar dibedakan dengan gubalnya, kecuali pada pohon

Page 107: Implementasi Untuk Material Pertahanan

100

berumur tua, terasnya berwarna kuning kemerahan, sedangkan

gubalnya berwarna putih krem. Pinus merupakan pohon yang tidak

berpori namun mempunyai saluran dammar aksial yang menyerupai

pori dan tidak mempunyai dinding sel yang jelas. Permukaan radial dan

tangensial pinus mempunyai corak yang disebabkan karena perbedaan

struktur kayu awal dan kayu akhirnya, sehingga terkesan ada pola

dekoratif. Riap tumbuh pada pinus agak jelas terutama pada pohon-

pohon yang berumur tua, pada penampang lintang kelihatan seperti

lingkaran-lingkaran (Pandit dan Ramdan 2002).

Daun pinus terdapat 2 jarum dalam satu ikatan dengan panjang 16–25

cm (Hidayat dan Hansen 2001), akan gugur dan menjadi serasah.

Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai

kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga

sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme. Serasah pinus akan

terdekomposisi secara alami dalam waktu 8–9 tahun (Siregar 2005).

Selain Karakteristik dan ciri pohon pinus, pohon pinus dimanfaatkan

oleh manusia untuk kebutuhan industri melalui getahnya. Getah pinus

adalah zat cair pekat dari pohon pinus (Pinus sp) yang diperoleh dengan

cara penyadapan,

2. Getah Pinus

Getah pinus merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang

dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Indonesia berada di

urutan terbesar kedua setelah Cina dalam perdagangan getah pinus

Page 108: Implementasi Untuk Material Pertahanan

101

internasional. Produksi getah dari Cina sebesar 430.000 ton (60% dari

total produksi di dunia) sedangkan Indonesia menghasilkan 69.000 ton

(10% total produksi didunia). Getah pinus merupakan salah satu

komoditi yang memiliki jumlah permintaan tinggi baik di pasar lokal

maupun internasional, dimana 80% produksinya dialokasikan untuk

kebutuhan ekspor ke Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan Amerika.

Pada tahun 2010, produksi gondorukem Perhutani Indonesia sebesar

55.000 ton dan terpentin sebesar 11.700 ton. Sedangkan permintaan

gondorukem di dunia naik sampai 1 juta ton per tahun. Oleh karena

itu, produksi gondorukem Indonesia untuk tahun 2011 ditargetkan

sebesar 65.000 ton dan terpentin 15.000 ton. Permintaan getah pinus

di Indonesia maupun di dunia semakin meningkat, sehingga perlu

dilakukan upaya meningkatkan produktivitas getah pinus di Indonesia.

3. Karakteristik Getah Pinus

Getah yang dihasilkan pohon Pinus merkusii digolongkan sebagai

oleoresin yang merupakan cairan asam resin dalam terpentin yang

menetes keluar jika saluran resin pada kayu/kulit pohon jenis jarum

tersayat/pecah. Penamaan oleoresin ini dipakai untuk membedakan

getah pinus dari getah alamiah (natural resin) yang muncul di kulit atau

dalam rongga jaringan kayu sebagai genus dari famili

Dipterocarpaceae, Leguminoceae, dan Caesalpiniaceae.

Getah yang berasal dari pohon Pinus berwarna kuning pekat dan

lengket, yang terdiri dari campuran bahan kimia yang kompleks. Unsur-

Page 109: Implementasi Untuk Material Pertahanan

102

unsur terpenting yang menyusun getah pinus adalah asam terpen dan

asam abietic. Campuran bahan itu larut dalam alcohol, bensin, ether,

dan sejumlah pelarut organik lainnya, tetapi tidak larut dalam air. Hasil

penyulingan getah Pinus merkusii rata-rata menghasilkan 64%

gondorukem, 22,5% terpentin, dan 12,5% kotoran.

4. Kualitas Getah Pinus

Syarat kualitas getah pinus dapat dilihat pada Tabel 3.5 berikut.

Tabel 3.5 Kualitas Getah Pinus (Perhutani, 2012)

No. Karakteristik Satuan Mutu I Mutu II

1 Warna - Putih Putih sampai keruh

kecoklatan 2 Kadar Air % ≤7 7<ka≤9 3 Kadar Kotoran % ≤7 7<kk≤9 4 Kadar Air+ Kadar Kotoran % ≤14 14<ka+kk≤18

Kualitas getah ditentukan kadar kotoran dan warnanya. Untuk

menghasilkan produk gondorukem berkualitas baik,maka diperlukan

bahan baku getah yang baik pula. Sehingga akan sangat membantu

apabila getah bisa dipisahkan sesuai kualitasnya. Apabila hal ini tidak

dapat dilakukan, maka diperlukan peralatan yang baik dan canggih

untuk mendapatkan getah berkualitas baik.

Page 110: Implementasi Untuk Material Pertahanan

103

Gambar 3.4 Getah Pinus(tokopedia.com)

5. Alur Pengolahan Getah Pinus Jadi Gondorukem

Di Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT) Perum Perhutani

menggunakan bahan baku industri berupa getah pinus (Pinus

merkusii). Pengolahan getah Pinus diproses melalui beberapa tahapan.

Proses pengolahan getah menjadi gondorukem pada umumnya

meliputi 2 tahapan, yaitu pemurnian getah pinus dari kotoran dan

pemisahan terpentin dari gondorukem melalui distilasi/penguapan.

Proses pemurnian getah pinus terdiri atas:

1) Penerimaan dan Pengujian Bahan Baku (Getah Pinus).

2) Pengenceran Getah Pinus.

3) Pencucian dan Penyaringan.

4) Pemanasan/Pemasakan.

5) Pengujian dan Pengemasan.

Page 111: Implementasi Untuk Material Pertahanan

104

6. Produk Hasil Pengolahan Getah Pinus

Produk hasil pengolahan getah pinus pada umum dijadikan

gondorukem dan terpentin. Adapun untuk lebih jelas mengenai

godorukem dan terpentin adalah sebagai berikut.

a. Gondorukem

Gondorukem (resina colophonium) adalah olahan dari getah hasil

sadapan pada batang tusam (Pinus sp). Gondorukem merupakan hasil

pembersihan terhadap residu proses destilasi (penyulingan) uap

terhadap getah tusam. Hasil destilasi larutan getah sendiri menjadi

terpentin. Gondorukem sebagai hasil dari olahan getah pinus dapat

dimanfaatkan antara lain:

• Industri batik: bahan penyampur lilin batik sehingga diperoleh

malam. Kebutuhan kira-kira 2,500 ton/tahun.

• Industri kertas: bahan pengisi dalam pembuatan kertas. Kebutuhan

kirakira 0.5 % dari produksi kertas atau 2,000 ton/tahun.

• Industri sabun: sebagai campuran kira-kira 5-10% dari berat

sabun.

• Pembuatan vernis, tinta, bahan isolasi listrik, lem, industri kulit dan

lainlain.

• Di luar negeri, gondorukem dan derivatnya digunakan untuk

membuat resin sintetis, plastik, lem, aspal, bahan plistur, lak

sintetis, industri sepatu, galangan kapal, dan sebagainya.

(http://trubusan.blogspot.com).

Page 112: Implementasi Untuk Material Pertahanan

105

Gambar 3.5 Gondorukem (cv citra bangsa)

b. Terpentin

Minyak Terpentin (turpentine oil) adalah produk hasil distilasi

(penyulingan)/pengolahan getah pohon pinus/tusam (Pinus merkusii)

dari hutan produksi yang dikelola PT Perhutani. Kandungan utama pada

minyak terpentin adalah Alpha Pinene> 80%. Minyak Terpentin hasil

olahan dari getah pinus haruslah memenuhi beberapa persyaratan

untuk dapat masuk dalam klasifikasi mutu yang standar, yaitu Mutu

Utama (Mutu A) dan Mutu Standar (Mutu B).

Minyak Terpentin biasanya digunakan sebagai pelarut untuk

mengencerkan cat minyak, bahan campuran vernis untuk

mengkilapkan permukaan kayu dan bisa untuk bahan baku kimia

lainnya. Aroma terpentin harum seperti minyak kayu putih, karena

keharumannya itu terpentin bisa digunakan untuk bahan pewangi lantai

Page 113: Implementasi Untuk Material Pertahanan

106

atau pembunuh kuman yang biasa kita beli, tapi ada lagi kegunaan lain

dari terpentin sebagai bahan baku pembuat parfum, bahan campuran

minyak pijat. Salah satu bahan tambahan pembuatan permen karet

sehingga menjadi kenyal dan lentur.

Gambar 3.6 Terpentin (bukalapak.com)

3.2 Pemanfaatan Resin

Kekayaan flora rimba Indonesia sangatlah beraneka ragam, serta ada

beragam type hasil rimba non kayu satu diantaranya yaitu damar.

Faedah damar atau yang umum jg dimaksud resin, yaitu juga sebagai

bahan baku industri. Kualitas resin damar yang low digunakan pabrik

cat berkualitas rendah diIndonesia sedang mutu yang baik diekspor

terlebih ke Singapura. Dari Singapura, sesudah diolah lalu diekspor juga

sebagai insens atau bahan basic industri cat, tinta, serta vernis di

Page 114: Implementasi Untuk Material Pertahanan

107

negara-negara maju. Beberapa sebagaian diekspor ke Indonesia untuk

industri batik serta bikin insens berkualitas rendah. Saat ini, Kalimantan

serta terlebih Sumatera Selatan adalah penghasil paling utama resin

damar yakni 80% dari keseluruhan produksi.

Damar yaitu resin yang didapat dr sebagian type pohon dr marga

Dipterocarpaceae salah satunya meranti (Shorea spp). Resin itu

dipanen dgn menyadap batang pohon yang masih tetap hidup. Di

Maluku ada 4 type damar yakni damar mata kucing, damar pilau, damar

batu serta damar daging dengan potensi rata2 sepanjang 5 th. paling

akhir sekitar pada 20. 000 kg - 715. 000 kg (Anonim 2007).

Penyebarannya diwilayah Seram Sisi Barat. Damar dihasilkan dr

tumbuhan yang sakit atau alami rusaknya pada kayu gubalnya

(Appanah serta Trumbull, 1998).

Resin damar digolongkan jadi resin cair serta resin padat. Resin cair

memiliki kandungan resin serta minyak esensial (oleresin) berwujud

cair serta mempunyai aroma yang khas. Resin padat yaitu resin berupa

padat lantaran beberapa kecil minyak esensialnya sudah menguap.

Resin padat gampang pecah atau patah (Appanah serta Trumbull,

1998). Resin damar memiliki kandungan asam gurjunik (C22H34O4) serta

beberapa naptha yang gampang menguap serta mengkristal.Karakter

fisik yang unik dr minyak damar yaitu pada suhu 30oC beralih jadi

gelatin.

Kebiasaan orang-orang, resin damar jadikan bahan bakar lampu,

penambal perahu serta kerajinan tangan. Resin ini dipakai juga sebagai

Page 115: Implementasi Untuk Material Pertahanan

108

kombinasi resin aromatik, berbentuk styrax benzoin yang digunakan

juga sebagai bahan baku kemenyan serta disinfektan fumigan. Diluar

Maluku dalam taraf industri, resin damar digunakan sebagai bahan

baku semir, kertas karbon, pita mesin tulis, plastik, vernis serta

bantalan objek mikroskopik. Damar bisa pula dipakai juga sebagai

bahan pelapis dinding, perekat kayu lapis serta asbes.

Resin damar bisa dipakai juga sebagai obat tradisional untuk diare serta

disentri, salep untuk penyakit kulit serta pengobatan masalah

pendengaran, rusaknya gigi, sakit mata, bisul serta luka (Appanah serta

Trumbull, 1998). Dengan cara tehnis, bisa dipakai juga sebagai bahan

cat, celupan batik, lilin, tinta bikin, linoleum serta kosmetik. Triterpenes

yang di isolasi dr damar sudah dipakai juga sebagai media antivirus pd

budidaya in vitro untuk penyakit Herpes simplex virus jenis I serta II

(Poehland et al, 1996).

Ada Orang-orang yang blm tahu pemakaian resin damar juga sebagai

bahan baku industri, terkecuali cuma dengan cara kebiasaan dipakai

untuk penerangan satu hari hari. Resin damar di jual masih juga dalam

bentuk bahan mentah serta blm di proses selanjutnya. Tehnik

memanen serta mengolahnya masih tetap dengan cara konvensional,

hingga harga jualnya tak untungkan terkecuali belum ada pasar untuk

menampungnya. biasanya sebagaian jual resin untuk bahan cat sablon,

tapi masih sangat belum umum sekali.

Sosialisasi pada yang memiliki tempat damar perihal resin serta tehnik

memanen, seleksi serta gradingnya sangatlah butuh dikerjakan. Kursus

Page 116: Implementasi Untuk Material Pertahanan

109

serta magang ke Sumatera Selatan juga sebagai lokasi yang sukses dlm

membuahkan resin damar bisa berikan motivasi beberapa petani untuk

mengelola damarnya tambah baik serta berkualitas. Juga sebagai salah

hasil rimba bukanlah kayu, jadi sumber daya rimba itu mesti

dilestarikan lewat penanaman kembali pohon damar terkecuali cara

memanen yang perlu menghindar kematian pohon yang berkaitan.

Disamping manfaatnya resin juga ada klasifikasi atau pengolongan.

Adapun menurut golongannya resin dibagi menjadi 4 (empat) yaitu:

1. Damar sesungguhnya (resin), adalah zat padat yang amorf atau

setengah padat, tidak larut dalam air, tetapi larut di dalam alkohol

atau pelarut organik lainnya dan membentuk sabun dengan alkali.

Biasanya di samping zat-zat damar terdapat juga minyak

menguap, hasil peruraian ester-ester damar,zat warna,zat pahit

dan sebagainya.

Gambar 3.7 Resin Damar (Perhutani, 2017)

Page 117: Implementasi Untuk Material Pertahanan

110

2. Damar gom (gummi resina), yaitu campuran alami dari gom,minyak

dan resin sering di sebut juga damar lendir. Contohnya asafoetida,

Myrrha.

Gambar 3.8 Damar Gom (Perhutani, 2017)

3. Oleoresin, yaitu campuran alami yang homogen dari resin di dalam

minyak menguap. Contohnya: terpentin, Kanada balsam, cubeba

dan sebagainya.

Gambar 3.9 Oleoresin (Jacson’s Art Supplies)

Page 118: Implementasi Untuk Material Pertahanan

111

4. Balsamum adalah campuran dari resin dengan asam sinnamat atau

benzoat atau kedua-duanya, atau ester-ester dengan minyak

menguap. Contoh : benzoin,perubalsem, dan styrax. Istilah balsam

atau balsamum telah di gunakan secara salah tehadap beberapa

oleoresin seperti kanada balsem dan balsamum copaive

Gambar 3.10 Balsamum (Jacson’s Art Supplies)

Disamping penggolongan sifat-sifat resin merupakan hal yang utama

untuk mengukur kualitasnya. Sifat-sifat resin pada dasarnya dibagi 2

(dua) yaitu:

1. Sifat Fisika

- Keras

- Transparan.

- Plastis.

- Lembek/leleh

Page 119: Implementasi Untuk Material Pertahanan

112

2. Sifat Kimia

Secara kimiawi resin adalah campuran yang kompleks dari asam-

asam resinat, alkoholiresinat, resinotannol, ester-ester dan

resene-resene. Bebas dari zat lemak dan mengandung sedikit

oksigen.

Disamping sifat, kegunaan resin berperan sebagai pengikat atau

binder, yaitu bahan yang berfungsi untuk mengikat pigmen pada

permukaan bidang. Resin ini bisa dikatakan berupa lem yang

melekatkan campuran pewarna ke media yang akan di cat.

3.3 Proses Pembuatan Gliserin

Gliserol atau glyserin merupakan cairan kental putih bening yang

memiliki fungsi sebagai berikut, yaitu:

1. Kosmetik Digunakan sebagai body agent, emollient, humectants,

lubricant, solvent. Biasanya dipakai untuk skin cream and lotion,

shampoo, and hair conditioners, sabun, dan detergen.

2. Dental Cream digunakan sebagai humectants.

3. Peledak digunakan untuk membuat nitrogliserin sebagai bahan

dasar peledak.

4. Industri makanan dan minuman digunakan sebagai solvent,

emulsifier, conditioner, freeze, preventer, and coating serta dalam

industri minuman anggur.

5. Industri logam digunakan untuk pickling, quenching, stripping,

electroplating, galvanizing, dan solfering.

Page 120: Implementasi Untuk Material Pertahanan

113

6. Industri kertas digunakan sebagai humectant, plastilicizer, dan

softening agent.

7. Industri farmasi digunakan untuk antibiotic dan kapsul.

8. Fotografi digunakan sebagai plaztisizing.

Berikut ini adalah persentase pemakaian gliserol untuk keperluan

industri, yaitu:

1. Alkyd resin : 36%

2. Kosmetik dan farmasi : 30%

3. Industri tembakau : 16%

4. Bahan makanan dan minuman : 10%

5. Bahan peledak : 2%

6. Penggunaan lain : 6%

(Bailey’s, 1951).

Proses pembuatan gliserol pada dasarnya adalah hasil samping dari

proses pengolahan lemak dan minyak, baik nabati maupun hewani.

Terdapat beberapa metode dalam proses pembuatan gliserol, yaitu:

1. Proses Saponifikasi

2. Proses Transesterifikasi

3. Proses Fat Splitting

3.3.1 Proses Saponifikasi

Proses saponifikasi merupakan salah satu proses pembuatan gliserol

dari lemak dan minyak yang direaksikan dengan soda kaustik (NaOH)

Page 121: Implementasi Untuk Material Pertahanan

114

menghasilkan sabun dan lye soap yang mengandung 8-12% gliserin.

Berikut ini adalah reaksi yang terjadi pada proses saponifikasi:

RCOOH2 CH2OH I I

RCOOCH + 3NaOH 3RCOONa + CHOH I I

RCOOCH2 CH2OH

Fat or Oil Caustic Soda Soap Glycerine

Lemak dan minyak dapat disabunkan melalui proses fullboiling. Proses

saponifikasi dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Campuran

lemak dan minyak diumpankan ke dalam ketel bersama soda kaustik

dengan konsentrasi tertentu, dan beserta penambahan garam.

Campuran dipanaskan dengan energi tinggi, menggunakan closed

steam coils, hingga proses saponifikasi selesai. Jumlah soda kaustik

yang ditambahkan sengaja dibuat kurang dari kebutuhan stoikiometri,

untuk memastikan pengurangan sabun alkali yang mengandung

gliserin agar memiliki alkalinitas minimum. Soda kaustik dalam sabun

alkali dinetralkan selama treatment selanjutnya. Garam yang digunakan

dalam alkali diperlukan untuk menjaga sabun pada daerah butir dan

memudahkan pemisahan sabun dan alkali. Tahap terakhir adalah

pengambilan setelah pengendapan dan dipindahkan ke bagian

pengolahan gliserin. Sementara itu, sabun mengalami pendidihan lebih

lanjut dan multiple washing secara counter current untuk

menyelesaikan proses saponifikasi dan disertai proses pengmbilan

gliserin. Pendidihan sabun secara kontinyu yang secara luas

Page 122: Implementasi Untuk Material Pertahanan

115

dipraktekkan adalah menggunakan multiple washing coloumn atau

sentrifugal. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan recovery gliserin

(Bailey’s, 1951).

Gambar 3.11 Blok Diagram Proses Saponifikasi

3.3.2 Proses Transesterifikasi

Transesterifikasi merupakan proses pembuatan gliserol dari lemak dan

minyak direaksikan dengan metanol berlebih. Berikut ini adalah reaksi

transesterifikasi:

RCOOH2 CH2OH I NaOCH3 I RCOOCH + 3CH3OH 3RCOOCH3+ CHOH

I Katalis I

RCOOCH2 CH2OH

Fat or Oil Methanol Methyl Ester Glycerine

Page 123: Implementasi Untuk Material Pertahanan

116

Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara batch pada tekanan

atmosfer dan pada suhu 60-70°C dengan metanol berlebih dan dengan

katalis basa. Kondisi reaksi ringan, namun, memerlukan penghilangan

asam lemak bebas dari minyak dengan penyulingan atau pre-

esterifikasi sebelum transesterifikasi. Pretreatment ini tidak diperlukan

jika reaksi dilakukan di bawah tekanan tinggi (9000 kPa) dan suhu

tinggi (240°C). Dengan kondisi tersebut, esterifikasi simultan dan

transesterifikasi berlangsung. Campuran pada akhir reaksi diendapkan.

Pada bagian bawah yaitu lapisan gliserin diambil sedangkan lapisan

metil ester pada bagian atas dicuci untuk menghilangkan gliserin yang

tertahan kemudian diproses lebih lanjut. Kelebihan metanol direcover

dalam kondensor, dikirim ke kolom rektifikasi untuk pemurnian, dan

daur ulang. Transesterifikasi kontinyu cocok untuk kebutuhan kapasitas

besar. Dengan berdasarkan pada kualitas bahan baku, unit dapat

dirancang untuk beroperasi pada tekanan tinggi dan suhu tinggi atau

pada tekanan atmosfer dan sedikit kenaikan suhu.

Gambar 3.12 menunjukkan diagram alir proses Henkel yang

dioperasikan pada tekanan 9000 kpa dan 240° C menggunakan

unrefined oil sebagai bahan baku. Unrefined oil, metanol berlebih, dan

katalis dipanaskan sampai 240° C sebelum dimasukkan ke reaktor.

Sebagian besar kelebihan metanol meninggalkan reaktor secara

mendadak dan diumpankan untuk kolom pemurnian bubble tray.

Recovery metanol direcycle dalam sistem. Campuran dari reaktor

memasuki separator dimana gliserin 90% excess direcover. Metil ester

selanjutnya diumpankan ke distilasi kolom untuk pemurnian (Bailey’s,

1951).

Page 124: Implementasi Untuk Material Pertahanan

117

Gambar 3.12 Blok Diagram Proses Transesterifikasi

3.3.3 Proses Fat Splitting

Fat splitting merupakan hidrolisis trigliserida dari lemak dan minyak

dengan kenaikan temperatur dan tekanan menghasilkan asam lemak

dan gliserol. Berikut adalah reaksi hidrolisis triliserida:

RCOOCH2 CH2OH I RCOOH I R’COOCH + 3H2O R’COOH + CHOH

I R’’COOH I

R’’COOCH2 CH2OH Triglyceride Water Fatty Acid Glycerine

Fat splitting adalah sebuah reaksi homogen yang terjadi secara

bertahap. Asam lemak berpindah dari trigliserida satu per satu dari tri

ke di ke mono. Selama tahap awal, reaksi berlangsung perlahan-lahan,

Page 125: Implementasi Untuk Material Pertahanan

118

terbatas dengan kelarutan air dalam minyak yang rendah. Pada tahap

kedua, reaksi berlangsung lebih cepat karena kelarutan air yang lebih

besar dalam asam lemak. Tahap akhir ditandai dengan laju reaksi

berkurang sebagai asam lemak bebas dan gliserin mencapai kondisi

kesetimbangan. Fat splitting merupakan reaksi reversible. Pada titik

kesetimbangan, tingkat hidrolisis dan re-esterifikasi adalah sama.

Gliserin harus diambil secara kontinyu agar reaksi sempurna (Bailey’s,

1951).

Gambar 3.13 Blok Diagram Proses Fat Splitting

Proses fat splitting terbagi menjadi 3 (tiga) metode:

1. Proses Twitchell

Proses ini adalah proses pertama yang ditemukan untuk pemisahan

minyak. Proses ini tetap digunakan pada skala kecil, karena biaya dan

Page 126: Implementasi Untuk Material Pertahanan

119

instalasi serta pengoperasiannya mudah dan murah. Tetapi karena

konsumsi energinya besar dan kualitas produknya buruk, maka proses

ini tidak lagi digunakan secara komersial. Proses ini menggunakan

reagen Twitchell dan asam sulfat untuk kastalisasi fat splitting.

Reagen tersebut merupakan campuran tersulfonasi dari oleat atau

asam lemak lainnya dengan sejumlah napthalene. Proses Twitchell

berlangsung dalam suatu tangki kayu berlapis timbal atau logam tahan

assam, dimana minyak, air (sekitar separuh dari jumlah minyak), 1-2%

asam sulfat, dan 0,75-1,25% reagen Twitchell dididihkan pada tekanan

atmosfeer selama 36-48 jam dengan bantuan open steam. Pada tahap

akhir air ditambahkan dan larutan didihkan untuk mencuci asam yang

tertinggal. Waktu reaksi yang cukup panjang, konsumsi steam yang

besar, dan terjadinya pemudaran warna asam lemak merupakan

kelemahan dari proses ini. Sehingga saat ini sangat dibatasi

penggunaanya.

2. Proses Batch Autoclave

Metode ini merupakan metode komersial tertua untuk pemisahan

minyak berkualitas tinggi untuk menghasilkan asam lemak berwarna

terang. Metode ini lebih cepat dibandingkan degan Twitchell, yaitu

sekitar 6-10 jam hingga reaksi sempurna. Untuk pemisahan ester

gliseridanya biasanya digunakan proses distilasi. Seperti halnya proses

Twitchell, proses ini juga menggunakan katalis yaitu umumnya ZnO

(paling aktif), MgO atau CaO, sebesar 2-4% dan sejumlah kecil debu

zinc untuk memperbaiki warna asam lemak. Autoclave yang digunakan

Page 127: Implementasi Untuk Material Pertahanan

120

berupa silinder, dengan diameter 1220-1829 mm dan tinggi 6-12 m,

terbuat dari bahan anti korosi dan sepenuhnya terisolasi, ada juga yang

menggunakan pengaduk mekanis.

Dalam operasinya, autoclave diisi minyak, air (sekitar separuh dari

jumlah minyak), dan katalis, lalu autoclave ditutup. Steam diinjeksikan

untuk menghilangkan udara terlarut dan untuk menaikkan tekanan

hingga 1135 kPa, injeksi steam dilakukan secara kontinyu pada bagian

bawah untuk mendapatkan pengadukan dan tekanan operasi yang

diinginkan. Konversi yang didapatkan dapat mencapai lebih dari 95%,

setelah reaksi selama 6-10 jam. Isi dari autoclave dipindahkan dalam

pengendap, dimana terbentuk 2 lapisan lapisan atas asam lemak dan

lapisan bawah gliserol). Asam lemak dikeluarkan dan gliserol yang

tertinggal ditambahkan dengan asam mineral untuk memisahkan sabun

yang terbentuk, dan selanjutnya dibilas untuk menghilangkan sisa

asam mineral.

3. Proses Continuous

Proses pemisahan minyak dengan tekanan tinggi secara kontinyu dan

counter current, lebih dikenal dengan proses Colgate-Emery. Yaitu

metode yang paling efisien dari pemisahan minyak. Tekanan dan suhu

tinggi dignakan untuk waktu reaksi yang relatif lebih singkat. Aliran

minyak dan air secara berlawanan arah menghasilkan pemisahan

berderajat tinggi tanpa menggunakan katalis. Katalis dapat pula

digunakan untuk mempercepat reaksi. Menara pemisahan tergantung

dari kapasitasnya. Biasanya menara tersebut berdiameter 508-1220

Page 128: Implementasi Untuk Material Pertahanan

121

mm dan tinggi 18-25 m, terbuat dari bahan anti korosi seperti stainless

steel 316 atau paduan inconel yang didesain khusus untuk kondisi

operasi ±5000 kPa. Minyak dimasukkan melalui saluran yang berada

pada bagian bawah menara dengan menggunakan pompa bertekanan

tinggi. Air masuk melalui puncak kolom dengan rasio 40-50% berat

minyak. Suhu pemisahan yang tinggi (250-260°C) akan dapat

memastikan pelarutan air ke dalam minyak, sehingga tidak lagi

diperlukan pengontakan kedua fase tersebut secara mekanik.

Volume kosong dalam menara digunakan untuk terjadinya reaksi. Feed

minyak masuk melalui dasar kolom menuuju ke atas, sementara air

masuk pada bagian atass kolom dan mengalir melewati fase minyak

menuju ke bawah. Derajat pemisahan pada proses ini mencapai 99%.

Proses ini lebih efisien bila dibandingkan dengan proses lain karena

waktu reaksi yang relatif singkat yaitu hanya sekitar 2-3 jam. Dalam

reaksi ini terjadi pemudaran warna asam lemak. Karena pertukaran

panas internal yang cukup efisien proses ini cukup ekonomis dalam

penggunaan steam (Bailey’s, 1951).

3.3.4 Seleksi Proses

Untuk menentukan proses yang akan dipilih dalam pembuatan gliserol

dapat dilakukan dengan membandingkan kelebihan dan kekurangan

dari masing-masing proses seperti pada Tabel 3.6 berikut.

Page 129: Implementasi Untuk Material Pertahanan

122

Tabel 3.6 Perbandingan Proses Pembuatan Gliserol

Tipe Proses Kelebihan Kekurangan

Saponifikasi

- Kandungan gliserol 10-25%

- Kemurnian produk akhir mencapai 90%

- Bahan baku murah dan mudah didapat

- Produk gliserol merupakan produk sampingan industri sabun

- Membutuhkan tahap pemurnian dan bahan pembantu yang banyak

- Membutuhkan biaya yang tinggi untuk konstruksi alat karena kandungan garam yang tinggi.

Transesterifikasi

- Kandungan gliserol 25-30%

- Kemurnian produk akhir 90%

- Reaksi pada tekanan atmosfer dan suhu 60-70°C

- Menggunakan katalis - Bahan baku mahal - Memerlukan proses pre-

esterifikasi untuk menghilangkan asam lemak bebas dari lemak atau minyak

- Tahap pemurnian mahal (dengan metode ion exchange)

Fat Splitting

- Kandungan gliserol 10-18%

- Kemurnian produk akhir gliserol mencapai 99%

- Hasil produk atas berupa asam lemak yang memiliki nilai Ekonomis

- Proses tidak terlalu rumit

- Biaya untuk konstruksi material tidak terlalu tinggi

- Kondisi operasi pada tekanan dan suhu tinggi (55 bar dan 260°C)

Page 130: Implementasi Untuk Material Pertahanan

123

Tabel 3.7 Perbandingan Proses Pembuatan Gliserol

Jenis Proses Kelebihan Kekurangan

Twitchell

- Biaya murah - Instalasi dan operasi mudah - Konversi ±95%

- Konsumsi steam energi cukup besar

- Kualitas produk rendah - Menggunakan katalis - Waktu reaksi relatif

lama (36-48 jam)

Batch Autoclave

- Konversi ±95% - Waktu reaksi cukup lama (6-10 jam)

- Menggunakan katalis

Continuous

- Konversi mencapai ±99%

- Waktu reaksi relatif singkat (2-3 jam)

- Bisa berlansung tanpa adanya katalis.

- Kondisi operasi pada tekanan dan suhu tinggi (5000 kPa dan 260°C)

- Konsumsi steam tinggi

Referensi

1. Al Rasyid, H,. dkk. 1991. Vademecum Dipterocarpaceae. Badan

penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Dephut.

2. Appanah, S. dan Turnbull, J.M. (Ed.), (1998), A Review of

Dipterocarps, Taxonomy, Ecology and Silviculture, Centre for

International Forestry Research, Bogor.

3. Artiyanto, D.N. 2006. Analisis Biaya Pengolahan Gondorukem dan

Terpentin di PGTSindangwangi KPH Bandung Utara. Perum

Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten.Departemen Hasil Hutan.

Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

4. Bailey, A. E. 1951. Industrial Oil and Fat. New York: Interscolastic

Publishing Inc.

Page 131: Implementasi Untuk Material Pertahanan

124

5. Boer E, Ella AB. 2001. Plant Resources of South-East Asia 18: Plant

producing ekudates. Bogor: Prosea Foundation.

6. Corryanti. 2014. Membangun Tegakan “Pinus Bocor Getah”.

Puslitbang Perum Perhutani.

7. Djajapertjunda, S. dan S. Partadireja. (1973). Beberapa Catatan

Tentang Damar di Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan.

Jakarta.

8. Doelen, V.D., Berg, V.D., Boon, J.J., Shibayama, N., Rie, D.L.,

Genuit, W.J.L., 1998. Analysis of Fresh Triterpenoid Resins and

Aged Triterpenoid Varnishes by HPLC-APCI-MS. Journal of

Chromatograph.

9. Hadjib N, Abdurrachman. 2005. Sifat fisis mekanis kayu damar

mata kucing bekas sadapan dan kemungkinan pemanfaatannya

untuk kayu konstruksi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23 (2005)3:

177-185.

10. Hidayat J, Hansen CP. 2001. Informasi Singkat Benih: Pinus

merkusii Jungh. et de Vries. Bandung: Direktorat Perbenihan

Tanaman Hutan.

11. Jafarsidik, J, 2007. Jenis-jenis pohon penghasil resin Damar.

Bogor: Dephut

12. Kirk R.E. and Othmer, D.F., 1966. Encyclopedia of Chemical

Technology, vol.1, 2nd edition, A Willey Interscience Publication,

John Wiley and Sons Co., New York.

13. Larasati, F. 2007. Pemurnian Beberapa Mutu Damar Mata Kucing

(Shorea javanica) dengan Sistem Pemanasan. [skripsi]. Bogor:

Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Bogor.

Page 132: Implementasi Untuk Material Pertahanan

125

14. Lukman, AH. 2001. Cara Penyadapan yang Dapat Meningkatkan

Produksi Damar Mata Kucing. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

BTR Palembang. Palembang

15. Lenny, S. 2006. Senyawa Flavanoida, Fenilpropanida dan Alkaloida,

Karya Ilmiah Departemen Kimia Fakultas MIPA Universitas

Sumatera Utara.

16. Mulyono, N. 2009. Ekstrak Damar untuk Bahan Pengeruh dan

Fosforilasi Damar untuk Bahan Pemberat. [Disertasi]. Bogor:

Sekolah Pascasarjana, IPB.

17. Mulyono N, Apriantono A. 2004. Sifat fisik, kimia, dan fungsional

damar. Jurnal teknologi dan industri pangan XV (2004)3: 245-252.

18. Namiroh, N. 1998. Pemurnian Damar (Shorea javanica) dengan

Kombinsi Pelarut Organik. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

19. Pandit IK, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu

sebagai Bahan Baku. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian

Bogor.

20. Perhutani. 2012. Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT)

Sindangwangi. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Bandung Jawa Barat.

21. Sari, RK. 2002. Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif dari

Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. Et V). [Thesis]. Bogor:

Program Pascasarjana, IPB.

22. Setianingsih, N., 1992. Pemurnian Damar Shorea javanica dengan

Menggunakan Pelarut Organik dan Bahan Pemucat. Skripsi Fakultas

Teknologi Pertanian IPB.

Page 133: Implementasi Untuk Material Pertahanan

126

23. Setiawati T, Purwantiningsih, Husaeni, EA. 2001. Penapisan

senyawa anti rayap dari getah S. javanica dan Shorea Leprosula.

Buletin Kimia (2001) 1: 101-105. Standar Nasional Indonesia.

24. Sinaga, Y.A., 2012. Perhutani News. Perum Perhutani.

25. Siregar EBM. 2005. Pemuliaan Pinus merkusii. Medan: Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara.

26. Standar Nasional Indonesia, 1999. SNI 01-2900-1999. Jakarta:

Badan Standarisasi Nasional.

27. Sumadiwangsa, S. 2004. Pemanfaatan Resin untuk Meningkatkan

Pendapatan Masyarakat Sekitar Hutan. Prosiding Lokakarya

Penelitian Hasil Hutan. Bogor: Pusat Penelitian Hasil Hutan.

28. Tan, C.T., 1990. Beverage Emulsions, Food Emulsion 2nd ed 445-

478.

29. Trison, S. 2001. Kajian Kelayakan Usaha Sistem Pengelolaan

Repong Damar Mata Kucing (S. javanicaK et V) di Krui Lampung.

[skripsi] Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas

Kehutanan, Ianstitut Pertanian Bogor.

30. Tümen I, Reunanen, M. , 2010. Record of Natural Products. Rec.

Nat. Prod. 4:4 224 – 229.

31. Wiyono, B. 1998. Mempelajari pemisahan minyak atsiri dari damar

mata kucing dan sifat fisiko-kimia residunya. Buletin Penelitian Hasil

Hutan 15 (1998) 6: 363-370.

32. Wiyono B, Silitonga T. 2001. Pengaruh jenis dan mutu damar

terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia damar yang dimurnikan.

BuletinPenelitian Hasil Hutan19 (2001) 2: 103-115.

Page 134: Implementasi Untuk Material Pertahanan

127

BAB 4

GOLONGAN BOTANI MENGANDUNG SERAT

4.1 Jenis Botani Mengandung Serat

Tumbuhan untuk pertanian/perkebunan, pohon-pohon di hutan, serta

beberapa tanaman lainnya memiliki banyak manfaat untuk

kesejahteraan manusia. Bahan yang berasal dari tumbuhan/tanaman

banyak mengandung serat yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan

industri khusus unntuk menggantikan bahan-bahan sintesis karena

serat alami dari tumbuhan merupakan serat yang ramah lingkungan

(go green).

Serat alami telah menunjukkan keunggulan dalam beberapa tahun

terakhir. Keunggulan dari serat alami dibandingkan dengan serat

sintetis adalah harganya murah, densitas rendah, mudah lepas, bahan

terbarukan dan terbiodegradasi dan tidak berbahaya bagi kesehatan.

Akibatnya, ada peningkatan upaya untuk mengeksplorasi serat alam

baru dan penggunaan serat tanaman oleh sektor industri yang berbeda,

seperti komposit untuk aplikasi otomotif dan untuk menggantikan serat

sintetis (Suryanto et al., 2014).

Beberapa alternatif serat alam dari tanaman yang sudah dieksplorasi

antara lain serat jerami, jerami padi, serat rerumputan seperti rumput

switch, rumput India, rumput napier, dan rumput mendong. Beberapa

Page 135: Implementasi Untuk Material Pertahanan

128

serat tersebut telah diterapkan sebagai penguat komposit polimer

(Suryanto et al., 2015).

Serat-serat alam dapat dikelompokan berdasarkan pada sumbernya

yaitu berasal dari tanaman, binatang atau mineral. Serat tanaman

terdiri atas selulosa, sementara serat hewan (rambut, sutera, dan wol)

terdiri atas protein-protein. Serat tanaman meliputi serat kulit pohon

(atau stem atau sklerenkima halus), daun atau serat-serat keras, benih,

buah, kayu, sereal gandum, dan serat-serat rumput lain. Banyak

diantara serat-serat alam ini, telah dikembangkan sebagai penguat

dalam bahan komposit. Bahan-bahan komposit serat alam telah

meningkat penggunaan karena harganya relatif murah, mampu untuk

didaur ulang dan dapat bersaing dengan baik berdasarkan kekuatan

per berat dari material.

Serat yang berasal dari tumbuhan, pada umumnya dikelompokkan

menjadi 2 kelompok, yaitu serat non-kayu dan serat kayu. Untuk serat

non-kayu dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:

1. Kelompok kulit pohon, terdiri dari kenaf (Hibiscus cannabicus), flax

(Linum usitatissimum), jute (Corchorus), rami (Boehmeira nivea),

dan hemp (Cannabis sativa).

2. Kelompok jerami, terdiri jagung, gandum, serta padi.

3. Kolompok Daun, terdiri sisal (Agave sisalana), daun nanas (Ananas

comosus), eceng gondok (Eichhornia crassipes), pandan, serta

serat henequen (Agave fourcroydes).

Page 136: Implementasi Untuk Material Pertahanan

129

4. Serat rumput/grass, terdiri serat bambu, rumput, rotan, switch

grass (Panicum virgatum), dan rumput gajah (Erianthus

elephantinus).

Karakteristik serat alam sangatlah bervariasi. Beberapa karakteristik

serat alam diantaranya seperti kandungan selulosa dalam serat, derajat

polimerisasi selulosa dan sudut mikrofibril serat akan mempengaruhi

kekuatan tarik dan modulus (Mohanty et al., 2005).

Dengan karakteristik tersebut beerapa diantaranya dapat digunakan

sebagai material dibidang teknologi pertahanan. Beberapa tumbuhan

atau tanaman yang dapat digunakan untuk material dibidang teknologi

pertahanan yaitu:

1. Pohon Rami (Boehmeira nivea).

2. Rotan (Calameae) .

3. Pohon Bambu (Bambuseae).

4.1.1 Pohon Rami (Boehmeira Nivea)

Tanaman rami adalah tanaman tahunan berumpun yang menghasilkan

serat dari kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina ini

secara botanis dikenal dengan nama Boehmeria nivea (L). Di Jawa

Barat dikenal dengan nama haramay, sedangkan di Minangkabau

dikenal dengan romin. Di Sumatera Barat disebut kelu dan di Sulawesi

dikenal gambe. Dalam perdagangan internasional tanaman ini dikenal

dengan sebutan ramie (Musaddad, 2007).

Page 137: Implementasi Untuk Material Pertahanan

130

Gambar 4.1 Tanaman Rami ( Musaddad, 2007)

Tanaman rami (Boehmeria nivea, L. Gaud) merupakan salah satu

tanaman penghasil serat alam yang dapat menjadi sumber bahan baku

produk tekstil seperti halnya kapas karena memiliki kemiripan dengan

kapas, bedanya kapas merupakan serat pendek sedangkan rami adalah

serat panjang. Dibanding dengan kapas, serat rami lebih kuat, mudah

menyerap keringat dan tidak mudah kena bakteri atau jamur. Selain

diambil serat dari kulit batangnya, semua bagian tanaman rami dapat

dimanfaatkan. Akar tanaman (rhizome) dapat digunakan sebagai bahan

tanaman (bibit) untuk pengembangan rami, daunnya dapat sebagai

pakan ternak, sedangkan kulit batang dan kayunya dapat digunakan

untuk bahan baku pulp maupun kompos (Musaddad, 2007).

Rami tidak sekadar tanaman penghasil serat, tetapi memiliki manfaat

lain. Bahkan, rami bisa digolongkan sebagai komoditas zero waste.

Artinya, limbah hasil olahan yang berupa serat dapat diolah menjadi

Page 138: Implementasi Untuk Material Pertahanan

131

berbagai produk alternatif. Tidak hanya limbah olahan, seluruh bagian

tanaman rami yang tidak diolah bisa dijadikan produk dengan nilai

ekonomi tinggi. Pemanfaatan bagian lain dari tanaman rami selain

sebagai penghasil serat karena memiliki kandungan seperti dipaparkan

dalam Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Bagian Tanaman Rami dan Kandungannya (Musaddad, M.A., 2007).

Bagian Tanaman Kandungan Daun Berat kering (19,56%), protein

kering (26,38%), serat kasar (16,24%), lemak kering (3,04%), kalori (4659,13 kalori/gram), N (2,94%), C organik (27,61%), C/N ratio (9), bahan organik (47,76%), P (0,3%), K (2,2%), Mg (0,45%), S (0,19%), Cu (7,95 ppm), Zn (10,68 ppm), Mo (1,43 ppm)

Pucuk Daun Protein (9,46%), lemak (0,96%), tanin (1,68%), vitamin C (1904,6 ppm), total asam (1,25 %), total gula (0,15%)

Batang dan Akar N (0,84%), C organik (37,88%), C/N ratio (45), bahan organik (65,53%), P (80%), K (1,06%), Mg (0,51%), S (20 ppm), Zn (4,77 ppm)

Rami (Boehmeria nivea, L. Gaud.) merupakan tanaman yang memiliki

potensi tinggi. Serat rami dapat diolah menjadi kain fashion berkualitas

tinggi, karena memiliki karakter mirip dengan serat kapas. Selain itu,

serat rami merupakan bahan untuk pembuatan selulosa berkualitas

tinggi (selulose α). Daunnya merupakan bahan kompos dan pakan

Page 139: Implementasi Untuk Material Pertahanan

132

ternak yang bergizi tinggi, kayunya baik untuk bahan bakar (Purwati,

2012).

Prospek pengembangan pasar untuk serat rami sangat baik karena

harga jual yang relatif tinggi. Indonesia memiliki potensi yang cukup

besar untuk mengembangkan rami karena memiliki lahan yang relatif

luas dan iklim yang cocok untuk tanaman rami. Rami sangat cocok

dikembangkan di Indonesia bagian barat yang beriklim basah karena

tanaman ini memerlukan curah hujan sepanjang tahun. Pemasaran

serat rami cukup luas di dalam maupun di luar negeri, mulai dari serat

mentah (China grass), serat panjang hasil di gumming ( ramie raw ),

serat pendek ( ramie stafle fibre ) maupun serat panjang ( ramie top ).

Saat ini pangsa pasar konsumen serat rami dunia sekitar 350.000 ton

dan diperkirakan kebutuhan serat rami dunia terus menaik hingga

400.000 – 500.000 ton/tahun (Anonim, 2007).

Serat dari batang tanaman rami sebenarnya memiliki beberapa

keunggulan, antara lain kualitas tekstil yang dihasilkan cukup baik

karena memiliki kehalusan serat (dyener) seperti halnya kapas. Serat

rami juga memiliki tingkat elastisitas yang baik dan lebih sejuk bila

dipakai. Serat rami juga dapat dijadikan sebagai campuran bahan kain

lainnya, seperti katun, rayon, linen, dan polyester. Dibandingkan

dengan kapas, serat rami lebih kuat sehingga banyak dimanfaatkan

untuk bahan pakaian atau perlengkapan militer. Bahkan, sudah ada

penelitian yang menyebutkan bahwa serat rami anti peluru (Musaddad,

2007).

Page 140: Implementasi Untuk Material Pertahanan

133

4.1.2 Struktur Molekul Rami

Rami merupakan serat tumbuh-tumbuhan jenis Boehmeria Nivea.

Selulosa mempunyai rumus (C6H10 O5)n, dimana “n” merupakan

derajat polimerisasinya dan sebagian besar serat rami (68,6 % - 76,2

%) terdiri dari selulosa. Analisa Frenderberg, Haworth dan Braun dalam

buku Tekstil Fiber menunjukkkan bahwa selulosa dibentuk oleh cindin

glukosa, sehingga dapat disebutkan bahwa struktur serat selulosa

merupakan kesatuan dari anhydro glukosa yang dihubungkan satu

dengan yang lainnya oleh jembatan oksigen pada kedudukan 1 – 4

(Evgust, 2011), seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1 berikut.

Gambar 2.2 Struktur Molekul Serat Selulosa

1. Susunan Kimia dan Fisik Rami

Analisa kimia memperlihatkan bahwa selulosa merupakan komponen

utama dari serat rami. Komposisi kimia serat rami dapat dilihat pada

Tabel 4.2 berikut :

Page 141: Implementasi Untuk Material Pertahanan

134

Tabel 4.2 Sifat Fisik dan Kimia Serat Rami (Purwati, D.R., 2012)

Karakter Nilai

Selulosa (%berat) Lignin (%berat) Hemiselulosa (%berat) Pekti (%berat) Lilin (%berat) Sudut mikrofibril (o) Kadar Air (%berat) Kerapatan (mg/m3)

69,6 – 76,2 0,6 – 0,7

13,1 – 16,7 1,9 0,3 7,5 8,0 1,5

2. Bentuk Serat Rami Bentuk serat rami terdiri dari membujur dan melintang, jika membujur

bentuk memanjang seperti silinder dengan permukaan bergaris – garis

dan berkerut-kerut membentuk benjolan-benjolan kecil dan jika

melintang bentuk lonjong memanjang dengan dinding sel yang tebal

dan lumen yang pipih. Ujung sel tumpul dan tidak berlumen (Evgust,

2011). Gambar serat rami membujur dan melintang dapat dilihat pada

Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 berikut.

Gambar 4.3. Hasil Foto SEM penampang memanjang(500x) dan

melintang serat rami (1000X) 0% naOH

Page 142: Implementasi Untuk Material Pertahanan

135

Gambar 4.4. Hasil Foto SEM penampang memanjang(500x) dan

melintang serat rami (1000X) dengan 2,5% dan 5% NaOH

4.1.3 Tanaman Rotan

Seluruh jenis rotan tumbuh di permukaan bumi diperkirakan 850 jenis.

Penyebaran tumbuhan rotan mulai di kepulauan Fiji di Timur sampai ke

Afrika tropis di bagian Barat dan mulai dari Australia Utara sampai

daerah Cina Selatan. Pusat pertumbuhan rotan paling banyak ditemui

di Asia Selatan. Di wilayah ini terdapat sekitar 614 jenis rotan dan 312

jenis diantaranya tumbuh di Indonesia.

Secara umum rotan tumbuh baik didaerah hutan hujan tropika, baik

pada hutan primer maupun hutan sekunder pada ketinggian sampai

dengan 1500 meter di atas permukaan laut. Dalam upaya pelestarian

Page 143: Implementasi Untuk Material Pertahanan

136

sumberdaya rotan di Indonesia, masyarakat telah melakukan

penanaman rotan baik secara tradisonal maupun secara komersial.

1. Jenis dan Penyebaran

Semua bahan berkayu yang dipakai sehari-hari adalah produk dari

tanaman yang termasuk sub-divisi Gymnospermae dan Angiospermae.

Dari sub-divisi Gymnospermae yang banyak menghasilkan kayu berasal

dari kelas Coniferales (kayu conifer atau softwood). Sedangkan dari

sub-divisi Angiospermae terbagi menjadi dua kelas, yaitu

Monocotyiledons dan Dicotyledons. Dari kelas Dicotyledons dihasilkan

kayu-kayu daun lebar (hardwood). Adapun rotan berasal dari subdivisi

angiospermae, kelas monokotyledons, ordo palmales dan famili

palmeae. Famili palmeae ini terdiri dari 6 sub-famili, rotan termasuk ke

dalam sub-famili lepidocaryoid atau calamoideae (Uhl dan Dransfield,

1987). Sub-famili ini secara keseluruhan memiliki 22 genera dengan ciri

khas buahnya bersisik. Akan tetapi hanya 13 genera yang termasuk

tumbuhan rotan dengan ciri khas batang memanjat, kelopak dan daun

berduri, buah bersisik serta mempunyai flagela atau cirus. Seluruh jenis

tumbuhan rotan yang terdapat di dunia ini diperkirakan sekitar 850

jenis (Dransfield,1984 ; Weiner dan Liese,1990).

Pusat penyebaran tumbuhan rotan adalah Asia Tropis, terutama di Asia

Tenggara. Di daerah ini ditemui 10 genera yang meliputi 85% dari

seluruh jenis rotan yang tumbuh di muka bumi ini. Sisanya, 15%

tumbuh di Fiji, Papua Nugini, Australia Utara dan Afrika Tropis bagian

Page 144: Implementasi Untuk Material Pertahanan

137

Barat. Di daerah yang disebut terakhir ini terdapat 3 genera endemik,

yaitu Eremospatha, Laccosperma dan Oncocalamus.

Mogea (1990) menyatakan bahwa di Asia Selatan terdapat sekitar 614

jenis rotan. Dari jumlah ini ternyata di Indonesia tumbuh sebanyak 314

jenis yang berasal dari 8 genera dan satu genus di antaranya adalah

endemik Indonesia, yaitu Cornera. Dari jenis yang ada di Indonesia, 51

jenis di antaranya dilaporkan oleh Sumarna (1996) sebagai jenis-jenis

rotan komersial, sedangkan 13 jenis rotan kurang dikenal dapat

digunakan sebagai alternatif pengganti rotan komersial.

Apabila dibandingkan dengan beberapa negara-negara di Asia

Tenggara, Indonesia merupakan negara paling kaya akan sumberdaya

rotan. Di Semenanjung Malaysia terdapat 146 jenis dari 7 genera dan

20 jenis di antaranya dilaporkan sebagai jenis komersial. Di Thailand

terdapat 70 jenis dari 6 genera dimana 10 jenis termasuk jenis

komersial. Di Philipina terdapat 70 jenis dari 4 genera dan 10 jenis di

antaranya dipungut sebagai jenis komersial. Badhwar (1961)

melaporkan, bahwa di India ditemukan sekitar 37 jenis dari 3 genera

dan 10 jenis diantaranya merupakan jenis-jenis rotan komersil

(seluruhnya dari genus Calamus).

Untuk mengetahui penyebaran jenis-jenis rotan yang tumbuh

diberbagai wilayah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.3. Jenis-jenis

rotan yang paling banyak ditemui di Kalimantan ada 133 jenis,

kemudian menyusul berturut-turut di Sumatera, Irian Jaya, Sulawesi,

Jawa, Maluku, dan paling sedikit di NTB dan NTT (hanya 2 jenis).

Apabila Tabel 4.3 diperhatikan lebih seksama, diketahui bahwa di

Page 145: Implementasi Untuk Material Pertahanan

138

Indonesia terdapat jenis-jenis epidemik, yaitu jenis-jenis dari genera:

Calamus (15 jenis), Ceratalobus (2 jenis), Cornera (1 jenis),

Daemonorops (4 jenis), Korthalsia (5 jenis) dan Plectocomia (1 jenis).

Sedangkan, jenis-jenis endemik sebanyak 2 jenis berasal dari genus

Myrialepsis yang hanya tumbuh di Kalimantan dan Sumatera; dan

genus Plectocomia sebanyak satu jenis yang hanya tumbuh di

Sumatera.

Tabel 4.3 Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia (Dransfield, 1974 dan Sumarna, 1986)

Wilayah Jumlah Calamus Cerata

lobus Comera

Daemo-

norops

Kort-

halsia

Myr-

liepsis

Plecto-

comia P’miopsis

Borneo 133 75 4 1 37 15 1 - -

Sumatera 82 33 3 1 28 10 1 4 2

Papua 47 45 - - - 2 - - -

Sulawesi 35 27 - - 7 1 - - -

Jawa 30 18 2 - 6 2 - 2 -

Maluku 11 7 - - 4 - - - -

NTB+NTT 2 2 - - - - - - -

Gambar 4.5. Tanaman dan Buah Rotan (Sumarna, 1986)

Page 146: Implementasi Untuk Material Pertahanan

139

2. Sifat Dasar Rotan

Rotan adalah batang dari tumbuhan yang berlignoselulosa yang dapat

dimanfaatkan untuk mebel, barang kerajinan dan tikar. Dalam

pemanfaatan rotan harus dipahami sifat dasarnya karena tiap jenis

rotan pada hakekatnya mempunyai sifat yang berbeda, baik bentuk

maupun ukuran. Dalam buku ini dibahas sifat dasar meliputi ciri-ciri

umum, struktur anatomi, komposisi kimia, sifat fisis dan mekanis serta

keawetan rotan. Dengan mengetahui sifat dasar jenis rotan akan dapat

ditentukan peruntukannya secara lebih baik.

Gambar 4.6. Batang Rotan

3. Komposisi Kimia Rotan

Rotan disusun oleh berbagai komponen kimia yang sangat komplek.

Komponen ini dapat mempengaruhi proses pengolahan, yaitu pada

Page 147: Implementasi Untuk Material Pertahanan

140

proses pembelahan, pembengkokan, pemutihan dan finishing. Secara

garis besar komponen tersebut di kelompokan menjadi tiga komponen

pokok, yaitu: selulosa, lignin dan zat ekstraktif.

- Selulosa

Selulosa berasal dari fotositensis, berbentuk rantai panjang. Rantai

selulosa tersebut tersusun pada dinding sel rotan. Orientasi rantai

selulosa ini pada satu bagian tersusun rapat (daerah kristalit) dan pada

bagian lain tersusun tidak teratur (daerah amorf). Daerah amorf inilah

yang mudah dimasuki atau mengeluarkan air sehingga rotan bisa

mengembang atau mengerut. Pada rotan muda banyak daerah amorf

sehingga mudah keriput. Jumlah selulosa dalam rotan ± 38 - 60%.

Selulosa ini mempunyai sifat mudah teroksidasi. Larutan

hidrogenperoksi (H2O2), ca-hipoklorit dan oksidator lainnya

mengoksidasi selulosa bila dipakai dalam proses pemutihan rotan.

- Lignin

Lignin adalah bagian terbesar kedua setelah selulosa. Jumlahnya

berkisar antara 18 - 35%. Lignin terutama berfungsi sebagai bahan

pengikat antara satu dan lain sel dalam bahan rotan. Ibarat semen

dalam susunan batu bata. Dengan demikian lignin memberi kekuatan

kepada rotan. Sifat fisikokimia lignin adalah tidak berwarna (colourless)

dan mudah dioksidasi oleh larutan alkalik maupun oksidator seperti

halnya pada selulosa. Reaksi ini juga digunakan untuk pemutihan.

Page 148: Implementasi Untuk Material Pertahanan

141

- Zat ekstraktif

Zat ekstraktif adalah bahan organik dan anorganik dengan berat

molekul rendah. Zat ekstraktif ini pada mulanya merupakan cairan yang

terdapat dalam rongga sel (protoplasma) pada waktu sel-sel masih

hidup. Setelah sel-sel tua atau mati cairan tadi menempel pada dinding

sel berupa getah, lilin, zat warna, gelatin, gula-gula, mineral dan silika.

Jumlah zat ekstratif pada rotan lebih kurang 13%. Dibandingkan

dengan bahan berselulosa lain seperti kayu (± 9%) jumlah ini cukup

tinggi. Peranan zat ekstraktif dalam pengolahan sangat penting sekali

karena :

- Gula-gula merupakan bahan makanan jamur dan serangga.

- Lilin dan getah menghambat proses pengeringan.

- Zat warna menyebabkan rotan berwarna lebih gelap atau

kecoklatan, kemerah-merahan bahkan ada yang kehitaman.

- Silika merupakan zat vertikal keras yang dapat menumpulkan pisau

dalam proses pengerjaan rotan.

Dalam cara pengolahan rotan tradisional ditemui perendaman rotan

dalam air mengalir atau lumpur dalam waktu yang cukup lama. Cara ini

sebenarnya bertujuan :

- Melarutkan zat warna supaya rotan berwarna lebih cerah,

- Melarutkan gula-gula agar rotan tidak lagi diserang oleh jamur dan

serangga sehingga rotan menjadi lebih awet (pengawetan).

Page 149: Implementasi Untuk Material Pertahanan

142

Hasil penelitian komponen rotan dan kayu yang dihimpun dari berbagai

pustaka disajikan seperti pada Tabel 4.4. Pada Tabel 4.4 terlihat, bahwa

selulosa rotan lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun jarum dan

daun lebar. Sedangkan persentase lignin lebih kecil dibandingkan

dengan kayu daun jarum (Kollman dan Cöté, 1968). Karakteristik lignin

rotan sama dengan lignin dari daun lebar artinya tersusun dari prazat

koniferil dan sinafil alkohol atau disebut sebagai lignin guayasil-siringil.

Komponen silika dari 12 jenis rotan asal Sulawesi, Maluku dan Irian

Jaya berkisar antara 0.54 - 8,00% (Hadikusumo, 1994).

Chang et al. (1988) menyatakan bahwa rotan mengandung lignin relatif

kecil, apabila di bandingkan dengan kayu keras (hardwood) atau kayu

lunak (softwood) tetapi sejumlah besar polisacharida, terutama

hemiselulosa. Pada bagian epidermis rotan terdapat sebagian besar

senyawa silika.

Tabel 4.4 Komposisi Kimia Rotan (Kollman and Cöte , 1968; Hadikusumo, 1994; Fengel and Wagener, 1984; Rachman (1996);

Jasni et.al., 2012).

Komonen Kimia Rotan

Holoselulosa 71 - 76 Selulosa 39 - 60 Hemiselulosa - Lignin 18 – 48 Prazat lignin Mirip d. lebar Abu - Silika 0,54 – 8,00 Pati 14,00 -29,00

Page 150: Implementasi Untuk Material Pertahanan

143

Menurut Fengel dan Wagener (1984) elemen silika termasuk kedalam

kelompok abu, yaitu bahan anorganik yang diperoleh setelah

pengabuan kayu pada suhu 600 – 850oC. Elemen penyusun kelompok

abu yang utama adalah Ca (dalam kebanyakan kayu mencapai 50%

dari total abu); K dan Mg masing-masing menduduki tempat kedua dan

ketiga; lalu dilanjutkan oleh elemen-elemen Mn, Na, P, Cl, Si, S, Mg dan

lain–lain. Pada kayu–kayu tropis, persentase silika yang tinggi dapat

melebihi kandungan Ca dalam beberapa jenis.

Kelompok abu yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya atau

elektron tampak terakumulasi dalam saluran damar, sel jari-jari, lamela

tengah, lapisan dinding tersier, noktah dan daerah penebalan spiral.

Deposit silika paling banyak terdapat dalam bentuk silikat (SiO2) dan

tampil sebagai butiran (grain) atau butiran agregrat.

Analisis kualitatif dan kuantitatif silika dapat dilakukan secara gravimetri

mengikuti prosedur TAPPI standard T 15.06–58 atau ASTM D1102-56.

Analisis yang lebih teliti dapat menggunakan alat spektroskopi (Fengel

dan Wegener, 1984). Sedangkan analisis pati secara kuantitatif

berdasarkan SII 70-1979 (Anonim, 1979).

4. Sifat Fisis dan Mekanis Rotan

Sifat fisis dan mekanis adalah indikator yang penting untuk menentukan

perilaku penampakkan, kekuatan dan bahkan mutu rotan. Sifat-sifat ini

berbeda untuk tiap jenis rotan sehingga ia menjadi karakter suatu jenis

rotan. Secara mendasar nilai sifat fisis mekanis rotan ditentukan oleh

Page 151: Implementasi Untuk Material Pertahanan

144

susunan dan orientasi sel penyusunan dan komposisi kimia rotan. Sifat

fisis mekanis rotan diuraikan sebagai berikut.

- Kadar air

Dalam penggunaan rotan sebagai bahan baku industri, sangat penting

untuk mengetahui, bagaimana air berada dan bergerak di dalam bahan

rotan. Hal ini karena hampir semua sifat rotan dan produk rotan

dipengaruhi oleh keberadaan air dalam rotan. Pada saat rotan ditebas

di hutan, kandungan airnya sangat tinggi bahkan dapat melebihi berat

zat rotannya. Apabila sesorang tersesat di dalam hutan dan kehausan,

tebaslah sebatang rotan, airnya akan mengucur dari batang yang

ditebas.

Para pemungut dan petugas survei seringkali memanfaatkan air ini di

hutan sebagai penawar dahaga. Ketika rotan dalam keadaan segar,

yaitu rotan yang baru ditebas, air dalam bentuk cairan berada dalam

rongga sel, dinding sel dan ruang antar sel rotan. Beberapa waktu

setelah rotan ditebas jumlah air yang ada dalam rotan akan terus

berkurang sampai air hanya terdapat dalam dinding sel dan uap air-

jenuh dalam rongga sel serta ruang antar sel. Keadaan ini disebut

sebagai titik jenuh serat (TJS). Setalah melewati titik jenuh serat,

jumlah air akan terus berkurang sampai tercapai keseimbangan dengan

kelembaban udara di sekelilingnya. Di Indonesia kandungan air

tersebut berkisar 14 – 20% dari berat rotan kering (tanpa air),

tergantung pada kondisi lingkungan di mana rotan tersebut berada.

Page 152: Implementasi Untuk Material Pertahanan

145

Banyaknya air dalam sepotong rotan dibandingkan dengan berat rotan

keringnya dan dinyatakan dalam persen disebut sebagai kadar air.

Untuk menghitung kadar air ini secara teliti harus dilakukan di

laboratorium, menggunakan timbangan dan oven. Berdasarkan

pengertian bahwa kadar air adalah rasio berat air dan berat rotan bebas

air maka kadar air dapat dihitung dengan rumus berikut:

KA =𝐵𝑏−𝐵𝑜

𝐵𝑜 x 100%

dimana: KA = Kadar air ; Bb = Berat basah ; Bo = berat kering oven

Dalam praktek sehari–hari dikenal istilah rotan segar, rotan basah,

rotan kering udara atau rotan dengan kadar air 8 - 12% dan

sebagainya. Rotan segar adalah rotan yang baru dipanen dengan kadar

air melebihi 100%. Biasanya, terdapat pada rotan yang baru ditebas.

Rotan basah adalah rotan dengan kadar air di atas titik jenuh serat,

biasanya di bawah 100% dan di atas rotan kering udara. Nilai kadar air

rotan pada saat titik jenuh serat belum diketahui secara pasti. Nilai ini

diduga sekitar 30%. Rotan kering udara atau disebut juga rotan kering

adalah rotan dengan kadar air 14 - 20% dan merupakan kadar air

keseimbangan dengan kelembaban udara atau keadaan cuaca di

sekitar tempat rotan tersebut berada. Kadar air rotan kering udara

dapat pula diukur dengan cepat, menggunakan alat moisture meter

yang banyak dijual dengan berbagai merek. Alat ini pada hakekatnya

mengukur secara elektris hubungan antara kandungan air dalam bahan

dengan besarnya tegangan listrik. Oleh karena itu, terdapat sedikit

perbedaan antara nilai pengukuran kadar air moisture meter dengan

Page 153: Implementasi Untuk Material Pertahanan

146

nilai pengukuran laboratoris. Untuk mengetahui kadar air rotan segar

dan kering udara secara laboratoris pada beberapa jenis rotan dapat

dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Kadar air rata–rata rotan segar dan pada kondisi kering udara di daerah Bogor

Jenis Kadar air segar (%)

Kadar air kering udara

(%)

Rotan diameter besar

- Manau (Calamus manan)

- Sampang (Korthalsia junghunii)

- Seuti (C. ornatus)

- Bubuay (Plectocomia elongata) Rotan diameter kecil

- Seel (Daemonorops malanocaetes)

- Pelah (Calamus sp)

140* 111* 225 147

235 195

18 18 16 15

14 16

Keterangan: *) sekitar 5 – 7 hari setelah panen

Pengeringan rotan pada dasarnya, adalah usaha pengeluaran air dari

dalam rotan mulai dari rotan segar sampai mencapai kadar air kering

udara. Pengeringan rotan biasanya disertai penyusutan. Pada jenis-

jenis rotan tertentu terutama rotan muda atau bagian ujung batang

dapat terjadi keriput (kisut) atau collaps selama proses pengeringan

sehingga menurunkan mutu rotan. Collaps biasanya terjadi pada bagian

ujung rotan diameter besar yang dijemur pada sinar matahari yang

terlalu terik.

Persamaam dasar kadar air dapat dirubah dalam bentuk yang lebih

mudah digunakan dalam situasi tertentu sebagai berikut:

Page 154: Implementasi Untuk Material Pertahanan

147

Bo = 𝐵𝑏

1+(%𝐾𝐴

100) ; Bb = Bo (1 + (%

𝐾𝐴

100)

Sebagai contoh, perhatikan suatu situasi tumpukan rotan basah,

beratnya 10 ton. Rotan ini akan diangkut dari tempat penebangan ke

tempat pengolahan. Kadar air rotan tersebut adalah sekitar 100%.

Berapa berat akan dihemat bila rotan dikirim dalam bentuk rotan bulat

kering udara (rotan WS) dengan kadar air 20%.

Bo = 10

1+1 = 5 ton ; Bb = 5(1 + (

20

100) = 5 x 1,2 = 6 ton

Penghematan berat adalah 10 – 6 = 4 ton. Bila ongkos angkut per ton

= Rp. 10.000,- maka akan terjadi penghematan biaya sebesar Rp.

40.000,-.

- Berat Jenis

Berat jenis (specific gravity) adalah salah satu sifat fisik yang paling

penting karena akan sangat mempengaruhi sifat kekuatan, kembang

susut, sifat menyerap bahan kimia dan finishing serta sifat–sifat lain

dalam pengolahan dan penggunaan. Berat jenis (BJ) adalah

perbandingan antara berat dan volume bahan dengan perbandingan

berat dan volume air. Rumusnya adalah:

Bj = 𝐵/𝑉 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛

𝐵/𝑉 𝑎𝑖𝑟 ; dimana: B = berat ; V = volume

Page 155: Implementasi Untuk Material Pertahanan

148

Berdasarkan persamaan di atas maka nilai berat jenis tidak memakai

satuan. Selanjutnya, karena B/V air = 1 maka BJ diukur berdasarkan

B/V bahan. Berat jenis standar selalu dinyatakan Bo/Vb; Bo/Vku atau

Bo/Vo (di mana notasi o untuk oven; b untuk basah; ku untuk kering

udara). Namun dalam praktek sering digunakan berat jenis atas dasar

Bb/Vb atau Bku/Vku.

Rotan berat, sedang atau ringan berkaitan dengan berat jenis yang

tinggi, sedang atau rendah. Rotan dengan berat jenis yang terlalu tinggi

atau terlalu rendah tidak disenangi karena terlalu kaku/ jeras atau

terlalu lemah/ lunak. Rotan manau dan tohiti sangat disukai dalam

pemakaian karena BJ-nya 0,48 – 0,55 (sedang). Berat jenis rotan

dipengaruhi pula oleh sebaran ikatan pembuluh (KIP). Semakin tinggi

sebaran KIP semakin tinggi BJ rotan, tetapi sebaran yang terlalu tinggi

dan terlalu rendah biasanya kurang disukai Di lapangan sering dipakai

istilah kerapatan rotan yang pada hakekatnya sama dengan BJ.

Kerapatan adalah berat per satuan volume dan selalu dinyatakan dalam

satuan gr/cm³, kg/m³ atau lb/ft³. Kerapatan dihitung atas dasar Bo/Vb,

Bb/Vb atau Bo/Vku.

Pada kayu daun lebar (hardwood), proporsi sel–sel utama penyusun

kayu berpengaruh terhadap berat jenis, seperti dapat dilihat pada Tabel

10. pada tabel tersebut secara umum tampak adanya hubungan,

bahwa penurunan volume pori akan meningkatkan berat jenis. Secara

nalar ternyata penggantian kedudukan sel pori yang besar oleh sel–sel

serat dengan dinding yang lebih tebal dan sel – sel parenkim akan

meningkatkan jumlah dinding sel, dengan demikian akan meningkatkan

Page 156: Implementasi Untuk Material Pertahanan

149

berat jenis. Hubungan yang sama berlaku pula pada rotan (Tabel 4.6).

Tabel 4.6 Hubungan antara proporsi relatif pori, serat dan parenkim dengan berat jenis (Wangard, 1979) dan Rachman, 1996)

Jenis Pori (%) Serat (%) Parenkim (%) BJ

Kayu1) Basswood Sweetgum Birch Hickory Rotan2) Tretes Galaka Seuti Manau Tohiti

56 54 21 6

17 23 18 20 21

36 26 64 67 30 33 28 40 38

8 20 15 22 53 45 46 40 41

0,32 0,46 0,50 0,64 0,40 0,50 0,51 0,59 0,61

Keterangan: ¹) Wangard (1979), ²) Rachman (1996)

3. Kekuatan Lentur Statik Rotan

Kekuatan lentur statik adalah ukuran kemampuan rotan menahan

beban lentur yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk.

Perubahan dapat berupa pelengkungan (bending), perpanjangan

(tensile) atau torsi (beban putar). Tingkat perubahan bisa sampai batas

elastis dan sampai maksimum. Batas elastis diartikan apabila

perubahan bentuk yang terjadi akibat pembebanan akan kembali ke

bentuk semula jika beban dilepaskan. Sedangkan, batas maksimum

adalah bila perubahan bentuk akibat pembebanan tidak kembali ke

bentuk semula jika beban dilepaskan.

Page 157: Implementasi Untuk Material Pertahanan

150

Grafik hubungan pembebanan dan perubahan bentuk (stress-strain)

dalam uji lengkung (bending) pada kayu berbeda dengan rotan. Setelah

mencapai batas lengkungan (deflection) maksimum, kayu akan

mengalami patah (Gambar 4.7a). Sedangkan, pada rotan tidak

mengalami patah melainkan pertambahan lengkungan tidak lagi

menyebabkan kenaikan beban (Gambar 4.7b). Titik maksimum, pada

beberapa jenis rotan dicapai pada lengkungan sekitar 25 mm.

Pengujian lentur statik pada rotan dengan mesin uji lentur disajikan

pada Gambar 4.8.

Keterangan:

E = Batas elastis; M = Batas maksimum; = Lengkungan; P = Beban

Gambar 4.7 Grafik hubungan antara defleksi dan beban pada uji

lentur statik rotan (b) dan kayu (a)

Ukuran kemampuan sampai batas elastis disebut modulus elastisitas

(MOE) dan sampai batas maksimum disebut modulus rusak (MOR)

dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Page 158: Implementasi Untuk Material Pertahanan

151

MOE = 0,424 𝑥 𝑃𝑒 𝑥 𝐿3

𝐷4 𝐹𝑒

MOR = 1,273 𝑃𝑚 𝐿

𝐷3

dimana: Pe = beban elastis; L = jarak sanggah, D = diameter rotan; Fe = lengkungan; Pm = beban maksimum. Untuk rotan diameter besar biasanya digunakan MOE dan MOR lengkung dan untuk kulit rotan digunakan MOE dan MOR perpanjangan (tarik).

Gambar 4.8 Pengujian lentur statik rotan pada mesin uji

Dalam hubungan dengan MOE lengkung dan MOR (lengkung

maksimum) pada rotan perlu dibedakan dengan istilah kekerasan yang

digunakan dalam standar mutu rotan. Istilah kekerasan dalam

standarisasi rotan diartikan, jika sepotong rotan dilengkungkan dengan

Page 159: Implementasi Untuk Material Pertahanan

152

kedua tangan lalu ia menjadi patah maka dinyatakan kekerasannya

rendah dan sebaliknya kekerasannya tinggi. Sedangkan, kekerasan

dalam pengertian mekanika adalah besarnya gaya yang diperlukan

untuk menancapkan bola baja berdiameter 11,5 mm ke dalam bahan

5,525 mm. Kekerasan adalah indikator yang menunjukkan kegunaan

kayu untuk paving block, flooring, bearing dan bahan lain yang sama.

Adapun kekakuan (stiffness) adalah kemampuan bahan menahan

beban seketika dan merupakan indikator baik tidaknya bahan sebagai

hammer handle, athletic goods dan bahan sejenis lainnya. Sifat

mekanis lain yang penting adalah keteguhan belah yang menunjukan

mudah tidaknya rotan dibelah dan dikupas.

Rachman (1996) melaporkan bahwa MOE lengkung beberapa jenis

rotan berkisar antara 5.000 – 45.000 kg/cm². Selanjutnya hasil

penelitian yang telah dilakukan bahwa rotan tohiti MOEnya 54.000

kg/cm2 (Jasni et.al, 2007). Menurut Hadikusumo (1990) MOE lengkung

rotan jauh lebih rendah daripada kayu, yaitu sekitar 1/3 kayu pada

berat jenis yang hampir sama. Keteguhan lengkung maksimum kayu

dan rotan tidak berbeda jauh pada berat jenis yang sama, yaitu sekitar

550 – 650 kg/cm² pada berat jenis 0,55 – 0,65. Adapun keteguhan

tekan sejajar serat pada rotan semambu, kayu kelapa dan kayu meranti

dengan berat jenis yang sama (0,54) masing–masing adalah 205

kg/cm², 395 kg/cm² dan 411 kg/cm².

Para peneliti rotan tampaknya juga sependapat bahwa keberadaan

berkas serat berpengaruh terhadap sifat fisik dan mekanik rotan. Bhat

Page 160: Implementasi Untuk Material Pertahanan

153

dan Thulasidas (1989) melaporkan, bahwa tebal dinding sel serat

adalah parameter anatomi yang paling penting yang menentukan

perilaku sifat fisik rotan. Dinding yang lebih tebal mengakibatkan rotan

lebih keras dan lebih berat. Selanjutnya Yudodibroto (1984)

melaporkan bahwa jumlah sel–sel schlerenchyma yang terdapat di

sekitar ikatan pembuluh berkolerasi dengan kekuatan tarik (tensile

strength) rotan, yaitu kenaikan persentase sel–sel ini, yang diukur pada

penampang lintang akan meningkatkan kekuatan tarik rotan seperti

terlihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hubungan antara jumlah sel schlerenchyma dan kekuatan tarik rotan

Jenis Rotan Daerah yang ditempati (%) Kekuatan tarik

(kg/cm2) Sel schlerenchyma Sel lain

-Tohiti (Calamus inops) 43,9 56,1 1.239,15

-Calamus sp 28,4 71,6 847,34 -Umbul (Calamus symphysipus)

25,8 74,2 830,81

Pada Tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa C. inops mengandung 43,9%

sel serat. Sedangkan C. symphysipus yang mengandung 25,8% sel

serat mempunyai kekuatan tarik sekitar 30% lebih rendah dari C. inops.

Hadikusumo (1994) menyatakan bahwa dari pengamatan 17 jenis rotan

diperoleh rata–rata proporsi sel serat sekitar sepertiga bagian (33,3%),

sepertiga berikutnya adalah sel vascular dan sepertiga terakhir adalah

sel parenkim.

Menurut Hadikusumo (1994) sifat kelengkungan rotan (radius terkecil

dari pelengkungan rotan) lebih banyak dipengaruhi oleh diameter dan

Page 161: Implementasi Untuk Material Pertahanan

154

kandungan lignin dan sedikit dipengaruhi oleh berat jenis dan

kandungan silika, dalam bentuk hubungan regresi linier berganda.

4.1.4 Tanaman Bambu

Bambu di dunia tercatat tumbuh dilebih dari 75 negara dan terdapat

1250 spesies bambu, selanjutnya kuantitas bambu yang ada di Asia

Selatan dan Asia Tenggara kira-kira 80% dari keseluruhan bambu yang

ada di dunia. Genus Bambusa mempunyai jumlah spesies paling

banyak, terutama tersebar di daerah tropis, termasuk Indonesia.

Bambu yang bergerombol dalam rumpun pada dasarnya termasuk

tanaman hutan. Bambu yang tumbuh menjalar pertumbuhannya

cenderung merajarela ke segala arah untuk menguasai lahan yang ada.

(Sharma, 1987 dan Uchimura, 1980). Bambu mempunyai keunggulan

sebagai bahan multi fungsi, tanaman cepat tumbuh (3 - 5 tahun), dan

mempunyai sifat kuat tarik yang hampir mendekati baja. Rittironk dan

Elnieri (2008), memaparkan penggunaan bambu yang dibagi dalam

bambu tradisional (konvensional) dan bambu rekayasa (mengalami

proses manufaktur). Bambu berdasarkan pertumbuhannya, dapat

dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu bambu simpodial dan

bambu monopodial (Morisco, 2006). Bambu simpodial tumbuh dalam

bentuk rumpun, setiap rhizome hanya akan menghasilkan satu batang

bambu, bambu muda tumbuh mengelilingi bambu yang tua. Bambu

simpodial tumbuh di daerah tropis dan subtropis, sehingga hanya jenis

ini saja yang dapat dijumpai di Indonesia. Bambu monopodial

berkembang dengan rhizome yang menerobos ke berbagai arah di

Page 162: Implementasi Untuk Material Pertahanan

155

bawah tanah dan muncul ke permukaan tanah sebagai tegakan bambu

yang individual. Batang bambu terdiri atas dua bagian yaitu:

a. Nodia (ruas/buku bambu)

Nodia adalah bagian terlemah terhadap gaya tarik sejajar sumbu

batang dari bambu, karena pada nodia sebagain serat bambu

berbelok. Serat yang berbelok ini sebagian menuju sumbu batang,

sedang sebagian lain menjauhi sumbu batang, sehingga pada nodia

arah gaya tidak lagi sejajar semua serat (Morisco, 1999). Secara

umun nodia mempunyai kapasitas memikul bahan yang tidak

efektif baik dari segi kekuatan ataupun deformasi. Meskipun

demikian adanya nodia pada batang bambu mencegah adanya

tekuk lokal yang sangat penting dalam perancangan bambu

sebagai elemen tekan (kolom).

b. Internodia (antar ruas)

Internodia adalah daerah antar nodia, semua sel yang terdapat

pada internodia mengarah pada sumbu aksial, sedang pada nodia

mengarah pada sumbu transversal. Tiap-tiap jenis bambu

mempunyai jarak internodia yang berbeda-beda. Bagian internodia

adalah bagian yang paling kuat dari bambu, sehingga mempunyai

kapasitas memikul bahan yang efektif.

Page 163: Implementasi Untuk Material Pertahanan

156

Gambar 4.8 Kelompok tunas bambu berdasarkan pertumbuhan: a. Simpodial; b. Monopodial (docplayer.info)

(a) (b)

Gambar 4.9 Kelompok bambu berdasarkan pertumbuhan: a. Bambu Simpodial; b. Bambu Monopodial

1. Jenis Bambu

Menurut Krisdianto, dkk. (2005) tanaman bambu di Indonesia

merupakan tanaman bambu simpodial, dengan batang-batang yang

cenderung mengumpul didalam rumpun karena percabangan

Page 164: Implementasi Untuk Material Pertahanan

157

rhizomnya di dalam tanah. Batang bambu yang lebih tua berada di

tengah rumpun, sehingga kurang menguntungkan dalam proses

penebangannya. Di Indonesia terdapat lebih dari 13 spesies bambu

yang biasa digunakan masyarakat untuk struktur bangunan, seperti

yang tercantum pada Tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.8 Jenis Bambu di Indonesia (Krisdianto dkk, 2005)

Nama Ilmiah Nama Lokal

Bambusa Spinosa Bluemeana Bambu duri, bambu gesing, bambu greng, haur cucuk, pring greng

Bambusa Bambos Cruce Bambu duri, pring ori Bambusa Multiplex Raeusech Awi krisik, bambu cina, pring

gendani, pring cendani, bambu pagar

Bambusa Vulgaris Schrad Bambu tutul, jajang gading, awi koneng

Dendrocalamus Asper (Schult, F) Black ex Heyne

Awi betung, bambu petung, deling peting, jajang betung, pring petung

Gigantochloa Verticillite (Willa) Munro

Andong gombong, awi gombong,awi hideung, bambu hitam, pring wulung, pereng sorat

Gigantochloa Nigrociliata (Bues) Kurz

Bambu lengka tali, awi tela, bambu lengka

Gigantochloa Apus Awi tali, bambu tali, deling apus, pring tali, pring apus

Gigantochloa Hasskarlina (kurz) Back ex Heyne

Awi lengka tali, awi tela

Phyllostachuhys Aurea Pring unceu, bambu cina Schizostashyum Blumei Nees Awi bunar, awi tamiyang, pring

wuluh, buluh sumpitan Schizostashyum Zollingeri (Steud) Kurz

Bambu perling, awi cakeutreauk

Schizostachy Branchycladium Kurz Awi bulu

Page 165: Implementasi Untuk Material Pertahanan

158

2. Sifat Fisika Bambu

Sifat fisika bambu terdiri dari berat jenis, kadar dan kembang susut.

Kualitas bambu sangat tergantung dari nilai sifat fisika bambu. Semakin

tinggi kualitas bambu akan ditunjukkan oleh nilai berat jenis yang

tinggi, kadar air yang rendah dan kembang susut yang rendah.

Sehingga dalam pemilihan bambu akan sangat perlu melihat sifat fisika

dari bambu yang akan kita pakai.

Sifat fisika merupakan informasi penting guna memberi petunjuk

tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang dihasilkan. Hasil

pengujian sifat fisis bambu telah diberikan oleh Ginoga (1977) dalam

Krisdianto 2005, dalam taraf pendahuluan. Pengujian dilakukan pada

bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam (Gigantochloa

nigrocillata Kurz.). Beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisis adalah

umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban

(pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam

dan kadar air bambu. Titik jenuh serat bambu 20-30%. Bagian dalam

bambu lebih banyak mengandung lengas (air bebas), daripada bagian

luar. Bagian buku-buku (nodes) mengandung +10% lebih sedikit kadar

airnya dari pada bagian ruasnya. Bambu kurang tahan jika

dipergunakan sebagai tulangan beton karena daya serap airnya bisa

mencapai 300%. Bambu perlu diawetkan agar dapat mencapai mutu

dan umur yang diharapkan. Penggunaan pada konstruksi bangunan

harus dihindarkan dari hujan dan panas matahari langsung, agar tidak

mudah rapuh dan membusuk.

Page 166: Implementasi Untuk Material Pertahanan

159

Kebanyakan bambu tumbuh pada temperatur 8.8°C sampai 36°C. Moso

dan bambu Ma yang tumbuh di Jepang dapat tumbuh pada temperatur

-10°C. Ketinggian tanah dimana bambu tumbuh dapat mencapai 3.600

m di atas permukaan laut seperti bambu yang tumbuh di Ekuador.

Bambu umumnya tumbuh pada tanah yang berpasir (sandy loam)

sampai di tanah liat (kuning, coklat kekuning-kuningan atau merah

kekuning-kunigan). Kualitas tanah tidak penting bagi pertumbuhan

bambu.

Moisture content bambu, Phisikal propertis, Mekanikal/teknikal

propertis sebagaimana juga dalam penggunaan bambu sebagai bahan

baku atau komponen bangunan tergantung dari kadar airnya (moisture

content). Kadar air bambu pada buku dan batang sangat tergantung

pada umur dan musim. Pada batang antar buku dapat mencapai 25%

dibandingkan dengan pada bagian buku sedangkan pada bagian dasar

sangat bervariasi. Pada daerah subtropical musim sangat

mempengaruhi moisture content (kandungan air) bambu dan pada

musim hujan dapat mencapai dua kalinya. Kandungan air bambu ini

sangat mempengaruhi kualitas bambu terutama pada saat akan

dimanfaatkan sebagai komponen bangunan.

Pemuaian dan penyusutan bambu hampir sama dengan kayu.

Perubahan yang terjadi pada panjang, lebar serta tebal kurang lebih

proporsional dengan kadar air yang dikandung. Pada penggunaan

konstruksi yang seluruhnya menggunakan bambu kondisi ini tidak

begitu berpengaruh pada konstruksi, berbeda dengan konstruksi yang

Page 167: Implementasi Untuk Material Pertahanan

160

menggunakan kombinasi antara bambu dan kayu kemungkinan

terlepasnya sambungan sangat besar.

Ketahanan api bambu, dibandingkan dengan kayu lunak sejenis

spruce (famili pinus) maka bambu mempunya daya rambat yang lebih

baikSpruce terbakar lebih cepat sedangkan bambu dua kali lebih lama.

Kulit bambu yang mengandung silisic acid sangat membantu menahan

rambatan api shingga proses terbakarnya lebih lama dibandingkan

spruce. Komponen yang dipasang secara horizontal lebih tahan

dibandingkan dengan yang posisinya vertikal.

3. Sifat Mekanik Bambu

Sifat mekanika merupakan informasi penting guna memberi petunjuk

tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang dihasilkan. Hasil

pengujian mekanis bambu telah diberikan oleh Ginoga (1977) dalam

taraf pendahuluan. Pengujian dilakukan pada bambu apus

(Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam (Gigantochloa nigrocillata

Kurz.). Beberapa hal yang mempengaruhi mekanis bambu adalah

umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban

(pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam

dan kadar air bambu. Sifat mekanika, merupakan nilai paling utama

dalam desain perancangan bambu sebagai bahan konstruksi. Nilai ini

menetukan kuat tidaknya, dan layak tidaknya digunakan pada posisi

tertentu pada konstruksi. Sifat mekanika dari bambu antara lain:

Page 168: Implementasi Untuk Material Pertahanan

161

- Kekuatan tekan

Kekuatan bambu untuk menahan gaya tekan tergantung pada bagian ruas

dan bagian antar ruas batang bambu. Kuat tekan dari batang bambu dapat

dihitung dengan Persamaan 1. Bagian batang tanpa ruas memiliki kuat tekan

(8 - 45)% lebih tinggi dari pada batang bambu yang beruas.

tk = 𝑃

𝐴 (N/mm2) (1)

dengan : Ptk = beban maksimum ( N );

A = luas bidang tekan ( mm2 ).

Kegagalan akibat uji tekan ada tiga jenis, yaitu:

- Kegagalan tekuk (buckling failure), kegagalan bambu berupa

batang bambu menekuk akibat yang kemudian ditandai bambu

pecah (failure).

- Kegagalan geser (split), kegagalan bambu langsung pecah dan

terbelah arah longitudinal akibat uji tekan.

- Kegagalan tekuk dan geser, kegagalan bambu kombinasi tekuk dan

geser yang terjadi bersamaan saat bambu akan failure

Page 169: Implementasi Untuk Material Pertahanan

162

Tabel 4.9 Kekuatan Tekan Rata-rata Bambu Bulat di Tiga Posisi (Morisco, 1999)

Jenis Bambu Bagia

Varian Bambu Bagian Kekuatan Tekan

(Mpa)

Bambu Galah (Gigantochloa ven icilata)

Pangkal 327 Tengah 399 Ujung 405

Bambu Apus (Gigantochloa apus) Pangkal 215 Tengah 288 Ujung 335

Bambu Tutul (Bambusa Vulgaris) Pangkal 532 Tengah 543 Ujung 464

Bambu Petung (Dendrocalamus Asper)

Pangkal 277 Tengah 409 Ujung 548

Gambar 4.10 Uji Tekan Bambu (Eratodi, 2017)

Page 170: Implementasi Untuk Material Pertahanan

163

Gambar 4.11 Hasil Pengujian Tekan Bambu (Eratodi, 2017)

- Kekuatan Tarik

Kekuatan bambu untuk menahan gaya tarik tergantung pada batang

yang digunakan dan besarnya dihitung dengan Persamaan 2. Bagian

ujung memiliki kekuatan terhadap gaya tarik 12% lebih rendah

dibanding dengan bagian pangkal.

tk = 𝑃

𝐴 (N/mm2) (2)

dengan: P = beban maksimum ( N ); A = luas bidang tarik ( mm2).

Page 171: Implementasi Untuk Material Pertahanan

164

Gambar 4.12 Contoh Spesimen Uji Tarik

Gambar 4.13 Hasil Pengujian Tarik Bambu (Eratodi, 2017)

Tabel 4.10. Kuat tarik bambu tanpa buku kering oven (Morisco, 1999)

Varian Bambu

Kuat Tarik Bagian Dalam

(kg/cm2)

Kuat Tarik Bagian

Luar (kg/cm2)

Bambu Ori (Bambusa arundinacea) 1.640 4.170 Bambu Petung (Dendrocalamusasper) 970 2.850 Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolacea) 960 2.370 Bambu Tutul (Bambusa maculata) 1.460 2.860

Page 172: Implementasi Untuk Material Pertahanan

165

Tabel 4.11. Kuat tarik bambu kering oven (Morisco, 1999)

Varian Bambu

Kuat Tarik Bagian Dalam

(kg/cm2)

Kuat Tarik Bagian

Luar (kg/cm2)

Bambu Ori (Bambusa arundinacea) 291 128 Bambu Petung (Dendrocalamusasper) 190 116 Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolacea) 166 147 Bambu Tutul (Bambusa maculata) 216 74 Bambu Legi (Gigantochloa verticilata) 288 126 Bambu Galah (Gigantochloa verticilata) 253 124 Bambu Apus (Gigantochloa apus) 151 55

4. Kandungan Kimia bambu

Kandungan kimia bambu dipengaruhi oleh usia, tinggi, lapisan bambu

yang dievaluasi dengan analisis varian pada level signifikan 0.05. Hasil

pengujian kimia bambu tercantum dalam Tabel 4.11. Pengujian ini

menggunakan metode Ekstraktif Alkohol-toluena dan Air panas

Ekstraktif alkohol-toluena bambu terdiri dari bahan yang tidak larut,

umumnya dianggap sebagai bagian dari substansi bambu, terutama

lilin, lemak, resin, dan beberapa kerak, beberapa substansi yang larut

dalam air. Kandungan ekstraktif alkohol-toluena dari berbagai usia dan

ketinggian lokasi disajikan pada Gambar 4.14. Umur mempunyai

pengaruh yang signifikan pada kandungan ekstraktif toluena alkohol.

Dengan meningkatnya umur, kandungan ekstraktif toluena alkohol

terus meningkat. Usia lima tahun bambu memiliki kandungan ekstraktif

tertinggi. Ada beberapa variasi diantara lokasi sampling vertikal. Bagian

atas memiliki kandungan ekstraktif tertinggi. Pangkal dan menengah

Page 173: Implementasi Untuk Material Pertahanan

166

tidak secara signifikan berbeda dalam kandungan ekstraktif toluena

alkohol.

Tabel 4.11. Komposisi Kimia dari Bambu (Eratodi, 2017)

Umur

(Thn) Lokasi

Ash

(%)

Hot water

Solubles (%)

Alcohol toluena

Sulubles (%)

Lignin

(%)

Holo Cellulose

(%)

α-Cellulose

1 Bawah 1,82 5,83 3,32 21,98 68,92 46,52 Tengah 1,94 5,07 2,86 22,11 70,84 47,30

Atas 1,95 5,14 3,48 21,26 71,95 47,51

2 Bawah 1,30 6,33 4,17 23,21 68,58 46,21 Tengah 1,36 6,91 4,38 23,95 72,69 46,82

Atas 1,41 7,43 5,21 23,71 73,82 46,99

3 Bawah 1,26 4,89 6,61 22,93 69,94 46,08 Tengah 1,30 5,19 6,81 22,97 72,50 47,65

Atas 1,35 5,84 7,34 23,02 73,65 47,91

31

Bawah 4,09 9,19 5,99 22,41 63,14 41,91 Tengah 0,54 5,26 3,15 24,30 69,94 49,02

Atas 0,65 7,25 4,25 21,79 65,84 45,08 Dalam 0,88 9,33 5,78 22,57 64,54 42,84

4.2 Proses Pengolahan Serat

Proses pembuatan atau pengolahan tanaman sumber serat sebagian

besar dilakukan setelah panen (pascapanen), terutama pada tanaman

yang khusus ditanam untuk diambil seratnya (Tanaman Rami), tetapi

ada beberapa tanaman yang diambil seratnya setelah terlebih dahulu

dilakukan proses pengolahan awal (Rotan dan Bambu). Untuk

pengambilan tanaman tersebut pengolahan sertanya adalah berikut ini.

Page 174: Implementasi Untuk Material Pertahanan

167

4.2.1 Pengolahan Serat Rami

Pascapanen rami merupakan rangkaian panjang sebelum batang rami

dapat dimanfaatkan menjadi serat rami siap pintal yang biasa disebut

rami top. Rangkaian ini meliputi: proses dekortikasi batang rami

menjadi china grass, degumming china grass menjadi serat bebas gum,

pelunakan (softening) serat bebas gum agar serat menjadi lemas.

Perlakuan selanjutnya pembukaan bundelan serat menjadi helaian

serat elementer agar mudah dipintal atau di-blending dengan serat

sintetis atau serat alami lainnya. Serat yang telah mengalami perlakuan

di atas disebut rami top. Selanjutnya rami top dapat diperdagangkan

dalam bentuk aslinya atau dipotong-potong sepanjang serat kapas

apabila akan diblending dengan serat kapas. Selanjutnya proses di atas

akan diuraikan sebagai berikut (Balai Besar Tekstil, 2005):

1. Proses Pemisahan Serat dari Batang (Dekortikasi)

Proses dekortikasi dilakukan dalam keadaan tanaman masih basah;

hasil proses dekortikasi yang berupa serat kasar (china grass)

kemudian dikeringkan. Sistem kerja alat ini ialah pemukulan batang

basah oleh batang besi yang melintang tegak lurus atas batang

tersebut. Bagian kayu akan hancur dan serat mengelupas,

kemudian akan terpisah bersama dengan keluarnya serat dari

mesin. Serat inilah yang biasa disebut china grass. Mesin

dekortikator yang digunakan adalah mesin diesel atau bensin

berkekuatan 2–5 pk. Ada juga mesin dekortikator yang digerakkan

dengan motor listrik, namun sangat jarang. Kemampuan proses

dekortikasi per mesin sekitar 1 ton batang basah per hari. Output

Page 175: Implementasi Untuk Material Pertahanan

168

berupa serat mentah (china grass) = 525 kg per 15 ton hasil panen

batang basah per hektar (rendemen 3,5%). Efektivitas pemakaian

per mesin dapat mencapai 4–5 hektar dan mesin dioperasikan di

lokasi perkebunan. Proses dekortikasi dengan sistem penggilasan

dan kontinu dapat menghasilkan serat mentah dengan rendemen

± 6%.

2. Proses Pembuangan Gum (Degumming)

Proses ini merupakan upaya penguraian china grass menjadi serat

elementer dengan cara mendekomposisi gum/pektin/zat perekat

yang berada di antara helaian serat. Pada umumnya proses

merupakan proses kimiawi yang disertai dengan pemanasan.

Bahan kimia yang dipergunakan ialah NaOH yang konsentrasinya

2–5%, suhu pemanasan sekitar 90–95oC. Pemanasan (pemasakan)

dilakukan selama 2–3 jam. Kemampuan proses = 50 kg per batch

dengan 4–5 batch per hari (bergantung jenis dan kapasitas mesin).

Proses degumming dengan metode biologis atau enzimatis

merupakan cara alternatif dengan mempergunakan bakteri atau

enzim. Cara ini tidak menggunakan bahan kimia dan suhu yang

dipergunakan tidak terlalu tinggi; maksimal 35–37oC. Suhu ini

merupakan suhu optimal untuk kegiatan enzimatis yang dilakukan

oleh bakteri/enzim perombak. Berbeda dengan proses degumming

cara kimia yang memerlukan waktu proses cukup singkat (2–3 jam

pemasakan), proses ini memerlukan waktu lebih lama. Hal ini

disebabkan karena kegiatan enzimatis tersebut yang tidak dapat

dipercepat. Untuk mempercepat proses ini jalan yang ditempuh

Page 176: Implementasi Untuk Material Pertahanan

169

ialah dengan mengondisikan tempat proses pada keadaan optimal

untuk kegiatan bakteri perombak/enzim yang dipergunakan dalam

proses degumming. Cara ini masih belum banyak dipakai di

kalangan praktisi, karena memerlukan tempat proses yang lebih

besar/banyak. Namun bila diinginkan proses tanpa bahan kimia,

proses degumming dengan menggunakan metode ini layak

dipertimbangkan. Hasil proses degumming ini berupa degummed

fiber dengan rendemen 90% yang mengandung ± 90% selulosa.

3. Proses Pelemasan (Softening)

Serat hasil proses degumming, baik cara kimia maupun

biologis/enzimatis masih memerlukan perlakuan lanjutan berupa

proses pelemasan (softening). Proses ini dilakukan dengan tujuan

agar serat rami tidak kaku. Adapun cara-caranya sebagai berikut:

- Cara kimiawi melalui metode perendaman atau penyemprotan

dengan zat pelemas.

- Cara mekanik melalui mekanisme penggilasan.

- Gabungan cara kimiawi dan mekanik.

Setelah melalui proses ini serat akan menjadi lemas dan siap untuk

mendapat perlakuan selanjutnya.

4. Proses Pembukaan (Opening)

Proses ini dilakukan agar serat berubah menjadi helaian serat atau

serat elementer yang menyerupai serat kapas tetapi dengan

panjang yang berbeda. Prinsip kerja alat ini ialah mengurai,

membuka, dan melepas serat-serat yang masih saling melekat.

Peralatan yang digunakan ialah: mesin fiber opener atau waste

Page 177: Implementasi Untuk Material Pertahanan

170

opener. Hasil proses ini ialah serat stapel rami siap pintal atau yang

biasa disebut rami top. Serat ini dapat dikempa dan dikemas dalam

satu kemasan atau dipotong sepanjang serat kapas, apabila akan

dicampur dengan serat kapas. Alur proses pembuatan serat stapel

rami tercantum pada Gambar 4.14.

.

Gambar 4.14 Alur proses pembuatan serat stapel rami

(Balai Besar Tekstil, 2005)

4.2.2 Pembuatan Serat Bambu

Teknologi pemanfaatan bambu untuk dimanfaatkan seratnya, belum

banyak dilakukan mengingat teknologi pembuatan serat bambu dan

pemanfaatan serat bambu untuk material industri, masih

dikembangkan. Secara sederhana teknologi pembuatan serat bambu

meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut (Nurkertamanda, 2012):

- Tahapan Preparasi

Page 178: Implementasi Untuk Material Pertahanan

171

Tahapan preparasi meliputi tahapan:

a. Persiapan bahan baku utama, yaitu : bambu

b. Persiapan larutan pelunakan, merupakan cairan kimiawi.

- Tahapan Pelunakan

Tahapan pelunakan merupakan tahapan perebusan bambu dalam

larutan pelunakan.

- Tahapan Pembilasan

Tahapan pembilasan merupakan pembersihan bambu dari cairan

pelunakan yang bersifat kimiawi.

- Tahapan Pemisahan serat

Tahapan terakhir merupakan tahapan untuk memisahkan serat-

serat bambu dan memdapatkan serat yang diinginkan.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan bahan baku utama yaitu bambu dibilah tipis-

tipis karena dengan pembilahan tipis-tipis akan mempercepat proses

degumming karena dengan bilah-bilah bambu yang tipis akan

mempermudah dalam pemisahan seratnya jika di bandingkan bilahan

bambu yang tebal.

Dengan menggunakan kadar persentase NaOH terhadap bilah yang

mempunyai ukuran sama diperoleh hasil yang sifat serat yang dapat

dilihat dalam Tabel 4.12 berikut:

Page 179: Implementasi Untuk Material Pertahanan

172

Tabel 4.12 Rekapitulasi hasil percobaan presentase NaOH terhadap sifat serat hasil proses (Nurkertamanda, 2012)

NaOH (%berat) Suhu (oC) Sifat Serat Hasil Proses

5 70

Serat bersifat agak sedikit kasar dan keras, namun serat dapat terpisah dan panjang

8 70

Serat bersifat lebih lunak dari percobaan 1, namun beberapa serat mudah putus dan rapuh

15 70

Serat bersifat sangat lunak, namun serat sangat rapuh dan mudah putus ketika mengalami proses pengeringan dan proses mekanis berupa pemisahan serat.

Berdasarkan Tabel 4.12 dengan presentase NaOH 5% mendapatkan

struktur serat yang diinginkan, kasar agak keras namum tidak nudah

patah/putus. Kadar NaOH 5 % juga mudah untuk dilunakan sehingga

tidak terlalu merusak lingkungan karena pengolahan limbah dengan

presentase kecil lebih mudah dilakukan. Presentase ini juga dipilih

dalam pemenuhan technical requirement berupa humiditas bahan.

Ketika bahan serat semakin lunak atau halus, maka humiditas dari serat

tersebut akan bertambah. Jika tanpa pengolahan lebih lanjut, serat

tersebut akan mudah mengalami penjamuran. Pertimbangan kedua

juga inilah yang membuat peneliti menentukan peleburan bambu pada

tingkat konsentrasi NaOH pelarut sebesar 5%.

Page 180: Implementasi Untuk Material Pertahanan

173

2. Tahapan Pelunakan

Tahap pelunakan di mana bambu direbus dengan suhu 70oC, lama

perebusan sangat tergantung dari tebal bilah yang direbus makin tipis

bilah maka makin cepat waktu perebusan, tetapi makin tebal bilah

maka waktu perebusan akan semakin lama. Jika bilah tipis (2 mm)

direbus terlalu lama akan didapatkan serat bambu yang halus dan

mudah putus, demikian juga sebaliknya jika bilah bambu tebal direbus

sebentar (3 jam) masih sulit untuk melepaskan ikatan antar serat.

3. Tahapan Pembilasan

Teknik pembilasan yang diambil adalah pembilasan dengan sistem

rendam, dimana proses degumming atau pemecahan zat pengikat serat

dilakukan secara perlahan dan menghilangkan kandungan NaOH yang

tersisa secara bertahap

4. Tahapan Pemisahan serat

Pada tahap terakhir merupakan tahapan untuk memisahkan serat-serat

bambu untuk memdapatkan serat yang diinginkan, teknik yang terbaik

adalah proses pengrollan secara perlahan, bertujuan memicahkan

antara zat pengikat serat dengan serat bambu. Teknik pengrollan

berbeda dengan pemukulan, jika di roll serat tidak terputus akibat

pemukulan yang terlalu keras. Jika dilakukan teknik penekanan secara

berulang, kadang-kadang di beberapa bagian terlewat. Sehingga teknik

Page 181: Implementasi Untuk Material Pertahanan

174

pemisahan serat yang terbaik adalah dengan pengrollan baik maual

ataupun dengan bantuan roll mekanis.

Karakteristik serat bambu yang dihasilkan ditunjukkan dalam Gambar

4.15 serta Gambar 4.16.

Gambar 4.15 Serat yang diinginkan masih berupa serat kasar (Nurkertamanda, 2012)

Gambar 4.16 Serat halus (terlalu halus) (Nurkertamanda, 2012)

Page 182: Implementasi Untuk Material Pertahanan

175

4.2.3 Pembuatan Serat Rotan

Untuk pembuatan serat rotan prosesnya pembuatanya dapat meniru

pada proses pembuatan serat bambu, namun yang membedakan serat

rotan diambil dari kulit rotan.

4.3 Pemanfaatan Serat

Pemanfaatan serat alami (Rami, Bambu Rotan) dalam hal serat rami,

serat rotan serta serat bambu pada umumnya dgunakan untuk

pengganti serat sintetis yang digunakan untuk bahan baku tekstil.

Selain bahan untuk tekstil serat alami juga dapat dipakai untuk

keperluan barang dan bahan teknik tertentu masih dalam skala

laboratorium belum diproduksi secara masal.

Gambar 4.17 Body Armour (Polisi Tactica)

Page 183: Implementasi Untuk Material Pertahanan

176

Referensi

1. Anonim., 2007. Prosiding Lokakarya Model Pengembangan

Agribisnis Rami, Puslitbang Perkebunan, Bogor, P 33-39.

2. Badhwar, R.L. et. Al., 1961. Collection and processing of canes,

Indian Forester.

3. Bhat, K.V., Varma, R.V., Raju Paduvil, Distribution of starch in the

culms of Bambusa bambos (L.) Voss and its influence on borer

damage. The Journal of the American Bamboo Society 19(1): 1-4

Kerala Forest Research Institute, Peechi – 680 653, Kerala, India

4. Dransfield, J,. 1974. A short guide to Rattans. Bogor. BIOTROP.

5. Dransfield, J., 1984. The Rattans of Sabah. Sabah Forest Record

no. 13. Forest Departement Sabah.

6. Evgust. wordpress.com/2011/04/16/serat-rami/. Posted on 16 April

2011 by evi gustami.

7. Eratodi, I.G.L.B., 2017, Struktur dan Rekayasa Bambu, Penerbit

Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Bali.

8. Fengel, D dan G, Wagner, 1984. Wood, Chemistry Ultrastruktur and

reaction. Walter de Bruyter. New York.

9. Hadikusumo, S. A., 1994. Exploration of physical and mechanical

properti es of precently unused Rattan. Buletin Fakultas Kehutanan

25:1-19.

10. https://www.makalah-nkp.com/2018/06/rompi - polisi - klasifikasi

- level.html diuduh tanggal 10 Desember 2019.

11. Jasni, Krisdianto, Kalima, T., Malik, J. & Abdurachman, 2012. Atlas

rotan Indonesia. Jilid 3. Bogor, Pusat penelitian dan Pengembangan

Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.

Page 184: Implementasi Untuk Material Pertahanan

177

12. Kollman FFP, Cote WA., 1968. Principle of Wood Science and

Technology-Solid Wood. Volume ke-1. New York: Springer-Verlag.

13. Krisdianto, Sumarni G., dan Ismanto A., 2005. Sari HasilPenelitian

Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

14. Mogea, J. P., 1990. Survey Botani Rotan di Sulawesi Tenggara dan

Sulawesi Selatan. Herbarium Bogoriense Balitbang Botani,

Puslitbang Biologi LIPI.

15. Morisco, 2006, Teknologi Bambu. Bahan Kuliah Magister Teknologi

Bahan Bangunan. Program Studi Teknik Sipil Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

16. Morisco, 1999, Rekayasa Bambu, Nafiri Offset, Komplek Yadara

Blok V/12 Yogyakarta

17. Mohanty, A.K., Misra, M., Dzral, L. T., Selke, S.E., Harte, B. R. And

Hinrichsen, 2005. Natural Fibers, Biopolymers And Biocomposite:

An intrduction”.Chapter 1 in Natural Fibers, Biopolymers, And

Biocomposite, edited by Mohanty, A.K., Misra, M., Dzral, L. T., CRC

Press, Taylor And Francis Group, 6000 Broken Sound Parkway NW,

USA.

18. Mohanty, Misra, M., Drzal, L.T., 2005. Natural fibers, biopolymers,

and biocomposites: an introduction. In: Natural Fibers,

Biopolymers, and Biocomposites. pp. 1–36.

19. Musaddad , M.A., 2007. Agribisnis tanaman Rami, Panerbit

Swadaya. Depok.

20. Nurkertamanda, Denny, Alvin, Andi, 2012. Desain Proses

Pembentukan Serat Bambu Sebagai Bahan Dasar Produk Industri

Kreatif Berbahan Dasar Serat Pada UKM. J@TI Undip, Vol VII, No.3.

Page 185: Implementasi Untuk Material Pertahanan

178

21. Purwati, D.R., 2012. Strategi Pengembangan Rami (Bohmeria nivea

Gaud). Perspektif Vol.9. No.2. hal 106 - 118. ISSN : 1412 - 8004.

22. Rachman, O., 1996. Peranan Sifat Anatomi Kimia dan Fisis terhadap

Mutu Rekayasa Rotan. Disertasi Doktor. Program Pasca sarjana

IPB. Bogor.

23. Rittironk, S.and M. Elnieiri. 2008. Investigating laminated

bamboolumber as an alternate to wood lumber in residential

construction in the United States. Modern BambooStructures.CRC

Press.

24. Sharma, Y.M.L., 1987. Inventory and resources of bamboo : 4 –17,

In Rao, A.N.,: Dhanarajan, G. & Shastry, C.B., Recent Research on

Bamboo, C.A.F., China and IDRC. Canada.

25. Suryanto, H., Irawan, Y.S., Marsyahyo, E., Soenoko, R., 2014.

Effect of Alkali Treatment on Crystalline Structure of Cellulose Fiber

From Mendong (Fimbristylis globulosa) Straw. Key Eng. Mater.

594–595, 720–724.

26. Suryanto, H., Marsyahyo, E., Surya Irawan, Y., Soenoko, R.,

Aminudin, 2015. Improvement of interfacial shear strength of

Mendong fiber (Fimbristylis globulosa) reinforced epoxy composite

using the AC electric fields. Int. J. Polym. Sci. 2015, 1–10.

27. Wangard, F. F., 1979. The Mechanical Properties of Wood. John

Willey and Sons, Inc. New York.

28. Weiner, G.; W. Liese., 1990. Rattans – Stem Anatomy and

Taxonomic Implications. IAWA Bulletin, International Association of

Wood Anatomists 11(1): 61-70.

Page 186: Implementasi Untuk Material Pertahanan

179

BAB 5

IMPLEMENTASI MATERIAL BOTANI PADA

TEKNOLOGI PERTAHANAN

5.1 Implementasi Material Botani Mengandung Selulosa

Untuk mendukung kemandirian material dibidang teknologi

pertahanan, material botani yang mengandung selulosa dapat

dimanfaatkan untuk material pembuatan propelan. Pada dasarnya

propelan digolongkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu jenis propelan padat

serta jenis propelan cair (Sutton, 2001).

Jenis propelan padat merupakan propelan yang berbentuk padat atau

propelan non fluida. Kelebihan golongan propelan ini saat penyimpanan

lebih mudah untuk diatur. Kelemahannya propelan jenis padat yaitu

unthrotlelable atau besar kecilnya thrust yang dihasilkan tidak mampu

diatur, dan memiliki impuls spesifik lebih kecil dibanding propelan cair.

Propelan cair atau propelan fluida merupakan propelan berbentuk cair,

perkembangan terakhir propelan ini banyak digunakan pada roket-

roket terbaru. Keunggulan propelan cair adalah thrust yang dihasilkan

dapat diatur atau throttleable dan memiliki impuls spesifik relatif besar.

Beberapa kekurangan antara lain biaya produksi yang cukup mahal,

resiko peledakan saat proses pembuatan dan cara penyimpanan yang

lebih sulit. Propelan cair mengandung beberapa komposisi antara lain

oxidizer dan fuel. Propelan roket cair pada hakekatnya sama seperti

Page 187: Implementasi Untuk Material Pertahanan

180

bahan bakar pesawat terbang, namun kebutuhan oksigen dipenuhi dari

oxidizer sendiri yang dibawa dalam bentuk cair (Sutton, 2001).

Untuk kebutuhan bahan dasar propelan padat dan menunjang

kemandirian material untuk industri pertahanan, maka material botani

dapat dijadikan sebagai bahan dasar untuk pembuatan propelan.

Material botani yang dapat dijadikan propelan yaitu material botani

yang kadar selulosanya dinilai tinggi. Beberapa material botani yang

mengandung kadar selulosa yang tinggi diantaranya adalah kapas,

kapuk serta limbah kelapa sawit.

Untuk dijadikan bahan dasar propelan material tersebut harus diambil

selulosanya (α-selolusa) terlebih dahulu kemudian dijadikan

nitrocellulose sebelum dipakai sebagai bahan dasar propelan.

Gambar 5.1 α-Selulosa dari Kapas (alibaba.com)

Page 188: Implementasi Untuk Material Pertahanan

181

Gambar 5.2 Nitrocellulose (Steemit.com)

Gambar 5.3 Propelan (rediyus.com)

5.2 Implementasi Material Botani Mengandung Resin

Resin adalah substansi padat atau semi padat berbentuk amorf yang

tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol atau pelarut organik.

Resin dapat berupa bahan keras atau bahan rapuh yg transparan jika

dipanaskan akan melunak dan meleleh menghasilkan campuran

Page 189: Implementasi Untuk Material Pertahanan

182

kompleks yg terdiri dari resinotanol, asam resin, ester resin, resin

alkohol dan resena. Resin diproduksi secara normal di saluran

schizogen atau schizolysigen atau rongga-rongga sebagai produk akhir

metabolism. Resin dianggap sebagai produk oksidasi dari terpena atau

sebagai produk akhir metabolisme destruktif. Secara alami resin

mudah terbakar, Resin tidak menghantarkan listrik.

Resin alami dihasilkan dari tumbuhan yang mengandung getah seperti

damar dan pinus, getah damar dan pinus dihasilkan dari proses

penyadapan. Pemanfaatan getah damar dan getah pinus dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku material teknologi pertahanan dalam

bentuk gliserol dan bentuk resin untuk pembuatan material komposit.

Untuk gliserol merupakan bahan dasar bahan peledak serta

nitroglycerine yang digunakan dalam pembuatan propelan doubel base

yaitu pembuatan propelan dengan bahan dasar nitrocellulose dan

nitroglycerine.

Gambar 5.4 Resin Damar (rediyus.com)

Page 190: Implementasi Untuk Material Pertahanan

183

Gambar 5.5 Resin Pinus/Gondorukem (rediyus.com)

Gambar 5.6 Gliserol (alibaba.com)

Gambar 5.7 Nitrogliserin (Britannica.com)

Page 191: Implementasi Untuk Material Pertahanan

184

5.3 Implementasi Material Botani Mengandung Serat

Implementasi tumbuhan/botani yang mengandung serat dapat

gunakan untuk material komposit bagi beberapa material untuk

material kapal, serta material armor atau material tahan peluru juga

dapat digunakan sebagai bahan absor.

Gambar 5.8 Serat Rami

Gambar 5.9 Hasil tenunan rami secara manual (Saferi, 2015)

Page 192: Implementasi Untuk Material Pertahanan

185

Gambar 5.10 Pemberian wax pada permukaan panel cetakan

(Saferi, 2015)

Gambar 5.11 Pencampuran resin dan hardener (Saferi, 2015)

Gambar 5.12 Pembuatan Komposit (Saferi, 2015)

Page 193: Implementasi Untuk Material Pertahanan

186

Gambar 5.13 Komposit Kering (Saferi, 2015)

Referensi

1. Gibson,R.F.,1994.“Principal of Composite Material Mechanics”.

MC.Graw Hill.

2. Marsyahyo,E., Soekrisno,R., Rochardjo,H.S.B., Jamasri,. 2009,

Preliminary Investigation on Bulletproo Panels Made from Ramie

Fiber Reinforced Composites for NIJ Level II, IIA, and IV, Journal of

Industrial Textiles,Vol. 39, No. 1.

3. Mueller, D.H., Krobjilowski, A., 2003. New Discovery in the Sifates

of Composites Reinforced with Natural Fibers. Journal of industrial

textiles, vol. 33, no. 2.

4. Saferi, Rozi, Bur, Mulyadi, Dahlan Hendery, 2015. Pengaruh

Thermal Shock Terhadap Kekuatan Tarik dan Bending Komposit

Resin Berpenguat Serat Rami, Jurnal Energi dan Manufaktur Vol.8,

No. 2

5. Sutton, G. P., and Biblarz, O., 2001. Rocket Propulsion Elements,

California: John Willey and Son.

Page 194: Implementasi Untuk Material Pertahanan

187

Indeks

A

Amorf, 45

APL, 1

B

Balsamum, 111

Batch Autoclave, 119

Berat Jenis, 47

C

CA, 2

Continuous, 120

CPO, 52

China grass, 132

D

Damar, 87, 88

Damar Gom, 110

Damar Mata Kucing, 89

Degumming, 169

Page 195: Implementasi Untuk Material Pertahanan

188 Indeks

Dekortikasi, 168

F

Fat splitting, 117

G

Getah, 101

Getah pinus, 100

Gliserol, 112

Gondorukem, 103

H

HK, 1

HL, 1

HPK, 1

HPT, 1

HTI, 3

I

Indeks Bias, 47

Internodia, 156

Page 196: Implementasi Untuk Material Pertahanan

189

K

Kapas, 41

Kapuk/Randu, 41

Kelapa, 41

Kelapa Sawit, 41

Keliatan (Toughness), 47

Kelompok jerami, 128

Kelompok kulit pohon, 128

Kolompok Daun, 128

Kopal, 88

KPA, 2

Kristalin, 45

KSA, 2

L

LDCM, 3

Lignin, 60

M

Moisture Regain, 47

Mulur, 47

Page 197: Implementasi Untuk Material Pertahanan

190 Indeks

N

Nenas, 41

O

Oleoresin, 110

Opening, 170

P

Pengaruh alkali, 48

Pengaruh asam, 48

Pengaruh mikroorganisma, 48

Pengaruh oksidator, 48

Pinus, 87

Pisang, 41

Pohon Bambu, 129

Pohon Rami, 129

R

Rami, 41, 132

Ramie Raw, 132

Ramie Stafle Fibre, 132

Rotan, 129

Reagen, 119

Page 198: Implementasi Untuk Material Pertahanan

191

Resin, 88

Resin Damar, 109

S

Selulosa, 15, 41, 46

Selulosa α, 16

Selulosa ß, 17

Selulosa γ, 17

Serat, 26

serat alam, 127

Serat alami, 127

serat jerami, 127

Serat rumput/grass, 129

serat sintetis, 127

SM, 2

Softening, 170

T

Tahura, 2

TBS, 52

Terpentin, 101

TKKS, 52

TN, 2

Transesterifikasi, 115

TWA, 2

Twitchell, 118

Page 199: Implementasi Untuk Material Pertahanan

TENTANG PENULIS

Saat ini penulis menjabat sebagai Sesprodi

Teknologi Daya Gerak, Fakultas Teknologi

Pertahanan, Universitas Pertahanan, pernah

menjabat sebagai Sesprodi Keamanan Energi dan

Sesprodi Industri Pertahanan, Universitas

Pertahanan. Untuk jabatan kemiliteran saat ini

sebagai Perwira Menegah dengan Pangkat Kolonel

Kes, di Angkatan Udara Republik Indonesia.

Penulis mempunyai latar belakang pendidikan Fisika dari USU (1993),

Magister Sains (M.Si) Fisika Bio Material dari Universitas Indonesia,

serta Doctor (Dr) Rekayasa Bio Material dari Universitas Indonesia (UI).

Selain pendidkan umum, Pendidikan kemiliteran yang pernah ditempuh

yaitu: Kursus alat Human Centrifuge (HC) di Late Coere Prancis th 2000,

Kursus Physiologycal Training Officer di Lakespra Saryanto, SEKKAU

Angkatan 80, SESKOAU Angkatan 48 di Lembang Bandung, Jawa Barat.

Saat ini penulis menjabat sebagai Dosen di Fakultas

Teknik Universitas Suryakancana, Cianjur. Dan

pernah menjabat sebagai Sekretaris Prodi Teknik

Informatika dari tahun 2001-2002, Sekretaris Prodi

Teknik Industri 2002-2007. Dan 2015-2017,

Fakultas Teknik, Universitas Suryakancana Cinajur.

Penulis mempunyai latar belakang pendidikan

Teknik dan Manajemen Industri ITB. Selain penulis

merupakan lulusan Magister Pertahanan (M.Han)

Program Studi Industri Pertahanan dari Universitas Pertahanan. Selain

Pendidikan umum, Penulis pernah bekerja di Berbagai perusahaan,

Bimantara Automotive tahun 1992 sampai 1999 dengan jabatan

terakhir Engineering Assistant Manager, PT. Nipress (NS Battery)

tahun 1999 sampai tahun 2001, dengan jabatan terakhir PPIC Manager,

PT. Panfila Indosari Drinking Water Industry, 2001 sampai 2003,

Jabatan terakhir Plant Deputy Manager, PT. Altin Cap, 2003 sampai

Page 200: Implementasi Untuk Material Pertahanan

2006 sebagai PPIC & Production Manager, serta PT. IHE Cendekia

Rekayasa, 2015 sampai 2017 sebagai Project General Manager. Selain

itu penulis menjadi ahli, pada Lapi-ITB dan Lapi Ganeshatama

Consulting. Disamping itu penulis sebagai Ahli Madya di Bidang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).