II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR -...

12
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga untuk menyesuaikan viskositas dan mempertahankan karakteristik aslinya selama masa penyimpanan hingga penggunaan (Woolat, 1985). Bhairi (2001), menambahkan deterjen merupakan molekul amfipatik, yaitu suatu senyawa yang mengandung gugus polar dan nonpolar, sehingga dikenal juga sebagai surfaktan karena dapat menurunkan tegangan permukaan air. Berdasarkan gugus hidrofiliknya, deterjen secara umum diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu; 1. Deterjen ionik, memiliki gugus muatan yang terdiri dari deterjen anionik bermuatan negatif dan deterjen kationik bermuatan positif. Deterjen ini efisien untuk memecah ikatan protein-protein. 2. Deterjen nonionik, tidak memiliki muatan, secara umum deterjen ini lebih baik untuk memecah ikatan lemak-lemak atau lemak-protein dibandingkan dengan ikatan protein-protein. 3. Deterjen zwitterionik, merupakan kombinasi antara deterjen ionik dengan deterjen nonionik. Deterjen cair merupakan suatu emulsi yang terdiri dari bahan-bahan dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Untuk memformulasikan komponen- komponen deterjen cair di dalam formula tunggal diperlukan suatu sistem emulsi dengan karakteristik yang baik. Menurut Schueller dan Ramanowsky (1998) emulsi adalah sistem heterogen dimana terdapat sedikitnya satu jenis cairan yang terdispersi di dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet-droplet kecil. Emulsi dapat distabilkan oleh molekul-molekul surfaktan yang membentuk agregat melalui pembentukan lapisan pelindung antara fase terdispersi dan pendispersi. Sedangkan menurut Suryani et. al. (2000) sistem emulsi mampu mencampurkan berbagai macam bahan yang memiliki perbedaan kepolaran ke dalam satu campuran yang homogen.

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR -...

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DETERJEN CAIR

Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan

bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga

untuk menyesuaikan viskositas dan mempertahankan karakteristik aslinya selama

masa penyimpanan hingga penggunaan (Woolat, 1985).

Bhairi (2001), menambahkan deterjen merupakan molekul amfipatik, yaitu

suatu senyawa yang mengandung gugus polar dan nonpolar, sehingga dikenal

juga sebagai surfaktan karena dapat menurunkan tegangan permukaan air.

Berdasarkan gugus hidrofiliknya, deterjen secara umum diklasifikasikan menjadi

tiga jenis yaitu;

1. Deterjen ionik, memiliki gugus muatan yang terdiri dari deterjen anionik

bermuatan negatif dan deterjen kationik bermuatan positif. Deterjen ini efisien

untuk memecah ikatan protein-protein.

2. Deterjen nonionik, tidak memiliki muatan, secara umum deterjen ini lebih baik

untuk memecah ikatan lemak-lemak atau lemak-protein dibandingkan dengan

ikatan protein-protein.

3. Deterjen zwitterionik, merupakan kombinasi antara deterjen ionik dengan

deterjen nonionik.

Deterjen cair merupakan suatu emulsi yang terdiri dari bahan-bahan

dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Untuk memformulasikan komponen-

komponen deterjen cair di dalam formula tunggal diperlukan suatu sistem emulsi

dengan karakteristik yang baik. Menurut Schueller dan Ramanowsky (1998)

emulsi adalah sistem heterogen dimana terdapat sedikitnya satu jenis cairan yang

terdispersi di dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet-droplet kecil. Emulsi

dapat distabilkan oleh molekul-molekul surfaktan yang membentuk agregat

melalui pembentukan lapisan pelindung antara fase terdispersi dan pendispersi.

Sedangkan menurut Suryani et. al. (2000) sistem emulsi mampu mencampurkan

berbagai macam bahan yang memiliki perbedaan kepolaran ke dalam satu

campuran yang homogen.

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

5

Di dalam SNI (06-0475-1996), deterjen cair dikategorikan sebagai

pembersih berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar deterjen dengan

penambahan bahan lain yang diizinkan dan digunakan untuk mencuci pakaian

serta alat dapur, tanpa menimbulkan iritasi kulit. Terdapat dua kelompok deterjen

cair, yaitu yang digunakan dalam pencucian pakaian (kelompok P) dan yang

digunakan dalam pencucian alat-alat dapur (kelompok D). Pada penelitian ini

deterjen yang dihasilkan akan diaplikasikan untuk keperluan mencuci pakaian.

Standar SNI (06-0475-1996) untuk deterjen cair yang dihasilkan dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu deterjen cair menurut SNI

No. Kriteria Satuan Persyaratan

1 Keadaan: Bentuk Bau dan warna

- -

Cairan homogen

Khas

2 pH 25o C - 6 – 8

3 Bahan aktif % Min. 10

4 Bobot jenis g/ml 1.0 – 1.2

5 Total mikroba Koloni/g Maks 1 x 105

Sumber : SNI 16-4075-1996

B. METIL ESTER SULFONAT (MES)

Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan kelompok surfaktan anionik

(Matheson, 1996). MES dapat diperoleh melalui reaksi sulfonasi metil ester. Metil

ester diperoleh dengan melakukan reaksi esterifikasi terhadap asam lemak atau

transesterifikasi langsung terhadap minyak/lemak nabati dengan alkohol

(Gervasio, 1996). Minyak/lemak yang digunakan dapat diperoleh dari minyak

kelapa sawit (CPO/PKO). Reaksi transesterifikasi minyak/lemak dapat dilihat

pada Gambar 1.

R’COOR” + R”’OH R’COOR”’ + R”OH

Gambar 1. Reaksi transesterifikasi minyak atau lemak (Gervasio, 1996)

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

6

Menurut De Groot (1991) terdapat beberapa pereaksi yang dapat

digunakan dalam proses sulfonasi, diantaranya gas SO3 murni, oleum, asam

klorosulfonat, asam sulfat dan NaHSO3. Selama proses sulfonasi gugus sulfonat

dapat terikat di dua tempat pada molekul metil ester, yaitu pada posisi alfa dan

gugus ester. Bila –SO3 terikat pada kedua tempat tersebut akan terbentuk

disulfonat. Selama berjalannya reaksi disulfonat bertindak sebagai sulfonator bagi

metil ester yang belum bereaksi. Hal ini dilakukan dengan cara melepaskan –SO3

dari gugus ester untuk ditangkap oleh metil ester pada posisi alfa membentuk

molekul MES (Gervasio, 1996).

Reaksi sulfonasi pembentukan metil ester sulfonat (MES) menurut Pore

(1983) dapat dilihat pada Gambar 2. Struktur molekul MES menurut Watkins

(2001) dapat dilihat pada Gambar 3.

O O

R – CH2 – C – OCH3 + NaHSO3 R – CH – C – OCH3

SO3Na

Gambar 2. Reaksi pembentukan metil ester sulfonat (Pore, 1983)

O

R – CH – C – OCH3

SO3Na

Gambar 3. Struktur molekul metil ester sulfonat (Watkins, 2001)

Pada industri deterjen yang berkembang saat ini, surfaktan yang umum

digunakan adalah LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat). Namun LAS memiliki

kelemahan yaitu sulit untuk di degradasi oleh lingkungan.

Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh MES adalah sebagai berikut;

pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dari

pada dibandingkan surfaktan anionik lain. Dengan kata lain MES memiliki

toleransi yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. Surfaktan MES

dibandingkan surfaktan LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat), dengan konsentrasi

yang sama memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi. LAS merupakan salah satu

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

7

surfaktan yang dihasilkan dari minyak bumi sebagai komponen penyusun deterjen

yang banyak digunakan di dunia. (Watkins, 2001)

C. DEKSTRIN

Dekstrin adalah produk yang dihasilkan dari hidrolisa pati dengan enzim

tertentu atau dengan hidrolisa pati secara basah yang dikatalis dengan asam

(Satterthwaite dan Iwinski, 1973). Menurut Acton (1979), dekstrin adalah produk

degradasi pati sebagai hasil hidrolisis tidak sempurna pati dengan katalis asam

atau enzim pada kondisi yang dikontrol. Dekstrin umumnya berbentuk bubuk dan

berwarna putih sampai kuning keputihan.

Hidrolisa pati akan menghasilkan berat molekul yang lebih kecil dan lebih

mudah larut dalam air, terutama air panas. Dalam pembentukan dekstrin juga

terjadi transglukosilasi yaitu perubahan ikatan α-D-(1,4)- glukosidik menjadi

ikatan α-D-(1,6)-glukosidik. Perubahan ikatan ini menyebabkan dekstrin lebih

cepat terdispersi, tidak kental dan lebih stabil dari pada pati asalnya (Satterthwaite

dan Iwinski, 1973). Sedangkan menurut Furia (1975) dekstrin merupakan hasil

modifikasi pati yang dilakukan dengan memecahkan ikatan glukosida pada rantai

molekulnya. Konversi pati tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan

viskositas dari pati aslinya, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipergunakan

pada konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati aslinya.

Menurut Fennema (1985), apabila dekstrin dilarutkan ke dalam air, maka

gugus-gugus hidroksil dari monomer-monomer dekstrin (unit-unit D-glukosa)

akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air di sekitarnya. Gugus

hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil lainnya dari

sesama monomer sehingga terbentuk kristal apabila air dihilangkan dengan cepat

misalnya dengan proses pengeringan atau penggorengan. Jika dalam suatu bahan

terdapat molekul-molekul polar seperti alkohol, ester dan keton (komponen-

komponen flavour), maka komponen-komponen tersebut akan menggantikan

posisi molekul air dan terperangkap ke dalam matriks yang amorf. Struktur

molekul dekstrin dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

8

Gambar 4. Struktur Molekul Dekstrin (Fennema, 1985)

Menurut Lewis (1989), dekstrin merupakan bahan yang aman (Generally

Recognize as Safe), tidak beracun dan tidak berbahaya untuk dikonsumsi manusia.

Dekstrin berfungsi sebagai thickener dan memperbaiki panampakan produk

sehingga sering digunakan sebagai bahan campuran serbuk minuman, permen dan

macam-macam kue. Dekstrin termasuk ke dalam bahan pengisi yang dapat

menstabilkan, memekatkan, atau mengentalkan suatu larutan untuk membentuk

suatu kekentalan tertentu.

D. FORMULASI DETERJEN CAIR

Formula yang digunakan dalam pembuatan deterjen cair merupakan

formula yang berasal dari Matheson (1996) yang telah dimodifikasi dengan

menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan dan penggunaan dekstrin

sebagai bahan pengental untuk meningkatkan viskositas dan kestabilan emulsi.

Formula tersebut menyebutkan bahwa deterjen cair terdiri dari surfaktan, soap,

builders, hydrotropes, other (enzymes, bleach, optical brigtener, perfume,

coloring). Sedangkan menurut Bird (1983) bahwa bahan baku deterjen terdiri atas

surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta enzim. Formulasi deterjen cair

menurut Matheson (1996) dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

9

Tabel 2. Formulasi Deterjen Cair

Bahan Konsentrasi

Surfaktan 20% - 40%

Soap 0% - 5 % Builders 0% - 10%

Hydrotropes 5% - 10%

Others (enzymes, bleach, optical brigtener, perfume, coloring)

1% - 2%

Sumber : Matheson, 1996

Pada penelitian ini, formulasi Matheson (1996) dimodifikasi dengan

menggunakan surfaktan yang ramah lingkungan yaitu MES (Metil Ester Sulfonat)

dan SLS (Sodium Lauril Sulfat). Pada formulasi ini tidak dipergunakan soap dan

hydrotropes. Soap (sabun) pada formulasi ini berfungsi sebagai pembusa dan

membantu kerja surfaktan dalam membentuk emulsi. Fungsi sabun dalam

formulasi tersebut telah digantikan oleh surfaktan SLS (Sodium Lauril Sulfat).

Dalam formulasi ini hydrotropes berfungsi sebagai penstabil larutan

deterjen yang terbentuk serta sebagai zat tambahan yang dapat membantu

melarutkan bahan-bahan pembuat deterjen yang mempunyai nilai kepolaran

berbeda (Matheson, 1996). Pada formulasi yang dikembangkan, hydrotropes tidak

digunakan karena pada formulasi tersebut telah ditambahkan dekstrin dan MES

yang diduga dapat meningkatkan kestabilan emulsi.

1. Surfaktan

Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang mengandung hidrokarbon

yang tidak larut dalam air dan hidrokarbon yang larut dalam air. Hidrokarbon

yang larut dalam air dikenal dengan gugus hidrofilik, sedangkan hidrokarbon

yang tidak larut dalam air disebut gugus hidrofobik/lipofilik (Matheson, 1996).

Gugus hidrofobik surfaktan terdiri dari rantai hidrokarbon C8-C18 yang

dapat berupa senyawa alifatik, aromatik atau gabungan dari keduanya. Sedangkan

gugus hidrofilik surfaktan dapat berupa gugus anionik, kationik atau nonionik.

Menurut Ilyani (2002), surfaktan berfungsi menurunkan tegangan permukaan air,

sehingga kotoran dapat lepas dari kain. Surfaktan juga berfungsi sebagai

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

10

emulsifier yang dapat menjaga minyak tetap terdispersi dan tersuspensi sehingga

minyak tersebut tidak tepisah.

Tegangan permukaan merupakan gaya tarik menarik antar molekul dalam

sebuah larutan. Setiap molekul dalam jumlah besar saling berikatan dengan

molekul-molekul yang berada di dekatnya dengan kekuatan tarik yang sama

besar, sehingga menimbulkan suatu lapisan yang memisahkan antara larutan

dengan udara (Hargreaves, 2003).

Menurut Hargreaves (2003) ketika molekul surfaktan berada di dalam air,

gugus hidrofiliknya berikatan kuat dengan molekul air (ikatan antar molekul

polar), sedangkan gugus hirofobiknya (non-polar) mempunyai kecenderungan

untuk menjauh dari molekul air. Gugus hidrofilik surfaktan bergerak ke

permukaan air dan berikatan dengan molekul udara, sehingga membuat tegangan

permukaan air menurun.

Schuller dan Romanowsky (1998), menyatakan bahwa pada konsentrasi

yang cukup molekul-molekul surfaktan beragregat membentuk sebuah struktur

spherical yang disebut missel. Pada bentuk ini rantai hidrofobik berorientasi ke

dalam missel, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi ke luar missel. Pada kondisi

tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan konsentrasi missel kritis (KMK)

atau critical micelle concentration (CMC). Digunakan surfaktan MES dan SLS

dalam formulasi deterjen cair pada penelitian ini. Ilustrasi molekul surfaktan dapat

dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Ilustrasi molekul surfaktan (Anonim, 2009)

SLS adalah surfaktan anionik, dengan viskositas larutannya dapat

ditingkatkan dengan penambahan elektrolit (Gervasio, 1996). Pada suhu ruang

SLS berbentuk pasta dan tidak berwarna (Cognis, 2003). Surfaktan ini memiliki

daya pembusaan yang baik dan lembut terhadap kulit. Beberapa perusahaan di

Inggris mengkombinasikan SLS dengan surfaktan anionik lainnya dalam

formulasi deterjen cair (Woolat, 1985).

Hidrofobik Hidrofilik

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

11

Pada penelitian ini menggunakan SLS dengan nama dagang Texapon N-

70. Menurut Greenberg, et. al (1954), senyawa ini merupakan campuran garam

natrium dari senyawa alkil sulfat primer. Rumus molekulnya adalah

C12H25OSO3Na. Senyawa ini berbentuk hablur, berwarna putih atau kuning pucat,

bau lemah dan khas, sangat mudah larut dalam air dan larutannya berkabut.

Kegunaan senyawa ini adalah sebagai surfaktan, selain itu senyawa ini berguna

sebagai bahan pembersih dan pengemulsi.

2. Builders

Builders merupakan komponen penting kedua dalam formula deterjen

karena berfungsi meningkatkan efisiensi kinerja surfaktan. Fosfat merupakan

salah satu builders dalam formulasi deterjen. Sodium tripolifospat (STPP)

merupakan salah satu contoh dari fosfat yang paling penting dalam pembuatan

deterjen bubuk. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya mencegah kain putih

menjadi keabu-abuan dan memiliki karakteristik yang memperkuat deterjen

dalam mencuci ketika komponen organik deterjen tidak ada. Secara umum fungsi

sodium tripolifospat adalah meningkatkan kekuatan menghilangkan dan

mengendapkan kotoran dan membantu deterjen memiliki struktur yang baik

(Sasser, 2001).

Menurut Wittcoff dan Reuben (1980), tujuan penambahan builders adalah

untuk mengkelat ion-ion Ca2+ dan Mg2+. Builders dalam deterjen akan

melindungi/menghalangi redoposisi kotoran akan kembali ke permukaan. Rumus

bangun sodium tripolifosfat terlihat pada Gambar 6.

_

O P O P O P O 5 Na+

Gambar 6. Rumus bangun STPP (Wittcoff dan Reuben 1980)

3. Bleaching

Bleaching (pemutih) adalah bahan yang digunakan untuk memutihkan

pakaian yang dicuci. Salah satu bahan pemutih yang digunakan dalam formulasi

deterjen adalah H2O2 (Hidrogen Peroksida). Menurut Broze (1999) hidrogen

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

12

peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membebaskan oksigen,

sehingga dapat digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu yang rendah. Berikut

ini adalah persamaan reaksi proses pemutihan:

H2O2 + X H2O + XO (pigmen teroksidasi)

4. Parfum

Parfum merupakan campuran aromatik yang dapat berupa minyak yang

berbahan alami, campuran minyak wangi yang berbahan alami dan minyak wangi

berbahan sintetis. Pemberian parfum ke dalam deterjen dimaksudkan untuk

memberikan aroma yang menyenangkan dan menutupi bau yang timbul pada saat

pencucian (Gunter dan Lohr, 1987). Pada umumnya penggunaan konsentrasi

parfum maksimal adalah 1.0 persen.

E. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN KINERJA DETERJEN CAIR

Sifat fisikokimia emulsi merupakan parameter yang menentukan kualitas

system emulsi. Karakteristik fisikokimia adalah nilai pH, viskositas, bobot jenis,

dan stabilitas emulsi. Sedangkan untuk menentukan kualitas kinerja produk

digunakan analisa terhadap parameter daya pembusaan, stabilitas busa, daya

deterjensi.

1. Nilai pH

Menurut teori asam-basa Lowry, asam sebagai zat yang mampu

menghasilkan proton dan basa sebagai penerima proton. Lebih lanjut proton

didefinisikan sebagai atom H yang kehilangan satu elektronnya (H+) sehingga

hanya memiliki satu muatan positif, dengan massa sedikit lebih kecil dibanding

atom H. Sedangkan teori asam-basa Lewis, asam sebagai radikal, ion atau

molekul yang sanggup menerima elektron (Bird, 1993).

Teori Arhenius menyebutkan bahwa senyawa asam sanggup

membebaskan ion hidrogen apabila dilarutkan di dalam air. Kekuatan asam

(derajat keasaman) ditentukan oleh sifat basa dari pelarut yang digunakan

(kemampuan menarik proton). Derajat keasaman adalah fungsi logaritmik dari

konsentrasi ion H+ di dalam larutan (Respati, 1992).

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

13

2. Viskositas

Viskositas atau kekentalan adalah indeks hambatan alir cairan (Bird, 1993;

Respati, 1992). Di dalam Kodeks Kosmetika RI (1986), viskositas didefinisikan

sebagai tenaga yang diperlukan untuk menggerakkan satu permukaan lain dalam

kondisi yang ditentukan, apabila ruang diantaranya diisi oleh cairan tersebut.

Definisi lainnya shearing stress yang diberikan dalam luasan tertentu sewaktu

diberikan kecepatan dalam gradien normal pada area tersebut (Suryani et. al.,

2000).

Standar Nasional Indonesia tidak mencantumkan nilai viskositas yang

harus dipenuhi oleh produk deterjen cair. Stephan Co., salah satu produsen

surfaktan di Amerika menyatakan nilai viskositas sediaan pembersih cair berada

didalam kisaran 500 cp hingga 2000 cp.

3. Bobot Jenis

Bobot jenis atau densitas didefinisikan sebagai berat suatu cairan per

satuan volume (ASTM, 2002). Menurut Waistra (1996) nilai bobot jenis spesifik

pada suhu tertentu. Bobot jenis deterjen cair ditentukan oleh bobot jenis

komponen-komponen penyusunnya. Perbedaan bobot jenis komponen penyusun

sebuah emulsi pada kisaran yang semakin lebar akan menurunkan stabilitas

emulsi tersebut dengan meningkatnya kecederungan fenomena creaming.

4. Stabilitas Emulsi

Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh suhu, jenis dan konsentrasi emulsifier,

kondisi penyimpanan dan aktivitas mikroorganisme. Pada dasarnya nilai stabilitas

emulsi terkait dengan kualitas emulsi tersebut dikaitkan dengan waktu. Dengan

kata lain berkaitan dengan faktor penyimpanan produk emulsi (Waistra, 1996).

5. Daya Pembusaan

Busa adalah agregat dari buih, sedangkan buih merupakan emulsi gas

dalam cairan (Stubenrauch et al., 2003; Bird, 1993). Buih-buih yang saling

berdekatan membentuk dinding-dinding polihedral yang saling membagi sudut

menjadi 120°. Formasi tersebut mirip dengan sarang lebah. Dinding yang

terbentuk dari cairan ini memisahkan fase gas dalam ruang-ruang polihedral. Pada

proses pembersihan oleh deterjen cair, busa berperan dalam mempertahankan

kotoran yang lepas di dalam suspensi (SDA-Amerika, 2003).

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

14

6. Stabilitas Busa

Busa yang dihasilkan oleh produk deterjen cair juga harus stabil agar

bertahan lebih lama selama proses pencucian berjalan. Stabilitas busa dikaitkan

dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan

menghubungkan volume busa terhadap waktu. Selain dipengaruhi oleh jenis

surfaktan, stabilitas busa dipengaruhi oleh suhu dan laju drainase (Stubenrauch et.

al., 2003).

7. Daya Deterjensi

Deterjensi adalah proses pembersihan permukaan padat dari benda asing

yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan pencuci/perendam berupa

larutan surfaktan. Sedangkan deterjen merupakan bahan yang digunakan untuk

meningkatkan daya pembersihan oleh air (Hanson, 1992).

Proses deterjensi tejadi melalui pembentukan missel-missel oleh surfaktan

yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat

pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan

adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Hanson, 1992). Gambar mengenai

proses pembentukan missel-missel oleh surfaktan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Proses pembentukan misel-misel oleh surfaktan (Anonim, 2009)

Sedangkan menurut Hargreaves (2003) proses deterjensi oleh deterjen

adalah sebagai berikut, gugus hidrofobik surfaktan akan berikatan dengan kotoran

dan gugus hidrofilik akan berikatan dengan molekul air, sehingga membawa

kotoran larut dalam air. Sedangkan pada konsentrasi tinggi surfaktan akan

membentuk missel dan kotoran akan di hilangkan dari permukaan kain dengan

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62227/4/BAB II...kelapa sawit (CPO/PKO). ... surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta

15

melarutkannya dalam bentuk mikro emulsi. Gambar proses deterjensi dapat dilihat

pada Gambar 8.

Gambar 8. Proses deterjensi oleh deterjen (Hargreaves, 2003)

8. Kadar Fosfat

Fosfat total merupakan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun

terlarut, anorganik maupun organik. Fosfor anorganik biasanya disebut soluble

reactive phosphorus, misalnya ortofosfat. Keberadaan fosfor secara berlebihan

yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan

alga di perairan (Effendi, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian total

fosfat dalam produk deterjen.