II. TINJAUAN PUSTAKA - vrizaytip.files.wordpress.com file · Web viewModified Cassava Flour (MOCAF)...

29
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modified Cassava Flour (MOCAF) Ketergantungan pangan bangsa Indonesia terhadap beras dan gandum sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan (Hariyadi dan Giriwono, 2004). Sebagai negara yang besar dan subur, Indonesia tidak seharusnya bergantung pada impor beras dan gandum karena hal tersebut hanya akan menghidupkan roda perekonomian negara pemasok. Ubi kayu merupakan salah satu contoh penghasil karbohidrat yang sangat tepat untuk tujuan diversifikasi makanan. Tepung kasava dimanfaatkan secara luas sebagai produk pangan, antara lain roti, kue kering, biskuit, bolu, mie instant dan berbagai jenis produk lainnya. Tepung kasava yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan telah melalui proses modifikasi komposisi kimia dan fisiknya. Salah satu cara memodifikasi komponen tepung ubi kayu adalah melalui proses fermentasi. Menurut Subagio (2008), fermentasi

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - vrizaytip.files.wordpress.com file · Web viewModified Cassava Flour (MOCAF)...

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Modified Cassava Flour (MOCAF)

Ketergantungan pangan bangsa Indonesia terhadap beras dan gandum

sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan (Hariyadi dan Giriwono, 2004).

Sebagai negara yang besar dan subur, Indonesia tidak seharusnya bergantung pada

impor beras dan gandum karena hal tersebut hanya akan menghidupkan roda

perekonomian negara pemasok. Ubi kayu merupakan salah satu contoh penghasil

karbohidrat yang sangat tepat untuk tujuan diversifikasi makanan. Tepung kasava

dimanfaatkan secara luas sebagai produk pangan, antara lain roti, kue kering,

biskuit, bolu, mie instant dan berbagai jenis produk lainnya.

Tepung kasava yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan telah

melalui proses modifikasi komposisi kimia dan fisiknya. Salah satu cara

memodifikasi komponen tepung ubi kayu adalah melalui proses fermentasi.

Menurut Subagio (2008), fermentasi merupakan salah satu tahap produksi tepung

kasava dengan prinsip modifikasi sel ubi kayu. Pada proses fermentasi,

mikroorganisme memiliki peran yang besar dalam merombak komposisi dan

komponen ubi kayu. Salah satu bentuk tepung ubi kayu terfermentasi adalah

Modified Cassava Flour (Mocaf) atau tepung ubi kayu termodifikasi.

Mocaf adalah produk tepung dari ubi kayu yang diproses menggunakan

prinsip memodifikasi ubi kayu melalui proses fermentasi. Proses fermentasi ini

melibatkan berbagai mikroorganisme, yang paling dominan adalah bakteri asam

laktat. Mikroorganisme yang digunakan menghasilkan enzim pektinolitik dan

5

6

selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu. Dinding sel ubi kayu

yang hancur ini akan menyebabkan liberasi granula pati. Mikroorganisme yang

digunakan dalam fermentasi ubi kayu juga menghasilkan enzim-enzim yang dapat

menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya diubah menjadi asam-asam

organik. Asam organik yang dominan dihasilkan adalah asam laktat. Hal ini akan

menyebabkan perubahan karakteristik tepung meliputi perbaikan viskositas,

kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan larut. Selain itu, asam organik

yang dihasilkan akan memperbaiki cita rasa tepung yang dihasilkan menjadi netral

dengan menutupi cita rasa singkong sampai 70% (Subagio, 2008).

Pengolahan mocaf secara teknis sangat sederhana, mirip dengan cara

pengolahan tepung ubi kayu konvensional, namun disertai dengan proses

fermentasi. Proses produksi mocaf dimulai dengan pengupasan kulit ubi kayu,

pencucian sampai bersih, pengecilan ukuran, dilanjutkan dengan tahap fermentasi

selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, ubi kayu tersebut dikeringkan dan

ditepungkan sehingga dihasilkan produk mocaf (Subagio, 2008). Selama proses

fermentasi terjadi pula penghilangan komponen penimbulan warna, seperti

pigmen (khususnya pada ketela kuning) dan protein yang dapat menyebabkan

warna coklat ketika pemanasan. Dampaknya adalah warna mocaf yang

dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa.

Selain itu, proses ini akan menghasilkan tepung yang secara karakteristik dan

kualitas hampir menyerupai tepung terigu. Sehingga produk mocaf sangat cocok

untuk menggantikan bahan terigu untuk kebutuhan industri makanan.

7

Menurut Assyaukani (2008), keunggulan tepung mocaf adalah sebagai

berikut:

1. Kandungan serat terlarut lebih tinggi daripada tepung gaplek.

2. Kandungan kalsium lebih tinggi (58) dibanding padi (6) /gandum (16).

3. Oligasakarida penyebab flatulensi sudah terhidrolis.

4. Mempunyai daya kembang setara dengan gandum tipe II (kadar protein

menengah).

5. Daya cerna lebih tinggi dibandingkan dengan tapioka gaplek.

Tabel 1. Perbandingan Komposisi Mocaf dan Tepung Ubi KayuKomponen Mocaf Tepung Ubi KayuAir (%)Protein (%)Abu (%)Pati (%)Serat (%)Lemak (%)HCN (mg/kg)

Maks. 13Maks. 1,0Maks. 0,285 – 871,9 – 3,40,4 – 0,8 Tidak terdeteksi

Maks. 13Maks. 1,2Maks. 0,282 – 851,0 – 4,20,4 – 0,8 Tidak terdeteksi

Sumber: Subagio (2008)

Prosedur Operasi Standar (POS) produksi mocaf dapat dilihat pada

Gambar 1. Mocaf merupakan olahan dari ubi kayu yang dapat dimakan. Oleh

karena itu, syarat mutu mocaf dapat mengacu kepada CODEX STAN 176-

1989 (Rev. 1-1995) tentang edible cassava flour seperti yang terlihat pada Tabel

2.

8

Gambar 1. Diagram Alir Proses Produksi Mocaf (Subagio,2008).

9

Tabel 2. Syarat Mutu Edible Cassava Flour CODEX STAN 176-1989 (Rev. 1-1995)Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

Air AbuSerat kasarHCNResidu pestisidaLogam beratBahan tambahan

%%%

Mg/kg---

Maks. 13Maks. 3Maks. 2Maks. 10

Sesuai dengan aturan yang berlakuTidak terdeteksiTidak terdeteksi

Sumber: Codex Aminentarius Commision (1995)

2.2 Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting

dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah

dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran

konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2003, kenaikan

tersebut terjadi mencapai 18.3%. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan

dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Sementara itu

lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena

pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo. Secara umum

lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo lebih besar

dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang dan lebih

gemuk dibandingkan lele lokal. Pada tahun 2005, lele dumbo juga menjadi salah

satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas unggulan pada Program

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin, 2007).

Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi

sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap

mutu protein dalam menu. Salah satu bahan pangan sumber protein yang dapat

10

dimanfaatkan dalam olahan makanan adalah lele dumbo. Protein dalam lele

dumbo cukup tinggi yaitu sebesar 17 persen. Kandungan asam amino ikan lele

dumbo juga cukup lengkap terutama tinggi asam amino lisin yaitu 10.5 persen

(Mervina, 2009). Komposisi gizi ikan lele disajikan pada Tabel 3 dan kandungan

asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Kandungan Gizi Daging Ikan Lele Lokal per 100 gram.Komponen JumlahProtein (g) 17Lemak (%) 4,5Kalsium (mg) 20,0Fosfor (mg) 200,0Besi (mg) 1,6Vitamin A (si) 150Vitamin B (mg) 0,05Air (mg) 7,6 Energy (kal) 113

Sumber : Mudjiman (1984)

Tabel 4. Kandungan Asam Amino Esensial Pada Ikan LeleAsam Amino Jumlah (%)Arginin 6.3Histidin 2.8Isoleusin 4.3Leusin 9.5Lisin 10.5Metionin 1.4Fenilalanin 4.8Treonin 4.8Valin 4.7Triptophan 0.8

Sumber : FAO 1972 dalam Astawan (2008)

2.3 Belut (Monopterus albus)

Ada berbagai jenis belut yang hidup diseluruh dunia, dengan berbagai

jenis dan ukuran. Dua jenis belut yang umum dikenal di negara Indonesia, yaitu

belut sawah (Monopterus albus Zuieuw)dan belut rawa (Synbranchusbengalensis

Mc.Clell). Kedua jenis belut tersebut memiliki ciri yang berbeda, yaitu bentuk

11

belut rawa lebih ramping dibandingkan belut sawah. Selain itu belut rawa dapat

hidup di dalam air payau (Sundoro, 2008).

Belut sangat bermanfaat bagi kesehatan karena kandungan gizinya yang

tinggi, seperti protein dan asam lemak tak jenuh omega 3 (Sugianto, 2011). Belut

mengandung asam lemak omega 3, yang berkisar Antara 4,48 persen sampai

dengan 11,80 persen (Astawan, 2008).

Tabel 5. Kandungan Gizi Belut per 100 gramZat Gizi Kandungan/100 gram bahanKalori (cal) 303Protein (g) 14Lemak (g) 27Karbohidrat (g) 0Fosfor (mg) 200Kalsium (mg) 20Zat Besi (mg) 20Vitamin A (SI) 1600Vitamin B (mg) 0,1Vitanib C (mg) 2Air (g) 58

(Sumber: Saparinto, 2010)

2.4 Tepung Ikan

Ikan merupakan sumber protein hewani yang memiliki kandungan protein

cukup tinggi (18-20%) ditinjau dari segi kuantitatif, juga mengandung protein

yang cukup tinggi nilai biologinya, terutama kandungan asam amino esensialnya.

Suatu hal yang sangat penting adalah bahwa bahan baku ikan sangat bervariasi

dalam jenis (spesies), mutu, komposisi kimiawi, umur, dan lain-lain, sehingga

penanganan dan pengolahan ikan sangat kompleks (Ilyas, 1977).

Menurut Barlow et al. dalam Ilyas (1977), tepung ikan adalah produk

padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian

atau seluruh lemak dari bahan berupa ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan

12

salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling

menjadi tepung. Tepung ikan adalah ikan atau bagian-bagian ikan yang

minyaknya diambil atau tidak, dikeringkan kemudian digiling (SNI 01-2715-

1996/Rev.92). Definisi ini memberi gambaran bahwa untuk sekedar menghasilkan

tepung ikan tidak memerlukan teknologi rumit. Sehingga apabila dilakukan proses

dengan cara dan alat yang lebih baik dari cara konvensional tentu akan

menghasilkan tepung dengan kualitas baik pula.

Tepung ikan mengandung nilai gizi yang tinggi terutama kandungan

proteinnya yang kaya dengan asam amino esensial terutama lisin dan methionine.

Disamping itu tepung ikan juga kaya dengan vitamin dan mineral serta

mempunyai kandungan serat yang rendah (Gantiawan Y, 2002). Selain sebagai

sumber protein, tepung ikan juga dapat digunakan sebagai sumber kalsium.

Tepung ikan yang baik mempunyai kandungan protein kasar 58-68%, air 5,5-

8,5%, serta garam 0,5-3,0% (Boniran 1999). Kandungan protein atau asam amino

tepung ikan dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan serta proses

pembuatannya. Pemanasan yang berlebihan akan menghasilkan tepung ikan yang

berwarna cokelat dan kadar protein atau asam aminonya cenderung menurun atau

menjadi rusak (Sitompul S, 2004).

Mutu tepung ikan dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahan baku yang

segar, disamping teknologi atau proses produksi yang digunakan dalam

pembuatan tepung ikan. Disamping itu, sanitasi dan hiegene juga dapat

mempengaruhi mutu tepung ikan yang dihasilkan. Selain digunakan sebagai

13

bahan untuk pakan, tepung ikan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan

yang dikonsumsi manusia.

Tepung ikan di Indonesia dikenal sebagai fish meal, terbuat dari limbah

hasil pengolahan maupun hasil sampingan. Tepung jenis ini biasa digunakan

sebagai pakan ternak. Umumnya tepung ikan tersebut dari limbah ikan yang

berdaging putih dan juga ikan-ikan pelagis kecil, seperti herring, sardine, dan

pilchards. Disamping itu juga terbuat dari ikan-ikan hasil sampingan operasi

penangkapan (by catch) (Burgess et al. 1967 dalam Gantiawan Y, 2002).

Tepung ikan yang digunakan untuk konsumsi manusia dikenal dengan

nama fish flour yang mempunyai mikroelemen lengkapa yang dibutuhkan oleh

tubuh serta mempunyai efek biologis yang tinggi. Di Negara-negara yang maju

seperti USA dan Swedia, pembuatan fish flour ini sudah dikembangkan. Namun

di Indonesia fish flour untuk berbagai produk konsumsi manusia masih perlu

diimpor karena tepung ikan yang diproduksi sebagian besar digunakan sebagai

pakan ternak. Fish flour merupakan produk Antara yang kemudian diolah lebih

lanjut menjadi berbagai jenis prosuk seperti kerupuk, mie, atau campuran ptoduk

pangan lainnya (Gantiawan Y, 2002).

Pembuatan tepung ikan yang akan diproduksi untuk keperluan konsumsi

manusia, harus memenuhi kandungan gizi yang diperlukan. Produk tersebut

terlebih dahulu memberikan kesan yang menarik dari penampakan maupun

penggunaannya (BPPP, 1993). Bagan proses pembuatan tepung ikan untuk

pangan disajikan pada gambar 2.

14

Gambar 2. Bagan Proses Pembuatan Tepung Ikan (Dullah et al, 1985).

Standar mutu tepung ikan ditentukan oleh komposisi kimia dan nilai

organoleptiknya. Tepung ikan berdasarkan Standar Nasional Indonesia dibagi

menjadi tiga tingkatan mutu dan standar ini merupakan acuan untuk menentukan

mutu yang berkaitan dengan harga dari tepung ikan tersebut. Standar Nasional

Indonesia tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

15

Tabel 6. Standar Nasional Indonesia Tepung Ikan Karakteristik Mutu I Mutu II Mutu III

Kimia:Air (%)Protein kasar (%)Serat kasar (%)Abu (%)Lemak (%)Ca (%)P (%)NaCl (%)

Mikrobiologi: Salmonella (pada 25 gram)

Organoleptik

Maks. 10Maks. 65Maks. 1,5Maks. 20Maks. 82,5 – 5,01,6 – 3,2

2

NegatifMin. 7

Maks. 12Maks. 55Maks. 2,5Maks. 25Maks. 102,5 – 6,01,6 – 4,0

3

NegatifMin. 6

Maks. 12Maks. 45Maks. 3Maks. 30Maks. 122,5 – 7,01,6 – 4,7

4

NegatifMin. 6

Sumber: SNI 01-2715-1996

Tepung ikan merupakan sumber protein yang sangat baik karena dapat

meningkatkan konsumsi makanan (Solangi et al. 2002). Tepung ikan yang

dipasarkan memiliki protein kasar 65%, tetapi dapat bervariasi dari 57-77%

tergantung pada spesies ikan yang digunakan (Maigualema dan Gernet, 2003).

Menurut Jassim (2010) komposisi kimia tepung ikan, yaitu protein kasar 60%,

kadar air 2,5%, lemak 2,54%, dan kadar abu 1,2%. Ikan tuna memiliki komposisi

proksimat adalah kadar air 6,6%, protein 61,3%, lemak 13,6%, dan abu 19,4 %

(Tekinay et al., 2009).

Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat sebagai

berikut: butiran-butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan

dan benda asing lainnya (Moeljanto, 1992). Kadar mineral dalam tepung ikan

akan terlihat dari kadar abunya, namun kotoran dari luar berupa pasir pun akan

ikut dalam kadar abu, sehingga bentuk tepung ikan yang baik dan bersih kadar

abunya akan mencerminkan kadar mineral yang terkandung (Sunarya, 1990).

16

2.5 Mie

Mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia. Sekitar 40% dari

konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mie. Di Indonesia

pada tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie mencapai 60 -

70% (Kruger dan Robert, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa mie merupakan

makanan yang sangat popular di Asia khususnya Indonesia.

Mie dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Pembagian jenis

mie yang paling umum yaitu berdasarkan warna, ukuran diameter mie, bahan

baku, cara pembuatan, jenis produk yang dipasarkan, dan kadar air. Berdasarkan

warnanya, mie yang ada di Asia dibagi menjadi dua jenis, yaitu mie putih dan mie

kuning karena penambahan alkali (Pagani, 1985).

Berdasarkan ukuran diameter produk mie, mie dapat dibedakan menjadi

tiga, yaitu spaghetti (2,8 – 6,9 mm), mie (1,8 – 3,2 mm) dan vermiselli (kurang

dari 1,02 mm). Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibedakan menjadi dua

jenis, yaitu kelompok mie keruh (noodle) dari bahan baku tepung terutama tepung

terigu dan mie transparan (transparent noodle) berasal dengan bahan baku dari

pati misalnya soon (dari pati beras), mie China (dari pati ubijalar) (Yustiareni,

2000).

Bila dilihat dari konsumsinya, produk mie basah dibedakan menjadi 2

yakni mie mentah (cara konsumsi dengan direbus terlebih dahulu, misalnya mie

ayam) dan mie matang (langsung dapat dikonsumsi tanpa perbusan, misalnya mie

kuning atau mie baso). Mie juga dapat dibagi menjadi dua berdasarkan kandungan

17

airnya yakni, mie basah (mie ayam, mie kuning) dan mie kering (mie telor dan

mie instan) (Hardiningsih, 1999).

Berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, Winarno dan Rahayu

(1994) membagi mie yang terbuat dari gandum menjadi lima golongan, yaitu : (1)

mie basah mentah yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan

dengan kadar air 35%, (2) mie basah matang, yaitu mie basah mentah yang telah

mengalami perebusan dalam air mendidih sebelum dipasarkan dengan kadar air

52%, (3) mie kering, yaitu mie basah mentah yang langsung dikering dengan

kadar air 10%, (4) mie goreng, yaitu mie mentah yang lebih dahulu digoreng

sebelum dipasarkan, dan (5) mie instan, yaitu mie basah mentah yang telah

mengalami pengukusan dan pengeringan sehingga menjadi mie instan kering atau

digoreng sehingga menjadi mie instan goreng.

2.6 Mie Instan

Mie instan dibuat dengan menambah beberapa proses setelah diperoleh mi

segar pada akhir tahap pemotongan (cutting). Tahap-tahap tersebut adalah

pengukusan, pembentukan (per porsi) dan pengeringan. Mie instan dengan kadar

air 5-8% biasanya dikemaas bersama dengan bumbunya. Dalam keadaaan seperti

ini, mie instan memiliki daya simpan yang lama (Munarso, 1998).

Berdasarkan proses pengeringannya, dikenal ada dua macam mie instan.

Pengeringan yang dilakukan dengan cara menggorenga menghasilkan mie instan

goreng (instant fried noodle). Sedangkan bila dikeringkan dengan udara panas

diperoleh mie instan kering (instant dried noodle) (Munarso 1998).

18

Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3551-2000 (Tabel 7), mie

instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung

terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan

makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang siap dihidangkan setelah

dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Kadar air mie

instan umumnya mencapai 5 – 8 %. Sehingga mempunyai daya simpan yang

cukup lama (Widianingsih dan Murtini, 2006).

Hoseney (1994) menyebutkan bahwa untuk mendapatkan penerimaan

konsumen yang baik, mie instan harus bebas dari ketengikan. Bila mie instan

direbus sebaiknya tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air perebusan. Setelah

direbus, mie harus masih cukup kompak dan permukaannya tidak lengket.

Menyangkut aspek warna, konsumen umumnya menyukai warna putih. Namaun

demikian, hampir seluruh mi instan komersial yang ada di Indonesia berwarna

kuning. Baik el at. (1994) menggunakan larutan Brine sebagai cairan pembentuk

adonan. Larutan Brine merupakan larutan yang memiliki komposisi 5,18%

natrium klorida, 0,26% natrium karbonat dan 0,26% kalium karbonat. Larutan ini

bersifat alkali, dan karenanya memicu pigmen flavonoid untuk muncul berwarna

kuning.

19

Tabel 7. Standar Mutu Mie Instan Standar Nasional Indonesia

Uraian Satuan PersyaratanKeadaan FisikTekstur NormalRasa - NormalBau NormalWarna NormalBenda asing - Tidak boleh adaKeutuhan Persen b/b Minimal 90Kadar AirProses Penggorengan Persen b/b Maksimal 10Proses Pengeringan Persen b/b Maksimal 14,5Kadar ProteinMie dari terigu Persen b/b Minimal 8Mie bukan dari terigu Persen b/b Minimal 4Bilangan Asam mg KOH/g minyak Maksimal 2Cemaran LogamTimbal (Pb) mg/kg Maksimal 2Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,05Arsen mg/kg Maksimal 0,5Cemaran MikrobaAngka Lempeng Total koloni/gr Maksimal 1,0 x 106

E. coli APM/gr < 3Salmonella - Negatif per 25 gKapang koloni/gr Maksimal 1,0 x 103

Sumber: SNI 01-3551-2000

2.7 Analisa Finansial

Keberhasilan ekonomi suatu usaha pengolahan tergantung kemampuan

manajemen perusahaan dalam mengatur perbedaan antara biaya produksi dan

pendapatan yang melibatkan aspek keteknikan dan ekonomi melalui analisis

finansial. Analisis biaya merupakan suatu kegiatan yang meliputi identifikasi

biaya, pengukuran, alokasi dan pengendalian yang merupakan kegiatan penting

dalam suatu perusahaan. Penggolongan biaya menurut perubahannya terhadap

volume produk adalah biaya tetap, variable, dan semi variable (Masruri 1998).

20

Analisis finansial pendirian usaha diperlukan untuk memperhitungkan

jumlah dana yang diperlukan untuk pendirian dan pelaksanaan usaha tersebut.

Disamping itu analisis finansial dapat digunakan untuk mendapatkan proyeksi

rugi laba dan perhitungan arus masuk dan keluar. Kriteria utama kelayakan suatu

usaha untuk dilaksanakan adalah perbandingan keuntungan yang diperoleh

dengan biaya yang dikeluarkan atau Net B/C, Net Present Value (NPV) dan

Internal Rate of Return (IRR) (Masruri H, 1998).

Beberapa literatur menggunakan kriteria investasi dalam menentukan

kelayakan suatu proyek untuk dilaksanakan. Adapun kriteria tersebut meliputi:

1. Net Present Value (NPV)

NPV adalah selisih harga sekarang antara penerimaan terhadap pengeluaran

pada tingkat suku bunga tertentu. NPV merupakan metode untuk menghitung

selisih antara nilai sekarang investasi dengan penerimaan-penerimaan kas

bersih dimasa yang akan datang.

Kriteria keputusan yang diambil dalam analisis ini adalah layak jika nilai kas

bersih di masa yang akan datang lebih besar nilainya dari investasi (NPV ≥

0). Jika NPV sama dengan nol bearti proyek tersebut mengembalikan persis

sebesar opportunity cost faktor produksi modal. Sedangkan bila lebih keci

(NPV ≤ 0), proyek tidak dapat menghasilkan senilai biaya yang dipergunakan

atau dinilai tidak menguntungkan, sehingga ditolak.

2. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah tingkat suku bunga yang menunjukkan jumlah nilai sekarang

sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek (Gray et al. 1992).

21

Nilai IRR yang lebih besar atau sama dengan bunga bank yang berlaku,

proyek layak untuk dilaksanakan.

3. Net Benefit of Cost Ratio (Net B/C)

Net B/C merupakan perbandingan antara NPV total dari benefit bersih

terhadap total dari biaya bersih (Gray et al. 1992). Net B/C digunakan untuk

ukuran tentang efisiensi dalam penggunaan modal. Bila Net B/C > 1 proyek

dianggap layak, sedangkan net B/C = 1 merupakan titik impas.

4. Pay-Back Period (PBP)

PBP merupakan waktu sebuah gagasan usaha dapat mengembalikan seluruh

modal yang ditanam. Pengembalian dilakukan dengan pembayaran laba

bersih ditambah penyusutan (Gray et al. 1992).

5. Titik Impas (Break Event Point / BEP)

Menurut Sutojo (1993), proyek dikatakan impas bilamana jumlah hasil

penjualan produk suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya yang

ditanggung sehingga proyek tersebut tidak mengalami kerugian juga tidak

memperoleh laba.

Suatu ukuran untuk mengetahui layak atau tidak dikembangkan, maka

digunakan beberapa kriteria yang dapat dipertanggung jawabkan yaitu:

2.7.1 Harga Pokok Penjualan (HPP)

Harga pokok penjualan adalah harga minimum yang diterapkan oleh

prosedur agar tidak mengalami kerugian sementara yang dimaksudkan dengan

harga penjualan adalah harga yang dapat memberikan keuntungan bagi produsen.

Hal tersebut diakibatkan karena adanya selisih harga penjualan dan HPP.

22

Penentuan besarnya HPP dapat dipertimbangkan dengan harga produk sejenis

yang ada di pasar. Untuk mendapatkan HPP dapat digunakan rumus sebagai

berikut :

Total biaya pertahun + DepresiasiHarga pokok penjualan =

Total produksi pertahun

Total biaya adalah total biaya produksi pertahun.

2.7.2 Break Even Point (BEP)

Break Even Point (BEP) adalah suatu keadaan dimana suatu perusahaan

tidak memperoleh keuntungan atau laba dan jumlah pendapatan yang diterima

sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan atau disebut keadaan impas. Break

Even Point (BEP) juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana pada tingkat

penjualan tertentu, perusahan tidak memperoleh keuntungan ataupun menderita

kerugian ( Soetrisno, 1982).

Soetrisno (1982) mengatakan bahwa BEP atau bisa juga disebut titik

pulang pokok ini digunakan untuk merencanakan keuntungan apabila penjualan

diatas BEP titik pulang pokok atau titik impas.Perhitungan titik pulang pokok

(BEP) suatu perusahaan didasarkan pada pedoman sebagai berikut.

FCBEP = S – VCDimana

BEP : Titik pulang pokok (Rp)

FC : Biaya tetap (Rp)

VC : Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp)

S : Harga jual persatuan produk (Rp)

23

2.7.3 Revenue Cost Ratio (R/C)

R/C (Revenue Cost Ratio) adalah perbandingan antara total penerimaan

dengan total biaya dalam suatu proses produksi (Soekartawi, 1986). Secara

matematik R/C tersebut dijabarkan dengan rumus persamaan sebagai berikut:

R/C = Py.Y

FC+VC

Keterangan : Py = Harga output

Y = Output

FC = Biaya Tetap (Fixed Cost)

VC = Biaya Variabel (Variabel Cost)

Manajemen suatu usaha yang proses pengambilan keputusannya

mengunakan persamaan R/C tersebut,maka kriterianya sebagai berikut:

apabila R/C > 1 berarti usaha menguntungkan

apabila R/C < 1 berarti usaha tidak menguntungkan

apabila R/C = 1 berarti usaha tidak untung dan tidak rugi (impas)