IDENTIFIKASI RESIKO DAN MITIGASINYA PADA PEMBANGUNAN...

12
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional ISSN 1979-1208 323 IDENTIFIKASI RISIKO, ANALISIS DAN MITIGASI PADA PEMBANGUNAN PLTN PERTAMA DI INDONESIA Elok S. Amitayani, Suparman, Moch. Nasrullah Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) – BATAN Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta 12710 Telp./Fax.: 021-5204243, Email: [email protected] ABSTRAK IDENTIFIKASI RISIKO, ANALISIS DAN MITIGASI PADA PEMBANGUNAN PLTN PERTAMA DI INDONESIA. Manajemen risiko adalah salah satu bagian penting dari manajemen sebuah proyek skala besar seperti PLTN. Beberapa risiko yang juga terjadi pada proyek pembangkit listrik skala besar antara lain risiko keterlambatan konstruksi, risiko eskalasi, risiko teknologi, force majeur atau bencana alam seperti yang baru-baru ini terjadi pada PLTN Fukushima Daiichi di Jepang dan risiko politik seperti yang terjadi di Filipina dengan PLTN Bataan. Pemahaman akan berbagai risiko yang berkaitan dengan proyek PLTN sangatlah penting, apalagi bagi negara yang akan membangun PLTN pertama seperti Indonesia. Seluruh risiko harus dipertimbangkan dan dimitigasi untuk meminimalkan kerugian. Makalah ini akan mengidentifikasi dan membahas berbagai macam risiko proyek PLTN berikut upaya mitigasinya. Kata kunci: risiko, proyek, PLTN, mitigasi ABSTRACT RISKS IDENTIFICATION, ANALYSIS, AND ITS MITIGATION ON THE FIRST NPP IN INDONESIA. Risk management is one of the most important things in a project management like nuclear power plant (NPP) since every risk will most probably end up in cost overrun. Some risks can happen in all large power plant projects in general, namely construction delay risk, costs escalation risk, technological risk, or even force majeur like what had happened recently in Fukushima NPP, Japan. Political risk, on the other hand, is somehow a kind of risk typical for NPP. Bataan NPP located in Bataan Penninsula, Phillipines, is an example where government succession could put the nuclear program on halt, yet the plant had been completely built. Identification on as many risk as possible, particularly for a country planning to build the first NPP like Indonesia, is a major task. All risks must be seriously considered along with their mitigation as they can be a burden the owner ought to bear. This paper will assess and evaluate the risks that will likely happen to an NPP project and how to mitigate those risks. Keywords: risk, project, NPP, mitigation 1. PENDAHULUAN Setiap aktivitas manusia pasti memiliki risiko, terlepas dari besar kecilnya risiko tersebut. Risiko adalah kemungkinan suatu tindakan atau suatu pilihan mendatangkan kerugian, atau singkatnya, kemungkinan kerugian. Kerugian yang dimaksud dapat berupa kerugian finansial, moril, bahkan jiwa. Walaupun risiko melekat pada pembangunan proyek apapun, namun berkaitan dengan PLTN, masalah risiko selalu saja menjadi hal yang menakutkan dan seakan-akan menjadi batu sandungan untuk mengimplementasikan PLTN di Indonesia. Penolakan terhadap PLTN di berbagai negara termasuk Indonesia, seringkali dilatarbelakangi oleh informasi tentang risiko yang tidak berimbang. Kenyataan di lapangan, masyarakat lebih sering (lebih mudah) terfokus terhadap risikonya, ketimbang kepentingan nasional dan peluang positif di balik pembangunan PLTN, sebut saja misalnya peluang untuk meningkatkan industri strategis dalam negeri, peluang untuk membuka

Transcript of IDENTIFIKASI RESIKO DAN MITIGASINYA PADA PEMBANGUNAN...

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 323

IDENTIFIKASI RISIKO, ANALISIS DAN MITIGASI PADA

PEMBANGUNAN PLTN PERTAMA DI INDONESIA

Elok S. Amitayani, Suparman, Moch. Nasrullah

Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) – BATAN

Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta 12710

Telp./Fax.: 021-5204243, Email: [email protected]

ABSTRAK IDENTIFIKASI RISIKO, ANALISIS DAN MITIGASI PADA PEMBANGUNAN PLTN

PERTAMA DI INDONESIA. Manajemen risiko adalah salah satu bagian penting dari manajemen

sebuah proyek skala besar seperti PLTN. Beberapa risiko yang juga terjadi pada proyek pembangkit

listrik skala besar antara lain risiko keterlambatan konstruksi, risiko eskalasi, risiko teknologi, force

majeur atau bencana alam seperti yang baru-baru ini terjadi pada PLTN Fukushima Daiichi di

Jepang dan risiko politik seperti yang terjadi di Filipina dengan PLTN Bataan. Pemahaman akan

berbagai risiko yang berkaitan dengan proyek PLTN sangatlah penting, apalagi bagi negara yang

akan membangun PLTN pertama seperti Indonesia. Seluruh risiko harus dipertimbangkan dan

dimitigasi untuk meminimalkan kerugian. Makalah ini akan mengidentifikasi dan membahas berbagai

macam risiko proyek PLTN berikut upaya mitigasinya.

Kata kunci: risiko, proyek, PLTN, mitigasi

ABSTRACT RISKS IDENTIFICATION, ANALYSIS, AND ITS MITIGATION ON THE FIRST NPP IN

INDONESIA. Risk management is one of the most important things in a project management like

nuclear power plant (NPP) since every risk will most probably end up in cost overrun. Some risks can

happen in all large power plant projects in general, namely construction delay risk, costs escalation

risk, technological risk, or even force majeur like what had happened recently in Fukushima NPP,

Japan. Political risk, on the other hand, is somehow a kind of risk typical for NPP. Bataan NPP

located in Bataan Penninsula, Phillipines, is an example where government succession could put the

nuclear program on halt, yet the plant had been completely built. Identification on as many risk as

possible, particularly for a country planning to build the first NPP like Indonesia, is a major task. All

risks must be seriously considered along with their mitigation as they can be a burden the owner

ought to bear. This paper will assess and evaluate the risks that will likely happen to an NPP project

and how to mitigate those risks.

Keywords: risk, project, NPP, mitigation

1. PENDAHULUAN Setiap aktivitas manusia pasti memiliki risiko, terlepas dari besar kecilnya risiko

tersebut. Risiko adalah kemungkinan suatu tindakan atau suatu pilihan mendatangkan

kerugian, atau singkatnya, kemungkinan kerugian. Kerugian yang dimaksud dapat berupa

kerugian finansial, moril, bahkan jiwa. Walaupun risiko melekat pada pembangunan proyek

apapun, namun berkaitan dengan PLTN, masalah risiko selalu saja menjadi hal yang

menakutkan dan seakan-akan menjadi batu sandungan untuk mengimplementasikan PLTN

di Indonesia. Penolakan terhadap PLTN di berbagai negara termasuk Indonesia, seringkali

dilatarbelakangi oleh informasi tentang risiko yang tidak berimbang. Kenyataan di

lapangan, masyarakat lebih sering (lebih mudah) terfokus terhadap risikonya, ketimbang

kepentingan nasional dan peluang positif di balik pembangunan PLTN, sebut saja misalnya

peluang untuk meningkatkan industri strategis dalam negeri, peluang untuk membuka

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 324

lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi daerah sekitar tapak, peluang untuk

meningkatkan kemampuan bersaing bangsa dalam industri nuklir, dan lain-lain. Tentu saja,

risiko sekecil apapun tidak dapat diabaikan dalam kerangka industri nuklir, mengingat

keselamatan manusia dan besarnya modal dipertaruhkan.

Atas latar belakang itulah, makalah ini akan mengidentifikasi dan menganalisis

berbagai risiko yang dapat terjadi dalam pembangunan PLTN di Indonesia, mengalokasi

risiko, serta membahas kemungkinan mitigasi yang dapat dilakukan. Kajian dilakukan

melalui penelusuran dan studi pustaka yang meliputi pengalaman negara lain dalam

pembangunan PLTN, analisis risiko proyek, metode mitigasinya, dan berbagai media cetak

maupun elektronik. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memahami berbagai risiko yang

terkait dengan pembangunan PLTN, pengalokasiannya, dan langkah mitigasi yang dapat

dilakukan sehingga dapat diterapkan dalam proyek PLTN pertama di Indonesia.

2. METODOLOGI Kajian dalam makalah ini dilakukan dengan metodologi seperti ditampilkan pada

Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Diagram Alir Analisis Mitigasi Risiko[1]

Untuk menganalisis masalah, perlu diasumsikan bahwa pemilik (owner) PLTN adalah

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk perusahaan pembangkitan, karena

kepemilikan sangat berkaitan dengan alokasi risiko dan penanganannya. Kontrak

pembangunan berskema EPC (Engineering, Procurement, Construction)/turnkey tunggal,

seperti pada kebanyakan proyek PLTN pertama. Proyek didanai oleh lembaga pendanaan

dalam dan luar negeri serta equity yang ditanggung oleh beberapa shareholder. Kemudian,

identifikasi risiko akan dibedakan berdasarkan 4 tahap, yaitu risiko pada tahap

prakonstruki, konstruksi, operasi dan post-operasi.

3. SKEMA KONTRAK EPC Besar kemungkinan Indonesia akan menerapkan skema kontrak EPC/turnkey pada

pembangunan PLTN pertama dengan owner PLTN diperkirakan adalah BUMN, mengingat

nilai strategis dari proyek ini. Inti dari kontrak EPC adalah bahwa owner, tanpa adanya

pengalaman dalam EPC, menyerahkan seluruh penyelesaian proyek kepada kontraktor EPC

(kontraktor). Begitu kontrak EPC ditandatangani, kontraktor berkewajiban untuk

menyelesaikan proyek sesuai dengan hal-hal yang disebutkan dalam tender. Kini kontraktor

EPC akan menanggung risiko-risiko yang berkaitan dengan konstruksi, dan karenanya akan

berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan tugasnya. Sedangkan risiko terbesar yang

dihadapi owner dalam kontrak semacam ini adalah keterlambatan penyelesaian proyek,

karena ini akan berakibat pada penundaan target berikutnya misalnya terlambatnya

Mengidentifikasi

risiko

Menganalisa risiko

Mengembangkan

strategi mitigasi

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 325

penyediaan tenaga listrik, yang berarti keterlambatan penghasilan dan keterlambatan

pembayaran hutang.

Dalam kontrak EPC tunggal, dimana hanya ada satu kontraktor, kontraktor dapat

menyewa subkontraktor/ subvendor untuk menyelesaikan bagian yang berbeda-beda dalam

proyek. Di sini seluruh manajemen proyek dan tanggung jawab berada di tangan

kontraktor.

Apabila kontrak EPC majemuk yang dilakukan, dimana owner membagi proyek ke

dalam beberapa proyek yang lebih kecil, beberapa kontraktor dapat ikut terlibat. Koordinasi

di antara kontraktor kini menjadi masalah penting. Owner atau konsultan proyek harus

melakukan pengawasan secara intensif dan meluruskan setiap masalah yang timbul dalam

koordinasi. Kemungkinan kontrak EPC majemuk akan dilakukan dalam proyek PLTN

pertama Indonesia lebih kecil dibanding kontrak EPC tunggal.

Pembayaran dalam kontrak EPC biasanya sepadan dengan pekerjaan yang telah

diselesaikan. Beberapa kontraktor menuntut untuk mendapatkan uang muka. Dalam

skenario ini, kontraktor mendapat pendanaan utamanya dari ECA (export credit agency) di

negaranya. Porsi pendanaan dari ECA untuk proyek PLTN sesuai konsensus OECD dapat

mencapai 85% dari nilai total investasi, sementara sisa pendanaan diambil dari hutang

komersial baik dalam- maupun luar negeri, dan equity yang ditanggung beberapa

shareholder. Terdapat 2 skema pendanaan ECA yang umum dilakukan yaitu supplier’s credit

dan buyer’s credit[2].

Gambar 2. Skema supplier’s credit[2]

Gambar 3. Skema Buyer’s Credit[2]

Owner Indonesia mulai mencicil seluruh hutangnya pada masa operasi ketika PLTN

mulai mendatangkan arus kas. Sedangkan para shareholder pemilik equity akan menerima

bagian devidennya begitu PLTN mulai memberikan profit, karena prioritas pertama adalah

pelunasan kewajiban hutang.

4. PEMBAHASAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disusun tabel sebagai berikut:

Kredit ekspor

Ekspor, pembayaran

ditangguhkan

Pembayaran hutang oleh importir kpd eksportir

Pembayaram hutang oleh eksportir kpd ECA

Perjanjian hutang Pembayaran ekspor

Perjanjian jual beli

Ekspor

Pembayaran hutang yg ditangguhkan

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 326

Tabel 1. Identifikasi Risiko, Peluang yang Ditimbulkan, dan Mitigasi yang Dapat

Dilakukan

No Risiko Pre-

konstruksi

Konstruksi Operasi Post-

Operasi

Alokasi

Risiko

Mitigator,

Mitigasi 1. Keterlambatan

konstruksi x x - Kontraktor

- Owner Manajemen proyek yang baik, peng-awasan ketat, penalti atas keterlambatan.

2. Finansial (suku bunga, nilai tukar mata uang, eskalasi dan inflasi)

x x - Kontraktor - Owner - Pemerintah

Menaikkan peringkat kredit, menstabilkan ekonomi, menurun-kan tingkat risiko kredit, jaminan penuh pemerintah, suku bunga tetap, nilai tukar Rp tetap, meningkatkan TKDN, kontrak jangka panjang dgn suplier.

3. Asuransi x - Owner Jaminan pemerintah, sumber perlindungan lain.

4. Teknologi/desain x x x - Kontraktor - Owner

Memilih proven technology daripada first of a kind.

5. Perijinan x x - Pemerintah - Owner

Kualifikasi SDM pada owner dan regulator, adopsi perjinan.

6. Unjuk kerja x - Owner Teknologi baru dan proven, pengawasan ketat, kualifikasi SDM

7. Pasar x - Owner - PLN

Kompensasi atas kegagalan dispatch, PPA jangka panjang

8. Suplai bahan bakar

x - Owner - Suplier - Konsumen

Kontrak jangka panjang, multi suplier, lokal/ regional suplier

9. Keselamatan (safety)

x x x - Owner Pemilihan proven technology dari vendor terpercaya, kualifikasi SDM, manajemen yang baik, reward & punishment.

10. Pembuangan bahan bakar bekas

x - Owner - Pemerintah

Pengembalian bahan bakar bekas, daur ulang, penggunaan bersama fasilitas pembuangan lestari, mengembangkan dana dekomisioning.

11. Politik x x x x - Owner - Pemerintah

Jaminan pemerintah, sosialisasi berkelanjutan, partisipasi publik, kerja sama erat antara pemangku kepentingan.

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 327

4.1. Risiko Keterlambatan

Data Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2006 menunjukkan bahwa dari

sekitar 30 negara yang memiliki PLTN, separuhnya pernah mengalami penundaan

penyelesaian konstruksi lebih dari 10 tahun. Jumlah itu belum termasuk beberapa proyek

PLTN yang dihentikan di tengah jalan, seperti yang terjadi di Argentina, Bulgaria, dan

Romania[3]. Dengan tipikal proyek yang padat modal, keterlambatan penyelesaian

konstruksi PLTN menjadi risiko yang besar. Ada biaya yang berkaitan dengan bunga yaitu

biaya IDC (interest during construction), dan akan semakin terakumulasi seiring

bertambahnya masa konstruksi. Jika keterlambatan berkepanjangan, akan muncul biaya

pemeliharaan untuk melindungi pembangkit dari kerusakan dan keusangan. Dalam skema

EPC/turnkey, risiko keterlambatan ini sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor khususnya

jika terjadi kenaikan biaya-biaya selama masa konstruksi. Risiko akan diteruskan kepada

owner pada masa operasi dalam bentuk peningkatan IDC yang harus dibayar. Untuk

mencegah risiko ini suatu pengawasan dan manajemen proyek yang ketat harus diterapkan.

Selain itu, penerapan penalti atas keterlambatan adalah salah satu cara untuk mencegah

kontraktor memperlambat proyek dengan alasan apapun.

4.2. Risiko Finansial

Yang termasuk dalam risiko finansial antara lain fluktuasi bunga kredit, fluktuasi nilai

tukar mata uang, dan eskalasi atas biaya-biaya dan/atau inflasi. Dalam pemberian pinjaman,

kreditur akan berpegang pada peringkat hutang (credit rating) debitur. Tingginya peringkat

hutang suatu negara (sovereign credit rating) akan diikuti tingginya tingkat investasi, dan

begitu pula sebaliknya. Ini disebabkan oleh meningkatnya tingkat kepercayaan terhadap

negara tersebut. Negara-negara penerbit ECA yang bergabung dalam OECD melakukan

konsesus atas CIRR (Commercial Interest Reference Rates) minimum yang dilainya disesuaikan

setiap bulan pada tanggal 15 dan berlaku hingga tanggal 14 bulan berikutnya. CIRR

minimum tersebut biasanya akan ditambah dengan faktor yang disebut “premium rate” yang

disesuaikan dengan tingkat risiko investasi suatu negara, dan dapat mengacu pada

peringkat kredit negara tersebut. OECD membuat pemeringkatan risiko investasi suatu

negara dengan skala 0-7, dengan nilai 7 adalah yang terendah. Per 31 Maret 2011, Indonesia

berada pada skala 4. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama Thailand berada pada

skala 3, Malaysia 2, dan Singapura 0[4].

Secara umum, pemerintah berkewajiban menaikkan peringkat kredit dan

menurunkan tingkat risiko investasi negara melalui serangkaian kebijakan dan instrumen

ekonominya, sehingga tingkat bunga pinjaman luar negeri dapat diturunkan, khususnya

pinjaman untuk pendanaan PLTN. Selain itu, jaminan pemerintah juga berperan besar

dalam penentuan suku bunga. Tanpa adanya jaminan, kreditur biasanya akan memberikan

hutang dengan bunga yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Sedangkan untuk mengantisipasi

fluktuasi suku bunga, khususnya pada kenaikan suku bunga, negosiasi untuk pemberian

bunga tetap dapat diupayakan, walaupun OECD mengatakan bahwa bunga tetap tidak

diberlakukan lebih dari 120 hari.

Sedangkan risiko nilai tukar mata uang bermula karena adanya investasi mata uang

asing dalam sebuah proyek. Besarnya investasi asing tidak dapat dihindarkan karena

investasi dalam negeri tidak memadai atau sangat terbatas. Perbankan Indonesia para

pemilik modal dalam negeri tidak cukup kuat untuk mendanai sekaligus proyek PLTN

senilai miliaran dolar. Selain masalah dana, hal lain yang memaksa untuk mengundang

investor asing antara lain keterbatasan informasi, manajemen, keahlian, dan teknologi untuk

mengubah sumber daya ekonomi potensial menjadi sumber daya ekonomi produktif.

Pembangunan PLTN jelas akan melibatkan investasi asing yang tidak sedikit. Risiko ini

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 328

muncul pada tahap operasi, karena di tahap inilah pembangkit mulai menjual listrik dan

mendapatkan uang (revenue) untuk membayar seluruh kewajiban hutangnya. Namun,

penjualan listrik hanya menghasilkan revenue dalam mata uang Rupiah. Untuk membayar

kewajiban hutang termasuk bunga dan IDC (interest during construction), mata uang Rupiah

harus dikonversi ke dalam mata uang asing negara kreditur. Risiko nilai tukar mata uang

dapat menjadi peluang apabila nilai tukar rupiah terhadap mata uang kreditur menguat

karena adanya saving dari sisa pembayaran yang seharusnya, dan sebaliknya dapat menjadi

ancaman ketika Rupiah melemah karena dapat menguras arus kas lebih dari yang

seharusnya.

Untuk menghindari risiko ini, pemerintah dapat memilih nilai tukar tetap atau fixed

rate dalam perjanjian kontrak, terutama jika berdasarkan pengalaman, nilai tukar mata uang

negara kreditur terhadap rupiah cukup fluktuatif. Cara lain yang dapat dilakukan adalah

meningkatkan tingkat partisipasi modal dalam negeri. Berdasarkan studi, dapat diprediksi

bahwa tingkat komponen dalam negeri (TKDN) PLTN untuk pembangunan 2 unit PLTN

pertama Indonesia mencapai 35%-44%[5]. Dalam waktu 10 tahun ke depan, di saat proyek

PLTN akan diimplementasikan, angka ini diharapkan telah naik seiring meningkatnya

dukungan pemerintah pada industri nasional serta penguasaan teknologi.

Eskalasi adalah peningkatan harga suatu komoditas dalam jangka waktu tertentu.

Sedangkan inflasi adalah peningkatan harga-harga secara umum dan terus menerus.

Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila

kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya[6]. Dalam

masa konstruksi dengan kontrak EPC, biasanya nilai kontrak yang disepakati telah

memasukkan faktor eskalasi dan/atau inflasi, sehingga risiko fluktuasi biaya atas tenaga

kerja, material, dan lain sebagainya menjadi tanggung jawab kontraktor sepenuhnya.

Sedangkan pada masa operasi, kenaikan harga-harga menjadi tanggung jawab owner. Baik

kontraktor maupun owner dapat melakukan kontrak jangka panjang dengan para supplier

sehingga risiko kenaikan harga-harga dapat ditekan.

4.3. Risiko Asuransi

Mahalnya ongkos pemulihan kerugian (recovery costs) pada PLTN dapat membuat

berbagai pihak termasuk perusahaan asuransi tidak bersedia memberikan perlindungan

finansial, secara sebagian atau keseluruhan. Tanpa asuransi, akan sangat sulit bagi owner

untuk memulai pembangunan dan/atau pengoperasian PLTN. Beberapa tahun lalu, setelah

kejadian 11 September, ada kecenderungan perusahaan asuransi dunia enggan atau sulit

menyetujui asuransi atas proyek-proyek berskala besar. Dampak dari kejadian tersebut

salah satunya menimpa PLTN Cernadova 2, Slovenia, dimana dalam polis asuransinya

perusahaan asuransi tidak memberikan perlindungan dari serangan teroris baik pada masa

konstruksi maupun operasi[7].

Di masa sekarang, musibah atas PLTN Fukushima di Jepang pada Jumat 11 Maret

2011 sekali lagi mengulang keadaan serupa. MetroTV, mengutip kantor berita Reuters,

menyebutkan bahwa polis asuransi yang dimiliki oleh berbagai PLTN di Jepang ternyata

tidak mencantumkan kerusakan properti yang disebabkan oleh gempa bumi atau tsunami

sebagai bagian dari apa yang ditanggung oleh perusahaan asuransi[8]. Pengecualian ini juga

terjadi pada perusahaan listrik Tokyo Power Company (Tepco) owner dan operator reaktor

nuklir Fukushima, yang rusak akibat gempa bumi serta tsunami. Akhirnya pada 13 Mei

2011, pemerintah Jepang setuju untuk membentuk skema pendanaan melalui penerbitan

obligasi untuk membantu Tepco menangani krisis nuklirnya[9]. Untuk membayar segala

kerugian termasuk kompensasi kepada masyarakat, Tepco telah menyetujui sejumlah

persyaratan demi mendapatkan bantuan pemerintah tersebut. Tepco sendiri disebut telah

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 329

menjual sebagian asetnya hingga 500 miliar yen (6,192 miliar USD atau sekitar 53 triliun

rupiah) untuk menutup kerugian akibat bencana gempa dan tsunami tersebut[10]. Menurut

rencana, dana untuk mengatasi kerugian PLTN Fukushima juga berasal dari kontribusi

perusahaan utiliti lain, dimana Tepco akan membayarnya kembali dari keuntungan

tahunannya dalam beberapa tahun ke depan[11].

Sangat sulit untuk mendapatkan perlindungan asuransi untuk kejadian seperti

terorisme dan bencana besar. Oleh sebab itu, owner dapat meminta pemerintah untuk

memberikan jaminan atas kejadian-kejadian yang tidak dicakup oleh perusahaan asuransi,

mengingat pembangunan PLTN berangkat dari kebutuhan penyediaan tenaga listrik dan

didukung oleh kebijakan energi nasional. Di sisi lain, perlu juga diusahaan suatu konvensi

internasional industri nuklir, yang dapat membantu menyediakan pendanaan dengan

bunga lunak untuk mengatasi krisis seperti pada kasus Fukushima.

4.4. Risiko Desain

Desain yang tidak sesuai spesifikasi atau murni kesalahan dalam desain dapat

menyebabkan desain ulang dalam masa konstruksi, pembongkaran konstruksi dan

tambahan pekerjaan lain, yang dapat berujung pada keterlambatan masa konstruksi dan

peningkatan biaya EPC. Kesalahan desain semacam ini biasanya tidak diketahui hingga

implementasi dalam konstruksi. Dalam skema kontrak EPC, kesalahan desain akan menjadi

tanggung jawab sepenuhnya dari kontraktor. Bagi owner, kesalahan desain dapat

memunculkan risiko keselamatan pada tahap operasi. Risiko desain dapat dihindari dengan

tidak memilih teknologi yang sama sekali baru (first of a kind), dengan kata lain lebih

memilih teknologi yang sudah banyak dibangun dan dioperasikan (proven technology),

seperti peraturan Bapeten. Selain itu, pada saat lelang, owner dapat mempelajari rekam jejak

teknologi yang ditawarkan, dan memilih teknologi dengan rekam jejak terbaik yang

meliputi aspek keandalan dan keselamatan.

4.5. Risiko Perijinan

Keterlambatan ijin konstruksi, keterlambatan atau pembatalan ijin operasi, dan

berbagai ijin lainnya baik lokal maupun nasional adalah contoh-contoh risiko perijinan.

Pembatalan ijin operasi yang terjadi pada PLTN Bataan di Filipina didorong oleh masalah

politik, dimana pada akhirnya pemerintah Filipina harus membayar seluruh hutang

pembangunan. Terlambatnya ijin operasi juga dapat terjadi karena kurangnya lengkapnya

persyaratan yang diajukan kepada regulator. Ijin operasi dapat dibatalkan jika dalam jangka

waktu tertentu owner tidak dapat melengkapi persyaratan tersebut. Oleh karena itu,

kesiapan dan kinerja owner sangat berperan dalam hal ini. Namun, keterlambatan ijin juga

dapat terjadi karena buruknya kinerja regulator, atau kesiapan regulator tidak cukup untuk

pemrosesan ijin yang terkait dengan PLTN. Hal ini dapat diantisipasi dengan meningkatkan

kualitas SDM lembaga regulator dengan keikutsertaan dalam training-training internasional

tentang perijinan PLTN dan sebagainya. Adopsi perijinan juga dapat dilakukan untuk

mempercepat peningkatan kapasitas lembaga regulator.

4.6. Risiko Unjuk Kerja Pembangkit

Unjuk kerja (performance) erat berhubungan dengan teknologi dan SDM operator.

Risiko ini terjadi pada masa operasi. Parameter unjuk kerja pembangkit adalah faktor

kapasitas. Dalam prakteknya, faktor kapasitas tahunan untuk suatu pembangkit beban

dasar seperti PLTN tidak pernah mencapai angka 100% karena kondisi outage (pembangkit

offline) baik outage karena masa pemeliharaan atau outage karena masalah teknologi,

gangguan jaringan dan lain sebagainya. Faktor kapasitas yang rendah sangat tidak

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 330

diinginkan owner karena penjualan listrik bekurang. Jika penjualan rendah, owner terancam

tidak memperoleh keuntungan dan tidak mampu membayar deviden kepada para

shareholder. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh investor manapun. Jika outage karena

pemeliharaan telah dapat diperkirakan dalam analisis kelayakan proyek, maka masalah

teknologi dan di luar itu tidak demikian.

Untuk meminimalkan risiko unjuk kerja, pembangkit yang dipilih haruslah yang telah

teruji teknologinya (proven technology). Untuk regulasi Indonesia, yang dimaksud proven

technology adalah jika pembangkit telah beroperasi komersial selama 3 tahun berturut-turut

dengan faktor kapasitas di atas 75%[12]. Teknologi PLTN telah banyak berkembang dengan

meningkatkan inherent safety. Dengan memakai teknologi terbaru diharapkan efisinsi

pembangkit meningkat, waktu dan biaya pemeliharaan dapat berkurang, sehingga faktor

kapasitas tinggi. Unjuk kerja yang minim juga dapat diperkecil dengan pengawasan yang

ketat dari Badan Pengawas. Selain itu, pemilihan SDM yang berkualitas, bebas kolusi,

korupsi dan nepotisme, serta pelatihan yang memadai adalah hal yang dapat memperkecil

risiko ini.

4.7. Risiko Pasar

Risiko pasar dapat berupa risiko tarif, dimana tarif listrik di suatu negara sangat

rendah atau adanya tekanan dari industri besar untuk menurunkan tarif listrik. Tarif listrik

di Indonesia tidak dikendalikan oleh harga pasar, melainkan oleh pemerintah. Pasar listrik

Indonesia menerapkan single buyer multi seller, dimana PLN sebagai single buyer membeli

listrik dari berbagai perusahaan pembangkitan, swasta maupun BUMN, dan menjualnya

kepada konsumen dengan tarif listrik yang mengacu pada keputusan pemerintah. Tarif

tersebut bisa lebih rendah dari harga jual listrik yang ekonomis dari pembangkit. Namun,

perusahaan pembangkitan tetap dapat menjual listrik kepada PLN tetap akan dengan harga

yang disepakati bersama, karena PLN mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk

penyediaan tenaga listrik. Sebagai BUMN, PLN terikat pada kewajiban untuk menyediakan

tenaga listrik bagi masyarakat. Kebutuhan subsidi listrik tahun 2011 adalah Rp 40,7 triliun.

Pada tahun 2012 angka ini diperkirakan meningkat menjadi Rp 58,72 triliun. Kebutuhan

subsidi listrik tersebut sudah memperhitungkan tarif dasar listrik (TDL) dan marjin usaha

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)[13]. Karena itu, risiko tarif sampai saat ini tidak akan

merugikan perusahaan pembangkit listrik di Indonesia.

Risiko pasar yang lain adalah risiko kegagalan dispatch karena gangguan sistem.

Owner akan mengalami kerugian karena pembangkit gagal menjual listriknya. Selain

owner, konsumen juga dirugikan karena kurangnya suplai tenaga listrik seringkali

mengakibatkan pemadaman bergilir. Karena sistem transmisi dan distribusi di Indonesia

sepenuhnya dimiliki oleh PLN, owner dapat menuntut suatu kompensasi atas kegagalan

tersebut sebagai upaya untuk memperkecil kerugian finansial. Untuk menjamin penjualan

tenaga listrik, owner perlu mengadakan kontrak pembelian tenaga listrik atau power purchase

agreement (PPA) yang berjangka panjang dengan PLN.

4.8. Risiko Suplai Bahan Bakar

Masalah suplai bahan bakar adalah risiko lain yang sering dikhawatirkan, karena

berhubungan dengan security of energy. Yang dimaksud dengan risiko ini mencakup

keterlambatan pengiriman perangkat bahan bakar (fuel assembly) dari pabrikan bahan bakar,

yang memaksa terjadinya penurunan output listrik bahkan penutupan, masalah kualitas

bahan bakar yang tidak sesuai kualifikasi yang menyebabkan output listrik yang tidak

maksimal dan membutuhkan penanganan ekstra, serta kenaikan biaya besar dan tidak

terduga dalam siklus bahan bakar. Untuk kenaikan biaya bahan bakar, konsumen tenaga

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 331

listriklah yang langsung merasakan akibatnya. Untuk PLTN, biaya bahan bakar hanya

menyumbang sekitar 11% dari total biaya pembangkitan listrik[14], sehingga kenaikan dalam

biaya ini tidak akan terlalu mendongkrak tarif listrik. Risiko keamanan suplai dapat

dimitigasi dengan menerapkan kontrak suplai jangka panjang dengan perusahaan pembuat

bahan bakar. Dengan menerapkan kontrak jangka panjang, alokasi risiko tidak hanya tertuju

kepada owner, tetapi juga kepada perusahaan penyedia bahan bakar. Selain itu,

mengandalkan suplai bahan bakar pada satu suplier saja akan riskan, karena itu kerja sama

dengan suplier lain akan meminimalkan risiko. Upaya yang lain adalah dengan mencari

suplai bahan bakar dari perusahaan lokal atau regional sehingga kontrol lebih mudah

dilakukan.

4.9. Risiko Keselamatan

Istilah keselamatan dalam industri nuklir berkaitan dengan keselamatan terhadap

radiasi. Jadi, risiko keselamatan muncul ketika pembangkit mulai beroperasi. Kasus

Chernobyl, Three Mile Island, dan yang terakhir Fukushima Daiichi merupakan contoh

bagaimana kegagalan sistem keselamatan tidak hanya membawa kerugian materi, namun

juga immateri. Strategi mitigasi untuk menekan kerugian finansial adalah dengan

mengasuransikan pembangkit, sehingga alokasi risiko yang sebelumnya hanya berada di

pihak owner, kini dialihkan sebagian atau seluruhnya ke perusahaan asuransi. Hal lain yang

harus dilakukan untuk memperkecil terjadinya risiko keselamatan adalah pemilihan

teknologi yang handal dan aman dengan rekam jejak vendor yang terpercaya. Pemilihan

tenaga kerja yang memiliki kualifikasi, dedikasi dan integritas, pelatihan dan peningkatan

kemampuan SDM, serta manajemen yang menerapkan reward and punishment, dapat

menekan risiko keselamatan akibat kecerobohan.

4.10. Risiko Pembuangan Limbah

Risiko ini meliputi tidak terwujudnya fasilitas pembuangan lestari hingga waktu yang

ditentukan, kenaikan biaya yang diluar perkiraan, atau bertambahnya persyaratan dan

biaya dekomisioning. Hal-hal tersebut dilatarbelakangi antara lain oleh terlambatnya

strategi pembuangan limbah, pertimbangan fasilitas pembuangan lestari yang tidak

ekonomis jika hanya diisi oleh limbah dari beberapa unit PLTN, atau tidak cukupnya biaya

pengolahan limbah. Jika tidak ditangani dengan baik, risiko ini dapat mendorong terjadinya

risiko lain seperti penolakan PLTN yang semakin keras, atau hilangnya dukungan politik.

Pemerintah dapat ikut menegosiasikan masalah limbah ini dengan negara pengekspor

bahan bakar menyangkut kemungkinan pengembalian limbah bahan bakar atau melakukan

pendekatan terhadap negara yang telah berhasil mewujudkan fasilitas pembuangan lestari.

Selain itu, olah ulang terhadap bahan bakar bekas menjadi upaya lain untuk memperkecil

volume limbah. Owner juga dapat menyimpan biaya dekomisioning yang dikumpulkan

dari penjualan tenaga listrik dalam bentuk investasi berisiko rendah seperti obligasi

pemerintah sehingga kenaikan biaya dekomisioning dapat diantisipasi.

4.11. Risiko Politik

Risiko politik merupakan risiko yang paling sulit diduga kemunculannya. Pergantian

rezim pemerintahan atau perubahan kebijakan energi nuklir menyebabkan penghentian

program nuklir, penghentian konstruksi, dan kerugian investasi yang besar. Walaupun

implementasi pembangunan PLTN di Indonesia belum terealisasi, perubahan kebijakan

pemerintah tentang energi nuklir dapat segera terlihat dalam dua periode kepemimpinan

yang sama. Kebijakan energi pemerintah Indonesia tertuang dalam Kebijakan Energi

Nasional (KEN) yang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN). KEN bertujuan

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 332

mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Pada KEN 2006 yang disahkan dalam

Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006, nuklir masih tertuang dalam sasaran bauran energi

primer nasional pada tahun 2025, meski porsinya bersama-sama dengan energi baru

terbarukan lainnya hanya 5%[15]. KEN 2006 ini akan segera dimutakhirkan dan diganti.

Dalam draft KEN terbaru, yang hingga saat ini belum disahkan, DEN telah membatalkan

rencana pembangunan PLTN yang tercantum dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN)

2010–2050. Hal itu diputuskan terkait dengan evaluasi keamanan PLTN pasca peristiwa

kebocoran PLTN Fukushima Daiichi di Jepang[16],[17]. Bagi Indonesia, perubahan kebijakan ini

tidak membawa kerugian finansial, namun kerugian moril sudah tentu ada.

Filipina, di lain pihak, adalah negara pertama di ASEAN yang memiliki PLTN.

Program nuklir Filipina dimulai tahun 1958, dan di bawah pemerintahan rezim Ferdinand

Marcos, Filipina mengumumkan rencana pembangunan PLTN pertamanya pada tahun 1973

dengan nama Bataan Nuclear Power Plant (BNPP). BNPP berteknologi Pressurized Water

Reactor (PWR) dari Westinghouse dengan kapasitas 620 MW. Konstruksi dimulai pada

tahun 1976. Sebagai dampak tak langsung dari kecelakaan Three Mile Island pada tahun

1979, pekerjaan konstruksi BNPP dihentikan. Konstruksi diteruskan setelah diadakan

pemeriksaan menyeluruh atas BNPP, dimana ditemukan sekitar 4000 titik kerusakan. Pada

tahun 1984, ketika pembangunan hampir selesai, BNPP telah menelan biaya USD 2,3 milliar.

Pada tahun 1986, menyusul kecelakaan Chernobyl, pemerintah Filipina di bawah kekuasaan

Corazon Aquino memutuskan untuk tidak mengoperasikan BNPP, hingga kini.

Pertimbangan juga didasarkan atas penolakan keras warga Bataan dan masyarakat Filipina

lainnya. Namun demikian, pemeliharaan tetap dilakukan oleh National Power Corporation

(NAPOCOR) dengan biaya yang mencapai 0,9 juta USD per tahun. Pemerintah Filipina

melunasi hutangnya atas BNPP pada Juli 2007, lebih dari 30 tahun setelah konstruksi

dimulai. Pada Mei 2011, pemerintah Filipina membuka BNPP sebagai objek wisata[18].

Selain Filipina, perubahan kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan bagi

industri nuklir juga terjadi di Jerman. Pemerintah Jerman memutuskan untuk meninggalkan

energi nuklir untuk selamanya pada 2020. Jerman kemudian akan mendorong pemanfaatan

energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi penggunaan listrik. Keputusan yang

dikeluarkan pada 30 Mei 2011 ini juga didorong oleh kecelakaan PLTN Fukushima. Untuk

mulai melepaskan diri dari nuklir, Jerman secara bertahap akan mulai mematikan 17 reaktor

nuklirnya[19]. Beberapa reaktor bahkan terpaksa ditutup sebelum waktunya.

Politik bermula dari penguasaan atas suara rakyat, apalagi dalam sistem demokrasi.

Mitigasi yang dapat dilakukan untuk risiko politik antara lain meminta jaminan pemerintah

secara penuh, kerja sama yang erat di antara para pemangku kepentingan termasuk

masyarakat, promosi atau sosialisasi yang terus-menerus mengenai energi nuklir seperti

dilakukan Korea Selatan melalui Korea Hydro and Nuclear Power (KHNP), dan

memaksimalkan partisipasi publik misalnya dalam pembukaan lapangan kerja. Kunci dari

keamanan suatu proyek adalah rasa kepemilikan. Jika masyarakat diajak untuk ikut

memiliki dan memikirkan energi nuklir sebagai bagian dari solusi untuk kedaulatan energi

bangsa, masyarakat akan menerima risiko yang melekat pada PLTN sebagai suatu paket.

Yang terjadi kemudian adalah resistansi masyarakat akan berkurang, dengan demikian

risiko politik dapat diminimalkan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 333

1. Risiko tidak dapat dipisahkan dari kegiatan apapun, termasuk pembangunan PLTN.

Satu-satunya langkah yang dapat dilakukan mengenali setiap risiko dan menekan

risiko tersebut melalui strategi-strategi mitigasi.

2. Risiko PLTN terjadi di setiap tahap, dimulai dari tahap pre-konstruksi, konstruksi,

operasi, dan post-operasi. Namun, risiko terbanyak ditemui dalam tahap operasi,

sehingga mitigasi risiko lebih lanjut perlu dikonsentrasikan pada tahap ini.

Kemudian, untuk lebih jauh mengenali karakter dari masing-masing risiko, kajian

lebih lanjut atas setiap risiko dan strategi mitigasinya perlu dilakukan. Hal ini diperlukan

untuk meyakinkan setiap pihak bahwa program PLTN Indonesia tidak mengabaikan risiko

sekecil apapun, dan bahwa risiko-risiko tersebut telah dikenali dan dimitigasi.

DAFTAR PUSTAKA [1]. IAEA, Workshop on Financing Structures and Introduction to Identification and

Management of Financial Risks for Nuclear Power Plant Projects Vienna, Austria 13-

16 December, 2010.

[2]. Korea Nuclear Training Center (KNTC), “Financing of Nuclear Power Projects”,

sumber: http://www.kntc.re.kr/openlec/policy/part1/part1_chapter4.htm, diakses

tanggal 1 Januari 2011.

[3]. IAEA, “Nuclear Power Reactors in the World, Reference Data Series No.2”,

International Atomic Energy Agency, Vienna, 2008.

[4]. OECD, “Country Risk Classifications of the Participants to the Arrangement on

Officially Supported Export Credits”, sumber:

http://www.oecd.org/dataoecd/47/29/3782900.pdf, diakses tanggal 3 Mei 2011.

[5]. SRIYANA dkk, “Analisis Pengaruh Tingkat Komponen Dalam Negeri Terhadap

Keekonomian PLTN”, Jurnal Pengembangan Energi Nuklir, Volume 12 No. 2, Jakarta,

Desember 2010.

[6]. BANK INDONESIA, “Definisi Inflasi”, sumber:

http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/, diakses tanggal 5 Mei 2011.

[7]. CHIRICA, T. dan PALL, S. “Risk Management Solutions For Cernavoda Unit #2 NPP

Completion”, International Conference Nuclear Energy for New Europe 2002 Kranjska

Gora, Slovenia, September 9-12, 2002.

[8]. METROTV, “Asuransi Nuklir Jepang Tak Mencakup Bencana Tsunami”, 15 Maret

2011, sumber: http://www.metrotvnews.com/, diakses tanggal 1 Mei 2011.

[9]. INSURANCEJOURNAL, “Japan Approves Tepco Nuclear Claims Plan; Banks’ Help

Eyed”, sumber:

http://www.insurancejournal.com/news/international/2011/05/13/198325.htm, diakses

tanggal 3 Mei 2011.

[10]. INSURANCEJOURNAL, “Japan Aims for Tepco Compensation Scheme this Week”,

sumber: http://www.insurancejournal.com/news/international/2011/05/11/197929.htm,

diakses tanggal 3 Mei 2011.

[11]. INSURANCEJOURNAL, “Tokyo Electric Pleads for Government Help”, sumber:

http://www.insurancejournal.com/news/international/2011/05/10/197756.htm, diakses

tanggal 3 Mei 2011.

[12]. Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2006 Tentang

Perizinan Reaktor Nuklir Pasal 4 Ayat 2.

[13]. MEDIA INDONESIA.COM, “Subsidi Listrik 2012 Naik Jadi Rp 58,72 Triliun”, sumber:

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/31/230362/4/2/Subsidi-Listrik-2012-

Naik-Jadi-Rp-5872-Triliun, 31 Mei 2011, diakses tanggal 3 Juni 2011.

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir

Badan Tenaga Nuklir Nasional

ISSN 1979-1208 334

[14]. WORLD NUCLEAR ASSOCIATION, “The Economics of Nuclear Power”, edisi Maret

2011, sumber: http://www.world-nuclear.org/info/inf02.html, diakses April 2011.

[15]. Peraturan Presiden 05/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pasal 2, Bab 2,

hlm 4.

[16]. PIKIRAN RAKYAT ONLINE, “Akhirnya, Rencana Pembangunan PLTN Dibatalkan”,

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/144913, 12 Mei 2011, diakses tanggal 30

Mei 2011.

[17]. HARIAN SEPUTAR INDONESIA, ”Pembangunan PLTN Terancam Dibatalkan”,

sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/399206/, 16 mei

2011, diakses tanggal 30 Mei 2011.

[18]. WIKIPEDIA, “Bataan Nuclear Power Plant”, sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/Bataan_Nuclear_Power_Plant, diakses tanggal 20 Mei

2011.

[19]. KOMPAS.COM, “Jerman Tinggalkan Energi Nuklir”, sumber:

http://internasional.kompas.com/read/2011/05/31/07342638/Jerman.Tinggalkan.Energi.

Nuklir, 31 Mei 2011, diakses tanggal 3 Juni 2011.

DISKUSI 1. Pertanyaan dari Sdr. Iwan (Mahasiswa)

Apakah metodologi yang disajikan di sini adalah metodologi untuk menganalisa

risiko secara menyeluruh, maksud saya, tuntas?

Jawaban:

Tidak, metode di sini baru merupakan langkah awal dari pengkajian risiko yang

menyeluruh dan lebih detil. Dari sini kita mendapatkan/mengidentifikasi sumber-

sumber risiko yang relevan. Untuk betul-betul muncul dan dipertimbangkan dalam

level bisnis yang sesungguhnya perlu beberapa langkah analisis risiko yang lebih

lanjut. Akan tetapi metode ini merupakan tool yang cukup memadai dalam proposal

tahap awal sebuah rencana pembangunan PLTN.