Imajinasi yang nyata

49
[TANPA JUDUL] «SENJA TERAKHIR HARU» Segalanya yang sudah terjadi akan menjadi kenangan tersendiri bagi yang percaya dan yang memahami makna perjalanan yang sudah dilewati, karena dibalik semua yang sudah terjadi ada alasan tersendiri kenapa melakukan hal yang diputuskan, juga kehidupan ini bukanlah cerita dan pengalaman untuk dikatakan dari mulut satu ke mulut yang lain, tetapi kehidupan ini adalah sesuatu yang nyata yang harus dijalani dengan mimpi bukan usaha untuk bermimpi. Kadang hidup untuk tersenyum walaupun senyum itu adalah isyarat bahwa hidup ini tidak bisa dipilah - pilah lagi antara mana yang baik dan mana yang sebaiknya, mungkin semua ini yang menggambarkan sahabat kecilku yang diam - diam aku sendiri merindukannya hingga ke relung hati ini, ya kamu Haru, liliput yang selalu mengisi hari – hariku dengan senyum manisnya hingga senja menutup hari diufuk barat. Setiap sore kita berjalan dan memandang senja, setiap itu pula kamu yang selalu mengeluh capek dengan tawa kecilmu disela – sela tubuh rapuhmu Haru, tapi sekarang aku mengetahui kenapa kamu begitu lemah, tapi sayang aku terlambat menyadarinya karena kebohonganmu yang indah. Hanya untuk menatap senja dan burung berterbangan dari sawah kamu rela bersembunyi dari dirimu sendiri untuk memperlihatkan senyum manismu dan saat ini setelah aku ketahui ternyata kamu bodoh dengan sikapmu itu Haru, tapi aku tahu ternyata kamu orang yang kuat untuk memendam segalanya tanpa diketahui, sekarang aku tahu yang sebenarnya pada sosok kecilmu pada waktu itu, yah ternyata kamu malaikat Haru, bukan liliput seperti kataku dan mungkin lebih pantasnya kamu adalah peri lili dengan wajah manis dan menawan. Dan hal yang sangat aku benci ketika mengetahui itu semua saat semuanya sudah terlambat, dimana itu membuatku tak sanggup lagi berjalan ke masa lalu denganmu Haru.., kamu terlalu kuat untuk seseorang sepertiku. Kamu bagaikan senja bagiku, sinarmu terasa sampai dikulitku, dan setelah aku sadari sumber sinar itu, ternyata terlalu jauh dan sangat jauh sekali bahkan tidak bisa aku gapai seumur hidupku, aku meridukanmu Haru Enomoto....

Transcript of Imajinasi yang nyata

Page 1: Imajinasi yang nyata

[TANPA JUDUL]«SENJA TERAKHIR HARU»

Segalanya yang sudah terjadi akan menjadi kenangan tersendiri bagi yang percaya dan yang memahami makna perjalanan yang sudah dilewati, karena dibalik semua yang sudah terjadi ada alasan tersendiri kenapa melakukan hal yang diputuskan, juga kehidupan ini bukanlah cerita dan pengalaman untuk dikatakan dari mulut satu ke mulut yang lain, tetapi kehidupan ini adalah sesuatu yang nyata yang harus dijalani dengan mimpi bukan usaha untuk bermimpi. Kadang hidup untuk tersenyum walaupun senyum itu adalah isyarat bahwa hidup ini tidak bisa dipilah - pilah lagi antara mana yang baik dan mana yang sebaiknya, mungkin semua ini yang menggambarkan sahabat kecilku yang diam - diam aku sendiri merindukannya hingga ke relung hati ini, ya kamu Haru, liliput yang selalu mengisi hari – hariku dengan senyum manisnya hingga senja menutup hari diufuk barat.

Setiap sore kita berjalan dan memandang senja, setiap itu pula kamu yang selalu mengeluh capek dengan tawa kecilmu disela – sela tubuh rapuhmu Haru, tapi sekarang aku mengetahui kenapa kamu begitu lemah, tapi sayang aku terlambat menyadarinya karena kebohonganmu yang indah. Hanya untuk menatap senja dan burung berterbangan dari sawah kamu rela bersembunyi dari dirimu sendiri untuk memperlihatkan senyum manismu dan saat ini setelah aku ketahui ternyata kamu bodoh dengan sikapmu itu Haru, tapi aku tahu ternyata kamu orang yang kuat untuk memendam segalanya tanpa diketahui, sekarang aku tahu yang sebenarnya pada sosok kecilmu pada waktu itu, yah ternyata kamu malaikat Haru, bukan liliput seperti kataku dan mungkin lebih pantasnya kamu adalah peri lili dengan wajah manis dan menawan. Dan hal yang sangat aku benci ketika mengetahui itu semua saat semuanya sudah terlambat, dimana itu membuatku tak sanggup lagi berjalan ke masa lalu denganmu Haru.., kamu terlalu kuat untuk seseorang sepertiku. Kamu bagaikan senja bagiku, sinarmu terasa sampai dikulitku, dan setelah aku sadari sumber sinar itu, ternyata terlalu jauh dan sangat jauh sekali bahkan tidak bisa aku gapai seumur hidupku, aku meridukanmu Haru Enomoto....

3 tahun lalu...,

Haru dan aku seperti biasa berjalan untuk melihat senja dan burung yang bebas disawah - sawah, dan aku selalu berpikir bahwa senyummu mengalahkan senja ini Haru.., tak terlukis.

"Rayyi... apakah kamu mempunyai mimpi setelah lulus SMA nanti?" Haru memulai perbincangan ini dan memecahkan pandanganku dari sinar jingga itu saat kami duduk disebuah gubuk kecil yang biasa kami datangi.

Page 2: Imajinasi yang nyata

"Ah, mungkin aku belum terpikirkan, masih terlalu awal Haru memikirkan semua itu, kita saja belum melangkah dari SMP hahaha" aku tertawa dan ketika aku memandang Haru, sepertinya dia sedang berpikir sesuatu yang membuatnya seperti terlihat murung dengan wajah imut dan putihnya itu.

"Memangnya apa yang kamu mimpikan Haru?" aku mencoba bertanya kepadanya dengan pandangan mata kualihkan lagi pada cahaya jingga itu.

"Aku ingin terbang tinggi dengan pesawat pada saat senja, biar aku dapat menikmati senja lebih dekat dan sangat..... dekat lagi Rayyi..." dia akhirnya berkata dengan semangat yang dipenuhi senyum manisnya, yang membuatku bingung dengan sikapnya yang dapat berubah cepat, memang kamu adalah sebuah mutiara yang masih tersimpan didalam kerangnya dan mungkin tidak akan ada yang membukanya, Haru. Semua yang dikatakannya kupikir hanya sebuah gurauan yang aku tanggapi dengan ringan saja.

"Ah kamu ada - ada saja Haru. Oh iya, aku bingung kenapa kamu selalu suka warna biru? memangnya istimewa buatmu ya?" bilangku kepadanya, dan aku masih ingat sebuah kantong yang di berikan Haru kepadaku 2 tahun lalu yang berwarna biru langit yang berisi sebuah foto. Yah, dulu kami sepakat untuk saling memberi hadiah tapi harus ada foto kita masing – masing didalamnya. Memang hadiah Haru waktu itu sederhana bagiku dibandingkan dengan hadiah kotak musik pemberian Tante Luci yang diberikan padaku saat ulang tahunku ketika umur enam tahun, dan kini aku berikan untuk Haru, yang setahuku dia sangat menyukai musik berirama lembut, tidak lupa juga kusisipkan fotoku didalamnya. Pemberian Haru tersebut masih aku simpan walaupun dulu aku tidak mengerti yang dipikirkan Haru tentang ide itu, tapi sekarang aku tahu apa maksud dibalik pemikiran Haru tersebut dengan berjalannya waktu.

"Aku suka sekali Rayyi warna biru, seperti langit, yang bisa memberikan rasa nyaman pada diriku" Haru sambil menatap langit dengan senyumannya yang khas yang manis dan tidak lupa dengan rambutnya yang terurai terkena angin yang semakin membuatnya terlihat sangat anggun dengan mata sipitnya. Semua itu membuatku nyaman disampingnya, dimana selama ini aku selalu diam - diam mencuri pandangan kepada Haru. Jawaban ini telah menjawab rasa penasaranku tentang warna kesukaan Haru. Sejenak memandang senja yang mungkin akan mulai pergi ini dengan warna jingga yang akan memudar disebelah barat.

Ketika aku memandang Haru, lagi - lagi pandangan yang menandakan seperti biasa, tapi yang membuatku takut Haru terlihat semakin pucat saja akhir – akhir ini, pikirku mungkin dia kecapekan seperti biasanya yang selalu dia bilang kepadaku.

"Rayyi, kapan kamu berlibur kesini lagi? aku ingin kamu bisa menjengukku setiap liburan" Haru mengatakannya tidak dengan menghadapku tapi masih dengan tatapan menuju senja yang sebentar lagi pergi meninggalkan kami.

"Mungkin liburan musim depan Haru saat kita sudah SMA, kenapa kamu bilang begitu Haru? bukankah aku selalu kesini saat musim liburan sekolah haha" aku membalas senyum manisnya dengan tertawa kecil.

Page 3: Imajinasi yang nyata

Ya, dulu memang kami dari kecil selalu bermain bersama hingga menginjak SMP kelas 1, tapi sayang aku harus meninggalkannya untuk pindah ke kota Bandung bersama keluarga yang saat itu Papa mendapatkan pekerjaan dalam bidang bisnis yang lebih besar, dan jika libur aku bermain kemari, di Malang untuk tinggal dirumah Kakek dan Om Gera.

"Haru kamu terlihat pucat dan sepertinya hidung kamu mimisan lagi, memangnya kamu kenapa?" aku khawatir saat melihat Haru yang akhir - akhir ini sering mimisan.

"Tidak apa Ray, aku mungkin hanya kecapekan saja, sungguh tidak apa - apa" dia masih bisa tersenyum manis terhadapku dan berusaha membersihakan darah yang keluar dari hidungnya dengan sapu tangan. Aku langsung menggandengnya pulang agar dia bisa istirahat.

Malam 2 hari setelah kejadian itu Haru hanya dirumah saja dan aku tidak bisa lagi mengajaknya keluar karena Ibunya Haru tidak mengijinkanku dengan alasan kesehatan Haru yang lagi tidak stabil.

Ketika malam aku akan balik ke Bandung, keluargaku mendapatkan kabar dan mungkin kabar itu yang sangat menyakitkan bagiku, bahwa Haru masuk Rumah Sakit untuk menjalani perawatan, dan ternyata Haru mengidap penyakit Leukimia, yang katanya penyakit yang belum ada obatnya sampai sekarang ini yang kemungkinan untuk bertahan hidup hanya sangat kecil sekali. Aku tidak menyadarinya dari dulu tanda – tanda yang dimiliki Haru dan sepertinya keluarganya Haru juga berusaha menjaga agar orang lain tidak mengetahuinya.

Aku berlari ketika menelurusuri lorong - lorong rumah sakit setelah Om Gera yang mengantarkan keluarga kami untuk menjenguk Haru, memang keluargaku dan keluarga Haru mempunyai hubungan yang dekat, bahkan Ibunya Haru sudah menganggapku seperti anak, ketika itu keluargaku masih berada satu komplek perumahan yang tidak terlalu mewah bersama keluarga Haru, mungkin sejak Papa dan Mama mulai menikah. Haru adalah anak yang mempunyai darah keturunan dari Jepang, dan kelebihan itu yang membuatnya lebih menonjol dibandingkan anak yang lainnya.

Sebuah kamar yang ada dipojok paling kanan yang bernama Teratai aku masuki dan kudapati liliput itu tersenyum menyambutku dengan penuh selang yang terhubung ke tubuhnya.

"Haru... kenapa kamu tidak memberitahuku jika kamu mengidap penyakit itu. Kan jika aku tahu aku tidak perlu mengajakmu bermain agar kamu tidak kecapekan seperti ini Haru" entah kenapa dan apa yang terjadi aku tidak tahu gemuruh hati yang kurasakan, hanya begitu saja tiba - tiba ada sedikit air mata yang keluar dari mataku, kesedihan ini sungguh tidak beralasan buatku dan begitu saja seperti air yang mengalir.

"Rayyi... aku tidak apa - apa ini, jangan menangis" dia masih saja dengan senyumannya walaupun aku tahu dia sangat sakit terlihat dari wajah pucatnya yang tampak.

"Haha kamu masih seperti biasa Haru, jelaskan padaku kenapa tidak memberitahu tentang ini semua" aku mencoba tertawa dalam sela - sela air mata ini.

Page 4: Imajinasi yang nyata

“Rayyi....

Terima kasih selama ini sudah menemaniku dan berteman baik denganku, dan mungkin kamu teman terbaikku hahaha ya “Mungkin” :-P

Heiii... jika kamu sudah mendapatkan seperti apa mimpimu segera beritahu aku ya Rayyi, dan jangan sungkan – sungkan untuk menceritakan teman – temanmu yang disana kepadaku, apalagi jika itu teman istimewa hahahaha....... :-D Jangan lupa juga kunjungi aku. Aku tunggu kedatanganmu Rayyi Tosca..... ^_<”

"Baiklah Rayyi, jika kamu tahu tentang semua ini, pasti kamu tidak akan pernah bermain denganku lagi bukan? Dan juga tidak akan ada lagi yang mengajakku untuk melihat senja - senja terakhirku yang masih bisa aku nikmati. Aku sekarang ingin seperti burung yang terbang bebas Rayyi" Ada mimik muka yang aneh yang belum pernah aku lihat dalam diri Haru selama ini saat dia berkata seperti itu.

"Janganlah sedih Haru, seorang Haru Enomoto yang aku kenal tidak seperti ini" aku sambil memegang tangannya yang dingin untuk mencoba memberi semangat kepadanya.

"Tapi seperti ini adanya sekarang aku Rayyi, dan aku juga tahu apa yang kamu pandang ketika kita melihat senja, kamu memandang senja yang sebenarnyakan bukan?" dia sambil melirikku dengan tawa ceria seperti biasanya yang mencoba menyembunyikan rasa sakit dan mengalihkan pembicaraan.

"Aku tahu maksudmu, tapi tidak apa - apa kan?"

kami tertawa bersama - sama seperti ketika kita melihat senja, dan bedanya senja yang sebenarnya akan mulai tenggelam, aku tidak bisa menolaknya dan tidak bisa menahan ini semua sendirian.

Setelah hari itu keadaan Haru tidak lagi stabil, Dokter menyarankan untuk melakukan proses kemoterapi untuk melawan penyakitnya. Tubuh kecilnya selama ini menyimpan sejumlah rahasia yang kupikir indah untuk kuketahui saat waktunya tiba nanti seperti kotak penuh berlian, tapi ternyata didalam kotak penuh berlian itu ada sebuah pedang yang bermata dua yang setiap waktu mengancam pemiliknya.

Semakin hari Haru semakin menurun berat badannya, dan begitu juga rambut indahnya menjadi rontok akibat kanker darah yang menggerogoti tubuh mungilnya yang semakin parah. Saat itu aku sudah berada di Bandung karena sudah masuk sekolah, sedangkan Haru berada di Malang, tetapi kami masih berhubungan walaupun hanya lewat surel tetapi tidak sesering seperti dulu lagi, mungkin akibat kesehatannya Haru yang terus menurun.

Page 5: Imajinasi yang nyata

Itu adalah surel terakhir yang dikirimkan Haru, dan menjadi surel terakhirnya yang menyakitkan tapi juga surel paling berharga yang dipenuhi kenyataan. 4 Bulan setelah menjalankan kemoterapi keadaan Haru tidak kunjung membaik, malah semakin memburuk, dan tubuh mungil itu akhirnya tidak sanggup lagi melawan penyakit yang disimpannya, Haru tersenyum untuk selamanya.

Sekarang.....,

Bayangan indah masa lalu itu tidak pernah aku lupakan dan membuatku selalu menangis ketika mengunjungi Haru seperti ini, dan sekarang aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang ternyata mungkin aku cintai tetapi baru sekarang aku menyadarinya, karena belum pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. Haru telah menggapai mimpinya tanpa aku, mimpinya untuk lebih dekat dengan senja, bahkan dia tidak perlu menggunakan pesawat ataupun sayap, dia telah pergi untuk selamanya dan mendahului pergi ke surga. Dan mimpimu terbang seperti burung yang bebas telah kamu gapai Haru, mungkin kamu bidadari dilangit sana. Aku juga tidak bisa melawan ini semua, bahkan aku belum sanggup mengatakan yang aku rasakan saat bersamamu hingga kamu pergi mendahului kita semua walaupun hanya sebatas kata "Aku sangat nyaman setiap kali berada didekatmu Haru..."

Liburan kenaikan kelas sudah akan berakhir dalam minggu ini, sekarang saatnya aku kembali ke Bandung setelah 1 minggu di rumah kakek dan selama itu pula aku mengunjungi Haru dalam istirahat panjangnya. “Kamu selalu membuatku nyaman Haru Enomoto, tapi sekarang aku dalam kesendirian tanpa sahabat sepertimu, tapi aku mendapatkan teman - teman yang baik dan bisa membantuku dan mengisi sedikit duniaku, tapi tidak seperti kamu yang sudah masuk dalam kehidupanku, mungkin mereka belum saatnya dan belum bisa sepertimu Haru. Oh iya Haru senja masih belum bisa mengalahkan senyummu, tapi kamu masih liliput bagiku hahaha...” aku tertawa sendiri didepan makam Haru dengan sedikit air mata yang menemaniku sore ini.

“Aku sekarang mempunyai sahabat baru, Ryan, Freddo, dan Nami, tapi mereka tidak pernah bisa menggantikanmu Haru, jadi tenang saja kamu masih salah satu yang terbaik untukku, walaupun bukan satu – satunya lagi seperti dulu, dan maafkan juga aku masih belum menangkap mimpiku walaupun aku sudah berada di SMA sekarang, dan sampai saat ini aku juga belum menemukan teman istimewa untuk kuceritakan padamu, tapi aku janji akan menceritakan itu padamu Haru. Aku sangat merindukan senyum manismu Haru” Hanya itu yang dapat aku bagi kepada Haru pada kunjungan kali ini, yang selanjutnya aku harus pulang ke Bandung lagi, tunggu aku pada liburan musim depan Haru!

Page 6: Imajinasi yang nyata

«PROLOG»

Nyanyian yang polos terus terdengar dengan pemandangan senyuman - senyuman ceria yang tanpa beban dimuka mereka, seperti tiada kesedihan yang ada pada saat hari itu dalam ingatan ini. Ya, memang Sebelas tahun telah berlalu. Aku tersenyum geli saat melihat ekspresi anak yang memakai topi badut itu, wajah yang polos dan ceria, dan itu adalah diriku yang terpampang dalam sebuah foto dalam album yang tidak sengaja aku temukan didalam almari barang dikamar Mama. Lembaran pada halaman selanjutnya kubuka lagi dan terlihatlah seorang anak yang sama seperti sebelumnya, tapi dengan pose menggunakan dua buah kado yang berukuran sedang dan kecil, dan sungguh aku masih ingat sekali bahwa itu hadiah ulang tahunku dari Mama dan Om Gera, yang berisi sebuah buku dan sebuah bola, sejenak aku terbengong melamunkan apa yang sekarang terjadi, semuanya seperti sudah dirancang sebelumnya untuk bisa menjadi seperti sekarang, dua hadiah ini yang sepertinya merubahku dengan sebuah inspirasi yang tidak terbayangkan dan tidak kupahami selama ini. Apalagi saat aku terpikirkan Haru, selalu aku menyelesaikannya dengan membaca dan bermain bola, agar aku tidak tersakiti oleh masa lalu yang tidak bisa aku cegah. Segera aku merapikan semua ini sebelum Mama melihat kamarnya yang berantakan dan akan marah besar padaku nantinya.

"Hei.. hei.. hei.. baru ngapain kamu Ray dengan benda itu" aku dikejutkan dengan suara yang familiar ditelingaku, baru saja aku memikirkannya dan sekarang sudah terjadi dihadapanku

"Iya iya mah.... aku beresin kok" Ucapku malas, karena ujung - ujungya pasti juga disuruh merapikan semua ini. Tapi aku masih tersenyum geli jika mengingat fotoku yang berumur enam tahun itu, dan rupanya sekarang sudah tumbuh menjadi seorang anak 170cm, saat aku melihat diriku didepan cermin almari itu,

"haha kamu sudah banyak berubah sepertinya Ray" aku berkata dengan bayanganku sendiri yang ada dikaca almari itu dengan penuh tawa.

Senja pun datang dengan penuh warna jingganya tersebar diatas langit yang akan mulai gelap ini, dan dilantai dua ini aku melihat pemandangan yang selalu hampir tampak sama, mentari dengan penuh kehangatan itu kini akan memberi salam perpisahan pada hari ini. Sejenak aku menyeduh teh hangat yang tadi aku buat, dan semua itu mengingatkanku terakhir kali bersama Haru menatap apa yang selalu liliput itu mimpikan, tapi asal kamu tahu Haru, aku lebih banyak menatapmu dari pada menatap senja itu, dan hanya sedikit yang kamu sadari.

Mentari pagi dihari senin ini menyapaku untuk melakukan aktifitas seperti biasanya dan ini adalah hari pertamaku masuk sekolah untuk kelas XI, setelah liburan panjang yang sepertinya akan berubah dari semula surga yang nyaman dan tenang kini akan menjadi neraka yang dipenuhi naga - naga ganas yang selalu mengawasi.

“Rayyi, cepat dihabisin dulu tuh susunya” Papa dengan memberi selai nanas pada rotinya.

“Iya pah bentar, rotiku aja belum habis kok” gerutuku kepada Papa.

Page 7: Imajinasi yang nyata

“Ini udah mepet jamnya, apa kamu mau jika buru – buru dijalan?" Nada papa agak tinggi ketika mengucapkannya.

“Iya iya pah, ini aku mau minum”.

Setelah siap, aku pun berangkat ke sekolah dengan sepeda motor yang masih saja setia denganku walaupun selalu berusaha berbicara kepada Mama dan Papa untuk menggantinya.

Sepertinya sekolah hari ini kegiatannya hanya untuk siswa kelas X yang baru, dan membosankan sekali hari ini pikirku, mungkin lebih baik lihat – lihat yang sedang MOS saja mungkin menghibur juga.

"Hei... Nerd, ayo kekantin aja sekarang, dari pada melihat anak - anak baru yang belum jelas itu hahaha" Ryan dengan tertawanya saat melihatku dibibir pintu kelas seperti orang yang tidak jelas.

"Iya Yan, bentar aku ajak dulu si Freddo tuh" aku sambil masuk ke dalam kelas untuk segera menarik Freddo yang sedang tiduran diatas meja dan hanya bisa menurut dengan malas – malasan.

"Tungguin aku dong..." Nami sambil berlari lucu menuju kami bertiga yang sedang berjalan.

Ya, kami seperti anak - anak SMA yang lainnya yang suka main bergerombol, dan anggota kami ya cuma berempat aku, Ryan, Freddo, dan Nami, dia satu - satunya perempuan diantara kami, dan juga Nami yang masih memanggilku dengan nama asliku, sedangkan Ryan dan Freddo memanggilku dengan sebutan Nerd, yang sampai sekarang aku tidak terganggu dengan sebutan tersebut dan tidak terkecuali teman – temanku yang lainnya yang hanya ikut - ikutan memanggilku Nerd tanpa tahu alasan kenapa aku bisa dipanggil Nerd. Dengan beberapa makanan kecil yang menemani perbincangan pagi ini di kantin sekolah untuk mengisi kebosanan tanpa kegiatan hari ini.

"Ray, liburan kemarin kamu mengunjungi Haru lagi ya di Malang?" Nami mencoba memulai perbincangan pagi ini.

Jauh sebelumnya aku sudah menceritakan semua tentang Haru kepada mereka bertiga, sudah aku anggap mereka masuk dalam duniaku, maka akupun tidak tanggung lagi bercerita tentang masa laluku karena kami sudah saling mengenal sejak SMP karena satu sekolah yang sama, dan Ryan adalah teman satu kelasku sampai sekarang, hampir seperti jodoh hahaha..

"Iya, untuk mengobati rasa rindu ini Nami, tapi sepertinya setiap kali aku mengunjunginya setiap itu pula aku diingatkan kembali tentang dirinya dimasa lalu yang membuatku sedih" aku menjawab pertanyaan Nami dengan kalimat terakhir yang aku ucapkan dengan pelan.

"Ah.. mungkin sebaiknya loe mencari perempuan lain Nerd agar bisa melupakan Haru" ceplos Ryan begitu saja setelah mendengar jawaban dariku tadi.

"Ryan kamu jahat banget sih!! Fred temanmu yang satu ini lho menyusahkan sekali!" Nami mencari bantuan kepada Freddo untuk mendapatkan dukungan untuk membelaku.

Page 8: Imajinasi yang nyata

"Terserah kalian saja" jawab Freddo dengan cuek sambil mengaduk minumananya, ya sifat khasnya yang sangat dingin itu membuat Nami memanyunkan bibirnya, sedangkan Ryan dan aku tertawa melihat tingkah konyol Nami itu. Begitu setiap kali kami berkumpul selalu diwarnai tawa canda bersama.

Bel yang menandakan jam pulang telah dibunyikan, aku segera berlari secepatnya menuju parkiran motor, yang sebelumnya aku dipanikan dengan kecerobohanku yang meninggalkan kunci motorku tadi pagi yang belum aku ambil dan sialnya ini sering terulang bagiku, kunci itu baru aku sadari saat sudah jam pulang. Karena aku berusaha cepat - cepat agar tidak ada siswa lain yang mencoba mengerjaiku dengan menyembunyikannya, karena aku terburu - buru jadi menabrak anak kelas X yang menyebabkannya dan buku yang dibawanya jatuh berantakan, dia seorang perempuan, dan aku mencoba membantunya membereskan buku - bukunya lalu lari pergi begitu saja menuju tujuan semula.

"Hhuh... syukurlah masih ada" kataku dengan lega saat mendapati kunci itu belum berubah tempat.

“Nerd, enggak nongkrong dulu?” Suara Ryan dari arah belakangku dengan menepuk bahuku yang saat itu aku siap dengan motorku untuk pulang.

“Sorry, aku langsung pulang saja Yan, malas banget kayaknya hari ini”

“hahahaha... dasar anak mami loe Nerd” Tawa Ryan kepadaku, dan cukup dengan senyuman sinis saja untuk membalas sikap aneh Ryan kepadaku.

Rumah yang sepi adalah keadaan biasa yang aku temui setiap hari kerja saat pulang sekolah, Papa dan Mama pada bekerja hingga sore dan dirumah hanya ada seorang Bi’ Imah saja yang dipekerjakan Mama, ya walaupun hanya sampai sore lalu pulang kerumah lagi.

"Bi' tadi masak sayur apa?" aku bertanya kepada Bi' Imah sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman dalam lemari es.

"Bibi enggak masak sayur, tapi ada ayam goreng dialmari" jawab Bi' Imah.

"Oh iya Bi' enggak apa - apa" sahutku singkat.

"Dek Rayyi, tadi Bapak pesan bahwa bapak perginya keluar kota dan menyuruh Bibi untuk menyampaikannya kepada dek Rayyi agar tidak main keluar dulu, dan mungkin bapak malam pulangnya dek" kata bibi disela - sela aku mengambil nasi untuk makan siangku.

"Iya bi', aku enggak ada urusan keluar sama teman - teman kok hari ini" aku menjawabnya sambil berjalan menuju meja makan yang ada di dekat dapur.

Hari yang sangat membosankan sekali, hanya bisa berdiam diri dirumah hingga nunggu Mama dan Papa pulang dengan mengisi kegiatan bermain game.

“Oh iya, aku masih punya satu novel yang belum aku baca” aku diingatkan pikiranku tentang novel yang 4 hari yang lalu aku beli saat diajak Mama pergi ke Gramedia yang berada di Jl. Merdeka No. 43, Bandung, yang berjudul Rain Flower dan memiliki garis besar tentang ingatan seorang gadis yang hilang.

Page 9: Imajinasi yang nyata

Segera saja aku baca, dari pada bengong enggak jelas kaya gini cuma lihat sampah ditelevisi yang membosankan tentang selebritis yang kampungan dengan kata – kata sampahnya.

“Hei Nerd, ngapain cuma bengong aja dirumah” Ryan dan Nami yang mengagetkanku dengan tiba – tiba sudah ada didepan pintu kamarku sambil tertawa.

“Ah kebiasaan kamu tuh Yan main nylonong aja, bilang – bilang atau permisi dulu napa” Cetusku agak kesal sambil memberi tatapan tajam dan tidak kusadari hari ternyata udah sore, sepertinya cepat sekali.

“Ok.. Ok anak muda, santai aja ya dan dilanjutin tuh kegalaunnya sama pacarnya yang lagi mesra sampai galak banget gitu hahaha” Ryan mengucapkannya dengan nada ejekan sambil tertawa.

“haha sial kamu Yan, ok aku percaya kamu udah punya pacar, tuh kemana – mana berduaan” sedikit senyum ejekan sambil melemparkan bantal ke Ryan.

“Heii... siapa yang pacaran? iiddddiiihh ogah banget gue sama si Beo ini” Nami lagi – lagi dengan bibir manyunnya saat kesal yang membuatku tertawa.

“Enak aja loe Nam manggil gua Beo” sambil duduk dikursi yang ada disebelah meja belajar

“Hahaha udah lah, aku juga cuma bercanda saja dengan kataku tadi. Oh iya Freddo kemana kok cuma berdua saja?” aku berusaha menengahi agar tidak ada argumen yang berkepanjangan dikamar ini, yang sebenarnya aku pun juga tahu kalau Ryan punya rasa terhadap Nami karena dia terobsesi dengan wajah Nami yang katanya mirip dengan Mika Tambayong sih bagi Ryan, dan itu sah - sah saja menurutku. Sayangnya Nami tidak menyadarinya, dan terkadang membuatku gila ketika Ryan bercerita tentang Nami tanpa berhenti dan tanpa topik pembicaraan lain.

“Biasa deh Ray, sibuk dengan fantasinya sebagai Roxas dalam gamenya Kingdom Hearts sampai – sampai tadi kami jemput aja enggak mau” Jawab Nami.

“Hahaha Freddo – Freddo” Aku hanya bisa tertawa.

“Kayaknya tadi ada yang lari – larian terus nabrak cewek nih” Nami sambil tengkurapan didekatku yang ada diranjang sambil mengedip – ngedipkan matanya kepada Ryan seperti memberi kode.

“Lha terus kanapa? “ jawabku cuek sambil menutup novel yang barusan kubaca.

“Enggak ada apa – apa Ray, tapi kamu tahu enggak siapa yang kamu tabrak tadi, siapa coba?” Nami senyum – senyum aneh, seperti mempunyai alasan dibalik senyum itu.

“Enggak, memangnya ada apa?” Aku bingung dan sungguh tidak mengerti yang dimaksudkan Nami.

“Ah loe Nerd benar – benar enggak asyik, selalu ketinggalan informasi” Ryan lagi – lagi nyelonong saja kata – katanya.

“Benar tuh yang dikatakan Ryan, kamu sibuk dengan duniamu sendiri sih, jadinya ketinggalan berita hangat” Nami berkata sambil menganggukkan kepala seperti sok mengerti yang dikatakan Ryan.

Page 10: Imajinasi yang nyata

“Hahaha... tapi ekspresimunya juga nggak gitu – gitu juga kali Nam” aku tertawa melihat gaya Nami.

“Memang dia siapa?” Lanjutku.

“Cari tahu aja sendiri hahaha...” Nami tertawa lepas.

“Foto siapa ini Nerd yang ada didalam kantong?” Tiba – tiba saja Ryan memegang kantong pemberian Haru.

“Oh itu, pemberian Haru saat aku masih tinggal di Malang dulu”

“Eh mana Yan, lihat dong..., iihhh manis banget ternyata Haru Ray, tapi kenapa kamu tidak memberi tahu tentang ini, kamu cuma cerita tentang Haru saja tanpa memberi gambaran seperti apa Haru itu” Nami sambil melihat foto Haru waktu kecilnya dengan senyuman gemasnya.

“Kurasa itu tidak terlalu penting Nam pikirku” Aku menjawabnya dengan dingin, seperti ada luka yang membuka lagi setiap kali mengingat Haru.

“Mungkin jika Haru masih ada sekarang, dia sudah seperti Tiffany 'SNSD' Nerd” Ryan sambil tertawa seperti sedang bercanda.

“Enggak – enggak, mungkin lebih manis lagi dari Tiffany Yan, lihat aja senyum manisnya ini” Nami bersemangat sekali.

Tetapi aku tidak menanggapi pembicaraan Nami dan Ryan yang selalu berargumen berbeda setiap kali mereka mempunyai pendapat. Aku hanya melihat jendela dengan tatapan kosong melihat senja yang sepertinya akan mulai datang lagi.

“Maafkan kami Rayyi, kami tidak bermaksud mengingatkanmu lagi” Nami dengan nada pelan secara tiba – tiba, mungkin dia menengetahui yang aku rasakan saat ini dengan melihat sikapku setiap kali kami membicarakan tentang Haru, seperti sikapku saat ini.

“Enggak apa –apa kok, santai saja” Aku mencoba tersenyum dengan mereka berdua.

“Ah kamu sih yang mulai tadi Yan” Nami mencoba menyalahkan Ryan.

“Ah, loe aja ngikut – ikutan juga” balas Ryan.

Bi’ Imah masuk membawa minuman dan makanan kecil diatas nampan yang dibawa dengan kedua tangannya dengan hati – hati dan menaruhnya diatas meja kecil yang ada didekat ranjang.

“Sudah.. sudah, kalian berantem melulu kerjaannya jika kesini, ini pada diminum dulu” Bi’ Imah sambil tertawa melihat kelakuan Ryan dan Nami.

“Oh iya Bi’, makasih yah...” Nami sambil tersenyum kepada Bi’ Imah, sedangkan Ryan langsung main nyosor aja sama makanan yang dibawakan oleh Bi’ Imah.

Page 11: Imajinasi yang nyata

“Haha dasar Ryaaaaannn.....” aku berkata sambil tertawa bersama Nami dan Bibi ketika melihat tinggah Ryan yang mewarnai sore ini dengan aksi konyolnya.

Page 12: Imajinasi yang nyata

<< HUJAN DI TENGAH – TENGAH BINTANG YANG BERSINAR>>

Hanya langit – langit kamar yang aku pandangi malam ini dari tiduranku diatas ranjang, masih belum bisa tertidur juga rupanya mata ini pada pukul 23.47 WIB saat kulihat pada jam yang ada diatas meja kecil disebelah ranjangku. Aku mencoba keluar keteras kamarku yang ada dilantai 2 untuk sekedar mencari angin malam yang mungkin bisa mengantarkanku untuk cepat tidur. Kupandangi langit malam ini yang menyuguhkan bintang – bintang kecilnya yang berkerlap – kerlip jauh diatas sana, mungkin suasana ini cocok juga untuk mendengarkan lagu mellow yang berjudul Ni Yau Te Ai.

Terbayang kata – kata Ryan saat dikantin sekolah tadi pagi, dia berkata entah serius atau tidak tapi itu juga ada betulnya saat aku pikirkan kembali,

“Mungkin saatnya aku membuka hatiku lagi Haru, kamu cukup sebagai hal nyata dalam hati ini, bukan lagi pada mata ini, mungkin begitu” Aku sambil menatap bintang terkecil yang seakan ingin redup cahayanya.

Tapi tidak akan semudah itu yang akan terjadi, bukan masalah seseorang yang akan menggantikanmu namun, masalahnya adalah hati ini belum siap dan masih takut akan berulangnya rasa kehilangan yang tidak akan bisa kembali lagi. Yah, ini yang membuatku terbelenggu dalam masa lalu bersamamu Haru.

“Kenapa kamu belum tidur Rayyi jam segini, apa besuk libur memangnya?” Mama berjalan dari dalam kamarku dengan membawa sebuah buku dan mencoba untuk duduk dikursi rotan yang ada disebelah kananku.

“Besuk masuk kok mah, tapi mungkin pelajarannya aja yang belum efektif karena masih ada MOS untuk kelas X” Jawabku dengan mengusap – usap muka karena sepertinya sudah mulai mengantuk ini mata.

“Kalau udah ngatuk tidur aja sana sayang, besuk kesiangan lho!” tangan mama sambil merapikan rambutku yang sepertinya acak – acakan.

“Bentar lagi ya mah”

“Mah Rayyi boleh tanya tentang perasaan enggak mah?” Aku menghadap mama yang sedang membaca sebuah buku entah itu buku apa aku juga tidak tahu.

“Wah kayaknya anak mamah udah besar nih” Mama tertawa.

“Ah... mamah nih malah meledek Rayyi” Aku mengembangkan kedua pipiku seperti kesal dengan jawaban mama.

“Haha enggak kok sayang, cepat mau tanya apa?”

“Gini mah, apa perasaan sedih karena kehilangan seseorang yang dekat dengan kita itu selalu menghantui kita dalam bayang – bayang masa lalu?” Aku merundukan kepala saat mama memandangku

Page 13: Imajinasi yang nyata

“Kamu masih memikirkan Haru Ray?” Tanya mama dengan sedikit terkejut karena pertanyaanku barusan

“Iya mah” Jawabku dengan lemah

“Udahlah Rayyi, enggak usah bersedih terus dengan itu semua, yakinlah jika Haru bahagia dengan kehidupan barunya disana, jika Rayyi bersedih karena memikirakan Haru, mungkin Haru juga akan bersedih, ingatlah siapa Haru, dia gadis yang kuat Ray” Mama tersenyum dan memegang tanganku, mungkin untuk memberikan rasa nyaman kepadaku

“Tapi apakah semua ini tidak bisa berubah mah, mungkin untuk sedikit saja” Air mata ini mulai tidak tertahankan walaupun sudah kucoba untuk menahannya, akhirnya menetes juga.

“Rayyi, ingatlah bahwa semua yang ada didunia ini pasti akan berubah, tidak terkecuali juga perasaan manusia. Yakinlah semua pasti akan berubah nantinya sayang, memang bukan sekarang, tetapi nanti ada waktunya sendiri" kata Mama sambil membelai kepalaku yang merunduk akibat menahan rasa sedih yang amat sangat ini. "Sudah jangan menangis lagi, sini mamah peluk” Lanjut Mama sambil tersenyum kepadaku dengan kedua tangannya membuka untuk memberi tanda untukku memeluknya.

“Rayyi merindukannya mah, Rayyi rindu sekali dengan Haru...., dan Rayyi juga menyesal tidak menyadari keadaan Haru yang dulu sakit – sakitan tetapi malah Rayyi ajak main terus, apa ini salah Rayyi juga ya mah Haru jadi kecapekan” Aku menangis dipelukan mama dan aku ungkapkan semuanya, seperti ada yang meledak didalam jiwa ini yang membuatku lebih baik.

“Sudah sayang, enggak usah bersedih terus, semua itu telah digariskan Allah, kita tidak bisa menahan yang tidak bisa kita tahan” Kata Mama didalam pelukan kami.

Sejenak suasana menjadi hening dan hanya terdengar suara jangkrik dan sesenggukanku didalam pelukan Mama ditengah malam yang cerah ini. Mungkin bintang tertawa melihatku begini, atau bahkan bulan hanya bisa tersenyum melihatku yang lemah dengan kenyataan yang ada.

“Cepat tidur sana, udah terlalu larut ini”

“Iya mah, makasih banyak ya mah sudah mau menjadi teman curhat Rayyi"

"Iya sayang, pasti mamah bantu setiap Rayyi punya masalah, bilang saja sama mamah" Mama tersenyum melihatku

"Selamat malam ya mah” Aku sambil mencium pipi Mama

“Iya sayang, mimpi indah ya” Mama tersenyum, dan tidak berapa lama lalu melanjutkan membacanya lagi yang tadi sempat tertunda.

Page 14: Imajinasi yang nyata

«BAYANGAN YANG BELUM MEMUDAR»

Sepertinya benar - benar sulit jika aku paksakan membuat cerita fiktif ini, mungkin lebih baik aku ganti saja sebelum terlanjur jauh.

"Apa aku lebih baik membuat novel tentang Haru?" Aku berbicara sendiri dalam kebingungan ini yang secara tidak sengaja ada pikiran, dan itu lagi - lagi Haru.

Pikiran itu sepertinya tidak terlalu buruk juga, apalagi jika teringat Kata - kata Mama yang menginspirasiku

"Rayyi, jika kamu sedih lebih baik tuangkan saja lewat tulisan atau cerita, itu mungkin akan membuatmu lebih baik" Kata Mama pada saat aku akan kembali lagi ke Bandung yang ketika itu Haru sedang menjalani perawatannya dari penyakit Leukimia yang dia simpan.

"Mungkin ini saatnya aku membuatkan sesuatu untukmu Haru, walaupun hanya sebatas tulisan" aku tersenyum melihat foto Haru yang menemaniku dalam kesendirian dan kebosanan malam ini, dimana tadi disekolah hanya tetap sama saja dengan kegiatan yang kemaren.

Dulu aku hanya dapat berpikir bahwa suatu saat nanti pasti aku bisa melewati perasaan ini, tapi pikiran itu tidak selalu aku jalankan dengan sebuah awalan yang dapat mengawali dari pikiran tersebut selama ini, dan mungkin ini adalah awalan itu. Tetapi sampai kapanmu senyuman itu tidak akan hilang dalam ingatan ini Haru, kamu tetap akan aku tempatkan tersendiri dalam hati ini, tidak akan ada yang menggantikanmu, kamu tetaplah Haru si liliput. Kamu tetap

hidup dalam hati ini.

Pagi ini seperti biasa, jam mepet untuk berangkat sekolah adalah alasan setiap hari Papa untuk ngomel - ngomel tidak jelas padaku, sesuatu yang nyata tapi juga tidak mudah untuk berubah.

"Mah, motor Rayyi tolong diganti dong, yang lebih besar CCnya" Kata - kata yang mungkin sudah dihafal oleh Mama.

"Memangnya kamu mau sekolah apa gaya - gayaan Ray" Papa menjawabnya mendahului Mama.

"Iya Rayyi, nurut aja sama kata - kata papa, mungkin CC yang besar juga lebih bahaya untuk usia kamu yang masih labil dalam berpikir".

"Dan pokoknya prestasimu harus naik lagi, bukan berarti kamu ambil jurusan sosial dapat bersantai" Papa sambil membenarkan dasinya yang membuatnya terlihat lebih elegan dalam berpakainnya.

Page 15: Imajinasi yang nyata

"Iya pah maaf, Rayyi akan berusaha lebih giat lagi" aku cepat - cepat memakai sepatu.

"Aku berangkat dulu ya pah, mah... selamat pagi".

"Iya Ray, hati - hati ya, ingat enggak usah kenceng - kenceng naiknya" Mama yang berada didepan pintu rumah untuk melihat keberangkatanku.

"Beres... mah" Aku selanjutnya berlalu menelusuri jalanan yang menuju kesekolah.

Sepertinya pagi ini sudah mulai efektif jam pelajarannya.

"Selamat pagi anak - anak...."

"Selamat pagi juga Ibu....."

Ya, sapaan formal yang setiap hari terjadi dalam kelas, tapi bedanya banyak teman baru dalam kelas ini yang kemaren saat kelas X tidak berada satu kelas bersamaku, karena kami masih belum penjurusan pada saat itu, walaupun sudah saling kenal semua. Yah tahun ini yang berminat dalam jurusan sosial atau yang terpaksa masuk karena tidak memenuhi kriteria masuk kelas exact seperti Nami, ada 3 kelas, sedangkan kelas exact ada 4 dan bahasa ada 1 kelas.

"Ibu, kenalan dulu dong, kan ini pertemuan perdana" Suara dari Radit yang duduk dibelakangku bersama Freddo. Dan kupikir ini biasa, atau kebiasaan yang dilakukan pada saat pertemuan perdana, dengan alasan biar lebih mengenal dahulu, tapi itu hanya sebatas alasan saja, yang maksud sesungguhnya hanya untuk mengulur waktu agar tidak cepat - cepat masuk dalam pelajaran.

"Baiklah anak - anak" Ibu itu sambil senyum dan berada didepan untuk menuliskan sebuah nama dipapan tulis, ya nama Liliana.

"Nah, nama saya adalah Liliana, tapi jika memanggil cukup dengan Ibu Lili saja. Disini saya mengampu mata pelajaran akuntansi, jadi salam kenal ya anak - anak" Ibu Lili sambil tersenyum, yang selanjutnya banyak pertanyaan yang tidak berbobot yang ditujukan.kepadanya, seperti nomor telepon sampai anaknya sudah ada berapa, yang sumuanya dilakukan dengan suasana bercanda, dan itu katanya biasa untuk anak - anak sosial yang dicap sebagai siswa yang sulit diatur. Aku tidak terlalu memikirkan tentang pertanyaan - pertanyaan yang diajukan oleh anak - anak, tetapi aku lebih terfokus sama nama panggilan Ibu Liliana, yang membuatku melamunkan tentang liliput yang lucu itu dengan senyum manisnya, dan lagi - lagi Haru masuk dalam pikiran ini. Aku dikagetkan dengan sebuah sikutan pada lenganku

"Hei mulai gila ya kamu Ray, senyum - senyum sendiri hihihi" sebuah bisikan dari Nami yang duduk sebangku denganku dan cekikikan darinya karena melihatku tersenyum sendiri.

"Ah.. kamu Nam, ganggu orang seneng aja" balasku cuek

"Lha abisnya kamu melamun sih, memangnya melamunin siapa sih Ray? Haru ya? hehehe" Wajah Nami yang memandangku penuh rasa ingin taunya.

Page 16: Imajinasi yang nyata

"Ingin tau banget atau ingin tau aja kamu Nam" aku hanya mengedipkan mata kananku untuk meledeknya.

"Ah rese kamu Ray" Nami memanyunkan bibirnya lalu mengalihkan pandangannya kedepan yang semula memandangku dan itu membuatku tersenyum geli melihat ekspresi kesalnya.

Bel istirahat dibunyikan, aku hanya berdiam diri dikelas saja seperti tidak ada hasrat untuk pergi kekantin atau hanya sekedar ngobrol didepan kelas bersama teman - teman yang lainnya.

" Nerd, ayo kekantin, tadi Ryan bilang katanya dia kekantin duluan bersama Nami" Freddo yang menampakkan kepalanya saja dibibir pintu kelas.

"Hahaha dia cuma alasan untuk berdua sama Nami aja Fred" aku tertawa jika mengingat akal bulus si Ryan yang suka cari - cari waktu agar bisa sama Nami.

"Kamu sendiri aja ya, kayaknya aku lagi males banget Fred, nitip makanan aja aku ya" lanjutku.

"Oh, Ok siap deh, anak manja" Freddo tertawa, yang membuatku bisa tersenyum karena seorang Freddo juga punya selera humor juga, ya mungkin hanya sedikit tapi lebih banyak anehnya sepertinya orang itu, tak tertebak.

Diatas kursi yang kubariskan aku tiduran diatasnya dengan memakai bantalan tas imut milik Nami yang lembut, aku memikirkan seorang Haru, aku berimajinasi lagi jika dia masih ada, mungkin kami masih saling mengirim surel setiap malamnya, masih merasakan senja yang nyaman dengannya, dan yang paling penting adalah masih dapat melihat senyum dan mata sipitnya yang lucu nan manis itu, kau sempurna buatku hingga tidak ada orang lain yang dapat merasakan ini semua seperti yang kamu berikan padaku Haru

"Janganlah mulai lagi Rayyi, tempatmu berbeda, kamu harus mencoba melepaskannya" Aku berkata pelan pada diriku sendiri, mungkin aku terlalu lemah untukmu Haru, bahkan sejak kamu pergi sepertinya aku mulai akrab dengan sebuah air mata.

"Hmm... kerjaanmu selain melamun apa tidak ada Rayyi Tosca!!!" Nami sambil memberikan makanan yang tadi aku titipan pada Freddo. "Hei... itu tasku Ray, kenapa kamu jadiin bantal" Lanjutnya.

"Hahaha maaf Nami, kan juga cuma bentaran aja ini tadi" lagi - lagi aku mengedipkan mata yang dapat membuatnya kesal.

"Huh... yang penting balikin sekarang!!" Gertak Nami padaku

"Iya iya bawel..." Aku sambil bangun untuk mengembalikan tas Nami yang barusan aku pakai.

"Mana Ryan sama Freddo? kok kamu sendiri saja?"

Page 17: Imajinasi yang nyata

"Biasa, liatin anak cewek kelas X, apalagi yang bukan begitu coba" Nami yang sudah duduk dikursinya sambil makan makanan sejenis snack kecil yang ada ditangannya.

"Kamu juga enggak pengen liat - liat Ray hahaha.." Lanjut Nami

"Hehehe... enggak aja Nam, bawaannya males aja hari ini" Aku hanya bisa tersenyum dan melirik ke Nami sedikit atas pertanyaan yang diajukan Nami padaku.

"Eh iya, memang gadis yang aku jatuhkan hari senin kemarin siapa Nam?" Aku menghadap ke Nami dengan sedikit rasa ingin tahu yang masih belum aku dapatkan jawabannya.

"Halah kamu Ray. Dia tuh anak yang manis Ray, yang sekarang lagi hangat - hangatnya dibicarain para cowok dikelas kita" Nami bersemangat sekali ceritanya.

"Oh...." Aku menjawabnya dingin saja, yang aku kira dia seorang anak yang penting atau apa, ternyata hanya sebuah bunga yang akan tumbuh disekolah ini, seperti bunga - bunga lain yang mungkin juga akan dipetik, tapi entah siapa yang memetiknya aku juga tidak tahu dan tidak perduli.

"Ah kamu itu bener - bener nyebelin Ray. Jawabnya yang enak dong" Nami menyikutku lagi - lagi, tapi ini agak lumayan keras.

"Aduh.... hehe maaf ya" Aku hanya bisa meringis saja kepada Nami karena menahan sakit sedikit karena ulah Nami barusan.

"Jika sebangku denganmu selama 1 th dan kamu beginiin aku terus, mungkin aku udah masuk ICU berbulan - bulan karena babak belur parah" Lanjutku dengan tertawa bersama Nami.

**

Sebidang tanah yang belum dibangun sebuah bangunan dan hanya ada sebuah pohon yang tidak terlalu besar tapi sudah bisa memberikan kesejukan yang ada dibelakang kelas baruku ini adalah tempat yang paling sering kudatangi sejak aku masuk sekolah ini, mungkin sebagian orang tidak tertarik dengan tempat ini dengan alasan mungkin sepi dan tidak ada pemandangan yang istimewa, tapi buatku tempat ini adalah yang terbaik, yang dapat memberikan sebuah senyuman atas lamunan - lamunan indah ini, termasuk bayangan Haru yang setia ada didalam pikiran ini.

Hanya sebatas senyuman yang menggambarkanmu Haru, kita mungkin berbeda, daya juangku tidak sepertimu, dan mungkin impianmu bukan impianku. Kamu penyuka warna jingga, sedangkan aku hanya sebuah warna tosca, seperti nama belakangku. Entah sejak kapan pikiran ini muncul lagi, seperti biasanya hanya mengalir dalam kesendirian ini. Kamu orang bodoh Haru, hanya sebuah senja sederhana saja kamu rela menyembunyikan sebuah ledakan besar. Tidak terasa, sekarang sudah hampir 4 tahun

Page 18: Imajinasi yang nyata

kamu pergi dari hari - hariku, kamu membuatku menangis hingga selemah ini, dasar liliput. Sebuah getaran dari Handphone yang ada disaku celanaku menyadarkan dari lamunan ini.

"Nerd, kamu dimana?"

Sebuah pesan dari Ryan? untuk apa dia sms hanya menanyakan keberadaanku, sedangkan ini hanya jam istirahat siang dan bentar lagi juga masuk kekelas, mungkin dia hanya tidak ada teman saja pikirku.

Pelajaran terakhir siang ini dikelas seperti sebuah kuburan saja. Bayangkan saja seorang guru killer yang ada didepan sudah menghukum Ryan dan Radit saat pertemuan perdananya. Ya, seorang guru BK yang sudah terkenal galak dan garangnya bahkan sebelum dia mengajar dikelas XI kami. Dia bernama Irianto, Ryan dan Radit dihukum gara - gara hanya terlambat masuk 10 menit dikelas sudah mendapatkan hadiah istimewa. Sungguh aku hanya bisa berdiam dan menelan ludah untuk 90 menit kedepan, bahkan Nami yang ada disampingku yng biasanya berbisik - bisik padaku hanya dapat merunduk dan diam saja. Berharap waktu bisa berjalan lebih cepat.

"Nerd..," Seruan dari Ryan yang berlari dari belakangku saat aku melewati lobi untuk mengembalikan absen kekantor piket, ya aku hanya sebagai suruhan Irianto sialnya.

"Baru bisa keluar kamu dari cengkraman Irianto?" Aku menertawai Ryan.

"Ah rese banget loe Nerd" Ryan sambil mendorong bahuku pelan. "Hei.. tadi kenapa enggak balas sms gua? penting tuh tadi" Lanjutnya.

"Sorry, kupikir tadi hanya basa - basimu ajak aku kekantin" Aku tertawa lagi. "Memang sepenting apa Yan?" Lanjutku ingin tahu apa yang dimaksud penting dalam kamus Ryan.

"Tau enggak loe, tadi Nami berduaan demgan Remon saat dikantin". "Bayangkan saja jika dia berduaan, bukankah ada yang spesial diantara mereka Nerd" Lanjutnya.

"Mungkin itu perasaanmu saja Yan, tenanglah, bukankah kamu juga sering berduaan dengan Nami? itu bukan berarti pacaran kan?" Aku hanya bisa tersenyum saja kepada Ryan.

"Iya iya, tapi ini beda" Jawab Ryan saat kami sudah sampai dikantor guru piket. "Memang bedanya seperti apa Yan?" Aku menjawab Ryan yang masih berusaha melawan masukan yang sampaikan barusan.

"Tadi mereka bicaranya seperti orang pacaran, ya malu - malu gitu si Nami"

"Halah, santai saja, Nami pasti juga tahu siapa Remon Yan". "Ayo kita keparkiran aja mendingan sekarang" Lanjutku mengajak Ryan mengobrol diparkiran.

Page 19: Imajinasi yang nyata

"Nah makanya itu, dia seorang playboy cap kadal" Tangannya mengepal - ngepal seperti sok jagoan saja ini anak.

"Hahaha enggak usah cari gara - gara Yan, santai aja kan semua juga akan terjadi bila itu terjadi" Aku menertawakannya lagi diperjalannan kami menuju parkiran motor.

"Hei lo pikir gua seperti lo Nerd?"

"Maksudmu?" Jawabku reflek.

"Hanya sebagai pelamun, menunggu untuk bermimpi semua yang hilang bisa kembali lagi" Dia tertawa lagi. Seperti suatu hal yang mencengangkan ketika aku mendengarkan celotehan Ryan barusan, apa mungkin aku sebegitunya? mungkin benar kata Ryan, aku hanya seorang pelamun yang berusaha bermimpi tentang hal lama bisa kembali lagi, dan ternyata ini semua lebih bodoh dari sikap Haru.

"Lo enggak kenapa - kenapa Nerd?" Ryan membangunanku dari tatapan kosong karena seperti terhipnotis kata - kata Ryan yang tadi bisa memaksaku untuk mengingat kenyataan, dan aku lebih benci jika kenyataannya seperti ini.

"Ah eng..nggak, aku enggak apa - apa" Jawabku kaget dan aku hanya dapat tersenyum saja.

"Kebiasaan lo Nerd, lagi - lagi melamun. Lo seharusnya sudah bisa melupakan Haru. Sudah selama ini lo tersiksa, dan ini cukup sampai disini saja" Ryan bisa sambil menepuk bahu kananku saat aku terbengong kata - kata yang keluar dari mulutnya. Sungguh tidak kusangka seorang Ryan Renanto bisa berbicara seperti itu, atau mungkin aku yang tidak menyadarinya selama ini.

"Aku enggak memikiran Haru" Bantahku pelan. "Udahlah Nerd, gua tau siapa lo. Hampir 5 tahun gua mengenal lo, apalagi perbedaan saat Haru masih ada dan ketika dia sudah pergi, itu merubah lo. Gua pikir ini ironis untuk sebuah hidup" Ryan membisikkan kalimat terakhir ditelingaku dengan nada ejekan sambil berlalu melangkah mendahuluiku. "Ayo nongkrong aja. Ya, itu jika si anak mami mau sih" Lanjutnya sambil tertawa.

"Rese kamu Yan. Ok ayo, tapi hanya berdua aja ini?".

"Iyalah, hari ini gua enggak mau liat Nami dulu" Ryan sambil menuntun motor untuk mendekatiku. "Ok ok, tapi untuk untuk besuk bagaimana?" Lanjutku tertawa. "Kalau untuk besuk, gua ingin memeluknya sepertinya" Ceplosan Ryan membuat kami tertawa terbahak - bahak.

**

Rasanya cepek sekali hari ini, sebuah hari yang masih aneh pikirku. Sepertinya aku menemukan sebuah diriku dibalik kata - kata Ryan, dan jika mengingat kata - kata tadi membuatku tertawa sendiri, apa

Page 20: Imajinasi yang nyata

mungkin Ryan sudah mulai gila atau kesurupan apa tuh anak tadi, bisa - bisanya berkata yang dapat membuatku tertegun akan kata - katanya. Ternyata aku ada diantara orang - orang yang terbaik, tapi kenapa aku masih bermimpi dan berharap melihat Haru membalas cintaku secara nyata dengan senyum manisnya. Pikiran yang tidak mungkin terjadi.

"Hai liliput, jika memang kamu tidak bisa kembali lagi, apakah mungkin kamu bisa bereinkarnasi seperti kepercayaan orang cina? jika itu terjadi mungkin hanya sebuah kebetulan yang indah dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi seseorang yang memperjuangkan apa yang ia harapkan" Aku hanya dapat membayangkan Haru ditengah lamunan malam ini.

"Rayyi..." Haru memanggilku ditengah hamparan rumput yang lembut didekat bukit sambil berjalan menghampiriku yang sedang duduk melihat senja, sedangkan aku hanya melihatnya dan menatapnya sebentar dengan senyuman. "Indah ya cahaya ini" Lanjut Haru. Ya, senyuman yang aku rindukan akhirnya tampak juga memperlihatkan penuh kenyamanan.

"Kemana saja kamu selama ini? Aku sungguh merindukanmu Haru" Aku memegang tangan kanannya dengan erat pada jari - jarinya yang putih dan lembut. "Aku tidak kemana - mana Rayyi. Aku masih ada didalam dirimu" Ia kembali tersenyum manis yang lagi - lagi dapat menghipnotisku. "Kamu tidak usah bersedih karenaku. Kenapa kamu selalu menangis cuma gara - gara perempuan sepertiku? Ingatlah Rayyi, aku hanya sebatas siluet" Lanjutnya.

"Kenapa kamu berkata seperti itu? Kamu buatku nyata Haru....." Kami sekarang saling bertatapan muka dengan kedua tangannya aku pegangi.

"Rayyi, aku tetaplah ada, tapi aku tidak menjadi satu disekitarmu. Aku menunggu janjimu yang kamu katakan kepadaku, dan berjanjilah padaku jika kamu akan mendapatkannya untukku" Haru tersenyum dengan berusaha mengendurkan tanganku yang memegangi tangannya agar supaya lepas.

"Aku akan berusaha untuk itu semua Haru..." Jawabku yakin. "Kamu mau kemana Haru?" Aku melihatnya berjalan menjauhiku, tapi hanya sembuah senyuman yang aku dapatkan dari pertanyaan yang aku tunjukkan kepadanya, dan dia semakin jauh dan jauh lagi dalam langkah anggunnya.

"Haru......" Aku terbangun dari tidurku saat melihat Haru menghilang dalam langkah panjangnya.

Ternyata aku hanya bermimpi, keringat dingin membasahi badanku malam ini seperti sedang dalam keadaan gugup. Apakah mungkin ini tanda darimu agar aku cepat melupakanmu Haru?. Baiklah Haru, aku akan berusaha melupakanmu dalam kesedihan, dan akan aku rubah kebahagian untuk kenangan yang indah saat bersamamu, mungkin itu yang terbaik untuk mengenangmu. Terima kasih Haru atas jawaban dari kebingunganku. Kamu tetaplah ada seperti katamu.

Page 21: Imajinasi yang nyata

<< SEBUAH CORETAN NAMA >>

Sebuah lagu penyemangat milik JKT48 yang berjudul PonyTail to Shusu yang kujadikan nada alarm telah membuka lembaran baru hari ini yang membangunkanku untuk menyambut fajar yang akan mulai datang, dan segera kulakukan kewajibanku. Sinar hangat ini kupersilahkan masuk kekamarku melalui jendela kaca saat kordin kubuka lebar agar aku melihat mentari yang meninggalkanku kemarin sore.

“Semangat Rayyi!!” kata yang kuucapkan untuk melihat tantangan yang akan datang sepanjang hari ini. Tidak terasa sudah 2 minggu memasuki pelajaran dikelas XI, dan tidak kusadari juga aku sedikit demi sedikit telah meninggalkan bayangan Haru dengan membuat kesibukan - kesibukan yang kubuat bersama 3 teman dekatku.

**

Angka - angka yang harus terhitung ini rupanya menyulitkan juga, ah sebuah debet dan kredit lagi - lagi yang ditanyakan Ibu Lili, kalau aku dipanggil kedepan untuk mengerjakan, maka habislah sudah.

"Ray, gimana nih untuk menghitung yang No.2 ini?" Bisik Nami kepadaku sambil menunjukan soal yang sedang dia maksudkan, aku pun hanya dapat mengedipkan bahuku, yah sungguh sulit rupanya soal yang nomor 2 ini.

"Coba kamu tanya sama Ryan atau Freddo Nam" Kataku enteng seperti halnya orang yang berpangkat lebih tinggi saja.

"Silvia, kamu mengerjakan no 1" Terdengar suara dari ibu Lili yang memecahkan konsentrasiku dari soal yang sedang berusaha untukku selesaikan, yang ternyata sudah menunjuk Silvia yang duduk didepan meja guru. "Untuk selanjutnya yang mengerjakan soal no 2, sebentar..," Lanjutnya dengan melihat nama - nama diabsen untuk mencari satu nama lagi agar mengerjakan soal no 2, dalam benak ini aku berharap semoga bukanlah aku yang ditunjuk untuk mengerjakannya.

"Rayyi Tosca, iya kamu maju kedepan untuk mengerjakana soal yang no 2 ya Rayyi" Ibu Lili menunjukku, dan saat itu seperti petir yang menyambarku, hanya menghelai nafas panjang yang bisa aku perbuat saat ini, "Sialan kenapa harus aku" kataku dalam hati.

"Nikmati saja Nerd" Ryan berbisik kepadaku saat aku melewati bangkunya untuk maju ke papan tulis, ah anak itu meledekku lagi.

**

Suasana ramai dan pengap karena terlalu banyak manusia yang mengisi kantin disekolah ini yang kutemui seperti biasanya. Seolah jam pelajaran Akuntansi yang biasanya nyaman dan penuh candaan, tadi berubah seperti sebuah penjara buatku, sungguh memalukan.

Page 22: Imajinasi yang nyata

"Hei Nerd apa yang lo rasain barusan saat jam akuntansi" Ryan lagi - lagi mulai menjadikanku obyek candaan, sungguh terbungkam hari ini dari ocehan - ocehan terutama Nami dan Ryan. Kulirik Nami hanya senyum - senyum tidak jelas, sedangkan Freddo hanya sibuk mengaduk - aduk minumannya. "Ah sialan kamu Yan, aku cuma tidak beruntung saja tadi" Cetusku dengan malas dan lesu.

"Hahaha untung tadi bukan gue Ray" Nami meringis, sedangkan aku hanya bisa tersenyum saja untuk menyikapi kata - kata yang ditunjukan siang ini padaku.

"Aaaoo..." Tiba - tiba saja ada air hangat yang membasahi bahu kananku, dan ketika kulirik kebelakang rupanya perempuan kelas X yang sedang membawa minuman yang tidak sengaja minumannya mngenaiku karena apa aku tidak tahu kenapa bisa minumannya bisa mengenaiku.

"Haduuuh.... maaf banget ya kak" Wajahnya seperti ada rasa takut. "A..aku tidak sengaja kak, biar aku bersihkan" Lanjutnya dan perempuan itu mencoba membersihan bahuku dengan sapu tangan miliknya.

"Ehh... enggak usah dek, enggak apa - apa kok" Aku berusaha menahan tangannya dan hanya tersenyum untuk melihatnya agar tidak gugup padaku, dan tidak aku sadari jika aku memegang tangannya yang ternyata membuatnya tambah gugup saat kami bertatapan mata, dan ketika sadar aku langsung melepaskan tangan itu dari genggamannya.

"Iya kak maaf banget, beneran deh" Dia menyerahkan sapu tangannya mungkin bermaksud agar aku bisa membersihkannya sendiri, "Ini pakai sapu tanganku saja kak" Lanjutnya.

"Iya terima kasih ya" Aku membalasnya dengan senyuman untuknya. "Ya udah aku permisi kak" begitu saja pergi kebelakang untuk mencari tempat duduk.

"Cie.. ini yang baru dapat kenalan" Ryan mengedipkan matanya kepada Freddo dan Nami yang tersenyum seperti ada sesuatu yang aneh. "Hei aku tidak berkenalan tadi" Timpalku atas argumen yang dibicarakan oleh Ryan.

"Itu Ray yang aku maksud seseorang yang kemarin baru menjadi perbincangan cowok dikelas kita" Nami tiba - tiba berbicara didekatku, aku lalu melirik ke parempuan tadi, "Itu rupanya yang dibilang manis oleh Nami" kataku dalam hati. Terus sapu tangan ini bagaimana aku mengembalikan, mana kotor lagi haduh.

**

Secangkir teh menemaniku sore ini diteras atas, menunggu datangnya senja yang mungkin indah untuk dinikmati. Hal yang tepikirkan dalam benak ini adalah hanya rasa malu dan tawa jika mengingat – ingat kejadian tadi pagi, sialan juga tuh soal.

“Oh iya” ingatanku tertuju pada gadis yang tadi ada dikantin yang menumpahkan minumannya pada bahuku, sepertinya dulu yang pernah aku jatuhkan saat ada didepan kelas X7, siapa ya dia, bahkan aku saja belum meminta maaf pada kejadian dulu. Dan kupikir dia hanya relatif saja tidak seperti yang dikatakan Nami, bahwa dia manis sekali hingga menjadi bahan pembicaraan dikelasku, ah dasar Nami.

Page 23: Imajinasi yang nyata

Lebih baik aku menlanjutkan untuk membuatkan Haru cerita yang sudah tertunda – tunda terus akhir – akhir ini dari pada hari ini bosan tidak jelas dirumah seperti sekarang. Sepertinya aku sudah menemukan salah satu dari mimpi - mimpiku Haru, ya, mungkin menulis. Handphone yang aku taruh diatas meja berbunyi sebuah tanda panggilan masuk, dan setelah kulihat Ryan yang menelpon, sore – sore begini? Ah ganggu aja nih anak, harus tertunda lagi.

“Halo Nerd” Suara dari seberang telepon. “Iya ada apa Yan?” jawabku melanjutkan perbincangan yang ada ditelepon.

“Aku kerumahmu sekarang ya? Kamu dirumahkan”, sialan si anak ini apa ingin meledekku lagi apaan, yang tadi siang sudah menghabisiku “Ya, tapi cepat ya, keburu bosan nih” Jawabku malas. “Heii.. aku udah ada dibawah Nerd hahahaha” Tertawanya Ryan keluar lagi seperti biasa, dan setelah aku lihat kebawah memang benar, tuh anak sudah ada didepan gerbang, “Sialan!” Jawabku lalu menutup telepon.

“Gila kamu, kenapa enggak langsung masuk aja? Malah nelpon enggak jelas kayak gini tadi” Ryan memang ada – ada saja yang membuat geleng – geleng kepala atas tingkahnya barusan, “Memangnya mau apa Yan?” Lanjutku.

“Nemenin gua keluar Nerd, bosen banget dirumah” Harapnya agar bisa, “Ok” Jawabku singkat dan aku masuk kedalam untuk mengambil Helm.

“Ok, sekarang kita mau kemana?” aku tanya kepada Ryan yang sudah siap di pada motornya, “Gimana kalau ketaman Ganesha aja Nerd?”. “Haaaa? Memangnya hari ini kamu kesambet apa Yan?” Sahutku memotong masukan yang diberikan Ryan dan membuatku tambah bingung saja sama anak ini, “Kita kesana mau cari apa? Ini sore Yan, mendingan ke daerah jalan Djuanda aja sambil cari makan” Lanjutku.

“Oh iya Nerd, kadang lo smart juga ya” Tawanya pecah yang membuatku tersenyum melihat tingkahnya yang serba aneh dan kalaupun Ryan sedih cuma karena Nami kayaknya enggak banget, “Sialan kamu. Aku bocengkan?” lanjutku, “Ok, siap Nerd”.

**

Suasana ramai akan orang – orang yang makan dan nongkrong terpampang jelas disini, mataku terfokus pada dua orang yang bermesraan ditengah – tengah makan mereka sambil saling menyuapkan, membuatku berpikir apakah seseorang yang jatuh cinta selalu begitu, saling berbagi kasih sayang? Aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri yang belum pernah mengetahui akan rasa berbagi itu. Disebelahku kulirik Ryan masih sibuk dengan HandPhonenya, sedangkan aku hanya dapat melihat orang – orang yang pacaran.

“Yan, sibuk banget emang lagi ngapain kamu?” aku bertanya kepada Ryan yang masih saja memainkan handPhonenya, “Kamu mau mesan makan apa enggak woy?” Lanjutku kesal.

Page 24: Imajinasi yang nyata

“Sabar Nerd sabar” Ryan malah cekikikan sendiri saat aku berbisik ditelinganya barusan, “Aku pesan ayam yang ini aja Nerd” Lanjutnya sambil menunjuk pada daftar menu yang ada dimeja untuk kutulis pada kertas pesanan.

“Hei, liat tuh yang ada dipojok, kayaknya lagi pada kasmaran Yan” Aku tertawa menunjukan dua orang yang tadi sempat mengalihkan pandanganku, “Biarkanlah Nerd, lo aja yang ngiri tuh” Ryan balik menertawakanku, mungkin kata Ryan juga ada benarnya juga.

“Gimana, kamu masih menyelidiki Nami dan Remon?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan kepada persolan Nami yang kemarin – kemarin, Ryan hanya memperlihatkan layar HandPhonenya yang sedang berjalan pada halaman facebook yang memperlihatkan dari status yang dibuat Nami pada 24menit yang lalu, yang berisi “Terima kasih untuk hari ini” dan terlihat ada sebuah smile ceria sesudah tulisan itu, “Santai aja napa Yang? Kan belum tentu juga itu yang dimaksudkan Nami adalah Remon” aku berusaha memberi sebuah pandangan yang positif agar tidak ada yang dirugikan, ya termasuk pertemanan kami berempat, “Iya Nerd terima kasih, semoga saja begitu” Jawab Ryan singkat dengan memasukkan HandPhonenya lagi pada saku celananya yang saat itu pesanan dari kami sudah diantarkan dimeja kami, ya sebuah ayam bakar dan sambal terasi kesukaanku sudah siap untuk disantap.

“Aku tidak membela diantara kalian, tapi aku hanya berharap kepadamu aja Yan, supaya kamu bisa menahannya agar pertemanan diantara kita semua tidak tercampur oleh masalah pribadi” Aku mencoba memberi nasihat kepada Ryan yang sedang meminum jus jambunya disampingku, “Iya Nerd, terkadang lo juga ada benarnya juga” Ryan seperti menimbangkannya, “Ok, gua akan menahan ini semua Nerd, tapi gua juga enggak akan diam aja jika Nami dimainkan si playaboy kadal itu” lanjut Ryan.

“Santai saja, kamu tidak usah galau” Aku tertawa melihat dalam keadaan seperti ini, seperti saat Ryan selalu menertawakanku dalam keadaan yang seperti itu pula, ya saat aku terpikirkan tentang Haru.

**

“Sepertinya istirahat siang siang ini lebih enak nongkrong diperpusatakaan deh Ray” Kata Nami yang mengajakku pergi keperpustakaan sekolah. Ya bagi kami berempat perpusatakaan adalah tempat tongkrongan yang asyik karena mungkin jarang siswa yang datang seperti dikantin, jadi enak untuk istirahat walaupun hanya untuk sekedar mengobrol secara berbisik. Dan disana jugalah sebuah nama Nerd tercipta dari mulut Nami dan Ryan.

“Hanya berdua Nam? Freddo sama Ryan gimana?” Tanyaku ada Nami yang menungguku diambang pintu kelas, “Pada mau ikut enggak Yan, Fred kalian?” Nami berbicara lumayan keras kepada Ryan dan Freddo yang sepertinya ada didepan, “Enggak, gua mau kekantin aja” Terdengar suara dari Ryan yang menjawab dari pertanyaan milik Nami barusan.

“Ayo Ray kita berdua saja, males kalau gue kekantin ikut Ryan sama Freddo, kamu temenin aku saja” Nami berkicau seakan mendesakku harus menuruti apa kemauannya, bagaikan seorang ratu saja orang anak itu, “Ok” aku hanya berdiri dengan malas – malasan.

Page 25: Imajinasi yang nyata

Suasana hening seperti biasanya yang aku dapatkan di perpustakaan hari ini, hanya terisi anak – anak progam exact saja sepertinya yang mengisi ruangan ini. Pandanganku tertuju pada perempuan yang ada disebelah kanan dekat rak buku – buku, bukankah itu yang kemarin menumpahkan minumannya, “Oh sapu tangannya” pikirku dalam hati yang teringat akan sapu tangan milik perempuan itu yang masih aku bawa.

“Rayyi, mau kemana kamu?” Nami berkata padaku saat aku berdiri ingin pergi, “Sebentar, kamu disini saja, nanti aku kembali lagi Nam” Jawabku sambil meninggalkan Nami dengan terburu – buru menuju kelas.

Setelah sampai diperpusatakaan lagi, aku melihat - lihat disekitar rak buku yang ada disebelah kanan. Syukurlah dia masih ada rupanya, aku berjalan menuju perempuan itu yang sedang membaca buku sendirian, aku mencoba duduk disampingnya

“Hai” aku berusaha menyapanya, mungkin tidak menyadari kedatanganku karena fokus akan bacaannya, “Oh” dia tersentak kaget saat melihatku sudah disampingnya, “Maaf kak aku kaget, iya ada apa ya kak?” lanjutnya sambil tersenyum manis kepadaku. Sikap manis dari senyumannya membuatku terpaku dan aku hanya bisa diam menatap apa yang terjadi barusan.

“Kak?” Aku dikagetkan dengan suara yang ada didepanku dengan wajah kebingungan, “Oh iya, maaf” aku hanya dapat tersenyum malu atas kejadian barusan yang membuatku menjadi gugup sekali bertatapan dengan mukanya. “Bukankah kakak yang kemarin yang ada dikantin?” Tanyanya, “Oh iya, namaku Kayla Turquoise” Lagi – lagi dengan senyuman itu dia berkata dengan indahnya, “Nama kakak?” lanjutnya. “Hmm... nama saya Rayyi Tosca” dengan senyum malu aku menjawabnya, aku juga tidak sadar telah memperkanalkan namaku sendiri dengan sebuatan saya? Ha saya, sungguh itu terlalu formal untuk sebatas perkenalan teman saja apalagi dia hanya sebatas adik kelas saja pikirku.

“Oh iya, ini Kay sapu tanganmu yang kemarin masih kebawa aku” aku menyerahkan sapu tangan biru yang ada ditanganku, “Makasih ya kak, tapi jika tidak dikembalikan sebenarnya juga tidak apa – apa, kan hanya sebuah sapu tangan” Dia tersenyum padaku, dan disetiap senyuman itu sepertinya membuatku aneh, seperti sebuah senyuman dalam lukisan monalisa yang masih misterius, begitu juga senyuman Kayla yang masih misterius untukku yang membuatku penasaran, dan jangan sekarang imajinasi itu datang, tolonglah aku Tuhan.

“Kamu kelas apa Kay?” aku mencoba menanyakan ditengah – tengah rasa gugup yang menyambangi diri ini, “Aku kelas X7, kakak sendiri?” dia mencoba menanya balik kepadaku, “Aku kelas IPS3. Eh udah dulu ya Kay, ditunggu sama temenku, kalau ada waktu kita lanjut lagi” Aku mengakhiri obrolan ini, nanti kalau lebih lama bisa – bisa Nami berpikir yang enggak – enggak tentang Kayla denganku.

Aku berjalanan menuju bangku yang tadi kududuki bersama Nami. Aku melihat wajah Nami yang memanyunkan bibirnya sambil mengembangkan pipinya terhadapku.

Page 26: Imajinasi yang nyata

“Ada apa?” aku tertawa melihatnya begitu, “Oh ternyata tadi terburu – buru hanya karena Kayla ya Ray?” Nami menyipitkan matanya, seakan – akan seperti seorang detektif yang sedang memecahkan masalah saja, “Udalah buang jauh – jauh pikiran anehmu itu, aku sudah bisa menebaknya, Mika Tambayong” Aku hanya bisa tertawa jika melihat tingkah aneh Nami yang selalu dia lakukan didepanku dan kata terakhir lebih kupertegaskan saat didepan mukanya Nami, “Hei itu pasti Ryan kan yang bilang?” Nami menjadi tersenyum malu, dasar perempuan, dipuji sedikit aja langsung merah.

“Nam, jawab pertanyaanku, sebenarnya kamu sama Remon ada apa? Sepertinya ada yang istimewa jika aku lihat akhir – akhir ini” Aku berkata dengan serius kepada Nami, karena sebuah kepastian tentang mereka berdua yang harus aku ketahui, “Aku enggak ada apa – apa Ray, sungguh” Nami mencoba mengelak dengan wajah tertunduk, “Udahlah Nam, aku tau kamu mencoba menyembunyikannya” Berusaha untuk memaksa Nami , tetapi mungkin ini tidak akan baik dan kupikir ini adalah hak Nami untuk sebuah perasaan yang dimilikinya, “Tapi kamu tau sendirikan siapa Remon? Aku hanya tidak ingin temanku tersakiti seperti yang lainnya, tapi itu adalah hak kamu Nam, aku hanya bisa mendo’akan yang terbaik saja” Lanjutku dengan senyuman saat aku memandang Nami dalam diamnya. “Ray, makasih atas perhatiannya, tapi tolonglah, kamu juga tau pasti keadaanku bagaimana sekarang” Nami berbicara dengan lemah tanpa memandangku, “Ok, tenang saja. Mending kita kembali kekelas aja sekarang Nam” Dan Nami selanjutnya berdiri dari duduknya, kutemui senyumanya kembali.

Kelas begitu sangat berisik dalam pelajaran seni, ya lagi – lagi hanya menggambar saja untuk mengisi jam terkhir ini. Aku terpikirkan oleh perkataan Nami barusan saat di perpusatakan, kemungkinan besar dia sama Remon benar – benar pacaran, tapi aku juga tidak akan mungkin bilang sama Ryan tentang kebenaran Nami dan Remon.

“Ray pinjam pensilnya ya” Nami mengambil pensilku yang ada disamping buku gambar, lagi – lagi Nami yang selalu mengagetkanku.

Mungkin lebih baik sekarang mengikuti pelajaran dengan semestinya saja dari pada melamun tidak jelas seperti ini dan aku juga sudah berusaha unuk merubah kebiasaan ini semua bukan? Kenapa harus terjadi lagi walaupun tidak melamunkan Haru lagi, tapi malah anak itu yang mencoba memasuki pikiran ini, ya sungguh aneh sekali. Aku mencoba melihat Ryan yang ada didepanku, sepertinya dia juga biasa saja dengan masalahnya, tidak sepertiku. Ya tapi Kayla sudah mulai masuk dalam pikiran ini sejak pertama kali kami bertatap mata tadi, memang benar kata Nami jika dia manis sekali senyumannya setelah benar – benar aku perhatikan dengan dekat, sungguh lamunan ini menenggelamkanku.

“Ini Ray pensilmu. Kamu sedang menulis apa Ray?” Tanya Nami sambil mencoba mengalihkan tangan kiriku yang menutupi pandangan tulisan dari Nami, “Ha? Kayla? Kamu naksir Ray?” Lanjutnya.

“Eh enggak seperti yang kamu pikirkan Nam, sungguh. Ini hanya terjadi dengan sendirinya” sungguh gila, kenapa aku bisa menulis sebuah nama dari anak itu, “Apa Ray? Terjadi dengan sendirinya? Itu tandanya...” aku buru – buru memotong perkataan dari Nami agar tidak melantur kemana – mana “Sttt... Sungguh Nam ini tadi aku tidak sadar kanapa bisa menulis nama anak itu”.

Page 27: Imajinasi yang nyata

“Udahlah Ray, itu namanya kamu naksir sama dia, walaupun kamu tidak menyadarinya” Nami tersenyum sambil menaikan kedua alis matanya. Ya, mungkin ada benarnya juga kata dari Nami, tapi apa mungkin aku suka sama Kayla? Aku hanya bertemu dia tiga kali selama ini dengannya dan ini sulit untuk dipercaya, mungkin Tuhan memberiku sebuah kebetulan yang memang benar – benar kebetulan dengan senyumannya yang masih membingungkanku.

Page 28: Imajinasi yang nyata

<<YOUR SMILE, ADALAH SEBUAH KEBETULAN YANG INDAH>>

Akhirnya aku bisa melemparkan badan ini ke tempat tidur juga, sungguh capek sekali padahal tadi juga tidak ada kegiatan yang berat, hmm.. entahlah. Kubuka lagi buku gambar yang ada didalam ransel, kupandangi sebuah tulisan yang dapat terbaca "kayla", apakah mungkin aku sudah gila dengan imajinasi yang tadi terpikirkan dengan begitu saja memasukki pikiran ini, atau mungkin itu.... ah pasti tidak mungkin, Nami pasti hanya mengarang saja soal pemikirannya tadi, bahkan aku saja belum mengenal lebih jauh tentang dia, tapi senyuman tadi memperlihatkan perbedaan saat dia dikantin dulu, setelah diperhatikan ternyata benar juga dia menarik tapi kupikir bukan wajahnya yang membuatku menarik, tapi senyumannya yang membuatku harus terpaku katika melihatnya tadi, benar - benar seperti Haru, mirip sekali. Kalaupun mentari senja itu muncul lagi tidaklah mungkin, kupikir dia senja yang lain, bukan Haru.

"Huh.... ternyata sulit juga"

Aku kehilangan inspirasi untuk melanjutkan tentang cerita Haru yang sudah kubuat 2 minggu ini, hanya bisa memandang foto dari Haru jika sudah begini, ya mungkin bisa untuk memunculkan inspirasi, tapi hanya sebatas prolog empat paragraf yang baru kubuat, sungguh ini menggelikan yang membuatku tertawa sinis terhadap diri ini sendiri dan kalau sudah begini bosan datang menghampiri untuk menyudahi dulu semua ini,

"Mungkin sedikit dulu saja, besok lagi jika sudah muncul"

aku sambil menutup laptop dan beranjak keteras depan kamar. Duduk bersila sambil melihat pemukiman yang terlihat dari atas, mungkin enak mempunyai saudara dirumah, saat kupandangi dua anak kecil yang berboncengan dengan sepeda yang membuatku iri dalam hati ini, "Sreehhk" bunyi dari Handphone yang ada dimeja depanku, ternyata pesan dari Nami.

-Ray, mikirin Kayla ya? hahahhaaha

“Sialan” aku tersenyum saat membaca pesan dari Nami, seperti ada hal aneh jika disangkut - sangkutkan ke Kayla seperti tadi juga saat didalam kelas, ya sepertinya aku menikmatinya, sungguh.

"Ray, bantuin mama nih bawa belanjaan"

terdengar suara dari mama yang ada dibawah yang membuatku beranjak kebawah menemui mama, "Belanja dari mana ma? banyak bener" Cetusku sambil membawa dua kantong plastik besar belanjaan mama yang tadi ada didepan pintu.

"Enggak, mungkin kamu yang jarang lihat, kan biasanya juga sebanyak ini. Mana bi' imah? apa udah pulang Ray?" mama bertanya sambil melangkah menuju dispenser dekat almari es, "Kayaknya sih baru aja ma pulangnya, tadi Rayyi diatas jadi enggak tau" jawabku dengan menaruh barang - barang diatas meja makan.

Page 29: Imajinasi yang nyata

"Eh jangan ditaruh situ, dibawah aja enggak apa - apa" Tiba - tiba saja mama bilang saat aku ingin membuka isi kantong plastik, "Ya mama nih enggak bilang dari tadi" hanya bisa menurut saja dengan perkataan mama.

"Beli sarden ya ma?" Tanyaku saat mendapati satu kaleng sarden yang ada didalam kantong plastik saat membukanya untuk melihat - lihat belanjaan mama, "Iya buat sarapan besuk pagi Ray kan itu favoritmu kan kayak papa. Eh kamu udah makan belum? kalau belum tadi mama beli martabak tapi masih ada didalam mobil, diambil sana" lanjut mama saat melihatku membongkar isi dalam kantong plastik itu, "Wah martabak, asyik nih ma. Ok Rayyi ambil" aku berlari keluar menuju mobil.

**

Empat jam pelajaran pada pagi ini tidak ada yang masuk, hanya seperti melayang - layang saja, apalagi Nami dari tadi selalu berbisik - bisik saja soal Kayla., ya lagi - lagi nama Kayla yang selalu dikatakannya, hingga rasanya ingin meledak saja dan teriak kepada Nami jika kamarin hanya sebuah kebetulan saja.

"Nerd, kekantin yuk. Ngapain dikelas terus, bosen nih"?

Ryan tiba - tiba memukul pelan lenganku saat ada disampingku, entah sudah sejak kapan dia ada disitu, "Udah jangan melamun lagi Nerd, kan ada yang baru" Lanjutnya sambil cekikikan.

"Benar tuh kata Ryan Ray, move on dong"

Nami nerocos sambil tertawa.

"Ah kalian, iya iya ayo kekantin. Soal ini jangan bilang siapa - siapa ya, ini semua cuma kebetulan saja, enggak seperti kata anak ini nih" Aku sambil menunjuk muka Nami, "Apa lo juga mau merahasiakan itu kepada gue juga Nerd?" Freddo tiba - tiba melemparkan pertanyaan yang mengagetkanku dari belakang, "Sejak kapan kamu memperhatikan soal ini Fred" Sungguh membuatku geli, ternyata seorang Freddo juga ingin tahu soal perasaan, "Sejak lo kemarin bicara sama Nami" Freddo tertawa pelan, benar - benar anak ini tidak bisa ditebak raut muka dan sikapnya, berbanding terbalik, "Ok, ini rahasia kita berempat"

Suara Ryan yang selalu terdengar keras diantara kami, dan seperti biasa dia berjalan paling depan bagaikan pemimpin saja. Aku melihat kedepan dan sial, sepertinya Ryan sengaja memilih melewati kelas X7,

"Apa enggak lebih deket lewat belakang?" Aku berkata sambil mengimbangi langkah Ryan agar bisa bersampingan, "Kalau semuanya kebetulan, kenapa lo harus grogi Nerd" Sialan nih anak malah tersenyum seperti Hiruma didalam tokoh anime jepang saja yang dibaliknya ada maksud lain, bahkan jawabannya seperti ejekkan saja, dan sudah pasti aku hanya dapat menghelai nafas jika sudah begini.

Page 30: Imajinasi yang nyata

Sepertinya aku sudah menyadari muara dari maksud Ryan melewati kelas Kayla, aku hanya mencoba bersikap biasa tidak seperti kemarin, ya semoga saja dia ditidak didepan kelas.

"Ray, lihat siapa yang sedang tertawa ceria didepan tuh" Nami berbisik disampingku dengan tertawa pelan sambil tersenyum aneh, saat aku melihatnya ternyata Kayla bersama dua temannya sedang bercandaan sepertinya, dan mungkin jaraknya masih sekitar dua puluh meteran dari tempatku berjalan, dan Tuhan sepertinya belum mengabulkan permintaanku.

Saat aku hampir melewatinya, seperti ada yang aneh, rasanya aku ingin sekali menatapnya dengan sebuah lirikan kearahnya, dan tidak kusangka Kayla tersenyum menyapaku yang membuatku salah tingkah, dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum membalas senyum manis itu, Ryan berdehem sambil dibarengi cekikikan Freddo dan Nami saat melihat tingkah konyolku tadi yang selanjutnya tertawa terbahak - bahak seusai kami belok dari lorong deretan kelas.

"Ah kalian, suka banget liat aku tersiksa situasi seperti barusan" Aku melangkah berusaha mendahului mereka untuk cepat - cepat sampai dikantin.

"Marah lo Nerd?" Ryan lagi - lagi tertawa seperti Hiruma dan berusaha berjalan disampingku "Lo tau, dia cantik, jangan lo sia - siakan Nerd" Lanjutnya dengan menaruh tangannya dibahuku, tapi benar Kayla memang menarik buatku, tapi aku juga harus tau seperti apa Kayla dibalik senyum itu, yang katanya banyak orang bilang cinta butuh pengorbanan dan perjuangan, sepertinya persetan dengan hal itu dimana cinta saja terlambat menyadarkanku saat aku menyukai Haru, kenapa harus aku berjuang untuk cinta jika semuanya menutupku dari dunia indahnya.

"Lo beneran naksirkan Nerd? Lo enggak bisa berbohong lagi sama kami dengan sikapmu tadi saat milirik senyumnya"

Sejak kapan Freddo menjadi penganalisa seperti ini, ya walaupun seperti biasa sikap bicaranya seenaknya tanpa memandang lawan bicaranya dan terlihat santai, tapi aku tau jika Freddo serius dengan pertanyaannya barusan.

"Hmm... Entahlah"

aku hanya berusaha menjawabnya dan mengedipkan kedua bahuku seakan bingung dengan sikap ketiga orang ini yang mengintimidasiku dengan masalah seorang Kayla, mungkin karena mereka ingin membantuku dari kesedihan Haru, dan itu yang kupikir agar tidak membuatku marah terhadap sikap mereka, ya positive thinking.

"Itu bukan jawaban Ray, yang benar saja kamu hanya bilang entahlah, terlalu ringan" Sahut Nami disampingku dari jawaban yang telah kuucapkan barusan atas pertanyaan dari Freddo.

Page 31: Imajinasi yang nyata

"Iya, entahlah, aku enggak tau dengan kalian. Aku sudah bilang jika ini semua hanya kebetulan saja" Aku berbicara agak keras hingga anak kelas XII yang ada dimeja sebelah melirikku, terkadang pertemanan juga ada perdebatnya untuk sebuah pemikiran dan terkadang juga tidak terselesaikan.

"Sudahlah, enggak perlu dipanjangin lagi masalah ini, kan tau sendiri Nerd seperti apa, dia tidak jago dalam menyembunyikan perasaan. Dasar aquarius" Ryan menengahi perbincangan, terkadang dia juga bisa lebih dewasa, tapi aku tau apa dibalik kata - katanya terselip nada ejekan kepadaku seperti biasanya, "Iya iya aku kalah hari ini" jawabku malas saat memandang senyum Ryan yang enggak benget dan Nami yang konyol itu.

"Ayo balik kekelas aja, sosiologi nih, malas kalau harus kena semprot" Freddo tiba - tiba berdiri untuk balik kekelas, "Kalian duluan aja ya, aku mau cari Bagas dulu dikelasnya" aku bergegas keluar kantin mendahului mereka ke kelas Exact.

Pandanganku kosong saat berada didepan kelas dengan berdiri sendiri, kulihat Nami yang senyum - senyum mengejek dari belakang, cuma gara - gara terlambat lima menit saja harus disuruh berdiri, keterlaluan sekali Pak Rubio. Sungguh rasanya memalukan sekali jika harus begini.

"Rayyi, sudah sana duduk ditempatmu lagi"

Cetus sinis Pak Rubio yang menyuruhku duduk untuk mngikuti pelajarannya, "Besok lagi awas jika masih terlambat, tidak akan bapak bolehkan mengikuti pelajaran Sosiologi bapak lagi" Lanjutnya.

"Iya pak, maaf, saya berusaha untuk tidak terlambat lagi"

Jawabku untuk membalas perkataannya. Selanjutnya aku duduk didekat Nami yang cekikikan menertawaiku pelan, "Ah sialan kamu Nam" cetusku pelan kepada Nami yang menertawaiku.

"Ya sudah, sampai bertemu hari sabtu lagi ya anak - anak" Akhirnya pelajaran yang membuatku jengkel hari ini juga berakhir sudah, selanjutnya aku hanya bisa merundukkan kepalaku kemeja dengan malas - malasan,

"Nerd kekantin, mau enggak? Tapi gue cuma rokokan aja" Ajak Ryan yang sambil menghampiri dimeja Freddo, "Enggak, kamu aja sama Freddo, aku males benget hari ini gara - gara Rubio" aku berkata dengan tidak jelas karena kepalaku kutempelkan dimeja untuk berusaha menutupkan mata.

"Memangnya enak" Cetus Freddo sambil tertawa ringan, "Gue sama Ryan duluan Nerd. Semangat ya" Lanjut Freddo dengan menepuk bahuku sambil tertawa.

Jika hanya dikelas begini sepertinya juga malah membuat hari ini tambah tidak semangat saja, apalagi saat kulihat yang ada dikelas hanya ada perempuan seperti biasa dengan gosip – gosip dan

Page 32: Imajinasi yang nyata

tertawa ringan yang mengisi ruangan ini. Aku berdiri dan bergegas keluar kelas untuk menghilangkan rasa suntuk, mungkin lebih baik cari tempat sepi biar dapat relaks dengan pikiran yang panas akibat hukuman yang kupikir keterlaluan jika hanya masalah lima menit tadi

“Rayyi, kamu mau kemana?” Seru Nami yang ada dibelakang sedang mengobrol dengan Kaira saat aku sudah diambang pintu kelas untuk keluar, “Ketempat biasa” Jawabku dengan tetap melangkah tanpa berbalik menghadap Nami yang ada dibelakang.

Aku pandangi rerumputan yang mulai tinggi ini dengan semilir angin yang meniupnya disiang hari ini, dan aku hanya dapat melempar batu yang bisa kulakukan disaat –saat seperti ini, kubuka handphone dalam saku celana untuk mendapatkan bacaan dari berita online yang mungkin dapat sedikit menghibur atau menghilangkan rasa suntuk ini.

“Kak Ray sendirian saja ya disini?” Suara yang asing bagiku dan itu mengagetkan dari kesibukanku membaca, dan lebih mengagetkan lagi saat aku berbalik untuk mencoba mengetahui siapa yang berkata dibelakangku, ternyata gadis yang tadi membuatku terpojokkan saat dikantin, ya Kayla berdiri dengan senyumannya yang lagi – lagi dapat membuatku terpaku menatapnya apalagi kali ini hanya berdua saja, “loh kakak kok malah bengong sih? Boleh aku gabung disini?” Aku hanya dapat membalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala untuk tanda memperbolehkan, rasanya benar – benar aneh saat Kayla duduk disampingkung dengan menekuk kedua kakinya, dan kami hanya sama – sama berdiam diri, mungkin sama seperti yang aku rasakan, ya gugup.

“Ada apa dek kok kesini? Apa enggak sama temen – temen yang lain?” Aku mencoba memecahkan kebisuan yang ada diantara kami saat ini, Kayla menatapku dengan wajah seperti murung dan selanjutnya kepalanya tertunduk lesu, “Apa sedang ada masalah?” Lanjutku setelah melihat ekspresi yang diperlihatkan Kayla barusan.

“Iya kak, barusan aku kena hukuman” Kayla menjawab masih dengan tertunduk, aku hanya bisa tertawa ringan setelah mendengarnya dan ini juga membuatku mengernyitkan kepala, kenapa bisa sama denganku, “Oh pasti kamu kesini mencoba menenangkan pikiran ya?” kupikir jika sama alasannya seperti yang ada dalam pikiranku berarti ini semua memang benar – benar aneh, “Iya kak, sini tempatnya sepi sih jadi kupikir enak untuk menghibur diri. Pasti kakak juga kan hayo ngaku” Tiba – tiba saja Kayla sudah dengan wajah berseri karena senyumnya dan menghilangkan mewajah murungnya yang barusan diperlihatkan padaku, entah itu sifat aslinya atau apan aku tidak tahu, tapi itu sudah cukup untuk membuatku bisa tersenyum lagi, seperti ada perasaan nyaman tersendiri saat bersama Kayla kali ini, apa mungkin ini hanya sebuah kebetulan tapi kenapa bisa terulang lagi dengan hal yang sama yang dimiliki Haru dan ini kesekian kalinya.

“Kay, mungkin kamu manggilnya cukup Rayyi atau Ray saja biar berasa lebih akrab”

“Iya kak. Eh iya Ray maksudnya” Kayla tertawa lagi. Aku memandangnya saat dia sibuk dengan handphonenya, kupikir paling sama pacarnya, dan itu logis secara Kayla sendiri orangnya menarik masak sih juga jomblo dan mungkin aku sudah terlalu gila bisa berbikir sejauh ini.

Page 33: Imajinasi yang nyata

“Cie.. sama pacarnyanya ya? Kok senyum –senyum sendiri” Kucoba untuk memancingnya agar bisa mengetahui sebenarnya sedang sama siapa Kayla, membuatku penasaran saja dengan tingkahnya, dan aku juga baru sadar kalau ternyata ini adalah rasa ingin tahuku, sejak kapan aku begini hanya untuk seseorangyang baru saja kukenal beberapa hari yang lalu.

“Ye kepo nih. Enggak kok, ini cuma temen aja, abis smsnya lucu sih” dia kembali tersenyum, saat ini Kayla dengan memangku wajahnya dengan kedua tangannya seperti sedang melamun saja anak ini, tapi membuat tambah manis juga ternyata dengan begitu, feminim sekali seperti Haru.

“Kay boleh minta nomor teleponnya enggak?” Aku mencoba meneluarkan handphone dari saku celanaku dan mencoba mendekati Kayla yang sedang berbicara menyebutkan nomor – nomor.

“Coba dimisscall ke nomernya Kayla kak” bilangnnya sambil tersenyum dihadapanku, mungkin jika suatu saat aku bisa lebih dekat dan sangat dekat denganmu Kay, mungkin Aku akan bisa bahagia dan melupakan sosok Haru, kupikir dia ada didalam dirimu sosok liliput itu, Aku akan mencobanya untuk dia Kay.

“Iiihhh kakak kok bengong sih malahan? Hayo melamunin apa, aku pasti” Suara Kayla sungguh membuyarkan intermezzo pikiran yang tidak – tidak dengan tertawanya, sungguh ini seperti saat bersama Haru, “Loh kok enggak manggilnya Rayyi aja?” Jawabku untuk mencoba mengalihkan pembicaraan dari kata – kata yang baru saja Kayla lontarkan, yang membuatku malu saja dengan sikap ini yang tetap saja mudah melamunkan sesuatu hal yang belum pasti, “Enggak enak kalau Rayyi gitu kak, kan aku juga lebih muda. Jadi tak apa ya” senyumnya mengembang berseri seperti liliput itu, ini sudah menenggelamkanku dalam sebuah rasa dan dejavu dalam hati ini jika melihatnya begitu, “Kak, Kayla masuk duluan ya” lanjutnya dengan berdiri dan melangkah dari sampingku, Terima kasih ya Kay dan kata ini terucap begitu saja tanpa sadar dan membuatnya terpaku bingung, “Untuk apa kak?” tanyanya, kubalas dengan senyuman saja untuk menyembunyikan rasa yang tidak pasti ini, atau mungkin ini hanya terbawa karena obsesi dari Haru yang selalu membayangi sosok dan senyum dari Kayla, jika ini hanya kebetulan semata, mungkin kali ini Tuhan memberiku rumus sederhana untuk tahu dibalik kehendakNya, dan ini kupikir memang kebetulan yang indah.

Page 34: Imajinasi yang nyata

<<DUNIA KAYLA>>

Akhir – akhir ini sms dari Kayla yang selalu mewarnai hari – hari indah ini, entah seperti apa juga aku tidak tahu dan tidak menyadari bisa merasakan hal yang indah seperti ini yang sudah berlangsung tiga minggu lamanya, ya walaupun Ryan dan Nami mungkin sudah tahu hampir semuannya, tapi sungguh ini bisa membuatku merasakan dan seperti mempunyai harapan yang dulu hilang saat dengan Haru , ya hampir sama dengan saat itu. Aku memandangi wajah itu dalam –dalam yang tertera pada layar handphone yang sedang kupegang, foto yang diam – diam aku mengambilnya dari facebooknya, ya Kayla tetaplah Kayla dan itu bukan Haru. Sinar terang tiba – tiba menusuk mata ini dari tidur panjang yang tidak kusadari jam berapa aku mulai memejamkan mata, ya tirai dibuka dan lampu dinyalakan pagi ini, “Ray bangun, mandi, pake baju yang rapi” Papa bicara dengan sangat jelas saat menarik selimut yang kugunakan semalam

“Memang mau kemana sih pa? Bukankah ini minggu?”

“Ke acara pernikahan teman papa didaerah bekasi” sela papa saat kucoba mencari tahu yang mengganggu hari liburku yang seharusnya kunikmati jalan dengan anak – anak dan sepertinya ini akan lebih seperti mengerikan bila dibandingkan nungguin saat mama belanja, “Ha acara pernikahan? Yang benar saja pa, aku udah terlalu besar untuk acara seperti itu” kucoba menarik selimut untuk menutupi seluruh badan untuk menghindar dari acara pernikahan konyol itu

“Ray, cepat bangun. Ini teman papa, cepatlah mandi sana” papa memaksa menarik badanku dengan disertai nada yang kerasnya yang membuatku terpaksa bangun untuk meninggalkan surgaku yang empuk ini, “Iya iya pa, aku mandi” jalan dengan terhuyung - huyung menuju kamar mandi, sungguh ini akan begitu memalukan, dan kupikir hari ini akan super membosankan melihat tampilan glamour yang menyilaukan mata.

Sudah tiga puluh menit yang lalu aku menunggu balasan pesan dari Kayla untuk mengisi kesibukan ditengah – tengah acara yang membosankan ini, dan sepertinya aku harus menikmati pemandangan ini sampai selesai nantinya, yang dimana tidak ada tanda – tanda balasan dari Kayla, ya memang aku masih begitu penasaran dengan anak itu walaupun sudah tiga mingguan saling komunikasi dan kadang saling bertukar ide dan pandangan saat membahas suatu masalah yang kami perbincangkan, tapi masih saja itu semua belum bisa memberiku suatu pandangan yang sebenarnya bagaimana itu sosok Kayla, sungguh masih membingungkanku dengan sikapnya yang kadang sangat akrab dan kadang sangat jutek denganku meskipun terus kucoba untuk mendekatinya.

“Ray sini” panggilan manis dari mama itu sudah dapat kutebak, yang pasti mama dan papa akan mengajakku berfoto. Aku hanya bisa berjalan menyusuri karpet merah ini untuk sampai kepelaminan untuk berfoto dan menyalami dua orang yang katanya anak temannya papa, dengan senyuman terpaksa ini aku menghadap ke sebuah kamera yang sudah siap membidik kami berlima “Selamat ya” suara dari papa untuk basa – basi meninggalkan pelaminan ini dengan senyuman dan jabatan tangan dari papa, dan akhirnya selesai juga acara yang formal yang membosankan ini.

Page 35: Imajinasi yang nyata

**

Freddo menguap dengan mata sayunya ketika pandangannya ke arah papan tulis yang penuh dengan coretan – coretan hitam yang harus dicatatkan, semesteran sudah ada didepan pintu dan ini semua harus cepat dicatat untuk mengejar target pembelajaran, kata – kata itu yang akhir – akhir ini banyak terdengar dari guru yang disebabkan dimajukannya jadwal semester secara mendadak.

Pikiran ini menembus dalam, ada suatu rasa kekhawatiran ketika kemarin Kayla tidak membalas pesan dariku dan sepertinya hati ini merasakan suatu rasa yang dinamakan jealous, padahal perasaan Kayla sering sekali begitu denganku

............................................

( Mungkin seperti burung merpati, jika dia di penggang terlalu erat akan mati, tapi jika direnggangkan sedikit saja dia akan lepas dan terbang bebas)

::Surya Guritno::