I. PENDAHULUAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46521/BAB...
-
Upload
vuonghuong -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of I. PENDAHULUAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46521/BAB...
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelangkaan air tanah merupakan salah satu masalah kemanusiaan dan
lingkungan hidup yang mendapat perhatian luas hampir semua negara.
Pemompaan air tanah yang berlebihan dan terus-menerus untuk keperluan irigasi,
industri, niaga (hotel, gedung-gedung bertingkat dan industri jasa lainnya), dan
domestik (rumah tangga dan keperluan sehari-hari penduduk) mengakibatkan
cadangan air tanah yang tersimpan dalam cekungan air tanah terus menipis.
Pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan
dampak yang serius terhadap daya dukung lingkungan untuk kehidupan manusia,
terutama terjadinya penurunan muka air tanah, penurunan permukaan tanah atau
amblesan, intrusi air laut, dan penurunan kualitas air tanah.
Babel et.al. (2006) menyatakan masalah amblesan yang disebabkan
pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Bangkok telah menjadi masalah yang
serius sejak sekitar tahun 1970. Pengambilan dan pemanfaatan air tanah secara
intensif untuk kepentingan industri dan keperluan rumah tangga mulai sekitar
tahun 1950 telah diidentifikasi oleh berbagai studi mengakibatkan penurunan
mukai air tanah yang kemudian berakibat pada terjadinya amblesan. Instansi yang
bertanggung jawab terhadap pengelolaan air tanah di Thailand – Department of
Groundwater Resources – menyatakan kota Bangkok dan 6 provinsi di sekitarnya
sebagai zona kritis air tanah. Sejak tahun sekitar tahun 1960 telah dilakukan studi
untuk lebih memahami permasalahan dan mengusulkan solusi masalah amblesan,
penurunan muka air tanah, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan dan
pemanfaatan air tanah yang berlebihan.
Wangsaatmaja et.al. (2006) melaporkan permasalahan yang sama terjadi
di Kota Bandung. Pertumbuhan kota yang ditandai dengan peningkatan industri,
bisnis, pertumbuhan jumlah penduduk, mengakibatkan ketidakseimbangan antara
pengambilan dan pemanfaatan air tanah dengan laju pengimbuhan ke cekungan
air tanah Bandung. Kedalaman muka air tanah turun sampai 50 meter dari
kedalaman aslinya dan kemudian memunculkan wilayah-wilayah kritis air tanah,
khususnya di daerah-daerah industri. Laju penurunan permukaan tanah dilaporkan
2
mencapai 2,3 – 18,4 cm per bulan. Desentralisasi kewenangan pengelolaan air
tanah menyebabkan lebih banyak diterbitkannya izin pengambilan dan
pemanfaatan air tanah karena memberikan kontribusi kepada pendapatan asli
daerah. Perubahan kelembagaan pengaturan air tanah ini menyebabkan kegiatan
konservasi air tanah menjadi semakin berkurang.
Formulasi dan implementasi kebijakan merupakan faktor kunci dalam
pengelolaan air tanah dan sumber daya alam lainnya. Sterner (2003) menyatakan
masalah kelangkaan air tanah disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena
kesalahan alokasi atau penggunaan, dan lemahnya manajemen dan peraturan yang
terkait dengan pengambilan air tanah. Di beberapa negara, berkurangnya
cadangan air tanah lebih disebabkan lemahnya kebijakan, terutama yang berkaitan
dengan penetapan harga. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pengelolaan air tanah
tidak semata-mata menekankan pada pengaturan penyediaan air tanah, penetapan
harga dan struktur tarif merupakan masalah yang krusial. Koundouri (2004)
menyatakan terdapat keyakinan – terutama di kalangan ekonom sumber daya dan
lingkungan – bahwa ketiadaan intervensi kebijakan akan mengakibatkan
kesalahan alokasi sumber daya air tanah.
Kebijakan atau regulasi membutuhkan instrumen. Hepburn (2006)
menyatakan pemilihan instrumen kebijakan yang tepat sangat penting untuk
kesuksesan regulasi. Publikasi yang menguraikan peran penting kebijakan atau
regulasi dalam pengelolaan air tanah, khususnya yang berkaitan dengan penerapan
instrumen ekonomi, antara lain: Olmstead dan Stavins (2008), Qureshi et.al.
(2006), Kemper et.al. (2006), Hellegers dan van Ierland (2003), Chaudary et.al.
(2002), Thobani (1997), dan Moncur dan Pollock (1988).
Pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta diduga
telah sampai pada tahap yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka air
tanah (Tresnadi, 2007), amblesan (Djaja et.al., 2004 dan Abidin et.al., 2009) dan
intrusi air laut (Schmidt, et.al. 1990 dan Delinom, 2008). Berbagai laporan dan
hasil penelitian, antara lain Jakarta Dalam Angka 2006-2008 (BPS Provinsi
Jakarta, 2006, 2007 dan 2008), Syaukat dan Fox (2004) menunjukkan beberapa
faktor atau penyebab terjadinya kecenderungan untuk pemanfaatan air tanah di
Provinsi DKI Jakarta, yaitu: (1) harga perolehan air tanah yang jauh lebih murah
3
dibandingkan tarif pemakaian air Perusahaan Air Minum (PAM) DKI Jakarta; (2)
cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta yang relatif belum mencukupi; (3)
pemompaan air tanah sifatnya in-situ sehingga ketersediaannya tidak tergantung
pihak lain dan membuat ketersediaan air lebih terjamin; (4) rejim pengelolaan air
tanah yang secara “de facto” merupakan “open access”; (5) implementasi dan
penegakan peraturan perundangan yang masih belum optimal.
Sebagian besar faktor atau penyebab diatas pada dasarnya merupakan
masalah kebijakan, karena itu evaluasi kebijakan pengambilan dan pemanfaatan
air tanah perlu terus dilakukan untuk penyesuaian dengan kondisi terkini.
Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian evaluasi kebijakan, termasuk
penggunaan instrumen ekonomi seperti pajak, menjadi sangat relevan.
1.2. Perumusan Masalah
Kebutuhan air bersih untuk rumah tangga, industri, bisnis, dan utilitas
perkotaan di Provinsi DKI Jakarta dipenuhi dari dua sumber utama, yaitu air
permukaan yang disediakan PAM DKI Jakarta dan air tanah yang diekstrasi dari
sumur bor dan sumur pantek. Berkaitan dengan penggunaan bersama ini,
kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta adalah meningkatkan cakupan
pelayanan PAM DKI Jakarta dan mengurangi proporsi pemakaian air tanah.
Peningkatan cakupan pelayanan, ceteris paribus, akan menurunkan pemakaian air
tanah. Situasi yang terjadi saat ini, kapasitas produksi dan cakupan pelayanan air
bersih dari PAM DKI Jakarta relatif tetap, sementara kebutuhan air bersih terus
meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, perkembangan industri
dan bisnis, dan peningkatan pemakaian air untuk kepentingan lainnya. Situasi ini
akan menyebabkan meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air tanah di
wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Data yang dipaparkan dalam Jakarta Dalam Angka 2008 dan 2009 (BPS
Provinsi DKI Jakarta 2008 dan 2009) menyebutkan air bersih PAM DKI Jakarta
pada tahun 2007 dipasok dari 11 unit instalasi produksi air bersih, sedangkan
tahun 2008 hanya dipasok dari 8 unit instalasi. Tahun 2003-2007 rata-rata
produksi PAM DKI Jakarta sebesar 519.526.543,20 m3, produksi tertinggi terjadi
pada tahun 2005 yakni sebesar 536.650.419 m3. Produksi meningkat dari tahun
4
2004-2005, selanjutnya terus menurun hingga sebesar 509.341.688 m3 pada tahun
2007. Kenyataan ini mengindikasikan produksi air bersih dari PAM DKI Jakarta
sifatnya tetap. Hal ini disebabkan tidak ada penambahan unit instalasi produksi air
bersih.
Tahun 1990-2000 pertumbuhan penduduk Provinsi DKI Jakarta 0,15% per
tahun, tahun 2000-2007 meningkat menjadi 1,11% per tahun. Jumlah penduduk
Provinsi DKI Jakarta berdasarkan hasil estimasi Susenas 2007 sebesar 9.057.993
jiwa (BPS Provinsi DKI Jakarta 2008). Standar kebutuhan air rumah tangga
(domestik) untuk penduduk kota metropolitan dengan jumlah penduduk diatas 2
juta jiwa sebesar lebih dari 210 liter/orang/hari (Pedoman Konstruksi dan
Bangunan Departemen PU dalam Bappenas 2006). Jika standar tersebut
digunakan, tahun 2007 kebutuhan air rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta
sebanyak 694.295.163,5 m3. Dengan demikian, jika seluruh kapasitas produksi
PAM DKI Jakarta dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga
masih terdapat defisit sekitar 185 juta meter kubik. Defisit ini akan bertambah
besar dan bisa dipastikan melebihi 200 juta m3 jika dalam perhitungan tersebut
dimasukkan semua orang yang tinggal dan bekerja di wilayah Provinsi Jakarta.
Kebutuhan air bersih untuk perkotaan dan industri tidak lebih sedikit
dibandingkan dengan kebutuhan air rumah tangga. Kebutuhan tersebut semakin
meningkat jika dimasukkan juga kebutuhan sektor lainnya seperti pertanian,
peternakan, dan sebagainya. Kebutuhan air perkotaan terdiri dari komersial (pasar,
mal, hotel, bioskop dan sebagainya), sosial dan institusi (universitas, sekolah,
masjid, rumah sakit, perkantoran, pangkalan militer dan sebagainya), fasilitas
pendukung kota (taman dan sebagainya), fasilitas transportasi (stasiun, terminal,
bandara). Sebagai contoh, kebutuhan air untuk hotel – dijelaskan dalam pedoman
seperti disebutkan sebelumnya – adalah 400 liter/kamar/hari untuk hotel lokal,
sedangkan untuk hotel internasional sebesar 1.000 liter/kamar/hari. Jumlah kamar
hotel berbintang dan melati di Jakarta tahun 2007 sebesar 33.880 kamar, jika
dikalikan dengan standar hotel lokal dengan tingkat hunian dihitung 50% (dalam
Jakarta Dalam Angka 2008 disebutkan tingkat hunian tahun 2007 sebesar 50,45%
untuk hotel berbintang dan 59,32% untuk hotel melati), maka kebutuhan air untuk
hotel adalah 6.776.000 liter per hari atau 2.473.240 m3 per tahun.
5
Kebutuhan air industri tergantung pada ukuran dan jenis industri, misalnya
kebutuhan sebuah industri besar yang memproduksi minuman ringan bisa
mencapai 65.000-7,8 juta liter per hari. Paparan diatas menjelaskan bahwa sampai
saat ini PAM DKI Jakarta tidak mampu memenuhi kebutuhan air bersih untuk
kepentingan rumah tangga, industri, perkotaan, dan aktivitas lainnya. Implikasi
dari situasi tersebut adalah meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air tanah
dari tahun ke tahun.
Menurut data Jakarta Dalam Angka 2006, 2007, 2008, dan 2009 pada
bulan Januari 2005 jumlah pelanggan sumur bor dan sumur pantek di Provinsi
DKI Jakarta sebanyak 3.571 sedangkan pada bulan Desember 2008 jumlahnya
meningkat menjadi 3.959, mengalami peningkatan sebesar 10,87% atau dapat
dinyatakan bahwa rata-rata setiap bulan terdapat penambahan sumur bor atau
sumur pantek. Fakta tersebut lebih jelas jika ditilik dari bertambahnya sumur baru
setiap tahun. Tahun 2008 tercatat 102 permohonan izin pembuatan sumur bor atau
SIB dan 72 sumur pantek atau SIPA, tahun 2007 masing-masing sebanyak 84
sumur bor dan 57 sumur pantek, tahun 2006 masing-masing sebanyak 81 sumur
bor dan 50 sumur pantek, sedangkan tahun 2005 masing-masing sebanyak 90
sumur bor dan 45 sumur pantek. Data tersebut menunjukkan sumur bor atau
sumur pantek yang tercatat dan memiliki pencatat meter air. Selain itu terdapat
sumur bor atau sumur pantek liar dan sumur-sumur yang dibuat oleh rumah
tangga. Sampai saat ini sumur yang digunakan untuk kepentingan pemenuhan
kebutuhan rumah tangga tidak dilaporkan dan tidak dikenakan pajak pengambilan
dan pemanfaatan air bawah tanah. Uraian tersebut mengindikasikan bahwa
pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang sesungguhnya jauh lebih besar
dibandingan dengan yang tercatat, dan jumlahnya terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk akibat kelahiran dan urbanisasi, peningkatan
kapasitas usaha komersial dan industri, ataupun berkembangnya sektor sosial dan
bisnis lainnya yang membutuhkan air bersih.
Biaya perolehan air tanah yang lebih murah merupakan faktor yang
mendorong rumah tangga, industri, usaha komersial, dan institusi sosial lainnya
mengambil dan memanfaatakan air tanah. Sebelum diberlakukannya kenaikan
pajak air tanah pada bulan Juni 2009, biaya pengadaan air tanah lebih murah
6
dibandingkan dengan harga air yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta. Pajak
pengambilan air tanah hanya dikenakan kepada industri dan usaha komersial,
sedangkan pengambilan air tanah oleh rumah tangga dan instansi pemerintah tidak
dipungut pajak air tanah. Dengan demikian biaya pengadaan air tanah bagi rumah
tangga dan instansi pemerintah hanya ongkos listrik untuk menyedot air,
sedangkan untuk industri dan usaha komersial masih harus ditambah pajak
pemanfaatan air tanah yang besarnya relatif kecil, hanya sekitar seperdelapan
sampai sepersepuluh tarif air yang dikenakan bagi pelanggan PAM DKI Jakarta.
Disparitas harga yang relatif besar ini menyebabkan rumah tangga dan industri
memilih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu
terdapat faktor-faktor lainnya, yakni: (1) wilayahnya terletak diluar jangkauan
pelayanan air bersih dari PAM DKI Jakarta dan (2) pengambilan dan pemanfaatan
air tanah sifatnya in-situ sehingga ketersediaannya tidak tergantung pihak lain
sehingga ketersediaan air lebih terjamin.
Berkaitan dengan dampak negatif yang terjadi akibat pengambilan air
tanah di satu sisi, dan manfaat air tanah bagi pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat serta peningkatan perekonomian di sisi lainnya, perlu dilakukan
pengelolaan agar terjadi keseimbangan antara biaya yang mencerminkan risiko
lingkungan dan manfaat pengambilan dan pemanfaatan air tanah bagi masyarakat
dan perekonomian Provinsi DKI Jakarta. Dalam perspektif ilmu ekonomi sumber
daya dan lingkungan hal ini digambarkan dengan ekuilibrium antara biaya
marjinal sosial (MSC) dan manfaat marjinal sosial (MSB). Titik ekuilibrium
tersebut seyogyanya merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang berkaitan
dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
Air tanah termasuk dalam subyek yang memerlukan pengaturan dalam
bentuk kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah
daerah. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU
7/2004) menyebutkan bahwa sumber daya air – termasuk didalamnya air tanah –
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
(pasal 6 ayat 1). Penguasaan sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah (pasal 6 ayat 2). Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah dapat melakukan pengaturan dengan membuat kebijakan dan
7
menetapkan berbagai instrumen untuk mengimplementasikannya. Salah satu
pengaturan yang dilakukan Provinsi DKI Jakarta adalah diberlakukannya
kenaikan pajak air tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 37 Tahun 2009 tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar
Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (Pergub
37/2009). Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dilakukan analisis dan evaluasi
kebijakan dan instrumen kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di
Provinsi DKI Jakarta untuk menjamin terwujudnya kemanfaatan air tanah yang
berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dye (1992) menyatakan bahwa analisis kebijakan dilakukan untuk
mengetahui apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal
tersebut, dan perubahan-perubahan seperti apa yang dilakukan, sedangkan
evaluasi kebijakan adalah mengukur konsekuensi atau dampak kebijakan publik.
Mengacu pada Dye (1992) dan uraian yang dipaparkan dalam latar belakang,
rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1). Kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah daerah Provinsi DKI
Jakarta untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air tanah yang
berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?
2). Bagaimana dampak kebijakan tersebut bagi kelangsungan ketersediaan air
tanah (menghindari terjadinya deplesi air tanah) di Provinsi DKI Jakarta?
1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, tujuan penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
1). Menginventarisasi kebijakan dan instrumen kebijakan pengambilan dan
pemanfaatan air tanah yang telah dikeluarkan di Provinsi DKI Jakarta.
2). Mengevaluasi dampak implementasi instrumen ekonomi, yakni kenaikan
pajak air tanah, terhadap deplesi air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
3). Melakukan perbandingan harga perolehan air tanah dan air PAM DKI Jakarta
setelah diberlakukannya kenaikan pajak air tanah.
Secara umum penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi upaya
pencegahan terjadinya deplesi air tanah yang pada gilirannya akan meningkatkan
8
instrusi air laut dan penurunan muka tanah di Provinsi DKI Jakarta. Secara khusus
penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademik dan praktis. Manfaat
akademik adalah memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang analisis dan
evaluasi kebijakan pengelolaan sumber daya air tanah, khususnya dari sisi
implementasi instrumen ekonomi. Manfaat praktis adalah memberikan masukan
dalam bentuk rekomendasi berdasarkan hasil analisis dan evaluasi kebijakan
pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.