II. TINJAUANPUSTAKA C dan lama penyinaran 11-12 jam...

31
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis Amerika. Ubi jalar dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di pegunungan dengan suhu 27 o C dan lama penyinaran 11-12 jam perhari (Soemartono, 1984). Pada tahun 1960, ubi jalar sudah tersebar ke hampir setiap daerah Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua dan Sumatra. Namun sampai saat ini hanya Papua saja yang memanfaatkan ubi jalar sebagai makanan pokok, walaupun belum menyamai padi dan jagung (Suprapti, 2003). Menurut Suprapti (2003), tanaman ubi jalar memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Susunan tubuh utama terdiri atas batang, daun, bunga, buah, biji, dan umbi. 2) Batang tanaman berbentuk bulat, tidak berkayu, dan berbuku-buku. 3) Tipe pertumbuhan tegak dan merambat atau menjalar. 4) Panjang batang tipe tegak: 1 m – 2 m, sedangkan tipe merambat: 2 m - 3m. Menurut Heyne (1987), tanaman ubi jalar termasuk dalam kingdom plantae, divisio Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Convolvulacea, genus Ipomea, species Ipomea batatas L. Komposisi ubi jalar sangat tergantung pada varietas dan tingkat kematangan serta lama penyimpanan. Karbohidrat dalam ubi jalar terdiri dari monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Ubi jalar mengandung sekitar 16- 40 % bahan kering dan sekitar 70-90% dari bahan kering ini adalah karbohidrat

Transcript of II. TINJAUANPUSTAKA C dan lama penyinaran 11-12 jam...

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang berasal dari

daerah tropis Amerika. Ubi jalar dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di

pegunungan dengan suhu 27oC dan lama penyinaran 11-12 jam perhari

(Soemartono, 1984). Pada tahun 1960, ubi jalar sudah tersebar ke hampir setiap

daerah Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua dan

Sumatra. Namun sampai saat ini hanya Papua saja yang memanfaatkan ubi jalar

sebagai makanan pokok, walaupun belum menyamai padi dan jagung (Suprapti,

2003).

Menurut Suprapti (2003), tanaman ubi jalar memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1) Susunan tubuh utama terdiri atas batang, daun, bunga, buah, biji, dan umbi.

2) Batang tanaman berbentuk bulat, tidak berkayu, dan berbuku-buku.

3) Tipe pertumbuhan tegak dan merambat atau menjalar.

4) Panjang batang tipe tegak: 1 m – 2 m, sedangkan tipe merambat: 2 m - 3m.

Menurut Heyne (1987), tanaman ubi jalar termasuk dalam kingdom plantae,

divisio Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo

Convolvulacea, genus Ipomea, species Ipomea batatas L.

Komposisi ubi jalar sangat tergantung pada varietas dan tingkat

kematangan serta lama penyimpanan. Karbohidrat dalam ubi jalar terdiri dari

monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Ubi jalar mengandung sekitar 16-

40 % bahan kering dan sekitar 70-90% dari bahan kering ini adalah karbohidrat

7

yang terdiri dari pati, gula, selulosa, hemiselulosa, dan pektin (Meyer, 1985).

Tabel komposisi ubi jalar ungu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Ubi Jalar ungu (persen berat kering)

Komposisi NilaiAir (%) 70,46Abu (%) 0,84Pati (%) 12,64Protein (%) 0,77Gula reduksi (%) 0,3Serat kasar (%) 3Lemak (%) 0,94Vitamin C (mg/100 mg) 21,43Antosianin (mg/100 mg) 110,51Sumber : Suprapta (2003) dalam Arixs (2006)

Menurut Juanda dan Cahyono (2000), berdasarkan warna ubi jalar

dibedakan menjadi beberapa golongan antara lain ubi jalar putih, ubi jalar kuning,

ubi jalar orange, dan ubi jalar ungu. Ubi jalar yang akan digunakan dalam

penlitian ini adalah ubi jalar ungu yang bentuknya bisa dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Ubi Jalar Ungu(Juanda dan Cahyono, 2000)

8

Ubi jalar ungu merupakan bahan pangan yang kaya nutrisi, tetapi selama

ini penggunaan ubi jalar sebagai bahan pangan masih terbatas dalam bentuk

makanan tradisional, seperti ubi rebus, ubi goreng, kolak, getuk, timus dan keripik.

Ubi jalar mempunyai kandungan oligosakarida yang relatif tinggi, yaitu sekitar

2,165% (Reddy dan Salunke, 1989 dikutip Sukardi et al., 2001).

2.1.1 Prebiotik Dalam Ubi Jalar Ungu

Menurut Gibson dan Roberfroid 1995 dikutip Gibson dan Fuller(,1998),

prebiotik adalah bahan pangan tidak terdigesti yang memberikan efek kesehatan

bagi tubuh dengan cara memacu pertumbuhan probiotik (bakteri menguntungkan)

dalam usus besar. Oligosakarida pada ubi jalar sebagian besar terdiri dari rafinosa

dan stakhiosa yang mempunyai ikatan α –galakto-glukosa dan α-galakto-galaktosa

yang dapat dilihat pada gambar 2 (Reddy dan Salunke, 1989 cit. Sukardi et al.,

2001).

Gambar 2. Struktur Kimia Rafinosa, Stakiosa dan Verbaskosa(Reddy dan Salunke, 1989 cit. Sukardi et al., 2001)

Meskipun oligosakarida dari kelompok rafinosa ini tidak dapat dicerna,

karena mukosa usus mamalia (seperti manusia) tidak mempunyai enzim

pencernanya, yaitu α galaktosidase, sehingga oligosakarida tersebut tidak dapat

diserap oleh usus kecil dan menimbulkan flatulensi, namun oligosakarida yang

9

tidak dicerna dan diserap dalam usus kecil ini akan difermentasi oleh bakteri-

bakteri yang terdapat dalam usus besar dan selanjutnya akan mengubah komposisi

bakteri usus, sehingga bakteri yang menguntungkan (bifidus dan lactobacillus)

bertambah jumlahnya atau memberikan efek prebiotik.

Beberapa oligosakarida yang telah diketahui mempunyai efek prebiotik

adalah : Glukoolisakarida (GOS), Galaktosakarida dan Transgalakto-oligosakarida

(TOS), Isomaltooligosakarida (IMO), dan xylo-oligosakarida (Gibson et al., 1999

cit Fooks et al., 1999). Berat kering umbi ubi jalar adalah 16-40% dari berat basah.

Sebanyak 75-90% dari berat kering adalah karbohidrat, meliputi unsur pati, gula,

selulosa, hemiselulosa dan pektin, sedangkan kandungan oligosakarida pada ubi

jalar relatif tinggi, yaitu sekitar 2,165 %. Oligosakarida pada ubi jalar sebagian

besar terdiri dari rafinosa dan stakhiosa sehingga potensi ubi jalar sebagai pemberi

efek prebiotik melalui pengolahan menjadi susu ubi jalar sangat besar.

Ubi jalar ungu bisa ditambahkan ke dalam yoghurt sebagai prebiotik

dalam bentuk sari ubi jalar ungu. Sari ubi ungu dibuat dengan menimbang ubi

jalar dengan berat tertentu, kemudian dikupas dan dicuci sampai bersih. Setelah

itu, ubi jalar ungu diiris kecil-kecil lalu dimasukkan dalam juicer untuk

menghasilkan bubur ubi jalar. Bubur ubi jalar dituang dalam beker glass

menggunakan corong yang dilapisi kain saring dan didiamkan selama 30 menit

kemudian filtratnya diambil. Fitrat ini merupakan ekstrak ubi jalar yang siap

digunakan untuk membuat yoghurt.

10

2.2 Yoghurt

Yoghurt adalah salah satu hasil olahan susu dengan cara difermentasi

sehingga rasanya asam dan manis. Bakteri Lactobacillus bulgaricus dan

Streptococcus thermophilus menguraikan laktosa atau gula susu menjadi asam

laktat yang menyebabkan menjadi asam. Proses pengasaman dan penggumpalan

protein pada yoghurt membuat yoghurt mudah dicerna oleh tubuh. Selain itu,

keberadaan asam laktat pada yoghurt juga membuat penyerapan kalsium di dalam

tubuh menjadi lebih baik. Komposisi gizinya mirip dengan susu, bahkan lebih

lengkap dan jumlahnya relatif lebih banyak, diantaranya mengandung vitamin B

kompleks, kalsium, dan protein. Selama proses fermentasi yoghurt berlangsung,

terjadi sintesis vitamin B kompleks, khususnya thiamin (vitamin B1), riboflavin

(vitamin B2) dan beberapa asam amino penyusun protein (Hidayat dkk, 2006).

Yoghurt mempunyai rasa asam yang sedang, dengan konsistensi lembut

dari gel kental dengan citarasa almon. Citarasa yang enak adalah hasil kerjasama

protokooperasi antara kedua bakteri yoghurt, yang dipengaruhi oleh suhu inkubasi

dan asam yang dihasilkan (Surono, 2004).

Dasar fermentasi susu adalah fermentasi komponen gula di dalam susu,

terutama laktosa menjadi asam laktat dan asam-asam lain. Asam laktat yang

dihasilkan dapat memperbaiki flavor dan menurunkan derajat keasaman susu

sehingga hanya sedikit mikroba yang dapat bertahan hidup. Fermentasi susu dapat

menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan mikroba perusak susu sehingga

masa simpan susu dapat diperpanjang (Winarno et al., 2003).

Syarat mutu yoghurt di indonesia menurut SNI 01-2981-2009 bisa dilihat

pada tabel 2.

11

Tabel 2. Syarat Mutu Yoghurt SNI 01-2981-2009

No. Kriteria Uji Satuan

Yogurt tanpaperlakuan panassetelah fermentasi

Yogurt denganperlakuan panassetelah fermentasi

Yogurt RendahLemak

TanpaLemak Yogurt Rendah

LemakTanpaLemak

1. Keadaan1.1 Penampakan - Cairan kental-padat Cairan kental-padat1.2 Bau - Normal/khas Normal/khas1.3 Rasa - Asam/khas Asam/khas1.4 Konsistensi - Homogen Homogen

2. Kadar lemak % b/b Min.3,0 0,6-2,9 Maks.

0,5Min.3,0

0,6-2,9

Maks.0,5

3. Total padatansusu bukan lemak % b/b Min. 8,2 Min. 8,2

4. Protein (Nx6,38) % b/b Min. 2,7 Min. 2,75. Kadar Abu % b/b Maks. 1,0 Maks. 1,0

6.Keasaman(dihitung sebagaiasam laktat)

% b/b 0,5-2,0 0,5-2,0

7. Cemaran logam7.1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,3 Maks. 0,37.2. Tembaga(Cu) mg/kg Maks. 20,0 Maks. 20,0

7.3. Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,07.4. Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03

8. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1 Maks. 0,19. Cemaran mikroba9.1 Bakteri Coliform Koloni/g Maks. 10 Maks. 109.2 Salmonella - Negatif/25g Negatif/25g

9.3 Listeriamonocytogenes - Negatif/25g Negatif/25g

10. Jumlah bakteristarter Koloni/g 107 -

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2009)

Menurut Tjahjadi (2000), berdasarkan metode pembuatannya dan struktur

fisik koagulum produknya dikenal dua tipe yoghurt yaitu set yoghurt dan stirred

yoghurt. Pada set yoghurt inkubasi atau fermentasi umumnya dilakukan dalam

kemasan kecil sehingga koagulumnya tidak mengalami perubahan, sedangkan

pada stirred Yoghurt, inkubasi dilakukan dalam tangki-tangki besar lalu dikemas

12

dalam wadah-wadah kecil sehingga koagulum mengalami kerusakan (pemecahan).

Kedua tipe yoghurt ini bersifat semi padat. Drink yoghurt adalah yoghurt dengan

dengan viskositas rendah (cair) dengan kadar padatan total 11 % atau kurang dan

kadar lemak yang lebih tinggi. Tipe ini temasuk stirred yoghurt. Berdasarkan cita

rasanya yoghurt dibedakan menjadi yoghurt polos (plain/natural yoghurt) dimana

tipe ini tidak diberi penambahan zat cita rasa serta yoghurt rasa buah (fruit

yoghurt) dimana tipe ini diberi penambahan cita rasa alami sepeti buah, sirup buah,

gula atau cita rasa sintetis berupa esen, zat pewarna, dan bahan pemanis.

2.2.1 Bahan Baku Yoghurt

Dalam proses pembuatan yoghurt dibutuhkan komposisi bahan sebagai

berikut :

a) Susu Skim

Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil

sebagian atau seluruhnya yang mengandung semua zat makanan dari susu kecuali

lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim dapat digunakan

oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya karena

hanya mengandung 55 persen dari seluruh energi susu dan skim milk juga

digunakan dalam pembuatan keju dengan lemak rendah dan yoghurt (Buckle et al.,

1987). Penambahan susu skim berfungsi sebagai sumber laktosa bagi bakteri asam

laktat dalam pembuatan yoghurt. Penambahan susu skim bubuk dalam pembuatan

minuman fermentasi akan meningkatkan kandungan total padatan menjadi lebih

tinggi sehingga akan dihasilkan minuman fermentasi yang lebih baik (Widodo,

2003).

13

b) Bahan Pemanis

Bahan pemanis yang digunakan dalam pembuatan yoghurt ubi jalar ungu

adalah sukrosa. Sukrosa menurut Tjahjadi (2000) adalah gula yang dapat berasal

dari gula tebu atau gula bit. Batas penggunaan bahan pemanis atau gula dalam

produk yoghurt adalah 8% karena penggunaan lebih dari 8% dapat menghambat

pertumbuhan bakteri (Rahman et al., 1992).

c) Starter

Starter adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium

fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan

eksponensial. Medium yang digunakan merupakan faktor yang penting untuk

memperoleh starter yang baik (Rahman et al., 1992).

Yoghurt dibuat menggunakan dua spesies bakteri yang tumbuh secara

mutualisme, yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus.

Kedua spesies bakteri ini jika ditumbuhkan bersama-sama akan menghasilkan

asam yang lebih banyak dibandingkan jika tumbuh secara terpisah. Perbandingan

yang baik antara bakteri ini untuk memproduksi yoghurt adalah 1:1 (Rahman et

al., 1992 dikutip Martha, 2008).

Streptococcus thermophilus

Streptococcus thermophilus merupakan bakteri asam laktat berbentuk

bulat (kokus) dengan koloni berantai yang bersifat homofermentatif. Bakteri ini

bersifat gram positif, katalase negatif, anaerob fakultatif, tidak toleran terhadap

konsentrasi garam lebih besar dari 6,5%, tidak berspora, bersifat termodurik, dan

14

menyukai suasana mendekati netral dengan pH optimal untuk pertumbuhannya

adalah 6,5.

Suhu optimal pertumbuhan pada 40 - 450C, tidak dapat tumbuh pada suhu

150C dan tumbuh optimum pada pH 6,5 namun masih dapat bertahan pada pH

4,2 – 4,4. S. thermophilus bersifat homofermentatif yaitu memfermentasi laktosa,

sukrosa, glukosa, fruktosa, dan produksi utamanya adalah L(+)-asam laktat

(Tamime dan Deeth, 1980). Bentuk koloni S. thermophilus bisa dilihat pada pada

gambar 3.

Gambar 3. Bentuk Sel Streptococcus thermophilus(Wheatcroft, 2005)

Lactobacilus bulgaricus

Lactobacillus bulgaricus adalah jenis bakteri yang paling penting dari

golongan bakteri asam laktat. Bakteri ini mempunyai sifat gram positif, berbentuk

batang, berukuran medium atau panjang, tidak tumbuh pada suhu 10oC, tetapi

tumbuh pada suhu 45oC, reduksi litmus kuat, tidak tahan garam (6,5 %), dan

merupakan bakteri termodurik (Rahman et al., 1992). Menurut Buckle et al.,

(1987). Bakteri ini lebih tahan asam dibandingkan dengan Streptococcus atau

Pediococcus, oleh karena itu lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari

fermentasi tipe asam laktat dan mulai berkembang bila pH yoghurt telah menurun

15

sampai kira-kira 4,5, serta sebagai penyebab utama terbentuknya asetaldehida

pada yoghurt.

Lactobacillus bulgaricus memiliki kemampuan yang besar dalam

memfermentasi gula dengan hasil asam laktat lebih dari 50 %, optimum tumbuh

pada pH 5, namun bersifat toleran pada pH 3,5 – 3,8 dan tumbuh pada 43 – 46oC

dan menghasilkan 2,0 – 4,0% asam tertitrasi (Nakazawa dan Hosono, 1992).

Lactobacillus bulgaricus bersifat anaerobik, yaitu hidup tanpa atau dengan sedikit

oksigen. Lactobacillus bulgaricus pada pembuatan yoghurt berperan dalam

penurunan pH sampai sekitar 4,0 juga memberikan kontribusi terhadap flavor

yoghurt melalui produksi asam laktat, asetaldehid, asam asetat, dan diasetil

(Winarno et al., 2003). Pertumbuhan bakteri asam laktat pada susu sangat

tergantung pada sistem proteolitik yang menghidrolisis kasein susu menjadi

peptida dan asam amino (Thomas dan Mills, 1981 dikutip Surono, 2004). Bentuk

sel L. bulgaricus bisa dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Bentuk Sel Lactobacillus Bulgaricus(Steele, 2006)

2.2.2 Proses Fermentasi

Dalam proses pembuatan yoghurt, susu didiamkan pada suhu inkubasi

sesuai kultur starter (Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus)

yaitu pada suhu 40oC-45oC yang merupakan suhu pertumbuhan optimum untuk

16

campuran kultur tersebut (Tamime dan Robinson, 2000). Selama proses inkubasi

tersebut terjadi proses fermentasi asam laktat. Fermentasi laktat dalam industri

pangan adalah fermentasi yang dilakukan oleh sekelompok bakteri yang disebut

bakteri asam laktat (Fardiaz, 1992). Dalam prosesnya akan terjadi perubahan

biokimia pada produk fermentasi, meliputi perombakan laktosa, pembentukan

asam laktat, hidrolisis protein susu dan pembentukan tekstur produk fermentasi,

pembentukan komponen flavor. Proses pembentukan asam laktat pada pembuatan

yoghurt disajikan pada gambar 5.

(Helferich dan Westhoff, 1980)

1). Perombakan Laktosa

Pada proses pembentukan produk fermentasi, laktosa akan mengalami

penurunan 20-50% dari semula. Karbohidrat susu (laktosa) merupakan substrat

utama yang dirombak selama proses fermentasi (Fardiaz, 1989). laktosa tidak

Galaktosa + Glukosa Glukosa + Galaktosa-6-P

Glukosa

ß-galaktosidase

Laktosa

Piruvat

Asam LaktatCH3CHOHCOOH

Asetaldehida+ CO2

Gambar 5. Diagram Alir Pembentukan Asam Laktat Pada PembuatanYoghurt

17

secara langsung digunakan dalam proses fermentasi oleh bakteri asam laktat,

tetapi dipecah menjadi glukosa dan galaktosa. Laktosa dirombak oleh enzim

laktase yang dihasilkan oleh starter. Glukosa selanjutnya akan diubah terlebih

dahulu menjadi asam piruvat melalui jalur glikolisis, sedangkan galaktosa akan

diubah menjadi glukosa-1-fosfat dengan menggunakan enzim galaktokinase dan

enzim epimerase (Rasic dan Kurmann, 1978).

2). Pembentukan Asam Laktat

Asam laktat merupakan produk utama yang dihasilkan dari perombakan

laktosa oleh bakteri homofermentatif. Bakteri homofermentatif menghasilkan

lebih dari 85% asam laktat sebagai produk metabolitnya (Surono, 2004). Laktosa

atau gula susu dirombak oleh enzim laktase seperi β-D-galaktosidase dan β-D-

fosfogalaktosidase yang dihasilkan oleh kultur starter Streptococcus thermophilus

dan Lactobacillus bulgaricus menjadi glukosa dan galaktosa. Metabolisme terjadi

melalui jalur glikolisis yang merupakan urutan reaksi oksidasi glukosa menjadi

asam piruvat yang pada gilirannya menjadi asam laktat melalui enzim laktase

dehidrogenase (Helferrich dan Westhoff, 1980). Asam laktat memberikan rasa

asam dan menyumbangkan citarasa yang khas dari yoghurt (Tamime dan Deeth,

1980).

3). Denaturasi Protein dan Pembentukan Tekstur

Protein yang berasal dari susu harus didekomposisi terlebih dahulu oleh

bakteri yoghurt agar dapat dimanfaatkan sebagai nutrisi. Dekomposisi protein

pada proses fermentasi yoghurt terjadi melalui 2 tahap yaitu hidrolisis protein

menjadi polipeptida dengan menggunakan enzim proteinase dan hidrolisis

18

polipeptida menjadi asam amino dengan menggunakan enzim peptidase (Surono,

2004).

Streptococcus thermophillus mempunyai aktivitas peptidase lebih tinggi

dibandingkan Lactobacillus bulgaricus, tetapi aktivitas proteinasenya terbatas,

sedangkan kemampuan untuk menghidrolisis kasein dengan aktivitas proteinasse

jauh lebih tinggi pada Lactobacillus sp. Kadar protein terlarut maksimal yang

dihasilkan oleh kerjasama antara bakteri Streptococcus thermophillus dan

Lactobacillus bulgaricus pada perbandingan 1:1 adalah 70% (Tamime dan

Robinson, 2000)

Kemampuan proteolitik bakteri asam laktat sangat tergantung pada spesies

dan strain. Aktivitas proteolitik tertinggi dimiliki oleh Lactobacillus helveticus,

Lactobacillus bulgaricus, dan Lactobacillus acidophillus dari kelompok

Thermobacteria. Streptococcus thermophillus, Lactobacillus bulgaricus, dan

Lactobacillus acidophillus bekerja dalam menghasilkan protein terlarut.

Lactobacillus bulgaricus dan Lactobacillus acidophillus menghidrolisis protein

menjadi polipeptida dan peptida-peptida kemudian dilanjutkan oleh enzim-enzim

amino peptidase dari Streptococcus thermophillus menjadi asam-asam amino

bebas (Surono, 2004).

Aktivitas bakteri dalam merombak laktosa menjadi asam laktat

menyebabkan turunnya pH atau meningkatkan keasaman susu. Pada pH

isoelektrik (4,6-4,7) kasein atau protein susu menjadi tidak stabil dan terjadi

denaturasi atau modifikasi struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap

molekul protein tanpa terjadi perubahan pada ikatan kovalen (Winarno, 2003).

19

Akibat produksi asam laktat dan pH isoelektrik menyebabkan terjadi

denaturasi protein, sehingga protein yang terdenaturasi tersebut akan berkurang

kelarutannya. Lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik

berbalik keluar sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat kedalam.

Pelipatan atau pembalikan terjadi pada pH isoelektrik dan akhirnya protein akan

menggumpal dan mengendap, viskositas akan bertambah karena molekul protein

mengembang dan menjadi asimetrik (Winarno, 2003).

4). Pembentukan Komponen Flavor

Cita rasa merupakan salah satu sifat organoleptik yang dinilai tidak hanya

dari tanggapan terhadap rasa saja tetapi juga tanggapan terhadap komponen

yoghurt (Tamime dan Robinson, 1989). Komponen flavor pada yoghurt dibagi

menjadi empat kategori utama, yaitu : asam-asam non-volatil (asam piruvat),

asam-asam volatil (asam asetat, asam propionat atau butirat dan asam format),

komponen-komponen karbonil (aseton, asetaldehid, asetoin dan diasetil) dan

komponen lainnya seperti asam amino (Tamime dan Robinson, 1989).

Senyawa asam volatil berperan sebagai penyeimbang komponen aroma

pada produk yoghurt, terbentuk akibat aktivitas metabolisme dari kedua jenis

bakteri yoghurt. Asam volatil yang terbentuk selama fernentasi adalah asam asetat,

asam format, asam kaprilat, asam butirat, dan asam propionate (Rasic & Kurmann,

1978).

Senyawa karbonil yang terbentuk terdiri dari asetaldehid, diasetil, asetoin

(asetilmetil-karbinol), aseton dan butanon-2. Asetaldehid merupakan komponen

senyawa karbonil paling banyak terbentuk dan merupakan komponen utama

20

pembentuk flavor yoghurt. Asetaldehid terbentuk akibat adanya perombakan

laktosa.

Selama proses fermentasi bakteri Lactobacillus bulgaricus lebih berperan

dalam pembentukan komponen asetaldehid dibandingkan Streptococcus

thermophillus karena menghasilkan enzim threonin aldolase yang dapat memecah

threonin menjadi asetaldehid (Surono, 2004).

Diasetil dan asetoin (asetilmetil-karbinol) terdapat dalam jumlah yang

sangat kecil dalam produk yoghurt dan umumnya kandungan asetoin lebih tinggi

dibandingkan kandungan diasetil. Komponen diasetil dan asetoin berperan dalam

membentuk flavor dan aroma khas produk fermentasi. Komponen diasetil akan

memberikan rasa manis, citarasa mentega dan mempunyai daya antimikroba

terhadap bakteri gram negatif (Surono, 2004).

2.2.3 Proses Pembuatan Yoghurt

Bahan dasar pembuatan yoghurt adalah susu yang telah dipasteurisasi.

Meskipun susu dari berbagai jenis binatang dapat digunakan dalam pembuatan

yoghurt, kebanyakan industri yang memproduksi yoghurt menggunakan susu sapi,

baik susu full cream maupun susu skim.

Menurut Mansyah (2004), tahap-tahap pembuatan yoghurt meliputi :

1) Standarisasi Komponen Susu

Standarisasi komponen susu meliputi standardisasi terhadap kandungan

lemak dan padatan bukan lemak. Standardisasi komponen susu dilakukan untuk

memastikan batas-batas tingkat komponen susu yang diisyaratkan dalam

pembuatan yoghurt dan untuk memenuhi kesukaan konsumen. Kandungan lemak

21

pada pembuatan yoghurt berbeda-beda di setiap negara dari yang terendah sebesar

0,1 % sampai tertinggi 10 % (Tamime dan Robinson, 1985). Seperti halnya

kandungan lemak susu, persentase padatan bukan lemak (terutama laktosa, protein,

dan mineral) dalam susu untuk pembuatan yoghurt juga berbeda-beda di setiap

negara sesuai standar yang diberlakukan, tergantung pada karakteristik fisik,

kimia, dan cita rasa yoghurt yang dikehendaki. Di Indonesia, batas kandungan

minimal padatan bukan lemak susu untuk pembuatan yoghurt sesuai dengan

syarat mutu yoghurt (Badan Standardisasi Nasional, 2009) minimal adalah 8,2%.

2) Homogenisasi

Homogenisasi adalah suatu proses pengecilan ukuran globula lemak susu

atau produk susu hingga mencapai kira-kira 1/10 ukuran asalnya. Homogenisasi

dapat dilakukan dengan menekan produk di bawah tekanan tinggi (Stevenson dan

Miller, 1962 dikutip Mansyah, 2004). Menurut Buckle et al., (1987),

homogenisasi unsur-unsur sebelum pasteurisasi dapat meningkatkan konsistensi

dan stabilitas fisik dengan menghasilkan dadi susu yang seragam dan kuat.

Homogenisasi susu menyebabkan sebagian dari partikel-partikel kasein bersatu

dengan butiran lemak.

3) Pasteurisasi

Pasteurisasi pada susu dilakukan untuk mencegah penularan penyakit dan

mencegah kerusakan akibat mikroorganisme dan enzim. Kondisi pasteurisasi

dimaksudkan untuk memberikan perlindungan maksimum terhadap penyakit yang

dibawa oleh susu, dengan mengurangi seminim mungkin kehilangan zat gizinya,

dan sementara itu mempertahankan semaksimal mungkin cita rasa segar (Buckle

et al., 1987). Menurut Tamime dan Robinson (2000), pasteurisasi dapat

22

meningkatkan konsentrasi padatan susu. Selain itu pasteurisasi juga dilakukan

untuk menciptakan kondisi optimum untuk pertumbuhan starter yoghurt.

Perlakuan pasteurisasi susu dalam pembuatan yoghurt berbeda-beda. Pemanasan

pada susu pada suhu 80 – 85oC selama 30 menit dianggap telah optimal (Vernam

dan Sutherland, 1994).

4) Inokulasi dan Inkubasi

Susu yang telah dipasteurisasi didinginkan sampai suhu 45oC. Tujuan

pendinginan ini adalah untuk menciptakan kondisi optimum bagi pertumbuhan

starter yoghurt. Inokulasi starter dilakukan sebanyak 2 – 5% (Dewipadma, 1978

dikutip Basriman, 1988). Inkubasi atau fermentasi yogut dapat dilakukan pada

suhu ruang ataupun suhu 45oC. Namun, menurut Surono (2004), suhu fermentasi

optimum adalah 42 – 45oC selama 3 – 6 jam. Menurut Tamime dan Robinson

(2000), semakin rendahnya suhu inkubasi menyebabkan lambatnya pembentukan

asam. Pada suhu inkubasi 30oC atau suhu ruang, fermentasi yoghurt dapat

berlangsung selama 18-24 jam tegantung pada konsentrasi starter yang

ditambahkan.

5) Pendinginan dan Pengemasan

Penyimpanan bertujuan untuk mengontrol aktivitas starter dan enzim yang

dikandungnya. Pendinginan koagulum dilakukan segera setelah tercapai keasaman

yang dikehendaki. Pendinginan terbaik untuk mengontrol produksi asam adalah

pada suhu 5oC (Tamime dan Robinson, 1989). Pendinginan dapat disertai dengan

perlakuan pengemasan untuk mencegah kontaminasi dan memperpanjang masa

simpan yoghurt. Cara pengemasan dilakukan sesuai dengan tipe yoghurt yang

23

dikehendaki (set yoghurt atau stirred yoghurt) (Mansyah, 2004). Tahapan

pembuatan yoghurt secara umum dapat dilihat pada gambar 6.

Inokulasi

InkubasiT = 42oC, t = 5 Jam

PasteurisasiT = 80oC, t = 30 menit

Susu

Homogenisasi

Pendinginan(T = 5oC)

Yoghurt.

(Mansyah, 2004)

2.3 Probiotik

Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang mempunyai

kemampuan terapeutik pada manusia dan hewan yang bekerja dengan cara

memperbaiki keseimbangan bakteri dalam saluran pencernaan dan probiotik dapat

merangsang fungsi antibiotik dalam sistem kekebalan tubuh serta meningkatkan

daya tahan tubuh itu sendiri (Gibson dan Fuller, 1999). Mikroorganisme probiotik

tidak dapat berpengaruh terhadap lingkungannya selama populasinya tidak

mencapai 106 hingga 108 CFU per gram dalam saluran usus (Walstra et al., 2006).

Starte

Gambar 6. Diagram Proses Pembuatan Yoghurt Secara Umum

24

Salah satu kelompok bakteri yang telah banyak digunakan sebagai

probiotik adalah bakteri asam laktat. Banyak spesies bakteri yang digunakan

dalam industri fermentasi susu, tidak semua bakteri tersebut dapat bersifat sebagai

probiotik. Syarat yang harus dipenuhi antara lain :

1) Mempunyai viabilitas yang tinggi sehingga tetap hidup, tumbuh dan aktif

dalam sistem pencernaan.

2) Berasal dari genus bakteri yang aman untuk di konsumsi.

3) Tahan terhadap asam dan kondisi anaerob.

4) Mampu tumbuh dengan cepat dan menempel pada dinding saluran pencernaan.

5) Mampu menghambat bakteri patogen (Roberfroid, 2000).

Prinsip dasar kerja probiotik adalah pemanfaatan kemampuan

mikroorganisme dalam memecah atau menguraikan rantai panjang karbohidrat,

protein, dan lemak yang menyusun dari asupan yang diberikan. Kemampuan ini

diperoleh karena adanya enzim-enzim khusus yang dimiliki oleh mikroba untuk

memecah ikatan tersebut (Feliatra, et al., 2004).

Sejumlah keuntungan yang diberikan dari penggunaan bakteri probiotik

antara lain yaitu (Çaglar et al., 2005, Wahlqvist, 2002, Schrezenmeir & Vrese,

2001):

a) Meningkatkan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit yang mudah

menular.

b) Mengurangi laktosa intoleran.

c) Pencegahan penyakit usus, diare, radang lambung, infeksi vaginal dan

urogenital.

25

d) Mengurangi tekanan darah dan mengatur hipertensi, konsentrasi serum

kolestrol.

e) Mengurangi alergi, infeksi pernapasan.

f) Memberi ketahanan untuk kemoterapi kanker dan mengurangi kerusakan

kanker kolon.

g) Menghalangi bakteri yang secara langsung ataupun tidak langsung

mengkonversi pro karsinogen penyebab kanker.

h) Mengubah motilitas koloni dan dan waktu perpindahannya.

Mekanisme probiotik dalam memperbaiki dan menstimulir sistem imun

adalah dengan meningkatkan aktifitas makrofag, menigkatkan kandungan antibodi,

mefasilitasi transport antigen, dan membantu perbaikan mukosa (Sarale, 2000

dikutip Surono, 2004). Bakteri probiotik yang sudah melalui uji klinis antara lain

Lactobacillus acidophilus, Bifidobacterium sp., dan Lactobacillus casei Shirota

strain (Winarno, et al., 2003).

Bakteri probiotik yang akan digunakan dalam pembuatan yoghurt sinbiotik

ini adalah Lactobacillus acidophillus. Lactobacillus acidophilus berbentuk rantai

dan bersifat homofermentatif, ditemukan dalam usus manusia, sehingga bakteri ini

dapat dikategorikan sebagai probiotik. Bakteri ini tergolong gram positif dan tidak

membentuk spora. Menurut Tamime dan Robinson (2000),

Lactobacillus acidophilus merupakan Lactobacili yang bersifat obligat

homofermentatif dan non-motil. Suhu optimum pertumbuhannya yaitu 35-450C,

tidak tumbuh pada suhu kurang dari 150C dan pH optimum untuk

pertumbuhannya yaitu 5,5-6,0. Lactobacillus acidophilus dapat memproduksi

26

asam laktat sebanyak 0,3-1,9%. Bentuk sel Lactobacillus acidophilus dapat dilihat

pada Gambar 7.

Gambar 7. Bentuk Sel Lactobacillus acidophilus(Modler, 2005)

Menurut Kanbe dalam Nakazawa dan Hosono (1992), kerja fisiologis

Lactobacillus acidophilus adalah meningkatkan mikroflora usus karena

Lactobacillus acidophilus dapat hidup dalam saluran pencernaan.

Lactobacillus acidophilus memiliki beberapa efek bagi tubuh manusia. Bakteri ini

dapat meningkatkan metabolisme protein, meningkatkan metabolisme vitamin B1,

B2, B6, B12, asam nikotinat, dan asam folat, memiliki aktivitas antimikroba,

mencegah konstipasi, serta mampu menekan terjadinya kanker kolon karena

aktifitas enzimnya mampu menurunkan produksi zat karsinogen dan mencegah

pengembangan kanker di dalam pencernaan. Lactobacillus acidophilus dapat

menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran pencernaan,

mengendalikan kadar serum kolesterol yang diduga mampu menurunkan

kolesterol, meningkatkan kemampuan cerna laktosa serta mengurangi resiko sakit

perut dan diare (Gilliland, 1989 dikutip Paramita, 2008).

27

2.4 Sinbiotik

Sinbiotik merupakan probiotik dan prebiotik yang dikombinasikan dalam

produk makanan. Probiotik merupakan mikroorganisme non patogen yang hidup

sebagai mikroflora pencernaan yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap

kesehatan manusia, sedangkan prebiotik merupakan substrat atau bahan makanan

bagi bakteri probiotik dimana substrat ini akan membantu meningkatkan

pertumbuhan dan keaktifan satu atau lebih bakteri probiotik yang berada dalam

satu kolon sehingga diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat

memberikan perlindungan pada kesehatan saluran pencernaan (Collins dan

Gibson, 1999).

Minuman sinbiotik yaitu minuman yang mengandung prebiotik dan

probiotik. Mekanisme kerja prebiotik dan probiotik dalam meningkatkan daya

tahan usus antara lain dengan cara mengubah lingkungan saluran usus baik pH

ataupun kadar oksigennya, berkompetisi dengan bakteri jahat hingga mengurangi

kesempatan untuk bakteri jahat berkembang biak. Penggunaan sinbiotik

memungkinkan untuk mengontrol jumlah mikroflora baik di dalam saluran

pencernaan. Kombinasi yang baik antara prebiotik dan probiotik dapat

meningkatkan jumlah bakteri baik (probiotik) yang mampu bertahan hidup dalam

saluran pencernaan dengan melakukan fermentasi terhadap substrat (Collins dan

Gibson, 1999).

Manfaat produk sinbiotik telah banyak diungkapkan. Salah satu yang

terpenting adalah kemampuannya untuk mengatasi diare yang disebabkan bakteri

patogen dan menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan. Menurut

Collins dan Gibson (1999) mekanisme penting dari pengaruh sinbiotik adalah

28

melalui pengaruhnya terhadap mikroflora usus besar. Konsumsi sinbiotik

diharapkan dapat meningkatkan jumlah bakteri yang menguntungkan, seperti

Bifidobacteria dan Lactobacillus dan menurunkan bakteri merugikan penyebab

diare.

2.5 Pendugaan Umur Simpan

Menurut Syarief et al. (1989), secara garis besar umur simpan dapat

ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (extended storage studies,

ESS) dan metode akselerasi kondisi penyimpanan (ASS atau ASLT). Umur

simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kedaluwarsanya

dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu ESS

dan ASS atau ASLT (Floros dan Gnanasekharan 1993).

Penentuan umur simpan produk dengan ESS, yang juga sering disebut

sebagai metode konvensional, adalah penentuan tanggal kedaluwarsa dengan cara

menyimpan satu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan

pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai

tingkat mutu kedaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal

penemuan dan penggunaan metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang

dan analisis parameter mutu yang relatif banyak serta mahal. Dewasa ini metode

ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai masa kedaluwarsa kurang

dari 3 bulan (Floros dan Gnanasekharan 1993).

Metode konvensional biasanya digunakan untuk mengukur umur simpan

produk pangan yang telah siap edar atau produk yang masih dalam tahap

penelitian. Pengukuran umur simpan dengan metode konvensional dilakukan

29

dengan cara menyimpan beberapa bungkusan produk yang memiliki berat serta

tanggal produksi yang sama pada beberapa desikator atau ruangan yang telah

dikondisikan dengan kelembapan yang seragam. Pengamatan dilakukan terhadap

parameter titik kritis dan atau kadar air (Floros dan Gnanasekharan 1993).

Penentuan umur simpan produk dengan metode konvensional dapat

dilakukan dengan menganalisis kadar air suatu bahan, memplot kadar air tersebut

pada grafik kemudian menarik titik tersebut sesuai dengan kadar air kritis produk.

Perpotongan antara garis hasil pengukuran kadar air dan kadar air kritis ditarik

garis ke bawah sehingga dapat diketahui nilai umur simpan produk. Selain

berdasarkan hasil analisis kadar air, kadar air kritis dapat ditentukan berdasarkan

mutu fisik produk (Arpah 2001).

Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau sering disebut

dengan ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan

yang dapat mempercepat proses penurunan mutu (usable quality) produk pangan.

Salah satu keuntungan metode ASS yaitu waktu pengujian relatif singkat (3−4

bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi (Arpah 2001).

Kesempurnaan model secara teoritis ditentukan oleh kedekatan hasil yang

diperoleh (dari metode ASS) dengan nilai ESS. Hal ini diterjemahkan dengan

menetapkan asumsi-asumsi yang mendukung model. Variasi hasil prediksi antara

model yang satu dengan yang lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat

ketidak- sempurnaan model dalam mendiskripsikan sistem, yang terdiri atas

produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah 2001).

Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan

dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi

30

dengan menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria

kedaluwarsa, dan pendekatan semiempiris dengan bantuan persamaan Arrhenius,

yaitu dengan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo nol atau satu

untuk produk pangan. Model persamaan matematika pada pendekatan kadar air

diturunkan dari hukum difusi Fick unidireksional. Terdapat empat model

matematika yang sering digunakan, yaitu model Heiss dan Eichner (1971), model

Rudolf (1986), model Labuza (1982), dan model waktu paruh (Syarief et al. 1989).

Tahapan penentuan umur simpan dengan ASS meliputi penetapan

parameter kriteria kedaluwarsa, pemilihan jenis dan tipe pengemas, penentuan

suhu untuk pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi pengambilan contoh,

plotting data sesuai ordo reaksi, analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis

pendugaan umur simpan sesuai batas akhir penurunan mutu yang dapat ditolerir.

Penentuan umur simpan dengan AAS perlu mempertimbangkan faktor teknis dan

ekonomis dalam distribusi produk yang di dalamnya mencakup keputusan

manajemen yang bertanggung jawab.

2.5 Accelerated Shelf Life Testing (ASLT)

Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dilakukan dengan cara

menyimpan produk pangan pada lingkungan ekstrim, sehingga menyebabkan

produk pangan yang disimpan cepat rusak, baik pada suhu atau kelembaban ruang

penyimpanan yang lebih tinggi. Salah satu keuntungan metode ASS (Accelerated

Storage Studies) atau metode akselerasi ini adalah waktu yang relatif singkat (3-4

bulan), namun memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.

31

Pendekatan metode ASLT dapat dilakukan dengan model kadar air kritis.

Menurut Kusnandar (2006) dikutip Nugroho (2007), model kadar air kritis

biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari

lingkungan selama penyimpanan. Selain model kadar air kritis, metode ASLT

dapat dilakukan dengan model Arrhenius. Model Arrhenius banyak digunakan

untuk pendugaan umur simpan bahan pangan yang mudah rusak oleh reaksi kimia,

seperti oksidasi lemak, reaksi Maillard, denaturasi protein, serta yang sensitif

terhadap suhu (Ristiani, 2014).

Model Arrhenius banyak digunakan oleh industri pangan karena dapat

memberikan kerusakan produk pangan secara tepat dengan waktu yang relatif

singkat. Model Arrhenius menggunakan teori kinetika yang pada umumnya

menggunakan ordo nol atau satu untuk produk pangan. Model persamaan

matematika pada pendekatan kadar air diturunkan dari hukum difusi Fick

unidireksional. Terdapat empat model matematika yang sering digunakan, yaitu

model Heiss dan Eichner (1971), model Rudolf (1986), model Labuza (1982), dan

model paruh waktu (Syarief dan Halid, 1993).

Menurut Syarief dan Halid (1993), dalam penentuan umur simpan, metode

Arrhenius sangat baik untuk diterapkan dalam penyimpanan produk pada suhu

penyimpanan yang relatif stabil dari waktu ke waktu. Selanjutnya laju penurunan

mutu ditentukan dengan persamaan Arrhenius berdasarkan persamaan.

Keterangan:

KT = laju reaksi pada suhu (T)

�� � �� � ��儰˿窈ˮ� � �� ���t窈�

32

A0 = konstanta laju kinetik pre-eksponensial

Ea = energi aktivasi (Joule/g mol)

R = tetapan gas konstan (8.315 J/g moloK)

T = temperature penyimpanan (oK)

B = konstanta eksponensial

Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai

besarnya pengaruh temperatur terhadap reaksi. Nilai Ea diperoleh dari slope grafik

garis lurus hubungan ln K dengan (1/T). Dengan demikian, energi aktivasi yang

besar mempunyai arti bahwa nilai ln K berubah cukup besar dengan hanya

perubahan beberapa derajat dari temperatur. Dengan demikian, nilai slope akan

besar (Arpah, 2001). Lebih lanjut, besarnya nilai energi aktivasi dapat

digolongkan menjadi tiga, yaitu :

1) Kecil (Ea 2-15 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan

karatenoid, klorofil, atau oksidasi asam lemak.

2) Sedang (Ea 15-30 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan

vitamin, kerusakan pigmen yang larut air, dan reaksi Mailard.

3) Besar (Ea 50-100 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena denaturasi

enzim, inaktivasi mikroba dan sporanya.

Reaksi kimia pada umumnya dipengaruhi oleh suhu. Oleh sebab itu model

Arrhenius mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi

penyimpanan suhu tinggi di atas suhu penyimpanan normal. Laju reaksi kimia

yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi

ordo 0 dan ordo 1 (Kusnandar, 2006 dikutip Wahyuningrum, 2010). Pada reaksi

ordo nol, laju perubahan A menjadi B dinyatakan sebagai berikut:

33

dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diatas, diperoleh persamaan

sebagai berikut:

Dimana:

C0= nilai mutu awal

Ct = nilai mutu pada masa akhir shelf life

K = konstanta laju reaksi

Menurut Labuza (1982) dan penelitian Hariyadi dan Andarwulan (2006),

tipe kerusakan pangan yang mengikuti model reaksi ordo nol adalah perubahan

kadar air seperti degradasi enzimatis (misalnya pada buah dan sayuran segar serta

beberapa pangan beku), reaksi kecoklatan non-enzimatis (misalnya pada biji-

bijian kering dan produk susu kering) dan reaksi oksidasi lemak (misalnya

peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku).

Jika pada reaksi ordo nol, persentase penurunan mutu bersifat konstan

pada suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara

eksponensial. Pada reaksi ordo satu, laju perubahan A menjadi B dinyatakan

sebagai berikut:

dengan integrasi, diperoleh persamaan sebagai berikut:

����

� �

�ㄱ � �� � �ㄱ

����

� � ��

�� �ㄱ � ln �� � �� �ㄱh

34

Dimana:

C0 = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t

Ct = nilai mutu pada akhir masa shelf life

K = konstanta laju reaksi ordo-1 (first order)

Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam rekasi ordo satu

diantaranya (1) ketengikan (misalnya pada minyak salad dan sayuran kering); (2)

pertumbuhan mikroorganisme (misal pada ikan dan daging, serta kematian

mikoorganisme akibat perlakuan panas); (3) produksi off flavor oleh mikroba; (4)

kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5)

kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza, 1982 dan Hariyadi dan

Andrawulan, 2006).

Konstanta laju reaksi kimia (k), baik ordo nol maupun ordo satu dapat

dipengaruhi oleh suhu. Secara umum reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu

tinggi. Oleh sebab itu konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada

suhu yang lebih tinggi.

Penentuan umur simpan dengan pendekatan Arrhenius dilakukan dalam

beberapa tahapan, yaitu penetapan parameter kriteria kadaluarsa, pemilihan jenis

dan tipe pengemas, penentuan suhu untuk pengujian, prakiraan waktu dan

frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai ordo reaksi, analisis sesuai

suhu penyimpanan, dan analisis pendugaan umur simpan sesuai batas akhir

penurunan mutu yang dapat ditolerir (Kusnandar, 2004 dikutip Ristiani, 2014).

Menurut Herawati, 2008 dikutip Ramadhani, 2015, penentuan umur simpan

dengan AAS perlu mempertimbangkan faktor teknis dan ekonomis dalam

35

distribusi produk yang di dalamnya mencakup keputusan manajemen yang

bertanggung jawab.

Perubahan indikator mutu disebabkan adanya pengaruh dari faktor

lingkungan, seperti suhu, kelembaban, dan tekanan udara atau karena faktor

komposisi produk pangan tersebut. Suhu merupakan faktor yang sangat

berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan, semakin tinggi suhu

penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia di dalam bahan pangan

akan semakin cepat. Oleh karena itu faktor suhu harus selalu diperhitungkan

dalam menduga kecepatan penurunan mutu,. Penggunaan suhu inkubasi untuk

mengetahui umur simpan produk dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Suhu Percobaan Penyimpanan (°C) yang Dianjurkan untukMenguji Masa Kadaluarsa Makanan

Jenis makananbeku

Jenis makanan kering –semi basah

Makanan yang diolahsecara termal

-40 (kontrol) 0 (kontrol) 5 (kontrol)-15 Suhu kamar Suhu kamar-10 30 30-5 35 35

40 4045 (jika diperlukan)

Sumber : Syarief dan Halid, 1993

Model Q10 merupakan pemanfaatan lebih lanjut dari model Arrhenius.

Model ini dipakai untuk menduga berapa besar perubahan laju reaksi oksidasi atau

laju penurunan mutu produk makanan jika produk tersebut disimpan pada suhu-

suhu tertentu (Ristiani, 2014). Model Q10 dapat digunakan untuk menduga masa

kadaluarsa produk makanan tertentu yang disimpan pada berbagai suhu (Syarief

dan Halid, 1993). Q10 disebut juga dengan istilah faktor percepatan reaksi yang

dirumuskan sebagai berikut:

��� ���t��t

�����儰˿窈ˮ�����h

����儰˿窈ˮ��h

36

Model Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan

kemasan pada suhu penyimpanan ekstrim. Percobaan dengan metode Arrhenius

bertujuan untuk menentukan konstanta laju reaksi (k) pada beberapa suhu

penyimpanan ekstrim, yang selanjutnya dilakukan ekstrapolasi untuk menghitung

konstanta laju reaksi (k) pada suhu penyimpanan yang diinginkan melalui

persamaan Arrhenius. Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta

penurunan mutu) pada suhu penyimpanan umur simpan, kemudian dihitung umur

simpan sesuai dengan ordo reaksinya (Wahyuningrum, 2010).