Identifikasi Kawasan Tambak Udang Dan Kepiting Di Pallime Bone
-
Upload
bbap-takalar -
Category
Technology
-
view
11.559 -
download
14
Transcript of Identifikasi Kawasan Tambak Udang Dan Kepiting Di Pallime Bone
0
LAPORAN
IDENTIFIKASI KAWASAN
BUDIDAYA TAMBAK UDANG DAN KEPITING BAKAU DESA PALLIME - CENRANA KABUPATEN BONE
PROPINSI SULAWESI SELATAN
Oleh :
Nana S.S. Udi Putra, S.Hut.,M.Si. Harunur Rasyid, A.Md
E-mail : [email protected]
BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU TAKALAR
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2008
1
I. PENDAHULUAN
Sub sektor perikanan dan kelautan merupakan andalan bagi daerah-
daerah yang secara potensi alaminya secara khusus memanfaatkan dan
mengandalkan kegiatan perikanan dan kelautan. Kabupaten Bone
merupakan salah satu kabupaten pesisir yang secara geografis memiliki
potensi dan kegiatan-kegitan di sub sektor perikanan dan kelautan cukup
besar di Sulawesi Selatan.
Secara potensial Kabupaten Bone dengan pasilitas TPI hingga 20 unit
menunjukkan adanya aktivitas perikanan tangkap yang besar, namun dari sisi
lain dengan memanfaatkan potensi lahan yang ada juga dilakukan kegiatan
budidaya tambak dan rumput laut. Produksi tambak adalah penunjang nilai
produksi terbesar ke-2 setelah aktivitas penangkap, seperti pada tahun 2007
mencapai nilai 173,034 milyar rupiah atau mencapai 37.259 ton, angka ini
merupakan nilai yang cukup rendah dibanding dengan tahun-tahun
sebelumnya.
Dari 10 kecamatan pesisir adalah kecamatan Cenrana, Aktivitas
perikanan di kecamatan ini cukup besar berbagai komoditas yang dihasilkan
di wilayah ini seperti dari sektor penangkapan dan juga tambak udang, namun
yang sangat unik dan dikenal adalah budiaya kepiting bakau. Produksi udang
windu masyarakat terus menurun karana munculnya penyakit bercak putih
(white spot), selain faktor penyakit adanya indikasi bahwa penurunan produksi
memperlihatkan produktivitas lahan mulai menurun, akibat kualitas lingkungan
yang menurun sehingga kemampuan daya dukung pun menuruni.
Keunikan yang ada di Cenrana adalah aktivitas budidaya kepiting bakau
yang dilakukan bersamaan dengan menanam padi (mina padi kepiting
bakau). Aktivitas budidaya kepiting bakau yang terus menerus dan turun-
temurun seolah tidak ada nilainya (tidak tercatat di buku laporan produksi)
padahal memberikan dampak yang sangat besar pada penghasilan. Padahal
hasil dari Kecamatan Cenrana sebagaimana hasil wawancara bisa mencapai
2.5 – 4 ton kepiting per minggu.
2
Oleh karena itu, kegiatan identifikasi daerah-daerah budidaya perikanan
khususnya Kepiting bakau di Kabupaten Bone diprakarsai oleh BBAP Takalar
yang dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan budidaya dan
permasalahan secara teknis di lapangan dalam kegiatan budidaya, sehingga
permasalahan teknis dapat diselesaikan dan dapat dilakukan perbaikan-
perbaikan untuk meningkatkan produktivitas lahan. Karena para petani
mengakui bahwa selama ini permasalahan-permasalahan dalam budidaya
baik dari aspek kualitas lingkungan dan cara-cara penanganannya tidak
didasarkan pada data-data yang akurat, sehingga hasil penanganannya
kurang memuaskan para petani sendiri.
1.2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dilakukannya kegiatan identifikasi ini adalah
a. Sebagai upaya identifikasi kondisi fisik lingkungan tempat budidaya mina
padai kepiting bakau di Desa Pallime, Kecamatan Cenrana.
b. Sebagai upaya pengumpulan data dalam rangka monitoring lingkungan
laboratorium Uji
c. Sebagai upaya memberikan layanan kepada masyarakat masyarakat
dengan rekomendasi atas masalah-masalah yang dihadapi di tempat
identifikasi.
1.3. Tempat dan Waktu
Kegiatan identifikasi dilakukan di kabupaten Bone Kecamatan Cenrana
Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan Surat Tugas Kepala BBAP Takalar
No ...... /BBAPT/TU.420/IX/2007, tertanggal ..... Juni 2008 tentang kegiatan
Identifikasi dan Monitoring Lingkungan Kawasan Budidaya. Identifikasi
dilakukan pada tangggal ........ Juni 2008. Areal budidaya Mina padi Kepiting
di wilayah Kecamatan Cenrana. Personil yang melakukan identikasi lapangan
adalah
1. Nama : Nana S.S. Udi Putra, S.Hut., M.Si.
Nip : 950 002 981
3
Jabatan : Staf Teknis Laboratorium Uji BBAP Takalar
2. Nama : Harunur Rasyid, A.Md.
Nip : 950 003
Jabatan : Staf Teknis Laboratorium Uji BBAP Takalar
II. GAMBARAN UMUM LOKASI
Kabupaten Bone ada di wilayah Pesisir Timur Sulawesi Selatan,
dengan luas wilayah 45.599,16 km2, atau sekitar 10% dari luas Provinsi
Sulawesi Selatan. Secara geografis terletak pada posisi 4o 13’ – 5 o 06’
Lintang Selatan dan 119o 42’ – 120o 30’ Bujur Timur. Secara administratif
Kabupaten Bone berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Sopeng di sebelah
Utara, berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa di Sebelah Selatan,
berbatasan dengan Kabupaten Maros, Pangkep, dan Baru di Sebelah Barat
serta sebelah Timur adalah Teluk Bone.
Jumlah penduduk Kabupaten Bone sebanyak 699.474 jiwa pada tahun
2006. Dari 27 kecamatan di Kabupaten Bone 10 kecamatan diantaranya
dengan 63 desa di dalamnya memiliki wilayah pesisir. Termasuk Kecamatan
Cenrana dengan luas wilayah 143,60 km2 dan memiliki garis pantai
terpanjang hingga mencapai 30 km atau mencapai luasan 19,440 Ha.
III. POTENSI PERIKANAN
Aktivitas perikanan di Kabupaten Bone meliputi aktivitas penangkapan
dan budidaya baik di perairan umum, darat maupun laut. Aktivitas ini mampu
menghasilkan nilai produksi yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai
contoh di tahun 2007 pertumbuhan produksi perikanan mencapai 3,3% per
tahun. Sumbangan terbesar berasal dari aktivitas penangkapan dan disusul
oleh aktivitas budidaya tambak (Tabel 1).
4
Tabel 1. Produksi Sektor Perikanan Kabupaten Bone Tahun 2007
Sektor Produksi (X 1000
Ton)
Nilai Produksi (Rp Juta)
Komoditas
Penangkapan ikan di laut 73,454 797.219,40
> 35 jenis, termasuk tuna, cakalang, rajungan, kerapu, teripang, lobster, dll.
Penangkapan ikan di perairan umum
1,678 7.792,50 > 6 jenis, termasuk sepat siam, gabus, mujair, sidat, udang galah, dll.
Budidaya tambak
37,259 173.034,00
> 8 jenis, bandeng,udang windu, udang api-api, udang putih, kepiting bakau, rumput laut, mujair, dll.
Budidaya Kolam
0,054 432 -
Budidaya mina padi ikan
0,005 37,60 -
Budidaya laut 5,500 5.500,00 Rumput laut Sumber : Laporan Tahunan Perikanan dan Kelautan tahun 2007.
Sektor lainnya adalah produksi benur dari pembenihan mencapai 59 juta ekor
dengan nilai produksi mencapai Rp 1,77 milyar.
Dari total hasil produksi perikanan menunjukkan bahwa Kecamatan
Cenrana menyumbang sekitar 3,77% terhadap nilai produksi hasil perikanan
Kabupaten Bone. Dengan demikian sumbangannya masih sangat kecil
(Tabel 2) padahal potensi perikanan yang besar karena garis pantai
terpanjang dibanding dengan kecamatan lainnya (30 km).
Hasil produksi perikanan diperoleh dari potensi perikanan yang ada di
Kabupaten Bone dengan luasan total yang telah dimanfaatkan adalah baru
sebesar 7,78 % saja dengan pemanfaatan terbesar pada aktivitas tambak
sebesar 70.78% sedangkan aktivitas lainnya basih berpeluang besar untuk
dikembangkan seperti kolam, perairan umum, mina padi sawah, dan budidaya
laut (Tabel 3).
5
Tabel 2. Hasil Produksi Perikanan Kecamatan Cenrana Kabupaten Bone Tahun 2007
Sektor Produksi
(Ton)
Nilai Produksi
(Rp x1000)
Sumbangan terhadap (nilai) Produksi Kab.
Bone (%)
Komoditas
Penangkapan ikan di laut
1.901,5 10.103.400 2,59 % (1,27%)
Penangkapan ikan di perairan umum
422,8 1.900.000 25,19% (24,38%)
Budidaya tambak 1.658,8 24.608.900 4,45% (14,22%) Budidaya Kolam 4,1 32.800 7,59% (7,59%) Budidaya mina padi ikan
- -
Budidaya laut 430 430.000 7,82% (7,82 %) Sumber : Laporan Tahunan Perikanan dan Kelautan tahun 2007.
Tabel 3. Potensi dan realisasi pengembangan budidaya di Kabupaten Bone
tahun 2007.
Jenis aktivitas perikanan budidaya
Potensi (Ha)
Realisasai (Ha)
Tingkat pemanfaatan
(%) Tambak 15.244 10.790 70,78 Kolam 1.970 211 10,71 Perairan umum 2.203 - -
Mina padi sawah 31.344 34,8 0,11 Budidaya laut 93.929 217,75 0,23 Total 144.690 11.253,55 7,78
Sumber: Laporan Tahunan Perikanan dan Kelautan tahun 2007.
Secara ril pemanfaatan potensi perikanan seperti tambak di Kabupaten
Cenrana belum optimal ini tercermin dari nilai hasil produksi yang masih kalah
dari darah lainnya di Kec. Subulue, padahal daerah tersebut potensi masih
lebih rendah dibanding dengan Kecamatan Cenrana, begitu pula dalam
pemanfaatannya. Ini membuktikan bahwa potensi yang ada belum bisa
dimanfaatkan dengan baik yang didorong oleh rendahnya dukungan faktor
lainnya seperti sarana prasaran dan lebih utama adalah sumberdaya manusia
dalam menerapkan teknologi budidaya. Gambaran potensi dan ralisasi
pemanfaatannya dalam aktivitas perikanan disajikan pada Tabel 4.
6
Tabel 4. Potensi dan realisasi pengembangan budidaya di Kecamatan Cenrana Kabupaten Bone tahun 2007.
Jenis aktivitas
perikanan budidaya Potensi
(Ha) Realisasai
(Ha) Tingkat
pemanfaatan (%) Tambak 2.721,15 2.404,0 88,35 Kolam 21,0 2,0 9,52
Perairan umum 304,0 - - Mina padi sawah - - - Budidaya laut 19.400 20,5 0,1 Total 22446,15 2.426,5 10.81
Sumber : Dioah dari Laporan Tahunan Perikanan dan Kelautan tahun 2007.
Sangat jelas nampak kenapa nilai produksi perikanan yang rendah
padahal potensi yang tinggi, ternyata sarana prasarana pendukung di
Kecamatan Cenrana masing sangat kurang terkecuali adanya 1 unit TPI
(Tabel 5). Dukungan dari sarana seperti saluran tambak yang baik, diamana
sangat dibutuhkan di Cenrana masih belum ada.
Tabel 5. Sarana Prasarana Penunjang Kegiatan Sektor Perikanan Kabupaten
Bone hingga tahun 2007.
Sarana prasarana perikanan
Satuan Total di Kab
Bone Kecamatan
Cenrana Keterangan
Unit Pembenihan Rakyat (UPR)
Unit 3 -
Dempod Unit 2 - Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Unit 20 1
Saluran tambak Km 4225 - Pabrik Es Unit 10 - Cold storage Unit 2 - Backyard Unit 1 -
Sumber : Laporan Tahunan Perikanan dan Kelautan tahun 2007.
Tabel Potensi dan realisasi penggunaan lahan tambak serta hasil
produksinya di Kecamatan Cenrana disajikan pada Tabel 6.. Dari Tabel ini
jelas bahwa aktivitas dominan di Keamatan ini adalah tambak kepiting bakau
yang mencapai 74 % dari potensi Kabupaten Bone, akan tetapi ironisnya hasil
yang diperoleh hanya mencapai 30,48% saja. Ini menunjukkan ada banyak
kendala akan tetapi sebenarnya ada nilai unik yang bisa diambil karena hasil
yang tidak berubah dari tahun-ketahun.
7
Tabel 6. Tabel Potensi dan realisasi penggunaan lahan tambak serta hasil
produksinya di Kabupaten Bone dan Kecamatan Cenrana Tahun 2007.
Jenis Komoditas budidaya di
Tambak
Kabupaten Bone Kecamatan Cenrana
Potensi (Ha)
Realisasi (Ha)
Hasil Produksi (Ton)
Potensi (Ha)
Realisasi (Ha)
Hasil Produksi
(Ton)
Udang - 2.220 2.111 - 376 211,5
Kepiting Bakau - 1.822 1.310 - 1.350 399,3
Rumput Laut - 2.128 26.790 - 777
Bandeng - 1.264 5.160 - 208 271
Jenis lainnya - 3.356 1.888 - 470 289,6
Total 15.244 10.790 2.721,15 2.404 1.948,4 Sumber : Laporan Tahunan Perikanan dan Kelautan tahun 2007.
IV. HASIL IDENTIFIKASI
4.1. Kualitas air Sungai Cenrana Sungai Cenrana adalah satu-satunya sungai yang mengalir di Desa
Pallime yang menjadi sumber air tawar bagi kegiatan budidaya. Sehingga
keberadaanya menjadi sangat penting. Sungai Cenrana berhulu ke danau
Tempe di kabupaten Wajo, sehingga segala bentuk perubahan cuaca,
lingkungan dan segala aktivitasnya di hulu akan sangat berpengaruh bagi
kualitas air di muara sungai Cenrana.
Gambar 1. Perjalanan menuju lokasi Desa Pallime menggunakan Perahu melalui jalur Sungai Cenrana.
8
Hasil identifikasi (Tabel 7) menunjukkan kondisi yang umumnya
ditunjukkan oleh air sungai dalam kondisi keruh, tentunya mempunyai nilai
turbidity yang cukup tinggi, bahan organik yang tinggi dan tentunya
kandungan CO2 yang tinggi pula. Kandungan ammonia yang ada akibat
tingginya bahan organik dan menunjukan adanya aktivitas dekomposisi
dengan proses nitrifikasi yang terhambat akibat oksigen yang rendah. Kondisi
air sungai ini masih bisa digunakan sebagai sumber air tawar bagi kegiatan
budidaya yang tentunya perlu mendapat perlakuan seperti pengendapan air di
tandon, filterisasi, pengapuran dan lain-lain.
Tabel 7. Karakteristik kualitas air Sungai Cenrana di Pallime Cenrana-Bone
4.2. Budidaya Tambak Udang
4.2.1. Tanah
Jenis tanah yang dijumpai di areal tambak Desa Pallime Kecamatan
Cenrana adalah jenis tanah dengan tekstur liat (clay), serta jenis liat berpasir
(sandy clay) dan liat berlumpur (silty loam). Karakterisik fisik dan kimia tanah
di areal tambak udang di Muara Sunagi Cenrana Pallime dapat di lihat pada
Tabel 8. Dari sisi kondisi tanah menunjukkan bahwa areal tambak sudah
sesuai untuk budidaya udang yang menghendaki kondisi tanah yang liat
Parameter
Satuan
Hasil Pengukuran
Salinitas Ppt 0,33
pH 7,02
DO mg/L 3,93
Suhu oC 28,37
Alkalinias mg/L 126,00
CO2 mg/L 10,43
Ammonia mg/L 0,20
Nitrit mg/L 0,00
Posfat mg/L 0,10
Klor mg/L 0,00
Bahan organik mg/L 14,37
Turbidity NTU 49,00
Besi mg/L 0,00
H2S mg/L 0,00
9
berpasir dan liat berlumpur (Soetomo, 2002). Dengan demikian kondisi tanah
lahan tambak sudah sesuai untuk keperluan budidaya udang.
Tabel 8. Kualitas Tanah Tambak Udang di Muara Sungai Cenrana
Parameter
Satuan
Nilai Hasil Pengukuran
Optimal
Redoks mV -202 > - 100 (Reis, 1985)
pH
6,99 6,00 – 8,00 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Bahan organik % 10,51 < 2,5 % (Adhikari, 2003)
Phosfat mg/L 0,55 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)
Besi mg/L 0,69 < 0,1
Nitrogen mg/L 0,45 >250 mg/L ( Adhikari, 2003)
Tekstur % fraksi Liat 60 – pasir
40 % Liat 60-70%, pasir 30-40% (Dirt.
Pembudidayaan, 2003)
Warna tanah Abu-abu Coklat
Kandungan bahan organik di kawasan budidaya tambak udang
menujukkan kisaran 10,51 %, kondisi pH tanah 6,99, kandungan Posfat 0,55
mg/l, Besi 0,69 mg/L, Nitrogen 0,45 mg/L, dan redoks – 202 mV serta tekstur
tanah dengan kisaran kandungan liat 70% dan pasir 30%. Dari hasil
identifikasi kualitas tersebut, tanah ada dalam kondisi yang kurang cocok
untuk budidaya udang, perlu ada perlakuan-perlakuan untuk dapat
memperbaiki kualitasnya. Karateristik yang mendukung adalah pH tanah
(6,99) dan tekstur tanah (70:30%). Sedangkan karakteristik tanah lainya
kurang mendukung seperti redoks tanah yang rendah (-202 mV), kandungan
bahan organik tanah yang tinggi (10,51 %), Phosfat (0,55 mg/L), besi (0,69
mg/L) dan nitrogen (0,45 mg/L), hal ini sangat nyata dibandingkan dengan
kondisi optimal yang cocok untuk budidaya udang (Tabel 8). Pengolahan
dasar dalam persiapan tambak perlu mendapat perhatian sehingga kondisi
lahan benar-benar baik untuk budidaya.
Kondisi redoks tanah yang rendah menggambarkan aktivitas bakteri
rendah akibat oksigen yang rendah. Dampaknya adalah bakteri yang ada
tidak bisa bekerja dengan optimal dalam mendekomposisi bahan-bahan
organik. Kondisi ini nampak dengan warna tanah tambak yang berwarna abu
(Gambar 2) menunjukkan kondisi redoks yang rendah dengan proses
dekomposisi terhambat (Reis, 1985). Ini tampak dengan bahan organik tanah
yang tinggi (10,51%) begitu pula dengan Nitrogen (0,45 mg/L) dan Phosfat
10
(0,55 mg/L). Besi yang tinggi bisa menjadi penyebab rendahnya pH tanah
ataupun air akibat ikatan yang dibentuk dengan senyawa lain, sehingga perlu
berhati-hati dalam pengolahan tanah dasar. Pyrit yang tinggi bisa menjadi
racun bagi udang peliharaan dan bisa menimbulkan kematian massal akibat
penurunan pH yang drastis pada air media budidaya.
Dari hasil pengukuran pH tanah menunjukkan pH yang masih ada dalam
kondisi optimal (6,99). Pada pH netral seperti ini sesungguhnya aktivitas
bakteri sangat optimal dalam bekerja mendekomposisi bahan organik yang
ada (Malone & Burden, 1988, Boyd, 1995, Adhikari, 2003), selain itu bisa
mengontrol tingkat racun bahan-bahan berbahaya bagi udang seperti amonia,
nitrit, dan asam sulfida di dalam air. Tertahannya kisaran pH tanah bisa
disebabkan oleh kandungan bahan organik di dalamnya (Mintarjo et al, 1984)
akibat proses dekomposisi oleh bakteri. Bila keasaman tanah terus menurun
diperlukan perlakuan-perlakuan tambahan dengan melakukan penambahan
kapur pada saat pengolahan tanah seperti yang dianjurkan oleh Mintarjo
et.al., (1984) (Tabel 9).
Tabel 9. Jumlah Kapur yang Dibutuhkan Berdasarkan pada pH dan Tekstur Tanah.
pH Tanah
Jumlah kapur yang dibutuhkan (Kg/Ha)
Tanah liat Tanah liat berpasir Tanah berpasir
< 4 4.0 – 4.5 4.5 – 5.0 5.0 – 5.5 5.5 – 6.0 6.0 – 6.5
4000 3000 2500 1500 1000 500
2000 1500 1250 1000 500 500
1250 1250 1000 500 250 0
Sumber : Mintardjo, et. al. (1984).
Dari hasil identifikasi tersebut menunjukkan bahwa areal tambak ber pH
netral sehingga baik untuk dijadikan tempat budidaya udang. Tambak yang
produktif untuk tambak mempunyai kisaran pH netral hingga basa dan netral
akan memberikan suasana bilogik yang terbaik (Mintarjo at al, 1984). Tanah
yang baik untuk budidaya tambak udang berada pada kisaran netral pH 6.0-
8.0 (Direktorat Pembudidayaan, 2003).
11
Nitrogen dan Fosfor adalah unsur yang penting bagi pertumbuhan
phytoplankton (Boyd, et.al. 2002). Sehingga keberadaan kandungan Nitrogen
dan Phosfat di dalam tanah tambak seperti hasil identifikasi masih rendah bila
dengan kandungan optimal seperti pada Tabel 8. Nitrogen dan fosfat
merupakan bahan dasar nutrisi yang isa dimabfaatkan oleh phytoplankton
yang dihasilkan oleh proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Nitrogen
dalam bentuk ammonium dan nitrat serta fosfat mudah diserap oleh
phytoplankton. Bahan N dan Phosfat ini selain dimanfaatkan oleh
phytoplankton juga dimanfaatkan oleh udang/ikan dan organisme lainnya ada
di dalam tambak (Boyd, et.al. 2002).
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa nitrogen dan phosfat ada pada
kondisi yang rendah sehingga perlu tindakan perlakuan untuk
meningkatkannya hingga ada pada tingkat yang mencukupi bagi kehidupan
udang/ikan. Penambahan bisa dilakukan dengan melakukan pemupukkan
dengan menggunakan pupuk urea atau ammonium untuk menambah nitrogen
dan pemupukkan Kalsium phosfat dan Ammonium Phosfat untuk menambah
nutrisi Phosfat.
Gambar 2. Kondisi tanah tambak udang tradisional di Muara Sungai Cenrana Desa Palliem berwarna abu-abu kecoklatan.
4.2.2. Kualitas Air Tambak
Salah satu faktor yang dapat mendukung keberhasilan budiadaya adalah
kondisi kualitas air tambak. Kualitas air tambak merupakan resultante dari
12
beberapa faktor lingkungan yang ada di kawasan tersebut termasuk kondisi
fisik-kimia dan biologi. Karakteristik kualitas air di kawasan tambak muara
sungai Cenrana Pallime disajikan pada Tabel 10. Secara umum tambak di
Pallime adalah tambak yang dikelola secara tradisional. Luasan kawasan
tambak yang menghampar menjadi satu-kesatuan pengelolaan dimana satu
pengelola menguasai tambak 18 Ha.
Dari hasi identifiikasi tersebut karakteristik air yang diperoleh dari hasil
pengujian menunjukkan bahwa secara umum karakteristiknya ada pada
kisaran optimal bagi budidaya udang windu seperti DO (7,83 mg/L), suhu air
(30 oC), alkalinitas (157,50 mg/L), CO2 (0,0 mg/L), nitrit (0,0 mg/L), phosfat
(0,1 mg/L), clorin (0,0 mg/L), bahan organik (28,77 mg/L), besi (0,0 mg/L),
sulfida (0,0 mg/L), dan warna air (coklat muda), akan tetapi ada parameter-
parameter yang ada diluar kisaran yang optimal seperti salinitas (8,67 ppt),
pH (8,59), ammonia (0,2 mg/L) dan turbidity (49 NTU). Dengan demikian
kondisi tambak secara umum sudah ada pada kondisi yang baik untuk
budidaya, faktor-faktor utama bekerja dengan baik. Akan tetapi beberapa
faktor seperti salinitas, pH, ammonia, dan turbidity perlu mendapat perhatian.
Salinitas menjadi sangat krusial karena posisi tambak yang ada dimuara
dimana suplai air dipengaruhi oleh air tawar dari sungai yang didominasi oleh
air tawar akibat curah hujan yang masih tinggi. Karena tambak yang
sebenarnya siap menunggu panen (menunnggu bulan tingi) kondisi ini
tidaklah memprihatinkan bagi udang. Nilai pH yang tinggi diduga oleh
suburnya perairan sehingga proses photosyntesis yang berjalan baik
sehingga kondisi air terdorong meningkat oleh peninkatan serapan CO2 yang
tinggi dari phytoplankton. Perairan yang baik tersebut memdorong kondisi
kecerahan air agak gelap akibat warna air yang berwarna coklat tua akan
tetapi tidaklah berbahaya bagi udang windu. Terdeteksinya kandungan
ammonia yang tinggi (0,2 mg/L) sangat berkaitan dengan proses nitrifikasi
yang terhambat akibat oksigen yang terbatas akibat CO2 yang meningkat di
perairan sehingga terjadi akumulasi ammonia.
13
Tabel 10. Kualitas Air Tambak Udang Tradisional di Muara Sungai Cenrana Pallime.
Parameter
Satuan
Nilai Hasil Pengukuran
Optimal
Salinitas ppt 8,67 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
pH 8,59 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
DO mg/L 7,83 5,0 – 9,0 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Suhu oC 30,00 28,0 – 32,0 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Alkalinias mg/L 157,50 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
CO2 mg/L 0,00 < 0,20 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,20 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Posfat mg/L 0,10 0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Klorin mg/L 0,00 < 0,01 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Bahan organik mg/L 28,77 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Turbidity NTU 49,00 30 – 40 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Besi mg/L 0,00 < 1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
H2S mg/L 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Warna air Coklat muda Coklat muda (Ariawan & Poniran, 2004)
4.2.3. Penyakit udang
Dari hasil identifikasi terhadap laporan dan pengujian yang telah
dilakukan terhadap udang windu menunjukkan bahwa terjadi infeksi berat dari
Virus Bintik Putih (White Spot Syndrome Virus-WSSV) sehingga disarankan
untuk segera dipanen. Hasil uji terhadap karier udang putih menunjukkan
hasil yang sama (positif). Akan tetapi memiliki hasil yang berbeda terhadap
kepiting yang ditemukan di dalam tambak. Kondisi tambak yang sangat luas
(18 Ha) menyulitkan dalam mengotrol karena tambak sambung menyambung.
Intensitas tebar yang rendah sulit untuk melakukan pemanenan sehingga
pengelola hanya menunggu bulan tinggi untuk memamen, karena hanya pada
saat itu udang naik dari lumpur dan akan terbawa oleh arus air. Hal yang
riskan dari kegiatan budiaya di temukan di Pallime adalah budidaya udang
windu ditebar bersamaan dengan budidaya kepiting bakau, padahal kepiting
bakau merupakan karier bagi virus WSSV yang sangat mematikan bagi
udang windu. Yang seharusnya adalah budidaya itu tidak bersamaan karena
akan berakibat pada munculnya penyakit pada udang.
14
Gambar 3. Kondisi air berwarna coklat muda, dengan melimpahnya udang
kecil (Karier).
4.3. Budidaya Tambak Kepiting Monosek
4.3.1. Kualitas Tanah
Kondisi tanah tambah kepiting bakau karakteristiknya lebih jelek
dibanding dengan koendisi di Tambak Tambak udang di muara Sungai
Cenrana. Seperti yang disajikan di Tabel 11 menunjukkan bahawa hanya pH
tanah yang relatif normal (6,93) dengan kondisi tekstur tanah secara umum.
Karakteristik lainnya menunjukkan hasil yang kurang baik. Nilai redoks tanah
yang rendah (-241,33 mV) didukung oleh kondisi tanah yang berlumpur
berwarna hitam memperlihatkan kondisi tanah yang tidak produktif walupun
hasil pengukuran pH masih relatif netral (6,93). Aktivitas bakteri yang tidak
normal kemudian bergeser kearah anaerob sehingga proses perombakan
tidak berjalan normal. Hal ini ditunjukkan dengan kandungan bahan organik
yang tinggi (11,67 %) ini menandakan aktivitas perombakan oleh bakteri
betul-betul terhambat. Sepertihalnya juga jumlah Nitrogen (0,55 mg/L) yang
kecil dan Phosfat (0,60 mg/L). Kondisi yang menonjol adalah kandungan besi
yang tinggi melebihi nilai optimal (0,83 mg/L), ini cukup riskan karena akan
berdampak pada penurunan pH tanah bila besi berasosiasi dengan Sulfida
dan bila pH turun maka residu logam berat akan semakin meningkat. Kondisi
ini tidak menguntungkan bagi kehidupan kepiting di tambak. Tereksposnya
besi ke udara berdampak pada penurunan pH tanah yang bisa terjadi secara
drastis termasuk pH air.
15
Tabel 11. Karakteristik Tanah Tambak Kepiting Monosek di Pallime Cenrana-
Bone.
Parameter
Satuan
Nilai Hasil Pengukuran
Nilai optimal
Redoks mV -241,33 > - 100 (Reis, 1985)
pH 6,93 6,00 – 8,00 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Bahan organik % 11,67
< 2,5 % (Adhikari, 2003)
Phosfat mg/L 0,60 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)
Besi mg/L 0,83 < 0,1
Nitrogen mg/L 0,51 >250 mg/L ( Adhikari, 2003)
Tekstur %
fraksi Liat 60 – pasir
40 % Liat 60-70%, pasir 30-40% (Dirt. Pembudidayaan,
2003)
Warna tanah
Abu-abu Coklat
Kondisi tanah yang berwarna abu-abu pada bagian dasar tambak
memperlihatkan bahan organik yang tinggi dan proses dekomposisi yang
tidak berjalan dengan baik di tambak. Hasil wawancara dengan pengelola
tambak lebih jelas lagi karena tambak tidak bisa dikeringkan dan tidak ada
pengelolaan tanah dasar dalam proses persiapan tamabak. Lumpur sisa
seharusnya dibuang dari tanah dasar serta tambak harusnya dikeringkan.
Akan tetapi karena kondisi saluran yang tidak memungkinkan membuat
tambak tidak bisa dikeringkan.
4.3.2. Kualitas air tambak kepiting monosek
Hasil identifikasi kualitas air tambak kepiting monosek di Pallime
menunjukkan bahwa secara umum menunjukkan kualitas air yang baik,
berada pada kisaran optimal yang bisa mendukung pertumbuhan kepiting
seperti terlihat pada Tabel 12. Terkecuali pada hasil pengukuran pH yang
ada di atas kisaran optimal (pH 9). Tingginya pH air bisa meningkatkan
toksisitas racun, termasuk membatasi aktivitas bakteri dalam melakukan
dekomposisi bahan organik.
Budidaya kepiting adalah aktivitas utama di Desa Pallime Kecamatan
Cenrana – Bone. Sehingga segala upaya teknnologi dicoba untuk
dikembangkan dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi
kepiting di Pallime termasuk di dalamnya mengupayakan budidaya kepiting
dengan teknik penebaran monosek (jantan atau betina saja dalam satu
16
tambak-jantan betina dipisah). Jenis yang dibudidayakan terdiri atas jenis
Scylla serata di musim kering dan Scylla olivacea pad musim hujan. Kedua
jenis ini memiliki karakteristik habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda
yakni masing-masing pada salinitas tinggi (serata) dan salinitas rendah
(olivacea).
Tabel 12. Karakteristik Kualitas air Tambak Kepiting Monosek di Pallime Bone.
Parameter
Satuan
Nilai Hasil Pengukuran
Nilai Optimal
Salinitas Ppt 2,00 2 – 25 (Malone & Burden, 1988)
pH 9,10 7,0 – 8,0 (Malone & Burden, 1988)
DO mg/L 4,23 5,0 – 9,0 (Malone & Burden, 1988)
Suhu oC 31,00 24,0 – 32,0 (Malone & Burden, 1988)
Alkalinias mg/L 162,00 >100 (Malone & Burden, 1988)
CO2 mg/L 0,00 < 0,20 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,00 <0,03 (Malone & Burden, 1988)
Nitrit mg/L 0,00 <0,5 (Malone & Burden, 1988)
Posfat mg/L 0,00 0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Klor mg/L 0,00 < 0,01 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Bahan organik mg/L 19,69 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Turbidity NTU 40,00 30 – 40 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Besi mg/L 0,00 < 1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
H2S mg/L 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Pada saat identifikasi ada pada saat musim hujan sehingga jenis yang
dibudidayakan adalah jenis S. olivacea. Dengan demikian kondisi salinitas
rendah adalah kondisi yang disukai dan bisa tumbuh dengan optimal (salinitas
2 – 18 ppt).
17
Gambar 4. Tambak budidaya kepiting monosek A) Papan Nama plot ujicoba budidaya memisahkan antara tambak kepiting jantan dan betina, B) Tambak budidaya yang dikelilingi oleh pembatas waring untuk mencegah kepiting keluar tambak, C) Kepiting yang ditangkap menggunakan rakkang, dan D) Kepiting yang telah diikat siap dijual ke pasar.
4.4. Budidaya Tambak Mina Padi Kepiting
4.4.1. Kualitas tanah tambak mina padi kepiting
Hasil budidaya yang khas di Pallime membuat daerah ini terkenal
dengan produksi kepitingnya yang khas termasuk rasa yang dihasilkannya.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh para pembudiya kepiting di Pallime
adalah melakukan terobosan budidaya dimana budidaya kepiting bersamaan
dengan budidaya padi sawah. Sehingga sepanjang tahun hasil kepiting tetap
bisa dihasilkan, namun tetap menghasilkan hasil diversifikasi produksi laiinnya
yang dibutuhkan di daerah ini sebagai makanan pokok yakni padi. Dengan
demikian upaya budidaya padi diupayakan, namun harus ada pada musim
hujan agar kondisi air ada dalam kondisi tawar. Para pembudidaya kepiting di
Pallime tetap melakukan budidaya dengan menebar Kepiting yang cocok
pada kondisi salinitas rendah yakni jenis S. olivacea. Sehingga sampai saat
A B
C D
18
ini para pembudidaya kepiting di Pallime melakukan budidaya kepiting pada
musim hujan bersamaan dengan budidaya padi (polikultur) dan pada musim
kering melakukan budidaya kepiting secara monokultur dengan jenis S.
serata.
Tabel 13. Karakteristik tanah budidaya kepiting mina padi di Pallime Bone.
Parameter
Satuan
Nilai hasil Penggukuran
Nilai optimal
Redoks mV -229,33 > - 100 (Reis, 1985)
pH 7,02 6,00 – 8,00 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Bahan organik % 9,77 < 2,5 % (Adhikari, 2003)
Phosfat mg/L 0,42 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)
Besi mg/L 1,24 < 0,1
Nitrogen mg/L 0,34 >250 mg/L ( Adhikari, 2003)
Tekstur % fraksi Liat 60 – pasir
40 % Liat 60-70%, pasir 30-40% (Dirt.
Pembudidayaan, 2003)
Warna Coklat Coklat
Hasil identifikasi karakteristik tanah di lokasi budidaya kepiting mina padi
diperoleh menunjukkan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan tambak
kepiting monosek. Tabel 13 menunjukkan bahawa hanya pH tanah yang
netral (pH 7,02) dengan kondisi tekstur tanah yang sama. Karakteristik
lainnya menunjukkan hasil yang kurang baik. Nilai redoks tanah yang rendah (
-229,33 mV) namun kondisi tanah yang berwarna coklat memperlihatkan
kondisi tanah yang produktif. Aktivitas bakteri yang tidak normal namun lebih
baik dibanding di tambak monosek, kemudian bergeser kearah anaerob
sehingga proses perombakan tidak berjalan normal. Hal ini ditunjukkan
dengan kandungan bahan organik yang tinggi (9,77 %) ini menandakan
aktivitas perombakan oleh bakteri masih terhambat. Sepertihalnya juga
jumlah Nitrogen (0,34 mg/L) yang kecil dan Phosfat (0,42 mg/L). Kondisi
yang menonjol adalah kandungan besi yang sangat tinggi melebihi nilai
optimal (1,24 mg/L), ini sangat riskan karena akan berdampak pada
penurunan pH tanah bila besi berasosiasi dengan Sulfida dan bila pH turun
maka residu logam berat akan semakin meningkat. Kondisi ini tidak
menguntungkan bagi kehidupan kepiting di tambak. Tereksposnya besi ke
udara berdampak pada penurunan pH tanah yang bisa terjadi secara drastis
termasuk pH air. Pengolahan tanah yang baik pada saat persiapan membuat
kondisi tambak ini tetap mampu mendukung pertumbuhan padi dan kepiting.
19
Selain itu penebaran kepiting hanya 500 - 1000 ekor per Ha. Rendahnya
penebaran karena kepiting hanya dialokasikan pada caren yang disediakan.
Gambar 5. Model Tambak mina padi kepiting di Pallime A) Tambak dengan caren untuk kepiting tanpa padi di pinggir pematang, B) Tambak dengan padi dipinggir pematang.
4.4.2. Kualitas air tambak mina padi kepiting
Bagi masyarakat desa Pallime kegiatan budidaya kepiting bakau
disawah adalah suatu yang tak mungkin, disamping keterbatasan tanah
sawah begitu pula padi di tanam ditambak dengan salinitas air yang tinggi
juga suatu hal yang sulit dilakukan karena akan menghambat pertumbuhan
padi dan akan sia-sia. Inisiatif budidya polikultur kepiting dan padi di tambak
adalah suatu kebutuhan atas dua komoditas bagi masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga pemilihan waktu tanam dan jenis
kepiting yang dibudidayakan menjadi hal penting untuk mendapat perhatian.
Pilihan ini berkaitan dengan kondisi kualitas air yang memungkinkan untuk
keduanya bisa tumbuh dan berkembang dengan normal. Oleh karena itu
sasarannya adalah dilakukan pada musim hujan dimana sumber air tawar
melimpah untuk menurunkan salinitas air hingga mendekati 0 dan jenis
kepiting yang digunakan adalah jenis kepiting yang adaptif di kondisi salinitas
rendah yakni jenis kepiting Scylla olivacea.
Karakteristik kualitas air di tambak mina padi kepiting menunjukkan bahwa
salinitas ada pada kisaran 1-2 ppt (rata–rata 1,33 ppt), ini adalah nilai salinitas
yang optimal bagi kegiatan budidaya ini dan salinitas adalah parameter
pembatas bagi pertumbuhan padi, sedangkan lainnya relatif tidak
A B
20
berpengaruh bagi pertumbuhan padi kecuali keberadaan Nitrogen dan
Phosfat, karena keduanya akan menjadi sumber nutrisi bagi padi. Dari
beberapa karakteristik kualitas air lainnya akan lebih cenderung memberikan
pembatasan bagi pertumbuhan kepiting.
Tabel. 14. Karakteristik Kualitas Air Kawasan Budidaya Kepiting-Sawah
Parameter
Satuan
Nilai Hasil Pengukuran
Nilai optimal
Salinitas ppt 1,33 1 –4
pH 7,49 7,0 – 8,0 (Malone & Burden, 1988)
DO mg/L 9,33 >5,0 – 9,0 (Malone & Burden, 1988)
Suhu oC 28,70 24,0 – 32,0 (Malone & Burden, 1988)
Alkalinias mg/L 162,00 >100 (Malone & Burden, 1988)
CO2 mg/L 1,04 < 0,20 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Ammonia mg/L 0,05 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Nitrit mg/L 0,05 <0,5 (Malone & Burden, 1988)
Posfat mg/L 0,10 0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Klor mg/L 0,00 < 0,01 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Bahan organik mg/L 10,31 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Turbidity NTU 37,00 30 – 40 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)
Besi mg/L 0,00 < 1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
H2S mg/L 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)
Warna air Coklat tua Coklat tua
Dari hasil identifikasi (Tabel 14) dapat dilihat bahawa karakteristik yang
menonjol adalah keberadaan CO2 (1,02 mg/L), dan ammonia (0,05 mg/L),
sedangkan karakteristik lainnya akan bisa mendukung pertumbuhan kepiting.
Tingginya kandungan karbondioksida di dalam kolom air diduga karena hasil
dari kegiatan respirasi mikroorganisma di dalam tambak, akan tetapi tidak
memberikan dampak yang buruk karena kandungan oksigen sangat tinggi
sebagaimana hasil pengukuran DO yang mencapai 9,33 mg/L. Ini adalah
keuntungan yang diperoleh dari adanya tumbuhan padi di tambak, karena
padi mempunyai rate photositesis yang tinggi sehingga berimbas pada
kandungan oksigen tinggi di dalam kolom air tambak. Tentunya akan
berdampak pada sistem yang ada di dalam tambak berjalan dengan baik, dan
nampak pada karakteristik yang sangat baik bagi kehidupan kepiting di dalam
tambak. Sedangkan sedikit lebih tingginya kandungan amonia di dalam
tambak diduga karena proses amoifikasi namun proses nitrifikasi yang sedikit
21
terhambat. Akan tetapi nilai ammonia pada level 0,05 mg/L belum bersifat
toksik karena nilai pH yang agak relatif netral (pH 7,49).
4.5. Kandungan Residu Logam Berat
Hingga saat ini produk-produk indonesia yang diekspor keluar terutama
ke Eropa masih mendapatkan control yang ketat akibat ditemukannya residu
logam berat serta residu obat dan antibiotik. Dalam rangka menindak lanjuti
masalah tersebut selain melakukan monotoring HPI dan Lingkungan juga
melakukan identifikasi terhadap kandungan residu logam berat di wilayah
Kerja BBAP Takalar.
Dari hasil pengujian di laboratorium diperoleh kandungan residu seperti
yang tercantum pada Tabel 15. Komoditas yang diukur adalah Kepiting,
udang dang rumput laut glacilaria serta tanah dan air yang ada di
lingkungannya.
Tabel 15. Kandungan Logam Berat Air, Tnah dan Beberapa Komoditas Perikanan di Pallime Cenrana-Bone.
Lokasi
Parameter Satuan Jenis Sampel
Optimal Budidaya Air tbk Tanah Kepiting U. Windu Glacilaria
Tambak Mina padi
Hg mg/l 0,0046 <0,125 0,0518
Kepiting Pb mg/l 0,1504 <0,5 2,6864
Cd mg/l 0,0028 <0,25 0,4854
Tradisi Hg mg/l 0,0014 <0,125 0,0576 0,0504
Udang Pb mg/l 0,3206 <0,5 2,7419 2,1262
Windu Cd mg/l 0,0164 <0,25 0,5976 0,1211
Tambak Kepiting
Hg mg/l 0,0024 <0,125 0,0632
0,0754
Monosek Pb mg/l 0,179 <0,5 3,7627
0,9653
Cd mg/l 0,0078 <0,25 0,5832
0,0796
4.5.1. Air Tambak
Di seluruh kawasan tambak budiaya (kepiting minapadi, udang windu
dan kepiting monosek) yang identifikasi menunjukkan bahwa air tambak
secara berturut-turut untuk jenis logam berat Hg, Pb, dan Cd ada pada
kisaran 0,0014 – 0,0046 mg/L, 0,1504 – 0,3206 mg/L, dan 0,0024 – 0,0078
mg/L. Bila dibandingkan dengan batas yang diperbolehkan berdasarkan PP
22
No. 18 tahun 1999 dimana kandungan logam berat yang diperbolehkan
diperairan berturut-turut untuk Hg, Pb, dan Cd adalah 0,01 mg/L, 2,5 mg/L
dan 0,05 mg/L, menunjukkan bahwa secara keseluruhan masih aman untuk
kegiatan budidaya.
4.5.2. Tanah Tambak
Kandungan logam berat jenis Hg, Pb dan Cd berturut-turut adalah
<0,1250 mg/L, <0,5000 mg/L dan <0,2500 mg/L. Kandungan logam berat di
tanah tidak ada batasan minimum karena bersifat alami, namun tentunya
batasan untuk tujuan budidaya ikan yang mengarah ke keamanan pangan
menjadi sangat perlu.
4.5.3. Komoditas Perikanan
Komoditas perikanan budidaya yang diidentifikasi adalah udang windu,
kepiting, dan glasilaria. Kandungan logam berat pada udang windu
menunjukkan ada pada kisaran 0,050 untuk Hg, 2,1262 mg/L untuk Pb dan
0,1211 mg/L untuk Cd. Bila dibandingkan dengan batas maksimum yang
diperbolehkan dengan merefer ke Unieropa adalah 500 ppb untuk ketiga jenis
logamberat (Hg,Pb dan Cd). Dengan deimikian logam yang melebih i batas
maksimum adalah jenis Pb (2,1211 mg/L).
Pada komoditas jenis kepiting bakau diperoleh bahwa kandungan
logam berat untuk Hg, Pb dan Cd adalah berturut-turut ada pada kisaran
0,0518 – 0,0632 mg/L, 2,6864 – 3,7627 mg/L dan 0,4854 – 0,5832 mg/L.
Dengan demikian bila membandingkan dengan batas logam berat pada
udang maka menunjukkan bahwa kandungan kepiting di tambak minapadi
terdekteksi Pb melebihi batas, tambak udang tradisional dan tambak monosek
terdeteksi jenis Pb dan Cd telah melebihi batas.
Jenis rumput adalah jenis rumput laut Glacilaria yang tumbuh
dibudidayakan di tambak. Kisaran kandungan logam berat pada Glacilaria
mencapai 0,0754 untuk jenis Hg, 0,9653 mg/L untuk jenis Pb, dan 0,5554
mg/L untuk jenis Cd. Nampak bahwa Begitu pula untuk jenis komoditas
Glacilaria di Bone hanya kandungan Pb yang melebihi 0,5 mg/L.
23
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil identifikasi di lapangan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Sungai Cenrana masih layak untuk dijadikan sumber air tawar dalam
kegiatan budidaya tambak baik udang maupun kepiting, akan tetapi
tetap perlu dibersihkan dari bahan-bahan kontaminan melalui proses
pengendapan di tandon, pengapuran, dan sistem filterisasai.
2. Sistem irigasi yang kurang baik membuat sistem pemasukan dan
pengeluaran air terhambat.
3. Terlalu besarnya kawasan tambak udang tradisional dalam satu kali
tebar menyulitkan proses kontrol.
4. Tanah tambak udang yang berwarna coklat keabu-abuan akibat
persiapan tambak yang tidak dilakukan dengan baik.
5. Ditemukannya kasus penyakit WSSV berat pada udang dan carier
udang di tambak udang tradisional muara sungai Cenrana
6. Penebaran udang bersamaan dengan kepiting masih dilakukan di
Pallime, padahal kepiting adalah pembawa/inang virus WSSV.
Seharusnya tidak boleh tebar bersamaan pada kolam yang sama
7. Pada tambak monosek tidak dilakukan persiapan tanah dasar yang
optimal akibat air tidak bisa dikeluarkan dari tambak. Kondisi tersebut
berdampak pada tingginya pH air di kolom tambak.
8. Tanah di tambak mina padi kepiting menunjukkan tanah yang relatif
lebih baik akibat pemberian pupuk yang rutin dilakukan pada setiap
tanam tambak
9. Asosiasi atau polikultur padi dan kepiting memberikan keuntungan pada
kualitas air yang baik sehingga pertumbuhan kepitingpun berjalan
dengan baik.
10. Jenis pakan, udang dan ikan yang ujikan menunjukkan hasil yang
negatif untuk antibiotik chloramphenicol.
24
PUSTAKA
Adhikari, S. 2003. Fertilization, Soil and Water Quality Management in Small-Scale Pond : Fertilization Requiremet and Soil properties. Central Institute of Freshwater Aquaculture, Kauslyagangga, Bulaneswar India.
Ariawan, I.K dan Poniran. 2004. Persiapan Media Budidaya Udang Windu: Air. Makalah Pelatihan Petugas Teknis INBUDKAN. 24-30 Mei 2004, Jepara. Balai Besar Pengembangan Air Payau. Jepara.
Boyd, C.E. 1995. Bottom Soils, Sediment and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 348p.
Boyd, C.E., C.W. Wood and Taworn Thunjai. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management. Oregon State University
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bone. 2008. Laporan Tahunan Perikanan dan Kelautan Tahun 2007. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bone
Direktorat Pembudidayaan. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Udang. Program Intensifikasi Pembudidayaan Ikan. Direktorat Pembudidayaan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta. 2003.
Malone Ronald F dan Daniel G. Burden. 1988. Design of Recirculating Blue Crab shedding System. Louisiana Sea Grand Collage Program. Center for Wetland Recources Louisiana State University.
Mintardjo, K, Sunaryanto,A, Utaminingsih, dan Hermiyaningsih. 1984. Persyaratan Tanah dan Air dalam Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal Perikan Budidaya. Departemen Perikanan. Balai Budidaya Ai Payau Jepara.
Odum. 1971. Ekologi Umum.
Kementrian Lingkungan hidup. 1999. Peraturan Perundang-undangan : PP No.18 tahun 1999: Pengolahan Limbah bahan berbahaya dan beracun. Jilid I Kementrian Lingkungan hidup.
Soetomo M.HA. 2002. Teknik Budidaya Udang Windu. Edisi Cetak III Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung.
Van Wyk P. Dan John Scarpa. 1999. Water Quality Requirements and
management. Chapter 8 in Veterinary Residues Committee. 2008. Annual Report on Survilence for
Verterinary Residues in Food in UK 2007. Veterinary Residues Committee