II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah - Universitas …digilib.unila.ac.id/5749/14/BAB 2.pdf9 Klasifikasi...
Transcript of II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah - Universitas …digilib.unila.ac.id/5749/14/BAB 2.pdf9 Klasifikasi...
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah
Tanah dapat didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran)
mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu
sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel
padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong
diantara partikel-partikel padat tersebut (Das, 1995).
Tanah adalah kumpulan-kumpulan dari bagian-bagian yang padat dan tidak
terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material organik)
rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air (Verhoef,1994).
Sedangkan menurut Craig (1991) tanah merupakan akumulasi partikel
mineral atau ikatan antar partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan dari
batuan.
Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat didefinisikan sebagai sisa atau produk
yang dibawa dari pelapukan batuan dalam proses geologi yang dapat digali
tanpa peledakan dan dapat ditembus dengan peralatan pengambilan contoh
(sampling) pada saat pemboran (Hendarsin, 2000).
6
Menurut Bowles (1991), tanah adalah campuran partikel-partikel yang
terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut :
1. Berangkal (boulders), yaitu potongan batuan yang besar, biasanya lebih
besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran ukuran 150 mm
sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut sebagai kerakal (cobbles)
atau pebbes.
2. Kerikil (gravel), yaitu partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150
mm.
3. Pasir (sand), yaitu batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm.
Berkisar dari kasar (3 mm sampai 5 mm) sampai halus (< 1mm).
4. Lanau (silt), yaitu partikel batuan yang berukuran dari 0,002 mm sampai
0,074 mm.
5. Lempung (clay), yaitu partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari
0,002 mm. Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesif
pada tanah yang “kohesif”.
6. Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih
kecil dari 0,001 mm.
B. Klasifikasi Tanah
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah
yang berbeda-beda tetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok-
kelompok dan subkelompok-subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem
klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk menjelaskan secara
7
singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang
terinci (Das, 1995).
Klasifikasi tanah berfungsi untuk studi yang lebih terinci mengenai keadaan
tanah tersebut serta kebutuhan akan pengujian untuk menentukan sifat teknis
tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah, berat isi, dan
sebagainya (Bowles, 1989).
Sistem klasifikasi dimaksudkan untuk menentukan dan mengidentifikasikan
tanah dengan cara sistematis guna menentukan kesesuaian terhadap
pemakaian tertentu dan juga berguna untuk menyampaikan informasi tentang
karakteristik dan sifat-sifat fisik tanah serta mengelompokkannnya
berdasarkan suatu kondisi fisik tertentu dari tanah tersebut dari suatu daerah
ke daerah lain dalam bentuk suatu data dasar.
Sistem klasifikasi tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Klasifikasi Berdasarkan Tekstur dan Ukuran
Sistem klasifikasi ini didasarkan pada keadaan permukaan tanah yang
bersangkutan, sehingga dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah dalam
tanah. Klasifikasi ini sangat sederhana didasarkan pada distribusi ukuran
tanah saja. Pada klasifikasi ini tanah dibagi menjadi kerikil (gravel),
pasir (sand), lanau (silt) dan lempung (clay) (Das,1993).
b. Klasifikasi Berdasarkan Pemakaian
Pada sistem klasifikasi ini memperhitungkan sifat plastisitas tanah dan
menunjukkan sifat-sifat tanah yang penting. Pada saat ini terdapat dua
8
sistem klasifikasi tanah yang sering dipakai dalam bidang teknik. Kedua
sistem klasifikasi itu memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batas-
batas Atterberg.
Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah sebagai hasil pengembangan
dari sistem klasifikasi yang sudah ada. Tetapi yang paling umum digunakan
adalah:
a. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System/
USCS)
Sistem klasifikasi tanah unified atau Unified Soil Classification System
(USCS) diajukan pertama kali oleh Prof. Arthur Cassagrande pada tahun
1942 untuk mengelompokkan tanah berdasarkan sifat teksturnya dan
selanjutnya dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation
(USBR) dan United State Army Corps of Engineer (USACE). Kemudian
American Society for Testing and Materials (ASTM) memakai USCS
sebagai metode standar untuk mengklasifikasikan tanah. Menurut sistem
ini tanah dikelompokkan dalam tiga kelompok yang masing-masing
diuraikan lebih spesifik lagi dengan memberi simbol pada setiap jenis
(Hendarsin, 2000), yaitu:
1) Tanah berbutir kasar, yaitu tanah yang mempunyai prosentase lolos
ayakan No. 200 < 50 %.
9
Klasifikasi tanah berbutir kasar terutama tergantung pada analisa
ukuran butiran dan distribusi ukuran partikel. Tanah berbutir kasar
dapat berupa salah satu dari hal di bawah ini :
a) Kerikil (G) apabila lebih dari setengah fraksi kasar tertahan pada
saringan No. 4
b) Pasir (S) apabila lebih dari setengah fraksi kasar berada diantara
ukuran saringan No. 4 dan No. 200
2) Tanah berbutir halus, adalah tanah dengan persentase lolos ayakan No.
200 > 50 %.
Tanah berbutir ini dibagi menjadi lanau (M). Lempung Anorganik (C)
dan Tanah Organik (O) tergantung bagaimana tanah itu terletak pada
grafik plastisitas.
3) Tanah Organis
Tanah ini tidak dibagi lagi tetapi diklasifikasikan dalam satu kelompok
Pt. Biasanya jenis ini sangat mudah ditekan dan tidak mempunyai sifat
sebagai bahan bangunan yang diinginkan. Tanah khusus dari
kelompok ini adalah peat, humus, tanah lumpur dengan tekstur organis
yang tinggi. Komponen umum dari tanah ini adalah partikel-partikel
daun, rumput, dahan atau bahan-bahan yang regas lainnya.
10
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Tanah Unified
Jenis Tanah Simbol Sub Kelompok Simbol
Kerikil
Pasir
Lanau
Lempung
Organik
Gambut
G
S
M
C
O
Pt
Gradasi Baik
Gradasi Buruk
Berlanau
Berlempung
WL<50%
WL>50%
W
P
M
C
L
H
Sumber : Bowles, 1989.
Dimana :
W = Well Graded (tanah dengan gradasi baik),
P = Poorly Graded (tanah dengan gradasi buruk),
L = Low Plasticity (plastisitas rendah, LL<50),
H = High Plasticity (plastisitas tinggi, LL> 50).
Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk mendapatkan klasifikasi yang
benar adalah sebagai berikut :
a. Persentase butiran yang lolos saringan No. 200.
b. Persentase fraksi kasar yang lolos saringan No. 40.
c. Batas cair (LL) dan indeks plastisitas (PI).
11
Tabel 2. Sistem Klasifikasi Tanah USCS
Tan
ah b
erbu
tir
kas
ar≥
50%
bu
tira
n
tert
ahan
sar
ing
an N
o. 20
0 Ker
ikil
50
%≥
fra
ksi
kas
ar
tert
ahan
sar
ing
an N
o. 4
Ker
ikil
ber
sih
(han
ya
ker
ikil
)
GW
Kerikil bergradasi-baik dan
campuran kerikil-pasir, sedikit
atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Kla
sifi
kas
i ber
das
arkan
pro
sen
tase
buti
ran
hal
us
; K
ura
ng
dar
i 5%
lolo
s sa
rin
gan
no
.20
0:
GM
,
GP
, S
W,
SP
. L
ebih
dar
i 12
% l
olo
s sa
ring
an n
o.2
00
: G
M,
GC
, S
M,
SC
. 5%
- 1
2%
lo
los
sari
ng
an N
o.2
00 :
Bat
asan
kla
sifi
kas
i y
ang m
empu
ny
ai s
imb
ol
dobel
Cu = D60 > 4
D10
Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3
D10 x D60
GP
Kerikil bergradasi-buruk dan
campuran kerikil-pasir, sedikit
atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk
GW K
erik
il d
eng
an
Buti
ran
hal
us GM
Kerikil berlanau, campuran kerikil-pasir-lanau
Batas-batas
Atterberg di bawah garis A
atau PI < 4
Bila batas Atterberg berada
didaerah arsir
dari diagram
plastisitas, maka
dipakai dobel
simbol GC
Kerikil berlempung, campuran kerikil-pasir-lempung
Batas-batas
Atterberg di bawah garis A
atau PI > 7
Pas
ir≥
50
% f
rak
si k
asar
lolo
s sa
ring
an N
o. 4
Pas
ir b
ersi
h
(h
any
a p
asir
) SW
Pasir bergradasi-baik , pasir
berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran
halus
Cu = D60 > 6 D10
Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3
D10 x D60
SP
Pasir bergradasi-buruk, pasir
berkerikil, sedikit atau sama
sekali tidak mengandung butiran halus
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk
SW
Pas
ir
den
gan
buti
ran
hal
us
SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau
Batas-batas
Atterberg di bawah garis A
atau PI < 4
Bila batas
Atterberg berada
didaerah arsir dari diagram
plastisitas, maka
dipakai dobel simbol
SC Pasir berlempung, campuran pasir-lempung
Batas-batas
Atterberg di bawah garis A
atau PI > 7
Tan
ah b
erbu
tir
hal
us
50%
ata
u l
ebih
lo
los
ayak
an N
o. 200
Lan
au d
an l
emp
un
g b
atas
cai
r ≤
50
%
ML
Lanau anorganik, pasir halus
sekali, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung
Diagram Plastisitas: Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang
terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar.
Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan
dua simbol.
60
50 CH
40 CL
30 Garis A CL-ML
20
4 ML ML atau OH
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Garis A : PI = 0.73 (LL-20)
CL
Lempung anorganik dengan
plastisitas rendah sampai dengan
sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung
berlanau, lempung “kurus” (lean
clays)
OL
Lanau-organik dan lempung
berlanau organik dengan
plastisitas rendah
Lan
au d
an l
emp
un
g b
atas
cai
r ≥
50
%
MH
Lanau anorganik atau pasir halus
diatomae, atau lanau diatomae, lanau yang elastis
CH Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung
“gemuk” (fat clays)
OH
Lempung organik dengan
plastisitas sedang sampai dengan tinggi
Tanah-tanah dengan
kandungan organik sangat tinggi
PT
Peat (gambut), muck, dan tanah-
tanah lain dengan kandungan organik tinggi
Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488
Sumber : Hary Christady, 1996.
Bat
as P
last
is (
%)
Batas Cair (%)
12
b. Sistem klasifikasi AASHTO
Sistem Klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and
Transportation Official) dikembangkan pada tahun 1929 dan mengalami
beberapa kali revisi hingga tahun 1945 dan dipergunakan hingga sekarang,
yang diajukan oleh Commite on Classification of Material for Subgrade
and Granular Type Road of the Highway Research Board (ASTM Standar
No. D-3282, AASHTO model M145). Sistem klasifikasi ini bertujuan
untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar
(sub-base) dan tanah dasar (subgrade).
Dalam sistem ini tanah dikelompokkan menjadi tujuh kelompok besar yaitu
A1 sampai dengan A7. Tanah yang termasuk dalam golongan A-1 , A-2,
dan A-3 masuk kedalam tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari
jumlah butiran tanah yang lolos ayakan No.200, sedangkan tanah yang
masuk dalam golongan A-4, A-5, A-6 dan A-7 adalah tanah lanau atau
lempung. A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil
sebagai bahan lapisan struktur jalan raya, maka revisi terakhir oleh
AASHTO diabaikan (Sukirman, 1992). Percobaan yang dibutuhkan untuk
mendapatkan data yang diperlukan adalah analisis saringan, batas cair, dan
batas plastis.
13
Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASTHO
Klasifikasi umum Tanah berbutir
(35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200
Klasifikasi kelompok A-1
A-3 A-2
A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7
Analisis ayakan (%
lolos)
No.10
No.40
No.200
Maks 50
Maks 30
Maks 15
Maks 50
Maks 25
Min 51
Maks 10
Maks 35 Maks 35
Maks 35
Maks 35
Sifat fraksi yang lolos
ayakan No.40
Batas Cair (LL)
Indeks Plastisitas (PI)
Maks 6
NP
Maks 40
Maks 10
Min 41
Maks 10
Maks 40
Min 11
Min 41
Min 41
Tipe material yang
paling dominan
Batu pecah, kerikil
dan pasir
Pasir
halus
Kerikil dan pasir yang berlanau atau
berlempung
Penilaian sebagai bahan
tanah dasar Baik sekali sampai baik
Klasifikasi umum Tanah berbutir
(Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200
Klasifikasi kelompok A-4 A-5 A-6 A-7
Analisis ayakan (%
lolos)
No.10
No.40
No.200
Min 36
NNNNNN
Min 36
Min 36
Min 36
Sifat fraksi yang lolos
ayakan No.40
Batas Cair (LL)
Indeks Plastisitas (PI)
Maks 40
Maks 10
Maks 41
Maks 10
Maks 40
Maks 11
Min 41
Min 11
Tipe material yang
paling dominan Tanah berlanau Tanah Berlempung
Penilaian sebagai bahan
tanah dasar Biasa sampai jelek
Sumber: Das (1995).
Sistem klasifikasi ini didasarkan pada kriteria di bawah ini :
1) Ukuran Butir
Kerikil : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 75
mm dan tertahan pada saringan diameter 2 mm
(No.10).
14
Pasir : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 2
mm dan tertahan pada saringan diameter 0,075 mm
(No. 200).
Lanau dan lempung : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter
0,075 (No. 200).
2) Plastisitas
Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah
mempunyai indeks plastis sebesar 10 atau kurang. Nama berlempung dipakai
bilamana bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis,
indeks plastisnya 11 atau lebih.
3) Apabila batuan (ukuran lebih besar dari 75 mm) ditemukan di dalam contoh
tanah yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya, maka batuan-batuan tersebut
harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi, persentase dari batuan yang
dikeluarkan tersebut harus dicatat.
Data yang akan didapat dari percobaan laboratorium telah ditabulasikan pada
Tabel 3. Kelompok tanah yang paling kiri kualitasnya paling baik, makin ke
kanan semakin berkurang kualitasnya.
C. Tanah Lempung
1. Definisi Tanah Lempung
Tanah lempung terdiri dari berbagai golongan tekstur yang agak susah
dicirikan secara umum. Sifat fisika tanah lempung umumnya terletak
15
diantara sifat tanah pasir dan liat. Pengolahan tanah tidak terlampau berat,
sifat merembeskan airnya sedang dan tidak terlalu melekat.
Tanah lempung merupakan partikel mineral yang berukuran lebih kecil
dari 0,002 mm. Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi
didalam tanah yang kohesif (Bowles, 1991).
Tanah lempung merupakan tanah yang berukuran mikroskopis sampai
dengan sub mikroskopis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi
penyusun batuan, tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan
bersifat plastis pada kadar air sedang. Pada kadar air lebih tinggi lempung
bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak (Das, 1995).
Tanah lempung lunak merupakan tanah kohesif yang terdiri dari tanah
yang sebagian terbesar terdiri dari butir-butir yang sangat kecil seperti
lempung atau lanau. Pada lapisan tanah lempung lunak, semakin muda
umur akumulasinya, semakin tinggi letak muka airnya. Lapisan muda ini
juga kurang mengalami pembebanan sehingga sifat mekanisnya buruk dan
tidak mampu memikul beban.
Sifat lapisan tanah lempung lunak adalah gaya gesernya yang kecil,
kemampatan yang besar, dan koefisien permeabilitas yang kecil. Jadi,
bilamana pembebanan konstruksi melampaui daya dukung kritisnya maka
dalam jangka waktu yang lama besarnya penurunan akan meningkat yang
akhirnya akan mengakibatkan berbagai kesulitan.
16
2. Mineral Lempung
Mineral lempung merupakan pelapukan akibat reaksi kimia yang
menghasilkan susunan partikel berukuran koloid dengan diameter butiran
lebih kecil dari 0,002 mm. Partikel lempung dapat berbentuk lembaran
yang mempunyai permukaan khusus. Karena itu, tanah lempung
mempunyai sifat sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya permukaan.
Jenis-jenis mineral lempung diantaranya :
a. Kaolinite
Kaolinite merupakan anggota kelompok kaolinite serpentin, yaitu
hidrus alumino silikat dengan rumus kimia Al2 Si2O5(OH)4.
Kekokohan sifat struktur dari partikel kaolinite menyebabkan sifat-
sifat plastisitas dan daya pengembangan atau menyusut kaolinite
menjadi rendah.
b. Illite
Illite adalah mineral bermika yang sering dikenal sebagi mika tanah
dan merupakan mika yang berukuran lempung. Istilah illite dipakai
untuk tanah berbutir halus, sedangkan tanah berbutir kasar disebut
mika hidrus.
Rumus kimia illite adalah KyAl2(Fe2Mg2Mg3)(Si4yAly)O10(OH)2.
c. Montmorilonite
Mineral ini memilki potensi plastisitas dan mengembang atau
menyusut yang tinggi sehingga bersifat plastis pada keadaan basah dan
17
keras pada keadaan kering. Rumus kimia montmorilonite adalah
Al2Mg(SiO10)(OH)2 xH2O.
3. Sifat Tanah Lempung
Tanah lempung lunak mempunyai karakteristik yang khusus diantaranya
daya dukung yang rendah, kemampatan yang tinggi, indeks plastisitas
yang tinggi, kadar air yang relatif tinggi, dan mempunyai gaya geser yang
kecil. Kondisi tanah seperti itu akan menimbulkan masalah jika dibangun
konstruksi diatasnya.
Sifat-sifat yang dimiliki tanah lempung adalah sebagai berikut
(Hardiyatmo, 1999) :
a. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm.
b. Permeabilitas rendah.
c. Kenaikan air kapiler tinggi.
d. Bersifat sangat kohesif.
e. Kadar kembang susut yang tinggi.
f. Proses konsolidasi lambat.
Tanah butiran halus khususnya tanah lempung akan banyak dipengaruhi
oleh air. Sifat pengembangan tanah lempung yang dipadatkan akan lebih
besar pada lempung yang dipadatkan pada kering optimum dari pada yang
dipadatkan pada basah optimum. Lempung yang dipadatkan pada kering
optimum relatif kekurangan air oleh karena itu lempung ini mempunyai
18
kecenderungan yang lebih besar untuk meresap air sebagai hasilnya adalah
sifat mudah mengembang (Hardiyatmo, 2001).
Sifat yang khas dari tanah lempung adalah dalam keadaan kering, tanah
akan bersifat keras, jika tanah dalam keadaan basah akan bersifat lunak
plastis dan kohesif, mengembang dan menyusut dengan cepat, sehingga
mempunyai perubahan volume yang besar karena pengaruh air.
Tabel 4. Sifat Tanah Lempung (Hary Christady, 2002)
Tipe Tanah Sifat Uji Lapangan
Lempung
Sangat Lunak Meleleh diantara jari ketika diperas
Lunak Dapat diperas dengan mudah
Keras Dapat diperas dengan tekanan jari yang kuat
Kaku Tidak dapat diremas dengan jari, tapi dapat
digencet dengan ibu jari
Sangat Kaku Dapat digencet dengan kuku ibu jari
Faktor-faktor yang mempengaruhi plastisitas dan CBR tanah lempung
(clay) adalah sebagai berikut :
1. Faktor lingkungan
Tanah dengan plastisitas tinggi dalam keadaan kadar air rendah atau
hisapan yang tinggi akan menarik air lebih kuat dibanding dengan
tanah yang sama dengan kadar air yang lebih tinggi. Perubahan kadar
air pada zona aktif dekat permukaan tanah, akan menentukan
besarnya plastisitas. Pada zona ini terjadi perubahan kadar air dan
volume yang lebih besar. Variasi peresapan dan penguapan
mempengaruhi perubahan kedalaman zona aktif. Keberadaan fasilitas
19
seperti drainase, irigasi, dan kolam akan memungkinkan tanah
memiliki akses terhadap sumber air. Keberadaan air pada fasilitas
tersebut akan mempengaruhi perubahan kadar air tanah. Selain itu
vegetasi seperti pohon, semak, dan rumput menghisap air tanah dan
menyebabkan terjadinya perbedaan kadar air pada daerah dengan
vegetasi berbeda.
2. Karakteristik material
Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan sistem tanah
dengan air yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan gaya-
gaya di dalam struktur tanah. Gaya tarik yang bekerja pada partikel
yang berdekatan yang terdiri dari gaya elektrostatis yang bergantung
pada komposisi mineral, serta gaya Van der Walls yang bergantung
pada jarak antar permukaan partikel. Partikel lempung pada umumnya
berbentuk pelat pipih dengan permukaan bermuatan listrik negatif dan
ujung-ujungnya bermuatan positif. Muatan negatif ini diseimbangkan
oleh kation air tanah yang terikat pada permukaan pelat oleh suatu
gaya listrik. Sistem gaya internal kimia-listrik ini harus dalam
keadaan seimbang antara gaya luar dan hisapan matrik. Apabila
susunan kimia air tanah berubah sebagai akibat adanya perubahan
komposisi maupun keluar masuknya air tanah, keseimbangan gaya-
gaya dan jarak antar partikel akan membentuk keseimbangan baru.
Perubahan jarak antar partikel ini disebut sebagai proses kembang
susut.
20
3. Kondisi tegangan
Tanah yang terkonsolidasi berlebih bersifat lebih ekspansif
dibandingkan tanah yang terkonsolidasi normal, untuk angka pori
yang sama. Proses pengeringan dan pembasahan yang berulang
cenderung mengurangi potensi pengembangan sampai suatu keadaan
yang stabil. Besarnya pembebanan akan menyeimbangkan gaya antar
partikel sehingga akan mengurangi besarnya pengembangan.
Ketebalan dan lokasi kedalaman lapisan tanah ekspansif
mempengaruhi besarnya potensi kembang susut dan yang paling besar
terjadi apabila tanah ekspansif yang terdapat pada permukaan sampai
dengan kedalaman zona aktif.
D. Stabilisasi Tanah
Stabilisasi tanah secara prinsip adalah suatu tidakan atau usaha yang dilakukan
guna menaikkan kekuatan tanah, mempertahankan kekuatan gesernya, dan
mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan dari tanah sehingga sesuai untuk
proyek pembangunan.
Stabilisasi dapat dikelompokkan berdasarkan empat jenis klasifikasi utama,
yaitu :
1. Fisiomekanikal, contohnya dengan melakukan pemadatan.
2. Granulometrik, contohnya dengan pencampuran tanah berkualitas buruk
dan tanah dengan kualitas yang lebih baik.
3. Fisiokimia, contohnya pencampuran tanah dengan semen, kapur, atau
aspal.
21
4. Elektrokimia, contohnya dengan menggunakan bahan kimia sebagai zat
additive.
Beberapa tindakan yang dilakukan untuk menstabilisasikan tanah adalah
sebagai berikut :
1. Menambah bahan yang menyebabkan perubahan-perubahan kimiawi atau
fisis pada tanah.
2. Mengganti tanah yang buruk
3. Meningkatkan kerapatan tanah.
4. Menurunkan muka air tanah.
5. Menambah material yang tidak aktif sehingga meningkatkan kohesi dan
kekuatan geser yang timbul.
Cara yang digunakan untuk menstabilisasi tanah terdiri dari salah satu atau
kombinasi dari cara berikut (Bowles, 1989) :
1. Cara mekanis, yaitu pemadatan dengan berbagai jenis peralatan mekanis
seperti mesin gilas, benda berat yang dijatuhkan, tekanan statis, dan
sebagainya.
2. Dengan bahan pencampur, yaitu penambahan kerikil untuk tanah kohesif,
lempung untuk tanah berbutir, dan pencampur kimiawi seperti semen,
kapur, abu terbang, dan sebagainya.
22
E. Abu Ampas Tebu
Abu ampas tebu merupakan salah satu materi utama dalam penelitian ini. Abu
ampas tebu dihasilkan dari ampas hasil limbah pabrik gula. Ampas tebu
(Bagasse) adalah campuran dari serat yang kuat, dengan jaringan parenchyma
yang lembut, mempunyai tingkat higroskopis yang tinggi, dan dihasilkan
melalui proses penggilingan tebu (Kian dan Suseno, 2002).
Pada penggilingan tebu, terdapat 5 kali proses penggilingan dari batang tebu
sampai menjadi ampas tebu, pada penggilingan pertama dan kedua dihasilkan
nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan, kemudian proses penggilingan
ketiga, keempat dan kelima menghasilkan nira dengan volume yang berbeda-
beda. Setelah gilingan terakhir, dihasilkan ampas tebu kering.
Pada proses penggilingan awal yaitu tahap penggilingan pertama dan kedua
dihasilkan ampas tebu basah. Hasil dari ampas tebu gilingan kedua diberi
tambahan susu kapur 3Be yang berfungsi sebagai senyawa yang menyerap
nira dari serat ampas tebu sehingga pada penggilingan ketiga, nira masih dapat
diserap meskipun volumenya lebih sedikit dari hasil gilingan kedua.
Penambahan pada penggilingan ketiga, keempat dan kelima dilakukan dengan
volume yang berbeda-beda. Semakin sedikit nira dalam ampas tebu, maka
akan semakin banyak susu kapur 3Be yang ditambahkan. Proses penggilingan
tebu dapat dilihat pada gambar 1.
23
Penggilingan I Penggilingan III Penggilingan V
Penggilingan II Penggilingan IV
Ampas Ampas Ampas Ampas Ampas
Gilingan I Gilingan II Gilingan III Gilingan IV Gilingan V
Tebu
Susu Kapur Susu Kapur Susu Kapur
3Be 3Be 3Be
Gambar 1. Proses Penggilingan Tebu
Abu ampas tebu (Bagasse Ash) adalah produk buangan yang dihasilkan dalam
jumlah besar dari pembakaran ampas tebu (Bagasse) yang terdiri dari garam-
garam inorganik.
Tabel 5. Komposisi dari Mineral Abu Ampas Tebu
Mineral Komposisi (%)
Silica (SiO2) 71
Alumina (Al2O3) 1,3
Ferri Trioksida (Fe2O3) 7,8
Calsium Oksida (CaO) 3,4
Magnesium Oksida (MgO) 0,3
Kalsium Oksida (KaO) 8,2
Potasium Penta Oksida (P2O5) 3
Mangan (MnO) 0,2
Sumber : (Dubey dan Varma Sugar By-Products & Subsidiary Industries dalam Kian dan
Suseno, 2002).
24
Dari hasil pengujian yang dilakukan di laboratorium Instrumentasi Jurusan
Kimia Fakultas MIPA Unila tahun 2005, kandungan SiO2 yang terkandung
pada bagasse ash mencapai 44,87 % dan Fe2O3 sebesar 1,39 %. Pengujian
yang dilakukan, menunjukkan bahwa senyawa SiO2 pada bagasse ash dapat
bereaksi pada larutan basa kuat (NaOH) dan larutan asam pekat (HNO3) 10%
yang ditunjukan dengan terdapatnya gelembung, timbulnya asap dan
terjadinya penggumpalan. Kondisi ini menguatakan hipotesis bahwa bagasse
ash memiliki sifat pozzolanik yaitu sifat dengan bertambahnya waktu, abu
ampas tebu tersebut apabila bereaksi dengan alumina (Al2O3) dan CaO yang
ada dilempung, maka tanah tersebut akan menjadi bertambah keras.
F. Abu Sekam Padi
Sekam padi merupakan produk samping yang melimpah dari hasil
penggilingan padi sekitar 20% dari bobot padi adalah sekam padi. Selama ini
sekam padi hanya digunakan sebagai pupuk, pakan ternak, bahan bakar untuk
pembakaran bata merah, pembakaran untuk memasak atau dibuang begitu
saja. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30%,
dedak antara 8-12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah.
Sekam dengan prosentase yang tinggi tersebut dapat menimbulkan problem
lingkungan.
25
Tabel 6. Komposisi Kimiawi Sekam Padi
Komponen Persentase Kandungan (%)
A. Menurut Suharno (1979)
1. Kadar air
2. Protein kasar
3. Lemak
4. Serat Kasar
5. Abu
6. Karbohidrat Kasar
9,02
3,03
1,18
35,68
17,71
33,71
B. Menurut DTC-IPB
1. Karbon ( Zat Arang )
2. Hidrogen
3. Oksigen
4. Silika
1,33
1,54
33,64
16,98
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006.
Sekam padi dengan komposisi kandungan kimia seperti pada Tabel 5 dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di antaranya sebagai bahan baku pada
industri kimia, terutama kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan
sebagai bahan baku dalam berbagai industri kimia; sebagai bahan baku pada
industri bahan bangunan, terutama kandungan silika (SiO2) yang dapat
digunakan untuk campuran pada pembuatan semen portland, bahan isolasi,
husk-board dan campuran pada industri bata merah; sebagai sumber energi
panas pada berbagai keperluan manusia, kadar selulosa yang cukup tinggi
dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil.
Sekam yang dibakar mempunyai sifat pozzolan yang mengandung unsur
silikat yang tinggi, rata-rata SiO2 91,72%. Abu sekam padi sangat kaya akan
silica (Si) yang dalam oksidanya dikenal dengan silica dioxide. Sekam padi
yang dibakar akan menghasilkan kandungan silica mencapai >90%. Dari
26
penelitian yang telah dilakukan, didapat kesimpulan akhir bahwa abu sekam
padi ini sangat potensial digunakan dalam bidang geoteknik terutama untuk
perbaikan tanah.
Tabel 7. Komposisi dari Mineral Abu Sekam Padi
Mineral Komposisi (%)
Silika Diokside (SiO2) 84,16
Aluminium Oxide (Al2O3) 4,57
Iron Oxide (Fe2O3) 0,37
Calcium Oxide (CaO) 3,99
Magnesium Oxide (MgO) 3,53
Carbon Dioxide (CO2) 0,51
Loss on Ignition (lain-lain) 3,8
Sumber : (Lazaro dan Moh dalam Terisna, 2002).
G. Semen
Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku : batu
kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung/tanah liat atau bahan
pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk bubuk/bulk,
tanpa memandang proses pembuatannya, yang mengeras atau membatu pada
pencampuran dengan air. Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang
mengandung senyawa Calcium Oksida (CaO), sedangkan lempung/tanah liat
adalah bahan alam yang mengandung senyawa : Silika Oksida (SiO2),
Alumunium Oksida (Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3 ) dan Magnesium Oksida
(MgO). Untuk menghasilkan semen, bahan baku tersebut dibakar sampai
meleleh, sebagian untuk membentuk clinkernya, yang kemudian dihancurkan
dan ditambah dengan gips (gypsum) dalam jumlah yang sesuai. Hasil akhir
27
dari proses produksi dikemas dalam kantong/zak dengan berat rata-rata 40 kg
atau 50 kg.
Jenis-jenis semen menurut BPS adalah :
1. Semen abu atau semen portland adalah bubuk/bulk berwarna abu kebiru-
biruan, dibentuk dari bahan utama batu kapur/gamping berkadar kalsium
tinggi yang diolah dalam tanur yang bersuhu dan bertekanan tinggi. Semen
ini biasa digunakan sebagai perekat untuk memplester. Semen ini
berdasarkan prosentase kandungan penyusunannya terdiri dari 5 (lima) tipe,
yaitu tipe I sd. V.
2. Semen putih (gray cement) adalah semen yang lebih murni dari semen abu
dan digunakan untuk pekerjaan penyelesaian (finishing), seperti sebagai
filler atau pengisi. Semen jenis ini dibuat dari bahan utama kalsit (calcite)
limestone murni.
3. Oil well cement atau semen sumur minyak adalah semen khusus yang
digunakan dalam proses pengeboran minyak bumi atau gas alam, baik di
darat maupun di lepas pantai.
4. Mixed & fly ash cement adalah campuran semen abu dengan Pozzolan
buatan (fly ash). Pozzolan buatan (fly ash) merupakan hasil sampingan dari
pembakaran batubara yang mengandung amorphous silika, aluminium
oksida, besi oksida dan oksida lainnya dalam berbagai variasi jumlah.
Semen ini digunakan sebagai campuran untuk membuat beton, sehingga
menjadi lebih keras.
28
Semakin baik mutu semen maka semakin lama mengeras atau membatunya
jika dicampur dengan air. Konsentrasi semen dalam campuran sangat
mempengaruhi kekuatan campuran. Kekuatan campuran soil cement dapat
diketahui dengan melakukan tes CBR (California Bearing Ratio). Pengaruh
konsentrasi semen terhadap kekuatan yaitu semakin besar jumlah kadar semen
dalam campuran maka semakin tinggi pula nilai kekuatannya, dan hal tersebut
dipengaruhi juga oleh tanah yang digunakan (Nuraini, 2002).
H. Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah adalah suatu proses memadatnya partikel tanah sehingga
terjadi pengurangan volume udara dan volume air dengan memakai cara
mekanis. Kepadatan tanah tergantung pada nilai kadar air, jika kadar air tanah
sedikit maka tanah akan keras begitu pula sebaliknya, bila kadar air banyak
maka tanah akan menjadi lunak atau cair. Pemadatan yang dilakukan pada
saat kadar air lebih tinggi daripada kadar air optimumnya akan memberikan
pengaruh terhadap sifat tanah.
Tujuan pemadatan yang paling utama adalah untuk memadatkan tanah yang
memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan spesifikasi pekerjaan tertentu. Energi
pemadatan dilapangan dapat diperoleh dari alat-alat berat, pemadat getaran,
mesin gilas dan dari benda-benda berat yang dijatuhkan. Di laboratorium
untuk mendapatkan pemadatan dilakukan dengan gaya tumbukan (dinamik),
alat penekan, alat tekan statik yang memakai piston dan mesin tekan.
29
Pemadatan berfungsi untuk meningkatkan kekuatan tanah, sehingga akan
meningkatkan daya dukung pondasi diatasnya, mengurangi besarnya
penurunan tanah (settlement) dan meningkatkan kemantapan lereng timbunan
(Das, 1995). Pemadatan merupakan usaha untuk mempertinggi kerapatan
tanah dengan pemakaian energi mekanis untuk menghasilkan pemampatan
partikel (Bowles, 1989).
Menurut Bowles (1989), ada beberapa keuntungan pemadatan:
1. Berkurangnya penurunan permukaan tanah (subsidence) yaitu gaya vertikal
pada massa tanah akibat berkurangnya angka pori.
2. Bertambahnya kekuatan tanah.
3. Berkurangnya penyusutan, berkurangnya volume akibat berkurangnya
kadar air dari nilai patokan pada saat pengeringan.
Kerugian utamanya adalah terjadinya pemuaian (bertambahnya kadar air dari
nilai patokannya) dan kemungkinan pembekuan tanah itu akan membesar.
Salah satu parameter hasil uji pemadatan tanah ditunjukkan oleh suatu nilai
yang disebut dengan nilai CBR. CBR (California Bearing Ratio) adalah
perbandingan antara beban yang dibutuhkan untuk penetrasi tanah contoh
sebesar 0,1” atau 0,2”. Jadi harga CBR adalah nilai yang menyatakan kualitas
tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang
mempunyai nilai CBR sebesar 100% dalam memikul beban lalu lintas
(Sukirman, 1992).
Menurut Soedarmo dan Purnomo (1997), berdasarkan cara mendapatkan
contoh tanah, CBR dapat dibagi atas :
30
1. CBR lapangan (CBR inplace atau field CBR).
CBR lapangan memiliki kegunaan sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi
tanah pada saat itu. CBR lapangan umumnya digunakan untuk
perencanaan tebal lapis perkerasan yang lapisan tanah dasarnya sudah
tidak akan dipadatkan lagi. Pemeriksaan dilakukan dalam kondisi
kadar air tanah tinggi (musim penghujan) atau dalam kondisi terburuk
yang mungkin terjadi.
b. Untuk mengontrol apakah kepadatan yang diperoleh sehingga sesuai
dengan yang diinginkan. Pemeriksaan seperti ini umumnya tidak
digunakan, dan lebih sering menggunakan pemeriksaan yang lain
seperti sand cone, dan lain sebagainya.
Pemeriksaan CBR lapangan dilakukan dengan meletakkan piston pada
kedalaman dimana nilai CBR akan ditentukan lalu dipenetrasi dengan
menggunakan beban yang dilimpahkan melalui gandar truk.
2. CBR lapangan rendaman (undisturbed soaked CBR).
CBR lapangan rendaman berfungsi untuk mendapatkan nilai CBR asli di
lapangan pada keadaan tanah jenuh air, dan tanah mengalami
pengembangan (swelling) maksimum. Pemeriksaan ini dilaksanakan
pada musim kemarau dan kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh
air. Metode ini biasanya digunakan untuk menentukan daya dukung
tanah di daerah yang lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan
31
lagi, terletak di daerah yang badan jalannya sering terendam air pada
musim hujan dan kering pada musim kemarau.
Pemeriksaan CBR lapangan rendaman dilakukan dengan mengambil
contoh tanah dalam tabung (mold) yang ditekan masuk ke dalam tanah
mencapai kedalaman tanah yang diinginkan. Mold berisi contoh tanah
yang dikeluarkan dan direndam dalam air selama beberapa hari sambil
diukur pengembangannya (swelling). Setelah pengembangan tidak
terjadi lagi maka dilaksanakan pemeriksaan CBR.
3. CBR Rencana Titik (CBR laboratorium atau design CBR)
Tanah dasar (subgrade) yang diperiksa merupakan tanah dasar jalan raya
baru yang berasal dari tanah asli, tanah timbunan atau tanah galian yang
dipadatkan sampai mencapai 95% (kepadatan maksimum). Dengan
demikian daya dukung tanah dasar merupakan kemampuan lapisan tanah
yang memikul beban setelah tanah itu dipadatkan.
Pemeriksaan CBR laboratorium dilaksanakan dengan dua macam metode
yaitu CBR laboratorium rendaman (soaked design CBR) dan CBR
laboratorium tanpa rendaman (unsoaked design CBR) (Sukirman, 1992).
Hal yang membedakan pada dua macam metode tersebut adalah contoh
tanah atau benda uji sebelum dilakukan pemeriksaan CBR.
Uji CBR metode rendaman adalah untuk mengasumsikan keadaan
hujan atau saat kondisi terjelek di lapangan yang akan memberikan
pengaruh penambahan air pada tanah yang telah berkurang airnya,
32
sehingga akan mengakibatkan pengembangan (swelling) dan
penurunan kuat dukung tanah (Wikoyah, 2006)
Pada metode CBR rendaman, contoh tanah di dalam cetakan direndam
dalam air sehingga air dapat meresap dari atas maupun dari bawah dan
permukaan air selama perendaman harus tetap kemudian benda uji yang
direndam telah siap untuk diperiksa.
Pengujian kekuatan CBR dilakukan dengan alat yang mempunyai piston
dengan luas 3 sqinch dengan kecepatan gerak vertikal ke bawah 0,05
inch/menit, proving ring digunakan untuk mengukur beban yang
dibutuhkan pada penetrasi tertentu yang diukur dengan arloji pengukur
(dial). Penentuan nilai CBR yang biasa digunakan untuk menghitung
kekuatan pondasi jalan adalah penetrasi 0,1” dan penetrasi 0,2” dengan
rumus sebagai berikut:
Nilai CBR pada penetrasi 0,1” =
Nilai CBR pada penetrasi 0,2” =
Dimana :
A = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,1”
B = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,2”
Nilai CBR yang didapat adalah nilai yang terkecil diantara hasil
perhitungan kedua nilai CBR.
Berikut ini adalah tabel beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi
bahan standar:
100% x 3000
A
100% x 4500
B
33
Tabel 8. Beban Penetrasi Bahan Standar
Penetrasi
(inch) Beban Standar (lbs) Beban Standar (lbs/inch)
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
3000
4500
5700
6900
7800
1000
1500
1900
2300
6000
I. Batas-Batas Konsistensi
Batas-batas konsistensi atau disebut juga batas-batas Atterberg (yang diambil
dari nama peneliti pertamanya yaitu Atterberg pada tahun 1911) adalah batas
kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah.
Pada setiap kondisi kadar air yang terkandung dalam tanah berbeda-beda dan
bergantung pada interaksi antara partikel mineral lempung, bila kandungan air
berkurang maka ketebalan lapisan kation akan berkurang pula yang
mengakibatkan bertambahnya gaya-gaya tarik antara partikel-partikel.
Sedangkan jika kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air akan
menjadi sangat lembek seperti cairan. Oleh karena itu, berdasarkan kadar air
yang dikandung tanah, tanah dapat dibedakan ke dalam empat (4) keadaan
dasar, yaitu : padat (solid), semi padat (semi solid), plastis (plastic), dan cair
(liquid), seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
34
Gambar 2. Batas Konsistensi Tanah
Adapun yang termasuk ke dalam batas-batas Atterberg antara lain:
1. Batas cair (Liquid Limit)
Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan
keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis.
2. Batas plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis
dan semi plastis, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan
diameter silinder 3 mm mulai retak-retak ketika digulung.
3. Batas susut (Shrinkage Limit)
Batas susut (SL) adalah kadar air yang didefinisikan pada derajat
kejenuhan 100%, dimana untuk nilai-nilai dibawahnya tidak akan
terdapat perubahan volume tanah apabila dikeringkan terus. Harus
diketahui bahwa batas susut makin kecil maka tanah akan lebih mudah
mengalami perubahan volume.
Padat Padat Semi Plastis Cair
Limit) (ShrinkageSusut Batas
Limit) (PlasticPlastis Batas
Limit) (LiquidCair Batas
Kering Makin Basah
PL - LL PI(PI)Index Plasticity
Cakupan
35
4. Indeks plastisitas (Plasticity Index)
Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis.
Indeks plastisitas merupakan interval kadar air tanah yang masih bersifat
plastis.
5. Berat spesifik (Specific Gravity)
Berat jenis tanah (Gs) adalah perbandingan antara berat volume butiran
padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperature tº C.
𝐺𝑠 = 𝛾𝑠
𝛾𝑤
J. Tinjauan Penelitian Terdahulu
1. Penelitian yang dilakukan oleh Zulya Safitri pada tahun 2012 adalah
mengenai “Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu (Bagasse Ash)
Sebagai bahan Stabilisator Pada Tanah Lempung Lunak” mengatakan
bahwa penggunaan bahan campuran abu ampas tebu sebagai bahan
stabilisasi mampu meningkatkan daya dukungnya, dengan prosentase
campuran yang digunakan yaitu 5%, 10% dan 15%. Hasil pengujian
untuk CBR tanpa rendaman dengan waktu pemeraman selama 7 hari
mengalami peningkatan sebesar 9.2 %, 10.7 % dan 12.6 % dari CBR
tanah asli. Sedangkan nilai CBR rendaman dengan waktu perendaman
selama 4 hari mengalami peningkatan, yaitu sebesar 5.4 %, 6.7% dan
8%, sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah stabilisasi yang dapat
digunakan sebagai subgrade pada konstruksi jalan yaitu campuran abu
ampas tebu dengan kadar 10% dan 15%, karena nilai CBR nya ≥ 6 %.
36
2. Stabilisasi Tanah dengan Abu Ampas Tebu dan Semen pada tanah
lempung lunak yang dilakukan oleh Eka Fitrian Sari, 2012 dengan judul
penelitian “Pemanfaatan Abu Ampas Tebu pada Stabilisasi Tanah
Lempung Lunak dengan Menggunakan Semen”. Hasil pengujian dengan
bahan campuran abu ampas tebu dan semen dengan waktu pemeraman 7
hari dan rendaman 4 hari mampu meningkatkan nilai CBR terhadap nilai
CBR tanah asli dengan prosentase campuran yang digunakan yaitu 6%,
9% dan 12% dengan perbandingan abu ampas tebu dan semen yaitu 1:2.
Hasil pengujian untuk CBR unsoaked dengan waktu pemeraman selama
7 hari mengalami peningkatan sebesar 9.4 %, 11.3 %, dan 14.2 % dari
CBR tanah asli. Sedangkan hasil pengujian untuk CBR soaked dengan
waktu perendaman selama 4 hari juga mengalami peningkatan, yaitu
sebesar 5.3%, 7.8%, dan 10%. Melihat hasil pengujian CBR tersebut
dapat disimpulkan bahwa tanah yang telah distabilisasi dengan campuran
abu ampas tebu dan semen dengan kadar campuran 6% ( AAT 4% + PC
2%), 9% ( AAT 6% + PC 3%), 12% ( AAT 8% + PC 4%) dapat
digunakan sebagai subgrade pada konstruksi jalan, karena nilai CBRnya
≥ 6 %.