IMPLEMENTASI BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH …eprints.ulm.ac.id/89/1/1 IMPLEMENTASI BANTUAN...
Transcript of IMPLEMENTASI BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH …eprints.ulm.ac.id/89/1/1 IMPLEMENTASI BANTUAN...
1
IMPLEMENTASI BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)
DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN GRATIS
BAGI SISWA MISKIN
Oleh
Dra. Rabiatul Adawiah, M.Si
Drs.H. Karim, M.Si
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat hidayah
dan inayah-Nya jualah akhirnya kami dapat menyelesaikan penulisan buku.
Buku ini kami beri judul “ Implementasi Kebijakan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) dalam Penyelenggaraan Pendidikan Gratis bagi
Siswa Miskin” dan merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada
tahun 2010. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang pendanaannya
berasal dari Hibah Strategis Nasional Batch II Tahun 2010 melalui institusi
Perguruan Tinggi Negeri Universitas Lambung Mangkurat.
Dengan selesainya penulisan buku ini, penulis mengucapkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Rektor Universitas Lambung Mangkurat
2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung
Mangkurat
3. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat
4. Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin, Kabupaten Tanah Laut dan
Kabupaten Tabalong
5. Kepala UPT Dinas Pendidikan di Kota Banjarmasin, Kabupaten Tanah
Laut dan Kabupaten Tabalong
6. Staf dan karyawan Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat
7. Informan dan responden penelitian yang berada di wilayah Kota
Banjarmasin, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Tabalong.
8. Yang terhormat dan terkasih orang tua, keluarga, suami, isteri dan anak-
anak Tim Penulis
9. Para pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Buku ini selain mempunyai manfaat bagi pihak-pihak yang ingin mengkaji
lebih dalam tentang Program Bantuan Operasional Sekolah terhadap siswa miskin
juga dapat menjadi pengayaan bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Segala kekurangan dan ketidaksempurnaan buku ini memerlukan saran
dan kritik yang membangun dari para pembaca.
3
Banjarmasin, April 2011
Penulis,
Dra. Rabiatul Adawiah, M.Si
Drs.H. Karim, M.Si
4
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pengetian Kebijakan
B. Pengertian Kebijakan Publik
C. Faktor Penunjang dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Publik
BAB II. PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG PEMBERIAN DANA
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
A. Pengertian Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
B. Latar Belakang Pemberian Dana Bantuan Operasional Sekolah
BAB III. PROGRAM DAN MEKANISME PEMBERIAN DANA BOS
A. Tujuan Pemberian dana BOS
B. Sasaran Pemberian dana BOS
C. Sekolah Penerima BOS
D. Ketentuan yang Harus Diikuti Sekolah Penerima BOS
E. Tugas dan Tanggungjawab Sekolah/Madrasah/Ponpes dalam
pelaksanaan BOS
BAB IV. KETENTUAN PENGGUNAAN DANA BOS
A. Penggunaan Dana BOS
B. Larangan Penggunaan Dana BOS
BAB V.PROGRAM BOS DAN WAJIB BELAJAR SEMBILAN TAHUN
A. Kebijakan Wajib Belajar Sembilan Tahun
B. Pengertian Wajib Belajar Sembilan TAhun
C. Pelaksanaan Wajib Belajar Sembilan Tahun
D. Penyelenggara Wajib Belajar sembilan Tahun
E. Program BOS dan Wajib Belajar Sembilan Tahun
F. Program BOS dan Manajemen Berbasis Sekolah
BAB VI. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BOS DI KALIMANTAN SELATAN
A. Persentase Penggunaan Dana BOS untuk Setiap Bidang
B. Transparansi penggunaan Dana BOS
C. Pengaruh Dana BOS terhadap Beban Orang Tua dalam Pendidikan
BAB II. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
5
BAB I
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pengertian Kebijakan
Istilah kebijakan (policy) seringkali penggunaannya saling
dipertukarkan dengan istilah tujuan (goals), program keputusan, undang-
undang, ketentan-ketentan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar
(Abdul Wahab, 1997). Harold D Lasswell dan Abraham Kaplan (Islamy,
1997) mengartikan kebijakan sebagai : ” a projected program of goals, values
and practices” (“suatu programpencapaian tujuan nilai-nilai dan praktik-
praktik yang terarah”). Friedrick (Islamy, 1997) mendefinisikan kebijakan
sebagao berikut :
“… a proposed cource of action of a person, group, or government
within a given environment providing abstacles and opportunities
which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort
to reach a goal or realize n objective” (“… serangkaian tindakatn
yang diusulkan seseoranng,kelompok, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu dengan menunjukkkan hambatan-hambatan
dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan
kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu”).
Tidak jauh beda dengan definisi di atas, Anderson (Islamy, 1997)
mengemukakan bahwa kebijakan Negara itu adalah : “ A purposive
course of action followed by an actor or set of ctor in dealing with a
problem or matter of concerns” (“serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu
masalah tertentu”).
Definisi lainnya dari Raksasataya (Islamy, 1997) yang
mengemukakan bahwa kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang
diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan
memuat tiga elemen, yaitu : (1) identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai,
6
(2) taktik atau strategi dari berbagai langlah untuk mencapau tujuan yang
diinginkan, (3) penyediaan berebagai input untuk memungkinkan
pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Selain ketiga definisi di atas, sebenarnya masih banyak definisi
lain. Namun dari sekian banyak itu tampaknya tidak terdapat perbedaan
pandangan secara tajam dalam mengartikan suatu kebijakan. Dari ketiga
pendapat mengenai rumusan arti kebijakan, pada intinya setiap rumusan
mengandung beberapa elemen yaitu : danya serangkaian tindakan,
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, adanya pemecahan
masalah dan adanya suatu tujuan tertentu.
Bila keempat elemen tersebut dipdukan, maka dapat diperoleh
suatu pengertian bhwa kebijakan adaalah serangkaian tindakan yang berisi
keputusan-keputusan yang diikuti dan dilksanakan oleh seseorang atau
sekelompok orang guna memecahkan suatu masalah untuk mencapai
tujuan tertentu.
B. Pengertian Kebijakan Publik
Secara konseptual, kebijakan public tidak hanya berisi cetusan
pikiran tau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini public
juga mempunyai porsi yang sama besar untuk diisikan (tercermin) dalam
kebijakan-kebijkan Negara. Setiap kebijakan Negara harus selalu
berorientasi pada kepentingan public (Islamy, 1997). Dengan demikian
yang membedakan secara esensial antara kebijakan public dengan
kebijakan non public terletak pada muatan kepentingan public yang aru
tercermin pada setiap kebijakan publik.
Tetapi, pencerminan kepentingan publik dalam kebijakan public
tidak mudah untuk diaktualisasikan oleh para pembuat kebijakan publik.
Hal ini antara lain karena proses pembuatan kebijakan publik pada
esensinya tidak pernah bebas nilai, sehingga berbagai kepentingan akan
selalu mempengaruhi terhadap proses pembuatan kebijakan publik. Pada
tataran inilai seringkali kepentingan publik menjadi bias terhadap
7
sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, bahwa dalam setiap proses
pembuatan kebijakan publik akan selalau membawa implikasi yaitu ada
sekelompok masyarakat yang dirugikan dan ada sekelompok masyarakat
yang diuntungkan.
Untuk menghindari adanya bias kepentingan publik dalam proses
pembuatan kebijakan publik tersebut, maka demokratisasi dalam proses
pembuatan kebijakan publik menjadi penting keberadaannya, sebab
melalui proses demokratisasi dominasi kelompok dalam proses pembuatan
kebijakan dapat dihindari. Kebijakan tersebut tidaklah selalu disebabkan
oleh kelemahan atau ketidakmampuan pelaksana (policy implementer) atau
administrator melainkan dapat pula disebabkan oleh pembentukan
kebijakannya (policy formulation) yang kurang sempurna.
Di sinilah peranan yang penting yang berada di tangan pelaksana
kebijakan yang harus mampu mengambil langkah-langkah
untukmengadakan atau mendorong adanya “reformulation” ataupun
melaklukan pengambilan kebeijakan lanjutan sehingga kebijakan pokok
itu dapat mencapai tujuannya.
Islamy (1997:107) mengatakan bahwa suatu kebijakan negara akan
menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi
anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain tindakan atau perbuatan
manuia yang menjadi anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang
diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian jika mereka
tidak berbuat/bertindak sesuai dengan keinginan pemerintah/negara itu
maka kebijakan negara menjadi tifak efektif. Sebab-sebab mengapa setiap
anggota masyarakat perlu mengetahui dan melaksanakan kebijakan
negara, Anderson (dalam Islamy, 1997 : 109-110) mengatakan sebagai
berikut :
1. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-
keputusan badan pemerintah
2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan
3. Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah,
konstitusional dan dibuat oleh pejabat pemerintah
4. Adanya kepentingan pribadi
8
5. Adanya hukuman-hukuman tertentu bila tidak
melaksanakannya
6. Masalah tenggang waktu pelaksanaan kebijakan
Grindle (dalam Abdul Wahab, 1989: 127) menyebutkan proses
implementasi kebijakan yang efektif hanya dapat dimulai (a) apabila
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah
diperinci, (b) program-program aksi telah dirancang dana atau biaya telah
dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran tersebut.
Tentunya hal tersebut merupakan syarat pokok untuk efektif berhasilnya
proses implementasi kebijakan. Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka
kebijakan negara boleh dikatakan sekedar retorika politik atau slogan
politik belaka.
C. Faktor Penunjang dan Penghambat Implementasi Kebijakan Publik
Sebagaimana diketahui bahwa implementasi merupakan suatu
proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah dipilih dan ditetapkan
menjadi kenyataan. Dengan kata lain penerapan perencanaan ke dalam
praktik. Namun dalam hal ini, tidak semua program yang
diimplementasikan dapat berlangsung dengan mulus dan efektif. Gejala
inilah yang oleh Dunsire (Abdul Wahab, 1997) dinamakan sebagai
implementation gap. Suatu istilah yang dimaksudkan untuk menjelaskan
suatu keadaan dimana dalam proses kebijakan selalu akan terbuka
kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan
(direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya
dicapat (sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan). Besar
kecilnya perbedaan tersebut sedikit banyak akan tergantung pada apa yang
oleh Walter Williams (Abdul Wahab, 1997) disebut sebagai
implementation capasity dari organisasi atau kelompok organisasi atau
aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan
kebijakan tersebut.
9
Kebijakan negara apapun sebenarnya mengandung resiko untuk
gagal. Soenarko (2000) mengemukakan bahwa, pelaksanaan kebijakan itu
dapat gagal, tidak membuahkan hasil karena antara lain :
1. Teori yang menjadi dasar kebijakan itu tidak tepat. Dalam hal
demikian, maka harus dilakukan “ reformulation” terhadap kebijakan
tersebut.
2. Sarana yang dipilih utnuk pelaksanaan tidak efektif
3. Sarana itu mungkin atau kurang dipergunakan sebagaimana mestinya
4. Isi dari kebijakan itu bersifat samar-samar
5. Ketidakpastian faktor intern dan/atau faktor ikstern
6. Kebijakan yang ditetapkan itu mengandung banyak lubang
7. Dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan masalah teknis
8. Adanya kekurangan akan tersedianya sumber-sumber pembantu
(waktu, uang dan sumber daya manusia)
Dalam pelaksanaan kebijakan publik, di samping memperhatikan
faktor-faktor yang perlu ditanggulangi karena dapat menyebabkan kegagalan,
maka uga sangat penting memperhatkan faktor-faktor yang dapat mendorong
keberhasilan daripada pelaksanaan kebijakan tersebut. Faktor-faktor ini
merupakan syarat untuk keberhasilan suatu kebijakan. Oleh karena itu
haruslah diusahakan terwujudnya semaksimal mungkin.
Menurut Soenarko (2000) faktor-faktor yang dapat mendukung
keberhasilan pelaksanaan kebijakan adalah :
1. Persetujuan, dukungan dan kepercayaan dari masyarakat
2. Isi dan tujuan kebijakan haruslah dimengerti secara jelas terlebih dahulu
3. Pelaksana haruslah mempunyai cukup informasi, terutama mengenai
kondisi dan kesadaran masyarakat yang menjadi kelompok sasaran
4. Pembagian pekerjaan yang efektif dalam pelaksanaan
5. Pembagian kekuasaan dan wewenang yang rasional dalam pelaksanaan
kebijakan
6. Pemberian tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang memadai dalam
pelaksanaan kebijakan
10
BAB II
PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG PEMBERIAN DANA BOS
A. Pengertian Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Menurut Peraturan Mendiknas nomor 69 Tahun 2009, standar biaya
operasi nonpersonalia adalah standar biaya yang diperlukan untuk membiayai
kegiatan operasi nonpersonalia selama 1 (satu) tahun sebagai bagian dari
keseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan dapat melakukan
kegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan sesuai Standar Nasional
Pendidikan. BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah
untuk penyediaan pendanaan biaya operasi nonpersonalia bagi satuan
pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.
Biaya Satuan pendidikan (BSP) adalah besarnya biaya yang
diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun, sehingga mampu menunjang proses
belajar mengajar sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetap.kan. Dari
cara penggunaaannya, BPS dibedakan menjadi BSP investasi dan BSP
Operasional.
BSP investasi adalah biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu
tahun untuk pembiayaan sumber daya yang tidak habais pakai dalam waktu
lebih dari satu tahun , seperti pengadaan tanah, bangunan, buku,alat peraga,
media, perabot dan alat kantor. Sedangkan BSP operasional adalah biaya
yang dikeluarkan setiap siswa dalam 1 tahun untuk pembiayaan sumber daya
pendidikan yang habis pakai dalam 1 tahun atau kurang. BSP operasional
mencakup biaya personil dan biaya non personail.
Biaya personil meliputi biaya untuk kesejahteraan (honor kelebihan
jam mengajar (KJM), Guru tidak tetap (GTT), Pegawai Tidak tetap (PTT),
uang lembur dan pengembangan profesi guru (Pendidikan dan Latihan Guru,
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah Kerja Kepala
Sekolah (MKKS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok
Kerja Guru (KKG) dan lain-lain. Biaya non personil adalah biaya untuk
11
menunjang kegiatan belajar mengajar, evaluasi atau penilaian,
perawatan/pemeliharaan, daya dan jasa, pemberian kesiswaan, rumah tangga
sekolah dan supervisi. Selain dari biaya-biaya tersebut, masih terdapat jenis
biaya personil yang ditanggung oleh peserta didik, misalnya biaya
transoprtasi, konsumsi, seragam, alat tulis, kesehatan, dan sebagainya.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) secara konsep mencakup
komponen untuk biaya operasional non personil hasil studi badan penelitian
dan pengembangan, Departemen pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas).
Namun karena biaya satuan yang digunakan adalah rata-rata nasional, maka
penggunaan BOS dimungkinkan untuk membiayai beberapa kegatan lain
yang tergolong dalam biaya personil dan biaya investasi.
Oleh karena keterbatasan dana BOS dari Pemerintah Pusat, maka
biaya untuk investasi sekolah/madrasah/ponpes dan kesejahteraan guru harus
dibiayai dari sumber lain dengan prioritas utama dari sumber pemerintah,
pemerintah daerah dan selanjutnya dari partisipasi masyarakat yang mampu.
B. Latar Belakang Pemberian Dana BOS
Kebijakan Pembangunan pendidikan dalam kurun waktu 2004-2009
diprioritaskan pada peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dasar
yang lebih berkualitas melalui peningkatan pelaksanaan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun dan pemberian akses yang lebih besar kepada
kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan
pendidikan dasar.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa tahun terakhir
ini yang juga diikuti oleh kenaikan harga bahan pokok lainnya, akan
menurunkan daya beli penduduk miskin. Hal ini pada gilirannya akan
berdampak terhadap upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan
dasar 9 Tahun, karena masyarakat miskin akan semakin sulit memenuhi
kebutuhan biaya pendidikan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7 -15 tahun
12
wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari amanat undang-undang
tersebut, maka Pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh
peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs serta
seluruh satuan pendidikan sederajat.
Salah satu indikator penuntasan Wajib belajar 9 tahun diukur dengan
Angka Partisipasi Kasar (APK). Pada tahun 2005, APK tingkat SMP sebesar
85,22% dan pada akhir tahun 2006 telah menapai 88,68%. Target penuntasan
wajib belajar 9 tahun harus diapai pada tahun 2008/1009 dengan APK
minimum 95%. Dengan demikian, pada saat ini masih ada sekitar 1,5 juta
anak usia 13-15 tahun yang masih belum mendapatkan layanan pendidikan
dasar (Depdiknas, Departemen Agama, 2007).
Dengan adanya pengurangan subsidi bahan bakar minyak, amanat
undang-undang dan upaya percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun yang bermutu, sejak tahun 2005 Pemerintah memprogramkan
pemberian Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program pemberian
Bantuan Operasional Sekolah ini bertujuan untuk membebaskan biaya
pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain,
agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu
sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun.
13
BAB III
PROGRAM DAN MEKANISME PEMBERIAN BANTUAN DANA BOS
A. Tujuan Pemberian Dana BOS
Secara umum Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu
dan meringankan bagi siswa lain, agar mereka memperoleh layanan
pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka
penuntasan Wajib belajar 9 Tahun
Secara khusus program BOS bertujuan untuk:
1. Membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD negeri dan SMP
negeri terhadap biaya operasi sekolah, kecuali pada rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI);
2. Membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan
dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta;
3. Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah
swasta.
B. Sasaran Program BOS
Sedangkan sasaran program BOS adalah semua sekolah setingkat
SD dan SMP, baik negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia,
program kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran dari program
BOS iini. Selain itu, Madrasah Diniyah Takmiliyah (suplemen) juga tidak
berhak memperoleh BOS, karena siswanya telah terdaftar di sekolah
reguler yang telah menerima BOS.
Mulai tahun pelajaran 2007/2008 (mulai Juli 2007), SMP terbuka
(reguler dan mandiri) dan Madrasah Diniyah formal yang
menyelenggarakan Program Wajib belajar 9 Tahun termasuk dalam
sasaran BOS.
Besar dana BOS yang diterima oleh sekolah/madrasah/ponpes
dihitung berdasakan jumlah siswa dengan ketentuan sebagai berikut :
14
a. SD/MI/SDLB/ Salafiah/ sekolah agama non Islam setara SD sebesar
Rp. 254.000,-/siswa/tahun
b. SMP/MTs/SMPLB/SMPT/Salafih/sekolah agaama non Islam setara
SMP sebesar Rp. 354.000,- / siswa / tahun
Namun sejak tahun 2010 besar biaya satuan BOS yang diterima
oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung berdasarkan jumlah
siswa dengan ketentuan:
a. SD/SDLB di kota : Rp 400.000,-/siswa/tahun
b. SD/SDLB di kabupaten : Rp 397.000,-/siswa/tahun
c. SMP/SMPLB/SMPTdikota : Rp 575.000,-/siswa/tahun
d. SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten : Rp 570.000,-/siswa/tahun
C. Sekolah Penerima Dana BOS
Sekolah penerima bantuan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
adalah :
1. Semua sekolah negeri dan swasta berhak memperoleh BOS.
Khusus sekolah/madrasah/ponpes swasta harus memiliki ijin operasional
(dengan penyelenggaraan pendidikan). Sekolah/madrasah/ponpes yang
bersedia menerima BOS harus menandatanagani Surat Perjanjian
Pemberian bantuan dan bersedia mengikuti ketentuan yang tertuang dalam
buku petunjuk pelaksanaan.
2. Sekolah kaya/mapan/yang mampu secara ekonomi yang saat ini memiliki
penerimaan lebih besar dari BOS, mempunyai hak untuk menolak BOS
tersebut, sehingga tidak wajib untuk melaksanakan ketentuan seperti
sekolah/manrasad/ponpes penerima BOS. Keputusan atas penolakan BOS
harus melalui persetujuan dengan orang tua siswa dan komite sekolah
madrasah/ponpes. Bila sekolah/madrasah/ponpes yang mampu tersebut
terdapat siswa miskin, sekolah/madrasah/ponpes tetap menjamin
kelangsungan pendidikan siswa tersebut.
Berdasarkan buku petunjuk teknis penggunaan dana BOS tahun
2011, ketentuan sekolah penerima BOS adalah :
15
1. Semua sekolah SD/SDLB/SMP/SMPLB/SMPT negeri wajib menerima
dana BOS. Bila sekolah tersebut menolak BOS, maka sekolah dilarang
memungut biaya dari peserta didik, orang tua atau wali peserta didik.
2. Semua sekolah swasta yang telah memiliki ijin operasi dan tidak
dikembangkan menjadi bertaraf internasional wajib menerima dana
BOS.
3. Bagi sekolah yang menolak BOS harus melalui persetujuan orang tua
siswa melalui komite sekolah dan tetap menjamin kelangsungan
pendidikan siswa miskin di sekolah tersebut.
4. Seluruh sekolah yang menerima BOS harus mengikuti pedoman BOS
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
5. Sekolah negeri kategori RSBI dan SBI diperbolehkan memungut dana
dari orang tua siswa yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah.
Pemda harus ikut mengendalikan dan mengawasi pungutan yang
dilakukan oleh sekolah tersebut agar tercipta prinsip pengelolaan dana
secara transparan dan akuntabel.
6. Sekolah negeri yang sebagian kelasnya sudah menerapkan sistem
sekolah bertaraf RSBI atau SBI tetap diperbolehkan memungut dana
dari orang tua siswa yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah,
kecuali terhadap siswa miskin.
D. Ketentuan yang Harus Diikuti Sekolah Penerima BOS
Sekolah yang telah menyatakan menerima BOS dibagi menjadi 2
kelompok, dengan hak dan kewajiban sebagai berikut :
1. Apabila sekolah/madrasah/ponpes tersebut terdapat siswa miskin, maka
sekolah/madrasah/ponpes diwajibkan membebaskan segala jenis
pungutan/sumbangan/iuran seluruh siswa miskin. Sisa dana BOS (bila
masih ada) digunakan untuk mensubsidi siswa lain. Dengan demikian
sekolah/madrasah/ponpes tersebut menyelanggarakan pendidikan gratis
terbatas. Bila dana BOS cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan
16
sekolah/madrasah/ponpes, maka secara otomatis
sekolah/madrasah/ponpes dapat menyelanggarakan pendidikan gratis.
2. Bagi sekolah/madrasah/ponpes yang tidak mempunyai siswa miskin,
maka dana BOS digunakan untuk mensubsidi seluruh siswa, sehingga
dapat mengurangi pungutan/sumbangan/iuran yang dibebankan kepada
orang tua siswa, minimum senilai dana BOS yang diterima
sekolah/madrasah/ponpes
E. Tugas dan Tanggungjawab Sekolah/Madrasah/Ponpes dalam
pelaksanaan BOS
Berdasarkan ketentuan yang ada, tugas dan tanggungjawab
sekolah/madrasah/ponpes adalah :
1. Melakukan verifikasi jumlah dana yang diterima dengan data siswa yang
ada. Bila jumlah dana yang diterima melebihi dari yang semestinya maka
harus segera mengembalikan kelebihan dana tersaebut ke rekening Tim
Manajemen BOS Propinsi dengan memberitahukan ke Tim manajemen
BOS Kabupaten/Kota
2. Bersam-sama dengan kepala sekolah/madrasah/ponpes mengidentifikasi
siswa miskin yg akan dibebaskan dari segala jenis iuran
3. Mengelola dana bos secara bertangung jawab dan transparan
4. Mengumumunkan daftar komponen yg boleh dan yg tidak boleh dibiayai
oleh dana bos serta penggunaan dana bos di sekolah menurut komponen
dan besar dananya di papan pengumuman sekolah /madrasah/ponpes
5. Bertanggungjawab terhadap penyimpanagan penggunaan dana di
sekolah/madrasah/ponpes
6. Memberikan pelayanan dan penanganan pengaduan masyarakat
17
BAB IV
KETENTUAN PENGGUNAAN DANA BOS
A. Penggunaan Dana BOS
Penggunaan dana BOS di sekolah harus didasarkan pada kesepakatan
dan keputusan bersama antara Tim Manajemen BOS Sekolah, Dewan Guru
dan Komite Sekolah. Dana BOS harus didaftar sebagai salah satu sumber
penerimaan dalam RKAS/RAPBS, di samping dana yang diperoleh dari
Pemda atau sumber lain yang sah.
Dari seluruh dana BOS yang diterima oleh sekolah, sekolah
menggunakan dana tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan berikut:
1. Pembelian/penggandaan buku teks pelajaran. Jenis buku yang
dibeli/digandakan untuk SD adalah satu buku, yaitu Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan, sedangkan SMP sebanyak 2 buku yaitu (a)
Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan dan (b) Seni Budaya dan
Ketrampilan. Jika buku dimaksud belum ada di sekolah/belum mencukupi
sebanyak jumlah siswa, maka sekolah wajib membeli/menggandakan
sebanyak jumlah siswa. Jika jumlah buku telah terpenuhi satu siswa satu
buku, baik yang telah dibeli dari dana BOS maupun dari Pemerintah
Daerah, sekolah tidak harus menggunakan dana BOS untuk
pembelian/penggandaan buku tersebut. Selain daripada itu, dana BOS juga
boleh untuk membeli buku teks pelajaran lainnya yang belum mencukupi
sejumlah siswa.
2. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, yaitu
biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan
pendaftaran ulang, pembuatan spanduk sekolah bebas pungutan, serta
kegiatan lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut (misalnya
untuk fotocopy, konsumsi panitia, dan uang lembur dalam rangka
penerimaan siswa baru, dan lainnya yang relevan);
3. Pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan,
pemantapan persiapan ujian, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja,
18
pramuka, palang merah remaja, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan
sejenisnya (misalnya untuk honor jam mengajar tambahan di luar jam
pelajaran, biaya transportasi dan akomodasi siswa/guru dalam rangka
mengikuti lomba, fotocopy, membeli alat olah raga, alat kesenian dan
biaya pendaftaran mengikuti lomba);
4. Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan
hasil belajar siswa (misalnya untuk fotocopi/ penggandaan soal, honor
koreksi ujian dan honor guru dalam rangka penyusunan rapor siswa);
5. Pembelian bahan-bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur tulis, pensil,
spidol, kertas, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris,
langganan koran/majala'h pendidikan, minuman dan makanan ringan
untuk kebutuhan sehari-hari di sekolah, serta pengadaan suku cadang alat
kantor;
6. Pembiayaan langganan daya dan jasa, yaitu listrik, air, telepon, internet,
termasuk untuk pemasangan baru jika sudah ada jaringan di sekitar
sekolah. Khusus di sekolah yang tidak ada jaringan listrik, dan jika
sekolah tersebut memerlukan listrik untuk proses belajar mengajar di
sekolah, maka diperkenankan untuk membeli genset;
7. Pembiayaan perawatan sekolah, yaitu pengecatan, perbaikan atap bocor,
perbaikan pintu dan jendela, perbaikan mebeler, perbaikan sanitasi
sekolah, perbaikan lantai ubin/keramik dan perawatan fasilitas sekolah
lainnya;
8. Pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan
honorer. Untuk sekolah SD diperbolehkan untuk membayar honor tenaga
yang membantu administrasi BOS;
9. Pengembangan profesi guru seperti pelatihan, KKG/MGMP dan
KKKS/MKKS. Khusus untuk sekolah yang memperoleh hibah/block grant
pengembangan KKG/MGMP atau sejenisnya pada tahun anggaran yang
sama tidak diperkenankan menggunakan dana BOS untuk peruntukan
yang sama;
19
10. Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi
masalah biaya transport dari dan ke sekolah. Jika dinilai lebih ekonomis,
dapat juga untuk membeli alat transportasi sederhana yang akan menjadi
barang inventaris sekolah (misalnya sepeda, perahu penyeberangan, dll);
11. Pembiayaan pengelolaan BOS seperti alat tulis kantor (ATK termasuk
tinta printer, CD dan flash disk), penggandaan, surat-menyurat, insentif
bagi bendahara dalam rangka penyusunan laporan BOS dan biaya
transportasi dalam rangka mengambil dana BOS di Bank/PT Pos;
12. Pembelian komputer (desktop/work station) dan printer untuk kegiatan
belajar siswa, masing-masing maksimum 1 unit dalam satu tahun
anggaran;
13. Bila seluruh komponen 1 s.d 12 di atas telah terpenuhi pendanaannya dari
BOS dan masih terdapat sisa dana, maka sisa dana BOS tersebut dapat
digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik,
peralatan UKS dan mebeler sekolah.
Khusus untuk SMP Terbuka, dana BOS digunakan juga untuk:
1. Kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan-kegiatan yang terkait dengan proses
belajar mengajar, meliputi kegiatan:
a. Supervisi oleh Kepala Sekolah, diberikan maksimal sebesar Rp
150.000,-/bulan.
b. Supervisi oleh Wakil Kepala SMP Terbuka, diberikan maksimal
sebesar Rp 150.000,-/bulan.
c. Kegiatan tatap muka di Sekolah Induk oleh Guru Bina, diberikan rata-
rata maksimal sebesar Rp 150.000,-/bulan tetapi secara proporsional
disesuaikan dengan beban mengajarnya.
d. Kegiatan pembimbingan di 1KB oleh Guru Pamong, masing-masing
diberikan maksimal sebesar Rp 150.000,-/bulan.
e. Kegiatan administrasi ketatausahaan oleh petugas Tata Usaha (1
orang), diberikan maksimal sebesar Rp 100.000,-/bulan.
20
f. Pengelolaan kegiatan pembelajaran oleh Pengelola TKB Mandiri
diberikan maksimal sebesar Rp 150.000,-/bulan.
2. Biaya transportasi Guru Bina dan Guru Pamong dari SMP Induk ke TKB
dan sebaliknya disesuaikan dengan kondisi geografis dan sarana
transportasi, yaitu:
a. Transportasi Guru Bina ke TKB.
b. Transportasi Guru Pamong ke Sekolah Induk.
c. Transportasi Kepala Sekolah dan Wakil Kepala SMP Terbuka dalam
rangka supervisi ke TKB.
d. Transportasi Pengelola TKB Mandiri ke Sekolah Induk dalam rangka
koordinasi, konsultasi, dan pelaporan.
Sebagai penanggung jawab pengelolaan dan penggunaan dana BOS
untuk SMPT/TKB Mandiri ttap kepala sekolah induk.
Dalam hal penggunaan dana BOS di sekolah, harus diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Prioritas utama penggunaan dana BOS adalah untuk kegiatan operasional
sekolah;
2. Maksimum penggunaan dana untuk belanja pegawai bagi sekolah negeri
sebesar 20%. Penggunaan dana untuk honorarium guru honorer di sekolah
agar mempertimbangkan rasio jumlah siswa dan guru sesuai dengan
ketentuan pemerintah yang ada dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 15 Tahun 2010 tentang SPM Pendidikan Dasar di
Kabupaten/Kota;
3. Bagi sekolah yang telah menerima DAK, tidak.diperkenankan
menggunakan dana BOS untuk peruntukan yang sama;
4. Pembelian barang/jasa per belanja tidak melebihi Rp. 10 juta;
5. Penggunaan dana BOS untuk transportasi dan uang lelah bagi guru PNS
diperbolehkan hanya dalam rangka penyelenggaraan suatu kegiatan
sekolah selain kewajiban jam mengajar. Besaran/satuan biaya untuk
transportasi dan uang lelah guru PNS yang bertugas di luar jam mengajar
21
tersebut harus mengikuti batas kewajaran. Pemerintah daerah wajib
mengeluarkan peraturan tentang penetapan batas kewajaran tersebut di
daerah masing-masing dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi,
faktor geografis dan faktor lainnya;
6. Jika dana BOS yang diterima oleh sekolah dalam triwulan tertentu lebih
besar/kurang dari jumlah yang seharusnya, misalnya akibat kesalahan data
jumlah siswa, maka sekolah harus segera melapor kepada Dinas
Pendidikan. Selanjutnya Dinas Pendidikan mengirim surat secara resmi
kepada Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah yang
berisikan daftar sekolah yang lebih/kurang untuk diperhitungkan pada
penyesuaian alokasi pada triwulan berikutnya;
7. Jika terdapat siswa pindah/mutasi ke sekolah lain setelah pencairan dana di
triwulan berjalan, maka dana BOS siswa tersebut pada triwulan berjalan
menjadi hak sekolah lama. Revisi jumlah siswa pada sekolah yang
ditinggalkan/menerima siswa pindahan tersebut baru diberlakukan untuk
pencairan triwulan berikutnya;
8. Bunga Bank/Jasa Giro akibat adanya dana di rekening sekolah menjadi
milik sekolah untuk digunakan bagi sekolah;
B. Larangan Penggunaan Dana BOS
1. Disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan.
2. Dipinjamkan kepada pihak lain.
3. Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan
biaya besar, misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan
sejenisnya.
4. Membiayai kegiatan yang diselenggarakan oleh UPTD Kecamatan/
Kabupaten/kota/Provinsi/Pusat, atau pihak lainnya, walaupun pihak
sekolah tidak ikut serta dalam kegiatan tersebut. Sekolah hanya
diperbolehkan menanggung biaya untuk siswa/guru yang ikut serta dalam
kegiatan tersebut.
5. Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru.
22
6. Membeli pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi
(bukan inventaris sekolah).
7. Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat.
8. Membangun gedung/ruangan baru.
9. Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran.
10. Menanamkan saham.
11. Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah
pusat atau pemerintah daerah secara penuh/wajar, misalnya guru
kontrak/guru bantu.
12. Kegiatan penunjang yang tidak ada kaitannya dengan operasi sekolah,
misalnya iuran dalam rangka perayaan hari besar nasional dan upacara
keagamaan/acara keagamaan.
13. Membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/
pendampingan terkait program BOS/perpajakan program BOS yang
diselenggarakan lembaga di luar Dinas Pendidikan
Provinsi/Kabupaten/Kota dan Kementerian Pendidikan Nasional.
C. Mekanisme Pembelian Barang/Jasa di Sekolah
Pembelian barang/jasa dilakukan oleh Tim Sekolah dengan
menggunakan prinsip-prinsip sebagai-berikut:
1. Tim Sekolah harus menggunakan prinsip keterbukaan dan ekonomis
dalam menentukan barang/jasa dan tempat pembeliannya;
2. Tim harus memperhatikan kualitas barang/jasa, serta ketersediaan, dan
kewajaran harga;
3. Tim Sekolah harus selalu membandingkan harga penawaran dari penyedia
barang/jasa dengan harga pasar dan melakukan negosiasi harga kepada
penyedia barang/jasa apabila harga penawaran lebih tinggi dari harga
pasar;
4. Terkait dengan biaya untuk perawatan ringan/pemeliharaan bangunan
sekolah, Tim Sekolah harus menerapkan prinsip-prinsip berikut:
a. Membuat rencana kerja
23
b. Memilih satu atau lebih pekerja untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut dengan standar upah yang berlaku di masyarakat.
c. Membuat laporan penggunaan dana (pembelian barang dan
pembayaran upah) untuk kegiatan perawatan ringan/pemeliharaan
sekolah (Petunjuk teknis Penggunaan Dana BOS, 2010)
24
BAB V
PROGRAM BOS DAN WAJIB BELAJAR SEMBILAN TAHUN
A. Kebijakan wajib belajar 9 tahun
Sebuah Negara bisa maju, jika penduduknya memiliki kesadaran akan
arti pentingnya pendidikan, termasuk negara Indonesia. Karena dengan
pendidikan akan tercipta manusia-manusia unggul yang akan mampu
membangun bangsa dan negaranya. Hal ini juga disadari oleh para pendiri
bangsa ini, sehingga dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa salah
satu tujuan bangsa Indonesia adalah “mencerdasakan kehidupan bangsa”.
Selanjutnya dalam pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi dinyatakan ”(1) setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Amandemen UUD 1945, pasal 31 berbunyi :
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan;
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya;
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
Undang-Undang
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Dalam upaya melaksanakan amanat yang tertuang dalam pasal 31
UUD 1945 tersebut, Pemerintah Republik Indonesia telah melaksanakan
25
Program Wajib Belajar. Program dimulai dengan Wajib Belajar 6 Tahun yang
secara resmi dicanangkan pada tahun 1984 dan dilanjutkan dengan Program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang dimulai pada tahun 1994.
Program ini menargetkan pada tahun 2008, semua warga negara Indonesia
memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan
mutu yang baik. Dengan bekal itu, diharapkan seluruh warga negara
Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga mampu
memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang
dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Pada awal pencanangan wajib belajar tersebut, Program Wajib Belajar
6 Tahun yang dicanangkan Pemerintah pada PELITA III tersebut telah
memberikan dampak positif dan hasil yang menggembirakan, terutama pada
percepatan pemenuhan kualitas dasar manusia Indonesia. Salah satu hasil
yang paling mencolok dirasakan, bahwa Program Wajib Belajar 6 Tahun
tersebut telah mampu menghantarkan Angka Partisipasi (Murni) Sekolah.
Dalam rangka memperluas kesempatan pendidikan bagi seluruh warga negara
dan juga dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia, Pemerintah melalui PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar
menetapkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Orientasi dan
prioritas kebijakan tersebut, antara lain: (1) penuntasan anak usia 7-12 tahun
untuk Sekolah Dasar (SD), (2) penuntasan anak usia 13-15 tahun untuk
SLTP, dan (3) pendidikan untuk semua (educational for all).
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan mampu
mengantarkan manusia Indonesia pada pemilikan kompetensi Pendidikan
Dasar, sebagai kompetensi minimal. Kompetensi Pendidikan Dasar yang
dimaksudkan, mengacu pada kompetensi yang termuat dalam Pasal 13 UU
No. 2/1989 yaitu kemampuan atau pengetahuan dan ketrampilan dasar yang
diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta untuk mengikuti pendidikan
yang lebih tinggi (pendidikan menengah).
26
Hal ini juga relevan dengan unsur-unsur kompetensi pendidikan dasar
yang harus dikuasai lulusan seperti yang diidentifikasi oleh The International
Development Research Center, meliputi: (1) kemampuan berkomunikasi; (2)
kemampuan dasar berhitung; (3) pengetahuan dasar tentang negara, budaya,
dan sejarah; (4) pengetahuan dan keterampilan dasar dalam bidang kesehatan,
gizi, mengurus rumah tangga, dan memperbaiki kondisi kerja; dan (5)
kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat sebagai individu
dan sebagai anggota masyarakat, memahami hak dan kewajibannya sebagai
warga negara, bersikap dan berpikir kritis, serta dapat memanfaatkan
perpustakaan, buku-buku bacaan, dan siaran radio. Program wajib belajar 9
tahun yang didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” (universal basic
education), juga sejalan dengan Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia,
tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak (Paslah,
2011).
Di samping itu, menurut May (Paslah, 2011) wajib belajar 9 tahun
juga bertujuan merangsang aspirasi pendidikan orang tua dan anak yang pada
gilirannva diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk
secara nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun
bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi sesuai dengan
target yang ditentukan namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk
memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan pelaksanaan pendidikan yang
mangkus (efektif).
Dalam implementasinya, perjalanan wajib belajar di Indonesia masih
banyak mengalami kendala dan belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Hal itu dapat dilihat dari masih banyaknya terdapat siswa yang
putus sekolah di tingkat SD dan SMP yaitu sekitar 768.960 orang, terdiri atas
527.850 siswa SD dan 241.110 siswa SMP. Pencapaian rata-rata angka
partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional 2009/2010 mencapai
98,11 persen atau di atas target 95 persen. Artinya, masih ada sekitar 1,89
persen penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data
Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12
27
juta siswa. Mereka putus sekolah terutama akibat persoalan ekonomi. Selain
itu, sekitar 920.000 lulusan SD tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP
dengan beragam alasan. Adapun lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke
jenjang SMA sederajat lebih banyak lagi, yakni sekitar 30,1 persen atau
sekitar 1,26 juta siswa.
Pada bangsa-bangsa yang telah maju wajar telah mulai sejak lama. Di
Amerika Serikat misalnya, Wajar telah dimulai sejak tahun (De Young &
Wyhnn, dalam Bentri, dkk.2008). Wajar ini dimulai dengan Belajar di
sekolah dasar, dan terus berkembang sampai umur anak mencapai18 tahun.
Wajib Belajar ini dikenakan kepada anak pada umur-umur yang dimaksudkan
itu, dan pertanggungjawabannya diletakkan pada orang tua, termasuk
didalamnya para wali atau orang tua asuh anak yang bersangkutan (Brishen,
dalam Bentri, dkk.2008).
Agar wajib belajar 9 Tahun di Indonesia berhasil dengan baik, maka
harus menggunakan berbagai pendekatan. Menurut Paslah (2011) Strategi
pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia, saat in dilaksanakan dengan
menerapkan beberapa pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Budaya
Sosialisasi wajib belajar dilakukan dengan memanfaatkan budaya yang
berkembang di daerah tersebut; misalnya daerah yang masyarakatnya senang
dengan seni, maka pesan-pesan wajib belajar dapat disisipkan pada gelar seni.
Masyarakat yang sangat menghormati adat, maka tokoh adat dilibatkan dalam
pemikiran dan pelaksanaan sosialisasi Wajar 9 tahun yang bermutu. Sanksi
adat biasanya lebih disegani daripada sanksi hukum.
2. Pendekatan Sosial
Sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu perlu
memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bila dalam masyarakat
ada tokoh yang disegani dan bisa menjadi panutan, maka tokoh ini perlu
dilibatkan dalam sosialisasi. Tokoh masyarakat ini bisa berasal dari tokoh
formal, maupun tokoh non formal. Pada masyarakat ekonomi lemah,
sosialisasi dilakukan dengan memberikan informasi tentang pelayanan
28
pemerintah untuk pendidikan, misalnya BOS ataupun beasiswa. Bila anak
sibuk membantu kerja orangtua, anak tidak harus berhenti bekerja, tetapi
disampaikan jenis pendidikan alternatif yang bisa diikuti oleh anak yang
bersangkutan, misalnya SMP Terbuka atau program Paket B.
3. Pendekatan Agama
Pada daerah tertentu ada yang masyarakatnya sangat agamis dan
sangat mentaati ayat-ayat suci. Untuk daerah seperti ini peran para tokoh
agama sangat sesuai. Dengan mengutip ayat-ayat suci, maka konsep wajib
belajar lebih mudah diikuti. Untuk ini motto “belajar adalah ibadah” yang
didasarkan atas kajian yang sangat mendalam oleh para tokoh agama dapat
diangkat menjadi motto dalam sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang
bermutu.
4. Pendekatan Birokrasi
Pendekatan birokrasi ialah upaya memanfaatkan sistem pemerintahan,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan tim koordinasi di tingkat
pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan merupakan salah satu bentuk
pendekatan birokrasi. Birokrasi ditempuh karena dengan pendekatan ini lebih
mudah diperoleh berbagai faktor penunjang baik tenaga, sarana, maupun dana.
Namun demikian pendekatan ini akan lebih berhasil bila digabung dengan
pendekatan yang lain.
5. Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum ialah pendekatan yang hanya digunakan untuk
daerah yang masyarakatnya memiliki kesadaran terhadap pendidikan sangat
rendah dan tingkat resistensinya tinggi. Program Wajib Belajar Sembilan
Tahun sampai saat ini masih memberlakukan konsep “universal basic
education” dan belum menerapkan konsep “compulsary education”. Artinya,
program wajib belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum.
Namun jika diperlukan, UU Nomor 20 tahun 2003, memberi kemungkinan
kepada pemerintah untuk menerapkan konsep “compulsary education“,
sehingga berkonsekuensi adanya sanksi hukum bagi yang tidak mau
29
melaksanakan tanggung jawabnya terhadap program wajib belajar, baik
pemerintah, pemerintah daerah, orangtua, maupun peserta didik
Untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul,
maka diperlukan keikutsertaan tiap warga negara Indonesia secara aktif dalam
pendidikan. Sebagaimana yang menjadi visi dalam Restra pendidikan jangka
panjang, yaitu Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif. Yang dimaksud
dengan Insan Indonesia Cerdas adalah insan yang cerdas secara komprehensif
yang meliputi :
1. Cerdas Spiritual, yang dapat diaktualisasikan melalui hati untuk
menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia
termasuk didalamnya budi pekerti yang luhur.
2. Cerdas Emosional, yang dapat diaktualisasikan melalui rasa untuk
meningkatkan sensitivitas dan apresiatif akan keindahan seni.
3. Cerdas Sosial, dapat diaktualisasikan melalui interaksi sosial untuk
membina dan memupuk hubungan timbal balik, simpatik, demokratis dan
lain-lain.
4. Cerdas Intelektual, dapat diaktualisasikan melalui olah pikir supaya
menjadi insan kreatif, berpengetahuan dan mempunyai daya imajinatif.
5. Cerdas Kinetis, dapat diaktualisasikan melalui olahraga untuk
memuwujudkan insan yang sehat, bugar dan berdaya tahan.Sedangkan
makna Kompetitif adalah : a. Berkepribadian unggul; b. Bersemangat
tinggi; c. Mandiri; d. Pantang Menyerah; e. Membangun dan membina
jejaring; f. Bersahabat dengan perubahan; g. Inovatif dan menjadi agen
perubahan; h. Produktif dan sadar mutu; i. Berorientasi global; j.
Pembelajaran sepanjang hayat.
Dalam upaya mewujudkan visinya Departemen Pendidikan Nasional
memiliki tiga pilar pembangunan pendidikan yaitu :
1. Pemerataan dan perluasan akses.
2. Peningkatan mutu dan relevansi serta daya saing keluaran pendidikan.
30
3. Peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pengelolaan
pendidikan.Pendidikan yang berkualitas dapat diwujudkan jika ditopang
oleh beberapa faktor yaitu :
a. Kurikulum yang berkelanjutan.
b. Kualitas guru yang memadai.
c. Prasarana dan sarana terbangun terjaga dan berkembang terus
d. Manajemen pengelolaan yang baik, transparan dan akuntabel sehingga
menimbulkan pencitraan publik yang positif.
Sejak awal 1970-an pendidikan memang sudah diprioritaskan. Pada
tahun 1973 berdasarkan Inpres Nomor 10 pemerintah secara terencana
meningkatkan pembangunan sarana pendidikan dasar. Tahun 1983 dimulai
program wajib belajar 6 tahun untuk anak usia 7-12 tahun secara nasional.
Sukses yang dicapai program wajib belajar menjadi 9 tahun sejak bulan Mei
1994 yang lalu. Hal ini sesuai dengan Amanat UU Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijaksanaan Pendidikan Dasar 9
tahun sampai dengan tingkat SLTP/Satuan Pendidikan Sederajat adalah wajib
belajar bagi semua warga Negara. Timbulnya kebijakan tersebut karena
berbagai kondisi yang terjadi di lapangan, seperti : 1) lebih dari 80% angkatan
kerja hanya berpendidikan SD atau kurang, atau SMP tidak tamat; 2) Program
Pendidikan Wajib Belajar 9 tahun akan meningkatkan kualitas SDM dan
dapat memberi nilai tambah pula pada pertumbuhan ekonomi; 3) semakin
banyak tingkat pendidikan akan semakin besar partisipasi dan kontribusinya
di sektor-sektor yang produktif; 4) dengan peningkatan program Wajib
Belajar 6 tahun ke wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kematangan dan
keterampilan siswa; 5) peningkatan wajib belajar 9 akan meningkatkan umur
kerja minimum dari 10 sampai 15 tahun(Syarif, 1994).
Gerakan Wajar mendapat pijakan yang lebih kuat lagi pada UU
No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penekanan yang lebih
dirasakan tampak pada tanggungjawab pembiayaan Wajib Belajar itu sendiri
dan peyelenggaraanya, yaitu pemerintah pusat dan daerah. Mudah-mudahan
31
peningkatan Wajar ini dapat mengejar ketertinggalan pelaksanaan Wajar dari
bangsa yang telah maju.
B. Tujuan Wajib Belajar
Program Wajib belajar 9 tahun didasari konsep “Pendidikan dasar
untu semua” (universal basic education), yang pada hakekatnya berarti
penyediaan akses yang sama untuk semua anak. Hal ini sesuai dengan kaidah-
kaidah yang tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia,
tentang Hak anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak
(Prayitno, 2000). Melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun
diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
dasar yang perlu dimiliki semua warga Negara sebagai bekal untuk dapat
hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikan sekolah
maupun luar sekolah. Dengan Wajib belajar, mereka akan dapat menjalani
hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu, menurut
May (dalam Bentri, dkk. 2008) adalah merangsang aspirasi pendidikan orang
tua dan anak yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan produktivitas
kerja penduduk secara nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib
belajar 9 tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi
secara maksimal, namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk
memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang sekarang ini masih jauh dari
standar nasional.
Agar sasaran tersebut terwujud secara optimal perlu diupayakan
adanya kesinambungan penyelenggaraan pendidikan SD/MI dan SMP/MTs
serta satuan pendidikan sederajat berkenaan dengan berbagai komponen
pendidikan yang mendukung.
C. Pelaksanaan Wajib Belajar Sembilan Tahun
Menurut Bentri, dkk. (2008) pelaksanaan program wajib belajar 9
tahun di Indonesia memiliki empat ciri utama, yaitu: 1) dilakukan tidak
melalui paksaan tetapi bersifat himbauan, 2) tidak memiliki sanksi hokum
32
tetapi menekankan tanggung jawab moral dari orang tua untuk
menyekolahkan anaknya, 3) tidak memiliki undang-undang khusus dalam
implementasi program, 4) keberhasilan dan kegagalan program diukur dari
peningkatan partisipasi bersekolah anak usia 6-15 tahun. Menurut Ibrahim
(dalam Bentri dkk, 2008) pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dilakukan
melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah meliputi
program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Untuk tingkat SD
diberlakukan pada SD regular, SD kecil, SD Pamong, SD terpadu, MI,
Pondok Pesantren, SDLT, dan Kelompok Belajar Paket A. Sedangkan untuk
tingkatan SLTP dilaksanakan SLTP Regular, SLTP Kecil, SLTP Terbuka dan
SLTP-LB dan Kelompok Belajar Paket B.
Tahun 2000 adalah mulai diberlakukannya Otonomi Daerah di
Indonesia. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam
mengelola pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan (PP No.
25 Tahun 2000). Dengan Kebijakan Otonomi Daerah ini terbuka kesempatan
bagi para ahli, praktisi, dan pengamat pendidikan untuk bersama-sama
memberdayakan pendidikan secara menyeluruh, termasuk wajib belajar 9
tahun. Otonomi pendidikan merupakan salah satu kesempatan yang sangat
baik bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-
masing yang merupakan tolak ukur kualitas sumber daya manusia. Ada
keberagaman daerah dalam menyikapi diberlakukannya otonomi pendidikan.
Di satu pihak ada daerah yang optimis, dan di pihak lain ada yang pesimis.
Daerah yang merasa pesimis disebabkan oleh realitas kondisi daerahnya,
khususnya kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan
yang berbeda-beda (Suyanto dalam Bentri dkk. 2008).
Diyakini atau tidak, pendidikan dasar 9 tahun merupakan wahana yang
paling efektif untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan peningkatan
mutu sumber daya manusia di Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun berat
dan sulitnya permasalahan yang ada pada awalnya, dengan adanya kebijakan
desentralisasi penyelenggaraan pendidikan akan dapat dikelola dengan lebih
murah dan lebih cepat. Desentralisasi pendidikan dapat mengembangkan
33
kreativitas siswa, guru, kepala sekolah, dan masyarakat. Untuk itu perlu
diberlakukan manajemen berbasis sekolah (school based management)
dengan tujuan agar sekolah dapat mengelola proses belajar mengajar dengan
lebih baik sehingga dapat meningkatkan pembelajaran siswa. Artinya,
manajemen berbasis sekolah harus mampu melaksanakan perbaikan proses
belajar mengajar di kelas (classroom change) agar membuahkan pengalaman
yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupan siswa (Zais dalam
Bentri, dkk. 2008).
D. Penyelenggara Wajib Belajar 9 Tahun
Dalam pasal 3 Bab III Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 2008
tentang Wajib belajar, pasal 3 menjelaskan bahwa:
1. Diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan
pendidikan informal.
2. Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal
pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan
bentuk lain yang sederajat.
3. Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan nonformal
dilaksanakan melalui program Paket A, program Paket B, dan bentuk lain
yang sederajat.
4. Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan informal
dilaksanakan melalui pendidikan keluarga dan/atau pendidikan
lingkungan.
5. Ketentuan mengenai penyetaraan pendidikan nonformal dan pengakuan
hasil pendidikan informal penyelenggara program wajib belajar terhadap
pendidikan dasar jalur formal diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.
Selanjutnya pasal 4 menjelaskan bahwa Program wajib belajar
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah sesuai
kewenangannya, atau masyarakat.
34
E. Program BOS dan Program Wajib Dikdas 9 Tahun Yang bermutu
Dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun yang bermutu,
banyak program yang telah, sedang, dan akan dilakukan. Program-program
tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 , yaitu pemerataan dan perluasan
akses, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing dan tata kelola,
akuntabilitas dan pencitreaan publik. Salah satu program yang diharapkan
berperan besar terhadap percepatan penuntasan wajar 9 tahun yang bermutu
adalah program BOS, meskipun tujuan utama program BOS adalah untuk
pemerataan dan perluasan akses, program BOS juga merupakan program
untuk penimngkatan mutu, relevansi dan daya saing serta untuk tata kelola,
akuntabilitan dan penitraan publik.
Melalui program BOS yang terkait dengan gerakan perepatan wajib
belajar 9 tahun, maka setiap pelaksana program pendidikan harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. BOS harus menjadi sarana penting untuk memperepoat penuntasan wajar 9
dikdas 9 tahun
2. Melalui BOS tidak boleh ada siswa miskin putus ekolah karena tidka
mampu membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh
sekolah/madrasah/ponpes.
3. Anak lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan
pendidikannnya ke sekolah setingkat SMP. Tidak boleh ada tamatan
SD/MI/setara tidak dapat melanjutkan ke SMP/MTs/SMP LB dengan
alasan mahalnya biayamasuk sekolah
4. Kepala sekolah /madrasah/ponpes menari dan mengajak siswa
SD/MI/SDLB yang akan lulus dan berpotyensi tidak melanjutkan sekolah
untuk ditampung di SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila terindikasi
anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali
ke bangku sekolah.
35
F. Program BOS dan Manajemen Sekolah (MBS)
Dalam program BOS, dana diterima oleh sekolah secara utuh, dan
dikelola secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan dewan guru dan
Komite Sekolah tanpa intervensi dari pihak lain. Dengan demikian program
BOS sangat mendukung implementasi penerapan MBS, yang secara umum
bertujuan untuk memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang
(otonom), pemberian fkelsibilitas yang lebih besar, untuk mengelola sumber
daya sekolah, dan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
Melalui program BOS, warga sekolah diharapkan dapat
lebihmengembangkan sekolah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut
1. BOS harus menjadi sarana penting untuk meningkatkan pemberdayaan
sekolah dalamrangka meningkatkan akses, mutu dan manajemen sekolah
2. Bagi siswa tidak mampuharus dibebaskan dari segala pungutan/gratis.
Namun demikian masyarakat dan orang tua siswa yang mampu diharapkan
tetap berpartisipasi dalam pengembangan sekolah
3. Sekolah dapat melaksanakan semua kegiatan tanpa lebih profesional,
transparan, mandiri, kerjasma dan dapat dipertanggungjawabkan.
36
BAB V
IMPLEMENTSI PENGGUNAAN DANA BOS
DI KALIMANTAN SELATAN
A. Persentase Penggunaan Dana Bos untuk Setiap Bidang
Sebagaimana buku petunjuk penggunaan dana BOS, bahwa dana BOS bisa
digunakan untuk hal-hal sebagai berikut: Administrasi penerimaan siswa baru,
pembelian buku referensi, pembelian buku tesk pelajaran untuk perpustakaan,
membiayai kegiatan remedial, pengayaan dan ekstra kurikuler, membiayai
ulanagan/ujian dan laporan hasil belajar siswa, beli bahan habis pakai, membayar
langgaran daya dan jasa, biaya perawatan sekolah, membayar honorarium guru
honor dana tenaga kependidikan honorer, biaya pengembangan profesi guru,
bantuan biaya transport bagi siswa miskin, biaya administrasi pengelolaan BOS,
pembelian komputer untuk pembelajaran siswa dan lainnya (konsumsi rapat dll).
Terhadap ketentuan tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan dana sudah mengacu kepada ketentuan sebagaimana tersebut, dcngan
persentase penggunaan untuk masing-masing bidang sebagaimana terlihat pada
tabel berikut:
1. Penggunaan BOS untuk Administrasi penerimaan siswa baru
Setiap tahun sekolah tentunya melaksanakan penerimaan siswa baru.
Gamabaran Penggunaan dana BOS untuk bidang administrasi penerimaan
siswa baru dapat digambarkan pada tabel berikut:
Tabel 1
Persentase penggunaan dana BOS untuk penerimaan Siswa Baru
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 39 87
2 5 - 10% 6 13
3 11 - 15% 0 -
4 16 - 20% 0 -
5 21 - 25% 0 -
6 > 25 0 -
37
Jumlah 45 100
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa hampir 90 % responden
mengatakan bahwa penggunaan dana BOS untuk administrasi penerimaan
siswa baru kurang dari 5 %.
2. Pembelian buku referensi
Walaupun ada dana BOS khusus untuk buku, namun dana BOS umum
ini juga diperbolehkan untuk membeli buku-buku reefensi di sekolah.
Persentase penggunaan dana BOS untuk bidang ini dapat terlihat pada tabel
berikut:
Tabel 2
Persentase penggunaan dana BOS untuk pembelian buku referensi
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 28 63
2 5 - 10% 10 22
3 11 - 15% 1 2
4 16 - 20% 2 4
5 21 - 25% 1 2
6 > 25 3 7
Jumlah 45 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa lebih dari 50% responden
mengatakan kurang dari 5% penggunaan dana BOS untuk pembelian buku
referensi. Hal ini diduga karena sekolah juga mendapatkan BOS untuk buku.
3. Pembelian Buku Teks untuk Perpustakaan
Selain untuk pembelian buku referensi, dana BOS juga bisa digunakan
untuk pembelian buku Teks perpustakaan. Persentase penggunaan dana BOS
terhadap bidang ini dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 3
Persentase penggunaan dana BOS untuk Pembelian Buku Teks Perpustakaan
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 21 47
38
2 5 - 10% 18 40
3 11 - 15% 3 7
4 16 - 20% 2 4
5 21 - 25% 1 2
6 > 25 0 -
Jumlah 45 100
Tidak jauh berbeda dengan penggunaan untuk buku referensi,
persentase penggunaan untuk buku teks perpustakaan juga hampir 50%
responden menjawab kurang dari 5%.
4. Membiayai kegiatan Remedial, Pengayaan dan Ekstra Kurikuler
Dari dana BOS sekolah juga bisa mengalokasikan dana untuk kegiatan
remedial, pengayaan ataupun kegiatan ekstra kurikuler. Terhadap bidang ini,
tampaknya responden memberikan jawaban yang bervariasi, sebagaimana
tabel berikut:
Tabel 4
Persentase penggunaan dana BOS untuk Remedial, Pengayaan dan
Ekstra Kurikuler
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 14 31
2 5 - 10% 17 38
3 11 - 15% 7 16
4 16 - 20% 5 11
5 21 - 25% 2 4
6 > 25 0 0
Jumlah 45 100
Tabel di atas memperlihatkan bahwa persentase penggunaan dana
BOS untuk kegiatan remedial, pengayaan dan kegiatan ektra kurikuler
berkisar antara 5 sampai 10%.
5. Membiayai Ulangan/Ujian dan Laporan Hasil Belajar
Setiap ada ulangan/ujian tentu memerlukan biaya, khususnya untuk
pembuatan soal-soal ulangan atau ujian. Begitu pula untuk pembuatan
39
laporan hasil belajar siswa. Persentase penggunaan dana BOS untuk bidang
ini dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 5
Persentase penggunaan dana BOS untuk Ulangan/Ujian dan Laporan Hasil
Belajar Siswa
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 11 24
2 5 - 10% 21 47
3 11 - 15% 9 20
4 16 - 20% 4 9
5 21 - 25% 0 0
6 > 25 0 0
Jumlah 45 100
Tabel di atas menggambarkan bahwa persentase penggunaan dan BOS
untuk ulangan/ujian dan laporan hasil belajar siswa sebagian besar responden
mengatakan antara 5 sampai 10%.
6. Beli Bahan Habis Pakai
Bidang lain yang juga bisa dianggarkan dari dana BOS adalah
pembelian bahan habis pakai, seperti bahan ATK. Terhadap bidang ini
persentase penggunaan dana BOS dapat diketahui dari tabel berikut:
Tabel 6
Persentase penggunaan dana BOS untuk Bahan t{abis Pakai
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 12 27
2 5 - 10% 18 40
3 11 - 15% 7 15
4 16 - 20% 4 9
5 21 - 25% 3 7
6 > 25 1 2
Jumlah 45 100
40
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa persentase
penggunaan dana BOS untuk bahan habis pakai sebagaian besar responden
mengatakan sampai dengan 10%, namun demikian ternyata ada juga sekolah
yang mengalokasikan dana BOS lebih dari 20%.
7. Membayar langganan daya dan jasa
Bagi sekolah yang mempunyai aliran listrik, telepon dan PDAM
tentunya memerlukan alokasi dana untuk pembayaran iuran setiap bulan.
Persentase penggunaan dana BOS terhadap bidang ini dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 7
Persentase penggunaan dana BOS untuk Membayar Langganan Daya dan Jasa
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 40 89
2 5 - 10% 5 11
3 11 - 15% 0 -
4 16 - 20% 0 -
5 21 - 25% 0 -
6 > 25 0 -
Jumlah 45 100
Tabel di atas memperlihatkan bahwa mayoritas responden
mengatakan bahwa untuk pembayaran langganan daya dan jasa mereka hanya
menganggarkan dana kurang dari 5 %.
8. Biaya Perawatan Sekolah
Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan biaya perawatan sekolah
adalah perawatan yang sifatnya ringan seperti pengecatan sekolah, perbaikan
pintu dan jendela sekolah. Persentase penggunaan dana BOS untuk bidang ini
dapat terlihat pada tabel berikut:
41
Tabel 8
Persentase penggunaan dana BOS untuk Biaya Perawatan Sekolah
No Persentase
Penggunaan
Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 11 25
2 5 - 10% 27 60
3 11 - 15% 5 11
4 16 - 20% 1 2
5 21 - 25% 1 2
6 > 25 0 0
Jumlah 45 100
9. Membayar Honorarium Guru Honor dan tenaga kependidikan Honorer
Hampir semua sekolah yang diteliti mengatakan kekurangan guru,
khususnya sekolah yang berada di daerah atau sekolah yang berstatus swasta.
Untuk mengatasi kekurangan guru tersebut, sekolah mencari guru honor.
Sebagai konsekuensinya, mereka harus mengalokasikan dana untuk
membayar gaji guru yang berstatus honor tersebut. Persentase penggunaan
dana BOS untuk pembayaran honorarium guru honor dan tenaga
kependidikan honorer dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 9
Persentase penggunaan dana BOS untuk Honorarium Guru dan tenaga
Kependidikan Honorer
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 6 14
2 5 - 10% 8 18
3 11 - 15% 15 33
4 16 - 20% 6 13
5 21 - 25% 10 22
6 > 25 0 0
Jumlah 45 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat dikctahui bahwa persentase
penggunaan dana BOS untuk membayar honor guru ternyata cukup besar.
Lebih dari 50% mengatakan di atas 10%.
42
10. Biaya pengembangan Profesi Guru
Untuk meningkatkan kompetensinya, guru-guru tentunya perlu perlu
melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan profesinya baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Salah satunya adalah mengikuti kegiatan MGMP.
Persentase penggunaan dana BOS untuk bidang ini dapat terlihat pada tabel
berikut:
Tabel 10
Persentase penggunaan dana BOS untuk Pengembangan Profesi Guru
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 14 31
2 5 - 10% 17 38
3 11 - 15% 8 18
4 16 - 20% 4 9
5 21 - 25% 1 2
6 > 25 1 2
Jumlah 45 100
Tabel di atas memperlihatkan bahwa persentase penggunaan dana untuk
pengembangan profesi guru di setiap sekolah sebagian besar menganggarkan dana
antara 5 sampai dengan 10 %. Namun cukup banyak juga sekolah yang
menganggarkan dana di atas 10 % (27%).
11. Bantuan Biaya Transport bagi Siswa Miskin
Di setiap sekolah tidak menutup kemungkinan terdapat siswa miskin,
terlebih sekolah yang berada di daerali pinggiran. Terhadap siswa miskin, bukan
suja dibebaskan dari seluruh iuran sekolah, tetapi juga dibantu agar mereka jangan
sampai putus sekolah misalnya dengan pemberian uang transport. Persentase
penggunaan dana untuk bidang ini dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 11
Persentase penggunaan dana BOS untuk Biaya Transport bagi Siswa Miskin
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 37 82
2 5 - 10% 8 18
43
3 11 - 15% 0 0
4 16 - 20% 0 0
5 21 - 25% 0 0
6 > 25 0 0
Jumlah 45 100
Tabel di atas menggambarkan bahwa sebagian besar sekolah hanya
menganggarkan dana kurang dari 5% untuk memberi transport bagi siswa miskin.
12. Biaya Administrasi pengelolaan BOS
Pengelolaan dana BOS tentu saja harus dipertanggungjawabkan. Sebagai
bukti pertanggungjawaban, maka pihak pengelola dana BOS harus membuat
administrasinya. Keperluan dana untuk administrasi pengelolaan BOS juga bisa
dialokasikan dari dana BOS.
Tabel 12
Persentase penggunaan dana BOS untuk Biaya Administrasi Pengelolaan BOS
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 38 84
2 5 - 10% 7 16
3 11 - 15% 0 0
4 16 - 20% 0 0
5 21 - 25% 0 0
6 > 25 0 0
Jumlah 45 100
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas respondcn
(84%) mengatakan kurang dari 5% mengalokasikan dana BOS untuk biaya
administrasi pengelolaan BOS.
13. Pembelian Komputer untuk Pembelajaran Siswa
Dengan kemajuan teknologi saat ini, para siswa juga dituntut agar
jangan sampai ketinggala atau buta dengan teknologi. Salah satu bidang
44
teknologi saat ini yang harus dikenalkan kepada siswa adalah bidang
komputer. Agar di sekolah siswa bisa untuk belajar komputer, maka sekolah
harus menyediakannya.
Tabel 13
Persentase penggunaan dana BOS untuk Pembelian Komputer Siswa
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
1 < 5% 30 67
2 5 - 10% 5 11
3 11 - 15% 5 11
4 16 - 20% 1 2
5 21 – 25% 2 4
6 > 25 2 4
Jumlah 45 100
Tabel di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (67%)
mengatakan bahwa persentase penggunaan dana BOS untuk pembelian
komputer siswa hanya di bawah 5%. Itu menggambarkan bahwa penggunaan
komputer untuk pembelajaran siswa masih minim. Hal ini diduga karena
keterbatasan keterampilan yang dimiliki oleh guru-guru di masing-masing
sekolah dalam bidang kompter.
14. Lainnya
Selain bidang-bidang tersebut di atas, bidang lainnya yang bisa
memanfaatkan dana BOS adalah konsumsi para guru, pembelian seragam
bagi siswa miskin dll. Persentase penggunaan dana BOS untuk bidang ini
dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 14
Persentase penggunaan dana BOS untuk Bidang Lainnya
No Persentase Penggunaan Jumlah Sekolah Persentase
45
1 < 5% 22 54
2 5 - 10% 9 20
3 11 - 15% 9 20
4 16 - 20% 2 4
5 21 - 25% 1 2
6 > 25 0 0
Jumlah 45 100
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa penggunaan dana BOS untuk
bidang lainnya, sebagian besar responden (54%) menjawab kurang dari 5%.
15. Pengalokasian dana BOS untuk Siswa Miskin
Sebagaimana diketahui bahwa dana BOS bertujuan untuk
meringankan beban orang tua dalam pendidikan, terlebih bagi orang yang
tidak mampu. Jika di sekolah terdapat siswa miskin, maka pihak sekolah bisa
mengalokasikan dana BOS untuk membantu siswa yang miskin tersebut.
Tabel 15
Pengalokasian dana BOS untuk Siswa Miskin
No Alternatif jawaban Jumlah Persentase
1 Selalu 78 52
2 Kadang-kadang 61 41
3 Tidak pernah 8 5
4 tidak member ikan jawaban 3 2
Jumlah 150 100
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas responden
mengatakan selalu dan kadang-kadang saja mengalokasikan dana BOS
bagi siswa miskin, dan sebagian kecil mengalakan tidak pernah
mengalokasikan dana BOS tersebut untuk siswa miskin. Bagi sekolah
yang tidak pernah, hal itu diduga kesulitan bagi pihak sekolah untuk
46
menentukan kriteria siswa miskin di sekolah tersebut. Karena menurut
responden, buku petunjuk BOS tidak begitu jelas memberikan kriteria
penentuan siswa miskin tersebut.
B. Transparansi Penggunaan Dana BOS
1. Bagi Orang Tua Siswa
e. Pengetahuan Orang Tua tentang dana BOS
Dana BOS sudah diluncurkan oleh pemerintah sejak tahun 2005.
Pengetahuan orang tua tentang adanya dana BOS terlihat sudah
cukup baik, sebagaimana dapat terlihat pada jawaban responden
pada tabel berikut:
Tabel 16
Pengetahuan Orang Tua Siswa tentang Dana BOS
No Alternatif jawaban Jumlah Persentase
1 Sangat mengetahui 106 71
2 Kurang mengetahui 40 27
3 Tidak mengetahui 4 2
Jumlah 150 100
Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa sebagian besar
orang tua sudah mengetahui akan adanya dana BOS. Pengetahuan
tentang dana BOS tersebut diperoleh dari berbagai sumber
sebagaimana tabel berikut:
Tabel 17
Sumber Informasi tentang dana BOS
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
1 Sekolah 77 51
47
2 Televisi 52 35
3 Koran/majalah 10 7
4 Masyarakat 11 7
Jumlah 150 100
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa sebagian besar
orang tua menyatakan bahwa mereka mengetahui dana BOS dari
sekolah dan televisi. Arlinya bahwa pihak sekolah sudah
mensosialisasikan tentang dana BOS terhadap orang tua siswa. Di
samping itu pula, masyarakat sudah menggunakan media masa
untuk memahami kebijakan pemerintah yang sedang berjalan.
Dengan adanya dana BOS, maka semua siswa miskin di sekolah
harus dibebaskan dari segala iuran sekolah. Terhadap ketentuan ini,
sebagian besar orang tua sudah mengetahuinya.
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah tentu saja tidak bisa
hanya menyandarkan pada dana BOS. Pemahaman orang tua akan
hal ini tampaknya sudah cukup bagus sebagaimana terlihat pada
tabel berikut:
Tabel 18
Pendapat orang Tua tentang Kecukupan Dana BOS untuk
Penyelenggaraan Pendidikan di sekolah
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
1 Sangat mcncukupi 29 19
2 Kurang mencukupi 95 63
3 Tidak mencukupi 23 16
4 tidak memberikan jawaban 3 2
Jumlah 150 100
Tabel tersebut menggambarkan bahwa 63 % responden
menjawab bahwa dana BOS belum cukup untuk membiayai
penyelenggaraan pendidikn di sekolah. Oleh karena itu bagi
masyarakat yang mampu tetap harus memberikan partisipasinya
terhadap sekolah. Namun demikian, walaupun sebagian besar
responden menyatakan dana BOS belum cukup untuk membiayai
48
penyelenggaraan pendidikan di sekolah, tetapi anggapan
masyarakat dengan adanya dana BOS sekolah gratis tampaknya
cukup berpengaruh. Artinya masyarakat menganggap tidak perlu
lagi adanya iuran partisipasi orang tua terhadap pendidikan di
sekolah tanpa melihat apakah mereka tergolong kaya atau miskin.
Adanya pemahaman orang tua yang menganggap dengan dana
BOS masyarakat tidak perlu lagi memberikan partisipasi terhadap
penyelenggaraan pendidiakn di sekolah diduga dipengaruhi oleh
iklan layananan di televisi tentang dana BOS dan sekolah gratis.
Iklan layananan ini juga yang akhirnya memunculkan pemahaman
orang tua yang menganggap bahwa dengan adanya dana BOS,
maka tidak perlu lagi adanya partisipasi orang tua terhadap sekolah
(71 %). Sedangkan yang menganggap tetap perlu partisipasi orang
tua adalah 38 orang responden (25 %), selebihnya (4%) tidak
memberikan jawaban.
f. Keterlibatan orang tua dalam penggunaan dana BOS
Dalam penggunaan atau pemanfaatan dana BOS, pihak
sekolah selaku pengelola BOS perlu memusyawarahkannya dengan
mengundang orang tua siswa. Terhadap ketentuan ini ternyata tidak
semua sekolah melaksanakannya, sebagaimana terlihat pada tabel
berikut :
Tabel 19
Undangan terhadap orang Tua tentang rencana Pengggunaan dana
BOS
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
1 Selalu 64 43
2 Kadang-kadang 45 30
3 Tidak pernah 41 27
4 tidak memberikan jawaban 0 0
49
Jumlah 150 100
Dari tabel di atas tampak bahwa hanya 43 % responden yang
menyatakan diundang oleh pihak sekolah dalam rencana
pemanpaatan dana BOS. Begitu pula dengan penggunaan dana
BOS, ternyata sekolah tidak selalu memberitahukannya kepada
orang tua siswa ( 24 %) . Sedangkan yang selalu melaksanakannya
dijawab oleh 60 orang responden ( 40 %) responden, dan 36 %
responden menjawab hanya kadang-kadang.
Hal ini memberikan gambaran bahwa bahwa transparansi
pengelolaan dana BOS kepada masyarakat masih cukup rendah.
Namun demikian, walaupun transparansi penggunaan dana BOS
masih rendah, tetapi kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan
BOS cukup tinggi. Hal ini berdasarkan pendapat masyarakal
tcntang kelepatan penggunaan dana BOS scbagaimana terlihat pada
tabel berikut :
Tabel 20
Pendapat Masyarakat tentang Ketepatan Pengggunaan dana BOS
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
1 Sangat tepat 104 69
2 Kurang tepat 38 25
3 Tidak tepat 7 5
4 tidak memberikan jawaban 1 1
Jumlah 150 100
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa sebagian besar
masyarakat menyatakan penggunaan dana BOS sudah tepat
50
sasaran. Di samping itu pula, sebagian besar responden (82 %)
menganggap bahwa dana BOS mempunyai pengaruh terhadap
peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.
2. Transparansi Dana BOS Bagi Guru-Guru
Selain masyarakat, penggunaan dana BOS juga harus
dimusyawarahkan dengan guru-guru di masing-masing sekolah.
Pelibatan para guru dalam percncanaan penggunaan dana BOS dapat
terlihat pada tabel berikut:
Tabel 21
Pelibatan para Guru dalam Perencanaan Pengggunaan dana BOS
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
1 Selalu 114 76
2 Kadang-kadang 27 18
3 Tidak pernah 9 6
4 tidak memberikan jawaban 0 0
Jumlah 150 100
Dari tabel tersebut diperoleh gambaran bahwa untuk
perencanaan penggunaan dana BOS mayoritas para guru mengatakan
selalu dilibatkan. Hanya sedikit responden yang mengatakan tidak
pernah dilibatkan. Selain harus melibatkan para guru dalam
perencanaan, dalam penggunaannya juga harus melibatkan para guru
di sekolah. Dengan kata lain tidak hanya ditentukan oleh kepala
sekolah dan pengelola BOS saja. Terhadap ketentuan ini jawaban
responden dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 22
Pelibatan para Guru dalam Pengggunaan dana BOS
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
51
1 Selalu 93 62
2 Kadang-kadang 53 35
3 Tidak pernah 4 3
4 tidak memberikan jawaban 0 0
Jumlah 150 100
Tidak jauh berbeda dengan pelibatan para guru dalam
perencaanaan penggunaan dana BOS, dalam penggunaannya sebagian
besar para guru mcngatakan bahwa pihak sekolah juga
memusyawarahkannya dengan para guru. Dari temuan ini dapat
disimpulakn bahwa transparansi penggunaan dana BOS bagi guru-guru
sudah cukup baik sesuai dengan yang diharapkan.
Selain itu, mayoritas para guru (90%) juga mengatakan bahwa
penggunaan dana BOS selalu mengacu pada RAPBS yang telah dibuat.
Karena penggunaannya selalu mengacu kepada RAPBS yang telah
dibuat, maka tentu saja penggunaannya juga sudah tepat sasaran. Hal
ini juga dikatakan oleh mayoritas para guru yang menjadi responden
(90%).
C. Pengaruh Dana BOS terhadap Beban Orang Tua dalam Pendidikan
Salah satu tujuan yang sangat penting dalam pemberian dana BOS
adalah untuk meringankan beban orang tua siswa dalam pendidikan.
Terhadap hal ini jawaban responden dapat terlihat pada tabel berikut:
Tabel 23
Pendapat Masyarakat tentang Pengaruh dana BOS terhadap Beban Orang Tua
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
52
1 Terbebas dari segala iuran sekolah 107 71
2 Meringankan beban orang tua 39 26
3 Tidak memberikan pengaruh apapun 3 2
4 tidak memberikan jawaban 1 1
Jumlah 150 100
Secara umum pengaruh yang dirasakan oleh orang tua dengan adanya
dana BOS adalah terbebasnya mereka dari berbagai iuran di sekolah. Hal ini
mengindikasikan bahwa sekolah memang tidak melakukan berbagai pungutan
lagi, sebagaiamana terlihat pada tabel berikut
Tabel 24
Jawaban Orang Tua terhadap Iuran di Sekolah Setelah ada dana BOS
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
1 Selalu 38 25
2 Kadang-kadang 6 4
3 Tidak pernah 106 71
4 tidak memberikan jawaban 0 0
Jumlah 150 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa 71% responden
mengatakan tidak ada iuran lagi di sekolah setelah ada dana BOS. Namun
demikian, masih ada sebagian orang tua yang mengatakan bahwa iuran
sekolah tetap ada, namun tidak sebesar sebelum ada dana BOS (25%).
Bagaimanapun jika ingin pembelajaran berkualitas tentunya tetap
memerlukan partisipasi orang tua. Hal ini tampaknya juga sudah dipahami
oleh sebagian orang tua.
Tabel 25
Pendapat Orung Tua tenlang iurun partisipusi setelah ada dana BOS
No
Alternatif jawaban
Jumlah
Persentase
1 Tetap perlu 59 39
2 Kadang-kadang saja 34 23
3 Tidak perlu lagi 57 38
4 tidak memberikan jawaban 0 100
53
Jumlah 150 100
Pendapat orang tua tentang iuran partisipasi terhadap sekolah
hampir seimbang antara yang mengatakan tetap perlu dan yang
mengatakan tidak perlu lagi. Bagi orang tua yang mengatakan tetap perlu
berarti memberikan indikasi bahwa mereka menyadari akan pentingnya
partisipasi orang tua terhadap pendidikan. Dana BOS sebenarnya tidak
bisa membiayai penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan.
Sedangkan bagi responden yang menjawab tidak perlu lagi
mengindikasikan masih belum dipahaminya bahwa pendidikan bukan
hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab
orang tua dan masyarakat. Sebagai bukti turut sertanya orang tua atau
masyarakat dalam pendidikan adalah pembayaran iuran partisipasi,
khususnya bagi yang mampu.
54
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penggunaan dana BOS di Kalimantan Selatan sudah mengacu pada
ketentuan sebagaimana mestinya yaitu untuk hal-hal sebagai berikut:
Administrasi penerimaan siswa baru, pembelian buku referensi, pembelian
buku tesk pelajaran untuk perpustakaan, membiayai kegiatan remedial,
pengayaan dan ekstra kurikuler, membiayai ulanagan/ujian dan laporan hasil
belajar siswa, beli bahan habis pakai, membayar langgaran daya dan jasa,
biaya perawatan sekolah, membayar honorarium guru honor dana tenaga
kependidikan honorer, biaya pengembangan profesi guru, bantuan biaya
transport bagi siswa miskin, biaya administrasi pengelolaan BOS, pembelian
komputer untuk pembelajaran siswa dan lainnya (konsumsi rapat dll).
Dana BOS bertujuan untuk meringankan beban orang tua dalam
pendidikan, terlebih bagi orang yang tidak mampu. Jika di sekolah terdapat
siswa miskin, maka pihak sekolah bisa mengalokasikan dana BOS untuk
membantu siswa yang miskin tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa mayoritas responden mengatakan selalu dan kadang-kadang saja
mengalokasikan dana BOS bagi siswa miskin, dan sebagian kecil mengalakan
tidak pernah mengalokasikan dana BOS tersebut untuk siswa miskin. Bagi
sekolah yang tidak pernah, hal itu diduga kesulitan bagi pihak sekolah untuk
menentukan kriteria siswa miskin di sekolah tersebut. Karena menurut
responden, buku petunjuk BOS tidak begitu jelas memberikan kriteria
penentuan siswa miskin tersebut.
Transparansi penggunaan dana BOS sebagian besar menyatakan
sudah transparan baik bagi orang tua siswa maupun bagi guru- guru.
Secara umum pengaruh yang dirasakan oleh orang tua dengan adanya
dana BOS adalah terbebasnya mereka dari berbagai iuran di sekolah. Hal ini
55
mengindikasikan bahwa sekolah memang tidak melakukan berbagai pungutan
lagi.
Pendapat orang tua tentang masih perlunya iuran partisipasi terhadap
sekolah hampir seimbang antara yang mengatakan tetap perlu dan yang
mengatakan tidak perlu. Bagi orang tua yang mengatakan tetap perlu berarti
memberikan indikasi bahwa mereka menyadari akan pentingnya partisipasi
orang tua terhadap pendidikan. Dana BOS sebenarnya tidak bisa membiayai
penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan. Sedangkan bagi responden
yang menjawab tidak perlu lagi mengindikasikan masih belum dipahaminya
bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga
merupakan tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Sebagai bukti turut
sertanya orang tua atau masyarakat dalam pendidikan adalah pembayaran
iuran partisipasi, khususnya bagi yang mampu
B. Saran
Dari penelitian ini selanjutnya disarankan hendaknya sekolah selalu
mengumumunkan daftar komponen yg boleh dan yg tidak boleh dibiayai oleh
dana bos serta penggunaan dana bos di sekolah menurut komponen dan besar
dananya di papan pengumuman sekolah/ madrasah.
Untuk penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, dana BOS
sebenarnya belum bisa melaksanakan pendidikan yang gratis untuk seluruh
siswa. Untuk itu kepada pihak pemerintah daerah hendaknya menganggarkan
adanya dana pendamping yaitu BOS Daerah.
56
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Irawati. 2007. Keadilan Pendidikan di Indonesia. Artikel (Online)
(http//insideindonesia.org), diakses 6 April 2010
Abdul Wahab, Solichin. 1997. Pengantar Analisis Kebijakan Negara. Renneka
Cipta, Jakarta
-----------------------------. 1997. Analisis kebijakan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan negara. Edisi kedua. Bumi Aksara, Jakarta,
Christie Taroreh, Eclesia. 2008. Realisasi Penyaluran Dana Bantuan
Operasional Sekolah di Kota Tomohon, artikel (Online), ( http : //
igilib.ipdn.ac. id), diakses Pebruari 2010.
Depdiknas Departemen Agama. 2007. Buku Panduan Bantuan Operasional
Sekolah dalam Rangka wajib Belajar 9 tahun, Depdiknas Depag ,
Jakarta.
Depdiknas Departemen Agama. 2007. Buku Petunjuk Teknis Monitoring dan
Evaluasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Rangka wajib
Belajar 9 tahun, Depdiknas Depag , Jakarta
Hadi Purnomo, Sucipto. 2005. BOS, Pendidikan Gratis Rakyat Apatis. Suara
Merdeka, Senin, 10 Oktober 2005. (Online) (http : //
www.&suaramerdeka.com), diakses 26 Agustus 2010
Islamy, M.Irfan. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan negara. Bumi
Aksara, Jakarta
57
-------------------. 2000. Kebijakan Publik dan kepentingan Daerah,. Makalah
dipresentasikan pada Diklat Pendalaman Bidang Tugas Anggota DPRD
Kota Kediri tanggal 22 Pebruari 2000.
Paslah, Asrono. 2011. Pencapaian Program Wajb Belajar 9 Tahun. Artikel ,
Online (http://yusufsupendi.multiply.com), diakses April 2011
Rahardjo, Satoto.2008. Dana BOS Turunkan Angka Putus Sekolah, Artikel
(Online), ( http:// imadebtg – sdsmp.b.logspot.com) diakses 2 April 2010.
Syarif, Hidayat. 1994. Wajib Belajar dan Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
dan Pemerataan Pendidikan dalam Upaya Memajukan Desa
Tertinggal. Makalah IKIP Bandung.
Soenarko.2000. Public Policy. Pengertian-Pengertian Pokok untuk
Memahami dan Analisa Kebijaksanaan pemerintah. Airlangga
University Press, Surabaya.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.