repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/8718/3/BAB II.pdf · Author @ l qÐ: 2]« üÛúfв±|...
Transcript of repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/8718/3/BAB II.pdf · Author @ l qÐ: 2]« üÛúfв±|...
9
BAB II
KERANGKA TEORITIK
2.1 Studi Terdahulu
Dalam kajian yang akan penulis lakukan, penulis menggunakan beberapa studi
terdahulu yang berguna bagi penulis sebelum penulis melakukan penelitian. Studi
terdahulu ini membantu penulis untuk dijadikan acuan dan referensi sesuai dengan
tema serta fenomena yang hendak penulis teliti yaitu berkaitan dengan kerjasama
desentralisasi yang lebih menekankan pada kerjasama sister city.
Untuk studi terdahulu yang pertama penulis menggunakan research report
yang ditulis oleh George Matovu, Andrea de Gutty, dan Luisa Nardi dengan judul
The Impact of Decentralized Cooperation On The Process of Decentralization in
Africa dimana dalam menjelaskan dampak dari decentralized cooperation terdapat
beberapa studi kasus dan penulis menggunakan satu studi kasus yang menjadi
acuan yaitu Twinning Between Marondera Council in Zimbabwe and Leighton-
Lindsdale, United Kingdom.
Dalam research report tersebut pertama-tama dijelaskan terlebih dahulu
mengenai decentralized cooperation. Pemaknaan decentralized cooperation
sendiri berbeda tergantung kegunaannya. Namun dalam research report tersebut
decentralized cooperation dimaknai sebagai suatu proyek, inisiatif, atau
partnership yang bertujuan untuk membangun suatu development cooperation
10
yang dilakukan oleh sub-national authorities.1 Dalam menjelaskan konsep
tersebut George Matuvu menggunakan beberapa studi kasus salah satunya adalah
twinning partnership antara Mondera dan Leighton-Lindsdale. Twinning
partnership ini didasari atas political will dimana kedua kota tersebut sepakat
untuk melestarikan dan mengembangkan pemerintah daerah yang demokratis
dengan mengupayakan keunggulan dalam Urban Administration council,
pertukaran orang, teknologi dan tenaga ahli, serta mempromosikan kesejahteraan
social dan eknomi.2
Hasil dari penelitian tesebut menunjukkan bahwa dalam twinning partnership
ini terdapat sharing mengenai pemerintahan dimana antara Mondera dan
Leighton-Lindsdale saling bertukar informasi mengenai perkembangan yang
terjadi di wilayah yuridiksinya. Kemudian di bidang pertukaran people terdapat
suatu hubungan persahabatan yang baik antar kedua kota yang dibuktikan dengan
saling bertukar kunjungan yang dilakukan oleh anak-anak sekolah kedua belah
pihak. Kemudian untuk pertukaran teknologi terdapat adanya bantuan berupa
computer dari mitranya di north. Yang terakhir untuk kesejahteraan ekonomi tidak
ada hasil yang terlalu signifikan meskipun Mondera telah mendapatkan bantuan
berupa mobil pemadam kebakaran. Twinning partnership tersebut kemudian
menjadi sorotan utama dalam The Mandora Strategic Plan (1998-2000) yang
kemudian menjadikan twinning partnership sebagai aspek penting dalam
1 Matovu, G., Gutty, Ad, dan Nardi, L. 2008. The Impact of Decentralized Cooperation On The
Process of Decentralization in Africa Diunduh dari http://www.cdg-
lab.dirpolis.sssup.it/files/2012/10/Research-Report-on-the-Impact-of-Decentralized-Cooperation-
on-the-Process-of-Decentralization-in-Africa.pdf pada tanggal 27 Juli 2017 2 Ibid. Matovu, G. Hal 121
11
perencanaan pembangunan.3 Melalui studi terdahulu terebut penulis mendapatkan
gambaran mengenai bagaimana konsep decentralized cooperation diterapkan
dalam suatu kerjasama. Sehingga dari studi tedahulu tersebut penulis mendapat
gambaran bagaimana seharunya konsep decentralized cooperation diterapkan
dalam kerjasama sister city Surabaya-Kitakyushu.
Untuk studi terdahulu yang pertama penulis menggunakan kajian yang ditulis
oleh Hendrini Renola Fitri & Faisyal Rani berjudul Implementasi Kerjasama
Sister City Kota Bandung-Braunchweig tahun 2000-2013. Dalam kajian tersebut
menjelaskan bahwa kerjasama sister city Bandung dengan Braunchweig yang
sudah terjalin cukup lama ini diimplementasikan dengan baik dan membawa
dampak positif bagi Kota Bandung. Dalam kajian tersebut Renola Fitri dan
Faisyal Rani ingin mengetahui latar belakang dari adanya kerjasama yang terjalin
antara Bandung dengan Braunchweig kemudian mengkaji isu tersebut dengan
menggunakan teori complex interdependence yang dikemukakan oleh Robert
Keohane dan Joseph Nye. Dalam implementasinya sister city antara Bandung
dengan Braunchweig meliputi beberapa bidang ekonomi, perdagangan, investasi,
industry, pariwisata, ilmu pengetahuan dan teknologi, administrasi, pendidikan,
kebudayaan, kesejahteraan, social, pemuda dan olahraga, serta bidang-bidang lain
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. 4
Dari penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi sister
city Kota Bandung dengan Kota Braunchweig dimotivasi oleh adanya kesamaan
3 Ibid. Matovu, G. Hal 121
4 Hendri Renola Fitri & Faisyal Rani. (2013). Implementasi Kerjasama Sister City Kota Bandung-
Braunchweig tahun 2000-2013. Jurnal Transnasional , Vol. 5 No. 1. Hal. 931
12
karakteristik dan kesamaan tujuan sehingga hal terwujud sensitive
interdependence karena negara tersebut tidak terlalu bergantung kepada negara
pasangannya. Kerjasama tersebut bertujuan untuk meningkatkan potensi dari
masing-masing pihak bukan untuk melengkapi kekurangan atau hal-hal lain yang
tidak dimiliki oleh suatu negara yang diharapkan ada pada negara lain. Sehingga
kerjasama ini dapat terlaksana dengan efektif dan berlangsung lama. 5
Tabel 1. Pemetaan Studi Terdahulu
Studi Terdahulu Persamaan Perbedaan Kontribusi
George Matuvu.
Twinning
Between
Marondera
Council in
Zimbabwe and
Leighton-
Lindsdale, United
Kingdom
Alat analisa yang
digunakan yaitu
decentralized
cooperation
Kajian yang diteliti
mengenai twinning
city/sister city
Lokasi sister
city
Memberikan
gambaran mengenai
pengaplikasian konsep
decentralized
cooperation dalam isu
twinning city
Hendri Renola
Fitri & Faisyal
Rani.
Implementasi
Kerjasama Sister
City Kota
Bandung-
Braunchweig
tahun 2000-2013
Kajian yang diteliti
yaitu kerjasama
sister city
Alat analisa
Lokasi Sister
city
Memberikan
gambaran mengenai
bagaimana
implementasi dari
kerjasama sister city
5 Ibid. Hal 942
13
2.2 Desentralisasi dan Kerjasama Internasional Oleh Pemerintah Daerah
Pada bab sebelumnya penulis telah menyinggung sedikit mengenai
desentralisasi serta kaitannya dengan kerjasama internasional dan dalam bahasan
selanjutnya penulis akan menjabarkan lebih jelas mengenai hal tersebut.
Desentralisasi seperti yang sudah dijelaskan menurut UNDP merupakan suatu
restrukturisasi atau reorganisasi wewenang sehingga dalam hal tersbut munculah
suatu tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sesuai dengan prinsip subsidiaritas. Dari hal tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kualitas dan kapasitas daerah. Adanya desentralisasi ini juga
diharapkan mampu membantu membuka peluang bagi terciptanya pemerintahan
yang baik, meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan
berbagai keputusan politik serta meningkatkan tanggung jawab, transparansi dan
akuntabilitas.6
Desentralisasi ini syarat dengan adanya perubahan hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah disertai dengan otonomi daerah.
Ketika pemerintah daerah dan masyarakat local mampu berkolaborasi untuk
mencapai tingkatan otonomi, keduanya saling melengkapi untuk memberdayakan
sumberdaya lokal demi mencapai taraf pembangunan ekonomi yang tinggi di
daerahnya.7 Di Indonesia sendiri, aturan mengenai pemerintah daerah dan
otonominya diatur dalam Undang-undang No, 23 Tahun 2014 yang merupakan
6 UNDP. 1999. Decentralization: A Sampling of Definitions. Hal. 2
7 Noor, M. 2012. Memahamai Desentralisasi di Indonesia. Yogyakarta: Interpena. Hal. 5-6
14
penerus dari Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang No. 32 Tahun
2004.
Hal yang menjadi fokus penulis dalam kajian ini adalah mengenai kerjasama
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam rangka pemenuhan
kebutuhannya, pemerintah daerah berhak untuk melakukan kerjasama
internasional. hal tersebut tercantum dalam Undang-undang No 32 Tahun 2004
pasal 367 yang pada intinya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah
meliputi bidang-bidang seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pertukaran budaya, peningkatan kemampuan teknis dan manajemen pemerintahan,
promosi potensi daerah, serta kerjasama-kerjasama lain yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundangan-undangan. Dalam melakukan kerjasama tersebut,
pemerintah daerah wajib untuk mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat
dikarenakan politik luar negeri merupakan wewenang mutlak yang dimiliki oleh
pemerintah pusat. Hal-hal yang menjadi wewenang pemerintah pusat dan tidak
boleh dilakukan oleh daerah berkaitan dengan politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional dan agama.8
2.3 Kerangka Konseptual
2.3.1 Decentralized Cooperation
Decentralized cooperation dalam beberapa literatur erat kaitannya dengan
development cooperation. Terdapat klaim bahwa konsep ini muncul pada tahun
8 Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
15
1980an dalam konteks national cooperation dan development policies.9 The
International Union of Local Authorities (IULA) menyebut decentralized
cooperation sebagai decentralized (development) cooperation. Sebagai suatu
konsep decentralized cooperation dimaknai berbeda bagi setiap aktor. Meskipun
telah disepakati bahwa decentralized cooperation merupakan kerjasama berbasis
pembangunan yang dilakukan oleh aktor sub-state atau sub negara namun
pendefinisian dari konsep ini berbeda tergantung dari pengaplikasiannya.
Contohnya adalah dalam konteks hubungan Uni Eropa dengan negara-negara
yang sedang berkembang, decentralized cooperation dimaknai sebagai
development partnerships yang melibatkan beberapa aktor domestik yang bukan
merupakan agen dari pemerintah nasional. Namun berbeda lagi definsi dari aktor
utama dalam development seperti World Bank, The United Nations Development
Programme (UNDP), the French Development Agencies (AFD) dll yang
menganggap bahwa decentralized cooperation merupakan suatu hubungan
(partnership) yang bisa lebih formal maupun kurang formal antara pemerintah
lokal dari negara-negara yang berbeda.10
Meskipun terdapat perbedaan pandangan terkait dengan pendefinisian
decentralized cooperation namun secara keseluruhan definisi tersebut
menitikberatkan pada konteks development berupa development assistance yang
ditujukan untuk pembangunan di negara yang sedang berkembang. Kemudian
aspek lain yang di highlight adalah aktor yang terlibat dimana decentralized
9 Douxchamps dalam Hafteck, P. An introduction to decentralized Cooperation: Definitions,
origins and Conceptual Mapping. Hal 333 10
Dr. Fritz Nganje (2015) Decentralized Cooperation and The New Development Cooperation
Agenda: What Role For UN? (United Nation University) hal 4
16
cooperation merupakan suatu bentuk komitmen formal antara decentralized
entities dari negara yang berbeda dan menempatkan otoritas lokal sebagai aspek
penting dalam decentralized cooperation.11
Menurut Hafteck, konsep decentralized cooperation ini merupakan hubungan
kolaboratif substansial antara pemerintah lokal (dan asosiasinya) dari negara yang
berbeda, yang memiliki tujuan pembangunan berkelanjutan yang
mengimplikasikan beberapa bentuk dan pertukaran atau dukungan yang dilakukan
oleh aktor-aktor berbasis lokal.12
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
decentralized cooperation merupakan suatu hubungan kolaboratif yang dilakukan
oleh pemerintah lokal atau pemerintah daerah dari negara yang berbeda yang
memiliki tujuan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dengan
melakukan beberapa pertukaran serta dukungan dari masing-masing pihak. Dari
penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa main actor dari decentralized
cooperation ini adalah pemerintah lokal atau pemerintah daerah.
Pada praktek awalnya, decentralized cooperation ini mengadopsi model klasik
dari development cooperation dimana dalam konteks perubahan konsepsi seputar
proses pembangunan dan kebijakan pembangunan, decentralized cooperation
berupaya untuk mengekspresikan ide pembangunan partisipatif sebagai tanggung
jawab pemerintah daerah dalam mengatasi tantangan pembangunan. Kemudian
decentralized cooperation ini dipicu oleh adanya dorongan kemanusiaan dari
masyarakat lokal di negara maju, yang menganggap hal tersebut sebagai
11
Pierre, H. 2003. An Introduction To Decentralized Cooperation. Public Administration and
Development Vol 23 Hal 335 12
Hafteck (2003) dalam Nganje (2015) Decentralized Cooperation and The New Development
Cooperation Agenda: What Role For UN? (United Nation University) hal 2
17
kewajiban moral bagi mereka untuk berkontribusi dalam mengentaskan
kemiskinan dan penderitaan di negara berkembang. Sehingga decentralized
cooperation diartikan sebagai transfer satu arah baik materi maupun financial dari
negara North ke negara South (from ‘donor’ to ‘receiver’).13
Decentralized cooperation muncul pada kisaran tahun 1980-1990an ketika
terjadi perubahan dalam pemerintahan dimana state bukanlah satu-satunya aktor
dalam level nasional dan maraknya sistem desentralisasi yang menjadikan sub-
state memiliki porsi tersendiri dalam pemerintahan. Menjamurnya Public-Private
Partnership yang menyediakan public goods dan social services juga memicu
munculnya decentralized cooperation.14
Pada sekitaran tahun 1980an terjadi
pergeseran fokus negara-negara donor untuk terlibat lebih dalam lagi pada isu-isu
sosial yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dengan lebih memperhatikan
micro level. Hal ini bertujuan untuk membawa perubahan di level individu,
household atau komunitas sehingga negara donor memperbanyak campur
tangannya dalam hal micro-projects dan promosi aktivitas micro-enterprise.15
Pada saat yang bersamaan pendekatan inovatif seperti direct budgetary support
(general grants untuk anggaran recipient State), pembentukan ‘social (investment)
funds, serta twinning of government agencies mulai diperkenalkan. Hal tersebut
berarti bahwa terlepas dari traditional suppliers, kontraktor bangunan, perusahaan
konsultan khusus dan NGO serta organisasi-organisasi lain lebih sering terlibat
13
Maria del Huerto Romero (2006) Political Foundations for Building Public Decentralized
Cooperation Policies in Latin America”, in Year Book For Decentralized Cooperation
(Observatory for Decentralized Cooperation EU-LA) 14
Loc. Cit. Hafteck hal 336 15
Loc. Cit. Hafteck hal 337
18
dalam proyek-proyek pembangunan (development projects). Ini menjadi bukti
development actors telah berkembang.16
Namun dalam dua decade terakhir decentralized cooperation terdapat
pergeseran makna dari aid content menjadi model yang lebih inovatif berdasarkan
relasi yang bersifat horizontal dari kepentingan yang sama antar mitra yang
bekerjasama untuk menghadapi permasalahan yang sama.17
Meskipun
decentralized cooperation saat ini tidak lepas dari aid component, namun
implementasinya dalam mewujudkan pembangunan di level lokal terdapat tren
yang jelas mengenai decentralized cooperation dimana decentralized cooperation
ini lebih menekankan pada suatu collaborative partnership yang dibangun melalui
berbagai macam pertukaran yang menekankan pada human and institutional
capacity building. Decentralized cooperation saat ini memungkinkan bagi
masing-masing pihak untuk memperoleh keuntungan ekonomi, meningkatkan
kehidupan yang lebih baik di tingkat local maupun global, serta saling belajar
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh mitra kerjasama mereka.18
Untuk merangkum penjelasan diatas, secara keseluruhan decentralized
cooperation merupakan suatu kerjasama yang aktor utamanya adalah pemerintah
daerah meliputi pemerintah regional, distrik, dll. Dimana kerjasama ini
dilaksanakan pada dasarnya untuk mencapai tujuan pembangunan di level daerah
yang ditujukan untuk negara-negara berkembang. Decentralized cooperation
dilakukan dengan jalan pertukaran people dan know-how, serta penyediaan
16
ibid 17
Ibid 18
The New Forms of Decentralized Cooperation: What Ambitions and with what resources?
Diakses dari http://ideas4development.org/en/new-forms-decentralized-cooperation-ambitions-
resources/ pada tanggal 30 Juli 2017
19
advisory service, supplies dan training. Kemudian yang terakhir adalah dalam
pelaksanaannya, decentralized cooperation melibatkan partisipasi serta kontribusi
dar masyarakat sipil, private sector (swasta), dan asosiasinya. Aktor berbasis local
ini berjalan beriringan bersama pemerintah local dalam aktivitas internasional.19
Dalam tulisannya, Hafteck mengemukakan bahwa pada dasarnya
decentralized cooperation terbentuk dari dua fields yang saling berhubungan yaitu
development aid modalities dan hubungan inetrnasional oleh local government
(sub-nasional). Hafteck memaparkannya dalam diagram seperti yang tercantum di
bawah ini:
Diagram 1. Decentralized Cooperation Conseptual Mapping
Sumber: Hafteck (2003)
Dari diagram djatas dapat diketahui bahwa decentralized cooperation berada
ditengah-tengah development cooperation dan local government association.
19
Loc cit. Hafteck Hal. 336
20
Dibawah ini merupakan penjelasan dari masing-masing elemen yang membentuk
decentralized cooperation sesuai dengan digram sebelumnya:
1. Development Cooperation
Dalam menjelaskan decentralized cooperation Hafteck berangkat dari
pemahamahan development cooperation yang mengacu pada development aid.
Yang dimaksud dengan development aid disini bukan mengacu pada “Public
Budget Support” maupun “Social Development Fund” melainkan lebih kepada
bantuan yang bersifat decentralization support dan keterlibatan private sector
serta NGO dalam kerjasama tersebut . Berikut merupakan penjelasan dari kedua
hal tersebut20
:
a. Decentralization support
Decentralization support disini menjelaskan mengenai proyek-proyek yang
didanai oleh mitra kerjasama yang berperan untuk mendukung program program
yang terdesentralisasi. Pendanaan program-program ini diharapkan dapat
menguatkan pelayanan publik ditingkat lokal sehingga membantu dalam
meningkatkan pembangunan di tingkat lokal.21
Terdapat suatu kondisi dimana decentralization support tidak masuk dalam
ranah decentralized cooperation ketika tidak ada pemerintah lokal dari negara
pemberi bantuan atas proyek-proyek desentralisasi yang terselenggara di negara
berkembang. Dalam hal ini, bantuan tersebut disediakan oleh individual
consultants, a consulting company, atau NGO.22
20
Loc cit. Hafteck. Hal 342 21
Ibid 22
Ibid
21
b. Keterlibatan private sector dan NGO
Dalam decentralized cooperation terdapat aktor-aktor lain diluar pemerintah
daerah yang terlibat dalam kerjasama tersebut yaitu NGO dan beberapa private
sector. Kedua aktor ini berperan untuk memberikan dukungan dalam hal bisnis
dan social aspek yang membantu dalam pengembangan proyek-proyek yang akan
dilakukan.23
2. Local Government International Relation
Bidang pembentuk decentralized cooperation selanjutnya adalah hubungan
international yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam bidang ini terdapat
beberapa aspek yang membentuk hubungan internasional oleh pemerintah daerah
yaitu exchanges, consulting activities, relations between loval government
association.24
a. Exchanges
Didalam exchanges atau pertukaran ini meliputi berbagai macam kegiatan
seperti pertukaran informasi, know-how, people, equipment dll. Dalam exchanges
juga terdapat aktivitas seperti adanya event-event atau kunjungan-kunjungan
tertentu dari masing-masing pihak yang bekerja sama. 25
b. Consulting activities
Consulting activities atau kegiatan konsultasi disini memiliki makna bantuan
teknis atau pelatihan yang diberikan oleh pihak yang melakukan kerjasama baik
23
Ibid 24
Ibid 25
Ibid. Hal 343
22
individual municipalities atau specific agencies atau badan khusus yang didirikan
oleh local government associations untuk mencapai tujuan tersebut.26
c. Relations between local government association
Dalam pelaksanaannya, decentralized cooperation didukung oleh adanya local
government association yang dapat membantu kota-kota di negara berkembang.
Local government association ini saling mendukung satu sama lain sehingga
memiliki peran sebagai fasilitator dalam decentralized cooperationI.27
Perlu
digaris bawahi, keterlibatan local government association dalam decentralized
cooperation bukan merupakan hal yang utama. Hal tersebut dikarenakan
decentralized cooperation pada implementasinya mengedepankan kerjasama
pembangunan antar pemerintah daerah. Berangkat dari hal tersebut penulis tidak
menyertakan indikator ini sebagai alat analisa dalam isu yang penulis ambil.
2.3.2 Sister City Partnership
Sister city atau kota kembar adalah konsep penggandengan dua kota yang
berbeda baik dari segi lokasi dan administrasi politk yang memiliki tujuan untuk
menjalin suatu hubungan budaya dan kontak sosial antar penduduk. Dalam
pelaksanaannya kerjasama sister city ini dilaksanakan karena adanya kesamaan
keadaan demografi, kesamaan tujuan, serta kesamaan permasalahan yang
dihadapi.28
Definisi lain sister city menurut organisasi Sister City International
adalah bahwa sister city merupakan suatu kemitraan jangka panjang yang
26
Ibid 27
Ibid 28
Irdayanti. (2014) “Substansi Kerjasama Luar Negeri Sister City Surabaya Xiamen” UIN Sultan
Syarif Kasim Riau. Diunduh dari http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/Kutubkhanah/article/download/810/770 pada tanggal 28/07/17
23
dilakukan oleh dua komunitas di dua negara berbeda yang terwujud melalui
penandatanganan kesepakatan. Sister city ini diharapkan dapat membentuk suatu
hubungan antar komunitas yang sifatnya saling menguntungkan dan dapat
menyelesaikan permasalahan-permasalahan paling relevan bagi masing-masing
mitra kerjasama.29
Sister city memiliki banyak sebutan lain seperti municipal twinning ataupun
twinning city. Municipal twinning dan sister city partnerships mulai berkembang
di Amerika Serikat dan Eropa sekitar tahun 1950an. Pada awal perkembangannya
sister city digunakan oleh kedua negara untuk menciptakan perdamaian pasca
Perang Dunia II. Hubungan antar kota bertajuk sister city ini berangkat dari
filosofi citizen diplomacy yaitu people-to people exchanges yang bertujuan
menciptakan persahabatan yang panjang serta mempromosikan perdamaian.30
Hubungan ini pada mulanya dibentuk untuk membangun rasa saling percaya antar
warga di Amerika Serikat dan Eropa serta untuk menghindari perang di masa
depan.31
Sister city dalam era ini memfokuskan tujuan pada bagaimana caranya
agar perang tidak terjadi lagi.32
Melihat era-era perkembangan municipal twinning dan sister city relationship
sebelumnya terdapat pola hubungan yang bertujuan untuk membangun suatu
29
What is a Sister City? Diakses dari http://www.sister-cities.org/what-sister-city pada tanggal 27
Juli 2017 30
Mission and History diakses dari http://www.sister-cities.org/mission-and-history. Diakses pada
tanggal 28/07/17 31
Dr. Fritz Nganje (2015) Decentralized Cooperation and The New Development Cooperation
Agenda: What Role For UN? (United Nation University) hal 4 32
Boersma, R.G. 2015. The Succes of Sister City Partnership between Dutch Municipalities and a
municipality in a CEEC, Formalized between 1989-2000. Hal 6 Diakses dari
http://essay.utwente.nl/68346/1/Boersma_MA_BMS.pdf . diakses pada tanggal 28/07/17
24
persahabatan yang mengedepankan perdamaian serta solidaritas. namun saat ini
muncul era baru dimana sister city relationship berevolusi menjadi suatu complex
partenerships yang mendorong saling tukar menukar budaya, pendidikan,
municipal bussines, pertukaran teknis dan profesional.33
Sehingga dapat penulis
simpulkan bahwa sister city pada mulanya dibentuk untuk menghindari konflik
dan perang di masa depan berevolusi menjadi suatu hubungan yang sifatnya lebih
kompleks dan mengedepankan pertukaran yang pada akhirnya membawa
keuntungan bagi kedua belah pihak.
Pada penelitian ini penulis memfokuskan sister city dengan pola baru dimana
sister city memiliki tujuan untuk membentuk suatu complex partnership yang
didalamnya terdapat pertukaran baik ide, budaya, pendidikan, teknologi dan lain-
lain. Kerjasama sister city juga terjadi karena adanya persamaan kedudukan
status dan administrasi, persamaan ukuran luas wilayah dan fungsi, persamaan
karakteristik sosio cultural dan topografi kewilayahan, kesamaan permasalahan
yang dihadapi, dan komplementaritas atara kedua pihak yang menimbulkan aliran
barang dan jasa serta pertukaran kunjungan pejabat dan pengusaha.34
Sister city
antar kota dalam lingkup internasional tersebut diadakan guna mencapai beberapa
tujuan diantaranya terbukanya kesempatan untuk sharing atau berbagi informasi
mengenai pengalaman serta pengetahuan di berbagai bidang yang telah disepakati
ketika melakukan kerjasama, mendorong peran aktif dari pemerintah daerah,
33
Ibid. Nganje hal 4 34
Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah
http://setda.bantulkab.go.id/documents/20110308095052-kerjasama-luar-negeri-oleh-pemerintah-
daerah.pdf
25
menjalin hubungan baik antar pihak yang melakukan kerjasama , dan adanya
kesempatan untuk saling bertukar budaya guna memperkaya budaya daerah.
Di Indonesia sendiri kerjasama pemerintah daerah dengan mitra luar negeri
dalam skema sister city telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negri
(Permendagri) No.3 Tahun 2008 pasal 5. Dalam pasal tersebut dijelaskan apabila
suatu daerah hendak melaksanakan kerjasama sister city maka perlu
mempertimbangkan lima hal yaitu kesetraan status administrasi, kesamaan
karakteristik, kesamaan permasalahan, upaya saling melengkapi dan peningkatan
hubungan antar masyarakat.35
Sehingga dengan adanya kerjasama sister city ini
diharapkan dapat membawa dampak yang baik bagi pembangunan berkelanjutan
di tingkat daerah.
2.4 Operasionalisasi Konsep
Dalam menganalisis kerjasama sister city Kota Surabaya dengan Kota
Kitakyushu, penulis menggunakan konsep decentralized cooperation yang
dikemukakan oleh Hafteck. Konsep ini meliputi aktivitas apa saja yang dilakukan
serta bagaimana praktek dari decentralized cooperation sehingga kita dapat
melihat bagaimana implementasi dari kerjasama sister city. berikut
operasionalisasi konsep penulis sajikan dalam table di bawah ini:
35
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak
Luar Negeri pasal 5
26
Tabel 2. Operasionalisasi Konsep
Konsep Variabel Indikator Operasionalisasi
Decentralized
Cooperation
Development
Cooperation
Decentralization
support
Sister city kota Surabaya
dengan Kota Kitakyushu
didukung penuh oleh
Pemerintah Kota
Kitakyushu melaui
pendanaan proyek-proyek
yang ada dalam kerjasama
tersebut
Involvement of the
private sector and
NGO
Sister City Surabaya-
Kitakyushu melibatkan
beberapa NGO dan Private
sector untuk mendukung
program-program di ranah
social maupun bisnis
Local
government
international
relations
Exchanges
Aktivitas yang dilakukan
dalam sister city ini
meliputi pertukaran dalam
berbagai macam kegiatan
seperti pertukaran
informasi, know-how,
people, equipment dll.
Consulting
activities
Kerjasama sister city
Surabaya Kitakyushu
didukung dengan adanya
kegiatan konsultasi oleh
pihak yang melakukan
kerjasama baik dari
individual municipalities
atau badan khusus yang
didirikan oleh local
government associations
Sumber: Diolah penulis dari Hafteck 2003
27
2.5 Alur Pemikiran
Desentraliasasi memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk melakukan
kerjasama internasional untuk meningkatkan pembangunan di level local, namun
pelaksanaannya kurang maksimal Salah satu daerah yang melakukan kerjasama
internasional adalah Surabaya. Terdapat anggapan bahwa kerjasama sister city di
Surabaya tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Serta hubungan yang sifatnya
North-South kurang begitu efektif. Kerjasama sister city Surabaya-Kitakyushu
dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pembangunan di wilayah Surabaya dan
menjadikan Kitakyushu memiliki peran penting dalam kerjasama tersebut. Hal ini
menjadi salah satu indikasi dari konsep decentralized cooperation.
Apakah kerjasama Green Sister City Kota Surabaya dengan Kitakyushu pada periode
pemerintahan Tri Rismaharini merupakan bentuk dari Decentralized Cooperation?
Decentralized cooperation
Development
Cooperation Local Government
International
Relations
Decentralized
support
Involvement of the
private sector and NGO
Consulting
activities
Exchange
proyek-proyek yang
didanai oleh mitra
kerjasama
(pemerintah lokal)
yang berperan untuk
mendukung program
program yang
terdesentralisasi
aktor-aktor lain
diluar pemerintah
daerah yang terlibat
dalam kerjasama
tersebut yaitu NGO
dan beberapa private
sector. berperan
untuk memberikan
dukungan dalam hal
bisnis dan
pertukaran
informasi,
know-how,
people,
equipment
dll
Bantuan
teknis dari
individual
municipaliti
es
Argumen Utama
28
2.6 Argumen Utama
Berdasarkan penjelasan penulis diatas maka dalam penelitian ini penulis
memiliki argumen utama yaitu Kerjasama Green Sister City Kota Surabaya
dengan Kota Kitakyushu pada tahun 2012-2015 merupakan bentuk dari
decentralized cooperation yang diindikasikan dengan adanya decentralized
support, involvement of the private sector and NGO, kemudian terdapat exchange,
consulting activities dan relations between local government associations dalam
kerjasama tersebut. Sehingga Kerjasama Green Sister City antara Kota Surabaya
dengan Kota Kitakyushu menjadi salah satu bentuk nyata untuk mencapai tujuan
dari desentralisasi yaitu untuk meningkatkan laju pembangunan di level daerah.
Sesuai yang tercantum dalam MoU dimana kerjasama ini diperpanjang setiap 3
tahun sekali, maka pada 3 tahun pertama kerjasama ini dilakukan yaitu tahun
2012-2015, kerjasama ini sesuai dengan apa yang disepakati dalam MoU dan
membawa dampak baik bagi Kota Surabaya khususnya dibidang lingkungan