biofar_usus terbalik

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, 1988). Pada umumnya produk obat mengalami proses absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian prosesabsorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses tersebut meliputi : (1) desintegrasi produk obat yang didkuti pelepasan obat;(2)pelarutan obat dalam media aqueous; (3) absorpsi melewati membrane sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses desintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi, kecepatan obatt mencapai system sirkulasi sistemik ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian di atas. Tahap-tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu 1

Transcript of biofar_usus terbalik

Page 1: biofar_usus terbalik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh

sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau

produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut

melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan

memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,

maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan

lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai

tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, 1988).

Pada umumnya produk obat mengalami proses absorpsi sistemik melalui

suatu rangkaian prosesabsorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses

tersebut meliputi : (1) desintegrasi produk obat yang didkuti pelepasan obat;

(2)pelarutan obat dalam media aqueous; (3) absorpsi melewati membrane sel

menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses desintegrasi obat, pelarutan dan

absorpsi, kecepatan obatt mencapai system sirkulasi sistemik ditentukan oleh

tahapan yang paling lambat dalam rangkaian di atas.

Tahap-tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik

disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Kecuali untuk produk-

produk “sustained release” atau “prolonged-action” disintegrasi obat yang

berbentuk padat pada umumnya lebih cepat daripada pelarutan dan absorpsi obat.

Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan

seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan

terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tetapi

sebaliknya,untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju

pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran

merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan

(Shargel,1988).

1

Page 2: biofar_usus terbalik

1.2 Tujuan Percobaan

- Untuk mengetahui jumlah absorpsi furosemida pada berbagai pH

- Untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH terhadap absorpsi furosemida

pada duodenum terbalik (everted sac) kelinci

1.3 Manfaat Percobaan

Melalui percobaan ini, diharapkan praktikan dapat mengetahui pengaruh

pH terhadap absorpsi furosemida pada duodenum terbalik kelinci.

2

Page 3: biofar_usus terbalik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Furosemid

Gambar 2. Struktur bangun Furosemida

Nama kimia : asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat

Nama lazim : Furosemidum/ furosemida

Rumus kimia : C12H11ClN2O5S

BM : 330,74

Khasiat dan penggunaan : Diuretikum

Furosemida mengandung tidak kurang dari 98,5% C12H11ClN2O5S dihitung

terhadap zat yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1979).

Pemerian. Serbuk hablur; putih atau hampir kuning; tidak berbau; tidak

berasa (Ditjen POM, 1979).

Kelarutan. Praktis tidak larut dalam air dan dalam kloroform P, larut

dalam 75 bagian etanol (95%)P dan dalam larutan alkali hidroksida (Ditjen

POM, 1979).

Furosemida: frusemide,Lasix,Impugan. Turunan sulfonamide ini (1964)

berdaya diuretic kuat dan bertitik kerja di lengkungan Henle bagian

menaik.Sangat efektif pada keadaan udema di otak dan paru-paru yang akut.Mulai

kerjanya pesat, oral dalam 0,5-1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena dalam

beberapa menit dan 2,5 jam lamanya (Tan, 2008).

Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, PP-nyak .l. 97%, plasma-

t1/2-nya 30-60 menit; ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi

juga lewat empedu (Tan,2008).

3

Page 4: biofar_usus terbalik

Efek sampingnya berupa umum, pada injeksi i.v terlalu cepat, adakalanya

tetatpi jarang terjadi ketulian (reversible) dan hipotensi. Hipokalieia reversible

dapat terjadi pula (Tan, 2008).

Dosis: pada udema oral 40-80 mg pagi p.c., jadi perlu atau pada

insufisiensi ginjal sampai 250-2000mg sehari dalam 2-3 dosis. Injeksi i.v.

(perlahan) 20-40 mg, pada keadaan kemelut hipertensi sampai 500mg.

Penggunaan ini tidak dianjurkan (Tan,2008).

Kebanyakan efek yang merugikan furosemid terjadi pada pemakaian dosis

tinggi dan efek berat yang tidak biasa. Efek buruk yang umumnya sering terjadi

yaitu cairan dan elektrolit yang tidak seimbang termasuk hiponatraemia,

hipokalaemia, dan hipokloraemik alkalosis, sebagian setelah pemberian dosis

besar ataupun dalam penggunaan jangka panjang. Tanda- tanda

ketidakseimbangan elektrolit adalah sakit kepala, hipotensi, kram otot, mulut

kering, haus, lemah, lesu, oliguria, aritmia cardiac, gangguan saluran pencernaan,

hipovolaemia, dan dehidrasi. Karena aksinya berdurasi pendek, risiko terhadap

hipokalaemia mungkin berkurang karena adanya diuretik loop seperti furosemid

dibandingkan dengan pemakaina diuretik thiazida. Tidak seperti thiazida,

furosemid menaikkan eksresi urin (Sweetman, 2009).

2.2 Absorpsi

Absorpsi obat adalah suatu proses pergerakan obat yang tidak berubah dari

sisi pengambilan kesirkulasi sistemik. Obat mungkin diambil dengan melalui

berbagai jenis rute seperti rute enteral, rute oral, sublingual, buccal dan rektal,

parenteral intravena, subkutan, intramuskular, dan lain- lain dan topical seperti

kulit,opthalmic, dan lain- lain (Paradkar, 2008).

Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran

gastrointestinal kedalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau

pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja

permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena

pengangkatan dari sebahagian usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-

obat yang mempunyai dasar-dasar protein seperti insulin dan hormone

pertumbuhan dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi

4

Page 5: biofar_usus terbalik

pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke

konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energy untuk

menembus membrane. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk

bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat

membawa obat-obat menembus membrane. Pinositosis berarti membawa obat

menembus membrane dengan proses menelan (Kee, 1996).

Sebagai patokan, dapat dikatakan bahwa sekitar 75% dari suatu obat

peroral akan diabsorpsi dalam 1-3 jam, tetapi banyak faktor yang dapat

mengubahnya. Fakor-faktor tersebut antara lain:

(1) Motilitas Gastrointestinal

Gerakan lambung dan usus mempunyai pengaruh yang besar dalam absorpsi

obat. Obat-obat yang mengurangi motilitas usus dan lambung (misalnya obat

anti muskarinik) atau yang meningkatkan motilitas lambung dan usus

(misalnya metoklopramid) akan memperngaruhi absorpsi obat-obat lainnya.

Gerakan usus yang cepat (misalnya diare) juga bias menggangu absorpsi

obat. Obat yang diminum sesudah makan biasanya absorpsinya juga lambat

sebab jalannya menuju usus halus juga diperlambat.

(2) Aliran Darah Splanknikus

Aliran darah splanknikus menjadi sangat berkurang pada keadaan

hipovolemia dan ini menyebabkan perlambatan absorpsi obat.

(3) Formulasi Dan Ukuran Partikel Obat

Ukuran partikel obat dan formulasi obat juga mempunyai efek yang sangat

berarti terhadap absorpsi. Banyak juga obat yang diformulasikan sesuai

dengan sifat absorpsi yang dikehendaki. Berbagai jenis formulasi lepas

terkontrol sekarang makin banyak digunakan melalui teknologi farmasi yang

canggih (misalnya formulasi lepas tertunda dan lepas lambat).Sebagai

contoh, formulasi aspirin lapis–enteric dibuat dengan tujuan pelepasan

aspirin diperlambat sampai tablet mencapai usus halus sehingga mengurangi

resiko erosi lambung. Demikian juga dengan tablet lepas lambat teofilin dan

nifedipin, sebab lama kerja obat –obat tersebut yang relative singkat.

(4) Faktor Kimiawi

5

Page 6: biofar_usus terbalik

Faktor kimiawi juga dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan cara

memengaruhi status obat dalam usus. Misalnya, antibiotika tetrasiklin

mengikat ion-ion Ca dengan kuat (chelation) sehingga makanan yang kaya

kalsium (terutama susu) dapat mencegah absorpsi tetrasiklin. Demikian juga

dengan pemberian parafinum liquidum sebagai pencahar akan menghambat

absorpsi obat-obat yang bersifat lipofilik seperti vitamin K (Staf Pengajar

Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004).

2.3 Anatomi Usus Halus

Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas 3 (tiga) bagian

yaitu duodenum yang terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas bergerak.

Diameter tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan panjang keseluruhan antara 5-9

cm. Panjang tersebut akan berkurang oleh regangan otot, yang melingkari

peritoneum (Aiache, 1993).

Duodenum relatif pendek (etimologik 12 jari) terdiri atas beberapa

simpangan. Bagian pertama adalah juxtapylorus, sangat lebar dan terdiri atas

bulbus duodenalis. Kedua, adalah bagian “ mulut’’ yang lebih lebar dan disebut

papilla vateri, di sini ductus pancreaticus (Wirsungi) keluar dari pankreas

membawa getah pankreas dan ketiga adalah ductus choledochus yang merupakan

penggabungan saluran empedu dari hati (ductus hepaticus) dan saluran cerna.

Sedikit di bawah papilla vateri, terdapat muara saluran kedua getah pankreas

yaitu ductus pancreaticus accessorius (santorini)(Aiache, 1993).

Panjang jejunum dan ileumsekitar 6 meter, terbentuk atas 14- 15 lipatan-

lipatan seperti telinga. Bila tidak berisi berbentuk pipih dan berbentuk tabung bila

dilewati sebongkah makanan (Aiache, 1993).

2.3 Histologi Usus Halus

Secara histologik, usus halus terdiri atas 5 lapisan melingkar berupa

lapisan otot (musculus) dan lapisan lendir (mukosa). Lapisan yang paling dalam

(lapisan mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat (Aiache, 1993).

Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian atas

duodenumberbentuk lipatan- lipatan atau disebut juga valvula conniventes.

6

Page 7: biofar_usus terbalik

Lipatan- lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh

dengan villi yang tingginya 0,75- 1 mm dan selalu bergerak. Adanya villiini lebih

memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40- 50 m2 (Aiache, 1993).

Fungsi utama usus halus adalah fungsi penyerapan dan fungsi pencernaan

pengeluaran enzim. Sel- sel yang menyusun mukosa penyerap terdiri dari dua

jenis utama yaitu :

- Sel yang berfungsi sebagai penyerap yaitu enterocyte

Sel tersebut berbentuk silinder, ramping, pilar- pilarnya tersusun seperti

lempeng (kekakuannya sperti helai bulu sikat)

- Sel yang berfungsi sebagai penghasil getah:

Sel goblet menghasilkan mukus yang melindungi mukosa terhadap getah

lambung, terhadap kerja enzim proteolitik.

Sel enterochromaffine menghasilkan serotonin yang berperan pada motilitas

usus (Aiache, 1993).

Diantara vili- vili usus terdapat kelenjar tubulus Lieberkuhn, yang terdiri

atas ketiga jenis sel penghasil getah atau yang disebut juga sel Paneth yang

memenuhi granulasi proenzim. Pada duodenum terdapat kelenjar Brunner yang

dikelompokkan sebagai sel mukus (Aiache, 1993).

2.4 Fisiologi Usus Halus

Duodenum dan bagian pertama jejunum mempunyai fungsi pencernaan

yang sangat nyata, sedangkan bagian kedua jejunum dan ileum fungsi

penyerapannya lebih berperan (Aiache, 1993).

Duodenum. Saluran umum pankreas memasuki dduodenum. pH duodenal

yaitu sekitar 6- 6,5 karena adanya bikarbonat yang menetralkan pengosongan

kimus asam dari perut. pH ini optimum untuk pencernaan protein dan makanan

peptida secara enzimatis. Getah pankreas mengandung enzim yang disekresikan

ke duodenum dari saluran empedu. Tripsin, kimotripsin, dan karboksipeptida

dilibatkan dalam hidrolisis protein menjadi asam amino. Amilase dilibatkan dalam

mencerna karbohidrat. Sekresi lipase pankreas menghidrolisa lemak menjadi asam

lemak. Medium cairan kompleks pada duodenum membantu menghancurkan obat

dengan kelarutan dalam air yang lemah (Shargel, 2004).

7

Page 8: biofar_usus terbalik

Duodenum merupakan tempat dimana banyak proobat ester dihidrolisa

selama absorpsi. Adanya enzim proteolitik juga membuat banyak protein obat

menjadi tidak stabil pada duodenum, sehingga mencegah absorpsi yang cukup

(Shargel, 2004).

Jejunum. Jejunum adalah bagian tengah dari usus halus, diantara

duodenum dan ileum. Pencernaan protein dan karbohidrat berlanjut setelah

penambahan getah pankreas dan empedu pada duodenum. Bagan dari usus halus

ini umumnya memiliki kontraksi yang lebih sedikit dibandingkan dengan

duodenum, namun lebih disukai sebagai penyelidikan absorpsi obat in- vivo

(Shargel, 2004).

Ileum. Ileum merupakan bagian akhir dari usus halus. Bagian ini memiliki

sedikit kontraksi daripada duodenum dan dapat dihambat oleh kateter dengan

sebuah balon gelembung saat penelitian absorpsi obat. pH ileum yaitu 7, dengan

bagian distal mencapai 8. Karena adanya sekresi bikarbonat, obat asam akan

hancur. Sekresi empedu membantu menghancurkan obat lemak dan hidrofobik.

Katup ileosekal membatasi antara usus halus dengan colon (Shargel, 2004).

Masuknya substansi yang berasal dari lambung ke dalam duodenum

diikuti dengan menutupnya pylorus dan timbulnya gerakan usus serta pengeluaran

getah. Getah empedu merupakan cairan kuning berlendir, kental mempunyai pH 6

dalam kantong empedu dan pH 7- 7,5 saat memasuki duodenum. Getah tersebut

dikeluarkan terus menerus, tetapi diantara waktu makan, getah ditimbun dalam

kantung empedu. Pengeluaran tersebut terjadi tiap 30 menit selama 2-3 jam

setelah makan dan dilanjutkan hingga 5 jam.

8

Page 9: biofar_usus terbalik

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Neraca analitik, sumpit besi, pH meter, benang wol, statif dan klem,

spektrofotometer uv,alat-alat gelas, satu set alat bedah

3.1.2 Bahan

Furosemida, kloroform, NaOH, kalium dihidrogen fosfat, NaCl fisiologis,

usus halus kelinci

3.2 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan dalam percobaan adalah 1 ekor kelinci jantan.

3.3 Prosedur

3.3.1 Pembuatan Pereaksi

Pembuatan larutan NaCl 0,9% fisiologis

Dilarutkan 0,9 g natrium klorida dalam air suling hingga 1000ml

Pembuatan larutan NaOH 0,2 N

Natrium hidroksida sebanyak 8,001 g dilarutkan dalam air suling bebas

CO2 hingga 1000 ml

Pembuatan larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2 M

Kalium dihidrogen fosfat monobase sebanyak 27,22 g dilarutkan dengan

air suling dalam labu tentukur 1000 ml

Pembuatan larutan dapar fosfat pH 5,8

Campurkan 50 ml kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 3,6 ml natrium

hidroksida 0,2 N dan cukupkan dengan aquadest bebas CO2 hingga 200ml

Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4

Campurkan 50 ml kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 39,1 ml natrium

hidroksida 0,2 N dan cukupkan dengan aquadest bebas CO2 hingga 200 l

3.3.2Pembuatan LIB I furosemida dapar fosfat pH 5,8 dan 7,4

Ditimbang seksama 25 mg furosemida yang telah dikeringkan pada suhu

105oC selama 3 jam. Kemudian masukkan ke dalam labu tentukur 50 ml

ditambahkan tetes demi tetes NaOH 0,1 N sampai serbuk larut lalu dicukupkan

dengan dapar fosfat pH 5,8 sampai garis tanda. Lakukan hal yang sama untuk

9

Page 10: biofar_usus terbalik

dapar fosfat pH 7,4.

3.3.3 Penentuan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva

kalibrasi furosemida dalam dapar fosfat pH 5,8 dan 7,4

LIB I dipipet masing-masing 0,2; 0,25; 0,3; 0,35; 0,55; 0,75; 0,95 ml lalu

dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml dan dicukupkan dengan dapar fosfat pH

5,8 sampai garis tanda hingga diperoleh konsentrasi

10 ;12,5 ;15 ;17,5 ;27,5 ;37,5 ;47,5 mcg/ml. Lakukan hal yang sama untuk dapar

fosfat pH7,4

3.3.4 Pembuatan larutan furosemida dengan konsentrasi 2 mM

Ditimbang seksama furosemida, dilarutkan dengan 800 ml dapar fosfat pH

5,8 hingga diperoleh konsentrasi 2 mM. Lakukan hal yang sama untuk dapar

fosfat pH 7,4

3.3.5 Penentuan penembusan membran oleh furosemida

3.3.5.1 Pembuatan duodenum terbalik (Everted sac) kelinci

Hewan percobaan berupa kelinci jantan dipuasakan selama 20-24 jam.

Kemudian kelinci tersebut dianastesi, lalu dilakukan pembedahan pada bagian

perut tetapi jangan sampai mengenai tulang dada. Kemudian usus diikat pada

jarak kurang lebih 25 cm dari pylorus (ujung lambung) dan bagian ini merupakan

duodenum. Setelah usus halus dikeluarkan dan dibersihkan bagian dalamnya dari

kotoran dan bagian luar dari jaringan yang mengikat pembuluh darah halus dan

sebagainya, dengan bantuan pinset dan gunting, dan dicuci dengan larutan natrium

klorida fisiologis dingin. Kemudian duodenum dibagi dua dan dibalik

menggunakan sumpit besi dimana bagian atas digunakan untuk pemeriksaan laju

absorpsi furosemida dalam dapar fosfat pH 5,8 dan bagian bawah untuk pH 7,4.

3.3.5.2 Penentuan penembusan membran duodenum terbalik kelinci

Duodenum terbalik kelinci ini lalu diikat dengan menggunakan statif dan

klem. Bagian atas dimasukkan ke dalam tabung berisi 800ml larutan dapar fosfat

pH 5,8 yang mengandung bahan obat furosemida 2 mM. Dan bagian bawah

dimasukkan ke dalam tabung berisi 800 ml larutan dapar fosfat pH7,4 yang

mengandung bahan obat furosemida 2 mM. Pada menit ke 5, 10, 15, 20, 30, 45,

dan 60 diambul cairan serosa sebanyak 5 ml dan diencerkan hingga 10 ml dengan

mediumnya. Ukur absorbansinya dengan spektrofotometer.

10

Page 11: biofar_usus terbalik

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Terlampir

4.2 Perhitungan

Terlampir

4.3 Pembahasan

Berdasarkan percobaan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH

terhadap absorpsi furosemida pada duodenum kelinci yang terbalik dilakukan

perlakuan dengan berbagai pH yang berbeda yaitu pada pH 5,8 dan pH 7,4.

Dari percobaan diperoleh hasil bahwa furosemida lebih banyak diabsorpsi

pada duodenum yang diberikan dapar fosfat pH 5,8 dibandingkan 7,4. Hal ini

disebabkan karena furosemida merupakan asam lemah yang karut dalam

duodenum yang mempunyai pH yang berkisar 5-6 bukan pada ileum yang

berkisar pada entang pH 7-8. Ileum merupakan usus penyerap, dimana segala

makanan pasti diserap. Ileum mempunyai rentang pH 7-8 , oleh karena itu dipakai

dapar fosfat dengan pH 7,4 dan dipakai juga dapar fosfat dengan phH 5,8 yang

disesuaikan dengan pH duodenum.

Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya perlintasan

membran dengan intensitas yang besar, dan lebih banyak terjadi difusi pasif.

Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi

obat-obat yang tinggi dalam liang usus sebelah bawah dan pada penyerapan

susjacent (Aiache, 1993).

Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan

vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan

dari sebahagian usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Absorpsi pasif

umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi

rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energy untuk menembus

membrane (Kee, 1996).

11

Page 12: biofar_usus terbalik

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan- PH sangat mempengaruhi absorpsi furosemida pada usus terbalik (Everted

sac) pada kelinci. Furosemid lebih mudah diabsorpsi dalam dapar fosfat

dengan pH 5,8 dibandingkan dalam dapar fosfat pH7,4.

5.2 Saran- Sebaiknya dilakukan pengujian terhadap obat-obat lain seperti

ibuprofen,aspirin .

- Sebaiknya dilakukan pengujian dengan menggunakan HPLC

12

Page 13: biofar_usus terbalik

DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J. M. (1993). Farmasetika 2—Biofarmasi. Penerjemah: Widji Soeratri. Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman: 40-42.

Kee, J.L. (1996). Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 7.

Shargel,L., dan Yu , A.B .(2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetik Terapan. Edisi kedua. Penerjemah: Fasich dan S. Sjamsiah. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 86-87, 137.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. (2004). Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 21- 22.

Sweetman,S.C. (2009). MartindaleI.36th edition. London: Pharmaceutical Press. Page 1292.

Tan, T.H., dan Kirana, R. (2008) . Obat-Obat Penting. Edisi VI.Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Halaman 333.

LAMPIRANFlowsheet

13

Page 14: biofar_usus terbalik

Pembuatan duodenum tebalik (Everted sac) kelinci

Dipuasakan selama 20-24 jam Dilakukan pembedahan pada bagian perut tapi tidak mengenai

tulang dada Diikat pada jarak lebih kurang 25 cm dari pylorus Dikeluarkan usus halus dan dibersihakan bagian dalam dan

bagian luar dengan NaCl fisiologis dingin Duodenum dibagi dua Dibalikkan menggunakan sumpit besi Bagian atas direndam dengan dapar fosfat pH 5,8 dan bagian

bawah direndam dalam dapar fosfat pH 7,4

Penentuan penembusan membran duodenum terbalik kelinci

Diikat mengunakan statif dan klem Dimasukkan bagian atas ke dalam tabung berisi 800 ml larutan

dapar fosfat pH 5,8 yang mengandung furosemida 2mM Dimasukkan bagian bawah ke dalam tabung berisi 800ml

larutan dapar fosfat pH7,4 yang mengandung furosemida 2mM Diambil cairan serosa sebanyak 5mL pada menit ke

5,10,15,20,30,45,60 Diencerkan 10mL dengan mediumnya Diukur absorbansinya dengan spektrovotomete uv

Lampiran Gambar

14

Kelinci jantan

Hasil

Duodenum terbalik

Hasil

Page 15: biofar_usus terbalik

Labu Tentukur beaker glass

LIB 1 dan LIB II Spatula dan batang pengaduk

15