II dan III

476
BAB II KAJIAN MENGENAI PERSAMAAN DALAM HUKUM, DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM 2.1. Persamaan Hak Dalam Hukum Memahami makna suatu esensi yang melekat dan sama-sama dimiliki setiap orang sebagai subjek hukum juga salah satu kriteria pendukung dari sesuatu yang dapat dituntut oleh setiap manusia secara kodrati sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan sebutan “hak”. Sejalan dengan pemahaman E. Sumaryono yang mengutip pendapat Thomas Aquinas mengenai Hak adalah keseimbangan yang secara kodrat melekat pada sesuatu yang diberikan kepada orang lain sebagai persona berdasarkan persamaan derajat, hak adalah premis yang diperlukan untuk mengembangkan gagasan tentang moralitas dan hukum secara asas hukum subjektif bersifat moral maupun rasional memiliki pengertian 1

Transcript of II dan III

Page 1: II dan III

BAB II

KAJIAN MENGENAI PERSAMAAN DALAM HUKUM, DAN

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM

2.1. Persamaan Hak Dalam Hukum

Memahami makna suatu esensi yang melekat dan sama-sama dimiliki

setiap orang sebagai subjek hukum juga salah satu kriteria pendukung dari

sesuatu yang dapat dituntut oleh setiap manusia secara kodrati sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan sebutan “hak”.

Sejalan dengan pemahaman E. Sumaryono yang mengutip pendapat

Thomas Aquinas mengenai Hak adalah keseimbangan yang secara kodrat

melekat pada sesuatu yang diberikan kepada orang lain sebagai persona

berdasarkan persamaan derajat, hak adalah premis yang diperlukan untuk

mengembangkan gagasan tentang moralitas dan hukum secara asas hukum

subjektif bersifat moral maupun rasional memiliki pengertian yaitu hak-hak yang

berada pada manusia dan menjadi dasar pembentukan hukum.77

Sebab hak bukanlah diberikan dan ditentukan oleh hukum, namun

hukumlah yang melindungi dan menjamin kepastian persamaan hak-hak itu

dalam hukum. Jika memperhatikan pemahaman dari Thomas Aquinas tersebut,

dalam kajian ini penulis melihat bahwa ada hak yang secara mendasar dimiliki

manusia secara kodrati dinamakan sebagai hak asasi manusia, Istilah hak

77 E. Sumaryno, Etika dan Hukum (Relevansi Teori hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius Yogyakarta, 2002. hlm 289.

1

Page 2: II dan III

asasi manusia merupakan alih bahasa dari “human right”

(Inggris), “droit de I’homme” (Perancis) dan “menselijkerechten”

(Belanda). Secara harfiah, teori hak asasi manusia itu intinya

membahas hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu

merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga

keberadaannya merupakan suatu keharusan (conditio sine qua

non), tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan, harus dilindungi,

dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman,

hambatan, dan gangguan dari sesamanya.78 Salah satu

pengertian hak asasi manusia yang lainnya disampaikan oleh

Jan Matenson yakni hak-hak yang diwariskan dari kodrat kita

yang tanpanya kita tidak dapat hidup sebagai manusia.79 Pada

awalnya pengertian yang telah disebut diatas diterima secara

universal tetapi dalam perkembangannya lebih khusus lagi

dalam implementasi sistem hukum positif, teori dan konsep hak

asasi manusia telah menjadi perdebatan dan kontroversi antara

satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kontroversi tersebut terjadi

sebab sejak awal terdapat kesulitan untuk menetapkan batasan

yang nyata dan definitif dari hak asasi manusia. Hak-hak

tersebut berkisar pada pengertian kebebasan dan prinsip

78 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006, hlm.49.

79 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm.1

2

Page 3: II dan III

persamaan. Prinsip-prinsip mana senantiasa menjadi arena

perbedaan paham dan teori yang berbeda-beda. Terdapat 4

(empat) kelompok pandangan mengenai hak asasi manusia

tersebut:80

1. Mereka yang berpandangan universal-absolite melihat hak

asasi manusia itu sebagai nilai-nilai universal belaka seperti

dirumuskan dalam The Internasional Bill of Human Rights.

Kelompok ini tidak menghargai sama sekali profil sosial

budaya yang melekat pada masing-masing bangsa.

Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju. Bagi negara-

negara yang sedang berkembang dalam urusan HAM, negara

maju dipandang eksploitatif kerena menggunakannya sebagai

alat untuk menekan dan instrumen penilai (tool of

judgement).

2. Negara-negara atau kelompok yang memandang hak asasi

manusia secara universalrelative. Mereka memandang hak

asasi manusia sebagai masalah universal tetapi asas-asas

hukum internasional tetap diakui keberadaannya. Misalnya,

ketentuan yang diatur dalam pasal 29 (2) Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan :

80 Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm.105-106.

3

Page 4: II dan III

“Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang

hanya dapat dibatasi oleh hukum untuk menjamin pengakuan

dan penghargaan terhadap hak dan kebebasan oranglain

untuk memenuhi persyaratan moral, ketertiban umum dan

kepentingan masyarakat luas dalam bangsa yang

berdemokrasi”

3. Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-

absolute, bahwa hak asasi merupakan persoalan masing-

masing bangsa sehingga mereka menolak berlakunya

dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini bersifat egois

dan pasif terhadap hak asasi.

4. Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-

relative melihat persoalan hak asasi disamping sebagai

masalah universal juga merupakan persoalan masing-masing

negara. Berlakunya dokumen-dokumen internasional

diselaraskan dan diserasikan dengan budaya bangsa.

Dari keempat pandangan diatas, negara Indonesia dapat

dikategorikan ke dalam golongan pandanagn Partikularistik

Relative yang memahami pentingnya hak asasi manusia, tetapi

pemberlakuannya harus disesuaikan dengan Pancasila dan UUD

1945.

4

Page 5: II dan III

Menurut Universal Declaration of Human Rights (UDHR),

terdapat 5 (lima) jenis hak asasi yang dimiliki setiap manusia,

antara lain :

1. Hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi).

2. Hak legal (hak jaminan perlindungan hukum).

3. Hak sipil dan politik.

4. Hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk

menunjang kehidupan).

5. Hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pengakuan tentang hak telah diakui sejak indonesia

merdeka Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang

menyatakan bahwa “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa

serta penjajahan harus dihapuskan” serta dalam alinea kedua

yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan negara menghantarkan

rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur”. Pemasukan unsur-

unsur hak dalam peraturan perundangundangan telah disadari

oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib

ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran

makro, persamaan hak asasi itu telah digariskan dalam

Pembukaan UUD 1945.

Seperti yang diratifikasi dari hukum Internasional

mengenai hak yang juga bersifat asasi, mengingat Indonesia

5

Page 6: II dan III

sebagai salah satu anggota PBB memberikan ruang untuk

menempatkan substansi hukum internasional (International

Covenan on Civil and Political Rights) berdasarkan ICCPR yang

penjelasannya diuraikan (to be explanation is match)81 Recognizing that these

rights derive from the inherent dignity of the human person,

Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration

of Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil

and political freedom and freedom from fear and want can only

be achieved if conditions are created whereby everyone may

enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social

and cultural rights, Considering the obligation of States under

the Charter of the United Nations to promote universal respect

for, and observance of, human rights and freedoms, Realizing

that the individual, having duties to other individuals and to the

community to which he belongs, is under a responsibility to

strive for the promotion and observance of the rights recognized

in the present Covenant

Terjemahan bebasnya adalah pengakuan hak-hak ini berasal dari martabat

yang melekat pada manusia, sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia, yang ideal manusia bebas menikmati kebebasan sipil dan politik dan

kebebasan dari ketakutan dan ingin hanya dapat dicapai jika kondisi dibuat

81 The International Covenant on Civil and Political Rights Number 14668, Vol. 999,1-14668, on 23 March 1976. p.4.

6

Page 7: II dan III

dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya, serta hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya nya, Mengingat kewajiban Negara di bawah Piagam

PBB untuk menghormati dan mentaati norma atau peraturan dari persamaan hak

dalam hal ini hak asasi manusia dan kebebasan, menyadari bahwa individu,

memiliki tugas untuk orang lain dan untuk masyarakat yang ia milik, berada di

bawah tanggung jawab untuk berjuang untuk promosi dan ketaatan terhadap hak-

hak yang diakui dalam Kovenan ini.

Tentang kedua hak yang menjadi bagian dalam

perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 dimaksud itu adalah:82

1) Non Derogable Right

Non Derogable Right adalah Hak-hak yang bersifat absolut

yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-

negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.

Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup, hak bebas

dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari

penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti:

hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai

subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan

agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan

82 Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005, hlm.133.

7

Page 8: II dan III

mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM

(Gross Violation of Human Rights).

2) Derogable Right

Derogable Right adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau

dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk

dalam jenis hak ini yakni: hak atas kebebasan berkumpul

secara damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk

membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas

kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk

kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi

dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara

pihak diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam

memenuhi hak-hak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya

dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang

dihadapi dan tidak diskriminatif yaitu demi menjaga

keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau

kebebasan orang lain. Di Indonesia, selain UUD 1945

keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan Konvenan Sipil

dan politik termuat dalam banyak peraturan perundang-

undangan.

Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan

perundang-udangan oleh lembaga politik dalam hal ini lembaga

8

Page 9: II dan III

pemerintahan dan dioperasionalkan yang dilaksanakan oleh

pejabat atau aparatur negara dalam bentuk peraturan

pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat

dalam memberikan perlindungan tersebut bagi warga negara

dari adanya tindakan kesewanang-wenangan, diskriminatif dan

penindasan.

Penambahan terhadap kajian mengenai hak menurut Prof. Lili Rasjidi,

membagi hak-hak itu menjadi:83

a) Hak yang Sempurna dan Tidak Sempurna

Hak yang sempurna adalah hak yang ditandai oleh pemenuhan kewajiban

yang sempurna pula.

Hak yang tidak sempurna adalah hak yang juga dikenal dan diatur oleh

hukum, namun tidak dapat dipaksakan.

b) Hak yang bersifat Positif dan Negatif

Hak yang positif melahirkan kewajiban positif. Ini merupakan suatu hak di

mana seseorang yang memiliki kewajiban akan melakukan perbuatan yang

bersifat positif atas nama orang yang berhak tadi.

Hak yang negatif akan menyebabkan timbulnya kewajiban yang negative

pula. Hak yang negatif merupakan hak dimana orang yang terikat akan

menahan diri untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang akan

menimbulkan prasangka kepada pemegang hak.

c) Hak “In Rem” dan Hak “In Persona

83 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. hlm 72-74

9

Page 10: II dan III

Hak in rem ini sering juga disebut hak yang konkret, merupakan kewajiban

yang dikenakan kepada orang-orang pada umumnya. Hak in personam juga

disebut hak perseorangan, merupakan kewajiban yang dibebankan kepada

seseorang tertentu.

d) Hak Milik dan Hak-Hak Perseorangan

Agregat dari hak milik seseorang mengatur tanah miliknya aktivanya atau

hak miliknya. Keseluruhan jumlah hak ini menimbulkan status atau kondisi

pribadi. Jika ia memiliki tanah, peralatan meja kursi, saham-saham dalam

suatu perusahaan, itikad baik dalam suatu usaha dagang, semua ini

melahirkan hak milik. Dan jika seorang warga Negara yang bebas, seorang

ayah atau suami, hak-hak yang dimilikinya melahirkan status dan kedudukan

menurut hukum.

e) Hak-hak “In Propria” dan “In Re Aliena”

Hak itu dapat dibagi atas dua jenis, yaitu jura in re propria (Hak terhadap

miliknya sendiri) dan jura in re alinea (hak terhadap milik orang lain). Hak

yang in re alinea ini merupakan suatu hak yang berasal dari beberapa hak

pada umumnya yang dimiliki orang lain mengenai hal atau objek yang sama.

f) Hak yang Pokok (Principal) dan Tambahan (accessory)

Misalnya suatu jaminan adalah hak tambahan kepada hak mengenai jaminan;

suatu servitut merupakan tambahan pada pemilikan terhadap tanah, yang

dengan itu yang bersangkutan dapat menarik manfaatnya.

g) Hak yang Primer dan Hak yang Bersanksi

10

Page 11: II dan III

Hak yang disertai sanksi terjadi karena adanya suatu kesalahan,yaitu

pelanggaran terhadap hak yang lain. Hak yang primer memiliki sumber yang

berbeda dengan kesalahan. Hak ini dapat berupa hak in rem atau hak in

personam. Akan tetapi, hak yang memiliki sanksi ini, yang bersumber dari

hak yang primer, pada semua kasus akan merupakan hak in personam. Hanya

terhadap orang tertentu sanksi itu dapat diberlakukan. Jadi, harus merupakan

hak in personam.

h) Hak Atas Dasar Hukum dan Atas Dasar Keadilan (Legal and Equitable

Rights)

Pada masa dahulu di Inggris yang disebut hak atas dasar hukum itu adalah

hak-hak yang diakui oleh peradilan Common Law, sedangkan hak-hak atas

dasar keadilan ialah yang diakui hanya oleh peradilan Chancery.. Perbedaan

antara hokum dan equity itu tetap berlangsung dan harus dianggap sebagai

merupakan bagian dari sistem hukum inggris. Walaupun semua hak itu (baik

legal maupun equity) sekarang ini tetap diakui dan dikenal di semua

peradilan yang ada, perbedaan di antara keduanya tetap memegang peranan

penting.

Selain itu Prof. Lili Rasjidi juga mengutip dari para ahli hukum asing

diantaranya Menurut Holland, Hak adalah kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan

wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat

yang terorganisasi. Definisi selanjutnya yang lebih protektif mengenai hak

dikemukakan oleh Salmond, mendefinisikan hak sebagai kepentingan yang

11

Page 12: II dan III

diakui dan dilindungi oleh hukum sebagaimana selaras dengan pendapat CST

Kansil yang menyebutkan bahwa hak adalah izin yang diberikan oleh hukum84

dan Allen merumuskan hak sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang

dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya.85 Sedangkan Satjipto

Rahardjo menyebutkan Hak adalah suatu kekuasaan untuk bertindak dalam

rangka kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaan.86

Apabila teori dan konsep mengenai hak yang berlaku di Indonesia

sebagaimana telah diuraikan itu, menjadi bagian dalam implementasi Pancasila

sebagai ideologi negara maka setiap rumusan sila yang menjadi substansinya

akan memanifestasikan gagasan hak tersebut dan dapat dilegitimasi menjadi

suatu norma fundamental untuk menyusun tertib hukum yang kemudian diakui

persamaannya setelah kemerdekaan yang dituangkan dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Termasuk

dalam substansi pasal-pasalnya, persamaan hak tersebut dimiliki baik sebagai

warga negara juga dalam mengemban tugas yang dijalankan aparatur-aparatur

negara atau pemerintahan, apabila konteksnya adalah publik, maka setiap

interaksi atau pergaulan, tentunya melahirkan suatu hubungan hukum yang

muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum, sebab mempunyai

akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum itu berjalan secara harmonis,

seimbang dan adil atau dalam arti lain dapat memperoleh apa yang menjadi

84 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. hlm 120

85 Ibid hlm 6686 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Bakti, Bandung, 2000. hlm 53

12

Page 13: II dan III

haknya dalam menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum

tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.

Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur

hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi siapapun. Selain itu hukum berfungsi

sebagai instrumen pelindung dan dilaksanakan sehingga dapat berlangsung

secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum87.

aturan hukum tersebut tergantung dari sifat dan kedudukan aturan tersebut

berlaku, apabila berhubungan dengan aparatur negara dalam melakukan tindakan

hukum dapat dilihat dari adanya kewenangan melalui regulasi-regulasi sistem

hukum yang berlaku di Indonesia. Sebab sejauhmana kapasitas itu diposisikan,

apakah kewenangan aparatur negara atau Pemerintahan itu sebagai wakil dari

badan hukum maka regulasi yang mengaturnya berkaitan dengan regulasi hukum

keperdataan disisi lain apabila kewenangan aparatur negara atau Pemerintahan

itu bertindak sebagai Pejabat Pemerintahan maka berlakulah Regulasi

Pemerintahan seperti contoh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan (UU AP), regulasi Peradilan Tata Usaha Negara

melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua dari

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang merupakan

lingkup Hukum Administrasi Negara. Namun pada praktiknya hak-hak yang

diberikan kepada aparatur negara atau Pemerintahan yang berwujud sebagai

tindakan hukum itu dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang

87 Sudikno Mertokusumo, Hukum Administrasi Negara, karya Ridwan HR, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007 hlm. 266

13

Page 14: II dan III

bertentangan dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga Negara dalam

pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmtige daad) seperti tindak pidana

penggelapan dalam jabatan contohnya seperti diatur dalam KUHP, mengenai

korupsi melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengenai Tindak Pidana

Korupsi (UU Tipikor) dan regulasi lainnya yang berkaitan dengan sanksi yang

ditentukan dalam substansi dari masing-masing regulasi tersebut.

Sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam

dalam proporsinya dihadapan hukum dan bisa dijadikan sebagai standar untuk

mengafirmasi Persamaan “hanya” di hadapan hukum seakan memberikan sinyal

secara sosial dan ekonomi artinya orang boleh tidak mendapatkan perlakuan yang

sama selain dalam lingkup hukum saja, tetapi dapat dalam lingkup sosial dan

ekonomi itulah makna teori equality before the law yang kini kian tergerus di

tengah dinamika sosial dan ekonomi.88 Mengenai persamaan hak dalam hukum

sebagaimana menurut Prof. Romli Atmasasmita telah dikemukakan itu, sebagai

amanat UUD 1945 merupakan payung hukum yang berlaku di Indonesia, sebagai

perlindungan hukum bagi rakyat sekaligus merupakan konsep universal, dalam

arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai

negara hukum, sebab setiap negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri

tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut hingga sejauh

mana perlindungan hukum itu diberikan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan

ini lebih ditekankan pada perlindungan hukum terhadap sikap tindak atau

88 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 157.

14

Page 15: II dan III

perbuatan sebagai hak dalam kaitannya dengan wewenang aparatur negara atau

Pemerintahan, berdasarkan hukum positif di Indonesia. Secara umum ada tiga

macam perbuatan Pemerintahan yaitu perbutan Pemerintahan dalam bidang

pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling), perbuatan pemerintahan

dalam penerbitan keputusan (beschikking), dan perbuatan pemerintahan dalam

bidang keperdataan (materiele daad).

Dua bidang yang pertama terjadi dalam bidang publik oleh karenanya

tunduk pada hukum publik, sedangkan bidang yang terakhir khusus dalam bidang

keperdataan, maka tunduk berdasarkan ketentuan hukum perdata. Muchsan

mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum oleh aparatur negara tersebut

yang berbentuk melanggar hak subjektif orang lain tidak hanya terbatas pada

perbuatan yang bersifat privaatrechtelijk saja, tetapi juga perbuatan yang bersifat

publiekrechtelijk. dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena

melanggar hak subjektif orang lain, apabila:

1. Perbuatan Aparatur Negara atau Pemerintahan yang kewenangannya

bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar ketentuan dalam

hukum tersebut.

2. Perbuatan Aparatur Negara atau Pemerintahan yang kewenangannya yang

bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan kaidah hukum

tersebut.89

Disamping dua macam perbuatan tersebut, seiring dengan konsep negara

hukum modern yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (welfare state), hak-

89 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. hlm. 269

15

Page 16: II dan III

hak yang dimiliki oleh aparatur negara atau pemerintahan dalam realisasinya

juga dilekati dengan kewenangan bebas atau freies Ermessen, jika dituangkan

dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan kebijakan. Dengan demikian

sangat beralasan apabila menjadi landasan dalam kajian mengenai tindakan

aparatur negara atau pemerintahan yang merupakan persamaan hak yang diatur

dalam regulasi masing-masing dan disebut pula sebagai kewenangan.

2.2. Kewenangan

Sejak timbulnya iklim demokratis dan dinamikanya dalam Pemerintahan.

Masyarakat sebagai warga negara (rakyat) mulai mempertanyakan akan nilai

yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh aparatur negara atau

pemerintahan. Fungsi pelayanan pemerintahan, namun dalam melakukan

tindakan dan perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas. Dalam

banyak literatur, sumber kewenangan berasal dari atribusi, delegasi dan mandat.

Sebelum mengetahui atribusi, delegasi dan mandat, terlebih dahulu yang perlu

dipahami ialah mengenai kewenangan dan wewenang. Secara konseptual, istilah

wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda

“bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan

bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum

Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar

wewenang yang diperolehnya. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum

Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan

untuk melakukan sesuatu. pendapat ahli mengenai kewenangan dan wewenang

16

Page 17: II dan III

dan sumber-sumber kewenangan sangatlah beragam, ada yang mengaitkan

kewenangan dengan kekuasaan dan membedakannya serta membedakan antara

atribusi, delegasi dan mandat.

Semua permasalahan tersebut, pada hakekatya tidak perlu terjadi secara

drastis dan dramatis. Sebagaimana yang pernah dialami selama ini, seandainya

aparatur negara atau pemerintahan memiliki kredibilitas yang memadai dan

kewibawaan yang dihormati oleh rakyatnya. Dengan berlandaskan 4 (empat)

pedoman menurut Mertins Jr yaitu:90 Pertama, equality, yaitu perlakuan yang

sama atas pelayanan yang biberikan. Hal ini didasarkan atas tipe prilaku birokrasi

rasional yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada

semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, status sosial, etnis, agama dan

sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik dengan

berlaku jujur, suatu prilaku yang patut dihargai. Kedua, equity, yaitu perlakuan

yang sama kepada masyarakat tidak cukup, selain itu juga perlakuan yang adil.

Untuk masyarakat yang pluralistik kadang- kadang diperlukan perlakuan yang

adil dan perlakuan yang sama dan kadang-kadang pula di butuhkan perlakuan

yang adil tetapi tidak sama kepada orang tertentu. Ketiga, loyalty, adalah

kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan

rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain, dan tidak ada

kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu yang

mengabaikan yang lainnya. Keempat, responsibility, yaitu setiap aparat

pemerintah harus bertanggung jawab atas apapun sebab intinya tidak hanya

90 Martins, Jr (ed), Professional Standards and Ethics. Washington, DC: ASPA Publisher, 1979. p 211.

17

Page 18: II dan III

sekedar melaksanakan perintah dari atasan”. Mengenai bentuk pelayanan itu

tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu :

1. Pelayanan dengan lisan

2. Pelayanan melalui tulisan

3. Pelayanan dengan perbuatan

Kinerja tersebut tidak lepas dari kewenangan yang mana berdasarkan

pengertian pengertian menurut para ahli hukum diantaranya sebagai berikut:

Apabila mengambil pemahaman menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan

adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari

kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan

eksekutif/administratif. Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan

orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu

yang bulat. Sedangkan wewenang atau kewenangan hanya mengenai sesuatu

onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang.

Kewenangan adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.91

Menurut Prajudi kekuasaan pada prinsipnya ialah suatu hak dalam

otoritas dan batas-batasnya memberikan kesan tertata sesuai struktur tidak

bercampur dan tidak saling interventif dalam pelaksanaan secara praktik, namun

kewenangan adalah bagian-bagian dari kekuasaan yang artinya memiliki makna

“berhak” untuk melakukan yang menurut Prajudi sebagai tindak hukum publik.

Selanjutnya pemahaman yang penulis sebut sebagai penggolongan mengenai

91 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. hlm 85

18

Page 19: II dan III

kewenangan dalam sudut pandang luas diperoleh menurut definisi Indroharto,

mengemukakan secara atributif, delegasi dan mandat, yang masing-masing

dijelaskan sebagai berikut: 92

1. Kewenangan yang diperoleh secara atributif, yaitu pemberian wewenang

pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah

yang baru.

2. Kewenangan yang diperoleh secara delegasi terjadilah pelimpahan suatu

wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah

memperoleh suatu wewenang Pemerintahan secara atributif kepada Badan

atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya

sesuatu atribusi wewenang.

3. Kewenangan mandat, kewenangan mandat ini tidak terjadi suatu pemberian

wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan

TUN yang satu kepada yang lain.

Pemahaman terhadap Indroharto berfokus pada pengertian kewenangan

yang saat ini telah lebih mengarah pada bagaimana tindakan pemerintahan yang

telah memiliki perkembangan dalam hukum sebagai kewenangan atributif

pembentukan wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan

(dari UU ke pemangku jabatan), diatur selain dalam UU TUN juga melalui UU

AP, sehingga pendelegasiannya (pelimpahan) wewenang dari satu pemangku

92 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm 83.

19

Page 20: II dan III

jabatan ke pihak lain (pejabat lain, organ lain) kewenangan yang telah diserahkan

mengakibatkan pemberi kewenangan tidak mempunyai lagi wewenangnya.

Sebagaimana menurut Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap

tindakan Pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah.

Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan

mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan

negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat

adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Pada dasarnya membuat

perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi  mengenai prosedur

pelimpahannya berasal  dari suatu organ pemerintahan  kepada organ

pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan

tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi

tidak dapat  menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan

dengan berpegang dengan  asas ”contrarius actus”. Artinya, setiap perobahan,

pencabutan suatu peraturan pelaksanaan  perundang-undangan, dilakukan oleh

pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan  dilakukan dengan peraturan

yang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur  pelimpahan

dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung 

jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi  mandat.93

Setiap saat pemberi mandat dapat  menggunakan sendiri wewenang yang

dilimpahkan itu. S.F. Marbun, menyebutkan wewenang mengandung arti

93 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, hlm 78.

20

Page 21: II dan III

kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis

adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku

untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang itu dapat

mempengaruhi terhadap pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas

wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan mendapat

kekuasaan hukum (rechtskracht). Pengertian wewenang itu sendiri akan

berkaitan dengan kekuasaan.94

Sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi.

kewenangan yang didalamanya terkandung hak dan kewajiban Kewenangan

memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum

Administrasi Negara menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek mengemukakan

Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staatsen administratief

recht, sedangkan menurut P. Nicolai adalah kemampuan untuk melakukan

tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk

menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya

akibat hukum tertentu.

Persamaan mengenai suatu kewenangan Bagir Manan pula membedakan

wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht), apabila

disebut kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.

Persamaan wewenang dari F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek, P. Nicolai dan

Bagir Manan sekaligus berarti hak dan kewajiban sebagaimana dikutip oleh

94 SF, Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta FH UII Press, 2011, hlm 71.

21

Page 22: II dan III

Ridwan HR. Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian

kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri

(zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk

menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti

kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan

pemerintahan negara secara keseluruhan.95

Berdasarkan pendapat yang diuraikan diatas maka aspek kewenangan

atau kompetensi yang dimiliki oleh aparatur negara atau pemerintahan saat ini

telah memiliki progres dengan demikian maka sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (5)

dan ayat (6) UU AP dinyatakan bahwa:

(5) Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil

keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

(6) Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah

kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara

lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik

Kaitannya antara pendapat dan definitif menurut regulasi hukum positif

meupakan penjelas maka kewenangan yang dimaksud ialah kewenangan yang

berada dalam lembaga eksekutif dan legislatif sebagai aparatur negara atau

Pemerintahan, selanjutnya dalam memperluas pemahaman tersebut perlu

didukung melalui pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas, maka

berdasarkan prinsip tersebut tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari

95 Op.cit, Ridwan HR, hlm 14.

22

Page 23: II dan III

peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah

adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik sebagaimana berikut:

2.2.1. Kewenangan Atributif

Kewenangan atributif lazimnya digariskan atau berasal dari adanya

pembagian kekuasaan negara oleh UUD 1945 dalam Bab III mengenai

Kekuasaan Pemerintahan dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan Presiden

berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan

Rakyat. Istilah lain untuk kewenangan atributif adalah kewenangan asli

atau kewenangan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada siapapun. Secara

teori kewenangan atributif, pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pejabat

atau badan tersebut tertera dalam peraturan dasarnya. Adapun mengenai

tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pejabat ataupun pada

badan sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya. Berdasarkan UU

AP, pengertian Atribusi, dalam Pasal 1 ayat (22). Atribusi adalah

pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau

Undang-Undang, bila merujuk pada Pasal Pasal 12 ayat (1)   Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Atribusi

apabila: a.diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan/atau undang-undang; b.merupakan Wewenang baru atau

sebelumnya tidak ada; dan c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan. Sedangkan ayat (2) Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung

23

Page 24: II dan III

jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

yang bersangkutan, kemudian pada ayat (3) Kewenangan Atribusi tidak

dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.

Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang

dituju atas jabatan yang diembannya. Misalnya berdasarkan Paragraf 2

tentang wewenang mengenai pembentukan rancangan perundang-

undangan sesuai amanat dalam Pasal 72 huruf b Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (UU MD3) menegaskan  “DPR dapat membentuk undang-

undang untuk disetuji bersama dengan Presiden”.

Hal ini penulis relasikan dengan teori kewenangan aributif menurut

Indroharto yang memberikan pemahaman pada kewenangan atributif

terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru sesuai amanat dalam

peraturan perundang-undangan. Peranan legislator yang kompeten untuk

memberikan atribusi wewenang pemerintahan berkedudukan sebagai

original legislator, dinegara  kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai

pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang

melahirkan suatu undang-undang, dan ditingkat Daerah adalah DPRD dan

Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah.96

96 Op.cit, Indroharto, hlm 17

24

Page 25: II dan III

Artinya Pemerintahan disini adalah Presiden dan anggota DPR

mempunyai kewenangan atributif dalam menjalankan kewenangannya

sesuai undang undang. seperti dalam hal memberikan persetujuan atau

tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti

undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-

undang. Dapat kita lihat bahwa DPR menciptakan produk hukum dalam

hal ini adalah peraturan perundang-undangan. Selain menciptakan suatu

produk hukum, DPR juga berwenang merubah atau merevisi produk

hukum yang sudah ada sebelumnya, dan bahkan DPR jua berwenang

untuk menemukan produk hukum artinya DPR berwenang untuk membuat

peraturan perundangan yang sebelumnya tidak pernah ada.

Seluruh produk hukum yang kemudian telah resmi diberlakukan

hendaknya bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara, dalam hal ini

tentunya untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa nyaman

kepada masyarakat. Namun tidak sedikit pula produk hukum DPR yang

kemudian malah dipersoalkan karena dianggap tidak berpihak kepada

rakyat atau tidak sesuai dengan tujuan negara. Sama hal nya dengan DPR

yang mempunyai wewenang yang bersifat atributif, Presiden juga

mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum dalam

bentuk Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden.

Dari beberapa contoh produk hukum oleh Presiden, keseluruhnya adalah

kewenangan yang bersifat atributif yang artinya langsung diberikan oleh

undang-undang.

25

Page 26: II dan III

Tidak hanya Presiden dan DPR yang memiliki wewenang atributif,

lewat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (UU PD) maka pemerintah daerah yang didipimpin oleh Kepala

Daerah juga memiliki kewenangan tersendiri yang bersifat atributif dalam

segala bidang seperti Pemerintahan Pusat kecuali :

a. Politik Luar Negeri

b. Pertahanan

c. Keamanan

d. Yustisi

e. Moneter dan Fiskal Nasional, dan

f. Agama

Dengan adanya UU PD maka setiap daerah berwenang untuk

mengeluarkan peraturan sendiri khusus untuk daerahnya sendiri yang

kemudian kita kenal dengan sebutan Peraturan Daerah (PERDA). Setiap

Peraturan Daerah tentunya akan dibahas di DPRD bersama dengan Kepala

Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota sesuai tingkat wilayah

pemerintahan masing-masing. Oleh karena DPRD bersama Kepala Daerah

berwenang membuat produk hukum dalam hal ini Peraturan Daerah maka

DPRD dan Kepala Daerah dapat dimintai pertanggungjawaban atas produk

hukum yang mereka buat karena kewenangan yang mereka miliki bersifat

atributif.

Di tingkat Kepala Daerah sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 jelas mengatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan

26

Page 27: II dan III

Walikota mesing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah Provinsi,

kabupaten, dan Kota dipilih secara Demokratis. Pasal 18 ayat (6) juga

mengatakan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan

Daerah dan Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan

tugas pembantuan yang kemudian diperjelas dalam Pasal 240 ayat (2) UU

PD bahwa Penyusunan rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau

kepala daerah. Dalam hal ini bahwa gubernur diberi wewenang untuk

membuat Peraturan Daerah (produk hukum daerah).

Berdasarkan teori Para Ahli dan menurut teori UU AP mengenai

atribusi maka dapat disimpulkan bahwa wewenangan gubernur sebagai

kepala daerah dan sebagai pembuat peraturan daerah tampak bahwa

wewenang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari

Peraturan Perundang-Undangan dengan kata lain, gubernur memperoleh

kewenangan secara langsung dari redaksi pasal dalam Peraturan

perundang-undangan yaitu UUD 1945 dan UU PD.

Selain pada bidang Pemerintahan kajian dapat pula

membandingkan dengan kewenangan atributif di bidang hukum, seorang

Hakim juga memiliki wewenang untuk memutus suatu perkara tentu

dengan mempertimbangkan rasa keadilan, kepastian hukum, dan

kemanfaatan. Wewenang Hakim bersifat atributif karena langsung

diberikan oleh Undang-Undang. Apabila dikemudian hari ada putusan

hakim yang ditemukan tidak sesuai dengan yang seharusnya atau tidak

memenuhi unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, atau

27

Page 28: II dan III

putusan tersebut tidak sesuai Undang-Undang maka Komisi Yudisial dapat

memeriksa hakim yang bersangkutan untuk dimintai pertanggung

jawabannya.

2.2.2. Kewenangan Delegatif

Kewenangan delegatif hanyalah tahapan dari suatu proses ketika

penyerahan wewenang berfungsi melepaskan kedudukan dengan

melaksanakan pertanggung jawaban. Sebagaimana pengertian Delegasi

adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan

yang satu kepada organ pemerintahan lainnya, dengan kata lain terjadi

pelimpahan kewenangan. Jadi tanggungjawab atau tanggung gugat berada

pada penerima delegasi/ delegataris. Misalnya: pemerintah pusat memberi

delegasi kepada semua Pemda untuk membuat Perda (termasuk membuat

besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing. Dalam buku

Maria Farida yang mengutip teori Ralph C. Davis dinyatakan: Delegation

of Authority is merely the phase of the process in wich Authorityof

assigned function is released to position to be exercise by their incumbent.

Terjemahan bebasnya Pendelegasian wewenang hanyalah tahapan

dari suatu proses ketika penyerahan wewenang, berfungsi melepaskan

kedudukan dengan melaksanakan pertanggungjawaban. Penulis menilai

pemikiran Maria Farida mengenai Kewenangan Delegatif lebih

memperhatikan hirarki ditentukan melalui peraturan yang bersifat lebih

tinggi hingga kepada peraturan yang lebih rendah dalam konteks

28

Page 29: II dan III

pelaksanaan kewenangan tersebut, sesuai pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), baik

dinyatakan dengan tegas maupun tidak dinyatakan dengan tegas. Pada

kewenangan delegasi tersebut tidak diberikan, melainkan “diwakilkan”

dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti

kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut

masih ada”.97

Hakikatnya kewenangan delegasi adalah penyerahan tugas dalam

membuat besluit oleh pejabat Pemerintahan kepada pihak lain. Kata

“penyerahan” berarti ada perpindahan tanggungjawab dari yang memberi

delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). Dilihat

dari Pasal 1 ayat (23) UU AP dinyatakan Delegasi adalah pelimpahan

Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi

kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan

tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima

delegasi, makna dalam pertanggungjawaban menurut kewenangan

delegatif adalah penyerahan yang diiringi dengan tanggungjawab sehingga

penerima delegasi akan bertanggung jawab penuh atas kewenangan

delegasi yang diterimanya.

Ketika penyerahan delegasi dilakukan maka aparat penerima

delegasi tersebut berwenang menciptakan suatu produk hukum. Salah satu

97 Maria Farida Indriati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998. hlm 55

29

Page 30: II dan III

contoh Delegasi adalah ketika Pemerintah Pusat memberikan wewenang

kepada Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan pada daerahnya

masing-masing. Sehingga Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh

atas kewenangan delegasi yang diterimanya. Contoh lain adalah ketika

Kepala Daerah memberikan kewenangan kepada Kepala Dinas atau Camat

untuk menjalankan pelayanan publik dan untuk membuat produk hukum

dalam bentuk apapun sesuai dengan tujuan negara. Adapun perbedaan

antara Delegasi dengan Atribusi adalah pada Delegasi kewenangan

tersebut hanya diwakilkan, namun tidak diberikan berdasarkan Undang-

Undang. Tapi penerima delagasi wajib bertanggungjawab atas segala

tindakan dalam kewenangan tersebut. Saat berakhirnya tanggung jawab

delegasi ketika dikeluarkannya surat berakhirnya kewenangan delegatif

dilanjutkan dengan beralihnya mandat.

Bila meninjau menurut amanat Pasal 9 UU PD yang substansinya

membedakan antara urusan pemerintahan absolute (mutlak) dan urusan

Pemerintahan konkruen dan urusan pemerintahan Umum. Dalam ayat (1)

mengatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan

absolute, urusan pemerintahan konkruen, dan urusan pemerintahan umum.

Ayat (2) Urusan pemerintahan absolute sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan

pemerintah pusat. Ayat (3) Urusan pemerintahan konkruen sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara

pemrintah pusat dan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota. Ayat (4) Urusan

30

Page 31: II dan III

Pemerintahan konkruen yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar

pelaksanaan Otonomi Daerah. Ayat (5) Urusan Pemerintahan Umum

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

absolute adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi

kewenangan pemerintah pusat.

Kemudian Pasal 11 dan 12 UU PD menjabarkan lebih jelas

mengenai urusan pemerintahan konkruen yaitu :

Pasal 11

(1)    Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9

ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan

Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.

(2)    Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan

Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan

Pelayanan Dasar.

(3)     Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan

Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.

Pasal 12 :

(1)   Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

31

Page 32: II dan III

a)   pendidikan; b).kesehatan; c).pekerjaan umum dan penataan ruang;

d). perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e). ketenteraman,

ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f). sosial.

(2)   Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan

Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a.

tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c.

pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi

kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan

Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i.

perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil,

dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n.

statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r.

kearsipan.

(3)   Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c.

pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f.

perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.

Sedangkan berdasarkan teori Para Ahli dan UU AP tentang teori

Delegasi yang telah dijabarkan sebelumnya, tampak bahwa wewenang

Gubernur yang diperoleh secara delegasi. Karena telah dikatakan bahwa

Urusan pemerintahan konkruen adalah urusan pemerintahan yang dibagi

antara pemrintahan pusat dan daerah provinsi dan Urusan Pemerintahan

konkruen yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi

32

Page 33: II dan III

Daerah. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah

seperti, pendidikan,, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang,

perumahan rakyat dan kawasan permukiman;, ketenteraman, ketertiban

umum, dan pelindungan masyarakat, social dan lain sabagainya yang

dimana hal tersebut sudah memiliki masing-masing kementrian yang

dalam hal ini merupakan bagian dari kewenangan pusat, namun

dilimpahkan kepada pemerintahan daerah dalam hal ini termasuk

Gubernur yang tanggung jawab Yuridis tidak lagi berada pada pemberi

delegasi tetapi beralih kepada Gubernur selaku penerima delegasi dan

kepala pemerintahan daerah provinsi.

Berdasarkan amanat Pasal 13 yang dalam substansinya

memberikan aturan mengenai pendelegasian sebagaimana dinyatakan

sebagai berikut:

(1)  Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(2)  Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui

Delegasi apabila: a. diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan

kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan

dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan

Daerah; dan c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya

telah ada.

33

Page 34: II dan III

(3)  Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan

lain dalam peraturan perundang-undangan.

(4)  Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensubdelegasikan

Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan

ketentuan: a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang

dilaksanakan; b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri;

dan c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.

(5)  Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi

dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui

Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(6)  Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi

menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian

Kewenangan dapat menarik kembali Wewenang yang telah

didelegasikan.

34

Page 35: II dan III

(7)  Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang

melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima

Delegasi.

Perincian Delegasi tidak ada penciptaan atau perluasan wewenang,

namun terjadi pelimpahan dan berarti terjadi pelimpahan tanggungjawab,

dengan teori R.H.J.M. Huisman memberikan karakter mengenai delegasi

Overdracht van bevoegdheid: pelimpahan Wewenang Bevoegdheid kan

door het oorspronkelijke bevoegde organ niet incindenteel uitgeofend

worden; kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ

yang memiliki wewenang (Overgang van verantwoordelijkheid) terjadi

peralihan tanggungjawab (Wettelijke basis vereist), harus berdasarkan

undang-undang dan sifatnya harus tertulis (Moet schriftelijk).98

Berangkat dari perolehan kewenangan sebagaimana diuraikan di

atas, dapat dilakukan suatu tindakan hukum pemerintahan. Tindakan

hukum pemerintahan mencakup tindakan-tindakan, diantaranya adalah:

tindakan keperdataan, hukum publik, pembuatan keputusan untuk umum,

tindakan nyata. Pihakpihak dalam pemerintahan yang dapat melakukan

tindakan hukum adalah pejabat yang menjabat, yang berdaulat dan yang

berwenang. Sejauh mana tanggungjawab dari sang pejabat, harus dilihat

dasar hukum yang memberikan wewenang kepada pejabat tersebut.

98 Op.Cit Ridwan HR mengutip R.H.J.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, Op 10 October 2007, hlm 23

35

Page 36: II dan III

Apabila berbentuk suatu delegasi, maka terjadi peralihan, apabila mandat,

tidak terjadi peralihan.

2.2.3. Kewenangan Mandat

Kewenangan mandat sebagaimana teori yang dikemukakan J.G.

Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan: With mandate, there is not

transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body

(mandataris) to make decision or take action in its name. terjemahannya

tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat

(mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris)

untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.99

Memiliki perspektif karena merupakan kewenangan yang

bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan

yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah.

Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan rutin atasan bawahan,

kecuali bila dilarang secara tegas. Kemudian, setiap saat si pemberi

kewenangan dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan

tersebut.

Di tingkat Pemerintahan Pusat berdasarkan Pasal 1 ayat (24) dalam

UU AP mengenai Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan

99 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998. p. 6

36

Page 37: II dan III

tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Berkaitan sesuai

amanat Pasal 14 dinyatakan:

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: a.

ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan

b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.

(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pelaksana harian yang melaksanakan

tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan b.

pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif

yang berhalangan tetap.

(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat

kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi

bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus

menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang

memberikan Mandat.

Sedangkan ditingkat Pemerintahan Daerah secara teori

kewenangan mandat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 91 ayat (1)

sampai ayat (4) UU PD dinyatakan:

(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap

penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah

37

Page 38: II dan III

kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil

Pemerintah Pusat.

(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat

mempunyai tugas: a. mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan tugas Pembantuan di Daerah Kabupaten/Kota; b.

melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang ada di

wilayahnya; c. memberdayakan dan memfasilitasi Daerah

Kabupaten/Kota di wilayahnya; d. melakukan evaluasi terhadap

rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD,

perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata

ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah; e. melakukan

pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan f. melaksanakan

tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), Gubernur

sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai wewenang: a.

membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota;

b. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota

terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; c.

menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi

Pemerintahan antar daerah Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Daerah

provinsi; d. memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda

38

Page 39: II dan III

Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan Perangkat Daerah

kabupaten/kota; dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1). Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat

mempunyai tugas dan wewenang: a. menyelaraskan perencanaan

pembangunan antar Daerah Kabupaten/Kota dan antara daerah

provinsi dan daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya; b.

mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara

daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kota dan antar daerah

Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya; c. memberikan rekomendasi

kepada Pemerintah Pusat atas usulan Dana Alokasi Khusus pada

Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya; d. melantik Bupati/Walikota;

e. memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal di wilayah

provinsi kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan

urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh

kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam

UUD 1945; f. melantik kepala Instansi Vertikal dari kementerian dan

lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah

Daerah provinsi yang bersangkutan kecuali untuk kepala Instansi

Vertikal yang melaksanakan urusan Pemerintahan absolut (mutlak)

dan kepala Instansi Vertikal yang dibentuk oleh kementerian yang

nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945;

39

Page 40: II dan III

Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 92 UU PD yang

mengatakan bahwa Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat

tidak melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Menteri mengambil alih

pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah

Pusat

Berdasarkan teori para ahli dan Undang-Undang mengenai mandat

yang telah dipaparkan sebelumnya dapat diperoleh kesimpulan bahwa

kewenangan Gubernur juga diperoleh secara mandate karena Gubernur

sebagai penerima mandat (mandataris) hanya bertindak atas nama pemberi

mandat (mandans) dalam hal ini pemerintah Pusat, tanggungjawab akhir

keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat.

2.3. Pertanggungjawaban Hukum Pejabat Pemerintahan.

Pertanggungjawaban memiliki dasar kata majemuk “tanggung jawab”

yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan,

diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain. kata

benda abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan perilaku. Setelah

bentuk dasar, kata “tanggung jawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan

akhiran “an” menjadi “pertanggungjawaban” yang berarti perbuatan bertanggung

jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan.100

100 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta (tanpa tahun), hlm. 1139.

40

Page 41: II dan III

Persepsi dari rumusan di atas memberi makna tanggungjawab dalam

proses hukum, dimana seseorang dapat dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan

dan kesiapan menerima beban sebagai akibat dari sikap sendiri atau tindakan

orang lain. Jika dikaitkan dengan kata pertanggungjawaban berarti memiliki

kesungguhan menanggung segala bentuk beban berupa dituntut, diperkarakan

dan dipersalahkan akibat dari sikap dan tindakan sendiri atau pihak lain yang

menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

Teori pertanggungjawaban, yang memposisikan sebagai suatu kebebasan

bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan sebagai pendapat Atmadja,

tetapi pada akhirnya tidak dapat melepaskan diri dari resultante kebebasan

bertindak, berupa penuntutan untuk melaksanakan secara layak apa yang

diwajibkan kepadanya. Pandangan Atmadja bersesuaian dengan batasan

Ensiklopedia Administrasi yang mendefinisikan responsibility sebagai keharusan

seseorang untuk melaksanakan secara layak apa yang telah diwajibkan

kepadanya.101

Menurut Suwoto ada 2 (dua) kriteria secara umum menunjukkan perihal

pertanggungjawaban yang mendukung pandangan Atmadja diantaranya adalah

sebagai berikut: pertama, ditinjau dari aspek internal yakni pertanggungjawaban

yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan

oleh pimpinan dalam suatu instansi. Sedangkan kedua, aspek eksternal yakni

pertanggungjawaban kepada pihak ketiga, jika suatu tindakan menimbulkan

kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain berupa tanggung gugat

101 Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta, hlm. 291

41

Page 42: II dan III

atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang

diperbuat.102

Relevansi mengenai dua pemahaman pertanggungjawaban di atas

menunjukkan keluasan wilayah pemikiran yang menyebabkan timbulnya multi

tafsir yang belum dapat menemukan kesepahaman mengenai sudut pandang

pertanggungjawaban. Bagaimana pertanggungjawaban diartikan, dimaknai,

dipahami, serta batasan-batasannya tergantung kepada konteks dan sudut

pandang yang digunakan untuk menelaahnya. Terlepas dari uraian di atas, secara

sederhana dapat dipahami bahwa eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu

objek multidisiplin inheren di dalam hak dan kewajiban ke konteks mana pun

pertanggungjawaban hendak dipahami dan diwujudkan.

Bila diselaraskan dengan ahli hukum Roscoe Pound termasuk salah satu

pakar yang banyak menyumbangkan gagasannya tentang timbulnya

pertanggungjawaban. Melalui pendekatan analisis kritisnya, Pound meyakini

bahwa timbulnya pertanggungjawaban karena suatu kewajiban atas kerugian

yang ditimbulkan terhadap pihak lain.

Apabila pejabat Pemerintahan melakukan penyalahgunaan wewenang

dapat diminta pertanggungjawaban bagi pejabat Pemerintahan secara hukum.

Konsep pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan pertanggungjawaban

secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang

102 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 42.

42

Page 43: II dan III

bertentangan dengan undang-undang. Pertanggungjawaban memuat nisbah

bersegi tiga, meliputi:103

a. Seseorang adalah penyebab atau berwenang;

b. Kriteria atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuatnya;dan

c. berhadapan dengan pihak yang menuntut pertanggungjawaban.

Menurut Hans Kelsen bahwa sebuah konsep yang berhubungan dengan

konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab (pertanggungjawaban)

hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atasperbuatan

tertentu atau bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu sanksi apabila

perbuatannya bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangn.

Biasanya, yakni apabila sanksi hukum ditunjukan kepada pelaku langsung, maka

seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek

daritanggungjawab hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum.104

Berdasarkan uraian-uraian dari teori hukum yang bersifat umum,

disebutkan bahwa setiap orang, termasuk Pemerintahan, harus

mempertangungjawabkan setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa

kesalahan. Maka dari teori hukum umum, muncul tanggungjawab hukum berupa

pertanggungjawaban Pemerintahan baik dalam perspektif pidana, perdata, dan

hukum administrasi sebagaimana akan dijabarkan mengenai adanya tindakan

pejabat pemerintahan berkenaan dengan pertanggungjawaban yang diemban

103 F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI): 2001, hlm 87.

104 Hans Kelsen, General Theory of Law and State , New York : Russel and Russel, 1971, hlm 95

43

Page 44: II dan III

dalam pelaksanaan kinerja, sebagai mekanisasi evaluatif bagi pejabat

pemerintahan tersebut.

2.3.1. Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan Dalam Perspektif

Hukum Perdata

Bilamana seseorang menderita kerugian karena perbuatan

seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu

perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang

undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut

yang menimbulkan kerugian itu.105 Perihal mengenai subjek hukum yang

menimbulkan kerugian itu menurut Pasal 1365 KUH Perdata dinyatakan

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut”. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka

yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan

yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena

salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Landasan menurut ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori unsur-

unsur dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:106

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan

maupun kelalaian);105 A.Z.  Nasution,  Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan kedua, Diapit Media, Jakarta,

2002, hlm.77.106 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2002, hlm. 3.

44

Page 45: II dan III

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian;

Maka model tanggung jawab hukum dapat melingkupi beberapa

pasal-pasal yang berkaitan sebagai berikut:

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)

sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian

sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat

dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelum

tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan

yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-

undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban

hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran

yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut

ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan

yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan

tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral

atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. Pengertian

perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan

Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan

Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan bila memenuhi unsur

45

Page 46: II dan III

perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad)107 bagi penulis tentu

dapat terlebih dahulu dianalisa dapat atau tidak suatu perbuatan itu

termasuk kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik

dengan kesusilaan baik, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda,

sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu

telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar

ganti kerugian”.

Konsentrasi dalam mengetahui lebih luas dari onrechmatige daad,

maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan:

1. Bertentangan dengan hak orang lain;

2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;

3. Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau

4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam

pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja

dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam Pasal

1366 KUHPerdata, bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja

untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk

kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum ini merupakan tanggung

107 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cetakan kedua, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 25-26.

46

Page 47: II dan III

jawab perbuatan melawan hukum secara langsung. Selain itu dikenal juga

dikenal perbuatan melawan hukum secara tidak langsung menurut Pasal

1367 KUHPerdata yakni:

a. Seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian

yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi

tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di

bawah pengawasannya;

b. Orang tua dan wali bertanggungjawab tentang kerugian, yang

disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka

dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali;

c. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain

untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab

tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau

bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana

orang-orang ini dipakainya;

d. Kepala Sub Bidang Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Jalan dan

Jembatan menyerahkan kepada kontraktor Wika di bawah

tanggungjawab Kepala Daerah Kabupaten/Kota yang

bertanggungjawab tentang kerugian ditimbulkan karena runtuhnya

Pembangunan Jembatan yang masih dalam masa uji kelayakan

menibulkan kecelakaan bagi pekerja konstruksi selama waktu orang-

orang ini berada di bawah pengawasan Pimpinan itu;

47

Page 48: II dan III

e. Tanggungjawab yang disebutkan diatas berakhir, jika dapat

membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk

mana mereka seharusnya bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban majikan dalam Pasal 1367 ayat (3)

KUHPerdata tidak hanya mengenai tanggung jawab dalam ikatan kerja

saja, termasuk kepada seorang yang di luar ikatan kerja telah

diperintahkan seorang lain untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu,

asal saja orang yang diperintahkan melakukan pekerjaan tersebut

melakukan pekerjaannya secara berdiri sendiri-sendiri baik atas

pimpinannya sendiri atau telah melakukan pekerjaan tersebut atas

petunjuknya.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1601 a KUHPerdata,

pertanggungjawaban majikan atas perbuatan-perbuatan melawan hukum

dari karyawan-karyawannya yakni “Persetujuan perburuhan adalah

persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya

untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu

waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.

Dahulu bila kembali memahami historikal negara mengenai

pertanggungjawaban pejabat Pemerintahan ditinjau menurut Putusan

Hoge Raad tanggal 4 November 1938 mengatur pula

pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang sekalipun di luar

tugas sebagaimana yang diberikan kepada bawahan, namun ada

hubungannya sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut, sehingga

48

Page 49: II dan III

dapat dianggap dilakukan dalam pekerjaan untuk mana bawahan tersebut

digunakan yakni “Pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1367 ayat (3)

KUHPerdata dimaksudkan untuk mencakup pula kerugian yang

disebabkan oleh perbuatan yang tidak termasuk tugas yang diberikan

pada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian rupa dengan tugas

bawahan tersebut, sehingga perbuatan tersebut dianggap dilakukan dalam

pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan”.

Selain manusia sebagai subyek hukum, badan hukum

(rechtspersoon) juga merupakan subyek hukum, yaitu memiliki hak hak

dan kewajiban seperti manusia. Badan hukum dapat menjadi subyek

hukum dengan memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:108

1. Jika badan hukum tersebut memiliki kekayaan sendiri yang terpisah

dari kekayaan orang perorangan yang bertindak dalam badan hukum

itu;

2. Jika badan hukum tersebut mempunyai kepentingan kepentingan yang

sama dengan kepentingan orang perorangan yaitu kepentingan

sekelompok orang dengan perantara pengurusnya.

Badan hukum dapat turut serta dalam pergaulan hidup di

masyarakat, dapat menjual atau membeli barang, dapat sewa atau

menyewakan barang, dapat tukar menukar barang, dapat menjadi majikan

dalam persetujuan perburuhan dan dapat juga dipertanggung jawabkan

atas tindakan melanggar hukum yang merugikan orang lain.109

108 Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989, hlm. 21109 Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1960,

hlm. 51.

49

Page 50: II dan III

Teori Organ mengakui dalam badan hukum terdapat orang di

samping anggotanya, orang tersebut mempunyai kecakapan untuk

bertindak dan juga memiliki kehendaknya sendiri. Kehendak tersebut

dibentuk dalam otak para anggota, akan tetapi karena para anggota

tersebut pada waktu membentuk dan mengutarakan kehendaknya

bertindak selaku organ, yakni sebagai bagian dari organisme yang

berwujud orang, maka kehendak tersebut juga merupakan kehendak dari

badan hukum.110

Pada masa itu Hoge Raad menganut teori organ dan menjadikan

teori ini sebagai yurisprudensi tetap karena menurut teori ini badan

hukum dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1365

KUHPerdata, yakni bilamana organnya melakukan perbuatan melawan

hukum. Bilamana suatu badan hukum dianggap sebagai benar-benar

orang yang mempunyai wewenang untuk bertindak, dengan memiliki

kehendaknya sendiri, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa badan hukum

tersebut harus pula dapat dianggap memenuhi unsur kesalahan dalam

melakukan perbuatan melawan hukum.

Tidak semua perbuatan organ dapat dipertanggungjawabkan

kepada badan hukum, harus ada hubungan antara  perbuatan dengan

lingkungan kerja dari organ. Organ tersebut telah melakukan

perbuatannya dalam lingkungan formil dari wewenangnya. Jika organ

badan hukum bertindak untuk memenuhi tugas yang dibebankan

kepadanya dan tindakan tersebut melawan hukum maka perbuatan 110 Op.Cit., M.A. Moegni Djojodirdjo, hlm. 175

50

Page 51: II dan III

melawan hukum oleh organ tersebut dianggap sebagai perbuatan

melawan hukum dari badan hukum. Dalam membicarakan persoalan

tentang organ perlu kiranya dikemukakan perihal wakil. Vollmar

mengadakan perbedaan antara organ dan wakil. Organ menurut Vollmar

adalah merupakan wakil yang bertindak untuk badan hukumnya. Di

samping wakil sebagai organ tersebut menurut Vollmar ada pula wakil

yang bertindak tidak sebagai organ. Adapun mengenai organ tersebut

dapat dibedakan antara organ bukan sebagai bawahan dan organ sebagai

bawahan. Teori Vollmar memberikan perumusan tentang organ bahwa

“organ adalah wakil yang fungsinya mempunyai sifat yang berdiri sendiri,

yakni dalam arti bahwa cara mereka harus menjalankan tugasnya dan cara

mereka harus mewakili badan hukum sepenuhnya adalah diserahkan pada

mereka sendiri, sekalipun pelaksanaannya harus dilakukannya dalam

batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, atau peraturan dan

sebagainya”.111

Dengan demikian, dalam kebanyakan hal badan hukum sendiri

telah melakukan perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawabannya

secara langsung adalah berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dan

bukannya berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata. Jika perbuatan melawan

hukumnya dilakukan oleh seseorang bawahan, maka badan hukum harus

bertanggungjawab berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata. Sebagai

pedoman, dijelaskan oleh Pasal 1865 KUHPerdata bahwa “Setiap orang

111 Ibid, 178

51

Page 52: II dan III

yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna

meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,

menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak

atau peristiwa tersebut.”

Ada beberapa unsur kesalahan dalam hukum secara Perdata

menurut Abdulkadir Muhammad, yakni:112

1. Pelanggaran Hak Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai

hak pribadi maupun hal kebendaan dan akan melindunginya dengan

memaksa pihak yang melanggar untuk membayar ganti rugi kepada

pihak yang dilanggar haknya.

2. Unsur Kesalahan Pertanggungjawaban dalam kesalahan perdata

biasanya memerlukan suatu unsur kesalahan atau kesengajaan pada

pihak yang melakukan pelanggaran, walaupun tingkat kesengajaan

yang diperlukan biasanya kecil.

3. Kerugian yang diderita Unsur yang essensial dari kesalahan perdata

pada umumnya adalah adanya kerugian yang diderita akibat sebuah

perbuatan meskipun kerugian dan kesalahan perdata tidak selalu jalan

berbarengan  karena masih ada kesalahan perdata dimana apabila

perbuatan salah dari seseorang digugat maka si tergugat sendiri yang

harus membuktikan kerugian yang dideritanya. Adapun bentuk

kesalahan perdata, antara lain:

a. Kesalahan perdata terhadap orang, misalnya pemukulan.

112 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 197.

52

Page 53: II dan III

b. Kesalahan perdata terhadap tanah misalnya gangguan langsung

terhadap tanah milik orang lain

c. Kesalahan perdata terhadap barang misalnya gangguan terhadap

barang orang lain secara langsung, tidak sah dan fisik.

d. Kesalahan terhadap nama baik (martabat), misalnya pencemaran

nama baik

e. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab menurut Shidarta

dapat dibedakan sebagai berikut: (1) Tanggung jawab berdasarkan

Kesalahan (liability base on fault), (2) Praduga selalu bertanggung

jawab (presumption of liability), (3) praduga tidak

bertanggungjawab (Presumption of nonliability), (4)

tanggungjawab mutlak (Strict liability), (5) pembatasan tanggung

jawab (limitation of liability).113

Sanksi dalam hukum perdata, diputus dan dijatuhkan hakim

dengan penerapan jenis putusan:

1. putusan condemnatoir, yakni putusan yang bersifat menghukum pihak

yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya);

2. putusan declaratoir, yakni putusan yang amarnya menciptakansuatu

keadaan yang sah menurut hukum; dan

3. putusan constitutif, yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan

hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.

Sanksi hukum secara perdata dapat berupa kewajiban untuk

memenuhi prestasi (kewajiban) serta hilangnya suatu keadaan hukum, 113 Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi

dalam Hukum Pidana Indonesia, Averroes Press, 2002,   hlm, 54.

53

Page 54: II dan III

yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.

Pertanggungjawaban hukum di bidang perdata merupakan

pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh adanya hubungan

keperdataan antar subyek hukum.

2.3.2. Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan Dalam Perspektif

Hukum Pidana

Prinsip pertanggungjawaban pidana didasarkan atas ketentuan

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dikenal dengan

sebutan KUHP dengan asas legalitasnya “Nullum Delictum Noella Poena

Sine Previa Lege Poenali,114” yang menyebutkan tiada peristiwa dapat

dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan

pidana yang mendahului sebelum perbuatan itu dilakukan (geen feit is

strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke

strafbepaling).115

Jadi ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut terkandung

suatu maksud yang menjelaskan yakni: pertama, suatu perbuatan dapat

dipidana jika termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Hal ini

berarti pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.

Kedua, ketentuan pidana itu harus terlebih dahulu ada daripada perbuatan

itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku

114 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. hlm 155115 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan & Yurisprudensi.

Alumni, Bandung, 1979, hlm. 16

54

Page 55: II dan III

ketika perbuatan itu dilakukan.116 Dalam kaitan dengan hal tersebut,

menurut Barda Nawawi Arief bahwa perumusan asas legalitas dalam

Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas lex temporis delicti

atau asas nonretroaktif yakni larangan berlakunya hukum atau undang-

undang pidana secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan

hak asasi terhadap setiap orang.117 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1

ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada

perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan

perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat

dipidana maupun sanksinya. Ketiga, Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat

pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan

terdakwa.118

Mengacu pada uraian di atas, maka keberlakuan asas legalitas

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dibatasi oleh Pasal 1

ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada

perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan

perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Terdapat tiga pengertian: (a) tidak ada perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan 116 Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,

BPHN, Jakarta, 2002, hlm 3.117 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,

hlm 1.118Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,

Op.Cit, hlm..3

55

Page 56: II dan III

dalam suatu aturan undang-undang; (b) untuk menentukan adanya

perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi; dan (c) aturan-aturan

hukum pidana tidak berlaku surut.119

Selanjutnya dalam Pasal 2 KUHP, bahwa “ketentuan pidana

dalam hukum positif Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang

melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”. Pada dasarnya hukum

pidana merupakan keseluruhan peraturan hukum yang berkenaan dengan

perbuatan mana yang dapat dipidana dan pidana apa yang dapat

dikenakan. Eksistensi asas legalitas masih diakui mempunyai implikasi

kepada kedudukan kepastian hukum yang mempunyai sifat perlindungan

kepada hukum pidana yaitu hukum pidana melindungi masyarakat

terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Hal ini

merupakan fungsi “melindungi” dari hukum pidana. Fungsi melindungi,

hukum pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu dalam batas-

batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan yang

dilakukan pemerintah, secara tegas diperbolehkan.120 Hal pertama yang

perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa

pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya

seseorang telah melakukan tindakan pidana. Prof. Moelijatno

menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat di persalahkan melanggar

sesuatu tindak pidana tidak mungkin di kenakan pidana, meskipun orang

119 Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000, hlm. 25120 Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm 4.

56

Page 57: II dan III

tersebut di kenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang

lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana.

Demikian pula meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dapat di

pidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama

tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Apakah orang yang telah

melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal,

apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau

tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang

mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala

dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan

yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak

tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar

daripada dipidananya pelaku. Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat

itu dipertanggungjawabkan pada pembuatnya, artinya predikat yang

objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada terdakwa.121

Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya bagi pelaku bukanlah

bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada

apakah terdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.

meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat

dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia

mempunyai kesalahan. Teori Moelijatno menyatakan karena kalimat

diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian

121 Op.cit, Moeljatno, hlm 54.

57

Page 58: II dan III

dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan

yang bertenttangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana,

namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat

(subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkan Pidana. Syarat-

syaratnya harus terpenuhi menurut teori Melijatno adalah:

1. Harus adanya Perbuatan;

2. Perbuatan itu telah diatur dalam aturan hukum (perundang-undangan);

3. Memiliki Ancaman (sanksi) bagi pelanggarnya.

Sedangkan berkenaan dengan hal itu disesuaikan dengan keriteria

sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, meliputi:

a. pidana pokok yang terdiri dari: (1) pidana mati; (2) pidana penjara;

(3) kurungan; dan (4) denda;

b. pidana tambahan yang terdiri dari: (1) pencabutan hak-hak tertentu;

(2) perampasan barang-barang tertentu; dan (3) pengumuman putusan

hakim.

Hukum pidana juga merupakan ultimum remidium atau sarana

terakhir. Ultimum Remidium hanya diadakan apabila sanksi-sanksi dalam

bidang-bidang hukum lain tidak memadai.

Namun saat ini telah dikembangkan upaya Peranan dan fungsi

inspektorat dan pengawasan di kantor dan lembaga diupayakan audit

kinerja untuk mencegah tumpang tindih pemeriksaan kinerja yang

menimbulkan ketidakpastian hukum. Perkembangan dalam UU AP

diintensifkan untuk mencegah ”kriminalisasi tindakan administratif”

58

Page 59: II dan III

sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU AP, dinyatakan: Pengawasan

terhadap larangan penyalahgunaan wewenang administrasi pemerintahan,

dilakukan oleh Aparatur Pengawas Intern Pemerintah yang selama ini

terjadi dalam praktik dan memperkuat prinsip kehatihatian (prudential

principle)122 tujuannya untuk membangun sarana hukum pidana sebagai

Primum Remedium.

Progres yang dapat dipahami dalam ranah hukum administrasi

pemerintahan secara asas systematische specialiteit atau logische

specialiteit sebenarnya upaya hukum yang dapat dijalankan untuk

memproses seseorang pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan

publik yang salah. Dengan kata lain konotasi dalam konteks ini lebih

dahulu diterapkan prinsip premium remedium untuk hukum administrasi

Pemerintahan, baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium

untuk hukum pidana.

Artinya kebijakan publik yang salah atau menimbulkan kerugian

negara seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan

bukan hukum pidana, kecuali bila ada unsur koruptif (misalkan

melanggar Pasal 20 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 39 ayat (6) atau Pasal 65

ayat (1) huruf “a” dalam UU AP), maka hukum pidana bisa diterapkan

sebagai upaya terakhir. Jika kesalahan (kerugian bisnis) itu dipahami

secara hukum administrasi, maka tidak perlu dipidana. Oleh sebab itu,

122 Asep Warlan, Materi Acara Sosialisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Di Hotel Prima Resort Kuningan Tanggal 22 Oktober 2015.

59

Page 60: II dan III

dalam konteks ini, perbuatan mana yang dapat dikategorikan

(dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas kebijakan publik tersebut

harus pula memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam

perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).

Perbuatan melawan hukum sebagaimana maksud di atas bila

dikaitkan dengan ketentuan adanya pertanggungjawaban pejabat

pemerintahan dari sudut kajian pidana yang melakukan suatu tindakan

yang termasuk dalam unsur pidana korupsi yang telah secara khusus

diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), seharusnya dipahami

secara formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan yang

disebut tindak pidana korupsi adalah bertentangan dengan perundang-

undangan, seperti melawan hukum yang diatur dalam KUHP, UU

Tipikor, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Pelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, PP

No. 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban

Keuangan Daerah, PP No. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan

Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 110 Tahun

2000, tentang Kedudukan Keuangan DPRD.

Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak

pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan

peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila perbuatan

tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau

60

Page 61: II dan III

norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat di pidana. Perluasan unsur “melawan hukum” ini sangat

ditentang oleh sebagian ahli hukum dan sangat berpengaruh dalam proses

penegakan hukum sekarang. Alasan dari pihak yang menolak perluasan

unsur melawan hukum ini adalah jika unsur “melawan hukum” ini

diartikan secara luas, maka pengertian melawan hukum secara materil

(Materiele Wederrechttelijkeheid) dalam Hukum pidana diartikan sama

dengan pengertian “melawan hukum (Onrechtmatige Daad)” dalam Pasal

1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas legalitas.

Memahami unsur “melawan hukum” ini pada dasarnya dapat di

terima oleh akal sehat, namun belum tentu bertolak dari suatu

pemikiran/akal yang sehat karena perlu diingat juga bahwa Mahkamah

Agung (MA) sebenarnya sudah sejak lama mengakui dan menerapkan

Materiele Wederrechttelijkeheid dalam berbagai perkara tindak pidana

korupsi.

Mengenai teori hukum juga diakui bahwa suatu perbuatan dapat

dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu tidak saja bertentangan

dengan hukum yang dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa juga

bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang ditaati oleh

masyarakat dalam penyelesaian pada lembaga peradilan disebut sebagai

yurisprudensi.123 Teori hukum ini sangat penting, mengingat suatu

putusan yang benar tidak hanya didasarkan pada Undang-undang atau

123 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm 294

61

Page 62: II dan III

yurisprudensi saja, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan yang ada di

masyarakat, traktat, doktrin dan pendapat ahli hukum.

Unsur melawan hukum memiliki karakteristik tindak pidana

korupsi yang muncul akhir-akhir ini, idealnya unsur perbuatan melawan

hukum harus dipahami baik secara formil maupun materil karena:

Pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya

merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan

kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi tinggi

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat

secara luas, sehingga di golongkan sebagai kejahatan yang luar biasa

(Extra Ordinary Crime), sedangkan pemberantasan dilakukan sesuai cara-

cara yang luar biasa (Extra Ordinary Efforts). Kedua, dalam merespon

perkembangannya kebutuhun hukum di dalam masyarakat, agar dapat

lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau

berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian

negara yang semakin canggih dan rumit. Argumen dari Marwan Effendi

ini, pada dasarnya sesuai dengan dictum menimbang huruf b dan

Penjelasan umum alinea kedua UU Tipikor, sehingga terbukti apabila

perbuatan melawan hukum dalam pembuktian suatu tindak pidana

korupsi, harus di pahami dan dibuktikan secara materil dan atau formil.124

124 Marwan Effendi, Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya. Gramedia, Jakarta, 2005. hlm 1

62

Page 63: II dan III

Menurut terminologi bahasa “memperkaya”. merupakan suatu

kata kerja yang menunjukan perbuatan setiap orang untuk menambah

kekayaannya. Itu berarti, “memperkaya” diartikan sebagai perbuatan

adanya perubahan intensitas yang lebih meningkat dari posisi

sebelumnya. Apabila dikaitkan dengan makna orang mengingat apakah

seseorang itu dapat disebut sebagai kaya sangat subyektif sekali, misalnya

seseorang di kota besar mempunyai rumah besar dan mobil belum dapat

disebut kaya sedangkan di desa seseorang yang mempunyai televisi,

persawahan dan sepeda motor dapat disebut kaya, maka dalam konteks

pembuktian suatu tindak pidana korupsi kata “memperkaya” harus

dimaknai sebagai perbuatan setiap orang yang berakibat pada adanya

pertambahan kekayaan. Ada 3 point yang harus di dikaji dalam kaitannya

dengan suatu tindak pidana korupsi, unsur-unsur itu adalah: Pertama,

Memperkaya Diri Sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu

pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.

Kedua, Memperkaya Orang Lain, maksudnya adalah akibat dari

perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati

bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang

diuntungkan bukan pelaku langsung. Ketiga, Memperkaya Korporasi,

yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, suatu korporasi,

yaitu kumpulan orang-atau kumpulan kekayaan yang terorganisir, baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum Pasal 1 ayat (1)

UU Tipikor yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya

63

Page 64: II dan III

harta benda. Unsur-unsur pada dasarnya merupakan sifat atau alternatif.

Artinya jika salah suatu point diantara ketiga point ini terbukti, maka

unsur “memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” ini dianggap

telah terpenuhi. Pembuktian unsur-unsur ini sangat tergantung pada

bagaimana cara dari orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana

korupsi memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau

memperkaya korporasi, yang hendaknya dikaitkan dengan unsur/elemen

“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan” yang terkandung dalam Pasal 3

UU Tipikor dinyatakan: “setiap orang yang dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah).” Pemahamannya adalah dari

amanat Pasal 3 UU Tipikor, yang disebut sebagai pelaku tindak pidana

korupsinya adalah korporasi dan orang-perorangan (Persoonlijkheid).

Jika diteliti, perkalimat “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan

64

Page 65: II dan III

atau kedudukan dan seterusnya”, menunjukan bahwa pelaku tindak

pidana korupsi menurut Pasal 3 UU Tipikor haruslah orang-perorangan

(Persoonlijkheid) dalam hal ini seorang yang memiliki jabatan dalam

instansi negara, atau aparatur pemerintahan (pegawai negeri). Menurut

Pasal 1 ayat (2) UU Tipikor, yang dimaksud dengan pegawai negeri

meliputi: Pertama, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian (UU

Kepegawaian). Kedua, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 92 KUHP. Ketiga, orang yang menerima gaji atau upah dari

keuangan negara. Keempat, orang yang menerima gaji atau upah dari

suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau

daerah. Kelima, Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain

yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Tindakan yang menyalahgunakan wewenang, memanfaatkan kesempatan

atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan

sebagaimana amanat Pasal 3 UU Tipikor pada dasarnya spesifikasi dari

Pasal 52 KUHP sebagai payung hukumnya. Namun, rumusan yang

menggunakan istilah umum “menyalahgunakan” ini lebih luas jika

dibandingkan dengan Pasal 52 KUHP secara terminologi, “… oleh karena

melakukan tindakan pidana, atau pada waktu melakukan tindak pidana

memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari

jabatannya…”. Untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi

berkaitan dengan unsur atau elemen yang bersifat alternatif ini, maka ada

65

Page 66: II dan III

tiga point yang harus dikaji, yakni: Pertama, menyalahgunakan

kewenangan, berarti menyalahgunakan kekuasaan atau hak yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan. Kedua, menyalahgunakan

kesempatan, berarti menyalahgunakan waktu (mengambil manfaat) yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Ketiga, menyalahgunakan

sarana, artinya menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan.

Bila berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan atau Abuse

of Power atau peluang untuk melakukan sesuatu inilah yang dimaksud

dengan “kesempatan”. Sebab stiap orang yang memiliki jabatan atau

kedudukan biasanya akan mendapat sarana tertentu pula dalam rangka

menjalankan kewajiban dan kewenangannya. Terminologi mengenai

“sarana” adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk

mencapai maksud dan tujuan. Seseorang dengan jabatan atau kedudukan

tertentu akan memiliki wewenang, kesempatan dan sarana tertentu yang

dapat ia gunakan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.

Wewenang, kesempatan dan sarana ini diberikan dengan rambu-rambu

tertentu. Bila kemudian rambu-rambu itu dilanggar atau bila wewenang,

kesempatan, dan sarana tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya,

maka telah terjadi penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana

yang dimiliki karena jabatan atau kedudukannya.

Mengenai hal yang menimbulkan Kerugian terhadap

Perekonomian Negara Point yang harus dibuktikan yakni berunsur “dapat

66

Page 67: II dan III

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berkaitan dengan

suatu tindak pidana korupsi adalah: (a). Dapat Merugikan Keuangan

Negara. Menurut Penjelasan Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan

keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,

yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala

bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena: Pertama,

berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat,

lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, berada

dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Miik Daerah (BUMD),

yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang mertakan modal pihak

ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. (b). Perekonomian Negara,

yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan

perekonomian yang disususun sebagai usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan

pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

bertujuan memberi manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada

seluruh kehidupan rakyat. Kedua poin dalam unsur-unsur “dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” in aquo adalah

bersifat alternatif. Jadi untuk membuktikan seseorang melakukan tindak

pidana korupsi atau tidak, berkaitan dengan unsur/elemen ini, maka

cukup hanya dibuktikan salah satu point saja. Namun, yang harus diingat

67

Page 68: II dan III

dan diperhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah Kata “dapat” sebelum

frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara“

menunjukan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK mengamanatkan agar

tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai delik formil dan bukannya

delik materil.

Menurut Satochid Kartanegara, delik formil (Delict Met Formeele

Omschrijiving/delik dengan perumusan formil) adalah delik yang

dianggap telah sepenuhnya terlaksana tanpa timbulnya akibat berkaitan

dengan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan yang dimaksud dengan

delik materil (Delict Met Materieele Omschrijiving atau delik dengan

perumusan materil) ialah delik yang baru dianggap terlaksana penuh

apabila telah timbulnya akibat yang dilarang.125

Pelaku tindak pidana korupsi ada pula yang dilakukan secara

korporasi tentu berkenaan dengan adanya perbuatan pidana dengan

pembantuan. Secara tindak pidana, diasumsikan dengan penyertaan sebagai

turut melakukan dan pembantuan sebagai membantu melakukan,

sebagaimana ketentuan Pasal 55 KUHP, Menurut R. Soesilo, “turut

melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya

harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang

turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa

kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi

125 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II (Kumpulan Kuliah), Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm 294.

68

Page 69: II dan III

melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak

boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan

yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang

menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai

“membantu melakukan” (medeplichtige). Sejalan dengan ajaran

deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa pidana

diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya

tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim

menyatakan terbukti Pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan

adanya hubungan kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan

adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu peristiwa pidana tanpa bisa

menunjukkan peran masing-masing pelaku, sebenarnya proses

pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP adalah tidak sempurna. Bahkan

sekaligus menggambarkan proses persidangan telah gagal menggali

kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.

Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada

keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai

pertanggungjawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing.

Artinya dalam prinsip deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah

sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang

yang menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta

melakukan. Dalam konteks ini, suatu peristiwa pidana yang pelakunya

lebih dari satu orang meminta adanya penemuan dari penegak hukum

69

Page 70: II dan III

untuk menemukan kedudukan dan peran dari masing-masing pelaku.

Berkaitan dengan pernyataan di atas dalam Pasal 56 KUHP dinyatakan:

orang yang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan

tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu

dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan,

maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah”

melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam

Pasal 221 KUHP.126 Sedangkan ahli hukum Wirjono Prodjodikoro mengutip

Hazewingkel Suringga turut melakukan tindak pidana dibagi ke adalam dua

unsur, yaitu: pertama, kerja sama yang disadari antara para turut pelaku,

yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka; kedua, mereka

harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.127

Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa

adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang atau

korporasi dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis

cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan

melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

2.3.3. Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan Dalam Perspektif

Hukum Administrasi

126 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bandung, 1991. hlm 156

127 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003. hlm 123

70

Page 71: II dan III

Reformasi administrasi dalam membenahi kebijakan-kebijakan

hukum yang terkait dengan struktur, proses dan manajemen baik dalam

bidang keuangan, pengawasan termasuk sumber daya manusia dari

aparatur pemerintahan, akuntabilitas dan transparansi serta proses

pembuatan kebijakan dan implementasinya. Reformasi administrasi

Pemerintahan berarti pula reformasi dalam bidang hukum administrasi

negara. Karena tidak ada reformasi administrasi yang berjalan tanpa

adanya reformasi dalam bidang hukum administrasi. Sementara

tanggungjawab dibebankan kepada subjek yang melakukan kesalahan

administratif.128

Sedangkan pengertian administratif adalah sanksi yang dikenakan

terhadap pelanggaranadministrasi atau ketentuan undang-undang yang

bersifat administratif. Sanksi administratif diatur dalam Pasal 80 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,

berupa: (a) sanksi administratif ringan; (b) sanksi administratif sedang;

dan (c) sanksi administratif berat. Selanjutnya yang dimaksud dengan

sanksi administrasi ringan, sedang dan berat diatur dalam Pasal 81

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, yaitu sebagai berikut:

1. sanksi administratif ringan berupa:

a. teguran lisan;

128 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 210

71

Page 72: II dan III

b. teguran tertulis; atau

c. penundaan kenaikan pangkat, golongan,dan/atau hak-hak jabatan;

2. sanksi administratif sedang berupa:

a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;

b. pemberhentian sementara dengan memperolehhak-hak jabatan;

atau

c. pemberhentian sementara tanpa memperolehhak-hak jabatan; dan

3. sanksi administratif berat berupa:

a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan dan

fasilitas lainnya;

b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan

fasilitas lainnya;

c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan dan

fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa; atau

d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan

fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa.

Adanya pertanggungjawaban pemerintahan ini mendorong

timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary

complience), memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan

good governance.129

129 Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik, Setara Press,Malang, 2011, hlm 7

72

Page 73: II dan III

Dalam mewujudkan good governance dimaksud, dapat dibuktikan

mulai dari bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar

peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh

kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat,

pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya. Dalam

rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun

memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang

sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme

pertanggungjawaban menurut UU AP ini adalah mekanisme

pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun

tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan.

Menurut Pasal 25 ayat (3) UU AP dinyatakan; pejabat

administrasi pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib

mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan

masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil.

Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis

dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.

Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan

melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat

administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau

gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Kebebasan bertindak oleh

pejabat pemerintah yaitu diantaranya;

73

Page 74: II dan III

1. Kebijakan pemerintah yang bersifat emergency adanya kondisi yang

menyebabkan harus segera dilaksanakan terkait hajat hidup orang

banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah

meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi

kekosongan hukum sama sekali;

2. badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum

dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap

kebijakan publik (policy) atau kebijakan publik, sepanjang berkaitan

dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; ketiga; sifat dan roda

pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan

publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan

rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika

masyarakat dan perkembangan zaman.

Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak oleh apartur

pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan

kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas

dalam arti yuridis terdapat unsur pengecualian. Memang harus diakui

apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas

freis ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan

antara Pejabat Pemerintahan dengan masyarakat. Ada beberapa kerugian

yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya:

74

Page 75: II dan III

1. Aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena

terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan

kepada masyarakat;

2. Sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk

akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh

pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;

3. Sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah

kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang

kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku

pembangunan lainnya;

4. Aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak

berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-

masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik

terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata

masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak

simpatik dan merugikan masyarakat. Dalam hukum administrasi

Negara, karena hal itu juga sudah dinyatakan secara tegas dalam

Undang-undang Peradilan TUN dan UU AP.

Bahwa individu atau badan hukum perdata jika dirugikan dengan

keluarnya Keputusan TUN, salah satu alasan dapat mengajukan gugatan

ke PTUN adalah karena keputusan itu bertentang dengan Asas-Asas

Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), jadi selain keputusan pejabat

TUN dapat diuji karena bertentang dnegan peraturan perudang-undangan

75

Page 76: II dan III

yang berlaku juga dapat diuji melalui AAUPB. Sebagaimana yang

dinyatakan dalam amanat Pasal 45 dalam ayat (1) Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 Penetapan

keputusan administrasi pemerintahan oleh pejabat tidak berlaku surut

dalam hal ini merupakan pemahaman dari asas legalitas adapun Pasal 43

ayat (2) menyiratkan sanksi administratif dikenakan pada semua pejabat

dan pegawai administrasi pemerintahan yang melanggar ketentuan

undang-undang ini sehingga menyebabkan konflik administratif,

tujuannya memberikan adanya jaminan dan pertanggungjawaban terhadap

setiap Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan

pejabat administrasi Pemerintahan.

Pada sisi lain yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban

menurut Regulasi Tata Usaha Negara sering terjadi dalam praktik adanya

kekeliruan terhadap kebijakan yang mengandung kerugian dikategorikan

sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Pemehaman tersebut

membahayakan sistim hukum administrasi negara yaitu akan terjadi suatu

kondisi pejabat administrasi negara tidak akan mengambil tindakan

hukum apapun jika fakta dan kondisi tidak sesuai dengan kondisi yang

ideal dalam peraturan perundang-undangan.

Kebijakan tidak berarti sebagai kejahatan. Pandangan demikian

keliru, karena kebijakan administrasi negara lahir dari wewenang yang

sah diberikan hukum dan peraturan perundang-undangan kepada pejabat

administrasi negara. Kendatipun kebijakan itu ternyata menimbulkan

76

Page 77: II dan III

risiko hukum, akibat pejabat administrasi negara yang memiliki

pemahaman yang berbeda, antara tindakan dengan fakta yang terjadi

setelah kebijakan diambil. Dengan adanya kemungkinan salah kira

tersebut, jika administrasi negara mengambil kebijakan dalam perkiraan

yang salah atau informasi yang salah, tindakan tersebut merupakan

kehilafan. Menimbulkan persoalan hukum dalam hukum administrasi

negara, dan penyelesaiannya harus melalui hukum administrasi negara

berdasarkan prinsip contractus actus.

Pada konteksi ini bukan kebijakannya yang dianggap sebagai

perbuatan melawan hukum, tetapi perilaku pengambil kebijakan itu yang

dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Suatu kebijakan

tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap si pembuat kebijakan dapat

dikenakan pidana, jika dibalik kebijakannya terdapat unsur

penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya

sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan

kerugian negara.

Merupakan suatu kekeliruan walaupun perilaku pengambil

kebijakan mengandung perbuatan melawan hukum dipidanakan.

Walaupun perilaku pejabat dalam mengambil kebijakan mengandung

perilaku berikut ini:

1. Melakukan paksaan dalam bentuk ancaman (dwang),

2. Menerima dan melakukan suap (omkoperij) yang menyebabkan alasan

membuat kebijakan tidak ada (valse oorzaak),

77

Page 78: II dan III

3. Melakukan tipuan bersifat muslihat (kuntsgrepen).

Sekalipun mengandung perilaku pejabat publik yang mengambil

kebijakan sebagaimana di atas, tidak berarti si pengambil kebijakan itu

dipidanakan. Pejabat yang demikian bukan melakukan unsur pebuatan

melawan hukum pidana tetapi merupakan penyalahgunaan wewenang

(detornement de pouvoir). Sekalipun demikian, kebijakan tersebut

merupakan tindakan kepemerintahan yang sah dan menjadi wewenang

pejabat administrasi negara. Oleh sebabnya, tidak dapat dipidanakan

karena adanya wewenang yang sah pada administrasi negara.

Dipandang dari sisi kerugian ekonomis, terutama kebijakan

pemerintah dalam pengelolaan perusahaan negara atau BUMN, doktrin

Business Judgment Rule dapat digunakan untuk membebaskan direksi

perusahaan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan. Kerugian

itu mungkin bisa timbul dari kebijakan direksi yang diambilnya dan

seorang direksi perusahaan negara atau BUMN merupakan kategori

pejabat pemerintah dalam arti luas, menyangkut semua pejabat yang turut

dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara.

Secara hukum administrasi negara, berdasarkan Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (disingkat UU

PTUN), seorang pejabat publik dapat digugat melalui Pengadilan Tata

Usaha Negara (PTUN) jika memenuhi syarat untuk diajukan gugatan

78

Page 79: II dan III

TUN. Gugatan tersebut berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN

dan diajukan ke PTUN untuk mendapatkan putusan.

Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN, ada 7 (tujuah) macam keputusan

yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

menurut undang-undang ini adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum

perdata;

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang

bersifat umum;

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan

ketentuan (Kitab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 disebut

KUHP) dan (Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebut

KUHAP)

5. atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

6. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil

pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

7. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia;

8. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,

mengenai hasil pemilihan umum.

79

Page 80: II dan III

Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN tersebut di atas, jelas disebutkan

bahwa Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata,

umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang

dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan

pada ketentuan hukum perdata. Jenis Keputusan TUN ini tidak dapat

diselesaikan dalam PTUN melainkan dalam peradilan perdata (peradilan

umum). Kemudian Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang

bersifat umum, yang dimaksud dengan pengaturan yang bersifat umum

adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan

dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.

Jenis Keputusan TUN ini juga tidak dapat diselesaikan atau diajukan

gugatannya di PTUN dan termasuk dalam hal kebijakan hukum pidana

(criminal polcy).

Dengan demikian sesuai Pasal 1 angka 3 UU PTUN dari ketujuh

macam Keputusan Pejabat Pemerintahan tersebut, maka Keputusan TUN

yang masuk dalam ranah hukum administrasi negara yang memiliki sama

diatur pula dalam UU AP merupakan adalah suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum

TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Namun hanya ada 4 (empat) karakteristik Keputusan TUN yang

boleh diajukan gugatannya melalui PTUN adalah:

80

Page 81: II dan III

1. Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan

oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN.

2. Keputusan TUN itu dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Keputusan TUN itu bersifat konkret, individual, dan final.

4. Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau

badan hukum perdata.

Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum

TUN. Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan

kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.

Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan

tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan

dan sebagainya. Menurut M. Makhfudz tindakan diam dari pejabat

administrasi negara disamakan dengan keputusan tertulis.

Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi

pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi

syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau

Pejabat TUN menurut UU PTUN ini apabila sudah jelas tentang:

1. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;

2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan

3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di

dalamnya.

81

Page 82: II dan III

Badan atau Pejabat TUN dimaksud adalah badan atau pejabat di

pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.

Tindakan hukum TUN merupakan perbuatan hukum Badan atau Pejabat

TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara

yang dapat dituntut pertanggungjawabannya disebabkan menimbulkan

hak dan kewajiban terhadap orang lain. Adapun sifat-sifat suatu

keputusan itu:

1. Bersifat konkret atau realistis, artinya objek yang diputuskan dalam

Keputusan TUN itu tidak abstrak (berwujud), tertentu atau dapat

ditentukan, umpamanya keputusan mengenai izin usaha,

pemberhentian pegawai BUMN atau BUMD sebagai pegawai negeri.

Atau dalam pemberian Keputusan memberikan Izin Mendirikan

Bangunan (IMB), Pemberian Izin Prinsip dan sebagainya.

2. Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk

umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang

dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena

keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan

atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama

orang yang terkena keputusan tersebut. Individual artinya Keputusan

TUN itu tidak ditujukan untuk umum melainkan pada tujuan tertentu,

baik dengan menyebut nama, alamat, maupun hal yang dituju.

3. Sedangkan bersifat final tidak lagi memerlukan persetujuan dari

atasan. Dengan kata lain sudah definitif dan karenanya dapat

82

Page 83: II dan III

menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan

persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final

karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada

pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan

seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan

Administrasi Kepegawaian Negara.

Pejabat pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan

administrasi negara seperti: mengeluarkan keputusan (beschikking),

mengeluarkan peraturan (regeling), dan melakukan perbuatan materil.

Dari ketiga perbutan administrasi negara itu, yang tidak termasuk dalam

kompetensi PTUN adalah mengeluarkan peraturan (regeling) karena

hanya mengatur hal-hal yang bersifat general (umum) dan mengikat.

Sedangkan keputusan (beschikking) juga merupakan peristiwa yang

melaksanakan hal-hal yang bersifat umum tetapi diaktualisasikan ke

dalam hal-hal yang kongkrit sehingga dapat dilaksanakan gugatannya di

PTUN.

Mengeluarkan peraturan (regeling) dikenal pula dalam istilah

peraturan kebijakan (beleidsregels) yang dikeluarkan dengan

menggunakan wewenang diskresi. Beleidregels merupakan jenis

peraturan yang tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan,

sehingga tidak dapat diuji secara hukum, karena memang tidak ada

peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembuatannya melainkan

berdasarkan pada wewenang diskresi (freies ermessen). Dengan demikian

83

Page 84: II dan III

pejabat administrasi pemerintahan yang mengeluarkan beleidregels tidak

dapat digugat di PTUN.

Pembuatan Keputusan TUN dalam bentuk beschikking harus

memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah

menurut hukum (rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum

(rechtskracht) untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan

dalam pembuatan keputusan mencakup syarat materil dan syarat formil

sebagai berikut:

1. Syarat-syarat materil terdiri atas:

a. Organ Pemerintah yang membuat keputusan harus berwenang.

b. Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan

yuridis, seperti, penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau suap

(omkoping), kesesatan (dwaling).

c. Keputusan harus didasarkan pada suatu keadaan atau situasi

tertentu.

d. Keputusan harus dapat dilaksanakan tanpa melanggar peraturan-

peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai

dengan isi dan peraturan dasarnya.

2. Syarat-syarat formal terdiri atas:

a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan

dibuatnya keputusan dan cara-cara (prosedur) dibuatnya

keputusan harus sesuai.

84

Page 85: II dan III

b. Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

dikeluarkannya keputusan itu.

c. Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan keputusan

itu harus terpenuhi.

d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang

menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus

diperhatikan.

Apabila syarat materil dan syarat formil tersebut terpenuhi, maka

keputusan itu sah menurut hukum artinya dapat diterima sebagai suatu

bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada

baik secara proseduran/formal maupun materil. Sebaliknya, bila satu atau

beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu

mengandung kekuarangan dan menjadi tidak sah. Upaya hukum yang

dapat dilakukan terhadap suatu Keputusan TUN yang tidak sah, dapat

diajukan upaya hukum ke PTUN guna pembatalan.

Suatu Keputusan TUN dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ

yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat hukum

(vormgebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak

(wilsgebreken). Jika kepeutusan itu tidak sah, maka keputusan itu harus

dibatalkan melalui gugatan ke PTUN. Dapat pula dilakukan pembatalan

melalui jabatan yaitu diajukan kepada pihak pemerintah itu sendiri agar

dibatalkan.

85

Page 86: II dan III

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa upaya-

upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kebijakan publik yang salah

atau yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara jika

dari dikaji perspektif Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan dapat

diajukan gugatan terhadap kasus tersebut Peradilan Tata Usaha Negara

yang berada dalam ranah hukum administrasi negara sesuai kompetensi

peradilan. Sekalipun Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum

bagi seseorang atau badan hukum perdata berupa kerugian ekonomis, dan

berlaku bagi pejabat pemerintahan tersebut segala Peraturan yang

bertentangan dangan UU AP saat tindakan-tindakan tersebut melanggara

kedua regulasi dimaksud. Termasuk tuntutan gugatan dari perbuatan

penyalahgunaan wewenang ke PTUN bukan ke pengadilan negeri.

Namun bila tindakan Pejabat Pemerintahan itu berhubungan dengan

kerugian negara yang ditimbulkan akibat adanya unsur tindak pidana

korupsi maka pertanggungjawaban tersebut dapat diajukan oleh petugas

yang berwenang seperti lembaga Komisi Pengawas Korupsi dan dituntut

melalui Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi pada Peradilan Negeri

pada daerah hukum administrasi sesuai locus delicti. Dengan demikian

hal itu telah sesuai pula dengan prinsip primum remedium agar sejalan

dengan asas systematische specialiteit.

2.4. Teori Perlindungan Hukum

86

Page 87: II dan III

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

manusia untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari

gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun akan harkat dan martabat,

yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari

kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat

melindungi suatu hal dari hal lainnya.130 Berkaitan dengan Pemerintahan, berarti

hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak Warga Negara dari sesuatu

yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut

Maksudnya adalah pemberian tindakan antisipasi sebagai bentuk

perlindungan bagi pejabat Pemerintahan (penguasa) dari adanya perbuatan yang

memiliki kecenderungan yang mengarah kepada tindakan kesewenang-wenangan

dari aparatur Pemerintahan yang dapat melanggar hukum atau tidak sesuai

dengan aturan hukum sehingga merugikan terhadap pelaku, negara dan

masyarakat.

Maksudnya adalah untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman

sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

manusia. Kontrol yuridis hanya dalam hal ketetapan administrasi

(beschikking) yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat

administrasi negara saja, yang dapat melanggar ketentuan UU

PTUN selain itu pula dapat melanggar ketentuan UU AP, padahal

secara filosofis kompetensi absolut pengadilan administrasi

negara adalah menyelesaikan sengketa administrasi negara 130 Op. cit Philipus M. Hadjon, hlm. 245

87

Page 88: II dan III

dalam arti luas. Oleh karenanya berdasarkan pandangan

futuristik perlu ditelaah lebih lanjut undang-undang tersebut

mengenai makna sengketa administrasi negara berupa

perbuatan hukum publik oleh jabatan administrasi negara yang

melanggar hukum. Semua ini tiada lain bertujuan untuk

mereposisi kembali hakikat penegakan hukum administrasi oleh

pengadilan administrasi negara dan menyederhanakan

(effisiensi dan effektifitas) semua penyelesaian sengketa

administrasi negara yang selama ini dilakukan oleh peradilan

umum (misalnya sengketa administrasi negara mengenai paten

atau hak kekayaan inelektual dan mengenai masalah kebijakan

Pemerintahan dalam bidang ketenagakerjaan dan peradilan

khusus (misalnya sengketa pajak termasuk kebijakan terhadap

penanaman modal) yang menjadi kewenangan absolut

pengadilan administrasi negara.

2.4.1. Keabsahan Perbuatan Hukum Pemerintahan

Pemberian jaminan perlindungan keamanan dan

kesejahteraan bagi warganya merupakan suatu hakikat

tujuan dari suatu negara. Aparatur Pemerintahan

berkewajiban melakukan pengaturan dan perlindungan

terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat.131 Pemerintahan 131 Samudra Wibawa. Reformasi administrasi: Bunga Rampai Pemikiran

Administrasi Negara atau Publik. Yogyakarta: Gaya Media, 2005. hlm. 197.

88

Page 89: II dan III

yang baik adalah Pemerintahan yang berperan serta

secara aktif dalam urusan masyarakat berdasarkan

kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (hukum

tertulis). Dengan demikian, sumber formal utama

pemberian kewenangan kepada aparatur pemerintah

adalah undang-undang, sekaligus penegasan ruang

lingkup kewenangan dari tiap jabatan.

Pada sistem hukum positif yang berlaku dalam

bentuk hukum tertulis di Indonesia dapat dikatakan belum

mampu mengakomodir atau merumuskan semua aspek

kehidupan masyarakat yang kompleks dan berkembang

cepat di masyarakat.132 Agar pemerintah dapat

menjalankan tugas penyelenggaraan kesejahteraan bagi

warga (rakyat), di samping memiliki wewenang

berdasarkan hukum tertulis, maka pejabat dalam lingkup

administrasi pemerintahan memerlukan kemerdekaan

untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Kemerdekaan

bertindak secara mandiri (diskresi), menurut Marcus

Lukman, merupakan sarana yang memberikan ruang

bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi

negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat

sepenuhnya pada undang-undang.132 Op.Cit, Ridwan HR.hlm 14.

89

Page 90: II dan III

Fungsi strategis dari tindakan aparatur

pemerintahan, yakni kebebasan untuk bertindak atas

inisiatif sendiri, terutama" untuk penyelesaian soal-soal

genting yang timbul seketika, sedangkan pengaturannya

belum ada atau tidak jelas disebut adalah suatu

kebebasan untuk mengambil suatu langkah sebagai

tindakan (legal person) dikenal dengan keabsahan yang

mempunyai posisi yang sejajar dengan orang pribadi atau

badan hukum perdata. In deze gevallen is de overheid

evenals de particuliere personen aan de regels van het

privaatrecht onderworpené. (persamaan dengan tindakan

pihak swasta tunduk pada peraturan hukum

keperdataan).133 Civilrechtelijk is rechrspersoon

prosespartij en moet, bij gemeente, de burgergemeester

aantreden (dalam hal keperdataan, badan hukum-lah yang

menjadi pihak, misalnya pada kabupaten, Bupati bertindak

mewakili badan hukum Kabupaten).134 Saat ini masyarakat

dalam modern dan demokrasi, menghendaki aparatur

pemerintahan yang mampu mengambil keputusan (make

a decision), bukan hanya sekedar menjalankan perintah

133 C.J.N. Versteden. Inleiding Algemeen Besmursrecht. Alphen aan den Rijn: Samson: HD., Tjeenk Willink, 1984 hlm. 283.

134 F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek. Inleiding in het staat-en Administratief Recht. Alphen aan den Rijn: Samson HD. Tjeenk Willink, 1985. hlm. 34.

90

Page 91: II dan III

atasan sehingga perbuatan Pemerintahan itu dinilai

keabsahannya, sebab merupakan wewenang yang telah

diatur oleh hukum yang terkait kewenangannya masing-

masing.

Perlu pemahaman yang faktual mengenai konteks

ini, sebagaimana teori keabsahaan menurut Philipus M.

Hadjon yang konotasinya mensyaratkan keabsahan tindak

Pemerintahan didasarkan pada aspek kewenangan, aspek

prosedur, dan aspek substansis. Aspek kewenangan

mensyaratkan tiap tindak pemerintahan harus bertumpu

atas kewenangan yang sah (atribusi, delegasi, maupun

mandat).135 Tiap kewenangan dibatasi oleh isi (materi),

wilayah, dan waktu. Cacat dalam aspek-aspek tersebut

menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid).136

Aspek prosedur dari teori keabsahan, bertumpu atas

asas negara hukum, asas demokrasi. dan asas

instrumental. Asas negara hukum berkaitan dengan

perlindungan hak-hak dasar manusia. Asas demokrasi

berkaitan dengan asas keterbukaan dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Asas instrumental

135 Philipus Mandiri Hadjon. Diktat Orasi Ilmiah dengan topik Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994, him. 7

136 Ibid

91

Page 92: II dan III

meliputi asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) dan

asas efektivitas (doeltrejfienheid, hasil guna)“. Aspek

substansi menegaskan bahwa kewenangan pemerintah

dibatasi secara substansial, yakni menyangkut “apa” dan

“untuk apa”. Karena bila terjadi cacat substansial

menyangkut “apa” dan dapat digolongkan atau tidak

sebagai tindakan yang sewenang-wenang menyangkut

“untuk apa” terjadi penyalahgunaan wewenang tersebut.

Hingga kemudian hadir teori keabsahan yang

menjadi landasan untuk memahami keabsahan perbuatan

Pemerintahan, fungsinya untuk menjelaskan validasi dari

keabsahan perbuatan hukum pemerintahan dalam

kaitannya dengan kemandirian tersebut.

Pada pemikiran selanjutnya, implementasi teori di

atas menuntut kemampuan warga untuk mendapatkan

infomasi tentang rencana dan keabsahan perbuatan

hukum Pemerintahan itu. Sebab kini merupakan era

keterbukaan informasi, memungkinkan untuk

mengikatkan suatu perjanjian mengenai penggunaan

diskresi. Hukum tidak hanya membatasi kebebasan

individual terhadap kebebasan individual lain, melainkan

juga kebebasan (wewenang) penguasa agar tidak

92

Page 93: II dan III

bertindak sewenang-wenangn. Dengan demikian,

penggunaan asas kebebasan berkontrak, tidak dalam arti

kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan terikat

dengan batas-batas tertentu.

Untuk mencapai tujuan yang menjadi tujuan diskresi

sebagai keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan

sebagai fenomena yang dipandang sebagai pencerminan

belum dapat terakomodirnya hukum (dalam arti luas)

mengawal kebebasan penggunaan diskresi oleh pejabat

pemerintah. Instrumen uji yang digunakan adalah bertitik

tolak dari teori keabsahan, khususnya mewajibkan

pemerintah untuk aktif memberikan informasi kepada

publik tentang keputusan yang akan diambil. Langkah

selanjutnya mengingatkan pentingnya daya guna dari

keputusan yang diambil. Kemudian membandingkan

antara biaya yang dikeluarkan, atau hasil yang dicapai

dengan pengorbanan secara efisien.

Efisien yakni bila hasil atau manfat lebih besar

daripada pengorbanan”. Substansi mengenai isi dan untuk

apa kewenangan itu digunakan perlun prinsip pembatasan

penggunaan diskresi, relevan untuk diperhatikan teori

Roscoe Pound mengenai model hukum responsif (model of

93

Page 94: II dan III

responsive law). Hukum yang baik seharusnya tidak

sekedar menawarkan keadilan prosedural, melainkan lebih

jauh lagi, it should be competent as well as fair; it should

help: define the public interest and be committed to the

achievement of substantive justice.137

Makna di atas menitikberatkan adanya suatu

kewenangan yang baik dan adil sebagai pemberian

kembali kepercayaan terhadap publik dan kepastian

hukum sesuai substansinya yang diwujudkan dalam

keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan, untuk secara

rinci dijabarkan spesifikasinya sebagai berikut:

2.4.1.1. Subjek Hukum

Sebenarnya identitas secara universal mengenai

predikat subjek hukum adalah sebagai pendukung hak dan

kewajiban yang secara umum berlaku kepada setiap orang, akan

tetapi seiring pengetahuan dan tingginya cakrawala berfikir, maka

predikat itu terklasifikasi kembali menjadi sebuah pemahaman

multi dimensional yang berkembang khususnya dalam bidang

ilmu hukum administrasi negara, menyandangkan predikat subjek

hukum terhadap aparatur negara a quo disebut sebagai

Pemerintah dan/atau Pemerintahan. Secara etimologis di

137 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987. hlm 185

94

Page 95: II dan III

negara Indonesia Pemerintah dan/atau

Pemerintahan berasal dari kata perintah. Menurut

W.J.S Poerwadarmita yaitu sebagai berikut:138

a. Perintah adalah perkataan yang bermaksud

menyuruh melakukan sesuatu.

b. Perintah adalah kekuasaan perintah suatu

Negara (Daerah, Negara) atau badan yang

tertinggi yang memerintah suatu Negara (seperti

kabinet merupakan bagian pemerintah).

c. Pemerintah adalah perbuatan (cara, hal, urusan

dan sebagainya) memerintah.

Sebagaimana mengutip arti yang dipaparkan

oleh Samuel Edward Finer yang mengakui tentang

Pemerintah dan Pemerintahan dalam arti luas,

dengan adanya Pemerintah dan Pemerintahan

dalam arti luas. Maka tentunya akan mempunyai

pengertian Pemerintah dan Pemerintahan dalam

arti luas dan sempit yaitu:139

1. Pemerintah dalam arti sempit, yaitu : perbuatan

memerintah yang dilakukan oleh Eksekutif, yaitu

138 WJ.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1983. hlm 74

139 Samuel Edward Finer, Comparative Government, Penguin Books Ltd., Harmonds Worth, Middlesex, England 1974, hlm 3

95

Page 96: II dan III

Presiden dibantu oleh para Menteri-menterinya

dalam rangka mencapai tujuan Negara.

2. Pemerintah dalam arti luas, yaitu : Perbuatan

memerintah yang dilakukan oleh Legislatif,

Eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencapai

tujuan Pemerintahan Negara disebut sebagai

Pemerintahan.

Penulis mendapati pemisahan kata yang

sesuai dengan penerapan kata di Indonesia

sebagaimana menurut Samuel Edward Finer itu,

sebab jelas penggunaan kata Pemerintah dan kata

Pemerintahan.

Apabila dikomparasikan dengan negara

Inggris dijumpai adanya perkataan Pemerintah

(government) menurut C.F Strong yaitu:140

“Government is, therefore, ‘that organization in which is vested.....the right to exercise souverign powers.’ Government, in the broad sense, is something bigger than a special body of ministers, a sense in which we cologuially use it to day, when...“Government, in the brouder sense, is charged with the maintenance of the peace security of state within and without.“It mast, therefore, have, first military power, or teh control of armed forces; secondly,

140 C.F. Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book Society and Side Wick & Jackson Limited, London, 1965, hlm.6

96

Page 97: II dan III

legislature power, or the means of making laws; thirdly, financial power, or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending the state and of enfoscing the law it makes on the state’s behalf.

Terjemahan bebasnya memiliki pengertian yaitu

Pemerintah dan/atau Pemerintahan yang oleh karenanya

dimaksud organisasi dalam mana diletakkan hak untuk

melaksaanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi. Pemerintah

dan/atau Pemerintahan dalam arti luas merupakan sesuatu yang

lebih besar daripada suatu badan atau kementerian-kementerian,

suatu arti yang kita bisa pakai dalam pembicaraan dewasa ini

apabila sebuah Pemerintah dan/atau Pemerintahan dalam arti

luas, diberi tanggungjawab pemeliharaan perdamaian dan

keamanan negara, di dalam atau pun di luar. Maka Pemerintah

dan/atau Pemerintahan harus memiliki; pertama, kekuasaan

militer atau pengawasan atas angkatan bersenjata; kedua,

kekuasaan legislatif, atau sarana pembuat hukum; ketiga,

kekuasaan keuangan, yaitu kesanggupan memungut uang yang

cukup untuk membayar biaya mempertahankan negara dan

menegakkan hukum yang dibuat atas nama negara.

Kemudian C.F strong menjelaskan kembali mengenai

Pemerintah dan/atau Pemerintahan yakni:141 “It must, in

141 Ibid. C.F Strong. Hlm 6

97

Page 98: II dan III

short, have legislature power, executive power, and

judicial power, which we may call the three

departments of government.”

Terjemahan bebasnya memiliki maksud pemerintah

mempunyai kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan

kehakiman, yang boleh kita sebut dengan cabang Pemerintahan.

Sedangkan di negara Jerman, dibedakan antara

pemerintah sebagai aparat negara dan aparat pemerintahan, aparat

negara tidaklah mengabdi kepada Pemerintahan, tetapi kepada

Undang-undang. Sementara yang dimaksud aparat pemerintahan,

ialah lembaga birokrasi yang lazim disebut pegawai negeri sipil.

Sehingga menurut Undang-Undang mengenai Prosedur

Administrasi Negara Verwaltungsverfahrensgesetz memiliki

pengertian yang berlaku di Jerman, bahwa Pemerintahan sebagai

pelaku administrasi negara. Menyangkut perihal tersebut Instansi

negara di Indonesia menyatu dengan pemerintah.

Di Indonesia hanya dikenal instansi pemerintah sebagai

aparat Pemerintah. Sebaliknya, instansi di negara Jerman, bukan

aparat pemerintah dan dapat beraktivitas otonom. Dijelaskan

bahwa istilah die staatlichen Behoerden (instansi Negara)

merupakan organ negara pengelola administrasi negara yang

berwenang mengurusi publik. Namun karena di Indonesia

98

Page 99: II dan III

mengenai adanya kabinet kementrian diperdaya menjadi instansi

pemerintah, terjemahan Verwaltungsverfahrensgesetz.142

Jadi dinyatakan secara implisit berkaitan dengan

Pemerintahan yang melaksanakan Administrasi mengambil

beberapa istilah di beberapa negara seperti Administration

(inggris) atau Verwaltung (Jerman) dan Bestuurs Administratie

(Belanda) yang keseluruhannya hanya menekankan arti sebagai

berikut:

1. Fungsi-fungsi pengendalian administrasi oleh badan-badan

atau instansi Pemerintah dari segala tingkatan guna

melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan Pemerintah sesuai

dengan wewenang masing-masing seperti ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Penggunaan prinsip-prinsip serta ilmu administrasi Negara

oleh badan-badan atau instasi Pemerintah agar terdapat tertib

administrasi ialah kegiatan yang berhubungan dengan

penyusunan organisasi, pembagian wewenang, hubungan

kerja, koordinasi, sinkronisasi, delegasi wewenang,

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan sebagainya.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka di Indonesia

kata subjek hukum dalam menjalankan fungsi administrasi di

142 Inu Kencana Syafi’ie “ Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi Aksara, Jakarta 2010, hlm 42

99

Page 100: II dan III

suatu negara termasuk melakukan keabsahan perbuatan hukum di

suatu negara adalah Pemerintahan (disebut sebagai Pejabat

Negara ) yang melingkupi peran lembaga eksekutif, legislatif dan

yudikatif (sebagai lembaga Kekuasaan Kehakiman). Hal tersebut

tertuang dalam Pasal 1 ayat (6) mengenai kewenangan

Pemerintahan seperti melaksanakan prolegnas antara Presiden

dengan DPR ditingkat pusat dan antara Gubernur, Walikota dan

Bupati dengan DPRD ditingkat Daerah sebagaimana ayat (8)

yang memberi legalitas tindakan administrasi pemerintahan

sebagai keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan yang

dilaksanakan menurut kewenangan Pejabat Pemerintahan atau

penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak

melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan

Pemerintahan mencakup Perbuatan yang termasuk dalam lingkup

Tata Usaha Negara.

Sejalan pula dengan ketentuan Pasal 1 butir b

menyebutkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah

Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan pada butir c menyebutkan: Keputusan Tata Usaha

Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan

hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan

100

Page 101: II dan III

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,

individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata. Kemudian pada butir d

dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa

yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau

badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara, baik di tingakt pusat maupun di tingkat daerah, sebagai

akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk

dalam sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan yang berlaku

dalam sisitem hukumdi Indonesia.

2.4.1.2. Perbuatan Hukum

Perbuatan hukum dalam konteks Pemerintahan bukanlah

penyelenggaraan fungsi eksekutif semata-mata melainkan juga

fungsi lainnya yang tidak terjangkau oleh fungsi legislatif dan

fungsi yudikatif. Dalam persoalan ini Pemerintahn selain

melaksanakan peraturan hukum yang dibuat lembaga legislatif

juga menjalankan hal-hal lain yang menjadi tugasnya atau

perbuatan hukumnya, maka fungsi pemerintah dapat diketahui

dari arti secara luas dan arti secara sempit.

Bila ditinjau dari pendapat para ahli untuk mengetahui

keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan dalam arti luas adalah

keabsahan perbuatan hukum dari tiga kekuasaan Pemerintahan

yang terpisah satu sama lain (separation des pouvoirs) meliputi

101

Page 102: II dan III

kekuasaan: lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif

selanjutnya E. Utrech yang mengutip teori dari van Vollenhoven,

mengenai perbuatan Pemerintahan dalam arti luas

(bewindvoering) atau “regeren” meliputi :143

a. Membuat peraturan (regeling–wetgeving)

b. Pemerintahan/pelaksana (bestuur);

c. Peradilan (Rechtspraak);

d. Polisi (politie).

Kemudian digabung oleh Koentjoro Purbopranoto144

dengan menyebutnya sebagai Catur Wangsa Pemerintahan dan

memberi pengetahuan lebih lanjut dalam arti luas meliputi segala

urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan

kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Pemerintah dalam

arti sempit : hanya menjalankan tugas eksekutif saja.

Pada hakikatnya perbuatan hukum pemerintah memiliki

prinsip hierarkhi yang selanjutnya menurut Rommeyn, dengan

memperkaya pemahaman perbuatan hukum pemerintahan itu

merupakan tiap-tiap tindakan atau perbuatan hukum

Pemerintahan akan dilaksanakan oleh alat perlengkapan

pemerintahan disebut bestuursorganen, juga di luar lapangan

Hukum Tata Pemerintahan, misalnya keamanan, peadilan dan

143 E. Utrecht II, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia. Ichtiar . Jakarta, 1987. hlm 12.144 Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978. hlm 40

102

Page 103: II dan III

lain-lain, yang bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum di

bidang hukum administrasi. Saat bersentuhan dengan argumentasi

di atas maka apabila kembali mengutip pemahaman dari ahli

hukum E. Utrecht, menyebut Sembilan macam penyelenggaraan

kepentingan kolektif oleh administrasi negara (Pemerintahan),

yang merupakan perbuatan hukum Pemerintahan adalah:145

1. Administrasi Negara sendiri (Pemerintahan);

2. Subyek hukum (badan hukum) lain, yang tidak termasuk

administrasi negara dan yang mempunyai hubungan istimewa

atau hubungan biasa dengan pemerintah. Hubungan istimewa

(khusus) ini diatur oleh hukum publik dan hukum privat

(misalnya pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan asing

berdasarkan undang-undang penanaman modal asing di

Indonesia);

3. Subyek hukum lain, yang tidak termasuk administrasi negara

dan yang menjalankan pekerjaannya berdasarkan konsesi

(consessie) atau ijin (vergunning) dari pemerintah;

4. Subyek hukum, yang tidak termasuk admnistrasi negara dan

yang diberi subsidi oleh pemerintah, misalnya Lembaga

Pendidikan Swasta;

5. Pemerintah bersama-sama dengan subyek hukum lain

(beberapa subyek hukum) yang tidak termasuk administrasi

145 Op.cit E. Utrech II, hlm 68

103

Page 104: II dan III

negara, dan kedua belah pihak itu tergabung dalam bentuk

kerja sama (vorm van samenwerking) tertentu yang diatur

oleh hukum privat, misalnya pemerintahan bergabung dalam

Perseroan Terbatas, yang dewan direksinya ada wakil

pemerintah, atau pemerintah mendirikan Perseroan Terbatas;

6. Yayasan yang didirikan atau diawasi pemerintah;

7. Kooperasi yang didirikan atau diawasi pemerintah;

8. Perusahaan Negara;

9. Subyek hukum lain yang tidak termasuk admnistrasi negara,

tetapi diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi

perundang-undangan).

Agar dapat menjalankan tugasnya, maka administrasi

negara (perbuatan hukum pemerintahan) melakukan bemacam-

macam perbuatan pemerintahan. Perbuatan administrasi negara

(pemerintahan) dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. perbuatan administrasi negara (pemerintahan) berdasarkan

hukum (rechtshandelingen), dan

b. perbuatan administrasi negara (pemerintahan) berdasarkan

fakta atau bukan tindakan hukum (feitelijke handelingen).

Ada juga yang bukan perbuatan hukum Pemerintahan,

misalnya meresmikan pembukaan jalan raya, bandara dan kantor

pemerintahan. Saat ini fokus Keabsahan Perbuatan Hukum

Pemerintahan itu dalam Hukum Administrasi Pemerintahan yang

104

Page 105: II dan III

terkait Tata Usaha Negara dilandasi oleh Pasal 1 ayat (6) dan ayat

(7) UU AP pada prinsipnya yang terpenting adalah perbuatan

Pemerintahan itu berdasarkan hukum (rechtshandelingen). Ada

dua macam pebuatan hukum (administrasi Negara) yakni:

1. perbuatan pemerintahan berdasarkan hukum privat; dan

2. perbuatan pemerintahan berdasarkan hukum publik.

Sedangkan Pekerjaan Administrasi negara atau saat ini

menjadi Perbuatan Hukum Pemerintahan sering mengadakan

perbuatan yang berdasarkan hukum privat, misalnya jual beli

tanah (1457 B.W.), menyewa ruangan/gedung pertemuan (Pasal

1548 B.W.).

Perbuatan administrasi negara berdasarkan  hukum publik

ada dua macam, yaitu:

1. perbuatan hukum publik yang bersegi dua (berbagai pihak)

atau ada persetujuan kehendak antara dua pihak (misalnya

perjanjian kontrak kerja antara perusahaan asing dengan

pemerintah, kontrak kerja menjadi militer/PNS dengan

pemerintah) diatur dengan hukum publik (HTUN) bukan

berdasarkan hukum privat.

2. Perbuatan hukum publik bersegi satu (sepihak) berupa

keputusan/penetapan (beschikking).

istilah “Beschikking” diperkenalkan di Negara Belanda

oleh Van der Pot dan Van Vollenhoven, di Indonesia

105

Page 106: II dan III

diperkenalkan oleh W.F. Prins. Di Indonesia istilah

“beschikking” oleh Koentjoro Purbopranoto menyebutnya

“keputusan”. Penulis dapat menjelaskan bila istilah “keputusan”

berbeda dengan “putusan” karena istilah ini telah digunakan oleh

lembaga peradilan sedangkan istilah lainnya seperti ketetapan

telah digunakan oleh MPR yang berlaku umum. Selain itu

keputusan adalah bersifat khusus, individual dan final.

Perbuatan hukum pemerintahan yang dijalankan

pemerintah atau lembaga eksekutif dalam suatu negara “welfare

state” adalah “bestuurszorg” yaitu menyelengarakan

kesejahteraan umum maka perbuatan pemerintahan atau

administrasi negara melakukan berbagai perbuatan dalam bentuk

membuat peraturan-peraturan yang disebut dengan keputusan

(beschikking).

Salah satu keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan

dalam membuat keputusan ini adalah perbuatan yang khusus

dalam lapangan Pemerintah, seperti halnya membuat undang-

undang adalah perbuatan yang khusus dalam lapangan

perundang-undangan. Sesuai dengan fungsi administrasi negara

yaitu melaksanakan undang-undang, maka keputusan itu juga

pada hakekatnya adalah melaksanakan undang-undang dan

peraturan-peraturan ke dalam suatu hal yang konkrit, ke dalam

kejadian yang nyata tertentu. Dalam Contoh: perbuatan hukum

106

Page 107: II dan III

Pemerintahan (eksekutif) memberikan izin atas rumah tunggal

yang diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki Orang

Asing diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan

dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.

sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015

tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh

Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Menurut penulis

Pemerintah menjalankan sebagaimana Undang-Undang Nomor

25 Tahun 2007 Salah satu bentuk stimulasi dalam meningkatkan

bidang investasi adalah adanya pengaturan dalam bidang

pertanahan. Dalam UUPM tersebut diatur bahwa Hak Guna

Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)

tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka

sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui

selama 35 (tiga puluh lima) tahun; Hak Guna Bangunan dapat

diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara

dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50

(lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)

tahun; dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh

puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di

muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat

diperbarui selama 25 (duapuluh lima) tahun.

107

Page 108: II dan III

Kemudian Pemberian Izin saat ini dengan Surat Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Walikota

atas permintaan A, maka surat izin bangunan (IMB) itu yang

merupakan keputusan Walikota, yang hanya mengikat dan

berlaku terhadap A saja.

Di Negara asing sebagai literatur mengenai Hukum

Administrasi Pemerintahan dan Tata Usaha Negara yang

berbahasa Indonesia ditemukan beberapa macam atau bentuk

“beschikking” (keputusan atau ketetapan) sebagai bahan

perbandingan atas keabsahan perbuatan hukum Pemerintah dalam

administrasi Pemerintahan (rechtshandelingen). Menurut van der

Wel membedakan (macam-macam) keputusan atas:

1. de rechtsvastellende beschikkingen (keputusan deklaratur);

2. de constitutieve beschikkingen, terdiri atas: (1) belastende

beschikkingen (keputusan yang memberi beban); (2)

begunstigende beschikkingen (keputusan yang

menguntungkan); (3) status penetapan status (verleningen);

3. Keputusan penolakan (de afwijzende beschikkingen) menurut

Utrecht di dalam bukunya berjudul “Pengantar Hukum

Administrasi Negara Indonesia” membedakan (macam-

macam) ketetapan, yakni:146

a. Ketetapan Positif dan Negatif

146 Lock cit, E. Utrech II

108

Page 109: II dan III

Ketetapan Positif (Positive beschikking) adalah perbuatan

hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang

dikenai ketetapan; Ketetapan Negatif (Positive

beschikking) ketetapan yang tidak menimbulkan

perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada (tdak

menimbulkan hak dan kewajiban). Ketetapan Negatif

dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa atau

berwenang (onbevoegdverklaring), pernyataan tidak dapat

diterima (een niet ontvankelijkverklaring), atau suatu

penolakan sepenuhnya (een algehele afwijzing);

b. Ketetapan Deklaratoir dan Ketetapan Konstitutif

Ketetapan Deklaratur (Declaratoire beschikking) hanya

menyatakan bahwa yang bersangkutan diberi haknya

menurut ketentuan yang ada atau karena hukumnya

demikian (rechtsvastellende beschikking); Ketetapan

Konstitutif (constitutieve beschikking) adalah

menciptakan atau membuat hukum (rechtscheppend);

c. Ketetapan Kilat dan Ketetapan Tetap (vluchtige en

blijvende beschikkingen) Ketetapan kilat (vluchting)

adalah ketetapan yang hanya berlaku berakibat pada satu

saat yang singkat saja, yakni pada saat ditetapkan. Ada 4

(empat) macam (Prins) yaitu: (1) ketetapan yang bertujuan

mengubah redaksi/teks ketetapan lama; (2) ketetapan

109

Page 110: II dan III

negative, ketetapan yang tidak mengubah sesuatu dan

tidak merupakan halangan untuk melakukan tindakan

apabila dikemudian hari ada perubahan keadaan; (3)

pencabutan atau pembatalan ketetapan terdahulu; (4)

pernyataan pelaksanaan (de uitvoerbaarverklaring),

misalnya menutup jalan raya karena ada perbaikan jalan.

d. Dispensasi, ijin (vergunning), lisensi, dan konsesi; (1)

dispensasi adalah tindakan pejabat aministrasi yang

berwenang (bestuur) yang menghapuskan berlakunya

suatu ketentuan undang-undang terhadap suatu peristiwa

yang khusus (relaxation legis); (2) ijin (vergunning)

adalah ketetapan/tindakan pejabat administrasi yang

berwenang (bestuur) yang memperbolehkan suatu

tindakan yang dilarang oleh ketentuan undang-undang

untuk tujuan khusus, misalnya, ijin pertambangan minyak

bumi kepada PT. Pertamina; ijin Pengangkutan Udara

kepada PT. GIA; (3) lisensi, oleh Prins diartikan sebagai

suatu jin yang memberikan kebebasan untuk menjalankan

perusahaan (bedrijfsvergunning). Lisensi adalah ijin yang

bertujuan komersial atau menambah fiskal dan

mendatangkan keuntungan. (4) konsesi, menurut Prins

“bentuk konsesi se-akan-akan merupakan suatu kombinasi

dari lisensi dan pemberian status (statusverlening) bagi

110

Page 111: II dan III

sebuah usaha yang luas bidangnya dan meliputi “het uit

gebreide regime van rechten en verplichtingen”

(mengandung hak dan kewajiban yang sangat luas).

Hipotesa dari pemaparan di atas pada hakikatnya

merupakan lingkup kewenangan yang menjadi bagian dari

keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan baik menurut regulasi

hukum Administrasi Pemerintahan dan Tata Usaha Negara

sebagai bentuk tindakan Administrasi Negara. Untuk mengukur

keabsahan perbuatan hukum pemerintahan dapat menggunakan 2

(dua) alat ukur yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan, dan/atau

2. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)

Dua alat ukur yang dimaksud diatur dalam Pasal 53 UU

PTUN yang memuat alasan-alasan yang digunakan untuk

menggugat Pemerintah atas dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha

Negara yang merugikan pihak yang terkena Keputusan Tata

Usaha Negara. Adapun Inti dari kedua ketentuan dalam Pasal 53

UU PTUN itu adalah: Orang atau Badan Hukum yang merasa

kepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara

dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang

bewenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara

yang disengketakan yang dinyatakan batal atau tidak sah, dengan

atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pada

111

Page 112: II dan III

ayat (2) mengenai alasan yang dapat digunakan dalam gugatan

dalam melaksanakan tuntutan.

2.4.1.3. Akibat Hukum

Akibat hukum dapat dikatakan sebagai implikasi yang

timbul dari pelanggaran keabsahan perbuatan Pemerintahan.

untuk menciptakan suatu hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir

sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah

sebagai subjek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan

menimbulkan akibat hukum. Tindakan pemerintah berdasarkan

fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum

(feitelijke handeling) adalah tindakan yang tidak ada hubungan

langsung dengan kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat

hukum.

Tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan

kehendak yang muncul dan organ administrasi dalam keadaan

khusus dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam

bidang hukum administrasi negara. Jadi saat ini dapat dikatakan

tindakan hukum pemerintahan apabila tindakan yang dimaksud

dilakukan organ pemerintah (bestuurszorg) dan menimbulkan

akibat hukum khususnya di bidang hukum administrasi

pemerintahan.

112

Page 113: II dan III

Akibat hukum yang timbul tersebut dapat berupa

penciptaan hubungan hukum yang baru maupun perubahan atau

pengakhiran hubungan hukum yang ada. Dengan demikian

tindakan hukum pemerintah di maksud memiliki unsur-unsur

sebagai berikut:147

1. Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam

kedudukannya sebagai penguasa, maupun sebagai alat

perlengkapan pemerintahan (bestuurszorg);

2. Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi

pemerintahan;

3. Tindakan yang dimaksudkan sebagai sarana untuk

menimbulkan akibat hukum (rechtgevolgen) di bidang hukum

administrasi;

4. Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan

kepentingan umum;

5. Tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang

Pemerintah;

6. Tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu

berdasarkan hukum; dan

7. Tindakan Hukum Pemerintah dapat berbentuk tindakan

berdasarkan hukum publik dan berdasarkan hukum privat.

147 H. A. Muin Fahmal: Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, penerbit Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008. hlm. 290

113

Page 114: II dan III

Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum

yang dilakukan oleh penguasa (Pejabat Administrasi Negara)

dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum publik

ini dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat

hukum publik yang hanya dapat lahir dari kewenangan yang

bersifat hukum publik pula. Sedangkan tindakan hukum privat

adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum

keperdataan.

Tindakan Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi

3 (tiga) bagian yakni:148

a. Tindakan membuat Keputusan (beschikking);

b. Tindakan membuat Peraturan (regeling);

c. Tindakan Materiil (materiele daad).

Suatu Keputusan (beschikking) Pemerintah dalam Hukum

Administrasi Negara harus memperhatikan ketentuan atau syarat-

syarat tertentu apabila syarat tertentu dimaksud tidak dipenuhi

berakibat keputusan yang dibuat tidak sah. Oleh karena itu tidak

sahnya suatu keputusan yang dibuat Pemerintah akan berakibat

tidak sahnya tindakan Pemerintah. Tidak sahnya tindakan

pemerintah tersebut pada akhirnya akan berakibat keputusan yang

dibuat batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

148 Ibid, H. A. Muin Fahmal, hlm 291

114

Page 115: II dan III

Begitu pula tindakan pemerintah yang tidak didasarkan

pada suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan

wewenang untuk bertindak adalah sebagai tindakan yang

melanggar hukum. Oleh karena norma wewenang sebagai norma

pemerintahan.

Indikator yang dapat menjadi alat ukur tindakan yang

melanggar hukum dari keabsahan Perbuatan hukum

Pemerintahan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat

itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, Keputusan dimaksud dapat diuji dari;

1. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak

berwenang atau melanggar kewenangan;

2. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan

keputusan Tata Usaha Negara yang diisyaratkan oleh peraturan

perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut

telah ditempuh atau tidak; dan

3. Aspek Substansi/Materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau

penggunaan kewenangan apakah secara materi/ substansi telah

selesai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan

perundang–undangan yang berlaku.

Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu

bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis

115

Page 116: II dan III

menurut penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang

meliputi;

1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,

kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara

Negara;

2. Asas Tertib Penyelenggara Negara, yaitu asas yang menjadi

landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam

pengendalian Penyelenggara Negara;

3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan

kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan

selektif;

4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap

hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,

jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara

dengan tetap penyelenggaraan negara dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,

golongan, dan rahasia negara;

5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan

keseimbangan antara hak ddan kewajiban Penyelenggara

Negara;

116

Page 117: II dan III

6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian

yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap

kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan dan hasil akhir dari

kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat

sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelanggaran terhadap asas-asas umum Pemerintahan yang

baik (AAUPB) dapat dikatakan sebagai akibat hukum termasuk

melakukan penyalahgunaan wewenang dan dikategorikan dalam

ruang lingkup hukum administrasi negara. Penyalahgunaan

kewenangan yang menjadi akibat hukum itu diatur dalam Pasal

mempunyai karakter atau ciri:

1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian

kewenangan;

2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya

dengan asas legalitas;

3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya

dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;

Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit

beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan

117

Page 118: II dan III

memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan

melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de

pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-

asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk

membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan

kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), akibat hukum dari

penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai

tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau

perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap,

gratifikasi dan pemerasan).

2.4.1.4. Kepentingan Hukum

Setiap manusia mempunyai kepentingan. Kata

“kepentingan” ada kalanya berjalan beriringan dalam masyarakat

dan negara. Tetapi tidak jarang kepentingan bertentangan antara

orang satu dengan lainnya dalam konteks interaksi secara umum

bahkan kadang-kadang mengganggu kepentingan seseorang atau

pihak lain. Sehingga disana sini tibul kekacauan yang

mengakibatkan ketidaktentraman ditengah-tengah masyarakat,

hak dan kepentingan seseorang atau pihak yang lemah selalu

terancam oleh pihak golongan yang kuat.

118

Page 119: II dan III

Membahas masalah kepentingan sering pada praktek

ditemui perbuatan aparatur Pemerintahan dalam menjalankan

tugas untuk melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan

masyarakat tidak jarang berlaku sewenang-wenang (willekeur).

Hal ini tentu tidak sesuai keabsahan perbuatan Pemerintahan

menurut ketentuan undang-undang yang berlaku.149

Dengan pengertian bahwa tindakan Pemerintah itu

tidaklah hanya perlu sesuai menurut ketentuan undang-undang

saja tetapi dari itu yakni dasar ataupun asas dibuatnya peraturan

itu adalah guna mendapatkan keadilan dan kemakmuran yang

merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana keadilan tersebut

bukanlah keadilan menurut pihak tertentu atau misalnya bagi

pihak Pemerintah saja sebagai pengusaha, tetapi adalah keadilan

dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Aparat Pemerintahan juga

adalah manusia biasa dimana sudah tentu tidak akan luput dari

kesimpulan-kesimpulan di dalam hal menjalankan atau

melaksanakan ketentuan atau peraturan, maupun didalam

menafsirkan tentang apakah sebenarnya yang menjadi maksud

dan tujuan dibuatnya peraturan atau ketentuan itu sendiri.

Kemudian bila kepentingan-kepentingan sebagaimana

uraian di atas merupakan kategori kepentingan hukum

149 Abdul Wahi Selayan dan Ahmad Fauzi Ridwan, Pengertian Umum, Cet.I. Bab I, Tata hukum Indonesia, Bintang, Medan, 1960. hlm 54.

119

Page 120: II dan III

(rechtsbelang) maka menurut ahli hukum diartikan sebagai segala

kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan

manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun

anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar

tidak dilanggar oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini

ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam

segala bidang kehidupan. Kepentingan hukum itu menurut ahli

hukum Satochid Kartanegara:150

1. Hak-hak (rechten)

2. Hubungan hukum (rechtsbetrekking)

3. Keadaan hukum (rechtstoestand)

4. Bangunan masyarakat (sociale instellingen)

Sedangkan dalam lingkup pemerintahan penulis menilai

kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah tindakan yang

dilakukan baik oleh aparatur Pemerintahan maupun aparatur

penegak hukum bertujuan melindungi hak-hak umum dengan

mengedepankan ketertiban umum menurut keadilan untuk

mewujudkan tujuan hukum yang sesuai aturan hukum positif

yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Penilaian ini sejalan

dengan unsur-unsur kepentingan hukum itu sebagaimana ahli

hukum Satochid Kartanegara:151

150 Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hlm. 275.

151 Ibid, Satochid Kartanegara, hlm 276

120

Page 121: II dan III

1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen)

misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa),

kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak

milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan

nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila.

2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of

maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum

terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu

lintas di jalan raya.

3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya

kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan

negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat,

kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan

wakilnya.

Ketiga poin kepentingan hukum menurut Satochid

Kartanegara dimiliki pula oleh aparatur Pemerintahan yang

berpredikat sebagai alat kelengkapan negara, hak yang sama itu

dapat berupa penerbitan regulasi penerbitan keputusan hingga

pemberian izin dengan demikian segala bentuk perbuatan

Pemerintahan itu dapat dituntut untuk dapat menyerasikan antara

kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut dalam

keputusannya. Suatu keputusan dikatakan tepat, apabila

memperhatikan kepentingan yang paling menguntungan.

121

Page 122: II dan III

Hal ini dapat diketahui melalui ketentuan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU PP), dalam

bagian Pertimbangan dinyatakan: Negara berkewajiban melayani

setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan

kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang

merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas

pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik

merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan

dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang

peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas

hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta

terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam

penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum

yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk

meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan

publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan

korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi

setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan

wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Pasal 1 UU PP dinyatakan Pelayanan publik merupakan

kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan

kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-

122

Page 123: II dan III

undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,

jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh

penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara pelayanan publik

atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara

negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk

berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik,

dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan

pelayanan publik, Atasan satuan kerja Penyelenggara merupakan

pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu

atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik,

Organisasi penyelenggara pelayanan publik atau Organisasi

Penyelenggara merupakan satuan kerja penyelenggara pelayanan

publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara,

korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan

undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan

hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan

publik, Pelaksana pelayanan publik atau Pelaksana merupakan

pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam

organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan

atau serangkaian tindakan pelayanan publik, Masyarakat

merupakan seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk

sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum

yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik,

123

Page 124: II dan III

baik secara langsung maupun tidak langsung, Standar pelayanan

merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas

pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada

masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat,

mudah, terjangkau, dan terukur, Maklumat pelayanan merupakan

pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan

janji yang terdapat dalam standar pelayanan, Sistem informasi

pelayanan publik atau Sistem Informasi merupakan rangkaian

kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi

serta mekanisme penyampaian informasi, bagi kepentingan

hukum masyarakat.

Adapun Pasal 4 yang bersentuhan dengan kepentingan

hukum dalam rangka memperhatikan kondisi publik, adanya

kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan

hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan

dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas,

fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan

waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan

bertujuan merupakan kelanjutan sebagaimana ketentuan dalam

Pasal 3 UU PP merupakan batasan dan hubungan yang jelas

tentang hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh

pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik,

124

Page 125: II dan III

menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang

layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi

yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan

perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam

mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik sebagai

pencerminan kepentingan hukum.

Termasuk tujuan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (17)

UU AP dan dalam Pasal 48 UU PTUN yang konotasinya

menyebutkan:

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang

bersumber dari hak-hak individu.

2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang

didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang

hidup dalam masyarakat tersebut.

Keseluruhan berlakunya regulasi di atas adalah bentuk

keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan dalam menjaga

ketertiban umum dan keadilan dalam mewujudkan kepentingan

hukum kepada publik umumnya dan Pemerintahan pada

khususnya.

2.4.1.5. Penyelesaian Hukum

125

Page 126: II dan III

Adalah upaya-upaya sebagai jaminan dari keabsahan

perbuatan hukum Pemerintahan yang menjadi amanat Pasal 5,

Pasal 6, Pasal 7 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU PP), Keabsahan

perbuatan hukum administratif Pemerintahan yang diwajibkan

oleh negara diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam

rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda termasuk tindakan administratif oleh

instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur

dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan

berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan. Sejalan

dengan maksud Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 huruf a dan huruf b UU

PP, dalam substansi Pasal 1 ayat (16) UU AP juga memberikan

perlindungan akan kepentingan hukum itu, bukti itu menunjukkan

perhatian Pemerintahan dalam menyediakan upaya administratif

apabila terjadi sengketa akibat dikeluarkannya keputusan dan/atau

tindakan yang merugikan publik yang dilakukan di lingkungan

administrasi Pemerintahan.

1. Menurut Undang-Undang Pelayanan Publik, Penyelesaian

Hukum yang ditempuh, adalah:

Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan

pelayanan publik, apabila;

126

Page 127: II dan III

a. penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban

dan/atau melanggar larangan; dan

b. pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai

dengan standar pelayanan.

Pasal 40 UU PP mengenai Pengaduan ditujukan

kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Pengaduan seperti dimaksud diatas diajukan oleh setiap orang

yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa

untuk mewakilinya. Pengaduan tadi dilakukan paling lambat

30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan.

Dalam pengaduannya, pengadu dapat memasukkan tuntutan

ganti rugi. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas

pengadu dapat dirahasiakan.

Pengaduan yang disampaikan secara tertulis harus

memuat:

a. nama dan alamat lengkap;

b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar

pelayanan dan uraian kerugian material atau immaterial

yang diderita;

c. permintaan penyelesaian yang diajukan; dan

127

Page 128: II dan III

d. sesuai Pasal 42 UU PP mengenai tempat, waktu

penyampaian, dan tanda tangan.

Selanjutnya Pasal 43 UU PP dapat diajukan dengan

Pengaduan tertulis yang disertai dengan bukti -bukti sebagai

pendukung pengaduannya. Dalam hal pengadu, membutuhkan

dokumen terkait dengan pengaduannya dari penyelenggara

dan/atau pelaksana untuk mendukung pembuktiannya itu,

penyelenggara dan/atau pelaksana wajib memberikannya.

Pasal 44 Penyelenggara dan/atau Ombudsman wajib

menanggapi pengaduan tertulis oleh masyarakat paling

lambat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan diterima, yang

sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak

lengkapnya materi aduan tertulis tersebut. Dalam hal materi

aduan tidak lengkap, pengadu melengkapi materi aduannya

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

menerima tanggapan dari penyelenggara atau ombudsman

sebagaimana diinformasikan oleh pihak penyelenggara

dan/atau ombudsman. Dalam hal berkas pengaduan tidak

dilengkapi dalam waktu tsb, maka pengadu dianggap

mencabut pengaduannya.

Hal penyelenggara administrasi Pemerintahan

melakukan perbuatan melawan hukum dalam

penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana amanat Pasal

128

Page 129: II dan III

52 sebagaimana diatur dalam UU PP, masyarakat dapat

mengajukan gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan.

Pengajuan gugatan terhadap penyelenggara, tidak menghapus

kewajiban penyelenggara untuk melaksanakan keputusan

ombudsman dan/atau penyelenggara. Pengajuan gugatan

perbuatan melawan hukum tersebut, dilakukan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Di Pasal 53 hal

penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam

penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam

UU PP, masyarakat dapat melaporkan penyelenggara kepada

pihak berwenang.

Sayangnya pelaksanaan pelayanan publik menurut UU

PP masih memiliki beberapa kendala. Kendala itu disebabkan

oleh belum dikeluarkan Peraturan pemerintah mengenai ruang

lingkup, mengenai sistem pelayanan terpadu, mengenai

pedoman penyusunan standar pelayanan, mengenai proporsi

akses dan kategori kelompok masyarakat, mengenai tata cara

pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan

pelayanan publik dan Peraturan presiden mengenai

mekanisme dan ketentuan pemberian ganti rugi.

2. Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila Keputusan Tata Usaha Negara menimbulkan

sengketa antara seseorang atau badan hukum perdata dengan

129

Page 130: II dan III

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka dapat dilakukan

diselesaikan dengan cara sebagai berikut:

1. Upaya Administratif

Upaya Administratif yang disebutkan dalam

penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PTUN, yaitu suatu

prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan

hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu

Keputusan Tata Usaha Negara. Ketentuan dalam Pasal 48

tersebut menentukan:

1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan

peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan

secara administratif sengketa Tata Usaha Negara

tertentu, maka sengketa Tata Usaha negara tersebut

harus diselesaikan melalui upaya administratif yang

tersedia;

2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara

sebagaimana dimaksud ayat (1), jika seluruh upaya

administrasi yang bersengketa telah digunakan.

Adapun maksud alam ketentuan Pasal 48 UU

PTUN mengenai bentuk-bentuk upaya administratif yaitu:

a. Keberatan;

130

Page 131: II dan III

b. Banding Administratif; dan

c. Keberatan dan Banding Administratif.

Untuk tindak lanjut dari upaya administratif Jika

seseorang atau badan hukum perdata masih belum puas

terhadap keputusan upaya administratif yang telah

diajukan:

a. jika dalam peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata

Usaha Negara upaya administratif yang tersedia

adalah keberatan, maka penyelesaian selanjutnya

adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan

Tata Usaha Negara;

b. jika dalam peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata

Usaha Negara upaya administratif yang tersedia

adalah banding administratif atau keberatan dan

banding administratif, maka penyelesaian selanjutnya

adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan

Tinggi Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat

pertama.

2. Dengan Pengajuan Gugatan

131

Page 132: II dan III

Sebagaimana upaya administratif seperti yang teah

dikemukakan, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara

dapat pula dilakukan dengan pengajuan gugatan. Gugatan

tersebut dengan ketentuan tidak ada upaya administratif

yang harus dilalui dalam peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara yang menjadi sengketa. Gugatan juga dapat

dilakukan seseorang atau badan hukum perdata yang

sudah melalui upaya administratif dan sudah mendapat

Keputusan Tata Usaha Negara namun masih merasa

dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara tersebut.

Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN,

menentukan orang atau badan hukum perdata yang

kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata

Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada

Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar

Keputusan Tata Usaha negara yang disengketakan itu

dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai

tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Dan dalam hal ini

juga termasuk gugatan terhadap Keputusan Fiktif Negatif.

Syarat-syarat Gugatan dalam Pasal 56 UU PTUN

menentukan, bahwa gugatan harus memuat, antara lain:

132

Page 133: II dan III

1. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan

pekerjaan penggugat atau kuasanya;

2. Nama jabatan dan tempat kedudukan Tergugat;

3. Dasar gugatan (posita/fundamentum petendi) dan hal

yang diminta (petitum/tuntutan) untuk diputuskan oleh

Pengadilan;

4. Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh

seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai

surat kuasa yang sah;

5. Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan

Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh

penggugat.

Menyangkut tentang surat kuasa yang sah,

walaupun pada prinsipnya yang bersengketa di pengadilan

tata usaha negara adalah para pihak itu sendiri, akan tetapi

sesuai dengan ketentuan Pasal 57 UU PTUN, maka para

pihak masing-masing pihak dapat didampingi oleh

seseorang atau beberapa orang kuasanya.

Tenggang Waktu Gugatan yang Pasal 55 UU

PTUN menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan

dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung

sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan

Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dimaksud terhadap hal

133

Page 134: II dan III

yang hendak digugat itu merupakan keputusan, menurut

ketentuan:

1. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan

puluh) hari dihitung setelah lewatnya tenggang waktu

yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang

terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang

bersangkutan;

2. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan

puluh) hari dihitung setelah lewatnya batas waktu

empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya

permohonan yang bersangkutan;

3. Perhitungan hari yang dimaksud berdasarkan

perhitungan hari kalender dan bukan hari kerja.

Sedangkan jenis-jenis Putusan sesuai ketentuan

Pasal 97 ayat (7) UU PTUN, dapat diketahui Putusan

Pengadilan dapat berupa:

1. Gugatan ditolak;

2. Gugatan dikabulkan;

3. Gugatan tidak diterima;

4. Gugatan gugur.

Kemudian alternatif Perdamaian bagi penyelesaian

sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha

Negara tidak dikenal perdamaian seperti halnya dalam

134

Page 135: II dan III

perkara perdata di Peradilan Umum. Namun jika antara

para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara diluar

pemeriksaan sidang Pengadilan terjadi perdamaian, maka:

1. Penggugat wajib mencabut gugatannya secara resmi

dalam sidang terbuka untuk umum dengan

menyebutkan alasan pencabutannya;

2. Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan,

maka Hakim memerintahkan agar Panitera mencoret

gugatan tersebut dari register perkara;

3. Perintah pencoretan tersebut diucapkan dalam

persidangan yang terbuka untuk umum.

Namun apabila dalam pencabutan gugatan oleh

Penggugat ini terdapat unsur paksaan, kekeliruan atau

tipuan yang dilakukan oleh Tergugat, maka dengan

sendirinya Pengadilan tidak akan mengabulkan

pencabutan gugatan yang akan dilakukan oleh Penggugat.

3. Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan

dibandingkan dengan Undang-Undang Peradilan Tatan Usaha

Negara Berkaitan Penyelesaian Hukum.

Pencerminan dari upaya Administrasi dalam

penegakan hukum administrasi di Indonesia pada prinsipnya

adalah penyelesaian secara damai (kekeluargaan) maupun

135

Page 136: II dan III

musyawarah mufakat dalam hal terjadi sengketa antara

pemerintah dengan warga. Konsep hukum yang bisa

dikatakan masih dirasakan terpengaruh oleh kaidah-kaidah

Hukum Perdata, yang menekankan penyelesaian sengketa

terlebih dahulu diselesaikan dengan mediasi atau sejenisnya

sebelum persoalan tersebut diselesaikan di badan peradilan.

Meskipun dengan argumentasi adanya pertimbangan

menyeluruh terhadap sengketa administrasi menurut Undang-

Undang Dasar 1945, tetap saja merupakan hal yang janggal

bila didasari fakta bahwa hukum administrasi negara adalah

kaidah hukum publik yang harusnya tanpa melakukan

negosiasi.

Dapat dikatakan saat penegakan hukum publik, seperti

tindak pidana korupsi ataupun pelanggaran norma

konstitusional, bisa diselesaikan dengan upaya perdamaian

(kekeluargaan). Dimana marwah negara, pemerintahan atau

bahkan penegak hukum (yudikatif), namun apabila

penyelesaian sebagaimana dimaksud dapat ditempuh

menggunakan jalan musyawarah maka menjadi citra buruk

dalam sisitem hukum di Indonesia.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kaidah upaya

administrasi ditemukan tidak hanya dalam Undang-undang

Peradilan Tata Usaha Negara tapi juga dalam Undang-undang

136

Page 137: II dan III

Administrasi Pemerintahan. Ini termuat dalam Pasal 76 ayat

(3) UU AP, bahwa: “Dalam hal Warga Masyarakat tidak

menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,

Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan”

Klausula tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kritis,

apakah kata “dapat” itu merepresentasikan kaidah imperatif

(keharusan) ataukah kaidah alternatif (pilihan). Kata “dapat”

dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU AP secara filosofis

senarai dengan kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1)

UU PTUN, yang diartikan bahwa orang/badan hukum

perdata, boleh menggugat, boleh juga tidak menggugat.

Namun konotasi terminologi “dapat” di dalam

ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN itu kurang tepat bila

diterapkan dalam kaidah upaya administratif dalam UU AP,

sebab kata “dapat” di dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN lebih

merupakan pilihan tindakan hukum (bersifat alternatif),

sedangkan kata “dapat” di dalam Pasal 75 ayat (1) maupun

Pasal 76 ayat (3) UU AP merupakan kaidah prosedural yang

harus ditempuh (bersifat imperatif atau memaksa). Potensi

pertentangan norma muncul saat Pasal 76 ayat (3) UU AP,

dikonfrontasikan dengan ketentuan pasal 48 jo. Pasal 51 ayat

(3) UU PTUN, sebab bila makna “Pengadilan” dalam

ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU AP tersebut mengacu kepada

137

Page 138: II dan III

Pasal 1 angka 18 Undang-undang Administrasi Pemerintahan,

maka akan terjadi ketidak singkronan makna serta kompetensi

absolut antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Terkait hal ini, dapat sebagai kajian mendalam dengan

memperbandingkan kekhususan dan keumuman Undang-

undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang

Administrasi Pemerintahan, atau memperbandingkan tingkat

lagalitas Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara

dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan sebagai

monitor, adanya penarikan kembali kewenangan (delegasi

maupun mandat) oleh instansi pemberi kewenangan itu,

hendaknya dibatasi secara ketat pelaksanaannya. Hal ini untuk

mencegah inefektivitas pelaksanaan kewenangan maupun

putusan pengadilan, yang mewajibkan badan/jabatan

pemerintahan melaksanakan suatu tindakan/keputusan

administrasi negara.

Keberlakuan secara optimal dari syarat ini pula

merupakan bentuk perlindungan hukum bagi administrasi

negara itu sendiri, sehingga menjadi jelas dan tetap lingkup

tugas pokok dan fungsi, serta pertanggungjawaban yang

mereka lakukan. Sehingga pada akhirnya, asas contrarius

actus dapat tetap diimplementasikan secara konsisten. Antar

138

Page 139: II dan III

UU PTUN, UU AP dan UU PP, yang menurut penulis dalam

menempuh upaya alternatif penyelesaian hukum telah tepat

menggunakan norma UU AP yang bisa ditempuh oleh Warga

Masyarakat sebagai reaksi atas tindakan/keputusan

administrasi pemerintahan.

Suatu norma itu akan menjadi tidak efisien tatkala

proses yang ditempuh oleh pencari keadilan ternyata

memakan waktu yang lebih lama dari penyelesaian sengketa

administrasi sebelum disahkannya UU AP dalam contoh

konkret Antisipasi dari adanya pelangaran hukum disebabkan

Keputusan Tata Usaha Negara yang sering rentan

menimbulkan sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara dengan orang atau badan hukum perdata. Agar

sengketa Tata Usaha Negara tersebut dapat diselesaikan

dengan baik, tentunya diperlukan pemahaman yang utuh dan

menyeluruh tentang Peradilan Tata Usaha Negara termasuk

bagaimana menjalankan proses beracara pada Pengadilan Tata

Usaha Negara.

Objek sengketa yang dapat digugat di Peradilan Tata

Usaha Negara dalam Pasal 1 angka (9) UU PTUN (Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang

perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu

139

Page 140: II dan III

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha

Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang

bersifat konkrit, individual, dan final disertai tindakan yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata. Berdasarkan Pasal 3 UU PTUN, tentang sikap diam

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak

mengeluarkan keputusan yang telah dimohonkan sedangkan

hal itu telah menjadi kewajibannya, maka sikap Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara tersebut disamakan dengan suatu

keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat digugat di

Peradilan Tata Usaha Negara. Maka harus diperhatikan

bahwa setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam

melakukan tindakan hukum diwajibkan bersesuaian dengan

kewenangannya dan bertindak didasarkan pada suatu

peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik.

Terlebih lagi dimungkinkan adanya penarikan

kewenangan antar badan/jabatan administrasi, yang

berpotensi pula menghambat pelaksanaan tindakan/keputusan

administrasi maupun putusan pengadilan terkait

tindakan/keputusan administrasi tersebut. Dalam kaitannya

dengan norma hukum publik, sejatinya keberadaan Upaya

140

Page 141: II dan III

Administrasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa

administrasi adalah kurang tepat, sebab walaupun konsep

yang selama ini hendak dibangun adalah demi kelengkapan

substansi pemeriksaan menurut aspek UUD 1945

(doelmatigheid) dan aspek rechtmatigheid, namun sebenarnya

itu tidak berkesesuaian dengan prinsip hukum sebuah

lembaga peradilan berdasarkan teori pemisahan kekuasaan

dalam trias politica, maupun prinsip tiadanya mediasi

(perdamaian) dan tawar-menawar dalam penegakan hukum

publik.

2.4.2. Perlindungan Hukum

Interaksi antarsubjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau

mempunyai akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum antarsubjek

hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil atau dalam arti

lain setiap objek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan

menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil

sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.

Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk

mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Selain itu

hukum berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum.

Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat

141

Page 142: II dan III

terjadi juga karena pelanggaran hukum.152 Pelanggaran hukum terjadi

ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang

seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain.

Subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan

perlindungan hukum. Hukum yang mengatur hubungan hukum antara

pemerintah dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara

atau hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah

dalam melakukan tindakan hukum tersebut.

Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya, ketika

aparatur pemerintahan melakukan tindakan hukum yang dapat menjadi

peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, dan

melanggar hak-hak warga negara, maka untuk menghindari

penyimpangan dan perbuatan yang melanggar hukum sebagai suatu

kewenangan pejabat Pemerintahan maka perlu dilindungi secara hukum

antara subjek-subjek hukum tersebut, sebab jika citra aparatur

pemerintahan buruk dimata masyarakat atau hilangnya kepercayaan

masyarakat terhadap aparatur pemerintahan maka akan menyebabkan

tindakan-tindakan anarkis dari masyarakat sebagai warga negara kepada

Pemerintahan, ataupun sebaliknya masyarakat perlu perlindungan hukum

dari adanya tindakan sewenang-wenang dari aparatur Pemerintahan yang

dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan menimbulkan

kerugian terhadap negara.

152 Op.cit Ridwan HR, hlm. 266

142

Page 143: II dan III

Adapun bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dimaksud

dikategorikan ke dalam perlindungan hukum yang diberikan bagi aparatur

Pemerintahan diantaranya pejabat Pemerintah dan Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) dan termasuk perlindungan hukum untuk masyarakat.

2.4.2.1. Perlindungan Hukum Untuk Pejabat Pemerintah

Perlindungan hukum terhadap pejabat Pemerintah baik

dari tindakannya karena sebagai bagian dari aparatur

Pemerintahan Negara, dengan dengan mendasarkan pada

makna makna asas Equality Before The Law yang terdapat

dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 melalui kutipan frasa

“.......Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pernyataan

tersebut termasuk di dalamnya pejabat Pemerintah. Apabila

konotasinya terhadap Pemerintah dalam melindungi hak atas

kehidupan pribadi setiap aparatur Pemerintahan, menyangkut

perlindungan hukum terhadap wewenang aparatur

pemerintahan dengan asas subsidiaritas153 yang maknanya

adalah penegakan hukum pidana hanya dilakukan sebagai

upaya penegakan hukum yang terakhir, setelah terlebih dahulu

diupayakan penegakan hukum perdata dan penegakan

administrasi Pemerintahan.

153 Marbun, Rocky, dkk, ‘Kamus Hukum Lengkap’, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2012. hlm. 25.

143

Page 144: II dan III

Sebelum itu perlu ada pernyataan tertulis dari pejabat

instansi terkait melalui konsultasi dan koordinasi dan tidak

dapat ditentukan oleh Penuntut Umum belaka dalam kaitannya

dengan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hingga

termasuk ke dalam ranah hukum pidana yang diatur secara

khusus mengenai korupsi dalam UU Tipikor.

Dalam adanya perlindungan hukum terhadap pejabat

Pemerintah selanjutnya dikenal adanya Dikresi yang artinya

adalah tindakan pejabat pemerintah dalam membuat kebijakan

dari pejabat pemerintah dari pusat sampai daerah yang

memiliki makna eksplisit memberanikan pejabat Pemerintah

melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-

undang, harus memenuhi tiga syarat yakni, 1. Apakah demi

kepentingan umum, 2. Apakah masih dalam batas wilayah

kewenangannya, dan 3. Apakah tidak melanggar Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Ketiga syarat itu harus terpenuhi sebagai tindakan

perlindungan hukum dari tindakan pejabat Pemerintah yang

dikenal dengan kata diskresi dengan pengertian adanya

kebijakan yang diambil pejabat Pemerintah dan apabila

menimbulkan kerugian negara, maka Pengadilan Tata Usaha

Negara dapat menguji diskresi yang diambil selanjutnya bila

PTUN memutuskan diskersi itu salah, dan memiliki indikasi

144

Page 145: II dan III

suatu perbuatan pidana maka dapat diseret ke ranah hukum

pidana. Namun tidak semudah itu untuk menyatakan bahwa

perbuatan pejabat Pemerintah melanggar hukum dan

terindikasi ke ranah hukum pidana, sebab hal ini butuh

pemahaman mendalam mengenai ada atau tidaknya suatu

kesalahan sehingga memenuhi unsur-unsur yang dapat

digolongkan ke dalam ranah hukum pidana atau tidak, untuk

itu dapat dianalogikan terlebih dahulu dengan adanya sebab

yang mungkin dilakukan pejabat Pemerintah disebabkan

adanya niat jahat, yang dapat dikategorikan sebagai

pelanggaran hukum termasuk ke ranah hukum pidana dan

bertentangan dengan ketentuan undang-undang termasuk

KUHP dan UU Tipikor, disisi lain harus pula melihat secara

asas, apakah benar perbuatan pejabat Pemerintah melanggar

hukum dan/atau kepentingan umum bahkan belum tentu

melanggar hukum dan/atau kepentingan umum yang dapat saja

dilakukan tanpa rencana dan itu bukan pelanggaran hukum

apalagi termasuk dalam ranah hukum pidana, maka setelah

berlakunya UU AP dapat digunakan sebagai hukum materiil

yang menjadi panduan untuk para Hakim TUN dan Kepolisian

dalam memeriksa dan memutuskan penyelesaian gugatan

masyarakat kepada pemerintahan atas keputusan dan tindakan

asas pemerintahan. Hal tersebut diberlakukan karena Hakim

145

Page 146: II dan III

TUN dan Kepolisian selama ini memeriksa dan memutuskan

gugatan masyarakat hanya berdasar pada dua hukum, yaitu

yuris prudensi dan asas-asas umum penyelenggaraan

pemerintah yang baik sebagai perkembangan dinamika dalam

proses pemuatan keputusan.

Kelemahan UU PTUN hanya dalam praktek

penyelesaian sengketa “administrasi Pemerintahan” di

Indonesia yang disebabkan ketiadaannya lembaga eksekutorial,

sebagai landasan hukum yang kuat mengakibatkan putusan

PTUN tidak mempunyai daya paksa. Dalam UU PTUN tidak

mengatur mengenai masalah daya paksa putusan PTUN,

sehingga dalam pelaksanaan Putusan TUN benar-benar

tergantung pada itikad baik pejabat TUN dan lembaga negara

tersebut dalam mentaati hukum.

Adapun perlindungan hukum terhadap pejabat

Pemerintah dalam UU AP adalah dalam substansi berdasarkan:

Pasal 6 ayat (1) huruf ‘i” Pejabat pemerintah memiliki hak

memperoleh perlindungan hukum dalam mengambil keputusan

dan/atau tindakan. Kemudian pada Pasal 24 huruf “f” Pejabat

pemerintahan yang menggunakan diskresi harus dilakukan

dengan iktikad baik, yang relevansinya terdapat dalam Pasal 25

ayat (2) menyatakan adanya diskresi harus disetujui atasan bila

menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani

146

Page 147: II dan III

keuangan negara. Akhirnya dapat diberikan sanksi sesuai Pasal

70 ayat (3) Pejabat pemerintah wajib mengembalikan uang kas

negara atas keputusan yang mengakibatkan pembayaran negara

tidak sah.

Hingga ketentuan sanksi Pasal 80 ayat (4) Pejabat yang

membuat keputusan yang menimbulkan kerugian pada

keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak

lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berat

(pemecatan).

Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 87 UU

AP yang dinyatakan: Berlakunya Undang-Undang ini, maka

keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam

UU PTUN harus dimaknai sebagai:

a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;

b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di

lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan

penyelenggara negara lainnya;

c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;

d. bersifat final dalam arti lebih luas;

e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;

dan/atau Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

2.4.2.2. Perlindungan Hukum Untuk Dewan Perwakilan Rakyat

147

Page 148: II dan III

Berkaitan dengan perlindungan hukum untuk pejabat

Pemerintah yang sebagaimana telah dikemukakan di atas,

maka secara jelas dan tegas dalam konstitusi (dalam substansi

UUD 1945) diulaskan pula mengenai pemberian persamaan

perlindungan hukum bagi Dewan Perwakilan Rakyat yang

diamanatkan dalam substansi BAB II mulai dari Pasal 19

sampai dengan Pasal 22B UUD 1945 sebagai kaidah hukum

tertinggi dalam pengaturan lebih lanjut dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap Dewan Perwakilan rakyat

sebagaimana diperkuat melalui paragraf 2 Pasal 73 sampai

dengan Pasal 75 UU MD3 (Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014), Memberikan suatu perlindungan hukum dan kedudukan

yang istimewa bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan

menempatkan lembaga DPR sebagai salah satu lembaga yang

dinilai memiliki perlindungan hukum atas kedudukannya di

atas hukum dan Pemerintahan yang sah dan demokratis, sebab

segala wewenangnya dilindungi secara tertulis dalam undang-

undang.

Sejalan dengan ketentuan di atas, DPR juga diberikan

perlindungan hukum sebagai pejabat negara mengingat

eksistensi Pasal 224 mengenai Hak Imunitas DPR pada intinya

sebagai pemberian kekebalan hukum untuk Dewan Perwakilan

Rakyat yang terdahulu telah dicabut melalui putusan MK

148

Page 149: II dan III

Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD

1945 yang intinya harus mendapat persetujuan Presiden,

namun sejak berlakunya UU MD3 yang baru maka Pasal 224

Hak Imunitas DPR itu dirasakan tidak mengadopsi putusan

MK sehingga tida kekuatan bagi lembaga peradilan untuk

menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam tubuh DPR, hal

mana ditangani secara langsung oleh Mahkamah kehormatan

Dewan (MKD). Selain itu pula Pasal 225 mengenai Hak

Protokoler yang berhak memberikan perlindungan hukum bagi

DPR dalam mengatur mengenai mekanisasi aturan bagi pejabat

Pemerintah yang terkait dengan ketentuan Pasal 226 mengenai

Hak Keuangan dan Administrasi, seluruh substansi tersebut

menunjukkan bentuk pemberian perlindungan hukum yang

diberikan kepada DPR sebagai pejabat negara (dalam hal ini

notabene tiada satu lembaga yang menjadi pengawas terhadap

DPR sebagai lembaga legislatif).

Perlu untuk diketahui adanya perbedaan dimaksud

dengan pejabat negara dan pejabat Pemerintah walaupun telah

dikemukakan pada bagian sebelumnya, digunakan untuk

mempertajam pemahaman terhadap pejabat negara yaitu

149

Page 150: II dan III

pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara

yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya

berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat

Negara adalah DPR, Presiden, dan Hakim. Pejabat-pejabat

tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara.154

Sedangkan pejabat pemerintahan adalah pejabat yang

lingkungan kerjanya berada pada lembaga yang menjalankan

fungsi administratif belaka atau lazim disebut sebagai pejabat

administrasi negara seperti menteri-menteri sebagai pembantu

Presiden, beserta aparatur Pemerintahan lainnya di lingkungan

eksekutif.155

Berlakunya perlindungan hukum terhadap DPR

merupakan pengaturan yang menjamin agar demokrasi tidak

disalahgunakan oleh siapapun, sebab tidak akan ada penguasa

tunggal dalam negara demokratis. Karena, dalam negara

demokratis, satu kekuasaan justru dikontrol oleh kekuasaan

lain. Itulah mekanisme saling kontrol-saling-imbang (checks

and balances).156

Bahwasanya setiap wewenang dibatasi oleh hukum

dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik

dilakukan oleh DPR atau pejabat Pemerintah maupun

154 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2004. hlm 49155 Ibid, Bagir Manan. 156 Denny Indrayana, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011. hlm. 9

150

Page 151: II dan III

dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas

hukum. sehingga secara garis besarnya untuk menciptakan

tertib hukum bagi kebijakan kepada masyarakat (publik).

Sehingga perlindungan hukum kepada DPR

sebagaimana substansi undang-undang yang telah disebutkan

di atas, jelas sebagai tujuan dalam rangka memberikan

perlindungan disatu sisi baik bagi DPR dalam rangka

kepercayaan masyarakat dalam memilih amanat kepada

wakilnya yaitu DPR dalam mewujudkan kesejahteraan yang

menjadi amanat pembukaan UUD alenia ke-IV (empat) dan

akan terhindar dari perlakuan anarkis masyarakat sebagai

warga negara, di sisi lainnya merupakan perlindungan kepada

masyarakat dari adanya perbuatan sewenang-wenang pejabat

Pemerintah ataupun pejabat negara, sebagai satu kesatuan

aparatur Pemerintahan di Indonesia.

2.4.2.3. Perlindungan Hukum Untuk Masyarakat

Ada dua macam perlindungan hukum bagi masyarakat,

yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan

hukum preventif memberikan rakyat kesempatan untuk

mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemeritah mendapat bentuk yang defintif. Artinya

perlindungan hukum preventif ini bertujuan untuk mencegah

151

Page 152: II dan III

terjadinya sengketa, sedangkan represif bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan warga negara

harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah,

yaitu:

a. Karena dalam berbagai hal warga negaradan badan hukum

perdata tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah,

seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk

usaha perdagangan, perusahaan atau pertambangan. Karena

itu warga negara dan badan hukum perdata perlu mendapat

perlindungan hukum.

b. Hubungan antara pemerintah dan warga negara tidak

berjalan dalam posisi sejajar, dan warga negara berada di

pihak lemah dalam hal ini.

c. Berbagai perselisihan warga negara dengan pemerintah

berkenan dengan keputusan, sebagai instrumen pemerintah

yang bersifat sepihak dalam menentukan intervensi

terhadap kehidupan warga negara.

Di Indonesia perlindungan hukum bagi masyarakat

akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan,

tergantung dari instrumen hukum yang digunakan

pemerintah.Instrumen hukum pemerintah yang lazim

digunakan adalah peraturan perundang-undangan dan

152

Page 153: II dan III

keputusan. Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya

peraturan perundang-undangan ditempuh melalui Mahkamah

Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5

ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum

dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang

menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang”.

Terdapat pula dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman yang telah dirubah dengan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, yang berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang

untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-

undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang

atas alasan bertetangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.” Ketentuan yang sama juga terdapat dalam

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2004 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), “Mahkamah

Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya

terhadap peraturan perundang-undangan”.

153

Page 154: II dan III

Dalam rangka perlindungan hukum, terdapat tolok ukur

untuk menguji secara materiil suatu peraturan perundang-

undangan yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang

lebih tinggi dan bertentangan atau tidak dengan kepentingan

umum. Khusus mengenai peraturan perundang-undangan

tingkat daerah, pembatalan sering diartikan dalam pembatalan

secara spontan, yakni pembatalan atas dasar inisiatif dari organ

yang berwenang menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses

peradilan.

Rancangan Perundang-undangan baik yang

dilaksanakan Pemerintah terhadap DPR mempunyai

mekanisme hak uji materil di tingkat pusat, yaitu di tempuh

melalui jalur pemerintahan dalam bentuk penundaan atau

pembatalan, sebelum ditempuh melalui Mahkamah Agung.

Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan

ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu peradilan

administrasi dan upaya administrasif. Ada perbedaan antara

peradilan administrasi dan upaya administratif adalah kata

peradilan menunjukkan bahwa hal ini menyangkut proses

peradilan pada pemerintahan melalui instansi yang merdeka.

Kemerdekaan ini tampak pada hakim administrasi yang

professional, disamping juga kedudukan hukumnya;

pengangkataan untuk seumur hidup, ketentuan mengenai

154

Page 155: II dan III

pengkajian terdapat pada undang-undang, pemberhentian

ketika melakukan perbuatan tidak seronoh-hanya dilakukan

melalui putusan pegadilan. Sifat kedua yang berkenaan dengan

hal ini adalah bahwa instansi ini hanya menilai tindakan

pemerintahan berdasarkan hukum.

Sedangkan upaya administratif berkenaan dengan

proses peradilan di dalam lingkungan administrasi; instansi

upaya administratif adalah organ pemerintahan, dilengkapi

dengan pertanggungjawaban pemerintahan. Dalam hal upaya

administratif ini tindakan pemerintahan tidak hanya dinilai

berdasarkan hukum, namun juga dinilai aspek kebijakannya.

Berdasarkan UU PTUN perlindungan hukum akibat

dikeluarkannya keputusan dapat ditempuh melalui dua jalur,

yaitu melalui upaya administratif dan melalui PTUN. Dalam

Pasal 48 di tegaskan sebagai berikut:

1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang

oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk

menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha

Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut

harus diselesaikan melalui upaya administratif yang

tersedia.

2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sebagaimana

155

Page 156: II dan III

dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang

bersangkutan telah digunakan.

Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding

administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif

yaitu penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh

instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan

keputusan yang disengketakan. Sedangkan prosedur keberatan

adalah penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh

instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha

Negara terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang

berbunyi: “seorang atau badan hukum perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN dapat

mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang

berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang

disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau

tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitas”. Di

dalam Pasal 53 ayat (2) disebutkan mengenai tolok ukur untuk

menilai KTUN yang digugat di PTUN, yaitu sebagai berikut:

1. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Badan atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan

keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah

156

Page 157: II dan III

menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud

diberikannya wewenang tersebut.

3. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau

tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua

kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu

seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan

tersebut.

Berdasarkan UU PTUN, alasan mengajukan gugatan

yang terdapat pada Pasal 53 ayat (2) ini ada perubahan, yaitu:

Alasan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:

1. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan

asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Perubahan Pasal 53 ayat (2) ini memiliki konsekuensi:

1. Pengakuan eksistensi asas-asas umum pemerintahan yang

baik (AAUPB) dalam sistem peradilan administrasi di

Indonesia.

2. Ada perluasan alasan mengajukan gugatan ke PTUN. Asas

larangan penyalahgunaan wewenang dan asas larangan

sewenang-wenang merupakan bagian dari AAUPB.

157

Page 158: II dan III

Menurut Sjachran Basah157, perlindungan hukum dan

penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non untuk

merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk

membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan

tujuan kehidupan bernegara.

2. Integratif, sebagai Pembina kesatuan bangsa

3. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan,

keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara

dan bermasyarakat.

4. Perfektif, sebagai penyempurna.

5. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik

administrasi Negara maupun warga apabila terjadi

pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan

keadilan.

Saat ini keberlakuan UU AP telah melengkapi

konstilasi hukum Administrasi Negara yang memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat dari pelanggaran

hukum perbuatan aparatur Pemerintahan, diantaranya

mengenai pelaksanaan eksekutorial dari putusan PTUN

Dengan demikian, apabila pejabat Pemerintah dan/atau Negara

157 Sjachran Basah, dalam Ridwan HR (Hukum Administrasi Negara). hlm. 291

158

Page 159: II dan III

melanggar ketentuan Pasal 48 UU PTUN yang substansinya

telah berlaku pula dalam Pasal 24 huruf f dan Pasl 25 ayat (2)

dapat dikenai sanksi administratif sebagaimana ketentuan Pasal

80 ayat (4) dan Pasal 87, baik dengan sanksi ganti rugi, dan

upaya paksa oleh peradilan TUN dikarenakan bila tindakan

atau keputusannya pejabat Pemerintah tidak berdasar asas-asas

tata kepemerintahan yang baik.

Dengan ketentuan UU AP secara signifikan telah

mendorong upaya menjadikan administrasi Pemerintahan di

Indonesia memenuhi syarat-syarat birokrasi modern.

Berkenaan dengan pemisahan status antara instansi pemerintah

dan instansi negara, pemisahan negara dan pemerintah,

netralitas negara dan lembaga negara, serta memperkuat

perlindungan masyarakat bila berhadapan dengan administrasi

pemerintahan.

Akhirnya dari keseluruhan pemaparan kajian diambil

suatu simpulan dengan menggunakan matriks mengenai

persamaan dalam hukum dan pertanggungjawaban hukum

menurut regulasi dari ketentuan-ketentuan yang telah ada,

sehingga dapat mengatur tertib kinerja pejabat Pemerintah

maupun pejabat negara yang memiliki kecenderungan

berakibat merugikan perekonomian negara dan masyarakat,

sehingga perlu memperhatikan makan dalam asas-asas umum

159

Page 160: II dan III

pemerintahan yang baik sebagai substansi yang tercantum

dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi

Kolusi dan Nepotisme dalam melaksanakan tanggungjawabnya

sebagai pelaksana penyelenggara negara.

Sehingga tidak terjadi perbuatan Pemerintah sebagai

suatu benturan dari adanya kepentingan-kepentingan tertentu

yang berakibat dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang

dalam menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan jika terjadi

demikian maka dapat diberikan gagasan dengan sebuah upaya

paksa seperti yang terdapat dalam lingkup perdata sebagai

ultimum remedium dalam merealisasikan eksekusi dari putusan

PTUN tersebut bahkan bila dalam ranah pidana dapat

dilakukan diajukan sebagai premium remedium apabila unsur-

unsur kejahatan dan adanya niat telah sesuai dengan bukti atas

kesalahan yang dilakukan pejabat Pemerintah dan Pejabat

Negara agar keadilan dapat tercapai dan perlindungan hukum

terhadap masyarakat dapat terwujud, penting kiranya dalam

memahami adanya perbaikan terhadap kualitas hati nurani

sebab amanat yang dipercayakan masyarakat sebagai warga

negara dalam memilih wakil-wakilnya dengan keseriusan,

walaupun konteksnya tidak berdasarkan pemahaman uji

kriteria dan hanya sebatas menyukai terhadap profil atau figur

160

Page 161: II dan III

wakil-wakil yang duduk di lembaga Pemerintahan, kelemahan

ini merupakan kelemahan dalam penyelenggaraan di Indonesia,

sebab masyarakat tidak mungkin berfikiran negatif walaupun

perbuatan aparatur Pemerintahan tidak jarang yang cenderung

bertindak menyalahgunakan wewenangnya sendiri, oleh karena

itulah banyak regulasi yang mengaturnya sebagaimana

digambarkan dalam matrik substansi dari regulasi-regulasi

yang mengatur perbuatan aparatur Pemerintahan dalam Hukum

Administrasi Negara berikut:

Tabel 1

Matrik Substansi Regulasi Hukum Administrasi Negara

UUD 1945 UU MD3 UU AP UU PTUN UU PPPersamaan Hak Pasal 27 ayat (1) dan Kekuasaan Pemerintah Negara Bab III-Bab VIPasal 4 s/d Pasal 18

Perlindungan HukumPasal 1 ayat (16), ayat (18),Pasal 6 ayat (1) huruf “i”Pasal 24 huruf “f”Pasal 25 ayat (2)

Perlindungan HukumPasal 48 ayat (1),Pasal 53 ayat (1)

Perlindungan Hukum

Pasal 1 ayat (9),ayat (17), Pasal 3, Pasal 4,

Penyelesaian hukum danPemberian sanksi

Pasal 70 ayat (3),Pasal 76 ayat (3),Pasal 80 ayat (4) memperhatikan Pasal 87

Penyelesaian hukum danSyarat Gugatan

Pasal 3 ayat (2)Pasal 53 ayat (1)Pasal 55, Pasal 56,Pasal 57.

Penyelesaian Hukum

Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 huruf a dan b.

Jenis-jenis PutusanPasal 97 ayat (7)

Pengaduan Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44

Pengajuan GugatanPasal 52,

161

Page 162: II dan III

Pejab

Pemerintah

Pasal 53

DPR

Persamaan Hak Pasal 27 ayat (1)

Mengenai DPRBab VII Pasal 19 s/d Pasal 22

Perlindungan Hukum Paragraf 2 Pasal 73,s/dPasal 75Perlindungan Hukum Pasal 224, Hak ImunitasPasal 225, Hak ProtokolerPasal 226, Hak Keuangan dan Administrasi

Masyarakat

Persamaan HakPasal 27 ayat (1)

Pasal 24 huruf “f”Pasal 25 ayat (2)Pasal 48,Pasal 53 ayat (1), (2), (3), Pasal 80 ayat (4).

SDA

2.5. Teori Pertanggungjawaban Hukum

Roscoe Pound melihat lahirnya pertanggungjawaban tidak saja karena

kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindakan, tetapi juga karena suatu

kesalahan. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam

kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah

hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung

jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter

hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,

kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan

undang-undang.158

158 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari edisi yang diperluas oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 90

162

Page 163: II dan III

Sedangkan Accountability (Akuntabilitas) merupakan sisi-sisi sikap dan

watak kehidupan manusia yang meliputi sikap internal dan eksternal seseorang

makna yang berbeda dengan Responsibility berarti hal yang dapat

dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,

ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung

jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan

penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum,

yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,

sedangkan istilah responsibility merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia.

Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan

bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu

keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung

jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan

atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran

intelektualnya159. Sebagai contoh menunjuk pada pertanggungjawaban politik160.

2.5.1. Responbility

Istilah pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab.

istilah ”responsibility” ditujukan bagi adanya indikator penentu atas

lahirnya suatu tanggungjawab, yakni suatu standard yang telah ditentukan

terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati, serta saat

lahirnya tanggungjawab itu dalam arti responsibility menunjukkan suatu

159 Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.

160 Op.cit Ridwan H.R, hlm. 335-337.

163

Page 164: II dan III

standard perilaku dan kegagalan memenuhi standard itu dan Hal tersebut

dikarenakan akuntabilitas tidak hanya dititik beratkan pada pemenuhan

kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturan-aturan

standard yang telah ditentukan (responsibility), dan juga tidak hanya

dititik beratkan pada pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan

dari tidak terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan,

melainkan suatu bentuk pertanggungjawaban secara keseluruhan yang

harus dilakukan oleh pengemban tanggungjawab tersebut.

Tanggungjawab dalam arti responsibility dititik beratkan pada

pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi

aturan-aturan standard yang telah ditentukan. Menurut teori yang

dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo mengenai Tanggungjawab dalam

arti responsibility adalah yang menilai suatu tanggungjawab yang berlaku

antara bawahan dan atasan.161

2.5.2. Accountability

Pertanggungjawaban (accountability) merupakan suatu istilah

yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah

digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan

dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembanganya akuntabilitas

digunakan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi

161 Prajudi Atmosudirjo, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision Making, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 281.

164

Page 165: II dan III

ekonomi program. Usaha-usaha tadi berusaha untuk mencari dan

menemukan apakah ada penyimpangan atau tidak, efisien atau tidak, dan

prosedur-prosedur manakah yang tidak diperlukan. Akuntabilitas

menunjuk pada pada institusi tentang “cheks and balance” dalam sistem

administrasi.162

Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe. Jabra

dan Dwi Devi sebagaimana dijelaskan oleh Sadu Wasistiono

mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas, yaitu:163

1. akuntabilitas administratif atau organisasi adalah

pertanggungajawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit

bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.

2. akuntabilitas legal, akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik

dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif. Bentuknya dapat

berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah diambil oleh pejabat

publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi yudikatif.

Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan perundang undangan

yang berlaku.

3. akuntabilitas politik, dalam tipe ini terkait dengan adanyakewenangan

pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas

dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamin adanya kepatuhan

melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal. Akuntabilitas 162 Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada

Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hlm. 148163 Sadu Wasistiono, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance,

dalam Syamsudin Haris (Ed.),Desentralisasi & Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005 hlm 7

165

Page 166: II dan III

ini memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh

administrasi publik.

4. akuntabilitas profesional,hal ini berkaitan dengan pelaksanaan kinerja

dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang

profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek

kualitas kinerja dan tindakan.

5. akuntabilitas moral. Akuntabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang

berlaku di kalangan masyarakat. Hal ini lebih banyak berbicara

tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan

oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif berdasarkan ukuran

tata nilai yang berlaku setempat.

Accountability merupakan sebuah prinsip dari konsep good

corporategovernance, yaitu sebuah konsep tata kelola pemerintahan baru

yang diadopsi oleh berbagai negara berkembang di dunia sebagai salah

satu prinsip dari konsep good corporategovernance. Kaihatu

mendefinisikan akuntabilitas sebagai sebuah kejelasan fungsi, struktur,

sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan

perusahaan terlaksana secara efektif. Penerapan konsep ini semata-mata

untuk meningkatkan kinerja perusahaan melalui supervisi atau

pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen

terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan

166

Page 167: II dan III

dan peraturan yang berlaku sebagai salah satu aspek dari administrasi

publik atau pemerintahan.

2.5.3. Liability

Istilah Pertanggungjawaban ”liability” menurut Pinto mempunyai

pengertian lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat

kegagalan untuk memenuhi standard tersebut, dan bentuk tanggungjawab

diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat

dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Secara terminologi liability lebih

menunjukkan kepada kerusakan atau kerugian yang timbul sebagai akibat

kegagalan di dalam memenuhi standard dimaksud, termasuk pula dalam

hal ini untuk pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan.164

Tanggungjawab liability menunjukkan tanggungjawab hukum

atau tanggungjawab gugat, seperti halnya penyelesaian perkara melalui

pengadilan (hukum) liability, dititik beratkan pada kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan kerugian yang diakibatkan dari tidak

terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan.

164 S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan Di Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1980. hlm. 61

167

Page 168: II dan III

BAB III

PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT PEMERINTAHAN

DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PEMERINTAHANDAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

3.1. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Regulasi

Penentuan konsep dan parameter unsur “penyalahgunaan kewenangan”,

menjadi sebuah permasalahan yang menimbulkan terjadinya keragaman

penafsiran putusan pengadilan mengenai konsep dan parameter unsur “melawan

hukum” dan unsur “penyalahgunaan kewenangan” karena tidak adanya batasan

yang jelas. Secara substansial dapat berpedoman pada asas spesialitas

(specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki

168

Page 169: II dan III

tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan

penyalahgunaan kewenangan “detournement de pouvoir”. Parameter peraturan

perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik

dipergunakan untuk membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan

kewenangan.

Penyalahgunaan wewenang baru dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan

aparatur Pemerintahan apabila telah direalisasikan dalam bentuk yang telah

direalisasi setelah memiliki keabsahan dari program perencanaan contohnya

mengeluarkan pembuatan produk hukum, penerbitan kebijakan-kebijakan,

pemberian keputusan-keputusan serta termasuk pembangunan-pembangunan

sarana dan prasarana atau pembangunan infrastruktur Pemerintahan. Dari adanya

tindakan tersebut dapat berimplikasi terhadap kerugian negara atau

perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan

pemerasan), Terdakwa mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan

perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela. Khusus terhadap pasal-pasal

sebagai substansi regulasi-regulasi diantaranya seperti UUD 1945 KUH Pidana,

KUH Perdata penyimpangan terhadap ranah hukum administrasi negara seperti

UU AP (Administrasi Pemerintahan), UU PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara),

UU PP (Pelayanan Publik), UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), yang

menyangkut penyelenggaraan administrasi negara yang dapat diprediksi adanya

bentuk-bentuk penyalahgunaan kewenangan.

3.1.1. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi

169

Page 170: II dan III

Munculnya istilah penanganan tindak pidana korupsi bermula

hanya melalui ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Peperpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang mengisi

kekosongan hukum pada saat itu dan di sebut dengan Peraturan

Pemberantasan Korupsi 1960 sebagai dasar hukum yang berfungsi

sebagai perangkat hukum pidana tentang korupsi yang menggantikan

Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat (KAS-AD) Nomor:

Prt/Peperpu/013/1858. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 akhirnya

menetapkan Peperpu Nomor 24 Tahun 1960 menjadi Undang-Undang

Nomor 24/Prp/1960, undang-undang ini merupakan undang-undang

hukum pidana khusus pertama di Indonesia tentang tindak pidana korupsi

yang bersifat definitif, yang pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan

“undang-undang anti korupsi”. Pada tanggal 29 Maret 1971 diundangkan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960.

Pada tanggal 16 Agustus 1999 Pemerintah kembali mencoba

menyempurnakan undang-undang tindak pidana korupsi yang telah ada

sebelumnya dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang akhirnya pada

tanggal 21 Nopember 2001 diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).

170

Page 171: II dan III

Batasan terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang tersebut

diklasifikasikan sebagai perbuatan “melawan hukum” apabila perbuatan

tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (melawan

hukum formil) atau bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan

masyarakat (melawan hukum materiil). Sedangkan mengenai unsur

“penyalahgunaan kewenangan”, berdasarkan kajian baik terhadap

UUPTPK maupun doktrin hukum pidana, sama sekali tidak terdapat

definisi atas konsep penyalahgunaan kewenangan beserta parameter yang

dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian apakah suatu perbuatan

dapat dikategorikan sebagai “penyalahgunaan kewenangan” atau bukan.

Pencantuman kedua unsur, melawan hukum dan penyalahgunaan

kewenangan dalam UU PTPK menimbulkan ketidakjelasan dalam

menentukan konsep dan parameter unsur “penyalahgunaan kewenangan”.

Penilaian sah tidaknya suatu keputusan tata usaha negara dalam hukum

administrasi dilakukan dengan penelaahan terhadap keterkaitan peraturan

perundang-undangan (gelede of getrapt normstelling) atau norma

berjenjang.165

Sedangkan dalam hukum pidana, penentuan apakah suatu

perbuatan merupakan perbuatan pidana atau bukan, harus didasarkan pada

asas legalitas. Tidaklah tepat apabila menyatakan suatu perbuatan patut

dipidana dengan mendasarkan pada perbuatan yang melanggar peraturan

165 Philipus M. Hadjon et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cetakan VIII, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm 55.

171

Page 172: II dan III

perundang-undangan, yang lebih tepat adalah melanggar undang-undang

dan peraturan daerah (Vide : Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).166 Adapun

spesifikasi penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi itu

memiliki ciri yaitu:

1. Melanggar dari tujuan pemberian kewenangan yang dimaksud

Pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada

pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan

maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan

kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan maksud”

diberikannya kewenangan tersebut.

Mengenai penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau

pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan

maksud” dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi

Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan

(detournement de power).

2. Melanggar dari tujuan asas legalitas

Asas legalitas menjadi amanat Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana

yang merupakan salah satu prinsip utama dan dijadikan dasar dalam

setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum

kontinental. Pada negara demokrasi tindakan pemerintah harus

166 Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2009, hlm. 96 – 97.

172

Page 173: II dan III

mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam

undang-undang.

3. Melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik

Asas-asas hukum yang dipakai untuk menilai kekuasaan bebas

atau kekuasaan diskresi tersebut masih dalam koridor

“rechtmatigheid” atau dengan berpedoman pada “Algemene

Beginselen van Behoorlijk Bestuur” (ABBB), dalam kepustakaan

Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang

Baik”.

Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan

Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

asas-asas: (1). Asas Kepastian Hukum; (2). Asas Tertib

Penyelenggaraan Negara; (3). Asas Kepentingan Umum; (4). Asas

Keterbukaan; (5). Asas Proposionalitas; (6). Asas Profesionalitas; (7).

Asas Akuntabilitas.

Mengutip pemikiran menurut Phlipus M. Hadjon yang

mengemukakan bahwa cacat yuridis salah suatu wewenang seperti

keputusan dan/atau tindakan pejabat Pemerintahan pada umumnya

menyangkut tiga unsur utama, yaitu:167

1. unsur kewenangan;

167 Philipus M. Hadjon dalam Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan Pertama, LaskBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008. hlm 100.

173

Page 174: II dan III

2. unsur prosedur; dan

3. unsur substansi,

Jika ketiga unsur di atas dilanggar, maka menyebabkan cacat

yuridis tindakan penyelenggara negara dan terklasifikasi sebagai tindakan

yang memiliki indikasi cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat

substansi, secara masif dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan

wewenang. Dengan demikian bila penyalahgunaan wewenang dalam

tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 3 UU PTPK, yang dirumuskan

secara formil dan materiil.

Pemahaman akan makna “melanggar hukum” dalam ranah hukum

perdata disebut onrechtmatigedaad, sedangkan “melawan hukum” dalam

ranah hukum pidana disebut wederrechtelijkheid. Dalam konteks ini

unsur “melawan hukum” dimaksud adalah (wederrechtelijkheid), khusus

dalam ranah hukum pidana yang dibatasi oleh asas legalitas, sedangkan

“melanggar hukum” (onrechtmatigedaad) mempunyai cakupan yang

lebih luas, tidak terbatas pada “written law” tetapi juga “unwritten law”

atau“the living law”.168

Sebenarnya dalam ranah hukum privat penyalahgunaan

kewenangan merupakan salah satu bentuk onrechtmatigedaad.

Penyalahgunaan kewenangan merupakan “species” dari “genus” perdata

(onrechtmatigedaad). Unsur “menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

168 Ibid. Sadjijono. hlm 100.

174

Page 175: II dan III

kedudukan” dan unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang

lain atau suatu korporasi” adalah bagian inti delik (bestanddelen delict)

karena tertulis dalam rumusan delik, oleh karenanya menjadi elemen

delik. Berbeda halnya dengan unsur “melawan hukum” (wederrechtelijk),

tidak secara ekplisit ditentukan sebagai unsur delik dalam Pasal 3 UU

PTPK, namun meskipun tidak secara ekplisit ditentukan dalam rumusan

delik, unsur “melawan hukum”, tersebut tetap ada secara diam-diam,

sebab terhadap suatu delik pasti selalu terdapat unsur “melawan hukum”.

Berikut ini akan diuraikan secara lebih rinci terhadap masing-masing

unsur Pasal 3 UU PTPK.

1. Unsur Setiap Orang

Subyek hukum tindak pidana dalam rumusan Pasal 3

UUPTPK disebutkan sebagai setiap orang, yang oleh Pasal 1 butir 3

UUPTPK ditegaskan terdiri atas orang pribadi dan suatu korporasi,

namun demikian karena korporasi merupakan subyek hukum

rechtspersonen yang tidak mungkin memiliki jabatan atau kedudukan

seperti halnya subyek hukum orang (natuurlijke personen), menurut

Adami Chazawi, korporasi tidak mungkin dapat menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan, mengingat hal itu tidak dimilikinya.169

169 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Ke-II, Bayumedia, Malang (JATIM). 2005. hlm 49.

175

Page 176: II dan III

Subyek hukum yang dapat memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah

subyek hukum orang. Berbeda halnya dengan tindak pidana

memperkaya diri yang dirumuskan dalam Pasal 2 UU PTPK yang

dapat dilakukan oleh suatu korporasi, jadi tidak semua tindak pidana

korupsi dalam UU PTPK dapat dilakukan oleh suatu korporasi,

meskipun secara tegas Pasal 1 butir 3 UU PTPK menyebutkan bahwa

setiap orang itu meliputi orang pribadi dan korporasi.

Penggunaan yang lazim dipakai dalam perundang-undangan

pidana berlandaskan payung hukum KUHP adalah kata “barangsiapa”

(teks KUHP, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), yang merupakan salinan dari

kata “Hij, die” (vide: Wet Boek van Strafrecht), yang memberikan

pengertian bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” atau

“barangsiapa” ialah “orang” atau “orang-orang” yang apabila “orang”

atau “orang-orang” tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur delik

yang diatur dalam pasal yang disangkakan/didakwakan kepadanya,

maka “orang” atau “orang-orang” itu disebut sebagai “pelaku” atau

“pembuat dari delik” tersebut (dader or doer van strafrecht), namun

demikian ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP menegaskan: “Tiada

dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak

dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna

akalnya atau sakit berubah akal”. Ketentuan ini memperjelas bahwa

“orang/orang-orang” yang dapat disebut sebagai pelaku adalah bukan

176

Page 177: II dan III

“orang/orang-orang” yang cacat jiwa dalam tubuhnya (gebruik leige

ont wikkeling) atau terganggu karena penyakit (zeekelijke storing).

2. Unsur Perbuatan Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau

Orang Lain atau Suatu Korporasi

Unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam pasal ini adalah

sama pengertian dan penafsirannya dengan “menguntungkan diri

sendiri” yang tercantum dalam Pasal 378 KUHP, meskipun tidak ada

unsur “melawan hukum”, akan tetapi unsur tersebut ada secara diam-

diam, sebab terhadap suatu delik selalu ada unsur “melawan hukum”,

sedangkan pengertian “menguntungkan diri sendiri dengan melawan

hukum” berarti menguntungkan diri sendiri tanpa hak.

Unsur “tujuan (doel)” tidak berbeda artinya dengan “maksud”

atau “kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk)” atau

“kesengajaan” dalam arti sempit sebagaimana dimaksud dalam Pasal

368 KUHP, 369 KUHP dan pasal 378 KUHP. Unsur “orang lain”

meliputi istri, anak, cucu dan kroni-kroninya, sedangkan unsur

“korporasi” adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum. Korporasi ini suatu kegiatan ekonomi yang luas, baik untuk

tujuan tertentu ataupun tujuan keuntungan.

Delik inti dari Pasal 3 UU PTPK adalah “menyalahgunakan

kewenangan”. Suatu dakwaan tindak pidana yang dikaitkan dengan

unsur ataupun elemen “kewenangan” atau “jabatan” atau

177

Page 178: II dan III

“kedudukan”, maka dalam mempertimbangkannya tidak dapat

dilepaskan dari aspek hukum administrasi negara yang

memberlakukan prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability

jabatan), yang harus dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban

pribadi (liability pribadi) dalam hukum pidana.170 Pengertian

“menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana (khususnya

dalam tindak pidana korupsi) tidak memiliki pengertian yang bersifat

eksplisitas, oleh karena itu diperlukan pendekatan ekstensif.

Mengutip sebuah doktrin tentang kajian “De Autonomie ven het

Materieele Strafrecht” yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen

yang terjemahan bebasnya adalah “Otonomi dari Hukum Pidana

Materiil”, intinya untuk mempertanyakan apakah ada harmonisasi

atau disharmonisasi antara pengertian yang sama baik khusus dalam

ranah hukum pidana atau pada ranah hukum perdata dan hukum tata

usaha negara sebagai suatu cabang ilmu hukum lain.

Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah

peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar

belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu

keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur

“menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan

dasar (legalitas) mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan

organisasi dan tata kerja. Perbedaan antara penyalahgunaan

170 Putusan Badan Peradilan, Varia Peradilan, No. 223 Th. XIX. April 2004, hlm. 4.

178

Page 179: II dan III

wewenang, bertentangan dengan undang-undang dan tindakan

sewenang-wenang adalah penyalahgunaan wewenang yang

parameternya atau tolok ukur pengujiannya bertumpu pada asas

spesialiteit atau menurut Prof. Tatiek Djatmiati menggunakan istilah

legalitas substansi yang lebih dikenal dengan asas doelmatigeheid;

a. Bertentangan dengan perundang-undangan, terbagi menjadi tiga,

yaitu bertentangan dengan perundangan-undangan yang bersifat

prosedural atau formal; bertentangan dengan perundangan-

undangan yang bersifat materiel/substansial;

b. Bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

tidak berwenang;

Tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang

mengesampingkan fakta-fakta yang relevan yang telah diverikasi

olehnya dalam melaksanakan wewenangnya serta tidak mencocokan

fakta tersebut dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur wewenang yang dimilikinya tersebut.

Substansi UU PTPK memberikan contoh seperti dalam Pasal

12 huruf “e” apabila relevansinya diklasifikasikan ke dalam

pengertian unsur melawan hukum meliputi melawan hukum formil

dan melawan hukum materiil meliputi:

1. Unsur menyalahgunakan wewenang berupa adanya kesempatan

atau adanya peluang dan tersedianya waktu yang cukup dengan

179

Page 180: II dan III

sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan tertentu. Orang yang

karena memiliki jabatan atau kedudukan, karena jabatan atau

kedudukannya tersebut mempunyai peluang atau waktu yang

sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu

berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu, apabila peluang yang

ada itu dipergunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak

seharusnya dilakukan dan justru bertentangan dengan tugas

pekerjaannya dalam jabatan atau kedudukan yang dimilikinya

disinilah terdapat penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau

kedudukan.

2. Perbuatan menyalahgunakan sarana karena jabatan atau

kedudukan terjadi apabila seseorang menggunakan sarana yang

ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan-

tujuan lain di luar tujuan yang berhubungan dengan tugas

pekerjaan yang menjadi kewajibannya.

3. Maksud “yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tiada

lain adalah kewenangan, kesempatan dan sarana karena jabatan

atau kedudukan yang dipangku seseorang, jadi antara keberadaan

kewenangan, kesempatan dan sarana dengan jabatan atau

kedudukan haruslah ada hubungan sebab-akibat (causal), oleh

karena memangku jabatan atau kedudukan, mengakibatkan

seseorang mempuyai kewenangan, kesempatan dan sarana yang

timbul dari jabatan atau kedudukan tersebut, jika jabatan atau

180

Page 181: II dan III

kedudukan itu lepas maka kewenangan, kesempatan dan sarana

juga akan hilang, dengan demikian sangat tidak mungkin ada

penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana karena

jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimiliki lagi.

4. Menyebabkan timbulnya kerugian negara, apabila secara logika

(menurut akal sehat) suatu perbuatan ditafsirkan akan dapat

menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut

dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, mengenai ada

atau tidaknya kerugian negara tidaklah diartikan sebagai suatu

unsur dari rumusan pasal, tetapi penelitian mengenai ada atau

tidaknya kerugian negara hanyalah sebagai salah satu faktor yang

menentukan ada atau tidaknya sifat melawan hukum secara

materiil dari perbuatan si pelaku. Pembuktian tentang kerugian

negara tergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisa

dan menilai aspek-aspek yang menyertai atau ada di sekitar

perbuatan dalam rangkaian peristiwa yang terjadi. Penjelasan

umum UU PTPK menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

“keuangan negara” adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk

apapun, baik yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,

termasuk segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan

kewajiban yang timbul karena:

181

Page 182: II dan III

a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan

pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat

pusat maupun daerah ;

b. berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,

yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan

modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara, jadi

singkatnya keuangan negara adalah kekayaan negara dalam

bentuk apapun, termasuk hak-hak dan kewajiban,171 sedangkan

yang dimaksud dengan “perekonomian negara” adalah

kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama

berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat

secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah,

baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

bertujuan untuk memberikan manfaat, kemakmuran dan

kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Bila kembali merujuk mengenai penyalahgunaan kewenangan

yang diatur dalam Pasal 3 UUPTPK masih terdapat tiga bentuk

penyalahgunaan lain yang menjadi substansi dalam UU PTPK, antara

lain adalah: tindak pidana penyuapan, tindak pidana gratifikasi dan

tindak pidana pemerasan. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi

171 Op.cit., Adami Chazawi, hlm. 47

182

Page 183: II dan III

tersebut masing-masing diatur tersendiri dalam Pasal UU PTPK. bagi

tindak pidana korupsi suap ini, salah satunya diatur dalam Pasal 5 UU

PTPK dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit

Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp

250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta Rupiah), baik terhadap

pemberi suap maupun terhadap penerima suap.

Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 huruf “b” UU PTPK.

Gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 (Sepuluh juta Rupiah)

atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan

suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, sedangkan yang nilainya

kurang dari Rp 10.000.000,00 (Sepuluh juta Rupiah), pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penuntut

umum.

Ancaman pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang menerima gratifikasi berhubungan dengan jabatannya

dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp 200.000.000,00 (Dua ratus juta Rupiah) dan paling banyak

Rp 1.000.000.000,00 (Satu miliar Rupiah).

Pada hakekatnya, gratifikasi adalah pemberian kepada

pegawai negeri/penyelenggara negara dan bukan merupakan suap.

183

Page 184: II dan III

Gratifikasi merupakan suap apabila diberikan oleh si pemberi

gratifikasi berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan

kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi sebagai pegawai negeri.

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) secara jelas dan

tegas juga telah mengatur kewenangan KPK dalam memutuskan

apakah suatu gratifikasi (yang pada hakekatnya mempunyai arti

pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara negara) merupakan

suap ataukah bukan merupakan suap, meskipun KPK bukan lembaga

peradilan, namun KPK tetap berwenang secara sah menentukan

gratifikasi sebagai suap atau bukan karena wewenang tersebut

diberikan oleh UU KPK.

Untuk tindak pidana pemerasan, antara lain “tindak pidana

pemerasan oleh pegawai negeri untuk memaksa orang melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu” (diadopsi dari Pasal 421

KUHP) dan ”tindak pidana pemerasan oleh pegawai negeri untuk

mendapatkan pengakuan atau keterangan dalam pemeriksaan perkara

pidana” (diadopsi dari Pasal 422 KUHP), dengan menyesuaikan

ancaman pidananya pada Pasal 23 UU PTPK masing-masing diancam

dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama

6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima

puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (Tiga ratus

juta Rupiah).

184

Page 185: II dan III

Perbedaan prinsip antara ketiga bentuk penyalahgunaan

tersebut diatas dengan penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3

UU PTPK adalah bahwa terjadinya ketiga bentuk penyalahgunaan

kewenangan tersebut tidak disyaratkan harus berimplikasi terhadap

kerugian negara atau kerugian perekonomian negara, sedangkan

terjadinya penyalahgunaan kewenangan pada Pasal 3 UU PTPK,

mensyaratkan harus terdapat implikasi kerugian negara atau kerugian

perekonomian negara.

3.1.2. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Administrasi Pemerintahan

Landasan hukum untuk mengenali apakah sebuah keputusan dan

atau tindakan terdapat kesalahan administrasi atau penyalahgunaan

wewenang yang berujung pada tindak pidana. Dimana Masyarakat dapat

mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau

tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan

Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan

gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-

Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha

Negara.

185

Page 186: II dan III

Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian

penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan

dalam tiga wujud, yaitu:172

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan

yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk

menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat

tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi

menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh

Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;

Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan

prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu,

tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana;

Legalisasi prosedur administrasi pemerintahan bukanlah sebagai

pengekangan terhadap sikap tindak administrasi negara melainkan

sebagai panduan bertindak dalam menjalankan tugas dan fungsi yang

diamanatkan kepadanya serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan

pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan

wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik

dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan itu terdapat dalam UU AP yang memuat kejelasan

jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Kejelasan

172 Op.cit Nur Basuki Minarno, 97.

186

Page 187: II dan III

tanggung jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung

jawab dan tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. ini

mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga badan atau

pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai

dengan batas kewenangan yang dimiliki. Kelahiran UU AP pada tanggal

17 Oktober 2014 telah menimbulkan kekhawatiran beberapa kalangan.

Penilaian bagi pemberantasan korupsi, khususnya berkait

penerapan Pasal 3 UU PTPK seharusnya bukan menjadi kekhawatiran

dengan terbitnya regulasi Admiistrasi Pemerintah ini, sebagaimana

amanat Pasal 5 Juncto Pasal 10 UU AP dengan penafsiran terhadap asas-

asas yang menguraikan bahwa regulasi itu menjadi dasar hukum bagi

peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Selain itu, sebagai

upaya mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dengan memaknai

asas legalitas, yang menghargai perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia. Dengan demikian justru dangan adanya UU AP dapat

memberikan penyadaran dan diharapkan sebagai bagian dari langkah

strategis mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang sesuai Pasal 17

sampai dengan Pasal 23 dan pemberian akibat hukum adanya pemberian

diskresi menurut Pasal 30, sekaligus menjadi parameter untuk membatasi

gerak bebas kewenangan aparatur pemerintahan dalam penyalahgunaan

kewenangannya atau melakukan niat untuk berbuat sewenang-wenang.

Substansi UU AP juga mengkaitkan peran lembaga peradilan dalam

menangani masalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat

187

Page 188: II dan III

Pemerintahan sebagai hukum materiil UU PTUN sesuai ketentuan Pasal

21 yang secara komprehensif diatur dalam Bab X mengenai Upaya

Administratif.

Kewenangan aparatur pemerintahan disebut sebagai melawan

hukum dan menyalahgunakan kewenangan. (Dalam hukum perdata

perbuatan melawan hukum disebut wanprestasi). Pengertian

”penyalahgunaan kewenangan” tidak ditemukan dalam UU PTPK.

Namun dalam Pasal 52 KUHP ditemukan uraian ”melanggar suatu

kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan

pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan

kepadanya karena jabatannya”. Dalam perspektif hukum pidana, terutama

dalam praktik penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana

korupsi, kewenangan erat hubungannya dengan jabatan atau kedudukan

yang dimiliki seseorang. Hal itu berarti subjek hukum hanya berlaku

untuk orang tertentu, yaitu yang memiliki jabatan atau kedudukan

tertentu.

Indriyanto Seno Adji dalam keterangannya sebagai ahli pada

tahap penyidikan mengartikan penyalahgunaan kewenangan dengan

sedemikian rupa:173

1. Memiliki kewenangan tapi menggunakan kewenangannya lain

daripada kewenangan yang ada.

173 Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 1997, hlm. 427.

188

Page 189: II dan III

2. Tak memiliki kewenangan namun melakukan tindakan seolah-olah

memiliki kewenangan.

3. melakukan perbuatan/tindakan dengan menyalahgunakan prosedur

untuk mencapai tujuan tertentu.

Perbuatan ”menyalahgunakan kewenangan” hanya mungkin terjadi bila

memenuhi dua syarat: Pertama; si pembuat yang menyalahgunakan

kewenangan berdasarkan kedudukan atau jabatan tertentu memang

mempunyai kewenangan dimaksudkan bahwa kedudukan atau jabatan

yang mempunyai kewenangan tersebut masih (sedang) dipangku atau

dimilikinya. Memperhatikan uraian ”penyalahgunaan kewenangan”

dalam perspektif UU AP sebagai hukum materil yang dilaksanakan

menurut Pasal 53 Ayat (2) UU PTUN dengan pengertian

menyalahgunakan kewenangan dengan cara mengambil alih pengertian

yaitu telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud

diberikannya wewenang itu atau detournement de pouvoir dalam

praktiknya kedua regulasi itu berkaitan dengan UU PTPK yang ternyata

ditemukan ada persamaan di antara keduanya.

3.2. Implementasi Penyalahgunaan Wewenang

Kebijakan dimasa pembangunan dalam mengelola segala sendi

perekonomian negara, menuntut aparatur Pemerintahan sebagai penyelenggara

negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal,

transparan dan akuntabel (optimalization of public service), dengan tujuan

189

Page 190: II dan III

mewujudkan kesejahteraan umum dan pembangunan nasional. Tapi nyatanya,

hasil perbuatan administrasi negara belum mampu memberikan perubahan yang

memperbaiki standar tingkat kebutuhan ekonomi yang stabil bagi masyarakat

dalam mencapai apa yang dinamakan kesejahteraan yang adil, maka perbuatan

tersebut tidak bersesuaian dengan tujuan (ondoelmatige).

Untuk menetapkan ada tidaknya perbuatan yang ondoelmatig, bukan

dilihat dari perbuatannya, tetapi lebih ditekankan pada hasil perbuatan yang

diwujudkan sebagai akibat perbuatan yang dilakukan. Ukuran bermanfaat

tidaknya suatu perbuatan administratif ditentukan tujuan akhir, yaitu apakah

memenuhi kepentingan umum atau tidak. Karena itu, wewenang tindakan

kebijakan pejabat administrasi negara meskipun faktanya merugikan, namun

berguna bagi masyarakat luas, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasi

sebagai perbuatan ondoelmatige. 174

Tindakan aparatur Pemerintahan sudah sewajarnya diarahkan pada tujuan

yang telah ditetapkan oleh peraturan yang menjadi dasarnya. Dalam hal

pemerintah menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, pemerintah telah

melakukan tindakan yang “ondoelmatig”. Menurut praktik Conseil d'Etat di

Perancis, tindakan yang demikian disebut “detournement de pouvoir” yang mana

pengertian ini berkaitan dengan Freies Ermessen berfungsi melengkapi perluasan

arti berdasarkan sebuah Yurisprudensi di Prancis disebabkan adanya

penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan, berarti telah melawan hukum.

174 Op.cit Philipus M. Hadjon, hlm 20.

190

Page 191: II dan III

. Penggunaan kewenangan yang bersifat aktif, berupa kewenangan

diskresioner (“discretionary power”, “vrijsbestuur”, “freies ermessen”) untuk

melaksanakan kebijakannya (“beleid”) dalam mengatasi segera dan secepatnya

dengan menetapkan suatu perbuatan bagi kepentingan tugas pemerintahan,

tidaklah sekadar kekuasaan pemerintahan yang menjalankan undang-undang

(“kekuasaan terikat”), tetapi merupakan kekuasaan yang aktif, meliputi

kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage norm).

Sifat melawan hukum dalam UU PTPK secara eksplisit diperluas

maknanya tidak hanya melawan hukum formil tapi juga melawan hukum

materiil. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa meskipun perbuatan

tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila

perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau

norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut

dapat dipidana. Oleh Mahkamah Konstitusi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut

dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Melawan hukum dalam

pengertian materiil, secara konsepsional dibedakan antara melawan hukum

dalam pengertian materiil yang positif dan negatif. Pasal 2 Ayat (1) UU

No.31/1999 jo. UU No.20/2001 sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 003/PUU-IV/2006 tampaknya menganut ajaran sifat melawan hukum,

baik dalam pengertian formil maupun materiil. Sifat melawan hukum materiil

tersebut, baik dalam fungsi yang negatif maupun positif. Fungsi positif dari sifat

melawan hukum yaitu meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengatur,

namun apabila perasaan keadilan dalam masyarakat, maupun norma-norma

191

Page 192: II dan III

sosial menyatakan bahwa perbuatan tersebut tercela, maka perbuatan tersebut

dapat dipidana. Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK menganut ajaran sifat melawan

hukum dalam konsepsi yang luas. Dalam konsep yang luas tersebut, maka

penerapannya sangat bergantung pada cara pandang hakim. 175

Seperti implementasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 dapat diinterpretasikan adanya unsur

melawan hukum menurut pengertian formil dan materiil dalam fungsi yang

negatif. Apabila, Penjelasan bagian Umum UU PTPK mengenai melawan hukum

masih dianggap berlaku, maka sesungguhnya PTPK masih mengikuti ajaran sifat

melawan hukum materiil dalam fungsi positif, di samping sifat melawan hukum

formil dan materiil dalam fungsi negatif.176

Secara konsepsional didasarkan pada anggapan tercela karena tidak

sesuai dengan rasa adil sesuai norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,

maka perbuatan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 serta menyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berbeda dengan praktik peradilan,

kalangan akademisi umumnya justru menolak penerapan ajaran melawan hukum

materiil dalam fungsinya yang positif. menyatakan: “pandangan mengenai

melawan hukum materiil hanya mempunyai arti memperkecualikan perbuatan

yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya

dianggap sebaga perbuatan pidana. Jadi suatu perbuatan yang dilarang undang-

undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak

175 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Indonesia Lawyer Club, Cet.IV, Surabaya, 2010. hlm.173.

176 Ibid, Tjandra Sridjaja Pradjonggo, hlm. 174

192

Page 193: II dan III

menjadi perbuatan pidana. Biasanya inilah yang disebut sebagai fungsi negatif

dari ajaran melawan hukum materiil. Fungsinya yang positif yaitu walaupun

tidak dilarang undang-undang tetpi oleh masyarakat perbuatan itu dipandang

tercela dan dengan itu perlu menjadikannya perbuatan pidana tidak mungkin

dilakukan menurut sistem hukum kita mengingat bunyi pasal 1 ayat (1) KUHP.”

Tidak ada ahli hukum pidana yang dapat membenarkan penerapan ajaran

melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. dinyatakan oleh prof.

Indiyanto Seno Adji yang menyatakan: “bagi pandangan materiil, ditemukan

suatu kesamaan pendapat bahwa sifat melawan hukum materiil hanyalah

digunakan melalui fungsi negatifnya saja, sehingga penerapannya hanya

diperlukan untuk meniadakan suatu tindak pidana dnegan mempergunakan

alasan-alasannya di luar undang-undang” Dengan putusan Mahkamah Konstitusi,

penjelasan pasal 2 ayat (1) UU PTPK, khususnya kalimat yang menjadi dasar

pemberlakuan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif,

telah dinyatakan tidak mempuyai kekuatan mengikat sebagai hukum. Ajaran

melawan hukum materiil hanya dapat diterapkan dalam fungsinya yang negatif

dan tidak dapat diterapkan dalam fungsinya yang positif. Dengan demikian

penjelasna Pasal 2 UU PTPK bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum

pidana, seperti implementasi logis lainnya dalam kaitannya dengan kasus-kasus

sebagai fakta logis tindakan aparatur pemerintahan yang melanggar hukum dan

kondisi ini perlu perhatian secara signifikan untuk dapat menemukan solusi

dengan menerapkan indikasi dan monitoring serta ada atau tidaknya progres dari

193

Page 194: II dan III

kinerja Pemerintahan yang selelui up to date disampaikan kepada masyarakat,

sehingga menghindari masalah sebagaimana berikut:

3.2.1.Kasus Penyalahgunaan Wewenang yang Sudah Berkepastian Hukum

Tetap

3.2.1.1. Kasus Walikota Bandung (Dada Rosada)177

a. Kasus Posisi

Dada Rosada lahir di Ciparay, Bandung, 29 April 1947,

saat ini memilih berdomisili di Jalan Tirtasari II No. 12 Kota

Bandung, dengan jabatan terakhir sebagai Walikota Bandung

Periode II masa jabatan 2008-2013, terkait penyalahgunaan

dana Belanja Bansos Kota Bandung Tahun Anggaran 2009

yang sudah terealisasi pencairannya adalah sebesar Rp

77.585.275.000,00 (Tujuh puluh tujuh miliar lima ratus

delapan puluh lima juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

Untuk Tahun Anggaran 2009 belanja bantuan sosial yang

pencairan maupun mpenggunaannya tidak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan adalah sebesar Rp

25.676.880.000,00 (Dua puluh lima miliar enam ratus tujuh

puluh enam juta delapan ratus delapan puluh ribu Rupiah).

177 http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/abc5ca5c8d35b6d369744696eac4e27b, dengan Topik: Putusan PN Bandung Nomor 146 / Pid.Sus / TPK / 2013 / PN.Bdg Tahun 2014Dada Rosada, diakses pada tanggal 30 Desember 2015.

194

Page 195: II dan III

Bahwa pencairan maupun penggunaan Belanja Bantuan

Sosial Tahun Anggaran 2009 sebesar Rp 25.676.880.000,00

(Dua puluh lima miliar enam ratus tujuh puluh enam juta

delapan ratus delapan puluh ribu Rupiah), merupakan

perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan

sebagai berikut :

1. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara yang menyatakan : “Keuangan

Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif,

transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan

rasa keadilan”.

2. Pasal 21 ayat (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor : 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: (a) Bendahara

Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang

persediaan yang dikelolanya setelah :

1) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang

diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna

Anggaran;

2) menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum

dalam perintah pembayaran;

3) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.

195

Page 196: II dan III

(b) Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar

dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran

apabila persyaratan pada ayat (3) tidak dipenuhi.

Ini terbukti adanya kerugian keuangan Negara sebesar

Rp 9.916.325.000,00 (Sembilan miliar sembilan ratus enam

belas juta tiga ratus dua puluh lima ribu Rupiah) sesuai

Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Barat, yang

mana untuk keperluan tersebut Edi Siswadi berhasil

mengumpulkan uang sejumlah Rp 1.000.000.000,00 (Satu

miliar Rupiah) dan Herry Nurhayat sejumlah Rp

3.526.000.000,00 (Tiga miliar lima ratus dua puluh enam juta

Rupiah) yang berasal dari :

1. Pinjaman dari Koperasi Pemko Bandung sebesar Rp

476.000.000,00 (Empat ratus tujuh puluh enam juta

Rupiah).

2. Pinjaman dari Jefri Raja Sinaga sebesar Rp

3.000.000.000,00 (Tiga miliar Rupiah).

3. Herry Nurhayat sebesar Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta

Rupiah).

Tanggal 22 Januari 2013 atas perintah Dada Rosada

kepada Herry dalam perkara atas nama Rochman dkk sebesar

Rp 4.526.000.000,00 (Empat miliar lima ratus dua puluh enam

196

Page 197: II dan III

juta Rupiah) dengan meminta bantuan agar Setya Budi Tejo

Cahyono mengurusan Perkara Penyimpangan Dana Bansos

Pemko Bandung atas nama Rochman dkk dalam tingkat

banding agar putusannya ringan atau setidaknya menguatkan

putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang dijatuhkan

sebelumnya, sekaligus meminta Setya Budi Tejo Cahyono

untuk mencari informasi mengenai susunan Majelis Hakim

tingkat banding yang menangani perkaranya.

Atas permintaan Dada Rosada tanggal 7 Februari 2013,

Setya Budi Tejo Cahyono menemui Sareh Wiyono di ruang

ketua Pengadilan Tinggi Bandung Jl. Suropati No. 47 Bandung

dan menyampaikan permintaan bantuan agar perkara

penyimpangan dana Bansos Pemko Bandung atas nama

Rochman dkk di tingkat banding dapat diputus ringan atau

setidaknya menguatkan putusan PN Bandung. Atas permintaan

tersebut, Sareh Wiyono menyanggupinya.

Selanjutnya pada tanggal 13 Februari 2013, Pengadilan

Tipikor pada Pengadilan Tinggi Bandung menerima 7 (tujuh)

berkas perkara yang diajukan upaya hukum banding atas

perkara penyimpangan dana Bansos Pemko Bandung Tahun

Anggaran 2009 sampai dengan 2010 atas nama Rochman dkk,

selanjutnya oleh CH. Kristi Purnamiwulan selaku Pelaksana

Tugas (Plt) Ketua Bandung ditetapkan susunan Majelis Hakim

197

Page 198: II dan III

Banding yang terdiri atas: Wiwik Widiastuti Sutowo selaku

Hakim Ketua Majelis, Pati Serefina Sinaga dan Fontan Munzil

masing-masing selaku Hakim Anggota Majelis melalui

penetapan, yaitu :

1. Nomor: 03/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013

atas nama Rochman;

2. Nomor: 04/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013

atas nama Firman Hirmawan;

3. Nomor: 05/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013

atas nama Lutfhan Barkah;

4. Nomor: 06/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013

atas nama Yanos Septadi

5. Nomor: 07/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013

atas nama Uus Ruslan;

6. Nomor: 08/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013

atas nama Havid Kurnia;

7. Nomor: 09/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013

atas nama Ahmad Mulyana

Atas perintah agar perkara Penyimpangan Dana Bansos

Pemko Bandung Tahun Anggaran 2009 s/d 2010 atas nama

Rochman dkk untuk diperhatikan dan menanyakan tentang

susunan Majelis Hakim Banding yang menangani perkara tsb.

kemudian CH Kristi menyampaikan bahawa hakim yang

198

Page 199: II dan III

ditunjuk adalah Wiwik W, S,  Pasti Serfina S dan Fontan M.

setelah mendapat informasi tsb, Setya Budi Tejo memberitahu

Toto Rochman dkk "sudah aman".

Kemudian di rumah pribadi Dada Rosada, Herry dan

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkot

Bandung dan Perusahaan Daerah kota Bandung. Dada Rosada

meminta dukungan dana yang akan dipergunakan untuk

pengurusan perkara Penyimpangan Dana Bansos Pemko

Bandung TA 2009 s/d 2010 atas nama Rochman dkk dalam

tingkat Banding, yang kemudian diperoleh pengmpulan dana

yang diakomodir melalui Herry seluruhnya sejumlah Rp

425.000.000,- (Empat ratus dua puluh lima juta Rupiah)

Tanggal 17 Februari 2013, Toto Hutagalung dihubungi

oleh Setya Budi Tejo yang menyampaikan rasa kecewanya

setelah mengetahui Edi Siswadi juga ingin menemui Sareg

Wiyono dalam rangka pengurusan perkara banding atas nama

Rochman dkk. Untuk itu Setya meminta Toto agar pengurusan

perkara banding tsb cukup melalui Setya karena perkara

banding tsb telah diurus melalui Sareh W maupun CH Kristi P

dan untuk kepentingan pengurusan perkara banding tsb, Setya

meminta disediakan dana sebesar Rp 1.500.000.000.

Selanjutnya tgl 18 Februari 2013 di rumah Dada Rosada,

dilakukan pertemuan antara Toto H. dengan Dada Rosada,

199

Page 200: II dan III

yang mana dalam pertemuan tsb Toto H menyampaikan bahwa

Setya meminta agar pengurusan perkara banding atas nama

Rochman dkk melalui "satu pintu" disetujui oleh Dada Rosada,

kemudian Dada Rosada menghubungi Herry yang meminta

agar disiapkan uang sebesar Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar

lima ratus juta Rupiah) untuk diberikan kepada Setya terkait

pengurusan perkara banding atas nama Rochman dkk.

Pada tanggal 20 Februari 2013, Herry dihubungi oleh

Toto menanyakan mengenai "buku" yang maksudnya

dukungan dana untuk pengurusan perkara banding

sebagaimana permintaan Dada Rosada sebelumnya dan

memberitahukan bahwa akan dilakukan pertemuan antara

Herry, Dada Rosada dan Toto H.

Kemudian pada tgl 21 Februari 2013, bertempat di

Lobby Topas Galeria Hotel Bandung, Herry mengikuti

pertemuan dengan Dada Rosada, Edi Siswadi dan Toto

Hutagalung. Dalam pertemuan tsb, Herry diperintahkan oleh

Dada Rosada agar menyiapkan uang yang akan digunakan

dalam pengurusan perkara banding tsb sebesar Rp.

1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta Rupiah) dan oleh

karena Herry mengatakan belum ada uangnya, maka Dada

Rosada dan Edi Siswadi meminta Heru untuk mencari

pinjaman uang.

200

Page 201: II dan III

Tanggal 23 Februari 2013, Dada Rosada memerintahkan

Herry dalam mengurus perkara banding secara bertahap

dengan cara meminjam uang sebesar Rp. 700.000.000,-, (Tujuh

ratus juta Rupiah), tanggal 25 Februari 2013 Herry

memerintahkan Pupung Hadijah menyerahkan uang sebesar Rp

500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) diantaranya kepada

Toto Hutagalung melalui Asep Triana  yang penyerahannya

disertai tanda terima kwitansi dengan keterangan untuk

"pengadilan tinggi" yang menurut Toto Hutagalung uang tsb

akan diberikan kepada Marni Emmy Mustofa yang

menggantikan Sareh Wiyono. Atas pemberian uang tersebut

selanjutnya Herry melaporkan berita itu kepada Dada Rosada

melalui pesan BBM.

Pada tanggal 26 Februari 2013, Setya Budi Tejo

Cahyono menguhungi Toto Hutagalung memberitahukan

bahwa telah menenmui CH. Kristi Purnamiwulan meminta

perkara bandng atas nama Rochman dkk untuk dibantu adan

akan disediakan sejumlah uang untuk pengurusan perkaranya.

Atas permintaan tsb, CH. Kristi Purnamiwulan  meminta

bagian tersendiri dari uang yang diperuntukan untuk Majelis

Hakim yang menanganinya, sehingga Setya Budi Tejo

Cahyono meminta Toto Hutagalung agar segera merealisasikan

uang sebesar Rp. 1.000.000.000,- (Satu miliar Rupiah) dengan

201

Page 202: II dan III

rincian untuk diberikan kepada masing-masing Anggota

Majelis Banding sebesar Rp, 300.000.000,- (Tiga ratus juta

Rupiah) dan sisanya Rp. 100.000.000,- (Seratus juta Rupiah)

untuk diberikan kepada CH. Kristi.

Selanjutnya Toto H melakukan pertemuan dengan Pasti

Serefina S di Lounge Hotel Bumi Asih Jayam Bandung. Toto

menyampaikan kedekatannya dengan Dada Rosada dan

meminta perkara banding atas nama Rochman dkk untuk

dibantu, yang sebelumnya telah diurus Setya Budi sambil

menyerahkan dokumen berisi putusan PN  Bandung dan

Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP

Perwakilan Propinsi Jawa Barat terhadap perkara atas nama

Rochman dkk untuk dipelajari Pasti Serefina S, Selanjutnya

Toto H menyerahkan Hp miliknya yang masih terhubung

dengan Dada Rosada kepada Pasti Serefina S, selanjutnya Toto

menyampaikan permintaanya agar perkara atas nama Rochman

dkk dapat dibantu dan dijawab pasti oleh Pasti Serefina S akan

"diperhatikan".

Setelah Toto mengetahui susunan Majelis Hakim

Banding perkara atas nama Richman dkk, kemudian

memberitahu Setya Budi bahwa salah satu Hakim Anggota

Majelisnya adalah Pasti Serefina S, sehingga Toto meminta

Setya Budi untuk mengatur pertemuan dengan Pasti Serefina S.

202

Page 203: II dan III

Atas permintaan tsb kemudian Setya Budi melakukan

pertemuan dengan Pasti Serefina S di kantor PT Bandung dan

memnyampaikan bahwa ada orang kepercayaan Dada Rosada

Walikota Bandung yang bernama Toto ingin bertemu untuk

meminta bantuan meringankan putusan perkara banding atas

nama Rochman dkk. Atas informasi tsb Pasti Serefina S

meminta dilakukan pertemuan di luar kantor kemudian Setya

Budi menyampaikan hasil pembicaraam dengan Pasti Serefina

S tersebut kepada Toto.

Setelah pertemuan tersebut, tanggal 27 Februari 2013

Toto meminta Herry menyiapkan uang sebesar Rp.

1.000.000.000,- (Satu miliar Rupiah) sebagai uang pengurusan

perkara banding atas nama Rochman dkk untuk diserahkan

kepada Pasti Serefina S dan Herry menjawab sedang

mengusahakan dananya.

Tanggal 28 Februari 2013, Toto menguhubungi Herry

terkait kesiapan dananya dan Herry  menyampaikan bahwa

uang tsb akan dicarikan pinjaman, setidaknya akan diusahakan

uang sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah)

terlebih dahulu.

Selanjutnya pada sore harinya, Dada Rosada

mengadakan pertemuan yang diikuti Toto, Herry dan Setya

Budi di Apartemen The Suites Metro Bandung muncul

203

Page 204: II dan III

kesepatakan pengurusan perkara banding atas nama Rochman

dkk melalui Toto dan Setya bukan melalui Edy karena Sareh

sudah pensiun. Untuk itu Toto menyampaikan agar pengurusn

perkara banding atas nama Rochman dkk lansung berhubungan

dengan hakim yang menangani perkaranya, yaitu Pasti Serefina

S, kemudian Toto menguhubungi Pasti Serefina S

memberitahukan bahwa permintaan Pasti Serefina S mengenai

pengurusan ijin peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya telah

selesai dan menyampaikan agar perkara atas nama Rochman

dkk dapat dibantu yang kemudian disanggupi Pasti Serefina S.

Kemudian Herry kembali meminjam uang sebesar Rp.

1.000.000.000.- (Satu miliar Rupiah) kepada Didi Sulistyonom

kemudian tgl 1 Maret 2013 Herry memerintahkan Pupung

Hadijah untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 500.000.000,-

(Lima ratus juta Rupiah) kepada Toto melalui Asep dengan

tanda terima kwotansi berisi keterangan untuk "pengadilan

tinggi". Selanjutnya pada tgl 4 Maret 2013, Asep menukarkan

uang tsb menjadi USD 50.000 (Lima puluh ribu Dolar Amerika

Serikat) dan SGD 1.000 (Seribu Dolar Amerika Serikat) di PT

Dolarindo Intravalas Primatama Bandung yang kemudian

diserahkan kepada Toto di Villa di Kampung Ciwaru Bandung,

yang rencananya akan diserahkan kepada Majelis Hakim

Banding pekara atas nama Rochman dkk.

204

Page 205: II dan III

Setelah Herry menyerahkan uang sebesar Rp.

500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) kepada Toto melalui

Asep tersebut, tanggal 3 Maret 2013 melaporkan kepada Dada

Rosada melalui pesan BBM selanjutnya Dada Rosada meminta

Herry agar ditambah lagi sebesar Rp. 500.000.000,-. (Lima

ratus juta Rupiah) Kemudian Herry mengatakan akan mencari

pinjaman di Jakarta.

Selanjutnya Setya Budi kembali menemui Pasti Serefina

di PT Bandung menanyakan mengenai permintaan bantuan

perkara banding atas nama Rochman dkk. dan Pasti Serefina

meminta tambahan dana dalam pengurusan perkara banding tsb

menjadi Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta

Rupiah) dengan alasan untuk banyak orang yang akan diurus,

kemudian permintaan Pasti Serefina tsb oleh Setya Budi

disampaikan kepada Toto untuk diberitahukan kepada Dada

Rosada.

Tanggal 4 Maret 2013 di Hotel Bumi Asih-Jaya Bandung

dilakukan pertemuan antara Toto, Setya Budi dan Pasti

Serefina, dalam pertemuan tsb Toto memberikan surat

persetujuan peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya kepada

Pasti Serefina yang kemudian dilanjutkan acara hiburan

karaoke bersama.

205

Page 206: II dan III

Tanggal 5 Maret 2013, Toto menghubungi Herry yang

menanyakan mengenai uang sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima

ratus juta Rupiah) untuk diserahkan kepada Pasti Serefina S

dan dijawab uangnya sudah tersedia. Selanjutnya Herry

memerintahkan Tri Rahmawati staf DPKAD Pemerintah Kota

Bandung untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 500.000.000,-

(Lima ratus juta Rupiah) kepada Asep dengan tanda terima

kwitansi berisi keterangan untuk "pengadilan tinggi Jawa

Barat" kemudian Asep menyerahkannya kepada Toto setelah

Herry menyerahkan uang tersebut, kemudian melaporkan

kepda Dada Rosada melalui pesan BBM bahwa uang sebesar

Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta Rupiah) telah

tersedia.

Selanjutnya bertempat di Hotel Bumi Asih Bandung,

dilakukan pertemuan antara Toto dan Pasti Serefina. Dalam

pertemuan itu, Toto memberikan uang sebesar Rp.

500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) dan surat persetujuan

peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya telah diserahkan

kepada Pasti Serefina, atas laporan tsb, Dada Rosada

menanyakan mengenai uang yang akan diberikan kepada

Marni Emmy Mustofa. Untuk itu Toto meminta Dada Rosada

agar memerintahkan Herry segera merealisasikan kekurangan

uang pengurusan perkara banding atas nama Rochman dkk

206

Page 207: II dan III

sebesar Rp 500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) saat itu

disanggupi oleh Dada Rosada.

Tanggal 22 Maret 2013 Toto menghubungi  Pasti

Serefina menanyakan mengenai kepastian putusan perkara

banding tsb yang dijawab oleh Pasti Serefina bahwa 2 (dua)

orang Majelis Hakim yaitu Wiwik Widiastuti  dan Pasti

Serefina telah sepakat untuk menguatkan putusan PN Bandung,

sedangkan 1 (satu) orang Majelis yaitu Fontian Munzil tidak

sepakat terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Namun

kemudian pada hari itu juga Herry, Setya Budi dan Asep

ditangkap oleh petugas KPK.

Pada tanggal 26 Maret 2013, Wiwik selaku Hakim Ketua

Majelis, Pasti Serefina dan Fontian masing-masing selaku

Hakim Anggota Majelis menjatuhkan putusan atas perkara

Penyimpangan Dana Bansos Pemko Bandung Tahun Anggaran

2009/2010 atas nama Rochman dkk di tingkat Banding.

Pemberian uang sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima ratus

juta Rupiah) dari yang dijanjikan sebesar Rp. 1.000.000.000

(Satu miliar Rupiah) serta pemberian fasilitas persetujuan

peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya Bandung kepada Pasti

Serefina dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara

Penyimpangan Dana Bansos Pemerintah Kota Bandung Tahun

Anggaran 2009 s/d 2010 atas nama Richman dkk di Pengadilan

207

Page 208: II dan III

Tipikor pada Pengadilan Tinggi Bandung  yang diserahkan

kepda Wiwik Widiastuti Sutowo, Pasti Serefina dan Fontain

Munzil.

b. Dakwaan Penuntut Umum

Berdasarkan kasus posisi di atas maka tuntutan Jaksa

Penuntut Umum KPK, terhadap tindak pidana korupsi

penyalahgunaan dana bansos oleh Dada Rosada dinilai telah

melanggar:

Primair

1. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a UU

PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHPidana;

2. Terdakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PTPK,

Jo. Pasal 64 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH

Pidana.

3. Terdakwa sebagai Pelaku dan Turut melakukan dilakukan

dengan penyertaan yang melanggar:

a. Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1)

jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana;

b. Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1)

jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

208

Page 209: II dan III

Subsidair

1. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 13 UU PTPK Jo. Pasal

64 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

2. Terdakwa Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PTPK Jo. Pasal 64

ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Memohon kepada majelis hakim agar menyatakan

terdakwa Dada Rosada bersalah melakukan tindak pidana

korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan. Selanjutnya

Memohon kepada Majelis Hakim untuk menghukum Terdakwa

dengan pidana penjara selama 15 tahun, denda Rp 600 juta

subsider 6 bulan kurungan.

Tuntutan Memberatkan

1. Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam

pemberantasan korupsi. Selain itu, sebagai wali kota,

2. Terdakwa tidak memberikan contoh baik dengan

mengingkari sumpah jabatan dan melanggar pakta

integritas yang ditandatanganinya sendiri.

3. Perbuatan Terdakwa dalam pemberian gratifikasi (suap) a

quo dinilai telah merusak citra peradilan.

Tuntutan Meringankan

Berlaku sopan dan memiliki tanggungan keluarga.

209

Page 210: II dan III

c. Pertimbangan Hukum Hakim

Berdasarkan kronologi duduk perkara di atas Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Bandung dalam Perkara Nomor

146/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Bdg, dengan ini menyatakan:

Menimbang:

1. Bahwa Dada Rosada telah melanggar ketentuan Pasal 6

ayat (1) huruf “a” Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 13 UU PTPK

Juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Sebagaimana telah

menyuap untuk mempengaruhi Setyabudhi untuk

mempengaruhi keputusan Majelis Hakim Tipikor Bandung

yang menyidangkan perkara penyelewengan dana bansos.

2. Bahwa, Majelis Hakim menyepakati sekaligus tiga

tuntutan jaksa penuntut untuk memvonis Dada berdasarkan

Pasal 6 ayat (1) huruf “a” dan Pasal 5 ayat (1) huruf “a”

UU PTPK. Dada Rosada bersama terdakwa lain terbukti

menyuap majelis hakim Pengadilan Tipikor kasus korupsi

dana bantuan sosial di Pengadilan Negeri dan Tinggi

Bandung;

3. Bahwa, Majelis Hakim menilai ttuntutan penuntut umum

mengenai hal yang meringankan dari perbuatan terdakwa

adalah:

210

Page 211: II dan III

a. bahwa Dada Rosada mengakui segala perbuatan dan

menyesalinya serta bersikap sopan selama persidangan.

b. "Selama ini terdakwa telah menjabat walikota selama 2

periode. Terdakwa telah mendapat banyak piala dan

penghargaan dalam dan luar negeri.

c. Mengingat terdakwa dalam memberikan keterangannya

tidak meyulitkan hakim

4. Bahwa, Majelis Hakim menilai hal-hal yang memberatkan

terdakwa adalah bahwa terdakwa sebagai wali kota tidak

memberikan contoh pada masyarakat untuk anti Kolusi

Korupsi Nepotisme dan tidak membantu program

pemerintah yang tengah gencar memberantas korupsi.

d. Putusan Hakim

Setelah menimbang dan membaca tuntutan Jaksa

Penuntut Umum tertanggal 23 Desember 2013 dalam perkara

Penyalahgunaan Dana Bansos Pemerintah Kota Bandung yang

pada pokoknya memiliki unsur tindak pidana korupsi yang

dilakukan terdakwa yang mengakibatkan kerugian negara,

dalam perkara a quo, Majelis Hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara ini menjatuhkan putusan sebagai berikut:

Mengadili:

211

Page 212: II dan III

1. Menyatakan Terdakwa Dada Rosada terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”

korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan

berlanjut;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dada Rosada

berupa pidana penjara selama: 10 (sepuluh) tahun,

dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dan

pidana denda sebesar Rp. 600.000.000,-. (Enam ratus juta

Rupiah);

3. Subsidiair 3 (tiga) bulan, dengan perintah supaya terdakwa

tetap dalam tahanan.

e. Analisis Putusan

Perbuatan yang melanggar unsur-unsur tindak pidana

korupsi yang dilakukan walikota dilingkup Jawa Barat adalah

modus korupsi dana Bansos yang memenuhi unsur pidana

dengan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf “a” atau Pasal 5 ayat

(1) atau Pasal 13 UU PTPK yang pada intinya mengenai orang

yang memberikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya

untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 15

tahun dan denda paling besar Rp 750 Juta Juncto Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUH Pidana. Putusan yang diambil Majelis Hakim

212

Page 213: II dan III

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri

Bandung telah tepat menurut pertimbangan hukum hakim yang

meringankan terdakwa Dada Rosada maka hukuman yang

diberikan disesuaikan dengan keadilan menurut hukum dan

hak asasi manusia, sebab secara teknis walaupun tindak pidana

yang dilakukan Dada Rosada adalah tindak pidana berupa

penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan organisasi

tertentu namun demi menghormati hak-hak secara manusiawi

juga terdapat jasa-jasa yang pernah disumbangkan terdakwa.

Sebenarnya tidak dapat dipungkiri fakta kasus ini memang

memberikan kekecewaan warga kota Bandung. Jika

memperhatikan dinamika perkembangan peradilan sangat

disayangkan menjadi keterpurukan kinerja pengawasan dari

lembaga yudikatif, sejauh kasus ini ditelusuri yang bermula

ditangani oleh kejaksaan namun diambil alih oleh KPK karena

hakim tipikor yang menangani kasus ini justru terkena suap

selain itu banyak organisasi fiktif yang menerima dana Bansos.

Sebagai pejabat Pemerintah pada prinsipnya menjadi

kewajiban dalam memberikan pelayanan publik dan

bekerjasama dengan lembaga peradilan (sebagai Justice

Collaborator) dalam melaksanakan ketentuan regulasi

khususnya tindak pidana korupsi karena akibat atau dampak

yang akan ditimbulkan adanya tindak pidana korupsi sehingga

213

Page 214: II dan III

telah menjadi kewajiban dari Kepala Daerah dalam hal ini

Dada Rosada dalam mencegah perbuatan korupsi, namun

sangat mengecewakan saat diketahui Dada Rosada melakukan

tindakan tersebut dan termasuk membiarkan terjadinya tindak

pidana korupsi di kota Bandung, bahkan ikut berperan aktif

memberi pembelaan. Perbuatan terdakwa telah merusak citra

aparatur pemerintahan yang terpilih sebagai amanat dalam

fraksi yang berada di lembaga legislatif terlebih lagi

memperburuk citra lembaga peradilan.

Seharusnya dalam pemberantasan korupsi di lingkup

kota bandung sebagai daerah otonom, maka perlu peran

lembaga penegak hukum bisa lebih efektif dalam memberantas

korupsi dengan pertama Diperlukan Regulasi terkait Sistem

Anggaran Penyelidikan dan Penyidikan dengan Model at Cost,

kedua Perbaikan Regulasi Kejaksaan untuk mewujudkan

independensi kejaksaan terutama dalam Pemberantasan

Korupsi termaksud Korupsi di Daerah khususnya Kota

Bandung, ketiga Membentuk Unit Khusus Tipikor yang

terpisah dari Direktorat Reskrim di Lembaga Kepolisian,

keempat memperbanyak Pengadilan Tipikor tidak terpusat di

214

Page 215: II dan III

satu tempat saja, kelima butuh peran lembaga penegak hukum

dengan cara perbaikan legal culture.178

Sebenarnya dari kelima kriteria di atas untuk

mewujudkan agar kinerja lembaga penegak hukum di Kota

Bandung, agar dapat efektif dalam penanganan kasus korupsi

hanya membutuhkan tiga kriteria yang dapat dilakukan

perbaikan dalam lingkup sektor yaitu regulasi, struktur

kelembagaan dan budaya hukum baik aparatur Pemerintahan

sebagai pelaksana pelayanan publik dalam memberikan

perlindungan seyogianya mendapat dukungan dari pengawasan

penegak hukum, hal ini sebagai upaya dalam mewujudkan

tujuan hukum dalam membangun sistem hukum di Indonesia.

3.2.1.2. Kasus Anggota DPR (Anglina Sondakh)179

a. Kasus Posisi

Angelina Sondakh lahir di Australia, 28 Desember 1977.

Dia dikenal sebagai Puteri Indonesia tahun 2001 yang berasal

dari provinsi Sulawesi Utara. Angie, demikian biasa dipanggil,

merupakan sosok perempuan jenius dan memilih kancah

politik sebagai ‘ladang’ aktualisasinya. Perempuan keturunan

178 J Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007. hlm 24

179 http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/301dc187df6faba9b96d9abde1761e44, Putusan dengan Topik: Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 Tahun 2013Angelina Patricia Pingkan Sondakh diakses pada tanggal 15 Januari 2015

215

Page 216: II dan III

Manado ini tidak hanya bermodal tampang. Ini berbeda dengan

Puteri Indonesia sebelumnya yang banyak mengaktualisasi diri

di panggung akting dan musik. Ia pernah dinobatkan sebagai

Duta Orang Utang, Duta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) dan juga Duta Batik. Angelina Patricia Pingkan

Sondakh, nama lengkap Angie, mengawali karir politiknya

melalui Partai Demokrat. Dia berhasil terpilih sebagai Anggota

DPR Republik Indonesia pada pemilu 2004. Bersamaan

dengan dirinya, bintang sinetron Adjie Massaid atau yang lebih

sering disapa Adjie, juga berhasil menjadi anggota DPR-RI

lewat partai yang sama. Kiprah Angie di dunia politik makin

mantap dengan dilantiknya dia pada November 2008 sebagai

pengurus DPP KNPI periode 2008-2011. Angie menjabat

sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan. Angie

kembali mencalonkan diri sebagai caleg untuk Pemilu 2009. Di

tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, kedekatan Angie

dengan Adjie tak luput dari sorotan publik. Setelah beberapa

kali ramai diberitakan di media massa, akhirnya hubungan

yang dijalin Angie bersama Adjie diresmikan dalam ikatan

pernikahan. Angie yang telah menjadi mualaf ini, pada akhir

2008 telah menikah dengan Adjie secara islami dan pada

tanggal 29 April 2009, mereka resmi menjadi suami istri di

hadapan Negara. Tepat pada Rabu, 9 September 2012, mereka

216

Page 217: II dan III

dikarunia putra pertama yang diberi nama Keanu Jabaar

Massaid. Kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama karena

pada tanggal 5 Februari 2011, Adji Massaid meninggal dunia.

Sepeninggalan suaminya, berbagai rumor tidak sedap

menghampiri Angie. Mulai dari kabar ‘turun ranjang’ dimana

Angie akan menikah dengan Mudji Massaid, adik ipar dari

mendiang suaminya Adjie Massaid, hingga kabar yang

sekarang ini memaksa Angie menjadi penghuni rumah tahanan

(Rutan) terkait kasus hukumnya.

Terseretnya Angelina Patricia Pingkan Sondakh atau

Angelina Sondakh atau Angie dalam kasus korupsi kasus

Wisma Atlet SEA Games Palembang dan Kemendikbud

berawal dari para tersangka yang terlebih dahulu ditangkap

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

- Kamis, 21 April 2011

KPK menangkap Direktur PT Duta Graha Indah

(DGI) yaitu Muhammad El Idrus dan seorang penghubung

bernama Mindo Rosalinda Manulang (Rosa). Mereka

ditangkap setelah menyerahkan uang suap dalam bentuk

tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar kepada Wafid

Muharam, Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga

(Seskemenpora), yang juga langsung ditangkap di

kantornya. Uang tersebut merupakan uang balas jasa dari

217

Page 218: II dan III

PT DGI karena telah memenangi tender proyek Wisma

Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Dalam

penangkapan itu, mobil Toyota Vellfire bernomor B-173-

GD dan mobil Honda CR-V bernomor B-2717-NT ikut

disita.

Kasus ini menyeret nama Muhammad Nazarudin,

mantan Bendahara Partai Demokrat yang menjadi atasan

Rosa. Nazarudin dan Rosa kemudian menyeret nama Angie

sebagai salah satu tersangka karena disebut menerima

sejumlah uang. Semua tersangka telah divonis kecuali

Angie. Rosa divonis 2 (dua) Tahun 6 (enam) Bulan dan

denda Rp 200 (Dua Ratus) Juta Rupiah, Muhammad El

Idris divonis dua tahun dan denda Rp 200 (Dua Ratus) Juta

Rupiah, Wafid Muharam dihukum tiga tahun dan denda Rp

150 (Seratus Lima Puluh) Juta Rupiah, serta Muhammad

Nazarudin dijatuhi hukuman empat tahun 10 bulan penjara

dan denda Rp 200 (Dua Ratus) Juta Rupiah.

Nazar dalam pengakuannya di persidangan

mengungkapkan bahwa Angie pernah mengaku menerima

sejumlah uang di depan Tim Pencari Fakta yang dibentuk

Partai Demokrat. Dalam rapat Tim Pencari Fakta yang

dihadiri Benny K. Harman, Jafar Hafsah, Edi Sitanggang,

Max Sopacua, Ruhut Sitompul, dan M. Nasir, Angie

218

Page 219: II dan III

menerima uang sebesar 9 (sembilan) Miliar Rupiah dari

Wafid Muharam, sebanyak Rp 8 (delapan) Miliar Rupiah

diserahkan ke Wakil Ketua Badan Anggaran (banggar)

DPR, Mirwan Amir. Selain Nazarudin, Rosa juga

memberikan kesaksian bahwa Angelina Sondakh telah

menerima uang darinya terkait pembangungan wisma Atlet

SEA Games di Palembang. PT Anak Negeri mengeluarkan

10 (sepuluh) Miliar Rupiah melalui Angie. Sebanyak 5

(lima) Miliar Rupiah untuk Angie, 5 (lima) Miliar Rupiah

sisanya tidak diketahui. Namun, diduga digunakan sebagai

‘pelicin’ ke Banggar DPR agar anggaran segera turun.

Sementara itu, mantan anak buah Nazarudin yang

merupakan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai,

Yulianis, membenarkan ucapan Rosa, yakni Angelina

Sondakh dan Wayan Koster, anggota Komisi X DPR dari

Fraksi PDI Perjuangan, mendapat 5 (lima) Miliar Rupiah.

- Rabu, 15 September 2011

Angelina Sondakh mendatangi kantor KPK. Tepat

pukul 09.40 WIB, Angie datang dengan menaiki mobil

Harier B 1230 SJD didampingi adik iparnya, Tjandra

Mudji Condrodiningrat (Mudji). Dia menjalani

pemeriksaan pertama terkait kasus Kemenpora. Saat itu,

Angie diperiksa selama delapan jam sebagai saksi dalam

219

Page 220: II dan III

kasus pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang

yang melibatkan tersangka Muhammad Nazarudin.

- Jumat, 3 februari 2012

Angelina Sondakh tidak diperbolehkan untuk

bepergian ke luar negeri hingga 3 Februari 2013.

Pencekalan ini terkait dengan penyebutan namanya oleh

para tersangka dan terdakwa kasus suap Kementrian

Pemuda dan Olahraga. Rencana Angie untuk umroh pun

akhirnya batal. KPK menetapkan Angie sebagai tersangka,

menjerat dengan Pasal 5, Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut berisi

ancaman pidana 1 tahun, 2 tahun dan 5 tahun serta denda

maksimal Rp 250.000.000 (Dua Ratus Lima Puluh Juta

Rupiah). Setelah resmi menjadi tersangka, Angie

diberhentikan dari jabatan sebagai Wakil Sekjen Partai

Demokrat.

- Rabu, 15 Februari 2012

Saat Angelina Sondakh menjadi saksi, dia mengaku

bahwa dirinya tidak memiliki BlackBerry, apalagi

menggunakannya untuk percakapan dengan tersangka lain,

Mindo Rosalina Manulang. Angie mengaku menggunakan

BlackBerry pada akhir 2010, sementara berdasarkan BAP

220

Page 221: II dan III

tercatat kalau Angie berkomunikasi BBM dengan Rosa

pada 15 Mei 2010.

- Jumat, 27 April 2012

Angie ditahan KPK dan dijebloskan dalam penjara

setelah menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka.

KPK menahan Angie di Rumah Tahanan Salemba Cabang

KPK di Kuningan, Jakarta Selatan, untuk masa 20 hari

setelah surat penahanan dikeluarkan. Alasan pehananan

Angie didasari adanya keterlibatan dalam dugaan suap

dalam pengurusan anggaran di Kementrian Pemuda dan

Olahraga serta di Kementrian Pendidikan Nasional

(sekarang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan)

2010/2011.

- Selasa, 1 Mei 2012

Sekitar pukul 14.18 WIB, Angie dibawa ke rumah

sakit didampingi oleh dua pengawal tahanan KPK karena

sinusitis yang dideritanya sejak kecil mendadak kambuh.

- Kamis, 3 Mei 2012

Angelina Sondakh menjalani pemeriksaan untuk

kedua kalinya di gedung KPK. Pemeriksaan ini

berlangsung kurang lebih lima jam.

221

Page 222: II dan III

- Jumat, 11 Mei 2012

Teuku Nasrullah, pengacara Angelina Sondakh,

mengungkapkan bahwa kliennya sakit cedera bahu yang

membutuhkan operasi untuk memulihkan kembali

kondisinya. Cidera berawa dari patah tulang yang pernah

dialami beberapa waktu yang lalu dan membutuhkan

perawatan lanjutan.

- Selasa, 15 Mei 2012

KPK memperpanjang masa penahanan terhadap

Angie selama 40 hari ke depan. Sebelumnya KPK

melakukan penahanan terhadap politikus Partai Demokrat

itu selam 20 hari. Penahanan sudah dilakukan sejak Jumat

(27/4) dan berakhir pada Rabu (16/5). Oleh karena itu,

KPK memutuskan memperpanjang masa penahanan

terhadap Angie untuk 40 hari dimulai pada Kamis (17/5)

hingga Minggu (25/6).

- Selasa, 29 Mei 2012

Angie diperiksa sejak pukul 10.00 WIB dan keluar

pukul 13.35 WIB dengan menerima kurang lebih 21

pertanyaan.

- Kamis, 11 Oktober 2012

Sidang dengan terdakwa Angelina Sondakh dalam

kasus dugaan korupsi penggiringan anggaran di

222

Page 223: II dan III

Kemenpora dan Kemendiknas kembali digelar di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Saksi yang

dihadirkan dalam sidang kali ini yaitu Rosa.

Rosa memberikan kesaksian yang mempertegas

bahwa di semua komisi DPR ada anggota dewan yang

menjadi bagian dari mafia anggaran. Mereka bertugas

menggiring anggaran agar sesuai pesanan perusahaan-

perusaahn yang ikut bermain. Penggiringan anggaran tidak

hanya pada Kemenpora dan Kemendiknas, namun juga

pada kementrian yang lain, seperti Kementrian Kesehatan,

Kementrian Agama, dan Kementrian Perhubungan. Rosa

juga mengungkapkan bahwa Angie pernah mengunjungi

Rosa di Tahanan Pondok Bambu, Desember 2011. Angie

tidak membantah. Di hadapan hakim, dia mengaku saat itu

mendatangi Rosa untuk mempertanyakan mengapa

namanya disebut dalam persidangan kasus suap wisma

atlet.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Angelina

Sondakh didakwa menerima sejumlah uang sebagai

pemberian atau janji dari Grup Permai. Pemberian tersebut

merupakan imbalan atau fee atas jasa Angie dalam

menggiring anggaran untuk proyek program pendidikan

tinggi di Kementrian Pendidikan Nasional serta program

223

Page 224: II dan III

pengadaan sarana prasarana olahraga Kementrian Pemuda

dan Olahraga. Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan

tim jaksa penuntut umum KPK di Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 6 September 2012,

uang imbalan diterima Angie secara bertahap di sejumlah

tempat. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

1) Pada 12 Maret 2010, uang senilai Rp 70 (tujuh puluh

juta) Rupiah dikeluarkan dari kas Grup Permai untuk

mendukung Angie dalam pengurusan anggaran

Kemendiknas. Uang diambil oleh Clara, staf keuangan,

atas permintaan Rosa.

2) Pada 13 Maret 2010, sebesar 100.000 dolar AS

dikeluarkan dari kas Grup Permai yang diantarkan oleh

kurir Grup Permai bernama Rifangi untuk diserahkan

kepada Angie melalui Jefri selaku kurir penerima uang.

3) Pada 19 April 2010, Angie menerima uang sebesar Rp

2,5 miliar sebagai dukungan dalam rangka pengurusan

proyek universitas 2010. Pemberian uang tersebut

sebelumnya diawali komunikasi Angie dengan Rosa

melalui BBM tanggal 10 April 2010. Uang miliaran

rupiah dari Grup Permai tersebut dimasukkan ke dalam

kardus berwarna putih dan coklat lalu diantarkan staf

224

Page 225: II dan III

Grup Permai ke Mall Ambasador untuk diserahkan ke

Angie melalui Jefri.

4) Pada 3 Mei 2010, Grup Permai mengeluarkan uang dari

kas senilai Rp 2 miliar untuk Angie.

5) Pada 4 Mei 2010, sebesar Rp 3 miliar sebagai uang

dukungan untuk Angie dalam rangka keperluan APBN

2010 terkait anggaran universitas. Uang tersebut

diterima melalui Jefri selaku kurir yang telah

menunggu di daerah sekitar Senayan, Jakarta Selatan.

6) Pada 5 Mei 2010, dikeluarkan lagi uang dari kas Grup

Permai sebanyak dua kali, yakni Rp 2 miliar pada pagi

hari dan Rp 3 miliar pada sore hari. Pengeluaran kas

Grup Permai tersebut dalam rangka pengurusan proyek

Kemenpora 2010. Terkait proyek itu, Angie selaku

Ketua Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran

Komisi X dan anggota Komisi X, I Wayan Koster,

meminta uang Rp 5 miliar untuk kepengurusan

anggaran wisma atlet. Permintaan tersebut dipenuhi

Grup Permai. Pada pagi hari diantar uang Rp 2 miliar

dalam kardus printer ke ruangan Wayan Koster di lantai

6 Gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta. Sore

225

Page 226: II dan III

harinya, diantar ke ruangan kerja Wayan Koster, uang

senilai Rp 3 miliar yang dibungkus kardus rokok.

7) Pada 19 Juni 2010, Grup Permai kembali mengeluarkan

uang sebanyak dua kali, masing-masing sebesar

100.000 (Seratus ribu Dolar Amerika Serikat), sehingga

total berjumlah 200.000 (Dua ratus ribu Dolar Amerika

Serikat) sebagai pembayaran komitmen kepada Angie

terkait pengurusan anggaran Kemendiknas. Pemberian

uang dilakukan melalui Jefri di Restoran Paparon’s

Pizza.

8) Pada 2 September 2010, dikeluarkan uang dari kas

Grup Permai sebesar 150 ribu dolar AS untuk

pembayaran komitmen kepada Angie terkait

kepengurusan proyek universitas 2010. Uang tersebut

diserahkan ke Wayan Koster di Hotel Century, Jakarta,

atas permintaan Angie.

9) Pada 14 Oktober 2010, Grup Permai mencairkan dana

sebesar 300 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar AS

kepada Angie dan I Wayan Koster sebagai uang

dukungan untuk pembahasan anggaran Kemendiknas.

Uang tersebut diserahkan angie melalui kurir yang

bernama Alex.

226

Page 227: II dan III

10) Pada 17 Oktober 2010, Grup Permai mengeluarkan kas

sebesar 400 ribu dolar AS untuk Angie dan Wayan

Koster terkait proyek universitas 2010. Uang tersebut

dibungkus kertas kado dan diantarkan staf Grup Permai

ke ruangan Koster di lantai 6 Gedung DPR dan

diterima staf Koster.

11) Pada 26 Oktober 2010, kembali dikeluarkan uang

sebesar 500 ribu dolar AS untuk Angie dan Koster.

12) Pada 3 November 2010, sebesar 500 ribu dolar AS

dikeluarkan Grup Permai untuk diberikan kepada

Angie dan I Wayan Koster.

13) Pada 22 November 2010, dikeluarkan uang dari kas

Grup Permai sebesar Rp 10 juta untuk Angie yang

sebelumnya diawali komunikasi Angie dengan Rosa

dimana Angie meminta Rosa memberi sumbangan

korban letusan gunung Merapi, daerah pemilihan

Angie. Uang tersebut ditransfer melalui rekening staf

Angie yang bernama Lindina Wulandari.

b. Dakwaan Penuntut Umum

Pada persidangan tingkat pertama pada Perkara Nomor:

54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. Maka Jaksa Penuntut umum

227

Page 228: II dan III

memberikan tuntutan dalam sesuai Pasal 5 ayat (2) atau Pasal

11 atau Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 18 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat

(1) KUH Pidana. Di antara pasal-pasal alternatif itu, Pasal 12

huruf a memuat ancaman hukuman paling berat: penjara

paling singkat empat tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun ditambah denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling

banyak Rp 1 miliyar. Tanpa bisa menolak melainkan pasrah

dengan hukum yang menjeratnya, sebagaimana tuntutan

Kejaksaan Negeri menetapkan politisi dan anggota DPR dari

Partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka

sekaligus sebagai kasus Wisma Atlet SEA Games. Steleh

berdasarkan putusan Hakim persidangan pada tanggal 10

Januari 2013, yang menetapkan Angelina Sondakh dan

memutus perkaranya dengan vonis dari kasus suap wisma atlet

ini. dengan kriteria sebagai berikut:

1. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa berupa pidana

penjara 12 tahun dan denda Rp 500.000.000,- (Lima ratus

juta Rupiah);

2. Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti

sejumlah Rp. 12.580.000.000 (Dua belas Miliar lima ratus

delapan puluh juta Rupiah) dan USD 2.350.000 (Dua juta

tiga ratus lima puluh ribu Dolar Amerika Serikat)

228

Page 229: II dan III

3. Selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan

memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila uang

pengganti tersebut tidak dibayar maka dipidana dengan

pidana penjara selama 2 tahun penjara.

Kenyataan tersebut harus diterima Angelina dengan

vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menetapkan

sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana korupsi seperti diatur di Pasal 11

Undang-undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah

dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP;

2. Menjatuhkan pidana penjara 4 tahun dan 6 bulan dan denda

Rp. 250.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak

dibayar diganti pidana kurungan 6 bulan.

Kemudian karena belum menemukan keadilan bagi

Angelina maka dirinya mengajukan kembali ke Pengadilan

Tingkat Banding yang mana diajukan oleh Terdakwa yang

mana tuntutan itu divonis kembali oleh Pengadilan Tinggi

Jakarta Pusat dengan memperkuat putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, Hingga ke tingkat kasasi Mahkamah Agung.

c. Pertimbangan Putusan Hakim

229

Page 230: II dan III

Memori Kasasi tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa Pemohon Kasasi II/Terdakwa dapat membuktikan

bahwa putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) jo putusan

Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah salah atau keliru dalam

memeriksa fakta-fakta hukum maupun bukti-bukti yuridis dan

dalam menerapkan hukum/peraturan perundang-undangan

serta lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh

peraturan perundang-undangan

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut

Mahkamah Agung berpendapat :

1. Alasan ke-1: Bahwa alasan kasasi Terdakwa tidak dapat

dibenarkan, karena perbuatan Terdakwa yang secara aktif

melakukan upaya menggiring Anggaran Kemendiknas

agar Proyek-proyek Pembangunan dan Pengadaan dan

Nilai Anggarannya sesuai dengan permintaan Permai Grup

lalu Terdakwa mendapat uang Rp 12.580.000.000,00 (Dua

belas miliar lima ratus delapan puluh juta Rupiah) dan US

$ 2.350.000,00 (dua juta tiga ratus tiga puluh ribu Dollar

Amerika Serikat) merupakan tindak pidana Korupsi ;

2. Alasan-alasan ke-2 sampai dengan ke-4 : Bahwa alasan-

alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan-

alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang

bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan

230

Page 231: II dan III

semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam

pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada

tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan

suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak

diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara

mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-

Undang dan apakah Pengadilan telah melampaui batas

wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal

253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(Undang-Undang No. 8 Tahun 1981);

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di

atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara

ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-

undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

II/Terdakwa tersebut harus ditolak;

Menimbang, bahwa namun demikian salah seorang

Hakim Ad. Hoc Tipikor pada Mahkamah Agung/Pembaca

I (Prof. Dr. Mohammad Askin, SH) mempunyai pendapat

yang berbeda (dissenting opinion) tentang pidana

tambahan berupa uang pengganti, dengan pertimbangan

sebagai berikut :

a. Bahwa alasan Penuntut Umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tentang

231

Page 232: II dan III

jumlah uang yang diterima Terdakwa sejumlah Rp

12.580.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus delapan

puluh juta rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua juta tiga

ratus tiga puluh ribu Dollar Amerika Serikat) tidak

dapat dibenarkan oleh karena judex facti berdasarkan

penilaian hasil pembuktian serta penghargaan atas

kenyataan yang ada hanya menemukan sejumlah uang

yang diterima Terdakwa sebesar Rp2.500.000.000,00

(dua miliar lima ratus juta rupiah) dan USD

1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu Dollar Amerika

Serikat);

b. Bahwa penjatuhan hukuman tambahan berupa

pembayaran uang pengganti seperti yang dimohonkan

Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi

Republik Indonesia tidak dapat dibenarkan, oleh

karena Judex Facti tidak salah mempertimbangkan

hukuman yang dijatuhkan;

c. Bahwa oleh karena itu Hakim Ad. Hoc Tipikor pada

Mahkamah Agung (Prof. Dr. Mohammad Askin, SH)

berpendapat permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

I/Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan

Korupsi Republik Indonesia dikabulkan dengan

membatalkan putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi)

232

Page 233: II dan III

yang telah menguatkan putusan judex facti (Pengadilan

Negeri) dengan menjatuhkan hukuman setimpal

dengan perbuatan Terdakwa karena terbukti melakukan

tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam

dakwaan Kesatu dengan pidana penjara 12 (dua belas)

tahun dan denda Rp 500.000.000,00 (Lima ratus juta

Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak

dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 8

(delapan) bulan, dengan uang pengganti conform judex

facti;

Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan

pendapat dalam Majelis dan telah diusahakan dengan

sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka

sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Majelis setelah

bermusyawarah dan diambil keputusan dengan suara

terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan kasasi dari

Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dengan

penjatuhan hukuman tambahan berupa pembayaran uang

pengganti;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan

kasasi dari Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia

233

Page 234: II dan III

dikabulkan dan Pemohon Kasasi II/Terdakwa dinyatakan

bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada

semua tingkat peradilan dibebankan kepada Pemohon

Kasasi II/Terdakwa;

Memperhatikan Pasal 12 a jo Pasal 18 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo No.20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64

ayat (1) KUHP, Undang-Undang No.48 Tahun 2009,

Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 dan Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah

diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004, dan

perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang

bersangkutan.

d. Putusan Hakim

Putusan Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 (Angelina Patricia Pingkan

Sondakh).

Mengadili:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

II/Terdakwa Angelina Patricia Pingkan Sondakh tersebut.

234

Page 235: II dan III

2. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I:

Penuntut Umum.

3. Pada Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi

Republik Indonesia tersebut.

4. Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

pada Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat Nomor

11/PID,TPK/2013/PT.DKI. tanggal 22 Mei 2013 yang

telah menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 10 Januari

2013.

Mengadili Sendiri:

1. Menyatakan Terdakwa Angelina Patricia Pingkan Sondakh

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “Korupsi Secara Berlanjut”;

2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana

kurungan selama 8 (delapan) bulan.

3. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar uang

pengganti sebesar Rp 12.580.000.000,00 (dua betas miliar

lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $

235

Page 236: II dan III

2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar

Amerika Serikat), dengan ketentuan jika Terpidana tidak

membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan

sesudah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum

tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan

dilelang untuk membayar uang pengganti dan dengan

ketentuan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta

yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut,

maka akan diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima)

tahun.

4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

5. Menetapkan Terdakwa tetap dalam tahanan.

6. Menetapkan barang bukti.

e. Analisis Hukum

Memperlihatkan bahwa hasil putusan yang dikenakan

berdasarkan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 11

atau Pasal 12 huruf A seperti diatur dalam UU PTPK,

Angelina Sondakh hanya oleh Pengadilan Negeri memberikan

Vonis 4 tahun 6 bulan. Namun Mahkamah Agung melalui

majelis hakim Agung yang di pimpin Artidjo memperberat

236

Page 237: II dan III

hukuman Angelina Patricia Pingkan Sondakh menjadi 12

tahun penjara yang lebih berat dari sebelumnya.

Tindakan dari Mahkamah Agung melalui Hakim

Artidjo Alkostar, diapresiasikan dapat menghilangkan

kejahatan terhadap kerugian negara yang timbul dari prilaku

korupsi aparatur negara dengan memberi efek jera bagi pelaku

korupsi. Namun masa hukuman yang diperberat itu dianggap

merupakan keadilan dari sudut pandang kerugian negara dan

menjadi alasan penulis menilai keadilan yang dicapai hanya

sebagai keadilan dari sudut pandang spiritual justice, moral

justice dan social justice, tetapi belum secara tegas menyentuh

pada philosophy and legal justice yang sekiranya dapat

menjembatani penganut paham hukum doktrinal dan

nondoktrinal, sehingga penulis menambahkan satu solusi lagi

agar terwujud keadilan, secara filosofis tetap berpedoman

kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berisi mengenai

visi dan misi bangsa dan negara Indonesia, karena keadilan

yang dicita-citakan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di

samping bersifat relijius-sosialis, juga bersifat luhur, universal

dan jauh dari sifat sekuler-individualistis-materialistis.

Keduanya ini pun bisa sebagai perekat bangsa dan negara

237

Page 238: II dan III

Indonesia, yang saat ini sedang bercerai-berai terutama

kalangan atau penganut dua paham tersebut (doktrinal dan non

doktrinal). Karena Pancasila oleh kalangan ahli hukum

doktrinal di Indonesia diakui sebagai staats fundamental

norms, begitu pun dan Pembukaan UUD 1945 dianggap

sebagai sesuatu yang sakral keberadaannya, sehingga harus

mereka ikuti. Sedangkan dari pemikiran-pemikiran ahli hukum

non doktrinal di Indonesia, Pancasila maupun dan Pembukaan

UUD 1945 sudah sesuai dengan alur pikirnya atau konsep

yang selama ini dibangun.180

3.2.2.Kasus Penyalahgunaan Wewenang Dalam Proses Hukum

3.2.2.1. Proses Kasus Mantan Mentari Agama (Suryadharma Ali)181

a. Kasus Posisi

Suryadharma Ali Lahir di Jakarta 19 September 1956

yang berdomisili di alamat Jl. Raya Mandala VII No 2,

Menteng, Jakarta Selatan. Pada Tangga 22 Mei 2014 KPK

menetapkan mantan Menteri Agama R.I. Suryadharma Ali

sebagai tersangka. KPK juga mengeledah ruang kerja

Suryadharma Ali dan Dirjen Haji-Umrah, Anggita Abimanyu.180 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006. hlm. 22181 http://www.kompasiana.com/rezaazhar/selembar-potongan-kiswah-kpk-membawa-sda-

ke-penjara-eksepsi-sda-updated_55ed6a754ef9fdb3122b1fd6 dengan Topik: Selembar Potongan Kiswah Suryadharma Ali ke Penjara Eksapsi Suryadharma Ali tidak diterima, di akses tanggal 28 Januari 2016

238

Page 239: II dan III

Bermula terjadi pada Tahun 2013 kasus dugaan

korupsi dana haji di Kementerian Agama, bermula dari adanya

penyimpangan dalam perjalanan haji, Ketua PPATK

Muhammad Yusuf menyebut, sepanjang 2004-2012, ada dana

biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sebesar Rp 80

triliun dengan bunga sekitar Rp 2,3 triliun.

Hasil audit PPATK, ada transaksi mencurigakan

sebesar Rp 230 miliar yang tidak jelas penggunaannya. Ada

indikasi dana haji ditempatkan di suatu bank tanpa ada

standardisasi penempatan yang jelas. Kejadian ini oleh KPK

dijadikan temuan untuk dilakukan penyelidikan selama hampir

setahun. Namun, belum ada pihak-pihak yang diperiksa.

Hingga pada bulan Januari 2014, KPK mulai

melakukan penyelidikan atas dugaan penyimpangan dana haji

tahun anggaran 2012-2013 khususnya pengadaan barang dan

jasa. KPK juga menyelidiki biaya BPIH.

Pada tanggal 3 Februari 2014, KPK memeriksa

anggota Komisi VIII DPR, Hasrul Azwar Tanggal 6 Februari

2014 KPK juga meminta keterangan anggota Komisi VIII

Dewan Perwakilan Rakyat asal fraksi Partai Keadilan

Sejahtera, Jazuli Juwaini. Tanggal 19 Maret 2014 KPK

meminta keterangan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji

dan Umroh Kementerian Agama Anggito Abimanyu.

239

Page 240: II dan III

Selanjutnya tanggal 6 Mei 2014: KPK meminta

keterangan Menteri Agama Suryadharma Ali terkait

penyelidikan proyek pengadaan barang dan jasa dalam

penyelenggaraan haji. Selama sepuluh jam, Suryadharma, di

antaranya, dicecar soal pemondokan haji yang tak layak.

Tanggal 15 Mei 2014: Ketua KPK Abraham Samad

menyatakan bahwa dalam satu atau dua pekan ke depan KPK

akan menetapkan tersangka. Tanggal 16 Mei 2014, Capres

Prabowo Subianto sempat memuji Suryadharma Ali dengan

menyebut penyelenggaraan ibadah haji sangat baik. Kemudian

Tanggal 22 Mei 2014, KPK menggeledah ruang kerja

Suryadharma di lantai II Gedung Pusat Kementerian Agama di

Lapangan Banteng No. 3-4, Jakarta Pusat, selama sembilan

jam. Tanggal 22 Mei 2014, KPK menetapkan Suryadharma

sebagai tersangka berdasarkan bukti-bukti adanya

penyalahgunaan dana haji danOperasional menterisehingga

Ditjen Imigrasi Kemenkumham mencegah Suryadharma Ali

berpergian ke luar negeri selama enam bulan.

Hingga bulan November 2014, Suryadharma Ali masih

tetap diawasi oleh KPK hingga hari Senin, tanggal 21

September 2015, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor) menolak nota keberatan atau eksepsi mantan

Menteri Agama Suryadharma Ali dalam perkara dugaan

240

Page 241: II dan III

korupsi Dalam Putusan Sela di Pengadilan Tipikor Jakarta,

yang amarnya:

1. “Ketua Majelis Hakim Aswijon saat Mengadili,

menyatakan eksepsi atau keberatan dari terdakwa

Suryadharma Ali dan penasihat hukum terdakwa tidak

dapat diterima,".

2. Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum KPK atas

nama terdakwa Suryadharma Ali adalah sah dan telah

memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf “a” dan “b”

KUHAP. Ketiga, memerintahkan penuntut umum untuk

melanjutkan pemeriksan pokok perkara."

Nota keberataan dakwaan dan nilai kerugian, perkara a

quo, Suryadharma didakwa memperkaya diri sendiri sejumlah

Rp 1,821 miliar dan memperoleh hadiah 1 lembar potongan

kain Ka'bah (kiswah).

Suryadharma juga dinyatakan merugikan keuangan

negara sejumlah Rp 27,283 miliar dan 17,967 juta riyal

(sekitar Rp 53,9 miliar), menurut laporan perhitungan kerugian

negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

(BPKP).

Menurut jaksa, Suryadharma melakukan sejumlah

perbuatan yang melanggar hukum, yaitu:

241

Page 242: II dan III

1. Menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi

persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah

Haji (PPIH) Arab Saudi dan mengangkat Petugas

Pendamping Amirul Hajj tidak sesuai ketentuan.

Menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) tidak

sesuai dengan peruntukan.

2. Mengarahkan tim penyewaan Perumahan Jemaah Haji

Indonesia di Arab Saudi untuk menunjuk penyedia tempat

tinggal jemaah Indonesia tidak sesuai ketentuan, serta

memanfaatkan sisa kuota haji nasional tidak berdasarkan

prinsip keadilan dan proporsionalitas.

Dalam eksepsinya, Suryadharma membantah hal ini. Ia

beralasan bahwa kerugian negara yang didakwakan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada dirinya, sekitar Rp 53,9

miliar, hanya kebohongan belaka.

“Sebagai tersangka, saya terhempas," kata

Suryadharma. "Saya terhina. (dalam Pledoinya) yang

diajukannya Apalagi kerugian disebutkan saudara (Plt Wakil

Ketua KPK) Johan Budi lebih dari Rp 1 triliun Rupiah.

Bahkan ada yang mengatakan sampai Rp 1,8 triliun. Ternyata

kerugian keuangan negara yang disebutkan di atas bohong

belaka karena tidak sesuai dengan angka-angka yang

didakwakan penuntut umum KPK pada saya,” katanya.

242

Page 243: II dan III

“Ditambah lagi rekening bank milik saya, istri, anak,

mantu yang diblokir KPK untuk mencari aliran korupsi,

ternyata KPK tidak menemukan aliran dana yang dimaksud

satu rupiah pun, dan kemudian rekening-rekening tersebut

blokirnya dibuka kembali," kata Suryadharma lagi.

Namun hakim memiliki pendapat berbeda dalam hal

ini. Majelis hakim berpendapat nota keberatan atau eksepsi

dari terdakwa dan penasihat hukum terhadap surat dakwaan

penuntut umum tidak beralasan hukum untuk dikabulkan

sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Terkait perhitungan kerugian negara Rp 53,9 miliar,

majelis hakim menilai bahwa BPKP berwenang melakukan

audit kerugian negara, bukan hanya Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) saja.

Perhitungan kerugian negara juga dapat dilakukan oleh

ahli lainnya, seperti akuntan publik, demikian juga BPKP atas

permintaan dari penyidik.

“Bahkan, apabila penyidik dan penuntut umum

memiliki kemampuan untuk melakukan penghitungan, juga

dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat perbuatan

korupsi," kata Aswijon.

Apalagi, menurut hakim, ada putusan Mahkamah

Konstitusi pada 24 Oktober 2012 yang isinya menyatakan

243

Page 244: II dan III

bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPK

dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana Korupsi,

melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain,

bahkan bisa membuktikan sendiri, atau mengundang ahli

lainnya.

Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali bersikukuh

dirinya tidak diperkaya atau diuntungkan dalam

penyelenggaraan haji 2010-2013. Bahkan, dalam eksepsinya,

Suryadharma mempermasalahkan tindakan penyidik Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadikan sepotong

kiswah sebagai barang bukti untuk perkaranya.

Kiswah sendiri adalah kain penutup ka'bah yang biasa

diganti setiap tahun ketika jemaah haji berjalan ke Bukit

Arafah pada bulan Zulhijah. Dahulu, kiswah dianggap

berharga karena bertaburan emas dan permata. Suryadharma

berdalih kiswah yang diterimanya bisa jadi tidak asli dan

dijual toko kaki lima di Mekkah dan Madinah. Akan tetapi,

menurut penuntut umum KPK Abdul Basir, pengertian

"memperkaya" atau "menguntungkan" yang didapat dari

tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak melulu diukur dengan

nilai uang, melainkan dapat dinilai dari sisi historis dan

religius. Oleh karena itu, Abdul menilai, tidak relevan jika

244

Page 245: II dan III

suatu benda hasil korupsi dimaknai semata-mata dengan nilai

uang. "Banyak benda mahal justru bernilai bukan dari nilai

intrinsiknya, tapi dari penilaian sisi lainnya, seperti faktor

historis dan religiusitas," katanya saat membacakan tanggapan

atas eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin Tanggal 14

September 2015. Dengan menganggap bahwa bantahan Surat

Dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut KPK adalah kabur

(obscuur libel), serta tidak disusun secara cermat, jelas, dan

lengkap. Menurutnya, walau dalam surat dakwaan terdapat

kesalahan ketik mengenai alamat terdakwa yang seharusnya Jl.

Jaya Mandala menjadi Jl. Mandala, tidak mengakibatkan

dakwaan menjadi kabur.

Begitu pula dengan tidak dicantumkannya titel Haji

dan gelar Suryadharma sebagaimana yang tercantum dalam

KTP. Dengan menilai bila tidak dicantumkannya titel Haji dan

gelar Suryadharma dalam surat dakwaan tidak menjadikan

dakwaan error in persona. Terlebih lagi, Pasal 143 KUHAP

hanya mengharuskan pencantuman nama lengkap terdakwa.

Mengenai uraian dakwaan yang dianggap penasihat

Suryadharma Ali tidak cermat, dan tidak lengkap, anggapan

Penasihat Hukum terdakwa menurut Jaksa dalam eksepsi dalil-

dalilnya tidak beralasan secara hukum. Sebab, penuntut umum

telah mencantumkan tempus dan locus delicti, serta

245

Page 246: II dan III

menguraikan perbuatan sesuai unsur-unsur pasal yang

didakwakan terhadap Suryadharma Ali.

Selain itu terkait materi eksepsi, seperti pihak-pihak

lain yang menerima sisa kuota haji, keikutsertaan Isteri

Suryadharma dalam rombongan haji yang telah mendapat

persetujuan tertulis dari Presiden, serta kiswah yang bisa jadi

tiruan karena banyak dijual di toko kaki lima di Mekah dan

Madinah, kemudian adanya materi-materi yang diajukan

Penasihat Hukum sebagai eksepsi oleh terdakwa Suryadharma

Ali tersebut, tidak masuk dalam lingkup materi eksepsi yang

diatur KUHAP, melainkan sudah masuk materi pembuktian

pokok perkara. Dengan demikian, Abdul meminta majelis

hakim yang dipimpin Aswidjon untuk menolak seluruh

eksepsi Suryadharma dan pengacaranya.

"Memohon kepada majelis menyatakan surat dakwaan

No.Dak-28/24/08/2015 tanggal 21 Agustus 2015 yang telah

kami bacakan pada tanggal 31 Agustus 2015 telah memenuhi

syarat sebagaimana ditentukan dalam KUHAP dan

menetapkan untuk melanjutkan persidangan ini berdasarkan

surat dakwaan penuntut umum," tuturnya.

Suryadharma merasa kecewa dengan tanggapan atas

eksepsi yang disampaikan penuntut umum. Selain karena

penuntut umum tidak menanggapi sejumlah materi eksepsi,

246

Page 247: II dan III

juga karena adanya perbedaan pandangan soal kiswah. Ia

berpendapat, sepotong kiswah tidak mempunyai nilai

ekonomis, melainkan hanya nilai agamis dan spiritual.

Selain itu, Suryadharma merasa tindakan KPK yang

menjadikan kiswah sebagai barang bukti dalam perkara

korupsi sebagai bentuk penistaan agama. Menurutnya,

penindakan hukum tidak seharusnya menistakan agama. Ia

menduga majelis hakim akan menolak eksepsinya karena

banyak materi eksepsi yang dinilai harus dibuktikan di

persidangan.

"Kalau menurut penuntut umum (kiswah) bisa

dijadikan barang bukti, bisa riskan penyelenggaraan hukum di

Indonesia. Artinya, doa untuk pejabat bisa disebut gratifikasi.

Hukum itu harus mempertimbangkan aspek sosiologis,

filosofis, adat istiadat, dan agama. Kalau agama tidak lagi jadi

pertimbangan, hapus saja Pancasila," tandasnya, adapun

benang merah Pledoi yang diberikan oleh Suryadharma Ali

adalah sebagai berikut:

Perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan kawan

peserta lainnya tersebut telah memperkaya terdakwa sejumlah

Rp. 1.821.698.840. (satu miliar delapan ratus dua puluh satu

juta enam ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus

empat puluh Rupiah) dan 1 (satu) lembar potongan Kiswah.

247

Page 248: II dan III

Bahwa Akibat Perbuatan Terdakwa telah merugikan

keuangan Negara sejumlah Rp. 27.283.090.068,02 (dua puluh

tujuh miliar dua ratus delapan puluh tiga juta sembilan puluh

ribu enam puluh delapan Rupiah dan dua sen) dan SR.

17.967.405.00 (tujuh belas juta sembilan ratus enam puluh

tujuh ribu empat ratus lima Riyal Saudi) atau setidak-tidaknya

sejumlah itu sebagaimana Laporan Perhitungan Kerugian

Negara dari Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan

Pembangunan Nomor SR-549/D6/I/2015 tanggal 5 Agustus

2015 (BPK Nomor SR-550/D6/I/2015 tanggal 5 Agustus

2015). Surat BPKP tentang Kerugian Negara pada tanggal 5

Agustus 2015 telah memberikan gambaran yang lebih jelas,

bahwa ketika Saya ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal

22 Mei 2014 belum ada alat bukti Kerugian Negara oleh

lembaga yang berwenang untuk itu. Jadi benar apa yang

dikatakan oleh Taufiqurrahman Ruki bahwa KPK yang

sekarang menetapkan tersangkanya dulu lalu kemudian alat

buktinya dicari-cari.

Alat bukti menurutnya telah ditemukan dan SDA sudah

layak diadili. Yang Mulia Majelis Hakim Disejumlah halaman

dakwaan Penuntut Umum KPK menyebutkan: “… untuk dapat

menunaikan ibadah haji gratis dengan menjadi petugas PPIH

Arab Saudi” Apakah yang dimaksud dengan “dapat

248

Page 249: II dan III

menunaikan ibadah haji gratis dengan menjadi petugas PPIH

Arab Saudi”? Saya mengartikannya dengan 2 (dua)

pengertian. Orang tersebut menjadi petugas haji tapi tidak

melaksanakan tugas-tugasnya, kecuali untuk menunaikan

ibadah haji dan umrah. Bila ini yang dimaksud Penuntut

Umum KPK, Saya tidak percaya ada petugas seperti itu,

kecuali Penuntut Umum bisa menunjukkan bukti-buktinya

bahwa mereka tidak bekerja sebagai petugas kecuali hanya

untuk berhaji saja. Orang tersebut menjadi petugas,

melaksanakan tugas-tugasnya lalu melaksanakan Haji dan

umrah. Bila itu yang dimaksud Penuntut Umum KPK, sangat

benar, semua petugas, panitia, dokter, perawat, keamanan,

sopir dan lain-lain termasuk Saya sebagai Amirul Hajj dan

anggota Amirul Hajj Melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh.

Siapapun yang datang ke Tanah Suci, bertugas untuk

keperluan apapun, bila ia beriman pasti dia melaksanakan Haji

dan Umrah, bila ia datang di luar waktu Haji, pasti ia

melaksanakan Umrah dan melakukan ziarah ke makam

Rasulullah SAW di Masjid Nabawi Madinah. Umroh ini

dilakukan juga oleh Penyidik KPK yang bernama Sdr. Edi

Wahyu Susilo dan Sugianto, ketika keduanya bertugas

menyelidiki Haji di tanah Suci. Hal ini mereka ungkapkan

pada Sidang praperadilan tentang kasus Suryadharma Ali.

249

Page 250: II dan III

Dan juga didakwa memberangkatkan istri dan orang-

orang dekat Saya untuk menunaikan ibadah haji secara gratis

pada bulan September 2012 dengan memerintahkan Sdr.

Saefudin a. Syafi’i untuk membentuk rombongan pendamping

Amirul Hajj yang beranggotakan Sdri. Wardatul Asriah, Sdri.

Ermalena, Sdr. Guritno Kusumo Dono, Sdr. Saefudin a.

Syafi’i, Sdr. Abdul Wadud k. Anwar, Sdr. Ivan Adhitira dan

Sdr. Hendri Amri M. Saud meskipun dalam komposisi petugas

Amirul Hajj tidak terdapat alokasi anggaran untuk petugas

pendamping Amirul Hajj. Yang Mulia dakwaan tersebut dapat

Saya jelaskan sebagai berikut: Terdakwa tidak pernah

memerintahkan Saefuddin A. Syafi’i membentuk rombongan

pendamping Amirul Hajj. Sdr. Saefuddin A. Syafi’i tidak

memiliki kewenangan untuk membentuk rombongan Amirul

Hajj dimakud. Yang disebut anggota Rombongan Amirul Hajj:

Wardatul Asriah, Istri Saya, yang kebetulan suaminya seorang

Menteri Agama, amat sangat lazim bila mendampingi

suaminya bertugas kemana saja, apalagi keberangkatan istri

Saya ke Tanah Suci mendapatkan izin tertulis dari Presiden RI

melalui Surat Menteri Sekertaris Negara yang ditandatangani

oleh Sudi Silalahi. Ermalena dan Sdr. Guritno Kusumo Dono

adalah staf khusus menteri Agama yang bertugas memantau

pelaksanaan teknis penyelenggaraan Ibadah haji.

250

Page 251: II dan III

SAEFUDDIN A. SYAFII adalah Kepala Bagian Tata Usaha

Menteri Agama merangkap Interpreter Saya dalam Bahasa

Inggris. ABDUL WADUD K. ANWAR adalah Interpretur

Saya dalam bahasa Arab. IVAN ADHITIRA adalah anggota

kepolisian yang merupakan Ajudan Saya. HENDRI AMRI M.

SAUD adalah juga Anggota kepolisian yang merupakan

Pengawal Saya. Keberangkatan mereka bukan untuk berhaji

gratis tapi untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai bidangnya.

Tidak terdapat alokasi Petugas Pendamping Amirul Hajj.

Bahwa betul tidak ada, penamaan seperti itu adalah kesalahan

administratif yang mereka lakukan. Apakah

tanggungjawabnya pantas dilemparkan ke Menteri selaku

pengguna Anggaran yang telah dikuasakan kepada Dirjend

PHU? Tidak ada alokasi anggaran untuk petugas pendamping

Amirul Hajj. Saya tidak tahu tentang hal itu. Semua yang

mengatur perjalanan Menteri Agama RI dan pembiayaannya

adalah tanggungjawab Sdr. SAEFUDDIN A. SYAFII. Dia

tidak boleh mempergunakan yang tidak dialokasikan. Saya

selaku Menteri memiliki anggaran perjalanan dinas sendiri

yang semestinya bisa dipergunakan. Yang Mulia, orang-orang

yang disebuut pada huruf a, c, d, e dan f secara protokoler

adalah orang-orang yang melekat pada menteri baik pada hari

kerja maupun pada hari libur, kecuali Menteri menghendaki

251

Page 252: II dan III

lain. Hal ini juga tidak tepat bila orang-orang yang disebut

pada poin a, b, c, d, e dan f telah mengakibatkan kerugian.

Mereka memang harus mendapat bayaran sesuai dengan

ketentuan. Yang Mulia, Saya juga didakwa

menggelembungkan harga-harga, merugikan Negara,

menguntungkan orang lain dan korporasi. Dalam hal

menggelembungkan harga, Menteri tidak memverifikasi

perusahaan-perusahaan penyedia pemondokan, catering dan

lain-lain, tidak melakukan negosiasi harga, tidak memutuskan

harga, tidak menandatangani kontrak-kontrak. Semua itu

dilakukan Ketua dan Anggota Tim Pemondokan, Ketua dan

Anggota Tim Catering dan lain-lain. Lalu apabila ada

penggelembungan harga, Terdakwa memberikan bantahan

yang menjadi tanggungjawabnya. Disisi lain harus diketahui

juga Yang Mulia, bahwa setiap Sen pengeluaran untuk Biaya

Penyelenggaraan Haji harus mendapat persetujuan Komisi

VIII DPR-RI dan Pemerintah. Jadi siapapun tidak bisa

seenaknya menetapkan harga di luar batas harga rata-rata yang

telah di tetapkan itu. Disebutkan juga ada kemahalan harga di

sini sekian, di sana sekian. Hal itu tidak ada kaitannya dengan

Saya selaku Menteri dan juga atas dasar apa mengukur

kemahalan harga itu? Pemerintah Indonesia memerlukan lebih

dari 320 (tiga ratus dua puluh) perumahan bertingkat, setingkat

252

Page 253: II dan III

apartemen atau hotel bintang 3 (tiga). Harga sewa perjamaah

pasti bervariasi dan mustahil bisa sama rata harganya,

walalupun perumahan yang disewa itu berdampingan. Sebagai

gambaran, hotel bintang 5 (lima) dan bintang 3 (tiga) di

Jakarta pasti mereka punya pricing policy sendiri. Jadi apabila

ada perbedaan harga sangat tidak tepat bila disebut ada

penggelembungan harga. Yang Mulia, Saya juga didakwa

bahwa atas dasar persetujuan Saya orang-orang yang

mendapat sisa kuota tanpa antrian telah merugikan keuangan

Negara. Hal tersebut juga tidak benar, karena seluruh

Akomodasi pemondokan catering, tenda, transportasi telah di

kontrak dan dibayar untuk kapasitas 194.000 (seratus sembilan

puluh empat ribu) jamaah haji. Jadi apabila ada penggeluaran

uang tambahan oleh KPA dan atau PPK di luar yang

diputuskan Komisi VIII DPR-RI dan Pemerintah, patut di

tenggarai adanya dugaan penyimpangan penggunaan anggaran

oleh KPA atau PPK atau ketua dan anggota tim atau gabungan

diantara mereka. Yang Mulia Majelis Hakim, Berkaitan

dengan dugaan korupsi yang menguntungkan orang lain atau

korporasi dari sisi dugaan korupsi dana haji, telah saya

jelaskan. Dan dugaan korupsi DOM juga telah saya jelaskan.

Dari sisi dugaan korupsi haji yang menguntungkan diri saya,

menurut Penuntut Umum KPK adalah 1 (satu) Lembar

253

Page 254: II dan III

Potongan Kiswah. (Dikutip dari Buku karangan Prof. Dr. Ali

HUsni al-Kharbuthli yang berjudul “Sejarah Ka’bah Kisah

Rumah Suci yang Tak Lapuk Dimakan Zaman”, Cetakan ke-

II, Jakarta : Turos Khazanah Pustaka Islam, 2013 pada

halaman 309 s.d. 311.)

Pengakuan Terdakwa tidak pernah dikonfirmasi

apakah kiswah itu dari seseorang atau dari pemberian siapa.

Untuk memuluskan maksudnya sebagai penyedia pemondokan

dan atau katering. Kiswah itu juga tidak memiliki Nilai

Ekonomis yang dapat memperkaya diri Saya. Kiswah tersebut

hanya memiliki nilai agamis spritual. Tragis, dengan selembar

Potongan Kiswah, KPK menjebloskan saya ke penjara. Saya

dituduh mempergunakan Dana Operasional Menteri (DOM)

secara melawan Hukum sebesar Rp 1.821.698.840,- (Satu

miliar delapan ratus dua puluh satu juta enam ratus sembilan

puluh delapan ribu delapan ratus empat puluh Rupiah) angka

itu sangat bisa dijelaskan duduk persoalan yang sebenarnya.

Bahwa uang itu berada dalam penguasaan Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA), tidak ada pada Menteri selaku Pengguna

Anggaran (PA). Teknis penggunaan uang tersebut sepenuhnya

berada ditangan dan tanggungjawab Kuasa Pengguna

Anggaran. Saya selaku yang dituduh mengunakan DOM

tersebut tidak pernah dikonfirmasi dalam penyidikan KPK

254

Page 255: II dan III

tanggal 14 Juli 2015 oleh penyidik Rufriyanto Maulana Yusuf.

Saya hanya ditunjukkan Buku Kas DOM Tahun 2011-2014,

dan ketika Saya tanya pada bagian mana dari catatan buku kas

tersebut yang merupakan pelanggaran hukum, Penyidik tidak

bisa menunjukkan. Penuntut Umum KPK dalam dakwaannya

kurang jelas. Jumlah rupiah digabungkan antara satu kejadian

ke kejadian yang lain, tidak seperti dalam penyidikan yang

oleh Penyidik dilihatkan satu persatu secara terperinci dan

dimaksudkan dalam BAP tanggal 14 juli 2015. Akibat itu Saya

mengalami kesulitan untuk menjelaskan secara terperinci atas

angka-angka DOM yang digabungkan oleh Penuntut Umum

KPK. Namun demikian, Saya tetap akan memberikan

bantahan dakwaan Penuntut Umum KPK sebagai berikut:

Membayar pengobatan anak Terdakwa sejumlah 12.435.000,-

(dua belas juta empat ratus tiga puluh lima ribu rupiah).

Terdakwa dalam Pledionya dahulu menjabat sebagai

Menteri Agama mengaku memperoleh asuransi kesehatan

VVIP dan istri Saya sebagai Anggota DPR RI juga memiliki

kartu asuransi VVIP, jadi tidak masuk akal bila Saya minta

dibayarkan biaya pengobatan anak Saya pakai uang DOM.

Membayar biaya pengurusan visa, membeli tiket pesawat,

pelayanan di bandara, transportasi dan akomodasi untuk

Terdakwa dan akomodasi untuk Terdakwa, keluarga dan

255

Page 256: II dan III

ajudan Terdakwa ke Australia, diantaranya untuk mengunjungi

anak Terdakwa yakni Sherlita Nabila yang sedang menempuh

pendidikan di Australia sejumlah Rp. 226.833.050,00 (dua

ratus dua puluh enam juta delapan ratus tiga puluh tiga ribu

lima puluh rupiah); Saya tidak pernah pergunakan uang DOM

untuk keperluan biaya liburan Saya dan Keluarga di dalam

maupun di luar negeri. Bukankah KPK telah menyita dan

Penuntut Umum KPK telah mengetahui dokumen pembayaran

tiket oleh Saya untuk keluarga Saya pada saat pergi haji yang

oleh media di gembar-gemborkan pakai uang Negara. Bila

Saya punya watak mengunakan uang DOM untuk biaya tiket

dan liburan Saya beserta kelurga, maka itu akan Saya lakukan

pada setiap perjalanan liburan Saya di dalam maupun luar

Negeri. Membayar transportasi dan akomodasi Terdakwa,

keluarga dan ajudan Terdakwa dalam rangka liburan dan

kepentingan lainnya di Singapura sejumlah Rp 95.375.830,00

(Sembilan puluh lima juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu

delapan ratus tiga puluh Rupiah).

Terdakwa mengakui tidak pernah pergunakan uang

DOM untuk liburan ke Singapura, Saya juga tidak pernah

meminta uang DOM untuk pembiayaan apapun di Singapura.

Saya menduga uang itu dititipkan oleh Sdr. Saefudin kepada

Ajudan, Saya tidak pakai, lalu dikembalikan ke Sdr. Saefudin,

256

Page 257: II dan III

namun Sdr. Saefudin tetap menulisnya sebagai uang yang

dipergunakan oleh Menteri. Diberikan kepada saudara

kandung Terdakwa bernama Titin Maryati sejumlah

Rp.13.110.000,00 (tiga belas juta seratus sepuluh ribu

Rupiah); Uang itu berasal dari uang Saya, bukan dari uang

DOM. Membayar visa, transportasi dan akomodasi, serta uang

saku Terdakwa bersama istri Terdakwa bernama Wardatul

Asriyah, anak Terdakwa bernama Kartika dan Rendika, serta

sekertaris/staf pribadi isteri terdakwa yakni Mulyanah Acim

dalam rangka pengobatan Terdakwa ke Jerman sejumlah Rp.

86.730.250,00 (delapan puluh enam juta tujuh ratus tiga puluh

ribu dua ratus lima puluh Rupiah); Dakwaan tersebut tidak

benar, Kartika dan Rendika hingga kini belum pernah pergi ke

Jerman. Sangat naïf bila untuk segala macam pembiayaan di

Jerman hanya Rp. 86.730.250. Sdr. Saefudin dan Sdr. Abdul

Wadut pada waktu itu ikut ke jerman mendampingi Saya. Saya

menduga Sdr. Saefudin menggunakan uang itu untuk

keperluan pribadinya selama di Jerman dan di catatnya dalam

pembukuan sebagai pengeluaran yang digunakan oleh Saya.

Sekali lagi, Sangat naïf Yang Mulia. Dipakai biaya tes

kesehatan dan membeli alat tes narkoba untuk isteri, anak dan

menantu Terdakwa dalam rangka pemilihan anggota legislatif

sejumlah Rp.1.995.000,00 (satu juta sembilan ratus sembilan

257

Page 258: II dan III

puluh lima ribu Rupiah); Tidak benar, Istri Saya bayar sendiri

melalui ajudannya. Dipergunakan untuk membayar pajak

pribadi Terdakwa Tahun 2011, langganan TV kabel, Internet,

biaya perpanjangan STNK Mercedes Benz, pengurusan paspor

cucu Terdakwa, diberikan kolega Terdakwa dan untuk

kepentingan Terdakwa lainnya yang seluruhnya sejumlah Rp

936.658.658,00 (Sembilan ratus tiga puluh enam juta enam

ratus lima puluh delapan ribu enam ratus delapan puluh lima

rupiah).

Biaya langganan TV Kabel dan internet adalah untuk

di Rumah Dinas Menteri. Biaya perpanjangan STNK

Mercedesz Benz Saya bayar sendiri, sedangkan untuk

pengurusan paspor cucu dananya di berikan kepada yang

mengurus dan dana itu tidak dari DOM. Penggabungan angka

tersebut mengakibatkan dakwaan tersebut kurang jelas dan

Saya mengalami kesulitan untuk menjelaskan. Saya mohon

dakwaan ini diperjelas. Digunakan untuk membayar biaya

pengurusan visa, membeli tiket pesawat, pelayanan di bandara,

transportasi dan akomodasi untuk Terdakwa, keluarga

Terdakwa ke Inggris sejumlah Rp 51.976.025,00 (lima puluh

satu juta sembilan ratus tujuh puluh enam ribu dua puluh lima

rupiah). Saya bersama keluarga pergi ke Inggris, terdiri dari

istri, 3 (tiga) orang anak, ajudan istri, Sdr. Saefudin dan Sdr.

258

Page 259: II dan III

Abdul Wadud. Masuk akalkah uang sebesar itu Saya

pergunakan untuk biaya visa, membeli tiket pesawat,

pelayanan di Bandara, transportasi dan akomodasi Saya dan

keluarga ke Inggris.

Ikut mendampingi Saya pada waktu itu adalah Sdr.

Saefudin dan Sdr. Abdul Wadud. Saya menduga uang itu

dipergunakan untuk kepentingan mereka berdua, lalu dicatat

sebagai DOM yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi

menteri. Bahwa selain itu Terdakwa juga menggunakan DOM

untuk diberikan kepada pihak lain yang tidak sesuai dengan

ketentuan penggunaan DOM, diantaranya untuk Tunjangan

Hari Raya (THR), sumbangan kepada kolega, staf dan pihak

lainnya sejumlah Rp.395.685.000,00 (tiga ratus Sembilan

puluh lima juta enam ratus delapan puluh lima ribu Rupiah).

Hal itu sama sekali tidak menyalahi aturan karena memang

untuk kelancaran tugas-tugas menteri. Saya tidak pernah

membaca surat yang menjabarkan, yang memberi batasan atau

kriteria atas Peraturan Menteri Keuangan No. 3/PMK.06/2006,

tentang Dana Operasional Menteri/Pejabat Setingkat Menteri.

Yang Mulia, penilaian Penuntut Umum KPK tentang adanya

kerugian negara dalam penggunaan DOM adalah merupakan

penilaian subyektif tanpa landasan hukum, yang apabila hal ini

diterapkan maka semua Menteri SBY akan bersalah dan

259

Page 260: II dan III

didakwa korupsi. Dakwaan Penuntut Umm tentang

penyalahgunaan DOM oleh Saya terasa sangat aneh. Mengapa

Penuntut Umum tidak melihat kejanggalan Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) yang membiarkan Pejabat Pembuat

Komitmen (PPK) setelah pencairan Rp.100.000.000 (seratus

juta rupiah) per bulan menyerahkan uang itu kepada Sdr.

Seafuddin A. Syafii selaku Kabag Tata Usaha pimpinan dan

Sdr. Amir Jafar selaku Kasubag Tata Usaha dan pengelolaan

secara teknis oleh Sdr. Rosandi tanpa prosedur tata cara

penggunaannya. Apakah KPA melakukan hal yang sama pada

jenis anggaran yang lainnya, Kriminalisasi Penggunaan DOM

inilah yang menjadi kekhawatiran Pemerintahan Presiden Joko

Widodo. Akibatnya Menteri Keuangan Bambang

Brodjonegoro telah mengganti Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 20/PMK.06/2006 Tentang Dana Operasional

Menteri/Pejabat Setingkat Menteri dengan Peraturan Menteri

Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.05/2014

Tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Dana Operasional

menteri atau Pimpinan Lembaga. Pada PMK baru tersebut

ditentukan sebesar 80% (delapan puluh persen) diberikan

secara Lumpsum kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga dan

20% (dua puluh persen) untuk dukungan operasional lainnya.

Paparan diatas, jelas menunjukkan bahwa dakwaan korupsi

260

Page 261: II dan III

menyalahgunaan DOM ini sangat lemah dan dipaksakan,

karena itu Yang Mulia Saya mohon Dakwaan ini ditolak.

Majelis Hakim yang Mulia, dengan segala hormat,

Saya menyayangkan Penuntut Umum KPK dalam

dakwaannya tidak menyinggung sama sekali apalagi

mempertimbangkan tugas, fungsi dan wewenang Menteri

sebagai Pengguna Anggaran (PA), Dirjend PHU sebagai

Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Direktur sebagai Pejabat

Pembuat Komitmen (PPK) dan para Ketua dan Anggota Tim

sebagai pelaksana yang paling teknis yang berhubungan

langsung dengan rekanan. Menteri bagaikan keranjang sampah

yang menampung seluruh kesalahan, kekeliruan dan

penyimpangan mereka. Yang Mulia ini tidak adil,

Penuntut Umum Mohon Dakwaan Ini Ditolak. Yang

Mulia Majelis Hakim dan yang Terhormat Penuntut Umum

KPK, demikianlah Eksepsi / Nota Keberatan yang saya

sampaikan. Penyampaian Nota Keberatan ini tidak ada

maksud sebesar zarahpun untuk menyalahkan apalagi

mengalahkan Dakwaan Penuntut Umum KPK, kecuali hanya

menyampaikan kebenaran ayat suci Al-Quran : yang artinya

“Karena Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan

kebaikan”. Yang Mulia Majelis Hakim, bisa jadi penyidik

KPK menerima kesaksian dan informasi yang tidak baik,

261

Page 262: II dan III

seperti yang Saya jelaskan diatas, tetapi karena tidak ada

aturan untuk menghentikan perkara, kemudian perkara ini

dipaksakan dan dilimpahkan kepada Penuntut Umum KPK

untuk selanjutnya diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Penyampaian Nota Keberatan ini juga tidak ada maksud walau

sebesar zarahpun untuk mengajari Majelis Hakim Yang Mulia,

karena Majelis Hakim Yang Mulia jauh lebih mengerti dan

jauh lebih memahami persoalan hukum dibanding saya. Saya

mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam

menyampaikan Nota Keberatan ini ada kalimat-kalimat yang

membuat Majelis Hakim Yang Mulia dan yang terhormat

Penuntut Umum KPK tidak berkenan dan tidak nyaman.

Kasus ini membuat saya dan keluarga tertekan lahir batin,

karenanya bisa jadi saya kehilangan kecermatan untuk

memilih kata, menyusun kalimat yang santun dan bijak, untuk

itu saya mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim dan yang

terhormat Penuntut Umum KPK agar dapat memaafkan saya.

Yang Mulia Majelis Hakim; dan Yang Terhormat Penuntut

Umum KPK Kita adalah bangsa yang berketuhanan Yang

maha Esa, Kita beriman bahwa Tuhan itu ada. Kita juga

beriman bahwa Tuhan, Allah SWT pencipta langit dan bumi

dengan segala isinya. Diantara yang diciptakannya adalah

makhluk yang disebut malaikat, syaitan dan manusia.

262

Page 263: II dan III

Ketiganya adalah species yang berbeda dengan karakter yang

berebeda pula. Malaikat diciptakan Allah SWT dari sinar dan

perbuatannya selalu baik dan benar, tidak pernah salah.

Syaitan diciptakan Allah SWT dari api yang perbuatannya

selalu salah tidak pernah benar, lalu Allah SWT menjadikan

Syaitan sebagai mahkluk yang terkutuk. Sedangkan manusia

di ciptakan Allah SWT dari saripati tanah dan setetes air mani.

Sifat dan karakter manusia diantara keduanya, malaikat dan

syaitan, yaitu dapat berbuat baik dan dapat pula berbuat salah.

Karena itu manusia disebut juga sebagai makhluk yang tidak

luput dari perbuatan buruk dan dosa. Yang Mulia Majelis

Hakim; dan Yang Terhormat Penuntut Umum KPK Saya

menyadari sepenuhnya bahwa Saya adalah manusia biasa

bukanlah malaikat yang pekerjaannya benar semua tidak

pernah ada yang salah. Karena itu Saya juga berkeyakinan

bahwa tidak ada lembaga yang steril dari salah, yang

pandangan dan perbuatannya benar semua tidak pernah salah,

sepanjang lembaga itu diisi dan dikelola manusia. Demikian

halnya dengan lembaga yang disebut dengan Komisi

Pemberantasan Korupsi dan lembaga-lembaga lainnya yang

ada di muka bumi ini, pasti tidak luput dari salah dan khilaf.

Atas dasar itu sebelum pengadilan Allah Yang Maha Adil dan

Maha Agung berlangsung di yaumil akhir nanti, Saya mohon

263

Page 264: II dan III

dengan segala hormat dan kerendahan hati, agar sidang

pengadilan Yang Mulia pimpin ini dapat melihat perkara

Terdakwa dengan sejernih-jernihnya dan seadil-adilnya. Dan

tetap berpegang teguh pada pandangan bahwa penolakan atas

dakwaan Penuntut Umum KPK adalah keputusan yang arif

bijaksana yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan yang

tidak menyalahkan siapapun dan lembaga manapun. Kepada

Allah SWT Saya berserah diri, kepada Allah SWT Saya

mohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, kepada

Allah SWT Yang Maha Mengetahui isi hati dan pikiran yang

tersembunyi Saya mengadu dan mohon keadilan, kepada Allah

SWT yang tidak pernah ngantuk dan tidur saya mohon

ampunan dan hanya kepada Allah SWT-lah kelak kita akan

kembali dan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan

segala perbuatan kepada Allah SWT.

Setelah membaca dan menimbang adanya pledoi dan

keberatan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum KPK maka

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Majelis hakim

pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akhirnya “Menolak

nota keberatan (eksepsi) yang diajukan mantan Menteri

Agama Suryadharma Ali dan pengacaranya dalam perkara

dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Agama

sepanjang 2010-2014”.

264

Page 265: II dan III

"Mengadili, menyatakan eksepsi atau keberatan dari

terdakwa Suryadharma Ali dan penasihat hukum terdakwa

tidak dapat diterima. Ke dua menyatakan surat dakwaan

Penuntut Umum KPK atas nama terdakwa Suryadharma Ali

adalah sah dan telah meemnuhi ketentuan pasal 143 ayat 2

huruf a dan b KUHAP. Ke tiga, memerintahkan penuntut

umum untuk melanjutkan pemeriksan pokok perkara," kata

ketua majelis hakim Aswijon saat membacakan putusan sela di

pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/9).

Sebelumnya pada 7 September lalu Suryadharma Ali

sudah mengajukan nota keberatan yang antara lain

menyatakan bahwa ia sama sekali tidak melakukan tindakan

melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara

maupun menggunakan uang negara untuk keuntungan

pribadinya.

Namun hakim berpendapat lain. Suryadharma Ali

dalam eksepsinya beralasan bawa kerugian negara yang

didakwakan KPK kepada dirinya yaitu sekitar Rp 53,9 miliar

hanya kebohongan belaka. Terkait penghitungan kerugian

negara tersebut, majelis hakim menilai bahwa penghitungan

kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan.

265

Page 266: II dan III

Apalagi menurut hakim berdasarkan putusan

Mahkamah Konstitusi pada 24 Oktober 2012 yang

membenarkan KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan

BPK dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana

Korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi

lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar instansi BPK

dan BPKP, atau mengundang ahli lainnya.

Dalam perkara tersebut, Suryadharma Ali didakwa

memperkaya diri sendiri sejumlah Rp 1.821.698.840,- (Satu

miliar delapan ratus dua puluh satu juta enam ratus sembilan

puluh delapan ribu delapan ratus empat puluh Rupiah) dan

memperoleh hadiah 1 lembar potongan kain Kabah (kiswah)

serta merugikan keuangan negara sejumlah Rp 27,283 miliar

dan 17,967 juta riyal (sekitar Rp 53,9 miliar) atau setidak-

tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana laporan perhitungan

kerugian Negara dari Badan Pengawas Keuangan dan

Pembangunan.

Pertimbangan Majelis menjatuhkan Hukuman adalah

karena Tindak Pidana itu (bermodus operandi) dilakukan

dengan menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi

persyaratan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji

di Arab Saudi yang memanfaatkan sisa kuota haji nasional

tidak berdasarkan prinsip keadilan. Perbuatan Suryadharma

266

Page 267: II dan III

Ali yang dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang

lain antara lain memberangkatkan 1.771 anggota jemaah haji

yang tidak sesuai urutan, 180 petugas panitia penyelenggara

ibadah haji, tujuh pendamping Amirul Hajj yang dia tunjuk tak

sesuai dengan ketentuan dan sejumlah korporasi penyedia

akomodasi di Arab Saudi.

Selain itu, Suryadharma Ali dianggap melakukan

perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang

untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi dalam penggunaan Dana Operasional Menteri pad

tahun 2011 hingga tahun 2014. Uang itu justru digunakan

untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, termasuk

melancong ke negara lain dan berobat, alih-alih untuk

menunjang pekerjaan.

Akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan Putusan kepada

Suryadharma Ali, dengan sanksi pidana selama enam tahun

hukuman penjara dan denda Rp 300.000.000,- (Tiga ratus juta

Rupiah) subsider selama tiga bulan. Pejabat Partai Persatuan

Pembangunan ini juga diminta membayar uang pengganti

kerugian negara untuk membayar uang pengganti sebesar Rp

1.821.698.840,- (Satu miliar delapan ratus dua puluh satu juta

enam ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus empat

puluh Rupiah). Jika dia tidak dapat membayarnya, maka harta

267

Page 268: II dan III

bendanya akan disita senilai dengan yang dibebankan. Apabila

tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka diganti

pidana kurungan selama 2 tahun.

b. Analisis Hukum

Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa mantan

Menteri Agama Republik Indonesia yaitu Suryadharma Ali

dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan

Pendanaan Ibadah Haji dan penyalahgunaan Dana Operasional

Menteri dalam Perkara No. 93/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst

yang dalam pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Jakarta, dilaksanakan pada hari Senin 11 Januari 2016

analisis hukum pada kajian ini mengenai penyalahgunaan yang

dilakukan mantan Menteri Agama Republik Indonesia,

memberi kesan buruk terhadap citra Pemerintah apalagi

sebagai dinilai berpredikat sangat kurang baik dalam

memberikan pelayanan publik.

Menyambung uraian di atas sebagaimana telah diulas

mengenai tindak pidana korupsi yang telah dikenal publik

sejak Tahun 1960, perbuatan korupsi sebenarnya tidak hanya

memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, tetapi juga

orang lain atau korporasi. Rumusan tindak pidana korupsi

yang diatur dalam berbagai peraturan sejak tahun 1960 itu

268

Page 269: II dan III

ternyata sejalan pula dengan doktrin para ahli hukum menurut

Leisle Palmer. Dalam bukunya yang berjudul "The Control of

Birocratic Corruption", Palmer menyatakan "The term of

private is to be understood as not limited to the official, but

also including a group or class with which he identifies, while

profit should be taken to cover all forms of advantages or

benefit, not merely financial".182

Berdasarkan pendapat Palmer tersebut, lanjut Abdul,

dapat disimpulkan bahwa pendapat pihak Suryadharma yang

menganggap suatu benda yang didapat oleh Terdakwa akibat

tindak pidana korupsi yang dilakukannya semata-mata diukur

dengan nilai uang. Pasalnya, banyak benda mahal yang

dianggap bernilai dari sisi lain.

Selain itu, Tim Penasihat Hukum dari Terdakwa

Suryadharma yang memaknai secara sempit frasa

"memperkaya" atau  "menguntungkan" dalam Pasal 2 ayat (1)

atau Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, jika dibaca secara lengkap

frasa itu berbunyi “memperkaya” atau "menguntungkan" diri

sendiri, orang lain, atau korporasi.

Jadi, jika pengacara Suryadharma memaknai tindak

pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3

182 Leslie Palmer, The control of bureaucratic corruption: case study in Asia, Delhi, Allied, 1985. p.19

269

Page 270: II dan III

UU Tipikor hanya dari kapasitas besarnya uang yang

dikorupsi terdakwa. Maka dapat dianggap diskriminatif hanya

mencari keuntungan semata tanpa ada pemikiran atas dampak

dan penderitaan yang dialami publik dengan kata lain masih

ada alternatif pembelaan yang tidak harus beranggapan hanya

dengan seberapa besar uang yang telah dinikmati terdakwa

sebagai kliennya melainkan bagaimana terdakwa mengakui

perbuatan dengan menyadari kesalahan-kesalahan dan

bertanggungjawab dalam mengganti kerugian negara demi

pengembalian kepercayaan publik, dengan demikian tidak

terjadi stagnasi dalam berpikir dan berhukum untuk

memberantas tindak pidana korupsi.

"Pemikiran seperti itu secara langsung

mendiskreditkan upaya pemberantasan korupsi menjadi lemah,

karena korupsi hanya dipandang sebagai perbuatan

memperkaya atau menguntungkan terdakwa saja, sehingga

tidak dapat menjangkau tindak pidana korupsi yang

memperkaya atau menguntungkan keluarga, orang terdekat,

kader dari partai terdakwa, serta pihak lainnya yang memiliki

kepentingan menyangkut balas jasa.

Dengan demikian telah tepat bila Pengadilan memutus

Suryadharma dengan ancaman sanksi sesuai tindak pidana

korupsi yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo

270

Page 271: II dan III

Pasal 18 UU PTPK (No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah

dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi ) Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana

Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Pasal-pasal tuntutan di atas mengatur tentang orang

yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau

kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan

perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain

atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20

tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.

Relevansinya terhadap putusan Majelis Hakim yang

memberikan Putusan hakim sebagaimana diuraikan di atas

lebih ringangan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK

yakni selisih 11 tahun penjara dan denda selisih Rp

750.000.000,- (Tujuh ratus lima puluh juta Rupiah), subsider

enam bulan kurungan. Dalam pertimbanganya, hakim menilai

SDA berkelakuan sopan dan memiliki prestasi saat menjabat

sebagai Menteri Agama. Dalam kajian penilaian Vonis yang

dijatuhkan Majelis Hakim cukup kooperatif walaupun Jaksa

Penuntut Umum KPK tidak puas dengan putusan Hakim

termasuk pihak terdakwa Suryadharma Ali, yang ingin hasil

putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi

271

Page 272: II dan III

membebaskannya dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK,

dengan demikian Majelis Hakim cukup dirasakan memiliki

penghormatan baik terhadap hak-hak asasi manusia juga

termasuk tertib hukum dan law enforcement berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945 yang tidak memiliki maksud

diskriminatif, apabila nanti dilakukan pengajuan banding

sebagai upaya hukum selanjutnya tidak terlepas dari hak setiap

subjek hukum dalam membela hak-haknya, namun kembali

kepada hakikat putusan a quo, Majelis Hakim yang diketuai

oleh Hakim Aswijon dapat dapat menjadi panutuan bagi

hakim-hakim lainnya dalam memberikan pertimbangan hukum

dan memutuskan berdasarkan pertanggungjawabannya terhada

Tuhan Yang Maha Esa.

3.2.2.2. Proses Kasus Gubernur DKI (Ahok)183

a. Kasus Posisi

Basuki Tjahya Purrnama yang menurut panggilan

singkat (Ahok) lahir di Manggar, Belitung Timur Tanggal 29

Juni 1966 yang beralamat domilsili di Pantai Mutiara No 39,

Blok Y, Pluit, Jakarta Utara. Gubernur Daerah Khusus Ibukota

183 http://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/24/09300481/Menelisik-Peran-Ahok-dalam-Kasus-Pembelian-Lahan-RS-Sumber-Waras dengan tema: Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian Lahan RS Sumber Waras, diakses pada tanggal, 24 November 2016.

272

Page 273: II dan III

Jakarta terindikasi melakukan kerugian daerah dengan

kronologi sebagai berikut:

Tanggal 12 Mei 2014, Ahok terlibat dalam pembelian

lahan RS Sumber Waras, Ahok yang masih menjabat sebagai

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur itu pertama kali

menyampaikan niatnya membangun RS khusus kanker dan

jantung kepada media. Saat itu, Ahok ingin membangun

rumah sakit untuk membantu RS Kanker Dharmais dan

Harapan Kita yang pasiennya cukup diluar kapasitas. Bahkan,

saat itu, Pemerintah Provinsi DKI mengaku telah

mempersiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk

pembelian lahan RS Sumber Waras.

Rencananya, lahan RS Sumber Waras akan dibeli

melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan

(APBD-P) 2014. Pembangunan RS itu juga dilakukan untuk

mengubah rencana komersialisasi lahan yang dilakukan oleh

PT Ciputra Karya Utama. Perusahaan itu ingin mengubah

peruntukan lahan RS Sumber Waras menjadi mal.

Pada Tanggal 16 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras

menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat

kerja sama dengan PT Ciputra Karya Utama. Sepuluh hari

kemudian tepatnya tanggal 26 Juni 2014, Dinas Kesehatan

DKI merekomendasi Ahok untuk tidak membangun RS di

273

Page 274: II dan III

lahan RS Sumber Waras. Adapun lahan yang sebenarnya

disediakan berada di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat,

bersebelahan dengan Kantor Dinas Kesehatan dan di Jalan

Sunter Permai Raya, Jakarta Utara, yang kini menjadi lokasi

Gedung Ambulance Gawat Darurat.

Akan menempati lahan di Jalan Kesehatan untuk RS

jantung dan di Jalan Sunter Permai Raya untuk RS kanker.

Surat tersebut menyebut, lahan RS Sumber Waras tidak dijual.

Tanggal 27 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras

bersurat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia

menjual lahan tersebut. pihak penjual memasang harga nilai

jual obyek pajak (NJOP) sekitar Rp 20 juta untuk lahan

tersebut. NJOP tersebut sama dengan sebagian lahan milik RS

Sumber Waras lainnya yang dikelola oleh Yayasan Sumber

Waras yang memiliki akses ke Jalan Kyai Tapa.

Sementara itu, lahan yang ditawarkan kepada Pemprov

DKI berada di bagian belakang dekat Jalan Tomang Utara,

Jakarta Barat.

Tanggal 7 Juli 2014, pihak RS Sumber Waras kembali

bersurat kepada Pemprov DKI jakarta.hingga keesokan

harinya tanggal 8 Juli 2014, Ahok mendisposisikan surat

tersebut kepada Andi Baso Mappapoleonro yang saat itu

menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

274

Page 275: II dan III

(Bappeda) DKI untuk mempersiapkan anggaran senilai Rp 20

juta tanpa proses negosiasi. Selang empat bulan dan tepat pada

tanggal 14 November 2014, Dinas Kesehatan DKI Jakarta

mengeluarkan kajian terhadap lahan RS Sumber Waras. Hasil

kajiannya, lahan RS Sumber Waras memenuhi beberapa syarat

kelaikan, yakni tanahnya siap pakai, bebas banjir, akses jalan

besar, jangkauan luas, dan luas lahan yang lebih dari 2.500 M2

(Dua ribu lima ratus meter persegi).

Hingga pada tanggal 10 Desember 2014, Pemprov DKI

resmi menunjuk lokasi pembelian lahan. Selanjutnya Pada 11

Desember 2014, pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras

membatalkan perjanjian dengan PT Ciputra Karya Utama.

Kemudian, mereka beralih kerja sama dengan Pemprov DKI

Jakarta setelah empat hari kemudian pada tanggal 15

Desember 2014, Bendahara Umum Pemprov DKI mentransfer

uang senilai Rp 800 miliar ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta

untuk membeli lahan tersebut. hingga pada hari-hari terakhir

bulan Desember tertanggal 30 Desember 2014, Dinas

Kesehatan DKI membayar lahan kepada RS Sumber Waras

dalam bentuk cek. Yang dicairkan tanggal 31 Desember 2014,

cek tersebut pun dicairkan oleh pihak RS Sumber Waras.

Selang enam bulan ditanggal 6 Juli 2015, di dalam

sidang paripurna, BPK melaporkan laporan hasil pemeriksaan

275

Page 276: II dan III

(LHP) BPK terhadap laporan keuangan Pemprov DKI tahun

anggaran 2014. Pemprov DKI mendapat opini wajar dengan

pengecualian (WDP) terhadap laporan keuangan tahun 2014.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapatkan 70 temuan

dalam laporan keuangan daerah senilai Rp 2,16 triliun.

Temuan itu terdiri dari program yang berindikasi kerugian

daerah senilai Rp 442 miliar dan berpotensi merugikan daerah

dengan jumlah kumulasi sebanyak Rp 1,71 triliun.

Lalu, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23

miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan

pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. BPK lantas menyoroti

beberapa temuan yang wajib menjadi perhatian Pemprov DKI.

Salah satunya pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta

Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai.

Indikasi kerugiannya sebesar Rp 191 miliar. BPK juga menilai

lahan tersebut tidak memenuhi lima syarat yang dikeluarkan

Dinas Kesehatan DKI. BPK menilai lahan itu tidak siap

bangun karena banyak bangunan merupakan daerah banjir dan

tidak ada jalan besar. Menurut BPK, lahan yang dibeli

Pemprov DKI NJOP-nya sekitar Rp 7 juta. Namun,

kenyataannya DKI malah membayar NJOP sebesar Rp 20 juta.

Hal ini dinilai BPK merupakan NJOP tanah di bagian

depan, yang masih menjadi milik pihak Rumah Sakit Sumber

276

Page 277: II dan III

Waras. Tanggal 10 September 2015, Ahok mengakui awal niat

Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras karena ada

sejumlah pekerja RS tersebut yang berdemo di depan Balai

Kota. Mereka mengadu karena hendak di-PHK dan RS akan

diubah menjadi mal. Ahok geram dan berencana membeli

lahan tersebut.

Saat itu, Ahok belum bertemu pihak RS Sumber

Waras, tetapi pemberitaan sudah menyebutkan Pemprov DKI

membeli lahan RS Sumber Waras. Hingga tanggal 16

September 2015, Ahok mengungkapkan alasan pembelian

lahan RS Sumber Waras ketika paripurna penyampaian

pandangan fraksi atas laporan pertanggungjawaban (LPJ)

APBD 2014.

Ahok menjelaskan, pengadaan RS Sumber Waras itu

merupakan kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif

pada Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon

Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2014. Dalam pelaksanaan

program itu, Ahok menjelaskan, Pemprov DKI melakukan

pengadaan lahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 beserta turunannya dengan nilai harga tanah

sesuai NJOP tahun 2014.

Nilai transaksi sudah termasuk nilai bangunan dan

seluruh biaya administrasi, atau dengan kata lain Pemprov

277

Page 278: II dan III

DKI tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lainnya.

Penetapan NJOP berdasarkan zonasi sebagai satu hamparan

tanah (satu nomor obyek pajak menghadap Jalan Kyai Tapa)

yang ditetapkan sejak tahun 1994 sesuai database yang

diserahkan oleh Kementerian Keuangan Cq Dirjen Pajak.

Adapun total pembelian lahan yang dikeluarkan oleh Pemprov

DKI Jakarta sesuai dengan NJOP, yakni Rp 755 miliar, dengan

berbagai keuntungan karena tidak harus membayar biaya ada

administrasi lainnya. Selain itu, bukti formal sertifikat hak

guna bangunan (HGB) atas lahan tersebut menyatakan alamat

Jalan Kyai Tapa. Sesuai dengan hasil appraisal, nilai pasar

lahan tersebut per 15 November 2014 Rp 904 miliar. Artinya,

kata Ahok, nilai pembelian Pemprov DKI Jakarta jauh di

bawah harga pasar.

Pada 28 Oktober 2015, Ahok menyampaikan

perpanjangan waktu audit investigasi kasus pembelian lahan

RS Sumber Waras oleh BPK. Perpanjangan waktu audit itu

merupakan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK). Dari 60 hari ditambah 20 hari, menjadi total waktu

audit investigasi selama 80 hari.

Pada Tanggal 23 November 2015, BPK memeriksa

Ahok selama sembilan jam. Ahok yang selama ini kerap

bersuara lantang dan mempertanyakan kredibilitas BPK justru

278

Page 279: II dan III

mendapat banyak pelajaran. Kini, Ahok mengakui sistem

penganggaran Pemprov DKI yang buruk. Ia menyerahkan

kasus tersebut kepada BPK dan KPK.

b. Analisis Hukum

Analisis hukum terhadap tindakan Basuki Tjahya

Purnama (Ahok) bila direalisasikan maka menjadi

penyalahgunaan wewenang yang dapat menjurus ke arah

tindak pidana korupsi sebab jika diperhatikan dalam perspektif

hukum pidana dalam hal yang dapat disebut sebagai tindak

pidana korupsi dari adanya penyalah gunaan wewenang harus

dengan memperhatikan karakter berkaitan dengan unsur atau

elemen yang bersifat alternatif untuk menentukan apakah

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Ahok itu

dapat menjurus ke arah Tindak Pidana Korupsi atau hanya

berupa tindakan diskresi sebagaimana disebutkan dalam Pasal

1 ayat (9) UU AP, adapun penilaiannya adalah dengan melihat

apakah ada tiga unsur yang dapat menguatkan keyakinan

tersebut, di antaranya yakni:

1. Menyalahgunakan kewenangan, berarti menyalahgunakan

kekuasaan atas hak yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan.

279

Page 280: II dan III

2. Menyalahgunakan kesempatan, berarti menyalahgunakan

waktu (mengambil manfaat) yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan.

3. Ketiga, menyalahgunakan sarana, artinya

menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan.

Bila berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan

atau Abuse of Power atau peluang untuk melakukan sesuatu

inilah yang dimaksud dengan “kesempatan”. Sebab stiap orang

yang memiliki jabatan atau kedudukan biasanya akan

mendapat sarana tertentu pula dalam rangka menjalankan

kewajiban dan kewenangannya. Terminologi mengenai

“sarana” adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat

untuk mencapai maksud dan tujuan. Seseorang dengan jabatan

atau kedudukan tertentu akan memiliki wewenang,

kesempatan dan sarana tertentu yang dapat Ahok gunakan

untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Wewenang,

kesempatan dan sarana ini diberikan dengan rambu-rambu

tertentu. Bila kemudian rambu-rambu itu dilanggar atau bila

wewenang, kesempatan, dan sarana tersebut tidak digunakan

sebagaimana mestinya, maka telah terjadi penyalahgunaan

wewenang, kesempatan dan sarana yang dimiliki karena

jabatan atau kedudukannya.

280

Page 281: II dan III

Terdapat lima faktor yang menyebabkan pembelian

lahan bermasalah.

1. Pengadaan tanah.

2. Disposisi Pelaksana Tugas (Plt) pada lingkup Gubernur

DKI yang memerintahkan Kepala Bappeda DKI untuk

menganggarkan pembelian tanah tidak sesuai ketentuan

3. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak melakukan

studi kelayakan dan kajian teknis dalam penentuan lokasi.

4. Pembelian tanah masih terikat perjanjian jual-beli oleh

pihak lain. “Pihak Yayasan menyerahkan fisik tanah

kepada Pemerintah Provinsi tak sesuai dengan selisih

harga tanah Rp 484.617.100.000,” (Empat ratus delapan

puluh empat miliar enam ratus tujuh belas juta seratus ribu

Rupiah).

5. pihak yayasan menyerahkan akta pelepasan hak

pembayaran sebelum melunasi tunggakan pajak bumi dan

bangunan.

Mengenai hal yang menimbulkan Kerugian terhadap

Negara maka perbuatan itu harus jelas terbukti berunsur

“dapat merugikan keuangan negara” berkaitan dengan suatu

tindak pidana korupsi adalah:

a. Dapat Merugikan Keuangan Negara. Menurut Penjelasan

Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan keuangan

281

Page 282: II dan III

negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk

apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk

didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak

yang timbul karena: Pertama, berada dalam penguasaan,

pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga

negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua,

berada dalam penguasaan, pengurusan dan

pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan

hukum, dan perusahaan yang mertakan modal pihak ketiga

berdasarkan perjanjian dengan negara.

b. Perekonomian Negara, yang dimaksud dengan

perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian

yang disususun sebagai usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri

yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di

tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

bertujuan memberi manfaat, kemakmuran, dan

kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Kedua

poin dalam unsur-unsur “dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara” in aquo adalah bersifat

alternatif.

282

Page 283: II dan III

Jadi untuk membuktikan seseorang melakukan tindak

pidana korupsi atau tidak, berkaitan dengan unsur/elemen ini,

maka cukup hanya dibuktikan salah satu point saja. Namun,

yang harus diingat dan diperhatikan dalam pembuktian unsur

ini ialah Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara“ menunjukan bahwa Pasal 2

ayat (1) UU PTPK mengamanatkan agar tindak pidana korupsi

harus dipahami sebagai delik formil dan bukannya delik

materil.

BPK DKI juga tidak tegas di mana hanya

merekomendasikan untuk pembatalan pembelian lahan.

Senilai Rp 191 miliar,” dapat dikatakan Komisi II DPR RI

akan memeriksa BPK DKI, Pemprov DKI dan Walikota

Jakarta Barat untuk memperjelas permasalahan pembelian

lahan Sumber Waras. Dia menegaskan DPR akan terus

mengawal kasus Sumber Waras sampai tuntas.

Apabila pembelian tersebut terlaksana maka Ahok

dapat dikatagorikan melakukan tindakan pidana atas

pembelian lahan Sumber Waras harus diproses hukum.

Kejahatan pidananya antara lain terjadi KKN, tidak mematuhi

peraturan perundang-undangan, ada kerugian negara antara Rp

191 miliar sampai Rp 484 miliar, dan indikasi kesalahan

kebijakan yang merugikan negara sampai Rp 800 miliar.

283

Page 284: II dan III

Karena lahan RS Sumber Waras bukan untuk dijual

dan tidak ada studi kelayakan lebih dulu. Dan berdasarkan PP

Nomor 49 tahun 2008, Plt Gubernur DKI wajib memahami

posisinya, terlebih dalam situasi darurat dan tidak boleh

mengubah program Gubernur sebelumnya. Sebab yang

menjadi pertanyaan “Obyek” tersebut berupa tanahnya yang

ada di Tomang Utara, bukan di Jalan Kyai Tapa. harga

seharusnya sesuai NJOP adalah Rp 7 jutaan, tapi dijual Rp

20,755 juta permeter. Sehingga bila penulis menilai perbuatan

Gubernur sebagai Pejabat Pemerintah akan dapat diperoses

melalui ketentuan Pasal 2 UU PTPK sebab adanya unsur

menguntungkan diri sendiri sebagaimana ketentuan Pasal 3

UU PTPK, ketentuan dalam substansi baik melalui sinergitas

antara UU AP dan UU PTPK dapat menjadi regulasi yang

dapat digunakan sebagai alat rekayasa dalam terus melawan

kebijakan yang salah, untuk menciptakan tertib hukum dan

kepastian hukum dalam tujuan bagi pejabat Pemerintah dalam

memberi daya guna dalam pelayanan publik, sekaligus

memberikan citra dan kualitas baik serta kepercayaan

masyarakat terhadap kinerja Pemerintah yang sesuai sebagai

penyelenggara negara dalam lingkup Hukum Administrasi

Negara.

284

Page 285: II dan III

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Diapit Media, Jakarta,

2002.

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Abdul Wahi Selayan dan Ahmad Fauzi Ridwan, Pengertian Umum, Cet.I. Bab I,

Tata hukum Indonesia, Bintang, Medan, 1960.

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Edisi

Pertama, Cetakan Ke-II, Bayumedia, Malang (JATIM). 2005.

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2004.

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2003.

C.F. Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book Society

and Side Wick & Jackson Limited, London, 1965.

CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 1989.

Denny Indrayana, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011.

E. Sumaryno, Etika dan Hukum (Relevansi Teori hukum Kodrat Thomas

Aquinas), Kanisius Yogyakarta, 2002.

E. Utrecht II, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Ichtiar . Jakarta, 1987.

F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia,

Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI), 2001.

285

Page 286: II dan III

H. A. Muin Fahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam

Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, penerbit Kreasi Total Media,

Yogyakarta, 2008.

H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014.

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka,

Jakarta, Tanpa Tahun.

Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana,

Diadit Media, Jakarta, 1997.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

Inu Kencana Syafi’ie “ Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI),

Bumi Aksara, Jakarta 2010.

J Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab

Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta,

2007.

J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen:

Ars Aeguilibri, 1998.

Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji dalam

Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak

Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi

Pertama, Cetakan Kedua, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2009.

286

Page 287: II dan III

Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol

Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan

Cendekia, Surabaya, 2001.

Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan

Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978.

Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.

Leslie Palmer, The control of bureaucratic corruption: case study in Asia, Delhi,

Allied, 1985.

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik,

Setara Press,Malang, 2011.

M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Pradnya

Paramita, Jakarta, 1982.

Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan

Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia

(HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005.

Marbun, Rocky, dkk, ‘Kamus Hukum Lengkap’, Jakarta, Transmedia Pustaka,

2012.

Maria Farida Indriati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,

Yogyakarta, 1998.

Martins, Jr (ed). Professional Stan- dards and Ethics, Washington, DC: ASPA

Publisher, 1979.

287

Page 288: II dan III

Marwan Effendi, Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya,

Gramedia, Jakarta, 2005.

Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum

Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

________, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2000,

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2002.

O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan

Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina

Ilmu, Surabaya, 1987.

________________ et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pengantar Hukum

Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian

Administrative Law), Cetakan VIII, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 2002.

_______________, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1981.

288

Page 289: II dan III

__________________, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision

Making, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bandung, 1991.

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar

Maju, Bandung, 1995.

__________________, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,

BPHN, Jakarta, 2002.

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari edisi yang

diperluas oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara,

Jakarta, 1982.

S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan Di Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1980.

Sadjijono mengutip Philipus M. Hadjon, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum

Administrasi, Cetakan Pertama, LaskBang PRESSindo, Yogyakarta,

2008.

Sadu Wasistiono, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good

Governance, dalam Syamsudin Haris (Ed.), Desentralisasi & Otonomi

Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005.

Samudra Wibawa, Reformasi administrasi: Bunga Rampai Pemikiran

Administrasi Negara atau Publik, Yogyakarta: Gaya Media, 2005.

289

Page 290: II dan III

Samuel Edward Finer, Comparative Government, Penguin Books Ltd., Harmonds

Worth, Middlesex, England 1974.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Bakti, Bandung, 2000.

_______________, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.

Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh

Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955.

Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995.

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban

Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Averroes Press, 2002.

SF, Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di

Indonesia, Yogyakarta FH UII Press, 2011.

Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Administrasi Negara, karya Ridwan HR, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 2007.

Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis

Terhadap Pidato Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997.

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana

Korupsi Indonesia Lawyer Club, Cet.IV, Surabaya, 2010.

Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung,

1960.

_________________, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama,

Bandung, 2003.

290

Page 291: II dan III

WJ.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

1983.

B. Data Lain

Asep Warlan, Materi Acara Sosialisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan, Di Hotel Prima Resort Kuningan

Tanggal 22 Oktober 2015.

C.J.N. Versteden. Inleiding Algemeen Besmursrecht. Alphen aan den Rijn,

Samson, HD., Tjeenk Willink, 1984.

F.A.M. Stroink dan J.G, Steenbeek. Inleiding in het staat-en Administratief Recht.

Alphen aan den Rijn: Samson HD. Tjeenk Willink, 1985.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1971.

Philipus Mandiri Hadjon. Diktat Orasi Ilmiah dengan topik Fungsi Normatif

Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih,

Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994.

Purnadi Purbacaraka, Perundang-Undangan & Yurisprudensi, Alumni, Bandung,

1979.

Putusan Badan Peradilan, Varia Peradilan, No. 223 Th. XIX. April 2004.

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II (Kumpulan Kuliah), Balai Lektur

Mahasiswa, Jakarta.

Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta.

The International Covenant on Civil and Political Rights Number 14668, Vol.

999,1-14668, on 23 March 1976.

291

Page 292: II dan III

C. Websites

http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/abc5ca5c8d35b6d369744696eac4e27b, dengan Topik: Putusan PN

Bandung Nomor 146 / Pid.Sus / TPK / 2013 / PN.Bdg Tahun 2014

Dada Rosada, diakses pada tanggal 30 Desember 2015.

http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/301dc187df6faba9b96d9abde1761e44, Putusan dengan Topik:

Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 Tahun 2013

Angelina Patricia Pingkan Sondakh diakses pada tanggal 15 Januari

2015

http://www.kompasiana.com/rezaazhar/selembar-potongan-kiswah-kpk-

membawa-sda-ke-penjara-eksepsi-sda-

updated_55ed6a754ef9fdb3122b1fd6 dengan Topik: Selembar

Potongan Kiswah Suryadharma Ali ke Penjara Eksapsi Suryadharma

Ali tidak diterima, di akses tanggal 28 Januari 2016

http://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/24/09300481/Menelisik-Peran-Ahok-dalam-Kasus-Pembelian-Lahan-RS-Sumber-Waras

dengan tema: Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian Lahan

RS Sumber Waras, diakses pada tanggal, 24 November 2016.

292