II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Daging -...

23
7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Daging Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008). Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong. Daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak mamalia (sapi, domba, dll) yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian otot yang berserat, yaitu yang berasal dari otot rangka atau lidah, diafragma, jatung dan esofagus, tidak termasuk bibir, moncong, telinga, dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat, syaraf, dan pembuluh- pembuluh darah (Tien, dkk., 2011). Daging sapi memiliki karakteristik warna daging merah pucat, berserabut halus dengan sedikit lemak, konsistensi liat serta bau dan rasa aromatis (Balai Besar Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian, 2008). Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang mengandung nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral, dan sedikit karbohidrat sehingga dengan kandungan tersebut menjadikan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan menjadikan mudah mengalami kerusakan (Nurwantoro dkk., 2012). Komposisi kimia berbagai macam jenis daging dapat dilihat pada Tabel 1.

Transcript of II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Daging -...

7

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Daging

Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan

lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin,

atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008). Daging didefinisikan

sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian

bibir, hidung, dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong.

Daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak mamalia (sapi, domba,

dll) yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya

terbatas pada bagian otot yang berserat, yaitu yang berasal dari otot rangka atau

lidah, diafragma, jatung dan esofagus, tidak termasuk bibir, moncong, telinga,

dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat,

syaraf, dan pembuluh- pembuluh darah (Tien, dkk., 2011).

Daging sapi memiliki karakteristik warna daging merah pucat, berserabut

halus dengan sedikit lemak, konsistensi liat serta bau dan rasa aromatis (Balai Besar

Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian, 2008).

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang

mengandung nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral, dan sedikit karbohidrat

sehingga dengan kandungan tersebut menjadikan medium yang baik untuk

pertumbuhan bakteri dan menjadikan mudah mengalami kerusakan (Nurwantoro

dkk., 2012).

Komposisi kimia berbagai macam jenis daging dapat dilihat pada Tabel 1.

8

Tabel 1. Komposisi Kimia Daging

No Komposisi Macam Daging

Sapi Domba Babi

..........%.........

1 Air 66,0 66,3 42,0

2 Protein 18,8 17,1 11,9

3 Lemak 14,0 14,8 45,0

......mg/gram.....

4 Ca 11,0 10,0 7,0

5 P 170,0 19,0 117,0

6 Besi 2,8 2,6 1,8

7 Vitamin A 30 - -

8 Vitamin B 0,08 0,15 0,58

Sumber : Tien, dkk., (2011)

2.2 Mutu Mikrobiologis

Penyediaan daging harus didahului dengan penyembelihan secara normatif

yang berasal dari sapi, kerbau, kambing, domba, babi, unggas dan hewan hewan

lainnya (Bintoro, 2008). Daging yang dapat dikonsumsi umumnya berasal dari

ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas Rumah

Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran bakteri (Usmiati, 2010).

Daging (khususnya daging sapi) di Indonesia umumnya diproduksi oleh

RPH, dan kemungkinan mempunyai potensi untuk tercemar bakteri, sesaat setelah

dipotong, dipasarkan, bahkan sampai di konsumen. Daging yang tercemar bakteri

mudah mengalami kerusakan, karena mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan bakteri (Gustiani, 2009). Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan

oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) persyaratan mikrobiologis (bakteri)

dalam daging sapi yang beredar di Indonesia adalah 106 CFU/g, bakteri coliform

102 CFU/g, bakteri Staphylococcus aureus 102 CFU/g, bakteri Salmonella sp.,

negatif per 25 g dan bakteri Escherichia coli 10 CFU/g (BSN, 2008). Apabila

9

kandungan bakteri dalam daging melebihi standar yang telah ditentukan, maka

daging tersebut dianggap tidak layak sebagai bahan pangan, karena kemungkinan

menjadi mudah rusak. Kemungkinan pula dapat menimbulkan penyakit, apabila

daging yang mengandung bakteri patogen diolah kurang sempurna dan selanjutnya

dikonsumsi.

2.3 Kerusakan Daging oleh Mikroorganisme

Awal kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang

memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan, jika alat-alat yang

dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril, karena darah masih bersirkulasi

selama beberapa saat setelah penyembelihan dan mikroorganisme dapat beredar ke

seluruh daging (Soeparno, 2005).

Kebusukan terjadi apabila populasi mikroorganisme mencapai 107

cfu/gram, apabila mencapai 108 cfu/gram maka terjadi perubahan bau dan

pembentukan lendir (Buckle, dkk., 2009). Pembusukan adalah dekomposisi protein

secara anaerobik yang menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau busuk seperti

H2S, merkaptan, indol, skatol, ammonia dan amin. Pembusukan biasanya

disebabkan oleh spesies Clostridium atau bakteri anaero-fakultatif (biasanya

dengan nama spesies putefaciens, purtrificum, putida) seperti Psedomonas sp,

Alcaligenes sp dan Proteus sp (Denny, dkk., 2009).

Kebusukan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya

lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroba mencapai jutaan atau ratusan juta

sel atau lebih per satuan luas permukaan daging. Hal ini disebabkan oleh

pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-tanda pembentukan lendir yang

disebabkan oleh pertumbuhan bakteri L. Vidiens, bakteri pembentuk lendir

10

berwarna hjau yaitu Enterococcus dan Bacillus thermospacta, perubahan warna

yang disebabkan oleh pigmen daging (mioglobin) menjadi metmioglobin yang

berwarna coklat, menjadi kuning atau hijau yang disebabkan oleh bakteri

pembentuk sufmyoglobin (Frazier dan Westhoff, 1998). Perubahan bau menjadi

busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau

busuk seperti amonia, H2S dan senyawa lain, perubahan rasa menjadi asam dan

pahit karena pertubuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit, terjadi

ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging (Sri, 2010).

Fase-fase pertumbuhan mikroorganisme pada daging secara umum dapat

dibagi menjadi empat fase yaitu :

1. Fase Lambat (lag phase) : Pada awal inokulasi sel ke dalam media

nutrien segar biasanya pada suatu periode dimana tidak terjadi pembelahan

sel. Fase lambat ini dapat terjadi diantara antara beberapa menit sampai

beberapa jam tergantug spesies, umur dari sel inokulum dan lingkungannya.

Waktu pada fase lambat dibutuhkan untuk kegiatan metabolisme dalam

rangka persiapan dan penyusaian diri dengan kondisi pertumbuhan dalam

lingkungan yang baru.

2. Fase Log (log phase) : Setelah beradaptasi terhadap kondisi baru, sel-

sel ini akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial sampai jumlah

maksimum yang dapat dibantu oleh kondisi lingkungan yang dicapai.

3. Fase Tetap (stationary phase) : Populasi mikroorganisme jarang dapat tetap

tumbuh secara ekponensial dengan keceptan tinggi untuk suatu jangka

waktu yang lama. Sebab-sebanya akan menjadi jelas jika dipikirkan akibat

dari pertumbuhan secara eksponensial satu sel bakteri dengan waktu lipat

20 menit akan menghasilkan turunan sebesar 2,2 x 1023 g atau kira-kira

11

4.000 kali berat bumi. Pertumbuhan populasi mikroorganisme biasanya

dibatasi oleh habisnya bahan gizi yang tersedia atau penimbunan zat racun

sebagai hasil akhir metabolisme. Akibatnya kecepatan pertumbuhan

akhirnya terhenti. Pada titik ini dikatakan sebagai fase tetap. Komposisi

sel-sel pada fase ini berbeda dibandingkan dengan sel-sel saat fase

eksponensial dan umumnya lebih tahan terhadap perubahan-perubahan

kondisi fisik seperti panas, dingin dan radiasi maupun terhadap bahan-bahan

kimia.

4. Fase menurun (decline or death phase) : Sel-sel yang berada dalam fase

tetap akhirnya akan mati bila tidak dipindahkan kemedia segar lainnya.

Sebagaimana pertumbuhan, kematian sel juga secara eksponensial dan

karenanya dalam bentuk logaritmis, fase menurun atau kematian ini

merupakan penurunan secara garis lurus yang digambarkan oleh jumlah sel-

sel yang hidup terhadap waktu.

Adapun grafik fase-fase pertumbuhan mikroorganisme pada daging

ditunjukkan pada Ilustrasi 1.

Ilustrasi 1. Grafik Fase Pertumbuhan Mikroorganisme pada Daging

12

2.4 Total Bakteri

Total Plate Count (TPC) merupakan metode yang paling umum digunakan

untuk menghitung jumlah bakteri pada suatu sampel. Prinsip dari metode TPC

yaitu sampel diencerkan dengan larutan NaCL fisiologis, kemudian dibiakkan

dalam media padat berupa nutrien dalam bentuk agar dan harus diinkubasikan

selama 24 jam atau lebih (Buckle, dkk., 2009).

Prinsip dari metode hitung cawan adalah jika sel jasad renik yang masih

hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel jasad renik tersebut berkembang

baik. Dalam metode hitung cawan, bahan pangan yang mengandung lebih dari 300

sel jasad renik per ml atau per gram atau per cm. Setelah diinkubasi akan terbentuk

koloni pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, dimana jumlah yang

terbaik antara 25 samapi 250 koloni (Larry, dkk., 2001).

Adapun rumus perhitungan mikroorganisme adalah sebagai berikut :

N = ∑ 𝐶

[(1 𝑥 𝑛1)+(0,1 𝑥 𝑛2)+(𝑑)]

Keterangan : N = Jumlah koloni per ml atau g prduk ∑ C = Jumlah total koloni pada semua plate (25 -250) n1 = Jumlah plate yang dapat dihitung pada pengecaran pertama n2 = Jumlah plate yang dapat dihitung pada penenceran kedua d = Pengenceran pertama yang dihitung pada pengenceran kedua (25-250)

2.5 Awal Kebusukan

Awal kebusukan adalah batas kemampuan dari suatu bahan sampai

menunjukkan terjadinya perubahan kearah kebusukan (Soewarno, 1990). Menurut

Lawrie (2003) , proses pengawetan dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu sebagai

berikut :

1. Pengawetan secara fisik

13

Meliputi pelayuan (penirisan darah selama 24 jam setelah ternak

disembelih), pemerasan (seperti pasteurisasi dan sterilisasi untuk membunuh

mikroorganisme) dan pendingin (penyimpanan disuhu dingin 4-10oC) pada

refrigerator dan < 0oC pada frezeer).

2. Pengawetan dengan bahan kimia

Pengawetan yang melibatkan bahan kimia. Pengawetan kimia dibedakan

menjadi 2 yaitu :

1) Pengawetan dengan bahan aktif alamiah antara lain menggunakan

rempah-rempah, metabolit sekunder bakteri dan lainnya yang memiliki

daya antibakteri.

2) Pengawetan dengan bahan kimia seperti sodium tripolyphospat, sodium

nitrit, natrium nitrat. Jumlah pemakaian bahan pengawet kimia

pemakaiannya dibatasi karena jika dikonsumsi dalam jumlah banyak

akan mengganggu kesehatan konsumen. Beberapa bahan pengawet

yang lazim digunakan dalam jumlah yang diizinkan adalah nitrit, asam

sorbet, antibiotic tertentu termasuk tetrasiklin. Kemudian gula, sulfur,

dioksida, asam propionate, asam bezoat dan Cu karbonat.

3) Pengawetan Alami

Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun

dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan

pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya

karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba

perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda (Cahyadi,

2008).

14

Menurut Widyaningsih & Murtini (2006), Secara garis besar zat

pengawet dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Generally Recognized as Safe (GRAS) yang umumnya bersifat alami,

sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.

b. Acceptable Daily Intake (ADI), yang selalu ditetapkan batas penggunaan

hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.

c. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi karena bukan untuk

makanan alias berbahaya seperti boraks dan formalin.

Bahan pengawet alami merupakan jenis pengawet yang memiliki

kemampuan untuk mengawetkan makanan. Bahan pengawet alami realtif

aman dibandingkan bahan pengawet sintesis yang bersifat karsinogenik.

Bahan pengawet alami ini hampir terdapat pada semua tumbuh-tumbuhan

dan buah-buahan tersebar di seluruh tanah air. Secara tradisional

masyarakat telah menggunakan bahan-bahan tumbuhan untuk

mengawetkan bahan pangan. Bahan pengawet alami yang sering digunakan

adalah rempah-rempah. Bahan alam telah dikenal mengandung berbagai

jenis senyawa antimikroba yang memegang peranan penting dalam sistem

pertahanan alami atau kompetisi pada semua jenis organisme, baik dari

mikroorganisme sampai serangga, binatang, dan tanaman (Dwi, 2016).

Efek penghambatan senyawa antimikroba dari rempah-rempah tidak

hanya dapat menghambat pertumbuhan bakeri, tetapi dapat menghambat

pertumbuhan khamir seperti cadind albican dan Sacharomyses cerevicae.

Komponen antimikroba yang terdapat pada cengkeh, minyak kayu manis,

minyak bawang putih dan bawang merah dapat menghambat spesies kapang

diantaranya adalah Aspergillus flavus. A. Parasiticus dan A. Ochraceus.

15

Kapang adalah mikroorganisme penyebab kerusakan bahan pangan

terutaman biji-bijian dan produk tepung-tepungan dengan kadar air rendah

(Sutrisno, 2009).

2.6 Perendaman Daging

Perendaman merupakan salah satu penanganan daging yang menggunakan

bahan tambahan makanan sebelum diolah lebih lanjut. Efek positif perendaman

pada tekstur daging adalah kesan jus yang meningkat dan resiko kehilangan air

selama pemasakan lebih sedikit. Proses perendaman daging dapat dilakukan saat

persiapan daging sebelum pengolahan. Perendaman pada dasarnya proses

meresapnya cairan ke dalam daging sampai batas keseimbangannya. Lama proses

perendaman tergantung jenis pelarut, bahan dasarnya dan jenis potongan (Sumual,

dkk., 2014).

Bahan perendaman yang digunakan merupakan larutan berbumbu yang

berfungsi sebagai perendam daging, biasanya digunakan untuk meningkatkan cita

rasa, kesan jus dan keempukan daging setelah dimasak. Bahan perendam daging

bermacam-macam, yaitu gula, garam dapur (NaCl), garam sorbat, garam fosfat dan

garam benzoat, yang bermanfaat untuk meningkatkan keamanan pangan dan masa

simpan daging. Bahan perendaman yang lainnya adalah asam (vinegar, wine, jus

lemon), minyak makan (zaitun, almond) dan bumbu. Perendaman daging pada

awalnya berfungsi sebagai bumbu, tetapi pada perkembangan lebih lanjut juga

berfungsi untuk menurunkan kandungan bakteri dalam daging (Nurwantoro, dkk.,

2012). Disamping itu perendaman berfungsi untuk memperoleh tingkat keempukan

daging yang maksimum dan cita rasa yang sesuai. Pengaruh tersebut berbeda

16

diantara otot, serta diantara ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah lemak

daging serta kekuatan jaringan ikat (Endah, dkk., 2012).

Prinsip perendaman daging adalah perendaman dalam bahan perendam

(larutan atau saus) yang mengandung bahan tertentu sehingga secara perlahan-lahan

terjadi transpor pasif dari bahan perendam ke dalam daging secara osmosis.

Awalnya perendaman daging bermanfaat untuk memperbaiki citarasa dan

keempukan daging setelah pengolahan daging. Bahan-bahan perendaman yang

dapat digunakan untuk memperbaiki citarasa dan keempukan daging adalah bahan

perasa, seperti garam dapur (NaCl), kecap (saus kedelai), asam-asam organik (asam

asetat/cuka, lemon), enzim (papain, bromelin, fisin dan zingibain).

Perendaman daging dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki citarasa,

memperbaiki sifat fisik daging dan diharapkan pula dapat dimanfaatkan sebagai

bahan pengawet untuk memperpanjang masa simpan. Berbagai hasil penelitian

perendaman daging ternyata juga bermanfaat untuk meningkatkan keamanan

pangan dan nilai tambah. Hal ini disebabkan bahan perendaman umumnya juga

bersifat antibakteri, sehingga diharapkan dapat memenuhi persyaratan sesuai SNI

terutama dilihat dari sisi mikrobiologis (Nurwantoro, dkk., 2012).

Menurut Carrol, dkk., (2007) peningkatan citarasa dan keempukan daging

akibat proses perendaman disebabkan oleh meningkatnya daya ikat air daging.

Perkembangan lebih lanjut, ternyata perendaman daging juga bermanfaat untuk

memperpanjang masa simpan daging. Hal ini disebabkan bahan-bahan perendaman

umumnya bersifat antibakteri. Manfaat perendaman adalah: (a) meningkatkan

kualitas sensori daging (citarasa, keempukan, kesan jus) (b) memperbaiki sifat fisik

daging (meningkatkan daya ikat air); dan (c) memperpanjang masa simpan.

17

2.7 Jahe

Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu

berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Oleh karena itu

kedua bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan

jahe terutama sebagai bahan minuman, bumbu masak dan obat-obatan tradisional.

Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae), satu famili

dengan temu-temuan lainnya seperti temu lawak (Curcuma xanthorrizha), temu

hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempferia

galanga), lengkuas (Languas galanga) dan lain-lain. Nama daerah jahe antara lain

halia (Aceh), beeuing (Gayo), bahing (Batak Karo), sipodeh (Minangkabau), jahi

(Lampung), jahe (Sunda), jae (Jawa dan Bali), jhai (Madura), melito (Gorontalo),

geraka (Ternate). Berdasarkan morfologinya (ukuran, bentuk, dan warna rimpang),

di Indonesia dikenal tiga jenis jahe, yaitu jahe gajah, jahe emprit, dan jahe merah

atau dikenal jahe sunti (Kemal, 2000).

Secara botanis tanaman jahe dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale Roscoe

Komposisi kimia jahe sangat mempengaruhi tingkat aroma dan pedasnya

jahe tersebut. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komposisi kimia jahe

18

antara lain jenis, kondisi tanah, umur panen, cara budidaya, penanganan pasca

panen, cara pengolahan dan ekosistem tempat tanaman ditanam. Jahe pada

umumnya mengandung minyak atsiri 0,25-3,3 %. Minyak atsiri ini menimbulkan

aroma khas jahe dan terdiri atas beberapa jenis minyak menimbulkan aroma khas

dan jahe dan terdiri atas beberapa jenis minyak zingiberene, curcumene, philandren

dan sebagainya (Tien, dkk., 2011).

Pemanenan jahe tergantung pada produk akhir yang diinginkan walaupun

umumnya jahe dipanen setelah umur 8-12 bulan. Untuk konsumsi segar sebagai

bumbu dipanen pada umur 8 bulan, sedang untuk keperluan bibit dipanen umur 10

bulan atau lebih. Sementara untuk keperluan asinan jahe, jahe awet dipanen muda

berumur 3-4 bulan. Berdasarkan bentuk, warna dan aroma rimpang serta komposisi

kimianya dikenal tiga jenis jahe, yaitu jahe putih besar (gajah), jahe putih kecil (jahe

emprit) dan jahe merah (Balai Besar Pengkajian Pengembangan Teknologi

Pertanian, 2008).

Jahe mengandung gingerol dan shogaol yang menimbulkan rasa pedas.

Gingerol dan shagaol banyak terdapat dalam oleoresin jahe. Oleoresin jahe

mengandung sekitar 6-8%, protein 9%, karbohidrat 50 lebih, vitamin khususnya

niasin dan vitamin A beberapa jenis mineral dan asam amino. Lemak pada jahe

terdiri atas asam phosphatidat, lesitin dan asam lemak bebas. Jahe segar juga

mengandung enzim protease sekitar 2,26% (Tien, dkk., 2011).

Jahe putih besar mempunyai rimpang besar berbuku, berwarna putih

kekuningan dengan diameter 8-8,5 cm, aroma kurang tajam, tinggi dan panjang

rimpang 6-11,3 cm dan 15- 32 cm. Warna daun hijau muda, batang hijau muda

dengan kadar minyak atsiri 0,8-2,8% (Balai Besar Pengkajian Pengembangan

19

Teknologi Pertanian, 2008). Jenis jahe ini bisa dikonsumsi baik saat berumur muda

maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan (Ali, 2012).

Jahe putih kecil (jahe emprit) mempunyai rimpang kecil berlapis-lapis,

aroma tajam, berwarna putih kekuningan dengan diameter 3-4 cm, tinggi dan

panjang rimpang 6-11 cm dan 6-32 cm. Warna daun hijau muda, batang hijau muda

dengan kadar minyak atsiri 1,5-3,5% (Balai Besar Pengkajian Pengembangan

Teknologi Pertanian, 2008). Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua.

Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari pada jahe gajah, sehingga rasanya

lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan,

atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya (Ali, 2012).

Jahe merah mempunyai rimpang kecil berlapis-lapis, aroma sangat tajam,

berwarna jingga muda sampai merah dengan diameter 4-4,5 cm, tinggi dan panjang

rimpang 5-11 cm dan 12-13 cm. Warna daun hijau muda, batang hijau kemerahan

dengan kadar minyak atsiri 2,8-3,9% (Balai Besar Pengkajian Pengembangan

Teknologi Pertanian, 2008). Jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga

memiliki kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi , sehingga cocok untuk ramuan

obat-obatan (Ali, 2012).

2.8 Minyak Atsiri

Kawasan nusantara pernah dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah

karena banyaknya tumbuhan atsiri yang berasal dan dibudidayakan di indonesia.

Salah satu tumbuhan atsiri yang terkenal adalah jahe (Zingiber officinale). Herba

perennial ini merupakan anggota Familia Zingiberaceae paling bermanfaat di

daerah tropis. Rimpang jahe yang aromatis dan pedas dimanfaatkan sebagai

rempah-rempah, bumbu masakan, dan sumber obat. Jahe digunakan secara luas di

20

India dan Cina sejak sebelum tarikh masehi, dan diperdagangkan hingga kawasan

Mediterania sejak abad pertama. Jahe sampai di Amerika tidak lama setelah

penemuan benua itu. Penyebaran dan penggunaan jahe di Indonesia sangat luas,

terbukti dari banyaknya masakan etnik dan banyaknya nama daerah untuk

menyebut jahe (Ahmad, 2002).

Minyak menguap (senyawa volatil) sering disebut minyak atsiri dimana

senyawa tersebut merupakan komponen pemberi bau yang khas. Minyak atsiri

adalah bahan kimia aromatis yang dihasilkan oleh tanaman, bersifat mudah

menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi dan diperoleh melalui

penyulingan uap, pengepresan maupun ekstraksi menggunakan pelarut (Ketaren,

1985).

Menurut Ahmad, (2002) Minyak atsiri sangat penting sebagai sumber rasa

dan obat. Minyak atsiri digunakan untuk memberi rasa dan aroma makanan,

minuman, parfum dan kosmetik. Sifat toksik alami minyak atsiri berguna dalam

pengobatan. Sekitar 60% penduduk dunia menggunakan tumbuhan untuk

pengobatan dan minyak atsiri telah lama dikenal sebagai sumber terapi yang

penting, misalnya sebagai senyawa anti bakteri dan anti kanker. Minyak atsiri jahe

berbentuk cairan kental berwarna kehijauan sampai kuning dan berbau harum khas

jahe. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah

zingiberen dan zingiberol. Kandungan minyak atsiri pada jahe berkisar antara 1

hingga 3 persen tergantung dari karakteristik jahe yang diekstrak.

Menurut Dwi, dkk.,(2015) komponen utama minyak jahe terdiri dari

seskuiterpen, monoterpen, dan monoterpen teroksidasi. Seskuiterpen pada jahe

terdiri dari seskuiterpen hidrokarbon dan seskuiterpen alkohol. Seskuiterpen

hidrokarbon terdiri dari a-zingiberen, b-zingiberen, kurkumen, b-bisabolen,

21

belemen,b-parnesen, d-salinen, b-seskuiphelandren, dan seskuitujen. Seskuiterpen

alkohol terdiri dari zingiberol (cis-b-endesmol dan trans-bendesmol), nerediol, cis-

b-seskuiphelandrol, trans-b-seskuiphelandrol, cissabinen, dan zingiberenol.

Monoterpen hidrokarbon pada minyak jahe terdiri dari d-camphen, 4-3-karen, p-

simen, kurkumen, d-limonen, mirsen, d-bphelandren, a-pinen, b-pinen dan sabinen,

sedangkan monoterpen teroksidasi pada jahe terdiri dari d-borneol, bornil asetat,

1,8-sineol, sitral, sistronelil asetat, gereniol, dan linalol. komponen utama minyak

atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan zingeberol.

Zingiberen merupakan seskuiterpen hidrokarbon, sedangkan zingiberol merupakan

seskuiterpen alkohol.

Menurut Ketaren (1985) contoh rumus bangun kimia dari beberapa

komponen-komponen yang terkandung di dalam minyak atsiri diantaranya ialah

zingiberen, zingirol, shogaol dan zingiberol digambarkan pada Ilustrasi 2.

Zingiberen (C15H24)

Zingirol (C15H26O4)

22

Shogaol

Zingiberol (C15H26O)

Ilustrasi 2. Rumus Bangun Kimia Zingiberen (C15H24), Zingirol (C15H26O4),

Shogaol, dan Zingiberol (C15H26O)

2.9 Oleoresin Jahe

Oleoresin berasal dari kata “oleo” yang berarti minyak dan “resin” yang

berarti damar yang merupakan campuran minyak atsiri sebagai pembawa aroma

dan sejenis pembawa rasa. Oleoresin berbentuk padat atau semi padat dan biasanya

lengket. Dalam dunia perdagangan, oleoresin dikenal sebagai ginggerin. Oleoresin

merupakan suatu gugusan kimia yang cukup komplek susunan kimianya. Oleoresin

berupa minyak berwarna coklat tua sampai hitam dan mengandung kadar minyak

atsiri 15 sampai 35 persen. Oleoresin jahe mengandung komponen gingerol,

shogaol, zingerone, resin dan minyak atsiri (Alyssa dan Lestari, 2013).

23

Oleoresin merupakan ekstrak yang tidak menguap yang memberikan rasa

khas pada rempah-rempah. Oleoresin merupakan ekstrak yang tidak menguap yang

memberikan rasa khas pada rempah-rempah. Oleoresin mengandung resin-resin

yang terlarut, minyak atsiri, pigmen, asam lemak tak menguap. Goldman (1949)

menambahkan minyak atsiri dalam oleoresin mempunyai aroma dan bau yang

lemah tetapi lebih dalam (tahan lama) dan menyebar.

Goldman (1949) menjelaskan selain mengandung resin dan minyak atsiri,

oleoresin mengandung bahan lain seperti senyawa aromatik, zat warna serta

vitamin. Jika dibandingkan dengan minyak atsiri hasil destilasi, minyak atsiri dalam

oleoresin mempunyai aroma dan bau yang lebih lemah tetapi tahan lama dan

menyebar. Pada penyulingan, sebagian besar minyak atsiri yang dihasilkan

merupakan konstituen bertitik didih rendah, sedangkan dalam ekstraksi oleoresin

konstituen bertitik didih tinggi juga akan terlarutkan.

Menurut Rusli (1989) bentuk oleoresin jahe berupa cairan pekat berwarna

coklat tua dan mengandung minyak atsiri 15-35 persen. Menurut Prasetyo dan

Mulyono (1987) oleoresin mempunyai keunggulan dalam pemakaiannya dari

bentuk-bentuk olahan lainnya, antara lain:

a. Bahan dapat distandarisasikan dengan tepat, terutama rasa, aroma, dan

warna sehingga kualitas produk akhirnya terkontrol.

b. Bahan lebih homogen dan lebih mudah ditangani.

c. Bahan bebas dari pencemaran serta mudah menguap dicampur merata ke

dalam bahan makanan dan minuman. Oleoresin jahe mengandung

komponen-komponen pemberi rasa pedas yaitu gingerol sebagai bahan

utama, shogaol dan zingeron dalam jumlah sedikit.

24

Menurut Ahmad (2002), kandungan oleoresin dalam jahe segar 0,4 sampai

3,1 persen, tergantung umur panen dan tumbuhnya. Semakin tua umur umbi akar

jahe besar kandungan oleoresinnya. Di dalam oleoresin terdapat persenyawan kimia

gingerol 1,1 sampai 2,2 persen yang memberikan rasa pedas dan zingiberol sekitar

0,04 persen.

Komposisi oleoresin yang dihasilkan tergantung dari jenis bahan dan

pelarut yang dipergunakan, demikian juga banyaknya komponen yang dapat

terekstrak. Ekstraksi dengan pelarut non polar akan menghasilkan oleoresin

dengan kandungan lemak yang tinggi, sedangkan ekstraksi dengan menggunakan

pelarut polar seperti etanol dan aseton akan menghasilkan oleoresin dengan

kandungan lemak yang rendah. Jahe yang mengalami pengolahan lebih lanjut akan

mengalami proses perubahan kimia seperti halnya gingerol dapat berubah menjadi

shagaol atau zingeron yang hasilnya memberikan rasa kurang pedas

(Purseglove, dkk., 1981).

Pengertian oleoresin dengan minyak atsiri kadang membuat rancu,

walaupun kedua produk tersebut berbeda. Minyak atsiri dihasilkan dengan

penyulingan dan hanya mengandung senyawa-senyawa yang mudah menguap

(volatile oil), yang dicirikan dengan aroma yang khas pada saat proses

penyulingan, berwarna kehijau-hijauan sampai kekuning-kuningan, namun

pada umumnya berwarna kuning muda yang merupakan cairan yang agak kental,

bau yang khas dan tahan lama, stabil dalam alkali lemah, tetapi tidak stabil dalam

asam dan basa pekat, larut dalam benzyl benzoate, diethyl phtalat dan minyak

mineral dengan segala perbandingan, tetapi sedikit larut dalam alkohol, namun

tidak larut dalam propylene glikol. Sedangkan oleoresin dihasilkan melalui

proses ekstraksi yang menggunakan pelarut, yang dicirikan dengan produk yang

25

dihasilkan selain mengandung minyak atsiri, juga terdapat resin yang dapat

menentukan rasa khas rempah tersebut. Oleoresin biasanya berbentuk pasta

pada suhu ruangan dan pada suhu yang lebih tinggi berbentuk minyak kental.

Oleoresin jahe memiliki cairan berwarna coklat gelap, dan mempunyai kandungan

minyak atsiri berkisar 15-35%, dan senyawa pembentuk rasa yaitu gingerol,

shogaol, zingeron, bersifat agak kental dengan aroma dan rasa jahe (Rosevicka,

dkk., 2007).

Menurut Choirul (2010) penggunaan rempah dalam bentuk oleoresin

memiliki beberapa keuntungan, antara lain: mempunyai nilai Ekonomi lebih

tinggi dan mudah pendistribusiannya dibandingkan jahe segar. Pengolahan jahe

menjadi oleoresin diharapkan mampu menjawab kebutuhan industri pangan yang

semakin meningkat, dimana keseragaman produk dan kontinuitas proses

pengolahan lebih terjamin dengan penggunaan oleoresin sebagai

pemberiflavour. lebih bersifat sebagai antimikroba, lebih higenis, mengandung

antioksidan alami, bebas dari enzim, memiliki umur simpan yang lebih panjang,

penyimpanan lebih hemat, lebih ringan dalam pengangkutan dan terhindar dari

bahaya jamur seperti pada rempah. Selain itu, Yuliani dkk (1991) menambahkan

bahwa penggunaan oleoresin jahe sama dengan aslinya dan hasilnya 28 kali lebih

kuat dari jahe aslinya.

Oleoresin mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan

minyak atsiri hasil destilasi, terutama pada proses pengolahan makanan. Pada

proses tersebut umumnya dibutuhkan pemanasan, sedangkan minyak atsiri adalah

minyak yang mudah menguap karena terdiri atas campuran komponen yang mudah

menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda. dan hilang bila

26

dilakukan pemanasan pada suhu tinggi dan waktu yang lama (Fitriana, dkk.,

2010).

Oleoresin termasuk minyak yang tak menguap dan merupakan

komponen pemberi rasa pedas dan pahit, walaupun minyak atsirinya telah

menguap. Komponen-komponen pemberi rasa pedas yaitu gingerol sebgai

komponen utama serta shagaol dan zingeron dalam jumlah sedikit (Sri dan

Supardan, 2013). Salah satu senyawa yang tidak mudah menguap adalah

resin, yaitu polimer yang terbentuk di alam, juga dapat terbentuk selama proses

pengolahan (ekstraksi) minyak yang mempergunakan tekanan dan suhu yang

tinggi serta dalam penyimpanan (Ketaren, 1985).

2.10 Penilaian Organoleptik

Penilaian dengan indera disebut juga penilaian aksestabilitas. Penilaian

dengan indera banyak digunakan untuk menilau mutu komoditi hasil pertanian dan

makanan. Pelaksanaan suatu penilaian organoletik diperlukan panelis. Dalam

penilaian mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi panel bertindak

sebagai instrument atau alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok orang

yang disebut panel yang bertugas menilai sifat atau mutu benda berdasarkan

kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis

(Soewarno, 1990).

Menurut Soewarno (1990) terdapat 6 macam panelis yang biasa digunakan

dalam penilaian organoleptik yaitu sebagai berikut :

1. Panel pencicip perorangan

Pencicip perorangan juga disebut pencicip tradisional. Pencicip

perorangan ini memiliki kepekaan yang sangat tinggi, jauh melebihi

27

kepekaan rata-rata manusia. Tingkat kepekaan ini diperoleh selain dari

pembawaan lahir, juga dari pengalaman dan latihan yang lama.

Kemampuan pencicip perorangan, terbatas pada komoditas

tertentu.

2. Panel pencicip terbatas

Biasanya panel ini diambil dari personal laboratorium yang sudah

mempunyai pengalaman luas akan komoditas tertentu. Panel pencicip

terbatas digunakan untuk menghindari ketergantungan pada pencicip

perorangan. Panel yang digunakan sebagai panel pencicip terbatas

biasanya 3-5 orang.

3. Panel terlatih

Anggota panel terlatih lebih besar daripada panel tercicip terbatas, yaitu

antara 15-25 orang. Tingkat kepekaan tidak perlu setinggi panel

pencicip terbatas, sedang tugas penilaian dan tanggungjawabnya juga

tidak sebsar panel pencicip terbatas. Anggota panel perlu diseleksi

terlebih dahulu untuk kemudian dilatih. Panel terlatih ini juga

berfungsi sebagai alat analisis dan pengujian yang

dilakukan biasanya terbatas pada kemampuan membedakan.

4. Panel tak terlatih

Panel tak terlatih umumnya yntuk menguji kesukaan. Anggota panel

terlatih tidak tetap. Anggota panel biasanya diambil dari sekelompok

tamu yang sedang berkunjung. Bentuk pengujian yang dilakukan lebih

sederhana, pengujian yang dilakukan berupa pilihan dan menentukan

mana yang paling disukai.

28

5. Panel agak terlatih

Panelis dalam kategori ini mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh

yang dinilai karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan.

Termasuk dalam kategori panel agak terlatih adalah sekelompok

mahasiswa atau staf peneliti yang dijadikan panelis secara

musiman atau hanya kadang-kadang. Panelis pada panel agak

teratih dipilih berdasarkan kepekaan dan keandalan penilaian.

Jumlah panel agak terlatih berkisar anatara 15-25 orang.

6. Panel konsumen

Panel ini memiliki jumlah anggota yang besar yaitu dari 30-1000

orang. Pengujian mengenai uji kesukaan dapat digunakan untuk

menentukan apakah suatu jenis makanan dapat diterima oleh

masyarakat.

Warna

Mioglobin merupakan pigmen utama daging dan konsentrasinya

akan mempengarhi intensitas warna merah daging. Munculnya warna merah

pada daging disebabkan oleh adanya ikat oksigen pada atom besi (Fe2+) pada

struktur molekul mioglobin. Perbedaan warna daging disebabkan oleh

adanya H202 dan enzim yang dihasilkan mikroorganisme. Warna daging sangat

bergantung pada keberadaan pigmen mioglobin dan hemoglobin. Perubahan

warna terjadi karena jumlah pigmen tersebut berkurang atau mengalami perubahan

bentuk kimia (Varnam dan Sutherland, 1995).

29

Rasa

Rasa merupakan salah satu f aktor yang menjadi pertimbangan

konsumen dalam memilih jenis makanan. Berbagai jenis daging ternak, masing-

masing mempunyai perbedaan rasa dan sifat yang khas. Rasa pada produk daging

dipengaruhi oleh jumlah air yang dapat dipertahankan untuk tetap berada di dalam

daging setelah dimasak dan produksi saliva pada saat pengunyahan (Heti, 2008).

Respon terhadap rasa terjadi dalam sel-sel pada lidah, langit-langit lunak

dan puncak kerongkongan (Lawrie, 2003). Area yang berbeda dari lidah

mempunyai respon terhadap 4 sensasi utama yaitu, pahit, manis, asam, dan asin.

Rasa dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu, senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan

interasksi dengan komponen yang lain (Winarno, 2002).

Aroma

Aroma daging adalah sensasi yang kompleks dan saling terkait dengan bau,

rasa, tekstur, temperatur dan pH. Faktor-faktor yang mempengaruhi aroma daging

adalah umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu

dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan (Heti, 2008).

Aroma daging berkembang selama pemasakan. Aroma daging masak

dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa,

lama dan waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan, serta jenis,

lama dan temperatur pemasakan (Soeparno, 2005).