ILMU HUKUM LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH ......Pengelolaan Air Limbah (IPAL) berstandar...
Transcript of ILMU HUKUM LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH ......Pengelolaan Air Limbah (IPAL) berstandar...
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
HIBAH BERSAING
KONSTRUKSI MODEL
KOLABORASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PEMANFAATAN SUNGAI UNTUK MEWUJUDKAN
PENGELOLAAN INDUSTRI TERINTEGRASI
DI PROVINSI JAWA BARAT
Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
Ketua Tim Peneliti :
Nurhasan, S.H., M.Hum.
NIDN : 0404086601
Anggota Tim Peneliti :
Yudistiro, S.H., M.H.
NIDN : 0414095901
Hj. Wiwi Yuhaeni, S.H., M.H.
NIDN : 0430115801
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
DESEMBER 2013
Dibiayai oleh DIPA Kopertis Wilayah IV, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor :
0900/K4/KL/2013 tanggal 10 Mei 2013
ILMU HUKUM
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING
1. Judul Penelitian : Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Pemanfaatan Sungai Untuk Mewujudkan Pengelolaan
Industri Terintegrasi Di Provinsi Jawa Barat
2.
2.1.
Ketua Peneliti
Data Pribadi
a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin
c. NIPY/NIDN
d. Pangkat/Golongan e. Jabatan Fungsional
f. Fakultas/Jurusan
g. Bidang Ilmu h. Alamat Kantor
i. Telp/Faks
j. Alamat Rumah k. Telp/Faks/HP/Email
: :
:
: :
:
: :
:
: :
Nurhasan, S.H., M.H. Laki-laki
15110315/0404086601
Penata Tingkat I/III-D Lektor
Hukum
Ilmu Hukum Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung
(022) 4262226/(022) 4217340
Jl. Bojong Indah No. 9 Bandung. 40191. (022) 2512353/08122189134/
2.2. Anggota Peneliti
a. Anggota (ke 1)
Nama NIDN
Perguruan Tinggi
b. Anggota (ke 2) Nama
NIDN
Perguruan Tinggi
: :
:
:
:
:
Yudistiro, S.H., M.H. 0414095901
Universitas Pasundan Bandung
Hj. Wiwi Yuhaeni, S.H., M.H.
0430115801
Universitas Pasundan Bandung
2.3. Penanggung Jawab :
Lembaga Penelitian (Lemlit)
Universitas Pasundan Bandung
3
4
Tahun Pelaksanaan
Jangka Waktu Penelitian
:
:
Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
2 tahun
5 Pembiayaan
a. Jumlah biaya tahun berjalan
b. Jumlah biaya keseluruhan yang diajukan ke Dikti
:
:
Rp. 40.000.000.00,-
Rp. 100.000.000,00,-
Mengetahui :
Dekan Fakultas Hukum Unpas,
Dedy Hernawan, S.H., M.Hum. NIPY : 151.100.46
Bandung, 5 Desember 2013
Ketua Peneliti,
Nurhasan, S.H., M.Hum.
NIPY : 151.103.15
Menyetujui Ketua Lemlit Unpas
Dr. H. A. Burhanuddin, S.H., M.H.
NIP : 131.414.822
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Pemanfaatan Sungai Untuk Mewujudkan Pengelolaan
Industri Terintegrasi Di Provinsi Jawa Barat
2. 2.1.
Ketua Peneliti Data Pribadi
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin c. NIPY/NIDN
d. Pangkat/Golongan
e. Jabatan Fungsional f. Fakultas/Jurusan
g. Pusat Penelitian
h. Alamat i. Telp/Faks
j. Alamat Rumah
k. Telp/Faks/HP/Email
:
: :
:
: :
:
: :
:
:
Nurhasan, S.H., M.H.
Laki-laki 15110315/0404086601
Penata Tingkat I/III-D
Lektor Hukum
Lemlit Unpas
Jl. Setiabudi No. 193 Bandung (022) 2021436/(022) 2009267
Jl. Bojong Indah No. 9 Bandung. 40191.
(022) 2512353/08122189134/ [email protected]
3 Jangka Waktu Penelitian : 2 tahun
4 Pembiayaan a. Jumlah biaya yang diajukan ke
Dikti b. Jumlah biaya Tahun ke I yang
sedang berjalan
:
:
Rp. 100.000.000.00,-
Rp. 40.000.000,00,-
Mengetahui :
Dekan Fakultas Hukum Unpas,
Dedy Hernawan, S.H., M.Hum.
NIPY : 151.100.46
Bandung, 5 Desember 2013
Ketua Peneliti,
Nurhasan, S.H., M.Hum.
NIPY : 151.103.15
Menyetujui
Ketua Lemlit Unpas
Dr. H. A. Burhanuddin, S.H., M.H.
NIP : 131.414.822
RINGKASAN (ABSTRACT)
Penelitian ini dilakukan untuk menyesuaikan paradigma peruntukan sungai tertentu,
dari peruntukan secara tradisional sebagai sarana pengairan dan kebutuhan keluarga menjadi
juga sebagai sarana pembuangan akhir Limbah Cair Industri. Fakta menunjukkan bahwa saat
ini 7 (tujuh) DAS di Jawa Barat berada dalam status tercemar berat, dengan indikasi tercemar
Limbah Cair Industri. Rencana pengaturan pemanfaatan sungai tertentu sebagai sarana
pembuangan akhir Limbah Cair Industri dapat mendorong lahirnya paradigma baru
pengelolaan lingkungan hidup, yaitu: Hukum harus menyesuaikan terhadap karakteristik
alam dan masyarakat suatu daerah yang secara faktual berbeda antara kondisi di daerah yang
satu dengan daerah yang lainnya. Penelitian ini juga dilakukan untuk menjamin terwujudnya
keseimbangan kepentingan antara perusahaan (industri), masyarakat, dan Pemerintah dalam
rangka pemberdayaan masyarakat sekitar DAS di Jawa Barat, yang secara ilmiah
dimungkinkan dengan mengkonstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat dan
Pengelolaan Industri Terintegrasi, yaitu perusahaan (industri) selain berkewajiban melakukan
penanggulangan dampak lingkungan fisik (mitigasi fisik) juga berkewajiban melakukan
penanggulangan dampak sosial (mitigasi sosial).
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yuridis-empiris
berorientasi pada kajian holistik yang dalam prosesnya disiplin ilmu hukum mendapat
bantuan disiplin ilmu terkait, misalnya : ekonomi, politik, sosial-budaya, biologi, geologi,
kimia, fisika. Analisis terhadap obyek penelitian dilakukan melalui analisis hukum. Teknik
pengumpulan data, selain melalui studi kepustakaan, juga dilakukan survei (observasi)
lapangan di lokasi penelitian dan wawancara. Teknik analisis yang digunakan, diantaranya:
Cost-Benefit-Analysis (CBA).
Hasil dari penelitian ini yaitu tersusunnya Konstruksi Model Kolaborasi
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pemanfaatan Sungai Untuk Mewujudkan Pengelolaan
Industri Terintegrasi di Jawa Barat, sebagai berikut: Konstruksi model ini didasarkan pada
prinsip Semua Untung. Fisik sungai dengan keseluruhan ekosistem biotik dan abiotik yang
ada di dalamnya diuntungkan, karena sasaran dari konstruksi model ini mewujudkan Sungai
Bersih terbebas dari pencemaran limbah cair industri. Perusahaan (industri) diuntungkan,
karena konstruksi model ini mewajibkan kepada perusahaan (industri) memiliki Instalasi
Pengelolaan Air Limbah (IPAL) berstandar internasional dan/atau minimal berstandar
nasional Indonesia, sehingga air limbah industri yang dibuang ke sungai sudah dalam kondisi
dapat ditoleransi oleh ekosistem sungai, yang pada akhirnya perusahaan terhindar dari
tuntutan masyarakat. Masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan lainnya (stakeholders)
diuntungkan, karena dengan mitigasi fisik yang konsisten dan jujur menjadi terhindar dari
dampak pencemaran sungai serta dengan mitigasi sosial yang tulus mendapat stimulan untuk
mendongkrak tingkat kesejahteraannya. Pemerintah pun diuntungkan, karena sebagian
program pembangunannya dapat terealisasi, yaitu terjaganya kelestarian lingkungan sungai,
terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitar DAS, dan terjaminnya kelangsungan proses
produksi perusahaan (industri). Jika prinsip Semua Untung tersebut telah dipastikan dapat
diterapkan, maka Konstruksi Model ini memperkenankan atau dapat menerima kondisi
depenalisasi ketentuan hukum pidana lingkungan hidup.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan hanya untuk Zat Allah SWT yang dengan karunia-Nya,
kasih sayang-Nya, dan rahmat-Nya, telah memudahkan dan melancarkan proses penelitian
ini, sehingga pada kesempatan ini, Peneliti dapat menyelesaikan dan melaporkan Laporan
Akhir Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2013 (Tahun ke 1) tanpa halangan yang berarti.
Penelitian ini berjudul : “Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Pemanfaatan Sungai Untuk Mewujudkan Pengelolaan Industri
Terintegrasi Di Provinsi Jawa Barat”. Laporan Akhir Penelitian ini menggambarkan hasil
penelitian yang telah Peneliti lakukan selama 12 (dua belas) bulan mulai Januari 2013 hingga
Desember 2013. Dengan demikian, setelah melakukan pendalaman, penajaman, dan
penyempurnaan pengolahan data dan informasi dari hasil yang dicapai dalam Laporan
Kemajuan Penelitian, akhirnya Peneliti dapat menyajikan Laporan Akhir Penelitian yang
lebih komprehensif dari Penelitian Tahun I ini.
Banyak pihak yang telah membantu Peneliti dalam proses pengumpulan data dan
informasi yang dibutuhkan, diantaranya pada kesempatan yang baik ini, Peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mochamad Lukmanul Hakim (Kasi Hasil Hutan
dan Perkebunan Bidang Industri Agro Disperindag Provinsi Jawa Barat) yang selalu
membuka pintu lebar-lebar kepada Peneliti untuk mendapatkan data dan informasi terkait
pengembangan industri di Jawa Barat. Peneliti juga sangat berterimakasih kepada Bapak
Asep Bayu, Ibu Ruli, Ibu Hera, Ibu Resmiani yang dengan sabar dan tulus membantu
memberikan apapun data dan informasi yang Peneliti perlukan dari Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat. Peneliti juga menyampaikan
penghargaan yang tinggi kepada Bapak Rudi Martono (Sekretaris Eksekutif DPP APINDO
Jawa Barat) yang di sela-sela kesibukannya yang padat, dengan tulus menerima kedatangan
Peneliti kapan saja memerlukan data dan informasi seputar APINDO Jawa Barat. Peneliti
juga sangat terbantu dan berterima kasih kepada Ibu Bilqys dan Bapak Asep Hadianto dari
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat yang selalu siap
menghubungkan Peneliti ke berbagai bidang di Bappeda Provinsi Jawa Barat sesuai dengan
data dan informasi yang Peneliti perlukan. Peneliti juga mendapat bantuan yang tulus dari Ibu
Euis Hersini Barkah (Kasi Sundawapan Balai PSDA WS Citarum) dalam pengumpulan data
fisik kualitas air Sungai Citarum yang tentunya sangat berharga bagi Peneliti. Dan masih
banyak lagi, baik perseorangan maupun institusi yang telah berjasa kepada Peneliti namun
tidak sempat disebutkan satu per satu, terima kasih atas segala bantuannya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, Peneliti selalu terbuka menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan Laporan ini. Semoga
Zat Allah SWT meridhoi segala upaya Peneliti dan siapa saja yang memiliki kepedulian
untuk mewujudkan Sungai Bersih, Masyarakat Sejahtera, serta Dunia Usaha tersenyum dan
nyaman. Amiin.
Bandung, 5 Desember 2013
Ketua Peneliti,
ttd
NURHASAN, S.H., M.H.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
RINGKASAN (ABSTRACT) ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. ix
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemanfaatan Sungai Secara Normatif, Filosofis, dan Ekologis ....
B. Pengelolaan Industri Terintegrasi .................................................
5
12
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...................................... 13
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan .......................................................................
2. Alasan pemilihan Metode Pendekatan ..........................................
3. Objek Penelitian ...........................................................................
4. Jenis dan Sumber Data ..................................................................
5. Teknik Pengumpulan Data ............................................................
6. Keabsahan Data ............................................................................
7. Desain Analisis Data .....................................................................
14
14
15
15
16
16
17
BAB V
BAB VI
BAB VII
DAFTAR
LAMPIRAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengembangan Industri di Jawa Barat Dalam Peta Industri
Nasional .........................................................................................
B. Pemanfaatan Sungai Sebagai Sarana Pembuangan Limbah Cair
Industri Dan Dampaknya ..............................................................
C. Existing Condition Pengelolaan Industri Terintegrasi di Jawa
Barat ..............................................................................................
D. Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Pemanfaatan Sungai Untuk Mewujudkan Pengelolaan Industri
Terintegrasi di Jawa Barat .............................................................
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................
B. Saran-saran ....................................................................................
PUSTAKA ............................................................................................
21
46
65
75
77
78
79
81
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Tabel 1 :
Tabel 2 :
Tabel 3 :
Tabel 4 :
Tabel 5 :
Tabel 6 :
Tabel 7 :
Tabel 8 :
Tabel 9 :
Tabel 10:
Tabel 11:
Tabel 12:
Tabel 13:
Tabel 14:
Tabel 15:
Tabel 16:
Tabel 17:
Tabel 18:
Kerangka Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Barat
Roadmap Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Barat
Kerangka Pengembangan Industri Telematika di Jawa Barat
Roadmap Pengembangan Industri Telematika di Jawa Barat
Kawasan Industri di Jawa Barat
Perkembangan Unit Usaha (Industri) Terhadap Serapan
Tenaga Kerja dan PDRB UMKM dan Besar
Potensi Ketersediaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa
Barat
Laporan PT Kahatex (IPAL I) Bulan Januari 2011
Laporan PT Indorama Synthetics (Divisi Polimer) Bulan
Januari 2011
Laporan PT Kertas Bekasi Teguh Bulan Maret 2011
Laporan PT Pupuk Kujang Bulan Desember 2011
Laporan PT Surya Cipta Swadaya Bulan April 2011
Laporan PT Arnotts Indonesia Bulan Maret 2011
Laporan PT Insan Sandang Internusa Bulan Juni 2011
Laporan PT Tanabe Indonesia Bulan Mei 2011
Laporan PT Kimia Farma Bulan Mei 2011
Laporan PT Dactex Indonesia Bulan Mei 2011
Peran Dari Masing-masing Pemangku Kepentingan dan
Kerangka Keterkaitannya Industri Pulp dan Kertas
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Gambar 1 :
Gambar 2 :
Gambar 3 :
Gambar 4 :
Gambar 5 :
Gambar 6 :
Gambar 7 :
Gambar 8 :
Gambar 9 :
Gambar 10:
Peta Industri Unggulan Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Koridor Ekonomi Jawa Dalam MP3EI
Tahapan Proses Penyusunan RPJMD Provinsi Jawa Barat
Peta Wilayah Sungai Provinsi Jawa Barat
Kerangka Pengembangan Industri Pulp dan Kertas
Peran Dari Masing-Masing Pemangku Kepentingan Dan
Kerangka Keterkaitannya
Lokasi Pengembangan Klaster Industri Pulp Dan Kertas
Struktur Organisasi Fasilitasi Penyelenggaraan CSR di Jabar
Struktur Tim Fasilitasi CSR Di Jabar
Skema Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan
Masyarakat (Comdev) dan Pengelolaan Industri Terintegrasi
(PIT) di Provinsi Jawa Barat
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13
Lampiran 1 :
Lampiran 2 :
Lampiran 3 :
Lampiran 4 :
Lampiran 5 :
Lampiran 6 :
Lampiran 7 :
Lampiran 8 :
Lampiran 9 :
Lampiran 10:
Lampiran 11:
Lampiran 12:
Lampiran 13:
Hasil Penelitian Kualitas Air Sungai oleh Balai PSDA
Wilayah Sungai Citarum Bulan Oktober 2010
Hasil Penelitian Kualitas Air Sungai oleh Balai PSDA
Wilayah Sungai Citarum Bulan Agustus 2010
Hasil Penelitian Kualitas Air Sungai oleh Balai PSDA
Wilayah Sungai Citarum Bulan Juli 2010
Grafik Kualitas Air Sungai Citarum Rata-rata Tahun
2008
Contoh Program CSR di Jawa Barat
Data dan Informasi tentang DPP APINDO JABAR
Contoh Kerangka Pengembangan Industri Tekstil dan
Produk Teksti dan Keterkaitannya
Surat Keterangan Penelitian
Justifikasi Anggaran Penelitian
Susunan Organisasi Tim Peneliti
Peraturan Bersama, Gubernur Jawa Barat, Kapolda Jawa
Barat, Kapolda Metro Jaya, Kepala Kejaksaan Tinggi
Jawa Barat No. 77 Tahun 2009 Tentang Penegakan
Hukum Lingkungan Terpadu Di Jawa Barat
Contoh Berkas Perkara Lingkungan Hidup No. Pol. :
BP/3260/VIII/2011/BPLHD, Perkara Dugaan Tindak
Pidana Lingkungan Hidup oleh PT Karawang Prima
Sejahtera Stell yang diwakili oleh sdr. Wang Dong Bing
Identitas Usulan Tahun 2012 Tahun Anggaran 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Pengaturan lingkungan hidup berdasarkan paradigma lama yaitu bahwa lingkungan
hidup harus diatur oleh satu undang-undang (hukum) nasional, ternyata terdapat indikasi
tidak dapat diterapkan di Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 26
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sekitar 41.483.729 jiwa (hasil survey sosial
ekonomi daerah tahun 2007) memiliki banyak industri, bentang alam, dan kondisi
masyarakatnya yang berkarakter khusus, memikul peranan yang besar dan berat sebagai
Daerah Penyangga ibu kota Republik Indonesia (Jakarta).
Pengaturan pemanfatan sungai tertentu (bagian dari lingkungan hidup) sebagai sarana
pembuangan akhir Limbah Cair Industri di Jawa Barat menuntut adanya paradigma baru atau
setidak-tidaknya penyesuaian dalam pengaturan lingkungan hidup yaitu : Hukum harus
menyesuaikan dengan karakteristik alam dan masyarakat daerah yang bersangkutan. Selain
dari itu, penelitian ini penting dilakukan untuk memberi solusi berkeadilan terhadap
perubahan paradigma peruntukan sungai, dari peruntukan sungai secara tradisional sebagai
sarana pengairan dan kebutuhan keluarga menjadi juga berfungsi sebagai sarana pembuangan
akhir Limbah Cair Industri.
Fakta menunjukkan bahwa 7 (tujuh) Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jawa Barat saat
ini dalam kondisi atau dalam status mutu air baku tercemar berat. 7 (tujuh) DAS tersebut
yaitu: 1) Sungai Cisadane; 2) Sungai Ciliwung; 3) Sungai Cileungsi; 4) Sungai Citarum; 5)
Sungai Cilamaya; 6) Sungai Cimanuk; dan 7) Sungai Citanduy. Penyebabnya adalah terutama
diduga akibat perusahaan-perusahaan (industri) membuang limbah cair industrinya secara
langsung ke sungai-sungai tersebut dengan tidak memenuhi standar pengelolaan limbah yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)
Provinsi Jawa Barat diketahui bahwa sebagian keanekaragaman hayati di DAS Citarum
terancam punah, diantaranya 15 jenis ikan, 5 jenis mamalia, 7 jenis burung, dan 8 jenis
ampibi. DAS Citarum merupakan yang paling luas dan paling panjang. Luas DAS Citarum
mencapai 7.187 kilometer persegi, panjangnya mencapai 269 kilometer persegi untuk sungai
utama, dan jika dihitung dengan anak-anak sungainya mencapai 14.346 kilometer persegi.
Hulu Sungai Citarum terletak di mata air Gunung Wayang. Secara keseluruhan DAS Citarum
meliputi 9 Kabupaten dan Kota, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota
Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta,
Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Karawang. Sungai Citarum bermuara di Kabupaten
Bekasi, tepatnya di Muara Gembong, terletak sekitar 64 kilometer dari pusat kota Bekasi.
Ada juga yang menyebutkan di Tanjung Karawang, Kabupaten Karawang.
DAS lainnya yang termasuk luas yaitu DAS Cisadane-Cimandiri, DAS Citanduy, dan
DAS Cimanuk. Persoalan semua DAS di Jawa Barat, hampir serupa, yaitu lahan kritis cukup
luas (lebih dari 1.250 kilometer persegi), langganan Banjir di musim hujan, kekeringan di
musim kemarau, sedimentasi waduk, penegakan hukum belum tegas, partisipasi masyarakat
masih kurang, koordinasi masih lemah, dan berpotensi konflik jika stakeholders tidak
bersatu.
Sungai Citarum mempunyai kedudukan penting karena merupakan penyuplai air di
Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur, yang menjadi pusat penghasil listrik
(PLTA) untuk kebutuhan Jawa Barat dan DKI Jakarta. Sungai Citarum merupakan sumber
air irigasi untuk area pertanian terutama pesawahan seluas 300 ribu hektar. Sungai Citarum
juga merupakan sumber air minum untuk masyarakat Kabupaten Bandung, Kabupaten
Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta,
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan DKI Jakarta. Di sepanjang DAS Citarum
banyak berdiri industri kecil, menengah dan besar yang berpotensi menimbulkan pencemaran
di dalam maupun di sekitar DAS, sedangkan di bagian hulu, terjadi kerawanan akibat
penjarahan lahan dan alih fungsi menjadi areal pertanian, terutama dijadikan sentra
penanaman sayuran dan peternakan.
Secara khusus penelitian ini bertujuan:
(1) Meneliti, mengkaji dan menyusun Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan
Masyarakat sebagai hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) tentang pemanfaatan
sungai tertentu sebagai sarana pembuangan akhir Limbah Cair Industri di Jawa Barat.
(2) Meneliti, mengkaji, dan menyusun Konstruksi Model Pengelolaan Industri Terintegrasi
dalam pengaturan pemanfaatan sungai tertentu sebagai sarana pembuangan akhir Limbah
Cair Industri di Jawa Barat.
Urgensi atau keutamaan penelitian ini berkaitan dengan kegiatan industri yang dalam
prosesnya menghasilkan limbah cair yang dibuang secara langsung ke sungai. Sungai telah
dimanfaatkan untuk pembuangan akhir Limbah Cair Industri yang dampaknya memberi
tekanan pada aspek fisik (dalam arti luas) dan aspek sosial (dalam arti luas). Pemanfaatan
sungai untuk kegiatan industri tidak cukup hanya dengan mengantongi izin Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tetapi juga harus memperhatikan mitigasi
(perbaikan) dampak lingkungan fisik (rekognisi, kompensasi) dan pemberdayaan masyarakat
(community development).
Rekognisi (recognition) atas status tanah yang digunakan sebagai lokasi industri
penting untuk diperhatikan, karena sangat sensitif dan seringkali menjadi pemicu terjadinya
konflik. Kompensasi (compensation) berkaitan dengan terjadinya akuisisi lahan untuk lokasi
industri. Masyarakat hukum adat atau perorangan yang tanahnya digunakan untuk lokasi
industri tentu berhak mendapatkan ganti kerugian (kompensasi) yang berkeadilan. Daerah
Aliran Sungai (DAS) yang dijadikan sebagai areal pembuangan akhir Limbah Cair Industri
perlu diimbangi dengan program pemulihan yang tuntas, komprehensif, dan terintegrasi.
Mitigasi dampak sosial (dalam arti luas) dilakukan melalui program pemberdayaan
masyarakat (community development). Provinsi Jawa Barat memiliki potensi sumber daya
alam yang melimpah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah perusahaan yang
menanamkan modalnya di Jawa Barat cukup banyak, dan terdapat fenomena tumbuhnya
kesadaran masyarakat Jawa Barat untuk dapat berperan secara optimal sebagai pelaku
pembangunan. Dalam kenyataannya, pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam
Provinsi Jawa Barat belum dilakukan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, sebagai dampaknya tingkat kesejahteraan penduduk sebagian besarnya masih
rendah.
Kegiatan industri dalam pelaksanaannya memerlukan ruang yang berarti terkait
dengan masalah pemanfaatan lingkungan. Sungai sebagai bagian dari lingkungan hidup telah
dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan industri, yaitu difungsikan sebagai sarana
pembuangan akhir Limbah Cair Industri. Optimalisasi partisipasi masyarakat Jawa Barat
dalam kegiatan industri penting karena bagi masyarakat Jawa Barat berdasarkan kearifan
tradisionalnya bahwa sungai merupakan sumber kehidupan, oleh karena itu harus dijaga dan
tidak boleh dirusak.
Uraian di atas mengindikasikan perlunya kajian holistik pemanfaatan sungai tertentu
sebagai sarana pembuangan akhir Limbah Cair Industri untuk mewujudkan Pengelolaan
Industri Terintegrasi, sehingga perusahaan dalam jangka waktu tertentu mempunyai
kesempatan untuk mendapatkan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya
tanpa mendapat tekanan, gangguan, atau tuntutan dari masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemanfaatan Sungai Secara Normatif, Filosofis, dan Ekologis
Sungai sebagai bagian dari sumber daya air mempunyai fungsi serbaguna, yaitu
diantaranya bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional. Fungsi
sungai yang penting tersebut menuntut adanya pengaturan pemanfaatan sungai yang
memenuhi rasa keadilan masyarakat, yaitu mencakup upaya perlindungan, pengembangan,
penggunaan dan pengendaliannya.
Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung
menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sungai sebagai bagian dari
sumber daya air dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan
ekonomi yang pengelolaannya diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang
harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi. Masyarakat perlu diberi peran yang
lebih luas dalam pengelolaannya sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan
keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Rumusan otentik tentang sungai terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 1991, yaitu : “Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah
serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan
kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan.”
Ketentuan tentang penguasaan sungai dalam PP No. 35 Tahun 1991 masih
mencerminkan karakteristik pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, sebagaimana
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan (2) berikut : “(1) Sungai dikuasai oleh
Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah; dan (2) Pelaksanaan wewenang
dan tanggung jawab penguasaan sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
Menteri.
Sejalan dengan demokratisasi yang berkembang pada era reformasi, konsep
penguasaan sungai mengalami kemajuan sebagaimana terkandung maknanya dalam
ketentuan Pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yaitu
: (1) Sumber daya air dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat; (2) Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat
hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan; dan (3) Hak ulayat masyarakat
hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang
kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 6 UU No. 7 Tahun 2004, sungai sebagai
bagian dari sumber daya air walaupun hak penguasaannya ada pada negara, namun dalam
penggunaannya harus ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran yang optimal bagi
masyarakat pada umumnya dan lebih khusus bagi masyarakat sekitar sungai. Ketentuan
tersebut juga telah mengakomodasi pemerintah daerah untuk turut serta berperan dalam
penyelenggaraan penguasaan sungai sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah. Hak
ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu juga telah mendapat
pengakuan keberadaannya menurut hukum, sehingga dalam penyelenggaraan penguasaan
sungai tidak dibenarkan adanya upaya mengesampingkan hak-hak tersebut.
Memperhatikan ketentuan Pasal 2 dan 4 UU No. 7 Tahun 2004, sungai mempunyai
fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang pengelolaannya harus berdasarkan asas
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan,
kemandirian, transparansi dan akuntabilitas.
Sungai sebagai bagian dari ekosistem yang di dalamnya hidup beragam jenis flora dan
fauna yang bersifat endemis, serta kondisi aliran fisiknya yang pada umumnya bersifat lintas
daerah, maka ruang lingkup pengelolaannya terbagi ke dalam beberapa Daerah Aliran Sungai
(DAS).
Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam
upaya melakukan konservasi sumber daya air sungai secara optimal yang pada akhirnya dapat
dicapai suatu kondisi terjaganya keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sungai.
Untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air sungai dapat dilakukan melalui
pengelolaan kualitas air sungai dan pengendalian pencemarannya secara frofesional.
Ketentuan Pasal 24 UU No. 7 Tahun 2004 dengan tegas melarang setiap orang atau badan
usaha melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan rusaknya sumber air (sungai) dan
prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air.
Pemanfaatan sungai perlu diimbangi dengan upaya perlindungan dan pelestariannya
dari kemungkinan terjadinya kerusakan atau gangguan terutama yang disebabkan oleh
tindakan manusia, yang pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pendekatan biologi, geologi,
fisika, kimia, sosial, ekonomi, dan budaya. Upaya tersebut penting dilakukan karena dapat
dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
Pendayagunaan sungai sangat dimungkinkan, kecuali pada kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam, namun dalam penyelenggaraannya harus dilakukan secara terpadu,
adil dan optimal, baik antarsektor, antarwilayah, maupun antar-kelompok masyarakat dengan
mendorong pola kerja sama agar berhasil guna dan berdaya guna.
Kegiatan usaha industri sangat berkepentingan dengan upaya pengembangan sumber
daya air sungai, karena dalam proses pengolahan dan/atau eksplorasi biasanya membutuhkan
ketersediaan air baku dalam jumlah besar. Potensi dampak yang mungkin timbul akibat
dilaksanakannya pengembangan sumber daya air sungai harus ditangani secara tuntas dengan
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Selain dari itu,
pengembangan air permukaan pada sungai perlu dilaksanakan dengan memperhatikan
karakteristik dan fungsi sungai yang bersangkutan. Hal tersebut perlu diperhatikan karena
karakteristik dan fungsi sungai pada daerah yang satu berbeda dengan daerah yang lainnya.
Ketentuan Pasal 52 UU No. 7 Tahun 2004 dengan tegas melarang setiap orang atau
badan usaha melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air.
Pengendalian daya rusak air dapat dilakukan melalui upaya pencegahan, penanggulangan,
dan pemulihan. Upaya pencegahan harus lebih diutamakan, baik melalui kegiatan fisik
dan/atau nonfisik maupun melalui penyeimbangan hulu dan hilir wilayah sungai. Jika
terpaksa perlu ditempuh upaya penanggulangan, maka penanggulangannya dapat dilakukan
dengan mitigasi bencana, sedangkan upaya pemulihan dilakukan terutama oleh pihak yang
paling bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan sungai untuk memulihkan kembali fungsi
lingkungan hidup dalam ekosistem sungai.
Pengelolaan sungai mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah (Daud
Silalahi, 2003) yang memerlukan keterpaduan tindakan untuk menjaga kelangsungan fungsi
sungai, dan oleh karenanya fungsi koordinasi mutlak diperlukan dengan mengintegrasikan
kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan stakeholders.
Ketentuan-ketentuan tentang pemanfaatan sungai sebagai bagian dari sumber daya air
yang secara normatif telah tegas pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan terkait
harus diperhatikan ketika akan mengadakan pengaturan tentang pemanfaatan sungai untuk
pengangkutan limbah cair industri.
Secara filosofis, kekuasaan mutlak atas alam semesta berada pada Tuhan Yang Maha
Esa. Manusia sebagai bagian dari alam semesta mendapat kepercayaan dari Tuhan Yang
Maha Esa untuk hidup di bumi dan mengelola alam semesta dengan petunjuk-Nya yang telah
disampaikan-Nya melalui para Nabi dan Rasul-Nya. Dengan demikian, kekuasaan yang
dimiliki manusia untuk mengelola alam semesta bersifat sementara (temporary), terbatas
(restricted), amanah (mandate), kolektif (collective), dan untuk kemakmuran (prosperity).
Sejalan dengan paradigma relativitas kekuasaan yang dimiliki manusia, bangsa
Indonesia meneguhkan cita-cita membangun negara hukum sebagaimana dikukuhkan dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Ajaran negara hukum memuat tiga dimensi penting,
yaitu dimensi politik, hukum, dan sosial ekonomi (Bagir Manan, 1999 : 2). Lebih lanjut ia
menjelaskan, dimensi politik dalam negara hukum memuat prinsip pembatasan kekuasaan
yang menjelma dalam paham negara berkonstitusi, pembagian atau pemisahan kekuasaan,
kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan jaminan serta penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Dimensi hukum dalam negara hukum harus tercipta suatu tertib hukum dan
perlindungan hukum bagi setiap orang tanpa diskriminasi. Dimensi sosial ekonomi dalam
negara hukum berupa kewajiban negara melalui pemerintah untuk mewujudkan dan
menjamin kesejahteraan sosial.
Doktrin John Locke memiliki relevansi yang kuat dengan ajaran negara hukum
terutama yang menyangkut dimensi politik, yaitu pembagian kekuasaan. John Locke bereaksi
keras terhadap absolutisme raja pada jamannya, dan kemudian ia mengajukan konsep dalam
rangka merasionalkan dan mensistimatiskan fungsi-fungsi kekuasaan negara menjadi tiga
fungsi (H.M. Rasjidi, 1984 : 174), yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan federatif. Ia mengakui
bahwa bila kekuasaan diletakkan pada tangan yang berbeda dapat dicapai suatu
keseimbangan kekuasaan (balancing of power).
Paradigma relativitas kekuasaan dalam perkembangannya mampu mendorong
pertumbuhan demokrasi, termasuk demokratisasi di dalam setiap fungsi-fungsi kekuasaan
negara. Pelaksanaan otonomi daerah yang lebih maju di Indonesia pasca era reformasi 1998
merupakan perwujudan demokratisasi fungsi kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam rangka
merealisasikan amanat UUD 1945.
Pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), berhak menetapkan peraturan daerah (Perda) dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Kewenangan
yang diberikan oleh konstitusi (grondwet) tersebut bertujuan untuk lebih meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Keanekaragaman adalah sifat alamiah karunia Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam
keanekaragaman ada kekhususan dengan ciri-ciri khas yang tidak dapat dipaksakan harus
sama dengan yang lainnya. Masyarakat Jawa Barat dan lingkungan alamnya memiliki
kekhasan yang tidak dapat dipersamakan dengan masyarakat dan lingkungan alam daerah
lainnya. Masyarakat Jawa Barat dengan segala kekhasannya memiliki hak untuk menikmati
hasil pembangunan secara wajar. Selama ini, pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan
alam Provinsi Jawa Barat belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat Jawa Barat.
Secara filosofis, upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam konteks
pengaturan pemanfaatan sungai untuk pembuangan akhir Limbah Cair Industri di Provinsi
Jawa Barat dapat disejalankan dengan Aliran Utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy
Bentham (1748-1832) yang mendalilkan bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara
sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan atau kebahagiaan yang sebesar-
besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan (Lili Rasjidi & Ira Rasjidi, 2000 :
64). Ketika dalil tersebut digunakan pada bidang hukum, maka standar penilaian etis yang
digunakan yaitu mendasarkan pada ukuran bahwa baik buruknya peraturan perundang-
undangan ditentukan oleh apakah peraturan perundang-undangan tersebut mendatangkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat atau tidak. Jadi, peraturan perundang-
undangan yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat Jawa
Barat akan dinilai oleh masyarakat Jawa Barat sebagai peraturan perundang-undangan yang
baik.
Secara ekologis atau ekonomi alam, yang bermakna melakukan transaksi dalam
bentuk materi, energi, dan informasi, bahwa dalam pengelolaan lingkungan hidup dewasa ini,
cenderung bersifat antroposentris, yaitu melihat permasalahan lingkungan dari sudut
kepentingan manusia, sehingga ekologi yang dibutuhkan adalah ekologi manusia, yaitu ilmu
yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Otto
Soemarwoto, 1997 : 22).
Manusia yang oleh Tuhan Yang Maha Esa dikaruniai akal dan pikiran mempunyai
kemampuan mendayagunakan lingkungan hidupnya. Faktor teknologi yang digunakan dalam
mendayagunakan lingkungan hidup tersebut menentukan besaran manfaat (nilai ekonomi)
dan dampak yang ditimbulkannya. Semakin tinggi kemampuan teknologi yang digunakan,
cenderung semakin tinggi pula manfaat (nilai ekonomi) yang dapat dinikmati oleh manusia,
baik kualitas maupun kuantitasnya. Namun demikian, dampak lingkungan hidup yang
ditimbulkannya dapat dipastikan akan semakin besar pula. Strategi dan teknik pengelolaan
dampak lingkungan hidup menjadi semakin penting untuk diperhatikan dan ditingkatkan
efektivitasnya.
Di dalam ekosistem sungai terdapat unsur jasad hidup (biotic) dan tidak hidup
(abiotic). Unsur jasad hidup terdiri dari beragam jenis hewan dan tumbuhan dari mulai yang
berukuran sangat kecil hingga yang besar dan berada dalam sistem jaring-jaring kehidupan
(mata rantai makanan). Unsur yang tidak hidup seperti air, tanah, batu, pasir, dan lain-lain
berfungsi sebagai sarana penunjang untuk berlangsungnya kehidupan beragam jenis hewan
dan tumbuhan. Tingkat kualitas air sungai menentukan dapat atau tidaknya beragam jenis
hewan dan tumbuhan melangsungkan kehidupannya.
Untuk menentukan kualitas air sungai, apakah dalam kondisi baik atau buruk, terdapat
beberapa parameter yang dapat digunakan, diantaranya yaitu : 1) Parameter fisika; dan 2)
Parameter kimia (Hefni Effendi, 2003 : 50-128). Parameter fisika dapat menggunakan
indikator cahaya; suhu; kecerahan dan kekeruhan; warna; konduktivitas (daya hantar listrik);
padatan total, terlarut dan tersuspensi; dan salinitas. Parameter kimia dapat menggunakan
indikator pH (derajat keasaman); potensi redoks (reduksi dan oksidasi); oksigen terlarut;
karbondioksida; alkalinitas; kesadahan; dan bahan organik.
Pemantauan kualitas air sungai secara berkala, jujur, dan profesional penting
dilakukan untuk terjaganya keseimbangan ekosistem sungai, sehingga kegiatan industri yang
dilakukan oleh manusia tidak mengorbankan lingkungan hidup. Tujuan yang harus
diwujudkan yaitu industri tetap berjalan dan kualitas lingkungan hidup selalu dalam kondisi
prima.
Berdasarkan konsep ekologi manusia, terdapat dua hal penting yang harus dijaga
keseimbangannya, yaitu : a) pemanfaatan sumber daya alam; dan b) pengelolaan dampak
lingkungan hidup. Dalam merealisasikan kedua hal tersebut, harus dipersepsikan bahwa baik
pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan dampak lingkungan hidup merupakan
kepentingan manusia yang sama derajat kepentingannya. Hasil kegiatan industri dapat
dimanfaatkan untuk mendongkrak derajat kemakmuran manusia. Namun demikian, dalam
pemanfaatannya tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup, karena kualitas lingkungan
hidup yang prima sangat diperlukan juga oleh manusia dalam melangsungkan kehidupannya.
Dari konsep ekologi manusia tersebut dikembangkanlah penerapan prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
B. Pengelolaan Industri Terintegrasi
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia diselenggarakan dengan asas tanggung
jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk melanjutkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Komitmen Indonesia untuk berpegang pada prinsip pembangunan berkelanjutan
dalam mengelola lingkungan hidupnya, termasuk di dalamnya proses industrialisasi yang
dalam pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari kerangka pengelolaan lingkungan hidup
secara keseluruhan (Daud Silalahi, 1996). Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan
dalam konteks pengelolaan Limbah Cair yang dihasilkan dari kegiatan industri adalah bahwa
Limbah Cair tersebut tidak boleh terakumulasi di alam karena dapat mengganggu siklus
materi dan nutrien. Pembuangan Limbah Cair tersebut harus dibatasi pada tingkat yang tidak
melebihi daya dukung lingkungan. Kondisi demikian mengindikasikan bahwa pengelolaan
industri harus diintegrasikan dengan prinsip, kaidah, dan norma yang berlaku dalam
pengelolaan sumber daya air, kesehatan, lingkungan sosial budaya, dan pemanfaatan
teknologi. Dengan demikian, komitmen yang kuat dari pihak perusahaan (industri) pada
pelaksanaan Mitigasi Fisik dan Mitigasi Sosial menjadi prasyarat untuk penerapan
Pengelolaan Industri Terintegrasi, serta tentu dengan dukungan yang kuat pula dari
masyarakat (stakeholders) dan pemerintah.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) Meneliti, mengkaji dan menyusun
Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat sebagai hukum yang dicita-citakan
(ius constituendum) tentang pemanfaatan sungai tertentu sebagai sarana pembuangan akhir
Limbah Cair Industri di Jawa Barat; dan 2) Meneliti, mengkaji, dan menyusun Konstruksi
Model Pengelolaan Industri Terintegrasi dalam pengaturan pemanfaatan sungai tertentu
sebagai sarana pembuangan akhir Limbah Cair Industri di Jawa Barat.
Hasil dari penelitian ini diproyeksikan bermanfaat : a) Bagi Dunia Usaha,
mendapatkan jaminan kepastian hukum dan terhindar dari tuntutan masyarakat dalam
menjalankan kegiatan usahanya, serta dalam jangka waktu tertentu mempunyai kesempatan
untuk mendapatkan haknya dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan hukum yang
berlaku; b) Bagi Masyarakat, mendapatkan bantuan manajemen dan dana dari perusahaan
dalam rangka pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat (community
development); c) Bagi Pemerintah, memperoleh kajian holistik sebagai bahan menyusun
peraturan daerah dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah baik berupa pajak daerah maupun retribusi daerah; dan d) Bagi
Aparatur Penegak Hukum, adanya kepastian hukum depenalisasi pemanfaatan sungai-sungai
tertentu.
BAB IV
METODE PENELTIAN
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yuridis – empiris
berorientasi pada kajian holistik, yang dalam prosesnya mendapat bantuan disiplin ilmu
terkait, misalnya : ekonomi, sosial-budaya, politik, biologi, geologi, fisika, kimia. Alur
penerapan metode pendekatan tersebut sebagai berikut :
2. Alasan pemilihan Metode Pendekatan
Penggunaan pendekatan tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa pengkajian
terhadap masalah lingkungan hidup tidak cukup hanya dengan meng-gunakan pendekatan
normatif (Yuridis), melainkan memerlukan dukungan data empiris yang dalam prosesnya
mendapat bantuan disiplin ilmu terkait (Non Yuridis), sehingga berkarakter penelitian
Yuridis – Empiris (Daud Silalahi, 2001 : 1-20). Namun demikian, hasil akhir (out put) dari
penelitian ini diformulasikan kembali sebagai sebuah hasil penelitian hukum (Yuridis).
Penggunaan pendekatan tersebut diharapkan dapat memberikan penjelasan secara
holistik (utuh), sebagaimana dijelaskan oleh Suriasumantri, “Dewasa ini pengetahuan yang
satu tercerai dari pengetahuan yang lainnya, ilmu terce-rai dari moral, moral tercerai dari
seni, seni tercerai dari ilmu, dan seterusnya. Inilah sebenarnya sumber ketidakbahagiaan
manusia modern dewasa ini, sebab pengetahuan yang tidak utuh akan membentuk manusia
yang tidak utuh pula. Kerangka filsafat akan memungkinkan kita membentuk wawasan
mengenai keterkaitan berbagai pengetahuan. (Jujun S. Suriasumantri, 1986 : 57).
3. Objek Penelitian
Objek penelitian ini yaitu sungai tertentu di Jawa Barat dan adanya konflik
kepentingan antara perusahaan (industri), masyarakat, dan Pemerintah dalam pemanfaatan
sungai-sungai tersebut. Penyesuaian fungsi sungai dari fungsi tradisionalnya sebagai sarana
pengairan dan kebutuhan keluarga menjadi juga berfungsi sebagai sarana pembuangan akhir
HUKUM
(Yuridis)
BUKAN
HUKUM
(Non Yuridis)
HUKUM
(Yuridis)
Limbah Cair Industri, telah memunculkan konflik kepentingan yang berkepanjangan hingga
saat ini, terutama yaitu antara perusahaan (industri) dengan masyarakat sekitar Daerah Aliran
Sungai.
Masyarakat Jawa Barat memiliki kearifan tradisional yang menempatkan fungsi
sungai sebagai sumber kehidupan yang tidak boleh dicemari dan dirusak, sedangkan pihak
perusahaan membutuhkan sungai tersebut sebagai sarana pembuangan akhir Limbah Cair
Iindustri yang efektif dan efisien. Pada satu sisi kearifan tradisional masyarakat Jawa Barat
perlu dihargai, dan pada sisi yang lain kegiatan perusahaan tidak dikehendaki berhenti
beroperasi. Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan
Industri Terintegrasi menjadi alternatif solusi yang dapat ditawarkan untuk menyelesaikan
konflik kepentingan tersebut.
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data yang sudah jadi (data sekunder), yaitu data
hasil penelitian para peneliti sebelumnya yang dipandang relevan untuk membantu
memecahkan masalah dalam penelitian ini, data hasil penelitian dibidang hukum, ekonomi,
politik, sosial, budaya, adat, biologi, geologi, dan fisika, yang diperoleh melalui telaah
kepustakaan, wawancara, dan survei lapangan.
Tahap berikutnya dilakukan analisis dan dalam proses tersebut dipergu-nakan semua
unsur metodis umum seperti yang berlaku dalam penelitian bidang lingkungan hidup.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data akan dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
1) Studi kepustakaan, yang terdiri dari :
a. Meta analisis :
Meta analisis multi disipliner meliputi aspek-aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial
sebagai pilar pembangunan yang berkelanjutan. Meta analisis adalah analisis hubungan
antar informasi yang diperoleh sebelumnya berdasarkan hasil-hasil penelitian atau
dokumen-dokumen tertulis. Hasil meta analisis digunakan untuk menunjukkan
pengelompokan masalah, analisis sebab-akibat serta keterkaitannya satu dengan
lainnya. Hasil meta analisis berupa masukan-masukan kajian multi disipliner
diintegrasikan ke dalam bahan-bahan hukum sehingga analisis yang dilakukan dalam
tahap selanjutnya menjadi lebih lengkap dan valid. Tahapan meta analisis meliputi :
unitasi data, kategorisasi data, analisis dan interpretasi, analisis lintasan informasi, dan
pilihan (opsi) pemecahan masalah.
b. Meta yuridis :
Inventarisasi hukum positif yang berkaitan dengan pengaturan pemanfaatan sungai
tertentu sebagai sarana pembuangan akhir Limbah Cair Industri. Inventarisasi hukum
meliputi pengumpulan peraturan-peraturan yang masih berlaku (hukum positif),
melakukan identifikasi yang kritis dan klasifikasi yang logis dan sistematis.
2) Survei (observasi) lapangan dan wawancara.
6. Keabsahan Data
Data kualitatif yang akan diperoleh tidak bersifat tunggal, namun beragam mengingat
begitu banyak paradigma/teori/konsep/fakta yang dikaji. Data kualitatif sebagaimana
dijelaskan di atas diperoleh melalui studi kepustakaan.
Data kualitatif itu akan bersifat dialogis, artinya satu dengan yang lain saling
berkorelasi, apalagi dalam pengertian ilmu sebagai jaringan, data akan berkaitan sangat erat.
Model dialogis ini juga merupakan bentuk dari penge-cekan data, sehingga setiap data yang
diperoleh akan dicek oleh data lainnya, data lain itu kemudian akan dicek pula oleh data
lainnya pula, sehingga pengecekannya akan seperti model „triangulasi data (Valerie J.
Janesick, 1994), di mana data yang satu akan dicek melalui data lainnya. Triangulasi data
merupakan model pengecekan sirkuler sehingga data seakurat mungkin dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya. Triangulasi data sebagaimana pada prinsip-nya
merupakan metode yang digunakan untuk melakukan klarifikasi terhadap sejumlah data yang
dikumpulkan. Triangulasi merupakan upaya untuk menda-patkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang apa yang dikaji. Menurut Agus Salim, triangulasi bukan merupakan alat
atau strategi untuk pembuktian, tetapi hanya sebagai alternatif terhadap pembuktian. (Agus
Salim, 2001: 6-7). Penggunaan triangulasi ini menjadi penting, karena dalam penelitian
bidang lingkungan hidup umumnya selalu bersifat multi metode dan lintas paradigma. (M.
Antonius Birowo, 2004 : 6). Sistem triangulasi data dengan model sirkuler sebagaimana
dijelaskan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Ragaan
Triangulasi Data
7. Desain Analisis Data
Analisis terhadap obyek penelitian akan dilakukan melalui Analisis hukum, yang
mendapat bantuan data sekunder bidang ekonomi, biologi, geologi, fisika, kimia, sosial,
budaya, politik. Target dari analisis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Analisis hukum yang mendapat bantuan data sekunder bidang ekonomi, politik, sosial,
budaya, biologi, geologi, fisika, kimia, akan difokuskan pada upaya menemukan konsep
hukum yang dicita-citakan (ius constituendum ) yang tepat sebagai landasan hukum
konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat dalam pemanfaatan sungai
tertentu sebagai sarana pembuangan akhir Limbah Cair Industri untuk mewujudkan
Pengelolaan Industri Terintegrasi di Provinsi Jawa Barat.
b. Bantuan data sekunder bidang ekonomi dimaksudkan untuk mengetahui pilihan yang
paling menguntungkan dari beberapa pilihan yang ada, misalnya : 1) Sumber daya yang
ada dibiarkan, tidak diolah, tidak diusahakan, dan sungai tidak terganggu ; 2) Sumber daya
yang ada dieksplorasi dan dieksploitasi dengan memanfaatkan sungai untuk pembuangan
akhir Limbah Cairnya, tetapi tidak diatur oleh hukum ; atau 3) Sumber daya yang ada
dieksplorasi dan dieksploitasi dengan memanfaatkan sungai untuk pembuangan akhir
Limbah Cair Industrinya, dan kepentingan-kepentingan pihak-pihak terkait
diakomodasikan dan diatur dalam produk hukum berbentuk Peraturan Daerah (Perda).
c. Bantuan data sekunder bidang biologi-geologi-fisika-kimia dimaksudkan untuk
mendukung pelaksanaan mitigasi fisik yang mencakup program rekognisi dan kompensasi,
ketika sungai dimanfaatkan untuk pembuangan akhir Limbah Cair Industri.
Data
Lapangan
Data
Kepustakaan
Data
Teori
d. Bantuan data sekunder bidang sosial dan budaya dilakukan karena pada dasarnya
pembangunan yang dilaksanakan melibatkan sejumlah manusia yang mendiami tempat
tertentu, memiliki adat dan budaya (cara berfikir) tertentu, sehingga diharapkan memiliki
kemampuan memahami, menghargai dan menghormati kearifan tradisional kelompok
masyarakat tertentu.
e. Bantuan data sekunder bidang politik dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas lembaga
politik di Jawa Barat dalam mengawal dan menjamin terlindunginya hak-hak masyarakat
Jawa Barat.
Teknik analisis yang akan digunakan, diantaranya : Cost-Benefit-Analysis (CBA),
yaitu teknik analisis dengan cara membandingkan antara sistem yang berlaku dengan sistem
yang diajukan (Schhrecker, T.F., 1985).
Lebih jelas desain analitis dapat dilihat dalam dua ragaan di bawah ini :
Ragaan
Desain Analisis 1
Ragaan
Desain Analisis 2
Teori
Data Konsep Baru
Masalah Analisis
Positivisme Hukum Model Penalisasi
Medel Kolaborasi
(Depenalisasi)
Kepustakaan- Dokumen
Kelemahan, Kekeliruan, dan
akibat- akibat yang muncul
Diperoleh alternatif baru
Interpretasi, Komparasi dan
Sintesis
Analisis
Adapun tentang tahap penelitian yang dilakukan dijelaskan melalui bagan berikut :
RISET
Tahap I
Bulan ke 1 & 2
a. Persiapan
b. Penelusuran Kepustakaan
c. Pemantapan Kajian Teoretis
& Metode
Tahap II
Bulan ke 3 & 7
Pengumpulan Data
Sekunder : Telaah
Pustaka/Internet,
Korespondensi
Tahap V
Bulan ke 10
Perumusan Hasil
Konstruksi Model
Kolaborasi Comdev & PIT
Tahap VI
Bulan ke 11
Seminar & Pelaporan Hasil
Tahap VII
Bulan ke 12
Perbaikan & Penggandaan
Tahap IV
Bulan ke 7 & 10
Analisis Data
a. Interpretasi
b. Komparasi
c. Sintesis
d. Matriks Hasil Analisis
PRA RISET
Tahap II
a. Penelusuran
kepustakaan
mutakhir
b. Sinkronisasi
Masalah, Teori &
Metode
Penyusunan
Proposal
Tahap I
a. Persiapan
b. Penelusuran
Masalah
c. Kajian Teoretis
Tahap III
Bulan ke 3 & 7
Pengolahan Data
a. Pemetaan;
b. Klasifikasi & Evaluasi
c. Penyusunan Matriks Data
Hasil Olahan
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengembangan Industri di Jawa Barat Dalam Peta Industri Nasional
1. Kondisi Daerah
Berdasarkan data BPS, laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2005
sebesar 5,4 persen. Sektor Industri Pengolahan tumbuh sebesar 7,13 persen, masih dibawah
sektor bangunan/konstruksi yang tumbuh sebesar 17,85 persen. Struktur perekonomian Jawa
Barat pada tahun 2005 dilihat dari lapangan usaha (Data BPS, berdasarkan harga konstan
2000), didominasi oleh 3 (tiga) sektor unggulan dengan kontribusi pertama sektor industri
non migas 41,74 persen, kedua sektor perdagangan, hotel dan restoran 19,23 persen dan
sektor pertanian 14,11persen. Pada tahun 2005 laju pertumbuhan industri sebesar 7,13
persen. Kontribusi terhadap PDRB terbesar didapat dari Industri Alat Angkut, Mesin dan
Peralatannya 18,37 persen, Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 10,17 persen,
Industri Pupuk Kimia dan Barang dari Karet 4,40 persen dan Industri Makanan, minuman
dan tembakau 4,99 persen.
2. Strategi Pengembangan
Pengembangan ekonomi daerah Jawa Barat seperti tercantum dalam Rencana
Stretegis dilakukan melalui pengembangan 6 core business, yaitu pengembangan (1) Sumber
Daya Manusia, (2) Agribisnis, (3) Bisnis Kelautan, (4) Pariwisata, (5) Industri Manufaktur
dan (6) Industri jasa lainnya. Dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan
daya beli masyarakat dilakukan dengan peningkatan produktivitas dan peningkatan investasi
di sektor-sektor unggulan (6 core business) tersebut.
2.a. Produk Unggulan
Berdasarkan hasil pembahasan dengan para pemangku kepentingan, ditetapkan
produk ungulan Jawa Barat, yaitu industri kreatif dan Industri telematika. Industri kreatif
yaitu industri yang bersumber dari kreativitas, keahlian, dan talenta individu yang berpeluang
meningkatkan lapangan kerja melalui penciptaan dan komersialisasi kekayaan intelektual.
1) Industri Kreatif
Industri Kreatif secara sempit bisa diartikan sebagai suatu industri tersendiri yang
dengan kreativitasnya menghasilkan desain-desain kreatif sebagai produk atau jasa
utamanya. Secara lebih luas, Industri Kreatif bisa berarti kumpulan dari sektor-sektor
industri yang mengandalkan kreativitas sebagai modal utama dalam menghasilkan
produk/jasa. Dalam konteks tersebut, Industri Desain bisa dipandang sebagai komponen
inti dari suatu Industri Kreatif, yang implementasinya bisa terjadi pada beberapa sektor
industri lain seperti multimedia, advertising, garment, makanan, alas kaki, dll. Jawa Barat
mempunyai SDM yang kaya akan budaya, berpendidikan memadai, kreatif dan inovatif
merupakan sumber kreativitas dalam Industri Kreatif, dan bisa dijadikan penggerak
pembangunan sektor industri lainnya. Sebagai pusat pendidikan, Jawa Barat dapat menarik
generasi muda dari berbagai daerah sehingga bisa meningkatkan keanekaragaman dari
potensi lokal (diversity and variety of local potentials), selain itu juga didukung dengan
potensi lokal yang tinggi sebagai pendukung Industri Kreatif, misalnya hasil budaya
Sunda, agro-industri, industri tekstil, kerajinan tangan, dan lain-lain.
Permasalahannya, Industri kreatif merupakan industri baru dan belum diakui sebagai
penggerak roda pembangunan. Infrastruktur yang kurang memadai juga menjadi
penghambat berkembangnya industri kreatif. Permasalahan lainnya adalah kurangnya
perlindungan hak cipta terhadap industri kreatif menimbulkan budaya yang tidak kreatif
(budaya ikut-ikutan, negative thinking).
Sasaran dari pengembangan industri kreatif adalah menghubungkan lingkungan bisnis
untuk industri kreatif produk yang unggul di pasar domestik dan mampu bersaing di pasar
regional sehingga dapat meningkatkan nilai ekspor dan memberikan kontribusi terhadap
penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan daerah. Strategi yang dilakukan
dengan membangun kemampuan produk dan jasa sepanjang rantai nilai bisnis industri
kreatif yang mempunyai kekuatan hak cipta melalui pemberdayaan SDM. Kerangka
Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Barat sebagaimana terlihat dalam Tabel 1 di
bawah ini, yaitu :
Tabel 1. Kerangka Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Barat
Sumber: Disperindag Provinsi Jawa Barat, 2013.
Roadmap pengembangannya sebagaimana terlihat dalam Tabel 2 di bawah ini, yaitu :
No Rencana Aksi 2008 2009 2010 2011 2012
A PUSAT
1 Membangun Industri Kreatif.
a. Membangun Industri Desain
b. Membangun Industri Animasi dan Game
c. Membangun Industri Aplikasi komputer
d. Membangun Industri Kerajinan
e. Membangun Industri Fashion
2 Menyusun kebijakan pendukung Industri
Kreatif.
3 Menyediakan kemudahan bagi pelaku Industri
Kreatif.
4 Mengembangkan SDM
a. Meningkatkan kemampuan SDM kreatif
b. Membangun lembaga sertifikasi SDM
kreatif.
5 Meningkatkan jaringan pemasaran
6 Meningkatkan kualitas dan pengembangan
merk Indonesia di pasar internasional.
7 Kerjasama (aliansi) dengan pengusaha luar
negeri.B DAERAH
1 Menyediakan infrastruktur untuk
pengembangan industri kreatif
2 Menyusun Perda pendukung Industri Kreatif.
3 Menyediakan kemudahan bagi pelaku Industri
Kreatif.
4 Membangun jejaring bagi pelaku Industri
Kreatif.
5 Meningkatkan kualitas SDM melalui workshop,
pelatihan dan pendidikan.
6 Kerjasama (aliansi) dengan pengusaha luar
negeri.
Tabel 2. Roadmap Pengembangan Industri Kreatif di Jawa Barat
Sumber: Disperindag Provinsi Jawa Barat, 2013.
2) Industri Telematika
Kondisi industri Telematika saat ini di Jawa Barat telah menuju tahap perintisan
seperti dengan adanya prakarsa pengembangan telematika yaitu Pemerintah Kota Cimahi
melalui Cimahi Cyber City yang fokusnya kepada pengembangan software dan Cimahi
Technoresidential park yang fokusnya kepada hardware. Pemerintah Kabupaten Bogor
juga melakukan melalui pengembangan dengan membangun technopark seluas 30 ha
yang dikerjasamakan dengan provinsi Shen Zen China. Selain itu dari pihak Perguruan
Tinggi dalam hal ini ITB telah me-launching pemasyarakatan penggunaan IGOS di
kampus. ITB juga bekerja sama dengan Menristek untuk mengembangkan internet
perdesaan dan program Universal Service Obligation yaitu program telepon perdesaan.
Telah dibentuk yayasan BHTV yang merupakan wadah komunitas telematika di Jawa
Barat.
Permasalahan dalam pengembangan industri telematika adalah belum adanya tempat
bisnis yang representatif dan memadai untuk bisnis ICT, seperti fasilitas infrastruktur ICT
dan fasilitas pendukung yang memadai, belum ada wadah link and match antara lembaga
pendidikan pencetak SDM ICT dengan pusat riset ICT dan industri ICT, terjadinya brain
drain dengan dibajaknya SDM-SDM ICT Bangsa Indonesia yang handal oleh
perusahaan-perusahaan luar negeri, pengembangan industri ICT memerlukan biaya yang
tidak sedikit, khususnya pada bidang riset ICT hingga ke tahap prototipe dan
implementasi. Untuk masuknya investor, perlu ada payung hukum dan payung keamanan
yang menjamin keterlaksanaan dan kelangsungan usaha di bidang ICT yang sarat akan
modal, teknologi, dan kemampuan SDM yang tinggi.
Strategi dalam mengembangkan industri telematika adalah dengan menumbuhkan
IKM-IKM industri telematika, mendorong kerjasama teknik & bisnis jangka panjang
antara IKM pendukung dan pasar (terutama perbankan).
Kerangka pengembangan Industri Telematika di Jawa Barat sebagaimana terlihat
dalam Tabel 3 di bawah ini, yaitu :
Industri Terkait
Jasa Layanan Nilai Tambah (Broadband/Internet,
Multimedia).
1 1
2 2
3 3
4
5
6
7
1 1
2 2
3
4
5
6
7
8
1 1
2 2
3 3
1 1
2 2Fasilitasi akses pasar dengan Industri dan Perbankan. Memberikan akses keuangan bagi inkubator IT;
Lokasi : Kota Cimahi
Pasar Infrastruktur
Membangun dan mempromosikan merk lokal di pasar global. Membangun IT Technopark, inkubator bisnis, menyediakan
layanan Broadband, dan sentra-sentra regional;
Mengembangkan manajemen usaha di bidang teknologi IT. Sertifikasi kompetensi SDM.
Pengembangan Biro Desain. Meningkatkan kualitas dan uantitas SDM melalui pendekatan
visual dan nonvisual serta pendirian inkubator dan Regional IT
Centre of Excelence (RICE).
UNSUR PENUNJANG
Teknologi SDM
Mengembangkan R & D. Meningkatkan kompetensi SDM.
9 Penyusunan rencana pengembangan West Java Technopark.
Revitalisasi dan peningkatan kemampuan industri perangkat, jaringan dan
aplikasi;
Menyediakan layanan jasa nilai tambah (internet dan broadband) murah;
Mendorong industri animasi dan multimedia;
Mengembangkan produksi komputer harga terjangkau.
Mengembangkan aliansi strategis dengan MNCs dalam rangka pengembangan
industri perangkat, jaringan dan aplikasi;
Membangun industri telematika Jawa Barat yang mampu
menembus pasar global.
Mengembangkan industri pengembang software lokal untuk mengisi program
pelaksanaan IGOS (Indonesia Go to Open Source);
Pengembangan kemampuan E-Business dan E-Government;
POKOK RENCANA AKSI JANGKA MENENGAH (2006-2010) POKOK RENCANA AKSI JANGKA PANJANG (2011- 2020)
Menumbuhkan IKM telematika di Jabar. Konsolidasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk
pengembangan West Java Technopark.
SASARAN JANGKA MENENGAH (2008-2012) SASARAN JANGKA PANJANG (2013- 2018)
Tumbuhnya IKM telematika; Meningkatnya pertumbuhan industri telematika;
Masuknya investasi untuk hardware.
STRATEGI
Tumbuhnya industri perangkat komputer yang dapat memenuhi kebutuhan
lokal maupun peluang pasar ekspor;Tumbuhnya industri software berbasis sumber terbuka (open source).
Terpenuhinya sebagian besar kebutuhan peralatan telekomunikasi nasional
dari produksi dalam negeri.
Industri Inti Industri Penunjang
Industri Perangkat (Devices), jaringan
aplikasi (content).
Software Aplikasi ; Peralatan Telekomunikasi; Komponen TI.
Meningkatkan nilai tambah industri telematika dengan menumbuhkan IKM-IKM industri telematika, mendorong kerjasama teknik & bisnis jangka
panjang antara IKM pendukung dan pasar (terutama perbankan)
Tersedianya standar kompetensi usaha dan profesi industri telematika; Meningkatnya ekspor ke pasar regional maupun global.
Tumbuhnya lembaga sertifikasi profesi di bidang telematika; Terbentuknya West Java Technopark.
Tabel 3. Kerangka Pengembangan Industri Telematika di Jawa Barat
Sumber: Disperindag Provinsi Jawa Barat, 2013.
Adapun roadmap pengembangannya sebagaimana terlihat dalam Tabel 4 di bawah
ini, yaitu :
No Rencana Aksi 2008 2009 2010 2011 2012
A. PUSAT
1 Mengembangkan aliansi strategis dengan MNCs
dalam rangka pengembangan industri perangkat,
jaringan dan aplikasi.
2 Mengembangkan industri pengembang software
lokal untuk mengisi program pelaksanaan IGOS
(Indonesia Go to Open Source).
3 Mengembangkan kemampuan E-Business dan E-
Government.
4 Revitalisasi dan peningkatan kemampuan industri
telematika.
5 Mendorong industri animasi dan multimedia.
7 Mengembangkan industri low-end computer
8 Mengembangkan R & D telematika.
9 Mengembangkan SDM
a. Meningkatkan kemampuan SDM telematika
b. Membangun lembaga sertifikasi SDM telematika.
10 Mendirikan pusat desain produk-produk
telekomunikasi dan animasi
11 Mengembangkan jaringan pemasaran
B DAERAH
1 Memperkuat kelembagaan RICE dan IBC di Jawa
Barat
2 Menumbuhkan industri animasi dan multimedia.
3 Mengembangkan kemampuan E-Business dan E-
Government.
4 Mendorong tumbuhnya layanan jasa Internet
kompetitif.
5 Mengembangkan komputer dengan harga murah.
6 Mengembangkan SDM
a. Meningkatkan kemampuan SDM telematika
b. Membangun lembaga sertifikasi SDM telematika.
7 Membangun dan mempromosikan merk lokal di
pasar global.
8 Fasilitasi akses pasar dengan Industri dan
Perbankan.
9 Pengembangan Technopark (Cimahi dan Bogor).
Tabel 4. Roadmap Pengembangan Industri Telematika di Jawa Barat
Sumber: Disperindag Provinsi Jawa Barat, 2013.
Di Jawa Barat terdapat banyak Kawasan Industri, dapat dilihat dalam Tabel 5 di
bawah ini, yaitu :
Tabel 5. Kawasan Industri di Jawa Barat
Sumber: Disperindag Provinsi Jawa Barat, 2013.
NO NAMA KAWASAN NAMA
PERUSAHAAN
KAWASAN
INDUSTRI
LOKASI LUAS
RENCANA
(Ha)
1 Kawasan Industri Plumbon Plumbon Bangun Sejahtera,
PT
Cirebon 85.00
2 KI Kota Bukit Indah Besland Pertiwi, PT Purwakarta 1.300.00
3 KI Kujang Cikampek Kawasan Industri Kujang
Cikampek, PT
Karawang 140.00
4 Karawang International
Industrial City (Maligi)
Maligi Permata Industrial
Estate, PT
Karawang 446.00
5 Kawasan Industri Indotaisei Indotaisei Indah
Development, PT
Karawang 700.00
6 Golden Industrial Park Sumber Air Mas Pratama, PT Karawang 500.00
7 Surya Cipta City Of Industry Surya Cipta Swadaya, PT Karawang 1400.00
8 Mandala Pratama Permai Mandala Pratama Permai, PT Karawang 237.50
9 Karawang Jabar Industrial Estate Karawang Jabar Industrial
Estate, PT
Karawang 506.00
10 Kawasan Industri Mitra
Karawang
Mitra Karawang Jaya, PT Karawang 430.00
11 Kawasan Dharma Industri Kawasan Dharma Industri,
PT
Bekasi 18.00
12 Cikarang Industrial Estate
Jababeka
Kawasan Industri Jababeka,
PT
Bekasi 1570.00
13 Bekasi International Industrial
City
Hyundai Inti Development,
PT
Bekasi 200.00
14 Lippo Cikarang Industrial Lippo Cikarang Tbk, PT Bekasi 1000.00
15 Gobel Industrial Complex Gobel Dharma Nusantara, PT Bekasi 52.00
16 East Jakarta Industrial Park
(EJIP)
East Jakarta Industrial Park,
PT
Bekasi 320.00
17 MM 2100 Industrial Town Megalopolis Manunggal
Industrial Development, PT
Bekasi 1005.00
18 Bekasi Fajar Industrial Estate Bekasi Fajar Industrial Estate,
PT
Bekasi 200.00
19 KI Menara Permai Menara Permai, PT Bogor 60.00
20 Cibinong Center Industrial
Estate
Cibinong Center Industrial
Estate
Bogor 140.00
21 Kawasan Industri Sentul Bogorindo Cemerlang, PT Bogor 100.00
22 Kawasan Industri Batujajar Hexamas Atanaka Persada,
PT
Bandung 37.00
23 Kawasan Industri Rancaekek Dwipapuri Abadi, PT Sumedang 200.00
Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada
tahun 2025, menghadapi tantangan dan kendala yang ada, serta merevitalisasi industri
nasional, maka telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan
Industri Nasional. Telah tersusun 35 Road Map (peta panduan) pengembangan klaster
industri prioritas untuk periode 5 (lima) tahun ke depan (2010-2014) sebagai penjabaran
Perpres 28/2008, yang disajikan dalam 6 (enam) buku, yaitu :
1. Buku I, Kelompok Klaster Industri Basis Industri Manufaktur (8 Klaster indutri),
yaitu: 1) Klaster Industri Baja, 2) Klaster Industri Semen, 3) Klaster Industri Petrokimia,
4) Klaster Industri Keramik, 5) Klaster Industri Mesin Listrik & Peralatan Listrik, 6)
Klaster Industri Mesin Peralatan Umum, 7) Klaster Industri Tekstil dan Produk Tekstil, 8)
Klaster Industri Alas Kaki.
2. Buku II, Kelompok Klaster Industri Berbasis Agro (12 Klaster Industri), yaitu: 1)
Klaster Industri Pengolahan Kelapa Sawit, 2) Klaster Industri Karet dan Barang Karet, 3)
Klaster Industri Kakao, 4) Klaster Industri Pengolahan Kelapa, 5) Klaster Industri
Pengolahan Kopi, 6) Klaster Industri Gula, 7) Klaster Industri Hasil Tembakau, 8) Klaster
Industri Pengolahan Buah, 9) Klaster Industri Furniture, 10) Klaster Industri Pengolahan
Ikan, 11) Klaster Industri Kertas, 12) Klaster Industri Pengolahan Susu.
3. Buku III, Kelompok Klaster Industri Alat Angkut (4 Klaster Industri), yaitu: 1) Klaster
Industri Kendaraan Bermotor, 2) Klaster Industri Perkapalan, 3) Klaster Industri
Kedirgantaraan, 4) Klaster Industri Perkeretaapian.
4. Buku IV, Kelompok Klaster Industri Elektronika dan Telematika (3 Klaster Industri),
yaitu: 1) Klaster Industri Elektronika, 2) Klaster Industri Telekomunikasi, 3) Klaster
Industri Komputer dan Peralatannya.
5. Buku V, Kelompok Klaster Industri Penunjang Industri Kreatif dan Industri Kreatif
Tertentu (3 Klaster Industri), yaitu: 1) Klaster Industri Perangkat Lunak dan Konten
Multimedia, 2) Klaster Industri Fashion, 3) Klaster Industri Kerajinan dan Barang seni.
6. Buku VI, Kelompok Klaster Industri Kecil dan Menengah Tertentu (5 Klaster
Industri), yaitu: 1) Klaster Industri Batu Mulia dan Perhiasan, 2) Klaster Industri Garam,
3) Klaster Industri Gerabah dan Keramik Hias, 4) Klaster Industri Minyak Atsiri, 5)
Klaster Industri Makanan Ringan.
Diharapkan dengan telah terbitnya 35 Road Map tersebut pengembangan industri ke
depan dapat dilaksanakan secara lebih fokus dan dapat menjadi :
1. Pedoman operasional Pelaku klaster industri, dan aparatur Pemerintah dalam rangka
menunjang secara komplementer dan sinergik untuk suksesnya pelaksanaan program
pengembangan industri sesuai dengan bidang tugasnya.
2. Pedoman koordinasi perencanaan kegiatan antar sektor, antar instansi terkait di Pusat dan
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
3. Informasi dalam menggalang partisipasi dari masyarakat luas untuk berkontribusi secara
langsung dalam kegiatan pembangunan industri.
Untuk kondisi di Jawa Barat, dalam rangka mengimplementasikan 35 Road Map (peta
panduan) tersebut di atas, konsep kebijakan pengembangan industrinya akan dijelaskan di
bawah ini, sebagaimana dipaparkan oleh Gubernur Jawa Barat pada acara Kunjungan Kerja
Komisi VI DPR RI Reses Masa Persidangan II Tahun 2012-2013 di Gedung Sate, Bandung,
17 Desember 2012, pada Gambar 1 di bawah ini :
PETA INDUSTRIUNGGULAN KAB./KOTA DI JAWA BARAT
Kab.Bekasi :1.Pakaian jadi2.Boneka3.Komponen
Kota Bekasi :1. Pakaian jadi.2. Keraj.Kayu
3. Perhiasan
Kab.Karawang :1 .Mesin & Komponen2. Pakaian jadi.3. Mak. OlahanKota Depok :
1. Pakaian jadi.2. Ind. Telematika3. Mak. Olahan
Kab.Bogor :1. Tekstil & Produk Tekstil2. Ind. Tas3. Alas Kaki 4. Mak. Olahan
Kab.Sukabumi :1. Batu Aji.2. Keraj. Kayu.3. Komponen & MEsin4. Bola Sepak5. Mak. Olahan
Kota Bogor :1. Pakaian jadi.2. Bordir3.Ind. Tas4. Keramik 5. Mak. Olahan
Kab. Cianjur :1. Furniture kayu2. Kerajinan logam3. Komponen Logam4. Sutera.5. Mak. Olahan
Kota Bandung :1. Tekstil & Produk Tekstil2. Alas kaki.3. Elektronika4. Rajut5. Ind. Telematika6. Komponen 7. Mak. Olahan
Kota Sukabumi :1. Keraj. Kayu. 2. Mak. Olahan
Kab.Subang :1. Keraj.Kayu2. Komponen
Kab.Purwakarta:1. Keramik2. Mak. Olahan
Kota Tasikmalaya :1. Bordir.2.Keraj.Pandan& Mendong3. Kelom geulis4. Batik5. Mak. Olahan
Kab.Tasikmalaya :1. Bordir.2. Keraj.Pandan &
Mendong3. Kelom Geulis.4. Mak. Olahan
Kab.Ciamis :
1. Ijuk.2. Furniture Kayu Kelapa3. Mak. Olahan4. Batik
Kab.Majalengka :1. Bola Sepak2. Bata,Genteng3. Kerajinan Rotan4. Batu Alam
Kab.Kuningan :1. Kerjajinan Rotan2. Minyak Atsiri.3. Mak. Olahan
Kab.Indramayu:1.Batik 2.Kerajinan Rotan3. Mak. Olahan
Kab.Cirebon :1. Furniture Rotan2. Batik3. Batu Alam4. Mak. Olahan
Kota Cirebon :1. Furniture Rotan2. Kaca Patri3. Kerajinan Rotan
Kota Cimahi :1. Pakaian jadi2. Ind. Telematika.3. Mak. Olahan
Kab. Garut :1. Kulit & Produk Kulit2. Batik.3. Sutera.4. Minyak Atsiri5. Mak. Olahan
Kab.Bandung :1. Tekstil & Produk Tekstil 2. Alaskaki3. Komponen.4. Boneka5. Mak. Olahan
Kota Banjar :1. Meubel Akar Kayu
Kab.Sumedang :1. Kerajinan Kayu2. Furniture Kayu3. Mak. Olahan 12
Cibinong Center Industrial Estate
Gambar 1. Peta Industri Unggulan Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Sumber: Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2012.
Provinsi Jawa Barat dalam konstelasi nasional memiliki potensi yang besar,
diantaranya dalam beberapa aspek sebagai berikut : 1) Jumlah penduduk terbanyak
(44.286.519 jiwa); 2) Pusat kegiatan industri manufaktur dan strategis nasional; 3) Instalasi
vital nasional (pendidikan, litbang, dan hankam) diantaranya berkelas dunia; 4) Berbatasan
dengan ibu kota negara; 5) Memiliki tiga Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan dua PKN-P; 6)
Memiliki kondisi alam dengan struktur geologi yang kompleks; 7) Memiliki Taman Nasional,
Suaka Margasatwa, dan Cagar Alam. Kontribusi Jawa Barat terhadap Nasional, diantaranya :
1) Berkontribusi terhadap PDB Nasional sebesar 14, 33%; 2) Kontribusi terhadap PDB sektor
industri manufaktur sebesar 60%; 3) Kontribusi PMA Jawa Barat terhadap Nasional sebesar
34,46%; 4) Menyumbang produksi beras nasional sebesar 17,76%; 5) Provinsi produsen
komoditi ekspor nasional, ke AS sebesar 18,4% dan ke Jepang sebesar 12,52%. Selain dari
itu, kontribusi Jawa Barat terhadap regional Jawa Bali, yaitu : 1) Lintasan utama arus regional
barang dan penumpang Sumatra-Jawa-Bali; 2) PMDN tertinggi di Jawa-Bali; 3) Penyedia
listrik dengan kapasitas daya terpasang 4.654 MW : PLTA 1.941 MW, PLT Geotermal 1.061
MW, Lainnya 1.652 MW; 4) Luas kawasan hutan terbesar di Jawa-Bali sebesar 1,04 Juta Ha;
5) Memiliki 40 Daerah Alirah Sungai (DAS); 6) Daerah tujuan wisata; 7) Debit air
permukaan 81 milyar M3
per tahun dan air tanah 150 Juta M3
per tahun. Sebagai daerah
penyangga terhadap ibu kota Negara, kontribusi Jawa Barat diantaranya : 1) Penyedia air
baku untuk DKI Jakarta; 2) Penyedia bahan pangan untuk DKI Jakarta; 3) Penyedia lahan
dan infrastruktur pendukung untuk DKI Jakarta.
Khusus dibidang perindustrian, kebijakan umumnya yaitu meningkatkan
produktivitas dan daya saing industri, melalui program sebagai berikut : 1) Pengembangan
industri manufaktur dan industri kreatif skala industri kecil, menengah, dan besar; 2)
Penataan struktur industri dan peningkatan pemanfaatan teknologi untuk pengembangan
industri. Strategi untuk mencapainya telah dirumuskan sebagai berikut : 1) Meningkatkan
jumlah unit usaha dan jenis produk industri kecil menengah serta kualitas produk industri
kreatif; 2) Melakukan penataan struktur industri berdasarkan produk unggulan dan pasar; 3)
Meningkatkan penyerapan tenaga kerja oleh industri dalam skala besar dan home industry; 4)
Mengembangkan industri ramah lingkungan.
Untuk mengetahui keterkaitan antara perkembangan unit usaha (industri) terhadap
serapan tenaga kerja dan PDRB UMKM dan Besar di Jawa Barat dapat dilihat dalam Tabel 6
sebagai berikut :
TahunSkala Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah Besar
2009 52,84 % 47,07 %
2010 53,75 % 46,25 %
2011 54,20 % 45,80 %
PERKEMBANGAN UNIT USAHA, SERAPAN TENAGA KERJA DAN PDRB
UMKM DI JAWA BARAT
Tahun Mikro Kecil Menengah Besar Total
2009 8,410,238 106,751 7,504 1,536 8,526,039
2010 8,616,294 106,591 7,408 1,536 8,731,790
2011 8,626,671 116,062 8,181 1,728 8,752,643
Tahun Mikro Kecil Menengah Besar Total
2009 12.558.336 560.337 423.623 2.121.539 15.663.835
2010 12.964.464 547.765 454.082 2.121.539 16.087.850
2011 13.172.794 607.236 498.372 2.270.763 16.549.165
Jumlah
Unit Usaha
Serapan
Tenaga Kerja(Jiwa)
Peranan
Terhadap PDRB
(Persen)
Sumber: BPS Jabar (2012)
Tabel 6. Perkembangan Unit Usaha (Industri) Terhadap Serapan Tenaga Kerja
dan PDRB UMKM dan Besar
Sumber: Disperindag Provinsi Jawa Barat, 2013.
Pembangunan industri yang dilaksanakan di Jawa Barat pada dasarnya merupakan
bagian integral dari pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang disejalankan juga dengan RPJPN dan RPJMN
2005-2025 berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2007. Dalam MP3EI tersebut, khusus
untuk Pengembangan Koridor Ekonomi Jawa difokuskan pada kegiatan ekonomi utama
makanan, minuman, tekstil, dan peralatan transportasi. Selain dari itu, terdapat pula aspirasi
untuk mengembangkan kegiatan ekonomi utama perkapalan, telematika, dan alat utama
sistem senjata (alutsista). Pengembangan Koridor Ekonomi Jawa mempunyai tema sebagai
Pendorong Industri dan Jasa Nasional, dengan strategi mengembangkan industri yang
mendukung pelestarian daya dukung air dan lingkungan. Posisi Jawa Barat dapat dilihat
dalam Gambar 2 di bawah ini :
Gambar 2. Koridor Ekonomi Jawa Dalam MP3EI
Sumber: Kemenko Ekuin RI, 2005.
Untuk kondisi Jawa Barat telah dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013. Penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013
dilakukan melalui berbagai tahapan dialog sektoral maupun dialog umum yang melibatkan
berbagai pemangku kepentingan kunci dari pihak Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat serta masyarakat. Selain itu dilakukan tahapan konsultasi publik melalui
penyebaran angket di surat kabar daerah, melaksanakan open house serta membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan melalui media lainnya seperti
website. Tahapan proses penyusunannya, secara diagramatis dapat dilihat pada Gambar 3 di
bawah ini :
Gambar 3. Tahapan Proses Penyusunan RPJMD Provinsi Jawa Barat
Sumber: Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2005.
Beberapa isu strategis yang dianalisis dalam RPJMD 2008-2013 tersebut yaitu
diantaranya permasalahan pada aspek infrastruktur sumber daya air dan irigasi, antara lain:
(1) Potensi sumber daya air di Jawa Barat yang besar belum dapat dimanfaatkan secara
Sumber : - Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 - Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 - Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008
Rancangan Awal
RPJMD oleh Bapeda
Visi, Misi, Program
KDH
Evaluasi
Pembangunan Daerah
Musrenbang RPJMD
Perumusan Rancangan Akhir
RPJMD Berdasarkan hasil
Musrenbang RPJMD
RPJMD ditetapkan melalui dua
tahapan :
1. Tahap penetapan dengan Peraturan Kepala Daerah
(3 bulan setelah dilantik)
2. Tahap penetapan dengan Peraturan Daerah setelah
berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri (6 bulan setelah
pelantikan)
Mengacu kepada RPJM
Nasional Tahun
2004-2009
Perda No 9 Tahun 2008
tentang RPJPD Provinsi Jawa Barat
Tahun 2005-2025
optimal untuk menunjang kegiatan pertanian, industri, dan kebutuhan domestik; (2)
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dan sistem informasi sumber
daya air dirasakan masih belum memadai; (3) Bencana banjir dan kekeringan juga masih
terus terjadi antara lain akibat menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air dan daya
dukung lingkungan serta tersumbatnya muara sungai karena sedimentasi yang tinggi; dan (3)
Kondisi jaringan irigasi juga belum memadai mengingat jaringan irigasi dalam kondisi rusak
berat dan ringan masih sebesar 46%.
Rumah tangga yang menggunakan sumber air minum yang berasal dari air
kemasan/ledeng/pompa masih rendah, yaitu sebesar 45,32%. Rendahnya cakupan pelayanan
air minum disebabkan oleh masih tingginya angka kehilangan air (rata-rata 38%), terbatasnya
sumber air baku khususnya di wilayah perkotaan, tarif/retribusi air yang belum berorientasi
pada cost recovery, masih rendahnya partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan
sarana dan prasarana air minum, serta terbatasnya sumber dana yang dimiliki oleh
pemerintah.
Tingkat cakupan pelayanan pengelolaan limbah domestik hingga akhir tahun 2007 dan
2009 secara umum masih rendah, dimana hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
(1) Keterbatasan pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana pendukung pengelolaan
limbah domestik; (2) Meningkatnya pertumbuhan penduduk belum diimbangi oleh prasarana
dan sarana air limbah yang memadai akibat terbatasnya dana pembangunan (butir 1) di atas);
(3) Rendahnya kepedulian masyarakat dan swasta/dunia usaha terhadap bidang kesanitasian;
(4) Belum optimalnya pemanfaatan fasilitas pengolahan limbah yang ada.
Isu strategis lainnya yaitu adanya indikasi penyimpangan pemanfaatan ruang yang
ditunjukkan oleh tingginya alih fungsi lahan produktif karena pengaruh kegiatan ekonomi,
perkembangan penduduk maupun kondisi sosial budaya. Alih fungsi yang terjadi umumnya
mengabaikan rencana tata ruang yang telah direncanakan sebelumnya. Alih fungsi lahan
kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (lahan terbangun) juga masih relatif tinggi, yaitu
mencapai 28,48% untuk luas lahan hutan dan 27,13% untuk lahan sawah selama periode
tahun 1994-2005.
Perkembangan alih fungsi lahan produktif untuk kegiatan investasi industri, jasa
maupun pemukiman yang tidak sejalan dengan pola perencanaan yang telah ditetapkan
menimbulkan dampak berupa kerusakan lingkungan, penurunan daya dukung lingkungan
serta mengancam ketahanan pangan Jawa Barat. Alih fungsi lahan tersebut merupakan
indikasi rentannya kondisi lahan yang menjadi penyebab degradasi lingkungan. Indikasi ini
dapat dilihat pada degradasi lingkungan pada kawasan lindung seperti kawasan Bandung
Utara dan Bopunjur. Hal tersebut antara lain terjadi karena belum berfungsinya aspek
pengendalian dalam pelaksanaan penataan ruang, serta terkait dengan kewenangan perijinan
pemanfaatan ruang yang sepenuhnya berada di tingkat Kabupaten dan Kota dan masih sering
dilaksanakan sebagai bagian dari target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu
keterpaduan RTRW Kabupaten dan Kota dengan RTRW Provinsi Jawa Barat masih perlu
ditingkatkan.
Isu strategis lainnya dibidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Wilayah Provinsi Jawa Barat memiliki potensi berbagai jenis sumber daya alam yang
terbaharukan maupun yang tidak terbaharukan. Namun demikian, pemanfaatan sumber energi
alternatif yang terbarukan, selain tenaga air, saat ini belum optimal.
Struktur geologi yang bersifat kompleks menjadikan sebagian wilayah Jawa Barat
memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dari ancaman bencana alam. Sumber penyebab
bencana lainnya adalah tingginya intensitas curah hujan yang memicu gerakan tanah terutama
di wilayah Jawa Barat bagian selatan, serta banjir di wilayah pantai utara dan Cekungan
Bandung. Permasalahan yang dihadapi adalah masih lemahnya mitigasi bencana alam.
Berdasarkan kondisi kualitas air sungai di tujuh sungai utama, upaya-upaya
pengendalian tingkat pencemaran air yang telah dilakukan masih belum dapat memberikan
efek signifikan terhadap pergeseran status mutu air ke tingkat yang lebih baik. Hal tersebut
antara lain disebabkan oleh terbatasnya partisipasi sektor industri dalam program EPCM dan
produksi bersih, serta belum optimalnya upaya penegakkan hukum di dalam memberikan
efek shock theraphy terhadap pelaku pencemar.
Terkait dengan perkembangan kondisi air tanah di Jawa Barat, beberapa cekungan air
tanah kritis secara umum memperlihatkan kondisi ketersediaan air tanah yang semakin
menurun dari tahun ke tahun sebagai implikasi dari meningkatnya pengambilan air tanah
untuk keperluan industri, domestik, serta komersial. Pemanfaatan sumberdaya air tanah di
Jawa Barat terus meningkat, sekitar 47,62% air tanah dimanfaatkan oleh industri dan
komersil, 28,24% dimanfaatkan oleh PDAM dan hanya sekitar 1,29% dimanfaatkan oleh
permukiman. Di Cekungan Bandung, hasil pengamatan dari beberapa sumur pantau air tanah
dalam memperlihatkan laju penurunan 2-5 meter setiap tahunnya. Langkah-langkah
konservasi dan pengendalian pemanfaatan air bawah tanah telah dilakukan dalam lima tahun
terakhir untuk mengendalikan laju penurunan air tanah, terutama di cekungan air tanah kritis,
namun langkah tersebut belum dilakukan secara menyeluruh. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, diperlukan pemulihan kondisi air tanah di Cekungan air tanah kritis. Tetapi langkah
tersebut terkendala oleh rendahnya partisipasi sektor industri di dalam mengembangkan
sumur resapan dalam di kawasan industri dan perilaku pengguna yang tidak hemat air.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan dikategorikan sebagai isu
kewilayahan berdasarkan 5 (lima) wilayah kerja koordinasi pembangunan di Jawa Barat,
sebagai berikut :
1. Wilayah Priangan Timur, dengan lingkup kerja Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota
Banjar, Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya.
a. Penataan daerah otonom sesuai dengan aspirasi dari bawah serta mengikuti mekanisme
yang telah ditentukan;
b. Belum fokusnya kebijakan pengembangan kawasan andalan Priangan Timur
berdasarkan keunggulan kawasan andalan tersebut;
c. Penetapan kawasan lindung belum diikuti oleh kebijakan yang bersifat khusus bagi
kabupaten yang bersangkutan;
d. Belum optimalnya implementasi penanganan daerah perbatasan, misalnya untuk aspek
infrastruktur, pendanaan, pelayanan kesehatan, pendidikan;
e. Belum adanya kebijakan yang jelas tentang mitigasi dan penanggulangan bencana;
f. Pemerataan pembangunan, pengembangan desa tertinggal, pengembangan wilayah
perbatasan, keseimbangan pembangunan perkotaan dan perdesaan, penanganan masalah
perkotaan dan kerjasama antar daerah belum terwujud;
g. Belum optimalnya pelayanan pemerintah terhadap wilayah bagian selatan;
h. Perlunya peningkatan penanggulangan dan pemberantasan penyakit menular;
i. Kerusakan dan pencemaran kawasan pesisir dan laut;
j. Perlu peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan.
2. Wilayah Cekungan Bandung, dengan lingkup kerja Kota Bandung, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Sumedang, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.
a. Belum fokusnya kebijakan pengembangan kawasan andalan Cekungan Bandung
berdasarkan keunggulan kawasan andalan tersebut;
b. Penetapan kawasan lindung belum diikuti oleh kebijakan yang bersifat khusus bagi
kabupaten yang bersangkutan;
c. Belum adanya kebijakan yang jelas tentang mitigasi dan penanggulangan bencana;
d. Kerusakan dan pencemaran lingkungan yang tinggi baik udara dengan semakin
tingginya polusi udara di daerah perkotaan, pencemaran lingkungan akibat industri dan
domestik serta pemanfaatan air bawah tanah yang sudah melebihi kemampuan suplai
dari alam;
e. Pemerataan pembangunan, pengembangan desa tertinggal, pengembangan wilayah
perbatasan, keseimbangan pembangunan perkotaan dan perdesaan, penanganan masalah
perkotaan dan kerjasama antar daerah belum terwujud;
f. Sektor modern (industrialisasi) berkembang pesat, menjadi magnet tingginya arus
migrasi;
g. Perlunya peningkatan penanggulangan penyakit berbasis lingkungan.
3. Wilayah Purwakarta, dengan lingkup kerja Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang,
Kabupaten Subang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi.
a. Rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur wilayah, seperti infrastruktur jalan dan
jembatan, persampahan serta air bersih;
b. Rendahnya kondisi infrastruktur yang menghubungkan antar kabupaten/kota dan
provinsi;
c. Kerusakan dan pencemaran lingkungan yang tinggi baik udara dengan semakin
tingginya polusi udara di daerah perkotaan, pencemaran lingkungan akibat industri dan
domestik serta pemanfaatan air bawah tanah yang sudah melebihi kemampuan alam;
d. Pencemaran dan kerusakan pesisir dan laut;
e. Pengelolaan sumber daya air yang belum terpadu dan berkelanjutan;
f. Belum optimalnya pemanfaatan dana-dana yang bersumber dari swasta (masyarakat)
seperti program CSR (Corporate Social Responsibilty);
g. Belum tersedianya sarana rehabilitasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS);
h. Rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal, yang disebabkan oleh rendahnya
keterampilan dan keahlian, serta tingginya migrasi masuk dari luar Jawa Barat;
i. Perlunya peningkatan sanitasi dasar dan kesehatan lingkungan;
j. Perlunya pemekaran pemerintahan daerah yang sesuai dengan aspirasi dari bawah serta
mengikuti mekanisme yang telah ditentukan;
k. Sektor modern (industrialisasi) berkembang pesat, menjadi magnet tingginya arus
migrasi;
l. Perlu peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di wilayah perbatasan.
4. Wilayah Bogor, dengan lingkup kerja Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten
Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Cianjur dan Kota Depok.
a. Rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur wilayah, seperti infrastruktur jalan dan
jembatan, persampahan serta air bersih;
b. Pemantapan kawasan lindung;
c. Penataan daerah otonom sesuai dengan aspirasi dari bawah serta mengikuti mekanisme
yang telah ditentukan;
d. Belum optimalnya pelayanan pemerintah terhadap wilayah bagian selatan;
e. Belum dimilikinya kelembagaan ekspor produk perikanan Jawa Barat;
f. Perlunya peningkatan penanggulangan dan pemberantasan penyakit menular;
g. Belum adanya kebijakan yang jelas tentang mitigasi dan penanggulangan bencana;
h. Perlunya pemekaran pemerintahan daerah yang sesuai dengan aspirasi dari bawah serta
mengikuti mekanisme yang telah ditentukan;
i. Belum optimalnya pengembangan agribisnis;
j. Perlunya peningkatan sanitasi dasar dan kesehatan lingkungan.
5. Wilayah Cirebon dengan lingkup kerja, Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten
Indramayu, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan.
a. Penataan daerah otonom sesuai dengan aspirasi dari bawah serta mengikuti mekanisme
yang telah ditentukan;
b. Kemiskinan penduduk pada dearah pertanian dan pesisir serta transformasi struktural
dari perdesaan ke perkotaan, trasional ke modern;
c. Keterbatasan lapangan kerja;
d. Ketimpangan sosial (RLS, AHH, Trafficking) dan ekonomi (daya beli);
e. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk;
f. Keterbatasan infrastruktur;
g. Penetapan kawasan lindung;
h. Pencemaran dan kerusakan kawasan pesisir dan laut;
i. Perlunya peningkatan sanitasi dasar dan kesehatan lingkungan;
j. Perlu peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan.
Dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, permasalahan, tantangan dan peluang
yang ada di Jawa Barat serta mempertimbangkan budaya yang hidup dalam masyarakat,
maka Visi Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2008–2013 adalah:
"Tercapainya Masyarakat Jawa Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera".
Memperhatikan visi tersebut serta perubahan paradigma dan kondisi yang akan dihadapi pada
masa yang akan datang, diharapkan Provinsi Jawa Barat dapat lebih berperan dalam
perubahan yang terjadi di lingkup nasional, regional, maupun global. Penjabaran makna dari
Visi Jawa Barat tersebut adalah sebagai berikut :
Mandiri : adalah sikap dan kondisi masyarakat Jawa Barat yang mampu memenuhi
kebutuhannya untuk lebih maju dengan mengandalkan kemampuan dan
kekuatan sendiri, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan, pelayanan publik berbasis e-government, energi,
infrastruktur, lingkungan dan sumberdaya air.
Dinamis : adalah sikap dan kondisi masyarakat Jawa Barat yang secara aktif mampu
merespon peluang dan tantangan zaman serta berkontribusi dalam proses
pembangunan.
Sejahtera : adalah sikap dan kondisi masyarakat Jawa Barat yang secara lahir dan batin
mendapatkan rasa aman dan makmur dalam menjalani kehidupan.
Dalam rangka pencapaian visi yang telah ditetapkan dengan tetap memperhatikan
kondisi dan permasalahan yang ada serta tantangan ke depan, dan memperhitungkan peluang
yang dimiliki, maka ditetapkan 5 (lima) misi sebagai berikut:
1) Misi Pertama, Mewujudkan Sumberdaya Manusia Jawa Barat yang Produktif dan
Berdaya Saing. Hal ini untuk menciptakan sosok Jawa Barat 2013 yaitu manusia Jawa
Barat yang agamis, berakhlak mulia, sehat, cerdas, bermoral, memiliki spirit juara dan
siap berkompetisi.
2) Misi Kedua, Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Regional Berbasis Potensi Lokal. Hal
ini untuk menciptakan sosok Jawa Barat 2013 yaitu ekonomi Jawa Barat yang kompetitif
dengan memanfaatkan keunggulan komparatifnya.
3) Misi Ketiga, Meningkatkan Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Wilayah. Hal ini
untuk menciptakan sosok Jawa Barat 2013 yaitu infrastruktur Jawa Barat yang siap
mendukung pertumbuhan ekonomi tinggi.
4) Misi Keempat, Meningkatkan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Untuk
Pembangunan yang Berkelanjutan. Hal ini untuk menciptakan sosok Jawa Barat 2013
yaitu lingkungan Jawa Barat yang menjamin keberlanjutan pembangunan.
5) Misi Kelima, Meningkatkan Efektifitas Pemerintahan Daerah dan Kualitas Demokrasi.
Hal ini untuk menciptakan sosok Jawa Barat 2013 yaitu pemerintahan Jawa Barat yang
dapat diandalkan untuk mengawal pembangunan.
Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, secara umum, telah dirumuskan kebijakan
pembangunan kewilayahan di Jawa Barat sebagai berikut :
1. Pemerataan pembangunan melalui pengembangan wilayah yang terencana dan
terintegrasi dengan seluruh pembangunan sektor dan tertuang dalam suatu rencana tata
ruang. Selanjutnya rencana tata ruang tersebut digunakan sebagai acuan kebijakan spasial
bagi pembangunan di setiap sektor agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi dan
berkelanjutan;
2. Peningkatan perhatian kepada wilayah tertinggal agar ketertinggalan wilayah tersebut
tidak terlalu besar bahkan dapat sejajar dengan wilayah lain yang telah lebih dulu
berkembang. Untuk itu akan dilakukan percepatan pembangunan wilayah tertinggal
melalui pendekatan peningkatan manusianya maupun sarana dan prasarananya;
3. Keseimbangan pembangunan perkotaan dan perdesaan melalui keterkaitan kegiatan
ekonomi antara perkotaan dan perdesaan. Pembangunan perkotaan diarahkan agar dapat
menjadi pusat koleksi dan distribusi hasil produksi di wilayah perdesaan. Sedangkan
pembangunan perdesaan diarahkan pada pengembangan desa-desa pusat pertumbuhan
yang akan menjadi pusat produksi agroindustri/agropolitan dan sektor lainnya sesuai
dengan ketersediaan tenaga kerja, peningkatan sumberdaya manusia di perdesaan
khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Pertumbuhan tersebut
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan daya saing
perdesaan;
4. Kerjasama antardaerah dikembangkan guna menciptakan sinergitas dan integrasi wilayah
serta efektivitas dalam pengelolaannya, khususnya di kawasan metropolitan dan
pengembangan Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Provinsi. Kerjasama
antar daerah diarahkan dalam rangka efisiensi pelayanan publik maupun pembangunan
lainnya melalui kerjasama pembiayaan, ataupun pemeliharaan dan pengelolaan sarana
dan prasarana sehingga dapat berbagi manfaat diantara daerah yang bekerjasama;
5. Peningkatan pembangunan di wilayah perbatasan sehingga wilayah perbatasan sebagai
wajah Jawa Barat dapat menjadi pintu gerbang yang mencirikan kemajuan Provinsi Jawa
Barat.
Secara khusus kebijakan pada bidang tertentu, misalnya pada : 1) Bidang Industri:
meningkatkan daya saing industri; 2) Bidang Pekerjaan Umum: a) Meningkatkan kondisi
infrastruktur sumber daya air dan irigasi untuk mendukung konservasi, pendayagunaan
sumber daya air, serta pengendalian daya rusak air; dan b) Meningkatkan kinerja pengelolaan
air minum dan air limbah; 3) Bidang Penataan Ruang: a) Menyiapkan pranata pelaksanaan
penataan ruang provinsi; b) Mengembangkan infrastruktur data spasial daerah yang
terintegrasi dalam jaringan data spasial nasional; c) Meningkatkan peran serta masyarakat,
dunia usaha, pemerintah daerah dalam pelaksanaan penataan ruang; d) Memantapkan peran
provinsi dalam koordinasi penataan ruang; 4) Bidang Lingkungan Hidup: a) Meningkatkan
upaya pemulihan dan konservasi sumberdaya air, udara hutan dan lahan; b) Mengurangi
resiko bencana; dan c) Meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka
mewujudkan provinsi yang hijau (Green Province) didukung upaya menciptakan provinsi
yang bersih (Clean Province); 5) Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa: a)
Meningkatkan partisipasi dan peran kelembagaan masyarakat desa dalam pembangunan; dan
b) Mewujudkan Desa Membangun.
Strategi untuk mengurangi dan/atau mengendalikan tingkat pencemaran, kerusakan
lingkungan, dan resiko bencana, diantaranya yaitu :
1) meningkatkan pengendalian pencemaran air dan udara dari industri dan domestik;
2) menyusun rencana penanggulangan bencana yang terarah, terpadu dan terkoordinasi di
Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pedoman bagi semua pihak dalam menangani
bencana;
3) memfasilitasi upaya penanggulangan bencana agar lebih terpadu, terarah, serta menjadi
bagian dari proses pembangunan, agar mampu menghadapi ancaman bencanadan
meminimalisasi berbagai risiko bencana yang mungkin terjadi;
4) meningkatkan keselamatan masyarakat dari ancaman berbagai bencana yang mungkin
terjadi.
Strategi untuk meningkatkan fungsi kawasan lindung Jawa Barat, diantaranya yaitu:
(1) Meningkatkan pengamanan dan pencegahan kerusakan kawasan hutan; (2) Meningkatkan
upaya pemulihan dan konservasi sumber daya air, udara, hutan dan lahan; dan (3)
Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui gerakan
rehabilitasi lahan kritis (GRLK). Mengenai arah kebijakan yang diperlukan, mencakup: (1)
Meningkatkan peran serta masyarakat desa hutan dalam pengamanan kawasan hutan melalui
upaya rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (2) Meningkatkan
fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka mewujudkan provinsi yang hijau (Green
Province) didukung upaya menciptakan provinsi yang bersih (Clean Province).
Strategi dibidang penataan ruang yang berkelanjutan, diantaranya melalui
pengembangan kerangka regulasi dalam penataan ruang dan memantapkan peran provinsi
dalam koordinasi penataan ruang. Adapun arah kebijakan yang diperlukan adalah
menyiapkan pranata pelaksanaan penataan ruang provinsi dan meningkatkan upaya
pemantauan, pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang.
Memperhatikan pemaparan tersebut di atas, tampak jelas bahwa ke depan
pertumbuhan, pengembangan, dan pembangunan industri di Jawa Barat akan terus tumbuh,
berkembang, dan maju. Namun demikian, pertumbuhan, perkembangan, dan pembangunan
industri tersebut tidak terelakkan memberi tekanan atau dampak terhadap kuantitas dan
kualitas tata ruang lingkungan hidup yang harus disikapi secara bijaksana dan berkeadilan.
B. Pemanfaatan Sungai Sebagai Sarana Pembuangan Limbah Cair Industri Dan
Dampaknya
Pengaturan baru tentang pengelolaan dan pemanfaatan Sungai secara khusus telah
diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai sebagai salah
satu peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Selain dari itu, sebelumnya telah ada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air. Saat ini telah ada PP yang lebih komprehensif dan lintas
sektoral, yaitu PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari
banyaknya kegiatan manusia yang memanfaatkan keberadaan dan fungsi sungai sebagai salah
satu sumber daya air, maka kegiatan industri merupakan salah satu kegiatan yang paling
besar pengaruhnya terhadap baik atau buruknya kualitas air sungai. Peta Wilayah Sungai di
Jawa Barat disajikan pada Gambar 4 sebagai berikut :
Gambar 4. Peta Wilayah Sungai Provinsi Jawa Barat
Sumber: Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, 2011.
Memperhatikan Gambar 4 tersebut di atas, terlihat bahwa Jawa Barat sangat kaya
dengan DAS, tidak kurang dari 40 DAS melintasi wilayah Jawa Barat yang dikelompokkan
ke dalam 6 Wilayah Sungai (WS), yaitu : 1) WS Ciliwung - Cisadane; 2) WS Cisadea -
Cibareno; 3) WS Citarum; 4) WS Cimanuk - Cisanggarung; 5) WS Citanduy; dan 6) WS
Ciwulan - Cilaki. Saat ini, kondisi sungai-sungai tersebut sangat memprihatinkan, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, mulai dari bagian hulu, tengah, hilir, hingga muara. Penurunan
fungsi dan kualitas ekosistem sungai berpotensi menjadi ancaman bencana dan malapetaka
bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan Laporan Kementerian
Lingkungan Hidup RI tahun 2010, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Jawa Barat yaitu 53,44
berada pada peringkat 23 dari 33 provinsi di Indonesia, sedangkan Indeks Pencemaran
Sungainya yaitu 23,08.
Untuk mengetahui besaran potensi dan ketersediaan sumber daya air di Jawa Barat,
dapat dilihat dalam Tabel 7 di bawah ini :
Tabel 7. Potensi Ketersediaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Barat
Sumber: Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, 2011.
Pada laporan ini, peneliti akan memfokuskan pada kondisi DAS Citarum sebagai
daerah aliran sungai terpenting dan terbesar di Jawa Barat, yang alirannya melintas mulai dari
bagian hulu di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Bekasi, dan bermuara di Kabupaten
Karawang. Hampir semua kategori industri, baik industri kecil, industri menengah, dan
apalagi industri besar yang ada di daerah-daerah tersebut, telah memanfaatkan DAS Citarum
sebagai sarana untuk membuang limbah industrinya. Untuk upaya pengendaliannya ada 2
(dua) instansi pemerintah yang terlibat langsung sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
masing-masing, yaitu: 1) Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA) Provinsi Jawa
Barat; dan 2) Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat.
Mekanisme pengendaliannya yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan, secara garis besar dilakukan melalui 4 (empat) cara, yaitu: a) Mekanisme
perizinan; b) Mekanisme pelaporan secara mandiri oleh perusahaan (industri) ke BPLHD; c)
Pemantauan langsung, baik oleh BPLHD maupun DPSDA sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya; dan d) Mekanisme Non Litigasi dan/atau Litigasi.
a) Mekanisme Perizinan
Upaya pengendalian melalui mekanisme perizinan, misalnya sebagaimana telah diatur
dalam ketentuan Pasal 36, 37, 38, 39, 40, dan 41 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengeloaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut :
Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2009 :
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib
memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan
kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi
UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan
yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2009 :
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak
permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau
UKL-UPL.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum,
kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen,
dan/atau informasi; b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum
dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-
UPL; atau c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan ole penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38 UU No. 32 Tahun 2009 :
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat
dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah
diketahui oleh masyarakat.
Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2009 :
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Pasal 41 UU No. 32 Tahun 2009 :
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan
Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Selain dari itu, untuk jenis usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup diwajibkan memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 33 UU No. 32
Tahun 2009. Untuk jenis usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk kriteria Wajib Amdal,
wajib memiliki dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 34 dan 35 UU
No. 32 Tahun 2009.
Pengaturan yang lebih teknis tentang Izin Lingkungan telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) RI No. 27 Tahun 2012 yang menggantikan PP No. 27 Tahun 1999 tentang
AMDAL. PP No. 27 Tahun 2012 tersebut disebut lebih komprehensif karena di dalamnya
mengatur tentang Amdal, UKL-UPL, dan Izin Lingkungan, yang dalam pelaksanaannya
melibatkan beberapa instansi terkait sehingga bersifat lintas sektoral.
Dalam proses penyusunan dokumen Amdal yang disusun oleh Pemrakarsa pada tahap
perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan wajib sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah setempat. Dokumen AMDAL di dalamnya mencakup 3 unsur, yaitu: 1) Kerangka
Acuan; 2) Andal; dan 3) RKL-RPL. Penyusunan dokumen AMDAL wajib menggunakan
pendekatan studi tunggal, atau terpadu, atau kawasan. Pendekatan studi tunggal dapat
dilakukan apabila Pemrakarsa merencanakan untuk melakukan 1 (satu) jenis usaha dan/atau
kegiatan yang kewenangan pembinaan dan/atau pengawasannya berada di bawah 1 (satu)
kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, satuan kerja pemerintah provinsi, atau
satuan kerja pemerintah kabupaten/kota. Jika merencanakan untuk melakukan lebih dari 1
(satu) jenis usaha dan/atau kegiatan serta kewenangan pembinaan dan/atau pengawasannya
melibatkan lebih dari 1 (satu) instansi , maka wajib menggunakan pendekatan studi terpadu.
Khusus untuk usaha dan/atau kegiatan yang perencanaan dan pengelolaannya saling terkait,
terletak dalam satu ekawasan, wajib menggunakan pendekatan studi kawasan.
Proses penyusunan dokumen Amdal harus mengikutsertakan masyarakat yang terkena
dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk
keputusan dalam proses Amdal, dapat melalui pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan,
serta melalui konsultasi publik. Pengikutsertaan masyarakat dalam proses tersebut dilakukan
sebelum penyusunan dokumen Kerangka Acuan. Pedoman yang lebih teknis tentang tata cara
pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan dokumen Amdal dan Izin Lingkungan telah
diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (PMNLH) RI No. 17 Tahun 2012.
b) Mekanisme Pelaporan Secara Mandiri Oleh Perusahaan (Industri)
Upaya pengendalian melalui mekanisme pelaporan secara mandiri (self monitoring)
oleh perusahaan ke BPLHD setempat dimaksudkan sebagai metode pembinaan dengan
memperlakukan perusahaan (industri) sebagai subyek hukum yang dalam operasional
kegiatannya sejak awal pendirian telah berkomitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip
profesionalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan tidak akan melakukan
tindakan perusakan terhadap lingkungan hidup. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa
contoh tentang bagaimana sebuah perusahaan menyusun laporan pengelolaan limbah di
perusahaannya yang kemudian dilaporkan ke BPLHD setiap bulan, saat ini mekanisme
pelaporan tersebut telah dapat dilakukan secara online melalui jaringan internet dengan
format yang sudah ditetapkan oleh BPLHD.
Tabel 8. Laporan PT Kahatex (IPAL I) Bulan Januari 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. KAHATEX (IPAL I)
ALAMAT : Jl. Raya Rancaekek
KECAMATAN : -
KAB/KOTA : Kab. Sumedang
KODE POS : -
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
GPS : -
TELEPON : -
KONTAK : -
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI TEKSTIL TERPADU
DAS : S. CIKIJING, DAS Citarum
PERIODE : 1/11/2011
KODE PARAMETER SATUAN KADAR BAKUMUTU
KADAR BEBAN (kg/ton)
BAKUMUTU BEBAN
P002 Zat Padat Tesuspensi (TSS) mg/L 13.5 Memenuhi BM 0.027 Memenuhi BM
P004 pH - 7.34 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L 16.53 Memenuhi BM 0.033 Memenuhi BM
P006 COD mg/L 35.97 Memenuhi BM 0.072 Memenuhi BM
P009 Ammonia Total (NH3-N) mg/L 5 Memenuhi BM 0.01 Memenuhi BM
P017 Sulfida (S) mg/L 0.155 Memenuhi BM 0 Memenuhi BM
P019 Minyak dan Lemak mg/L 1.8 Memenuhi BM 0.004 Memenuhi BM
P024 Phenol Total mg/L 0.2 Memenuhi BM 0 Memenuhi BM
P033 Kromium Total (Cr) mg/l 0.02 Memenuhi BM 0 Memenuhi BM
DEBIT m3/ton 2 Memenuhi BM
Tabel 9. Laporan PT Indorama Synthetics (Divisi Polimer)
Bulan Januari 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. Indorama Synthetics (Divisi Polimer)
ALAMAT : Jl. Kembang Kuning, Ubrug
KECAMATAN : Jatiluhur
KAB/KOTA : Kab. Purwakarta
KODE POS : -
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI TEKSTIL TERPADU
DAS : CITARUM
PERIODE : 1/24/2011
KODE PARAMETER SATUAN KADAR
BAKUMUTU
KADAR
BEBAN
( )
BAKUMUTU
BEBAN
P002
Zat Padat
Tesuspensi (TSS) mg/L 12.2 Memenuhi BM 5.795 Tidak Memenuhi BM
P004 pH - 7.65 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L 11.86 Memenuhi BM 5.634 Memenuhi BM
P006 COD mg/L 37.82 Memenuhi BM 17.965 Tidak Memenuhi BM
P009
Ammonia Total
(NH3-N) mg/L 0.5 Memenuhi BM 0.238 Memenuhi BM
P017 Sulfida (S) mg/L 0.02 Memenuhi BM 0.01 Memenuhi BM
P019 Minyak dan Lemak
mg/L 0.002 Memenuhi BM 0.001 Memenuhi BM
P033 Kromium Total (Cr) mg/l 0.01 Memenuhi BM 0.005 Memenuhi BM
DEBIT m3/ton 475
Tidak
Memenuhi BM
Ket : tidak mencantumkan volume produksi (di asumsikan nilainya 1
'satu')
Tabel 10. Laporan PT Kertas Bekasi Teguh Bulan Maret 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. Kertas Bekasi Teguh
ALAMAT : Jl. Perjuangan Komp. Teluk Buyung
KECAMATAN : -
KAB/KOTA : Kota Bekasi
KODE POS : -
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
GPS : -
TELEPON : -
KONTAK : -
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI KERTAS KASAR
DAS : Citarum
PERIODE : 3/16/2011
Tabel 11. Laporan PT Pupuk Kujang Bulan Desember 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. Pupuk Kujang
ALAMAT : Jl. Jend. A. Yani No. 39 41373
KECAMATAN : -
KAB/KOTA : Kab. Karawang
KODE POS : -
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
GPS : ;
TELEPON : -
KONTAK : -
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI PUPUK UREA
DAS : CITARUM
PERIODE : 1/12/2011
VOLUME LIMBAH : 6059 m3/hari
VOLUME PRODUKSI/BAHAN : 3073 ton/hari
KODE PARAMETER SATUAN KADAR
P002 Zat Padat Tesuspensi (TSS) mg/L 105
P004 pH - 8.97
P006 COD mg/L 64
P009 Ammonia Total (NH3-N) mg/L 58.56
KODE PARAMETER SATUAN KADAR
BAKUMUTU
KADAR
BEBAN
( )
BAKUMUTU
BEBAN
P002
Zat Padat
Tesuspensi (TSS) mg/L 82 Tidak Memenuhi BM 497.65 Tidak Memenuhi BM
P004 pH - 6.01 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L 19.13 Memenuhi BM 116.098 Tidak Memenuhi BM
P006 COD mg/L 51.81 Memenuhi BM 314.43 Tidak Memenuhi BM
DEBIT m3/ton 6068.9 Tidak Memenuhi BM
Ket : tidak mencantumkan volume produksi (diasumsikan nilainya 1 'satu')
P011 TKN mg/L 78.12
P019 Minyak dan Lemak mg/L 0.2
Ket. : Pengisian data tidak lengkap
Tabel 12. Laporan PT Surya Cipta Swadaya Bulan April 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. Surya Cipta Swadaya
ALAMAT : Jl. Surya Lestari Kawasan Industri Surya Cipta
KECAMATAN : Ciampel
KAB/KOTA : Kab. Karawang
KODE POS : -
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
GPS : 107 35 15.0 E ; 006 32 07.0 S
TELEPON : -
KONTAK : -
JENIS INDUSTRI : Kawasan Industri
DAS : CITARUM
PERIODE : 4/14/2011
KODE PARAMETER SATUAN KADAR
BAKUMUTU
KADAR
BEBAN
( )
BAKUMUTU
BEBAN
P002
Zat Padat
Tesuspensi (TSS) mg/L 20 Memenuhi BM 48.014 Tidak Memenuhi BM
P004 pH - 6.75 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L
Tidak Memenuhi BM
P008
Ammonia Bebas
(NH3-N) mg/L 4.09 Memenuhi BM 9.819 Tidak Memenuhi BM
P016 Sulfida (H2S) mg/L 0.057 Memenuhi BM 0.137 Tidak Memenuhi BM
P019 Minyak dan Lemak mg/L 13.68 Memenuhi BM 32.842 Tidak Memenuhi BM
P022 Detergen (MBAS) mg/L 0.003 Memenuhi BM 0.007 Memenuhi BM
P023 Phenol mg/L 0.006 Memenuhi BM 0.014 Memenuhi BM
P031 Kadmium (Cd) mg/L 0.002 Memenuhi BM 0.005 Memenuhi BM
P033 Kromium Total (Cr) mg/l 0.02 Memenuhi BM 0.048 Memenuhi BM
P034
Kromium
Heksavalen (CrVI) mg/L 0.02 Memenuhi BM 0.048 Tidak Memenuhi BM
P037 Nikel (Ni) mg/L 0.02 Memenuhi BM 0.048 Tidak Memenuhi BM
P039 Seng (Zn) mg/L 0.94 Memenuhi BM 2.257 Tidak Memenuhi BM
P041 Timbal (Pb) mg/L 0.05 Memenuhi BM 0.12 Tidak Memenuhi BM
P042 Tembaga (Cu) mg/L 0.01 Memenuhi BM 0.024 Memenuhi BM
DEBIT m3/Ha 2400.7
Tidak Memenuhi
BM
Ket : tidak mencantumkan volume produksi (di asumsikan nilainya'satu')
Tabel 13. Laporan PT Arnotts Indonesia Bulan Maret 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. Arnotts Indonesia
ALAMAT : Jl. H. Wahab Arfan No. 8
KAB/KOTA : Kota Bekasi
KODE POS : 17550
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI LAIN-5
DAS : Citarum
PERIODE : 3/9/2011
KODE PARAMETER SATUAN KADAR
BAKUMUTU
KADAR
BEBAN
( )
BAKUMUTU
BEBAN
P054 Nitrit mg/L 0.124 Memenuhi BM 0.015 Tidak Memenuhi BM
P001 Temperatur oC 30 Memenuhi BM - -
P002
Zat Padat
Tesuspensi (TSS) mg/L 28 Memenuhi BM 3.276 Tidak Memenuhi BM
P003
Zat Padat Terlarut
(TDS) mg/L 1276 Memenuhi BM 149.292 Tidak Memenuhi BM
P004 pH - 8.31 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L 20 Memenuhi BM 2.34 Tidak Memenuhi BM
P006 COD mg/L 27 Memenuhi BM 3.159 Tidak Memenuhi BM
P008
Ammonia Bebas
(NH3-N) mg/L 0.01 Memenuhi BM 0.001 Tidak Memenuhi BM
P010 Nitrat (NO3-N) mg/L 12.3 Memenuhi BM 1.439 Tidak Memenuhi BM
P013
Chlorine
bebas(Cl2) mg/L 0.01 Memenuhi BM 0.001 Tidak Memenuhi BM
P016 Sulfida (H2S) mg/L 0.002 Memenuhi BM 0 Tidak Memenuhi BM
P019 Minyak dan Lemak mg/L 0.8 Memenuhi BM 0.094 Tidak Memenuhi BM
P024 Phenol Total mg/L 0.001 Memenuhi BM 0 Tidak Memenuhi BM
P028 Arsen (As) mg/L 0.005 Memenuhi BM 0.001 Tidak Memenuhi BM
P030 Besi (Fe) mg/L 0.06 Memenuhi BM 0.007 Tidak Memenuhi BM
P031 Kadmium (Cd) mg/L 0.003 Memenuhi BM 0 Tidak Memenuhi BM
P034
Kromium
Heksavalen (CrVI) mg/L 0.01 Memenuhi BM 0.001 Tidak Memenuhi BM
P035 Mangan (Mn) mg/L 0.02 Memenuhi BM 0.002 Tidak Memenuhi BM
P037 Nikel (Ni) mg/L 0.02 Memenuhi BM 0.002 Tidak Memenuhi BM
P039 Seng (Zn) mg/L 0.01 Memenuhi BM 0.001 Tidak Memenuhi BM
P041 Timbal (Pb) mg/L 0.01 Memenuhi BM 0.001 Tidak Memenuhi BM
P042 Tembaga (Cu) mg/L 0.02 Memenuhi BM 0.002 Tidak Memenuhi BM
DEBIT m3/ton 117
Tidak
Memenuhi BM
Ket : tidak mencantumkan volume produksi (diasumsikan nilainya 1 'satu')
Tabel 14. Laporan PT Insan Sandang Internusa Bulan Juni 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. INSAN SANDANG INTERNUSA
ALAMAT : Jl. Raya Rancaekek Km. 22,5
KECAMATAN : Cimanggung
KAB/KOTA : Kab. Sumedang
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
GPS : ;
TELEPON : -
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI TEKSTIL TERPADU
DAS : S.CITARIK
PERIODE : 6/14/2011
KODE PARAMETER SATUAN KADAR
BAKUMUTU
KADAR
BEBAN
( )
BAKUMUTU
BEBAN
P002
Zat Padat
Tesuspensi (TSS) mg/L 21.33 Memenuhi BM 31.144 Tidak Memenuhi BM
P004 pH - 7.5 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L 29.2 Memenuhi BM 42.635 Tidak Memenuhi BM
P006 COD mg/L 68.59 Memenuhi BM 100.148 Tidak Memenuhi BM
P009
Ammonia Total
(NH3-N) mg/L 5 Memenuhi BM 7.301 Tidak Memenuhi BM
P017 Sulfida (S) mg/L 0.02 Memenuhi BM 0.029 Memenuhi BM
P019
Minyak dan
Lemak mg/L 1.8 Memenuhi BM 2.628 Tidak Memenuhi BM
P024 Phenol Total mg/L 0.2 Memenuhi BM 0.292 Tidak Memenuhi BM
P033
Kromium Total
(Cr) mg/l 0.02 Memenuhi BM 0.029 Memenuhi BM
DEBIT m3/ton 1460.1
Tidak
Memenuhi BM
Ket : tidak mencantumkan volume produksi (di asumsikan nilainya 1
'satu')
Tabel 15. Laporan PT Tanabe Indonesia Bulan Mei 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. Tanabe Indonesia
ALAMAT : Jl. Rumah Sakit No. 104
KECAMATAN : Cinambo
KAB/KOTA : Kota Bandung
KODE POS : -
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
GPS : ;
TELEPON : -
KONTAK : -
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI FARMASI PROSES PEMBUATAN BAHAN FORMULA
DAS : CITARUM
PERIODE : 5/11/2011
KODE PARAMETER SATUAN KADAR
BAKUMUTU
KADAR
BEBAN
( )
BAKUMUTU
BEBAN
P002
Zat Padat
Tesuspensi (TSS) mg/L 22 Memenuhi BM 225.94 Tidak Memenuhi BM
P004 pH - 7.6 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L 56 Memenuhi BM 575.12 Tidak Memenuhi BM
P006 COD mg/L 150 Memenuhi BM 1540.5 Tidak Memenuhi BM
P012 Nitrogen Total (N) mg/L 6.12 Memenuhi BM 62.852 Tidak Memenuhi BM
P023 Phenol mg/L 0.031 Memenuhi BM 0.318 Tidak Memenuhi BM
DEBIT L/mg 10270
Tidak
Memenuhi BM
Ket : tidak mencantumkan volume produksi (di asumsikan nilainya 1
'satu')
Tabel 16. Laporan PT Kimia Farma Bulan Mei 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. Kimia Farma
ALAMAT : JL. Pajajaran No. 29-31
KECAMATAN : -
KAB/KOTA : Kota Bandung
KODE POS : -
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
GPS : ;
TELEPON : -
KONTAK : -
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI FARMASI PROSES PEMBUATAN
BAHAN FORMULA
DAS : CITARUM
PERIODE : 5/4/2011
KODE PARAMETER SATUAN KADAR
BAKUMUTU
KADAR
BEBAN
( )
BAKUMUTU
BEBAN
P002
Zat Padat
Tesuspensi
(TSS) mg/L 29 Memenuhi BM 0.761 Tidak Memenuhi BM
P004 pH - 7.5 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L 63 Memenuhi BM 1.652 Tidak Memenuhi BM
P006 COD mg/L 138 Memenuhi BM 3.62 Tidak Memenuhi BM
P012
Nitrogen Total
(N) mg/L 2.94 Memenuhi BM 0.077 Tidak Memenuhi BM
P023 Phenol mg/L 0.003 Memenuhi BM 0 Tidak Memenuhi BM
DEBIT L/mg 26.23
Tidak
Memenuhi BM
Tabel 17. Laporan PT Dactex Indonesia Bulan Mei 2011
STATUS MUTU AIR LIMBAH
NAMA PERUSAHAAN : PT. DACTEX INDONESIA
ALAMAT : Jl. Tarajusari No. 201
KECAMATAN : Banjaran
KAB/KOTA : Kab. Bandung
KODE POS : 40377
PROPINSI : Prov. Jawa Barat
GPS : ;
TELEPON : 0225940163/5940164
KONTAK : Petrus Eddie S/M. Wiyono/Subagri
JENIS INDUSTRI : INDUSTRI TEKSTIL DYEING
DAS : CITARUM
PERIODE : 5/5/2011
KODE PARAMETER SATUAN KADAR BAKUMUTU
KADAR BEBAN (kg/ton)
BAKUMUTU BEBAN
P002 Zat Padat Tesuspensi (TSS) mg/L 49 Memenuhi BM 8.01 Tidak Memenuhi BM
P004 pH - 7.4 Memenuhi BM
P005 BOD mg/L 52 Memenuhi BM 8.5 Tidak Memenuhi BM
P006 COD mg/L 139 Memenuhi BM 22.721 Tidak Memenuhi BM
P009 Ammonia Total (NH3-N) mg/L 2.76 Memenuhi BM 0.451 Tidak Memenuhi BM
P017 Sulfida (S) mg/L 0.14 Memenuhi BM 0.023 Tidak Memenuhi BM
P019 Minyak dan Lemak mg/L 0.4 Memenuhi BM 0.065 Tidak Memenuhi BM
P024 Phenol Total mg/L 0.006 Memenuhi BM 0.001 Memenuhi BM
P033 Kromium Total (Cr) mg/l 0.006 Memenuhi BM 0.001 Memenuhi BM
DEBIT m3/ton 163.462 Tidak Memenuhi BM
Dengan memperhatikan contoh data laporan-laporan dari perusahaan-perusahaan
tersebut di atas, pada satu sisi sebenarnya pada umumnya pihak perusahaan sudah patuh
mengikuti prosedur pelaporan pengelolaan limbah di perusahaannya, namun pada sisi yang
lain, pihak perusahaan belum bersungguh-sungguh dalam mengatasi kualitas limbah
perusahaannya yang masih rendah yang pada umumnya Tidak Memenuhi Baku Mutu Beban.
Dapat dibayangkan bagaimana akibatnya, ketika limbah cair industri yang kualitasnya rendah
tersebut langsung digelontorkan ke DAS Citarum. Dengan kondisi obyektif seperti itu, maka
dapat difahami jika kemudian masyarakat mengungkapkan aspirasinya dalam media massa
atau berunjuk rasa menyatakan bahwa mutu air DAS Citarum rusak berat dan mengancam
Ket : tidak mencantumkan volume produksi (di asumsikan nilainya
1 'satu')
kelangsungan hidup beragam makhluk hidup yang ada di dalam ekosistem DAS Citarum
termasuk manusia di dalamnya.
DAS Citarum sebagai daerah aliran sungai yang terdiri atas dua atau lebih ekosistem,
pengelolaannya harus dilakukan secara terpadu untuk mencapai pembangunan DAS secara
berkelanjutan. Makna keterpaduan mencakup tiga dimensi, yaitu: 1) dimensi sektoral, artinya
perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi
pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal; 2) dimensi keilmuan, artinya pengelolaan
DAS Citarum harus dilaksanakan dengan pendekatan iterdisipliner atau multidisipliner,
misalnya melibatkan berbagai bidang ilmu terkait, ilmu ekologi, ekonomi, hukum, teknik,
sosiologi, dan bidang ilmu lainnya yang relevan, karena di dalam DAS terdiri dari sistem
alam dan sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis; dan 3) dimensi ekologis,
artinya DAS pada dasarnya tersusun dari berbagai ekosistem (hutan, kebun, sawah, sungai,
permukiman, dan lain-lain) yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling
kebergantungan, tidak berdiri sendiri.
c) Mekanisme Pemantauan Langsung
Untuk tingkat Provinsi Jawa Barat, ada 2 instansi yang memiliki kewenangan
melakukan pemantauan secara langsung kualitas air sungai dan pengelolaan limbah industri.
Pemantauan secara langsung untuk mengetahui tingkat kualitas air sungai biasanya dilakukan
oleh Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA) Provinsi Jawa Barat, dan pemantauan
secara langsung untuk mengetahui tingkat kualitas pengelolaan limbah industri biasanya
dilakukan oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat.
Sebagai salah satu contoh, pemantauan secara langsung untuk mengetahui tingkat
kualitas air sungai yang dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (DPSDA)
Provinsi Jawa Barat melalui Balai PSDA Wilayah Sungai Citarum yang dalam teknisnya
diantaranya pernah bekerjasama dengan Laboratorium Lingkungan Keairan Balai
Lingkungan Keairan Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Air, sebagai berikut :
1. Pada Lampiran 1 (Sumber: Balai PSDA Wilayah Sungai Citarum, 2010) :
Laboratorium Lingkungan Keairan atas permintaan pelanggannya yaitu Balai PSDA
Wilayah Sungai Citarum: a) Pada tanggal 7 sampai dengan 20 Oktober 2010 telah
melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Cikapundung-Maribaya, Sungai Cilamaya-
Wanayasa, Sungai Cilamaya- Peundeuy; b) Pada tanggal 5 sampai dengan 18 Oktober
2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Citarum-Majalaya, Sungai
Citarum-Wangisagara; c) Pada tanggal 8 sampai dengan 20 Oktober 2010 telah melakukan
pemeriksaan kualitas air Sungai Cikeruh-Cikuda, Sungai Cikijing-Hulu, Sungai Cimande--
Hulu; d) Pada tanggal 11 sampai dengan 20 Oktober 2010 telah melakukan pemeriksaan
kualitas air Sungai Cimande Hilir, Sungai Cikijing-Hilir, Sungai Citarum-Sapan; e) Pada
tanggal 12 sampai dengan 20 Oktober 2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air
Sungai Cirasea-Ciparay, Sungai Citarik-Sapan, Sungai Cikeruh-Sapan; f) Pada tanggal 14
sampai dengan 25 Oktober 2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai
Cipamokolan-Ciwastra, Sungai Cipamokolan-Soekarno Hatta, Sungai Citepus-Cisirung; g)
Pada tanggal 15 sampai dengan 25 Oktober 2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air
Sungai Cidurian-Bodogol, Sungai Cikapundung-Pasirluyu; h) Pada tanggal 18 sampai
dengan 29 Oktober 2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Cikapundung-
Dayeuhkolot, Sungai Cisangkuy-Dayeuhkolot, Sungai Citarum-Dayeuhkolot, Sungai
Cisangkuy-Cimaung, Sungai Citarum-Cilampeni; i) Pada tanggal 19 sampai dengan 29
Oktober 2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Cibeureum-Brujul, Sungai
Citarum-Nanjung, Sungai Cimahi-Leuwigajah; j) Pada tanggal 1 sampai dengan 11
Oktober 2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Citarum-Bendung Curug,
Sungai Citarum-Bendung Walahar; k) Pada tanggal 4 sampai dengan 14 Oktober 2010
telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Citarum-Tanjungpura, Sungai Citarum-
Rengasdengklok.
2. Pada Lampiran 2 (Sumber: Balai PSDA Wilayah Sungai Citarum, 2010) :
Laboratorium Lingkungan Keairan atas permintaan pelanggannya yaitu Balai PSDA
Wilayah Sungai Citarum: a) Pada tanggal 10 sampai dengan 18 Agustus 2010 telah
melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Cimahi-Leuwigajah; b) Pada tanggal 12
sampai dengan 22 Agustus 2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai
Citarum-Bendung Curug, Sungai Citarum-Bendung Walahar, Sungai Citarum-
Tanjungpura, Sungai Citarum-Rengasdengklok, Sungai Cilamaya-Peundeuy, Sungai
Cilamaya-Wanayasa, Sungai Cikapundung-Maribaya; c) Pada tanggal 10 sampai dengan
18 Agustus 2010 telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Cisangkuy-Cimaung,
Sungai Citarum-Cilampeni, Sungai Cibeureum-Brujul, Sungai Citarum-Nanjung, Sungai
Citepus-Cisirung, Sungai Cikapundung-Dayeuhkolot, Sungai Cisangkuy-Dayeuhkolot,
Sungai Citarum-Dayeuhkolot, Sungai Cikapundung-Pasirluyu, Sungai Cimahi-
Leuwigajah, Sungai Citarum-Brujul; d) Pada tanggal 11 sampai dengan 19 Agustus 2010
telah melakukan pemeriksaan kualitas air Sungai Cidurian-Bodogol, Sungai Cikijing-
Hulu, Sungai Cimande-Hulu, Sungai Cimande-Hilir, Sungai Cikijing-Hilir, Sungai
Citarum-Sapan, Sungai Cirasea-Ciparay, Sungai Citarik-Sapan, Sungai Cikeruh-Sapan,
Sungai Cipamokolan-Ciwastra, Sungai Cipamokolan-Soekarno Hatta, Sungai Cikeruh-
Cikuda; e) Pada tanggal 9 sampai dengan 18 Agustus 2010 telah melakukan pemeriksaan
kualitas air Sungai Citarum-Majalaya, Sungai Citarum-Wangisagara, Sungai Citarum-
Majalaya.
3. Pada Lampiran 3 (Sumber: Balai PSDA Wilayah Sungai Citarum, 2010) :
Laboratorium Lingkungan Keairan atas permintaan pelanggannya yaitu Balai PSDA
Wilayah Sungai Citarum: a) Pada tanggal 9 sampai dengan 23 Juli 2010 telah melakukan
pemeriksaan kualitas air Sungai Cimahi-Leuwigajah, Sungai Citarum-Nanjung, Sungai
Cibeureum-Burujul, Sungai Citarum-Cilampeni, Sungai Cisangkuy-Hulu, Sungai
Cisangkuy-Dayeuh Kolot, Sungai Citarum-Dayeuhkolot, Sungai Cikapundung
Dayeuhkolot, Sungai Citepus-Cisirung, Sungai Cikapundung-Pasirluyu, Sungai Cikeruh-
Cikuda, Sungai Cikijing-Hulu, Sungai Cimande-Hulu, Sungai Cimande-Hilir, Sungai
Cikijing-Hilir, Sungai Cidurian-Bodogol, Sungai Cipamokolan-Soekarno Hatta, Sungai
Cipamokolan-Ciwastra, Sungai Cikeruh-Sapan, Sungai Citarik-Sapan, Sungai Citarum-
Sapan, Sungai Cirasea-Ciparay, Sungai Citarum-Majalaya, Sungai Citarum-Wangisagara,
Sungai Citarum-Bendung Curug, Sungai Citarum-Bendung Walahar, Sungai Citarum-
Tanjungpura, Sungai Citarum-Rengasdengklok, Sungai Cilamaya-Peundeuy, Sungai
Cilamaya-Wanayasa, Sungai Cikapundung-Maribaya.
Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat hanya berwenang mengumpulkan data hasil
penelitian kualitas air sungai sebagaimana dipaparkan di atas, sedangkan yang berwenang
menetapkan kondisi sungai tercemar berat, tercemar sedang, atau tercemar ringan berada
pada BPLHD Provinsi Jawa Barat.
d) Mekanisme Non Litigasi dan Litigasi
Mekanisme Non Litigasi dimulai dengan langkah-langkah pendahuluan berupa
pemberian sanksi administratif. Ketentuan Pasal 76 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
menegaskan : (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan; (2) Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis,
b. paksaan pemerintah, c. pembekuan izin lingkungan, d. pencabutan izin lingkungan.
Lebih lanjut Ketentuan Pasal 77 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 menegaskan
bahwa Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak
menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius dibidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 78 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 lebih
menegaskan lagi, bahwa penjatuhan sanksi administratif tersebut tidak membebaskan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Jika langkah-langkah pendahuluan melalui pemberian sanksi administratif ternyata
tidak efektif, maka dapat dilanjutkan melalui upaya Non Litigasi yaitu penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan yang tujuannya menemukan solusi melalui upaya
perdamaian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 85 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
sebagai berikut : (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan
pemulihan untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran; c. tindakan pemulihan akibat
pencemaran dan/atau perusakan; d. tindakan untuk mencegah dampak negatif terhadap
lingkungan hidup; (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak
pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini; (3) Dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator
dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000 tentang
Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan, menyatakan bahwa isi kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian
sengketa dapat berupa antara lain: 1) Bentuk dan besarnya ganti kerugian; 2) Melakukan
tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup. Kedua hal tersebut merupakan upaya pendekatan ekonomi dan ekologi
dalam penyelesaian permasalahan lingkungan hidup.
Jika segala daya dan upaya melalui upaya Non Litigasi tersebut masih tidak
membuahkan hasil (gagal), maka sengketa tersebut dapat diteruskan melalui mekanisme
Litigasi di Pengadilan, sebagai contoh sebagaimana dalam berkas perkara (terlampir), yaitu
perkara dugaan tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT Karawang Prima
Sejahtera Steel (PT KPSS) yang diwakili oleh sdr. Wang Dong Bing.
C. Existing Condition Pengelolaan Industri Terintegrasi di Jawa Barat
Pengelolaan Industri Terintegrasi dimaknai sebagai pengelolaan industri yang
diintegrasikan dengan prinsip, kaidah, dan norma yang berlaku dalam pengelolaan sumber
daya air, kesehatan, lingkungan sosial budaya, dan pemanfaatan teknologi, sebagai
perwujudan komitmen pihak perusahaan (industri) yang selain berkewajiban melakukan
Mitigasi Fisik juga berkewajiban melakukan Mitigasi Sosial.
Di bawah ini, akan dikemukakan salah satu contoh konsep penerapan Pengelolaan
Industri Terintegrasi (PIT) pada Industri Inti Pulp dan Kertas:
• Permasalahan yang dihadapi: a) Masih rendahnya tingkat efisiensi dan produk-tivitas
industri; b) Masih terbatasnya penggunaan bahan baku yang berasal dari non-hutan alam; c)
Terbatasnya tenaga ahli dibidang pulp dan kertas; d) Kurangnya inovasi untuk
menghasilkan produk-produk kertas hilir; e) Adanya kesenjangan pasokan bahan baku
kayu.
• Industri pulp dan kertas memiliki sasaran pengembangan untuk jangka mene-ngah, yaitu
antara lain meningkatnya penggunaan bahan baku alternatif eks perkebunan dan
peningkatan ekspor, sedangkan untuk jangka panjang adalah meningkatnya secara bertahap
pemanfaatan bahan baku yang sesuai SFM.
• Pokok-pokok rencana aksi jangka menengah yang akan dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan sasaran tersebut antara lain meningkatkan penerapan ISO 9000 dan ISO
14000 serta pengembangan pasar ekspor. Sementara itu pokok-pokok rencana aksi yang
akan dilaksanakan untuk jangka panjang adalah memaksimalkan penggunaan bahan baku
dari hutan tanaman dan bahan baku non kayu. Pengembangan industri pulp dan kertas perlu
ditunjang oleh infrastruktur ekonomi yang memadai seperti teknologi, SDM, infrastruktur
dan pasar. Kerangka pengembangan industri pulp dan kertas secara lengkap dapat dilihat
pada Gambar 5. Keberhasilan pendekatan klaster dalam pengembangan industri pulp dan
kertas sangat tergantung dari efektifitas hubungan kerjasama antara pemerintah dan dunia
usaha (Public-Private Partnership) dan keterkaitannya. Untuk mengefektifkan kerjasama
dan koordinasi tersebut diperlukan adanya kelembagaan yang mendorong komunikasi
secara rutin dan berkesinambungan. Secara rinci, peran dari masing-masing pemangku
kepentingan dan kerangka keterkaitannya industri pulp dan kertas dapat dilihat pada
Gambar 6 dan Tabel 19. Pengembangan klaster industri pulp dan kertas dilakukan di
beberapa daerah. Secara rinci lokasi pengembangan klaster tersebut dapat dilihat pada
Gambar 7, berturut-turut sebagai berikut :
Gambar 5. Kerangka Pengembangan Industri Pulp dan Kertas
Sumber : Disperindag Jabar, 2013
Gambar 6. Peran Dari Masing-Masing Pemangku Kepentingan Dan Kerangka
Keterkaitannya
Sumber : Disperindag Jabar, 2013
Tabel 19. Peran Dari Masing-masing Pemangku Kepentingan dan Kerangka
Keterkaitannya Industri Pulp dan Kertas
Sumber : Disperindag Jabar, 2013
Gambar 7. Lokasi Pengembangan Klaster Industri Pulp Dan Kertas
Sumber : Disperindag Jabar, 2013
Dengan memperhatikan pemaparan tersebut di atas, di dalam konsep Pengelolaan
Industri Terintegrasi (PIT) ada komitmen pihak perusahaan (industri) untuk menerapkan ISO
14000 bidang lingkungan hidup, yang pelaksanaan dari komitmen tersebut sangat penting
untuk mendukung terjaminnya pelaksanaan Mitigasi Fisik dan Mitigasi Sosial.
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Provinsi Jawa Barat sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya telah melakukan penilaian atas kinerja perusahaan-perusahaan
(industri) dalam pengendalian pencemaran terkait limbah cair industrinya, yang dituangkan
dalam Hasil Proper Periode 2011-2012.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, menetapkan bahwa urusan bidang lingkungan hidup menjadi Kewenangan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan kriteria
eksternal, akuntabilitas dan efisiensi. Dalam pelaksanaan urusan pemerintah di bidang
lingkungan hidup, Menteri memandang perlu untuk menyelenggarakan dekonsentrasi bidang
lingkungan hidup kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. Salah satu kegiatan yang
dilaksanakan secara Dekonsentrasi adalah Pengawasan pengendalian pencemaran air dan
pengendalian pencemaran udara serta pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3) melalui mekanisme PROPER.
PROPER adalah program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam mengelola
lingkungan hidup. Program PROPER bertujuan untuk mendorong perusahaan taat terhadap
peraturan lingkungan hidup dan mencapai keunggulan lingkungan (environmental
excellency). Penilaian kinerja berdasarkan pada kriteria penilaian PROPER yang terdiri atas :
1) Kriteria ketaatan dalam aspek pengendalian pencemaran air, pengendalian pencemaran
udara, pengelolaan limbah B3 dan penerapan AMDAL yang digunakan untuk pemeringkatan
biru, merah dan hitam; 2) Kriteria penilaian aspek lebih dari yang dipersyaratkan (beyond
complience) untuk pemeringkatan hijau dan emas.
Mulai tahun 2010-2011 Pemerintah Propinsi mulai dilibatkan dalam kegiatan
PROPER dengan supervisi dari Kementerian Lingkungan Hidup dengan menggunakan
mekanisme dan kriteria pengawasan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan mulai tahun 2011-2012 Pemerintah Provinsi diberi kewenangan sampai pada pemberian
peringkat Biru, Merah dan Hitam.
Peserta PROPER untuk periode 2011-2012 secara nasional adalah sebanyak 1317
industri dan yang berasal dari Jawa Barat sebanyak 185 industri sedangkan jumlah industri
yang menjadi kewenangan penilaian BPLHD Prov. Jawa Barat adalah sebanyak 104 industri.
Sebagaian besar peserta PROPER dari Jawa Barat berasal dari industri tekstil, makanan dan
minuman, energi geothermal dan pelapisan logam. Hasil penilaian PROPER periode 2011-
2012 untuk industri di Jawa Barat dari 187 industri adalah sebagai berikut : 1) 5 industri
meraih peringkat Emas; 2) 22 industri meraih peringkat Hijau; 3) 121 industri meraih
peringkat Biru; 4) 28 industri meraih peringkat Merah; 5) 5 industri meraih peringkat Hitam;
6) 3 industri peringkatnya tidak dikeluarkan.
Hasil penilaian PROPER tersebut memperlihatkan adanya kesungguhan dari pihak
Pemerintah untuk terus mendorong dan membina perusahaan-perusahaan (industri) dalam
melakukan Mitigasi Fisik. Bagaimana dengan kondisi pelaksanaan Mitigasi Sosialnya?
Tolok ukur pelaksanaan Mitigasi Sosial dijalankan melalui program Pemberdayaan
Masyarakat (Community Development) yang dalam bahasa peraturan perundang-undangan
saat ini disebut dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR).
Acuan tentang Corporate Social Responsibility (CSR) berstandar internasional
terdapat dalam ISO 26000. Dasar Hukum Pelaksanaannya di Indonesia dan khususnya di
Jawa Barat, sebagai berikut: 1) UU No. 40 /2007 Tentang Perseroan Terbatas; 2) PP No
47/2012 Tentang Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP); 3)
UU No. 19/2007 Tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN; 4)
Peraturan Menteri Negara BUMN No. 05/2007 tentang Pelaksanaan Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan/PKBL; 5) Perda Prov Jabar No. 02/2013 : TJSL & PKBL di Jabar; 6)
Pergub No. 30/2011 Tentang Fasilitasi Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
(TJSLP) di Jabar; 7) Keputusan Gubernur No. 536/Kep.791/Bapp/-2011 : Tim Fasilitasi
TJSLP di Jabar; 8) Kep Gub No. 536/Kep.792/Bapp/2011 : Duta CSR Jbr (3Tahun).
Motto CSR di Provinsi Jawa Barat yang difasilitasi oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat (Bappeda Jabar) : Jabar Maju Bersama
“Mitra”. Pola kerja CSR/PKBL dengan mitra : bersinergi program derajat tinggi, koordinasi
derajat rendah (sinergi & koordinasi via web.csr-jabar.com). Pola perencanaan CSR dengan
mitra : mitra CSR/PKBL membuat perencanaan dengan melakukan sinkronisasi terhadap
perencanaan pembangunan Jawa Barat di seluruh kabupaten/kota, dikelola oleh mitra
CSR/PKBL dan dilaporkan kepada pengelola CSR/PKBL Jabar. Struktur organisasi fasilitasi
penyelenggaraan CSR di jabar dan struktur tim fasilitasi CSR di Jabar sebagaimana pada
Gambar 8 dan Gambar 9 berikut :
Gambar 8. Struktur Organisasi Fasilitasi Penyelenggaraan CSR di Jabar
Sumber : Bappeda Jabar, 2013
Gambar 9. Struktur Tim Fasilitasi CSR Di Jabar
Sumber : Bappeda Jabar, 2013
Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 536/kep.792/bapp/2011, telah terbentuk
susunan personalia Duta CSR di Jawa Barat, yaitu : Hendra Lesmana (Ketua Himpunan
Kawasan Industri), Nenny Soemawinata (Managing Director Putera Sampoerna
Foundation), Syafik Umar (PT Pikiran Rakyat), Tina Talisa (Presenter TV).
Komponen Penyangga Sinergi Program CSR di Jawa Barat terdiri dari 4 (empat)
komponen, yaitu : 1) Regulator (Pemerintah); 2) Mitra CSR Jawa Barat (BUMN, BUMD,
Swasta); 3) Penerima Manfaat (Masyarakat); dan 4) Implementator atau Pelaksana
(Perseroan Terbatas, Yayasan, Rumah Zakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain).
Maksud dari program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP/CSR)
yaitu memaduselaraskan program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan
(TJSLP/CSR) serta Program Kemitraan dan Bina Linkungan (PKBL) dari kalangan
SWASTA, BUMN, BUMD dalam rangka optimasi program pembangunan di Jawa Barat,
sedangkan tujuannya yaitu : 1) Sinkronisasi dan peningkatan kerjasama pembangunan
Pemerintah dan swasta melalui pengembangan CSR/PKBL, dan memperluas Kemitraan
Pembangunan di Jawa Barat; dan 2) Tercapainya akselerasi dan penguatan program
CSR/PKBL di kalangan Swasta, BUMN, BUMD melalui pemanfaatan program yang
ditawarkan oleh Pemerintah.
Fokus sasaran CSR/PKBL di Jawa Barat diorientasikan untuk mendukung sukses
pencapaian Tujuan MDG‟s di Indonesia, yaitu : 1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan;
2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3) Mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan; 4) Menurunkan kematian anak; 5) Meningkatkan kesehatan ibu;
6) Mengendalikan HIV dan AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; 7) Menjamin
kelestarian lingkungan hidup; 8) Mengembangkan kemitraan pembangunan di tingkat global.
Sasaran program CSR/PKBL di Jawa Barat, yaitu : 1) Bidang Pendidikan : a) rehab
dan pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) sekolah; b) peningkatan sarana dan prasarana
pengajaran; c) peningkatan kapasitas Tenaga Pendidik; d) pemberian beasiswa; 2) Bidang
Kesehatan : a) rehab dan pembangunan sarana dan prasarana kesehatan (puskemas, poned);
b) pengadaan alat kesehatan; c) peningkatan kualitas tenaga kesehatan; d) peningkatan
kesehatan lingkungan; 3) Bidang Bina Lingkungan : a) pencegahan polusi dan penanaman
pohon; b) penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan; c) mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim; d) proteksi dan restorasi lingkungan; 4) Bidang Peningkatan Daya Beli
(Ekonomi) : a) GEMAR (Gerakan Multiaktivitas Agribisnis); b) GAPURA (Gerakan
Pengembangan Perikanan Pantai Utara dan Muara Pantai Selatan); c) GEMPITA (Gerakan
Pengembangan dan Perlindungan Pasar Tradisional); d) Pengembangan KUMKM; 5) Bidang
Infrastruktur Kota dan Desa : pembangunan jalan, rumah tinggal layak huni (rutilahu), air
bersih, sanitasi dan energi; 6) Bidang Pengembangan Lainnya : sosial, industri, PSDA, dan
lain-lain.
Kondisi capaian fasilitasi CSR/PKBL JABAR Tahun 2012 : 1) Bidang pendidikan,
rencana : 1000 RKB, realisasi : 228 RKB berasal dari 45 perusahaan (BUMD, BUMN,
Swasta); 2) Bidang kesehatan, rencana : 50 puskesmas poned, realisasi : 9 unit puskesmas
poned di Jatiwangi Kabupaten Majalengka berasal dari PT BANK BJB; 3) Bidang linkungan,
realisasi : penanaman 100.000 pohon sepanajang sungai citarum (BUMN KARYA). Nilai
proyek CSR-PKBL di Jabar tahun 2011-212 dari 45 perusahaan yang telah menyampaikan
informasinya, dengan jumlah CSR direct sebesar 137 milyar rupiah, dan CSR dalam bentuk
indirect sebesar 429 milyar rupiah, sehingga total CSR/PKBL Jabar tahun 2011-2012
ekuivalen sebesar 566 milyar rupiah.
Dengan capaian CSR/PKBL Jawa Barat tersebut, Gubernur Jawa Barat mendapat
penghargaan, diantaranya sebagai berikut : 1) CSR Award untuk Gubernur Jawa Barat pada
acara The Indonesian CSR Summit 2011, 2012, 2013; 2) 25 apresiasi/cindera mata dari
kunker provinsi lainnya; 3) web.csr-jabar.com; 4) CSR For Indonesia Sustainability Award
2011, Gubernur Jawa Barat menginisiasi terbentuknya model fasilitasi CSR, berhasil
mengatasi persoalan kesehatan, pendidikan, dan lingkungan, bekerjasama dengan perusahaan
Melalui CSR, Pola Kemitraan ini mulai banyak ditiru oleh daerah-daerah lain untuk
mengembangkan kondisi kesejahteraan masyarakat; 5) The Indonesian CSR Summit 2012,
Gubernur Jawa Barat telah berjasa mengembangkan Kemitraan Strategis dengan perusahaan
dalam Tim Fasilitasi CSR Jawa Barat Untuk Pendidikan, Kesehatan dan Lingkungan; 6)
Konferensi Nasional CSR Tahun 2013, Gubernur Jawa Barat menginisiasi terbentuknya
model fasilitasi CSR, berhasil mengembangkan CSR Jabar sebagai model Forum CSR yang
ditiru karena melalui forum ini perusahaan bersinergi dalam pembangunan daerah, tidak ada
penggalangan dana tetapi perusahaan didorong untuk melaksakan sendiri pada daerah
pemangku kepentingannya.
Walaupun diakui bahwa pelaksanaan CSR memperlihatkan adanya kemajuan, namun
manfaatnya masih belum difokuskan pada masyarakat di sekitar DAS yang secara faktual
setiap saat berpotensi terkena dampak dari terjadinya pencemaran sungai oleh industri. Selain
dari itu, masih terdapat perbedaan pandangan tentang cara menerapkan CSR antara pihak
perusahaan (industri), pemerintah, maupun masyarakat, sehingga data di lapangan masih
menunjukkan bahwa sebagian besar pelaksanaan CSR perusahaan (industri) masih belum
terintegrasi.
D. Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pemanfaatan
Sungai Untuk Mewujudkan Pengelolaan Industri Terintegrasi di Jawa Barat
Penelitian ini dilakukan untuk menyesuaikan paradigma peruntukan (fungsi) sungai
tertentu, dari peruntukan secara tradisional sebagai sarana pengairan dan kebutuhan keluarga
menjadi juga sebagai sarana pembuangan akhir Limbah Cair Industri dalam mewujudkan
Pengelolaan Industri Terintegrasi, serta mendorong lahirnya paradigma baru pengelolaan
lingkungan hidup, yaitu : hukum harus menyesuaikan terhadap karakteristik alam dan
masyarakat suatu daerah yang secara faktual berbeda antara kondisi di daerah yang satu
dengan daerah yang lainnya, dengan mengkonstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan
Masyarakat (Comdev) dan Pengelolaan Industri Terintegrasi (PIT) di Provinsi Jawa
Barat, sebagai sebuah resolusi konflik di Jawa Barat, sebagaimana diformulasikan pada
Gambar 10 berikut :
Gambar 10. Skema Konstruksi Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat (Comdev) dan Pengelolaan
Industri Terintegrasi (PIT) di Provinsi Jawa Barat
Penelitian ini dilakukan untuk menjamin terwujudnya keseimbangan kepentingan
antara dunia usaha (industri), masyarakat, dan Pemerintah dalam rangka pemberdayaan
masyarakat sekitar DAS di Jawa Barat. Dengan dilaksanakannya Mitigasi Fisik dan Mitigasi
Sosial secara konsisten oleh pihak Perusahaan (Industri) yang difasilitasi oleh Pemerintah,
maka Pemidanaan Korporasi dapat dihindari bahkan dikesampingkan (Depenalisasi). Dengan
Mitigasi Fisik yang konsisten akan menghasilkan kondisi Sungai Bersih, dan dengan
Mitigasi Sosial yang konsisten akan menghasilkan Masyarakat Sekitar DAS Sejahtera.
Pihak perusahaan (industri) diuntungkan karena terhindar dari tuntutan masyarakat, dan
PENAMBAHAN
FUNGSI SUNGAI (Sumber Konflik)
STAKEHOLDERS (MASYARAKAT)
MODEL
KOLABORASI COMDEV & PIT
JABAR
MITIGASI
FISIK
MITIGASI
SOSIAL
DEPENALISASI
PERUSAHAAN (INDUSTRI)
bahkan pada akhirnya akan mendapat dukungan besar dari masyarakat, sesuatu yang sangat
dibutuhkan oleh perusahaan (industri) untuk menjamin kelangsungan proses produksi.
Masyarakat (stakeholders) juga diuntungkan, karena terhindar dari dampak pencemaran
sungai serta mendapat stimulan untuk mendongkrak tingkat kesejahteraannya. Pada akhirnya,
Pemerintah pun diuntungkan, karena sebagian program pembangunan yang sudah
dicanangkannya dapat terealisasi.
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Pada Tahun II atau Tahap II yang diharapkan sebagai tahap lanjutan dari penelitian
Tahun I ini merupakan upaya pengembangan dan Penerapan Model Kolaborasi
Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan Industri Terintegrasi yang sesuai dengan
karakteristik alam dan masyarakat Jawa Barat. Pada tahun kedua tersebut akan dilakukan
sosialisasi, adaptasi, dan Penerapan Model Kolaborasi Pemberdayaan Masyarakat dan
Pengelolaan Industri Terintegrasi tersebut. Pada tahap dua ini, akan dilakukan upaya
terpadu dalam rangka meyakinkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut,
supaya dengan sukarela dapat menerapkan konstruksi model tersebut bagi upaya
penyelesaian menyeluruh konflik kepentingan yang sudah berlangsung lama dan nyaris tidak
terkendali, yang pada awalnya dipicu oleh adanya isu lingkungan hidup, yaitu terjadinya
penambahan fungsi sungai tertentu dari fungsi tradisionalnya sebagai sarana pengairan dan
kebutuhan keluarga menjadi juga berfungsi sebagai sarana pembuangan akhir limbah cair
industri.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian tersebut di atas, akhirnya peneliti sampai
pada kesimpulan sebagai berikut :
1. Konstruksi model kolaborasi pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan sungai untuk
mewujudkan pengelolaan industri terintegrasi di Provinsi Jawa Barat didasarkan pada
prinsip Semua Untung. Fisik sungai dengan keseluruhan ekosistem biotik dan abiotik
yang ada di dalamnya diuntungkan, karena sasaran dari konstruksi model ini mewujudkan
Sungai Bersih terbebas dari pencemaran limbah cair industri. Perusahaan (industri)
diuntungkan, karena konstruksi model ini mewajibkan kepada perusahaan (industri)
memiliki Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) berstandar internasional dan/atau
minimal berstandar nasional Indonesia, sehingga air limbah industri yang dibuang ke
sungai sudah dalam kondisi dapat ditoleransi oleh ekosistem sungai, yang pada akhirnya
perusahaan terhindar dari tuntutan masyarakat. Masyarakat dan seluruh pemangku
kepentingan lainnya (stakeholders) diuntungkan, karena dengan mitigasi fisik yang
konsisten dan jujur menjadi terhindar dari dampak pencemaran sungai serta dengan
mitigasi sosial yang tulus mendapat stimulan untuk mendongkrak tingkat
kesejahteraannya. Pemerintah pun diuntungkan, karena sebagian program pembangunan
yang sudah dicanangkannya dapat terealisasi, yaitu terjaganya kelestarian lingkungan
sungai, terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitar DAS, dan terjaminnya
kelangsungan proses produksi perusahaan (industri).
2. Konstruksi model kolaborasi pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan sungai untuk
mewujudkan pengelolaan industri terintegrasi di Provinsi Jawa Barat membolehkan
kepada perusahaan (industri) untuk membuang air limbah industrinya ke sungai, dengan
syarat perusahaan (industri) memiliki Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL)
berstandar internasional dan/atau minimal berstandar nasional Indonesia, serta konsisten
dan jujur dalam penggunaannya dengan mendapat pengawasan dan pembinaan yang
profesional dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa
Barat serta instansi terkait lainnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, akhirnya peneliti mengajukan beberapa
saran sebagai berikut :
1. Bagi perusahaan (industri), memiliki Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) berstandar
internasional dan/atau minimal berstandar nasional Indonesia haruslah dipandang sebagai
kebutuhan, artinya tidak boleh dipandang sebagai beban. Akan lebih tepat dan bijak, jika
biaya pengadaan dan biaya operasional penggunaan IPAL berstandar internasional
dan/atau berstandar nasional Indonesia tersebut dimasukkan sebagai investasi perusahaan
(industri) untuk jangka panjang, artinya biaya-biaya tersebut tidak dimasukkan sebagai
biaya produksi. Dengan pemahaman yang seperti itu, maka pihak perusahaan tidak akan
terbebani oleh persoalan persaingan usaha yang biasanya berawal dari persoalan biaya
produksi. Dalam kondisi seperti apapun, keberadaan IPAL berstandar internasional
dan/atau berstandar nasional Indonesia, bagi perusahaan (industri) akan menjadi
kebutuhan yang harus selalu ada dan berkinerja prima.
2. Bagi masyarakat, ketika perusahaan (industri) mulai memahami dan mulai merealisasikan
pentingnya memiliki IPAL berstandar internasional dan/atau berstandar nasional
Indonesia, maka diharapkan masyarakat turut mendukung upaya cerdas tersebut dengan
cara tidak membuang limbah domestik (limbah rumah tangga, limbah kotoran ternak, dan
lain-lain) ke sungai. Ketika perusahaan (industri) sudah mampu berbuat benar dan bijak,
tidak mencemari sungai lagi dengan limbah cair industrinya, maka masyarakat pun
diharapkan mampu berbuat benar dan bijak, tidak membuang limbah domestiknya lagi ke
sungai, supaya upaya mewujudkan Sungai Bersih tidak sia-sia.
3. Bagi Pemerintah, sebagai pihak regulator dan/atau fasilitator pembangunan, diharapkan
terus meningkatkan kemampuan profesionalnya dalam melakukan pengawasan,
pengendalian, dan pembinaan terhadap kinerja perusahaan (industri) untuk memastikan
dipatuhinya kewajiban menggunakan IPAL berstandar internasional dan/atau berstandar
nasional Indonesia. Ketegasan dan kejujuran dalam menjalankan tugas tersebut sangat
diperlukan, untuk memastikan perusahaan (industri) tidak lalai lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Addinul Yakin, 1997, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Akademika Presindo, Jakarta.
Agus Salim, 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial dari Denzin Guba dan
Penerapannya, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Bagir Manan, 1999, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah, FH Unpad,
Bandung.
Chedar Alwasilah, 2002. Pokoknya Kualitatif; Dasar-Dasar Merancang dan Melaku-kan
Penelitian Kualitatif, Pustakan Jaya, Jakarta.
Daryanto, 2004, Masalah Pencemaran, Tarsito, Bandung.
Daud Silalahi, 2001, Metodologi Penelitian Hukum-Preferensi Khusus Pada Pendekat-an
Multi/Interdisipliner, Lawencon Copy & Binding Centre, Bandung.
Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakan Hukum Ling-kungan
Indonesia, Alumni, Bandung.
Daud Silalahi, 2003, Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan Lingkungan Hidup di
Indonesia, edisi kedua, Alumni, Bandung.
Etty Riani, 2012, Perubahan Iklim dan Kehidupan Biota Akuatik (Dampak pada
Bioakumulasi Bahan Berbahaya dan Beracun & Reproduksi, IPB Press, Bogor.
Heribertus Sutopo, 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif; Dasar-dasar Teoretis dan Praktis,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Heri Risnayadi dkk, 2008, Perancangan Pabrik Pengolahan Pangan, Widya Padjadjaran,
Bandung.
Harry Hikmat, 2004, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora, Bandung.
Hefni Effendi, 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Ling-kungan
Perairan, Kanisius, Yogyakarta.
H.R. Mulyanto, 2007, Sungai, Fungsi dan Sifat-sifatnya, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Indro Sugianto, 2013, Class Action, Konsep dan Strategi Gugatan Kelompok Untuk
Membuka Akses Keadilan Bagi Rakyat, Setara Press, Malang.
I. Supardi, 1994, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Alumni, Bandung.
John Lock, Two Treatises of Government, 1690 dalam Harold H. Titus, et.al., Living Issues in
Philosophy, alih bahasa : H.M. Rasjidi, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, Bulan
Bintang, Jakarta.
Jonny Purba, 2005, Pengelolaan Lingkungan Sosial, Yayasan OBOR Indonesia, Jakarta.
Jujun S. Suriasumantri, 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik; Sebuah
Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini, Gramedia, Jakarta.
J. Vredenbregt, 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
Kaelan, 2005. Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat: Paradigma bagi Pengem-bangan
Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum
dan Seni, Paradigma Yogyakarta.
Kusnaka Adimihardja & Harry Hikmat, 2004, Participatory Research Appraisal Dalam
Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat, Humaniora, Bandung.
Lili Rasjidi & Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Matthew B Miles & A. Michel Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber
tentang Metode-metode Baru, UI Press, Jakarta.
M. Antonius Birowo, 2004. Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi, Gitanyali,
Jogyakarta.
Munir Fuady, 2013, Teori-teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta.
Nasution, 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.
NHT Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Ed. 2, Erlangga,
Jakarta.
Otto Soemarwoto, 1997, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.
------------------------, 2001, Atur Diri Sendiri,Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
-------------------------, 2001, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah University
Press, Yogyakarta.
Rafael Edy Bosko, 2006, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber
Daya Alam, ELSAM, Jakarta.
Robert Bogdan dan Steven J Taylor, 1993. Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian, Usaha
Nasional Surabaya.
Syamsul Arifin, 2011, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia, PT Sofmedia, Medan.
Schhrecker, T.F., 1985, Political Economy of Environmental Hazards, Law Reform
Commission of Canada, Ottawa.
Suripin, 2001, Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Andi, Yogyakarta.
Valerie J. Janesick, 1994. The Dance of Qualitative Research Design; Metaphor,
Methodolartry, and Meaning, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln,
Hand Book of Qualitatif Research, Sage Publication, California.
Wisnu Arya Wardhana, 2001, Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi, Yogyakarta.
Zoer‟aini Djamal Irwan, 2003, Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas
& Lingkungan, Bumi Aksara, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN
Tahun 2008 No. 69, TLN No. 4851).
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (LN Tahun 2004 No. 32).
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
PP No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (LN Tahun 1982 No. 37, TLN No.
3225).
PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
PP No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Kepres No. 83 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keppres No. 123 Tahun 2001 tentang
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air.
Kepmen No. KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Ling-
kungan.
Kepmen No. KEP-14/MENLH/3/94 tentang Pedoman Umum Penyusunan AMDAL.
Kepmen No. KEP-42/MENLH/11/94 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit
Lingkungan.
Permen Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2010 tentang Audit Lingkungan Hidup.
Permen Negara Lingkungan Hidup No. 1 Tahun 2012 tentang Program Menuju Indonesia
Bersih.
Permen Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Permen Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan
Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.
LAMPIRAN