ikterus klmpk 8
-
Upload
angkawinata -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
description
Transcript of ikterus klmpk 8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap ibu yang telah melahirkan menginginkan anaknya lahir dalam keadaan sehat dan tidak
ada kelainan – kelainan pada bayi tersebut. Tetapi keinginan tersebut tidak akan diperoleh
oleh setiap ibu. Karena sebagian kecil ada yang lahir dalam keadaan abnormal. Misalnya
anak lahir dengan BBLR, ikterus, hidrosefalus, dan kelainan – kelainan lainnya.
Hal ini di sebabkan oleh banyak faktor pencetusnya. Seperti kurang teraturnya antenatal care
ibu saat hamil, asupan gizi yang kurang baik pada ibu maupun pada janin yang di kandung,
atau penyakit yang diturunkan oleh ibu sendiri.
Kemudian kurangnya pengetahuan ibu untuk mengenali tanda – tanda kelainan yang
mungkin timbul pada bayi baru lahir. Seperti bayi dengan ikterus, dimana kebanyakan ibu
membawa bayinya ke Rumah Sakit dalam derajat yang tinggi. Sebagaimana kita ketahui
bahwa ikterik itu terjadinya dimulai dari wajah. Di sini jelas bahwa kurangnya pengetahuan
ibu atau orang tua tentang ikterus tersebut, kemudian kurangnya memperoleh pelayanan
kesehatan dari tenaga kesehatan. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman lebih lanjut
mengenai penyakit ikterus khususnya adalah eritroblastosis fetalis.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mandiri blok tumbuh kembang
dan juga untuk mempelajari salah satu kelainan pada neonatus.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANAMNESIS
Anamnesis merupakan :
Cara tercepat menuju diagnosis
Kunci menuju diagnosis
Didapat data subyektif (rinci)
Jarang sugestif
Dikenal 2 jenis anamnesis yaitu :
1. Auto-anamnesis (langsung pada pasien)
2. Alo-anamnesis (pada orangtua/ sumber lain)1
Sistematika dalam anamnesis
1. Identitas paisen
Nama (nama keluarga)
Umur/usia
Neonatus/bayi
Balita/prasekolah
Sekolah
Akil balik
Jenis kelamin
Nama orangtua
Umur/pendidikan/pekerjaan orangtua
Agama dan suku1
2. Keluhan utama
Keluhan/gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat
Tidak harus sejalan dengan diagnosis utama
3. Riwayat perjalanan penyakit sekarang
2
Cerita kronologis, rinci, jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan sampai
dibawa berobat
Pengobatan sebelumnya dan hasilnya(macam obat, dll)
Tindakan sebelumnya(suntikan,penyinaran)
Reaksi alergi
Perkembangan penyakit-gejala sisa/cacat
Riwayat penyakit pada anggota keluarga, tetangga
Riwayat penyakit lain yang pernah diderita sebelumnya1
4. Riwayat penyakit dahulu pada anamnesis gejala ikterus
Pranatal
Kesehatan maternal: pengobatan, perdarahan vagina, durasi kehamilan
Natal
- Sifat persalinan dan kelahiran
- Berat badan lahir
- Skor APGAR pada menit I danV
Neonatal
- Usaha resusitasi
- Sianosis
- Ikterus
- Infeksi dan perlekatan.
5. Riwayat keluarga
Riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya1.
2.2 PEMERIKSAAN FISIK
Ikterus
Dicari stigmata sirosis (rontoknya rambut aksila dan pubis, spider naevi, gynkomastia,
asites, caput medussae, palmar eritem, liver nail, pitting edema), scratch effect.
Hepar teraba atau tidak. Hepar membesar pada hepatitis, Ca hepar, obstruksi bilier,
bendungan hepar akibat kegagalan jantung. Hepar mengecil pada sirosis.
Kandung empedu membesar atau tidak. Positif bila kantung empedu tampak
membesar, biasanya pada keganasan karena dilatasi kandng empedu. Negatif bila
3
kantung empedu tidak tampak membesar, biasanya pada obstruksi batu karena adanya
proses inflamasi pada dinding kantung empedu 2.
2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan perlu dilakukan, baik pada bayi maupun ibu:
1. Pemeriksaan kadar bilirubin indirek
Kadar normal bilirubin pada neonatus adalah
Neonatus matur
Dalam keadaan normal kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah
sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari5 mg/dl/24
jam.
Dengan demikian ikterus baru terlihatpada hari ke2-3, biasanya mencapaipuncaknya
antara hari ke2-4, dengan kadar5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya
lebih rendah dari2 mg/dl antara lainpada hari ke5-7 kehidupan. Ikterus akibatperubahan
ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah
janin yang disertaipembatasan sementarapada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Neonatus premature
Bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat
daripadapada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama,pada umumnya
mengakibatkan kadar yang lebih tinggi,puncaknya dicapai antara hari ke4-7,pola yang
akan diperlihatkan bergantungpada waktu yang diperlukan oleh bayipreterm mencapai
pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12
mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah
hari ke-10.
2. Deteksi sensitisasi
Bila secara ilmiah terjadiperlekatan antibody IgM pada antigen yang sesuaipada membrane
eritrosit, mereka akan menyebabkan sel beraglutinasi bila mereka disuspensikan dalam salin.
Ini merupakan metode standar mendeteksi antibody ini ketika darah digolongkan.
3.Uji antiglobulin indirek dan direk
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi antibody IgG yang dapat melewati plasenta
dan
4
menyebabkan eritroblastosis fetalis. Diperlukan reagen Coombs yang merupakan antibody
terhadap IgG manusia untuk memeriksa antibody dalam serum ibu hamil ataupada sel
neonatus. Bila IgG berikatan dengan antigenpada eritrosit dan reagen coombs ditambahkan,
maka reagen itu akan berikatan dengan IgG dan mengaglutinasi sel.
4. Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi
Bila daripemeriksaan sediaan hapus darah tepi ditemukan adanyapenghancuran eritrosit
disertai dengan adanya retikulositosis danpeningkatan bilirubin indirek dari
hasilpemeriksaan laboratorium maka ini merupakan tanda adanya hemolisis.
5.Skrinning akan adanya infeksi prenatal, natal dan postnatal sesuai indikasi dan gejala2.
2.4 WORKING DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis pasti eritroblastosis fetalis, maka perlu dibuktikan adanya
ketidakcocokan golongan darah dan adanya antibody yang sesuai, yang terikat pada eritrosit
bayi3.
Gambar 1. Keadaan janin dan plasenta pada Eritroblastosis fetalis berat.
5
Diagnosis Antenatal
Pada wanita Rh negatif, riwayat tentang transfusi sebelumnya, keguguran atau kehamilan
sebelumnya, memberi petunjuk kemungkinan terjadinya sensitisasi. Golongan darah orang
tua yang menunggu kelahinran bayi handaknya diuji untuk menemukan kemungkinan
adanya ketidakcocokan dan titer antibody IgG aktif-albumin terhadap D dalam darah ibu
harus diukur pada minggu ke 12-16, 28-32, dan ke 32. Adanya titer antibody dalam albumin,
yang dapat diukur, yang ditemukan pada permulaan kehamilan, kenaikan titer yang cepat
atau titer sebesar 1:64 atau yang lebih besar lagi member petunjuk adanya penyakit hemolitik
yang cukup berarti, walaupun titer yang tepat tersebut kurang mempunyai relevansi dengan
keparahan penyakit. Jika ibu ditemukan mempunyai antibody terhadap D dengan titer
sebesar 1:16 atau lebih besar, pada setiap saat selama kehamilan berikutnya, maka
keparahan janin seharusnya dipantau melalui amniosentesis 3. Jika terdapat riwayat
tentang bayi yang terkena gangguan dari kehamilan sebelumnya atau kelahiran mati, maka
bayi rhesus positif biasanya akan mengalami gangguan yang sama atau bahkan lebih parah
lagi dibandingkan bayi yang lahir dari kehamilan sebelumnya dan keparahan penyakit itu
pada janin hendaknya terus diikuti melalui amniosentesis berulang. Ultrasonografi
diperlukan untuk menentukan apakah terdapat hidrops fetalis 3
Amniosentesis : Analisis sprektrofotometrik yang dilakukan atas pigmen-pigmen empedu
dalam cairan ketuban, yang diperoleh melalui aspirasi rahim transabdominal, yang dikerjakan
setelah penentuan letak plasenta dengan ultrasound terbukti merupakan cara yang pada
umumnya aman dan dapat dipercaya untuk meramalkan keparahan dan perkembangan
hemolisis janin3.
Diagnosis Postnatal
Segera setelah kelahiran bayi yang berasal dari ibu rhesus negatif, darah yang berasal
dari tali pusat atau yang diambil dari bayi hendaknya diperiksa untuk menentukan
golongan darah ABO, Rhesus, hematokrit dan hemoglobin dan reaksi tes Coombs
langsung. Jika Coombs positif, maka harus dilakukan tindakan agar bilirubin serum berada
pada garis dasar dan tersedia panel eritrosit secara komersial3, hendaknya digunakan untuk
mengenali sebanyak mungkin antibody eritrosit spesifik yang terdapat dalam serum ibu.
6
Tindakan ini tidak hanya dilakukan untuk mengenali antibody terhadap antigen D, tetapi juga
terhadap sekelompok antigen lain dan akan membantu memastikan pemilihan darah yang
paling cocok untuk transfusi tukar, kalau tindakan ini perlu dilakukan. Tes Coombs langsung
biasanya memberikan hasil positif kuat pada bayi yang secara klinis jelas terkena gangguan
dan dapat tetap demikian selama beberapa hari sampai beberapa bulan3.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang
dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar
hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg
%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi3
2.5 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. Sepsis : Sepsis adalah infeksi berat yang umumnya disebabkan oleh bakteri, yang
bisa berasal dari organ-organ dalam tubuh seperti paru-paru, usus, saluran kemih atau kulit
yang menghasilkan toksin/racun yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang
organ dan jaringan tubuh sendiri.
Tanda dan Gejala
Sepsis pada bayi baru lahir memiliki gejala yang bervariasi. Umumnya bayi terlihat tidak
seperti biasanya. Gejala sepsis pada bayi baru lahir : tidak mau minum ASI atau muntah,
suhu tubuh >38oC diukur melalui anus atau lebih rendah dari normal, suhu tubuh
tidak stabil, rewel, lemas dan tidak responsive, tidak aktif bergerak, perubahan
frekuensi jantung (cepat pada awal sepsis kemudian pelan pada sepsis lanjutan),
bernapas sangat cepat atau kesulitan bernapas, ada saat bayi henti napas lebih dari 10
detik, perubahan warna kulit (pucat atau biru), kuning pada kulit dan mata, ruam
kemerahan dan kurang produksi urin4.
2.Rubella : Rubella (German measles)
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili Togaviridae dan genus
Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena adanya kontak dengan sekret orang yang
terinfeksi; pada wanita hamil penularan ke janin secara intrauterin. Masa inkubasinya
7
rata-rata 16-18 hari. Periode prodromal dapat tanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan
terasa lemah, demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva5.
Penyakit ini agak berbeda dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin bila
didapat saat kehamilan pertengahan pertama, makin awal (trimester pertama) ibu hamil
terinfeksi rubela makin serius akibatnya pada bayi yaitu kematian janin intrauterin, abortus
spontan, atau malformasi kongenital pada sebagian besar organ tubuh (kelainan bawaan):
katarak, lesi jantung, hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningo-ensefalitis,
khorioretinitis, hidrosefalus, miokarditis, dan lesi tulang. Sedangkan infeksi setelah masa itu
dapat menimbulkan gejala subklinik misalnya khorioretinitis bertahun-tahun setelah bayi
lahir. Pencegahan antara lain dengan cara isolasi penderita guna mencegah penularan,
pemberian vaksin rubela, dan semua kasus rubela harus dilaporkan ke institusi yang
berwenang5.
3.Toksoplasmosis
Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii
dan biasa menyerang binatang menyusui, burung, dan manusia. Pola transmisinya ialah
transplasenta pada wanita hamil, mempunyai masa inkubasi 10-23 hari bila penularan
melalui makanan (daging yang dimasak kurang matang) dan 5-20 hari bila penularannya
melalui kucing. Bila infeksi ini mengenai ibu hamil trimester pertama akan menyebabkan
20% janin terinfeksi toksoplasma atau kematian janin, sedangkan bila ibu terinfeksi pada
trimester ke tiga 65% janin akan terinfeksi. Infeksi ini dapat berlangsung selama
kehamilan 6.
Manifestasi klinis yang mungkin terjadi ialah: hepatosplenomegali, ikterus, petekie,
meningoensefalitis, khorioretinitis, mikrosefali, hidrosefalus, kalsifikasi intra-kranial,
miokarditis, lesi tulang, pnemonia, dan rash makulopapular Pencegahan dapat dilakukan
antara lain dengan cara: memasak daging sampai matang, menggunakan sarung tangan baik
saat memberi makan maupun membersihkan kotoran kucing, dan menjaga agar tempat
bermain anak tidak tercemar kotoran kucing.
`4. Sitomegalovirus ( Cytomegalovirus=CMV)
8
Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus, subfamili betaherpesvirus, famili
herpesviridae. Penularannya lewat paparan jaringan, sekresi maupun ekskresi tubuh yang
terinfeksi (urine, ludah, air susu ibu, cairan vagina, dan lain-lain). Masa inkubasi penyakit
ini antara 3-8 minggu. Pada kehamilan infeksi pada janin terjadi secara intrauterin. Pada
bayi, infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan gejalanya pada minggu ke tiga
hingga ke dua belas; jika didapat pada masa perinatal akan mengakibatkan gejala yang berat 6
Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat; sebagian besar wanita telah
terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan tidak mengakibatkan gejala yang berarti.
Tetapi bila seorang wanita baru terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan
menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai berikut:
hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy,
mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai
tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai retardasi
psikomotor maupun kehilangan pendengaran.
Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan cara: menjaga kebersihan terutama sesudah
buang air besar, menghindari transfusi darah pada bayi dari ibu seronegatif dengan darah yang
berasal dari donor seropositif, dan menghindari transplantasi organ tubuh dari donor
seropositif ke resipien seronegatif.
5. Herpes simpleks ( Herpervirus hominis)
Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus (HSV); ada 2 tipe HSV yaitu tipe 1 dan
2. Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan hanya terjadi pada bayi karena adanya
kontak dengan lesi genital yang infektif; sedangkan HSV tipe 2 merupakan herpes genitalis
yang menular lewat hubungan seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara imunologi.
Masa inkubasi antara 2 hingga 12 hari. Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali
misalnya pada kulit dan membran mukosa juga pada mata 7.
Pada bayi infeksi ini didapat secara perinatal akibat persalinan lama sehingga virus ini
mempunyai kesempatan naik melalui membran yang robek untuk menginfeksi janin. Gejala
pada bayi biasanya mulai timbul pada minggu pertama kehidupan tetapi kadang-kadang baru
9
pada minggu ke dua-tiga. Manifestasi kliniknya: hepatosplenomegali, ikterus, petekie,
meningoensefalitis, khorioretinitis, mikrosefali, dan miokarditis.
Pencegahan antara lain dengan cara: menjaga kebersihan perseorangan dan pendidikan
kesehatan terutama kontak dengan bahan infeksius, menggunakan kondom dalam aktifitas
seksual, dan penggunaan sarung tangan dalam menangani lesi infeksius7.
6. Hepatitis Neonatal
Suatu nama yang bersifat umum untuk penyakit hepar pada masa bayi baru lahir dan dapat
disebabkan oleh infeksi maupun oleh bukan infeksi. Hepatitis neonatal yang idiopatis ini
mencakup bayi-bayi ikterus obtruktiva(hiperbilirubinemia oleh bilirubin direk) tanpa
tanda-tanda klinis hepatitis virus8. Tanda dini penyakit ini adanya ikterus akibat penumpukan
bilirubin direk. Ikterus dapat terjadi pada waktu lahir dengan peninggian kadar bilirubin
direk pada darah umbilicus. Biasanya terdapat hepatomegali, selain itu dapat ditemukan
splenomegali. Obstruksi total bilirubin dapat terjadi yang ditandai dengan feses yang akolis 8.
7. Inkompatibilitas ABO
Penderita ikterus akibat hemolisis inkompatibilitis golongan darah ABO lebih sering
ditemukan di Indonesia dari pada inkompatibilitas Rh. Transfusi tukar darah pada neonatus
di Jakarta terutama ditujukan di Jakarta untuk mengatasi hiperbilirubinia karena defisiensi
G6PD dan inkompatibilitas ABO. Ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua dan
sifatnya biasanya ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemia nya ringan, hepar dan lien tidak
membesar. Ikterus dapat menghilang dalam beberapa hari. Kalau hemolisisnya berat,
seringkali diperlukan juga transfusi darah untuk mencegah terjadinya kern-ikterus.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan kadar bilirubin serum sewaktu-waktu 9.
2.6 PATOFISIOLOGI
Penyakit hemolisis pada bayi baru lahir. Penyakit hemolisis pada sel darah merah bayi baru
lahir mungkin disebabkan oleh antibodi ibu. Hal ini hanya akan terjadi bila terdapat
inkompatibilitas antara darah ibu dan janin. Ikterus hemolitik yang menimbulkan masalah
10
paling berat adalah akibat inkompatibilitas rhesus 8. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin
dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan
fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada
eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi
tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah
janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut
dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan
anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi
dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti
banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan 9.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang
selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas
ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya
untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400
antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting
sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi
menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya
terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin 9
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya
karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus
positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat
melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan
bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi
tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu.
Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.
Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus9.
11
Gambar 2. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.
2.7 ETIOLOGI
Etiologi ikterus pada BBL dapat berdiri sendiri atau pun disebabkan oleh beberapa faktor. Secara
garis besar etiologi itu dapat dibagi sebagai berikut.
1. Produksi yang berlebihan, lebih daripada kemampuan bayi untuk mengeluarkannya
misalnya pada : hemolisis yang meningkatkan pada inkompatibilitas darah Rh,
ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, pyruvat kinase, perdarahan
tertutup, dan sepsis 9.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh
imaturasi hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar
akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil trensferase
(Criggler Najjar Sindrom). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel hepar.
3. Gangguan transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya
salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat
bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak 9.
12
4. Gangguan dalam ekskrsi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
di luar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain9.
2.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar
bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/encefalopati
biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus tersebut. Pengendalian bilirubin juga
dapat dilakukan dengan mengusahakan agar kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan
megusahakan mempercepat proses konjugasi.
A. Medika mentosa
Fenobarbital. Meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini
akan mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada
ibu dengan dosis 90 mg/24 jam beberapa hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir
dengan dosis 5 mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukan pemberian
fenobarbital pada ibu untuk beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan
cukup bulan atau kurang bulan dapat mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia.
Namun karena efeknya pada metabolisme bilirubin biasanya belum terwujud sampai
beberapa hari setelah pemberian obat dan oleh karena keefektifannya lebih kecil
dibandingkan fototerapi, dan mempunyai efek sedatif yang tidak diinginkan dan tidak
menambah respon terhadap fototerapi, maka fenobarbital tidak dianjurkan untuk
pengobatan ikterus pada bayi neonatus9.
Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase
dengan pemberian obat seperti luminal atau fenobarbital. Pemberian substrat yang
dapat menghambat matabolisme bilirubin ( plasma atau albumin ), mengurangi sirkulasi
enterohepatik ( pemberian kolesteramin ), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan
tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
13
B. Non-medika mentosa
Transfusi Tukar
Kalau keadaan klinik bayi waktu lahir tidak menunjukan diperlukannya transfusi tukar
total atau partsial, yang harus segera dikerjakan, maka keputusan untuk melakukan
tindakan tersebut hendaknya didasarkan atas penilaian bahwa pada bayi itu terdapat
bahaya besar akibat anemia atau hiperbilirubinemia yang berkembang dengan cepat
mencapai tingkat yang membahayakan. Kriteria yang digunakan untuk penilaian ini
adalah hemoglobin tali pusat sebesar 10 mg/dl atau kurang, diverifikasikan dengan kadar
hemoglobin yang sama rendahnya dalam kapiler (yang cenderung lebih tinggi dari pada
yang terdapat dalam tali pusat atau darah venosa), atau kadar bilirubin tali pusat 5 mg/dl
atau lebih9.
Transfusi biasa dengan eritrosit Rh negative dan yang sesuai mungkin dibutuhkan
untuk memperbaiki anemia yang terjadi pada setiap tingkat perjalanan penyakit, sampai
bayi mencapai usia 6 sampai 8 minggu, pada saat mekanisme pembentukan darah bayi
sendiri diharapkan telah dapat mengambil alih tugas penambahan yang dibutuhkan9.
Darah yang dipergunakan untuk transfusi tukar harus sesegar mungkin. Heparin, asam-
sitrat-dextrosa (AS) atau sitrat-fosfat-dextrosa (SFD) dapat digunakan sebagai
antikoagulansia. Jika darah didapatkan sebelum kelahiran, maka darah tersebut harus
diambil dari donor yang mempunyai golongan darah O, Rh negative dan titer anti strip A
dan titer anti strip B rendah, dan cocok dengan serum ibu, yang ditentukan melalui test
Coombs tidak langsung. Setelah kelahiran, darah harus diambil dari seorang donor Rh
negative yang sel nya cocok dengan serum bayi dan serum ibunya; kalau memang
memungkinkan, biasanya dugunakan sel donor sel darah golongan O, tetapi sel yang
sama golongan nya dengan golongan darah bayi dapat juga dipakai “cross match” total,
termasuk test Coombs tidak langsung, harus dilakukan sebelum melakukan transfusi
kedua dan transfusi berikutnya9.
Transfusi tukar mengacu kepada penggantian sebagaian besar atau semua eritrosit
dan plasma neonatus dengan eritrosit dan plasma (atau komponen plasma) yang
cocok dari donor. Prosedur transfusi tukar. Prosedur transfusi tukar biasanya
dilakukan pada vena umbilikalis, dan berupa pengantian volume darah bayi dengan
85-100 ml/kg darah lengkap. Aliquot 15 ml darah dikeluarkan dan diinfuskan secara
14
berturutan sampai seluruh volume diganti. Selama prosedur ini, parameter-parameter
tersebut mencakup volume cairan yang diinfuskan dan dikeluarkan, serum, elektrolit,
hemoglobin, dan kadar bilirubin. Biasanya yang digunakan adalah darah golongan O
negative-Rh yang sudah di radiasi. Darah harus cocok dengan serum bayi dan ibu 9.
Fototerapi.
Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkn pada sinar
dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap
cahaya secara maksimal dalam batas wilayah warna biru ( mulai dari 420 – 470 nm ).
Bilirubin dalam kulit akan menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi
mengubah bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi isomer-isomer
terkonjugasi yang dikeluarkan ke empedu dan melalui otosensitisasi yang melibatkan
oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi yang menghasilkan produk-produk
pemecahan yang akan diekskresikan oleh hati dan ginjal tanpa memerlukan konjugat.
Indikasi fototerapi hanya setelah dipastikan adanya hiperbilirubin patologik.
Komplikasi fototerapi meliputi tinja yang cair, ruam kulit, bayi mendapat panas
yang berlebihan dan dehidrasi akibat cahaya, menggigil karena pemaparan pada
bayi, dan sindrom bayi perunggu, yaitu warna kulit menjadi gelap, cokelat dan
keabuan9.
2.9 KOMPLIKASI
Kernikterus adalah suatu sindrom neurologic yang timbul sebagai akibat penimbunan
bilirubin tak terkonyugasi dalam sel-sel otak. Bahaya yang timbul pada bayi yang
menderita penyakit erotroblastosis foetalis berhubungan langsung dengan kadar bilirubun
serum. Mungkin keadaan ini sama pada bayi yang mengalami hiperbilirubinemia.
Kadar bilirubin indirek atau bilirubin bebas darah yang tepat, yang bila dilewati bersifat
toksis terhadap bayi, tidak dapat diramalkan, tetapi kernikterus jarang ditemukan pada bayi
atern, yang mempunyai kadar bilirubin serum lebih rendh dari 18-20 mg/dl. Lama pemaparan
yang diperlukan agar timbul pengaruh toksis juga tidak diketahui. Terdapat sejumlah bukti
bahwa gangguan motorik yang timbul pada masa anak-anak lanjut, lebih lazim ditemukan
15
diantara bayi neonatus, yang kadar total bilirubin serum meningkat sampai diatas 15 mg/dl.
Makin kurang matang bayi, semakin besar kepekaan mereka mengalami kernikterus. Faktor-
faktor yang mempermudah pergerakan bilirubin ke sel-sel otak dan pengaruh yang
merugikan yang ditimbulkannya. Pada keadaan yang luar biasa, kernikterus pada bayi
premature, dengan kadar bilirubin serum serendah 8-12 mg/dl diasosiasikan dengan pengaruh
komulatif yang ditimbulkan oleh sejumlah faktor 8.
2.10 PROGNOSIS
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek 1:16 berarti bahwa janin mati
dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat
dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan
kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami
sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan.
Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32,
maka prognosis janin diperkirakan baik10.
A. Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini
2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin
yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang
diarahkan secara USG
3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di
dalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler
langsung sel darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif
selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi
D.
16
B. Perkembangan anak selanjutnya.
Menurut Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami tranfusi
janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18 bulan
atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal dan 11 anak mengalami
gangguan tumbuh kembang
2.11 EPIDEMIOLOGI
Insiden pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus ( yaitu rhesus negatif) adalah 15% pada
ras berkulit putih dan 7% berkulit hitam, dan 1% orang Cina tidak mempunyai antigen D dan
oleh karena itu dinamakan Rh negatif (d/d) .Sebagai akibat penyakit hemolitik isoimun yang
berasal dari antigen ini kira-kira 3 kali lebih sering ditemukan pada orang kulit putih daripada
kulit hitam. Jarang pada bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali
adanya perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif9
Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya
antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai
akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi
pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan
respons imun sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang
lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan, terutama trimester ketiga 9.
2.12 PENCEGAHAN
a. Pencegahan Primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk
beberapa hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
17
Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
Pencegahan imunisasi Rh
Pada saat pencatatan rekam medis, semua wanita hamil harus ditentukan golongan darah ABO
dan Rh serta serumnya ditapis untuk pemeriksaan antibody sedikitnya dua kali selama
kehamilan. IgG anti D yang diberikan secara pasif akan menekan imunisasi primer pada sebagian
besar wanita memiliki Rh D negatif yang tidak tersensitisasi sebaiknya diberikan 500 i.u. anti-D
pada usia kehamilan 28 dan 38 minggu secara rutin untuk mengurangi risiko sensitisasi akibat
perdarahan fetomaternal. Selain itu, pada waktu lahir, bayi-bayi dari wanita Rh D negatif yang
tidak mempunyai antibody harus diperiksa golongan darah ABO dan Rh darah tali pusatnya11.
Jika darah bayi Rh D negatif, ibu tidak perlu mengobati lebih lanjut. Bila bayi Rh D positif,
harus diberikan anti-D profilaksis dengan dosis 500 i.u. secara intramuscular dalam waktu 72
jam setelah persalinan. Uji kleihauer sebaiknya dilakukan pada situasi ini untuk
memperkirakan beratnya pendarahan fetomaternal (fetomaternal haemorrhage, FMH). Ini
menggunakan pewarnaan diferensial untuk memperkirakan jumlah sel fetus dalam
sirkulasi ibu. Kemungkinan pembentukan antibody berkaitan dengan jumlah sel fetus yang
ditemukan. Dosis anti D meningkat bila uji Kleihauer memperlihatkan perdarahan transplasenta
lebih dari 4 ml. IgG anti D (125 i.u) diberikan untuk setiap 1 ml FMH yang lebih besar dari 4
ml11.
Episode sensitisasi selama kehamilan IgG anti-D sebaliknya diberikan pada wanita Rh D-negatif
yang mengalami kejadian yang berpotensi menyensitisasi selama kehamilan : 250 i.u diberikan
jika kejadian tersebut terjadi sampai dengan minggu ke-20 gestasi dan 500 i.u setelahnya, diikuti
dengan uji Kleihauer. Kejadian yang berpotensi menyensitisasi adalah pengakhiran
kehamilan terapeutik, keguguran spontan setelah 12 minggu gentasi, kehamilan ektopik,
dan prosedur diagnostic antenatal yang invasive 11.
18
BAB III
KESIMPULAN
Dari makalah yang saya buat dapat disimpulkan bahwa inkompatibilitas Rhesus sangat
berbahaya bagi janin. Perbedaan rhesus antara ibu dan anak dapat menyebabkan gejala ikterus
akibat dari hemolisis sel darah merah. Oleh karena itu, pencegahan yang dapat dilakukan adalah
dengan memeriksa golongan darah ABO dan Rhesus sebelum menikah karena anak adalah hasil
penggabungan gen dari orang tuanya.
19