II dan III
Transcript of II dan III
BAB II
KAJIAN MENGENAI PERSAMAAN DALAM HUKUM, DAN
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
2.1. Persamaan Hak Dalam Hukum
Memahami makna suatu esensi yang melekat dan sama-sama dimiliki
setiap orang sebagai subjek hukum juga salah satu kriteria pendukung dari
sesuatu yang dapat dituntut oleh setiap manusia secara kodrati sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan sebutan “hak”.
Sejalan dengan pemahaman E. Sumaryono yang mengutip pendapat
Thomas Aquinas mengenai Hak adalah keseimbangan yang secara kodrat
melekat pada sesuatu yang diberikan kepada orang lain sebagai persona
berdasarkan persamaan derajat, hak adalah premis yang diperlukan untuk
mengembangkan gagasan tentang moralitas dan hukum secara asas hukum
subjektif bersifat moral maupun rasional memiliki pengertian yaitu hak-hak yang
berada pada manusia dan menjadi dasar pembentukan hukum.77
Sebab hak bukanlah diberikan dan ditentukan oleh hukum, namun
hukumlah yang melindungi dan menjamin kepastian persamaan hak-hak itu
dalam hukum. Jika memperhatikan pemahaman dari Thomas Aquinas tersebut,
dalam kajian ini penulis melihat bahwa ada hak yang secara mendasar dimiliki
manusia secara kodrati dinamakan sebagai hak asasi manusia, Istilah hak
77 E. Sumaryno, Etika dan Hukum (Relevansi Teori hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius Yogyakarta, 2002. hlm 289.
1
asasi manusia merupakan alih bahasa dari “human right”
(Inggris), “droit de I’homme” (Perancis) dan “menselijkerechten”
(Belanda). Secara harfiah, teori hak asasi manusia itu intinya
membahas hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu
merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga
keberadaannya merupakan suatu keharusan (conditio sine qua
non), tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan, harus dilindungi,
dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman,
hambatan, dan gangguan dari sesamanya.78 Salah satu
pengertian hak asasi manusia yang lainnya disampaikan oleh
Jan Matenson yakni hak-hak yang diwariskan dari kodrat kita
yang tanpanya kita tidak dapat hidup sebagai manusia.79 Pada
awalnya pengertian yang telah disebut diatas diterima secara
universal tetapi dalam perkembangannya lebih khusus lagi
dalam implementasi sistem hukum positif, teori dan konsep hak
asasi manusia telah menjadi perdebatan dan kontroversi antara
satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kontroversi tersebut terjadi
sebab sejak awal terdapat kesulitan untuk menetapkan batasan
yang nyata dan definitif dari hak asasi manusia. Hak-hak
tersebut berkisar pada pengertian kebebasan dan prinsip
78 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006, hlm.49.
79 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm.1
2
persamaan. Prinsip-prinsip mana senantiasa menjadi arena
perbedaan paham dan teori yang berbeda-beda. Terdapat 4
(empat) kelompok pandangan mengenai hak asasi manusia
tersebut:80
1. Mereka yang berpandangan universal-absolite melihat hak
asasi manusia itu sebagai nilai-nilai universal belaka seperti
dirumuskan dalam The Internasional Bill of Human Rights.
Kelompok ini tidak menghargai sama sekali profil sosial
budaya yang melekat pada masing-masing bangsa.
Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju. Bagi negara-
negara yang sedang berkembang dalam urusan HAM, negara
maju dipandang eksploitatif kerena menggunakannya sebagai
alat untuk menekan dan instrumen penilai (tool of
judgement).
2. Negara-negara atau kelompok yang memandang hak asasi
manusia secara universalrelative. Mereka memandang hak
asasi manusia sebagai masalah universal tetapi asas-asas
hukum internasional tetap diakui keberadaannya. Misalnya,
ketentuan yang diatur dalam pasal 29 (2) Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan :
80 Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm.105-106.
3
“Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang
hanya dapat dibatasi oleh hukum untuk menjamin pengakuan
dan penghargaan terhadap hak dan kebebasan oranglain
untuk memenuhi persyaratan moral, ketertiban umum dan
kepentingan masyarakat luas dalam bangsa yang
berdemokrasi”
3. Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-
absolute, bahwa hak asasi merupakan persoalan masing-
masing bangsa sehingga mereka menolak berlakunya
dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini bersifat egois
dan pasif terhadap hak asasi.
4. Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-
relative melihat persoalan hak asasi disamping sebagai
masalah universal juga merupakan persoalan masing-masing
negara. Berlakunya dokumen-dokumen internasional
diselaraskan dan diserasikan dengan budaya bangsa.
Dari keempat pandangan diatas, negara Indonesia dapat
dikategorikan ke dalam golongan pandanagn Partikularistik
Relative yang memahami pentingnya hak asasi manusia, tetapi
pemberlakuannya harus disesuaikan dengan Pancasila dan UUD
1945.
4
Menurut Universal Declaration of Human Rights (UDHR),
terdapat 5 (lima) jenis hak asasi yang dimiliki setiap manusia,
antara lain :
1. Hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi).
2. Hak legal (hak jaminan perlindungan hukum).
3. Hak sipil dan politik.
4. Hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk
menunjang kehidupan).
5. Hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pengakuan tentang hak telah diakui sejak indonesia
merdeka Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang
menyatakan bahwa “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa
serta penjajahan harus dihapuskan” serta dalam alinea kedua
yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan negara menghantarkan
rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur”. Pemasukan unsur-
unsur hak dalam peraturan perundangundangan telah disadari
oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib
ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran
makro, persamaan hak asasi itu telah digariskan dalam
Pembukaan UUD 1945.
Seperti yang diratifikasi dari hukum Internasional
mengenai hak yang juga bersifat asasi, mengingat Indonesia
5
sebagai salah satu anggota PBB memberikan ruang untuk
menempatkan substansi hukum internasional (International
Covenan on Civil and Political Rights) berdasarkan ICCPR yang
penjelasannya diuraikan (to be explanation is match)81 Recognizing that these
rights derive from the inherent dignity of the human person,
Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration
of Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil
and political freedom and freedom from fear and want can only
be achieved if conditions are created whereby everyone may
enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social
and cultural rights, Considering the obligation of States under
the Charter of the United Nations to promote universal respect
for, and observance of, human rights and freedoms, Realizing
that the individual, having duties to other individuals and to the
community to which he belongs, is under a responsibility to
strive for the promotion and observance of the rights recognized
in the present Covenant
Terjemahan bebasnya adalah pengakuan hak-hak ini berasal dari martabat
yang melekat pada manusia, sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, yang ideal manusia bebas menikmati kebebasan sipil dan politik dan
kebebasan dari ketakutan dan ingin hanya dapat dicapai jika kondisi dibuat
81 The International Covenant on Civil and Political Rights Number 14668, Vol. 999,1-14668, on 23 March 1976. p.4.
6
dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya, serta hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya nya, Mengingat kewajiban Negara di bawah Piagam
PBB untuk menghormati dan mentaati norma atau peraturan dari persamaan hak
dalam hal ini hak asasi manusia dan kebebasan, menyadari bahwa individu,
memiliki tugas untuk orang lain dan untuk masyarakat yang ia milik, berada di
bawah tanggung jawab untuk berjuang untuk promosi dan ketaatan terhadap hak-
hak yang diakui dalam Kovenan ini.
Tentang kedua hak yang menjadi bagian dalam
perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dimaksud itu adalah:82
1) Non Derogable Right
Non Derogable Right adalah Hak-hak yang bersifat absolut
yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-
negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.
Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup, hak bebas
dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari
penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti:
hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai
subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan
agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan
82 Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005, hlm.133.
7
mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM
(Gross Violation of Human Rights).
2) Derogable Right
Derogable Right adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau
dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk
dalam jenis hak ini yakni: hak atas kebebasan berkumpul
secara damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk
membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas
kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk
kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi
dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara
pihak diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam
memenuhi hak-hak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya
dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang
dihadapi dan tidak diskriminatif yaitu demi menjaga
keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau
kebebasan orang lain. Di Indonesia, selain UUD 1945
keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan Konvenan Sipil
dan politik termuat dalam banyak peraturan perundang-
undangan.
Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan
perundang-udangan oleh lembaga politik dalam hal ini lembaga
8
pemerintahan dan dioperasionalkan yang dilaksanakan oleh
pejabat atau aparatur negara dalam bentuk peraturan
pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat
dalam memberikan perlindungan tersebut bagi warga negara
dari adanya tindakan kesewanang-wenangan, diskriminatif dan
penindasan.
Penambahan terhadap kajian mengenai hak menurut Prof. Lili Rasjidi,
membagi hak-hak itu menjadi:83
a) Hak yang Sempurna dan Tidak Sempurna
Hak yang sempurna adalah hak yang ditandai oleh pemenuhan kewajiban
yang sempurna pula.
Hak yang tidak sempurna adalah hak yang juga dikenal dan diatur oleh
hukum, namun tidak dapat dipaksakan.
b) Hak yang bersifat Positif dan Negatif
Hak yang positif melahirkan kewajiban positif. Ini merupakan suatu hak di
mana seseorang yang memiliki kewajiban akan melakukan perbuatan yang
bersifat positif atas nama orang yang berhak tadi.
Hak yang negatif akan menyebabkan timbulnya kewajiban yang negative
pula. Hak yang negatif merupakan hak dimana orang yang terikat akan
menahan diri untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang akan
menimbulkan prasangka kepada pemegang hak.
c) Hak “In Rem” dan Hak “In Persona
83 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. hlm 72-74
9
Hak in rem ini sering juga disebut hak yang konkret, merupakan kewajiban
yang dikenakan kepada orang-orang pada umumnya. Hak in personam juga
disebut hak perseorangan, merupakan kewajiban yang dibebankan kepada
seseorang tertentu.
d) Hak Milik dan Hak-Hak Perseorangan
Agregat dari hak milik seseorang mengatur tanah miliknya aktivanya atau
hak miliknya. Keseluruhan jumlah hak ini menimbulkan status atau kondisi
pribadi. Jika ia memiliki tanah, peralatan meja kursi, saham-saham dalam
suatu perusahaan, itikad baik dalam suatu usaha dagang, semua ini
melahirkan hak milik. Dan jika seorang warga Negara yang bebas, seorang
ayah atau suami, hak-hak yang dimilikinya melahirkan status dan kedudukan
menurut hukum.
e) Hak-hak “In Propria” dan “In Re Aliena”
Hak itu dapat dibagi atas dua jenis, yaitu jura in re propria (Hak terhadap
miliknya sendiri) dan jura in re alinea (hak terhadap milik orang lain). Hak
yang in re alinea ini merupakan suatu hak yang berasal dari beberapa hak
pada umumnya yang dimiliki orang lain mengenai hal atau objek yang sama.
f) Hak yang Pokok (Principal) dan Tambahan (accessory)
Misalnya suatu jaminan adalah hak tambahan kepada hak mengenai jaminan;
suatu servitut merupakan tambahan pada pemilikan terhadap tanah, yang
dengan itu yang bersangkutan dapat menarik manfaatnya.
g) Hak yang Primer dan Hak yang Bersanksi
10
Hak yang disertai sanksi terjadi karena adanya suatu kesalahan,yaitu
pelanggaran terhadap hak yang lain. Hak yang primer memiliki sumber yang
berbeda dengan kesalahan. Hak ini dapat berupa hak in rem atau hak in
personam. Akan tetapi, hak yang memiliki sanksi ini, yang bersumber dari
hak yang primer, pada semua kasus akan merupakan hak in personam. Hanya
terhadap orang tertentu sanksi itu dapat diberlakukan. Jadi, harus merupakan
hak in personam.
h) Hak Atas Dasar Hukum dan Atas Dasar Keadilan (Legal and Equitable
Rights)
Pada masa dahulu di Inggris yang disebut hak atas dasar hukum itu adalah
hak-hak yang diakui oleh peradilan Common Law, sedangkan hak-hak atas
dasar keadilan ialah yang diakui hanya oleh peradilan Chancery.. Perbedaan
antara hokum dan equity itu tetap berlangsung dan harus dianggap sebagai
merupakan bagian dari sistem hukum inggris. Walaupun semua hak itu (baik
legal maupun equity) sekarang ini tetap diakui dan dikenal di semua
peradilan yang ada, perbedaan di antara keduanya tetap memegang peranan
penting.
Selain itu Prof. Lili Rasjidi juga mengutip dari para ahli hukum asing
diantaranya Menurut Holland, Hak adalah kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan
wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat
yang terorganisasi. Definisi selanjutnya yang lebih protektif mengenai hak
dikemukakan oleh Salmond, mendefinisikan hak sebagai kepentingan yang
11
diakui dan dilindungi oleh hukum sebagaimana selaras dengan pendapat CST
Kansil yang menyebutkan bahwa hak adalah izin yang diberikan oleh hukum84
dan Allen merumuskan hak sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang
dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya.85 Sedangkan Satjipto
Rahardjo menyebutkan Hak adalah suatu kekuasaan untuk bertindak dalam
rangka kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaan.86
Apabila teori dan konsep mengenai hak yang berlaku di Indonesia
sebagaimana telah diuraikan itu, menjadi bagian dalam implementasi Pancasila
sebagai ideologi negara maka setiap rumusan sila yang menjadi substansinya
akan memanifestasikan gagasan hak tersebut dan dapat dilegitimasi menjadi
suatu norma fundamental untuk menyusun tertib hukum yang kemudian diakui
persamaannya setelah kemerdekaan yang dituangkan dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Termasuk
dalam substansi pasal-pasalnya, persamaan hak tersebut dimiliki baik sebagai
warga negara juga dalam mengemban tugas yang dijalankan aparatur-aparatur
negara atau pemerintahan, apabila konteksnya adalah publik, maka setiap
interaksi atau pergaulan, tentunya melahirkan suatu hubungan hukum yang
muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum, sebab mempunyai
akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum itu berjalan secara harmonis,
seimbang dan adil atau dalam arti lain dapat memperoleh apa yang menjadi
84 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. hlm 120
85 Ibid hlm 6686 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Bakti, Bandung, 2000. hlm 53
12
haknya dalam menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum
tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi siapapun. Selain itu hukum berfungsi
sebagai instrumen pelindung dan dilaksanakan sehingga dapat berlangsung
secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum87.
aturan hukum tersebut tergantung dari sifat dan kedudukan aturan tersebut
berlaku, apabila berhubungan dengan aparatur negara dalam melakukan tindakan
hukum dapat dilihat dari adanya kewenangan melalui regulasi-regulasi sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Sebab sejauhmana kapasitas itu diposisikan,
apakah kewenangan aparatur negara atau Pemerintahan itu sebagai wakil dari
badan hukum maka regulasi yang mengaturnya berkaitan dengan regulasi hukum
keperdataan disisi lain apabila kewenangan aparatur negara atau Pemerintahan
itu bertindak sebagai Pejabat Pemerintahan maka berlakulah Regulasi
Pemerintahan seperti contoh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU AP), regulasi Peradilan Tata Usaha Negara
melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua dari
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang merupakan
lingkup Hukum Administrasi Negara. Namun pada praktiknya hak-hak yang
diberikan kepada aparatur negara atau Pemerintahan yang berwujud sebagai
tindakan hukum itu dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang
87 Sudikno Mertokusumo, Hukum Administrasi Negara, karya Ridwan HR, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007 hlm. 266
13
bertentangan dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga Negara dalam
pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmtige daad) seperti tindak pidana
penggelapan dalam jabatan contohnya seperti diatur dalam KUHP, mengenai
korupsi melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengenai Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) dan regulasi lainnya yang berkaitan dengan sanksi yang
ditentukan dalam substansi dari masing-masing regulasi tersebut.
Sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam
dalam proporsinya dihadapan hukum dan bisa dijadikan sebagai standar untuk
mengafirmasi Persamaan “hanya” di hadapan hukum seakan memberikan sinyal
secara sosial dan ekonomi artinya orang boleh tidak mendapatkan perlakuan yang
sama selain dalam lingkup hukum saja, tetapi dapat dalam lingkup sosial dan
ekonomi itulah makna teori equality before the law yang kini kian tergerus di
tengah dinamika sosial dan ekonomi.88 Mengenai persamaan hak dalam hukum
sebagaimana menurut Prof. Romli Atmasasmita telah dikemukakan itu, sebagai
amanat UUD 1945 merupakan payung hukum yang berlaku di Indonesia, sebagai
perlindungan hukum bagi rakyat sekaligus merupakan konsep universal, dalam
arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai
negara hukum, sebab setiap negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri
tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut hingga sejauh
mana perlindungan hukum itu diberikan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan
ini lebih ditekankan pada perlindungan hukum terhadap sikap tindak atau
88 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 157.
14
perbuatan sebagai hak dalam kaitannya dengan wewenang aparatur negara atau
Pemerintahan, berdasarkan hukum positif di Indonesia. Secara umum ada tiga
macam perbuatan Pemerintahan yaitu perbutan Pemerintahan dalam bidang
pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling), perbuatan pemerintahan
dalam penerbitan keputusan (beschikking), dan perbuatan pemerintahan dalam
bidang keperdataan (materiele daad).
Dua bidang yang pertama terjadi dalam bidang publik oleh karenanya
tunduk pada hukum publik, sedangkan bidang yang terakhir khusus dalam bidang
keperdataan, maka tunduk berdasarkan ketentuan hukum perdata. Muchsan
mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum oleh aparatur negara tersebut
yang berbentuk melanggar hak subjektif orang lain tidak hanya terbatas pada
perbuatan yang bersifat privaatrechtelijk saja, tetapi juga perbuatan yang bersifat
publiekrechtelijk. dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena
melanggar hak subjektif orang lain, apabila:
1. Perbuatan Aparatur Negara atau Pemerintahan yang kewenangannya
bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar ketentuan dalam
hukum tersebut.
2. Perbuatan Aparatur Negara atau Pemerintahan yang kewenangannya yang
bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan kaidah hukum
tersebut.89
Disamping dua macam perbuatan tersebut, seiring dengan konsep negara
hukum modern yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (welfare state), hak-
89 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. hlm. 269
15
hak yang dimiliki oleh aparatur negara atau pemerintahan dalam realisasinya
juga dilekati dengan kewenangan bebas atau freies Ermessen, jika dituangkan
dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan kebijakan. Dengan demikian
sangat beralasan apabila menjadi landasan dalam kajian mengenai tindakan
aparatur negara atau pemerintahan yang merupakan persamaan hak yang diatur
dalam regulasi masing-masing dan disebut pula sebagai kewenangan.
2.2. Kewenangan
Sejak timbulnya iklim demokratis dan dinamikanya dalam Pemerintahan.
Masyarakat sebagai warga negara (rakyat) mulai mempertanyakan akan nilai
yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh aparatur negara atau
pemerintahan. Fungsi pelayanan pemerintahan, namun dalam melakukan
tindakan dan perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas. Dalam
banyak literatur, sumber kewenangan berasal dari atribusi, delegasi dan mandat.
Sebelum mengetahui atribusi, delegasi dan mandat, terlebih dahulu yang perlu
dipahami ialah mengenai kewenangan dan wewenang. Secara konseptual, istilah
wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda
“bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan
bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum
Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar
wewenang yang diperolehnya. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan
untuk melakukan sesuatu. pendapat ahli mengenai kewenangan dan wewenang
16
dan sumber-sumber kewenangan sangatlah beragam, ada yang mengaitkan
kewenangan dengan kekuasaan dan membedakannya serta membedakan antara
atribusi, delegasi dan mandat.
Semua permasalahan tersebut, pada hakekatya tidak perlu terjadi secara
drastis dan dramatis. Sebagaimana yang pernah dialami selama ini, seandainya
aparatur negara atau pemerintahan memiliki kredibilitas yang memadai dan
kewibawaan yang dihormati oleh rakyatnya. Dengan berlandaskan 4 (empat)
pedoman menurut Mertins Jr yaitu:90 Pertama, equality, yaitu perlakuan yang
sama atas pelayanan yang biberikan. Hal ini didasarkan atas tipe prilaku birokrasi
rasional yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, status sosial, etnis, agama dan
sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik dengan
berlaku jujur, suatu prilaku yang patut dihargai. Kedua, equity, yaitu perlakuan
yang sama kepada masyarakat tidak cukup, selain itu juga perlakuan yang adil.
Untuk masyarakat yang pluralistik kadang- kadang diperlukan perlakuan yang
adil dan perlakuan yang sama dan kadang-kadang pula di butuhkan perlakuan
yang adil tetapi tidak sama kepada orang tertentu. Ketiga, loyalty, adalah
kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan
rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain, dan tidak ada
kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu yang
mengabaikan yang lainnya. Keempat, responsibility, yaitu setiap aparat
pemerintah harus bertanggung jawab atas apapun sebab intinya tidak hanya
90 Martins, Jr (ed), Professional Standards and Ethics. Washington, DC: ASPA Publisher, 1979. p 211.
17
sekedar melaksanakan perintah dari atasan”. Mengenai bentuk pelayanan itu
tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu :
1. Pelayanan dengan lisan
2. Pelayanan melalui tulisan
3. Pelayanan dengan perbuatan
Kinerja tersebut tidak lepas dari kewenangan yang mana berdasarkan
pengertian pengertian menurut para ahli hukum diantaranya sebagai berikut:
Apabila mengambil pemahaman menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan
eksekutif/administratif. Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan
orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu
yang bulat. Sedangkan wewenang atau kewenangan hanya mengenai sesuatu
onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang.
Kewenangan adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.91
Menurut Prajudi kekuasaan pada prinsipnya ialah suatu hak dalam
otoritas dan batas-batasnya memberikan kesan tertata sesuai struktur tidak
bercampur dan tidak saling interventif dalam pelaksanaan secara praktik, namun
kewenangan adalah bagian-bagian dari kekuasaan yang artinya memiliki makna
“berhak” untuk melakukan yang menurut Prajudi sebagai tindak hukum publik.
Selanjutnya pemahaman yang penulis sebut sebagai penggolongan mengenai
91 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. hlm 85
18
kewenangan dalam sudut pandang luas diperoleh menurut definisi Indroharto,
mengemukakan secara atributif, delegasi dan mandat, yang masing-masing
dijelaskan sebagai berikut: 92
1. Kewenangan yang diperoleh secara atributif, yaitu pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah
yang baru.
2. Kewenangan yang diperoleh secara delegasi terjadilah pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah
memperoleh suatu wewenang Pemerintahan secara atributif kepada Badan
atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya
sesuatu atribusi wewenang.
3. Kewenangan mandat, kewenangan mandat ini tidak terjadi suatu pemberian
wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan
TUN yang satu kepada yang lain.
Pemahaman terhadap Indroharto berfokus pada pengertian kewenangan
yang saat ini telah lebih mengarah pada bagaimana tindakan pemerintahan yang
telah memiliki perkembangan dalam hukum sebagai kewenangan atributif
pembentukan wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
(dari UU ke pemangku jabatan), diatur selain dalam UU TUN juga melalui UU
AP, sehingga pendelegasiannya (pelimpahan) wewenang dari satu pemangku
92 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm 83.
19
jabatan ke pihak lain (pejabat lain, organ lain) kewenangan yang telah diserahkan
mengakibatkan pemberi kewenangan tidak mempunyai lagi wewenangnya.
Sebagaimana menurut Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap
tindakan Pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah.
Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan
mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan
negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat
adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Pada dasarnya membuat
perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur
pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan
tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi
tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan
dengan berpegang dengan asas ”contrarius actus”. Artinya, setiap perobahan,
pencabutan suatu peraturan pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh
pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan
yang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan
dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung
jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat.93
Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang
dilimpahkan itu. S.F. Marbun, menyebutkan wewenang mengandung arti
93 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, hlm 78.
20
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku
untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang itu dapat
mempengaruhi terhadap pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas
wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan mendapat
kekuasaan hukum (rechtskracht). Pengertian wewenang itu sendiri akan
berkaitan dengan kekuasaan.94
Sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi.
kewenangan yang didalamanya terkandung hak dan kewajiban Kewenangan
memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek mengemukakan
Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staatsen administratief
recht, sedangkan menurut P. Nicolai adalah kemampuan untuk melakukan
tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya
akibat hukum tertentu.
Persamaan mengenai suatu kewenangan Bagir Manan pula membedakan
wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht), apabila
disebut kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Persamaan wewenang dari F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek, P. Nicolai dan
Bagir Manan sekaligus berarti hak dan kewajiban sebagaimana dikutip oleh
94 SF, Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta FH UII Press, 2011, hlm 71.
21
Ridwan HR. Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri
(zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan
pemerintahan negara secara keseluruhan.95
Berdasarkan pendapat yang diuraikan diatas maka aspek kewenangan
atau kompetensi yang dimiliki oleh aparatur negara atau pemerintahan saat ini
telah memiliki progres dengan demikian maka sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (5)
dan ayat (6) UU AP dinyatakan bahwa:
(5) Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil
keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
(6) Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah
kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik
Kaitannya antara pendapat dan definitif menurut regulasi hukum positif
meupakan penjelas maka kewenangan yang dimaksud ialah kewenangan yang
berada dalam lembaga eksekutif dan legislatif sebagai aparatur negara atau
Pemerintahan, selanjutnya dalam memperluas pemahaman tersebut perlu
didukung melalui pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas, maka
berdasarkan prinsip tersebut tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari
95 Op.cit, Ridwan HR, hlm 14.
22
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah
adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik sebagaimana berikut:
2.2.1. Kewenangan Atributif
Kewenangan atributif lazimnya digariskan atau berasal dari adanya
pembagian kekuasaan negara oleh UUD 1945 dalam Bab III mengenai
Kekuasaan Pemerintahan dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Istilah lain untuk kewenangan atributif adalah kewenangan asli
atau kewenangan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada siapapun. Secara
teori kewenangan atributif, pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pejabat
atau badan tersebut tertera dalam peraturan dasarnya. Adapun mengenai
tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pejabat ataupun pada
badan sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya. Berdasarkan UU
AP, pengertian Atribusi, dalam Pasal 1 ayat (22). Atribusi adalah
pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau
Undang-Undang, bila merujuk pada Pasal Pasal 12 ayat (1) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Atribusi
apabila: a.diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan/atau undang-undang; b.merupakan Wewenang baru atau
sebelumnya tidak ada; dan c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan. Sedangkan ayat (2) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung
23
jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang bersangkutan, kemudian pada ayat (3) Kewenangan Atribusi tidak
dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang
dituju atas jabatan yang diembannya. Misalnya berdasarkan Paragraf 2
tentang wewenang mengenai pembentukan rancangan perundang-
undangan sesuai amanat dalam Pasal 72 huruf b Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (UU MD3) menegaskan “DPR dapat membentuk undang-
undang untuk disetuji bersama dengan Presiden”.
Hal ini penulis relasikan dengan teori kewenangan aributif menurut
Indroharto yang memberikan pemahaman pada kewenangan atributif
terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru sesuai amanat dalam
peraturan perundang-undangan. Peranan legislator yang kompeten untuk
memberikan atribusi wewenang pemerintahan berkedudukan sebagai
original legislator, dinegara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai
pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang
melahirkan suatu undang-undang, dan ditingkat Daerah adalah DPRD dan
Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah.96
96 Op.cit, Indroharto, hlm 17
24
Artinya Pemerintahan disini adalah Presiden dan anggota DPR
mempunyai kewenangan atributif dalam menjalankan kewenangannya
sesuai undang undang. seperti dalam hal memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti
undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-
undang. Dapat kita lihat bahwa DPR menciptakan produk hukum dalam
hal ini adalah peraturan perundang-undangan. Selain menciptakan suatu
produk hukum, DPR juga berwenang merubah atau merevisi produk
hukum yang sudah ada sebelumnya, dan bahkan DPR jua berwenang
untuk menemukan produk hukum artinya DPR berwenang untuk membuat
peraturan perundangan yang sebelumnya tidak pernah ada.
Seluruh produk hukum yang kemudian telah resmi diberlakukan
hendaknya bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara, dalam hal ini
tentunya untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa nyaman
kepada masyarakat. Namun tidak sedikit pula produk hukum DPR yang
kemudian malah dipersoalkan karena dianggap tidak berpihak kepada
rakyat atau tidak sesuai dengan tujuan negara. Sama hal nya dengan DPR
yang mempunyai wewenang yang bersifat atributif, Presiden juga
mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum dalam
bentuk Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden.
Dari beberapa contoh produk hukum oleh Presiden, keseluruhnya adalah
kewenangan yang bersifat atributif yang artinya langsung diberikan oleh
undang-undang.
25
Tidak hanya Presiden dan DPR yang memiliki wewenang atributif,
lewat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU PD) maka pemerintah daerah yang didipimpin oleh Kepala
Daerah juga memiliki kewenangan tersendiri yang bersifat atributif dalam
segala bidang seperti Pemerintahan Pusat kecuali :
a. Politik Luar Negeri
b. Pertahanan
c. Keamanan
d. Yustisi
e. Moneter dan Fiskal Nasional, dan
f. Agama
Dengan adanya UU PD maka setiap daerah berwenang untuk
mengeluarkan peraturan sendiri khusus untuk daerahnya sendiri yang
kemudian kita kenal dengan sebutan Peraturan Daerah (PERDA). Setiap
Peraturan Daerah tentunya akan dibahas di DPRD bersama dengan Kepala
Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota sesuai tingkat wilayah
pemerintahan masing-masing. Oleh karena DPRD bersama Kepala Daerah
berwenang membuat produk hukum dalam hal ini Peraturan Daerah maka
DPRD dan Kepala Daerah dapat dimintai pertanggungjawaban atas produk
hukum yang mereka buat karena kewenangan yang mereka miliki bersifat
atributif.
Di tingkat Kepala Daerah sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 jelas mengatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan
26
Walikota mesing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah Provinsi,
kabupaten, dan Kota dipilih secara Demokratis. Pasal 18 ayat (6) juga
mengatakan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
Daerah dan Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan yang kemudian diperjelas dalam Pasal 240 ayat (2) UU
PD bahwa Penyusunan rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau
kepala daerah. Dalam hal ini bahwa gubernur diberi wewenang untuk
membuat Peraturan Daerah (produk hukum daerah).
Berdasarkan teori Para Ahli dan menurut teori UU AP mengenai
atribusi maka dapat disimpulkan bahwa wewenangan gubernur sebagai
kepala daerah dan sebagai pembuat peraturan daerah tampak bahwa
wewenang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari
Peraturan Perundang-Undangan dengan kata lain, gubernur memperoleh
kewenangan secara langsung dari redaksi pasal dalam Peraturan
perundang-undangan yaitu UUD 1945 dan UU PD.
Selain pada bidang Pemerintahan kajian dapat pula
membandingkan dengan kewenangan atributif di bidang hukum, seorang
Hakim juga memiliki wewenang untuk memutus suatu perkara tentu
dengan mempertimbangkan rasa keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan. Wewenang Hakim bersifat atributif karena langsung
diberikan oleh Undang-Undang. Apabila dikemudian hari ada putusan
hakim yang ditemukan tidak sesuai dengan yang seharusnya atau tidak
memenuhi unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, atau
27
putusan tersebut tidak sesuai Undang-Undang maka Komisi Yudisial dapat
memeriksa hakim yang bersangkutan untuk dimintai pertanggung
jawabannya.
2.2.2. Kewenangan Delegatif
Kewenangan delegatif hanyalah tahapan dari suatu proses ketika
penyerahan wewenang berfungsi melepaskan kedudukan dengan
melaksanakan pertanggung jawaban. Sebagaimana pengertian Delegasi
adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan
yang satu kepada organ pemerintahan lainnya, dengan kata lain terjadi
pelimpahan kewenangan. Jadi tanggungjawab atau tanggung gugat berada
pada penerima delegasi/ delegataris. Misalnya: pemerintah pusat memberi
delegasi kepada semua Pemda untuk membuat Perda (termasuk membuat
besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing. Dalam buku
Maria Farida yang mengutip teori Ralph C. Davis dinyatakan: Delegation
of Authority is merely the phase of the process in wich Authorityof
assigned function is released to position to be exercise by their incumbent.
Terjemahan bebasnya Pendelegasian wewenang hanyalah tahapan
dari suatu proses ketika penyerahan wewenang, berfungsi melepaskan
kedudukan dengan melaksanakan pertanggungjawaban. Penulis menilai
pemikiran Maria Farida mengenai Kewenangan Delegatif lebih
memperhatikan hirarki ditentukan melalui peraturan yang bersifat lebih
tinggi hingga kepada peraturan yang lebih rendah dalam konteks
28
pelaksanaan kewenangan tersebut, sesuai pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), baik
dinyatakan dengan tegas maupun tidak dinyatakan dengan tegas. Pada
kewenangan delegasi tersebut tidak diberikan, melainkan “diwakilkan”
dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti
kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut
masih ada”.97
Hakikatnya kewenangan delegasi adalah penyerahan tugas dalam
membuat besluit oleh pejabat Pemerintahan kepada pihak lain. Kata
“penyerahan” berarti ada perpindahan tanggungjawab dari yang memberi
delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). Dilihat
dari Pasal 1 ayat (23) UU AP dinyatakan Delegasi adalah pelimpahan
Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi
kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan
tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima
delegasi, makna dalam pertanggungjawaban menurut kewenangan
delegatif adalah penyerahan yang diiringi dengan tanggungjawab sehingga
penerima delegasi akan bertanggung jawab penuh atas kewenangan
delegasi yang diterimanya.
Ketika penyerahan delegasi dilakukan maka aparat penerima
delegasi tersebut berwenang menciptakan suatu produk hukum. Salah satu
97 Maria Farida Indriati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998. hlm 55
29
contoh Delegasi adalah ketika Pemerintah Pusat memberikan wewenang
kepada Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan pada daerahnya
masing-masing. Sehingga Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh
atas kewenangan delegasi yang diterimanya. Contoh lain adalah ketika
Kepala Daerah memberikan kewenangan kepada Kepala Dinas atau Camat
untuk menjalankan pelayanan publik dan untuk membuat produk hukum
dalam bentuk apapun sesuai dengan tujuan negara. Adapun perbedaan
antara Delegasi dengan Atribusi adalah pada Delegasi kewenangan
tersebut hanya diwakilkan, namun tidak diberikan berdasarkan Undang-
Undang. Tapi penerima delagasi wajib bertanggungjawab atas segala
tindakan dalam kewenangan tersebut. Saat berakhirnya tanggung jawab
delegasi ketika dikeluarkannya surat berakhirnya kewenangan delegatif
dilanjutkan dengan beralihnya mandat.
Bila meninjau menurut amanat Pasal 9 UU PD yang substansinya
membedakan antara urusan pemerintahan absolute (mutlak) dan urusan
Pemerintahan konkruen dan urusan pemerintahan Umum. Dalam ayat (1)
mengatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
absolute, urusan pemerintahan konkruen, dan urusan pemerintahan umum.
Ayat (2) Urusan pemerintahan absolute sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Ayat (3) Urusan pemerintahan konkruen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemrintah pusat dan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota. Ayat (4) Urusan
30
Pemerintahan konkruen yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Daerah. Ayat (5) Urusan Pemerintahan Umum
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
absolute adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
Kemudian Pasal 11 dan 12 UU PD menjabarkan lebih jelas
mengenai urusan pemerintahan konkruen yaitu :
Pasal 11
(1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9
ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar.
(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan
Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal 12 :
(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
31
a) pendidikan; b).kesehatan; c).pekerjaan umum dan penataan ruang;
d). perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e). ketenteraman,
ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f). sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a.
tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c.
pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi
kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan
Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i.
perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil,
dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n.
statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r.
kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c.
pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f.
perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.
Sedangkan berdasarkan teori Para Ahli dan UU AP tentang teori
Delegasi yang telah dijabarkan sebelumnya, tampak bahwa wewenang
Gubernur yang diperoleh secara delegasi. Karena telah dikatakan bahwa
Urusan pemerintahan konkruen adalah urusan pemerintahan yang dibagi
antara pemrintahan pusat dan daerah provinsi dan Urusan Pemerintahan
konkruen yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi
32
Daerah. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah
seperti, pendidikan,, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang,
perumahan rakyat dan kawasan permukiman;, ketenteraman, ketertiban
umum, dan pelindungan masyarakat, social dan lain sabagainya yang
dimana hal tersebut sudah memiliki masing-masing kementrian yang
dalam hal ini merupakan bagian dari kewenangan pusat, namun
dilimpahkan kepada pemerintahan daerah dalam hal ini termasuk
Gubernur yang tanggung jawab Yuridis tidak lagi berada pada pemberi
delegasi tetapi beralih kepada Gubernur selaku penerima delegasi dan
kepala pemerintahan daerah provinsi.
Berdasarkan amanat Pasal 13 yang dalam substansinya
memberikan aturan mengenai pendelegasian sebagaimana dinyatakan
sebagai berikut:
(1) Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui
Delegasi apabila: a. diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan
kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan
Daerah; dan c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya
telah ada.
33
(3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan
lain dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensubdelegasikan
Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan
ketentuan: a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang
dilaksanakan; b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri;
dan c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi
dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui
Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian
Kewenangan dapat menarik kembali Wewenang yang telah
didelegasikan.
34
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima
Delegasi.
Perincian Delegasi tidak ada penciptaan atau perluasan wewenang,
namun terjadi pelimpahan dan berarti terjadi pelimpahan tanggungjawab,
dengan teori R.H.J.M. Huisman memberikan karakter mengenai delegasi
Overdracht van bevoegdheid: pelimpahan Wewenang Bevoegdheid kan
door het oorspronkelijke bevoegde organ niet incindenteel uitgeofend
worden; kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ
yang memiliki wewenang (Overgang van verantwoordelijkheid) terjadi
peralihan tanggungjawab (Wettelijke basis vereist), harus berdasarkan
undang-undang dan sifatnya harus tertulis (Moet schriftelijk).98
Berangkat dari perolehan kewenangan sebagaimana diuraikan di
atas, dapat dilakukan suatu tindakan hukum pemerintahan. Tindakan
hukum pemerintahan mencakup tindakan-tindakan, diantaranya adalah:
tindakan keperdataan, hukum publik, pembuatan keputusan untuk umum,
tindakan nyata. Pihakpihak dalam pemerintahan yang dapat melakukan
tindakan hukum adalah pejabat yang menjabat, yang berdaulat dan yang
berwenang. Sejauh mana tanggungjawab dari sang pejabat, harus dilihat
dasar hukum yang memberikan wewenang kepada pejabat tersebut.
98 Op.Cit Ridwan HR mengutip R.H.J.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, Op 10 October 2007, hlm 23
35
Apabila berbentuk suatu delegasi, maka terjadi peralihan, apabila mandat,
tidak terjadi peralihan.
2.2.3. Kewenangan Mandat
Kewenangan mandat sebagaimana teori yang dikemukakan J.G.
Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan: With mandate, there is not
transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body
(mandataris) to make decision or take action in its name. terjemahannya
tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat
(mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris)
untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.99
Memiliki perspektif karena merupakan kewenangan yang
bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan
yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah.
Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan rutin atasan bawahan,
kecuali bila dilarang secara tegas. Kemudian, setiap saat si pemberi
kewenangan dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan
tersebut.
Di tingkat Pemerintahan Pusat berdasarkan Pasal 1 ayat (24) dalam
UU AP mengenai Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
99 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998. p. 6
36
tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Berkaitan sesuai
amanat Pasal 14 dinyatakan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: a.
ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pelaksana harian yang melaksanakan
tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan b.
pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif
yang berhalangan tetap.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat
kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi
bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus
menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan Mandat.
Sedangkan ditingkat Pemerintahan Daerah secara teori
kewenangan mandat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 91 ayat (1)
sampai ayat (4) UU PD dinyatakan:
(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah
37
kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mempunyai tugas: a. mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan tugas Pembantuan di Daerah Kabupaten/Kota; b.
melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang ada di
wilayahnya; c. memberdayakan dan memfasilitasi Daerah
Kabupaten/Kota di wilayahnya; d. melakukan evaluasi terhadap
rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata
ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah; e. melakukan
pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan f. melaksanakan
tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai wewenang: a.
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota;
b. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota
terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; c.
menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi
Pemerintahan antar daerah Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Daerah
provinsi; d. memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda
38
Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan Perangkat Daerah
kabupaten/kota; dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mempunyai tugas dan wewenang: a. menyelaraskan perencanaan
pembangunan antar Daerah Kabupaten/Kota dan antara daerah
provinsi dan daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya; b.
mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara
daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kota dan antar daerah
Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya; c. memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah Pusat atas usulan Dana Alokasi Khusus pada
Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya; d. melantik Bupati/Walikota;
e. memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal di wilayah
provinsi kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan
urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh
kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam
UUD 1945; f. melantik kepala Instansi Vertikal dari kementerian dan
lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah
Daerah provinsi yang bersangkutan kecuali untuk kepala Instansi
Vertikal yang melaksanakan urusan Pemerintahan absolut (mutlak)
dan kepala Instansi Vertikal yang dibentuk oleh kementerian yang
nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945;
39
Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 92 UU PD yang
mengatakan bahwa Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
tidak melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Menteri mengambil alih
pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat
Berdasarkan teori para ahli dan Undang-Undang mengenai mandat
yang telah dipaparkan sebelumnya dapat diperoleh kesimpulan bahwa
kewenangan Gubernur juga diperoleh secara mandate karena Gubernur
sebagai penerima mandat (mandataris) hanya bertindak atas nama pemberi
mandat (mandans) dalam hal ini pemerintah Pusat, tanggungjawab akhir
keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat.
2.3. Pertanggungjawaban Hukum Pejabat Pemerintahan.
Pertanggungjawaban memiliki dasar kata majemuk “tanggung jawab”
yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan,
diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain. kata
benda abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan perilaku. Setelah
bentuk dasar, kata “tanggung jawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan
akhiran “an” menjadi “pertanggungjawaban” yang berarti perbuatan bertanggung
jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan.100
100 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta (tanpa tahun), hlm. 1139.
40
Persepsi dari rumusan di atas memberi makna tanggungjawab dalam
proses hukum, dimana seseorang dapat dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan
dan kesiapan menerima beban sebagai akibat dari sikap sendiri atau tindakan
orang lain. Jika dikaitkan dengan kata pertanggungjawaban berarti memiliki
kesungguhan menanggung segala bentuk beban berupa dituntut, diperkarakan
dan dipersalahkan akibat dari sikap dan tindakan sendiri atau pihak lain yang
menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Teori pertanggungjawaban, yang memposisikan sebagai suatu kebebasan
bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan sebagai pendapat Atmadja,
tetapi pada akhirnya tidak dapat melepaskan diri dari resultante kebebasan
bertindak, berupa penuntutan untuk melaksanakan secara layak apa yang
diwajibkan kepadanya. Pandangan Atmadja bersesuaian dengan batasan
Ensiklopedia Administrasi yang mendefinisikan responsibility sebagai keharusan
seseorang untuk melaksanakan secara layak apa yang telah diwajibkan
kepadanya.101
Menurut Suwoto ada 2 (dua) kriteria secara umum menunjukkan perihal
pertanggungjawaban yang mendukung pandangan Atmadja diantaranya adalah
sebagai berikut: pertama, ditinjau dari aspek internal yakni pertanggungjawaban
yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan
oleh pimpinan dalam suatu instansi. Sedangkan kedua, aspek eksternal yakni
pertanggungjawaban kepada pihak ketiga, jika suatu tindakan menimbulkan
kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain berupa tanggung gugat
101 Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta, hlm. 291
41
atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang
diperbuat.102
Relevansi mengenai dua pemahaman pertanggungjawaban di atas
menunjukkan keluasan wilayah pemikiran yang menyebabkan timbulnya multi
tafsir yang belum dapat menemukan kesepahaman mengenai sudut pandang
pertanggungjawaban. Bagaimana pertanggungjawaban diartikan, dimaknai,
dipahami, serta batasan-batasannya tergantung kepada konteks dan sudut
pandang yang digunakan untuk menelaahnya. Terlepas dari uraian di atas, secara
sederhana dapat dipahami bahwa eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu
objek multidisiplin inheren di dalam hak dan kewajiban ke konteks mana pun
pertanggungjawaban hendak dipahami dan diwujudkan.
Bila diselaraskan dengan ahli hukum Roscoe Pound termasuk salah satu
pakar yang banyak menyumbangkan gagasannya tentang timbulnya
pertanggungjawaban. Melalui pendekatan analisis kritisnya, Pound meyakini
bahwa timbulnya pertanggungjawaban karena suatu kewajiban atas kerugian
yang ditimbulkan terhadap pihak lain.
Apabila pejabat Pemerintahan melakukan penyalahgunaan wewenang
dapat diminta pertanggungjawaban bagi pejabat Pemerintahan secara hukum.
Konsep pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan pertanggungjawaban
secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang
102 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 42.
42
bertentangan dengan undang-undang. Pertanggungjawaban memuat nisbah
bersegi tiga, meliputi:103
a. Seseorang adalah penyebab atau berwenang;
b. Kriteria atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuatnya;dan
c. berhadapan dengan pihak yang menuntut pertanggungjawaban.
Menurut Hans Kelsen bahwa sebuah konsep yang berhubungan dengan
konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab (pertanggungjawaban)
hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atasperbuatan
tertentu atau bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu sanksi apabila
perbuatannya bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangn.
Biasanya, yakni apabila sanksi hukum ditunjukan kepada pelaku langsung, maka
seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek
daritanggungjawab hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum.104
Berdasarkan uraian-uraian dari teori hukum yang bersifat umum,
disebutkan bahwa setiap orang, termasuk Pemerintahan, harus
mempertangungjawabkan setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa
kesalahan. Maka dari teori hukum umum, muncul tanggungjawab hukum berupa
pertanggungjawaban Pemerintahan baik dalam perspektif pidana, perdata, dan
hukum administrasi sebagaimana akan dijabarkan mengenai adanya tindakan
pejabat pemerintahan berkenaan dengan pertanggungjawaban yang diemban
103 F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI): 2001, hlm 87.
104 Hans Kelsen, General Theory of Law and State , New York : Russel and Russel, 1971, hlm 95
43
dalam pelaksanaan kinerja, sebagai mekanisasi evaluatif bagi pejabat
pemerintahan tersebut.
2.3.1. Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan Dalam Perspektif
Hukum Perdata
Bilamana seseorang menderita kerugian karena perbuatan
seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu
perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang
undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut
yang menimbulkan kerugian itu.105 Perihal mengenai subjek hukum yang
menimbulkan kerugian itu menurut Pasal 1365 KUH Perdata dinyatakan
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka
yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan
yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena
salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Landasan menurut ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori unsur-
unsur dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:106
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian);105 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan kedua, Diapit Media, Jakarta,
2002, hlm.77.106 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hlm. 3.
44
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian;
Maka model tanggung jawab hukum dapat melingkupi beberapa
pasal-pasal yang berkaitan sebagai berikut:
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelum
tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan
yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-
undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran
yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut
ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan
yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan
tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral
atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. Pengertian
perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan
Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan
Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan bila memenuhi unsur
45
perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad)107 bagi penulis tentu
dapat terlebih dahulu dianalisa dapat atau tidak suatu perbuatan itu
termasuk kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik
dengan kesusilaan baik, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda,
sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu
telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar
ganti kerugian”.
Konsentrasi dalam mengetahui lebih luas dari onrechmatige daad,
maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan:
1. Bertentangan dengan hak orang lain;
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;
3. Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam
pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja
dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam Pasal
1366 KUHPerdata, bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum ini merupakan tanggung
107 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cetakan kedua, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 25-26.
46
jawab perbuatan melawan hukum secara langsung. Selain itu dikenal juga
dikenal perbuatan melawan hukum secara tidak langsung menurut Pasal
1367 KUHPerdata yakni:
a. Seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di
bawah pengawasannya;
b. Orang tua dan wali bertanggungjawab tentang kerugian, yang
disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka
dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali;
c. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain
untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab
tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau
bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana
orang-orang ini dipakainya;
d. Kepala Sub Bidang Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Jalan dan
Jembatan menyerahkan kepada kontraktor Wika di bawah
tanggungjawab Kepala Daerah Kabupaten/Kota yang
bertanggungjawab tentang kerugian ditimbulkan karena runtuhnya
Pembangunan Jembatan yang masih dalam masa uji kelayakan
menibulkan kecelakaan bagi pekerja konstruksi selama waktu orang-
orang ini berada di bawah pengawasan Pimpinan itu;
47
e. Tanggungjawab yang disebutkan diatas berakhir, jika dapat
membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk
mana mereka seharusnya bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban majikan dalam Pasal 1367 ayat (3)
KUHPerdata tidak hanya mengenai tanggung jawab dalam ikatan kerja
saja, termasuk kepada seorang yang di luar ikatan kerja telah
diperintahkan seorang lain untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu,
asal saja orang yang diperintahkan melakukan pekerjaan tersebut
melakukan pekerjaannya secara berdiri sendiri-sendiri baik atas
pimpinannya sendiri atau telah melakukan pekerjaan tersebut atas
petunjuknya.
Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1601 a KUHPerdata,
pertanggungjawaban majikan atas perbuatan-perbuatan melawan hukum
dari karyawan-karyawannya yakni “Persetujuan perburuhan adalah
persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya
untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu
waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Dahulu bila kembali memahami historikal negara mengenai
pertanggungjawaban pejabat Pemerintahan ditinjau menurut Putusan
Hoge Raad tanggal 4 November 1938 mengatur pula
pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang sekalipun di luar
tugas sebagaimana yang diberikan kepada bawahan, namun ada
hubungannya sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut, sehingga
48
dapat dianggap dilakukan dalam pekerjaan untuk mana bawahan tersebut
digunakan yakni “Pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1367 ayat (3)
KUHPerdata dimaksudkan untuk mencakup pula kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan yang tidak termasuk tugas yang diberikan
pada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian rupa dengan tugas
bawahan tersebut, sehingga perbuatan tersebut dianggap dilakukan dalam
pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan”.
Selain manusia sebagai subyek hukum, badan hukum
(rechtspersoon) juga merupakan subyek hukum, yaitu memiliki hak hak
dan kewajiban seperti manusia. Badan hukum dapat menjadi subyek
hukum dengan memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:108
1. Jika badan hukum tersebut memiliki kekayaan sendiri yang terpisah
dari kekayaan orang perorangan yang bertindak dalam badan hukum
itu;
2. Jika badan hukum tersebut mempunyai kepentingan kepentingan yang
sama dengan kepentingan orang perorangan yaitu kepentingan
sekelompok orang dengan perantara pengurusnya.
Badan hukum dapat turut serta dalam pergaulan hidup di
masyarakat, dapat menjual atau membeli barang, dapat sewa atau
menyewakan barang, dapat tukar menukar barang, dapat menjadi majikan
dalam persetujuan perburuhan dan dapat juga dipertanggung jawabkan
atas tindakan melanggar hukum yang merugikan orang lain.109
108 Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989, hlm. 21109 Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1960,
hlm. 51.
49
Teori Organ mengakui dalam badan hukum terdapat orang di
samping anggotanya, orang tersebut mempunyai kecakapan untuk
bertindak dan juga memiliki kehendaknya sendiri. Kehendak tersebut
dibentuk dalam otak para anggota, akan tetapi karena para anggota
tersebut pada waktu membentuk dan mengutarakan kehendaknya
bertindak selaku organ, yakni sebagai bagian dari organisme yang
berwujud orang, maka kehendak tersebut juga merupakan kehendak dari
badan hukum.110
Pada masa itu Hoge Raad menganut teori organ dan menjadikan
teori ini sebagai yurisprudensi tetap karena menurut teori ini badan
hukum dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata, yakni bilamana organnya melakukan perbuatan melawan
hukum. Bilamana suatu badan hukum dianggap sebagai benar-benar
orang yang mempunyai wewenang untuk bertindak, dengan memiliki
kehendaknya sendiri, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa badan hukum
tersebut harus pula dapat dianggap memenuhi unsur kesalahan dalam
melakukan perbuatan melawan hukum.
Tidak semua perbuatan organ dapat dipertanggungjawabkan
kepada badan hukum, harus ada hubungan antara perbuatan dengan
lingkungan kerja dari organ. Organ tersebut telah melakukan
perbuatannya dalam lingkungan formil dari wewenangnya. Jika organ
badan hukum bertindak untuk memenuhi tugas yang dibebankan
kepadanya dan tindakan tersebut melawan hukum maka perbuatan 110 Op.Cit., M.A. Moegni Djojodirdjo, hlm. 175
50
melawan hukum oleh organ tersebut dianggap sebagai perbuatan
melawan hukum dari badan hukum. Dalam membicarakan persoalan
tentang organ perlu kiranya dikemukakan perihal wakil. Vollmar
mengadakan perbedaan antara organ dan wakil. Organ menurut Vollmar
adalah merupakan wakil yang bertindak untuk badan hukumnya. Di
samping wakil sebagai organ tersebut menurut Vollmar ada pula wakil
yang bertindak tidak sebagai organ. Adapun mengenai organ tersebut
dapat dibedakan antara organ bukan sebagai bawahan dan organ sebagai
bawahan. Teori Vollmar memberikan perumusan tentang organ bahwa
“organ adalah wakil yang fungsinya mempunyai sifat yang berdiri sendiri,
yakni dalam arti bahwa cara mereka harus menjalankan tugasnya dan cara
mereka harus mewakili badan hukum sepenuhnya adalah diserahkan pada
mereka sendiri, sekalipun pelaksanaannya harus dilakukannya dalam
batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, atau peraturan dan
sebagainya”.111
Dengan demikian, dalam kebanyakan hal badan hukum sendiri
telah melakukan perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawabannya
secara langsung adalah berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dan
bukannya berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata. Jika perbuatan melawan
hukumnya dilakukan oleh seseorang bawahan, maka badan hukum harus
bertanggungjawab berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata. Sebagai
pedoman, dijelaskan oleh Pasal 1865 KUHPerdata bahwa “Setiap orang
111 Ibid, 178
51
yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut.”
Ada beberapa unsur kesalahan dalam hukum secara Perdata
menurut Abdulkadir Muhammad, yakni:112
1. Pelanggaran Hak Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai
hak pribadi maupun hal kebendaan dan akan melindunginya dengan
memaksa pihak yang melanggar untuk membayar ganti rugi kepada
pihak yang dilanggar haknya.
2. Unsur Kesalahan Pertanggungjawaban dalam kesalahan perdata
biasanya memerlukan suatu unsur kesalahan atau kesengajaan pada
pihak yang melakukan pelanggaran, walaupun tingkat kesengajaan
yang diperlukan biasanya kecil.
3. Kerugian yang diderita Unsur yang essensial dari kesalahan perdata
pada umumnya adalah adanya kerugian yang diderita akibat sebuah
perbuatan meskipun kerugian dan kesalahan perdata tidak selalu jalan
berbarengan karena masih ada kesalahan perdata dimana apabila
perbuatan salah dari seseorang digugat maka si tergugat sendiri yang
harus membuktikan kerugian yang dideritanya. Adapun bentuk
kesalahan perdata, antara lain:
a. Kesalahan perdata terhadap orang, misalnya pemukulan.
112 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 197.
52
b. Kesalahan perdata terhadap tanah misalnya gangguan langsung
terhadap tanah milik orang lain
c. Kesalahan perdata terhadap barang misalnya gangguan terhadap
barang orang lain secara langsung, tidak sah dan fisik.
d. Kesalahan terhadap nama baik (martabat), misalnya pencemaran
nama baik
e. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab menurut Shidarta
dapat dibedakan sebagai berikut: (1) Tanggung jawab berdasarkan
Kesalahan (liability base on fault), (2) Praduga selalu bertanggung
jawab (presumption of liability), (3) praduga tidak
bertanggungjawab (Presumption of nonliability), (4)
tanggungjawab mutlak (Strict liability), (5) pembatasan tanggung
jawab (limitation of liability).113
Sanksi dalam hukum perdata, diputus dan dijatuhkan hakim
dengan penerapan jenis putusan:
1. putusan condemnatoir, yakni putusan yang bersifat menghukum pihak
yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya);
2. putusan declaratoir, yakni putusan yang amarnya menciptakansuatu
keadaan yang sah menurut hukum; dan
3. putusan constitutif, yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan
hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.
Sanksi hukum secara perdata dapat berupa kewajiban untuk
memenuhi prestasi (kewajiban) serta hilangnya suatu keadaan hukum, 113 Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi
dalam Hukum Pidana Indonesia, Averroes Press, 2002, hlm, 54.
53
yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.
Pertanggungjawaban hukum di bidang perdata merupakan
pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh adanya hubungan
keperdataan antar subyek hukum.
2.3.2. Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan Dalam Perspektif
Hukum Pidana
Prinsip pertanggungjawaban pidana didasarkan atas ketentuan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dikenal dengan
sebutan KUHP dengan asas legalitasnya “Nullum Delictum Noella Poena
Sine Previa Lege Poenali,114” yang menyebutkan tiada peristiwa dapat
dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan
pidana yang mendahului sebelum perbuatan itu dilakukan (geen feit is
strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling).115
Jadi ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut terkandung
suatu maksud yang menjelaskan yakni: pertama, suatu perbuatan dapat
dipidana jika termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Hal ini
berarti pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.
Kedua, ketentuan pidana itu harus terlebih dahulu ada daripada perbuatan
itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku
114 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. hlm 155115 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan & Yurisprudensi.
Alumni, Bandung, 1979, hlm. 16
54
ketika perbuatan itu dilakukan.116 Dalam kaitan dengan hal tersebut,
menurut Barda Nawawi Arief bahwa perumusan asas legalitas dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas lex temporis delicti
atau asas nonretroaktif yakni larangan berlakunya hukum atau undang-
undang pidana secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan
hak asasi terhadap setiap orang.117 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1
ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada
perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan
perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat
dipidana maupun sanksinya. Ketiga, Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat
pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan
terdakwa.118
Mengacu pada uraian di atas, maka keberlakuan asas legalitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dibatasi oleh Pasal 1
ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada
perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan
perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Terdapat tiga pengertian: (a) tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan 116 Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,
BPHN, Jakarta, 2002, hlm 3.117 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm 1.118Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,
Op.Cit, hlm..3
55
dalam suatu aturan undang-undang; (b) untuk menentukan adanya
perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi; dan (c) aturan-aturan
hukum pidana tidak berlaku surut.119
Selanjutnya dalam Pasal 2 KUHP, bahwa “ketentuan pidana
dalam hukum positif Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”. Pada dasarnya hukum
pidana merupakan keseluruhan peraturan hukum yang berkenaan dengan
perbuatan mana yang dapat dipidana dan pidana apa yang dapat
dikenakan. Eksistensi asas legalitas masih diakui mempunyai implikasi
kepada kedudukan kepastian hukum yang mempunyai sifat perlindungan
kepada hukum pidana yaitu hukum pidana melindungi masyarakat
terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Hal ini
merupakan fungsi “melindungi” dari hukum pidana. Fungsi melindungi,
hukum pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu dalam batas-
batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan yang
dilakukan pemerintah, secara tegas diperbolehkan.120 Hal pertama yang
perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa
pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya
seseorang telah melakukan tindakan pidana. Prof. Moelijatno
menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat di persalahkan melanggar
sesuatu tindak pidana tidak mungkin di kenakan pidana, meskipun orang
119 Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000, hlm. 25120 Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm 4.
56
tersebut di kenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang
lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana.
Demikian pula meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dapat di
pidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama
tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Apakah orang yang telah
melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal,
apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang
mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala
dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan
yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak
tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar
daripada dipidananya pelaku. Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat
itu dipertanggungjawabkan pada pembuatnya, artinya predikat yang
objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada terdakwa.121
Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya bagi pelaku bukanlah
bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada
apakah terdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.
meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat
dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia
mempunyai kesalahan. Teori Moelijatno menyatakan karena kalimat
diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian
121 Op.cit, Moeljatno, hlm 54.
57
dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan
yang bertenttangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana,
namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat
(subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkan Pidana. Syarat-
syaratnya harus terpenuhi menurut teori Melijatno adalah:
1. Harus adanya Perbuatan;
2. Perbuatan itu telah diatur dalam aturan hukum (perundang-undangan);
3. Memiliki Ancaman (sanksi) bagi pelanggarnya.
Sedangkan berkenaan dengan hal itu disesuaikan dengan keriteria
sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, meliputi:
a. pidana pokok yang terdiri dari: (1) pidana mati; (2) pidana penjara;
(3) kurungan; dan (4) denda;
b. pidana tambahan yang terdiri dari: (1) pencabutan hak-hak tertentu;
(2) perampasan barang-barang tertentu; dan (3) pengumuman putusan
hakim.
Hukum pidana juga merupakan ultimum remidium atau sarana
terakhir. Ultimum Remidium hanya diadakan apabila sanksi-sanksi dalam
bidang-bidang hukum lain tidak memadai.
Namun saat ini telah dikembangkan upaya Peranan dan fungsi
inspektorat dan pengawasan di kantor dan lembaga diupayakan audit
kinerja untuk mencegah tumpang tindih pemeriksaan kinerja yang
menimbulkan ketidakpastian hukum. Perkembangan dalam UU AP
diintensifkan untuk mencegah ”kriminalisasi tindakan administratif”
58
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU AP, dinyatakan: Pengawasan
terhadap larangan penyalahgunaan wewenang administrasi pemerintahan,
dilakukan oleh Aparatur Pengawas Intern Pemerintah yang selama ini
terjadi dalam praktik dan memperkuat prinsip kehatihatian (prudential
principle)122 tujuannya untuk membangun sarana hukum pidana sebagai
Primum Remedium.
Progres yang dapat dipahami dalam ranah hukum administrasi
pemerintahan secara asas systematische specialiteit atau logische
specialiteit sebenarnya upaya hukum yang dapat dijalankan untuk
memproses seseorang pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan
publik yang salah. Dengan kata lain konotasi dalam konteks ini lebih
dahulu diterapkan prinsip premium remedium untuk hukum administrasi
Pemerintahan, baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium
untuk hukum pidana.
Artinya kebijakan publik yang salah atau menimbulkan kerugian
negara seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan
bukan hukum pidana, kecuali bila ada unsur koruptif (misalkan
melanggar Pasal 20 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 39 ayat (6) atau Pasal 65
ayat (1) huruf “a” dalam UU AP), maka hukum pidana bisa diterapkan
sebagai upaya terakhir. Jika kesalahan (kerugian bisnis) itu dipahami
secara hukum administrasi, maka tidak perlu dipidana. Oleh sebab itu,
122 Asep Warlan, Materi Acara Sosialisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Di Hotel Prima Resort Kuningan Tanggal 22 Oktober 2015.
59
dalam konteks ini, perbuatan mana yang dapat dikategorikan
(dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas kebijakan publik tersebut
harus pula memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam
perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Perbuatan melawan hukum sebagaimana maksud di atas bila
dikaitkan dengan ketentuan adanya pertanggungjawaban pejabat
pemerintahan dari sudut kajian pidana yang melakukan suatu tindakan
yang termasuk dalam unsur pidana korupsi yang telah secara khusus
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), seharusnya dipahami
secara formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan yang
disebut tindak pidana korupsi adalah bertentangan dengan perundang-
undangan, seperti melawan hukum yang diatur dalam KUHP, UU
Tipikor, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Pelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, PP
No. 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah, PP No. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan
Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 110 Tahun
2000, tentang Kedudukan Keuangan DPRD.
Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak
pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan
peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
60
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat di pidana. Perluasan unsur “melawan hukum” ini sangat
ditentang oleh sebagian ahli hukum dan sangat berpengaruh dalam proses
penegakan hukum sekarang. Alasan dari pihak yang menolak perluasan
unsur melawan hukum ini adalah jika unsur “melawan hukum” ini
diartikan secara luas, maka pengertian melawan hukum secara materil
(Materiele Wederrechttelijkeheid) dalam Hukum pidana diartikan sama
dengan pengertian “melawan hukum (Onrechtmatige Daad)” dalam Pasal
1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas legalitas.
Memahami unsur “melawan hukum” ini pada dasarnya dapat di
terima oleh akal sehat, namun belum tentu bertolak dari suatu
pemikiran/akal yang sehat karena perlu diingat juga bahwa Mahkamah
Agung (MA) sebenarnya sudah sejak lama mengakui dan menerapkan
Materiele Wederrechttelijkeheid dalam berbagai perkara tindak pidana
korupsi.
Mengenai teori hukum juga diakui bahwa suatu perbuatan dapat
dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu tidak saja bertentangan
dengan hukum yang dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa juga
bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang ditaati oleh
masyarakat dalam penyelesaian pada lembaga peradilan disebut sebagai
yurisprudensi.123 Teori hukum ini sangat penting, mengingat suatu
putusan yang benar tidak hanya didasarkan pada Undang-undang atau
123 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm 294
61
yurisprudensi saja, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan yang ada di
masyarakat, traktat, doktrin dan pendapat ahli hukum.
Unsur melawan hukum memiliki karakteristik tindak pidana
korupsi yang muncul akhir-akhir ini, idealnya unsur perbuatan melawan
hukum harus dipahami baik secara formil maupun materil karena:
Pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi tinggi
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga di golongkan sebagai kejahatan yang luar biasa
(Extra Ordinary Crime), sedangkan pemberantasan dilakukan sesuai cara-
cara yang luar biasa (Extra Ordinary Efforts). Kedua, dalam merespon
perkembangannya kebutuhun hukum di dalam masyarakat, agar dapat
lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau
berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian
negara yang semakin canggih dan rumit. Argumen dari Marwan Effendi
ini, pada dasarnya sesuai dengan dictum menimbang huruf b dan
Penjelasan umum alinea kedua UU Tipikor, sehingga terbukti apabila
perbuatan melawan hukum dalam pembuktian suatu tindak pidana
korupsi, harus di pahami dan dibuktikan secara materil dan atau formil.124
124 Marwan Effendi, Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya. Gramedia, Jakarta, 2005. hlm 1
62
Menurut terminologi bahasa “memperkaya”. merupakan suatu
kata kerja yang menunjukan perbuatan setiap orang untuk menambah
kekayaannya. Itu berarti, “memperkaya” diartikan sebagai perbuatan
adanya perubahan intensitas yang lebih meningkat dari posisi
sebelumnya. Apabila dikaitkan dengan makna orang mengingat apakah
seseorang itu dapat disebut sebagai kaya sangat subyektif sekali, misalnya
seseorang di kota besar mempunyai rumah besar dan mobil belum dapat
disebut kaya sedangkan di desa seseorang yang mempunyai televisi,
persawahan dan sepeda motor dapat disebut kaya, maka dalam konteks
pembuktian suatu tindak pidana korupsi kata “memperkaya” harus
dimaknai sebagai perbuatan setiap orang yang berakibat pada adanya
pertambahan kekayaan. Ada 3 point yang harus di dikaji dalam kaitannya
dengan suatu tindak pidana korupsi, unsur-unsur itu adalah: Pertama,
Memperkaya Diri Sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu
pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.
Kedua, Memperkaya Orang Lain, maksudnya adalah akibat dari
perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati
bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang
diuntungkan bukan pelaku langsung. Ketiga, Memperkaya Korporasi,
yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, suatu korporasi,
yaitu kumpulan orang-atau kumpulan kekayaan yang terorganisir, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum Pasal 1 ayat (1)
UU Tipikor yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya
63
harta benda. Unsur-unsur pada dasarnya merupakan sifat atau alternatif.
Artinya jika salah suatu point diantara ketiga point ini terbukti, maka
unsur “memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” ini dianggap
telah terpenuhi. Pembuktian unsur-unsur ini sangat tergantung pada
bagaimana cara dari orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana
korupsi memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau
memperkaya korporasi, yang hendaknya dikaitkan dengan unsur/elemen
“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan” yang terkandung dalam Pasal 3
UU Tipikor dinyatakan: “setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah).” Pemahamannya adalah dari
amanat Pasal 3 UU Tipikor, yang disebut sebagai pelaku tindak pidana
korupsinya adalah korporasi dan orang-perorangan (Persoonlijkheid).
Jika diteliti, perkalimat “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
64
atau kedudukan dan seterusnya”, menunjukan bahwa pelaku tindak
pidana korupsi menurut Pasal 3 UU Tipikor haruslah orang-perorangan
(Persoonlijkheid) dalam hal ini seorang yang memiliki jabatan dalam
instansi negara, atau aparatur pemerintahan (pegawai negeri). Menurut
Pasal 1 ayat (2) UU Tipikor, yang dimaksud dengan pegawai negeri
meliputi: Pertama, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian (UU
Kepegawaian). Kedua, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 92 KUHP. Ketiga, orang yang menerima gaji atau upah dari
keuangan negara. Keempat, orang yang menerima gaji atau upah dari
suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah. Kelima, Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain
yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Tindakan yang menyalahgunakan wewenang, memanfaatkan kesempatan
atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan
sebagaimana amanat Pasal 3 UU Tipikor pada dasarnya spesifikasi dari
Pasal 52 KUHP sebagai payung hukumnya. Namun, rumusan yang
menggunakan istilah umum “menyalahgunakan” ini lebih luas jika
dibandingkan dengan Pasal 52 KUHP secara terminologi, “… oleh karena
melakukan tindakan pidana, atau pada waktu melakukan tindak pidana
memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari
jabatannya…”. Untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi
berkaitan dengan unsur atau elemen yang bersifat alternatif ini, maka ada
65
tiga point yang harus dikaji, yakni: Pertama, menyalahgunakan
kewenangan, berarti menyalahgunakan kekuasaan atau hak yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan. Kedua, menyalahgunakan
kesempatan, berarti menyalahgunakan waktu (mengambil manfaat) yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Ketiga, menyalahgunakan
sarana, artinya menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan.
Bila berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan atau Abuse
of Power atau peluang untuk melakukan sesuatu inilah yang dimaksud
dengan “kesempatan”. Sebab stiap orang yang memiliki jabatan atau
kedudukan biasanya akan mendapat sarana tertentu pula dalam rangka
menjalankan kewajiban dan kewenangannya. Terminologi mengenai
“sarana” adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk
mencapai maksud dan tujuan. Seseorang dengan jabatan atau kedudukan
tertentu akan memiliki wewenang, kesempatan dan sarana tertentu yang
dapat ia gunakan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.
Wewenang, kesempatan dan sarana ini diberikan dengan rambu-rambu
tertentu. Bila kemudian rambu-rambu itu dilanggar atau bila wewenang,
kesempatan, dan sarana tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya,
maka telah terjadi penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana
yang dimiliki karena jabatan atau kedudukannya.
Mengenai hal yang menimbulkan Kerugian terhadap
Perekonomian Negara Point yang harus dibuktikan yakni berunsur “dapat
66
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berkaitan dengan
suatu tindak pidana korupsi adalah: (a). Dapat Merugikan Keuangan
Negara. Menurut Penjelasan Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena: Pertama,
berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat,
lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, berada
dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Miik Daerah (BUMD),
yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang mertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. (b). Perekonomian Negara,
yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian yang disususun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberi manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat. Kedua poin dalam unsur-unsur “dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” in aquo adalah
bersifat alternatif. Jadi untuk membuktikan seseorang melakukan tindak
pidana korupsi atau tidak, berkaitan dengan unsur/elemen ini, maka
cukup hanya dibuktikan salah satu point saja. Namun, yang harus diingat
67
dan diperhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah Kata “dapat” sebelum
frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara“
menunjukan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK mengamanatkan agar
tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai delik formil dan bukannya
delik materil.
Menurut Satochid Kartanegara, delik formil (Delict Met Formeele
Omschrijiving/delik dengan perumusan formil) adalah delik yang
dianggap telah sepenuhnya terlaksana tanpa timbulnya akibat berkaitan
dengan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan yang dimaksud dengan
delik materil (Delict Met Materieele Omschrijiving atau delik dengan
perumusan materil) ialah delik yang baru dianggap terlaksana penuh
apabila telah timbulnya akibat yang dilarang.125
Pelaku tindak pidana korupsi ada pula yang dilakukan secara
korporasi tentu berkenaan dengan adanya perbuatan pidana dengan
pembantuan. Secara tindak pidana, diasumsikan dengan penyertaan sebagai
turut melakukan dan pembantuan sebagai membantu melakukan,
sebagaimana ketentuan Pasal 55 KUHP, Menurut R. Soesilo, “turut
melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya
harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang
turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa
kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi
125 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II (Kumpulan Kuliah), Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm 294.
68
melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak
boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan
yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang
menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai
“membantu melakukan” (medeplichtige). Sejalan dengan ajaran
deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa pidana
diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya
tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim
menyatakan terbukti Pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan
adanya hubungan kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan
adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu peristiwa pidana tanpa bisa
menunjukkan peran masing-masing pelaku, sebenarnya proses
pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP adalah tidak sempurna. Bahkan
sekaligus menggambarkan proses persidangan telah gagal menggali
kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.
Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada
keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai
pertanggungjawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing.
Artinya dalam prinsip deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah
sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang
yang menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta
melakukan. Dalam konteks ini, suatu peristiwa pidana yang pelakunya
lebih dari satu orang meminta adanya penemuan dari penegak hukum
69
untuk menemukan kedudukan dan peran dari masing-masing pelaku.
Berkaitan dengan pernyataan di atas dalam Pasal 56 KUHP dinyatakan:
orang yang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan
tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu
dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan,
maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah”
melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam
Pasal 221 KUHP.126 Sedangkan ahli hukum Wirjono Prodjodikoro mengutip
Hazewingkel Suringga turut melakukan tindak pidana dibagi ke adalam dua
unsur, yaitu: pertama, kerja sama yang disadari antara para turut pelaku,
yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka; kedua, mereka
harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.127
Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa
adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang atau
korporasi dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis
cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan
melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
2.3.3. Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan Dalam Perspektif
Hukum Administrasi
126 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bandung, 1991. hlm 156
127 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003. hlm 123
70
Reformasi administrasi dalam membenahi kebijakan-kebijakan
hukum yang terkait dengan struktur, proses dan manajemen baik dalam
bidang keuangan, pengawasan termasuk sumber daya manusia dari
aparatur pemerintahan, akuntabilitas dan transparansi serta proses
pembuatan kebijakan dan implementasinya. Reformasi administrasi
Pemerintahan berarti pula reformasi dalam bidang hukum administrasi
negara. Karena tidak ada reformasi administrasi yang berjalan tanpa
adanya reformasi dalam bidang hukum administrasi. Sementara
tanggungjawab dibebankan kepada subjek yang melakukan kesalahan
administratif.128
Sedangkan pengertian administratif adalah sanksi yang dikenakan
terhadap pelanggaranadministrasi atau ketentuan undang-undang yang
bersifat administratif. Sanksi administratif diatur dalam Pasal 80 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
berupa: (a) sanksi administratif ringan; (b) sanksi administratif sedang;
dan (c) sanksi administratif berat. Selanjutnya yang dimaksud dengan
sanksi administrasi ringan, sedang dan berat diatur dalam Pasal 81
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, yaitu sebagai berikut:
1. sanksi administratif ringan berupa:
a. teguran lisan;
128 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 210
71
b. teguran tertulis; atau
c. penundaan kenaikan pangkat, golongan,dan/atau hak-hak jabatan;
2. sanksi administratif sedang berupa:
a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
b. pemberhentian sementara dengan memperolehhak-hak jabatan;
atau
c. pemberhentian sementara tanpa memperolehhak-hak jabatan; dan
3. sanksi administratif berat berupa:
a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya;
b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya;
c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa; atau
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa.
Adanya pertanggungjawaban pemerintahan ini mendorong
timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary
complience), memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan
good governance.129
129 Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik, Setara Press,Malang, 2011, hlm 7
72
Dalam mewujudkan good governance dimaksud, dapat dibuktikan
mulai dari bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar
peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh
kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat,
pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya. Dalam
rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun
memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang
sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme
pertanggungjawaban menurut UU AP ini adalah mekanisme
pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun
tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan.
Menurut Pasal 25 ayat (3) UU AP dinyatakan; pejabat
administrasi pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib
mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan
masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil.
Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis
dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.
Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan
melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat
administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau
gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Kebebasan bertindak oleh
pejabat pemerintah yaitu diantaranya;
73
1. Kebijakan pemerintah yang bersifat emergency adanya kondisi yang
menyebabkan harus segera dilaksanakan terkait hajat hidup orang
banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah
meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi
kekosongan hukum sama sekali;
2. badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum
dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap
kebijakan publik (policy) atau kebijakan publik, sepanjang berkaitan
dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; ketiga; sifat dan roda
pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan
publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan
rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika
masyarakat dan perkembangan zaman.
Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak oleh apartur
pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan
kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas
dalam arti yuridis terdapat unsur pengecualian. Memang harus diakui
apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas
freis ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan
antara Pejabat Pemerintahan dengan masyarakat. Ada beberapa kerugian
yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya:
74
1. Aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena
terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan
kepada masyarakat;
2. Sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk
akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh
pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;
3. Sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah
kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang
kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku
pembangunan lainnya;
4. Aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak
berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-
masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik
terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata
masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak
simpatik dan merugikan masyarakat. Dalam hukum administrasi
Negara, karena hal itu juga sudah dinyatakan secara tegas dalam
Undang-undang Peradilan TUN dan UU AP.
Bahwa individu atau badan hukum perdata jika dirugikan dengan
keluarnya Keputusan TUN, salah satu alasan dapat mengajukan gugatan
ke PTUN adalah karena keputusan itu bertentang dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), jadi selain keputusan pejabat
TUN dapat diuji karena bertentang dnegan peraturan perudang-undangan
75
yang berlaku juga dapat diuji melalui AAUPB. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam amanat Pasal 45 dalam ayat (1) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 Penetapan
keputusan administrasi pemerintahan oleh pejabat tidak berlaku surut
dalam hal ini merupakan pemahaman dari asas legalitas adapun Pasal 43
ayat (2) menyiratkan sanksi administratif dikenakan pada semua pejabat
dan pegawai administrasi pemerintahan yang melanggar ketentuan
undang-undang ini sehingga menyebabkan konflik administratif,
tujuannya memberikan adanya jaminan dan pertanggungjawaban terhadap
setiap Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan
pejabat administrasi Pemerintahan.
Pada sisi lain yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban
menurut Regulasi Tata Usaha Negara sering terjadi dalam praktik adanya
kekeliruan terhadap kebijakan yang mengandung kerugian dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Pemehaman tersebut
membahayakan sistim hukum administrasi negara yaitu akan terjadi suatu
kondisi pejabat administrasi negara tidak akan mengambil tindakan
hukum apapun jika fakta dan kondisi tidak sesuai dengan kondisi yang
ideal dalam peraturan perundang-undangan.
Kebijakan tidak berarti sebagai kejahatan. Pandangan demikian
keliru, karena kebijakan administrasi negara lahir dari wewenang yang
sah diberikan hukum dan peraturan perundang-undangan kepada pejabat
administrasi negara. Kendatipun kebijakan itu ternyata menimbulkan
76
risiko hukum, akibat pejabat administrasi negara yang memiliki
pemahaman yang berbeda, antara tindakan dengan fakta yang terjadi
setelah kebijakan diambil. Dengan adanya kemungkinan salah kira
tersebut, jika administrasi negara mengambil kebijakan dalam perkiraan
yang salah atau informasi yang salah, tindakan tersebut merupakan
kehilafan. Menimbulkan persoalan hukum dalam hukum administrasi
negara, dan penyelesaiannya harus melalui hukum administrasi negara
berdasarkan prinsip contractus actus.
Pada konteksi ini bukan kebijakannya yang dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum, tetapi perilaku pengambil kebijakan itu yang
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Suatu kebijakan
tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap si pembuat kebijakan dapat
dikenakan pidana, jika dibalik kebijakannya terdapat unsur
penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya
sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan
kerugian negara.
Merupakan suatu kekeliruan walaupun perilaku pengambil
kebijakan mengandung perbuatan melawan hukum dipidanakan.
Walaupun perilaku pejabat dalam mengambil kebijakan mengandung
perilaku berikut ini:
1. Melakukan paksaan dalam bentuk ancaman (dwang),
2. Menerima dan melakukan suap (omkoperij) yang menyebabkan alasan
membuat kebijakan tidak ada (valse oorzaak),
77
3. Melakukan tipuan bersifat muslihat (kuntsgrepen).
Sekalipun mengandung perilaku pejabat publik yang mengambil
kebijakan sebagaimana di atas, tidak berarti si pengambil kebijakan itu
dipidanakan. Pejabat yang demikian bukan melakukan unsur pebuatan
melawan hukum pidana tetapi merupakan penyalahgunaan wewenang
(detornement de pouvoir). Sekalipun demikian, kebijakan tersebut
merupakan tindakan kepemerintahan yang sah dan menjadi wewenang
pejabat administrasi negara. Oleh sebabnya, tidak dapat dipidanakan
karena adanya wewenang yang sah pada administrasi negara.
Dipandang dari sisi kerugian ekonomis, terutama kebijakan
pemerintah dalam pengelolaan perusahaan negara atau BUMN, doktrin
Business Judgment Rule dapat digunakan untuk membebaskan direksi
perusahaan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan. Kerugian
itu mungkin bisa timbul dari kebijakan direksi yang diambilnya dan
seorang direksi perusahaan negara atau BUMN merupakan kategori
pejabat pemerintah dalam arti luas, menyangkut semua pejabat yang turut
dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara.
Secara hukum administrasi negara, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (disingkat UU
PTUN), seorang pejabat publik dapat digugat melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) jika memenuhi syarat untuk diajukan gugatan
78
TUN. Gugatan tersebut berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN
dan diajukan ke PTUN untuk mendapatkan putusan.
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN, ada 7 (tujuah) macam keputusan
yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut undang-undang ini adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan (Kitab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 disebut
KUHP) dan (Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebut
KUHAP)
5. atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
6. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
7. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia;
8. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.
79
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN tersebut di atas, jelas disebutkan
bahwa Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata,
umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang
dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan
pada ketentuan hukum perdata. Jenis Keputusan TUN ini tidak dapat
diselesaikan dalam PTUN melainkan dalam peradilan perdata (peradilan
umum). Kemudian Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum, yang dimaksud dengan pengaturan yang bersifat umum
adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan
dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Jenis Keputusan TUN ini juga tidak dapat diselesaikan atau diajukan
gugatannya di PTUN dan termasuk dalam hal kebijakan hukum pidana
(criminal polcy).
Dengan demikian sesuai Pasal 1 angka 3 UU PTUN dari ketujuh
macam Keputusan Pejabat Pemerintahan tersebut, maka Keputusan TUN
yang masuk dalam ranah hukum administrasi negara yang memiliki sama
diatur pula dalam UU AP merupakan adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum
TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Namun hanya ada 4 (empat) karakteristik Keputusan TUN yang
boleh diajukan gugatannya melalui PTUN adalah:
80
1. Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN.
2. Keputusan TUN itu dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Keputusan TUN itu bersifat konkret, individual, dan final.
4. Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum
TUN. Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan
kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan
tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan
dan sebagainya. Menurut M. Makhfudz tindakan diam dari pejabat
administrasi negara disamakan dengan keputusan tertulis.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi
pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi
syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau
Pejabat TUN menurut UU PTUN ini apabila sudah jelas tentang:
1. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan
3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di
dalamnya.
81
Badan atau Pejabat TUN dimaksud adalah badan atau pejabat di
pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
Tindakan hukum TUN merupakan perbuatan hukum Badan atau Pejabat
TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara
yang dapat dituntut pertanggungjawabannya disebabkan menimbulkan
hak dan kewajiban terhadap orang lain. Adapun sifat-sifat suatu
keputusan itu:
1. Bersifat konkret atau realistis, artinya objek yang diputuskan dalam
Keputusan TUN itu tidak abstrak (berwujud), tertentu atau dapat
ditentukan, umpamanya keputusan mengenai izin usaha,
pemberhentian pegawai BUMN atau BUMD sebagai pegawai negeri.
Atau dalam pemberian Keputusan memberikan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), Pemberian Izin Prinsip dan sebagainya.
2. Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang
dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena
keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan
atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama
orang yang terkena keputusan tersebut. Individual artinya Keputusan
TUN itu tidak ditujukan untuk umum melainkan pada tujuan tertentu,
baik dengan menyebut nama, alamat, maupun hal yang dituju.
3. Sedangkan bersifat final tidak lagi memerlukan persetujuan dari
atasan. Dengan kata lain sudah definitif dan karenanya dapat
82
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final
karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan
seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan
Administrasi Kepegawaian Negara.
Pejabat pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan
administrasi negara seperti: mengeluarkan keputusan (beschikking),
mengeluarkan peraturan (regeling), dan melakukan perbuatan materil.
Dari ketiga perbutan administrasi negara itu, yang tidak termasuk dalam
kompetensi PTUN adalah mengeluarkan peraturan (regeling) karena
hanya mengatur hal-hal yang bersifat general (umum) dan mengikat.
Sedangkan keputusan (beschikking) juga merupakan peristiwa yang
melaksanakan hal-hal yang bersifat umum tetapi diaktualisasikan ke
dalam hal-hal yang kongkrit sehingga dapat dilaksanakan gugatannya di
PTUN.
Mengeluarkan peraturan (regeling) dikenal pula dalam istilah
peraturan kebijakan (beleidsregels) yang dikeluarkan dengan
menggunakan wewenang diskresi. Beleidregels merupakan jenis
peraturan yang tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan,
sehingga tidak dapat diuji secara hukum, karena memang tidak ada
peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembuatannya melainkan
berdasarkan pada wewenang diskresi (freies ermessen). Dengan demikian
83
pejabat administrasi pemerintahan yang mengeluarkan beleidregels tidak
dapat digugat di PTUN.
Pembuatan Keputusan TUN dalam bentuk beschikking harus
memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah
menurut hukum (rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum
(rechtskracht) untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan
dalam pembuatan keputusan mencakup syarat materil dan syarat formil
sebagai berikut:
1. Syarat-syarat materil terdiri atas:
a. Organ Pemerintah yang membuat keputusan harus berwenang.
b. Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan
yuridis, seperti, penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau suap
(omkoping), kesesatan (dwaling).
c. Keputusan harus didasarkan pada suatu keadaan atau situasi
tertentu.
d. Keputusan harus dapat dilaksanakan tanpa melanggar peraturan-
peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai
dengan isi dan peraturan dasarnya.
2. Syarat-syarat formal terdiri atas:
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan cara-cara (prosedur) dibuatnya
keputusan harus sesuai.
84
b. Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya keputusan itu.
c. Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan keputusan
itu harus terpenuhi.
d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus
diperhatikan.
Apabila syarat materil dan syarat formil tersebut terpenuhi, maka
keputusan itu sah menurut hukum artinya dapat diterima sebagai suatu
bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada
baik secara proseduran/formal maupun materil. Sebaliknya, bila satu atau
beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu
mengandung kekuarangan dan menjadi tidak sah. Upaya hukum yang
dapat dilakukan terhadap suatu Keputusan TUN yang tidak sah, dapat
diajukan upaya hukum ke PTUN guna pembatalan.
Suatu Keputusan TUN dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ
yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat hukum
(vormgebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak
(wilsgebreken). Jika kepeutusan itu tidak sah, maka keputusan itu harus
dibatalkan melalui gugatan ke PTUN. Dapat pula dilakukan pembatalan
melalui jabatan yaitu diajukan kepada pihak pemerintah itu sendiri agar
dibatalkan.
85
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa upaya-
upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kebijakan publik yang salah
atau yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara jika
dari dikaji perspektif Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan dapat
diajukan gugatan terhadap kasus tersebut Peradilan Tata Usaha Negara
yang berada dalam ranah hukum administrasi negara sesuai kompetensi
peradilan. Sekalipun Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata berupa kerugian ekonomis, dan
berlaku bagi pejabat pemerintahan tersebut segala Peraturan yang
bertentangan dangan UU AP saat tindakan-tindakan tersebut melanggara
kedua regulasi dimaksud. Termasuk tuntutan gugatan dari perbuatan
penyalahgunaan wewenang ke PTUN bukan ke pengadilan negeri.
Namun bila tindakan Pejabat Pemerintahan itu berhubungan dengan
kerugian negara yang ditimbulkan akibat adanya unsur tindak pidana
korupsi maka pertanggungjawaban tersebut dapat diajukan oleh petugas
yang berwenang seperti lembaga Komisi Pengawas Korupsi dan dituntut
melalui Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi pada Peradilan Negeri
pada daerah hukum administrasi sesuai locus delicti. Dengan demikian
hal itu telah sesuai pula dengan prinsip primum remedium agar sejalan
dengan asas systematische specialiteit.
2.4. Teori Perlindungan Hukum
86
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi
manusia untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun akan harkat dan martabat,
yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat
melindungi suatu hal dari hal lainnya.130 Berkaitan dengan Pemerintahan, berarti
hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak Warga Negara dari sesuatu
yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut
Maksudnya adalah pemberian tindakan antisipasi sebagai bentuk
perlindungan bagi pejabat Pemerintahan (penguasa) dari adanya perbuatan yang
memiliki kecenderungan yang mengarah kepada tindakan kesewenang-wenangan
dari aparatur Pemerintahan yang dapat melanggar hukum atau tidak sesuai
dengan aturan hukum sehingga merugikan terhadap pelaku, negara dan
masyarakat.
Maksudnya adalah untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia. Kontrol yuridis hanya dalam hal ketetapan administrasi
(beschikking) yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
administrasi negara saja, yang dapat melanggar ketentuan UU
PTUN selain itu pula dapat melanggar ketentuan UU AP, padahal
secara filosofis kompetensi absolut pengadilan administrasi
negara adalah menyelesaikan sengketa administrasi negara 130 Op. cit Philipus M. Hadjon, hlm. 245
87
dalam arti luas. Oleh karenanya berdasarkan pandangan
futuristik perlu ditelaah lebih lanjut undang-undang tersebut
mengenai makna sengketa administrasi negara berupa
perbuatan hukum publik oleh jabatan administrasi negara yang
melanggar hukum. Semua ini tiada lain bertujuan untuk
mereposisi kembali hakikat penegakan hukum administrasi oleh
pengadilan administrasi negara dan menyederhanakan
(effisiensi dan effektifitas) semua penyelesaian sengketa
administrasi negara yang selama ini dilakukan oleh peradilan
umum (misalnya sengketa administrasi negara mengenai paten
atau hak kekayaan inelektual dan mengenai masalah kebijakan
Pemerintahan dalam bidang ketenagakerjaan dan peradilan
khusus (misalnya sengketa pajak termasuk kebijakan terhadap
penanaman modal) yang menjadi kewenangan absolut
pengadilan administrasi negara.
2.4.1. Keabsahan Perbuatan Hukum Pemerintahan
Pemberian jaminan perlindungan keamanan dan
kesejahteraan bagi warganya merupakan suatu hakikat
tujuan dari suatu negara. Aparatur Pemerintahan
berkewajiban melakukan pengaturan dan perlindungan
terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat.131 Pemerintahan 131 Samudra Wibawa. Reformasi administrasi: Bunga Rampai Pemikiran
Administrasi Negara atau Publik. Yogyakarta: Gaya Media, 2005. hlm. 197.
88
yang baik adalah Pemerintahan yang berperan serta
secara aktif dalam urusan masyarakat berdasarkan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (hukum
tertulis). Dengan demikian, sumber formal utama
pemberian kewenangan kepada aparatur pemerintah
adalah undang-undang, sekaligus penegasan ruang
lingkup kewenangan dari tiap jabatan.
Pada sistem hukum positif yang berlaku dalam
bentuk hukum tertulis di Indonesia dapat dikatakan belum
mampu mengakomodir atau merumuskan semua aspek
kehidupan masyarakat yang kompleks dan berkembang
cepat di masyarakat.132 Agar pemerintah dapat
menjalankan tugas penyelenggaraan kesejahteraan bagi
warga (rakyat), di samping memiliki wewenang
berdasarkan hukum tertulis, maka pejabat dalam lingkup
administrasi pemerintahan memerlukan kemerdekaan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Kemerdekaan
bertindak secara mandiri (diskresi), menurut Marcus
Lukman, merupakan sarana yang memberikan ruang
bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi
negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat
sepenuhnya pada undang-undang.132 Op.Cit, Ridwan HR.hlm 14.
89
Fungsi strategis dari tindakan aparatur
pemerintahan, yakni kebebasan untuk bertindak atas
inisiatif sendiri, terutama" untuk penyelesaian soal-soal
genting yang timbul seketika, sedangkan pengaturannya
belum ada atau tidak jelas disebut adalah suatu
kebebasan untuk mengambil suatu langkah sebagai
tindakan (legal person) dikenal dengan keabsahan yang
mempunyai posisi yang sejajar dengan orang pribadi atau
badan hukum perdata. In deze gevallen is de overheid
evenals de particuliere personen aan de regels van het
privaatrecht onderworpené. (persamaan dengan tindakan
pihak swasta tunduk pada peraturan hukum
keperdataan).133 Civilrechtelijk is rechrspersoon
prosespartij en moet, bij gemeente, de burgergemeester
aantreden (dalam hal keperdataan, badan hukum-lah yang
menjadi pihak, misalnya pada kabupaten, Bupati bertindak
mewakili badan hukum Kabupaten).134 Saat ini masyarakat
dalam modern dan demokrasi, menghendaki aparatur
pemerintahan yang mampu mengambil keputusan (make
a decision), bukan hanya sekedar menjalankan perintah
133 C.J.N. Versteden. Inleiding Algemeen Besmursrecht. Alphen aan den Rijn: Samson: HD., Tjeenk Willink, 1984 hlm. 283.
134 F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek. Inleiding in het staat-en Administratief Recht. Alphen aan den Rijn: Samson HD. Tjeenk Willink, 1985. hlm. 34.
90
atasan sehingga perbuatan Pemerintahan itu dinilai
keabsahannya, sebab merupakan wewenang yang telah
diatur oleh hukum yang terkait kewenangannya masing-
masing.
Perlu pemahaman yang faktual mengenai konteks
ini, sebagaimana teori keabsahaan menurut Philipus M.
Hadjon yang konotasinya mensyaratkan keabsahan tindak
Pemerintahan didasarkan pada aspek kewenangan, aspek
prosedur, dan aspek substansis. Aspek kewenangan
mensyaratkan tiap tindak pemerintahan harus bertumpu
atas kewenangan yang sah (atribusi, delegasi, maupun
mandat).135 Tiap kewenangan dibatasi oleh isi (materi),
wilayah, dan waktu. Cacat dalam aspek-aspek tersebut
menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid).136
Aspek prosedur dari teori keabsahan, bertumpu atas
asas negara hukum, asas demokrasi. dan asas
instrumental. Asas negara hukum berkaitan dengan
perlindungan hak-hak dasar manusia. Asas demokrasi
berkaitan dengan asas keterbukaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Asas instrumental
135 Philipus Mandiri Hadjon. Diktat Orasi Ilmiah dengan topik Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994, him. 7
136 Ibid
91
meliputi asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) dan
asas efektivitas (doeltrejfienheid, hasil guna)“. Aspek
substansi menegaskan bahwa kewenangan pemerintah
dibatasi secara substansial, yakni menyangkut “apa” dan
“untuk apa”. Karena bila terjadi cacat substansial
menyangkut “apa” dan dapat digolongkan atau tidak
sebagai tindakan yang sewenang-wenang menyangkut
“untuk apa” terjadi penyalahgunaan wewenang tersebut.
Hingga kemudian hadir teori keabsahan yang
menjadi landasan untuk memahami keabsahan perbuatan
Pemerintahan, fungsinya untuk menjelaskan validasi dari
keabsahan perbuatan hukum pemerintahan dalam
kaitannya dengan kemandirian tersebut.
Pada pemikiran selanjutnya, implementasi teori di
atas menuntut kemampuan warga untuk mendapatkan
infomasi tentang rencana dan keabsahan perbuatan
hukum Pemerintahan itu. Sebab kini merupakan era
keterbukaan informasi, memungkinkan untuk
mengikatkan suatu perjanjian mengenai penggunaan
diskresi. Hukum tidak hanya membatasi kebebasan
individual terhadap kebebasan individual lain, melainkan
juga kebebasan (wewenang) penguasa agar tidak
92
bertindak sewenang-wenangn. Dengan demikian,
penggunaan asas kebebasan berkontrak, tidak dalam arti
kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan terikat
dengan batas-batas tertentu.
Untuk mencapai tujuan yang menjadi tujuan diskresi
sebagai keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan
sebagai fenomena yang dipandang sebagai pencerminan
belum dapat terakomodirnya hukum (dalam arti luas)
mengawal kebebasan penggunaan diskresi oleh pejabat
pemerintah. Instrumen uji yang digunakan adalah bertitik
tolak dari teori keabsahan, khususnya mewajibkan
pemerintah untuk aktif memberikan informasi kepada
publik tentang keputusan yang akan diambil. Langkah
selanjutnya mengingatkan pentingnya daya guna dari
keputusan yang diambil. Kemudian membandingkan
antara biaya yang dikeluarkan, atau hasil yang dicapai
dengan pengorbanan secara efisien.
Efisien yakni bila hasil atau manfat lebih besar
daripada pengorbanan”. Substansi mengenai isi dan untuk
apa kewenangan itu digunakan perlun prinsip pembatasan
penggunaan diskresi, relevan untuk diperhatikan teori
Roscoe Pound mengenai model hukum responsif (model of
93
responsive law). Hukum yang baik seharusnya tidak
sekedar menawarkan keadilan prosedural, melainkan lebih
jauh lagi, it should be competent as well as fair; it should
help: define the public interest and be committed to the
achievement of substantive justice.137
Makna di atas menitikberatkan adanya suatu
kewenangan yang baik dan adil sebagai pemberian
kembali kepercayaan terhadap publik dan kepastian
hukum sesuai substansinya yang diwujudkan dalam
keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan, untuk secara
rinci dijabarkan spesifikasinya sebagai berikut:
2.4.1.1. Subjek Hukum
Sebenarnya identitas secara universal mengenai
predikat subjek hukum adalah sebagai pendukung hak dan
kewajiban yang secara umum berlaku kepada setiap orang, akan
tetapi seiring pengetahuan dan tingginya cakrawala berfikir, maka
predikat itu terklasifikasi kembali menjadi sebuah pemahaman
multi dimensional yang berkembang khususnya dalam bidang
ilmu hukum administrasi negara, menyandangkan predikat subjek
hukum terhadap aparatur negara a quo disebut sebagai
Pemerintah dan/atau Pemerintahan. Secara etimologis di
137 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987. hlm 185
94
negara Indonesia Pemerintah dan/atau
Pemerintahan berasal dari kata perintah. Menurut
W.J.S Poerwadarmita yaitu sebagai berikut:138
a. Perintah adalah perkataan yang bermaksud
menyuruh melakukan sesuatu.
b. Perintah adalah kekuasaan perintah suatu
Negara (Daerah, Negara) atau badan yang
tertinggi yang memerintah suatu Negara (seperti
kabinet merupakan bagian pemerintah).
c. Pemerintah adalah perbuatan (cara, hal, urusan
dan sebagainya) memerintah.
Sebagaimana mengutip arti yang dipaparkan
oleh Samuel Edward Finer yang mengakui tentang
Pemerintah dan Pemerintahan dalam arti luas,
dengan adanya Pemerintah dan Pemerintahan
dalam arti luas. Maka tentunya akan mempunyai
pengertian Pemerintah dan Pemerintahan dalam
arti luas dan sempit yaitu:139
1. Pemerintah dalam arti sempit, yaitu : perbuatan
memerintah yang dilakukan oleh Eksekutif, yaitu
138 WJ.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1983. hlm 74
139 Samuel Edward Finer, Comparative Government, Penguin Books Ltd., Harmonds Worth, Middlesex, England 1974, hlm 3
95
Presiden dibantu oleh para Menteri-menterinya
dalam rangka mencapai tujuan Negara.
2. Pemerintah dalam arti luas, yaitu : Perbuatan
memerintah yang dilakukan oleh Legislatif,
Eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencapai
tujuan Pemerintahan Negara disebut sebagai
Pemerintahan.
Penulis mendapati pemisahan kata yang
sesuai dengan penerapan kata di Indonesia
sebagaimana menurut Samuel Edward Finer itu,
sebab jelas penggunaan kata Pemerintah dan kata
Pemerintahan.
Apabila dikomparasikan dengan negara
Inggris dijumpai adanya perkataan Pemerintah
(government) menurut C.F Strong yaitu:140
“Government is, therefore, ‘that organization in which is vested.....the right to exercise souverign powers.’ Government, in the broad sense, is something bigger than a special body of ministers, a sense in which we cologuially use it to day, when...“Government, in the brouder sense, is charged with the maintenance of the peace security of state within and without.“It mast, therefore, have, first military power, or teh control of armed forces; secondly,
140 C.F. Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book Society and Side Wick & Jackson Limited, London, 1965, hlm.6
96
legislature power, or the means of making laws; thirdly, financial power, or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending the state and of enfoscing the law it makes on the state’s behalf.
Terjemahan bebasnya memiliki pengertian yaitu
Pemerintah dan/atau Pemerintahan yang oleh karenanya
dimaksud organisasi dalam mana diletakkan hak untuk
melaksaanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi. Pemerintah
dan/atau Pemerintahan dalam arti luas merupakan sesuatu yang
lebih besar daripada suatu badan atau kementerian-kementerian,
suatu arti yang kita bisa pakai dalam pembicaraan dewasa ini
apabila sebuah Pemerintah dan/atau Pemerintahan dalam arti
luas, diberi tanggungjawab pemeliharaan perdamaian dan
keamanan negara, di dalam atau pun di luar. Maka Pemerintah
dan/atau Pemerintahan harus memiliki; pertama, kekuasaan
militer atau pengawasan atas angkatan bersenjata; kedua,
kekuasaan legislatif, atau sarana pembuat hukum; ketiga,
kekuasaan keuangan, yaitu kesanggupan memungut uang yang
cukup untuk membayar biaya mempertahankan negara dan
menegakkan hukum yang dibuat atas nama negara.
Kemudian C.F strong menjelaskan kembali mengenai
Pemerintah dan/atau Pemerintahan yakni:141 “It must, in
141 Ibid. C.F Strong. Hlm 6
97
short, have legislature power, executive power, and
judicial power, which we may call the three
departments of government.”
Terjemahan bebasnya memiliki maksud pemerintah
mempunyai kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan
kehakiman, yang boleh kita sebut dengan cabang Pemerintahan.
Sedangkan di negara Jerman, dibedakan antara
pemerintah sebagai aparat negara dan aparat pemerintahan, aparat
negara tidaklah mengabdi kepada Pemerintahan, tetapi kepada
Undang-undang. Sementara yang dimaksud aparat pemerintahan,
ialah lembaga birokrasi yang lazim disebut pegawai negeri sipil.
Sehingga menurut Undang-Undang mengenai Prosedur
Administrasi Negara Verwaltungsverfahrensgesetz memiliki
pengertian yang berlaku di Jerman, bahwa Pemerintahan sebagai
pelaku administrasi negara. Menyangkut perihal tersebut Instansi
negara di Indonesia menyatu dengan pemerintah.
Di Indonesia hanya dikenal instansi pemerintah sebagai
aparat Pemerintah. Sebaliknya, instansi di negara Jerman, bukan
aparat pemerintah dan dapat beraktivitas otonom. Dijelaskan
bahwa istilah die staatlichen Behoerden (instansi Negara)
merupakan organ negara pengelola administrasi negara yang
berwenang mengurusi publik. Namun karena di Indonesia
98
mengenai adanya kabinet kementrian diperdaya menjadi instansi
pemerintah, terjemahan Verwaltungsverfahrensgesetz.142
Jadi dinyatakan secara implisit berkaitan dengan
Pemerintahan yang melaksanakan Administrasi mengambil
beberapa istilah di beberapa negara seperti Administration
(inggris) atau Verwaltung (Jerman) dan Bestuurs Administratie
(Belanda) yang keseluruhannya hanya menekankan arti sebagai
berikut:
1. Fungsi-fungsi pengendalian administrasi oleh badan-badan
atau instansi Pemerintah dari segala tingkatan guna
melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan Pemerintah sesuai
dengan wewenang masing-masing seperti ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Penggunaan prinsip-prinsip serta ilmu administrasi Negara
oleh badan-badan atau instasi Pemerintah agar terdapat tertib
administrasi ialah kegiatan yang berhubungan dengan
penyusunan organisasi, pembagian wewenang, hubungan
kerja, koordinasi, sinkronisasi, delegasi wewenang,
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka di Indonesia
kata subjek hukum dalam menjalankan fungsi administrasi di
142 Inu Kencana Syafi’ie “ Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi Aksara, Jakarta 2010, hlm 42
99
suatu negara termasuk melakukan keabsahan perbuatan hukum di
suatu negara adalah Pemerintahan (disebut sebagai Pejabat
Negara ) yang melingkupi peran lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif (sebagai lembaga Kekuasaan Kehakiman). Hal tersebut
tertuang dalam Pasal 1 ayat (6) mengenai kewenangan
Pemerintahan seperti melaksanakan prolegnas antara Presiden
dengan DPR ditingkat pusat dan antara Gubernur, Walikota dan
Bupati dengan DPRD ditingkat Daerah sebagaimana ayat (8)
yang memberi legalitas tindakan administrasi pemerintahan
sebagai keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan yang
dilaksanakan menurut kewenangan Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintahan mencakup Perbuatan yang termasuk dalam lingkup
Tata Usaha Negara.
Sejalan pula dengan ketentuan Pasal 1 butir b
menyebutkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah
Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan pada butir c menyebutkan: Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
100
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Kemudian pada butir d
dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di tingakt pusat maupun di tingkat daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
dalam sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan yang berlaku
dalam sisitem hukumdi Indonesia.
2.4.1.2. Perbuatan Hukum
Perbuatan hukum dalam konteks Pemerintahan bukanlah
penyelenggaraan fungsi eksekutif semata-mata melainkan juga
fungsi lainnya yang tidak terjangkau oleh fungsi legislatif dan
fungsi yudikatif. Dalam persoalan ini Pemerintahn selain
melaksanakan peraturan hukum yang dibuat lembaga legislatif
juga menjalankan hal-hal lain yang menjadi tugasnya atau
perbuatan hukumnya, maka fungsi pemerintah dapat diketahui
dari arti secara luas dan arti secara sempit.
Bila ditinjau dari pendapat para ahli untuk mengetahui
keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan dalam arti luas adalah
keabsahan perbuatan hukum dari tiga kekuasaan Pemerintahan
yang terpisah satu sama lain (separation des pouvoirs) meliputi
101
kekuasaan: lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif
selanjutnya E. Utrech yang mengutip teori dari van Vollenhoven,
mengenai perbuatan Pemerintahan dalam arti luas
(bewindvoering) atau “regeren” meliputi :143
a. Membuat peraturan (regeling–wetgeving)
b. Pemerintahan/pelaksana (bestuur);
c. Peradilan (Rechtspraak);
d. Polisi (politie).
Kemudian digabung oleh Koentjoro Purbopranoto144
dengan menyebutnya sebagai Catur Wangsa Pemerintahan dan
memberi pengetahuan lebih lanjut dalam arti luas meliputi segala
urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Pemerintah dalam
arti sempit : hanya menjalankan tugas eksekutif saja.
Pada hakikatnya perbuatan hukum pemerintah memiliki
prinsip hierarkhi yang selanjutnya menurut Rommeyn, dengan
memperkaya pemahaman perbuatan hukum pemerintahan itu
merupakan tiap-tiap tindakan atau perbuatan hukum
Pemerintahan akan dilaksanakan oleh alat perlengkapan
pemerintahan disebut bestuursorganen, juga di luar lapangan
Hukum Tata Pemerintahan, misalnya keamanan, peadilan dan
143 E. Utrecht II, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia. Ichtiar . Jakarta, 1987. hlm 12.144 Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978. hlm 40
102
lain-lain, yang bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum di
bidang hukum administrasi. Saat bersentuhan dengan argumentasi
di atas maka apabila kembali mengutip pemahaman dari ahli
hukum E. Utrecht, menyebut Sembilan macam penyelenggaraan
kepentingan kolektif oleh administrasi negara (Pemerintahan),
yang merupakan perbuatan hukum Pemerintahan adalah:145
1. Administrasi Negara sendiri (Pemerintahan);
2. Subyek hukum (badan hukum) lain, yang tidak termasuk
administrasi negara dan yang mempunyai hubungan istimewa
atau hubungan biasa dengan pemerintah. Hubungan istimewa
(khusus) ini diatur oleh hukum publik dan hukum privat
(misalnya pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan asing
berdasarkan undang-undang penanaman modal asing di
Indonesia);
3. Subyek hukum lain, yang tidak termasuk administrasi negara
dan yang menjalankan pekerjaannya berdasarkan konsesi
(consessie) atau ijin (vergunning) dari pemerintah;
4. Subyek hukum, yang tidak termasuk admnistrasi negara dan
yang diberi subsidi oleh pemerintah, misalnya Lembaga
Pendidikan Swasta;
5. Pemerintah bersama-sama dengan subyek hukum lain
(beberapa subyek hukum) yang tidak termasuk administrasi
145 Op.cit E. Utrech II, hlm 68
103
negara, dan kedua belah pihak itu tergabung dalam bentuk
kerja sama (vorm van samenwerking) tertentu yang diatur
oleh hukum privat, misalnya pemerintahan bergabung dalam
Perseroan Terbatas, yang dewan direksinya ada wakil
pemerintah, atau pemerintah mendirikan Perseroan Terbatas;
6. Yayasan yang didirikan atau diawasi pemerintah;
7. Kooperasi yang didirikan atau diawasi pemerintah;
8. Perusahaan Negara;
9. Subyek hukum lain yang tidak termasuk admnistrasi negara,
tetapi diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi
perundang-undangan).
Agar dapat menjalankan tugasnya, maka administrasi
negara (perbuatan hukum pemerintahan) melakukan bemacam-
macam perbuatan pemerintahan. Perbuatan administrasi negara
(pemerintahan) dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. perbuatan administrasi negara (pemerintahan) berdasarkan
hukum (rechtshandelingen), dan
b. perbuatan administrasi negara (pemerintahan) berdasarkan
fakta atau bukan tindakan hukum (feitelijke handelingen).
Ada juga yang bukan perbuatan hukum Pemerintahan,
misalnya meresmikan pembukaan jalan raya, bandara dan kantor
pemerintahan. Saat ini fokus Keabsahan Perbuatan Hukum
Pemerintahan itu dalam Hukum Administrasi Pemerintahan yang
104
terkait Tata Usaha Negara dilandasi oleh Pasal 1 ayat (6) dan ayat
(7) UU AP pada prinsipnya yang terpenting adalah perbuatan
Pemerintahan itu berdasarkan hukum (rechtshandelingen). Ada
dua macam pebuatan hukum (administrasi Negara) yakni:
1. perbuatan pemerintahan berdasarkan hukum privat; dan
2. perbuatan pemerintahan berdasarkan hukum publik.
Sedangkan Pekerjaan Administrasi negara atau saat ini
menjadi Perbuatan Hukum Pemerintahan sering mengadakan
perbuatan yang berdasarkan hukum privat, misalnya jual beli
tanah (1457 B.W.), menyewa ruangan/gedung pertemuan (Pasal
1548 B.W.).
Perbuatan administrasi negara berdasarkan hukum publik
ada dua macam, yaitu:
1. perbuatan hukum publik yang bersegi dua (berbagai pihak)
atau ada persetujuan kehendak antara dua pihak (misalnya
perjanjian kontrak kerja antara perusahaan asing dengan
pemerintah, kontrak kerja menjadi militer/PNS dengan
pemerintah) diatur dengan hukum publik (HTUN) bukan
berdasarkan hukum privat.
2. Perbuatan hukum publik bersegi satu (sepihak) berupa
keputusan/penetapan (beschikking).
istilah “Beschikking” diperkenalkan di Negara Belanda
oleh Van der Pot dan Van Vollenhoven, di Indonesia
105
diperkenalkan oleh W.F. Prins. Di Indonesia istilah
“beschikking” oleh Koentjoro Purbopranoto menyebutnya
“keputusan”. Penulis dapat menjelaskan bila istilah “keputusan”
berbeda dengan “putusan” karena istilah ini telah digunakan oleh
lembaga peradilan sedangkan istilah lainnya seperti ketetapan
telah digunakan oleh MPR yang berlaku umum. Selain itu
keputusan adalah bersifat khusus, individual dan final.
Perbuatan hukum pemerintahan yang dijalankan
pemerintah atau lembaga eksekutif dalam suatu negara “welfare
state” adalah “bestuurszorg” yaitu menyelengarakan
kesejahteraan umum maka perbuatan pemerintahan atau
administrasi negara melakukan berbagai perbuatan dalam bentuk
membuat peraturan-peraturan yang disebut dengan keputusan
(beschikking).
Salah satu keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan
dalam membuat keputusan ini adalah perbuatan yang khusus
dalam lapangan Pemerintah, seperti halnya membuat undang-
undang adalah perbuatan yang khusus dalam lapangan
perundang-undangan. Sesuai dengan fungsi administrasi negara
yaitu melaksanakan undang-undang, maka keputusan itu juga
pada hakekatnya adalah melaksanakan undang-undang dan
peraturan-peraturan ke dalam suatu hal yang konkrit, ke dalam
kejadian yang nyata tertentu. Dalam Contoh: perbuatan hukum
106
Pemerintahan (eksekutif) memberikan izin atas rumah tunggal
yang diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki Orang
Asing diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan
dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Menurut penulis
Pemerintah menjalankan sebagaimana Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 Salah satu bentuk stimulasi dalam meningkatkan
bidang investasi adalah adanya pengaturan dalam bidang
pertanahan. Dalam UUPM tersebut diatur bahwa Hak Guna
Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui
selama 35 (tiga puluh lima) tahun; Hak Guna Bangunan dapat
diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50
(lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)
tahun; dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh
puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat
diperbarui selama 25 (duapuluh lima) tahun.
107
Kemudian Pemberian Izin saat ini dengan Surat Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Walikota
atas permintaan A, maka surat izin bangunan (IMB) itu yang
merupakan keputusan Walikota, yang hanya mengikat dan
berlaku terhadap A saja.
Di Negara asing sebagai literatur mengenai Hukum
Administrasi Pemerintahan dan Tata Usaha Negara yang
berbahasa Indonesia ditemukan beberapa macam atau bentuk
“beschikking” (keputusan atau ketetapan) sebagai bahan
perbandingan atas keabsahan perbuatan hukum Pemerintah dalam
administrasi Pemerintahan (rechtshandelingen). Menurut van der
Wel membedakan (macam-macam) keputusan atas:
1. de rechtsvastellende beschikkingen (keputusan deklaratur);
2. de constitutieve beschikkingen, terdiri atas: (1) belastende
beschikkingen (keputusan yang memberi beban); (2)
begunstigende beschikkingen (keputusan yang
menguntungkan); (3) status penetapan status (verleningen);
3. Keputusan penolakan (de afwijzende beschikkingen) menurut
Utrecht di dalam bukunya berjudul “Pengantar Hukum
Administrasi Negara Indonesia” membedakan (macam-
macam) ketetapan, yakni:146
a. Ketetapan Positif dan Negatif
146 Lock cit, E. Utrech II
108
Ketetapan Positif (Positive beschikking) adalah perbuatan
hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang
dikenai ketetapan; Ketetapan Negatif (Positive
beschikking) ketetapan yang tidak menimbulkan
perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada (tdak
menimbulkan hak dan kewajiban). Ketetapan Negatif
dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa atau
berwenang (onbevoegdverklaring), pernyataan tidak dapat
diterima (een niet ontvankelijkverklaring), atau suatu
penolakan sepenuhnya (een algehele afwijzing);
b. Ketetapan Deklaratoir dan Ketetapan Konstitutif
Ketetapan Deklaratur (Declaratoire beschikking) hanya
menyatakan bahwa yang bersangkutan diberi haknya
menurut ketentuan yang ada atau karena hukumnya
demikian (rechtsvastellende beschikking); Ketetapan
Konstitutif (constitutieve beschikking) adalah
menciptakan atau membuat hukum (rechtscheppend);
c. Ketetapan Kilat dan Ketetapan Tetap (vluchtige en
blijvende beschikkingen) Ketetapan kilat (vluchting)
adalah ketetapan yang hanya berlaku berakibat pada satu
saat yang singkat saja, yakni pada saat ditetapkan. Ada 4
(empat) macam (Prins) yaitu: (1) ketetapan yang bertujuan
mengubah redaksi/teks ketetapan lama; (2) ketetapan
109
negative, ketetapan yang tidak mengubah sesuatu dan
tidak merupakan halangan untuk melakukan tindakan
apabila dikemudian hari ada perubahan keadaan; (3)
pencabutan atau pembatalan ketetapan terdahulu; (4)
pernyataan pelaksanaan (de uitvoerbaarverklaring),
misalnya menutup jalan raya karena ada perbaikan jalan.
d. Dispensasi, ijin (vergunning), lisensi, dan konsesi; (1)
dispensasi adalah tindakan pejabat aministrasi yang
berwenang (bestuur) yang menghapuskan berlakunya
suatu ketentuan undang-undang terhadap suatu peristiwa
yang khusus (relaxation legis); (2) ijin (vergunning)
adalah ketetapan/tindakan pejabat administrasi yang
berwenang (bestuur) yang memperbolehkan suatu
tindakan yang dilarang oleh ketentuan undang-undang
untuk tujuan khusus, misalnya, ijin pertambangan minyak
bumi kepada PT. Pertamina; ijin Pengangkutan Udara
kepada PT. GIA; (3) lisensi, oleh Prins diartikan sebagai
suatu jin yang memberikan kebebasan untuk menjalankan
perusahaan (bedrijfsvergunning). Lisensi adalah ijin yang
bertujuan komersial atau menambah fiskal dan
mendatangkan keuntungan. (4) konsesi, menurut Prins
“bentuk konsesi se-akan-akan merupakan suatu kombinasi
dari lisensi dan pemberian status (statusverlening) bagi
110
sebuah usaha yang luas bidangnya dan meliputi “het uit
gebreide regime van rechten en verplichtingen”
(mengandung hak dan kewajiban yang sangat luas).
Hipotesa dari pemaparan di atas pada hakikatnya
merupakan lingkup kewenangan yang menjadi bagian dari
keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan baik menurut regulasi
hukum Administrasi Pemerintahan dan Tata Usaha Negara
sebagai bentuk tindakan Administrasi Negara. Untuk mengukur
keabsahan perbuatan hukum pemerintahan dapat menggunakan 2
(dua) alat ukur yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan, dan/atau
2. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Dua alat ukur yang dimaksud diatur dalam Pasal 53 UU
PTUN yang memuat alasan-alasan yang digunakan untuk
menggugat Pemerintah atas dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha
Negara yang merugikan pihak yang terkena Keputusan Tata
Usaha Negara. Adapun Inti dari kedua ketentuan dalam Pasal 53
UU PTUN itu adalah: Orang atau Badan Hukum yang merasa
kepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang
bewenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan yang dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pada
111
ayat (2) mengenai alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
dalam melaksanakan tuntutan.
2.4.1.3. Akibat Hukum
Akibat hukum dapat dikatakan sebagai implikasi yang
timbul dari pelanggaran keabsahan perbuatan Pemerintahan.
untuk menciptakan suatu hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir
sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah
sebagai subjek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan
menimbulkan akibat hukum. Tindakan pemerintah berdasarkan
fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum
(feitelijke handeling) adalah tindakan yang tidak ada hubungan
langsung dengan kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat
hukum.
Tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan
kehendak yang muncul dan organ administrasi dalam keadaan
khusus dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam
bidang hukum administrasi negara. Jadi saat ini dapat dikatakan
tindakan hukum pemerintahan apabila tindakan yang dimaksud
dilakukan organ pemerintah (bestuurszorg) dan menimbulkan
akibat hukum khususnya di bidang hukum administrasi
pemerintahan.
112
Akibat hukum yang timbul tersebut dapat berupa
penciptaan hubungan hukum yang baru maupun perubahan atau
pengakhiran hubungan hukum yang ada. Dengan demikian
tindakan hukum pemerintah di maksud memiliki unsur-unsur
sebagai berikut:147
1. Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam
kedudukannya sebagai penguasa, maupun sebagai alat
perlengkapan pemerintahan (bestuurszorg);
2. Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan;
3. Tindakan yang dimaksudkan sebagai sarana untuk
menimbulkan akibat hukum (rechtgevolgen) di bidang hukum
administrasi;
4. Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan umum;
5. Tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang
Pemerintah;
6. Tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu
berdasarkan hukum; dan
7. Tindakan Hukum Pemerintah dapat berbentuk tindakan
berdasarkan hukum publik dan berdasarkan hukum privat.
147 H. A. Muin Fahmal: Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, penerbit Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008. hlm. 290
113
Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum
yang dilakukan oleh penguasa (Pejabat Administrasi Negara)
dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum publik
ini dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat
hukum publik yang hanya dapat lahir dari kewenangan yang
bersifat hukum publik pula. Sedangkan tindakan hukum privat
adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum
keperdataan.
Tindakan Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi
3 (tiga) bagian yakni:148
a. Tindakan membuat Keputusan (beschikking);
b. Tindakan membuat Peraturan (regeling);
c. Tindakan Materiil (materiele daad).
Suatu Keputusan (beschikking) Pemerintah dalam Hukum
Administrasi Negara harus memperhatikan ketentuan atau syarat-
syarat tertentu apabila syarat tertentu dimaksud tidak dipenuhi
berakibat keputusan yang dibuat tidak sah. Oleh karena itu tidak
sahnya suatu keputusan yang dibuat Pemerintah akan berakibat
tidak sahnya tindakan Pemerintah. Tidak sahnya tindakan
pemerintah tersebut pada akhirnya akan berakibat keputusan yang
dibuat batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
148 Ibid, H. A. Muin Fahmal, hlm 291
114
Begitu pula tindakan pemerintah yang tidak didasarkan
pada suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan
wewenang untuk bertindak adalah sebagai tindakan yang
melanggar hukum. Oleh karena norma wewenang sebagai norma
pemerintahan.
Indikator yang dapat menjadi alat ukur tindakan yang
melanggar hukum dari keabsahan Perbuatan hukum
Pemerintahan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat
itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, Keputusan dimaksud dapat diuji dari;
1. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak
berwenang atau melanggar kewenangan;
2. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan
keputusan Tata Usaha Negara yang diisyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut
telah ditempuh atau tidak; dan
3. Aspek Substansi/Materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau
penggunaan kewenangan apakah secara materi/ substansi telah
selesai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan
perundang–undangan yang berlaku.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis
115
menurut penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang
meliputi;
1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara
Negara;
2. Asas Tertib Penyelenggara Negara, yaitu asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam
pengendalian Penyelenggara Negara;
3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan
selektif;
4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara;
5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak ddan kewajiban Penyelenggara
Negara;
116
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian
yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelanggaran terhadap asas-asas umum Pemerintahan yang
baik (AAUPB) dapat dikatakan sebagai akibat hukum termasuk
melakukan penyalahgunaan wewenang dan dikategorikan dalam
ruang lingkup hukum administrasi negara. Penyalahgunaan
kewenangan yang menjadi akibat hukum itu diatur dalam Pasal
mempunyai karakter atau ciri:
1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian
kewenangan;
2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya
dengan asas legalitas;
3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit
beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan
117
memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan
melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de
pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-
asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk
membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan
kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), akibat hukum dari
penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai
tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau
perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap,
gratifikasi dan pemerasan).
2.4.1.4. Kepentingan Hukum
Setiap manusia mempunyai kepentingan. Kata
“kepentingan” ada kalanya berjalan beriringan dalam masyarakat
dan negara. Tetapi tidak jarang kepentingan bertentangan antara
orang satu dengan lainnya dalam konteks interaksi secara umum
bahkan kadang-kadang mengganggu kepentingan seseorang atau
pihak lain. Sehingga disana sini tibul kekacauan yang
mengakibatkan ketidaktentraman ditengah-tengah masyarakat,
hak dan kepentingan seseorang atau pihak yang lemah selalu
terancam oleh pihak golongan yang kuat.
118
Membahas masalah kepentingan sering pada praktek
ditemui perbuatan aparatur Pemerintahan dalam menjalankan
tugas untuk melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat tidak jarang berlaku sewenang-wenang (willekeur).
Hal ini tentu tidak sesuai keabsahan perbuatan Pemerintahan
menurut ketentuan undang-undang yang berlaku.149
Dengan pengertian bahwa tindakan Pemerintah itu
tidaklah hanya perlu sesuai menurut ketentuan undang-undang
saja tetapi dari itu yakni dasar ataupun asas dibuatnya peraturan
itu adalah guna mendapatkan keadilan dan kemakmuran yang
merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana keadilan tersebut
bukanlah keadilan menurut pihak tertentu atau misalnya bagi
pihak Pemerintah saja sebagai pengusaha, tetapi adalah keadilan
dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Aparat Pemerintahan juga
adalah manusia biasa dimana sudah tentu tidak akan luput dari
kesimpulan-kesimpulan di dalam hal menjalankan atau
melaksanakan ketentuan atau peraturan, maupun didalam
menafsirkan tentang apakah sebenarnya yang menjadi maksud
dan tujuan dibuatnya peraturan atau ketentuan itu sendiri.
Kemudian bila kepentingan-kepentingan sebagaimana
uraian di atas merupakan kategori kepentingan hukum
149 Abdul Wahi Selayan dan Ahmad Fauzi Ridwan, Pengertian Umum, Cet.I. Bab I, Tata hukum Indonesia, Bintang, Medan, 1960. hlm 54.
119
(rechtsbelang) maka menurut ahli hukum diartikan sebagai segala
kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan
manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun
anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar
tidak dilanggar oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini
ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam
segala bidang kehidupan. Kepentingan hukum itu menurut ahli
hukum Satochid Kartanegara:150
1. Hak-hak (rechten)
2. Hubungan hukum (rechtsbetrekking)
3. Keadaan hukum (rechtstoestand)
4. Bangunan masyarakat (sociale instellingen)
Sedangkan dalam lingkup pemerintahan penulis menilai
kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah tindakan yang
dilakukan baik oleh aparatur Pemerintahan maupun aparatur
penegak hukum bertujuan melindungi hak-hak umum dengan
mengedepankan ketertiban umum menurut keadilan untuk
mewujudkan tujuan hukum yang sesuai aturan hukum positif
yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Penilaian ini sejalan
dengan unsur-unsur kepentingan hukum itu sebagaimana ahli
hukum Satochid Kartanegara:151
150 Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hlm. 275.
151 Ibid, Satochid Kartanegara, hlm 276
120
1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen)
misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa),
kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak
milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan
nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila.
2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of
maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum
terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu
lintas di jalan raya.
3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan
negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat,
kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan
wakilnya.
Ketiga poin kepentingan hukum menurut Satochid
Kartanegara dimiliki pula oleh aparatur Pemerintahan yang
berpredikat sebagai alat kelengkapan negara, hak yang sama itu
dapat berupa penerbitan regulasi penerbitan keputusan hingga
pemberian izin dengan demikian segala bentuk perbuatan
Pemerintahan itu dapat dituntut untuk dapat menyerasikan antara
kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut dalam
keputusannya. Suatu keputusan dikatakan tepat, apabila
memperhatikan kepentingan yang paling menguntungan.
121
Hal ini dapat diketahui melalui ketentuan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU PP), dalam
bagian Pertimbangan dinyatakan: Negara berkewajiban melayani
setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan
kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas
pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik
merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan
dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang
peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas
hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta
terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum
yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan
publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan
korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi
setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan
wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Pasal 1 UU PP dinyatakan Pelayanan publik merupakan
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
122
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara pelayanan publik
atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara
negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk
berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik,
dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan
pelayanan publik, Atasan satuan kerja Penyelenggara merupakan
pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu
atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik,
Organisasi penyelenggara pelayanan publik atau Organisasi
Penyelenggara merupakan satuan kerja penyelenggara pelayanan
publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan
publik, Pelaksana pelayanan publik atau Pelaksana merupakan
pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam
organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan
atau serangkaian tindakan pelayanan publik, Masyarakat
merupakan seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk
sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum
yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik,
123
baik secara langsung maupun tidak langsung, Standar pelayanan
merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas
pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada
masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat,
mudah, terjangkau, dan terukur, Maklumat pelayanan merupakan
pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan
janji yang terdapat dalam standar pelayanan, Sistem informasi
pelayanan publik atau Sistem Informasi merupakan rangkaian
kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi
serta mekanisme penyampaian informasi, bagi kepentingan
hukum masyarakat.
Adapun Pasal 4 yang bersentuhan dengan kepentingan
hukum dalam rangka memperhatikan kondisi publik, adanya
kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan
hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan
dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas,
fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan
waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan
bertujuan merupakan kelanjutan sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 3 UU PP merupakan batasan dan hubungan yang jelas
tentang hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh
pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik,
124
menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang
layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi
yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik sebagai
pencerminan kepentingan hukum.
Termasuk tujuan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (17)
UU AP dan dalam Pasal 48 UU PTUN yang konotasinya
menyebutkan:
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang
bersumber dari hak-hak individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang
didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang
hidup dalam masyarakat tersebut.
Keseluruhan berlakunya regulasi di atas adalah bentuk
keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan dalam menjaga
ketertiban umum dan keadilan dalam mewujudkan kepentingan
hukum kepada publik umumnya dan Pemerintahan pada
khususnya.
2.4.1.5. Penyelesaian Hukum
125
Adalah upaya-upaya sebagai jaminan dari keabsahan
perbuatan hukum Pemerintahan yang menjadi amanat Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU PP), Keabsahan
perbuatan hukum administratif Pemerintahan yang diwajibkan
oleh negara diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam
rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda termasuk tindakan administratif oleh
instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur
dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan
berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan. Sejalan
dengan maksud Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 huruf a dan huruf b UU
PP, dalam substansi Pasal 1 ayat (16) UU AP juga memberikan
perlindungan akan kepentingan hukum itu, bukti itu menunjukkan
perhatian Pemerintahan dalam menyediakan upaya administratif
apabila terjadi sengketa akibat dikeluarkannya keputusan dan/atau
tindakan yang merugikan publik yang dilakukan di lingkungan
administrasi Pemerintahan.
1. Menurut Undang-Undang Pelayanan Publik, Penyelesaian
Hukum yang ditempuh, adalah:
Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan
pelayanan publik, apabila;
126
a. penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban
dan/atau melanggar larangan; dan
b. pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan.
Pasal 40 UU PP mengenai Pengaduan ditujukan
kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Pengaduan seperti dimaksud diatas diajukan oleh setiap orang
yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa
untuk mewakilinya. Pengaduan tadi dilakukan paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan.
Dalam pengaduannya, pengadu dapat memasukkan tuntutan
ganti rugi. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas
pengadu dapat dirahasiakan.
Pengaduan yang disampaikan secara tertulis harus
memuat:
a. nama dan alamat lengkap;
b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan dan uraian kerugian material atau immaterial
yang diderita;
c. permintaan penyelesaian yang diajukan; dan
127
d. sesuai Pasal 42 UU PP mengenai tempat, waktu
penyampaian, dan tanda tangan.
Selanjutnya Pasal 43 UU PP dapat diajukan dengan
Pengaduan tertulis yang disertai dengan bukti -bukti sebagai
pendukung pengaduannya. Dalam hal pengadu, membutuhkan
dokumen terkait dengan pengaduannya dari penyelenggara
dan/atau pelaksana untuk mendukung pembuktiannya itu,
penyelenggara dan/atau pelaksana wajib memberikannya.
Pasal 44 Penyelenggara dan/atau Ombudsman wajib
menanggapi pengaduan tertulis oleh masyarakat paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan diterima, yang
sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak
lengkapnya materi aduan tertulis tersebut. Dalam hal materi
aduan tidak lengkap, pengadu melengkapi materi aduannya
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
menerima tanggapan dari penyelenggara atau ombudsman
sebagaimana diinformasikan oleh pihak penyelenggara
dan/atau ombudsman. Dalam hal berkas pengaduan tidak
dilengkapi dalam waktu tsb, maka pengadu dianggap
mencabut pengaduannya.
Hal penyelenggara administrasi Pemerintahan
melakukan perbuatan melawan hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana amanat Pasal
128
52 sebagaimana diatur dalam UU PP, masyarakat dapat
mengajukan gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan.
Pengajuan gugatan terhadap penyelenggara, tidak menghapus
kewajiban penyelenggara untuk melaksanakan keputusan
ombudsman dan/atau penyelenggara. Pengajuan gugatan
perbuatan melawan hukum tersebut, dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Di Pasal 53 hal
penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam
UU PP, masyarakat dapat melaporkan penyelenggara kepada
pihak berwenang.
Sayangnya pelaksanaan pelayanan publik menurut UU
PP masih memiliki beberapa kendala. Kendala itu disebabkan
oleh belum dikeluarkan Peraturan pemerintah mengenai ruang
lingkup, mengenai sistem pelayanan terpadu, mengenai
pedoman penyusunan standar pelayanan, mengenai proporsi
akses dan kategori kelompok masyarakat, mengenai tata cara
pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dan Peraturan presiden mengenai
mekanisme dan ketentuan pemberian ganti rugi.
2. Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.
Apabila Keputusan Tata Usaha Negara menimbulkan
sengketa antara seseorang atau badan hukum perdata dengan
129
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka dapat dilakukan
diselesaikan dengan cara sebagai berikut:
1. Upaya Administratif
Upaya Administratif yang disebutkan dalam
penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PTUN, yaitu suatu
prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan
hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu
Keputusan Tata Usaha Negara. Ketentuan dalam Pasal 48
tersebut menentukan:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administratif sengketa Tata Usaha Negara
tertentu, maka sengketa Tata Usaha negara tersebut
harus diselesaikan melalui upaya administratif yang
tersedia;
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud ayat (1), jika seluruh upaya
administrasi yang bersengketa telah digunakan.
Adapun maksud alam ketentuan Pasal 48 UU
PTUN mengenai bentuk-bentuk upaya administratif yaitu:
a. Keberatan;
130
b. Banding Administratif; dan
c. Keberatan dan Banding Administratif.
Untuk tindak lanjut dari upaya administratif Jika
seseorang atau badan hukum perdata masih belum puas
terhadap keputusan upaya administratif yang telah
diajukan:
a. jika dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata
Usaha Negara upaya administratif yang tersedia
adalah keberatan, maka penyelesaian selanjutnya
adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara;
b. jika dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata
Usaha Negara upaya administratif yang tersedia
adalah banding administratif atau keberatan dan
banding administratif, maka penyelesaian selanjutnya
adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat
pertama.
2. Dengan Pengajuan Gugatan
131
Sebagaimana upaya administratif seperti yang teah
dikemukakan, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
dapat pula dilakukan dengan pengajuan gugatan. Gugatan
tersebut dengan ketentuan tidak ada upaya administratif
yang harus dilalui dalam peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara yang menjadi sengketa. Gugatan juga dapat
dilakukan seseorang atau badan hukum perdata yang
sudah melalui upaya administratif dan sudah mendapat
Keputusan Tata Usaha Negara namun masih merasa
dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut.
Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN,
menentukan orang atau badan hukum perdata yang
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Dan dalam hal ini
juga termasuk gugatan terhadap Keputusan Fiktif Negatif.
Syarat-syarat Gugatan dalam Pasal 56 UU PTUN
menentukan, bahwa gugatan harus memuat, antara lain:
132
1. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan
pekerjaan penggugat atau kuasanya;
2. Nama jabatan dan tempat kedudukan Tergugat;
3. Dasar gugatan (posita/fundamentum petendi) dan hal
yang diminta (petitum/tuntutan) untuk diputuskan oleh
Pengadilan;
4. Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh
seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai
surat kuasa yang sah;
5. Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh
penggugat.
Menyangkut tentang surat kuasa yang sah,
walaupun pada prinsipnya yang bersengketa di pengadilan
tata usaha negara adalah para pihak itu sendiri, akan tetapi
sesuai dengan ketentuan Pasal 57 UU PTUN, maka para
pihak masing-masing pihak dapat didampingi oleh
seseorang atau beberapa orang kuasanya.
Tenggang Waktu Gugatan yang Pasal 55 UU
PTUN menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan
dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dimaksud terhadap hal
133
yang hendak digugat itu merupakan keputusan, menurut
ketentuan:
1. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan
puluh) hari dihitung setelah lewatnya tenggang waktu
yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang
terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang
bersangkutan;
2. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan
puluh) hari dihitung setelah lewatnya batas waktu
empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan;
3. Perhitungan hari yang dimaksud berdasarkan
perhitungan hari kalender dan bukan hari kerja.
Sedangkan jenis-jenis Putusan sesuai ketentuan
Pasal 97 ayat (7) UU PTUN, dapat diketahui Putusan
Pengadilan dapat berupa:
1. Gugatan ditolak;
2. Gugatan dikabulkan;
3. Gugatan tidak diterima;
4. Gugatan gugur.
Kemudian alternatif Perdamaian bagi penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha
Negara tidak dikenal perdamaian seperti halnya dalam
134
perkara perdata di Peradilan Umum. Namun jika antara
para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara diluar
pemeriksaan sidang Pengadilan terjadi perdamaian, maka:
1. Penggugat wajib mencabut gugatannya secara resmi
dalam sidang terbuka untuk umum dengan
menyebutkan alasan pencabutannya;
2. Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan,
maka Hakim memerintahkan agar Panitera mencoret
gugatan tersebut dari register perkara;
3. Perintah pencoretan tersebut diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum.
Namun apabila dalam pencabutan gugatan oleh
Penggugat ini terdapat unsur paksaan, kekeliruan atau
tipuan yang dilakukan oleh Tergugat, maka dengan
sendirinya Pengadilan tidak akan mengabulkan
pencabutan gugatan yang akan dilakukan oleh Penggugat.
3. Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
dibandingkan dengan Undang-Undang Peradilan Tatan Usaha
Negara Berkaitan Penyelesaian Hukum.
Pencerminan dari upaya Administrasi dalam
penegakan hukum administrasi di Indonesia pada prinsipnya
adalah penyelesaian secara damai (kekeluargaan) maupun
135
musyawarah mufakat dalam hal terjadi sengketa antara
pemerintah dengan warga. Konsep hukum yang bisa
dikatakan masih dirasakan terpengaruh oleh kaidah-kaidah
Hukum Perdata, yang menekankan penyelesaian sengketa
terlebih dahulu diselesaikan dengan mediasi atau sejenisnya
sebelum persoalan tersebut diselesaikan di badan peradilan.
Meskipun dengan argumentasi adanya pertimbangan
menyeluruh terhadap sengketa administrasi menurut Undang-
Undang Dasar 1945, tetap saja merupakan hal yang janggal
bila didasari fakta bahwa hukum administrasi negara adalah
kaidah hukum publik yang harusnya tanpa melakukan
negosiasi.
Dapat dikatakan saat penegakan hukum publik, seperti
tindak pidana korupsi ataupun pelanggaran norma
konstitusional, bisa diselesaikan dengan upaya perdamaian
(kekeluargaan). Dimana marwah negara, pemerintahan atau
bahkan penegak hukum (yudikatif), namun apabila
penyelesaian sebagaimana dimaksud dapat ditempuh
menggunakan jalan musyawarah maka menjadi citra buruk
dalam sisitem hukum di Indonesia.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kaidah upaya
administrasi ditemukan tidak hanya dalam Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara tapi juga dalam Undang-undang
136
Administrasi Pemerintahan. Ini termuat dalam Pasal 76 ayat
(3) UU AP, bahwa: “Dalam hal Warga Masyarakat tidak
menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,
Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan”
Klausula tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kritis,
apakah kata “dapat” itu merepresentasikan kaidah imperatif
(keharusan) ataukah kaidah alternatif (pilihan). Kata “dapat”
dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU AP secara filosofis
senarai dengan kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1)
UU PTUN, yang diartikan bahwa orang/badan hukum
perdata, boleh menggugat, boleh juga tidak menggugat.
Namun konotasi terminologi “dapat” di dalam
ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN itu kurang tepat bila
diterapkan dalam kaidah upaya administratif dalam UU AP,
sebab kata “dapat” di dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN lebih
merupakan pilihan tindakan hukum (bersifat alternatif),
sedangkan kata “dapat” di dalam Pasal 75 ayat (1) maupun
Pasal 76 ayat (3) UU AP merupakan kaidah prosedural yang
harus ditempuh (bersifat imperatif atau memaksa). Potensi
pertentangan norma muncul saat Pasal 76 ayat (3) UU AP,
dikonfrontasikan dengan ketentuan pasal 48 jo. Pasal 51 ayat
(3) UU PTUN, sebab bila makna “Pengadilan” dalam
ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU AP tersebut mengacu kepada
137
Pasal 1 angka 18 Undang-undang Administrasi Pemerintahan,
maka akan terjadi ketidak singkronan makna serta kompetensi
absolut antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Terkait hal ini, dapat sebagai kajian mendalam dengan
memperbandingkan kekhususan dan keumuman Undang-
undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang
Administrasi Pemerintahan, atau memperbandingkan tingkat
lagalitas Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan sebagai
monitor, adanya penarikan kembali kewenangan (delegasi
maupun mandat) oleh instansi pemberi kewenangan itu,
hendaknya dibatasi secara ketat pelaksanaannya. Hal ini untuk
mencegah inefektivitas pelaksanaan kewenangan maupun
putusan pengadilan, yang mewajibkan badan/jabatan
pemerintahan melaksanakan suatu tindakan/keputusan
administrasi negara.
Keberlakuan secara optimal dari syarat ini pula
merupakan bentuk perlindungan hukum bagi administrasi
negara itu sendiri, sehingga menjadi jelas dan tetap lingkup
tugas pokok dan fungsi, serta pertanggungjawaban yang
mereka lakukan. Sehingga pada akhirnya, asas contrarius
actus dapat tetap diimplementasikan secara konsisten. Antar
138
UU PTUN, UU AP dan UU PP, yang menurut penulis dalam
menempuh upaya alternatif penyelesaian hukum telah tepat
menggunakan norma UU AP yang bisa ditempuh oleh Warga
Masyarakat sebagai reaksi atas tindakan/keputusan
administrasi pemerintahan.
Suatu norma itu akan menjadi tidak efisien tatkala
proses yang ditempuh oleh pencari keadilan ternyata
memakan waktu yang lebih lama dari penyelesaian sengketa
administrasi sebelum disahkannya UU AP dalam contoh
konkret Antisipasi dari adanya pelangaran hukum disebabkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang sering rentan
menimbulkan sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dengan orang atau badan hukum perdata. Agar
sengketa Tata Usaha Negara tersebut dapat diselesaikan
dengan baik, tentunya diperlukan pemahaman yang utuh dan
menyeluruh tentang Peradilan Tata Usaha Negara termasuk
bagaimana menjalankan proses beracara pada Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Objek sengketa yang dapat digugat di Peradilan Tata
Usaha Negara dalam Pasal 1 angka (9) UU PTUN (Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu
139
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat konkrit, individual, dan final disertai tindakan yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata. Berdasarkan Pasal 3 UU PTUN, tentang sikap diam
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak
mengeluarkan keputusan yang telah dimohonkan sedangkan
hal itu telah menjadi kewajibannya, maka sikap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut disamakan dengan suatu
keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat digugat di
Peradilan Tata Usaha Negara. Maka harus diperhatikan
bahwa setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam
melakukan tindakan hukum diwajibkan bersesuaian dengan
kewenangannya dan bertindak didasarkan pada suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik.
Terlebih lagi dimungkinkan adanya penarikan
kewenangan antar badan/jabatan administrasi, yang
berpotensi pula menghambat pelaksanaan tindakan/keputusan
administrasi maupun putusan pengadilan terkait
tindakan/keputusan administrasi tersebut. Dalam kaitannya
dengan norma hukum publik, sejatinya keberadaan Upaya
140
Administrasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa
administrasi adalah kurang tepat, sebab walaupun konsep
yang selama ini hendak dibangun adalah demi kelengkapan
substansi pemeriksaan menurut aspek UUD 1945
(doelmatigheid) dan aspek rechtmatigheid, namun sebenarnya
itu tidak berkesesuaian dengan prinsip hukum sebuah
lembaga peradilan berdasarkan teori pemisahan kekuasaan
dalam trias politica, maupun prinsip tiadanya mediasi
(perdamaian) dan tawar-menawar dalam penegakan hukum
publik.
2.4.2. Perlindungan Hukum
Interaksi antarsubjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau
mempunyai akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum antarsubjek
hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil atau dalam arti
lain setiap objek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan
menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil
sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Selain itu
hukum berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat
141
terjadi juga karena pelanggaran hukum.152 Pelanggaran hukum terjadi
ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang
seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain.
Subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan
perlindungan hukum. Hukum yang mengatur hubungan hukum antara
pemerintah dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara
atau hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah
dalam melakukan tindakan hukum tersebut.
Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya, ketika
aparatur pemerintahan melakukan tindakan hukum yang dapat menjadi
peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, dan
melanggar hak-hak warga negara, maka untuk menghindari
penyimpangan dan perbuatan yang melanggar hukum sebagai suatu
kewenangan pejabat Pemerintahan maka perlu dilindungi secara hukum
antara subjek-subjek hukum tersebut, sebab jika citra aparatur
pemerintahan buruk dimata masyarakat atau hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap aparatur pemerintahan maka akan menyebabkan
tindakan-tindakan anarkis dari masyarakat sebagai warga negara kepada
Pemerintahan, ataupun sebaliknya masyarakat perlu perlindungan hukum
dari adanya tindakan sewenang-wenang dari aparatur Pemerintahan yang
dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan menimbulkan
kerugian terhadap negara.
152 Op.cit Ridwan HR, hlm. 266
142
Adapun bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dimaksud
dikategorikan ke dalam perlindungan hukum yang diberikan bagi aparatur
Pemerintahan diantaranya pejabat Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan termasuk perlindungan hukum untuk masyarakat.
2.4.2.1. Perlindungan Hukum Untuk Pejabat Pemerintah
Perlindungan hukum terhadap pejabat Pemerintah baik
dari tindakannya karena sebagai bagian dari aparatur
Pemerintahan Negara, dengan dengan mendasarkan pada
makna makna asas Equality Before The Law yang terdapat
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 melalui kutipan frasa
“.......Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pernyataan
tersebut termasuk di dalamnya pejabat Pemerintah. Apabila
konotasinya terhadap Pemerintah dalam melindungi hak atas
kehidupan pribadi setiap aparatur Pemerintahan, menyangkut
perlindungan hukum terhadap wewenang aparatur
pemerintahan dengan asas subsidiaritas153 yang maknanya
adalah penegakan hukum pidana hanya dilakukan sebagai
upaya penegakan hukum yang terakhir, setelah terlebih dahulu
diupayakan penegakan hukum perdata dan penegakan
administrasi Pemerintahan.
153 Marbun, Rocky, dkk, ‘Kamus Hukum Lengkap’, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2012. hlm. 25.
143
Sebelum itu perlu ada pernyataan tertulis dari pejabat
instansi terkait melalui konsultasi dan koordinasi dan tidak
dapat ditentukan oleh Penuntut Umum belaka dalam kaitannya
dengan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hingga
termasuk ke dalam ranah hukum pidana yang diatur secara
khusus mengenai korupsi dalam UU Tipikor.
Dalam adanya perlindungan hukum terhadap pejabat
Pemerintah selanjutnya dikenal adanya Dikresi yang artinya
adalah tindakan pejabat pemerintah dalam membuat kebijakan
dari pejabat pemerintah dari pusat sampai daerah yang
memiliki makna eksplisit memberanikan pejabat Pemerintah
melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-
undang, harus memenuhi tiga syarat yakni, 1. Apakah demi
kepentingan umum, 2. Apakah masih dalam batas wilayah
kewenangannya, dan 3. Apakah tidak melanggar Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Ketiga syarat itu harus terpenuhi sebagai tindakan
perlindungan hukum dari tindakan pejabat Pemerintah yang
dikenal dengan kata diskresi dengan pengertian adanya
kebijakan yang diambil pejabat Pemerintah dan apabila
menimbulkan kerugian negara, maka Pengadilan Tata Usaha
Negara dapat menguji diskresi yang diambil selanjutnya bila
PTUN memutuskan diskersi itu salah, dan memiliki indikasi
144
suatu perbuatan pidana maka dapat diseret ke ranah hukum
pidana. Namun tidak semudah itu untuk menyatakan bahwa
perbuatan pejabat Pemerintah melanggar hukum dan
terindikasi ke ranah hukum pidana, sebab hal ini butuh
pemahaman mendalam mengenai ada atau tidaknya suatu
kesalahan sehingga memenuhi unsur-unsur yang dapat
digolongkan ke dalam ranah hukum pidana atau tidak, untuk
itu dapat dianalogikan terlebih dahulu dengan adanya sebab
yang mungkin dilakukan pejabat Pemerintah disebabkan
adanya niat jahat, yang dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hukum termasuk ke ranah hukum pidana dan
bertentangan dengan ketentuan undang-undang termasuk
KUHP dan UU Tipikor, disisi lain harus pula melihat secara
asas, apakah benar perbuatan pejabat Pemerintah melanggar
hukum dan/atau kepentingan umum bahkan belum tentu
melanggar hukum dan/atau kepentingan umum yang dapat saja
dilakukan tanpa rencana dan itu bukan pelanggaran hukum
apalagi termasuk dalam ranah hukum pidana, maka setelah
berlakunya UU AP dapat digunakan sebagai hukum materiil
yang menjadi panduan untuk para Hakim TUN dan Kepolisian
dalam memeriksa dan memutuskan penyelesaian gugatan
masyarakat kepada pemerintahan atas keputusan dan tindakan
asas pemerintahan. Hal tersebut diberlakukan karena Hakim
145
TUN dan Kepolisian selama ini memeriksa dan memutuskan
gugatan masyarakat hanya berdasar pada dua hukum, yaitu
yuris prudensi dan asas-asas umum penyelenggaraan
pemerintah yang baik sebagai perkembangan dinamika dalam
proses pemuatan keputusan.
Kelemahan UU PTUN hanya dalam praktek
penyelesaian sengketa “administrasi Pemerintahan” di
Indonesia yang disebabkan ketiadaannya lembaga eksekutorial,
sebagai landasan hukum yang kuat mengakibatkan putusan
PTUN tidak mempunyai daya paksa. Dalam UU PTUN tidak
mengatur mengenai masalah daya paksa putusan PTUN,
sehingga dalam pelaksanaan Putusan TUN benar-benar
tergantung pada itikad baik pejabat TUN dan lembaga negara
tersebut dalam mentaati hukum.
Adapun perlindungan hukum terhadap pejabat
Pemerintah dalam UU AP adalah dalam substansi berdasarkan:
Pasal 6 ayat (1) huruf ‘i” Pejabat pemerintah memiliki hak
memperoleh perlindungan hukum dalam mengambil keputusan
dan/atau tindakan. Kemudian pada Pasal 24 huruf “f” Pejabat
pemerintahan yang menggunakan diskresi harus dilakukan
dengan iktikad baik, yang relevansinya terdapat dalam Pasal 25
ayat (2) menyatakan adanya diskresi harus disetujui atasan bila
menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani
146
keuangan negara. Akhirnya dapat diberikan sanksi sesuai Pasal
70 ayat (3) Pejabat pemerintah wajib mengembalikan uang kas
negara atas keputusan yang mengakibatkan pembayaran negara
tidak sah.
Hingga ketentuan sanksi Pasal 80 ayat (4) Pejabat yang
membuat keputusan yang menimbulkan kerugian pada
keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak
lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berat
(pemecatan).
Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 87 UU
AP yang dinyatakan: Berlakunya Undang-Undang ini, maka
keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam
UU PTUN harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;
dan/atau Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
2.4.2.2. Perlindungan Hukum Untuk Dewan Perwakilan Rakyat
147
Berkaitan dengan perlindungan hukum untuk pejabat
Pemerintah yang sebagaimana telah dikemukakan di atas,
maka secara jelas dan tegas dalam konstitusi (dalam substansi
UUD 1945) diulaskan pula mengenai pemberian persamaan
perlindungan hukum bagi Dewan Perwakilan Rakyat yang
diamanatkan dalam substansi BAB II mulai dari Pasal 19
sampai dengan Pasal 22B UUD 1945 sebagai kaidah hukum
tertinggi dalam pengaturan lebih lanjut dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap Dewan Perwakilan rakyat
sebagaimana diperkuat melalui paragraf 2 Pasal 73 sampai
dengan Pasal 75 UU MD3 (Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014), Memberikan suatu perlindungan hukum dan kedudukan
yang istimewa bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
menempatkan lembaga DPR sebagai salah satu lembaga yang
dinilai memiliki perlindungan hukum atas kedudukannya di
atas hukum dan Pemerintahan yang sah dan demokratis, sebab
segala wewenangnya dilindungi secara tertulis dalam undang-
undang.
Sejalan dengan ketentuan di atas, DPR juga diberikan
perlindungan hukum sebagai pejabat negara mengingat
eksistensi Pasal 224 mengenai Hak Imunitas DPR pada intinya
sebagai pemberian kekebalan hukum untuk Dewan Perwakilan
Rakyat yang terdahulu telah dicabut melalui putusan MK
148
Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD
1945 yang intinya harus mendapat persetujuan Presiden,
namun sejak berlakunya UU MD3 yang baru maka Pasal 224
Hak Imunitas DPR itu dirasakan tidak mengadopsi putusan
MK sehingga tida kekuatan bagi lembaga peradilan untuk
menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam tubuh DPR, hal
mana ditangani secara langsung oleh Mahkamah kehormatan
Dewan (MKD). Selain itu pula Pasal 225 mengenai Hak
Protokoler yang berhak memberikan perlindungan hukum bagi
DPR dalam mengatur mengenai mekanisasi aturan bagi pejabat
Pemerintah yang terkait dengan ketentuan Pasal 226 mengenai
Hak Keuangan dan Administrasi, seluruh substansi tersebut
menunjukkan bentuk pemberian perlindungan hukum yang
diberikan kepada DPR sebagai pejabat negara (dalam hal ini
notabene tiada satu lembaga yang menjadi pengawas terhadap
DPR sebagai lembaga legislatif).
Perlu untuk diketahui adanya perbedaan dimaksud
dengan pejabat negara dan pejabat Pemerintah walaupun telah
dikemukakan pada bagian sebelumnya, digunakan untuk
mempertajam pemahaman terhadap pejabat negara yaitu
149
pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara
yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya
berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat
Negara adalah DPR, Presiden, dan Hakim. Pejabat-pejabat
tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara.154
Sedangkan pejabat pemerintahan adalah pejabat yang
lingkungan kerjanya berada pada lembaga yang menjalankan
fungsi administratif belaka atau lazim disebut sebagai pejabat
administrasi negara seperti menteri-menteri sebagai pembantu
Presiden, beserta aparatur Pemerintahan lainnya di lingkungan
eksekutif.155
Berlakunya perlindungan hukum terhadap DPR
merupakan pengaturan yang menjamin agar demokrasi tidak
disalahgunakan oleh siapapun, sebab tidak akan ada penguasa
tunggal dalam negara demokratis. Karena, dalam negara
demokratis, satu kekuasaan justru dikontrol oleh kekuasaan
lain. Itulah mekanisme saling kontrol-saling-imbang (checks
and balances).156
Bahwasanya setiap wewenang dibatasi oleh hukum
dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik
dilakukan oleh DPR atau pejabat Pemerintah maupun
154 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2004. hlm 49155 Ibid, Bagir Manan. 156 Denny Indrayana, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011. hlm. 9
150
dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas
hukum. sehingga secara garis besarnya untuk menciptakan
tertib hukum bagi kebijakan kepada masyarakat (publik).
Sehingga perlindungan hukum kepada DPR
sebagaimana substansi undang-undang yang telah disebutkan
di atas, jelas sebagai tujuan dalam rangka memberikan
perlindungan disatu sisi baik bagi DPR dalam rangka
kepercayaan masyarakat dalam memilih amanat kepada
wakilnya yaitu DPR dalam mewujudkan kesejahteraan yang
menjadi amanat pembukaan UUD alenia ke-IV (empat) dan
akan terhindar dari perlakuan anarkis masyarakat sebagai
warga negara, di sisi lainnya merupakan perlindungan kepada
masyarakat dari adanya perbuatan sewenang-wenang pejabat
Pemerintah ataupun pejabat negara, sebagai satu kesatuan
aparatur Pemerintahan di Indonesia.
2.4.2.3. Perlindungan Hukum Untuk Masyarakat
Ada dua macam perlindungan hukum bagi masyarakat,
yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan
hukum preventif memberikan rakyat kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemeritah mendapat bentuk yang defintif. Artinya
perlindungan hukum preventif ini bertujuan untuk mencegah
151
terjadinya sengketa, sedangkan represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan warga negara
harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah,
yaitu:
a. Karena dalam berbagai hal warga negaradan badan hukum
perdata tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah,
seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk
usaha perdagangan, perusahaan atau pertambangan. Karena
itu warga negara dan badan hukum perdata perlu mendapat
perlindungan hukum.
b. Hubungan antara pemerintah dan warga negara tidak
berjalan dalam posisi sejajar, dan warga negara berada di
pihak lemah dalam hal ini.
c. Berbagai perselisihan warga negara dengan pemerintah
berkenan dengan keputusan, sebagai instrumen pemerintah
yang bersifat sepihak dalam menentukan intervensi
terhadap kehidupan warga negara.
Di Indonesia perlindungan hukum bagi masyarakat
akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan,
tergantung dari instrumen hukum yang digunakan
pemerintah.Instrumen hukum pemerintah yang lazim
digunakan adalah peraturan perundang-undangan dan
152
keputusan. Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya
peraturan perundang-undangan ditempuh melalui Mahkamah
Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5
ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang
menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang”.
Terdapat pula dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang
untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-
undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang
atas alasan bertetangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.” Ketentuan yang sama juga terdapat dalam
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), “Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya
terhadap peraturan perundang-undangan”.
153
Dalam rangka perlindungan hukum, terdapat tolok ukur
untuk menguji secara materiil suatu peraturan perundang-
undangan yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang
lebih tinggi dan bertentangan atau tidak dengan kepentingan
umum. Khusus mengenai peraturan perundang-undangan
tingkat daerah, pembatalan sering diartikan dalam pembatalan
secara spontan, yakni pembatalan atas dasar inisiatif dari organ
yang berwenang menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses
peradilan.
Rancangan Perundang-undangan baik yang
dilaksanakan Pemerintah terhadap DPR mempunyai
mekanisme hak uji materil di tingkat pusat, yaitu di tempuh
melalui jalur pemerintahan dalam bentuk penundaan atau
pembatalan, sebelum ditempuh melalui Mahkamah Agung.
Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan
ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu peradilan
administrasi dan upaya administrasif. Ada perbedaan antara
peradilan administrasi dan upaya administratif adalah kata
peradilan menunjukkan bahwa hal ini menyangkut proses
peradilan pada pemerintahan melalui instansi yang merdeka.
Kemerdekaan ini tampak pada hakim administrasi yang
professional, disamping juga kedudukan hukumnya;
pengangkataan untuk seumur hidup, ketentuan mengenai
154
pengkajian terdapat pada undang-undang, pemberhentian
ketika melakukan perbuatan tidak seronoh-hanya dilakukan
melalui putusan pegadilan. Sifat kedua yang berkenaan dengan
hal ini adalah bahwa instansi ini hanya menilai tindakan
pemerintahan berdasarkan hukum.
Sedangkan upaya administratif berkenaan dengan
proses peradilan di dalam lingkungan administrasi; instansi
upaya administratif adalah organ pemerintahan, dilengkapi
dengan pertanggungjawaban pemerintahan. Dalam hal upaya
administratif ini tindakan pemerintahan tidak hanya dinilai
berdasarkan hukum, namun juga dinilai aspek kebijakannya.
Berdasarkan UU PTUN perlindungan hukum akibat
dikeluarkannya keputusan dapat ditempuh melalui dua jalur,
yaitu melalui upaya administratif dan melalui PTUN. Dalam
Pasal 48 di tegaskan sebagai berikut:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha
Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut
harus diselesaikan melalui upaya administratif yang
tersedia.
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sebagaimana
155
dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.
Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding
administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif
yaitu penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan
keputusan yang disengketakan. Sedangkan prosedur keberatan
adalah penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh
instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha
Negara terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang
berbunyi: “seorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitas”. Di
dalam Pasal 53 ayat (2) disebutkan mengenai tolok ukur untuk
menilai KTUN yang digugat di PTUN, yaitu sebagai berikut:
1. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Badan atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah
156
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang tersebut.
3. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau
tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan
tersebut.
Berdasarkan UU PTUN, alasan mengajukan gugatan
yang terdapat pada Pasal 53 ayat (2) ini ada perubahan, yaitu:
Alasan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
1. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Perubahan Pasal 53 ayat (2) ini memiliki konsekuensi:
1. Pengakuan eksistensi asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AAUPB) dalam sistem peradilan administrasi di
Indonesia.
2. Ada perluasan alasan mengajukan gugatan ke PTUN. Asas
larangan penyalahgunaan wewenang dan asas larangan
sewenang-wenang merupakan bagian dari AAUPB.
157
Menurut Sjachran Basah157, perlindungan hukum dan
penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non untuk
merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk
membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan
tujuan kehidupan bernegara.
2. Integratif, sebagai Pembina kesatuan bangsa
3. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan,
keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.
4. Perfektif, sebagai penyempurna.
5. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik
administrasi Negara maupun warga apabila terjadi
pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan
keadilan.
Saat ini keberlakuan UU AP telah melengkapi
konstilasi hukum Administrasi Negara yang memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat dari pelanggaran
hukum perbuatan aparatur Pemerintahan, diantaranya
mengenai pelaksanaan eksekutorial dari putusan PTUN
Dengan demikian, apabila pejabat Pemerintah dan/atau Negara
157 Sjachran Basah, dalam Ridwan HR (Hukum Administrasi Negara). hlm. 291
158
melanggar ketentuan Pasal 48 UU PTUN yang substansinya
telah berlaku pula dalam Pasal 24 huruf f dan Pasl 25 ayat (2)
dapat dikenai sanksi administratif sebagaimana ketentuan Pasal
80 ayat (4) dan Pasal 87, baik dengan sanksi ganti rugi, dan
upaya paksa oleh peradilan TUN dikarenakan bila tindakan
atau keputusannya pejabat Pemerintah tidak berdasar asas-asas
tata kepemerintahan yang baik.
Dengan ketentuan UU AP secara signifikan telah
mendorong upaya menjadikan administrasi Pemerintahan di
Indonesia memenuhi syarat-syarat birokrasi modern.
Berkenaan dengan pemisahan status antara instansi pemerintah
dan instansi negara, pemisahan negara dan pemerintah,
netralitas negara dan lembaga negara, serta memperkuat
perlindungan masyarakat bila berhadapan dengan administrasi
pemerintahan.
Akhirnya dari keseluruhan pemaparan kajian diambil
suatu simpulan dengan menggunakan matriks mengenai
persamaan dalam hukum dan pertanggungjawaban hukum
menurut regulasi dari ketentuan-ketentuan yang telah ada,
sehingga dapat mengatur tertib kinerja pejabat Pemerintah
maupun pejabat negara yang memiliki kecenderungan
berakibat merugikan perekonomian negara dan masyarakat,
sehingga perlu memperhatikan makan dalam asas-asas umum
159
pemerintahan yang baik sebagai substansi yang tercantum
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi
Kolusi dan Nepotisme dalam melaksanakan tanggungjawabnya
sebagai pelaksana penyelenggara negara.
Sehingga tidak terjadi perbuatan Pemerintah sebagai
suatu benturan dari adanya kepentingan-kepentingan tertentu
yang berakibat dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang
dalam menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan jika terjadi
demikian maka dapat diberikan gagasan dengan sebuah upaya
paksa seperti yang terdapat dalam lingkup perdata sebagai
ultimum remedium dalam merealisasikan eksekusi dari putusan
PTUN tersebut bahkan bila dalam ranah pidana dapat
dilakukan diajukan sebagai premium remedium apabila unsur-
unsur kejahatan dan adanya niat telah sesuai dengan bukti atas
kesalahan yang dilakukan pejabat Pemerintah dan Pejabat
Negara agar keadilan dapat tercapai dan perlindungan hukum
terhadap masyarakat dapat terwujud, penting kiranya dalam
memahami adanya perbaikan terhadap kualitas hati nurani
sebab amanat yang dipercayakan masyarakat sebagai warga
negara dalam memilih wakil-wakilnya dengan keseriusan,
walaupun konteksnya tidak berdasarkan pemahaman uji
kriteria dan hanya sebatas menyukai terhadap profil atau figur
160
wakil-wakil yang duduk di lembaga Pemerintahan, kelemahan
ini merupakan kelemahan dalam penyelenggaraan di Indonesia,
sebab masyarakat tidak mungkin berfikiran negatif walaupun
perbuatan aparatur Pemerintahan tidak jarang yang cenderung
bertindak menyalahgunakan wewenangnya sendiri, oleh karena
itulah banyak regulasi yang mengaturnya sebagaimana
digambarkan dalam matrik substansi dari regulasi-regulasi
yang mengatur perbuatan aparatur Pemerintahan dalam Hukum
Administrasi Negara berikut:
Tabel 1
Matrik Substansi Regulasi Hukum Administrasi Negara
UUD 1945 UU MD3 UU AP UU PTUN UU PPPersamaan Hak Pasal 27 ayat (1) dan Kekuasaan Pemerintah Negara Bab III-Bab VIPasal 4 s/d Pasal 18
Perlindungan HukumPasal 1 ayat (16), ayat (18),Pasal 6 ayat (1) huruf “i”Pasal 24 huruf “f”Pasal 25 ayat (2)
Perlindungan HukumPasal 48 ayat (1),Pasal 53 ayat (1)
Perlindungan Hukum
Pasal 1 ayat (9),ayat (17), Pasal 3, Pasal 4,
Penyelesaian hukum danPemberian sanksi
Pasal 70 ayat (3),Pasal 76 ayat (3),Pasal 80 ayat (4) memperhatikan Pasal 87
Penyelesaian hukum danSyarat Gugatan
Pasal 3 ayat (2)Pasal 53 ayat (1)Pasal 55, Pasal 56,Pasal 57.
Penyelesaian Hukum
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 huruf a dan b.
Jenis-jenis PutusanPasal 97 ayat (7)
Pengaduan Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44
Pengajuan GugatanPasal 52,
161
Pejab
Pemerintah
Pasal 53
DPR
Persamaan Hak Pasal 27 ayat (1)
Mengenai DPRBab VII Pasal 19 s/d Pasal 22
Perlindungan Hukum Paragraf 2 Pasal 73,s/dPasal 75Perlindungan Hukum Pasal 224, Hak ImunitasPasal 225, Hak ProtokolerPasal 226, Hak Keuangan dan Administrasi
Masyarakat
Persamaan HakPasal 27 ayat (1)
Pasal 24 huruf “f”Pasal 25 ayat (2)Pasal 48,Pasal 53 ayat (1), (2), (3), Pasal 80 ayat (4).
SDA
2.5. Teori Pertanggungjawaban Hukum
Roscoe Pound melihat lahirnya pertanggungjawaban tidak saja karena
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindakan, tetapi juga karena suatu
kesalahan. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam
kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah
hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung
jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter
hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan
undang-undang.158
158 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari edisi yang diperluas oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 90
162
Sedangkan Accountability (Akuntabilitas) merupakan sisi-sisi sikap dan
watak kehidupan manusia yang meliputi sikap internal dan eksternal seseorang
makna yang berbeda dengan Responsibility berarti hal yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,
ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung
jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan
penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum,
yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,
sedangkan istilah responsibility merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia.
Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan
bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu
keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung
jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan
atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran
intelektualnya159. Sebagai contoh menunjuk pada pertanggungjawaban politik160.
2.5.1. Responbility
Istilah pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab.
istilah ”responsibility” ditujukan bagi adanya indikator penentu atas
lahirnya suatu tanggungjawab, yakni suatu standard yang telah ditentukan
terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati, serta saat
lahirnya tanggungjawab itu dalam arti responsibility menunjukkan suatu
159 Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.
160 Op.cit Ridwan H.R, hlm. 335-337.
163
standard perilaku dan kegagalan memenuhi standard itu dan Hal tersebut
dikarenakan akuntabilitas tidak hanya dititik beratkan pada pemenuhan
kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturan-aturan
standard yang telah ditentukan (responsibility), dan juga tidak hanya
dititik beratkan pada pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan
dari tidak terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan,
melainkan suatu bentuk pertanggungjawaban secara keseluruhan yang
harus dilakukan oleh pengemban tanggungjawab tersebut.
Tanggungjawab dalam arti responsibility dititik beratkan pada
pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi
aturan-aturan standard yang telah ditentukan. Menurut teori yang
dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo mengenai Tanggungjawab dalam
arti responsibility adalah yang menilai suatu tanggungjawab yang berlaku
antara bawahan dan atasan.161
2.5.2. Accountability
Pertanggungjawaban (accountability) merupakan suatu istilah
yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan
dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembanganya akuntabilitas
digunakan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi
161 Prajudi Atmosudirjo, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision Making, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 281.
164
ekonomi program. Usaha-usaha tadi berusaha untuk mencari dan
menemukan apakah ada penyimpangan atau tidak, efisien atau tidak, dan
prosedur-prosedur manakah yang tidak diperlukan. Akuntabilitas
menunjuk pada pada institusi tentang “cheks and balance” dalam sistem
administrasi.162
Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe. Jabra
dan Dwi Devi sebagaimana dijelaskan oleh Sadu Wasistiono
mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas, yaitu:163
1. akuntabilitas administratif atau organisasi adalah
pertanggungajawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit
bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.
2. akuntabilitas legal, akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik
dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif. Bentuknya dapat
berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah diambil oleh pejabat
publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi yudikatif.
Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan perundang undangan
yang berlaku.
3. akuntabilitas politik, dalam tipe ini terkait dengan adanyakewenangan
pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas
dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamin adanya kepatuhan
melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal. Akuntabilitas 162 Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada
Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hlm. 148163 Sadu Wasistiono, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance,
dalam Syamsudin Haris (Ed.),Desentralisasi & Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005 hlm 7
165
ini memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh
administrasi publik.
4. akuntabilitas profesional,hal ini berkaitan dengan pelaksanaan kinerja
dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang
profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek
kualitas kinerja dan tindakan.
5. akuntabilitas moral. Akuntabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang
berlaku di kalangan masyarakat. Hal ini lebih banyak berbicara
tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan
oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif berdasarkan ukuran
tata nilai yang berlaku setempat.
Accountability merupakan sebuah prinsip dari konsep good
corporategovernance, yaitu sebuah konsep tata kelola pemerintahan baru
yang diadopsi oleh berbagai negara berkembang di dunia sebagai salah
satu prinsip dari konsep good corporategovernance. Kaihatu
mendefinisikan akuntabilitas sebagai sebuah kejelasan fungsi, struktur,
sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif. Penerapan konsep ini semata-mata
untuk meningkatkan kinerja perusahaan melalui supervisi atau
pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen
terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan
166
dan peraturan yang berlaku sebagai salah satu aspek dari administrasi
publik atau pemerintahan.
2.5.3. Liability
Istilah Pertanggungjawaban ”liability” menurut Pinto mempunyai
pengertian lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat
kegagalan untuk memenuhi standard tersebut, dan bentuk tanggungjawab
diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat
dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Secara terminologi liability lebih
menunjukkan kepada kerusakan atau kerugian yang timbul sebagai akibat
kegagalan di dalam memenuhi standard dimaksud, termasuk pula dalam
hal ini untuk pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan.164
Tanggungjawab liability menunjukkan tanggungjawab hukum
atau tanggungjawab gugat, seperti halnya penyelesaian perkara melalui
pengadilan (hukum) liability, dititik beratkan pada kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan kerugian yang diakibatkan dari tidak
terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan.
164 S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan Di Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1980. hlm. 61
167
BAB III
PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT PEMERINTAHAN
DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PEMERINTAHANDAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
3.1. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Regulasi
Penentuan konsep dan parameter unsur “penyalahgunaan kewenangan”,
menjadi sebuah permasalahan yang menimbulkan terjadinya keragaman
penafsiran putusan pengadilan mengenai konsep dan parameter unsur “melawan
hukum” dan unsur “penyalahgunaan kewenangan” karena tidak adanya batasan
yang jelas. Secara substansial dapat berpedoman pada asas spesialitas
(specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki
168
tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan
penyalahgunaan kewenangan “detournement de pouvoir”. Parameter peraturan
perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik
dipergunakan untuk membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan
kewenangan.
Penyalahgunaan wewenang baru dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan
aparatur Pemerintahan apabila telah direalisasikan dalam bentuk yang telah
direalisasi setelah memiliki keabsahan dari program perencanaan contohnya
mengeluarkan pembuatan produk hukum, penerbitan kebijakan-kebijakan,
pemberian keputusan-keputusan serta termasuk pembangunan-pembangunan
sarana dan prasarana atau pembangunan infrastruktur Pemerintahan. Dari adanya
tindakan tersebut dapat berimplikasi terhadap kerugian negara atau
perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan
pemerasan), Terdakwa mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan
perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela. Khusus terhadap pasal-pasal
sebagai substansi regulasi-regulasi diantaranya seperti UUD 1945 KUH Pidana,
KUH Perdata penyimpangan terhadap ranah hukum administrasi negara seperti
UU AP (Administrasi Pemerintahan), UU PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara),
UU PP (Pelayanan Publik), UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), yang
menyangkut penyelenggaraan administrasi negara yang dapat diprediksi adanya
bentuk-bentuk penyalahgunaan kewenangan.
3.1.1. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi
169
Munculnya istilah penanganan tindak pidana korupsi bermula
hanya melalui ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Peperpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang mengisi
kekosongan hukum pada saat itu dan di sebut dengan Peraturan
Pemberantasan Korupsi 1960 sebagai dasar hukum yang berfungsi
sebagai perangkat hukum pidana tentang korupsi yang menggantikan
Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat (KAS-AD) Nomor:
Prt/Peperpu/013/1858. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 akhirnya
menetapkan Peperpu Nomor 24 Tahun 1960 menjadi Undang-Undang
Nomor 24/Prp/1960, undang-undang ini merupakan undang-undang
hukum pidana khusus pertama di Indonesia tentang tindak pidana korupsi
yang bersifat definitif, yang pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan
“undang-undang anti korupsi”. Pada tanggal 29 Maret 1971 diundangkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960.
Pada tanggal 16 Agustus 1999 Pemerintah kembali mencoba
menyempurnakan undang-undang tindak pidana korupsi yang telah ada
sebelumnya dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang akhirnya pada
tanggal 21 Nopember 2001 diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
170
Batasan terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang tersebut
diklasifikasikan sebagai perbuatan “melawan hukum” apabila perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (melawan
hukum formil) atau bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan
masyarakat (melawan hukum materiil). Sedangkan mengenai unsur
“penyalahgunaan kewenangan”, berdasarkan kajian baik terhadap
UUPTPK maupun doktrin hukum pidana, sama sekali tidak terdapat
definisi atas konsep penyalahgunaan kewenangan beserta parameter yang
dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian apakah suatu perbuatan
dapat dikategorikan sebagai “penyalahgunaan kewenangan” atau bukan.
Pencantuman kedua unsur, melawan hukum dan penyalahgunaan
kewenangan dalam UU PTPK menimbulkan ketidakjelasan dalam
menentukan konsep dan parameter unsur “penyalahgunaan kewenangan”.
Penilaian sah tidaknya suatu keputusan tata usaha negara dalam hukum
administrasi dilakukan dengan penelaahan terhadap keterkaitan peraturan
perundang-undangan (gelede of getrapt normstelling) atau norma
berjenjang.165
Sedangkan dalam hukum pidana, penentuan apakah suatu
perbuatan merupakan perbuatan pidana atau bukan, harus didasarkan pada
asas legalitas. Tidaklah tepat apabila menyatakan suatu perbuatan patut
dipidana dengan mendasarkan pada perbuatan yang melanggar peraturan
165 Philipus M. Hadjon et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cetakan VIII, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm 55.
171
perundang-undangan, yang lebih tepat adalah melanggar undang-undang
dan peraturan daerah (Vide : Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).166 Adapun
spesifikasi penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi itu
memiliki ciri yaitu:
1. Melanggar dari tujuan pemberian kewenangan yang dimaksud
Pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada
pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan
maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan
kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan maksud”
diberikannya kewenangan tersebut.
Mengenai penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau
pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan
maksud” dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi
Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan
(detournement de power).
2. Melanggar dari tujuan asas legalitas
Asas legalitas menjadi amanat Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana
yang merupakan salah satu prinsip utama dan dijadikan dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum
kontinental. Pada negara demokrasi tindakan pemerintah harus
166 Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2009, hlm. 96 – 97.
172
mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam
undang-undang.
3. Melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik
Asas-asas hukum yang dipakai untuk menilai kekuasaan bebas
atau kekuasaan diskresi tersebut masih dalam koridor
“rechtmatigheid” atau dengan berpedoman pada “Algemene
Beginselen van Behoorlijk Bestuur” (ABBB), dalam kepustakaan
Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik”.
Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
asas-asas: (1). Asas Kepastian Hukum; (2). Asas Tertib
Penyelenggaraan Negara; (3). Asas Kepentingan Umum; (4). Asas
Keterbukaan; (5). Asas Proposionalitas; (6). Asas Profesionalitas; (7).
Asas Akuntabilitas.
Mengutip pemikiran menurut Phlipus M. Hadjon yang
mengemukakan bahwa cacat yuridis salah suatu wewenang seperti
keputusan dan/atau tindakan pejabat Pemerintahan pada umumnya
menyangkut tiga unsur utama, yaitu:167
1. unsur kewenangan;
167 Philipus M. Hadjon dalam Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan Pertama, LaskBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008. hlm 100.
173
2. unsur prosedur; dan
3. unsur substansi,
Jika ketiga unsur di atas dilanggar, maka menyebabkan cacat
yuridis tindakan penyelenggara negara dan terklasifikasi sebagai tindakan
yang memiliki indikasi cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat
substansi, secara masif dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan
wewenang. Dengan demikian bila penyalahgunaan wewenang dalam
tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 3 UU PTPK, yang dirumuskan
secara formil dan materiil.
Pemahaman akan makna “melanggar hukum” dalam ranah hukum
perdata disebut onrechtmatigedaad, sedangkan “melawan hukum” dalam
ranah hukum pidana disebut wederrechtelijkheid. Dalam konteks ini
unsur “melawan hukum” dimaksud adalah (wederrechtelijkheid), khusus
dalam ranah hukum pidana yang dibatasi oleh asas legalitas, sedangkan
“melanggar hukum” (onrechtmatigedaad) mempunyai cakupan yang
lebih luas, tidak terbatas pada “written law” tetapi juga “unwritten law”
atau“the living law”.168
Sebenarnya dalam ranah hukum privat penyalahgunaan
kewenangan merupakan salah satu bentuk onrechtmatigedaad.
Penyalahgunaan kewenangan merupakan “species” dari “genus” perdata
(onrechtmatigedaad). Unsur “menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
168 Ibid. Sadjijono. hlm 100.
174
kedudukan” dan unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi” adalah bagian inti delik (bestanddelen delict)
karena tertulis dalam rumusan delik, oleh karenanya menjadi elemen
delik. Berbeda halnya dengan unsur “melawan hukum” (wederrechtelijk),
tidak secara ekplisit ditentukan sebagai unsur delik dalam Pasal 3 UU
PTPK, namun meskipun tidak secara ekplisit ditentukan dalam rumusan
delik, unsur “melawan hukum”, tersebut tetap ada secara diam-diam,
sebab terhadap suatu delik pasti selalu terdapat unsur “melawan hukum”.
Berikut ini akan diuraikan secara lebih rinci terhadap masing-masing
unsur Pasal 3 UU PTPK.
1. Unsur Setiap Orang
Subyek hukum tindak pidana dalam rumusan Pasal 3
UUPTPK disebutkan sebagai setiap orang, yang oleh Pasal 1 butir 3
UUPTPK ditegaskan terdiri atas orang pribadi dan suatu korporasi,
namun demikian karena korporasi merupakan subyek hukum
rechtspersonen yang tidak mungkin memiliki jabatan atau kedudukan
seperti halnya subyek hukum orang (natuurlijke personen), menurut
Adami Chazawi, korporasi tidak mungkin dapat menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, mengingat hal itu tidak dimilikinya.169
169 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Ke-II, Bayumedia, Malang (JATIM). 2005. hlm 49.
175
Subyek hukum yang dapat memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah
subyek hukum orang. Berbeda halnya dengan tindak pidana
memperkaya diri yang dirumuskan dalam Pasal 2 UU PTPK yang
dapat dilakukan oleh suatu korporasi, jadi tidak semua tindak pidana
korupsi dalam UU PTPK dapat dilakukan oleh suatu korporasi,
meskipun secara tegas Pasal 1 butir 3 UU PTPK menyebutkan bahwa
setiap orang itu meliputi orang pribadi dan korporasi.
Penggunaan yang lazim dipakai dalam perundang-undangan
pidana berlandaskan payung hukum KUHP adalah kata “barangsiapa”
(teks KUHP, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), yang merupakan salinan dari
kata “Hij, die” (vide: Wet Boek van Strafrecht), yang memberikan
pengertian bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” atau
“barangsiapa” ialah “orang” atau “orang-orang” yang apabila “orang”
atau “orang-orang” tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur delik
yang diatur dalam pasal yang disangkakan/didakwakan kepadanya,
maka “orang” atau “orang-orang” itu disebut sebagai “pelaku” atau
“pembuat dari delik” tersebut (dader or doer van strafrecht), namun
demikian ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP menegaskan: “Tiada
dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna
akalnya atau sakit berubah akal”. Ketentuan ini memperjelas bahwa
“orang/orang-orang” yang dapat disebut sebagai pelaku adalah bukan
176
“orang/orang-orang” yang cacat jiwa dalam tubuhnya (gebruik leige
ont wikkeling) atau terganggu karena penyakit (zeekelijke storing).
2. Unsur Perbuatan Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau
Orang Lain atau Suatu Korporasi
Unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam pasal ini adalah
sama pengertian dan penafsirannya dengan “menguntungkan diri
sendiri” yang tercantum dalam Pasal 378 KUHP, meskipun tidak ada
unsur “melawan hukum”, akan tetapi unsur tersebut ada secara diam-
diam, sebab terhadap suatu delik selalu ada unsur “melawan hukum”,
sedangkan pengertian “menguntungkan diri sendiri dengan melawan
hukum” berarti menguntungkan diri sendiri tanpa hak.
Unsur “tujuan (doel)” tidak berbeda artinya dengan “maksud”
atau “kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk)” atau
“kesengajaan” dalam arti sempit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
368 KUHP, 369 KUHP dan pasal 378 KUHP. Unsur “orang lain”
meliputi istri, anak, cucu dan kroni-kroninya, sedangkan unsur
“korporasi” adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum. Korporasi ini suatu kegiatan ekonomi yang luas, baik untuk
tujuan tertentu ataupun tujuan keuntungan.
Delik inti dari Pasal 3 UU PTPK adalah “menyalahgunakan
kewenangan”. Suatu dakwaan tindak pidana yang dikaitkan dengan
unsur ataupun elemen “kewenangan” atau “jabatan” atau
177
“kedudukan”, maka dalam mempertimbangkannya tidak dapat
dilepaskan dari aspek hukum administrasi negara yang
memberlakukan prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability
jabatan), yang harus dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban
pribadi (liability pribadi) dalam hukum pidana.170 Pengertian
“menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana (khususnya
dalam tindak pidana korupsi) tidak memiliki pengertian yang bersifat
eksplisitas, oleh karena itu diperlukan pendekatan ekstensif.
Mengutip sebuah doktrin tentang kajian “De Autonomie ven het
Materieele Strafrecht” yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen
yang terjemahan bebasnya adalah “Otonomi dari Hukum Pidana
Materiil”, intinya untuk mempertanyakan apakah ada harmonisasi
atau disharmonisasi antara pengertian yang sama baik khusus dalam
ranah hukum pidana atau pada ranah hukum perdata dan hukum tata
usaha negara sebagai suatu cabang ilmu hukum lain.
Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah
peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar
belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu
keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur
“menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan
dasar (legalitas) mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan
organisasi dan tata kerja. Perbedaan antara penyalahgunaan
170 Putusan Badan Peradilan, Varia Peradilan, No. 223 Th. XIX. April 2004, hlm. 4.
178
wewenang, bertentangan dengan undang-undang dan tindakan
sewenang-wenang adalah penyalahgunaan wewenang yang
parameternya atau tolok ukur pengujiannya bertumpu pada asas
spesialiteit atau menurut Prof. Tatiek Djatmiati menggunakan istilah
legalitas substansi yang lebih dikenal dengan asas doelmatigeheid;
a. Bertentangan dengan perundang-undangan, terbagi menjadi tiga,
yaitu bertentangan dengan perundangan-undangan yang bersifat
prosedural atau formal; bertentangan dengan perundangan-
undangan yang bersifat materiel/substansial;
b. Bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak berwenang;
Tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang
mengesampingkan fakta-fakta yang relevan yang telah diverikasi
olehnya dalam melaksanakan wewenangnya serta tidak mencocokan
fakta tersebut dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur wewenang yang dimilikinya tersebut.
Substansi UU PTPK memberikan contoh seperti dalam Pasal
12 huruf “e” apabila relevansinya diklasifikasikan ke dalam
pengertian unsur melawan hukum meliputi melawan hukum formil
dan melawan hukum materiil meliputi:
1. Unsur menyalahgunakan wewenang berupa adanya kesempatan
atau adanya peluang dan tersedianya waktu yang cukup dengan
179
sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan tertentu. Orang yang
karena memiliki jabatan atau kedudukan, karena jabatan atau
kedudukannya tersebut mempunyai peluang atau waktu yang
sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu, apabila peluang yang
ada itu dipergunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak
seharusnya dilakukan dan justru bertentangan dengan tugas
pekerjaannya dalam jabatan atau kedudukan yang dimilikinya
disinilah terdapat penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau
kedudukan.
2. Perbuatan menyalahgunakan sarana karena jabatan atau
kedudukan terjadi apabila seseorang menggunakan sarana yang
ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan-
tujuan lain di luar tujuan yang berhubungan dengan tugas
pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
3. Maksud “yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tiada
lain adalah kewenangan, kesempatan dan sarana karena jabatan
atau kedudukan yang dipangku seseorang, jadi antara keberadaan
kewenangan, kesempatan dan sarana dengan jabatan atau
kedudukan haruslah ada hubungan sebab-akibat (causal), oleh
karena memangku jabatan atau kedudukan, mengakibatkan
seseorang mempuyai kewenangan, kesempatan dan sarana yang
timbul dari jabatan atau kedudukan tersebut, jika jabatan atau
180
kedudukan itu lepas maka kewenangan, kesempatan dan sarana
juga akan hilang, dengan demikian sangat tidak mungkin ada
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana karena
jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimiliki lagi.
4. Menyebabkan timbulnya kerugian negara, apabila secara logika
(menurut akal sehat) suatu perbuatan ditafsirkan akan dapat
menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, mengenai ada
atau tidaknya kerugian negara tidaklah diartikan sebagai suatu
unsur dari rumusan pasal, tetapi penelitian mengenai ada atau
tidaknya kerugian negara hanyalah sebagai salah satu faktor yang
menentukan ada atau tidaknya sifat melawan hukum secara
materiil dari perbuatan si pelaku. Pembuktian tentang kerugian
negara tergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisa
dan menilai aspek-aspek yang menyertai atau ada di sekitar
perbuatan dalam rangkaian peristiwa yang terjadi. Penjelasan
umum UU PTPK menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“keuangan negara” adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, baik yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena:
181
a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat
pusat maupun daerah ;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,
yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan
modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara, jadi
singkatnya keuangan negara adalah kekayaan negara dalam
bentuk apapun, termasuk hak-hak dan kewajiban,171 sedangkan
yang dimaksud dengan “perekonomian negara” adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat
secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
bertujuan untuk memberikan manfaat, kemakmuran dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Bila kembali merujuk mengenai penyalahgunaan kewenangan
yang diatur dalam Pasal 3 UUPTPK masih terdapat tiga bentuk
penyalahgunaan lain yang menjadi substansi dalam UU PTPK, antara
lain adalah: tindak pidana penyuapan, tindak pidana gratifikasi dan
tindak pidana pemerasan. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi
171 Op.cit., Adami Chazawi, hlm. 47
182
tersebut masing-masing diatur tersendiri dalam Pasal UU PTPK. bagi
tindak pidana korupsi suap ini, salah satunya diatur dalam Pasal 5 UU
PTPK dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta Rupiah), baik terhadap
pemberi suap maupun terhadap penerima suap.
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 huruf “b” UU PTPK.
Gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 (Sepuluh juta Rupiah)
atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, sedangkan yang nilainya
kurang dari Rp 10.000.000,00 (Sepuluh juta Rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penuntut
umum.
Ancaman pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (Dua ratus juta Rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (Satu miliar Rupiah).
Pada hakekatnya, gratifikasi adalah pemberian kepada
pegawai negeri/penyelenggara negara dan bukan merupakan suap.
183
Gratifikasi merupakan suap apabila diberikan oleh si pemberi
gratifikasi berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi sebagai pegawai negeri.
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) secara jelas dan
tegas juga telah mengatur kewenangan KPK dalam memutuskan
apakah suatu gratifikasi (yang pada hakekatnya mempunyai arti
pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara negara) merupakan
suap ataukah bukan merupakan suap, meskipun KPK bukan lembaga
peradilan, namun KPK tetap berwenang secara sah menentukan
gratifikasi sebagai suap atau bukan karena wewenang tersebut
diberikan oleh UU KPK.
Untuk tindak pidana pemerasan, antara lain “tindak pidana
pemerasan oleh pegawai negeri untuk memaksa orang melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu” (diadopsi dari Pasal 421
KUHP) dan ”tindak pidana pemerasan oleh pegawai negeri untuk
mendapatkan pengakuan atau keterangan dalam pemeriksaan perkara
pidana” (diadopsi dari Pasal 422 KUHP), dengan menyesuaikan
ancaman pidananya pada Pasal 23 UU PTPK masing-masing diancam
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima
puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (Tiga ratus
juta Rupiah).
184
Perbedaan prinsip antara ketiga bentuk penyalahgunaan
tersebut diatas dengan penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3
UU PTPK adalah bahwa terjadinya ketiga bentuk penyalahgunaan
kewenangan tersebut tidak disyaratkan harus berimplikasi terhadap
kerugian negara atau kerugian perekonomian negara, sedangkan
terjadinya penyalahgunaan kewenangan pada Pasal 3 UU PTPK,
mensyaratkan harus terdapat implikasi kerugian negara atau kerugian
perekonomian negara.
3.1.2. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Administrasi Pemerintahan
Landasan hukum untuk mengenali apakah sebuah keputusan dan
atau tindakan terdapat kesalahan administrasi atau penyalahgunaan
wewenang yang berujung pada tindak pidana. Dimana Masyarakat dapat
mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau
tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan
Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan
gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-
Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha
Negara.
185
Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian
penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan
dalam tiga wujud, yaitu:172
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan
prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu,
tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana;
Legalisasi prosedur administrasi pemerintahan bukanlah sebagai
pengekangan terhadap sikap tindak administrasi negara melainkan
sebagai panduan bertindak dalam menjalankan tugas dan fungsi yang
diamanatkan kepadanya serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan
wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik
dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan itu terdapat dalam UU AP yang memuat kejelasan
jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Kejelasan
172 Op.cit Nur Basuki Minarno, 97.
186
tanggung jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung
jawab dan tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. ini
mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga badan atau
pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai
dengan batas kewenangan yang dimiliki. Kelahiran UU AP pada tanggal
17 Oktober 2014 telah menimbulkan kekhawatiran beberapa kalangan.
Penilaian bagi pemberantasan korupsi, khususnya berkait
penerapan Pasal 3 UU PTPK seharusnya bukan menjadi kekhawatiran
dengan terbitnya regulasi Admiistrasi Pemerintah ini, sebagaimana
amanat Pasal 5 Juncto Pasal 10 UU AP dengan penafsiran terhadap asas-
asas yang menguraikan bahwa regulasi itu menjadi dasar hukum bagi
peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Selain itu, sebagai
upaya mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dengan memaknai
asas legalitas, yang menghargai perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia. Dengan demikian justru dangan adanya UU AP dapat
memberikan penyadaran dan diharapkan sebagai bagian dari langkah
strategis mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang sesuai Pasal 17
sampai dengan Pasal 23 dan pemberian akibat hukum adanya pemberian
diskresi menurut Pasal 30, sekaligus menjadi parameter untuk membatasi
gerak bebas kewenangan aparatur pemerintahan dalam penyalahgunaan
kewenangannya atau melakukan niat untuk berbuat sewenang-wenang.
Substansi UU AP juga mengkaitkan peran lembaga peradilan dalam
menangani masalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat
187
Pemerintahan sebagai hukum materiil UU PTUN sesuai ketentuan Pasal
21 yang secara komprehensif diatur dalam Bab X mengenai Upaya
Administratif.
Kewenangan aparatur pemerintahan disebut sebagai melawan
hukum dan menyalahgunakan kewenangan. (Dalam hukum perdata
perbuatan melawan hukum disebut wanprestasi). Pengertian
”penyalahgunaan kewenangan” tidak ditemukan dalam UU PTPK.
Namun dalam Pasal 52 KUHP ditemukan uraian ”melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan
pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan
kepadanya karena jabatannya”. Dalam perspektif hukum pidana, terutama
dalam praktik penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana
korupsi, kewenangan erat hubungannya dengan jabatan atau kedudukan
yang dimiliki seseorang. Hal itu berarti subjek hukum hanya berlaku
untuk orang tertentu, yaitu yang memiliki jabatan atau kedudukan
tertentu.
Indriyanto Seno Adji dalam keterangannya sebagai ahli pada
tahap penyidikan mengartikan penyalahgunaan kewenangan dengan
sedemikian rupa:173
1. Memiliki kewenangan tapi menggunakan kewenangannya lain
daripada kewenangan yang ada.
173 Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 1997, hlm. 427.
188
2. Tak memiliki kewenangan namun melakukan tindakan seolah-olah
memiliki kewenangan.
3. melakukan perbuatan/tindakan dengan menyalahgunakan prosedur
untuk mencapai tujuan tertentu.
Perbuatan ”menyalahgunakan kewenangan” hanya mungkin terjadi bila
memenuhi dua syarat: Pertama; si pembuat yang menyalahgunakan
kewenangan berdasarkan kedudukan atau jabatan tertentu memang
mempunyai kewenangan dimaksudkan bahwa kedudukan atau jabatan
yang mempunyai kewenangan tersebut masih (sedang) dipangku atau
dimilikinya. Memperhatikan uraian ”penyalahgunaan kewenangan”
dalam perspektif UU AP sebagai hukum materil yang dilaksanakan
menurut Pasal 53 Ayat (2) UU PTUN dengan pengertian
menyalahgunakan kewenangan dengan cara mengambil alih pengertian
yaitu telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang itu atau detournement de pouvoir dalam
praktiknya kedua regulasi itu berkaitan dengan UU PTPK yang ternyata
ditemukan ada persamaan di antara keduanya.
3.2. Implementasi Penyalahgunaan Wewenang
Kebijakan dimasa pembangunan dalam mengelola segala sendi
perekonomian negara, menuntut aparatur Pemerintahan sebagai penyelenggara
negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal,
transparan dan akuntabel (optimalization of public service), dengan tujuan
189
mewujudkan kesejahteraan umum dan pembangunan nasional. Tapi nyatanya,
hasil perbuatan administrasi negara belum mampu memberikan perubahan yang
memperbaiki standar tingkat kebutuhan ekonomi yang stabil bagi masyarakat
dalam mencapai apa yang dinamakan kesejahteraan yang adil, maka perbuatan
tersebut tidak bersesuaian dengan tujuan (ondoelmatige).
Untuk menetapkan ada tidaknya perbuatan yang ondoelmatig, bukan
dilihat dari perbuatannya, tetapi lebih ditekankan pada hasil perbuatan yang
diwujudkan sebagai akibat perbuatan yang dilakukan. Ukuran bermanfaat
tidaknya suatu perbuatan administratif ditentukan tujuan akhir, yaitu apakah
memenuhi kepentingan umum atau tidak. Karena itu, wewenang tindakan
kebijakan pejabat administrasi negara meskipun faktanya merugikan, namun
berguna bagi masyarakat luas, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasi
sebagai perbuatan ondoelmatige. 174
Tindakan aparatur Pemerintahan sudah sewajarnya diarahkan pada tujuan
yang telah ditetapkan oleh peraturan yang menjadi dasarnya. Dalam hal
pemerintah menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, pemerintah telah
melakukan tindakan yang “ondoelmatig”. Menurut praktik Conseil d'Etat di
Perancis, tindakan yang demikian disebut “detournement de pouvoir” yang mana
pengertian ini berkaitan dengan Freies Ermessen berfungsi melengkapi perluasan
arti berdasarkan sebuah Yurisprudensi di Prancis disebabkan adanya
penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, berarti telah melawan hukum.
174 Op.cit Philipus M. Hadjon, hlm 20.
190
. Penggunaan kewenangan yang bersifat aktif, berupa kewenangan
diskresioner (“discretionary power”, “vrijsbestuur”, “freies ermessen”) untuk
melaksanakan kebijakannya (“beleid”) dalam mengatasi segera dan secepatnya
dengan menetapkan suatu perbuatan bagi kepentingan tugas pemerintahan,
tidaklah sekadar kekuasaan pemerintahan yang menjalankan undang-undang
(“kekuasaan terikat”), tetapi merupakan kekuasaan yang aktif, meliputi
kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage norm).
Sifat melawan hukum dalam UU PTPK secara eksplisit diperluas
maknanya tidak hanya melawan hukum formil tapi juga melawan hukum
materiil. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Oleh Mahkamah Konstitusi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Melawan hukum dalam
pengertian materiil, secara konsepsional dibedakan antara melawan hukum
dalam pengertian materiil yang positif dan negatif. Pasal 2 Ayat (1) UU
No.31/1999 jo. UU No.20/2001 sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003/PUU-IV/2006 tampaknya menganut ajaran sifat melawan hukum,
baik dalam pengertian formil maupun materiil. Sifat melawan hukum materiil
tersebut, baik dalam fungsi yang negatif maupun positif. Fungsi positif dari sifat
melawan hukum yaitu meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengatur,
namun apabila perasaan keadilan dalam masyarakat, maupun norma-norma
191
sosial menyatakan bahwa perbuatan tersebut tercela, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK menganut ajaran sifat melawan
hukum dalam konsepsi yang luas. Dalam konsep yang luas tersebut, maka
penerapannya sangat bergantung pada cara pandang hakim. 175
Seperti implementasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 dapat diinterpretasikan adanya unsur
melawan hukum menurut pengertian formil dan materiil dalam fungsi yang
negatif. Apabila, Penjelasan bagian Umum UU PTPK mengenai melawan hukum
masih dianggap berlaku, maka sesungguhnya PTPK masih mengikuti ajaran sifat
melawan hukum materiil dalam fungsi positif, di samping sifat melawan hukum
formil dan materiil dalam fungsi negatif.176
Secara konsepsional didasarkan pada anggapan tercela karena tidak
sesuai dengan rasa adil sesuai norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 serta menyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berbeda dengan praktik peradilan,
kalangan akademisi umumnya justru menolak penerapan ajaran melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang positif. menyatakan: “pandangan mengenai
melawan hukum materiil hanya mempunyai arti memperkecualikan perbuatan
yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya
dianggap sebaga perbuatan pidana. Jadi suatu perbuatan yang dilarang undang-
undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak
175 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Indonesia Lawyer Club, Cet.IV, Surabaya, 2010. hlm.173.
176 Ibid, Tjandra Sridjaja Pradjonggo, hlm. 174
192
menjadi perbuatan pidana. Biasanya inilah yang disebut sebagai fungsi negatif
dari ajaran melawan hukum materiil. Fungsinya yang positif yaitu walaupun
tidak dilarang undang-undang tetpi oleh masyarakat perbuatan itu dipandang
tercela dan dengan itu perlu menjadikannya perbuatan pidana tidak mungkin
dilakukan menurut sistem hukum kita mengingat bunyi pasal 1 ayat (1) KUHP.”
Tidak ada ahli hukum pidana yang dapat membenarkan penerapan ajaran
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. dinyatakan oleh prof.
Indiyanto Seno Adji yang menyatakan: “bagi pandangan materiil, ditemukan
suatu kesamaan pendapat bahwa sifat melawan hukum materiil hanyalah
digunakan melalui fungsi negatifnya saja, sehingga penerapannya hanya
diperlukan untuk meniadakan suatu tindak pidana dnegan mempergunakan
alasan-alasannya di luar undang-undang” Dengan putusan Mahkamah Konstitusi,
penjelasan pasal 2 ayat (1) UU PTPK, khususnya kalimat yang menjadi dasar
pemberlakuan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif,
telah dinyatakan tidak mempuyai kekuatan mengikat sebagai hukum. Ajaran
melawan hukum materiil hanya dapat diterapkan dalam fungsinya yang negatif
dan tidak dapat diterapkan dalam fungsinya yang positif. Dengan demikian
penjelasna Pasal 2 UU PTPK bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum
pidana, seperti implementasi logis lainnya dalam kaitannya dengan kasus-kasus
sebagai fakta logis tindakan aparatur pemerintahan yang melanggar hukum dan
kondisi ini perlu perhatian secara signifikan untuk dapat menemukan solusi
dengan menerapkan indikasi dan monitoring serta ada atau tidaknya progres dari
193
kinerja Pemerintahan yang selelui up to date disampaikan kepada masyarakat,
sehingga menghindari masalah sebagaimana berikut:
3.2.1.Kasus Penyalahgunaan Wewenang yang Sudah Berkepastian Hukum
Tetap
3.2.1.1. Kasus Walikota Bandung (Dada Rosada)177
a. Kasus Posisi
Dada Rosada lahir di Ciparay, Bandung, 29 April 1947,
saat ini memilih berdomisili di Jalan Tirtasari II No. 12 Kota
Bandung, dengan jabatan terakhir sebagai Walikota Bandung
Periode II masa jabatan 2008-2013, terkait penyalahgunaan
dana Belanja Bansos Kota Bandung Tahun Anggaran 2009
yang sudah terealisasi pencairannya adalah sebesar Rp
77.585.275.000,00 (Tujuh puluh tujuh miliar lima ratus
delapan puluh lima juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Untuk Tahun Anggaran 2009 belanja bantuan sosial yang
pencairan maupun mpenggunaannya tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan adalah sebesar Rp
25.676.880.000,00 (Dua puluh lima miliar enam ratus tujuh
puluh enam juta delapan ratus delapan puluh ribu Rupiah).
177 http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/abc5ca5c8d35b6d369744696eac4e27b, dengan Topik: Putusan PN Bandung Nomor 146 / Pid.Sus / TPK / 2013 / PN.Bdg Tahun 2014Dada Rosada, diakses pada tanggal 30 Desember 2015.
194
Bahwa pencairan maupun penggunaan Belanja Bantuan
Sosial Tahun Anggaran 2009 sebesar Rp 25.676.880.000,00
(Dua puluh lima miliar enam ratus tujuh puluh enam juta
delapan ratus delapan puluh ribu Rupiah), merupakan
perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan
sebagai berikut :
1. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara yang menyatakan : “Keuangan
Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
rasa keadilan”.
2. Pasal 21 ayat (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor : 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: (a) Bendahara
Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang
persediaan yang dikelolanya setelah :
1) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang
diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran;
2) menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum
dalam perintah pembayaran;
3) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.
195
(b) Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar
dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
apabila persyaratan pada ayat (3) tidak dipenuhi.
Ini terbukti adanya kerugian keuangan Negara sebesar
Rp 9.916.325.000,00 (Sembilan miliar sembilan ratus enam
belas juta tiga ratus dua puluh lima ribu Rupiah) sesuai
Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Barat, yang
mana untuk keperluan tersebut Edi Siswadi berhasil
mengumpulkan uang sejumlah Rp 1.000.000.000,00 (Satu
miliar Rupiah) dan Herry Nurhayat sejumlah Rp
3.526.000.000,00 (Tiga miliar lima ratus dua puluh enam juta
Rupiah) yang berasal dari :
1. Pinjaman dari Koperasi Pemko Bandung sebesar Rp
476.000.000,00 (Empat ratus tujuh puluh enam juta
Rupiah).
2. Pinjaman dari Jefri Raja Sinaga sebesar Rp
3.000.000.000,00 (Tiga miliar Rupiah).
3. Herry Nurhayat sebesar Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta
Rupiah).
Tanggal 22 Januari 2013 atas perintah Dada Rosada
kepada Herry dalam perkara atas nama Rochman dkk sebesar
Rp 4.526.000.000,00 (Empat miliar lima ratus dua puluh enam
196
juta Rupiah) dengan meminta bantuan agar Setya Budi Tejo
Cahyono mengurusan Perkara Penyimpangan Dana Bansos
Pemko Bandung atas nama Rochman dkk dalam tingkat
banding agar putusannya ringan atau setidaknya menguatkan
putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang dijatuhkan
sebelumnya, sekaligus meminta Setya Budi Tejo Cahyono
untuk mencari informasi mengenai susunan Majelis Hakim
tingkat banding yang menangani perkaranya.
Atas permintaan Dada Rosada tanggal 7 Februari 2013,
Setya Budi Tejo Cahyono menemui Sareh Wiyono di ruang
ketua Pengadilan Tinggi Bandung Jl. Suropati No. 47 Bandung
dan menyampaikan permintaan bantuan agar perkara
penyimpangan dana Bansos Pemko Bandung atas nama
Rochman dkk di tingkat banding dapat diputus ringan atau
setidaknya menguatkan putusan PN Bandung. Atas permintaan
tersebut, Sareh Wiyono menyanggupinya.
Selanjutnya pada tanggal 13 Februari 2013, Pengadilan
Tipikor pada Pengadilan Tinggi Bandung menerima 7 (tujuh)
berkas perkara yang diajukan upaya hukum banding atas
perkara penyimpangan dana Bansos Pemko Bandung Tahun
Anggaran 2009 sampai dengan 2010 atas nama Rochman dkk,
selanjutnya oleh CH. Kristi Purnamiwulan selaku Pelaksana
Tugas (Plt) Ketua Bandung ditetapkan susunan Majelis Hakim
197
Banding yang terdiri atas: Wiwik Widiastuti Sutowo selaku
Hakim Ketua Majelis, Pati Serefina Sinaga dan Fontan Munzil
masing-masing selaku Hakim Anggota Majelis melalui
penetapan, yaitu :
1. Nomor: 03/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013
atas nama Rochman;
2. Nomor: 04/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013
atas nama Firman Hirmawan;
3. Nomor: 05/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013
atas nama Lutfhan Barkah;
4. Nomor: 06/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013
atas nama Yanos Septadi
5. Nomor: 07/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013
atas nama Uus Ruslan;
6. Nomor: 08/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013
atas nama Havid Kurnia;
7. Nomor: 09/Tipikor/2013/PT.Bdg tanggal 14 Februari 2013
atas nama Ahmad Mulyana
Atas perintah agar perkara Penyimpangan Dana Bansos
Pemko Bandung Tahun Anggaran 2009 s/d 2010 atas nama
Rochman dkk untuk diperhatikan dan menanyakan tentang
susunan Majelis Hakim Banding yang menangani perkara tsb.
kemudian CH Kristi menyampaikan bahawa hakim yang
198
ditunjuk adalah Wiwik W, S, Pasti Serfina S dan Fontan M.
setelah mendapat informasi tsb, Setya Budi Tejo memberitahu
Toto Rochman dkk "sudah aman".
Kemudian di rumah pribadi Dada Rosada, Herry dan
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkot
Bandung dan Perusahaan Daerah kota Bandung. Dada Rosada
meminta dukungan dana yang akan dipergunakan untuk
pengurusan perkara Penyimpangan Dana Bansos Pemko
Bandung TA 2009 s/d 2010 atas nama Rochman dkk dalam
tingkat Banding, yang kemudian diperoleh pengmpulan dana
yang diakomodir melalui Herry seluruhnya sejumlah Rp
425.000.000,- (Empat ratus dua puluh lima juta Rupiah)
Tanggal 17 Februari 2013, Toto Hutagalung dihubungi
oleh Setya Budi Tejo yang menyampaikan rasa kecewanya
setelah mengetahui Edi Siswadi juga ingin menemui Sareg
Wiyono dalam rangka pengurusan perkara banding atas nama
Rochman dkk. Untuk itu Setya meminta Toto agar pengurusan
perkara banding tsb cukup melalui Setya karena perkara
banding tsb telah diurus melalui Sareh W maupun CH Kristi P
dan untuk kepentingan pengurusan perkara banding tsb, Setya
meminta disediakan dana sebesar Rp 1.500.000.000.
Selanjutnya tgl 18 Februari 2013 di rumah Dada Rosada,
dilakukan pertemuan antara Toto H. dengan Dada Rosada,
199
yang mana dalam pertemuan tsb Toto H menyampaikan bahwa
Setya meminta agar pengurusan perkara banding atas nama
Rochman dkk melalui "satu pintu" disetujui oleh Dada Rosada,
kemudian Dada Rosada menghubungi Herry yang meminta
agar disiapkan uang sebesar Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar
lima ratus juta Rupiah) untuk diberikan kepada Setya terkait
pengurusan perkara banding atas nama Rochman dkk.
Pada tanggal 20 Februari 2013, Herry dihubungi oleh
Toto menanyakan mengenai "buku" yang maksudnya
dukungan dana untuk pengurusan perkara banding
sebagaimana permintaan Dada Rosada sebelumnya dan
memberitahukan bahwa akan dilakukan pertemuan antara
Herry, Dada Rosada dan Toto H.
Kemudian pada tgl 21 Februari 2013, bertempat di
Lobby Topas Galeria Hotel Bandung, Herry mengikuti
pertemuan dengan Dada Rosada, Edi Siswadi dan Toto
Hutagalung. Dalam pertemuan tsb, Herry diperintahkan oleh
Dada Rosada agar menyiapkan uang yang akan digunakan
dalam pengurusan perkara banding tsb sebesar Rp.
1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta Rupiah) dan oleh
karena Herry mengatakan belum ada uangnya, maka Dada
Rosada dan Edi Siswadi meminta Heru untuk mencari
pinjaman uang.
200
Tanggal 23 Februari 2013, Dada Rosada memerintahkan
Herry dalam mengurus perkara banding secara bertahap
dengan cara meminjam uang sebesar Rp. 700.000.000,-, (Tujuh
ratus juta Rupiah), tanggal 25 Februari 2013 Herry
memerintahkan Pupung Hadijah menyerahkan uang sebesar Rp
500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) diantaranya kepada
Toto Hutagalung melalui Asep Triana yang penyerahannya
disertai tanda terima kwitansi dengan keterangan untuk
"pengadilan tinggi" yang menurut Toto Hutagalung uang tsb
akan diberikan kepada Marni Emmy Mustofa yang
menggantikan Sareh Wiyono. Atas pemberian uang tersebut
selanjutnya Herry melaporkan berita itu kepada Dada Rosada
melalui pesan BBM.
Pada tanggal 26 Februari 2013, Setya Budi Tejo
Cahyono menguhungi Toto Hutagalung memberitahukan
bahwa telah menenmui CH. Kristi Purnamiwulan meminta
perkara bandng atas nama Rochman dkk untuk dibantu adan
akan disediakan sejumlah uang untuk pengurusan perkaranya.
Atas permintaan tsb, CH. Kristi Purnamiwulan meminta
bagian tersendiri dari uang yang diperuntukan untuk Majelis
Hakim yang menanganinya, sehingga Setya Budi Tejo
Cahyono meminta Toto Hutagalung agar segera merealisasikan
uang sebesar Rp. 1.000.000.000,- (Satu miliar Rupiah) dengan
201
rincian untuk diberikan kepada masing-masing Anggota
Majelis Banding sebesar Rp, 300.000.000,- (Tiga ratus juta
Rupiah) dan sisanya Rp. 100.000.000,- (Seratus juta Rupiah)
untuk diberikan kepada CH. Kristi.
Selanjutnya Toto H melakukan pertemuan dengan Pasti
Serefina S di Lounge Hotel Bumi Asih Jayam Bandung. Toto
menyampaikan kedekatannya dengan Dada Rosada dan
meminta perkara banding atas nama Rochman dkk untuk
dibantu, yang sebelumnya telah diurus Setya Budi sambil
menyerahkan dokumen berisi putusan PN Bandung dan
Laporan Hasil Audit Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP
Perwakilan Propinsi Jawa Barat terhadap perkara atas nama
Rochman dkk untuk dipelajari Pasti Serefina S, Selanjutnya
Toto H menyerahkan Hp miliknya yang masih terhubung
dengan Dada Rosada kepada Pasti Serefina S, selanjutnya Toto
menyampaikan permintaanya agar perkara atas nama Rochman
dkk dapat dibantu dan dijawab pasti oleh Pasti Serefina S akan
"diperhatikan".
Setelah Toto mengetahui susunan Majelis Hakim
Banding perkara atas nama Richman dkk, kemudian
memberitahu Setya Budi bahwa salah satu Hakim Anggota
Majelisnya adalah Pasti Serefina S, sehingga Toto meminta
Setya Budi untuk mengatur pertemuan dengan Pasti Serefina S.
202
Atas permintaan tsb kemudian Setya Budi melakukan
pertemuan dengan Pasti Serefina S di kantor PT Bandung dan
memnyampaikan bahwa ada orang kepercayaan Dada Rosada
Walikota Bandung yang bernama Toto ingin bertemu untuk
meminta bantuan meringankan putusan perkara banding atas
nama Rochman dkk. Atas informasi tsb Pasti Serefina S
meminta dilakukan pertemuan di luar kantor kemudian Setya
Budi menyampaikan hasil pembicaraam dengan Pasti Serefina
S tersebut kepada Toto.
Setelah pertemuan tersebut, tanggal 27 Februari 2013
Toto meminta Herry menyiapkan uang sebesar Rp.
1.000.000.000,- (Satu miliar Rupiah) sebagai uang pengurusan
perkara banding atas nama Rochman dkk untuk diserahkan
kepada Pasti Serefina S dan Herry menjawab sedang
mengusahakan dananya.
Tanggal 28 Februari 2013, Toto menguhubungi Herry
terkait kesiapan dananya dan Herry menyampaikan bahwa
uang tsb akan dicarikan pinjaman, setidaknya akan diusahakan
uang sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah)
terlebih dahulu.
Selanjutnya pada sore harinya, Dada Rosada
mengadakan pertemuan yang diikuti Toto, Herry dan Setya
Budi di Apartemen The Suites Metro Bandung muncul
203
kesepatakan pengurusan perkara banding atas nama Rochman
dkk melalui Toto dan Setya bukan melalui Edy karena Sareh
sudah pensiun. Untuk itu Toto menyampaikan agar pengurusn
perkara banding atas nama Rochman dkk lansung berhubungan
dengan hakim yang menangani perkaranya, yaitu Pasti Serefina
S, kemudian Toto menguhubungi Pasti Serefina S
memberitahukan bahwa permintaan Pasti Serefina S mengenai
pengurusan ijin peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya telah
selesai dan menyampaikan agar perkara atas nama Rochman
dkk dapat dibantu yang kemudian disanggupi Pasti Serefina S.
Kemudian Herry kembali meminjam uang sebesar Rp.
1.000.000.000.- (Satu miliar Rupiah) kepada Didi Sulistyonom
kemudian tgl 1 Maret 2013 Herry memerintahkan Pupung
Hadijah untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 500.000.000,-
(Lima ratus juta Rupiah) kepada Toto melalui Asep dengan
tanda terima kwotansi berisi keterangan untuk "pengadilan
tinggi". Selanjutnya pada tgl 4 Maret 2013, Asep menukarkan
uang tsb menjadi USD 50.000 (Lima puluh ribu Dolar Amerika
Serikat) dan SGD 1.000 (Seribu Dolar Amerika Serikat) di PT
Dolarindo Intravalas Primatama Bandung yang kemudian
diserahkan kepada Toto di Villa di Kampung Ciwaru Bandung,
yang rencananya akan diserahkan kepada Majelis Hakim
Banding pekara atas nama Rochman dkk.
204
Setelah Herry menyerahkan uang sebesar Rp.
500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) kepada Toto melalui
Asep tersebut, tanggal 3 Maret 2013 melaporkan kepada Dada
Rosada melalui pesan BBM selanjutnya Dada Rosada meminta
Herry agar ditambah lagi sebesar Rp. 500.000.000,-. (Lima
ratus juta Rupiah) Kemudian Herry mengatakan akan mencari
pinjaman di Jakarta.
Selanjutnya Setya Budi kembali menemui Pasti Serefina
di PT Bandung menanyakan mengenai permintaan bantuan
perkara banding atas nama Rochman dkk. dan Pasti Serefina
meminta tambahan dana dalam pengurusan perkara banding tsb
menjadi Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta
Rupiah) dengan alasan untuk banyak orang yang akan diurus,
kemudian permintaan Pasti Serefina tsb oleh Setya Budi
disampaikan kepada Toto untuk diberitahukan kepada Dada
Rosada.
Tanggal 4 Maret 2013 di Hotel Bumi Asih-Jaya Bandung
dilakukan pertemuan antara Toto, Setya Budi dan Pasti
Serefina, dalam pertemuan tsb Toto memberikan surat
persetujuan peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya kepada
Pasti Serefina yang kemudian dilanjutkan acara hiburan
karaoke bersama.
205
Tanggal 5 Maret 2013, Toto menghubungi Herry yang
menanyakan mengenai uang sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima
ratus juta Rupiah) untuk diserahkan kepada Pasti Serefina S
dan dijawab uangnya sudah tersedia. Selanjutnya Herry
memerintahkan Tri Rahmawati staf DPKAD Pemerintah Kota
Bandung untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 500.000.000,-
(Lima ratus juta Rupiah) kepada Asep dengan tanda terima
kwitansi berisi keterangan untuk "pengadilan tinggi Jawa
Barat" kemudian Asep menyerahkannya kepada Toto setelah
Herry menyerahkan uang tersebut, kemudian melaporkan
kepda Dada Rosada melalui pesan BBM bahwa uang sebesar
Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta Rupiah) telah
tersedia.
Selanjutnya bertempat di Hotel Bumi Asih Bandung,
dilakukan pertemuan antara Toto dan Pasti Serefina. Dalam
pertemuan itu, Toto memberikan uang sebesar Rp.
500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) dan surat persetujuan
peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya telah diserahkan
kepada Pasti Serefina, atas laporan tsb, Dada Rosada
menanyakan mengenai uang yang akan diberikan kepada
Marni Emmy Mustofa. Untuk itu Toto meminta Dada Rosada
agar memerintahkan Herry segera merealisasikan kekurangan
uang pengurusan perkara banding atas nama Rochman dkk
206
sebesar Rp 500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) saat itu
disanggupi oleh Dada Rosada.
Tanggal 22 Maret 2013 Toto menghubungi Pasti
Serefina menanyakan mengenai kepastian putusan perkara
banding tsb yang dijawab oleh Pasti Serefina bahwa 2 (dua)
orang Majelis Hakim yaitu Wiwik Widiastuti dan Pasti
Serefina telah sepakat untuk menguatkan putusan PN Bandung,
sedangkan 1 (satu) orang Majelis yaitu Fontian Munzil tidak
sepakat terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Namun
kemudian pada hari itu juga Herry, Setya Budi dan Asep
ditangkap oleh petugas KPK.
Pada tanggal 26 Maret 2013, Wiwik selaku Hakim Ketua
Majelis, Pasti Serefina dan Fontian masing-masing selaku
Hakim Anggota Majelis menjatuhkan putusan atas perkara
Penyimpangan Dana Bansos Pemko Bandung Tahun Anggaran
2009/2010 atas nama Rochman dkk di tingkat Banding.
Pemberian uang sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima ratus
juta Rupiah) dari yang dijanjikan sebesar Rp. 1.000.000.000
(Satu miliar Rupiah) serta pemberian fasilitas persetujuan
peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya Bandung kepada Pasti
Serefina dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara
Penyimpangan Dana Bansos Pemerintah Kota Bandung Tahun
Anggaran 2009 s/d 2010 atas nama Richman dkk di Pengadilan
207
Tipikor pada Pengadilan Tinggi Bandung yang diserahkan
kepda Wiwik Widiastuti Sutowo, Pasti Serefina dan Fontain
Munzil.
b. Dakwaan Penuntut Umum
Berdasarkan kasus posisi di atas maka tuntutan Jaksa
Penuntut Umum KPK, terhadap tindak pidana korupsi
penyalahgunaan dana bansos oleh Dada Rosada dinilai telah
melanggar:
Primair
1. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a UU
PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHPidana;
2. Terdakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PTPK,
Jo. Pasal 64 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH
Pidana.
3. Terdakwa sebagai Pelaku dan Turut melakukan dilakukan
dengan penyertaan yang melanggar:
a. Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1)
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana;
b. Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1)
jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
208
Subsidair
1. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 13 UU PTPK Jo. Pasal
64 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
2. Terdakwa Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PTPK Jo. Pasal 64
ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Memohon kepada majelis hakim agar menyatakan
terdakwa Dada Rosada bersalah melakukan tindak pidana
korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan. Selanjutnya
Memohon kepada Majelis Hakim untuk menghukum Terdakwa
dengan pidana penjara selama 15 tahun, denda Rp 600 juta
subsider 6 bulan kurungan.
Tuntutan Memberatkan
1. Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam
pemberantasan korupsi. Selain itu, sebagai wali kota,
2. Terdakwa tidak memberikan contoh baik dengan
mengingkari sumpah jabatan dan melanggar pakta
integritas yang ditandatanganinya sendiri.
3. Perbuatan Terdakwa dalam pemberian gratifikasi (suap) a
quo dinilai telah merusak citra peradilan.
Tuntutan Meringankan
Berlaku sopan dan memiliki tanggungan keluarga.
209
c. Pertimbangan Hukum Hakim
Berdasarkan kronologi duduk perkara di atas Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Bandung dalam Perkara Nomor
146/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Bdg, dengan ini menyatakan:
Menimbang:
1. Bahwa Dada Rosada telah melanggar ketentuan Pasal 6
ayat (1) huruf “a” Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 13 UU PTPK
Juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Sebagaimana telah
menyuap untuk mempengaruhi Setyabudhi untuk
mempengaruhi keputusan Majelis Hakim Tipikor Bandung
yang menyidangkan perkara penyelewengan dana bansos.
2. Bahwa, Majelis Hakim menyepakati sekaligus tiga
tuntutan jaksa penuntut untuk memvonis Dada berdasarkan
Pasal 6 ayat (1) huruf “a” dan Pasal 5 ayat (1) huruf “a”
UU PTPK. Dada Rosada bersama terdakwa lain terbukti
menyuap majelis hakim Pengadilan Tipikor kasus korupsi
dana bantuan sosial di Pengadilan Negeri dan Tinggi
Bandung;
3. Bahwa, Majelis Hakim menilai ttuntutan penuntut umum
mengenai hal yang meringankan dari perbuatan terdakwa
adalah:
210
a. bahwa Dada Rosada mengakui segala perbuatan dan
menyesalinya serta bersikap sopan selama persidangan.
b. "Selama ini terdakwa telah menjabat walikota selama 2
periode. Terdakwa telah mendapat banyak piala dan
penghargaan dalam dan luar negeri.
c. Mengingat terdakwa dalam memberikan keterangannya
tidak meyulitkan hakim
4. Bahwa, Majelis Hakim menilai hal-hal yang memberatkan
terdakwa adalah bahwa terdakwa sebagai wali kota tidak
memberikan contoh pada masyarakat untuk anti Kolusi
Korupsi Nepotisme dan tidak membantu program
pemerintah yang tengah gencar memberantas korupsi.
d. Putusan Hakim
Setelah menimbang dan membaca tuntutan Jaksa
Penuntut Umum tertanggal 23 Desember 2013 dalam perkara
Penyalahgunaan Dana Bansos Pemerintah Kota Bandung yang
pada pokoknya memiliki unsur tindak pidana korupsi yang
dilakukan terdakwa yang mengakibatkan kerugian negara,
dalam perkara a quo, Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Mengadili:
211
1. Menyatakan Terdakwa Dada Rosada terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”
korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan
berlanjut;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dada Rosada
berupa pidana penjara selama: 10 (sepuluh) tahun,
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dan
pidana denda sebesar Rp. 600.000.000,-. (Enam ratus juta
Rupiah);
3. Subsidiair 3 (tiga) bulan, dengan perintah supaya terdakwa
tetap dalam tahanan.
e. Analisis Putusan
Perbuatan yang melanggar unsur-unsur tindak pidana
korupsi yang dilakukan walikota dilingkup Jawa Barat adalah
modus korupsi dana Bansos yang memenuhi unsur pidana
dengan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf “a” atau Pasal 5 ayat
(1) atau Pasal 13 UU PTPK yang pada intinya mengenai orang
yang memberikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 15
tahun dan denda paling besar Rp 750 Juta Juncto Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUH Pidana. Putusan yang diambil Majelis Hakim
212
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri
Bandung telah tepat menurut pertimbangan hukum hakim yang
meringankan terdakwa Dada Rosada maka hukuman yang
diberikan disesuaikan dengan keadilan menurut hukum dan
hak asasi manusia, sebab secara teknis walaupun tindak pidana
yang dilakukan Dada Rosada adalah tindak pidana berupa
penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan organisasi
tertentu namun demi menghormati hak-hak secara manusiawi
juga terdapat jasa-jasa yang pernah disumbangkan terdakwa.
Sebenarnya tidak dapat dipungkiri fakta kasus ini memang
memberikan kekecewaan warga kota Bandung. Jika
memperhatikan dinamika perkembangan peradilan sangat
disayangkan menjadi keterpurukan kinerja pengawasan dari
lembaga yudikatif, sejauh kasus ini ditelusuri yang bermula
ditangani oleh kejaksaan namun diambil alih oleh KPK karena
hakim tipikor yang menangani kasus ini justru terkena suap
selain itu banyak organisasi fiktif yang menerima dana Bansos.
Sebagai pejabat Pemerintah pada prinsipnya menjadi
kewajiban dalam memberikan pelayanan publik dan
bekerjasama dengan lembaga peradilan (sebagai Justice
Collaborator) dalam melaksanakan ketentuan regulasi
khususnya tindak pidana korupsi karena akibat atau dampak
yang akan ditimbulkan adanya tindak pidana korupsi sehingga
213
telah menjadi kewajiban dari Kepala Daerah dalam hal ini
Dada Rosada dalam mencegah perbuatan korupsi, namun
sangat mengecewakan saat diketahui Dada Rosada melakukan
tindakan tersebut dan termasuk membiarkan terjadinya tindak
pidana korupsi di kota Bandung, bahkan ikut berperan aktif
memberi pembelaan. Perbuatan terdakwa telah merusak citra
aparatur pemerintahan yang terpilih sebagai amanat dalam
fraksi yang berada di lembaga legislatif terlebih lagi
memperburuk citra lembaga peradilan.
Seharusnya dalam pemberantasan korupsi di lingkup
kota bandung sebagai daerah otonom, maka perlu peran
lembaga penegak hukum bisa lebih efektif dalam memberantas
korupsi dengan pertama Diperlukan Regulasi terkait Sistem
Anggaran Penyelidikan dan Penyidikan dengan Model at Cost,
kedua Perbaikan Regulasi Kejaksaan untuk mewujudkan
independensi kejaksaan terutama dalam Pemberantasan
Korupsi termaksud Korupsi di Daerah khususnya Kota
Bandung, ketiga Membentuk Unit Khusus Tipikor yang
terpisah dari Direktorat Reskrim di Lembaga Kepolisian,
keempat memperbanyak Pengadilan Tipikor tidak terpusat di
214
satu tempat saja, kelima butuh peran lembaga penegak hukum
dengan cara perbaikan legal culture.178
Sebenarnya dari kelima kriteria di atas untuk
mewujudkan agar kinerja lembaga penegak hukum di Kota
Bandung, agar dapat efektif dalam penanganan kasus korupsi
hanya membutuhkan tiga kriteria yang dapat dilakukan
perbaikan dalam lingkup sektor yaitu regulasi, struktur
kelembagaan dan budaya hukum baik aparatur Pemerintahan
sebagai pelaksana pelayanan publik dalam memberikan
perlindungan seyogianya mendapat dukungan dari pengawasan
penegak hukum, hal ini sebagai upaya dalam mewujudkan
tujuan hukum dalam membangun sistem hukum di Indonesia.
3.2.1.2. Kasus Anggota DPR (Anglina Sondakh)179
a. Kasus Posisi
Angelina Sondakh lahir di Australia, 28 Desember 1977.
Dia dikenal sebagai Puteri Indonesia tahun 2001 yang berasal
dari provinsi Sulawesi Utara. Angie, demikian biasa dipanggil,
merupakan sosok perempuan jenius dan memilih kancah
politik sebagai ‘ladang’ aktualisasinya. Perempuan keturunan
178 J Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007. hlm 24
179 http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/301dc187df6faba9b96d9abde1761e44, Putusan dengan Topik: Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 Tahun 2013Angelina Patricia Pingkan Sondakh diakses pada tanggal 15 Januari 2015
215
Manado ini tidak hanya bermodal tampang. Ini berbeda dengan
Puteri Indonesia sebelumnya yang banyak mengaktualisasi diri
di panggung akting dan musik. Ia pernah dinobatkan sebagai
Duta Orang Utang, Duta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dan juga Duta Batik. Angelina Patricia Pingkan
Sondakh, nama lengkap Angie, mengawali karir politiknya
melalui Partai Demokrat. Dia berhasil terpilih sebagai Anggota
DPR Republik Indonesia pada pemilu 2004. Bersamaan
dengan dirinya, bintang sinetron Adjie Massaid atau yang lebih
sering disapa Adjie, juga berhasil menjadi anggota DPR-RI
lewat partai yang sama. Kiprah Angie di dunia politik makin
mantap dengan dilantiknya dia pada November 2008 sebagai
pengurus DPP KNPI periode 2008-2011. Angie menjabat
sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan. Angie
kembali mencalonkan diri sebagai caleg untuk Pemilu 2009. Di
tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, kedekatan Angie
dengan Adjie tak luput dari sorotan publik. Setelah beberapa
kali ramai diberitakan di media massa, akhirnya hubungan
yang dijalin Angie bersama Adjie diresmikan dalam ikatan
pernikahan. Angie yang telah menjadi mualaf ini, pada akhir
2008 telah menikah dengan Adjie secara islami dan pada
tanggal 29 April 2009, mereka resmi menjadi suami istri di
hadapan Negara. Tepat pada Rabu, 9 September 2012, mereka
216
dikarunia putra pertama yang diberi nama Keanu Jabaar
Massaid. Kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama karena
pada tanggal 5 Februari 2011, Adji Massaid meninggal dunia.
Sepeninggalan suaminya, berbagai rumor tidak sedap
menghampiri Angie. Mulai dari kabar ‘turun ranjang’ dimana
Angie akan menikah dengan Mudji Massaid, adik ipar dari
mendiang suaminya Adjie Massaid, hingga kabar yang
sekarang ini memaksa Angie menjadi penghuni rumah tahanan
(Rutan) terkait kasus hukumnya.
Terseretnya Angelina Patricia Pingkan Sondakh atau
Angelina Sondakh atau Angie dalam kasus korupsi kasus
Wisma Atlet SEA Games Palembang dan Kemendikbud
berawal dari para tersangka yang terlebih dahulu ditangkap
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
- Kamis, 21 April 2011
KPK menangkap Direktur PT Duta Graha Indah
(DGI) yaitu Muhammad El Idrus dan seorang penghubung
bernama Mindo Rosalinda Manulang (Rosa). Mereka
ditangkap setelah menyerahkan uang suap dalam bentuk
tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar kepada Wafid
Muharam, Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga
(Seskemenpora), yang juga langsung ditangkap di
kantornya. Uang tersebut merupakan uang balas jasa dari
217
PT DGI karena telah memenangi tender proyek Wisma
Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Dalam
penangkapan itu, mobil Toyota Vellfire bernomor B-173-
GD dan mobil Honda CR-V bernomor B-2717-NT ikut
disita.
Kasus ini menyeret nama Muhammad Nazarudin,
mantan Bendahara Partai Demokrat yang menjadi atasan
Rosa. Nazarudin dan Rosa kemudian menyeret nama Angie
sebagai salah satu tersangka karena disebut menerima
sejumlah uang. Semua tersangka telah divonis kecuali
Angie. Rosa divonis 2 (dua) Tahun 6 (enam) Bulan dan
denda Rp 200 (Dua Ratus) Juta Rupiah, Muhammad El
Idris divonis dua tahun dan denda Rp 200 (Dua Ratus) Juta
Rupiah, Wafid Muharam dihukum tiga tahun dan denda Rp
150 (Seratus Lima Puluh) Juta Rupiah, serta Muhammad
Nazarudin dijatuhi hukuman empat tahun 10 bulan penjara
dan denda Rp 200 (Dua Ratus) Juta Rupiah.
Nazar dalam pengakuannya di persidangan
mengungkapkan bahwa Angie pernah mengaku menerima
sejumlah uang di depan Tim Pencari Fakta yang dibentuk
Partai Demokrat. Dalam rapat Tim Pencari Fakta yang
dihadiri Benny K. Harman, Jafar Hafsah, Edi Sitanggang,
Max Sopacua, Ruhut Sitompul, dan M. Nasir, Angie
218
menerima uang sebesar 9 (sembilan) Miliar Rupiah dari
Wafid Muharam, sebanyak Rp 8 (delapan) Miliar Rupiah
diserahkan ke Wakil Ketua Badan Anggaran (banggar)
DPR, Mirwan Amir. Selain Nazarudin, Rosa juga
memberikan kesaksian bahwa Angelina Sondakh telah
menerima uang darinya terkait pembangungan wisma Atlet
SEA Games di Palembang. PT Anak Negeri mengeluarkan
10 (sepuluh) Miliar Rupiah melalui Angie. Sebanyak 5
(lima) Miliar Rupiah untuk Angie, 5 (lima) Miliar Rupiah
sisanya tidak diketahui. Namun, diduga digunakan sebagai
‘pelicin’ ke Banggar DPR agar anggaran segera turun.
Sementara itu, mantan anak buah Nazarudin yang
merupakan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai,
Yulianis, membenarkan ucapan Rosa, yakni Angelina
Sondakh dan Wayan Koster, anggota Komisi X DPR dari
Fraksi PDI Perjuangan, mendapat 5 (lima) Miliar Rupiah.
- Rabu, 15 September 2011
Angelina Sondakh mendatangi kantor KPK. Tepat
pukul 09.40 WIB, Angie datang dengan menaiki mobil
Harier B 1230 SJD didampingi adik iparnya, Tjandra
Mudji Condrodiningrat (Mudji). Dia menjalani
pemeriksaan pertama terkait kasus Kemenpora. Saat itu,
Angie diperiksa selama delapan jam sebagai saksi dalam
219
kasus pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang
yang melibatkan tersangka Muhammad Nazarudin.
- Jumat, 3 februari 2012
Angelina Sondakh tidak diperbolehkan untuk
bepergian ke luar negeri hingga 3 Februari 2013.
Pencekalan ini terkait dengan penyebutan namanya oleh
para tersangka dan terdakwa kasus suap Kementrian
Pemuda dan Olahraga. Rencana Angie untuk umroh pun
akhirnya batal. KPK menetapkan Angie sebagai tersangka,
menjerat dengan Pasal 5, Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut berisi
ancaman pidana 1 tahun, 2 tahun dan 5 tahun serta denda
maksimal Rp 250.000.000 (Dua Ratus Lima Puluh Juta
Rupiah). Setelah resmi menjadi tersangka, Angie
diberhentikan dari jabatan sebagai Wakil Sekjen Partai
Demokrat.
- Rabu, 15 Februari 2012
Saat Angelina Sondakh menjadi saksi, dia mengaku
bahwa dirinya tidak memiliki BlackBerry, apalagi
menggunakannya untuk percakapan dengan tersangka lain,
Mindo Rosalina Manulang. Angie mengaku menggunakan
BlackBerry pada akhir 2010, sementara berdasarkan BAP
220
tercatat kalau Angie berkomunikasi BBM dengan Rosa
pada 15 Mei 2010.
- Jumat, 27 April 2012
Angie ditahan KPK dan dijebloskan dalam penjara
setelah menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka.
KPK menahan Angie di Rumah Tahanan Salemba Cabang
KPK di Kuningan, Jakarta Selatan, untuk masa 20 hari
setelah surat penahanan dikeluarkan. Alasan pehananan
Angie didasari adanya keterlibatan dalam dugaan suap
dalam pengurusan anggaran di Kementrian Pemuda dan
Olahraga serta di Kementrian Pendidikan Nasional
(sekarang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan)
2010/2011.
- Selasa, 1 Mei 2012
Sekitar pukul 14.18 WIB, Angie dibawa ke rumah
sakit didampingi oleh dua pengawal tahanan KPK karena
sinusitis yang dideritanya sejak kecil mendadak kambuh.
- Kamis, 3 Mei 2012
Angelina Sondakh menjalani pemeriksaan untuk
kedua kalinya di gedung KPK. Pemeriksaan ini
berlangsung kurang lebih lima jam.
221
- Jumat, 11 Mei 2012
Teuku Nasrullah, pengacara Angelina Sondakh,
mengungkapkan bahwa kliennya sakit cedera bahu yang
membutuhkan operasi untuk memulihkan kembali
kondisinya. Cidera berawa dari patah tulang yang pernah
dialami beberapa waktu yang lalu dan membutuhkan
perawatan lanjutan.
- Selasa, 15 Mei 2012
KPK memperpanjang masa penahanan terhadap
Angie selama 40 hari ke depan. Sebelumnya KPK
melakukan penahanan terhadap politikus Partai Demokrat
itu selam 20 hari. Penahanan sudah dilakukan sejak Jumat
(27/4) dan berakhir pada Rabu (16/5). Oleh karena itu,
KPK memutuskan memperpanjang masa penahanan
terhadap Angie untuk 40 hari dimulai pada Kamis (17/5)
hingga Minggu (25/6).
- Selasa, 29 Mei 2012
Angie diperiksa sejak pukul 10.00 WIB dan keluar
pukul 13.35 WIB dengan menerima kurang lebih 21
pertanyaan.
- Kamis, 11 Oktober 2012
Sidang dengan terdakwa Angelina Sondakh dalam
kasus dugaan korupsi penggiringan anggaran di
222
Kemenpora dan Kemendiknas kembali digelar di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Saksi yang
dihadirkan dalam sidang kali ini yaitu Rosa.
Rosa memberikan kesaksian yang mempertegas
bahwa di semua komisi DPR ada anggota dewan yang
menjadi bagian dari mafia anggaran. Mereka bertugas
menggiring anggaran agar sesuai pesanan perusahaan-
perusaahn yang ikut bermain. Penggiringan anggaran tidak
hanya pada Kemenpora dan Kemendiknas, namun juga
pada kementrian yang lain, seperti Kementrian Kesehatan,
Kementrian Agama, dan Kementrian Perhubungan. Rosa
juga mengungkapkan bahwa Angie pernah mengunjungi
Rosa di Tahanan Pondok Bambu, Desember 2011. Angie
tidak membantah. Di hadapan hakim, dia mengaku saat itu
mendatangi Rosa untuk mempertanyakan mengapa
namanya disebut dalam persidangan kasus suap wisma
atlet.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Angelina
Sondakh didakwa menerima sejumlah uang sebagai
pemberian atau janji dari Grup Permai. Pemberian tersebut
merupakan imbalan atau fee atas jasa Angie dalam
menggiring anggaran untuk proyek program pendidikan
tinggi di Kementrian Pendidikan Nasional serta program
223
pengadaan sarana prasarana olahraga Kementrian Pemuda
dan Olahraga. Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan
tim jaksa penuntut umum KPK di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 6 September 2012,
uang imbalan diterima Angie secara bertahap di sejumlah
tempat. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
1) Pada 12 Maret 2010, uang senilai Rp 70 (tujuh puluh
juta) Rupiah dikeluarkan dari kas Grup Permai untuk
mendukung Angie dalam pengurusan anggaran
Kemendiknas. Uang diambil oleh Clara, staf keuangan,
atas permintaan Rosa.
2) Pada 13 Maret 2010, sebesar 100.000 dolar AS
dikeluarkan dari kas Grup Permai yang diantarkan oleh
kurir Grup Permai bernama Rifangi untuk diserahkan
kepada Angie melalui Jefri selaku kurir penerima uang.
3) Pada 19 April 2010, Angie menerima uang sebesar Rp
2,5 miliar sebagai dukungan dalam rangka pengurusan
proyek universitas 2010. Pemberian uang tersebut
sebelumnya diawali komunikasi Angie dengan Rosa
melalui BBM tanggal 10 April 2010. Uang miliaran
rupiah dari Grup Permai tersebut dimasukkan ke dalam
kardus berwarna putih dan coklat lalu diantarkan staf
224
Grup Permai ke Mall Ambasador untuk diserahkan ke
Angie melalui Jefri.
4) Pada 3 Mei 2010, Grup Permai mengeluarkan uang dari
kas senilai Rp 2 miliar untuk Angie.
5) Pada 4 Mei 2010, sebesar Rp 3 miliar sebagai uang
dukungan untuk Angie dalam rangka keperluan APBN
2010 terkait anggaran universitas. Uang tersebut
diterima melalui Jefri selaku kurir yang telah
menunggu di daerah sekitar Senayan, Jakarta Selatan.
6) Pada 5 Mei 2010, dikeluarkan lagi uang dari kas Grup
Permai sebanyak dua kali, yakni Rp 2 miliar pada pagi
hari dan Rp 3 miliar pada sore hari. Pengeluaran kas
Grup Permai tersebut dalam rangka pengurusan proyek
Kemenpora 2010. Terkait proyek itu, Angie selaku
Ketua Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran
Komisi X dan anggota Komisi X, I Wayan Koster,
meminta uang Rp 5 miliar untuk kepengurusan
anggaran wisma atlet. Permintaan tersebut dipenuhi
Grup Permai. Pada pagi hari diantar uang Rp 2 miliar
dalam kardus printer ke ruangan Wayan Koster di lantai
6 Gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta. Sore
225
harinya, diantar ke ruangan kerja Wayan Koster, uang
senilai Rp 3 miliar yang dibungkus kardus rokok.
7) Pada 19 Juni 2010, Grup Permai kembali mengeluarkan
uang sebanyak dua kali, masing-masing sebesar
100.000 (Seratus ribu Dolar Amerika Serikat), sehingga
total berjumlah 200.000 (Dua ratus ribu Dolar Amerika
Serikat) sebagai pembayaran komitmen kepada Angie
terkait pengurusan anggaran Kemendiknas. Pemberian
uang dilakukan melalui Jefri di Restoran Paparon’s
Pizza.
8) Pada 2 September 2010, dikeluarkan uang dari kas
Grup Permai sebesar 150 ribu dolar AS untuk
pembayaran komitmen kepada Angie terkait
kepengurusan proyek universitas 2010. Uang tersebut
diserahkan ke Wayan Koster di Hotel Century, Jakarta,
atas permintaan Angie.
9) Pada 14 Oktober 2010, Grup Permai mencairkan dana
sebesar 300 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar AS
kepada Angie dan I Wayan Koster sebagai uang
dukungan untuk pembahasan anggaran Kemendiknas.
Uang tersebut diserahkan angie melalui kurir yang
bernama Alex.
226
10) Pada 17 Oktober 2010, Grup Permai mengeluarkan kas
sebesar 400 ribu dolar AS untuk Angie dan Wayan
Koster terkait proyek universitas 2010. Uang tersebut
dibungkus kertas kado dan diantarkan staf Grup Permai
ke ruangan Koster di lantai 6 Gedung DPR dan
diterima staf Koster.
11) Pada 26 Oktober 2010, kembali dikeluarkan uang
sebesar 500 ribu dolar AS untuk Angie dan Koster.
12) Pada 3 November 2010, sebesar 500 ribu dolar AS
dikeluarkan Grup Permai untuk diberikan kepada
Angie dan I Wayan Koster.
13) Pada 22 November 2010, dikeluarkan uang dari kas
Grup Permai sebesar Rp 10 juta untuk Angie yang
sebelumnya diawali komunikasi Angie dengan Rosa
dimana Angie meminta Rosa memberi sumbangan
korban letusan gunung Merapi, daerah pemilihan
Angie. Uang tersebut ditransfer melalui rekening staf
Angie yang bernama Lindina Wulandari.
b. Dakwaan Penuntut Umum
Pada persidangan tingkat pertama pada Perkara Nomor:
54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. Maka Jaksa Penuntut umum
227
memberikan tuntutan dalam sesuai Pasal 5 ayat (2) atau Pasal
11 atau Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 18 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat
(1) KUH Pidana. Di antara pasal-pasal alternatif itu, Pasal 12
huruf a memuat ancaman hukuman paling berat: penjara
paling singkat empat tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun ditambah denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling
banyak Rp 1 miliyar. Tanpa bisa menolak melainkan pasrah
dengan hukum yang menjeratnya, sebagaimana tuntutan
Kejaksaan Negeri menetapkan politisi dan anggota DPR dari
Partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka
sekaligus sebagai kasus Wisma Atlet SEA Games. Steleh
berdasarkan putusan Hakim persidangan pada tanggal 10
Januari 2013, yang menetapkan Angelina Sondakh dan
memutus perkaranya dengan vonis dari kasus suap wisma atlet
ini. dengan kriteria sebagai berikut:
1. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa berupa pidana
penjara 12 tahun dan denda Rp 500.000.000,- (Lima ratus
juta Rupiah);
2. Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti
sejumlah Rp. 12.580.000.000 (Dua belas Miliar lima ratus
delapan puluh juta Rupiah) dan USD 2.350.000 (Dua juta
tiga ratus lima puluh ribu Dolar Amerika Serikat)
228
3. Selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila uang
pengganti tersebut tidak dibayar maka dipidana dengan
pidana penjara selama 2 tahun penjara.
Kenyataan tersebut harus diterima Angelina dengan
vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menetapkan
sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana korupsi seperti diatur di Pasal 11
Undang-undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana penjara 4 tahun dan 6 bulan dan denda
Rp. 250.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar diganti pidana kurungan 6 bulan.
Kemudian karena belum menemukan keadilan bagi
Angelina maka dirinya mengajukan kembali ke Pengadilan
Tingkat Banding yang mana diajukan oleh Terdakwa yang
mana tuntutan itu divonis kembali oleh Pengadilan Tinggi
Jakarta Pusat dengan memperkuat putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Hingga ke tingkat kasasi Mahkamah Agung.
c. Pertimbangan Putusan Hakim
229
Memori Kasasi tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa Pemohon Kasasi II/Terdakwa dapat membuktikan
bahwa putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) jo putusan
Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah salah atau keliru dalam
memeriksa fakta-fakta hukum maupun bukti-bukti yuridis dan
dalam menerapkan hukum/peraturan perundang-undangan
serta lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut
Mahkamah Agung berpendapat :
1. Alasan ke-1: Bahwa alasan kasasi Terdakwa tidak dapat
dibenarkan, karena perbuatan Terdakwa yang secara aktif
melakukan upaya menggiring Anggaran Kemendiknas
agar Proyek-proyek Pembangunan dan Pengadaan dan
Nilai Anggarannya sesuai dengan permintaan Permai Grup
lalu Terdakwa mendapat uang Rp 12.580.000.000,00 (Dua
belas miliar lima ratus delapan puluh juta Rupiah) dan US
$ 2.350.000,00 (dua juta tiga ratus tiga puluh ribu Dollar
Amerika Serikat) merupakan tindak pidana Korupsi ;
2. Alasan-alasan ke-2 sampai dengan ke-4 : Bahwa alasan-
alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan-
alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan
230
semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada
tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan
suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak
diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-
Undang dan apakah Pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Undang-Undang No. 8 Tahun 1981);
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di
atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara
ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-
undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
II/Terdakwa tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa namun demikian salah seorang
Hakim Ad. Hoc Tipikor pada Mahkamah Agung/Pembaca
I (Prof. Dr. Mohammad Askin, SH) mempunyai pendapat
yang berbeda (dissenting opinion) tentang pidana
tambahan berupa uang pengganti, dengan pertimbangan
sebagai berikut :
a. Bahwa alasan Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tentang
231
jumlah uang yang diterima Terdakwa sejumlah Rp
12.580.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus delapan
puluh juta rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua juta tiga
ratus tiga puluh ribu Dollar Amerika Serikat) tidak
dapat dibenarkan oleh karena judex facti berdasarkan
penilaian hasil pembuktian serta penghargaan atas
kenyataan yang ada hanya menemukan sejumlah uang
yang diterima Terdakwa sebesar Rp2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah) dan USD
1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu Dollar Amerika
Serikat);
b. Bahwa penjatuhan hukuman tambahan berupa
pembayaran uang pengganti seperti yang dimohonkan
Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia tidak dapat dibenarkan, oleh
karena Judex Facti tidak salah mempertimbangkan
hukuman yang dijatuhkan;
c. Bahwa oleh karena itu Hakim Ad. Hoc Tipikor pada
Mahkamah Agung (Prof. Dr. Mohammad Askin, SH)
berpendapat permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
I/Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia dikabulkan dengan
membatalkan putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi)
232
yang telah menguatkan putusan judex facti (Pengadilan
Negeri) dengan menjatuhkan hukuman setimpal
dengan perbuatan Terdakwa karena terbukti melakukan
tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam
dakwaan Kesatu dengan pidana penjara 12 (dua belas)
tahun dan denda Rp 500.000.000,00 (Lima ratus juta
Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 8
(delapan) bulan, dengan uang pengganti conform judex
facti;
Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan
pendapat dalam Majelis dan telah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka
sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Majelis setelah
bermusyawarah dan diambil keputusan dengan suara
terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dengan
penjatuhan hukuman tambahan berupa pembayaran uang
pengganti;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan
kasasi dari Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
233
dikabulkan dan Pemohon Kasasi II/Terdakwa dinyatakan
bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada
semua tingkat peradilan dibebankan kepada Pemohon
Kasasi II/Terdakwa;
Memperhatikan Pasal 12 a jo Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64
ayat (1) KUHP, Undang-Undang No.48 Tahun 2009,
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 dan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004, dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan.
d. Putusan Hakim
Putusan Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 (Angelina Patricia Pingkan
Sondakh).
Mengadili:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
II/Terdakwa Angelina Patricia Pingkan Sondakh tersebut.
234
2. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I:
Penuntut Umum.
3. Pada Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi
Republik Indonesia tersebut.
4. Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat Nomor
11/PID,TPK/2013/PT.DKI. tanggal 22 Mei 2013 yang
telah menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 10 Januari
2013.
Mengadili Sendiri:
1. Menyatakan Terdakwa Angelina Patricia Pingkan Sondakh
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Korupsi Secara Berlanjut”;
2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana
kurungan selama 8 (delapan) bulan.
3. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp 12.580.000.000,00 (dua betas miliar
lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $
235
2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar
Amerika Serikat), dengan ketentuan jika Terpidana tidak
membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan
sesudah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan
dilelang untuk membayar uang pengganti dan dengan
ketentuan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta
yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut,
maka akan diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima)
tahun.
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
5. Menetapkan Terdakwa tetap dalam tahanan.
6. Menetapkan barang bukti.
e. Analisis Hukum
Memperlihatkan bahwa hasil putusan yang dikenakan
berdasarkan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 11
atau Pasal 12 huruf A seperti diatur dalam UU PTPK,
Angelina Sondakh hanya oleh Pengadilan Negeri memberikan
Vonis 4 tahun 6 bulan. Namun Mahkamah Agung melalui
majelis hakim Agung yang di pimpin Artidjo memperberat
236
hukuman Angelina Patricia Pingkan Sondakh menjadi 12
tahun penjara yang lebih berat dari sebelumnya.
Tindakan dari Mahkamah Agung melalui Hakim
Artidjo Alkostar, diapresiasikan dapat menghilangkan
kejahatan terhadap kerugian negara yang timbul dari prilaku
korupsi aparatur negara dengan memberi efek jera bagi pelaku
korupsi. Namun masa hukuman yang diperberat itu dianggap
merupakan keadilan dari sudut pandang kerugian negara dan
menjadi alasan penulis menilai keadilan yang dicapai hanya
sebagai keadilan dari sudut pandang spiritual justice, moral
justice dan social justice, tetapi belum secara tegas menyentuh
pada philosophy and legal justice yang sekiranya dapat
menjembatani penganut paham hukum doktrinal dan
nondoktrinal, sehingga penulis menambahkan satu solusi lagi
agar terwujud keadilan, secara filosofis tetap berpedoman
kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berisi mengenai
visi dan misi bangsa dan negara Indonesia, karena keadilan
yang dicita-citakan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di
samping bersifat relijius-sosialis, juga bersifat luhur, universal
dan jauh dari sifat sekuler-individualistis-materialistis.
Keduanya ini pun bisa sebagai perekat bangsa dan negara
237
Indonesia, yang saat ini sedang bercerai-berai terutama
kalangan atau penganut dua paham tersebut (doktrinal dan non
doktrinal). Karena Pancasila oleh kalangan ahli hukum
doktrinal di Indonesia diakui sebagai staats fundamental
norms, begitu pun dan Pembukaan UUD 1945 dianggap
sebagai sesuatu yang sakral keberadaannya, sehingga harus
mereka ikuti. Sedangkan dari pemikiran-pemikiran ahli hukum
non doktrinal di Indonesia, Pancasila maupun dan Pembukaan
UUD 1945 sudah sesuai dengan alur pikirnya atau konsep
yang selama ini dibangun.180
3.2.2.Kasus Penyalahgunaan Wewenang Dalam Proses Hukum
3.2.2.1. Proses Kasus Mantan Mentari Agama (Suryadharma Ali)181
a. Kasus Posisi
Suryadharma Ali Lahir di Jakarta 19 September 1956
yang berdomisili di alamat Jl. Raya Mandala VII No 2,
Menteng, Jakarta Selatan. Pada Tangga 22 Mei 2014 KPK
menetapkan mantan Menteri Agama R.I. Suryadharma Ali
sebagai tersangka. KPK juga mengeledah ruang kerja
Suryadharma Ali dan Dirjen Haji-Umrah, Anggita Abimanyu.180 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006. hlm. 22181 http://www.kompasiana.com/rezaazhar/selembar-potongan-kiswah-kpk-membawa-sda-
ke-penjara-eksepsi-sda-updated_55ed6a754ef9fdb3122b1fd6 dengan Topik: Selembar Potongan Kiswah Suryadharma Ali ke Penjara Eksapsi Suryadharma Ali tidak diterima, di akses tanggal 28 Januari 2016
238
Bermula terjadi pada Tahun 2013 kasus dugaan
korupsi dana haji di Kementerian Agama, bermula dari adanya
penyimpangan dalam perjalanan haji, Ketua PPATK
Muhammad Yusuf menyebut, sepanjang 2004-2012, ada dana
biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sebesar Rp 80
triliun dengan bunga sekitar Rp 2,3 triliun.
Hasil audit PPATK, ada transaksi mencurigakan
sebesar Rp 230 miliar yang tidak jelas penggunaannya. Ada
indikasi dana haji ditempatkan di suatu bank tanpa ada
standardisasi penempatan yang jelas. Kejadian ini oleh KPK
dijadikan temuan untuk dilakukan penyelidikan selama hampir
setahun. Namun, belum ada pihak-pihak yang diperiksa.
Hingga pada bulan Januari 2014, KPK mulai
melakukan penyelidikan atas dugaan penyimpangan dana haji
tahun anggaran 2012-2013 khususnya pengadaan barang dan
jasa. KPK juga menyelidiki biaya BPIH.
Pada tanggal 3 Februari 2014, KPK memeriksa
anggota Komisi VIII DPR, Hasrul Azwar Tanggal 6 Februari
2014 KPK juga meminta keterangan anggota Komisi VIII
Dewan Perwakilan Rakyat asal fraksi Partai Keadilan
Sejahtera, Jazuli Juwaini. Tanggal 19 Maret 2014 KPK
meminta keterangan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji
dan Umroh Kementerian Agama Anggito Abimanyu.
239
Selanjutnya tanggal 6 Mei 2014: KPK meminta
keterangan Menteri Agama Suryadharma Ali terkait
penyelidikan proyek pengadaan barang dan jasa dalam
penyelenggaraan haji. Selama sepuluh jam, Suryadharma, di
antaranya, dicecar soal pemondokan haji yang tak layak.
Tanggal 15 Mei 2014: Ketua KPK Abraham Samad
menyatakan bahwa dalam satu atau dua pekan ke depan KPK
akan menetapkan tersangka. Tanggal 16 Mei 2014, Capres
Prabowo Subianto sempat memuji Suryadharma Ali dengan
menyebut penyelenggaraan ibadah haji sangat baik. Kemudian
Tanggal 22 Mei 2014, KPK menggeledah ruang kerja
Suryadharma di lantai II Gedung Pusat Kementerian Agama di
Lapangan Banteng No. 3-4, Jakarta Pusat, selama sembilan
jam. Tanggal 22 Mei 2014, KPK menetapkan Suryadharma
sebagai tersangka berdasarkan bukti-bukti adanya
penyalahgunaan dana haji danOperasional menterisehingga
Ditjen Imigrasi Kemenkumham mencegah Suryadharma Ali
berpergian ke luar negeri selama enam bulan.
Hingga bulan November 2014, Suryadharma Ali masih
tetap diawasi oleh KPK hingga hari Senin, tanggal 21
September 2015, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) menolak nota keberatan atau eksepsi mantan
Menteri Agama Suryadharma Ali dalam perkara dugaan
240
korupsi Dalam Putusan Sela di Pengadilan Tipikor Jakarta,
yang amarnya:
1. “Ketua Majelis Hakim Aswijon saat Mengadili,
menyatakan eksepsi atau keberatan dari terdakwa
Suryadharma Ali dan penasihat hukum terdakwa tidak
dapat diterima,".
2. Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum KPK atas
nama terdakwa Suryadharma Ali adalah sah dan telah
memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf “a” dan “b”
KUHAP. Ketiga, memerintahkan penuntut umum untuk
melanjutkan pemeriksan pokok perkara."
Nota keberataan dakwaan dan nilai kerugian, perkara a
quo, Suryadharma didakwa memperkaya diri sendiri sejumlah
Rp 1,821 miliar dan memperoleh hadiah 1 lembar potongan
kain Ka'bah (kiswah).
Suryadharma juga dinyatakan merugikan keuangan
negara sejumlah Rp 27,283 miliar dan 17,967 juta riyal
(sekitar Rp 53,9 miliar), menurut laporan perhitungan kerugian
negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP).
Menurut jaksa, Suryadharma melakukan sejumlah
perbuatan yang melanggar hukum, yaitu:
241
1. Menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi
persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah
Haji (PPIH) Arab Saudi dan mengangkat Petugas
Pendamping Amirul Hajj tidak sesuai ketentuan.
Menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) tidak
sesuai dengan peruntukan.
2. Mengarahkan tim penyewaan Perumahan Jemaah Haji
Indonesia di Arab Saudi untuk menunjuk penyedia tempat
tinggal jemaah Indonesia tidak sesuai ketentuan, serta
memanfaatkan sisa kuota haji nasional tidak berdasarkan
prinsip keadilan dan proporsionalitas.
Dalam eksepsinya, Suryadharma membantah hal ini. Ia
beralasan bahwa kerugian negara yang didakwakan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada dirinya, sekitar Rp 53,9
miliar, hanya kebohongan belaka.
“Sebagai tersangka, saya terhempas," kata
Suryadharma. "Saya terhina. (dalam Pledoinya) yang
diajukannya Apalagi kerugian disebutkan saudara (Plt Wakil
Ketua KPK) Johan Budi lebih dari Rp 1 triliun Rupiah.
Bahkan ada yang mengatakan sampai Rp 1,8 triliun. Ternyata
kerugian keuangan negara yang disebutkan di atas bohong
belaka karena tidak sesuai dengan angka-angka yang
didakwakan penuntut umum KPK pada saya,” katanya.
242
“Ditambah lagi rekening bank milik saya, istri, anak,
mantu yang diblokir KPK untuk mencari aliran korupsi,
ternyata KPK tidak menemukan aliran dana yang dimaksud
satu rupiah pun, dan kemudian rekening-rekening tersebut
blokirnya dibuka kembali," kata Suryadharma lagi.
Namun hakim memiliki pendapat berbeda dalam hal
ini. Majelis hakim berpendapat nota keberatan atau eksepsi
dari terdakwa dan penasihat hukum terhadap surat dakwaan
penuntut umum tidak beralasan hukum untuk dikabulkan
sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Terkait perhitungan kerugian negara Rp 53,9 miliar,
majelis hakim menilai bahwa BPKP berwenang melakukan
audit kerugian negara, bukan hanya Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) saja.
Perhitungan kerugian negara juga dapat dilakukan oleh
ahli lainnya, seperti akuntan publik, demikian juga BPKP atas
permintaan dari penyidik.
“Bahkan, apabila penyidik dan penuntut umum
memiliki kemampuan untuk melakukan penghitungan, juga
dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat perbuatan
korupsi," kata Aswijon.
Apalagi, menurut hakim, ada putusan Mahkamah
Konstitusi pada 24 Oktober 2012 yang isinya menyatakan
243
bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPK
dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain,
bahkan bisa membuktikan sendiri, atau mengundang ahli
lainnya.
Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali bersikukuh
dirinya tidak diperkaya atau diuntungkan dalam
penyelenggaraan haji 2010-2013. Bahkan, dalam eksepsinya,
Suryadharma mempermasalahkan tindakan penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadikan sepotong
kiswah sebagai barang bukti untuk perkaranya.
Kiswah sendiri adalah kain penutup ka'bah yang biasa
diganti setiap tahun ketika jemaah haji berjalan ke Bukit
Arafah pada bulan Zulhijah. Dahulu, kiswah dianggap
berharga karena bertaburan emas dan permata. Suryadharma
berdalih kiswah yang diterimanya bisa jadi tidak asli dan
dijual toko kaki lima di Mekkah dan Madinah. Akan tetapi,
menurut penuntut umum KPK Abdul Basir, pengertian
"memperkaya" atau "menguntungkan" yang didapat dari
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak melulu diukur dengan
nilai uang, melainkan dapat dinilai dari sisi historis dan
religius. Oleh karena itu, Abdul menilai, tidak relevan jika
244
suatu benda hasil korupsi dimaknai semata-mata dengan nilai
uang. "Banyak benda mahal justru bernilai bukan dari nilai
intrinsiknya, tapi dari penilaian sisi lainnya, seperti faktor
historis dan religiusitas," katanya saat membacakan tanggapan
atas eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin Tanggal 14
September 2015. Dengan menganggap bahwa bantahan Surat
Dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut KPK adalah kabur
(obscuur libel), serta tidak disusun secara cermat, jelas, dan
lengkap. Menurutnya, walau dalam surat dakwaan terdapat
kesalahan ketik mengenai alamat terdakwa yang seharusnya Jl.
Jaya Mandala menjadi Jl. Mandala, tidak mengakibatkan
dakwaan menjadi kabur.
Begitu pula dengan tidak dicantumkannya titel Haji
dan gelar Suryadharma sebagaimana yang tercantum dalam
KTP. Dengan menilai bila tidak dicantumkannya titel Haji dan
gelar Suryadharma dalam surat dakwaan tidak menjadikan
dakwaan error in persona. Terlebih lagi, Pasal 143 KUHAP
hanya mengharuskan pencantuman nama lengkap terdakwa.
Mengenai uraian dakwaan yang dianggap penasihat
Suryadharma Ali tidak cermat, dan tidak lengkap, anggapan
Penasihat Hukum terdakwa menurut Jaksa dalam eksepsi dalil-
dalilnya tidak beralasan secara hukum. Sebab, penuntut umum
telah mencantumkan tempus dan locus delicti, serta
245
menguraikan perbuatan sesuai unsur-unsur pasal yang
didakwakan terhadap Suryadharma Ali.
Selain itu terkait materi eksepsi, seperti pihak-pihak
lain yang menerima sisa kuota haji, keikutsertaan Isteri
Suryadharma dalam rombongan haji yang telah mendapat
persetujuan tertulis dari Presiden, serta kiswah yang bisa jadi
tiruan karena banyak dijual di toko kaki lima di Mekah dan
Madinah, kemudian adanya materi-materi yang diajukan
Penasihat Hukum sebagai eksepsi oleh terdakwa Suryadharma
Ali tersebut, tidak masuk dalam lingkup materi eksepsi yang
diatur KUHAP, melainkan sudah masuk materi pembuktian
pokok perkara. Dengan demikian, Abdul meminta majelis
hakim yang dipimpin Aswidjon untuk menolak seluruh
eksepsi Suryadharma dan pengacaranya.
"Memohon kepada majelis menyatakan surat dakwaan
No.Dak-28/24/08/2015 tanggal 21 Agustus 2015 yang telah
kami bacakan pada tanggal 31 Agustus 2015 telah memenuhi
syarat sebagaimana ditentukan dalam KUHAP dan
menetapkan untuk melanjutkan persidangan ini berdasarkan
surat dakwaan penuntut umum," tuturnya.
Suryadharma merasa kecewa dengan tanggapan atas
eksepsi yang disampaikan penuntut umum. Selain karena
penuntut umum tidak menanggapi sejumlah materi eksepsi,
246
juga karena adanya perbedaan pandangan soal kiswah. Ia
berpendapat, sepotong kiswah tidak mempunyai nilai
ekonomis, melainkan hanya nilai agamis dan spiritual.
Selain itu, Suryadharma merasa tindakan KPK yang
menjadikan kiswah sebagai barang bukti dalam perkara
korupsi sebagai bentuk penistaan agama. Menurutnya,
penindakan hukum tidak seharusnya menistakan agama. Ia
menduga majelis hakim akan menolak eksepsinya karena
banyak materi eksepsi yang dinilai harus dibuktikan di
persidangan.
"Kalau menurut penuntut umum (kiswah) bisa
dijadikan barang bukti, bisa riskan penyelenggaraan hukum di
Indonesia. Artinya, doa untuk pejabat bisa disebut gratifikasi.
Hukum itu harus mempertimbangkan aspek sosiologis,
filosofis, adat istiadat, dan agama. Kalau agama tidak lagi jadi
pertimbangan, hapus saja Pancasila," tandasnya, adapun
benang merah Pledoi yang diberikan oleh Suryadharma Ali
adalah sebagai berikut:
Perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan kawan
peserta lainnya tersebut telah memperkaya terdakwa sejumlah
Rp. 1.821.698.840. (satu miliar delapan ratus dua puluh satu
juta enam ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus
empat puluh Rupiah) dan 1 (satu) lembar potongan Kiswah.
247
Bahwa Akibat Perbuatan Terdakwa telah merugikan
keuangan Negara sejumlah Rp. 27.283.090.068,02 (dua puluh
tujuh miliar dua ratus delapan puluh tiga juta sembilan puluh
ribu enam puluh delapan Rupiah dan dua sen) dan SR.
17.967.405.00 (tujuh belas juta sembilan ratus enam puluh
tujuh ribu empat ratus lima Riyal Saudi) atau setidak-tidaknya
sejumlah itu sebagaimana Laporan Perhitungan Kerugian
Negara dari Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan
Pembangunan Nomor SR-549/D6/I/2015 tanggal 5 Agustus
2015 (BPK Nomor SR-550/D6/I/2015 tanggal 5 Agustus
2015). Surat BPKP tentang Kerugian Negara pada tanggal 5
Agustus 2015 telah memberikan gambaran yang lebih jelas,
bahwa ketika Saya ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal
22 Mei 2014 belum ada alat bukti Kerugian Negara oleh
lembaga yang berwenang untuk itu. Jadi benar apa yang
dikatakan oleh Taufiqurrahman Ruki bahwa KPK yang
sekarang menetapkan tersangkanya dulu lalu kemudian alat
buktinya dicari-cari.
Alat bukti menurutnya telah ditemukan dan SDA sudah
layak diadili. Yang Mulia Majelis Hakim Disejumlah halaman
dakwaan Penuntut Umum KPK menyebutkan: “… untuk dapat
menunaikan ibadah haji gratis dengan menjadi petugas PPIH
Arab Saudi” Apakah yang dimaksud dengan “dapat
248
menunaikan ibadah haji gratis dengan menjadi petugas PPIH
Arab Saudi”? Saya mengartikannya dengan 2 (dua)
pengertian. Orang tersebut menjadi petugas haji tapi tidak
melaksanakan tugas-tugasnya, kecuali untuk menunaikan
ibadah haji dan umrah. Bila ini yang dimaksud Penuntut
Umum KPK, Saya tidak percaya ada petugas seperti itu,
kecuali Penuntut Umum bisa menunjukkan bukti-buktinya
bahwa mereka tidak bekerja sebagai petugas kecuali hanya
untuk berhaji saja. Orang tersebut menjadi petugas,
melaksanakan tugas-tugasnya lalu melaksanakan Haji dan
umrah. Bila itu yang dimaksud Penuntut Umum KPK, sangat
benar, semua petugas, panitia, dokter, perawat, keamanan,
sopir dan lain-lain termasuk Saya sebagai Amirul Hajj dan
anggota Amirul Hajj Melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh.
Siapapun yang datang ke Tanah Suci, bertugas untuk
keperluan apapun, bila ia beriman pasti dia melaksanakan Haji
dan Umrah, bila ia datang di luar waktu Haji, pasti ia
melaksanakan Umrah dan melakukan ziarah ke makam
Rasulullah SAW di Masjid Nabawi Madinah. Umroh ini
dilakukan juga oleh Penyidik KPK yang bernama Sdr. Edi
Wahyu Susilo dan Sugianto, ketika keduanya bertugas
menyelidiki Haji di tanah Suci. Hal ini mereka ungkapkan
pada Sidang praperadilan tentang kasus Suryadharma Ali.
249
Dan juga didakwa memberangkatkan istri dan orang-
orang dekat Saya untuk menunaikan ibadah haji secara gratis
pada bulan September 2012 dengan memerintahkan Sdr.
Saefudin a. Syafi’i untuk membentuk rombongan pendamping
Amirul Hajj yang beranggotakan Sdri. Wardatul Asriah, Sdri.
Ermalena, Sdr. Guritno Kusumo Dono, Sdr. Saefudin a.
Syafi’i, Sdr. Abdul Wadud k. Anwar, Sdr. Ivan Adhitira dan
Sdr. Hendri Amri M. Saud meskipun dalam komposisi petugas
Amirul Hajj tidak terdapat alokasi anggaran untuk petugas
pendamping Amirul Hajj. Yang Mulia dakwaan tersebut dapat
Saya jelaskan sebagai berikut: Terdakwa tidak pernah
memerintahkan Saefuddin A. Syafi’i membentuk rombongan
pendamping Amirul Hajj. Sdr. Saefuddin A. Syafi’i tidak
memiliki kewenangan untuk membentuk rombongan Amirul
Hajj dimakud. Yang disebut anggota Rombongan Amirul Hajj:
Wardatul Asriah, Istri Saya, yang kebetulan suaminya seorang
Menteri Agama, amat sangat lazim bila mendampingi
suaminya bertugas kemana saja, apalagi keberangkatan istri
Saya ke Tanah Suci mendapatkan izin tertulis dari Presiden RI
melalui Surat Menteri Sekertaris Negara yang ditandatangani
oleh Sudi Silalahi. Ermalena dan Sdr. Guritno Kusumo Dono
adalah staf khusus menteri Agama yang bertugas memantau
pelaksanaan teknis penyelenggaraan Ibadah haji.
250
SAEFUDDIN A. SYAFII adalah Kepala Bagian Tata Usaha
Menteri Agama merangkap Interpreter Saya dalam Bahasa
Inggris. ABDUL WADUD K. ANWAR adalah Interpretur
Saya dalam bahasa Arab. IVAN ADHITIRA adalah anggota
kepolisian yang merupakan Ajudan Saya. HENDRI AMRI M.
SAUD adalah juga Anggota kepolisian yang merupakan
Pengawal Saya. Keberangkatan mereka bukan untuk berhaji
gratis tapi untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai bidangnya.
Tidak terdapat alokasi Petugas Pendamping Amirul Hajj.
Bahwa betul tidak ada, penamaan seperti itu adalah kesalahan
administratif yang mereka lakukan. Apakah
tanggungjawabnya pantas dilemparkan ke Menteri selaku
pengguna Anggaran yang telah dikuasakan kepada Dirjend
PHU? Tidak ada alokasi anggaran untuk petugas pendamping
Amirul Hajj. Saya tidak tahu tentang hal itu. Semua yang
mengatur perjalanan Menteri Agama RI dan pembiayaannya
adalah tanggungjawab Sdr. SAEFUDDIN A. SYAFII. Dia
tidak boleh mempergunakan yang tidak dialokasikan. Saya
selaku Menteri memiliki anggaran perjalanan dinas sendiri
yang semestinya bisa dipergunakan. Yang Mulia, orang-orang
yang disebuut pada huruf a, c, d, e dan f secara protokoler
adalah orang-orang yang melekat pada menteri baik pada hari
kerja maupun pada hari libur, kecuali Menteri menghendaki
251
lain. Hal ini juga tidak tepat bila orang-orang yang disebut
pada poin a, b, c, d, e dan f telah mengakibatkan kerugian.
Mereka memang harus mendapat bayaran sesuai dengan
ketentuan. Yang Mulia, Saya juga didakwa
menggelembungkan harga-harga, merugikan Negara,
menguntungkan orang lain dan korporasi. Dalam hal
menggelembungkan harga, Menteri tidak memverifikasi
perusahaan-perusahaan penyedia pemondokan, catering dan
lain-lain, tidak melakukan negosiasi harga, tidak memutuskan
harga, tidak menandatangani kontrak-kontrak. Semua itu
dilakukan Ketua dan Anggota Tim Pemondokan, Ketua dan
Anggota Tim Catering dan lain-lain. Lalu apabila ada
penggelembungan harga, Terdakwa memberikan bantahan
yang menjadi tanggungjawabnya. Disisi lain harus diketahui
juga Yang Mulia, bahwa setiap Sen pengeluaran untuk Biaya
Penyelenggaraan Haji harus mendapat persetujuan Komisi
VIII DPR-RI dan Pemerintah. Jadi siapapun tidak bisa
seenaknya menetapkan harga di luar batas harga rata-rata yang
telah di tetapkan itu. Disebutkan juga ada kemahalan harga di
sini sekian, di sana sekian. Hal itu tidak ada kaitannya dengan
Saya selaku Menteri dan juga atas dasar apa mengukur
kemahalan harga itu? Pemerintah Indonesia memerlukan lebih
dari 320 (tiga ratus dua puluh) perumahan bertingkat, setingkat
252
apartemen atau hotel bintang 3 (tiga). Harga sewa perjamaah
pasti bervariasi dan mustahil bisa sama rata harganya,
walalupun perumahan yang disewa itu berdampingan. Sebagai
gambaran, hotel bintang 5 (lima) dan bintang 3 (tiga) di
Jakarta pasti mereka punya pricing policy sendiri. Jadi apabila
ada perbedaan harga sangat tidak tepat bila disebut ada
penggelembungan harga. Yang Mulia, Saya juga didakwa
bahwa atas dasar persetujuan Saya orang-orang yang
mendapat sisa kuota tanpa antrian telah merugikan keuangan
Negara. Hal tersebut juga tidak benar, karena seluruh
Akomodasi pemondokan catering, tenda, transportasi telah di
kontrak dan dibayar untuk kapasitas 194.000 (seratus sembilan
puluh empat ribu) jamaah haji. Jadi apabila ada penggeluaran
uang tambahan oleh KPA dan atau PPK di luar yang
diputuskan Komisi VIII DPR-RI dan Pemerintah, patut di
tenggarai adanya dugaan penyimpangan penggunaan anggaran
oleh KPA atau PPK atau ketua dan anggota tim atau gabungan
diantara mereka. Yang Mulia Majelis Hakim, Berkaitan
dengan dugaan korupsi yang menguntungkan orang lain atau
korporasi dari sisi dugaan korupsi dana haji, telah saya
jelaskan. Dan dugaan korupsi DOM juga telah saya jelaskan.
Dari sisi dugaan korupsi haji yang menguntungkan diri saya,
menurut Penuntut Umum KPK adalah 1 (satu) Lembar
253
Potongan Kiswah. (Dikutip dari Buku karangan Prof. Dr. Ali
HUsni al-Kharbuthli yang berjudul “Sejarah Ka’bah Kisah
Rumah Suci yang Tak Lapuk Dimakan Zaman”, Cetakan ke-
II, Jakarta : Turos Khazanah Pustaka Islam, 2013 pada
halaman 309 s.d. 311.)
Pengakuan Terdakwa tidak pernah dikonfirmasi
apakah kiswah itu dari seseorang atau dari pemberian siapa.
Untuk memuluskan maksudnya sebagai penyedia pemondokan
dan atau katering. Kiswah itu juga tidak memiliki Nilai
Ekonomis yang dapat memperkaya diri Saya. Kiswah tersebut
hanya memiliki nilai agamis spritual. Tragis, dengan selembar
Potongan Kiswah, KPK menjebloskan saya ke penjara. Saya
dituduh mempergunakan Dana Operasional Menteri (DOM)
secara melawan Hukum sebesar Rp 1.821.698.840,- (Satu
miliar delapan ratus dua puluh satu juta enam ratus sembilan
puluh delapan ribu delapan ratus empat puluh Rupiah) angka
itu sangat bisa dijelaskan duduk persoalan yang sebenarnya.
Bahwa uang itu berada dalam penguasaan Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA), tidak ada pada Menteri selaku Pengguna
Anggaran (PA). Teknis penggunaan uang tersebut sepenuhnya
berada ditangan dan tanggungjawab Kuasa Pengguna
Anggaran. Saya selaku yang dituduh mengunakan DOM
tersebut tidak pernah dikonfirmasi dalam penyidikan KPK
254
tanggal 14 Juli 2015 oleh penyidik Rufriyanto Maulana Yusuf.
Saya hanya ditunjukkan Buku Kas DOM Tahun 2011-2014,
dan ketika Saya tanya pada bagian mana dari catatan buku kas
tersebut yang merupakan pelanggaran hukum, Penyidik tidak
bisa menunjukkan. Penuntut Umum KPK dalam dakwaannya
kurang jelas. Jumlah rupiah digabungkan antara satu kejadian
ke kejadian yang lain, tidak seperti dalam penyidikan yang
oleh Penyidik dilihatkan satu persatu secara terperinci dan
dimaksudkan dalam BAP tanggal 14 juli 2015. Akibat itu Saya
mengalami kesulitan untuk menjelaskan secara terperinci atas
angka-angka DOM yang digabungkan oleh Penuntut Umum
KPK. Namun demikian, Saya tetap akan memberikan
bantahan dakwaan Penuntut Umum KPK sebagai berikut:
Membayar pengobatan anak Terdakwa sejumlah 12.435.000,-
(dua belas juta empat ratus tiga puluh lima ribu rupiah).
Terdakwa dalam Pledionya dahulu menjabat sebagai
Menteri Agama mengaku memperoleh asuransi kesehatan
VVIP dan istri Saya sebagai Anggota DPR RI juga memiliki
kartu asuransi VVIP, jadi tidak masuk akal bila Saya minta
dibayarkan biaya pengobatan anak Saya pakai uang DOM.
Membayar biaya pengurusan visa, membeli tiket pesawat,
pelayanan di bandara, transportasi dan akomodasi untuk
Terdakwa dan akomodasi untuk Terdakwa, keluarga dan
255
ajudan Terdakwa ke Australia, diantaranya untuk mengunjungi
anak Terdakwa yakni Sherlita Nabila yang sedang menempuh
pendidikan di Australia sejumlah Rp. 226.833.050,00 (dua
ratus dua puluh enam juta delapan ratus tiga puluh tiga ribu
lima puluh rupiah); Saya tidak pernah pergunakan uang DOM
untuk keperluan biaya liburan Saya dan Keluarga di dalam
maupun di luar negeri. Bukankah KPK telah menyita dan
Penuntut Umum KPK telah mengetahui dokumen pembayaran
tiket oleh Saya untuk keluarga Saya pada saat pergi haji yang
oleh media di gembar-gemborkan pakai uang Negara. Bila
Saya punya watak mengunakan uang DOM untuk biaya tiket
dan liburan Saya beserta kelurga, maka itu akan Saya lakukan
pada setiap perjalanan liburan Saya di dalam maupun luar
Negeri. Membayar transportasi dan akomodasi Terdakwa,
keluarga dan ajudan Terdakwa dalam rangka liburan dan
kepentingan lainnya di Singapura sejumlah Rp 95.375.830,00
(Sembilan puluh lima juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu
delapan ratus tiga puluh Rupiah).
Terdakwa mengakui tidak pernah pergunakan uang
DOM untuk liburan ke Singapura, Saya juga tidak pernah
meminta uang DOM untuk pembiayaan apapun di Singapura.
Saya menduga uang itu dititipkan oleh Sdr. Saefudin kepada
Ajudan, Saya tidak pakai, lalu dikembalikan ke Sdr. Saefudin,
256
namun Sdr. Saefudin tetap menulisnya sebagai uang yang
dipergunakan oleh Menteri. Diberikan kepada saudara
kandung Terdakwa bernama Titin Maryati sejumlah
Rp.13.110.000,00 (tiga belas juta seratus sepuluh ribu
Rupiah); Uang itu berasal dari uang Saya, bukan dari uang
DOM. Membayar visa, transportasi dan akomodasi, serta uang
saku Terdakwa bersama istri Terdakwa bernama Wardatul
Asriyah, anak Terdakwa bernama Kartika dan Rendika, serta
sekertaris/staf pribadi isteri terdakwa yakni Mulyanah Acim
dalam rangka pengobatan Terdakwa ke Jerman sejumlah Rp.
86.730.250,00 (delapan puluh enam juta tujuh ratus tiga puluh
ribu dua ratus lima puluh Rupiah); Dakwaan tersebut tidak
benar, Kartika dan Rendika hingga kini belum pernah pergi ke
Jerman. Sangat naïf bila untuk segala macam pembiayaan di
Jerman hanya Rp. 86.730.250. Sdr. Saefudin dan Sdr. Abdul
Wadut pada waktu itu ikut ke jerman mendampingi Saya. Saya
menduga Sdr. Saefudin menggunakan uang itu untuk
keperluan pribadinya selama di Jerman dan di catatnya dalam
pembukuan sebagai pengeluaran yang digunakan oleh Saya.
Sekali lagi, Sangat naïf Yang Mulia. Dipakai biaya tes
kesehatan dan membeli alat tes narkoba untuk isteri, anak dan
menantu Terdakwa dalam rangka pemilihan anggota legislatif
sejumlah Rp.1.995.000,00 (satu juta sembilan ratus sembilan
257
puluh lima ribu Rupiah); Tidak benar, Istri Saya bayar sendiri
melalui ajudannya. Dipergunakan untuk membayar pajak
pribadi Terdakwa Tahun 2011, langganan TV kabel, Internet,
biaya perpanjangan STNK Mercedes Benz, pengurusan paspor
cucu Terdakwa, diberikan kolega Terdakwa dan untuk
kepentingan Terdakwa lainnya yang seluruhnya sejumlah Rp
936.658.658,00 (Sembilan ratus tiga puluh enam juta enam
ratus lima puluh delapan ribu enam ratus delapan puluh lima
rupiah).
Biaya langganan TV Kabel dan internet adalah untuk
di Rumah Dinas Menteri. Biaya perpanjangan STNK
Mercedesz Benz Saya bayar sendiri, sedangkan untuk
pengurusan paspor cucu dananya di berikan kepada yang
mengurus dan dana itu tidak dari DOM. Penggabungan angka
tersebut mengakibatkan dakwaan tersebut kurang jelas dan
Saya mengalami kesulitan untuk menjelaskan. Saya mohon
dakwaan ini diperjelas. Digunakan untuk membayar biaya
pengurusan visa, membeli tiket pesawat, pelayanan di bandara,
transportasi dan akomodasi untuk Terdakwa, keluarga
Terdakwa ke Inggris sejumlah Rp 51.976.025,00 (lima puluh
satu juta sembilan ratus tujuh puluh enam ribu dua puluh lima
rupiah). Saya bersama keluarga pergi ke Inggris, terdiri dari
istri, 3 (tiga) orang anak, ajudan istri, Sdr. Saefudin dan Sdr.
258
Abdul Wadud. Masuk akalkah uang sebesar itu Saya
pergunakan untuk biaya visa, membeli tiket pesawat,
pelayanan di Bandara, transportasi dan akomodasi Saya dan
keluarga ke Inggris.
Ikut mendampingi Saya pada waktu itu adalah Sdr.
Saefudin dan Sdr. Abdul Wadud. Saya menduga uang itu
dipergunakan untuk kepentingan mereka berdua, lalu dicatat
sebagai DOM yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi
menteri. Bahwa selain itu Terdakwa juga menggunakan DOM
untuk diberikan kepada pihak lain yang tidak sesuai dengan
ketentuan penggunaan DOM, diantaranya untuk Tunjangan
Hari Raya (THR), sumbangan kepada kolega, staf dan pihak
lainnya sejumlah Rp.395.685.000,00 (tiga ratus Sembilan
puluh lima juta enam ratus delapan puluh lima ribu Rupiah).
Hal itu sama sekali tidak menyalahi aturan karena memang
untuk kelancaran tugas-tugas menteri. Saya tidak pernah
membaca surat yang menjabarkan, yang memberi batasan atau
kriteria atas Peraturan Menteri Keuangan No. 3/PMK.06/2006,
tentang Dana Operasional Menteri/Pejabat Setingkat Menteri.
Yang Mulia, penilaian Penuntut Umum KPK tentang adanya
kerugian negara dalam penggunaan DOM adalah merupakan
penilaian subyektif tanpa landasan hukum, yang apabila hal ini
diterapkan maka semua Menteri SBY akan bersalah dan
259
didakwa korupsi. Dakwaan Penuntut Umm tentang
penyalahgunaan DOM oleh Saya terasa sangat aneh. Mengapa
Penuntut Umum tidak melihat kejanggalan Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) yang membiarkan Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) setelah pencairan Rp.100.000.000 (seratus
juta rupiah) per bulan menyerahkan uang itu kepada Sdr.
Seafuddin A. Syafii selaku Kabag Tata Usaha pimpinan dan
Sdr. Amir Jafar selaku Kasubag Tata Usaha dan pengelolaan
secara teknis oleh Sdr. Rosandi tanpa prosedur tata cara
penggunaannya. Apakah KPA melakukan hal yang sama pada
jenis anggaran yang lainnya, Kriminalisasi Penggunaan DOM
inilah yang menjadi kekhawatiran Pemerintahan Presiden Joko
Widodo. Akibatnya Menteri Keuangan Bambang
Brodjonegoro telah mengganti Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 20/PMK.06/2006 Tentang Dana Operasional
Menteri/Pejabat Setingkat Menteri dengan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.05/2014
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Dana Operasional
menteri atau Pimpinan Lembaga. Pada PMK baru tersebut
ditentukan sebesar 80% (delapan puluh persen) diberikan
secara Lumpsum kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga dan
20% (dua puluh persen) untuk dukungan operasional lainnya.
Paparan diatas, jelas menunjukkan bahwa dakwaan korupsi
260
menyalahgunaan DOM ini sangat lemah dan dipaksakan,
karena itu Yang Mulia Saya mohon Dakwaan ini ditolak.
Majelis Hakim yang Mulia, dengan segala hormat,
Saya menyayangkan Penuntut Umum KPK dalam
dakwaannya tidak menyinggung sama sekali apalagi
mempertimbangkan tugas, fungsi dan wewenang Menteri
sebagai Pengguna Anggaran (PA), Dirjend PHU sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Direktur sebagai Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) dan para Ketua dan Anggota Tim
sebagai pelaksana yang paling teknis yang berhubungan
langsung dengan rekanan. Menteri bagaikan keranjang sampah
yang menampung seluruh kesalahan, kekeliruan dan
penyimpangan mereka. Yang Mulia ini tidak adil,
Penuntut Umum Mohon Dakwaan Ini Ditolak. Yang
Mulia Majelis Hakim dan yang Terhormat Penuntut Umum
KPK, demikianlah Eksepsi / Nota Keberatan yang saya
sampaikan. Penyampaian Nota Keberatan ini tidak ada
maksud sebesar zarahpun untuk menyalahkan apalagi
mengalahkan Dakwaan Penuntut Umum KPK, kecuali hanya
menyampaikan kebenaran ayat suci Al-Quran : yang artinya
“Karena Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan
kebaikan”. Yang Mulia Majelis Hakim, bisa jadi penyidik
KPK menerima kesaksian dan informasi yang tidak baik,
261
seperti yang Saya jelaskan diatas, tetapi karena tidak ada
aturan untuk menghentikan perkara, kemudian perkara ini
dipaksakan dan dilimpahkan kepada Penuntut Umum KPK
untuk selanjutnya diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Penyampaian Nota Keberatan ini juga tidak ada maksud walau
sebesar zarahpun untuk mengajari Majelis Hakim Yang Mulia,
karena Majelis Hakim Yang Mulia jauh lebih mengerti dan
jauh lebih memahami persoalan hukum dibanding saya. Saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam
menyampaikan Nota Keberatan ini ada kalimat-kalimat yang
membuat Majelis Hakim Yang Mulia dan yang terhormat
Penuntut Umum KPK tidak berkenan dan tidak nyaman.
Kasus ini membuat saya dan keluarga tertekan lahir batin,
karenanya bisa jadi saya kehilangan kecermatan untuk
memilih kata, menyusun kalimat yang santun dan bijak, untuk
itu saya mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim dan yang
terhormat Penuntut Umum KPK agar dapat memaafkan saya.
Yang Mulia Majelis Hakim; dan Yang Terhormat Penuntut
Umum KPK Kita adalah bangsa yang berketuhanan Yang
maha Esa, Kita beriman bahwa Tuhan itu ada. Kita juga
beriman bahwa Tuhan, Allah SWT pencipta langit dan bumi
dengan segala isinya. Diantara yang diciptakannya adalah
makhluk yang disebut malaikat, syaitan dan manusia.
262
Ketiganya adalah species yang berbeda dengan karakter yang
berebeda pula. Malaikat diciptakan Allah SWT dari sinar dan
perbuatannya selalu baik dan benar, tidak pernah salah.
Syaitan diciptakan Allah SWT dari api yang perbuatannya
selalu salah tidak pernah benar, lalu Allah SWT menjadikan
Syaitan sebagai mahkluk yang terkutuk. Sedangkan manusia
di ciptakan Allah SWT dari saripati tanah dan setetes air mani.
Sifat dan karakter manusia diantara keduanya, malaikat dan
syaitan, yaitu dapat berbuat baik dan dapat pula berbuat salah.
Karena itu manusia disebut juga sebagai makhluk yang tidak
luput dari perbuatan buruk dan dosa. Yang Mulia Majelis
Hakim; dan Yang Terhormat Penuntut Umum KPK Saya
menyadari sepenuhnya bahwa Saya adalah manusia biasa
bukanlah malaikat yang pekerjaannya benar semua tidak
pernah ada yang salah. Karena itu Saya juga berkeyakinan
bahwa tidak ada lembaga yang steril dari salah, yang
pandangan dan perbuatannya benar semua tidak pernah salah,
sepanjang lembaga itu diisi dan dikelola manusia. Demikian
halnya dengan lembaga yang disebut dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi dan lembaga-lembaga lainnya yang
ada di muka bumi ini, pasti tidak luput dari salah dan khilaf.
Atas dasar itu sebelum pengadilan Allah Yang Maha Adil dan
Maha Agung berlangsung di yaumil akhir nanti, Saya mohon
263
dengan segala hormat dan kerendahan hati, agar sidang
pengadilan Yang Mulia pimpin ini dapat melihat perkara
Terdakwa dengan sejernih-jernihnya dan seadil-adilnya. Dan
tetap berpegang teguh pada pandangan bahwa penolakan atas
dakwaan Penuntut Umum KPK adalah keputusan yang arif
bijaksana yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan yang
tidak menyalahkan siapapun dan lembaga manapun. Kepada
Allah SWT Saya berserah diri, kepada Allah SWT Saya
mohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, kepada
Allah SWT Yang Maha Mengetahui isi hati dan pikiran yang
tersembunyi Saya mengadu dan mohon keadilan, kepada Allah
SWT yang tidak pernah ngantuk dan tidur saya mohon
ampunan dan hanya kepada Allah SWT-lah kelak kita akan
kembali dan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan
segala perbuatan kepada Allah SWT.
Setelah membaca dan menimbang adanya pledoi dan
keberatan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum KPK maka
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Majelis hakim
pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akhirnya “Menolak
nota keberatan (eksepsi) yang diajukan mantan Menteri
Agama Suryadharma Ali dan pengacaranya dalam perkara
dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Agama
sepanjang 2010-2014”.
264
"Mengadili, menyatakan eksepsi atau keberatan dari
terdakwa Suryadharma Ali dan penasihat hukum terdakwa
tidak dapat diterima. Ke dua menyatakan surat dakwaan
Penuntut Umum KPK atas nama terdakwa Suryadharma Ali
adalah sah dan telah meemnuhi ketentuan pasal 143 ayat 2
huruf a dan b KUHAP. Ke tiga, memerintahkan penuntut
umum untuk melanjutkan pemeriksan pokok perkara," kata
ketua majelis hakim Aswijon saat membacakan putusan sela di
pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/9).
Sebelumnya pada 7 September lalu Suryadharma Ali
sudah mengajukan nota keberatan yang antara lain
menyatakan bahwa ia sama sekali tidak melakukan tindakan
melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara
maupun menggunakan uang negara untuk keuntungan
pribadinya.
Namun hakim berpendapat lain. Suryadharma Ali
dalam eksepsinya beralasan bawa kerugian negara yang
didakwakan KPK kepada dirinya yaitu sekitar Rp 53,9 miliar
hanya kebohongan belaka. Terkait penghitungan kerugian
negara tersebut, majelis hakim menilai bahwa penghitungan
kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan.
265
Apalagi menurut hakim berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi pada 24 Oktober 2012 yang
membenarkan KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan
BPK dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana
Korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi
lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar instansi BPK
dan BPKP, atau mengundang ahli lainnya.
Dalam perkara tersebut, Suryadharma Ali didakwa
memperkaya diri sendiri sejumlah Rp 1.821.698.840,- (Satu
miliar delapan ratus dua puluh satu juta enam ratus sembilan
puluh delapan ribu delapan ratus empat puluh Rupiah) dan
memperoleh hadiah 1 lembar potongan kain Kabah (kiswah)
serta merugikan keuangan negara sejumlah Rp 27,283 miliar
dan 17,967 juta riyal (sekitar Rp 53,9 miliar) atau setidak-
tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana laporan perhitungan
kerugian Negara dari Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan.
Pertimbangan Majelis menjatuhkan Hukuman adalah
karena Tindak Pidana itu (bermodus operandi) dilakukan
dengan menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi
persyaratan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji
di Arab Saudi yang memanfaatkan sisa kuota haji nasional
tidak berdasarkan prinsip keadilan. Perbuatan Suryadharma
266
Ali yang dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang
lain antara lain memberangkatkan 1.771 anggota jemaah haji
yang tidak sesuai urutan, 180 petugas panitia penyelenggara
ibadah haji, tujuh pendamping Amirul Hajj yang dia tunjuk tak
sesuai dengan ketentuan dan sejumlah korporasi penyedia
akomodasi di Arab Saudi.
Selain itu, Suryadharma Ali dianggap melakukan
perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dalam penggunaan Dana Operasional Menteri pad
tahun 2011 hingga tahun 2014. Uang itu justru digunakan
untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, termasuk
melancong ke negara lain dan berobat, alih-alih untuk
menunjang pekerjaan.
Akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan Putusan kepada
Suryadharma Ali, dengan sanksi pidana selama enam tahun
hukuman penjara dan denda Rp 300.000.000,- (Tiga ratus juta
Rupiah) subsider selama tiga bulan. Pejabat Partai Persatuan
Pembangunan ini juga diminta membayar uang pengganti
kerugian negara untuk membayar uang pengganti sebesar Rp
1.821.698.840,- (Satu miliar delapan ratus dua puluh satu juta
enam ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus empat
puluh Rupiah). Jika dia tidak dapat membayarnya, maka harta
267
bendanya akan disita senilai dengan yang dibebankan. Apabila
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka diganti
pidana kurungan selama 2 tahun.
b. Analisis Hukum
Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa mantan
Menteri Agama Republik Indonesia yaitu Suryadharma Ali
dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan
Pendanaan Ibadah Haji dan penyalahgunaan Dana Operasional
Menteri dalam Perkara No. 93/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst
yang dalam pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta, dilaksanakan pada hari Senin 11 Januari 2016
analisis hukum pada kajian ini mengenai penyalahgunaan yang
dilakukan mantan Menteri Agama Republik Indonesia,
memberi kesan buruk terhadap citra Pemerintah apalagi
sebagai dinilai berpredikat sangat kurang baik dalam
memberikan pelayanan publik.
Menyambung uraian di atas sebagaimana telah diulas
mengenai tindak pidana korupsi yang telah dikenal publik
sejak Tahun 1960, perbuatan korupsi sebenarnya tidak hanya
memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, tetapi juga
orang lain atau korporasi. Rumusan tindak pidana korupsi
yang diatur dalam berbagai peraturan sejak tahun 1960 itu
268
ternyata sejalan pula dengan doktrin para ahli hukum menurut
Leisle Palmer. Dalam bukunya yang berjudul "The Control of
Birocratic Corruption", Palmer menyatakan "The term of
private is to be understood as not limited to the official, but
also including a group or class with which he identifies, while
profit should be taken to cover all forms of advantages or
benefit, not merely financial".182
Berdasarkan pendapat Palmer tersebut, lanjut Abdul,
dapat disimpulkan bahwa pendapat pihak Suryadharma yang
menganggap suatu benda yang didapat oleh Terdakwa akibat
tindak pidana korupsi yang dilakukannya semata-mata diukur
dengan nilai uang. Pasalnya, banyak benda mahal yang
dianggap bernilai dari sisi lain.
Selain itu, Tim Penasihat Hukum dari Terdakwa
Suryadharma yang memaknai secara sempit frasa
"memperkaya" atau "menguntungkan" dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, jika dibaca secara lengkap
frasa itu berbunyi “memperkaya” atau "menguntungkan" diri
sendiri, orang lain, atau korporasi.
Jadi, jika pengacara Suryadharma memaknai tindak
pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3
182 Leslie Palmer, The control of bureaucratic corruption: case study in Asia, Delhi, Allied, 1985. p.19
269
UU Tipikor hanya dari kapasitas besarnya uang yang
dikorupsi terdakwa. Maka dapat dianggap diskriminatif hanya
mencari keuntungan semata tanpa ada pemikiran atas dampak
dan penderitaan yang dialami publik dengan kata lain masih
ada alternatif pembelaan yang tidak harus beranggapan hanya
dengan seberapa besar uang yang telah dinikmati terdakwa
sebagai kliennya melainkan bagaimana terdakwa mengakui
perbuatan dengan menyadari kesalahan-kesalahan dan
bertanggungjawab dalam mengganti kerugian negara demi
pengembalian kepercayaan publik, dengan demikian tidak
terjadi stagnasi dalam berpikir dan berhukum untuk
memberantas tindak pidana korupsi.
"Pemikiran seperti itu secara langsung
mendiskreditkan upaya pemberantasan korupsi menjadi lemah,
karena korupsi hanya dipandang sebagai perbuatan
memperkaya atau menguntungkan terdakwa saja, sehingga
tidak dapat menjangkau tindak pidana korupsi yang
memperkaya atau menguntungkan keluarga, orang terdekat,
kader dari partai terdakwa, serta pihak lainnya yang memiliki
kepentingan menyangkut balas jasa.
Dengan demikian telah tepat bila Pengadilan memutus
Suryadharma dengan ancaman sanksi sesuai tindak pidana
korupsi yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo
270
Pasal 18 UU PTPK (No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ) Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana
Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pasal-pasal tuntutan di atas mengatur tentang orang
yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau
kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain
atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20
tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.
Relevansinya terhadap putusan Majelis Hakim yang
memberikan Putusan hakim sebagaimana diuraikan di atas
lebih ringangan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK
yakni selisih 11 tahun penjara dan denda selisih Rp
750.000.000,- (Tujuh ratus lima puluh juta Rupiah), subsider
enam bulan kurungan. Dalam pertimbanganya, hakim menilai
SDA berkelakuan sopan dan memiliki prestasi saat menjabat
sebagai Menteri Agama. Dalam kajian penilaian Vonis yang
dijatuhkan Majelis Hakim cukup kooperatif walaupun Jaksa
Penuntut Umum KPK tidak puas dengan putusan Hakim
termasuk pihak terdakwa Suryadharma Ali, yang ingin hasil
putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi
271
membebaskannya dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK,
dengan demikian Majelis Hakim cukup dirasakan memiliki
penghormatan baik terhadap hak-hak asasi manusia juga
termasuk tertib hukum dan law enforcement berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang tidak memiliki maksud
diskriminatif, apabila nanti dilakukan pengajuan banding
sebagai upaya hukum selanjutnya tidak terlepas dari hak setiap
subjek hukum dalam membela hak-haknya, namun kembali
kepada hakikat putusan a quo, Majelis Hakim yang diketuai
oleh Hakim Aswijon dapat dapat menjadi panutuan bagi
hakim-hakim lainnya dalam memberikan pertimbangan hukum
dan memutuskan berdasarkan pertanggungjawabannya terhada
Tuhan Yang Maha Esa.
3.2.2.2. Proses Kasus Gubernur DKI (Ahok)183
a. Kasus Posisi
Basuki Tjahya Purrnama yang menurut panggilan
singkat (Ahok) lahir di Manggar, Belitung Timur Tanggal 29
Juni 1966 yang beralamat domilsili di Pantai Mutiara No 39,
Blok Y, Pluit, Jakarta Utara. Gubernur Daerah Khusus Ibukota
183 http://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/24/09300481/Menelisik-Peran-Ahok-dalam-Kasus-Pembelian-Lahan-RS-Sumber-Waras dengan tema: Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian Lahan RS Sumber Waras, diakses pada tanggal, 24 November 2016.
272
Jakarta terindikasi melakukan kerugian daerah dengan
kronologi sebagai berikut:
Tanggal 12 Mei 2014, Ahok terlibat dalam pembelian
lahan RS Sumber Waras, Ahok yang masih menjabat sebagai
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur itu pertama kali
menyampaikan niatnya membangun RS khusus kanker dan
jantung kepada media. Saat itu, Ahok ingin membangun
rumah sakit untuk membantu RS Kanker Dharmais dan
Harapan Kita yang pasiennya cukup diluar kapasitas. Bahkan,
saat itu, Pemerintah Provinsi DKI mengaku telah
mempersiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk
pembelian lahan RS Sumber Waras.
Rencananya, lahan RS Sumber Waras akan dibeli
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan
(APBD-P) 2014. Pembangunan RS itu juga dilakukan untuk
mengubah rencana komersialisasi lahan yang dilakukan oleh
PT Ciputra Karya Utama. Perusahaan itu ingin mengubah
peruntukan lahan RS Sumber Waras menjadi mal.
Pada Tanggal 16 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras
menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat
kerja sama dengan PT Ciputra Karya Utama. Sepuluh hari
kemudian tepatnya tanggal 26 Juni 2014, Dinas Kesehatan
DKI merekomendasi Ahok untuk tidak membangun RS di
273
lahan RS Sumber Waras. Adapun lahan yang sebenarnya
disediakan berada di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat,
bersebelahan dengan Kantor Dinas Kesehatan dan di Jalan
Sunter Permai Raya, Jakarta Utara, yang kini menjadi lokasi
Gedung Ambulance Gawat Darurat.
Akan menempati lahan di Jalan Kesehatan untuk RS
jantung dan di Jalan Sunter Permai Raya untuk RS kanker.
Surat tersebut menyebut, lahan RS Sumber Waras tidak dijual.
Tanggal 27 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras
bersurat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia
menjual lahan tersebut. pihak penjual memasang harga nilai
jual obyek pajak (NJOP) sekitar Rp 20 juta untuk lahan
tersebut. NJOP tersebut sama dengan sebagian lahan milik RS
Sumber Waras lainnya yang dikelola oleh Yayasan Sumber
Waras yang memiliki akses ke Jalan Kyai Tapa.
Sementara itu, lahan yang ditawarkan kepada Pemprov
DKI berada di bagian belakang dekat Jalan Tomang Utara,
Jakarta Barat.
Tanggal 7 Juli 2014, pihak RS Sumber Waras kembali
bersurat kepada Pemprov DKI jakarta.hingga keesokan
harinya tanggal 8 Juli 2014, Ahok mendisposisikan surat
tersebut kepada Andi Baso Mappapoleonro yang saat itu
menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
274
(Bappeda) DKI untuk mempersiapkan anggaran senilai Rp 20
juta tanpa proses negosiasi. Selang empat bulan dan tepat pada
tanggal 14 November 2014, Dinas Kesehatan DKI Jakarta
mengeluarkan kajian terhadap lahan RS Sumber Waras. Hasil
kajiannya, lahan RS Sumber Waras memenuhi beberapa syarat
kelaikan, yakni tanahnya siap pakai, bebas banjir, akses jalan
besar, jangkauan luas, dan luas lahan yang lebih dari 2.500 M2
(Dua ribu lima ratus meter persegi).
Hingga pada tanggal 10 Desember 2014, Pemprov DKI
resmi menunjuk lokasi pembelian lahan. Selanjutnya Pada 11
Desember 2014, pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras
membatalkan perjanjian dengan PT Ciputra Karya Utama.
Kemudian, mereka beralih kerja sama dengan Pemprov DKI
Jakarta setelah empat hari kemudian pada tanggal 15
Desember 2014, Bendahara Umum Pemprov DKI mentransfer
uang senilai Rp 800 miliar ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta
untuk membeli lahan tersebut. hingga pada hari-hari terakhir
bulan Desember tertanggal 30 Desember 2014, Dinas
Kesehatan DKI membayar lahan kepada RS Sumber Waras
dalam bentuk cek. Yang dicairkan tanggal 31 Desember 2014,
cek tersebut pun dicairkan oleh pihak RS Sumber Waras.
Selang enam bulan ditanggal 6 Juli 2015, di dalam
sidang paripurna, BPK melaporkan laporan hasil pemeriksaan
275
(LHP) BPK terhadap laporan keuangan Pemprov DKI tahun
anggaran 2014. Pemprov DKI mendapat opini wajar dengan
pengecualian (WDP) terhadap laporan keuangan tahun 2014.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapatkan 70 temuan
dalam laporan keuangan daerah senilai Rp 2,16 triliun.
Temuan itu terdiri dari program yang berindikasi kerugian
daerah senilai Rp 442 miliar dan berpotensi merugikan daerah
dengan jumlah kumulasi sebanyak Rp 1,71 triliun.
Lalu, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23
miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan
pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. BPK lantas menyoroti
beberapa temuan yang wajib menjadi perhatian Pemprov DKI.
Salah satunya pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta
Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai.
Indikasi kerugiannya sebesar Rp 191 miliar. BPK juga menilai
lahan tersebut tidak memenuhi lima syarat yang dikeluarkan
Dinas Kesehatan DKI. BPK menilai lahan itu tidak siap
bangun karena banyak bangunan merupakan daerah banjir dan
tidak ada jalan besar. Menurut BPK, lahan yang dibeli
Pemprov DKI NJOP-nya sekitar Rp 7 juta. Namun,
kenyataannya DKI malah membayar NJOP sebesar Rp 20 juta.
Hal ini dinilai BPK merupakan NJOP tanah di bagian
depan, yang masih menjadi milik pihak Rumah Sakit Sumber
276
Waras. Tanggal 10 September 2015, Ahok mengakui awal niat
Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras karena ada
sejumlah pekerja RS tersebut yang berdemo di depan Balai
Kota. Mereka mengadu karena hendak di-PHK dan RS akan
diubah menjadi mal. Ahok geram dan berencana membeli
lahan tersebut.
Saat itu, Ahok belum bertemu pihak RS Sumber
Waras, tetapi pemberitaan sudah menyebutkan Pemprov DKI
membeli lahan RS Sumber Waras. Hingga tanggal 16
September 2015, Ahok mengungkapkan alasan pembelian
lahan RS Sumber Waras ketika paripurna penyampaian
pandangan fraksi atas laporan pertanggungjawaban (LPJ)
APBD 2014.
Ahok menjelaskan, pengadaan RS Sumber Waras itu
merupakan kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif
pada Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon
Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2014. Dalam pelaksanaan
program itu, Ahok menjelaskan, Pemprov DKI melakukan
pengadaan lahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 beserta turunannya dengan nilai harga tanah
sesuai NJOP tahun 2014.
Nilai transaksi sudah termasuk nilai bangunan dan
seluruh biaya administrasi, atau dengan kata lain Pemprov
277
DKI tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lainnya.
Penetapan NJOP berdasarkan zonasi sebagai satu hamparan
tanah (satu nomor obyek pajak menghadap Jalan Kyai Tapa)
yang ditetapkan sejak tahun 1994 sesuai database yang
diserahkan oleh Kementerian Keuangan Cq Dirjen Pajak.
Adapun total pembelian lahan yang dikeluarkan oleh Pemprov
DKI Jakarta sesuai dengan NJOP, yakni Rp 755 miliar, dengan
berbagai keuntungan karena tidak harus membayar biaya ada
administrasi lainnya. Selain itu, bukti formal sertifikat hak
guna bangunan (HGB) atas lahan tersebut menyatakan alamat
Jalan Kyai Tapa. Sesuai dengan hasil appraisal, nilai pasar
lahan tersebut per 15 November 2014 Rp 904 miliar. Artinya,
kata Ahok, nilai pembelian Pemprov DKI Jakarta jauh di
bawah harga pasar.
Pada 28 Oktober 2015, Ahok menyampaikan
perpanjangan waktu audit investigasi kasus pembelian lahan
RS Sumber Waras oleh BPK. Perpanjangan waktu audit itu
merupakan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Dari 60 hari ditambah 20 hari, menjadi total waktu
audit investigasi selama 80 hari.
Pada Tanggal 23 November 2015, BPK memeriksa
Ahok selama sembilan jam. Ahok yang selama ini kerap
bersuara lantang dan mempertanyakan kredibilitas BPK justru
278
mendapat banyak pelajaran. Kini, Ahok mengakui sistem
penganggaran Pemprov DKI yang buruk. Ia menyerahkan
kasus tersebut kepada BPK dan KPK.
b. Analisis Hukum
Analisis hukum terhadap tindakan Basuki Tjahya
Purnama (Ahok) bila direalisasikan maka menjadi
penyalahgunaan wewenang yang dapat menjurus ke arah
tindak pidana korupsi sebab jika diperhatikan dalam perspektif
hukum pidana dalam hal yang dapat disebut sebagai tindak
pidana korupsi dari adanya penyalah gunaan wewenang harus
dengan memperhatikan karakter berkaitan dengan unsur atau
elemen yang bersifat alternatif untuk menentukan apakah
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Ahok itu
dapat menjurus ke arah Tindak Pidana Korupsi atau hanya
berupa tindakan diskresi sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1 ayat (9) UU AP, adapun penilaiannya adalah dengan melihat
apakah ada tiga unsur yang dapat menguatkan keyakinan
tersebut, di antaranya yakni:
1. Menyalahgunakan kewenangan, berarti menyalahgunakan
kekuasaan atas hak yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan.
279
2. Menyalahgunakan kesempatan, berarti menyalahgunakan
waktu (mengambil manfaat) yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan.
3. Ketiga, menyalahgunakan sarana, artinya
menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan.
Bila berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan
atau Abuse of Power atau peluang untuk melakukan sesuatu
inilah yang dimaksud dengan “kesempatan”. Sebab stiap orang
yang memiliki jabatan atau kedudukan biasanya akan
mendapat sarana tertentu pula dalam rangka menjalankan
kewajiban dan kewenangannya. Terminologi mengenai
“sarana” adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat
untuk mencapai maksud dan tujuan. Seseorang dengan jabatan
atau kedudukan tertentu akan memiliki wewenang,
kesempatan dan sarana tertentu yang dapat Ahok gunakan
untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Wewenang,
kesempatan dan sarana ini diberikan dengan rambu-rambu
tertentu. Bila kemudian rambu-rambu itu dilanggar atau bila
wewenang, kesempatan, dan sarana tersebut tidak digunakan
sebagaimana mestinya, maka telah terjadi penyalahgunaan
wewenang, kesempatan dan sarana yang dimiliki karena
jabatan atau kedudukannya.
280
Terdapat lima faktor yang menyebabkan pembelian
lahan bermasalah.
1. Pengadaan tanah.
2. Disposisi Pelaksana Tugas (Plt) pada lingkup Gubernur
DKI yang memerintahkan Kepala Bappeda DKI untuk
menganggarkan pembelian tanah tidak sesuai ketentuan
3. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak melakukan
studi kelayakan dan kajian teknis dalam penentuan lokasi.
4. Pembelian tanah masih terikat perjanjian jual-beli oleh
pihak lain. “Pihak Yayasan menyerahkan fisik tanah
kepada Pemerintah Provinsi tak sesuai dengan selisih
harga tanah Rp 484.617.100.000,” (Empat ratus delapan
puluh empat miliar enam ratus tujuh belas juta seratus ribu
Rupiah).
5. pihak yayasan menyerahkan akta pelepasan hak
pembayaran sebelum melunasi tunggakan pajak bumi dan
bangunan.
Mengenai hal yang menimbulkan Kerugian terhadap
Negara maka perbuatan itu harus jelas terbukti berunsur
“dapat merugikan keuangan negara” berkaitan dengan suatu
tindak pidana korupsi adalah:
a. Dapat Merugikan Keuangan Negara. Menurut Penjelasan
Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan keuangan
281
negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
yang timbul karena: Pertama, berada dalam penguasaan,
pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga
negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua,
berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan
hukum, dan perusahaan yang mertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
b. Perekonomian Negara, yang dimaksud dengan
perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian
yang disususun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di
tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberi manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Kedua
poin dalam unsur-unsur “dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara” in aquo adalah bersifat
alternatif.
282
Jadi untuk membuktikan seseorang melakukan tindak
pidana korupsi atau tidak, berkaitan dengan unsur/elemen ini,
maka cukup hanya dibuktikan salah satu point saja. Namun,
yang harus diingat dan diperhatikan dalam pembuktian unsur
ini ialah Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara“ menunjukan bahwa Pasal 2
ayat (1) UU PTPK mengamanatkan agar tindak pidana korupsi
harus dipahami sebagai delik formil dan bukannya delik
materil.
BPK DKI juga tidak tegas di mana hanya
merekomendasikan untuk pembatalan pembelian lahan.
Senilai Rp 191 miliar,” dapat dikatakan Komisi II DPR RI
akan memeriksa BPK DKI, Pemprov DKI dan Walikota
Jakarta Barat untuk memperjelas permasalahan pembelian
lahan Sumber Waras. Dia menegaskan DPR akan terus
mengawal kasus Sumber Waras sampai tuntas.
Apabila pembelian tersebut terlaksana maka Ahok
dapat dikatagorikan melakukan tindakan pidana atas
pembelian lahan Sumber Waras harus diproses hukum.
Kejahatan pidananya antara lain terjadi KKN, tidak mematuhi
peraturan perundang-undangan, ada kerugian negara antara Rp
191 miliar sampai Rp 484 miliar, dan indikasi kesalahan
kebijakan yang merugikan negara sampai Rp 800 miliar.
283
Karena lahan RS Sumber Waras bukan untuk dijual
dan tidak ada studi kelayakan lebih dulu. Dan berdasarkan PP
Nomor 49 tahun 2008, Plt Gubernur DKI wajib memahami
posisinya, terlebih dalam situasi darurat dan tidak boleh
mengubah program Gubernur sebelumnya. Sebab yang
menjadi pertanyaan “Obyek” tersebut berupa tanahnya yang
ada di Tomang Utara, bukan di Jalan Kyai Tapa. harga
seharusnya sesuai NJOP adalah Rp 7 jutaan, tapi dijual Rp
20,755 juta permeter. Sehingga bila penulis menilai perbuatan
Gubernur sebagai Pejabat Pemerintah akan dapat diperoses
melalui ketentuan Pasal 2 UU PTPK sebab adanya unsur
menguntungkan diri sendiri sebagaimana ketentuan Pasal 3
UU PTPK, ketentuan dalam substansi baik melalui sinergitas
antara UU AP dan UU PTPK dapat menjadi regulasi yang
dapat digunakan sebagai alat rekayasa dalam terus melawan
kebijakan yang salah, untuk menciptakan tertib hukum dan
kepastian hukum dalam tujuan bagi pejabat Pemerintah dalam
memberi daya guna dalam pelayanan publik, sekaligus
memberikan citra dan kualitas baik serta kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja Pemerintah yang sesuai sebagai
penyelenggara negara dalam lingkup Hukum Administrasi
Negara.
284
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Diapit Media, Jakarta,
2002.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Abdul Wahi Selayan dan Ahmad Fauzi Ridwan, Pengertian Umum, Cet.I. Bab I,
Tata hukum Indonesia, Bintang, Medan, 1960.
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Edisi
Pertama, Cetakan Ke-II, Bayumedia, Malang (JATIM). 2005.
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2004.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
C.F. Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book Society
and Side Wick & Jackson Limited, London, 1965.
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Denny Indrayana, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011.
E. Sumaryno, Etika dan Hukum (Relevansi Teori hukum Kodrat Thomas
Aquinas), Kanisius Yogyakarta, 2002.
E. Utrecht II, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Ichtiar . Jakarta, 1987.
F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia,
Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI), 2001.
285
H. A. Muin Fahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, penerbit Kreasi Total Media,
Yogyakarta, 2008.
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014.
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka,
Jakarta, Tanpa Tahun.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana,
Diadit Media, Jakarta, 1997.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.
Inu Kencana Syafi’ie “ Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI),
Bumi Aksara, Jakarta 2010.
J Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta,
2007.
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen:
Ars Aeguilibri, 1998.
Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji dalam
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak
Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi
Pertama, Cetakan Kedua, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2009.
286
Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan
Cendekia, Surabaya, 2001.
Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978.
Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.
Leslie Palmer, The control of bureaucratic corruption: case study in Asia, Delhi,
Allied, 1985.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik,
Setara Press,Malang, 2011.
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1982.
Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia
(HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005.
Marbun, Rocky, dkk, ‘Kamus Hukum Lengkap’, Jakarta, Transmedia Pustaka,
2012.
Maria Farida Indriati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,
Yogyakarta, 1998.
Martins, Jr (ed). Professional Stan- dards and Ethics, Washington, DC: ASPA
Publisher, 1979.
287
Marwan Effendi, Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya,
Gramedia, Jakarta, 2005.
Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum
Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
________, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2000,
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002.
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan
Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina
Ilmu, Surabaya, 1987.
________________ et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian
Administrative Law), Cetakan VIII, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2002.
_______________, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1981.
288
__________________, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision
Making, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bandung, 1991.
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar
Maju, Bandung, 1995.
__________________, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,
BPHN, Jakarta, 2002.
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari edisi yang
diperluas oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara,
Jakarta, 1982.
S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan Di Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1980.
Sadjijono mengutip Philipus M. Hadjon, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi, Cetakan Pertama, LaskBang PRESSindo, Yogyakarta,
2008.
Sadu Wasistiono, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good
Governance, dalam Syamsudin Haris (Ed.), Desentralisasi & Otonomi
Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005.
Samudra Wibawa, Reformasi administrasi: Bunga Rampai Pemikiran
Administrasi Negara atau Publik, Yogyakarta: Gaya Media, 2005.
289
Samuel Edward Finer, Comparative Government, Penguin Books Ltd., Harmonds
Worth, Middlesex, England 1974.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Bakti, Bandung, 2000.
_______________, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.
Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh
Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955.
Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995.
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Averroes Press, 2002.
SF, Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Yogyakarta FH UII Press, 2011.
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Administrasi Negara, karya Ridwan HR, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2007.
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997.
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi Indonesia Lawyer Club, Cet.IV, Surabaya, 2010.
Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung,
1960.
_________________, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama,
Bandung, 2003.
290
WJ.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1983.
B. Data Lain
Asep Warlan, Materi Acara Sosialisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, Di Hotel Prima Resort Kuningan
Tanggal 22 Oktober 2015.
C.J.N. Versteden. Inleiding Algemeen Besmursrecht. Alphen aan den Rijn,
Samson, HD., Tjeenk Willink, 1984.
F.A.M. Stroink dan J.G, Steenbeek. Inleiding in het staat-en Administratief Recht.
Alphen aan den Rijn: Samson HD. Tjeenk Willink, 1985.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1971.
Philipus Mandiri Hadjon. Diktat Orasi Ilmiah dengan topik Fungsi Normatif
Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih,
Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994.
Purnadi Purbacaraka, Perundang-Undangan & Yurisprudensi, Alumni, Bandung,
1979.
Putusan Badan Peradilan, Varia Peradilan, No. 223 Th. XIX. April 2004.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II (Kumpulan Kuliah), Balai Lektur
Mahasiswa, Jakarta.
Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta.
The International Covenant on Civil and Political Rights Number 14668, Vol.
999,1-14668, on 23 March 1976.
291
C. Websites
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/abc5ca5c8d35b6d369744696eac4e27b, dengan Topik: Putusan PN
Bandung Nomor 146 / Pid.Sus / TPK / 2013 / PN.Bdg Tahun 2014
Dada Rosada, diakses pada tanggal 30 Desember 2015.
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/301dc187df6faba9b96d9abde1761e44, Putusan dengan Topik:
Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 Tahun 2013
Angelina Patricia Pingkan Sondakh diakses pada tanggal 15 Januari
2015
http://www.kompasiana.com/rezaazhar/selembar-potongan-kiswah-kpk-
membawa-sda-ke-penjara-eksepsi-sda-
updated_55ed6a754ef9fdb3122b1fd6 dengan Topik: Selembar
Potongan Kiswah Suryadharma Ali ke Penjara Eksapsi Suryadharma
Ali tidak diterima, di akses tanggal 28 Januari 2016
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/24/09300481/Menelisik-Peran-Ahok-dalam-Kasus-Pembelian-Lahan-RS-Sumber-Waras
dengan tema: Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian Lahan
RS Sumber Waras, diakses pada tanggal, 24 November 2016.
292