Iman

44
IMAN [Print View ][kirim ke Teman ] Iman menurut Ahlussunnah wal jama’ah adalah keyakinan dengan hati, pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat. Jadi Iman terdiri dari tiga bagian: Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah: “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33- 34) Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi bersabda yang artinya: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim) Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam- diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)

description

al islam

Transcript of Iman

Page 1: Iman

IMAN[Print View] [kirim ke Teman]

Iman menurut Ahlussunnah wal jama’ah adalah keyakinan dengan hati, pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat.

Jadi Iman terdiri dari tiga bagian: Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah: “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)

Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”

Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi bersabda yang artinya: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)

Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)

Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”

Page 2: Iman

Kesalahan Memahami Hakekat Iman

Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah: 1. Khawarij dan Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka. 2. Murjiah, mereka terdiri dari tiga kelompok: Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati, yakni pengetahuan hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati. Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah. Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha’.

Sumber bacaan: Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya As-Syaikh Abdurrazzaq al Abbad

Iman adalah Perkataan dan Perbuatan    "Termasuk beriman kepada Allah adalah menyakini bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan."

Penjelasan :Iman adalah pembenaran dengan hati, perkataan dengan lisan dan pengamalan dengan anggota tubuh dan amal perbuatan nerupakan bagian dari iman.

Dalil-dalil yang menunjukkan akan kebenaran perkataan ini jumlahnya banyak, baik dari al-Qur'an, as-Sunnah maupun perkataan Ulama Salaf. Inilah beberapa dalil-dalil yang menunjukkan, bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman,  yaitu sbb:

Pertama: Dalil-Dalil dari al-Qur'an:

1. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perk.ataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orangorang yang akan mewarisi, (ya'ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya," (QS. al-Mu'minun : 11). Mereka berhak menyandang nama iman ini, manakala mereka mengerjakan amal perbuatan ini.

Page 3: Iman

2. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayatayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal," (QS. al-Anfal (8): 2) Allah mengambarkan kepada mereka sifat-sifat keimanan. Demikian pula terhadap amal perbuatan ini yang Allah sebutkan dalam ayat ini. Dan ayat ini menjadi dalil, bahwa iman itu dapat bertambah.

3. "Dan Allah tidak akan menyianyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia," (QS. al-Bagarah : 143). Tafsir " imanukum" pada ayat ini tidak diperselisihkan, yaitu shalatukum (sholat kalian), maka shalat dinamakan iman. Hal ini menunjukkan, bahwa amal perbuatan termasuk dari makna iman.

4. "Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kernbali yang baik," (QS. ar-Ra'd : 29). Demikian pula ayat-ayat semisalnya, yang didalamnya terdapat penggabungan antara iman dan amal shaleh. Iman itu tidak disebutkan kecuali disertai dengan amal shaleh, karena amal merupakan bagian dari iman dan merupakan bagian dari makna iman.

dan ayat-ayat lain yang menyebutkan tentang masalah ini yang banyak sekali jumlahnya.

Kedua: Dalil-Dalil dari Sunnah an-Nabawiyyah. Sabda Rasulullah : 

"Iman itu memiliki tujuh puluh cabang lebih (atau enam puluh lebih cabang), yang paling tinggi adalah perkataan "laa ilaha illallahu" dan yang paling rendah adalah menyingkarkan duri dari tengah jalan. Malu itu merupakan bagian dari cabang keimanan"

1. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa iman itu bercabang-cabang dan beliau menjelaskan cabang iman yang tertinggi maupun yang terendah. Cabang-cabang ini merupakan amalan anggota badan. Maka, hal ini menunjukkan, bahwa amal perbuatan termasuk bagian dari makna iman.

2. Sabda Rasulullah kepada utusan 'Abdul Qais, " Saya perintahkan kalian untuk beriman kepada Allah saja. Tahukah kamu, apakah yang dimaksud dengan beriman kepada Allah saja? Mereka berkata, "Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Rasulullah saw bersabda, "Kamu bersaksi, bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang hak selain Allah; dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan; dan kamu berikan kepada orang yang menang dalam peperangan seperlima dari harta rampasan . . . ..". (HR Bukhari (1/67/no: 9) tentang Iman bab: Perkara-perkara iman, Muslim (1/63/no: 35) tentang Iman bab: Penjelasan jumlah cabang keimanan. Lafaz hadits ini adalah lafaz hadits Muslim. Keduanya meriwayatkan dari hadits Abu Shalih dari Abu Hurairah secara  marfu'. )

Nabi menjadikan semua amal perbuatan ini merupakan bagian dari iman. Amalan-amalan ini merupakan amalan anggota badan. Dalil-dalil yang senada dengan dalil-dalil diatas sangat banyak jumlahnya.

Ketiga: Dalil-Dalil dari Perkataan Para Salaf as-Shalih:

Page 4: Iman

1. Imam Bukhari berkata di dalam shahihnya pada masalah Iman, "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang...hingga beliau mengemukakan perkataan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz rahimakumullah, "Sesungguhnya iman memiliki kewajiban-kewajiban dan syariat-syariat; hukum-hukum dan sunnat-sunnat. Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka ia telah menyempurnakan keimanannya; dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka ia belum menyempurnakan keimanannya..." .(Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari (11/67/no: 9) tentang Iman bab: Memberikan seperlima dari harta rampasan merupakan bagian dari iman. Lafaz hadits ini adalah lafaz Bukhari. Muslim (1/46/no: 17) tentang iman bab: Perintah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Keduanya meriwayatkan dari hadits Abu Jumrah dari Ibnu Abbas secara marfu')

2. Imam ash-Shabuni berkata di dalam kitabnya 'Aqidah as-Salaf, "Yang merupakan Mazhab Ahlul Hadits adalah, bahwa iman merupakan perkataan, perbuatan dan pengenalan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan".( Fathul bari (1/60) pada awal kitab al-lman. ) Dinukilkan dari beberapa 'Ulama, bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman. Di antara mereka adalah ats-Tsatiri, Ibnu 'Uyainah, al-Auza'i, Ibnu Juraij, Malik dan selain mereka.

3. Imam Abu Bakar al-Isma'ili berkata dalam kitabnya I'tiqad Aimmatil Hadits, "Mereka berkata, "Sesungguhnya iman itu meliputi perkataan, perbuatan dan pengenalan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kernaksiatan. Barangsiapa yang banyak ketaatannya, imannya lebih bertambah dari pada orang yang kurang kataatannya". (Aqidah as-Salaf Ashabul Hadits hal: 67.)

4. Imam al-Laalakai dalam kitabnya Syarhu Ushul I'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau menukil perkataan dari Sufyan ats-Tsauri, Ibnu 'Uyainah, Ibnu Juraij, Malik dan selain mereka, bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan. Kemudian beliau banyak menukilkan perkataan dari para ulama tentang penetapan bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman. (l'tiqad Aimmatil Hadits hal: 63.)

5. Imam 'Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam as-Sunnah menukil perkataan dari ayahnya bahwa ia berkata, "Kami berkata, "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Apabila seseorang berzina dan minum khamar, maka berkurang keimanannya". (Syarhu Ushul l'tiqadcAhlussunnah wal Jama'aah (4/847/no: 1584))

6. Imam al-khallal dalam as-Sunnah menukil dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa merupakan suatu sunnah, kamu katakan, "Bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Kemudian beliau juga menukil perkataan yang sama dari Imam Ibnul Mubarak. (As-Sunnah/ Abdullah bin Ahmad bin Hambal hal: 81 no: 417) Ini adalah perkataan Jumhur Ulama Salaf.

Perkataan Abu Hanifah dan orang yang sepakat dengan perkataan beliau menyelisihi perkataan Jumhur Ulama Salaf, yang mana mereka menjadikan iman hanya pembenaran dengan hati dan perkataan dengan lisan. Mereka tidak memasukkan amal perbuatan ke dalam makna iman. Akan tetapi mereka mengatakan, bahwa kemuliaan orang-orang yang beriman bertingkat-tingkat tergantung amal shaleh yang mereka kerjakan.Kalau kita renungi apa yang mereka ucapkan dan yakini, bahwa iman secara bahasa pada dasarnya adalah pembenaran. Kalau kita terima makna iman ini adalah pembenaran, kita dapati bahwa pembenaran tidak akan sempurna melainkan dengan mengamalkan berita yang dibenarkan. Tidakkah anda lihat, bahwa jika sekiranya seorang pemberi peringatan datang kepada suatu kaum, lalu ia menyampaikan kepada mereka, bahwa ada pasukan yang akan mendatangi mereka. Kalau mereka membenarkan beritanya, maka mereka benar-benar mempersiapkan perlengkapan perang. Jika mereka tidak mempersiapkan perlengkapan

Page 5: Iman

perang, maka mereka sungguh tidak membenarkan berita tersebut. Oleh karena itu -wallahu a'lam- Allah berfirman kepada Ibrahim as ketika beliau tunduk terhadap perintah Allah. Maka tatkala Ibrahim as hendak melaksanakan perintah atau wahyu dari Allah, mulailah ia menyembelih anaknya Ismail, Allah swt berfirman :" Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. ashShaffat : 103- 105)

Allah tidak mengatakan kepada Ibrahim* engkau telah membenarkan mimpi, melainkan setelah beliau melaksanakan apa yang diperintahkan. Oleh karena itu, pembenaran itu sendiri ditinjau dari sisi bahasa tidak tercapai melainkan setelah adanya pengamalan terhadap berita yang dibenarkan. Maka orang yang mengatakan, bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan pengucapan dengan lisan, mengharuskan ia memasukkan amal perbuatan ke dalam makna iman, karena amal haru-; menyempurnakan pembenaran. Wallahu a'lam. Ref : Syarah Aqidah as shahihah dan Pembatalnya, Abdul Aziz bin fathi bin As Sayyid Nada

Page 6: Iman

Ihsan Tazkiyatun Nufus

6/2/2008 | 27 Muharram 1429 H | Hits: 8.966

Oleh: Tim dakwatuna.com

Share

dakwatuna.com – Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril —yang menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.

“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)

Pengertian Ihsan

Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.

“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)

“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.

Page 7: Iman

Landasan Syar’i Ihsan

Pertama, Al-Qur`anul Karim

Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.

“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)

“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (QS. Al-Baqarah: 83)

“Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba sahayamu….” (QS. An-Nisaa`: 36)

Kedua, As-Sunnah

Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)

Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.

1. Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari

Page 8: Iman

ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

Tingkatan Ibadah dan Derajatnya

Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul Firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya jarak antara mereka.

Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.3. Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Pertama, Tingkat Takwa

Tingkat takwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketakwaan masing-masing.

Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sanksi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita pahami dengan baik, yaitu bahwa Allah swt. Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah swt. akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.

Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah swt.

Page 9: Iman

Kedua, Tingkat al-Bir

Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah swt. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.

Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala di dalamnya.

Akantetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.

Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur kaidah iman dalam Islam, serta tidak terhindar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman dalam kitab-Nya, “Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (QS. l-Baqarah: 189)

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 193)

Ketiga, Tingkatan Ihsan

Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).

Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna —seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya– maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.

Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah swt.

2. Muamalah

Page 10: Iman

Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua

Allah swt. menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24)

Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.

Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda, “Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib

Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak di muka bumi. Allah berfirman, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22)

Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmudzi)

Page 11: Iman

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin

Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”

Diriwayatkan oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa —dari Kaum Muslimin— yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”

Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.

Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim; sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani)

Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang di antara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan

Page 12: Iman

telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilakannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua suapan.” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)

Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.

Pada akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah swt. menutupnya firman-Nya yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj: 38)

Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah swt.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”

Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang

Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.

Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.

Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah

Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw., yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya. Kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akantetapi, Rasulullah malah berkata, “Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”

Page 13: Iman

Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai Umar tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku.”

3. Akhlak

Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya– maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Kesimpulannya, ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah swt. mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab. []

Ihsan Adalah Puncak Ibadah

Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hambah Allah SWT. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya.

Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah SWT. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-

Page 14: Iman

ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril—yang menyamar sebagai seorang manusia—mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya :

مسلم )). رواه م �ك ن د�ي م �مك ع�ل ي م �اك ت� أ ل ر�ي ب ج� �ه �ن ف�إ

“Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah SWT memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….”(an-Nahl: 90)

Pengertian IhsanIhsan berasal dari kata �ن yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya ح�سadalah ان �حس� yang artinya kebaikan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ,اini.

Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (al-Isra’: 7)

“…Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (al-Qashash:77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah SWT.

Landasan Syar’i Ihsan.

Pertama, Al-Qur`an

Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.

“…Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah:195)

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (an-Nahl: 90)

Page 15: Iman

“…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (al-Baqarah: 83)

“…Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahayamu….” (an-Nisaa`: 36)

Kedua; As-Sunnah.

Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan :

اك� �ر� ي �ه �ن ف�إ اه �ر� ت ن �ك ت �م ل �ن ف�إ اه �ر� ت �ك� �ن �أ ك الله� د� �عب ت ن� . أ

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda:

و , ن �حس� ف�ا م ت �ح ذ�ب �ذ�ا ا و� �ة� ل ق�ت ال و ن �حس� ف�ا م ت �ل ق�ت �ذ�ا ف�ا يء1 ش� ل� ك ع�ل�ى ان� حس� ال� ا م ك �ي ع�ل �ب� �ت ك الله� ��ن اح�ة� الذ�ب

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik…” (HR. Muslim)

Tiga Aspek Pokok Dalam IhsanIhsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.

1. A. Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri,

Page 16: Iman

meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya jarak antara mereka.Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Pertama,Tingkat Takwa.Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk katagori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketaqwaan masing-masing.

Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sangsi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkansemualarangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.

Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.

Kedua,Tingkatal-Bir.Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.

Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya.

Page 17: Iman

Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala didalamnya.

Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur qaidah iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya.

“…Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (al-Baqarah: 189)

”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)

Ketiga, Tingkatan IhsanTingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).

Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.

Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.

B. MuamalahDalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…”

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:

Page 18: Iman

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (al-Israa’: 23-24)

Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. Bersabda :

ن� �لد�ي لو�ا ا سخط� ف�ى الله� سخط و� ن� �د�ي لو�ال ا ر�ض�ى ف�ى الله ر�ض�ى

“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup aupun setelah wafatnya, sebagimana hadits Nabi :

�ذ إ �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ه� الل سول� ر� د� ن ع� �حن ن �ا ن �ي ب ق�ال� اع�د�ي� �الس �يع�ة� ب ر� ن� ب �ك� م�ال د1 ي س� أ �ي ب

� أ ع�ن�ه�م�ا م�وت �عد� ب �ه� ب هم�ا Eر� ب

� أ Fءي ش� ��و�ي ب� أ �ر� ب م�ن �ق�ي� ب ه�ل �ه� الل سول� ر� �ا ي ف�ق�ال� �م�ة� ل س� �ي �ن ب م�ن Fلج ر� ج�اء�ه

��ال إ وص�ل ت ال� �ي �ت ال � ح�م �الر �ة و�ص�ل �عد�ه�م�ا ب م�ن ع�هد�ه�م�ا ف�اذ �ن و�إ �هم�ا ل �غف�ار ت س و�اال� ه�م�ا �ي ع�ل ة الص�ال� �ع�م ن ق�ال�( ) داود ابو رواه ص�د�يق�ه�م�ا ام ر� �ك و�إ �ه�م�ا ب

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata : “Tatkala kami sedngan bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah seraya bertanya : “Ya Rasulallah apakah masih ada kesempatan untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak saya setekah keduanya wafat?” Nabi menjawab : “Ya, dengan mendoakan keduanya, memohon ampun unyuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung silaturrahmi dari sanak saudarnya serta memuliakan teman-temannya

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman :

”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad: 22)

Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

Page 19: Iman

Eه �ت �ت ب ق�ط�ع�ه�ا و�م�ن ه ت و�ص�ل �ه�ا و�ص�ل ف�م�ن اسم�ي م�ن �ه�ا ل ق�قت و�ش� ح�م� �الر �قت ل خ� حم�ن �الر �ا ن� و�أ �ه الل �ا ن

� أ

“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”

Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi saw. Bersabda :

ط�ع�ام�ه� �ل�ى إ �م�ين� ل مس ال ن� �ي ب م�ن �يمQا �ت ي �ض� ق�ب م�ن ق�ال� �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى ��ي �ب الن �ن� أ �اس1 ع�ب ن� اب ع�ن

�ه ل غف�ر ي ال� Qا ب ذ�ن �عم�ل� ي ن� أ ��ال إ �ة� ن ج� ال �ه الل �ه ل دخ�

� أ �ه� اب ر� و�ش�

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa—dari Kaum Muslimin—yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”

Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.

Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.

Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya :

�م ل س ي ال� �د�ه� �ي ب �فس�ي ن �ذ�ي و�ال �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ه� الل سول ر� ق�ال� ق�ال� عود1 م�س ن� ب �ه� الل د� ع�ب ع�ن �ق�ه �و�ائ ب ه ج�ار م�ن�

�أ ي �ى ت ح� ؤم�ن ي و�ال� ه ان و�ل�س� ه ب ق�ل �م� ل �س ي �ى ت ح� Fد ع�ب

Dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata, bersabda Rasulullah SAW : Demi Yang jiwaku berada di tangan-NYA tidaklah selamat seorang hamba sampai hati dan lisannya selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah beriman (sempurna keimanannya) seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman dari gangguannya. (HR.Ahmad)

Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda :

�عر�فه ي و�هو� Fع� ئ ا ج� ه ار ج� و� Qا ع�ان ب ش� �ت� با م�ن �ي ب ؤم�ن ي � ال

Page 20: Iman

“Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. ath-Thabrani)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini :

�Y ف�ه ض�ي ر�م ك ي ف�ل خ�ر� اآل � �وم ي و�ال �ه� �الل ب ؤم�ن ي �ان� ك م�ن

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.

ه ع�ن ف�ص�م�ت� � اد�م خ� ال ع�ن �عفو أ �م ك �ه� الل سول� ر� �ا ي ف�ق�ال� �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ي� �ب الن �ل�ى إ Fلج ر� ج�اء�ع�ين� ب س� 1 �وم ي �ل ك ف�ق�ال� � اد�م خ� ال ع�ن �عفو أ �م ك �ه� الل سول� ر� �ا ي ق�ال� �م ث �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ه� الل سول ر�

Qة �م�ر

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)

�ان� ك �ن ف�إ ل ك �أ ي ف�ل م�ع�ه قع�ده ي ف�ل �ه ان و�دخ� ه �ح�ر و�ل�ي� و�ق�د �ه� ب اء�ه ج� �م ث ط�ع�ام�ه اد�مه خ� م �ح�د�ك أل� �ع� ص�ن �ذ�ا إن� �ي �ت ل ك أ و

� أ Qة� ل ك أ ه م�ن �د�ه� ي ف�ي �ض�ع ي ف�ل Qيال� ق�ل فوهQا م�ش الط�ع�ام

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua suapan.” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)

Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.Pada akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT menutupnya firman-Nya yang berbunyi :

”Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (al-Hajj: 38)

Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.

Page 21: Iman

�صمت �ي ل �و ا ا Qر ي خ� �قل ي ف�ل خ�ر� اآل � �وم ي و�ال �ه� �الل ب ؤم�ن ي �ان� ك م�ن

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda :

Fص�د�ق�ة وف� لم�عر ا ق�ول

“Ucapan yang baik adalah sedekah.”

* Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang.

Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.

Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.

· Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah

Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw, yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya, kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah malah berkata :

�مون� �عل ي ال� �هم �ن ف�ا م�ي ق�و اهد� ��لهم �ل ا

“Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”

Contoh kedua, suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku”.

C. AkhlakIhsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu

Page 22: Iman

menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita.

Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits :

ق� خال� � أل ا �ار�م� م�ك �م�م� ت أل� ت ع�ث ب �م�ا �ن ا

“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Page 23: Iman

Tiga Ciri Orang Ikhlas Tazkiyatun Nufus

3/5/2008 | 27 Rabiuts Tsani 1429 H | Hits: 64.840

Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com – Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan segera.

Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”

Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Page 24: Iman

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Makna Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

Buruknya Riya

Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).

Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata

Page 25: Iman

Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

Ciri Orang Yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.

Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)

Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.

Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

Ikhlas Adalah Jalan KebahagiaanDiposkan oleh Galih Gumelar Center On 12.55

Page 26: Iman

Saudaraku, Kita harus senantiasa menyadari, bahwa kita hidup di dunia ini untuk semata mengabdi kepada Allah SWT. Mengumpulkan amal saleh dari detik ke detik, dari hari ke hari, sebagai bekal untuk mencapai ridhaNya. Tidak ada artinya hidup kita, bila kita kerahkan untuk semata kenikmatan dunia. Kerena dunia ini hanya sementara. Kita pasti akan meninggalkannya cepat atau lambat. Pun tidak ada gunanya bila kita bekerja keras hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsu. Karena hawa nafsu hanya panggilan sesaat, setelah itu ia akan hilang, meniggalkan dosa-dosa dan menodai harga diri kita.

IKHLASH JALAN KEBAHAGIAAN

Saudaraku, Kita harus senantiasa menyadari, bahwa kita hidup di dunia ini untuk semata mengabdi kepada Allah SWT. Mengumpulkan amal saleh dari detik ke detik, dari hari ke hari, sebagai bekal untuk mencapai ridhaNya. Tidak ada artinya hidup kita, bila kita kerahkan untuk semata kenikmatan dunia. Kerena dunia ini hanya sementara. Kita pasti akan meninggalkannya cepat atau lambat. Pun tidak ada gunanya bila kita bekerja keras hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsu. Karena hawa nafsu hanya panggilan sesaat, setelah itu ia akan hilang, meniggalkan dosa-dosa dan menodai harga diri kita. Allah SWT. dalam rangka ini mengajarkan kepada kita keikhlsan.

Ikhlash dalam arti bahwa kita bekerja apa pun hanya dengan niat untuk meraih ridha Allah semata. Karena hanya dari ikhlash inilah kebahagiaan abadi akan kita raih. Segala bentuk amal, yang besar sekalipun nilainya di mata mansuia, tidak ada artinya di mata Allah bila tidak dibarengi dengan keihklasan. Namun sekecil apapun perbuatan kita, di mata mansuia, bila dibarengi dengan niatan ikhlash, ia sangat besar nilainya di mata Allah, dan akan menjadi mercusuar bagi kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat.

Dalam kesempatan ini akan saya kutipkan beberapa ayat-ayat Al-Qur'an yang menekankan hakikat keikhlasan ini : Dalam (QS:6:162) Allah berfirman : "Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah , Tuhan semesta alam ". Dalam (QS:18:110) ditegaskan bahwa amal saleh itu bukan yang di mata orang banyak nampak baik, melainkan yang yang dikerjakan semata untuk Allah : "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yangsaleh dan janganlah ia mempersekutukan seseorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya ".

Dalam (QS:98:5) Allah mengaskan bahwa umat-umat terdahulu (para ahlulkitab) juga diajarkan untuk berbuat ikhlash dalam buku-buku mereka, karena keikhlasan inilah inti dari agama yang benar : "Padahal mereka (ahlulkitab) tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlashkan ketaatan kepadaNya, dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus". Kepada Rasulullah SAW, dalam (QS:39:2-3) Allah menegaskan : " Sesunguhnya Kami menurunkan Al-Qur'an kepadamu (Muhammad), kitab (Al-Qur'an), dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan mengikhlashkan keta'atan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari (syirk dan riya') " alkhalish ". Kemudian dalam surat yang sama (QS:39:11), Allah memerintahkan RasulNya SAW, agar mendeklarasaikan hakikat keihklsan ini kepada umatnya : "Katakanlah

Page 27: Iman

(Muhammad) Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlashkan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama ".

Dalam hadits Rasulullah SAW, banyak sekali contoh-contoh yang menggambarkan makna keikhlasan ini. Sebuah hadits yang sangat masyhur, diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : dari Umar Bing Khattab, Rasulullah bersabda : "Bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwa bagi tiap-tiap orang adalah apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrah dengan niat menuju ridha Allah, dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia (harta atau kenegahan duni), atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu akan kearah yang ditujunya". Oleh para ulama dalam buku-buku hadits yang mereka susun, hadits ini selalu diletakkan pada bab pertama "Bab Niat". Maksudnya apa? Untuk mengingatkan diri mereka, bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan harus tidak keluar dari rel keikhlashan ini.

Imam Muslim dan Imam Ibn majah, meriwayatakan hadits Rasulullah yang berbunyi : "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada penampilan dan harta kamu sekalian, melainkan melihat kepada hati dan perbuatan kalian".

Dalam hadits yang lain Imam Muslim meriwayatkan : bahwa yang pertama kali kelak di hari kiamat akan dihakimi adalah : Pertama, seorang yang mati di jalan perang. Ketika ditanya ia menjawab bahwa ia berperang sampai mati syahid. Dikatakan kepadanya: "Kamu bohong. Kamu berperang dengan niat supaya kamu dikatakan pemberani. Dan orang-orang sudah menyebut itu". Kemudian diperintahkan supaya ia dimasukkan kedalam api neraka. Kedua, Seorang yang mencari ilmu agama dan mengajarkannya, ia mengajarkan Al-Qur'an. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa saya mecari ilmu dan mengajarkannya, saya juga mengajarkan Al-Qur'an. Lalu dikatakan kepadanya : "Kamu bohong. Kamu belajar mencari ilmu dengan niat supaya kamu dikatakan alim, dan orang-orang sudah mengatakan itu". Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam neraka. Ketiga, seorang yang dikaruniai limpahan harta kekayaan. Ketika ditanya, kemana harta itu dipergunakan, ia menjawab bahwa ia telah menginfakkannya ke jalan-jalan kebaikan. Lalu dikatakan kepadanya: "Kamu bohong, kamu lakukan itu dengan niat supaya dikatakan kamu dermawan dan orang-orang sudah mengatakan itu". Lalu diperintahkan supaya orang tersebut diseret ke dalam api neraka.

Bagaimana pentingnya keikhlasan sebagai ruh dari sekecil apa pun perbuatan kita, dan ikhlash merupakan kunci menuju kebahagaiaan kita. Berapa banyak perbuatan yang menelan keringat dan darah, tapi kemudian sia-sia karena tidak dibarengi keikhlshan yang jujur. Karenanya, mari kita selalu hati-hati dalam mengarahkan niat yang bergelora dalam hati kita. Jangan takut bila perbuatan kita tidak diketahui orang atau tidak dipuji orang. Karena pujian orang banyak tidak ada artinya bila Allah menolaknya. Tapi takutlah bila perbutan kita ditolak oleh Allah karena tidak adanya keikhlasan di dalamya.

Renungkan hadits Rasulullah berikut ini : "Seandainya sesorang di antara kalian melakukan suatu kebaikan di tengah padang sahara yang sangat sepi, dalam ruangan tertutup tanpa pintu, amal itu suatu saat pasti akan ketahuan juga ".

Wallahu a'lam bisshawab.

Page 28: Iman

[wanita-muslimah] Akhlakul Karimah dan PengertiannyaagussyafiiTue, 01 May 2007 21:07:41 -0700

Akhlakul Karimah dan PengertiannyaPengertian Akhlak

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama. Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak dalam al Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq, tercantum dalam surat al Qalam ayat 4: Wa innaka la'ala khuluqin 'adzim, yang artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. Sedangkan hadis yang sangat populer menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik, Innama bu'itstu liutammima makarima al akhlagi, yang artinya: Bahwasanya aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.

Perjalanan keilmuan selanjutnya kemudian mengenal istilah-istilah adab (tatakrama), etika, moral, karakter disamping kata akhlak itu sendiri, dan masing-masing mempunyai definisi yang berbeda.

Menurut Imam Gazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat batin dimana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya (al khuluqu haiatun rasikhotun tashduru 'anha al afal bi suhulatin wa yusrin min ghoiri hqjatin act_ fikrin wa ruwiyyatin. Sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Dari definisi itu maka dapat difahami bahwa istilah 17 �

akhlak adalah netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al akhlaq al mahmudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlaq al mazmumah). Ketika berbicara tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan tentang konsep baik buruk. Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep antara akhlak dengan etika.

Etika (ethica) juga berbicara tentang baik buruk, tetapi konsep baik buruk dalam ethika bersumber kepada kebudayaan, sementara konsep baik buruk dalam ilmu akhlak bertumpu kepada konsep wahyu, meskipun akal juga mempunyai kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini maka dalam ethica dikenal ada ethica Barat, ethika Timur dan sebagainya, sementara al akhlaq al karimah tidak mengenal konsep regional, meskipun perbedaan pendapat juga tak dapat dihindarkan. Etika juga sering diartikan sebagai norma-norma kepantasan (etiket), yakni apa yang dalam bahasa Arab disebut adab atau tatakrama.

Sedangkan kata moral meski sering digunakan juga untuk menyebut akhlak, atau etika tetapi tekanannya pada sikap seseorang terhadap nilai, sehingga moral sering dihubungkan dengan kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika itu masih ada dalam tataran konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan.Melihat akhlak, etika atau moral seseorang, harus dibedakan antara perbuatan yang bersifat tempe

Page 29: Iman

ramental dengan perbuatan yang bersumber dari karakter kepribadiannya. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsang yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri sendiri. Temperamen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, oleh karena itu sulit untuk berubah. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkahlaku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolok ukur yang dianut masyarakat. Karakter seseorang terbentuk melalui perjalanan hidupnya, oleh karena itu ia bisa berubah.

Wassalam,agussyafii

Akhlakul KarimahOctober 31st, 2009 • Related • Filed Under AKHLAKUL KARIMAH

Akhlak adalah tingkah laku mahluk yang diridhai Allah SWT, maka akhlak adalah bentuk prilaku makhluk dalam berhubungan baik kepada khaliknya atau kepada sesama. Al Qur’an memberikan contoh kepada manusia tentang akhlak kepada Allah “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah ia memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu ada dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah:186).

Rasulullah SAW adalah simbol dalam berakhlak yang diabadikan Al Qur’an “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangannya) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Dan takala orang-orang mu’min melihat golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “inilah yang dizinkan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan” (Al-Azhab:21&22).

Al Qur’an juga memberikan tuntunan tentang berakhlak kepada sesamanya “Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji sari Bani Israil (yaitu) Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada IbuBapak, kaum kerabat, serta anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat, kecuali sebagian kecil daripada kamu , dan selalu berpaling” (QS. Al-Baqarah:83).

“hai anaku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang telah menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” (QS. Lukman:17-19).

Page 30: Iman

Akhlak adalah inti dari pelajaran islam dalam menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan rendah yang tidak sesuai dengan tata nialai islam, dan menghiasi perbuatan-perbuatan utama sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya.

Oleh karena itu seseorang dikatakan sebagai prang yang berakhlak, apabila dia mengetahui dan mengamalkan kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dalam menegakkan yang haq dan mulia. Sedangkan kedustaan adalah sesuatu yang terlarang namun tetap diamalkannya dan perbuatan tersebut adalah hina. Keikhlasan adalah sesuatu yang agung dan tipu daya adalah suatu kehancuran. Demikanlah suatu prinsip hidup yang sangat berarti bagi orang yang berakhlak mulia. Untuk mewujudkan hal tersebut syariat Islam harus difungsikan sebagai benteng perlindungan bagi orang yang ingin menjadi muslim secara benar. Akhlak tanpa akidah juga merupakan hidup bagaikan bayangan tubuh yang tidak kekal.

Berdasarkan hal tersebut, maka Islam sangat memperhatikan masalah akhlak, karena merupakan bagian dari pilar-pilar Islam. Rasulullah SAW telah menjadikan akhlak sebagai pokok risalahnya: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Al-Bazar). “Sesuatu yang paling berat dalam timbangan dihari kiamat adalah taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik” (Al-Hadist).

Akhlak adalah merupakan ukuran prilaku yang diajarkan agama, yang diamalkan para Nabi, sahabat, syuhada, dan shalihin. Mereka menjadikan jiwanya bersih dari sifat dengki, iri hati, nifak, pengecut, dan pendusta.

Menurut Islam perbaikan batin merupkan dasar bagi perbaikan lahiriah. Sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya didalam tubuh itu terdapat segumpal darah apabila digunakan darah itu baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan jika akan rusak maka rusaklah sekuruh tubuh ketahuilah bajwa ia adalah hati dab jiwa” (Al-Hadist).

Memelihara Akhlakul Karimah

Begitu pentingnya masalah akhlak dakam jehidupan kita, maka hati perlu terpelihara agar tetap bersih dan sehat sebagai sumber perwujudan akhlakul kharimah. Kiat dalam memelihara hati antara lain dengan berma’rifat kepada Allah SWT, artinya Allah Maha Kuasa, sedangkan kita adalah lemah.

Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu sekalipun terpendam di dasar lautan atau sesuatu yang terlintas dalam hati. Baik secara sembunyi apalagi secra dzahir. Selain itu kita wajib meyakini bahwa amal perbuatan yang kita lakukan pasti akan dibalas sesuai apa yang telah kita lakukan. Selain itu agar akhlak kita terjaga hendaklah kita mempelajari Tauhid, Fiqih, serta ilmu-ilmu Islam lainnya.