IMPLEMENTASI PEMBUKTIAN TERBALIK PADA KASUS …
Transcript of IMPLEMENTASI PEMBUKTIAN TERBALIK PADA KASUS …
IMPLEMENTASI PEMBUKTIAN TERBALIK PADA KASUS KORUPSI
DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi gelar Sarjana
Hukum (SH)
OLEH :
SITI HALIMAH SADIAH
11170454000008
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021/1443 H
i
IMPLEMENTASI PEMBUKTIAN TERBALIK PADA KASUS KORUPSI
DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Siti Halimah Sadiah
NIM : 11170454000008
Di Bawah Bimbingan :
Pembimbing I Pembimbing II
Mohamad Mujibur Rohman, M.A
NIP: 197604802007101001
Muhammad Ishar Helmy, S.H.,M.H
NIDN: 9920112859
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1443 H
ii
Pengesahan Panitia Ujian Skripsi
Skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI PEMBUKTIAN TERBALIK PADA
KASUS KORUPSI DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA”. Telah
diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 04 Agustus 2021. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah).
Jakarta, 04 Agustus 2021
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag.,S.H.,M.H.,M.A.
NIP.197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua
: Qasim Arsadani, M.A.
NIP.196906292008011016
(……………………)
2. Sekretaris
: Mohamad Mujibur Rohman, M.A
NIP.197604802007101001
(……………………)
3. Pembimbing I
: Mohamad Mujibur Rohman, M.A
NIP.197604802007101001
(……………………)
4. Pembimbing II
:Muhammad Ishar Helmy, S.H.,M.H
NIDN.9920112859
(……………………)
5. Penguji I
: Dr. Burhanudin, SH,. M.Hum
NIP. 195903191979121001
(……………………)
6. Penguji II
: Qasim Arsadani, M.A.
NIP.196906292008011016
(……………………)
iii
iv
ABSTRAK
Siti Halimah Sadiah. NIM 11170454000008. IMPLEMENTASI
PEMBUKTIAN TERBALIK PADA KASUS KORUPSI DI NEGARA
INDONESIA DAN MALAYSIA. Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1443H/2021M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pembuktian terbalik
dalam tindak pidana korupsi di Indonesia dan Malaysia,serta untuk mengetahui
efektivitas pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi yang digunakan
Indonesia dan Malaysia.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif yuridis. Pengumpulan
data dilakukan dengan metode kepustakaan (Library Research). Adapun
pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara teknik deduktif, yakni
bahan hukum yang ada tersebut dianalisis untuk melihat perbedaan diantara
keduanya.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konsep pembuktian terbalik dalam
tindak pidana korupsi yang digunakan Indonesia adalah pembuktian terbalik
terbatas dan berimbang, sedangkan konsep pembuktian terbalik dalam tindak
pidana korupsi yang digunakan Malaysia adalah pembuktian terbalik murni.
Adapun alasan Indonesia tidak menerapkan sistem pembuktian terbalik murni
seperti yang digunakan negara Malaysia karena pembuktian terbalik murni
melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999. Selain itu, hasil penelitian ini menyebutkan efektifitas pembuktian terbalik
di Indonesia dan Malaysia memberikan dampak besar dalam menekan laju tindak
pidana korupsi. Namun, pembuktian terbalik Malaysia lebih efektif dibandingkan
dengan Malaysia. Beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam efektifitas
pembuktian terbalik di Indonesia yaitu faktor penegak hukum dan faktor penegak
hukum, serta peran masyarakat.
Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, Pembuktian Terbalik, Indonesia,
Malaysia, Hukum Pidana Islam
Pembimbing Skripsi : Pembimbing I Mohamad Mujibur Rohman, M.A dan
Pembimbing II Muhammad Ishar Helmy, S.H.,M.H
Sumber Rujukan : 1994 s.d. 2021
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta‟ala
berkat rahmat dan inayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Serta Shalawat dan salam selalu tercurah limpahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad Shallalahu „Alaihi wa Salam.
Selanjutnya, penulis ingin sampaikan rasa kebahagiaan dengan penuh
syukur dan terima kasih tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu
penulis selama dalam penyusunan skripsi. Penulis tidak menafikan bahwa banyak
kendala dan rintangan dalam penyusunan skripsi ini. Namun, karena semangat diri
pribadi dan dukungan moril maupun materiil serta doa dari lingkungan sekitar.
Alhamdulillah semua dapat dilewati dan skripsi ini selesai dengan baik. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih secara khusus kepada :
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M. A. Selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S. H.,M. A., Selaku Dekan Fakultas Syariah
Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Qasim Arsadani, M.A., Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah) Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Mohamad Mujib Rohman, M. A., Selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. M. Nurul Irfan, M.Ag., Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
senantiasa membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama
masa studi di Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Mohamad Mujib Rohman, M.A., sebagai Pembimbing Skripsi yang selalu
sabar membimbing dan meluangkan waktu kepada penulis dalam
menyusun skripsi.
vi
7. Muhammad Ishar Helmy, S.H.,M.H sebagai Pembimbing Skripsi yang
selalu bersedia meluangkan waktu, memberikan arahan dan mensupport
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya dengan tulus dan
sabar.
9. Teristimewa untuk kedua orang tua tercinta Ayahanda Ade Kasim dan
Ibunda Warsih Nurhasanah, terimakasih atas perjuangan, pengorbanan,
do‟a, dan dukungan moril serta materiil, dari tetesan keringat kedua orang
tua penulis sehingga dapat mengeyam dan menyelesaikan pendidikan di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Cellica Nurrachadiana selaku bupati karawang dan panitia Beasiswa
Karawang Cerdas tahun 2017 yang telah menyelenggarakan program
beasiswa sehingga membantu penulis dalam pembiayaan selama
mengeyam pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A., selaku Pimpinan Pondok Pesantren
Tafsir Darussa‟adah Ciputat yang telah memberikan ilmu dengan sabar
dan kasih sayang selama di pondok.
12. Guru-Guru SMAN 2 Karawang yang telah mengantarkan penulis ke
jenjang perkuliahan.
13. Keluarga Mahasiswa Islam Karawang (KMIK) yang telah membantu
penulis selama di perantauan.
14. Keluarga Besar Hukum Pidana Islam (HPI) angkatan 2017 yang telah
memberikan pengalaman dan ilmu selama masa perkuliahan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
15. Terkhusus Utami Fitriah Prodi Hukum Keluarga sosok orang berhati
malaikat yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis selama
pengerjaan skripsi dan selalu memberikan dukungan untuk penulis.
16. , Nisa, Dian, Caca, Lingling, Azer, Izzul, Fahrul, Farhan ambon, Farhan
Kecil, Raka, Deswir, Mahrus, Maul, Yasser, Syarif dan Andika dan
vii
keluarga PMII KOMFAKSYAHUM selaku sahabat yang peduli kepada
penulis selama masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi.
17. Terkhusus ka Oca, Ka Sayyida,Ka Irna, Ka Inces, Ka Koncone, dan Mba
Hikmah yang telah memberikan ilmu, dan pengalaman kepada penulis
selama di Pondok Pesantren Tafsir Darussa‟adah Ciputat.
18. Teman-teman seperjuangan di Pondok Pesantren Tafsir Darus sa‟adah
Ciputat yang telah peduli dan mendukung penulis.
19. Terkhusus Zone, Fitri, Devi, dan Hikmah yang telah peduli dan membantu
penulis selama pengerjaan skripsi.
20. Seseorang yang special yang selalu menemani dan mendukung dalam
proses pengerjaan skripsi ini dari awal hingga selesai, walaupun belum ada.
21. Dan pihak lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, hal
tersebut tidak mengurangi rasa terima kasih dan syukur penulis. Semoga
segala kebaikan akan terbalaskan dengan kebaikan yang lebih oleh Allah
Swt dan semoga skripsi ini berguna bagi penulis pribadi dan dibidang
hukum khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 04 Agustus 2021
Siti Halimah Sadiah
NIM : 11170454000008
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN ...............................................................................................
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 7
D. Metode Penelitian ...................................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ............................................................................... 10
BAB II : PEMBUKTIAN TERBALIK ..........................................................................
A. Kerangka Konseptual ............................................................................... 12
1. Pembuktian Terbalik ......................................................................... 12
2. Tindak Pidana Korupsi ...................................................................... 14
3. Indonesia dan Malaysia ..................................................................... 15
B. Kerangka Teori ......................................................................................... 16
1. Teori Efektivitas Hukum ................................................................... 16
2. Teori Pembuktian Terbalik ................................................................ 19
3. Teori Bebas ........................................................................................ 20
4. Teori Negatif Menurut Undang-undang ............................................ 21
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................ 22
ix
BAB III : PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ..........................
A. Definisi Pembuktian Terbalik ................................................................... 27
B. Perkembangan Sejarah Pembuktian Terbalik Dalam Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia dan Malaysia .............................................. 29
C. Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia dan Malaysia ............................................................................ 30
D. Pembuktian Terbalik Dalam Menurut Hukum Positif dan
Hukum Islam ............................................................................................ 33
BAB IV : IMPLEMENTASI PEMBUKTIAN TERBALIK PADA KASUS
KORUPSI DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA ........................
A. Konsep Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi di
Negara Indonesia dan Malaysia ................................................................ 55
B. Efektifitas Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi
di Negara Indonesia dan Malaysia ........................................................... 63
BAB V : PENUTUP .........................................................................................................
A. Simpulan ................................................................................................... 71
B. Rekomendasi Penulis ................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin maraknya kejahatan korupsi di Negara Indonesia dengan
kecanggihan teknologi zaman sekarang dan modus operandi oleh para
pelaku tidak bisa dipisahkan. Hal ini menandakan bahwa kejahatan ini
tidak bisa berdiri sendiri, pasti memerlukan pelaku lain dan jaringan yang
besar (Networking). 1Sekian banyak instrument dan pranata hukum yang
telah diimplementasikan dalam kebijakan perundang-undangan untuk
memberantas tindak pidana korupsi yaitu salah satu cara yang paling baik
dengan memberlakukan sistem pembuktian terbalik.2
Konsep pembuktian terbalik di Indonesia ini diatur dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Undang-undang
tersebut ketentuan mengenai pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 37A,
selain itu diatur pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga
KUHAP.3
Indonesia menggunakan konsep pembuktian terbalik terbatas dan
berimbang (Omkering Van Het Bewijslast). Sedangkan konsep di Malaysia
berbeda dengan di indonesia, Malaysia menggunakan sistem pembuktian
terbalik murni (zuivere omskeering bewijstlast). Malaysia sudah
1 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2014), h., 3 2 Stepanus Adiputra Dulang, Sistem Pembuktian Terbalik (Reversal Burden Of
Proof) Delik Gratifikasi Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Jurnal lex
crimen, VII, 6, (Juni, 2019), h. 88. 3 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003. (Bandung: P.T. ALUMNI, Cet. kedua ),
h., 7
2
menerapkan sistem pembuktian terbalik sejak tahun 1961 dan dinamakan
Prevention Of Corruption Act (Undang-undang korupsi Malaysia) yang
diatur atas dasar pasal 42 Akta Pencegah Rasuah Tahun 1997. 4
Selain itu konsep pembuktian terbalik Malaysia diberlakukan
terhadap semua pejabat Negara yang terindikasi korupsi, yakni tentang
harta kekayaan yang tidak sebanding dengan penghasilan dari jabatannya.
Sedangkan di Indonesia sistem pembuktian terbalik hanya berlaku untuk
tersangka/terdakwa kasus korupsi saja.
Mengenai hal ini Islam memandang bahwa korupsi merupakan
perilaku yang sangat bertentangan/berseberangan dengan syariat Islam.5
Sehingga dalam hukum pidana Islam khususnya mekanisme pembuktian
menggunakan metode pembalikan beban pembuktian atau dikenal dengan
pembuktian terbalik. 6
Sebagai contoh peristiwa dalam Islam yang disamakan dengan
metode penerapan pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian
ini terjadi pada kisah Nabi Yusuf a.s, dalam alqur‟an dan kejadian Ibnu
Abi Mulaykah.7
Hal ini sebagaimana dijelaskan secara gamblang dalam Alqur‟an
Surah Yusuf ayat 24-29. Ayat tersebut menjelaskan tentang kisah Nabi
Yusuf a.s yang dituduh melakukan perbuatan asusila terhadap majikannya
4
Mulyanto, Praktik Pembatasan Pembalikan Beban Pembuktian Dalam
Pengadilan Tipikor (Studi Pada Perkara Korupsi RAPBD Kota Semarang di Pengadilan
Tipikor Kota Semarang. Jurnal jurisprudence, 6, 2, 2016, h 123 5 Muhammad Tahmid Nur, Kapria Tri Gunawan, dan Takdir, Menguras Kasus
Korupsi Dengan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia, (Palopo: Lembaga Kampus IAIN Palopo, 2018, cet pertama), h. 119 6 Muhammad Tahmid Nur, Kapria Tri Gunawan, dan Takdir, Menguras Kasus
Korupsi Dengan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia, (Palopo: Lembaga Kampus IAIN Palopo, 2018, cet pertama), h. 126 7 Muhammad Tahmid Nur, Kapria Tri Gunawan, dan Takdir, Menguras Kasus
Korupsi Dengan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia, (Palopo: Lembaga Kampus IAIN Palopo, 2018, cet pertama), h. 120
3
(Zulaikha).8 Kisah Nabi Yusuf as. yang dikemukakan dalam Alqur‟an
tersebut dapat diketahui bahwa alat bukti dakwaan zulaikha terhadap Nabi
Yusuf as. seperti koyaknya pakaian Nabi Yusuf as. pada bagian belakang
yang membuat para pihak yakin. Setelah diketahui bahwa koyak bajunya
bagian belakang, maka dakwaan nabi Yusuf tidak terbukti sehingga yusuf
tidak dihukum sebagaimana yang diminta zulaikha. Pada kisah tersebut
dapatlah kita dikemukakan bahwa Islam membenarkan penggunaan
pembuktian terbalik ketika penyelidik sulit mencari alat-alat bukti.9
Selain itu, hadis juga memandang konsep pembuktian terbalik.
Ketentuan ini berdasarkan pada hadist yang berbunyi:
حد ثني أب و الطا هر أحد بن عمر و بن سرح أخب رنا ابن وهب عن ابن جريج عن ابن أب مليكة
عن ابن عباس أن النب صلى الله عليه و سلم قال لو ي عطى الناس بدعواهم لادعى ناس دماء رجال
عى عليه وأموالم ولكن اليمي على المد
“Abu Ath-Thahir Ahmad bin Amr bin Sarh telah memberitahukan
kepada kepadaku, dan Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami dari
Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “seandainya manusia diberikan
atas tuntutannya, tentu manusia (dengan mudah) akan menggugat darah
dan harta benda orang lain, akan tetapi orang yang digugat (terdakwa)
haruslah (menolak) dengan sumpah.” (HR. Muslim)
Selama ini islam memandang dalam upaya pembuktian dibebankan
kepada mudda‟i (penuntut) yaitu jaksa jika dalam kasus pidana. Seperti
yang tercantum dalam hadis. Jadi, pihak penuntutlah yang harus
membuktikan, sehingga dalam hal ini terdakwa cenderung pasif. Namun,
ketentuan dalam beban pembuktian ini mengalami perkembangan, yaitu
8 Muhammad Tahmid Nur, Kapria Tri Gunawan, dan Takdir, Menguras Kasus
Korupsi Dengan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia, (Palopo: Lembaga Kampus IAIN Palopo, 2018, cet pertama), h. 120 9Tim Penulis Muhammadiyah, dan Nahdatul Ulama, Koruptor Itu Kafir: Telaah
Fiqih Korupsi Dalam Muhammadiyah dan Nahdatu Ulama (NU), (Jakarta:PT Mizan
Publika, 2010, cet pertama), h. 79
4
dari beban pembuktian pada pundak penggugat menjadi beban pembuktian
berimbang kedua belah pihak. 10
Pembahasan diatas menjelaskan bahwa konsep pembuktian terbalik
di Indonesia dan Malaysia sangatlah berbeda. Hal ini sangatlah menarik
untuk dikaji lebih lanjut, karena mengingat Negara Malaysia ini bisa
dikatakan cukup “Sukses” dalam menekan laju korupsi dengan konsep
yang digunakan yaitu sistem pembuktian terbalik murni (zuivere
omskeering bewijstlast). Sedangkan, di Indonesia yang semakin hari
semakin meningkat kasus korupsinya.
Bahwa dalam hal ini peneliti berpandangan pembuktian terbalik
merupakan langkah yang tepat dalam upaya mengurangi kerugian
keuangan Negara dari tangan pelaku tindak pidana korupsi.11
Namun,
dalam penerapan sistem pembuktian terbalik di berbagai Negara yang
menerapkan sangatlah berbeda-beda, seperti yang dijelaskan sebelumnya
bahwa Malaysia menggunakan konsep pembuktian terbalik murni (zuivere
omskeering bewijstlast), sedangkan Indonesia menggunakan konsep
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang. Dalam hal menerapkan
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang di Indonesia yang berbeda
dengan Malaysia, di karenakan indonesia memiliki cara tersendiri dalam
menerapkan pembuktian terbalik dalam kasus tindak pidana korupsi, dan
hal ini sudah jelas tercantum dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP.
Namun, Indonesia seharusnya memberlakukan sistem pembuktian
terbalik untuk seluruh pegawai negeri sipil, penegak hukum, politisi, TNI-
Polri dan seluruh pejabat Negara setelah tidak lagi menjabat atau ganti
jabatan seperti yang diberlakukan di Malaysia. Alangkah lebih baik
10
Analiansyah, Hukum Pembuktian Terbalik Dalam Perspektif Hukum Islam.
Jurnal Al Mursalah, 2, 1, (Januari-juni, 2016), h. 45. 11
Yusnita, Muhammad Syarief Nuh, dan Satrih Hasyim, Efektivitas Pelaksanaan
Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Journal of lex generalis, 1,
7, (Desember 2020), h. 1036
5
pemerintah ataupun DPR berkewajiban membuat Undang-undang tentang
pembuktian terbalik yang berlaku untuk bagi para pejabat, pegawai, dan
setiap orang yang memiliki amanah, dan lebih baik lagi jika dalam diktum
sumpah jabatan itu dibuatkan ta‟lik (klausul) tentang pembuktian terbalik.
12
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait
pembuktian terbalik di Negara Malaysia dan Indonesia. Dimana
pembuktian terbalik dari Negara Malaysia lebih efektif dalam
memberantasan korupsi dibandingkan dengan Negara Indonesia dan
penulis kaji dengan konsep hukum islam dan hukum positif.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis akan mengkaji dalam
penulisan ini dengan judul : IMPLEMENTASI PEMBUKTIAN
TERBALIK PADA KASUS KORUPSI DI NEGARA INDONESIA
DAN MALAYSIA
12
Abdulahanaa, Penerapan asas pembuktian terbalik terhadap kasus pidana
korupsi dalam perspektif hukum islam. Jurnal Kajian Hukum Islam Al manahij, VII, 02,
(Juli 2013), H. 300.
6
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan
sebelumnya, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai
berikut :
a. Mekanisme pembuktian terbalik Indonesia dan Malaysia
b. Ketentuan hukum positif Indonesia dan Malaysia mengenai
pembuktian terbalik
c. Ketentuan hukum pidana Islam mengenai pembuktian
terbalik
d. Malaysia memberlakukan pembuktian terbalik terhadap
semua pejabat
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang penulis kemukakan
diatas, untuk mempermudah dalam penulisan dan menghindari
kemungkinan pembahasan yang menyimpang dari pokok
pembahasan yang diteliti, maka skripsi ini dibatasi hanya
membahas tentang Implementasi Pembuktian Terbalik Pada Kasus
Korupsi di Negara Indonesia dan Malaysia.
3. Perumusan Masalah
a. Bagaimana konsep pembuktian terbalik di Indonesia dan
Malaysia?
b. Bagaimana efektifitas pembuktian terbalik dalam tindak pidana
korupsi di Indonesia dan Malaysia?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka
tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini
sebagai berikut:
a. Untuk menjelaskan konsep pembuktian terbalik di Indonesia dan
Malaysia.
b. Untuk menjelaskan efektifitas pembuktian terbalik dalam tindak
pidana korupsi di Indonesia dan Malaysia.
2. Manfaat Penelitian
a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat teoritis diantaranya:
1) Untuk menambah khazanah keilmuan mengenai
pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di
indonesia dan Malaysia.
2) Untuk menambah khazanah keilmuan dalam hukum positif
dan hukum islam mengenai pembuktian terbalik.
b. Adapun manfaat praktis dari penelitian ini diantaranya :
1) Dapat menjadi acuan bagi peneliti lanjutan, serta berharap
dapat bermanfaat bagi penegak hukum terkait pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi di Indonesia dan
malaysia.
2) Dapat bermanfaat bagi masyarakat terkait pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis sesuai dengan latar
belakang yang telah penulis paparkan dalam penelitian ini yaitu
dengan menggunakan penelitian normatif -yuridis.
8
Penelitian normatif yuridis ini mengkaji dan menghubungkan
permasalahan yang dibahas penulis yakni mengenai Implementasi
Pembuktian Terbalik Pada Kasus korupsi di Negara Indonesia dan
Malaysia dengan menggunakan bahan pustaka atau data bahan hukum
sekunder dan primer sebagai bahan dasar dalam penelitian ini seperti
perundang-undangan, jurnal-jurnal hukum, artikel ilmiah hukum, dan
sebagainya.
2. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
Pendekatan ini penulis lakukan dengan menelaah Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B ayat (1),
Pasal 37A dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Anti Corruption Act
(Undang-undang korupsi Malaysia), Penal Code (KUHP Malaysia)
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
penelitian yang penulis teliti.
b. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)
Melalui pendekatan ini penulis lakukan dengan
membandingkan mengenai konsep dan efektifitas pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi di Indonesia dan Malaysia
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B
ayat (1), Pasal 37A dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Anti Corruption Act
(Undang-undang korupsi Malaysia), dan Penal Code (KUHP
Malaysia).
9
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang penulis gunakan adalah sumber
bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder, dan
sumber bahan hukum tersier yang meliputi: 13
a. Sumber Bahan Hukum Primer :
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi;
4) Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001;
5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
6) Undang-Undang Malaysia .14
b. Sumber Bahan Hukum Sekunder :
1) Alqur‟an dan Hadis;
2) Buku-buku yang terkait dengan pembuktian terbalik dalam
tindak pidana korupsi;
3) Jurnal-jurnal hukum;
4) Artikel ilmiah;
5) Pendapat para sarjana;
6) Kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan pembahasan
penelitian.
c. Sumber Hukum Tersier
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h 12-13. 14
Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta Disertasi,
(Bandung: Alfabeta, 2017), h. 68.
10
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research), baik bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier peneliti kumpulkan berdasarkan
topik permasalahan sebagaimana telah peneliti rumuskan dalam
rumusan masalah untuk dikaji secara konfrehensif.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun teknik pengolahan dalam penelitian ini yaitu dilakukan
dengan cara teknik deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang peneliti ambil sesuai dengan rumusan masalah
penelitian ini terhadap permasalahan konkret yang di hadapi.
Selanjutnya, bahan hukum yang ada tersebut dianalisis untuk
melihat pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di Indonesia
dan Malaysia sehingga dapat melihat perbedaan diantara keduanya.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan penulis dalam penelitian ini
dengan menggunakan kaidah-kaidah pedoman buku “Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017
E. Sistematika Penulisan
Pada bagian Pertama, penulis membahas mengenai pendahuluan
yang memuat : Latar Belakang; Indentifikasi, Pembatasan dan Perumusan
masalah; Tujuan dan Manfaat Penelitian; Metode Penelitian; Teknik
Penulisan; dan Sistematika Penulisan.
Selanjutnya di bagian Kedua, penulis membahas mengenai
Pembuktian Terbalik yang memuat: A. Kerangka Konseptual yang
meliputi: (1) Pembuktian Terbalik; (2) Tindak Pidana Korupsi; (3)
Indonesia dan Malaysia; B. Kerangka Teori yang meliputi: (1) Efektifitas
11
Hukum; (2) Teori Pembuktian Terbalik; (3) Teori bebas (4) dan Teori
Negatif Menurut Undang-undang; C. dan Tinjauan (Review) Kajian
Terdahulu.
Di bagian Ketiga, penulis membahas mengenai pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi di Negara Indonesia dan Malaysia
yang memuat : Definisi Pembuktian Terbalik; Sejarah Pembuktian
Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan Malaysia;
Pembuktian Terbalik di Indonesia dan Malaysia; dan Pembuktian Terbalik
dalam Hukum Positif dan Hukum Islam.
Kemudian pada bagian Keempat yang merupakan inti dari
penelitian ini penulis membahas Pembuktian Terbalik Dalam Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia dan Malaysia yang memuat : Konsep
Pembuktian terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan
Malaysia; dan Efektifitas Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia dan Malaysia.
Terakhir pada bagian Kelima merupakan Penutup yang meliputi
Kesimpulan berdasarkan analisis penelitian yang telah dilakukan penulis,
dan Rekomendasi.
12
BAB II
PEMBUKTIAN TERBALIK
A. Kerangka Konseptual
1. Pembuktian Terbalik
Sistem Pembalikan beban pembuktian (omkering van het bewijslat)
merupakan hukum pembuktian perkara korupsi di Negara Anglo-saxon,
seperti Malaysia, inggris, dan singapura. Sistem ini diterapkan pada
tindak pidana yang berkenaan dengan gratifikasi yang berhubungan
dengan suap. 15
Sistem pembuktian terbalik merupakan sistem yang
terbilang baru, karena mengandung arti bahwa beban pembuktian ada
pada terdakwa. 16
Istilah beban pembuktian terbalik dalam bahasa belanda dikenal
dengan omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof jika
diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian.
Namun, yang kita sering dengar dengan yaitu istilah pembuktian
terbalik (onus of proof). Disebut sebagai pembuktian terbalik karena
pada sistem pembuktian biasa, yang wajib membuktikan dari dakwaan
yaitu penuntut umum itu sendiri. 17
Adanya sifat kekhususan yang
semula beban pembuktian terletak pada penuntut umum menjadi
beban pembuktian yang diletakkan kepada terdakwa. Proses inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah “pembuktian terbalik”. 18
15
Muh Arief Syahroni, M Alpian, dan Syofyan Hadi. Pembalikan beban
pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi. Jurnal ilmu hukum, (Agustus, 2019-
Januari, 2020), h. 127. 16
Aldi Naradwipa dan Reza Priyambodo, Tinjauan tentang sistem pembuktian
terbalik (reversal of burden proof) dalam pemeriksaan perkara gratifikasi, Jurnal verstek
universitas sebelas maret, 03, 02( 2015), h. 122. 17
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003. (Bandung: P.T. ALUMNI, Cet. kedua ),
h,. 68 18
Firman Freaddy Busroh, Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi,
Jurnal hukum to-ra, 02, 02,(agustus , 2016), h. 341.
13
Ada tiga teori hukum pembuktian yang tidak lepas dan hakikatnya
berlaku di Indonesia dan Malaysia serta dibeberapa Negara lainnya,
yaitu pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijke bewijstheorie), pembuktian menurut undang-undang secara
negatif (negatief wettelijke bewijstheorie) dan pembuktian menurut
keyakinan hakim (bloot gemoedelijke overtuiging atau conviction
intime). 19
Berbagai Negara seperti Negara Malaysia dan Indonesia dalam
menerapkan pembuktian terbalik pada dasarnya tidak lepas karena
terus meningkatnya kasus tindak pidana korupsi. Berbagai macam
cara dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilakukan.
Namun, belum memberikan hasil yang diharapkan.
Sehingga Indonesia mencoba menerapkan upaya pembuktian
terbalik, sebagaimana yang sudah diterapkan di Negara Malaysia.
Upaya pembentukan undang-undang dalam delik korupsi Indonesia
diterapkan dengan dua sistem, yakni sistem Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan sistem KUHAP. 20
Namun, para ahli hukum pidana Indonesia menyatakan bahwa
dalam kasus korupsi indonesia tidak menggunakan asas pembuktian
terbalik bersifat murni seperti di Malaysia, melainkan menerapkan
asas pembuktian terbalik yang bersifat “terbatas dan berimbang”
karena baik jaksa maupun terdakwa sama-sama menerima beban
kewajiban pembuktian. 21
19
Firman Freaddy Busroh, Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi,
Jurnal hukum to-ra, 02, 02,(agustus , 2016), h. 341. 20
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2014), h., 3 21
M. Abdul Kholiq, Asas pembuktian terbalik dalam penyelesaian kasus
kejahatan korupsi, jurnal hukum, 09, 20, (Juni, 2002), h. 63.
14
2. Tindak Pidana Korupsi
Telah terjadi pergeseran korupsi sejak era demokrasi dari korupsi
yang memusat ke istana ke korupsi yang lebih terfragmentasi, seiring
dengan perubahan struktur politik dan sistem multipartai Pemilu 1999.
22 Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat
merugikan dan berbahaya bagi Negara. Berbahaya bagi kehidupan
manusia, sosial, politik, birokrasi, dan ekonomi. Berbagai macam
upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama, namun
tidak memberi efek jera kepada para koruptor.23
Kejahatan korupsi
dilakukan dengan berbagai macam modus dan dukungan yang
semakin hari semakin canggih.
Indonesia mengelompokan korupsi menjadi 7 bagian besar (30
bentuk) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
1. Kerugian keuangan Negara;
2. Suap-Menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7. Gratifikasi. 24
Tindak pidana korupsi dipersiapkan dengan sangat rapih dan
lancar yang sudah tersistem sedemikian kuat mulai dari tahap
penyusutan konsep anggaran pembangunan dan perencanaan
22
Febri Diansyah, Illian Deta Arta Sari, Independent Repost Corruption
Assessment and Compliance United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)-
2003, (by. Indonesia Corruption Watch (ICW)), h., 10 23
Wicipto Setiadi, Korupsi di Indonesia (penyebab, bahaya, hambatan, dan
upaya pemberantasan, serta-regulasi), jurnal legislasi indonesia, 15, 03, (November,
2018), h. 249 24
Febri Diansyah, Illian Deta Arta Sari, Independent Repost Corruption
Assessment and Compliance United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)-
2003, (by Indonesia Corruption Watch (ICW)), h., 8
15
operasional anggaran, sehingga korupsi sulit sekali dilawan.25
Kini
tindak pidana korupsi telah menjadi isu sentral yang muncul di
berbagai Negara yang kini merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana khusus.26
Mengingat khususnya peraturan perundang-undangan tindak
pidana korupsi maka penanganannya pun bersifat khusus. Perubahan
sistem pembuktian semula berada pada penuntut umum beralih kepada
terdakwa. Terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Maka asas dalam tindak pidana korupsi yang
berlaku bukan lagi “presumption of innocence” (praduga tak bersalah)
melainkan beralih menjadi “presumption of guilt” (praduga bersalah).
sehingga seringkali pembuktian terbalik berpotensi untuk melanggar
hak asasi manusia.
Namun didalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pembuktian terbalik tidak menghilangkan
hak-hak asasi terdakwa sebagai salah satu ciri Negara hukum. karena
undang-undang ini menganut due process model, yaitu melindungi
hak-hak tersangka dan hak-hak individu sehingga menjamin tidak
adanya pelanggaran hak asasi manusia. 27
3. Indonesia dan Malaysia
Indonesia dan Malaysia merupakan Negara yang menerapkan
sistem pembuktian terbalik. Hal ini mengingat semakin meningkatnya
tingkat kasus korupsi. Karena korupsi merupakan masalah serius yang
bisa mengganggu terhadap stabilitas, keamanan nasional dan
25
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2014), h., 11 26
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003. (Bandung: P.T. ALUMNI, Cet. kedua ),
h., 3 27
M Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), h., 28
16
internasional, selain itu dapat menyebabkan kelemahan konstitusi dan
nilai-nilai demokrasi.
Penerapan asas pembuktian terbalik di indonesia diberlakukan
pembuktian terbalik secara terbatas dan berimbang, yaitu terdakwa
hanya membuktikan bahwa harta kekayaan yang ia dapatkan bukan
berasal dari hasil tindak pidana korupsi, sedangkan penuntut umum
tetap wajib untuk membuktikannya terhadap dakwaan yang lainnya
atau dikenal dengan pembuktian secara negatif sebagaimana diatur
dalam Pasal 66 KUHAP. Tujuan sistem pembuktian terbalik terhadap
harta kekayaan yang didapat oleh pelaku kejahatan adalah untuk
merampas harta kekayaan yang didapat secara kotor dari tangan pelaku
kejahatan. 28
Sedangkan, Malaysia menggunakan sistem pembuktian terbalik
murni (Zuivere omskeering bewijstlast), yaitu beban pembuktian
terletak pada penuntut umum sepanjang pemeriksaan meskipun
terdakwa mempunyai kewajiban untuk menolak praduga berdasarkan
keseimbangan kemungkinan. Hal ini atas dasar Pasal 42 Anti
Corruption Act (ACA) Malaysia yang mengatur tentang pembuktian
dan hanya menyangkut pemberian (gratification), selain itu Pasal ini
juga mengatur sistem pembuktian terbalik berlaku juga untuk delik
suap. 29
B. Kerangka Teori
1. Teori Efektifitas Hukum
Menurut Soerjono Soekanto bahwa salah satu fungsi hukum, baik
sebagai kaidah maupun sebagai sikap atau perilaku yaitu dengan
membimbing perilaku manusia. Karena masalah pengaruh hukum
tidak hanya sebatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada
28
Anton Diary Steward Surbakti, Kajian Yuridis Tindak Pidana Pencucian
Uang Terkait dengan Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia, h. 7 29
M Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), h.,144-145
17
hukum, tetapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak
atau perilaku baik yang bersifat positif ataupun negatif.30
Faktanya,
hukum itu tidak berfungsi sebagai sosial control, tetapi bisa juga
menjalankan fungsi perekayasaan sosial (Social engineering atau
instrument of change). Dengan demikian, efektivitas hukum dapat
dilihat dari sudut fungsi sosial control maupun dari sudut fungsinya
sebagai alat untuk melakukan perubahan. 31
Menurut Soerjono Soekanto ada lima faktor yang dapat
mempengaruhi efektivitas hukum yaitu:32
a. Faktor hukum
Hukum mengandung unsur keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Seperti dalam penerapannya tidak jarang terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Karena
kepastian hukum bersifat konkreet seseorang berwujud nyata,
sedangkan keadilan memiliki sifat abstrak sehingga ketika hakim
memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja,
maka ada saatnya nilai keadilan itu tidak tercapai. Karena hukum
tidak dilihat dari sudut hukum tertulis saja, melainkan harus
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berkembang dalam
masyarakat. sementara dari sisi lain, keadilan pun masih menjadi
perdebatan disebabkan keadilan mengandung unsur subyektif dari
masing-masing orang.
b. Faktor penegak hukum
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum (Law enforcement) seperti aparatur
penegak hukum. aparatur penegak hukum ini melingkupi
pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak
30
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2007) h, 110 31
Winarno Yudho dan Heri Tjandrasari, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat,
jurrnal hukum dan pembangunan, 17, 1,(Febuari 1987), h. 59 32
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007) h, 5
18
hukum, sedangkan dalam arti sempit aparat penegak hukum yakni
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas
sipil lembaga pemasyarakatan.
Terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi mekanisme
bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, yakni:
1) Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan
prasarana pendukung dan mekanisme kerja lembaganya;
2) Budaya kerja yang terikat dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya; dan
3) Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang
dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum
acaranya.
c. Faktor sarana atau fasilitas
Sarana atau fasilitas memiliki peranan yang sangat penting di
dalam penegak hukum. seperti halnya Menurut soerjono soekanto
bahwa penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik, jika tidak
dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat yang professional.
d. Faktor masyarakat
Faktor masyarakat, yakni lingkungan yang dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.33
e. Faktor kebudayaan
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. 34
Selain itu, kebudayaan juga merupakan nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik sehingga diikuti dan apa yang
dianggap buruk maka perlu dihindari.
33
Winarno Yudho dan Heri Tjandrasari, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat,
jurrnal hukum dan pembangunan, 17, 1,(Febuari 1987), h. 60 34
Winarno Yudho dan Heri Tjandrasari, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat,
jurrnal hukum dan pembangunan, 17, 1,(Febuari 1987), h. 60
19
Faktor-faktor tersebut saling berkaitan, sehingga dalam
menganalisis efektif tidaknya hukum perlu memperhatikan
keterkaitan faktor-faktor tersebut diatas. 35
2. Teori Pembuktian Terbalik
Menurut teori pembuktian terbalik bahwa terdakwa diberi hak
untuk membuktian harta kekayaan yang dimiliki bukan dari tindak
pidana korupsi.36
Dalam tindak pidana pembuktian merupakan
pekerjaan yang sangat panjang dalam penegakan hukum, karena
dari pembuktian nasib seseorang ditentukan dan pembuktian pula
yang merupakan titik sentral pertanggungjawaban hakim dalam
segala bidang.
Menurut Yahya Harahap, pembuktian merupakan ketentuan-
ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara
yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan mengatur
mengenai alat bukti yang boleh digunakan oleh hakim untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan demikian pengadilan
tidak sesuka hati dalam membuktikan kesalahan terdakwa. 37
Teori pembuktian terbalik saat ini sudah digunakan oleh
berbagai Negara seperti Malaysia, Singapura, Inggris, dan bahkan
penerapan pembuktian terbalik di Negara Hongkong sempat
35
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007) h, 5 36
Rodliyah, dan Salim. Hukum Pidana Khusus (Unsur dan Sanksi Pidananya),
(Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017, Cet. Pertama), h., 6 37
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003. (Bandung: P.T. ALUMNI, Cet. kedua ),
h., 84
20
diajukan permohonan judicial review ke pengadilan tinggi
Hongkong. 38
Inti teori pembuktian terbalik (balance probality principle)
1. Setiap orang berhak memiliki kekayaan/asset yang diperoleh secara
sah, kecuali terbukti sebaliknya.
2. Tersangka/terdakwa yang ketahuan asal-usul asetnya sehingga
seharusnya beban pembuktian asal-usul asset berada pada
tersangka/terdakwa.
3. Pembuktian terbalik atas asset tersangka/terdakwa tidak merupakan
pelanggaran HAM.
4. Ada pemisahan antar pemilik asset dan asetnya yang diduga
berasal dari tindak pidana.
5. Aset tindak pidana merupakan subjek hukum setara dengan
pemiliknya.
6. Pembuktian terbalik atas asset melepaskan pertanggungjawaban
pidana terhadap pemiliknya. 39
3. Teori Bebas
Menurut teori ini, dijelaskan sebagaimana tersirat dalam penjelasan
umum, serta berwujud dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi:
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan
sebagai hal yang menguntungkan baginya.
38
M Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), h., 68 39
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia,(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014, Cet. Keempat), h.,159
21
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambah kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan
untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.40
4. Teori negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke overtuiging)
Menurut teori ini, pembuktian harus dilandaskan pada undang-
undang, yaitu alat bukti yang sah menurut undang-undang dengan
disertai keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
Teori ini dianut oleh (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)
KUHAP dan (Herzienne Inlands Reglement ) HIR41
sebagaimana yang
sudah tercermin dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi sebagai
berikut:42
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Maka dari itu, persyaratan pemberian pidana dalam sistem
KUHAP sangat berat, yakni:
40
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia,(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014, Cet. Keempat), h., 152 41
Severius Hulu, Diantota Simanjuntak, Josua O.I Limbong, dkk, Penerapan
Sistem Pembuktian Terbali Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, Jurnal Darma Agung,
XXVII, 1, (April, 2019), h., 828 42
Lihat Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
22
1. Minimum dua alat bukti sah, menurut undang-undang,
2. Keyakinan hakim,
3. Ada tindak pidana benar-benar terjadi,
4. Terdakwa itu manusianya yang melakukan perbuatan,
5. Adanya kesalahan pada terdakwa, dan
6. Macam-macam pidana apa yang akan dijatuhkan hakim.43
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dari beberapa penelitian yang sudah diteliti dan diklasifikasi sesuai
substansi. Maka penulis meneliti hal lain dalam pembuktian terbalik
tersebut. Penulis mengangkat judul skripsi yang berbeda dari penelitian-
penelitian sebelumnya yaitu dengan judul Implementasi Pembuktian
Terbalik Pada Kasus Korupsi di Negara Indonesia dan Malaysia. Dengan
maksud mengangkat substansi mengenai implementasi pembuktian
terbalik pada kasus korupsi di Negara Indonesia dan Malaysia. Kemudian
ditela‟ah dalam hukum positif dan hukum islam.
No. Identitas Judul Substansi Perbedaan
1 Dharma Kusuma
Atmaja
UIN Raden Intan
Lampung
Fakultas Syariah dan
Hukum
Prodi Jinayah
Siyasah
Tahun 2016
Perspektif
hukum islam
terhadap
pembuktian
terbalik pada
perkara
tindak pidana
korupsi
Skripsi ini
memfokuskan
pembahasan
kepada
pandangan
hukum islam
terkait
pembuktian
terbalik dan
pengertian
umum
Yang
membedakan
skripsi ini
dengan
penelitian
penulis adalah
titik fokus
penelitian
penulis lebih
kepada konsep
dan efektifitas
43
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia,(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014, Cet. Keempat), h., 153
23
mengenai
pembuktian
terbalik
pembuktian
terbalik di
Indonesia dan
Malaysia
2 Titin Ulfiyah
UIN Walisongo
Semarang
Fakultas Syariah dan
Hukum
Jurusan Hukum
Pidana Islam
Tahun 2017
Penerapan
beban
pembuktian
terhadap
tindak pidana
gratifikasi di
pengadilan
tipikor
semarang
dalam
tinjauan
hukum islam
dan hukum
positif
Dalam skripsi
ini memuat
pembahasan
penerapan
pembuktian
terbalik
terhadap
tindak pidana
gratifikasi
Yang
membedakan
skripsi ini
dengan
penelitian
penulis adalah
penelitian
penulis
membandingkan
konsep
pembuktian
terbalik dalam
tindak pidana
korupsi di
Negara
Indonesia dan
malaysia
sedangkan
skripsi ini fokus
pada
pembuktian
terbalik dalam
tindak pidana
gratifikasi
24
3 Alfi Luthfan
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Fakultas Syariah dan
Hukum
Prodi Jinayah
Siyasah
Tahun 2014
Beban
pembuktian
terbalik
dalam tindak
pidana
pencucian
uang
perspektif
hukum islam
dan hukum
positif
Di dalam
skripsi ini
memuat
pembahasan
pengaturan
perundang-
undangan
mengenai
beban
pembuktian
terbalik dalam
tindak pidana
pencucian
uang
Yang
membedakan
skripsi ini
dengan
penelitian
penulis adalah
penelitian
penulis memuat
konsep dan
efektifitas
pembuktian
terbalik dalam
tindak pidana
korupsi di
Indonesia dan
Malaysia.
4 Defid Tri Rizky
Universitas
Indonesia
Fakultas Hukum
Tahun 2012
Sistem
pembalikan
beban
pembuktian
dalam
penanganan
tindak pidana
korupsi
(studi kasus:
perkara
korupsi atas
nama perkara
terdakwa
Tesis ini
memuat
pembahasan
pengaturan
pembuktian
terbalik dalam
tindak pidana
korupsi sesuai
UU yang
berlaku di
Indonesia.
Hambatan dan
kendala yang
Yang
membedakan
skripsi ini
dengan
penelitian
penulis adalah
penelitian
penulis fokus
pada konsep dan
efektifitas
pembuktian
terbalik di
Indonesia dan
25
syafrudin dialami
penegak
hukum dalam
penerapan
sistem
pembuktian
terbalik.
Malaysia
5 Sofyan
UIN Alaudin
Makassar
Fakultas Syariah dan
Hukum
Prodi Hukum tata
Negara
Tahun 2019
Pembalikan
beban
pembuktian
yang bersifat
terbatas dan
berimbang
terhadap
pelaku tindak
pidana
korupsi
tela‟ah
hukum islam
(studi kasus
di pengadilan
negeri
Makassar
kelas 1A
khusus
Skripsi ini
memuat
pembahasan
penerapan dan
faktor
penghambat
pembuktian
terbalik di
Pengadilan
Negeri
Makassar
serta
pandangan
hukum islam
dalam
pembuktian
terbalik
Yang
membedakan
skripsi ini
dengan
penelitian
penulis adalah
penerapan yang
penulis ambil
mengenai
pembuktian
terbalik itu di
Indonesia dan
Malaysia.
Sedangkan
skripsi ini di
penerapan
pembuktian
terbalik di PN
Makassar
6 Yusuf
Sekolah Tinggi Ilmu
Syari‟ah Syarif
Abdurrahman
Penerapan
Sistem
Pembuktian
Terbalik
Jurnal ini
memfokuskan
pembahasan
mengenai
Yang
membedakan
jurnal ini
dengan
26
Pontianak
Tahun 2013
Untuk Kasus
Korupsi
Kajian untuk
Hukum Islam
dan Hukum
Positif
pembuktian
terbalik dalam
kasus korupsi
dengan dikaji
menurut
hukum islam
dan hukum
positif
penelitian
penulis adalah
pembuktian
terbalik dalam
tindak pidana
korupsi di
indonesia dan
Malaysia terkait
konsep dan
keefektitasnya
27
BAB III
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Definisi Pembuktian Terbalik
Istilah “Sistem Pembuktian Terbalik” memang kurang tepat
apabila dilakukan dengan pendekatan secara gramatikal. Dalam bahasa
belanda dikenal dengan Omkering Van Het Bewijslat atau dalam bahasa
inggris dikenal sebagai Reversal Burden of Proof dan jika diterjemahkan
secara bebas menjadi Pembalikan Beban Pembuktian, atau yang sering
kita kenal dengan istilah Pembuktian Terbalik.44
Sistem pembuktian terbalik adalah suatu aturan hukum yang
mengharuskan seseorang melakukan perbuatan korupsi atau suap untuk
membuktikan terkait harta kekayaan yang dimilikinya, seseorang yang
diduga melakukan korupsi atau suap bisa membantah tuduhan itu apabila
bisa membuktikan asal-usul harta kekayaannya.
Hukum pembuktian tindak pidana korupsi, khususnya mengenai
pembuktian terbalik terdapat perbedaan dengan ketentuan yang ada dalam
KUHAP. Hanya dalam hal-hal tertentu dan pada tindak pidana tertentu
terdapat penyimpangan, pembuktian terbalik tidak mutlak kepada jaksa
penuntut umum, tetapi ada pada terdakwa, atau bahkan kedua belah pihak
yakni jaksa penuntut umum dan terdakwa.45
Menurut Shopian Kasim peneliti dari Center For Legal Aid And
Devlopment Studies, pembuktian terbalik merupakan suatu sistem
pembuktian dimana penuntut umum hanya membuktikan terkait harta
kekayaan terdakwa dan kekayaan orang lain, atau badan akibat perbuatan
terdakwa. Apakah harta kekayaan itu bukan milik terdakwa, dan apakah
harta kekayaan tersebut bukan hasil dari perbuatan melawan hukum, atau
44
M Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), h. 14 45
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,
(Malang: Bayumedia Publishing, edisi pertama, cet 2, 2005), h. 9
28
tidak menjadikan perekonomian negara rusak, adalah terdakwalah yang
harus membuktikannya. Maka tugas Jaksa Penuntut Umum yang paling
penting adalah mendaftarkan kekayaan terdakwa demi hukum dinyatakan
merupakan harta yang berasal dari tindak pidana korupsi, sedangkan
terdakwa bertugas untuk membuktikan terkait harta yang dimilikinya, baik
harta bergerak maupun tidak bergerak bahwa itu bukan dari hasil
perbuatan melawan hukum. 46
Selain itu, menurut indriyanto Seno Adji bahwa dalam hukum
pidana formil, baik hukum kontinental maupun hukum yang menganut
Anglo-saxon hanya mengenal beban pembuktian yang terletak pada jaksa
penuntut umum.
Pendapat lain mengenai sistem pembuktian terbalik Jeremy Pope
yang dikutip oleh Kukun Abdul Syakur berpendapat bahwa istilah
“membalikan kewajiban membuktikan” itu tidak memuaskan, sehingga
harus mencari istilah yang lebih tepat dalam pembaharuan hukum,
sehingga rumusan yang lebih tepat adalah “terdakwa harus memberikan
penjelasan yang lebih meyakinkan”.
Sistem pembuktian terbalik, merupakan sistem yang dianut oleh
negara-negara yang menganut rumpun Anglo-saxon yakni seperti negara
Malaysia, Singapura, dan Hongkong untuk mempermudah pembuktian
dalam menangani kasus-kasus tertentu yang bersifat khusus yang sangat
sulit untuk ditangani. Sehingga ditempuhlah suatu sistem yang
bertentangan dengan asas universal mengenai pembuktian. 47
46
Muhammad, Hatta, Yoslan K.Koni, dkk, Sistem Pembuktian Terbalik
Terhadap Delik Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Sefa Bumi Persada, 2020), h. 140 47
Indriyanto Seno Adji, Sistem Pembuktian Terbalik: Meminimalisir Korupsi di
Indonesia, jurnal keadilan, Vol 1, No 02, juni 2002, h. 29.
29
B. Perkembangan Sejarah Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia dan Malaysia
1. Sejarah Pembuktian Terbalik di Indonesia
Pada dasarnya ide penerapan sistem pembuktian terbalik di
Indonesia mengikuti Negara yang menganut rumpun Anglo-saxon
yaitu seperti Malaysia dan singapura atau Negara-negara yang
menganut “case law” terbatas pada “certain cases” atau kasus tertentu
yang berkaitan dengan gratification atau pemberian yang berhubungan
dengan “bribery” (suap). Seperti di Malaysia, yang mengatur
gratification dalam Undang-undang Malaysia Anti Corruption Act
1997. 48
Sistem pembuktian terbalik di indonesia sebenarnya telah bergulir
sejak era Presiden Abdurrahman Wahid sewaktu memberikan jawaban
atas momerandum I DPR pada masa jabatannya. Karena mengingat
tindak pidana korupsi yang sangat sulit dibuktikan, maka sebagian
kalangan akademisi dan praktisi berpendapat bahwa penanggungan
harusnya dilakukan sedemikian rupa dan yang bersifat luar biasa pula.
49
Jika dilihat ke belakang, kebijakan legislasi bergesernya beban
pembuktian biasa ke arah pembuktian semi terbalik dan terbalik mulai
terdapat dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 Tentang
Pengusutan Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.50
Ketentuan ini bisa dilihat pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor
24 Tahun 1960 yang menyebutkan bahwa kewajiban dari tersangka
untuk memberikan keterangan terkait seluruh harta benda dan harta
48
Laws of Malaysia Anti Corruption Act 1997 (Act 575) 49
Nurhayani, Pembuktian Terbalik Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia, Jurnal IUS Kajian Hukum dan keadilan,III, 7, (April, 2015), h. 94. 50
Supriyadi Widodo Eddyono, Pembebanan Pembuktian Terbalik dan
Tantangannya (Verification Reversed Imposition and It‟s Challenges), Jurnal Legislasi
Indonesia, 8, 2, (Juni, 2011), h. 271.
30
benda suami/isteri dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum
yang diurusnya.51
Namun, sebelum tahun 1960 tidak diatur pembalikan beban
pembuktian dalam peraturan perundang-undangan korupsi karena
perspektif kebijakan legislasi memandang perbuatan korupsi delik
biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara
konvensional dan tidak perlu memerlukan perangkat hukum yang luar
biasa (exstra ordinary measures). Dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1971 secara eksplisit telah diatur mengenai pembalikan beban
pembuktian. Lalu, dalam peraturan selanjutnya, pembalikan beban
pembuktian diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Kemudian, di karenakan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 memiliki kelemahan dan pada Pasal 37 diketahui bahwa
pembuktian dalam perkara korupsi masih berada pada pihak penuntut
umum/jaksa sebagaimana halnya dengan undang-undang sebelumnya.
52Selanjutnya telah di perbaiki dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.53
Sistem
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang ini diatur dalam Pasal 37A
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.54
2. Sejarah Pembuktian Terbalik di Malaysia
Sejak tahun 1961 malaysia membangun negara yang bebas korupsi,
Malaya yang kemudian dikenal dengan Malaysia merupakan negara
budaya melayu yang dipengaruhi agama islam yang sangat kuat dalam
51
Muh Arief Syahroni, M Alpian, Syofyan Hadi, Pembalikan Beban
Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmu Hukum, (Agustus 2019-januari
2020), h.126 52
Elwi Danil, Korupsi: konsep, tindak pidana, dan pemberantasannya, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2001), h. 205 53
Supriyadi Widodo Eddyono, Pembebanan Pembuktian Terbalik dan
Tantangannya (Verification Reversed Imposition and It‟s Challenges), Jurnal Legislasi
Indonesia, 8, 2, (Juni, 2011), h. 271. 54
Firman Freaddy Busroh, Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi,
Jurnal hukum to-ra, 02, 02,(agustus , 2016), h. 343
31
ketaatan beragama, sehingga hal tersebut menjadi salah satu penyebab
berkurangnya angka kejahatan dinegara Malaysia. Malaysia sama
seperti negara lain yang mengalami penyakit kronis seperti korupsi.
Penyakit yang terus menyebar luas, serta modus yang semakin
beragam. Malaysia telah mempunyai undang-undang yang bernama
Prevention of Corruption Act pada tahun 1961 atau dikenal dengan
Akta Pencegah Rasuah Nomor 57, kemudian keluar lagi Emergency
(Essential Powers Ordinance) Nomor 22 Tahun 1970, kemudian Anti
Corruptian Agency Act Taun 1982, yang menjadi payung hukum
pembentukan Badan Pencegah Rasuah, dan yang berlaku saat ini
adalah BPR (Badan Pencegah Rasuah) yang berdasarkan Anti-
Corruption Act (ACA) Tahun 1997, yang menggabungkan ketiga
undang-undang dan ordonansi tersebut.55
Penerapan pembuktian terbalik di Malaysia diatur dalam Pasal 42
ayat (1) Badah Pencegah Rasuah Tahun 1997 (Akta 575) yang
berbunyi sebagai berikut:56
“Jika dalam mana-mana prosiding terhadap mana-mana orang atas
sesuatu kesalahan dibawah seksyen 10, 11, 13, 14 atau 15 adalah
dibuktikan bahawa apa-apa suapan telah disetujui-terima atau
dipersetujui untuk disetuju-terima, diperoleh atau cuba diperoleh,
diminta, diberikan atau dipersetujui untuk diberikan, dijanjikan atau
ditawarkan oleh atau kepada tertuduh, suapan itu hendaklah dianggap
telah disetuju-terima atau dipersetujui untuk disetuju-terima, diperoleh
atau cuba diperoleh, diminta, diberikan atau dipersetujui untuk
diberikan, dijanjikan atau ditawarkan secara rasuah sebagai dorongan
atau upah bagi atau kerana perkara-perkara yang dinyatakan dalam
butir-butir kesalahan itu, melainkan jika akasnya dibuktikan”
55
Jur Andi Hamzah, Perbandingan pemberantasan korupsi di berbagai negara,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 38 56
Lihat Pasal 42 ayat (1) Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah
1997 (akta 575), (Malaysia: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 1997), h. 55
32
Rumusan pembuktian terbalik di Malaysia ternyata berlaku bagi
penerima (passieve omkoping) dan pemberi (actieve omkoping)
dengan kata-kata … oleh atau kepada tertuduh. Kemudian, dalam
Pasal 42 ayat (2) Badan Pencegah Rasuah 1997 berbunyi:57
“Jika dalam mana-mana prosiding terhadap mana-mana orang atas
sesuatu kesalahan dibawah seksyen 161, 162, 163 atau 164 Kanun
Keseksaan, adalah dibuktikan bahawa orang itu telah menyetuju-
terima atau bersetuju untuk menyetuju-terima, atau memperoleh atau
cuba untuk memperoleh apa-apa suapan, orang itu hendaklah
dianggap telah berbuat demikian sebagai motif atau upah bagi
perkara-perkara yang dinyatakan dalam butir-butir kesalahan itu,
melainkan jika akasnya dibuktikan”.
Sistem pembuktian terbalik di Malaysia relatif sama dengan
indonesia , yang berkenaan dengan Proses Penyidikan, Penuntutan,
dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, walaupun hal tersebut
menyimpang dari ketentuan KUHP. Ketentuan tersebut terdapat dalam
Pasal 28, Pasal 37 ayat (1) dan (2), Pasal 37 ayat (1) dan (2) Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 58
C. Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan
Malaysia
1. Mekanisme Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia
Penerapan hukum acara tindak pidana korupsi terdiri dari
Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan sama seperti hukum acara
tindak pidana lainnya yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Penyelidikan adalah
57
Lihat Pasal 42 ayat (2) Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah
1997 (akta 575), (Malaysia: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 1997), h. 56 58
Aziz Syamsuddin, Tindak pidana khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, cetakan
kedua, 2011), h. 226
33
rangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan sesuatu hal yang
diduga sebagai tindak pidana. Penyelidikan dan penyidikan merupakan
rangkaian yang saling terikat satu sama lain. Penyelidikan sering
diartikan sebagai tindakan untuk mencari kebenaran sebelum
dilakukannya penyidikan. Pengertian penyidikan sendiri merupakan
rangkaian tindakan untuk mengumpulkan alat-alat bukti terhadap
deliknya. Penyidikan serupa dengan Penyiasatan atau (Siasat) di
Malaysia.59
Bahwa penerapan pembuktian terbalik terjadi ditahap penuntutan.
Definisi penuntutan terdapat dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP yang
berbunyi:60
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan”. Maka, dari tahap penyidikan suatu delik korupsi,
terdakwa harus membuktikan terkait asal-usul harta benda yang
diduga hasil dari tindak pidana korupsi kepada penyidik. Sehingga,
berkas perkara tersebut diberikan kepada penuntut umum untuk
dibuktikan di persidangan. Hal ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1)
yang berbunyi:61
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
Namun, apabila terdakwa tidak melakukan pembuktian terkait
asal-usul harta benda yang diduga korupsi, tentu hal ini akan
dijadikan bukti bahwa dirinya telah melakukan tindak pidana korupsi.
Karena, dengan ketidakmampuan terdakwa dalam membuktikan
asal-usul harta benda yang diduga hasil korupsi itu akan memperkuat
59
Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
cetakan kedua, 2008), h. 120 60
Lihat Pasal 1 butir 7 KUHAP 61
Lihat Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
34
alat bukti yang sudah ada yang menyatakan bahwa terdakwa
melakukan delik korupsi. Menurut pasal Pasal 37A ayat (3) Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi62
bahwa jaksa
penuntut umum juga tetap dibebani kewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
2. Mekanisme Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi di
Malaysia
Hukum acara tindak pidana korupsi di Malaysia terdiri dari
Penyidikan (siasatan), Penggeledahan, Penyitaan, dan Penahanan.
Penyidikan (siasatan) adalah mendeteksi, mengumpulkan, dan
menyidik informasi korupsi dan menuntut orang-orang yang
melakukan tindak pidana korupsi ke pengadilan. Penyidikan (siasatan)
memiliki tujuan untuk mendapatkan alat bukti yang menyatakan
bahwa seseorang diduga melakukan korupsi untuk dilakukan
penuntutan.
Dalam hal pelaporan dugaan korupsi di Malaysia tidak seperti di
indonesia, jika di Malaysia ada kode etik di kalangan LSM ketika ada
seseorang yang mengadukan adanya dugaan korupsi seseorang itu
tidak boleh menyebutkan nama orang yang dilaporkan ke media massa.
Nama orang yang dilaporkan itu harus dirahasiakan dan menunggu
sampai dirinya didakwa di pengadilan, hal ini sesuai dengan Pasal 21
ayat (4) Badan Pencegah Rasuah yang berbunyi:63
“Sesuatu aduan
yang dibuat di bawah subseksyen (1) hendaklah dirahsiahkan dan tidak
boleh didedahkan oleh mana-mana orang kepada mana-mana orang
62
Lihat Pasal 37 ayat (3) berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dalam ayat (1) dan
ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya. 63
Lihat Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah
1997 (Malaysia: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 1997), h. 29
35
lain selain pegawai-pegawai Badan dan Pendakwa Raya sehinggalah
orang tertuduh dipertuduh di Mahkamah atas suatu kesalahan di bawah
Akta ini atau mana-mana undang-undang bertulis lain berbangkit
daripada aduan itu.” Sebagaimana bunyi Pasal tersebut hanya boleh
diketahui oleh BPR dan Penuntut umum.
Hal pelaporan bisa diajukan dengan lisan dan tertulis. Apabila lisan,
laporan itu harus dibuat tertulis dan ditanda tangani oleh pelapor.
Kemudian, pada saat pemeriksaan dilakukan dengan memanggil orang,
dan orang yang diperiksa itu harus mengungkap semua informasi serta
tidak boleh ada yang merusak, mengubah, menyembunyikan dokumen
atau benda yang diminta pada saat pemeriksaan. Apabila seseorang itu
telah terbukti melakukan delik berdasarkan ACA, maka penuntut
umum bisa mengeluarkan perintah tertulis kepada BPR untuk
penggeledahan, dan apabila pejabat BPR yang atau berpangkat di atas
investigator (penyiasatan)64
menemukan suatu barang bergerak
menjadi bukti yang berkaitan dengan delik, hal itu bisa disita.
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Badan Pencegah Rasuah (Akta 575)
yang berbunyi:65
“Walau apa pun mana-mana undang-undang bertulis
lain, seseorang Hakim Mahkamah Tinggi boleh, apabila permohonan
dibuat kepadanya berhubungan dengan sesuatu penyiasatan apa-apa
kesalagan di bawah Akta ini, memerintahkan seseorang penguambela
dan penguamcara supaya mendedahkan maklumat yang boleh didapati
olehnya berkenaan dengan apa-apa transaksi atau urusan yang
berhubungan dengan apa-apa harta yang boleh disita dibawah Akta
ini”. Jadi, maksud dari Pasal tersebut bahwa advokat atau pengacara
dapat diisyaratkan untuk mengungkap informasi yang diketahuinya
terkait harta yang bisa disita berdasarkan dengan Undang-undang
64
Jur Andi Hamzah, Perbandingan pemberantasan korupsi di berbagai negara,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 48 65
Lihat Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah
1997 (Malaysia: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 1997), h. 37
36
Badan Pencegah Rasuah. Hal ini tidak kita jumpai di indonesia dalam
pengaturan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Badan Pencegah Rasuah
(Akta 575) yang berbunyi:66
“Tiap-tiap kesalahan di bawah Akta ini
ialah suatu kesalahan boleh tangkap bagi maksud Kanun Tatacara
Jenayah (Criminal Procedure Code).” Jadi, semua benda yang
berkaitan dengan delik dapat disita sesuai dengan ketentuan Kanun
Tatacara Jenayah (Criminal Procedure Code).
Penempatan penuntut umum (pendakwa raya) di BPR merupakan
penghubung antara BPR dan Badan Penuntut Umum. 67
sebagaimana
Pasal 31 Badan Pencegah Rasuah (Akta 575) berbunyi:68
31. (1) Walau apa pun peruntukan mana-mana undang-undang
bertulis yang lain atau mana-mana rukun undang-undang, Pendakwa
Raya, jika dia berpuas hati bahawa itu perlu bagi maksud apa-apa
penyiasatan tentang sesuatu kesalahan di bawah Akta ini, boleh
memberi kuasa secara bertulis seseorang pegawai Badan yang
berpangkat Penolong Penguasa atau yang lebih tinggi untuk
menjalankan berhubungan dengan mana-mana bank yang dinyatakan
dalam pemberikuasaan itu segala kuasa penyiasatan yang dinyatakan
dalam subsekyen (2).
(2) Seseorang pegawai Badan yang diberi kuasa di bawah
subseksyen (1) boleh, berhubungan dengan bank yang berkenaan
dengannya dia diberi kuasa sedemikian-
66
Lihat Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah
1997 (Malaysia: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 1997), h. 39 67
Jur Andi Hamzah, Perbandingan pemberantasan korupsi di berbagai negara,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 50 68
Lihat Pasal 30 Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah 1997
(Malaysia: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 1997), h. 41-42
37
(a) memeriksa dan mengambil salinan mana-mana buku bank,
akaun bank atau apa-apa dokumen yang dipunyai oleh atau ada
dalam milikan, jagaan atau kawalan bank itu;
(b) memeriksa dan mengambil salinan mana-mana akaun syer,
akaun pembelian, akaun pembelanjaan atau apa-apa akaun lain
kepunyaan mana-mana orang yang disimpan di bank itu;
(c) memeriksa kandungan mana-mana peti simpan selamat di
bank itu; atau
(d) meminta apa-apa maklumat lain yang berhubungan dengan
mana-mana dokumen, akaun atau barang yang disebut dalam
perenggan (a), (b), dan (c).
(3) walau apa pun apa-apa jua dalam subseksyen (2), seseorang
pegawai Badan yang diberi kuasa dibawah subseksyen (1) boleh
mengambil milik apa-apa buku, dokumen, akaun, hakmilik, sekuriti
atau wang tunai yang dia mempunyai akses kepadanya di bawah
subseksyen itu jika pada pendapat pegawai itu-
(a) pemeriksaannya, penyalinannya, atau pengambilan cabutan
daripadanya, tidak dapat semunasabahnya dibuat tanpa
mengambil miliknya;
(b) ia mungkin diganggu atau dimusnahkan melainkan jika dia
mengambil miliknya; atau
(c) ia mungkin diperlukan sebagai keterangan dalam mana-
mana pendakwaan bagi sesuatu kesalahan di bawah Akta ini
atau mana-mana undang-undang bertulis lain.
Maksud dari Pasal diatas bahwa jaksa/penuntut umum yang
memberi izin kepada penyidik BPR untuk melakukan pemeriksaan
buku, rekening, dan yang lainnya di bank. Berbeda dengan di
38
indonesia, jika akan melakukan pemeriksaan rekening di bank,
harus meminta izin dari pihak bank indonesia dan permintaan itu
diajukan oleh jaksa atau polisi.69
Jadi, hal ini menandakan bahwa
wewenang penyidik di Malaysia dalam memeriksa rekening di
bank lebih luas di bandingkan dengan indonesia.
Inti dari segala pembuktian pada persidangan terfokus pada
terdakwa setelah prima facie jaksa penuntut umum (pendakwa raya)
telah kuat, penggunaan sistem pembuktian terbalik di Malaysia ini
bersifat murni yang menurut Lilik Mulyadi ini menyebabkan asas
praduga tak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Sistem
pembuktian terbalik di Malaysia berlaku pada delik gratifikasi dan
suap yang diatur dalam Pasal 42 Anti Corruption Act 1997 (Act
575).70
D. Pembuktian Terbalik Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
1. Pembuktian Terbalik Menurut Hukum Positif
Sejarah membuktikan hampir disetiap Negara dihadapkan dengan
korupsi. Korupsi merupakan gejala yang sulit untuk diberantas. Berbagai
upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam memberantas tindak pidana
korupsi. Sebagai salah satu hal yang sulit dihadapi oleh penuntut umum
dalam kasus korupsi yang berskala besar adalah memenuhi beban
pembuktian ketika melakukan penuntutan kepada pelaku serta upaya untuk
mendapatkan kembali hasil korupsi.71
Upaya pembentukan Undang-
undang dalam pembuktian terbalik di indonesia tidak tanggung-tanggung,
Indonesia menerapkan dengan dua sistem, yakni sistem Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga menggunakan sistem
KUHAP.
69
Jur Andi Hamzah, Perbandingan pemberantasan korupsi di berbagai negara,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 52 70
Laws of Malaysia Anti Corruption Act 1997 (Act 575) 71
M Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), h. 13
39
a) Pembuktian Terbalik Menurut KUHAP
Pembuktian merupakan suatu ketentuan tentang bagaimana cara
dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang
suatu peristiwa.72
Dasar sistem pembuktian terdapat dalam Pasal 183
KUHAP73
yang menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”, dan ketentuan alat bukti yang sah, sebagaimana
diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang berbunyi:74
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Alat bukti petunjuk dalam kasus korupsi sangat diperlukan
dalam pembuktian. Sebagaimana dalam hukum pidana formil tindak
pidana korupsi tidak hanya dibangun melalui tiga alat bukti yang
terdapat dalam Pasal 188 KUHAP75
yaitu keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa. Diluar alat bukti yang sah tersebut dapat
diperluas hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 26A Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 yakni:76
72
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,
(Malang: Bayumedia Publishing, edisi pertama, cet 2, 2005), h. 7 73
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 306 74
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 306 75
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 308 76
Lihat Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
40
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu.
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data/informasi yang dapat
dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau performasi
yang memiliki makna.
Pada kasus tindak pidana korupsi tetap menggunakan alat bukti
yang ada dalam Pasal 184 KUHAP karena dalam ketentuan hukum
pidana formil korupsi yaitu menggunakan KUHAP sepanjang Undang-
undang korupsi tidak mengatur. Maka, alat bukti yang ada dalam Pasal
184 KUHAP tetap dipakai oleh Hakim dalam membuktikan tindak
pidana korupsi, namun ditambahkan oleh Hakim yaitu dengan
menggunakan pembuktian terbalik.
b) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Disebutkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
bahwa sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi adalah
dengan sistem pembuktian terbalik terbatas dan berimbang, serta
dengan menggunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-
undang. 77
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
77
Wawan Prasetyo, Metode Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi,
Ad daulah: Jurnal hukum dan Perundangan Islam, 5, 2, (Oktober 2015), h. 490
41
Pembuktian terbalik disebutkan dalam Pasal 37A. Bunyi Pasal
37A:78
Pasal 37A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh
bendanya dan harta benda istri atau suami, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghadilannya atau sumber
penambah kekayaan. Maka keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal
16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Substansi pembuktian yang ada pada Pasal tersebut mengacu
kepada objek yang harus dibuktikan pada tindak pidana yang
didakwakan oleh penuntut umum/jaksa sebagaimana yang
dirumuskan dalam surat dakwaan, berikut ini merupakan unsur
yang ada dalam surat dakwaan penuntut umum:79
1. Pasal 37 merupakan dasar hukum dari sistem pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi.
78
Lihat Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi 79
Wawan Prasetyo, Metode Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi,
Ad daulah: Jurnal hukum dan Perundangan Islam, 5, 2, (Oktober 2015), h. 492-493
42
2. Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan Pasal 38B merupakan
ketentuan dalam (objeknya) tindak pidana korupsi dalam
pembuktiannya menggunakan sistem pembuktian terbalik.
Sehingga, tindak pidana yang didakwa oleh penuntut
umum/jaksa merupakan aspek pokok yang harus dibuktikan oleh
penuntut umum/jaksa serta terdakwa ataupun penasihat
hukumnya. Karena ada unsur-unsur delik yang harus dibuktikan
secara bersamaan. Unsur delik pada perbuatan, ataupun unsur
delik yang melekat pada perbuatan, objek pembuktian serta diri
pelaku sendiri merupakan unsur yang perlu dibuktikan, untuk
membuktikan apakah benar atau tidaknya delik yang
didakwakan untuk si terdakwa.
Dikatakan dalam Pasal 37 ayat (1) bahwa terdakwa memiliki
hak untuk membutikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak
pidana korupsi dengan membuktikan terkait harta benda yang
terkait dengan dirinya. Ketentuan tersebut mengandung
makna:80
1. Harta benda terdakwa dapat didakwa dalam surat
dakwaan oleh penuntut umum.
2. Terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa
harta benda yang dimilikinya merupakan harta yang halal.
Sebagai contoh, terdakwa didakwa melakukan tindak pidana
korupsi oleh jaksa penuntut umum dengan bentuk dakwaan secara
berlapis. Dalam dakwaan Primer melanggar Pasal 2 ayat (1) huruf
b jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, ayat (2), ayat (3) Undang-undang
Nomor 31 Tahun1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001,
jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Lalu subsider
melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun1999 jo
80
Wawan Prasetyo, Metode Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi,
Ad daulah: Jurnal hukum dan Perundangan Islam, 5, 2, (Oktober 2015), h. 493
43
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo
Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sebagaimana dakwaan tersebut jaksa
penuntut umum harus membuktikan dakwaan tersebut mulai dari
dakwaan primer. Jika dakwaan primer telah terbukti, maka
dakwaan subsider tidak perlu dibuktikan lagi. Akan tetapi
sebaliknya, jika dakwaan primer tidak terbukti maka jaksa penuntut
umum masih perlu membuktikan dakwaan subsider.
Tidak berfungsinya pembuktian terbalik dalam tindak pidana
korupsi diperlemah oleh sistem pembuktian negatif menurut
undang-undang (teori ini dianut oleh KUHAP). Karena pada sistem
pembuktian negatif menurut undang-undang, pembuktian berada
pada tangan hakim yang dimana hakim mengacu pada alat-alat
bukti yang ada, serta dalam penjatuhkan putusan hakim mengacu
pada alat-alat bukti yang disampaikan pada saat persidangan
dengan minimal dua alat bukti, dan putusan tersebut dengan
keyakinan hakim itu sendiri. 81
Sedangkan, pengaturan perundang-undangan pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi di Malaysia diatur dalam
Undang-undang Malaysia, yaitu Pasal 42 ayat (1) Undang-undang
Malaysia Akta Pencegahan Rasuah 1997 (Akta 575) yang
berbunyi:82
“Jika dalam mana-mana prosiding terhadap mana-mana
orang atas sesuatu kesalahan dibawah seksyen 10, 11, 13, 14 atau
15 adalah dibuktikan bahawa apa-apa suapan telah disetujui-terima
atau dipersetujui untuk disetuju-terima, diperoleh atau cuba
diperoleh, diminta, diberikan atau dipersetujui untuk diberikan,
81
Jawade Hafidz, Efektifitas Pelaksanaan Sistem Pembuktian Terbalik Terhadap
Perkara Korupsi Dalam Mewujudkan Negera Hukum di Indonesia, Jurnal Sultan Agung,
XLIV, 118 (Juni-agustus 2009), h. 58 82
Lihat Pasal 42 ayat (1) Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah
1997 (Malaysia: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 1997), h. 55
44
dijanjikan atau ditawarkan oleh atau kepada tertuduh, suapan itu
hendaklah dianggap telah disetuju-terima atau dipersetujui untuk
disetuju-terima, diperoleh atau cuba diperoleh, diminta, diberikan
atau dipersetujui untuk diberikan, dijanjikan atau ditawarkan secara
rasuah sebagai dorongan atau upah bagi atau kerana perkara-
perkara yang dinyatakan dalam butir-butir kesalahan itu, melainkan
jika akasnya dibuktikan”
Terjemah secara harfiah: (Pada setiap proses terhadap setiap
orang yang didakwa melanggar Pasal 10, 11, 13, 14 atau 15, telah
dibuktikan bahwa suatu pemberian (gratification) telah diterima
atau setuju untuk diterima, diperoleh, atau dicoba untuk diperoleh,
didapatkan, diberikan atau setuju untuk diberikan dijanjikan, atau
ditawarkan oleh atau kepada terdakwa maka pemberian itu
dianggap secara korup telah diterima atau setuju untuk diterima,
diperoleh atau dicoba untuk diperoleh, didapat, diberikan, atau
setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan sebagai suatu
bujukan atau hadiah untuk suatu atau karena hal yang dinyatakan
secara khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya).
Kemudian, dalam Pasal 42 ayat (2) Badan Pencegah Rasuah
1997 berbunyi:83
“Jika dalam mana-mana prosiding terhadap mana-mana orang atas
sesuatu kesalahan dibawah seksyen 161, 162, 163 atau 164 Kanun
Keseksaan, adalah dibuktikan bahawa orang itu telah menyetuju-
terima atau bersetuju untuk menyetuju-terima, atau memperoleh
atau cuba untuk memperoleh apa-apa suapan, orang itu hendaklah
dianggap telah berbuat demikian sebagai motif atau upah bagi
perkara-perkara yang dinyatakan dalam butir-butir kesalahan itu,
melainkan jika akasnya dibuktikan ”
83
Lihat Pasal 42 ayat (2) Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah
1997 (Malaysia: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 1997), h. 56
45
Terjemah secara harfiah: Pada semua proses terhadap setiap
orang yang didakwa melanggar Pasal 161, 162, 163, or 164 KUHP,
telah dibuktikan bahwa orang itu telah menerima atau setuju untuk
menerima atau memperoleh atau mencoba untuk memperoleh suatu
pemberian (gratification), maka orang itu dianggap telah
melakukan perbuatan demikian sebagai motif atau hadiah atas hal-
hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, kecuali
dibuktikan sebaliknya).
Jadi, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa Malaysia merupakan negara yang hanya menerapkan
pembuktian terbalik pada kasus-kasus tertentu (certain cases) yakni
terhadap tindak pidana pemberian (gratification) yang konteksnya
penyuapan (beribery) kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara. Sehingga penuntut umum hanya membuktikan satu bagian
dari inti delik saja, yaitu dengan adanya pemberian (gratification),
selebihnya dianggap ada dengan sendirinya, kecuali terdakwa
membuktikannya. Pertama, pemberian itu berkaitan dengan
jabatannya, yang kedua yaitu berlawanan dengan kewajibannya.
Sebagaimana Pasal 42 ayat (2) Anti Corruption Act 1997, yang
mengatakan unsur selebihnya terdapat dalam Pasal 161, 162, 163,
or 164 KUHP (Penal Code). Maka, si penerima gratifikasi harus
membuktikan, bahwa pemberian(gratification) itu bukan motif atau
imbalan mengenai hal-hal yang disebut dalam rumusan delik itu,
hal ini tercantum dari kata …. as a motive or reward for the
matters set out in the particulars of the offence…yang merupakan
bagian intinya. Selain itu, rumusan pembuktian terbalik di Malaysia
juga berlaku bagi penerima (passieve omkoping) dan pemberi
46
(actieve omkoping) dengan kata-kata … oleh atau kepada
tertuduh.84
2. Pembuktian Terbalik Menurut Hukum Pidana Islam
a. Pengertian Risywah dan Hadiah
Pengertian risywah berasal dari bahasa Arab diartikan sebagai
gratifikasi atau disebut juga sebagai suap atau sogok. Secara
etimologi risywah berasal dari kata rasya-yarsyu dengan bentuk
mashdarnya adalah risywah, rasywah, atau rusywah yang berarti
(upah, hadiah, komisi, atau suap). Sedangkan secara terminologi,
risywah adalah sesuatu wujud yang diberikan dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan; atau sesuatu yang diberikan dalam
rangka membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. 85
Menurut MUI yang dikutip oleh Wawan Trans Pujianto,
risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain (pejabat) dengan memiliki maksud tertentu yang bersifat
batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
Pendapat lain datang dari Haryono bahwa risywah adalah
suatu pemberian baik berupa benda maupun benda yang lain
kepada penguasa (pemilik jabatan) untuk menghalalkan (atau
melancarkan) yang batil dan membatilkan yang hak atau
mendapatkan manfaat dari jalan yang tidak diperbolehkan.
Kemudian untuk sanksi risywah yakni dihukumi dengan
takzir sama halnya dengan pelaku ghulul atau penggelapan yang
dihukumi dengan takzir sebab keduanya tidak termasuk dalam
ranah qisas maupun hudud. 86
Pada zaman sekarang banyak sekali orang yang melakukan
risywah dengan dalih memberikan hadiah. Setiap tahunnya para
pejabat dan penguasa kebanjiran parcel dengan dalih memberi
84
Jur Andi Hamzah, Perbandingan pemberantasan korupsi di berbagai negara,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.84-85. 85
M Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Amzah, 2016), h. 208. 86
M Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Amzah, 2016), h. 215.
47
hadiah. Hal ini Islam memandang bahwa risywah dan hadiah
merupakan dua hal yang sangat jelas berbeda. Kedua hal tersebut
memang berupa pemberian. Tetapi, antara risywah sendiri itu
diharamkan berdasarkan dalil alqur‟an, sunnah, dan ijma‟ ulama
sedangkan hadiah itu dianjurkan oleh Islam. Sebagaimana hadis
dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu meriwayatkan hadis dari
Rasulullah SAW beliau bersabda:
تهادوا تحا بوا
Artinya: “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian
akan saling mencintai” (HR. al Bukhori)
Hadiah merupakan suatu pemberian yang diberikan kepada
seseorang sebagai bentuk penghargaan atau Ala sabilil ikram.
Perbedaan antara hadiah dan risywah adalah jika hadiah diberikan
dengan ketulusan sebagai penghargaan dan rasa kasih sayang
terhadap seseorang yang diberi, sedangkan risywah adalah
pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan maksud
tertentu.
Penjelasan tersebut membedakan antara risywah dan hadiah.
Akan tetapi, pada saat tertentu hadiah dapat dikategorikan sebagai
risywah apabila yang menerimanya adalah seorang pejabat atau
seseorang yang memiliki kekuasaan di ruang lingkup tersebut.
Sehingga dikhawatirkan adanya penggunaan kekuasaan dan
jabatan dengan memanfaatkan dalih hadiah. Hal ini Ibnu Qudamah
dalam al Mughni menjelaskan bahwa:87
ولا يقبل هدية من لم يكن يهدي إليه قبل ولايته
Artinya: Dan tidak menerima hadiah (bagi pejabat) kecuali dari
orang yang terbiasa memberi hadiah sebelum dia menduduki
jabatannya).
87
Ibnu Qudamah, Al mughni, (Beirut: Darul fikr, 1984), cet 1 jilid 10, h. 437.
48
وذلك لأن الهدية يقصد بها في الغالب اسنمالة قلبه ليعتني به الحكم فتشبه
الشوة
Artinya: “Larangan memberi hadiah kepada pejabat tersebut
karena hadiah secara umum bertujuan agar yang diberi hadiah
hatinya condong sehingga diperhatikan ketika terjadi masalah hukum.
Dari situlah hadiah pejabat mirip dengan risywah”
b. Pembuktian terbalik menurut hukum pidana Islam
Tidak hanya dalam tata hukum di Negara Indonesia ataupun di
Malaysia. Pembuktian juga memegang peranan penting dalam hukum
pidana Islam. Dengan tujuan yang sama, yaitu menegakkan keadilan
dan menyatakan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas apa
yang diperbuat. Bagaimana jika seseorang yang didakwa dinyatakan
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan dan terbukti atas alat-
alat bukti yang ada, dan disertai dengan keyakinan hakim, padahal itu
tidak benar. Maka, disinilah fungsi hukum pidana islam untuk mencari
kebenaran materiil.88
Istilah pembuktian dalam ilmu fiqih disebut dengan al-Bayyinah
karena dengan pembuktian akan menampakkan makna dua hal yang
paling benar. Istilah lain al-bayyinah yaitu ad-dalil, al-itsbat, al-
burhan, dan asy-syuhud, istilah tersebut memiliki makna yang sama
dengan al-bayyinah. 89
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pandangan Islam perbuatan
korupsi adalah haram karena bertentangan dengan maqashid al-syariah
(tujuan hukum islam). Metode pembuktian terbalik merupakan upaya
pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk mengembalikan keuangan
Negara yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi dari tangan-tangan
88
Wawan Prasetyo, Metode Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi,
Ad daulah: Jurnal hukum dan Perundangan Islam, 5, 2, (Oktober 2015), h. 481. 89
Yusuf, Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Untuk Kasus Korupsi Kajian
Antara Hukum Positif dan Hukum Islam, Jurnal Episteme, 8, 1 (Juni, 2013), h. 219
49
yang kotor. Para ulama menyimpulkan bahwa tujuan syariat Islam
(maqashid al-syariah) adalah dengan mewujudkan kemaslahatan umat
di dunia dan akhirat yang berarti bahwa peraturan syariat ditetapkan
dan diberlakukan untuk kepentingan hamba-Nya. Maka dari itu, dalam
menentukan hukum dampak baik ataupun buruk dari segala sesuatu
menjadi bahan pertimbangan.90
Sehingga dalam hukum pidana islam khususnya mekanisme
pembuktian menggunakan metode pembalikan beban pembuktian atau
dikenal dengan pembuktian terbalik yang merupakan hal baru dalam
teori pembuktian terbalik. 91
Sebagai contoh peristiwa dalam Islam
yang disamakan dengan metode penerapan pembuktian terbalik atau
pembalikan beban pembuktian ini terjadi pada kisah Nabi Yusuf a.s,
dalam alqur‟an dan Hadis.92
Dalam Alqur‟an Surah Yusuf ayat 24-29 merupakan kisah Nabi
Yusuf as. yang dituduh melakukan asusila terhadap majikannya
(zulaikha). Berikut bunyi Q.S Yusuf ayat 24-29:93
وء والفحشاء إنه من ت به وهم بها لولا أن رأى ب رهان ربه كذلك لنصرف عنه الس ولقد هم
ت قميصه من دبر وألفيا سيدها لدى الباب قالت (24)عبادنا المخلصين واستب قا الباب وقد
قال هي راودتني عن ن فسي (25)ما جزاء من أراد بأهلك سوءا إلا أن يسجن أو عذاب أليم
وإن كان (26)وشهد شاهد من أهلها إن كان قميصه قد من ق بل فصدقت وهو من الكاذبين
ا رأى قميصه قد من دبر قال إنه (27)قميصه قد من دبر فكذبت وهو من الصادقين ف لم
90
Bambang Widjoyanto, Abdul Malik Gismar, Laude M. Syarif, korutor itu
kafir (Telaah Fiqh Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)), (Jakarta:
Mizan Publika, 2010), h. 97 91
Muhammad Tahmid Nur, Kapria Tri Gunawan, dan Takdir, Menguras Kasus
Korupsi Dengan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia, (Palopo: Lembaga Kampus IAIN Palopo, 2018, cet pertama), h. 126 92
Muhammad Tahmid Nur, Kapria Tri Gunawan, dan Takdir, Menguras Kasus
Korupsi Dengan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia, (Palopo: Lembaga Kampus IAIN Palopo, 2018, cet pertama), h. 120 93
Departemen Agama RI, Al-qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Hati Emas,
2007)
50
يوسف أعرض عن هذا واست غفري لذنبك إنك كنت من (28)من كيدكن إن كيدكن عظيم
(29)الخاطئين
Artinya:
“Dia (Yusuf) berkata, “Dia yang menggodaku dan merayu diriku.”
Seorang saksi dari keluarga perempuan itu memberikan kesaksian, “jika
baju gamisnya koyak di bagian depan, maka perempuan itu benar, dan dia
(Yusuf) termasuk orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di
bagian belakang, maka perempuan itulah yang dusta, dan dia (Yusuf)
termasuk orang yang benar.” Maka ketika dia (suami perempuan itu)
melihat baju gamisnya (Yusuf) koyak di bagian belakang, dia berkata,
“sesungguhnya ini adalah tipu dayamu. Tipu dayamu benar-benar hebat.”
Wahai Yusuf! “Lupakanlah ini, dan (istriku) mohonlah ampunan atas
dosamu, karena engkau termasuk orang yang bersalah.” (Q.S Yusuf [12]:
26-29)
Ada tiga masalah yang dibahas dari ayat ini, yaitu:94
1. Para ulama mengatakan bahwa, “Ketika wanita itu membebaskan dirinya,
dan tidak benar-benar mencintainya-karena di antara tanda cinta adalah
mendahulukan orang yang dicintainya-, yusuf berkata
„Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya), Nabi Yusuf as.,
telah berkata dengan benar ketika menghadapi kebohongan wanita itu
kepadanya.
Menurut Nauf Asy-Syami dan yang lain mengatakan, “Seolah-olah Yusuf
AS tidak mau membuka tabir masalah, sehingga ketika perempuan itu
membangkang, Yusuf AS marah dan berkata benar.”
94
Syaikh Imam Al-Qurtubi, Terjemahan Tafsir Al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), Jilid 9, h. 388-391
51
2. Dalam Firman Allah SWT, “Dan seorang saksi dari
keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya,” karena dari kedua pihak
ketika bertentangan, raja itu berpendapat dengan seorang saksi untuk
mengetahui yang jujur dan yang dusta. Kemudian, seseorang dari
keluarganya bersaksi, yaitu dengan mengangkat hakim dari pihak keluarga
perempuan, karena dengan mengangkat hakim dari dirinya sendirinya
tidak termasuk sebagai suatu kesaksian. Sehingga, terkait dengan masalah
saksi, ada empat pendapat yang berkembang.
3. Dari keempat pendapat saksi yang berkembang, dan jika saksi itu anak
bayi, maka tidak ada sumber untuk mengamalkan tanda itu. Namun,
apabila seorang laki-laki, maka benar jika dijadikan hujjah dalam
keputusan itu dengan adanya tanda pada barang temuan. Seperti kasus para
maling yang dikemukakan oleh Imam Malik, apabila ada seseorang yang
membawa barang yang dibawanya, kemudian ada sekelompok orang dan
mengaku bahwa pemiliknya datang, sementara mereka tidak memberikan
bukti, maka pihak yang berwenang (hakim) menunggu mereka
(pemiliknya yang akan datang). Tetapi, apabila tidak ada lagi selain
mereka yang mengaku bahwa itu barang miliknya, maka barang itu
diserahkan kepada mereka.
Suatu pelajaran yang bisa kita petik pada Kisah Nabi Yusuf as.,
bahwa meskipun hanya satu orang saksi yang memberikan suatu
keterangan dalam peristiwa hukum tersebut dapat diterima oleh pihak yang
bersengketa, hal ini disebabkan karena adanya alat bukti petunjuk (qarinah)
seperti terbuktinya pakaian Nabi Yusuf as., yang koyak pada bagian
belakang, sehingga bisa meyakinkan para pihak. Jika dikaitkan dengan
Pasal 185 ayat 2 KUHAP95
yang menyatakan bahwa keterangan satu saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, maka satu orang
95
Lihat Pasal 185 ayat 2 KUHAP berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya.”
52
saksi tidak bisa diterima sebagai alat bukti, namun mengingat keterangan
itu didukung oleh alat bukti lainnya yang sah, maka satu orang saksi itu
bisa diterima. Jadi, pembuktian dalam peristiwa hukum tersebut
menyatakan bahwa alat bukti digunakan oleh pihak yang tergugat untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana yang ada dalam surat dakwaan. Sedangkan pihak yang
menuduh tidak melakukan upaya pembuktian, sehingga pembuktian yang
dilakukan oleh pihak tertuduh dapat meyakinkan pihak lain. Hal ini
menganut teori negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke
overtuiging) bahwa pembuktian harus berdasarkan undang-undang dan
keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti.
Selain itu, hadis juga memandang konsep pembuktian terbalik.
Ketentuan ini berdasarkan pada hadis yang berbunyi:
حد ثني أب و الطا هر أحد بن عمر و بن سرح أخب رنا ابن وهب عن ابن جريج عن ابن أب مليكة
عن ابن عباس أن النب صلى الله عليه و سلم قال لو ي عطى الناس بدعواهم لادعى ناس دماء رجال
عى عليه وأموالم ولكن اليمي على المد
4445. Abu Ath-Thahir Ahmad bin Amr bin Sarh telah
memberitahukan kepada kepadaku, dan Ibnu Wahb telah mengabarkan
kepada kami dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu Abbas
bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “seandainya
manusia diberikan atas tuntutannya, tentu manusia (dengan mudah) akan
menggugat darah dan harta benda orang lain, akan tetapi orang yang
digugat (terdakwa) haruslah (menolak) dengan sumpah.” (HR. Muslim)
Imam al-Nawawi menjelaskan dalam syarahnya, menurutnya hadis
ini merupakan kaidah dasar dari beberapa kaidah yang penting dalam
syariat. Yang didalamnya terdapat nasehat bahwa tidak bisa diterima
dakwaan/gugatan seseorang, tanpa disertai dengan bukti-bukti atau
pengakuan terdakwa. Karena itu memang sudah ketentuan dasarnya, agar
53
orang tidak semena-mena menggugat/mendakwa harta dan darah orang
lain. 96
Hadis tersebut dilatarbelakangi oleh kejadian Ibnu Abi Mulaykah
menerima hadist dari Ibnu Abbas ketika ia melaporkan suatu peristiwa,
yaitu dua orang wanita yang sedang melakukan menjahit pakaian (kulit)
dengan alat pelubang di sebuah rumah. Salah satu wanita itu tertusuk alat
pelubang sampai berdarah. Kemudian ia keluar dan mengadu kepada Ibnu
Abi Mulaykah bahwa ia tertusuk alat pelubang yang disebabkan oleh
temannya. Tapi, wanita itu tidak memberikan bukti atau saksi. Sehingga,
Ibnu Abi Mulaykah mengadukan peristiwa tersebut kepada Ibnu Abbas.
Kemudian Ibnu Abbas mengucapkan Hadis Nabi Saw tersebut. 97
Penjelasan hadis diatas sangatlah jelas bahwa pernyataan manusia
tidak bisa diterima begitu saja, tanpa disertai dengan bukti/saksi. Beliau
Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengemukakan hikmah
daripada pelarangan yang hanya sekedar mengklaim, karena jika
mencukupkan dengan yang demikian manusia akan terus menggugat darah
dan harta orang lain, sehingga terdakwa akan tidak bisa melindungi harta
karena telah dihalalkan, sedangkan si penggugat bisa melindungi harta
bendanya dengan bukti.98
Selain itu, konteks hadis tersebut memberikan
perlindungan hak-hak bagi terdakwa. Salah satu bentuk perlindungan hak
asasi manusia adalah penuntut umum wajib memberikan bukti-bukti dalam
dakwaannya. Meskipun bukti-bukti tersebut masih perlu untuk diperiksa
kebenarannya dan dikonfirmasi dalam persidangan kepada terdakwa. 99
96
Imam Al-Nawawi, Terjemahan Syarah Shahih Muslim,(Jakarta: Darus Sunnah,
2012), Jilid 8, hadist nomor 4445, h. 452-453 97
Abdulahanaa, Penerapan asas pembuktian terbalik terhadap kasus pidana
korupsi dalam perspektif hukum islam. Jurnal Kajian Hukum Islam Al manahij, VII, 02,
(Juli 2013), h. 300 98
Imam Al-Nawawi, Terjemahan Syarah Shahih Muslim, (Jakarta: Darus
Sunnah, 2012), Jilid 8, hadist nomor 4445, h 452-453 99
Abdulahanaa, Penerapan asas pembuktian terbalik terhadap kasus pidana
korupsi dalam perspektif hukum islam. Jurnal Kajian Hukum Islam Al manahij, VII, 02,
(Juli 2013), h. 300
54
Ketentuan pembuktian dalam hukum islam mengalami
perkembangan. Dimana perkembangan pertama menyebutkan bahwa
beban pembuktian berada pada pihak pendakwa/penggugat, setelah
mengalami perkembangan disebutkan bahwa beban pembuktian berada
pada kedua belah pihak secara berimbang. Dengan adanya perkembangan
beban pembuktian dalam hukum islam, juga menganut teori bebas.
Menurut teori ini telah dijelaskan sebagaimana dalam penjelasan umum,
serta berwujud dalam pasal 37 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
bahwa tergugat mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, sedangkan penuntut umum tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Menurut Mazhab Syafi‟i yang dikutip oleh Analiansyah bahwa
beban pembuktian terbalik terbatas dan berimbang merupakan
pengecualian dari sebelumnya yaitu beban pembuktian yang terletak pada
pendakwa/penggugat. Dalil yang menguatkan ketentuan itu adalah hadis
Jabir yang menerangkan bahwa ada dua orang laki-laki yang sedang
bersengketa dihadapan Nabi Saw mengenai binatang ternaknya, yaitu unta.
Sehingga masing-masing dari keduanya menyampaikan alat bukti saksi
bahwa binatang ternak itu merupakan miliknya dengan memeliharanya,
kemudian Rasul memutuskan untuk orang yang mana hewan tersebut ada
ditangannya.
Sebagai alat bukti pernyataan diatas adalah penguasaan unta yang
merupakan sebagai alat bukti kepemilikan karena penggugat tidak
memberikan alat bukti yang lebih meyakinkan, sehingga Nabi Saw
mengalahkan penggugat. Peristiwa ini dijadikan oleh Mazhab Syafi‟i
sebagai bentuk pengecualian dari hadis yang berbunyi “bukti atas mudda‟i
dan sumpah atas mudda‟a „alaihi”.
55
BAB IV
IMPLEMENTASI PEMBUKTIAN TERBALIK PADA KASUS
KORUPSI DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Konsep Pembuktian Terbalik Pada Kasus Korupsi di Negara
Indonesia dan Malaysia
Konsep pembuktian terbalik Indonesia dan Malaysia menggunakan
konsep yang berbeda. Indonesia dan Malaysia sebagai salah satu negara
yang menerapkan sistem pembuktian terbalik dalam delik korupsi.
Sebagaimana penjelasan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa
Indonesia menerapkan konsep pembuktian terbalik terbatas dan berimbang,
sedangkan Malaysia menggunakan konsep pembuktian terbalik murni.
Pembuktian terbalik terbatas dan berimbang yaitu terdakwa diberi hak
untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi,
dan wajib memberi keterangan terkait harta kekayaan yang diduga
berkaitan dengan dirinya, serta penuntut umum tetap diwajibkan untuk
membuktikan dakwaannnya.
Kata-kata bersifat “terbatas” memiliki makna yang terbatas dalam
persidangan. Pada persidangan di pengadilan yang seharusnya jaksa
penuntut umum yang membuktikan dakwaannya. Namun, pada kasus
korupsi ini berbeda beban pembuktian terletak pada terdakwa dan jaksa
penuntut umum. Sehingga antara terdakwa dan jaksa saling membuktikan
di sidang pengadilan.
Sedangkan kata “berimbang” diartikan bahwa seorang terdakwa yang
melakukan korupsi harus membuktikan bahwa harta benda yang
dimilikinya bukan hasil dari tindak pidana korupsi, misalnya si A
melakukan korupsi yang memiliki sebuah mobil namun si A menyatakan
bahwa mobil tersebut bukan hasil dari korupsi, melainkan hasil dari
warisan orang tuanya. Dalam hal ini si A bisa membuktikan bahwa harta
yang dimilikinya bukan hasil dari korupsi dengan dibuktikannya input
56
terdakwa sudah terbukti bahwa terdakwa tidak melakukan korupsi. Namun,
dalam suatu proses persidangan yang berhak atau diwajibkan untuk
membuktikan dakwaannya adalah Jaksa Penuntut Umum. Sehingga kata
“berimbang” diartikan juga sebagai Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa
saling membuktikan. Apabila Jaksa Penuntut Umum membuktikan
perbuatannya/dakwaannya, sedangkan terdakwa membuktikan asal-usul
harta yang berkaitan dengannya. Jadi, seperti inilah sifat terbatas dan
berimbang.
Pembuktian terbalik terbatas (murni) yang diberlakukan di Malaysia
diatur dalam Anti Corruption Act yang dijelaskan bahwa pembuktian
terbalik yang bersifat murni yaitu suatu pembuktian terbalik yang tidak
hanya diberlakukan kepada terdakwa korupsi, melainkan diterapkan
kepada seluruh pejabat negara. Sehingga apabila pejabat negara bisa
membuktikan harta yang dimilikinya bukan hasil dari tindak pidana. Maka,
harta yang tidak bisa dibuktikan oleh pejabat negara itu termasuk dalam
korupsi. Hal ini belum diterapkan di Indonesia. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya Indonesia hanya menerapkan pada terdakwa korupsi dan
Tindak Pidana Pencucian Uang saja.
Malaysia memberlakukan asas pembuktian terbalik mulai tahun 1961
dengan mengikuti asas praduga berbuat korupsi (presumption of
corruption), artinya seseorang yang dituduh melakukan korupsi, sejak
awal sudah dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sehingga,
dengan asas tersebut, terdakwa/tersangkalah yang memikul beban
pembuktian serta harus membuktikan terkait apa yang didakwakan
kepadanya bahwa dakwaan tersebut tidak benar. Di negara Malaysia jika
seseorang yang didakwa melakukan korupsi, dan ia tidak dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka hakim menyatakan bersalah
tanpa jaksa penuntut umum melakukan lagi pembuktian untuk kebenaran
terdakwa.
57
Tabel 1. Konsep pembuktian terbalik
No. Negara Objek Pasal Beban
Pembuktian
1. Indonesia
Gratifikasi (Rp
10.000.000,-
atau lebih)
Pasal 12B
ayat (1)
huruf a
Sistem terbalik
murni
Harta benda
yang sudah
didakwakan
Pasal 37 A
Pembuktian
terbalik
terbatas/berimbang
atau sistem
pembuktian semi
terbalik
Harta benda
yang belum
didakwakan
Pasal 38 B
Sistem terbalik
murni
2
2. Malaysia
Gratifikasi &
suap
Pasal 42
ayat (1) dan
ayat (2)
Pembuktian
terbalik murni
Berdasarkan tabel diatas, ditemukan perbedaan terkait konsep
pembuktian terbalik di negara Indonesia dan Malaysia:
Pertama, Indonesia menerapkan pembuktian terbalik pada kasus
suap menerima gratifikasi, harta yang sudah didakwakan, dan harta yang
belum didakwakan. Sedangkan Malaysia hanya menerapkan sistem
pembuktian terbalik pada kasus suap menerima gratifikasi saja. Jika dilihat
indonesia mengatur lebih kompleks dibandingkan dengan Malaysia.
Kedua, Indonesia menerapkan pembuktian terbalik dalam kasus
suap menerima gratifikasi diatur dalam pasal 12B ayat (1) huruf a, kasus
harta yang sudah didakwakan diatur dalam Pasal 37 A, dan kasus harta
58
benda yang belum didakwakan diatur dalam pasal 38 B. Sedangkan kasus
gratifikasi di Malaysia diatur dalam pasal 42 ayat (1) dan ayat (2).
Ketiga, Indonesia menerapkan objek pembuktian untuk kasus
gratifikasi (Rp 10.000.000,- atau lebih) dengan menggunakan sistem
terbalik murni. Sistem terbalik murni merupakan sistem beban pembuktian
yang sepenuhnya berada dipihak terdakwa, untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan korupsi, penuntut umum disini hanya perlu membuktikan
bahwa terdakwa merupakan penyelenggara negara dan ada gratifikasi yang
diterima oleh penyelenggara negara/ pegawai negeri tersebut. Kemudian,
untuk kasus harta benda yang sudah didakwakan merupakan beban
pembuktian terbatas dan berimbang, yaitu antara penuntut umum dan
terdakwa/penasihat hukum sama-sama saling membuktikan, penuntut
umum tetap berkewajiban untuk membuktikan pidana pokoknya,
sedangkan terdakwa membuktikan asal-usul harta benda terhadap apa
yang didakwakan oleh penuntut umum. Lalu, untuk kasus harta benda
yang belum didakwakan oleh penuntut umum menggunakan sistem semi
terbalik. Sistem semi terbalik yaitu pada saat proses persidangan penuntut
umum memiliki fakta baru terhadap kekayaan terdakwa dan penuntut
umum berkeyakinan terhadap harta kekayaan yang dimiliki terdakwa
berasal dari perbuatan korupsi, maka penuntut umum menuntut untuk
dijatuhkan pidana perampasan harta benda terdakwa dalam surat
tuntutannya. Karena adanya surat tuntutan penuntut umum, maka hakim
perlu membuka sidang pembuktian secara khusus (Pasal 38 B ayat 5).
Apabila hakim membuka persidangan kembali, maka terdakwa harus
membuktikan bahwa harta benda yang dimilikinya bukan berasal dari
tindak pidana korupsi. Tetapi, apabila terdakwa tidak dapat membuktikan
terkait harta benda yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana
korupsi, maka harta benda tersebut dianggap diperoleh dari perbuatan
korupsi, dan hakim berwenang untuk memutuskan seluruh atau sebagian
harta benda yang dimiliki terdakwa tersebut dirampas untuk negara (Pasal
59
38 B ayat 2). Berbeda dengan Malaysia pada kasus gratifikasi yang
berkaitan dengan suap menggunakan sistem pembuktian terbalik murni,
yaitu terdakwa/tersangkalah yang memikul beban pembuktian, apabila ia
tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka hakim
menyatakan bersalah tanpa jaksa penuntut umum melakukan lagi
pembuktian untuk kebenaran terdakwa.
Pembuktian terbalik merupakan sarana sebagai untuk meminimalisasi
kasus korupsi. Karena sifatnya dalam tindak pidana korupsi dan tindak
pidana pencucian uang bersifat follow the money (mengejar uang yang
dicuri). Sehingga uang yang dicuri oleh para koruptor tersebut dikejar
dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik. Dimunculkannya
pembuktian terbalik untuk mendukung adanya pembuktian, sehingga
dalam pembuktian kasus korupsi yang bersifat extra ordinary crime tidak
terlalu sulit. Selain itu, dalam menegakkan hukum korupsi itu harus
menggunakan extra ordinary enforcement (menggunakan penegakkan
hukum yang super) maka dimunculkanlah pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas dan berimbang yang diterapkan di Indonesia dan bersifat
murni yang diterapkan di Malaysia.
Dalam hal itu Indonesia telah mengikuti United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) dijelaskan dalam Pasal 31 ayat (8) UNCAC
mengenai pembuktian bahwa Negara dapat mempertimbangkan untuk
mewajibkan pelaku korupsi untuk menunjukan terkait asal-usul dari apa
yang diduga sebagai hasil tindak pidana atau kekayaan lain yang dapat
dirampas, sepanjang kewajiban tersebut sesuai dasar hukum dan proses
pengadilan.100
Perbedaan konsep pembuktian terbalik Indonesia dan Malaysia
merupakan permasalahan yang penulis kaji dalam penelitian ini.
100
Pasal 31 ayat (8) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
Tahun 2003 berbunyi: States parties my consider the possibility of requiring that an
offender demonstrate the lawful origin of such alleged proceeds of crime or other
property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the
fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other
proceedings.
60
Pembuktian terbalik terbatas dan berimbang dimana pembuktian terletak
pada kedua pihak antara jaksa penuntut umum dan terdakwa merupakan
konsep yang sudah sedemikian rupa dirancang oleh pemerintah Indonesia
dalam mengatasi kasus korupsi. Begitupun Malaysia yang menggunakan
konsep pembuktian terbalik murni.
Selain itu, perbedaan konsep pembuktian terbalik Indonesia dan
Malaysia yang diterapkan kepada penyelenggara negara dan terdakwa
kasus korupsi menjadi pembahasan yang penulis kaji. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia menerapkan pembuktian terbalik
kepada terdakwa kasus korupsi saja, sedangkan Malaysia menerapkan
pembuktian terbalik tidak hanya kepada terdakwa korupsi melainkan
diterapkan juga kepada penyelenggara negara yang tercantum dalam Anti
Corruption Act . Sebagai contoh apabila ada seorang pejabat negara yang
menghasilkan gaji 3juta/bulan dalam 1 tahun ia mendapatkan total gaji
36juta. Tapi dia memiliki totalan harta kekayaan yang dimilikinya pada
saat pelaporan kekayaan dengan total 50juta. Maka, total 14juta tersebut
perlu dipertanyakan karena pendapatan yang dihasilkan pejabat negara
tersebut tidak sesuai dengan harta yang dimilikinya. Jadi, apabila di
Malaysia pejabat negara harus membuktikan terkait harta yang dimilikinya
bahwa itu bukan hasil dari korupsi.
Menurut penulis, alangkah lebih bagus apabila Indonesia menerapkan
konsep pembuktian terbalik yang diterapkan kepada pejabat negara dan
terdakwa korupsi. Karena hal itu sudah sangat jelas meminimalisasi kasus
korupsi di Malaysia.
Namun, setiap negara memiliki sistem dan cara mengatasi kasus
korupsi yang berbeda-beda sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Negaranya. Begitupun dengan konsep pembuktian terbalik
Indonesia dan Malaysia. Menurut penulis, konsep pembuktian di Indonesia
sudah sangat relevan sesuai dengan fakta bahwa Indonesia merupakan
negara yang korup dan sangat sulit dimasa sekarang untuk menangani
kasus korupsi terlebih dengan kecanggihan teknologi dan modus operandi
61
yang sudah sangat beragam dan sulit diberantas. Dengan adanya
pembuktian terbalik merupakan suatu usaha pemerintah dalam
meminimalisir laju korupsi, dan semua berharap dengan adanya sistem
pembuktian terbalik bisa mengurangi kasus korupsi. Namun, konsep
pembuktian terbalik yang diterapkan Indonesia dan Malaysia berbeda.
Menurut penulis, pembuktian terbalik Indonesia dan Malaysia tidak
bisa di samakan. Indonesia tidak bisa menerapkan sistem pembuktian
terbalik murni seperti di Malaysia karena melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM). Indonesia memiliki Undang-undang Hak Asasi Manusia yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Begitupun dengan
Malaysia yang memiliki Undang-undang Hak Asasi Manusia yang diatur
dalam UUD Malaysia (Perlembagaan Persekutuan) namun kedua konsep
Undang-undang Hak Asasi Manusia antara Indonesia dan Malaysia
berbeda. Selain itu, pemahaman dan pemberlakuan HAM disesuaikan
dengan kondisi budaya dan masyarakat negara tersebut.
Sebagaimana pendapat Prof Oemar Seno Adji, SH yang dikutip oleh
Jawade Hafiz bahwa pembuktian terbalik absolute (murni) “reversal of
burden proof” akan menimbulkan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia,
khususnya pelanggaran asas praduga tak bersalah dan “non self-
incrimination”, sehingga Indonesia hanya menerapkan pembuktian
terbalik terbatas dan berimbang “shifting of burden proof” untuk
memberikan kesempatan terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak
bersalah atas apa yang didakwakan oleh penuntut umum.
Perbedaan UU hak asasi manusia Indoesia dan Malaysia menurut
Arifin Hidayat, dalam UU HAM di Indonesia hak-hak warga negara
dijamin serta diyakini seimbang dengan kewajibannya, sedangkan
Malaysia dimaknai dengan kebebasan asasi (fundamental liberties) yang
bisa diubah oleh parlemen sebagai suatu perwujudan dari keinginan rakyat
sepanjang tidak bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Pembuktian terbalik murni Malaysia yang tidak bisa diterapkan di
Indonesia ini terletak pada pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
62
Hal ini tidak bisa diimplementasikan karena bertentangan dengan HAM
dalam Pasal 18 ayat (1) UU Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang
berhak tidak dianggap bersalah sampai dibuktikan kesalahannya. 101
Selain
itu, ketika terdakwa tidak bisa membuktikan sebaliknya atas apa yang
didakwakan jaksa penuntut umum, maka hakim akan menyatakan bersalah
tanpa jaksa penuntut umum melakukan pembuktian lagi. Hal inilah yang
rentan akan menimbulkan kesewenang-wenangan penegak hukum.
Berbeda dengan di Indonesia dimana pembuktian terletak pada kedua
belah pihak yang sama-sama saling membuktikan.
Sebagaimana Pasal 37 ayat (1) dimaknai bahwa terdakwa wajib
membuktikan sebaliknya tentang tuduhan tindak pidana korupsi terhadap
apa yang didakwakan kepadanya. Selanjutnya dipertegas lagi dalam Pasal
37 ayat (2) pada intinya jika berdasarkan pada keterangan yang akhirnya
terdakwa membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka dalam hal pembuktian itu akan digunakan oleh pengadilan sebagai
dasar bahwa dakwaan jaksa tidak terbukti. Secara hukum, pengadilan akan
mengeluarkan putusan bahwa terdakwa bebas dari segala tuduhan.
Namun, pernyataan diatas tidak sepenuhnya benar. Sebab, keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang didakwakan. Secara yuridis tidak menghapuskan
kewajiban bagi jaksa untuk membuktikan dakwaannya. Sekalipun
terdakwa dapat memberikan keterangan terkait harta kekayaan hasil yang
sah (tidak melakukan tindak pidana korupsi).
Pada saat penyidikan kasus korupsi apabila terdakwa/tersangka dapat
membuktikan secara sah kepada penyidik terkait asal-usul harta kekayaan
yang berkaitan dengannya, maka berkas perkara tersebut tetap akan
dikirim kepada jaksa penuntut umum untuk dibuktikan di pengadilan.
Kemudian, jika memang terdakwa tidak bisa membuktikannya, maka
101
Lihat Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia
63
penerusan berkas perkara ke pengadilan tentu hal yang sangat wajar dan
memang sudah seharusnya.102
Kemudian, apabila di persidangan pengadilan terdakwa masih tidak
mampu untuk membuktikan terkait harta kekayaan yang berkaitan
dengannya, maka hal ini tidak bisa secara langsung mengklaim bahwa ia
dijatuhi pidana korupsi. Karena dengan ketidakmampuan
terdakwa/tersangka dalam pembuktian oleh pengadilan hanya digunakan
sebagai memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa ia melakukan tindak
pidana korupsi. Hal ini bukan dijadikan sebagai satu-satunya alat bukti
yang bersifat otomatis untuk mempidana seseorang. Sebagaimana
pendapat Hamzah Hasan, Hakim tidak lagi semata-mata menilai seseorang
hanya berdasarkan pada norma hukum materil dan keyakinannya,
melainkan juga harus mendengarkan keterangan terdakwa yang berisi
pengakuan mengenai apa yang dialami dan diketahuinya pada saat
kejadian.
Menurut Lilik Mulyadi pakar hukum Indonesia, meskipun penerapan
pembalikan beban pembuktian beralih menjadi beban pembuktian dari
jaksa penuntut umum kepada terdakwa seperti yang diterapkan Malaysia
dilarang terhadap kesalahan orang/perbuatan orang terhadap delik korupsi.
Akan tetapi, jika ditelaah secara normatif diperbolehkan untuk kasus
tertentu seperti gratifikasi delik penyuapan dan delik perampasan harta
kekayaan orang yang melakukan korupsi.
B. Efektifitas Pembuktian Terbalik Pada Kasus Korupsi di Negara
Indonesia dan Malaysia
Pembuktian terbalik membantu meminimalisasi kasus korupsi dalam
hal pembuktian yang dikatakan cukup sulit. Hal ini dibuktikan dengan
beberapa contoh kasus korupsi di Indonesia dan Malaysia yang telah
mengimplementasikan pembuktian terbalik dalam hal pembuktian.
102
M. Abdul, Kholiq, Asas Pembuktian Terbalik Dalam Penyelesaian Kasus
Kejahatan Korupsi, jurnal hukum, 09, 20, (Juni, 2002), h . 61-62
64
Kejahatan korupsi menimbulkan kerugian besar bagi setiap negara.
Dengan didirikannya Corruption Perceptions Index (CPI) pada tahun 1995,
produk penelitian unggulan Transparency International telah menjadi
indikator global utama korupsi sektor publik. Indeks ini menawarkan
gambaran tahunan tentang tingkat korupsi relatif berdasarkan peringkat
negara dan wilayah dari seluruh dunia. Selain itu, Global Corruption
Barometer merupakan satu-satunya survei opini publik dunia tentang
korupsi dan praktik suap yang telah debut pada tahun 2003. Barometer
korupsi global telah mensurvei pengalaman orang-orang biasa dalam
menghadapi korupsi di seluruh dunia, dan ditanyai tentang pandangan
serta pengalaman mereka tentang korupsi. 103
Berikut ini merupakan tabel Skor Corruption Perceptions Index (CPI)
di Negara ASEAN:104
Tabel 2. Skor dan Rank Corruption Perceptions Index (CPI) di Negara
ASEAN Tahun 2020.
N Negara Skor Rank
1 Singapura 85 3
2 Brunei Darussalam 60 35
3 Malaysia 51 57
4 Timor Leste 41 86
5 Indonesia 37 102
6 Vietnam 36 104
7 Thailand 36 104
8 Philiphina 34 115
9 Laos 29 134
1 Myanmar 28 137
Sumber: transparency.org
103
Https://ti.or.id/global-corruption-barometer-2020-indonesia/, diakses pada
tanggal 03 Juli 2021. 104
Https://www.transparency.org/en/countries, diakses pada tanggal 03 Juli 2021.
65
Pada tabel 2 menunjukan betapa korupnya negara Indonesi. Sebuah
negara diberi skor pada skala “0” (sangat korup) hingga 100 (bersih dari
korupsi), kemudian diberi peringkat sesuai dengan skor yang negara
tersebut peroleh. Pada tahun 2020 dapat kita lihat negara Singapura berada
diposisi pertama negara ASEAN dan mendapat ranking ke 3 dengan skor
85 dari 180 negara yang survei. Sedangkan Malaysia berada di posisi ke 3
dengan Ranking 57/180 dan skor 51/100, lalu indonesia berada diposisi ke
5 dengan Ranking 102/180 dan skor 37/100. Sayangnya, situasi tidak
menguntungkan Indonesia karena skornya menurun. Corruption
Perception Index (CPI) menyatakan bahwa indonesia menurun 3 point
dibandingkan dengan tahun 2019. Pada tahun 2019 indonesia
mendapatkan skor 40/100 dengan ranking 85/180. Sedangkan, Malaysia
menurun 2 Point pada tahun 2019 yakni dengan skor 53/100 dan rangking
51/180. Namun, jika dibandingkan dengan Malaysia, indonesia masih
kalah jauh. Tidak salah jika memang indonesia disebut sebagai negara
terkorup.
Indonesia menerapkan pembuktian terbalik pada beberapa kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia. Salah satu contoh kasus yang terjadi di
Indonesia menjerat Dhana Widyatmika yang merupakan seorang mantan
pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat kasus korupsi dan
pencucian uang. Tim tindak pidana khusus Kejaksaan Agung menerapkan
metode pembuktian terbalik. Pihak Dhana membantah bahwa harta
kekayaannya bukan hasil dari korupsi, melainkan hasil dari orangtuanya
yang kemudian ia kembangkan dalam bisnis.105
Jaksa penuntut umum
telah mengajukan alat bukti dengan adanya uang Rp 2 Miliar yang
merupakan dari pengiriman Rp 3,4 miliar hasil dari menerima gratifikasi
yang berkaitan dengan posisinya sebagai pegawai Ditjen Pajak. Namun
dalam pembuktian Dhani tidak dapat membuktikan asal-usul uang Rp 2
Miliar bahwa uang tersebut diperoleh secara sah. Hal ini sesuai dengan
105
Https://news.detik.com, Ngaku hartanya bersih, Dhana siap lakukan
pembuktian terbalik, Berita: 5 Maret 2012, diakses pada tanggal 21 Agustus 2021.
66
ketentuan Pasal 37 A ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa terdakwa wajib
membuktikan harta benda yang didakwakan, karena terdakwa Dhani tidak
dapat membuktikan asal-usul uang Rp 2 Miliar yang diperoleh secara sah,
sehingga pembuktian digunakan sebagai memperkuat alat bukti yang ada
sehingga terdakwa Dhani Widyatmika dianggap melakukan tindak pidan
korupsi. Pada proses persidangan Dhana Widyatmika menggunakan
metode pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.
Menurut Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Dhana
telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi atas kasus menerima
gratifikasi, melakukan pemerasan dan pencucian uang. Sehingga hakim
dalam putusannya menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara dan denda
Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.106
Selama diberlakukan dan diundangkannya pembuktian terbalik telah
membantu hakim dalam menjatuhkan putusan yang berdampak positif.
Selain itu, salah satu pendukung efektivitas penerapan pembuktian yakni
dengan terdakwa melaporkan harta kekayaan yang dimilikinya secara
berkala. Karena, salah satu alasan diberlakukannya pembuktian terbalik
adalah kesulitannya mendeteksi harta negara yang telah menjadi
kepemilikan pribadi. Sehingga negara memerlukan instrument hukum
yang kuat untuk mendapatkan kembali kekayaan tersebut.
Pada tahun 2020 tercatat Kepatuhan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukan peningkatan sebesar 3,29%
dari tahun sebelumnya yang 93% menjadi 96,3%.107
Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara merupakan wujud transparansi dan
integritas yang dijungjung tinggi untuk meningkatkan kepatuhan
penyelenggara dalam pelaporan harta kekayaannya. Mengenai kewajiban
106
Https://nasional.kompas.com, Dhani WIdyatmika divonis tujuh tahun penjara,
Berita: 09 November 2012, diakses pada tanggal 21 Agustus 2021. 107
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK Tahun 2020, Tanpa Tatap Muka
Laporan Tahun 2020, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2020), h. 44.
67
penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya diatur
dalam:108
1. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016
tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara;
4. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua
atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan adanya sistem pembuktian terbalik Komisi Pemberantasan
Korupsi merasa diuntungkan karena dengan sistem pembuktian tersebut
berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara serta tercatat tuntas
dalam menangani kasus-kasus besar. Tercatat pada tahun 2020 sejumlah
uang Rp652,8 Miliar berhasil diselamatkan oleh KPK dan pihak yang
bekerja sama. Serta pada tahun 2020 KPK berhasil mengoptimalisasi,
penertiban, dan pemulihan asset sejumlah Rp592,4 Triliun. Selain itu, total
nilai Rp141,3 Miliar ke beberapa lembaga negara dengan melakukan hibah
dan penetapan status pengguna (PSP) dari barang hasil rampasan
korupsi.109
Sedangkan di negara Malaysia, efektifitas penerapan sistem
pembuktian terbalik sudah terbukti dikatakan efektif. Sebagaimana yang
sudah dijelaskan sebelumnya dari data Transparancy Perception Index
Malaysia berada di posisi ke 3 dengan Ranking 57/180 dan skor 51/100,
108
Https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/laporan-harta-kekayaan-
penyelenggaraan-negara/mengenal-lhkpn, diakses pada tanggal 03 Juli 2021. 109
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK Tahun 2020, Tanpa Tatap Muka
Laporan Tahun 2020, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2020), h. 106
68
hal ini cukup membuktikan dalam menekan laju korupsi negara Malaysia
lebih efektif dibanding dengan Indonesia.
Penerapan pembuktian terbalik di Malaysia bisa kita liat pada kasus
korupsi terbesar di Malaysia yakni kasus Perdana Menteri Malaysia Najib
Razak yang dijerat dengan 7 dakwaan korupsi dan tiga dakwaan pencucian
uang. Najib dituduh menerima Uang Ringgit Malaysia 42 juta untuk
memberikan jaminan kepada pemerintah atas pijaman Ringgit Malaysia 4
Miliar yang diambil oleh SRC internasional. Selain itu Najib Razak juga
diduga melakukan pencucian uang dengan menerima uang transfer tiga
kali secara terpisah dengan total uang yang cukup besar. Satu kali transfer
sebesar Rp94 Miliar dan dua kali senilai Rp34 miliar. Najib Razak tidak
dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
sehingga terdakwa Najib Razak dianggap melakukan tindak pidana
korupsi. Harta benda dan uang tunai senilai Rp 405 Triliun yang diduga
hasil dari tindak pidana korupsi Najib Razak di sita oleh polisi. Sistem
pembuktian terbalik di Malaysia bersifat absolute, karena dalam
pembuktian tindak pidana korupsi dakwaan jaksa penuntut umum
kewajiban dalam pembuktian terletak pada terdakwa. 110
Namun, pada kenyataannya penggunaan sistem pembuktian terbalik
Indonesia dan Malaysia lebih efektif di negara Malaysia. Menurut penulis
hal ini bukan karena perbedaan konsep antara pembuktian terbalik murni
yang digunakan Malaysia lebih efektif dibandingkan dengan konsep
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang yang digunakan Indonesia.
Melainkan, karena beberapa faktor yang menjadi penghambat sehingga
pembuktian terbalik di indonesia tidak seefektif di Malaysia.
Sebagaimana dalam teori efektivitas hukum ada lima faktor yang
dapat mempengaruhi efektivitas hukum yakni:
110
Https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190429125501-106-390471/hakim-tolak-keberatan-najib-razak-dalam-sidang-kasus-korupsi, Hakim Tolak Keberatan Najib Razak Dalam Sidang Korupsi, Berita : 29 April 2019, diakses pada tanggal 10 Juli 2021
69
1. Faktor Hukum
Faktor hukum menjadi salah satu penghambat tingkat efektifitas
pembuktian terbalik di Indonesia. Sebagaimana penjelasan sebelumnya
yang penulis bahas bahwa Indonesia menggunakan dua sistem
sekaligus yakni menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan menggunakan sistem KUHAP. Sehingga
hal ini menjadi over regulasi dalam penerapan pembuktian terbalik di
Indonesia antara KUHAP dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
ketentuannya berbeda dalam hal pembuktian. Sedangkan di Malaysia
hanya menggunakan Anti Corruption Act 1997 yang hanya fokus pada
satu peraturan.
2. Faktor Penegak Hukum
Penegak hukum menjadi penghambat di Indonesia karena tidak semua
penegak hukum mendalami dan memahami pembuktian terbalik,
masih banyak penegak hukum indonesia yang merasa pembuktian
terbalik terlalu berbelit-belit dan lama prosesnya, serta kurang adanya
kesiapan prosedur dalam penerapan pembuktian terbalik terbatas dan
berimbang, Berbeda dengan penegak hukum di Malaysia yang sigap
dalam menangani kasus korupsi, dan sudah terancang sedemikian rupa
dalam pembuktian terbalik murni, karena memang Malaysia sudah
lebih terdahulu menerapkan pembuktian terbalik di bandingka dengan
Indonesia.
Atas dasar tersebut sistem pembuktian terbalik Indonesia tidak
seefektif di Malaysia. Meskipun indonesia memiliki pengaturan tindak
pidana korupsi yang unggul dan KPK dinilai sebagai salah satu
antikorupsi yang memiliki praktik baik terkait pendaftaran dan
pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN), sehingga pada tahun 2020 Malaysia Anti Corruption
Commission (MACC) dan Malaysian Administrative Modernisation
and Management Planning (MAMPU) menyambangi Komisi
70
Pemberantasan Korupsi (KPK) guna mempelajari tentang Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).111
Namun
kesuksesan tersebut tidak hanya dilihat dari substansi hukum,
melainkan budaya hukum dan peran masyarakat.
111
Https://fin.co.id/2020/02/26/lembaga-antikorupsi-malaysia-nimba-ilmu-di-
kpk/, Lembaga Anti Korupsi Malaysia Nimba Ilmu di KPK, Berita : 26 Febuari 2020 ,
diakses pada tanggal 10 Juli 2021.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil rumusan masalah dan pembahasan yang telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis simpulkan sebagai
berikut:
1. Konsep pembuktian terbalik di indonesia menggunakan konsep
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang (Omkering Van Het
Bewijstlast) diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan, Malaysia menggunakan konsep
pembuktian terbalik murni yang diatur dalam Pasal 42 ayat (1)
Undang-undang Malaysia Akta Pencegahan Rasuah 1997 (Akta 575)
berkaitan dengan gratifikasi dan suap. Selain itu, konsep pembuktian
terbalik Malaysia diterapkan kepada penyelengara negara dan
terdakwa korupsi. Sedangkan indonesia hanya menerapkan pada
terdakwa korupsi saja. Menurut penulis, alangkah lebih bagus apabila
Indonesia menerapkan pembuktian terbalik pada penyelenggara negara.
karena hal ini dibuktikan dengan meminimalisasi angka kasus korupsi
di Malaysia.
2. Efektivitas pembuktian terbalik di indonesia dan Malaysia
meminimalisasi dalam menekan laju angka korupsi. Melalui pelaporan
harta kekayaan terdakwa secara berkala merupakan pendukung
efektifitas, serta penerapan pembuktian terbalik dalam kasus-kasus
korupsi di Indonesia dan Malaysia yang terjadi pada kasus Dhana
Widyatmika dan Najib Razak merupakan bukti dari penerapan
pembuktian terbalik. Namun, pembuktian terbalik di Malaysia lebih
cepat meminimalisasi dalam menekan laju korupsi dibandingkan
dengan Indonesia. Hal ini bukan karena konsep yang digunakan antara
Indonesia dan Malaysia berbeda. Melainkan beberapa faktor yang
72
menjadi penghambat dalam efektifitas pembuktian terbalik di
Indonesia, beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas pembuktian
terbalik yaitu, faktor hukum dan faktor penegak hukum, serta peran
masyarakat.
B. Rekomendasi Penulis
Berdasarkan pemaparan penulis pada bab-bab sebelumnya, maka dari itu
peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Penerapan sistem pembuktian terbalik merupakan cara yang efektif
dalam menekan laju korupsi. Namun, perlu dikaji lebih lanjut lagi
terhadap Undang-undang pembuktian terbalik.
2. Dalam mewujudkan pencegahan korupsi secara keseluruhan perlu
meningkatkan kesadaran masyarakat, pembenahan sistem dalam
penanganan korupsi, perlunya meningkatkan solidaritas dan
penguatan jaringan masyarakat sipil serta perlunya instrument hukum
formal.
73
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-undang Malaysia Badan Pencegah Rasuah 1997 (akta 575).
Laws of Malaysia Anti Corruption Act 1997 (Act 575).
Pasal 31 ayat (8) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
Tahun 2003.
Buku
Alfitra. Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, Jakarta: Raih
Asa Sukses, 2014.
--------------, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan
Korupsi di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014.
Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Terjemahan Tafsir Al-Qurtubi, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009.
Al-Nawawi, Imam, Terjemahan Syarah Shahih Muslim, Jakarta: Darus
Sunnah, 2012.
Buku pedoman skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017.
Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia, edisi pertama, cet 2, Malang: Bayumedia Publishing,
2005.
Danil, Elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya,
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2001.
74
Departemen Agama RI, Al-qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: PT Hati
Emas, 2007.
Diansyah, Febry, Illian Deta Arta Sari, Independent Repost Corruption
Assessment and Compliance United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC)-2003, by. Indonesia Corruption Watch
(ICW).
Hamzah, Jur Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi Berbagai
Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
--------------, Hukum Acara Pidana Indonesia, cetakan kedua, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
--------------, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Hatta, Muhammad, Yoslan K.Koni, dkk, Sistem Pembuktian Terbalik
Terhadap Delik Korupsi di Indonesia, Jakarta: Sefa Bumi Persada,
2020.
Irfan, M Nurul, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2016.
Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta
Disertasi, Bandung: Alfabeta, 2017.
Mochtar, M Akil, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2009.
Mulyadi, Lilik. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
Bandung: Alumni Anggota IKAPI, 2013.
Mulyadi, Lilik. Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak
Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi 2003.Bandung : Aumni Anggota IKAPI, 2007.
Nur Muhammad tahmid, Kapria tri gunawan, dan Takdir, Menguras Kasus
Korupsi Dengan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Hukum
Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia, cet pertama, Palopo:
Lembaga Kampus IAIN Palopo, 2018.
75
Rodliyah, dan Salim. Hukum Pidana Khusus (Unsur dan Sanksi
Pidananya), Cet Pertama, Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
--------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
--------------, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, cetakan kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK Tahun 2020, Tanpa Tatap Muka
Laporan Tahun 2020, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi,
2020.
Qudamah Ibnu, Al mughni, Beirut: Darul fikr, 1984, cet 1 jilid 10.
Tim Penulis Muhammadiyah, dan Nahdatul Ulama, Koruptor Itu Kafir:
Telaah Fiqih Korupsi Dalam Muhammadiyah dan Nahdatu Ulama
(NU), cet pertama, Jakarta:PT Mizan Publika, 2010.
Widjoyanto, Bambang, Abdul malik gismar, dkk, korutor itu kafir (Telaah
Fiqh Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)),
Jakarta: Mizan Publika, 2010.
Jurnal
Abdulahanaa, Penerapan Asas Pembuktian Terbalik Terhadap Kasus
Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Kajian
Hukum Islam Al manahij, No VII, Vol 02, Juli 2013.
Adji, Indriyanto seno, Sistem Pembuktian Terbalik: Meminimalisir
Korupsi di Indonesia, jurnal keadilan, Vol 1, No 02, juni 2002.
Analiansyah, Hukum Pembuktian Terbalik Dalam Perspektif Hukum Islam.
Al Mursalah, Vol 2 No 1, Januari-juni 2016.
Busrah, Firman freaddy, Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana
Korupsi, Jurnal hukum to-ra, Vol 02, No 02, Agustus , 2016.
76
Dulang, Stephanus Adiputra. Sistem Pembuktian Terbalik Delik
Gratifikasi Menurut UU 20 Tahun 2001 , Lex Crimen, Vol. VIII,
No 6, 2019.
Eddyono, Supriyadi Widodo, Pembebanan Pembuktian Terbalik dan
Tantangannya (Verification Reversed Imposition and It‟s
Challenges), Jurnal Legislasi Indonesia,Vol 8, No 2, Juni, 2011.
Hafidz, Jawade, Efektifitas Pelaksanaan Sistem Pembuktian Terbalik
Terhadap Perkara Korupsi Dalam Mewujudkan Negera Hukum di
Indonesia, Jurnal Sultan Agung, Vol XLIV, No 118, Juni-agustus
2009.
Hulu, Severius, Diantota simanjuntak, josua, dkk, Penerapan Sistem
Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi
kasus No. 1252/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel). Vol XXVII, No 1 , 2019.
Kholiq, M. abdul, Asas Pembuktian Terbalik Dalam Penyelesaian Kasus
Kejahatan Korupsi, jurnal hukum, Vol 09, No 20, Juni, 2002.
Mulyanto, Praktik Pembatasan Pembalikan Beban Pembuktian Dalam
Pengadilan Tipikor (Studi Pada Perkara Korupsi RAPBD Kota
Semarang di Pengadilan Tipikor Kota Semarang. Jurnal
jurisprudence, Vol 6, No 2, 2016.
Naradwipa, Aldi dan reza priyambodo, Tinjauan Tentang Sistem
Pembuktian Terbalik (reversal of burden proof) Dalam
Pemeriksaan Perkara Gratifikasi, Jurnal verstek universitas
sebelas maret, Vol 03, No 02, 2015.
Nik Mahmod, Nik Ahmad Kamal, Good Governance And The Rule Of
Law, Journal of Legal Studies Internasional Islamic University
Malaysia , Vol 4, 2013.
Nurhayani, Pembuktian Terbalik Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia, Jurnal IUS Kajian Hukum dan keadilan, Vol
III, No 7, April, 2015.
77
Prasetyo, Wawan, Metode Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana
Korupsi, Ad daulah: Jurnal hukum dan Perundangan Islam, Vol 5,
No 2, Oktober 2015.
Setiadi, Wicipto, Korupsi di Indonesia (penyebab, bahaya, hambatan, dan
upaya pemberantasan, serta-regulasi), jurnal legislasi indonesia,
Vol 15, No 03, November, 2018.
Surbakti, Anton Diary Steward, Kajian Yuridis Tindak Pidana Pencucian
Uang Terkait dengan Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia.
Syahroni, Muh Syarif, M Alpin, dan Sofyan Hadi, Pembalikan Beban
Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmu Hukum,
Agustus 2019-Januari 2020.
Yudho, Winarno dan Heri Tjandrasari, Efektivitas Hukum dalam
Masyarakat, jurrnal hukum dan pembangunan, Vol 17, No 1,
Febuari 1987.
Yusuf, Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Untuk Kasus Korupsi
Kajian Antara Hukum Positif dan Hukum Islam, Jurnal Episteme,
Vol 8, No 1 Juni, 2013.
Yusnita, Muhammad syarief nuh, dan Satrih hasyim, Efektivitas
Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi, Journal of lex generalis, Vol 1, No 7, Desember 2020.
Skripsi & Tesis
Kusuma, Dharma, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Pembuktian
Terbalik pada Perkara Tindak Pidana Korupsi.” Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Raden Intan Lampung, 2016.
Luthfan, Alfi, “Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.”
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014.
78
Rizky, Defid Tri, “Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam
Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi kasus: perkara korupsi
atas nama terdakwa syafrudin).” Tesis Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2012.
Sofyan, “Pembalikan Beban Pembuktian yang Bersifat Terbatas dan
Berimbang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Tela‟ah
Hukum Islam (Studi kasus di Pengadilan Negeri Makassar Kelas
1A Khusus).” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar, 2019.
Ulfiyah, Titin, “Penerapan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Gratifikasi di Pengadilan Tipikor Semarang dalam Tinjauan
Hukum Islam dan Hukum Positif.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Walisongo Semarang, 2017.
Sumber Internet
https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/laporan-harta-kekayaan-
penyelenggaraan-negara/mengenal-lhkpn , diakses pada tanggal 03
Juli 2021.
https://ti.or.oid/, Global Corruption Barometer 2020 Indonesia, diakses
pada tanggal 03 Juli 2021.
https://www.transparency.org, diakses pada tanggal 03 Juli 2021.
https://fin.co.id/2020/02/26/lembaga-antikorupsi-malaysia-nimba-ilmu-di-
kpk/, Lembaga Anti Korupsi Malaysia Nimba Ilmu di KPK, Berita :
26 Febuari 2020 , diakses pada tanggal 10 Juli 2021.
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190429125501-106-
390471/hakim-tolak-keberatan-najib-razak-dalam-sidang-kasus-
korupsi, Hakim Tolak Keberatan Najib Razak Dalam Sidang
Korupsi, Berita : 29 April 2019, diakses pada tanggal 10 Juli 2021.
Https://nasional.kompas.com, Dhani Widyatmika divonis tujuh tahun
penjara, Berita: 09 November 2012, diakses pada tanggal 21
Agustus 2021.
79
Https://news.detik.com, Ngaku hartanya bersih, Dhana siap lakukan
pembuktian terbalik, Berita: 5 Maret 2012, diakses pada tanggal 21
Agustus 2021.