II. TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA -...
FTIP001640/018
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Enzim Invertase
Enzim adalah senyawa yang struktur dan aktivitasnya berintegrasi dengan
protein yang berfungsi sebagai katalisator reaksi organik (Lehninger, 1993). Enzim
bekerja secara spesifik yaitu berbeda pada setiap jenis substrat. Salah satunya adalah
enzim invertase. Enzim invertase atau ß-D-Fructofuranosidase fructohidrolase adalah
enzim yang dapat menghidrolisis sukrosa. Sumber enzim invertase adalah mikroba,
tanaman ataupun hewan. Nama trivial lain dari enzim ini adalah sukrase atau
sakkarase (Cantarella, Alfani, dan Cantarell, dalam Whitaker et, al., 2003).
Gambar 1. Struktur Kimia Sukrosa(deMann, 1999)
Menurut Cantarella, Alfani, dan Cantarell (2003), hidrolisis sukrosa adalah
reaksi utama yang dikatalis oleh enzim invertase. Raffinosa dan stakhiosa dihidrolisis
menjadi tingkat yang lebih rendah. Bentuk asam dari enzim invertase yang terbentuk
mampu mengkatalis reaksi transfruktosilase. Reaksi hidrolisis sukrosa adalah sebagai
berikut:
Sukrosa + H2Oß → D-glukosa + D-fruktosa
FTIP001640/019
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
7
2.2 Aktivitas Enzim
Enzim adalah protein yang memiliki sifat katalis. Beberapa enzim hanya
terdiri dari protein, tetapi kebanyakan enzim mengandung komponen nonprotein
seperti karbohidrat, lipid, logam, fosphat, atau beberapa bagian organik. Struktur
enzim yang lengkap disebut haloenzim, bagian protein disebut apoenzim, dan bagian
nonprotein disebut kofaktor. Komponen yang dibuat selama reaksi enzimatis disebut
substrat (deMann, 1999).
Gambar 2. Reaksi Enzimatis pada Substrat(deMann, 1999)
Apoenzim
Haloenzim
Kompleks Haloenzim-Substrat
KofaktorSubstrat
Kompleks Apoenzim-Substrat
Kompleks Haloenzim-Produk Produk
FTIP001640/020
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
8
Menurut Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui (2006), Hampir keseluruhan
bagian protein dari enzim bertugas untuk mengkatalis reaksi kecuali bagian asam
ribonuklet yang berfungsi sebagai media reaksi kimia di dalam sel. Reaktan yang
terlibat dalam reaksi membutuhkan energi yang cukup untuk menyebrangi energi
potensial yang ada untuk merusak ikatan kimia pada awal reaksi yang disebut energi
aktivasi (EA). Beberapa memiliki energi yang cukup untuk menyebrangi reaksi energi
penghalang sampai enzim membentuk keaadaan transisi dengan pereaksi untuk
menurunkan energi aktivasi. Energi aktivasi juga diartikan sebagai perbedaan energi
bebas antara substrat dan tingkat transisi. Kerja enzim pada umumnya mempercepat
reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi (Winarno, 2010).
Menurut Winarno (2010), cara menurunkan energi aktivasi biasanya dengan
pembentukan kompleks enzim-substrat (ES). Substrat terikat dengan enzim pada
bagian tertentu yang sangat spesifik dan disebut lokasi aktif. Terjadinya kompleks ES
dapat dibuktikan dengan berbagai cara diantaranya dengan cara sifat-sifat fisik, sifat-
sifat spektroskopik, dan stereospecity.
a. Sifat-sifat fisik enzim misalnya daya larut, ketahanan terhadap panas, dan
sebagainya.
b. Spektroskopi berbagai enzim dan substrat berubah dengan terjadinya kompleks
ES. Kejadian itu sama seperti yang dialami oleh deoksihemoglobin ketika
mengikat oksigen atau ketika teroksidasi menjadi hemin (bentuk feri).
FTIP001640/021
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
9
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim
2.3.1 Pengaruh Konsentrasi Substrat dan Enzim
Reaksi enzim mengikuti salah satu dari kinetika orde nol atau kinetika orde
satu. Ketika konsentrasi subtrat relatif tinggi, konsentrasi dari kompleks enzim-
substrat akan bertahan pada tingkat yang konstan dan keseluruhan produk yang
terbentuk adalah mengikuti fungsi linear pada beberapa interval waktu (deMann,
1999). Pada umumnya, konsentrasi substrat harus lebih tinggi dari enzim agar
mencegah subtrat habis pada saat konsentrasi substrat rendah sebelum reaksi enzim
berakhir. Namun untuk enzim invertase pada konsentrasi sukrosa yang tinggi (1M)
sisa ß-D-fructofuranosyl diubah menjadi golongan etanol primer (metanol, etanol, n-
propanol) dan menjadi isopropanol sebagai etanol sekunder (Cantarella, Alfani, dan
Cantarell dalam Whitaker et. al., 2003). Kecepatan reaksi menjadi tidak tergantung
pada konsentrasi sukrosa apabila konsentrasi sukrosa terlalu tinggi daripada enzim
(Pancoast, 1980 dikutip Widipratomo, 2006). Laju reaksi katalis oleh enzim akan
linear pada konsentrasi enzim tertentu selama konsentrasi substrat konstan. Laju
reaksi tidak akan menunjukkan linear apabila substrat telah habis, dan penentuan
laju reaksi awal tidak akan akurat (Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui, 2006).
2.3.2 Pengaruh Suhu
Suhu adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi aktivitas enzim.
Pada reaksi yang terjadi di suhu ruang tanpa adanya enzim, molekul reaktan dalam
FTIP001640/022
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
10
proporsi kecil akan membutuhkan energi yang cukup untuk dapat beraksi. Suhu yang
meningkat di atas suhu ruang akan menyebabkan molekul reaktan mendapatkan
energi tambahan untuk terlibat di dalam suatu reaksi. Energi aktivasi tidak berubah,
tetapi distribusi energi yang cukup dari reaktan bergeser ke tingkat energi rata-rata
yang lebih tinggi. Ketika enzim terlibat sebagian di dalam reaksi, aktivasi energi
menurun secara signifikan dan proporsi dari molekul reaktan pada tingkat energi
tertentu yang berada di atas energi aktivasinya juga meningkat sangat tajam (Shyu,
Tzen, dan Jeang dalam Hui, 2006).
Peningkatan laju reaksi dan stabilitas termal dari enzim pada reaksi katalis
enzim dipengaruhi oleh peningkatan suhu, kemudian saat berada di atas suhu kritis,
aktivitas enzim akan berkurang secara signifikan. Ketika berada di dalam kisaran
suhu kritis, aktivitas enzim akan terjadi pada tingkat yang relatif tinggi, dan inaktivasi
enzim tidak akan terjadi. Oleh karena itu laju reaksi akan meningkat karena suhu
meningkat dengan menurunnya energi aktivasi (Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui,
2006). Aktivitas enzim invertase meningkat secara bertahap seiring dengan
meningkatnya suhu dan mencapai titik maksimum pada suhu 60º C. Kemudian
aktivitasnya menurun secara drastis pada suhu 70º C (Gambar 2).
Gambar 3. Kurva Pengaruh Suhu terhadap Aktivitas Invertase(Rahman et al., 2004)
0
50
100
150
0 20 40 60 80 100
Akt
ivita
s re
altif
(%
)
Suhu (°C)
FTIP001640/023
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
11
2.3.3 Pengaruh pH
Menurut Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui (2006) Enzim akan menunjukkan
aktivitas maksimal dalam kisaran pH yang terbatas dan berubah secara relatif dalam
kisaran pH yang lebih luas. Setiap enzim memiliki nilai pH optimum. Enzim
invertase umumnya memiliki pH optimum (4,5-5,0) atau pH netral (alkalin 7,0-7,8).
Enzim invertase yang berasal dari Saccharomyces cereviceae memiliki pH aktif
optimal 3,5-5,5 dan stabil pada pH 3,0-7,5 (Cantarella, Alfani, dan Cantarell, 2003).
Enzim adalah protein dengan sifat katalis. Protein dapat mengalami denaturasi
yaitu proses dimana struktur molekul berubah tanpa memutus ikatan peptida pada
protein. Denaturasi biasanya menyebabkan berkurangnya aktivitas biologi dan
perubahan signifikan pada beberapa sifat fisik dan sifat fungsional. Salah satu
penyebab denaturasi adalah perubahan pH. Oleh karena itu perubahan pH akan
mempengaruhi aktivitas enzim secra langsung (deMan, 1999). Menurut Stauffer
(1989) dikutip Widipratomo (2006), hubungan perubaan pH dengan laju reaksi enzim
dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1. Protonasi sisi aktif rantai asam amino pada kompleks enzim-substrat (ES)
berubah, mengakibatkan perubahan kemampuan kompleks ES dalam
menghasilkan produk.
2. Berubahnya muatan ion molekul atau sisi aktif enzim sehingga mempengaruhi
kecenderungan pembetukan kompleks ES.
FTIP001640/024
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
12
3. Pergeseran nilai pH dari kondisi netral dapat melemahkan stabilitas
konformasi protein, menyebabkan terjadinya denaturasi enzim yang bersifat
irreversible.
Menurut Rahman et al. (2004), enzim invertase hasil pemurnian dari nira tebu
memiliki aktivitas maksimum pada pH 7,2 dan aktivitasnya menurun secara bertahap
pada pH asam namun menurun dengan cepat pada pH basa. Hal ini menunjukkan
bahwa enzim invertase hasil pemurnian ini lebih stabil pada pH asam hingga netral
dari pada pH basa.
Gambar 4. Kurva Pengaruh Nilai pH Terhadap Aktivitas Invertase(Rahman et al., 2004)
2.3.4 Pengaruh Garam Logam
Penambahan garam logam dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan
aktivitas enzim. Beberapa jenis ion logam yang dapat meningkatkan aktivitas enzim
adalah Ca2+, Mg2+, Zn2+, Mn2+, Fe2+, dan Cu2+. Ion logam tersebut berperan sebagai
kofaktor. Kofaktor merupakan grup non-protein yang dapat digunakan oleh enzim
0
20
40
60
80
100
120
0 2 4 6 8 10 12
Akt
ivita
s re
altif
(%
)
pH
FTIP001640/025
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
13
untuk mempengaruhi reaksi kalalis oleh enzim (Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui,
2006).
2.4 Akar Kawao
Kawao (Millettia) merupakan tanaman perdu yang memanjat, tegak, panjang
10 – 30 m, tumbuh di dalam hutan dan tepi-tepi sungai. Tanaman kawao dapat
tumbuh di dataran rendah hingga ± 1000 m di atas permukaan laut (Menninger, 1970
dikutip Fillianty, 2007). Taksonomi tanaman akar kawao adalah Divisi
Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Rosales, Famili Caesalpiniaceae, Genus
Milletiia, Spesies Millettia sericea (Herbarium Bandungense, 2012).
Gambar 5. Tanaman Kawao (Millettia sericea)(Filianty, 2007)
Genus Millettia kemungkinan memiliki 260 spesies yang terdapat di berbagai
wilayah yaitu di Afrika (139 spesies) dan Asia (121 spesies). Tanaman Milletia yang
banyak tumbuh di Afrika umumnya berbentuk pohon (49%) atau semak belukar,
merambat (38%) atau tidak merambat (13%). Daunnya majemuk dan menyirip genap
daun
bunga
batang
akar
FTIP001640/026
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
14
terdapat di bagian ujung-ujung ranting (imparipenate) dengan seluruh daun berbentuk
lembaran dan biasanya tumbuh berlawanan arah. Panjang bunga umumnya lebih dari
1 cm berwarna violet, merah muda, biru, dan bergaris putih di bagian luar. Kawao
umumnya digunakan sebagai obat tradisional. Bagian tanaman yang dapat
dimanfaatkan adalah daun, ranting, batang, dan akar (Banzouzi, Prost,
Rajemiarimiraho, dan Ongoka, 2008).
Menurut Ngamga et.al (2004), tanaman genus Milletia mengandung senyawa
fitokimia alkaloid, furanonaftoquinon, dan isoflavonoid sebagai komponen
utamananya. Bagian akar tanaman umumnya juga mengandung senyawa calcone dan
beberapa jenis isoflavonoid yang memiliki efek anti-inflamasi. Selain akar, bagian
biji tanaman ini juga mengandung senyawa fitokimia lain seperti 7-methoksibenosin
dan griffonianon E yang termasuk jenis isoflavonoid. Oleh karena itu selain sebagai
obat, akar kawao dapat digunakan sebagai pengawet alami dalam bahan pangan yaitu
nira (Wibowo, 2006).
2.5 Ekstraksi Bahan Alam
Ekstraksi adalah cara untuk mengisolasi metabolit atau isolat dari bahan alam
yang dapat teridentifikasi sebagai komponen dengan berbagai jenis ikatan atau dapat
juga senyawa fitokimia (Seidel dalam Sarker, 2006). Ekstraksi adalah pemisahan
bagian yang aktif jaringan tanaman atau hewan dari komponen inaktif atau inert
menggunakan pelarut tertentu sesuai standar prosedur ekstraksi. Prinsip dari ekstraksi
adalah ketika komponen padatan bersentuhan dengan pelarut, komponen terlarut di
FTIP001640/027
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
15
dalam padatan akan berpindah ke dalam pelarut. Hasil dari ekstraksi adalah
perpindahan massa komponen terlarut ke dalam pelarut sehingga akan menimbulkan
peningkatan konsentrasi. Laju perpindahan masa akan berkurang seiring dengan
meningkatnya konsentrasi komponen terlarut di dalam pelarut hingga mencapai titik
kesetimbangan (Handa, 2008).
Menurut Seidel dalam Sarker (2006), terdapat berbagai metode ekstraksi
bahan alam dengan menggunakan ekstraksi-solvent (ekstraksi menggunakan pelarut)
yaitu maserasi, perkolasi, ekstraksi soxhlet, refluks, dan distilasi. Pada ektraksi
menggunakan pelarut, terdapat beberapa perlakuan pendahuluan yang harus
dilakukan yaitu pengeringan, dan pengecilan ukuran. Pengeringan bertujuan untuk
mencegah tumbuhnya mikroorganisme kontaminan, mencegah terjadinya kerusakan
metabolit, dan menghambat reaksi enzimatis. Sedangkan proses pengecilan ukuran
bertujuan untuk meningkatkan proses ekstraksi selanjutnya dengan sampel yang lebih
homogen, meningkatkan luas permukaan, dan memfasilitasi penetrasi pelarut ke
dalam sel.
Metode ekstraksi yang sederhana dan banyak digunakan adalah metode
maserasi. Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau
dengan beberapa kali pengocokan pada suhu ruang (Singh, 2008). Ekstraksi akhirnya
berhenti ketika keseimbangan terjadi antara konsentrasi metabolit dalam ekstrak dan
bahan tanaman. Setelah ekstraksi, sisa bahan tanaman harus dipisahkan dari pelarut
dan senyawa yang diekstrak dipisahkan lebih lanjut dari pelarutnya (Seidel, 2006,
dalam Sarker, 2006). Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
rotary evaporator pada suhu 30 - 40º C (Harborne, 1987).
FTIP001640/028
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
16
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jenis pelarut,
temperatur, rasio pelarut dan bahan baku, dan ukuran partikel. Jenis pelarut
memengaruhi senyawa yang tersaring, jumlah solut yang terekstrak, dan kecepatan
ekstraksi. Secara umum, kenaikan temperatur akan meningkatkan jumlah zat terlarut
ke dalam pelarut. Sedangkan rasio pelarut yang semakin besar akan memperbesar
pula jumlah senyawa yang terlarut. Faktor lain seperti ukuran partikel akan
meningkatkan laju ekstraksi apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil
(Lansida, 2011).
Metode pemisahan secara ektraksi ini membutuhkan pelarut sebagai media
perpindahan komponen sehingga disebut solvent extraction. Jika produk yang
dihasilkan akan digunakan dalam produk pangan maka harus menggunakan pelarut
yang sesuai dengan aturan. Menurut European Union and Governmental regulations,
pelarut yang diperbolehkan adalah air dan pelarut lain seperti propane, butane, etil
asetat, etanol, CO2, N2O, aseton (Bart, 2011). Pelarut yang dipilih harus memenuhi
syarat sebagai seperti tidak mudah bereaksi, tidak beracun, tidak mudah terbakar,
ekonomis, dan mudah didaur ulang dengan metode evaporasi (Seidel, 2006, dalam
Sarker, 2006).
2.5.1 Pelarut
Pelarut memiliki beberapa fungsi selama reaksi kimia. Pelarut adalah tempat
dimana reaktan dan reagen bereaksi untuk mengubah reaktan menjadi produk. Fungsi
pelarut dapat meningkat dengan pengaturan suhu dimana meningkat karena adanya
FTIP001640/029
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
17
gesekan antar molekul sehingga meningkatkan laju reaksi. Pemilihan pelarut yang
tepat dilakukan berdasarkan teori dan pengalaman. Secara umum, pelarut yang baik
harus seusai dengan kriteria berikut:
Pelarut harus inert terhadap reaksi kimia.
Pelarut harus melarutkan reaktan dan reagen.
Pelarut harus memiliki titik didih yang sesuai.
Pelarut harus mudah dipisahkan.
Kriteria lainnya dari pelarut adalah keseuaian sifat kepolaran antara pelarut
dan komponen terlarut. Komponen polar akan terlarut oleh pelarut polar dan
komponen non-polar akan terlarut oleh pelarut non-polar. Terdapat tiga langkah yang
dapat menentukan suatu pelarut adalah polar atau non-polar, yaitu dipole moment,
konstanta dielektrik, dan kelarutannya dengan air. Molekul dengan dipole momen
yang luas dan konstanta dielektriknya tinggi adalah polar. Sedangkan molekul yang
dipole momennya rendah dan konstanta dielektriknya kecil diklasifikasikan sebagai
non-polar. Cara lainnya adalah ketika pelarut tersebut dapat bercampur dengan air
maka diklasifikasikan sebagai pelarut polar, sedangkan yang tidak bercampur adalah
pelarut non-polar. Berdasarkan kepolaran secara kimia, pelarut dibedakan menjadi
pelarut polar, dipolar, dan non-polar (Anonima, 2004).
2.5.1.1 Pelarut Air
Air merupakan pelarut yang baik untuk senyawa ion seperti garam, karena
daya tarik antara komponen ion dari molekul dan dipolar air cukup untuk mengatasi
FTIP001640/030
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
18
tarikan antara ion-ion itu sendiri. Gugusan fungsional polar, seperti gugus hidroksil,
dari senyawa non-ionik dengan mudah mengikat hidrogen dengan molekul air,
mendispersikan senyawa di antara molekul air (Armstrong, 1983).
Menurut DeMann (1999), atom di dalam air tersusun dengan sudut ikatan
105° dan jarak antara atom hidrogen dengan oksigen adalah 0,0957 nm. Hal
menyebabkan bentuknya hampir tetrahedral dan setiap molekul air secara potensial
dapat mengikat hidrogen dengan empat molekul lainnya. Pada sutau molekul air,
atom oksigen yang sangat elektronegatif menarik elektron pengikat dari masing-
masing dua atom hidrogen, mempolarisasikan ikatan. Daerah positif parsial dan
daerah negatif parsial di sekeliling atom oksigen menjadikan air suatu molekul
dipolar. Sifat polar dari air inilah yang memungkinkan tarikan elektrostatik antara
molekul-molekulnya (Armstrong, 1983).
2.5.1.2 Pelarut Etanol
Menurut Shakashiri (2009), Ethanol (Ch3CH2OH) adalah jenis alkohol yang
ikatan kimianya terdiri dari grup hidroksil (-OH) yang berikatan dengan atom karbon.
Etanol memiliki titik didih 78,9º C dan densitas 0,789 g/mL pada suhu ruang. Etanol
dapat bercampur dengan air dan dengan pelarut organik lain. Sifat-sifat fisika etanol
utamanya dipengaruhi oleh keberadaan gugus hidroksil dan pendeknya rantai karbon
etanol. Gugus hidroksil dapat berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen sehingga
membuatnya cair dan lebih sulit menguap dari pada senyawa organik lainnya dengan
massa molekul yang sama. Sifat gugus hidroksil yang polar menyebabkannya dapat
FTIP001640/031
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
19
larut dalam banyak senyawa ion, utamanya natrium hidroksida, kalium hidroksida,
magnesium klorida, kalsium klorida, amonium klorida, amonium bromida, dan
natrium bromida. Penambahan beberapa persen etanol dalam air akan menurunkan
tegangan permukaan air secara drastis. Etanol termasuk ke dalam pelarut polar
dengan dipole momen 1,69 dan konstranta dielektri 24,3 (Anonima, 2004).