The Growth Mindset Playbook A Teacher s Guide to Promoting Student Success Growth
IDENTIFIKASI DAN UJI KEMAMPUAN JAMUR Trichoderma spp ...digilib.unila.ac.id/57550/3/SKRIPSI TANPA...
Transcript of IDENTIFIKASI DAN UJI KEMAMPUAN JAMUR Trichoderma spp ...digilib.unila.ac.id/57550/3/SKRIPSI TANPA...
-
IDENTIFIKASI DAN UJI KEMAMPUAN JAMUR Trichoderma spp.SEBAGAI AGEN ANTAGONIS JAMUR AKAR PUTIH
(Rigidoporus microporus (Sw.) Overh) DANPLANT GROWTH PROMOTING FUNGI
(PGPF)
(Skripsi)
Oleh
LINA NUR HAYATI
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
-
ABSTRAK
IDENTIFIKASI DAN UJI KEMAMPUAN JAMUR Trichoderma spp.
SEBAGAI AGEN ANTAGONIS JAMUR AKAR PUTIH
(Rigidoporus microporus (Sw.) Overh.) DAN
PLANT GROWTH PROMOTING FUNGI
(PGPF)
Oleh
LINA NUR HAYATI
Salah satu penyebab menurunnya produktivitas tanaman karet di Indonesia yaitu
penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus (Sw.) Overh). Pengendalian
yang umum dilakukan adalah penggunakan fungisida kimia sintetik. Akan tetapi
aplikasi fungisida sintetik yang dilakukan secara intensif menyebabkab keracunan
bagi pengguna, pencemaran lingkungan, dan resistensi pada patogen.
Pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroba antagonis seperti
Trichoderma spp. dapat mengurangi penggunaan dari pestisida kimia sintetik.
Selain itu, beberapa penelitian mengungkapkan kemampuan Trichoderma spp.
mampu memacu pertumbuhan tanaman dengan memproduksi Indole Asetic Acid
(IAA), sehingga tanaman memiliki pertumbuhan yang lebih baik.
-
Lina Nur Hayati
Penelitian ini menggunakan 7 isolat Trichoderma spp. sebagai perlakuan.
Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji pertumbuhan,
kerapatan spora, dan viabilitas masing-masing terdiri dari 7 isolat uji dengan 3
ulangan. Uji antagonis terdiri dari 7 isolat uji dan 1 kontrol dengan masing-
masing 3 ulangan. Pengujian PGPF terdiri dari 7 isolat uji dan 1 kontrol dengan
masing-masing 5 ulangan. Data penelitian dianalisis ragam dan apabila terdapat
perbedaan yang nyata maka diuji lanjut dengan uji lanjut Duncan’s Multiple
Range Test pada taraf α = 5%.
Identifikasi secara molekuler menunjukkan bahwa isolat T1, T2, T4, TK1 dan
TK3 merupakan spesies T. asperellum, isolat T3 merupakan spesies T.
longibrachiatum, dan TK2 merupakan spesies T. reesei. Pengujian antagonis
menunjukkan ketujuh isolat Trichoderma spp. mempunyai kemampuan dalam
menekan pertumbuhan R. microporus, isolat T3 (T. longibrachiatum)
menunjukkan persentase penghambatan yang paling tinggi sebesar 87,59%.
Pengujian PGPF menunujukkan kemampuan ketujuh isolat beragam dalam
memacu pertumbuhan tanaman dari variabel yang diamati, isolat yang terbaik
dalam memacu pertumbuhan tanaman yaitu isolat T4 (T. asperellum).
Kata kunci : antagonis, karet, kerapatan spora, molekuler, pgpf, Trichoderma
spp. ,viabilitas
-
IDENTIFIKASI DAN UJI KEMAMPUAN JAMUR Trichoderma spp.
SEBAGAI AGEN ANTAGONIS JAMUR AKAR PUTIH
(Rigidoporus microporus (Sw.) Overh.) DAN
PLANT GROWTH PROMOTING FUNGI
(PGPF)
Oleh
LINA NUR HAYATI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dayamurni, Tulang Bawang Barat pada tanggal 21 Juli
1994. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak
Sumarto dan Ibu Sopiyah.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di RA Al Hidayah
Dayamurni pada tahun 2000, Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 1 Daya Asri
tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 1
Tumijajar tahun 2009 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Tumijajar
tahun 2012.
Tahun 2012, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agroteknologi, Fakultas
Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama
menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai organisasi yaitu Persatuan
Mahasiswa Agroteknologi (PERMA AGT), Forum Silaturahim Islam Fakultas
Pertanian (FOSI FP), Badan Eksekutif Mahasiswa Unila (BEM U KBM Unila),
Dewan Perwakilan Mahasiswa Unila (DPM U KBM Unila) dan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Pada tahun 2013, Penulis terpilih
sebagai Juara 1 dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Mahasiswa Nasional
-
viii
XIII tingkat Universitas dan mewakili Universitas Lampung sebagai Kafilah
Cabang Tilawah Al-Quran di Universitas Andalas, Sumatera Barat. Pada tahun
2015 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat di Bogor. Pada tahun 2016 penulis telah melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) di Desa Payung Batu, Kecamatan Pubian, Lampung Tengah.
-
“Dan bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh sesuatu selain apa yang
telah diusahakannya sendiri” (An Najm [53] : 39)
“Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata !” (W.S. Rendra)
“Kritis berarti tidak percaya demikian saja terhadap apa yang timbul dalam
fikirannya dan selalu ingin menguji kebenarannya. Sifat kritis akan menyebabkan
saudara tidak menerima dengan mudah apa saja yang saudara lihat, dengar atau
baca. Bahkan sering saya katakan, janganlah saudara mempercayai begitu saja
kuliah-kuliah saya. Demikian juga kita harus kritis terhadap pikiran kita sendiri,
dalam arti bahwa kita harus mengakui bahwa pikiran sendiripun tidak selalu
benar” (Semangun, 1973)
“And, when you want something, all the universe conspires in helping you to
achieve it” (Paulo Coelho, The Alchemist)
“Follow your dreams, don’t get stuck in somebody else’s. Go do what you want
to do and be your own person” (New-BTS)
-
Kepada Ayahanda dan Ibunda Tersayang
-
SANWACANA
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,
nikmat, dan karunia yang senantiasa dicurahkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi dan Uji Kemampuan Jamur
Trichoderma spp. sebagai Agen Antagonis Terhadap Jamur Akar Putih
(Rigidoporus microporus (Sw.) Overh.) dan sebagai Plant Growth Promoting
Fungi (PGPF)”.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku Ketua Bidang Hama Penyakit
Tanaman.
4. Bapak Radix Suharjo, S.P., M.Agr., Ph.D., sebagai pembimbing akademik
serta pembimbing utama yang senantiasa sabar dalam memberikan perhatian,
saran, nasihat, arahan selama menjadi mahasiswa, penelitian dan penulisan
skripsi.
-
xii
5. Ibu Ivayani, S.P., M.Si., sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan
nasihat, saran dan arahan selama penulis melakukan penelitian serta penulisan
skripsi.
6. Bapak Ir. Nur Yasin, M.Si., sebagai pembahas yang telah memberikan
masukan, kritik, dan saran kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.
7. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang, nasihat,
semangat, pengorbanan dan doa untuk putri tercintanya.
8. Kedua adikku yang selalu menghibur dan memberikan warna dalam suasana
apapun dan kondisi apapun.
9. Mba Dina, Mba Ika, Dwiyanti, Rio, Fitri, Rian, Queen, Bang Rully, Bang
Sam, Erika, dan teman-teman di Laboratorium Bioteknologi yang telah
membantu dalam penelitian ini.
10. Deska , Mba Sri, Yeti, Ida dan Deviyo yang terus memberikan banyak
semangat, perhatian, kasih sayang, nasihat, bijaksana, selama penulis tinggal
di Bandarlampung.
11. Teh Yuni, Mba Heni, Mba Aulia, Devi, Mba Tanti, Wanda, Chuni, Winni,
Rizka, Badi, Salam, Ical, Kak Andi, Kak Aferdi, Bregas, Kak Ardi dan Kak
Chandra yang terus meluangkan waktunya untuk memberikan perhatian,
semangat, nasihat dan doa untuk penulis.
-
xiii
12. Mba Yeti, Kak Dora, Ayuk Tiya, Rose, Mita, Mia, Sela, Rizki, Elci, Lita dan
teman-teman kostan yang selalu memberi ruang kapanpun itu.
13. Teman-teman Agroteknologi semua angkatan, terimakasih atas pengajaran,
kebersamaan, keterbukaan, selama ini.
Bandar Lampung, Juni 2019
Penulis
Lina Nur Hayati
-
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xxi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ..................................................................... 3
1.3 Kerangka Pemikiran ................................................................ 3
1.4 Hipotesis .................................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) .................... 7
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) ............... 7
2.3 Penyakit Akar Putih .................................................................. 92.3.1 Penyebab penyakit ........................................................... 92.3.2 Siklus penyakit ................................................................ 102.3.3 Gejala penyakit ................................................................ 112.3.4 Faktor yang mempengaruhi .............................................. 122.3.5 Pengendalian penyakit ...................................................... 13
2.4 Trichoderma spp. ...................................................................... 142.4.1 Trichoderma spp. sebagai jamur antagonis .................... 152.4.2 Trichoderma spp. sebagai Plant Growth
Promoting Fungi (PGPF) .................................................. 17
-
xv
2.5 Identifikasi Molekuler dengan PCR ........................................ 182.5.1 Elektroforesis ................................................................. 212.5.2 Skuensing dan analisis hasil sekuensing ..................... 21
II. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 22
3.2 Bahan dan Alat ......................................................................... 22
3.3 Metode Penelitian ..................................................................... 23
3.4 Pelaksanaan Penelitian ............................................................. 233.4.1 Isolat Trichoderma spp. yang digunakan ...................... 233.4.2 Pembuatan media Potato Sucrose Agar-Lactic Acid
(PSA-L) .......................................................................... 243.4.3 Identifikasi isolat Trichoderma spp. secara molekuler
dan morfologi ............................................................... 243.4.3.1 Pemanenan spora Trichoderma spp. .................. 243.4.3.2 Ekstraksi DNA Trichoderma spp. ...................... 253.4.3.3 Amplifikasi ........................................................ 263.4.3.4 Visualisasi hasil PCR ........................................ 273.4.3.5 Pengamatan Trichoderma spp. secara morfologi 28
3.4.4 Uji pertumbuhan isolat Trichoderma spp........................ 293.4.4.1 Uji pertumbuhan ................................................ 293.4.4.2 Sporulasi ............................................................ 293.4.4.3 Viabilitas spora ................................................. 31
3.4.5 Uji kemampuan penghambatan Trichoderma spp. terhadapR. microporus ................................................................ 32
3.4.6 Uji kemampuan PGPF (Plant Growth PromotingFungi) .............................................................................. 33
3.5 Analisis Data ............................................................................. 34
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ......................................................................... 354.1.1 Identifikasi isolat Trichoderma spp. secara molekuler
dan morfologi .................................................................. 354.1.2 Uji pertumbuhan isolat Trichoderma spp ....................... 424.1.3 Kerapatan spora isolat Trichoderma spp. ........................ 434.1.4 Viabilitas spora isolat Trichoderma spp. ......................... 444.1.5 Uji antagonis isolat Trichoderma spp. terhadap
pertumbuhan R. microporus .............................................. 444.1.6 Kemampuan isolat Trichoderma spp. sebagai
Plant Growth Promoting Fungi ......................................... 454.1.7 Analisis korelasi pertumbuhan, sporulasi, viabilitas spora
Trichoderma spp. dengan antagonis terhadapR. microporus .................................................................... 47
-
xvi
4.2 Pembahasan ................................................................................. 48
IV. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .................................................................................... 52
5.2 Saran .......................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 54
LAMPIRAN ............................................................................................... 60
-
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Identitas isolat Trichoderma spp. yang digunakan ............................. 24
2. Komposisi buffer ekstraksi 10 ml ........................................................... 25
3. Bahan yang digunakan dalam proses ekstraksi DNA Trichoderma spp. 25
4. Primer yang digunakan untuk amplifikasi .............................................. 26
5. Nomor koleksi dan nomor aksesi GenBank dari 48 isolat Trichoderma. 37
6. Uji pertumbuhan isolat Trichoderma spp. usia 1 hsi – 7 hsi.................... 42
7. Hasil pengamatan kerapatan spora isolat Trichoderma spp. ................... 43
8. Uji viabilitas isolat Trichoderma spp. ..................................................... 44
9. Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap R. microporuspada 7 hsi................................................................................................. 45
10. Rerata hasil pengamatan uji PGPF ....................................................... 46
11. Korelasi pertumbuhan, sporulasi, viabilitas spora Trichoderma spp.dengan antagonis terhadap R. microporus............................................. 48
12. Hasil pengamatan diameter koloni pertumbuhan isolatTrichoderma spp. pada 1 hsi ................................................................. 61
13. Analisis ragam diameter koloni pertumbuhan isolatTrichoderma spp. 1 hsi .......................................................................... 61
14. Hasil pengamatan diameter koloni pertumbuhan isolatTrichoderma spp. pada 2 hsi ................................................................. 62
15. Analisis ragam diameter koloni pertumbuhan isolatTrichoderma spp. 2 hsi .......................................................................... 62
-
xviii
16. Hasil pengamatan diameter koloni pertumbuhan isolatTrichoderma spp. pada 3 hsi .............................................................. 63
17. Analisis ragam diameter diameter koloni pertumbuhan isolatTrichoderma spp. 3 hsi ....................................................................... 63
18. Hasil pengamatan kerapatan spora isolat Trichoderma spp. .............. 64
19. Analisis ragam kerapatan spora isolat Trichoderma spp. ........... 64
20. Hasil pengamatan viabilitas isolat Trichoderma spp. ........................ 65
21. Analisis ragam viabilitas isolat Trichoderma spp. ..................... 65
22. Hasil pengamatan antagonis isolat Trichoderma spp. pada 1 hsi ...... 66
23. Analisis ragam antagonis isolat Trichoderma spp. pada 1 hsi .... 66
24. Hasil pengamatan antagonis isolat Trichoderma spp. pada 2 hsi ....... 67
25. Analisis ragam antagonis isolat Trichoderma spp. pada 2 hsi .... 67
26. Hasil pengamatan antagonis isolat Trichoderma spp. pada 3 hsi ....... 68
27. Analisis ragam antagonis isolat Trichoderma spp. pada 3 hsi ..... 68
28. Hasil pengamatan antagonis isolat Trichoderma spp. pada 4 hsi ......... 69
29. Analisis ragam antagonis isolat Trichoderma spp. pada 4 hsi ....... 69
30. Hasil pengamatan antagonis isolat Trichoderma spp. pada 5 hsi .......... 70
31. Analisis ragam antagonis isolat Trichoderma spp. pada 5 hsi ....... 70
32. Hasil pengamatan antagonis isolat Trichoderma spp. pada 6 hsi .......... 71
33. Analisis ragam antagonis isolat Trichoderma spp. pada 6 hsi ....... 71
34. Hasil pengamatan antagonis isolat Trichoderma spp. pada 7 hsi .......... 72
35. Analisis ragam antagonis isolat Trichoderma spp. pada 7 hsi ....... 72
36. Hasil pengamatan tinggi tanaman 1 hst ................................................. 73
37. Analisis ragam tinggi tanaman pada 1 hst ...................................... 73
38. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 3 hst ......................................... 74
-
xix
39. Analisis ragam tinggi tanaman pada 3 hst ...................................... 74
40. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 5 hst ......................................... 75
41. Analisis ragam tinggi tanaman pada 5 hst ...................................... 75
42. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 7 hst ......................................... 76
43. Analisis ragam tinggi tanaman pada 7 hst ...................................... 76
44. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 9 hst ...................................... 77
45. Analisis ragam tinggi tanaman pada 9 hst ................................... 77
46. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 11 hst .................................... 78
47. Analisis ragam tinggi tanaman pada 11 hst ................................. 78
48. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 13 hst .................................... 79
49. Analisis ragam tinggi tanaman pada 13 hst ................................. 79
50. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 15 hst .................................... 80
51. Analisis ragam tinggi tanaman pada 15 hst ................................. 80
52. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 17 hst .................................... 81
53. Analisis ragam tinggi tanaman pada 17 hst ................................. 81
54. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 19 hst .................................... 82
55. Analisis ragam tinggi tanaman pada 19 hst ................................. 82
56. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 21 hst .................................... 83
57. Analisis ragam tinggi tanaman 21 hst .......................................... 83
58. Hasil pengamatan tinggi tanaman pada 23 hst .................................... 84
59. Analisis ragam tinggi tanaman pada 23 hst ................................. 84
60. Hasil pengamatan jumlah daun ........................................................... 85
61. Analisis ragam jumlah daun ........................................................ 85
62. Hasil pengamatan kehijauan daun ....................................................... 86
-
xx
63. Analisis ragam kehijauan daun .................................................... 86
64. Hasil pengamatan panjang akar .......................................................... 87
65. Analisis ragam panjang akar ....................................................... 87
66. Hasil pengamatan bobot basah akar ................................................... 88
67. Analisis ragam bobot basah akar ................................................ 88
68. Hasil pengamatan bobot basah tajuk .................................................. 89
69. Analisis ragam bobot basah tajuk ................................................ 89
70. Hasil pengamatan bobot kering akar ................................................... 90
71. Analisis ragam bobot kering akar ................................................ 90
72. Hasil pengamatan bobot kering tajuk .................................................. 91
73. Analisis ragam bobot kering tajuk ............................................... 91
74. Hasil amplifikasi PCR dengan ITS 1 dan ITS 4 ................................. 92
-
xxi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Pengukuran diameter pertumbuhan Trichoderma spp.a) Trichoderma spp.; b) 1-4 adalah diameter yang diukur ................... 29
2. Haemocytometer dan bagiannya ........................................................... 30
3. Pengujian viabilitas spora Trichoderma spp. pada media PSA-L.(A) Titik suspensi ulangan 1; (B) Titik suspensi ulangan 2; (C) Titiksuspensi ulangan 3 ................................................................................. 31
4. Uji antagonis kultur ganda : D1= diameter R. microporus pada kontrol;D2= diameter R. microporus dalam kultur ganda .................................. 32
5. Hasil pita DNA isolat Trichoderma spp. setelah dilakukan PCRdengan panjang 600 bp ........................................................................... 35
6. Dendogram hasil analisis dengan aplikasi MEGA6 dengan metodeUPGMA dengan model p-distance parameter jenis semua spesiesTrichoderma strain dan semua isolat uji ................................................. 39
7. Isolat Trichoderma spp. usia 7 hsi isolat : A=T1; B=T2; C=T3;D=T4; E=TK1; F=TK2; G=TK3. 1 : koloni; 2 : mikroskopis ................ 40
8. a) T. asperellum (Kemala, 2015); b) T. longibrachiatum(Sutarman, 2016); c) T. reesei (Sutarman, 2016)...................................... 41
9. (A) memasukkan media tanam untuk uji PGPF ke dalam plastiktahan panas untuk di autoklave; (b) Pemberian label pada tiappolybag setelah diisi media tanam steril ............................................ 96
10. Isolat uji Trichoderma spp. yang ditumbuhkan ke dalam mediaBeras PGPF ; (A) T1, (B) T2, (C) T3, (D) T4, (E) TK1, (F) TK2,(G) TK3 ........................................................................................... 97
-
xxii
11. Isolat Trichoderma spp. yang telah dicampur ke dalam mediaTanam dan diinkubasi 2 hari.............................................................. 97
12. Persiapan benih mentimun sebagai tanaman indikator uji PGPF ..... 97
13. Benih mentimun yang diinkubasi selama 2 hari ............................... 98
14. Penanaman kecambah benih mentimun umur 2 hari setelah inkubasiKe dalam media tanam berisi isolat Trichoderma spp. ..................... 98
15. Perumbuhan tanaman mentimun pada uji PGPF ............................... 99
16. Pengukuran panjang akar ................................................................... 100
-
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) merupakan salah satu komoditas penting
perkebunan. Hal ini karena sektor perkebunan karet mampu memberikan
kontribusi besar sebagai sumber pendapatan petani, sumber lapangan kerja, serta
sebagai salah satu sumber devisa negara. Direktorat Jenderal Perkebunan (2016)
menyebutkan luasan lahan tanaman karet mengalami kenaikan sejak tahun 2013
hingga 2017. Luasan sektor tanaman karet tersebut berturut-turut yaitu 3.555.946
ha, 3.606.245 ha, 3.621.102 ha, 3.639.092 ha, dan 3.672.123 ha dengan
poroduktivitas tanaman karet berturut-turut sebesar 1,083 ton/ha, 1,053 ton/ha,
1,036 ton/ha, 1,045 ton/ha, dan 1,058 ton/ha.
Rendahnya produktivitas tanaman karet dipengaruhi oleh beberapa permasalahan
dalam budidaya salah satunya yaitu masalah penyakit tanaman (Tim Karya Tani
Mandiri, 2012). Salah satu penyakit penting yang menimbulkan kerugian
ekonomi cukup besar adalah penyakit akar putih yang disebabkan oleh
Rigidoporus microporus (Sw.) Overh. (Semangun, 2004).
-
2
Penyakit akar putih menyebar melalui kontak akar tanaman sakit dan sehat.
Apabila akar dari tanaman sehat melakukan kontak dengan sumber infeksi,
penyakit akar berkembang menuju leher akar dan selanjutnya menjalar ke akar
samping yang lain. Tanaman yang terinfeksi akan menampakkan jalinan benang-
benang hifa berwarna putih dan agak tebal (rizomorf) (Anwar, 2001).
Selama ini pengendalian jamur akar putih dilakukan dengan menggunakan
fungisida sintetik. Tetapi, aplikasi fungisida sintetik yang dilakukan secara
intensif menyebabkan keracunan bagi pengguna, lingkungan dan menyebabkan
resistensi pada patogen (Budiarti dan Nurhayati, 2014). Untuk mengurangi
dampak negatif penggunaan fungisida sintetik tersebut saat ini mulai diteliti dan
dikembangkan alternatif pengendalian yang aman dan ramah lingkungan. Salah
satunya adalah pemanfaatan agensia pengendali hayati Trichoderma spp. Selain
sebagai agen antagonis, Worosuryani et al. (2006) melaporkan bahwa jamur
Trichoderma sp. mampu memacu pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan
tinggi dan berat kering tanaman.
Di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung terdapat
koleksi isolat Trichoderma spp. yang belum diketahui identitas serta
kemampuannya menekan pertumbuhan R. microporus dan pemacu pertumbuhan
tanaman atau plant growth promoting fungi (PGPF). Untuk itu, perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui identitas jamur Trichoderma spp. tersebut serta
kemampuannya sebagai antagonis R. microporus dan sebagai plant growth
promoting fungi (PGPF).
-
3
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui identitas masing-masing isolat Trichoderma spp. koleksi
Laboratorium Bioteknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Lampung.
2. Mengetahui kemampuan isolat Trichoderma spp. koleksi Laboratorium
Bioteknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung dalam
menekan pertumbuhan jamur akar putih (R. microporus).
3. Mengetahui kemampuan isolat Trichoderma spp. koleksi Laboratorium
Bioteknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung sebagai
plant growth promoting fungi (PGPF).
1.3 Kerangka Pemikiran
Selama ini pengendalian R. microporus banyak dilakukan dengan
mengaplikasikan pestisida sintetik karena hasilnya dapat terlihat dengan cepat.
Namun, pengendalian menggunakan pestisida sintetik mempunyai dampak negatif
jangka panjang terhadap kerusakan lingkungan dan mikroorganisme non target
dalam tanah. Untuk itu, saat ini sedang banyak diteliti dan dikembangkan
pengendalian alternatif yaitu pengendalian hayati yang salah satunya dengan
pemanfaatan jamur antagonis (Budiarti dan Nurhayati, 2014).
Beragamnya jamur yang mempunyai kemampuan antagonis sangat perlu
dilakukan identifikasi. Identifikasi morfologi dan molekuler dilakukan untuk
mengetahui karakteristik masing-masing spesies. Pengamatan morfologi
-
4
dilakukan secara langsung menggunakan mikroskop majemuk, sedangkan
identifikasi molekuler dilakukan dengan menggunakan metode PCR. PCR
merupakan suatu metode untuk memperbanyak segmen DNA spesifik secara
enzimatik dan cepat skala in vitro. Setiap kali melakukan satu siklus PCR, DNA
akan memperbanyak diri menjadi dua kali lipat (Kumala, 1999). Keunggulan
PCR sangat tinggi, hal ini terletak pada kemampuannya mengamplifikasi DNA
sehingga menghasilkan produk DNA melalui sejumlah siklus serta mempunyai
keakuratan tinggi (Yusuf, 2010).
Penggunakan PCR dalam identifikasi isolat Trichoderma spp. telah banyak
dilakukan antara lain Lubeck et al. (2000) dalam mengidentifikasi 44 isolat
Trichoderma spp. dengan menggunakan primer ITS 1 dan primer umum PCR; 19
isolat yang berasal dari North Bengal yang merupakan T. viridee dan T.
harzianum (Chakraborty et al., 2010), Trichoderma endofit pisang (Taribuka et al,
2016).
Trichoderma spp. merupakan salah satu jamur saprofit tanah yang bersifat parasit
terhadap jamur penyebab penyakit pada tanaman (Muksin et al, 2013). T. viriens
dapat menghambat perkembangan patogen karena menghasilkan metabolit
sekunder sebagai antifungi (trichodermin) dan 3,4-dihydroxycarotane. T.
hamatum dilaporkan mampu menghasilkan metabolit sekunder sebagai antibiotik
(dermadin) dan gliotoxin (Kubicek dan Harman, 2002).
Selain sebagai antagonis, Trichoderma spp. juga dilaporkan mampu memacu
pertumbuhan tanaman karena kemampuannya mengeluarkan zat pengatur tumbuh
-
5
(ZPT) yang diperlukan tanaman. Trichoderma spp. menghasilkan hormon auksin
berupa Indole Asetic Acid (IAA) yang berperan dalam pembentukan dan
pemanjangan sel-sel akar yang menyebabkan serapan unsur hara semakin tinggi.
Selain auksin, beberapa jamur tertentu menghasilkan hormon giberelin dan
sitokinin yang berfungsi sebagai pemacu pembentukan batang dan daun. Selain
Trichoderma spp., Gliocladium spp. mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman di lapangan (Shivana et al.,1994). Kelompok jamur yang berperan
dalam memacu pertumbuhan tanaman ini dikenal dengan nama plant growth
promoting fungi (PGPF) (Worosuryani et al.,2006).
Aplikasi jamur Trichoderma spp. telah dilaporkan mampu meningkatkan
performa beberapa jenis tanaman budidaya antara lain kedelai (Chamzurni et al.,
2011) dan kentang (Purwantisari & Hastuti, 2009). Penelitian Hyakumachi
(1994) menunjukkan bahwa beberapa isolat PGPF yang diperoleh dari rhizosfer
tanaman budidaya dan liar tanaman sehat dapat memacu pertumbuhan mentimun
(Cucumber sativus L.), Lobak (Raphanus stivus L.), tomat (Lycopersicom
esculentum Mill), gandum (Triticum aestivum L.), dan bentgrass (Agrotis palustris
Huds).
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Isolat Trichoderma spp. teridentifikasi ke dalam spesies yang berbeda-beda.
2. Isolat Trichoderma spp. koleksi Laboratorium Bioteknologi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung mampu menekan pertumbuhan
jamur akar putih (R. microporus).
-
6
3. Isolat Trichoderma spp. koleksi Laboratorium Bioteknologi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung mampu berperan sebagai plant
growth promoting fungi (PGPF).
-
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.)
Tanaman karet (H. brasiliensis Muell. Arg.) tergolong dalam famili
Euphorbiaceae. Nama lain dari tanaman ini antara lain getah, gota, kejai ataupun
hapea. Secara taksonomi, klasifikasi tanaman karet (H. brasiliensis) adalah :
kingdom : Plantae,superdivision : Spermatophyta,division : Angiospermae,class : Dicotyledoneae,order : Euphorbiales,family : Euphorbiceae,genus : Hevea, danspecies : Hevea brasiliensis Muell. Arg. (Tim Karya Tani Mandiri, 2012).
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Karet (H. brasiliensis)
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar.
Tingginya mencapai 25 meter. Batang tanaman ini mengandung getah yang
disebut lateks. Lateks merupakan bahan mentah yang dihasilkan kemudian
diolah. Sedangkan daunnya yang berwarna hijau akan berubah menjadi kuning
kemerah-merahan jika jatuh atau ketika musim kemarau. Selain itu, tanaman ini
-
8
mempunyai daya adaptasi yang luas dan mampu tumbuh pada berbagai kondisi
tanah dan iklim. Tanaman karet tumbuh secara optimum apabila dibudidayakan
dalam kondisi curah hujan sekitar 2.500 mm/tahun atau lebih yang
terdistribusikan secara merata tanpa diselingi musim kemarau; sedangkan suhu
udara berkisar 25o C sampai 35o C dengan suhu optimal rata-rata 28o C. Tanaman
karet dapat tumbuh dengan optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 200 m
– 600 m dari permukaan laut (dpl). Ketinggian >600 m dari permukaan laut tidak
cocok untuk tumbuh tanaman karet (Tim Karya Tani Mandiri, 2012).
Untuk media tanah, tanaman karet mampu tumbuh dengan baik pada tanah
vulkanis maupun aluvial. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisik yang cukup baik
terutama struktur tekstur solum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainase, tetapi
sifat kimianya kurang baik karena kandungan hara yang rendah. Sedangkan tanah
aluvial masih memiliki tingkat kesuburan tanah yang cukup, akan tetapi sifat
fisiknya kurang baik sehingga mempengaruhi kondisi drainase dan aerasi tanah .
Tanaman karet tetap tumbuh dan menghasilkan dengan penambahan pupuk dan
pengolahan tanah yang baik. Sifat tanah yang cocok secara umum meliputi; aerasi
dan drainase cukup, tekstur tanah remah dengan struktur terdiri dari 35% tanah
liat dan 30% tanah pasir, kemiringan lahan
-
9
karet. Rahmawati (2012) melaporkan bahwa mayoritas (91%) produktivitas
rendah terjadi pada areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih
terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Salah satu penyebab
rendahnya produktivitas tanaman karet adalah adanya serangan penyakit akar
putih di perakaran tanaman karet.
2.3.1 Penyebab penyakit
Penyakit akar putih disebabkan oleh R. microporus. Nama ilmiah jamur ini
adalah R. lignosus (Klotzsch) Imazeki atau R. microporus (Sw.) Overh.,
Polyporus lignosus Klotzsch. Selain ketiga nama di atas, jamur tersebut pernah
terkenal dengan nama Fomes semitosus Petch dan Leptoporus lignosus (Klot.). R.
microporus merupakan jamur saprofit penghuni tanah, akan tetapi apabila jamur
ini bertemu dengan akar tanaman maka jamur ini akan berubah menjadi parasit
yang disebut parasit fakultatif (Amaria et al., 2013).
R. microporus menyerang bagian akar tanaman karet dan menyebabkan pelapukan
pada akar dan leher akar. Penyakit jamur akar putih menular karena adanya
kontak antara tanaman sehat dengan akar tanaman sakit dengan kayu-kayu yang
mengandung R. microporus (Putri, 2016). Perkembangan jamur R. microporus
dipengaruhi oleh kondisi dan tingkat kesuburan tanah karena ia tumbuh dan
berkembang di dalam tanah (Parasayu et al, 2016).
Secara morfologi, R. microporus mempunyai warna permukaan atas tubuh yang
dapat berubah menyesuaikan usia dan kandungan air di dalamnya. Pada waktu
-
10
muda, jamur berwarna jingga jernih sampai merah kecokelatan, dengan zona
gelap yang agak menonjol. Permukaan bawah berwarna jingga, tepinya berwarna
kuning jernih atau putih kekuningan. Tubuh jamur yang tua ditumbuhi ganggang
sehingga warnanya menjadi hijau. Ketika jamur menjadi tua atau kering,
tubuhnya berwarna suram dengan warna permukaan atasnya cokelat kekuningan
pucat, permukaan bawahnya coklat kemerahan dengan tepi menggulung ke bawah
dan warna menjadi putih kotor (Semangun, 2004).
Secara in vitro, R. microporus tumbuh dengan ciri-ciri koloni berwarna putih yang
berbentuk seperti kapas, pertumbuhan koloni tidak menunjukkan lingkaran
konsentris, miselium lembut, memiliki warna dasar putih dan banyak sekat yang
tebal. Basidiospora jamur ini berbentuk bulat dan hialin dengan garis tengah 2,8-
5,0 µm yang banyak dibentuk pada tubuh buah yang masih muda. Basidiumnya
pendek yang berkisar 16 x 4.5-5.0 µm, tidak berwarna, mempunyai 4 sterigma
(tangkai basidiospora) (Semangun, 2004; Shofiana et al., 2015).
2.3.2 Siklus penyakit
Jamur akar putih sangat sulit dikendalikan karena ia mampu bertahan hidup di
tanah selama 25 tahun tanpa adanya tanaman inang. R. microporus bertahan
dengan memanfaatkan kayu yang sudah lapuk sebagai tempat tubuhnya (Nugroho,
2010). Banyaknya sisa-sisa tunggul dan akar tanaman lama di lahan tanaman
karet menyebabkan sumber penyakit akar putih masih bertahan di sana dan
mampu menyerang tanaman baru (Neliyati et al., 2015).
-
11
Jamur akar putih mampu menyerang tanaman karet di semua umur. Akan tetapi,
serangan jamur ini lebih banyak terjadi pada tanaman karet yang muda atau
berada di kebun muda. Penyakit akar putih dapat menular pada tanaman yang
sehat jika ada kontak antara akar tanaman sakit atau kayu yang terinfeksi jamur
dengan akar tanaman sehat melalui rizomorf. Untuk dapat menginfeksi akar yang
sehat, rizomorf jamur harus mempunyai makanan sebagai cadangan makanan
yang cukup. Dalam hal ini rizomorf jamur akar putih dapat bebas menjalar dalam
tanah , terlepas dari akar atau kayu sebagai sumber makanannya. Akan tetapi
rizomorf hanya dapat menginfeksi akar tanaman yang sehat bila masih bertumpu
pada sepotong kayu yang menjadi alasnya. Setelah mencapai akar tanaman yang
sehat, rizomorf tumbuh secara epifitik pada permukaan akar sehat sampai agak
jauh dan akan tumbuh dengan baik pada permukaan akar yang tertutup atau
berada di dalam tanah (Semangun, 2004).
2.3.3 Gejala penyakit
Tanaman karet yang sakit akan menimbulkan gejala seperti daun-daun mulai
menguning dan lama-kelamaan akan berguguran (rontok). Untuk tanaman
dewasa, rontoknya daun akan disertai dengan matinya ranting-ranting pohon.
Selain itu, bunga dan buah terbentuk sebelum masanya (pembungaan dan
pembuahan dini). Pada bagian akar yang sakit, permukaan akar menjadi kasar
serta warna akar berubah menyesuaikan dengan jamur yang menginfeksi. Akar
akan menampakkan benang-benang miselium jamur (rizomorf) yang berwarna
putih atau terkadang kekuningan menjalar di sepanjang akar dan melekat erat pada
permukaan akar. Rizomorf akan tumbuh meluas dan bercabang membentuk jala,
-
12
dengan ujung rizomorf menyebar seperti benang (Semangun, 2004). Akar
tanaman yang terserang terlihat adanya miselia jamur yang berbentuk benang,
berwarna putih yang menempel kuat dan sulit dilepaskan dari akar tanaman. Akar
tanaman yang terinfeksi akan menjadi lunak, membususk dan berwarna cokelat
(Neliyati et al., 2015).
2.3.4 Faktor yang mempengaruhi
Jamur R. microporus dapat menyebar atau menular dalam tanah melalui rizomorf
yang terjadi dengan adanya kontak antar akar tanaman yang sakit dengan akar
tanaman yang masih sehat. Pembukaan lahan baru yang kurang bersih
menimbulkan serangan jamur akar putih pada tanaman karet. Hal ini karena pada
lahan masih terdapat sisa-sisa kayu yang tertinggal dalam tanah yang merupakan
tempat inang jamur akar putih (Nugroho, 2010).
Jamur akar putih tumbuh dengan baik pada tanah yang berpori dengan pH 6-7
(netral), sebaliknya jamur sulit tumbuh pada tanah masam seperti tanah podsolik
merah kuning. Selain itu, untuk tanah yang lebih masam, jamur tidak tumbuh
dengan baik karena pada tanah tersebut tumbuh T. koningii yang menjadi
antagonis terhadap jamur akar putih.
Tanaman penutup tanah seperti kacang-kacangan sebagai mulsa dapat mengurangi
penyakit akar putih. Tanaman penutup tanah tersebut mampu mempertahankan
kelembaban tanah untuk meningkatkan kegiatan saprofit sehingga secara langsung
membantu proses pembusukan sisa akar sebagai sumber infeksi. Jamur akar putih
dapat menginfeksi akar-akar dari tanaman penutup tanah tersebut, tetapi tanaman
-
13
ini memiliki akar yang ukurannya kecil sehingga jamur akar putih tidak dapat
menjadikan akar tersebut sebagai makanan (Semangun, 2004).
2.3.5 Pengendalian penyakit
Berdasarkan Semangun (2004), pengendalian penyakit akar putih pada tanaman
karet dilakukan dengan kegiatan pembersihan kebun dari patogen tanaman
(eradikasi) dan pencegahan meluasnya penyakit di dalam kebun. Kegiatan
pengendalian dapat dilakukan secara kultur teknis dengan membersihkan sumber
infeksi yang terdapat pada pohon-pohon yang sakit atau tunggul-tunggul pohon
sehat yang terinfeksi. Pengendalian ini dilakukan sebagai langkah awal atau
pencegahan serangan jamur akar putih pada tanaman karet di lahan perkebunan.
Selain itu kegiatan eradikasi dapat dilakukan dengan dilakukan penanaman
tanaman baru, peremajaan (replanting), penanaman tanaman penutup tanah,
pemakaian bibit yang sehat, penambahan belerang pada saat penanaman dan
deteksi sumber infeksi dengan menanam tanaman indikator yaitu Crotalaria
anagyroides.
Selain eradikasi, pengendalian dilakukan dengan mencegah perluasan penyakit di
dalam kebun. Kegiatan ini dilakukan dengan pembongkaran pangkal batang dan
leher akar pohon yang sakit sehingga akar samping tidak saling behubungan.
Penggunaan fungisida juga menjadi pilihan dalam pengendalian penyakit akar
putih yang menyerang. Tetapi karena dampak yang ditimbulkan fungisida
terhadap lingkungan, Suharna (2003) mengungkapkan bahwa pemanfaatan
-
14
mikroba antagonis menjadi salah satu alternatif yang sangat populer untuk
menjadi pengendali patogen tanaman.
2.4 Trichoderma spp.
Trichoderma spp. merupakan jamur tanah yang bersifat saprofit pada tanah dan
kayu. Sedangkan beberapa jenis lainnya bersifat parasit terhadap jamur lain
dengan kemampuannya yang mudah diisolasi dan kosmopolit (Ganjar et al, 1999).
Selain itu, Trichoderma spp. dikenal sebagai jamur tular tanah dengan
kemampuan sebagai jamur antagonis patogen dan pemicu pertumbuhan tanaman
(Hyakumachi, 1994).
Trichoderma spp. diklarifikasikan ke dalam:
kingdom : Fungi,filum : Ascomycota,subfilum : Pezizomycotina,class : Sordariomycetes,order : Hypocreates,family : Hypocreaceae,genus : Trichoderma, danspesies : Trichoderma spp. (Soesanto, 2008).
Trichoderma spp. tersusun dari banyak sel yang berderet membentuk benang
halus yang disebut hifa. Hifa Trichoderma spp. berbentuk pipih, bersekat dan
bercabang-cabang. Cabang hifa utama tumbuh membentuk sudut siku. Sedang
cabang-cabang hifa lainnya akan tumbuh seperti anyaman yang disebut miselium.
Dari hifa inilah, akan muncul konidiofor yang bercabang-cabang dengan ujung
percabangan berbentuk fialid berjumlah 1-3 buah fialid. Fialid ini berukuran 5-7
µm yang kedua ujungnya lebih meruncing dibandingkan bagian tengah. Di dalam
fialid ini berisi konidia jamur yang berukuran 2,8-3,2 µm dengan bentuk semi
-
15
bulat hingga oval yang dinding-dindingnya halus serta berlendir (Ganjar et al.,
1999).
Peranan Trichoderma spp. sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat jamur ini
berkembang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baihaqi et al.,(2013)
diketahui bahwa pertumbuhan Trichoderma spp. sangat didukung dan dipengaruhi
oleh ruang lingkup jamur, sumber makanan, curah hujan dan kelembaban udara.
Selain itu, Trichoderma spp. lebih banyak ditemukan di daerah dataran rendah
(Budiarti dan Nurhayati, 2014).
2.4.1 Trichoderma spp. sebagai jamur antagonis
Kelompok jamur antagonis dari genus Trichoderma spp. saat ini telah
direkomendasikan sebagai agensi hayati yang efektif dalam mengendalikan
beberapa jenis patogen tanaman. Beberapa spesies yang telah banyak digunakan
antara lain T. harzianum, T. virens dan T. koningii (Setiawati et al.,2004).
Sifat antagonisme Trichoderma spp. terhadap patogen berupa kompetisi ruang dan
nutrisi, mikroparasit serta antibiosis. Dalam kompetisi ruang, Trichoderma spp.
lebih mudah diisolasi, mempunyai daya adaptasi luas, mudah ditemukan di tanah
areal pertanaman, dapat tumbuh dengan cepat apada berbagai substrat, memiliki
kisaran mikroparasitisme yang luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman.
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait kemampuan Trichoderma spp. sebagai
antagonis patogen tanaman seperti pengendalian terhadap patogen Phytophtora
infestans penyebab penyakit busuk daun dan umbi kentang (Purwantisari dan
-
16
Hastuti, 2009), R. microporus penyebab penyakit jamur akar putih pada tanaman
cengkeh (Shofiana et al,. 2015), P. capsici penyebab penyakit busuk pangkal
batang tanaman lada (Prasetyo et al, 2009), dan P. palmivora, sebagai patogen
penyakit hawar daun bibit kakao (Sutarman, 2017).
Trichoderma spp. berfungsi sebagai biokontrol patogen tanaman. Kemampuan
Trichoderma spp. dalam menghasilkan enzim-enzim yang dapat menyerang dan
menurunkan kitin menyebabkan patogen yang terserang mati perlahan. Kitin
merupakan komponen struktural pada dinding sel jamur dan serangga.
Mekanisme antagonistik yang dilakukan oleh Trichoderma spp. yaitu antibiosis,
mikroparasitisme, dan kompetisi untuk memperebutkan nutrisi (Amaria et al.,
2013). Salah satu mekanisme mikroparasit dapat dicontohkan dari salah satu
spesies Trichoderma spp. yaitu T. harzianum. T. harzianum akan menghasilkan
senyawa racun (mycotoxin) yaitu senyawa metabolit sekunder yang mampu
menghambat pertumbuhan jamur patogen yang bersifat antibiosis berupa
trichorzins dan harzianins (Vey et al.,2001). Kandungan senyawa racun inilah
yang membuat Trichoderma spp. dapat digunakan sebagai salah satu
pengendalian biologi (hayati).
Pengendalian biologi (hayati) merupakan alternatif pengendalian yang dapat
dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan
sekitarnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dalam sistem pertanian.
Sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) dianggap mempunyai lebih banyak
keanekaragaman hayati jamur tanah dan menganggap itu sebagai suatu sistem
-
17
terintegrasi yang menjadi dasar keberhasilan suatu produksi pertanian
(Muhibbudin et al., 2011).
2.4.2 Trichoderma spp. sebagai Plant Growth Promoting Fungi (PGPF)
Selain kemampuan Trichoderma spp sebagai jamur mikroparasit, Trichoderma
spp. diketahui mampu memacu pertumbuhan tanaman . Kelompok jamur ini
disebut plant growth promoting fungi (PGPF). PGPF dapat memacu pertumbuhan
tanaman dengan memproduksi hormon pertumbuhan bagi tanaman. PGPF
menghasilkan zat pemacu pertumbuhan tanaman seperti asam indol asetat (IAA),
giberelin, dan sitokinin (Worosuryani et al., 2006). Auksin merupakan hormon
pertumbuhan yang diperlukan tanaman dalam pembentukan akar tanaman dan
percabangan akar. Aplikasi auksin alami dan sintesis meningkatkan akar lateral
dan perkembangan akar rambut, sedangkan penghambatan transportasi auksin
mengurangi percabangan akar (Casimiro et al., 2001).
Penelitian Worosuryani et al. (2006), menunjukkan bahwa pemberian
Trichoderma spp. pada tanaman indikator mempunyai pertumbuhan yang lebih
baik dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa Trichoderma
spp. mampu memacu pertumbuhan tanaman dengan menghasilkan hormon
pengatur tumbuh. Sebagai PGPF, Trichoderma spp. menghasilkan hormon auksin
berupa Indole Asetic Acid (IAA) yang berperan dalam pemanjangan sel-sel akar.
Akar-akar yang tumbuh memanjang membantu dalam penyerapan unsur hara
dengan baik. Ketersediaan unsur yang cukup bagi tanaman akan mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman tersebut (Chamzurni et al., 2011). Selain
-
18
Trichoderma spp., jamur yang termasuk ke dalam PGPF adalah Gliocladium spp.
(Shivana et al., 1994).
2.5 Identifikasi Molekuler dengan PCR
Pengidentifikasian jamur atau bakteri dengan cara molekuler telah lama
dilakukan. Secara molekuler, pengidentifikasian dilakukan dengan cara PCR
(Polymerase Chain Reaction). PCR merupakan suatu metode untuk
memperbanyak segmen DNA yang spesifik secara enzimatik dan cepat secara in
vitro. Dalam satu kali aplikasi satu siklus PCR, DNA akan memperbanyak diri
menjadi dua kali lipat (Kumala, 1999). PCR mempunyai kemampuan yang sangat
unggul dan berguna dalam bidang DNA. Hal ini karena PCR mampu meramalkan
tentang penelitian analisis genetika, seperti arkeologi atau terkait patologi forensik
yang sebelumnya sangat dihindari karena tingkat kesulitan dalam hal identifikasi
(Eisentein, 1990).
Pada dasarnya prinsip kerja Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah prosedur
siklus biokimia yang digunakan untuk memperbanyak segmen DNA secara
enzimatik. Enzim yang digunakan adalah Taq polymerase dan Vent polymerase
yang mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kestabilannya pada suhu
tinggi (Kumala, 1999).
Secara teknis, perbanyakan DNA dengan PCR memerlukan tujuh komponen,
yaitu : (1) template/cetakan DNA yang akan diperbanyak; (2) enzim DNA
polimerase yang tahan panas; (3) satu pasang primer; (4) Deoksiribonukleosida
-
19
trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP , dGTP, dTTP; (5) kofaktor
MgCl2; (6) larutan penyangga; (7) air (Handoyo dan Rudiretna., 2000).
Pada metode konvensional perbanyakan DNA dengan PCR yang terulang dalam
30-40 siklus dan berlangsung sangat cepat yang terdiri atas beberapa tahapan yaitu
(1) Denaturasi, yaitu proses pembukaan DNA untai ganda menjadi DNA untai
tunggal. Denaturasi memerlukan suhu tinggi berkisar 94-950C selama 3 menit;
(2) Primer annealing terjadi penempelan DNA. Pada tahap ini suhu yang
diperlukan berkisar dari 30-600C selama beberapa puluh detik kemudian terjadi
penempelan primer ujung 5’ pada 3’ DNA yang akan diperbanyak. Setiap primer
merupakan oligonukleotida yang terdiri atas untaian tunggal dan urutan
nukleotida. Primer dapat menempel pada DNA karena telah dibuat urutan basa
DNA khusus, sehingga urutan basa-basanya komplementer terhadap ujung bagian
DNA yang akan diperbanyak; (3) Primer extension atau pemanjangan. Dalam
tahap ini, terjadi pemanjangan primer agar dapat terbentuk DNA untai ganda yang
lengkap. Pada proses ini perlu suhu yang tinggi sekitar 72oC dengan
menggunakan enzim Thermus aquaticus Taq DNA Polymerase, sedangkan
dengan enzim yang berasal dari Escherichia coli diperlukan suhu 37oC selama
beberapa menit (Ausubel et al., 2002).
Tiap proses satu kali siklus PCR berlangsung selama 3-6 menit dan menghasilkan
DNA dua kali lipat jumlahnya. Sehingga bila ingin menghasilkan cetakan DNA
sebanyak X kali siklus PCR maka akan diperoleh dua pangkat X kali lipat
sehingga dalam beberapa jam saja akan didapatkan hasil jutaan kali lipat DNA
yang spesifik. Akan tetapi tidak dianjurkan melakukan proses PCR di atas 40
-
20
siklus. Hal ini akan mengakibatkan pendataran (plauteau) pada keadaan seperti
itu meski kita menambahkan siklus PCR, tetap saja tidak akan menghasilkan
DNA yang efektif seperti semula (Kumala, 1999). Kualitas DNA yang diperoleh
akan mempengarui analisis lebih lanjut (Pharmawati, 2009).
Ada beberapa jenis PCR yang dimodifikasi untuk melipatgandakan sekuen DNA,
yaitu: (1) RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), metode ini
digunakan untuk membedakan organisme berdasarkan analisis model derifat dari
perbedaan DNA; (2) In-verse PCR, metode ini dgunakan ketika hanya satu sekuen
internal yang diketahui; (3) Nested-PCR, proses ini memungkinkan untuk
mengurangi kontaminasi pada produk selama amplifikasi dari penyatuan primer
yang tidak diperlukan; (4) Quantitative-PCR, digunakan untuk pengukuran
berulang dari hasil produk PCR; (5) RT-PCR (Reverse Transcriptase , digunakan
untuk amplifikasi, isolasi atau identifikasi sekuen dari sel atau jaringan RNA; (6)
RAPD (Random Amplified Polymorphic), digunakan untuk mendeteksi
polimorfisme pada tingkat DNA.
2.5.1 Elektroforesis
Untuk mengetahui hasil dari proses PCR, banyak metode yang dapat digunakan.
Metode yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan metode
elektroforesis dengan pewarnaan etidium bromida. Hasil elektroforesis dapat
diamati dengan menggunakan sinar ultra violet. Proses PCR akan berhasil baik
bila terlihat pita atau bintik DNA. Akan tetapi, metode elektroforesis tidak dapat
-
21
menentukan identifikasi bila jumlah target pada awal urutan sangat kecil (Kumala,
1999).
2.5.2 Skuensing dan analisis hasil skuensing
Setelah diperoleh DNA hasil PCR dengan menggunakan primer ITS 1 dan ITS 4 ,
kemudian hasil tersebut dikirim ke PT. Genetika Science Jakarta untuk dilakukan
sekuensing. Menurut Yuwono (2005), sekuensing DNA merupakan tahapan
untuk mengurutkan basa DNA. Proses sekuensing dilakukan untuk mengurutkan
basa nukleotida pada suatu molekul DNA yang di dalamnya mengandung
instruksi yang dibutuhkan dalam menyusun makhluk hidup. Sehingga sekuensing
dapat digunakan dalam menentukan identitas maupun fungsi gen atau fragmen
DNA lainnya dengan cara membandingkan sekuensnya dengan sekuens DNA lain
yang sudah diketahui.
-
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratotium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Lampung dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan
Oktober 2017 sampai Mei 2018.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Trichoderma spp. dan
isolat R. microporus yang merupakan koleksi Laboratorium Bioteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Lampung, media PSA-L, alkohol dingin 70%, CTAB, Ethanol,
Agarose, Primer ITS 1 dan ITS 4, akuades, buffer ekstraksi, isopropanol 60%, buffer
TE, TBE, etidium bromide (ETBr), ethanol, chloroform, phenol, isoamylalcohol,
loading dye, marker DNA, gula, agar batangan, dan tanah steril.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung Erlenmeyer,
lampu bunsen, laminar air flow, jarum ose, bor gabus, ependorf, micropipette,
alumunium foil, plastik wrap, kertas label, nampan, plastik tahan panas, autoklaf,
-
23
kompor, microsentrifuge, rotamoixer, drigalski, oven, pendingin, tissue, pisau,
gunting dan tali raffia.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri 4 percobaan, yaitu 1) identifikasi isolat Trichoderma spp. , 2)
pengujian pertumbuhan isolat Trichoderma spp., 3) uji kemampuan antagonis
Trichoderma spp. terhadap R. microporus, 4) uji kemampuan PGPF Trichoderma
spp.. Pengujian pertumbuhan, kerapatan spora, dan viabilitas masing-masing terdiri
atas 7 isolat uji dengan 3 ulangan. Pengujian antagonis terdiri atas 7 isolat uji dan 1
kontrol dengan masing-masing 3 ulangan sedangkan uji PGPF terdiri atas 7 isolat dan
1 kontrol dengan masing-masing 5 ulangan. Semua perlakuan dalam pengujian
disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL).
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Isolat Trichoderma spp. yang digunakan
Sebanyak 7 isolat akan digunakan dalam penelitian ini. Isolat tersebut berasal dari 2
habitat yang berbeda. Semua isolat tersebut masih terindikasi sebagai Trichoderma
spp. Secara lengkap, isolat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
-
24
Tabel 1. Identitas isolat Trichoderma spp. yang digunakan
No Nama isolatNamalain
isolatSumber isolat Asal isolat
1. T1 GTH Sekitar perakaran karet Balai Penelitian Getas2. T2 GTM Sekitar perakaran karet Balai Penelitian Getas3. T3 SPK Sekitar perakaran karet Balai Penelitian Getas4. T4 SPV Sekitar perakaran karet Balai Penelitian Getas5. TK1 Grt1 a Risosfer Produk Komersial6. TK2 Grt1 b Risosfer Produk Komersial7. TK3 Grtu Risosfer Produk Komersial
Isolat Trichoderma spp. di atas diremajakan dahulu pada media Potato Sucrose Agar
Lactic Acid (PSA-L) sebelum digunakan untuk pengujian.
3.4.2 Pembuatan media Potato Sucrose Agar-Lactic Acid (PSA-L)
PSA-L dibuat dengan cara 200 gram kentang direbus dalam satu liter akuades sampai
lunak. Kemudian disaring dan hasil saringan diukur hingga satu liter kemudian
ditambah 20 gram agar batang dan 20 gram gula putih lalu direbus kembali sampai
mendidih. Setelah itu, media disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC, dengan
tekanan satu atm selama 15 menit. Kemudian pada media PSA-L ditambahkan asam
laktat sebanyak 1400 µl untuk satu liter media PSA-L pada suhu ±50oC, media
dituang ke dalam cawan lalu didiamkan hingga padat dan media siap digunakan.
3.4.3 Identifikasi isolat Trichoderma spp. secara molekuler dan morfologi
3.4.3.1 Pemanenan spora Trichoderma spp.
Trichoderma spp. yang telah berusia 7-14 hsi dipanen dengan menambahkan 7 ml
akuades. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan drigalski. Setelah itu, hasil
-
25
pemanenan dimasukkan ke dalan microsentrifuge dengan menggunakan micropipet
dan dihomogenkan menggunakan vortex.
3.4.3.2 Ekstraksi DNA Trichoderma spp.
Beberapa bahan dan komposisi yang diperlukan dalam tahapan ekstraksi DNA
sebagai berikut:
Tabel 2. Komposisi buffer ekstraksi 10 ml
No Bahan Takaran ml Takaran μl1 Tris HCL 0,5 ml 500 μl2 SDS 1% 1,0 ml 1000 μl3 NaCl 2,8 ml 2800 μl4 Mercapthol Etanol 0,2 ml 200 μl5 ETDA 2,0 ml 2000 μl6 Air Steril 3,5 ml 3500 μl
Tabel 3. Bahan yang digunakan dalam proses ekstraksi DNA Trichoderma spp.
No Bahan Takaran μl1 Alkohol 70% 500 μl2 Buffer ekstraksi 600 μl3 Phenol : CHCl3 : Isoamiylalcohol 500 μl4 CHCl3 : Isoamylalcohol 600 μl5 Isopropanol 60% 600 μl6 Buffer TE 50 μl
Setelah dilakukan pemanenan isolat Trichoderma spp. yang akan diidentifikasi, isolat
dimasukkan dalam tub microsentrifuge 1,5 ml. Setelah dirotamixer, spora dalam tub
microsentrifuge disentrifuse selama 10 menit dengan kecapatan 14.000 rpm.
Kemudian pellet (endapan jamur) diambil dan supernatan dibuang kemudian pellet
ditambahkan alkohol 70% sebanyak 500 µl dan disentrifuse selama 5 menit dengan
kecepatan 14.000 rpm. Kemudian pellet diambil dan supernatant dibuang. Pellet
ditambah buffer sebanyak 600 µl. Pellet yang telah bercampur buffer kemudian
-
26
ditumbuk dengan menggunakan mortar sampai halus. Kemudian ditambahkan CTAB
2% 400 µl dan dimasukkan ke dalam tabung microsentrifuge untuk diinkubasi ke
dalam inkubator dengan suhu 65oC selama 60 menit. Setelah itu, ditambahkan
Phenol: CHCl3: Isoamiylalcohol sebanyak 500µl dan disentrifuse selama 10 menit
dengan kecepatan 14.000 rpm dan terbentuk dua cairan. Cairan bagian atas diambil
sebanyak 600 µl dan dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan CHCl3:
Isoamiylalcohol sebanyak 600 µl dan disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan
14.000 rpm. Larutan bagian atas diambil 600 µl dan dimasukkan ke dalam tabung
microsentrifuge baru. Kemudian ditambahkan isopropanol dingin 60% sebanyak 600
µl dan diinkubasi pada suhu 20oC selama 10 menit. Setelah itu disentrifuse selama
10 menit dengan kecepatan 14.000 rpm. Supernatan dibuang dan pellet diambil dan
kemudian ditambahkan alkohol dingin 70% sebanyak 500 µl dan disentrifuse selama
5 menit dengan kecepatan 14.000 rpm. Setalah itu supernatan dibuang dan pellete
yang didapat dikeringkan selama 1 hari kemudian ditambah 50 µl buffer TE.
3.4.3.3 Amplifikasi
Primer yang digunakan untuk mendeteksi karakterisasi Trichoderma spp. digunakan
primer ITS-1 dan ITS-4 yang dibuat mengacu pada salah satu sekuen Trichoderma
spp.
Tabel 4. Primer yang digunakan untuk amplifikasi
No Primer Sekuen Panjang basa1 ITS1_F
(forward)5’CTTGGTCATTTAGAGGAAGTAA’3
520bp
2 ITS4_R(reverse)
5’CAGGAGACTTGTACACGGTCCAG’3520bp
-
27
Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan alat PCR (thermal cycler). DNA
hasil ekstraksi diamplifikasi dengan teknik PCR dengan menggunakan primer
universal ITS-1 dan ITS-4. Reaksi PCR dengan total volume 25 µl yang terdiri dari
2,0 µl sampel DNA, Green master mix 12,5 µl, Primer ITS 1 1,0 µl, primer ITS 4 1,0
µl, air steril sebanyak 8,5 µl. Semua kebutuhan tersebut dimasukkan dalam tabung-
tabung PCR. Kemudian tabung-tabung tersebut ditempatkan pada mesin PCR
(thermal cycler). Tahapan program PCR antara lain inisiasi pada suhu 94oC selama 5
menit, denaturasi pada suhu 94-95oC selama 3 menit, annealing pada suhu 30-60oC,
dan ekstensi pada suhu 72oC selama 1 menit dan final ekstensi pada suhu 72oC
selama 45 detik. Tahapan inisiasi, denaturasi, annealing dan ekstensi diulang
sebanyak 30 siklus.
3.4.3.4 Visualisasi hasil PCR
DNA hasil amplifikasi dianalisis melalui elektroforesis menggunakan gel agarose
1,5%. Tahap visualisasi DNA melipiti pembuatan gel agarose, penyiapan sampel dan
proses elektroforesis, serta visualisasi dengan menggunakan Transilluminator UV.
Pembuatan gel agarose. Gel agarose 0,5 % dibuat dengan menimbang bahan
agarose sebanyak 0.1 gram yang dilarutkan ke dalam 20 ml TBE dalam Erlenmeyer
dan ditutup alumunium foil. Agarose dimasak di dalam microwave sampai larut (± 3
menit). Setelah larut, agarose dimasukkan ke dalam kotak kecil yang telah diletakkan
sisir dan didiamkan sampai menjadi agar.
-
28
Setelah menjadi agar sisir dicabut dan kotak yang telah berisi agar dimassukkan ke
dalam alat elektroforesis. DNA yang telah ditambah TE diambil sebanyak tiga µl dan
dicampur dengan 1 µl loading dye , kemudian dimasukkan ke dalam agar pada tiap
sumur. Pada sumur yang lain dimasukkan 3 µl leader DNA. Elektroforesis
dihidupkan selama 40 menit dengan tegangan 50V. Elektroforesis dihentikan jika
terlihat DNA sudah berada di kotak ketiga dari bawah, kemudian dilihat
menggunakan DigiDoc.
Visualisasi melalui Transilluminator UV. Setelah selesai tahap elektroforesis,
dengan menggunakan sarung tangan, gel agarose diambil dengan hati-hati kemudian
diamati di dalam mesin transilluminator UV. Selanjutnya dilakukan dokumentasi
dengan kamera digital.
Sekuensing dan analisis hasil. Setelah DNA diperoleh, maka DNA isolat dikirim ke
PT. Genetika Science Jakarta untuk dilakukan sekuensing. Kemudian hasil
sekuensing dianalisis dengan menggunakan program Mega4 (Tamura et al., 2007).
3.4.3.5 Pengamatan Trichoderma spp. secara morfologi
Pengamtan morfologi dilakukan untuk mengetahui bentuk morfologi isolat uji
Trichoderma spp. yang telah teridentifikasi secara molekuler. Pengamatan dilakukan
secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis meliputi warna koloni,
bentuk koloni, tekstur koloni dan pertumbuhan koloni. Sedangkan mikroskopis
antara lain, hifa bersekat atau tidak bersekat, pertumbuhan hifa (bercabang atau tidak
bercabang), warna hifa (gelap atau hialin transparan), warna konidia (gelap atau
-
29
hialin transparan), ada tidaknya konidia dan bentuk konidia (bulat, lonjong, berantai
atau tidak beraturan) (Ariyanto et al., 2013). Pengamatan mikroskopis dilakukan
dengan menggunakan mikroskop majemuk perbesaran 400x.
3.4.4 Uji pertumbuhan isolat Trichoderma spp.3.4.4.1 Uji pertumbuhan
Pengujian kemampuan tumbuh isolat Trichoderma spp. dilakukan dengan cara
menumbuhkan 1 bor gabus (diameter 0,3 cm) biakan murni Trichoderma spp. yang
berusia empat hari setelah diremajakan di cawan petri yang berisi media PSA-L.
Pengukuran dilakukan terhadap diameter koloni Trichoderma spp. mulai usia 1-7 hari
setelah inokulasi. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali (Gambar 1).
Gambar 1. Pengukuran diameter pertumbuhan jamur Trichoderma spp.a) Trichoderma spp. b) 1-4 adalah diameter yang diukur
3.4.4.2 Sporulasi
Pengamatan sporulasi atau kerapatan spora dilakukan dengan cara memanen spora
dari biakan murni Trichoderma spp. yang berumur 7 hari setelah inokulasi.
Pemanenan spora dilakukan dengan cara menambahkan 10 ml air steril ke dalam
cawan petri yang berisi biakan murni Trichoderma spp. Spora jamur dikeruk dengan
menggunakan drigalski dengan hati-hati agar media tidak ikut terangkat sehingga
a
-
30
diperoleh suspensi spora yang pekat. Suspensi spora yang didapatkan selanjutnya
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Suspensi tersebut kemudian dihomogenkan
dengan menggunakan rotamixer selama satu menit. Setelah dihomogenkan, suspensi
diambil satu ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi baru yang telah diisi air steril
sebanyak 9 ml. Larutan kedua dihomogenkan selama satu menit. Tahap ini
dinamakan pengenceran tingkat 10-1. Langkah ini dilakukan kembali hingga
diperoleh pengenceran sampai tingkat 10-3.
Suspensi yang telah diencerkan hingga tingkat 10-3, diamati kerapatan spora dengan
meneteskan suspensi spora sebanyak 1µl di atas haemocytometer yang selanjutnya
diletakkan di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Pengamatan dilakukan
terhadap jumlah spora. Kerapatan spora dihitung dengan menggunakan kotak sedang
yang tampak pada haemocytometer (Gambar 2).
Gambar 2. Haemocytometer dan bagiannya(Utami et.al.,2018)
-
31
Jumlah spora yang didapatkan dihitung dengan menggunakan rumus (Syahnen et al.,
2014) sebagai berikut:
=Keterangan :
S = Jumlah sporaR = Jumlah rata-rata spora pada bidang haemocytometer (kotak sedang)K = Konstanta koefisien alat (2,5 x 10-5)F = Faktor pengenceran yang dilakukan
3.4.4.3 Viabilitas spora
Suspensi yang digunakan adalah suspensi spora pada pengenceran 10-3 (suspensi sisa
dari uji sporulasi). Suspensi diteteskan ke dalam media PSA-L sebanyak 20 µl pada
tiga titik yang berbeda (Gambar 3). Selanjutnya suspensi diinkubasi selama 12 jam
dan diamati di bawah mikroskop majemuk dengan perbesaran 400 kali.
Gambar 3. Pengujian viabilitas spora Trichoderma spp. pada media PSA-L. (A)Titik suspensi ulangan 1; (B) Titik suspensi ulangan 2; (C) Titiksuspensi ulangan 3.
Pengukuran dilakukan dengan menghitung jumlah spora yang berkecambah dan tidak
berkecambah.
A
C B
-
32
Viabilitas spora Trichoderma spp. dihitung menggunakan rumus Syahnen et al.,
(2014).
= ℎℎ 100%3.4.5 Uji kemampuan penghambatan Trichoderma spp.terhadap R.
microporus
Uji kemampuan penghambatan Trichoderma spp. terhadap R. microporus dilakukan
dengan menggunakan metode kultur ganda pada media PSA-L dalam cawan petri.
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan isolat R. microporus dan Trichoderma
spp. dengan usia 4 hsi yang diletakkan di dalam satu cawan petri (Gambar 4).
Sebagai kontrol, satu isolat R. microporus ditumbuhkan di tengah cawan petri yang
berisi PSA-L tanpa Trichoderma spp (Gambar 4).
R. microporus R. microporus Trichoderma spp.
D1 D2
Gambar 4. Uji antagonis kultur ganda; D1 = diameter R. microporus pada kontrol;D2 = diameter R. microporus dalam kultur ganda.
Pengamatan dilakukan setiap hari dimulai umur 2 hsi sampai 7 hsi. Pengamatan
dilakukan dengan mengukur diameter korelasi jamur R. microporus pada cawan
kontrol dan kultur ganda.
-
33
Selajutnya persentase penghambatan dihitung dengan rumus yang digunakan
(Muksin. et al., 2013):
R = 1 − 21 x 100%Keterangan:R : Presentase penghambatan pertumbuhan (%)D1 : Diameter pertumbuhan R. microporus pada kontrol (cm)D2 : Diameter R. microporus dalam kultur ganda (cm)
3.4.6 Uji kemampuan PGPF (Plant Growth Promoting Fungi)
Pengujian kemampuan PGPF dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat
Trichoderma spp. dalam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
indikator yang terpilih yaitu tanaman mentimun. Tanaman mentimun digunakan
sebagai tanaman indikator karena tanaman tersebut mempunyai daya tanggap yang
cepat terhadap serangan patogen. Pengujian dilakukan dengan menumbuhkan semua
isolat Trichoderma spp. ke dalam media PSA-L selama 3 hsi. Setelah itu, media
perbanyakan dibuat dengan komposisi 100 gram menir dimasak setengah matang,
kemudian didinginkan lalu dimasukkan ke dalam plastik anti panas. Selanjutnya ,
media disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1 atm selama 15
menit. Kemudian, isolat jamur ditumbuhkan ke dalam media beras steril dan
diinkubasi selama 10 hari pada suhu kamar untuk dijadikan sebagai inokulum pada
pengujian lebih lanjut (Worosuryani et al., 2005).
-
34
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh dilakukan analisis ragam (Anara) dengan perbedaan nilai tengah
yang akan diuji dengan Duncans’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 5%
(Worosuryani et al, 2006).
-
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil identifikasi secara molekuler dan morfologi didapatkan
bahwa isolat T1, T2, T4, TK1, dan TK3 masuk ke dalam spesies
T. asperellum, isolat T3 termasuk ke dalam spesies T. longibrachiatum
dan TK2 adalah T. reesei.
2. Pengujian antagonisme menunjukkan ketujuh isolat Trichoderma spp.
mempunyai kemampuan dalam menekan pertumbuhan R.microporus.
Isolat T3 (T. longibrachiatum) menunjukkan persentase penghambatan
yang paling tinggi sebesar 87,59%.
3. Isolat T4 (T. asperellum) merupakan isolat yang mempunyai kemampuan
dalam memacu pertumbuhan tanaman yang terbaik dibandingkan tanaman
yang tanpa diberi Trichoderma spp. dan tanaman yang diberi isolat
Trichoderma spp. lainnya.
-
53
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan dilakukan uji lebih lanjut
dalam pengujian PGPF menggunakan tanaman karet sebagai tanaman indikator
dan pengujian terhadap konsentrasi IAA yang dihasilkan masing-masing
Trichoderma spp. yang telah teridentifikasi.
-
DAFTAR PUSTAKA
Amaria, W., E. Taufiq, dan R. Harni. 2013. Seleksi dan identifikasi jamur antagonissebagai agens hayati jamur akar putih (Rigidoporus microporus) padatanaman karet. Buletin RISTRI. 4(1): 55-64.
Anwar, C. 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat PenelitianTanaman Karet. Medan.
Ariyanto E. F., A.L. Abadi, dan S. Djauhari. 2013. Keanekaragaman jamur endofitpada daun tanaman padi (Oryza sativa) dengan sistem pengelolaan hamaterpadu (PHT) dan konvensional di desa Bayem, kecamatan Kasembon,Kabupaten Malang. Jurnal HPT. 1(2): 37-51.
Ausubel, F.M., R. Brent, dan R.E. Kingston. 2002. Current protocols in molecularbiology. Greene Publishing Associates and Wiley-Interscience : 1- 4647.
Baihaqi, A., M. Nawawi, dan A.L. Abadi. 2013. Teknik aplikasi Trichoderma sp.terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum tuberosum. L.).Jurnal Produksi Tanaman. 1(3): 30-39.
Budiarti, L., dan Nurhayati. 2014. Kelimpahan cendawan antagonis pada rhizosfertanaman kacang panjang (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk. ) di lahan keringIndralaya Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal.Hal. 1-8.
-
55
Casimiro, I., A. Marchant, R.P. Bhalerao, T. Beeckman, S. Dhooge, R. Swarup, N.Graham, D. Inze, G. Sandberg, P.J. Casero, dan M. Bennett. 2001. Auxintransport promotes arabidopsis lateral root initiation. The Planet Cell. 13 :843-852.
Chakraborty, B.N., U. Chakraborty, A. Saha, P.L. Dey, dan K. Sunar. 2010.Molecular characterization of Trichoderma viridae and Trichodermaharzianum isolated from soil of North Bengal based on rDNA markers andanalysis of their PCR-RAPD profiles. Global Journal of Biotechnology &Biochemistry. 5(1): 55-61.
Chamzurni. T., R. Sriwati, dan R. D. Selian. 2011. Evektifitas dosis dan waktuaplikasi Trichoderma virens terhadap serangga Sclerotium rolfsii padakedelai. Jurnal Floratek. 6: 62-73.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia KomoditasKaret 2015-2017. Kementrian Pertanian. Jakarta.
Eisentein, B.I. 1990. The polymerase chain reaction, a new method of usingmolecular genetics for medical diagnosis. The England Journal of Medichine.18: 178-182.
Ganjar, I., R.A. Samson, K. Van den Tweel- Vermeulen, A. Oetari, dan I. Santoso.1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.
Handoyo, D. dan A. Rudiretna. 2000. Prinsip umum dan pelaksanaan pholimerasechain reaction (PCR) [General principles and implementation of polymerasechain reaction]. Unitas. 9(1) : 17-29.
Hyakumachi,M. 1994. Plant growth promoting fungin from Turfgrass rhizospherewith potential for diase suppersion. Soil Microorganism., 44 : 53-68.
Kamala. Th., S. I. Devi, K.C. Sharma, dan K. Kennedy. 2015. Phylogeny andtaxonomical investigation of Trichoderma spp. from Indian region of Indo-Burma biodiversity hot spot region with special reference to Manipur. BioMedResearch International. 2015 : 1-21.
-
56
Kowalska, J. 2011. Effects of Trichoderma asperellum [T1] on Botrytis cinerea[PERS.: FR], growth and yield of organic strawberry. Acta ScientariumPolonorum. 10(4): 107-114.
Kubicek, C. P. dan G. E. Harman, 2002. Trichoderma & Gliocladium. Basic Biology,Taxonomy and Genetics. The Taylor & Francis e-Library. 1 : 278 pp.
Kumala, W. 1999. Polymerase chain reaction : uji molekuler di masa depan. DexaMedia. 12(1): 8-14.
Lestari, P., D.N. Susilowati, dan E.I. Riyanti. 2007. Pengaruh hormon Asam IndolAsetat yang dihasilkan oleh Azospirillum sp. terhadap perkembangan akarpadi. Jurnal Agro Biogen. 3(2): 66-71.
Lubeck, M. S.K. Poulsen, P.S. Lubeck, D. F. Jensen, dan U. Trane. 2000.Identification of Trichoderma strains from building materials by ITS1ribotyping, UP-PCR fingerprinting ang UP-PCR cross hybridization. FEMSMicrobiology Letters. 185: 129-134.
Migheli Q., L. Quirico, L. Gonzalez-Candelas, L. Dealessi, A. Camponogara, dan D.Ramon-Vidal. 1998. Transformants of Trichoderma longibrachiatumOverexpressing the β-1,4-Endoglucanase Gene egll Show EnhancedBiocontrol of Phythium ultimum on Cucumber. Phytology. 88(7): 673-677.
Muhibbudin, A., A.L. Abadi, A. Ahmad dan L. Addina. 2011. Biodiversity of soilfungi on integrated pest management farming system. Journal of Agrivita.33(22): 111-118.
Muksin, R., Rosmini, dan J. Panggeso.2013. Uji antagonis Trichoderma sp. terhadapjamur patogen Alternaria porri penyebab penyakit bercak ungu pada bawangmerah secara in-vitro. Jurnal Agrotekbis. 1(2): 140-144.
National Center for Biotechnology Information [NCBI]. 2018. Nucleotide.http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses pada tanggal 22 September 2018.
-
57
Neliyati, Gusniawati, Lizawati, dan E. Kartika. 2015. Penerapan teknologipengendalian terpadu penyakit jamur akar putih pada tanaman karet di DesaGiriwinangun Kecamatan Rumbo Ilir, Kabupaten Tebo. Jurnal Pengabdianpada Mayarakat. 30(2) : 1-8.
Nugroho, P.S. 2010. Karakterisasi biologi isolat-isolat Rigidoporus microporus padaTanaman Karet (Hevea brasiliensis) Asal Cilacap. Skripsi. UniversitasSebelas Maret. Surakarta.
Parasayu, K.S., K.S. Wicaksono, dan M. Munir. 2016. Pengaruh sifat fisik tanahterhadap jamur akar putih pada tanaman karet. Jurnal tanah dan sumberdayalahan. 3(2) : 359-364.
Pharmawati, M. 2009. Optimalisasi ekstraksi DNA dan PCR-RAPD pada Grevilleaspp. (Proteaceae). Jurnal Biologi. 8(1): 12-16.
Prasetyo, J., Efri, dan R. Suharjo. 2009. Seleksi dan uji antagonis Trichoderma spp.isolat tahan fungisida nabati terhadap pertumbuhan Phytophthora capsici. J.HPT Tropika. 9(1) : 58-66.
Purwantisari S, dan Hastuti RH. 2009. uji antagonis jamur Phytopthora infestanspenyebab penyakit busuk daun dan umbi kentang dengan menggunakanTrichoderma spp. isolat local. Jurnal Bioma. 11(1) : 24-32.
Putri. D. 2016. Pengendalian JAP (R. microporus) (Swartz;fr.) van os. PadaTanaman Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) Menggunakan FungiMikoriza. Skripsi. Universitas Andalas. Padang.
Rahmawati, R. 2012. Cepat & Tuntas Berantas Hama & Penyakit Tanaman. PustakaBaru Press. Yogyakarta.
Semangun, H. 2004. Hama dan Penyakit Tanaman Perkebunan. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.
-
58
Setiawati, W., T.S. Uhan dan B.K. Udiarto. 2004. Pemanfaatan Musuh Alami DalamPengendalian Hayati Hama Pada Tanaman Sayuran. Balai PenelitianTanaman Sayuran. Bandung.
Shivana,M.B., M. S. Meera, K. Kageyama dan M. Hyakumachi. 1994. Sterile fungifrom Zoysiagrass rhizosphere as plant growth promoters in spring wheat. Can.J. Microbiol. 40: 637-644.
Shofiana, R.H., L. Sulistyowati, dan A. Muhibuddin. 2015. Eksplorasi jamur endofitdan khamir pada tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum) serta uji potensiantagonismenya terhadap jamur akar putih (Rigidoporus microporus). JurnalHPT. 3(1) : 75-83.
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Jakarta:Rajawali Press.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Alfabeta :Bandung.
Suharna, N. 2003. Interaksi antara Trichoderma harzianum, Penicillium sp. danPseudomonas sp. serta kapasitas antagonismenya terhadap Phytophtoracapsici in vitro. Berita Biologi. 6(6): 747-753.
Sutarman. 2016. Bíofertilizer Fungi Trichoderma dan Mikoriza.Unsida Press.Sidoarjo.
Sutarman. 2017. Pengujian Trichoderma sp. sebagai pengendali hawar daun bibitkakao yang disebabkan oleh Phytophtora palmivora. J. HPT Tropika. 17(1):45-52.
Syahnen, Normalisa, D.D., Ekanitha, S., dan Pinem. 2014. Teknik Uji Mutu AgensPengendali Hayati (APH) di Laboratorium. Laboratorium Lapangan BalaiBesar Penelitian dan Proteksi Tanaman Perkebunan. Medan.
-
59
Tamura K, J. Dudley, M. Nei, dan S. Kumar. 2007. MEGA4: Molecular EvolutionaryGenetics Analysis (MEGA) Software Version 4.0. Mol. Biol. Evol. 24(8) :1596-1599.
Taribuka, J, C. Sumardiyono, S.M. Widyastuti, dan A. Wibowo. 2016. Eksplorasi danidentifikasi Trichoderma endofitik pada pisang. J. HPT Tropika 16(2) : 115-123.
Tim Karya Tani Mandiri. 2012. Pedoman Bertanam Karet. Nuansa Aulia. Bandung.
Utami, U., L. Harianie, N. Kusmiyati, P.D. Fitriasari. 2018. Buku Petunjuk PraktikumMikrobiologi Umum. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.Malang.
Vey A., R.E. Hoagland., dan T.M. Butt. 2001. Toxic Metabolites of FungalBiocontrol Agents. In: Butt T.M., C. Jackson. and N. Magan. (eds) Fungi asBiocontrol Agents Progress, Problem and Potenti. CABI publishing,Wallingford.
Wanjiru, M. M. 2009. Effect of Trichoderma harzianum and Arbuscular MycorrhizalFungi on growth of tea cuttings, napier grass and disease management intomato seedlings. Plant and microbial Sciences. 13: 305 – 312.
Watanabe, T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi Morphologies of CultureFungi and Key to Spesies. Secound edition, CRC Press Boca. Raton LondonNew York. Wahington D.C.
Worosuryani, C., A. Priyatmojo, dan A. Wibowo. 2006. Uji kemampuan jamur yangdiisolasi dari lahan pasir sebagai PGPF (Plant Growth Promoting Fungi).Agrosains. 19 (2): 179-191.
Yusuf , Z.K. 2010. Polymerase chain reaction. Saintek. 5(6): 1-6.
Yuwono, T. 2005. Biologi Molekuler. Erlangga. Jakarta.
00 Cover luar skripsi.pdf01 ABSTRAK.pdf06 Riwayat Hidup.pdf07 Kata Mutiara.pdf08 persembahan karya.pdf09 Sanwacana.pdf010 Daftar Isi.pdf011 Daftar Tabel.pdf012 Daftar Gambar.pdfI PENDAHULUAN new.pdfII Tinjauan Pustaka - newbe.pdfIII Bahan dan Metode.pdfIV Hasil Penelitian neww setelah edit - Copy.pdfV Simpulan dan Saran.pdfVI DAFTAR PUSTAKA NEW.pdf