IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN...
Transcript of IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN...
1
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN
NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN DAN
PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL
(Studi Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Tahun 2013)
NASKAH PUBLIKASI
Oleh :
DEWI SETYO RINI
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA HAJI
TANJUNGPINANG
2015
1
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN
NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN DAN
PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL
(Studi Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Tahun 2013)
DEWI SETYO RINI
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP UMRAH
Penyalahgunaan alkohol merupakan penyebab atau paling sedikit sebagai
faktor pencetus terjadinya tindak kriminal. Data dalam penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara minuman keras dan tindak pidana. Dalam arti bahwa
penyalahgunaan minuman keras dapat menimbulkan tindak pidana kekerasan,
antara lain penganiayaan, pencurian, zina/cabul/susila, pengrusakan, perkosaan,
dan pembunuhan. Pengaruh alkohol yang menekan pusat pengendalian diri
seseorang sehingga yang bersangkutan menjadi berani dan agresif
Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah mengetahui Implementasi
Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 8 Tentang
Ketentuan Larangan Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol (Studi
Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Tahun 2013). Pada penelitian
ini penulis menggunakan jenis penelitian Deskriptif Kualitatif. Dalam penelitian
ini informan terdiri dari 5 orang. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif.
Setelah dilakukan penelitian, maka hasil temuan yang didapatkan bahwa
Hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa Implementasi Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Dan
Pengendalian Minuman Beralkohol Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten
Bintan Tahun 2013 belum berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan beberapa hal
sebagai berikut : Dari dimensi keluaran kebijakan dapat diketahui bahwa selama
ini prosedur dalam pelaksanaan pengawasan hanya berpedoman pada Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2011, tidak ada peraturan turunan yang
jelas dalam menjalankan peraturan ini dilapangan yang dilaksanakan oleh satpol
PP. Dari dimensi kepatuhan kelompok sasaran maka diketahui bahwa secara
umum Satpol PP Kabupaten Bintan sudah taat terhadap aturan yang berlaku.
Namun pada dimensi dampak nyata kebijakan diketahui bahwa masih banyak
orang yang belum patuh sehingga dampak nyata dari kebijakan ini belum terlihat.
Seperti masyarakat yang masih sering mengkonsumsinya, kemudian kedai yang
masih berjualan, padahal razia sudah sangat sering dilakukan. Namun
permasalahan datang dari masyarakat dan para pengusaha. Mereka berdalih masih
tidak mengetahui tentang peraturan tersebut.
Kata Kunci : Kebijakan, Implementasi kebijakan
2
IMPLEMENTATION OF DISTRICT BINTAN REGULATION NUMBER 6 OF
2011 ON THE SUPERVISION AND CONTROL OF ALCOHOL
(Studies in District of East Bintan Bintan regency in 2013)
DEWI SETYO RINI
Students of Science Of Government, FISIP, UMRAH
Alcohol abuse is the cause or at least as a trigger factor crime. The data in
this study suggests a link between alcohol and crime. In the sense that the abuse
of alcohol can lead to crimes of violence, among other mistreatment, theft,
adultery / obscene / moral, destruction, rape, and murder. The influence of
alcohol that suppress the central control so that the relevant person to be brave
and aggressive
The purpose of this research is basically knowing Implementation Bintan
District Regulation No. 6 of 2011 Article 8 The provisions Prohibition
Supervision and Control of Alcoholic Beverages (Studies in District of East
Bintan Bintan regency in 2013). In this study, the authors use this type of
qualitative descriptive study. In this study, the informants consist of 5 people.
Data analysis techniques used in this research is descriptive qualitative data
analysis techniques.
After doing research, the findings showed that the results of this study can
be concluded that the implementation of Bintan District Regulation No. 6 of 2011
on Supervision and Control of Alcoholic Beverages In the District of East Bintan
Bintan regency in 2013 is not going well, this is because some things as follows:
From the output dimensions of the policy can be seen that during the procedure
under supervision only based on Bintan District Regulation No. 6 of 2011, there
are no clear rules in the running derivative of this regulation in the field are
conducted by Satpol PP. Of dimensional compliance of the target group it is
known that in general the municipal police Bintan regency has been obedient to
the rules applicable. But the real impact of the policy dimension in mind that
there are still many people who have not been obedient so that the real impact of
this policy is yet to be seen. As people who are still often consume them, then store
that still sells, whereas raids have very often done. But the problems come from
the community and employers. They argue still do not know about the new rules.
Keywords: policy, policy implementation
3
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN
NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN DAN
PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL
(Studi Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Tahun 2013)
A. Latar Belakang
Otonomi daerah bisa diartikan sebagai kewajiban yang dikuasakan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan &
kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk
meningkatkan daya guna dan juga hasil guna penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan
kewajiban yaitu kesatuan masyarakat hukum yg memiliki batas-batas wilayah yg
berwenang mengutur dan mengatur pemerintahan serta kepentingan
masyarakatnya sesuai prakarsa sendiri berdasarkan keinginan dan suara
masyarakat.
Sebagai suatu daerah yang otonom, Pemerintah daerah mempunyai
wewenang dalam mengeluarkan suatu Peraturan, dimana salah satu tujuannya
adalah guna menjamin kepastian hukum dan menciptakan serta memelihara
ketentraman dan ketertiban umum. Kepastian hukum dan penegakan Peraturan
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, tentu tidak terlepas dari terciptanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, yang dalam perwujudannya diperlukan
suatu kemampuan manajemen dan profesionalisme dalam menangani berbagai
pelanggaran-pelanggaran menyangkut ketertiban sehingga hasil yang dicapai
sesuai dengan apa yang diharapkan.
4
Dalam kenyataan di lapangan penegakan Peraturan daerah yang
menyangkut ketertiban dan ketentraman umum amat bersinggungan dengan
kepentingan masyarakat banyak, dalam hal ini masyarakat menengah kebawah,
betapa banyaknya hal-hal dan kegiatan masyarakat yang diwarnai dengan
pelanggaran, namun pelanggaran itu sendiri tidak dirasakan, dan bahkan jauh dari
itu masyarakat yang melanggar malah meyakini bahwa tindakan yang dilakukan
mereka bukan suatu pelanggaran, walau sudah ada aturan yang mengaturnya.
Hal ini tentu yang menjadi salah satu penyebab adalah masyarakat tidak
pernah mendapat informasi ataupun peringatan-peringatan dari aparat yang
berwenang mengenai larangan-larangan yang tertuang dalam suatu Peraturan
Daerah yang berlaku secara syah dan kurangnya ketegasan pihak Pemda terhadap
aturan dimaksud.
Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan
dinamis yang memungkinkan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat
dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib dan teratur. Memang
dirasakan oleh berbagai kalangan bahwa suatu Peraturan Daerah yang sudah
diberlakukan secara efektif tidak pernah disosialisasikan oleh pemerintah daerah
bersama aparat kepolisian atau instansi terkait, sehingga pemahaman masyarakat
akan pentingnya Peraturan Daerah ini amat dangkal.
Dalam Perda Nomor 6 Tahun 2012 Satpol PP mempunyai tugas
menegakkan Peraturan Daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Pada pasal 5 Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2012 Satuan Polisi Pamong Praja berwenang melakukan
5
tindakan penertiban non yustisial terhadap warga masyarakat, aparataur, atau
badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau
Peraturan Bupati, menindak warga masyarakat,aparatur atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, fasilitasi dan
pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat, melakukan
tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur,atau badan hukum
yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Bupati,
melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau
badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau
Peraturan Bupati.
Dilain pihak Penegakan peraturan dianggap tidak memberikan rasa dan
kesan keadilan bagi masyarakat. Aparat kadang kala melakukan tindakan setelah
pelanggaran tersebut sudah terakumulasi sehingga dalam penegakannya
memerlukan tenaga, biaya dan pikiran yang cukup berat, karena bagaimanapun
dengan sudah banyaknya pelanggaran akan banyak juga resiko yang dihadapai
dalam penegakan Peraturan Daerah, bahkan akan berpotensi besar terhadap
timbulnya masalah yang lebih serius yang bisa membahayakan kepentingan
masyarakat luas atau kepentingan umum.
Minuman beralkohol pada hakekatnya membahayakan kesehatan jasmani
dan rohani, mengancam kehidupan masa depan kehidupan bangsa, dapat
mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat serta menjadi salah satu faktor
terjadinya tindak kekerasan dan kriminalitas serta tindakan yang tidak terpuji
lainnya, bahwa dalam rangka penertiban pengedaran dan penggunaan minuman
6
beralkohol, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak perilaku menyimpang
seperti perkelahian, tawuran, kriminalitas, pencurian, perampokan, dan perilaku
seks berisiko dipengaruhi oleh penggunaan alkohol. Perilaku menyimpang ini
jelas mengganggu ketenteraman dan kenyamanan masyarakat yang terkena imbas
perilaku penyalahgunaan alkohol karena sulit mengendalikan prikiran dan
perilakunya maka mudah menyakiti, misalnya dengan terjadinya berbagai perilaku
kriminal yaitu pada kasus-kasus tertentu bahkan membunuh. (Sudarsono:2008:36)
Peraturan larangan penjualan minuman keras beralkohol bir di minimarket
adalah berdasarkan pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6
Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan,
Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Permendagri tersebut melarang
penjualan minuman beralkohol golongan A yakni yang memiliki kadar alkohol di
bawah 5 persen antara lain jenis bir, dilarang dilakukan di minimarket. Penjualan
hanya boleh di supermarket atau hipermarket namun hanya boleh dikonsumsi di
lokasi.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.6 Tahun 2015 ini
merupakan perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20
Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan,
Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Dalam peraturan itu
memperbolehkan menjual minuman beralkohol dengan kadar 5 persen di
minimarket. Sebagai petunjuk pelaksana Peraturan Menteri Perdagangan
7
(Permendag) kemudian diterbitkan SK Direktur Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri Nomor 04/PDN/4/2015 terkait pembatasan penjualan bir di tingkat
pengecer. Kebijakan itu diambil untuk melindungi generasi muda Indonesia dari
miras. Saat ini, akses generasi muda terhadap miras dinilai sangat mudah terutama
dengan dijualnya miras di minimarket.
Pemerintah Kabupaten Bintan membuat sebuah peraturan guna menekan
angka kriminalitas yang diakibatkan oleh pengguna alkohol. Tujuan dari
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 ini adalah mendorong perilaku
masyarakat agar melindungi kesehatan, ketenteraman dan ketertiban serta
kehidupan moral masyarakat dari akibat buruk konsumsi minuman beralkohol,
dan Menekan angka kriminalitas dengan mengurangi faktor penyebab timbulnya
kriminalitas untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang aman, tertib, dan
tenteram. Untuk itu sangat dibutuhkan Peran pemerintah khususnya satpol PP
serta peran aktif masyarakat untuk turut menjalankan kebijakan ini, agar dapat
berjalan sesuai dengan tujuannya. Peraturan ini juga dibuat untuk mendorong
perilaku masyarakat agar melindungi kesehatan, ketenteraman dan ketertiban serta
kehidupan moral masyarakat dari akibat buruk konsumsi minuman beralkohol dan
Menekan angka kriminalitas dengan mengurangi faktor penyebab timbulnya
kriminalitas untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang aman, tertib, dan
tenteram. (Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011)
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 menjelaskan pada pasal 9 bahwa
Jalur agama dan budaya sebagai upaya pencegahan dan menanggulangi minuman
beralkohol. serta Pelaksanaan peran masyarakat dilakukan secara bertanggung
8
jawab sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan dengan
menghormati norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Minum minuman keras
dalam Islam jelas Haram hukumnya akan tetapi sampai seberapa pengaruhnya
terhadap diri sendiri maupun lingkungannya sehingga Islam mengharamkannya.
Minuman beralkohol (minuman keras) berpotensi timbulnya kriminalitas,
dan merusak kesehatan. Oleh karena itu alkoholisme tidak boleh dibiarkan
merajalela di tengah masyarakat karena mengganggu keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat, sekaligus mengganggu stabilitas pembangunan daerah.
Alkoholisme atau penyalahgunaan alkohol sekarang ini sangat kompleks sehingga
penanganannya harus serius. Penggunaan minuman keras atau alkohol secara
berlebihan dan tidak terkendali akan menimbulkan berbagai masalah, baik bagi
diri sendiri, maupun orang lain atau lingkungan masyarakat sekitarnya.
Penyalahgunaan alkohol merupakan penyebab atau paling sedikit sebagai
faktor pencetus terjadinya tindak kriminal. Data dalam penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara minuman keras dan tindak pidana. Dalam arti bahwa
penyalahgunaan minuman keras dapat menimbulkan tindak pidana kekerasan,
antara lain penganiayaan, pencurian, zina/cabul/susila, pengrusakan, perkosaan,
dan pembunuhan. Pengaruh alkohol yang menekan pusat pengendalian diri
seseorang sehingga yang bersangkutan menjadi berani dan agresif (Krahe,
2005:31).
Bahkan beberapa pelajar sekolah dasar dan SMP berani mengkonsumen
minuman itu. Pecandu miras cenderung tidak dapat berpikir positif dan menjadi
malas. Karena itu, selain merusak moral generasi muda, dunia pendidikan juga
9
terganggu akibat minuman memabukkan tersebut. Tingkat kejahatan pun
meningkat karena pelaku mengaku tidak sadar apa yang telah dia buat setelah
menkonsumsi minuman beralkohol. (Sumber: http:
//sentanaonline.com/detail_news/main)
Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol. Etanol
adalah bahan psikoaktif dan konsumsinya menyebabkan penurunan kesadaran.
Minuman keras, tidak hanya mengganggu kesehatan, melainkan telah merusak
moral sebagian generasi muda. Di Indonesia, minuman beralkohol yang diimpor
diawasi peredarannya oleh negara. Dalam hal ini diamanatkan kepada Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Indonesia (DJBC). Dalam istilah
kepabeanan dan cukai; minuman beralkohol disebut sebagai Minuman
Mengandung etil alkohol (MMEA). Impor/pemasukan MMEA dari luar negeri
dilakukan oleh importir khusus. Di samping MMEA impor, bea cukai juga
memiliki kewenangan untuk mengontrol secara penuh pendirian pabrik MMEA
dalam negeri. Setiap badan usaha yang hendak memproduksi MMEA, maka wajib
memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Pengawasan
MMEA di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh DJBC, namun juga oleh
pemerintah daerah. Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari
mengonsumsi MMEA tersebut. MMEA ini juga digolongkan dalam 3 golongan,
yaitu golongan A (kurang dari 5%), golongan B (5% s.d. 20%), golongan C (lebih
dari 20%). Untuk mengendalikan peredaran MMEA pemerintah melalui DJBC
mengenakan tarif cukai pada tiap liter MMEA (penggunaan tarif spesifik).
10
Masih ada ditemukan aksi kejahatan di wilayah Kabupaten Bintan yang
meresahkan masyarakat seperti adanya remaja yang mabuk-mabukan di tengah
kota, hal ini juga didukung dengan masih adanya kedai-kedai atau supermarket di
Kabupaten Bintan yang menjual minuman keras dengan bebas tanpa izin
pengedarannya yang sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6
tahun 2011 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Sehingga dalam penelitian ini difokuskan pada Pasal 8 tentang ketentuan larangan
minuman beralkohol di wilayah Kabupaten Bintan khususnya pada Kecamatan
Bintan Timur padahal razia sepanjang tahun 2013 dilakukan selama 8 kali
setahun.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan
penulis tuangkan dalam tulisan yang berjudul : “IMPLEMENTASI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN
BERALKOHOL (Studi Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan
Tahun 2013)”.
B. Landasan Teoritis
Tugas pokok pemerintah adalah menciptakan kebijakan melalui berbagai
kebijakan publik. Kebijakan akan tercapai jika kebijakan yang dibuat dapat
terimplementasikan atau dapat dilaksanakan secara baik. Keberhasilan
implementasi suatu kebijakan ditentukan oleh banyak variable atau faktor, baik
menyangkut isi kebijakan yang diimplementasikan, pelaksanaan kebijakan,
11
maupun lingkungan di mana kebijakan tersebut diimplementasikan (kelompok
sasaran).
Menurut Winarno (2008:144) Implementasi dipandang secara luas mempunyai
makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur
dan teknik bekerja bersama-sama menjalankan kebijakan dalam upaya untuk
meraih tujuan-tujuan kebijakan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan
fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses,
suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome).
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan implementasi
kebijakan publik adalah suatu tindakan pejabat pemerintah atau lembaga
pemerintah dalam menyediakan sarana untuk melaksanakan progam yang telah
ditetapkan sehingga program tersebut dampak menimbulkan dampak terhadap
tercapainya tujuan.
George C. Edward model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct
and Indirect impact on Implementation. Dalam pendekatan yang diterjemakan
oleh Edward III (Winarno:2008:177), terdapat empat variable yang sangat
menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu :
1) Komunikasi
Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses
komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity).
Menurut Edward, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang
efektif adalah bahwa mereka melaksanakan keputusan-keputusan harus
mengetahui apa yang harus mereka lakukan.
12
2) Sumberdaya
Sumberdaya merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan
kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi : staf yang memadai
serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,
wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-
usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
3) Disposisi ( kecenderungan-kecenderungan)
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga
yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi
kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu
kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar
mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para
pembuat keputuusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-
tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan
pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi
semakin sulit.
4) Struktur birokrasi.
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau
tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif,
dalam dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan
modern. Mereka tidak hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga
berada dalam Organisasi-organisasi swasta yang lain bahkan di Institusi-
13
institusi pendidikan dan kadangkala suatu sistem birokrasi sengaja diciptakan
untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu.
Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter
dan Carl Van Horn (Winarno:2008:100) disebut dengan A Model of policy
implementation. Proses implementasi ini merupakan abstraksi atau
performansi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja
dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi
yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Ada enam variable yang
menurut Van Metter dan Van Horn , yang mempengaruhi implementasi
adalah:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika
ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio kultur yang
mengada dilevel pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan
kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit
memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan
berhasil.
2. Sumber daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan dari sumber daya yang tersedia. Manusia
merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu
keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan
proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas
14
sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah
ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari
sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit
untuk diharapkan.
3. Karakteristik agen pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik.
Hal ini sangat penting karena kinerja Implementasi kebijakan akan sangat
banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen
pelaksanannya.
4. Sikap/ kecenderungan ( disposition ) para pelaksana
Sikap penerima atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak
mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi
oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga
setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka
rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah
kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil
keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh)
kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak
15
yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-
kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan, begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi
biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu upaya
mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan
kondisi lingkungan eskternal.
Ripley dan Franklin (dalam Winarno 2008:145) berpendapat bahwa
“implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan
yang memberkan otoritas program, kebijakan, keuntungan atau jenis keluaran
nyata”. Istilah implementasi menunjukkan pada sejumlah kegiatan yang
mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil
yang diinginkan oleh pejabat pemerintah. Lebih jauh lagi Ripley dan
Frangklin (dalam Winarno 2008:145-146) mengatakan bahwa:
Implemantasi mencakup banyak kegiatan :
1. Badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan
tanggungjawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-
sumber yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar.
2. Badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran dasar
menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta rencana-reancana.
3. Badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan
mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk
mengatasi beban kerja.
4. Badan-badan pelaksana memberikan keuntungan kepada kelompok-
kelompok target
16
C. Hasil Penelitian
1. Keluaran Kebijakan
Dari dimensi keluaran kebijakan dapat diketahui bahwa selama ini prosedur
dalam pelaksanaan pengawasan hanya berpedoman pada Peraturan Daerah
Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2011, tidak ada peraturan turunan yang jelas
dalam menjalankan peraturan ini dilapangan yang dilaksanakan oleh satpol PP.
Sehingga Satpol PP menjalankan tugasnya menunggu perintah atasan tidak ada
waktu yang mengatur, serta siapa yang akan turun kelapangan
2. Kepatuhan kelompok sasaran
Dari dimensi kepatuhan kelompok sasaran maka diketahui bahwa secara
umum Satpol PP Kabupaten Bintan sudah taat terhadap aturan yang berlaku.
Pegawai Satpol PP dan tokoh masyarakat sangat berkomitmen dalam menjalan
perda tersebut dengan tidak memberikan keringanan sedikitpun bagi para
pengusaha yang melanggar aturan.
3. Dampak nyata kebijakan
Dari dimensi dampak nyata kebijakan diketahui bahwa masih banyak orang
yang belum patuh sehingga dampak nyata dari kebijakan ini belum terlihat.
Seperti masyarakat yang masih sering mengkonsumsinya, kemudian kedai yang
masih berjualan, padahal razia sudah sangat sering dilakukan.
4. Dimensi persepsi terhadap dampak
Dari dimesi persepsi terhadap dampak dapat diketahui dukungan yang
diberikan pegawai terhadap kebijakan pemerintah ini sudah baik, namun
permasalahan datang dari masyarakat dan para pengusaha. Mereka berdalih masih
17
tidak mengetahui tentang Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun
2011 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol sehingga
masih banyak yang menyalahgunaan minuman beralkohol. Padahal agar kebijakan
ini berjalan dengan baik maka harus ada kerjasama dan dukungan oleh semua
stakeholder termasuk masyarakat dan pengusaha.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa Implementasi Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Dan
Pengendalian Minuman Beralkohol Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten
Bintan Tahun 2013 belum berjalan dengan baik, Untuk saat ini, mayoritas
minimarket sudah taat tidak menjual mikol. Tapi masih ditemukan pada tahun
2014 6 orang pedagang yang terkena razia masih menjual minuman beralkohol
tanpa izin dan sekitar 10 pedagang memiliki izin usaha, Kemudian masih ada
pengguna minuman beralkohol ditempat-tempat umum ini ditemukan pada razia
jam-jam malam di sekitar Kecamatan Bintan Timur. Kemudian juga dalam
fragmentasi belum jelas karena selain BLH Provinsi Kepulauan Riau tidak adanya
standar kerja yang ditetapkan khusus untuk menjalan kebijakan ini sehingga
masih ada tumpang tindih kewenangan dalam meberikan izin penimbunan.
18
2. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan adalah agar Implementasi Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Dan
Pengendalian Minuman Beralkohol Pada Kecamatan Bintan Timur Kabupaten
Bintan Tahun 2013 dapat berjalan dengan baik adalah sebagai berikut :
1. Sebaiknya disusun standar operasional prosedur untuk menjadi pedoman
bagi Satpol PP dalam melakukan tindakan di lapangan
2. Seharusnya dilakukan sosialisasi mengenai Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian
Minuman Beralkohol baik bagi masyarakat maupun pengusaha agar
mengetahui dan memahami isi dan kejelasan dari Perda tersebut
3. Sebaiknya ada sanksi yang tegas berkaitan dengan pelanggaran Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Dan
Pengendalian Minuman Beralkohol baik itu masyarakat yang masih
mengkonsumsi serta pengusaha yang menjual tidak memiliki izin
4. Sebaiknya ada razia yang dilakukan dengan melibatkan instansi
pemerintah, Polri, dan masyarakat.
5. Sebaiknya para instansi terkait lebih dapat bekerja sama dan membangun
kedekatan dengan masyarakat agar kriminal yang didatangkan oleh
minuman beralkohol dapat dicegah.
19
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU :
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan.
Pancur Siwah.
Abdul Wahab, Solichin. 2002. Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung : CV Alfabetha
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dunn, William N. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press
Faried Ali, Andi Samsul Alam.2012.Studi Kebijakan Pemerintah. Jakarta : PT.
Rafika Aditama
Krahe, Barbara. 2005. Perilaku Agresif, Buku Panduan Psikologi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru I). PT Rineka
Cipta : Jakarta
Nugroho, Riant D. 2003. Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi.
Jakarta : PT.Elex Media Komputindo
Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Rasyid, Rias. 2000. Pokok-Pokok Pemerintahan. PT Raja Grafindo Persada :
Jakarta
Subarsono. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudarsono. 2008. Etika Tentang Kenakalan Remaja. Jakarta : Rineka Cipta.
Sugiyono, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta
Tarwiyah Tuti. 2005. Kebijakan pendidikan Era 0tonomi Daerah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita
20
Perundang-undangan :
Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pengawasan
Dan Pengendalian Minuman Beralkohol
Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor : 6 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Satuan Polisi Pamong
Praja Kabupaten Bintan
Jurnal :
Agnes Christin Afriany Saragih. 2014. Perlindungan hukum dan
pertanggungjawaban pelaku Usaha terhadap anak dibawah umur akibat
Mengkonsumsi minuman keras di kabupaten sleman. Universitas Atma Jaya
Yogyakarta Fakultas Hukum.
David Richardo Hutasoit. 2014. Efektivitas pelaksanaan pengawasan,
pengendalian dan pelarangan peredaran minuman beralkohol di kota
Pontianak. Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN. Vol 3 No 4