I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - IPB...

download I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/67856/BAB I... · dan asuransi kesehatan seperti yang diperoleh pekerja ... Indonesia.

If you can't read please download the document

Transcript of I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - IPB...

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator berjalannya roda

    perekonomian suatu negara. Ketika ekonomi tumbuh, maka ada peningkatan

    produksi barang dan jasa yang memerlukan sejumlah tambahan tenaga kerja untuk

    memproduksinya. Oleh karena itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi menjadi

    instrumen penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pentingnya

    pertumbuhan ekonomi menyebabkan banyak negara yang secara rutin

    menargetkan pertumbuhan ekonominya, kemudian berusaha untuk mencapainya.

    Akan tetapi pertumbuhan ekonomi tidak menjamin peningkatan kualitas

    hidup perempuan. World Bank (2011a) melaporkan bahwa peningkatan

    pertumbuhan ekonomi dunia antara tahun 1980 dan 2008 berdampak terhadap

    mengecilnya gap partisipasi kerja antara perempuan dan laki-laki dari 32 persen

    menjadi 26 persen, tetapi perempuan lebih banyak terwakili sebagai pekerja

    informal dan pekerja dengan produktivitas rendah.

    Hal senada diungkapkan Seguino (2000) yang menyatakan bahwa di

    negara semi industri yang berorientasi ekspor, perempuan merupakan sumber

    tenaga kerja murah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Argumen ini

    didukung oleh penelitian Busse dan Spielmann (2006), yang menunjukkan bahwa

    negara-negara dengan upah perempuan yang lebih rendah dari laki-laki memiliki

    ekspor lebih tinggi pada industri padat karya. Selanjutnya, Wanjala dan Were

    (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi di

    Kenya menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal

    jika dibandingkan dengan laki-laki.

    Terkait dengan pekerja informal, Chen (2007) menyatakan bahwa pekerja

    informal umumnya menerima upah yang rendah tanpa fasilitas tunjangan kerja

    dan asuransi kesehatan seperti yang diperoleh pekerja formal, sehingga rawan

    terhadap kemiskinan (Lindenthal, 2005). Keterwakilan perempuan secara berlebih

    sebagai pekerja informal tersebut merupakan salah satu bentuk dari ketimpangan

    gender di pasar tenaga kerja.

  • 2

    Menurut Nazara (2009), keberadaan pekerjaan informal tidak bisa

    terhindarkan dan tidak selalu berarti buruk. Penyebabnya adalah karena pekerjaan

    informal merupakan alternatif pekerjaan terbaik ketika pertumbuhan ekonomi

    belum mampu menyediakan cukup banyak pekerjaan formal. Akan tetapi, karena

    sifat pekerjaan informal yang sering tidak menguntungkan pekerja, menyebabkan

    keberadaannya diharapkan sangat kecil. Oleh karena itu, ketersediaan lapangan

    pekerjaan formal senantiasa menjadi tujuan utama pembangunan suatu negara.

    Pilihan sebagai pekerja informal menjadi keputusan terbaik bagi sebagian

    perempuan, alasannya adalah fleksibilitas waktu kerja. Fleksibilitas waktu

    tersebut perlu karena sebagian besar tenaga kerja perempuan masih harus

    menanggung pekerjaan domestik seperti mengurus rumah dan anak-anak. Selain

    itu, pekerja informal tidak mensyaratkan pendidikan tinggi dan dapat dimulai

    atau diakhiri kapan saja (Hubeis, 2010).

    Keterwakilan perempuan secara berlebih sebagai pekerja informal

    menyebabkan rata-rata upah perempuan menjadi lebih rendah dari laki-laki.

    Kerugian ekonomi bagi negara akibat rendahnya rata-rata upah perempuan

    tersebut dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya. Kerugian

    ekonomi tersebut antara lain berupa hilangnya kesempatan untuk memaksimalkan

    akumulasi tabungan agregat. Floro dan Seguino (2003) berkesimpulan bahwa

    peningkatan pendapatan perempuan relatif terhadap laki-laki berdampak pada

    peningkatan tabungan agregat di 20 negara semi industri. Tingkat tabungan

    agregat yang tinggi merupakan sumber pembiayaan investasi yang mampu

    mendorong perekonomian.

    Berikutnya adalah kehilangan kesempatan untuk meningkatkan

    sumberdaya manusia yang lebih tinggi. Qian (2008) menyatakan bahwa

    peningkatan pendapatan perempuan di China berdampak terhadap peningkatan

    lama sekolah anak laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, generasi terdidik itu

    nantinya akan menjadi sumberdaya manusia yang mampu mendorong

    petumbuhan ekonomi.

    Selanjutnya adalah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki gizi

    masyarakat. Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa kesempatan istri untuk

    memperoleh penghasilan akan mendukung program perbaikan gizi pada

  • 3

    masyarakat miskin. Pendapatan istri pada keluarga miskin umumnya akan

    dihabiskan untuk memenuhi pangan dan kebutuhan gizi keluarga terutama anak-

    anak.

    Pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dapat menggunakan kebijakan

    pengeluaran pemerintah untuk memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga

    kerja. Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan barang dan jasa,

    dan selanjutnya meningkatkan sejumlah tenaga kerja untuk memproduksi

    tambahan permintaan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, pengeluaran

    pemerintah yang sensitif gender diharapkan mampu memperbaiki ketimpangan di

    pasar tenaga kerja. Anggaran negara yang sensitif gender mengakui

    ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan dan

    memperbaikinya melalui alokasi sumberdaya publik. Anggaran responsif gender

    akan mempertimbangkan penganggaran pemerintah dan manfaat pembangunan

    yang dicapai baik bagi laki-laki ataupun perempuan sehingga mampu

    memperkecil ketimpangan gender dalam segala bidang (Balmori, 2003).

    1.2. Perumusan Masalah

    Pemerintah Indonesia menetapkan target pertumbuhan ekonomi di dalam

    rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional, kemudian dijabarkan

    secara terinci dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional

    dan rencana kerja pemerintah (RKP). RPJP nasional merupakan rencana

    pembangunan periode dua puluh (20) tahunan, RPJM nasional merupakan rencana

    pembangunan periode lima (5) tahunan, sedangkan RKP merupakan rencana

    pembangunan periode satu (1) tahunan.

    Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara berkembang sangat penting,

    karena terkait dengan kesejahteraan masyarakat seperti ketersediaan lapangan

    pekerjaan. Oleh karena itu, perlu adanya target pertumbuhan ekonomi sebagai

    bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja perekonomian. Ketika

    target pertumbuhan ekonomi ditetapkan, pemerintah akan mengaplikasikan

    berbagai kebijakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut.

    Penetapan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya cukup efektif

    mengarahkan ekonomi ke arah pertumbuhan yang positif.

  • 4

    Sumber: BPS, 2012

    Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2005-2010

    Ekonomi Indonesia memiliki pertumbuhan yang cukup baik di dunia.

    Ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan di

    atas 4.5 persen tiap tahunnya (Gambar 1). Walaupun pertumbuhan ekonomi

    Indonesia belum meningkat secara konsisten, tetapi hal ini lebih disebabkan

    karena pengaruh perekonomian dunia yang tidak stabil. Ketika pertumbuhan

    ekonomi di banyak negara lain negatif akibat krisis ekonomi global yang di awali

    dari krisis finansial di Amerika Serikat pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi

    Indonesia tahun 2009 masih mampu mencapai pertumbuhan 4.63 persen.

    Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik juga diungkap dalam

    studi World Bank (2011b). Studi tersebut menyimpulkan bahwa Indonesia

    merupakan salah satu pendorong perekonomian global dan diprediksi akan

    memberikan kontribusi untuk separuh pertumbuhan ekonomi dunia bersama lima

    negara lain, yakni Rusia, Korea Selatan, India, China, dan Brasil.

    Pertumbuhan Ekonomi yang dicapai Indonesia tersebut telah mampu

    menciptakan lapangan kerja baru. BPS (2011) mencatat bahwa pertumbuhan

    ekonomi Indonesia tahun 2011 mampu menyediakan lapangan kerja baru kepada

    sekitar 1.5 juta orang. Oleh karena itu, pengejaran target pertumbuhan ekonomi

    masih cukup efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja Indonesia.

    Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut perlu dikaji lebih lanjut

    bagaimana dampaknya terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja

    Indonesia.

    5.69 5.506.35 6.01

    4.63

    6.22 6.49

    0.00

    1.00

    2.00

    3.00

    4.00

    5.00

    6.00

    7.00

    2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011Per

    tum

    bu

    ha

    n e

    ko

    no

    mi

    (%)

    Tahun

  • 5

    Tabel 1. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas berdasarkan Jenis Kegiatan Seminggu

    yang lalu dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun 2010

    Kegiatan Seminggu yang Lalu Laki-laki Perempuan

    Jumlah

    (Orang)

    Persentase

    (%)

    Jumlah

    (Orang)

    Persentase

    (%)

    1. Angkatan Kerja

    Bekerja 67 462 223 78.61 40 745 544 47.24

    Menganggur 4 419 540 5.15 3 900 239 4.52

    2. Bukan Angkatan Kerja

    Sekolah 7 092 205 8.26 6 919 573 8.02

    Mengurus rumahtangga 1 550 879 1.81 31 420 577 36.43

    Lainnya 5 296 092 6.17 3 263 467 3.78

    85 820 939 100 86 249 400 100

    Sumber: BPS, 2010

    Ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia akan terlihat ketika

    data dipilah berdasarkan jenis kelamin seperti pada Tabel 1. Tampak bahwa

    partisipasi perempuan dalam dunia kerja lebih rendah dibandingkan laki-laki.

    Perempuan yang bekerja hanya sebesar 47.24 persen dari total perempuan umur

    produktif, sedangkan laki-laki sebesar 78.61 persen. Ketimpangan gender dalam

    hal kesempatan bekerja seringkali dianggap wajar bagi sebagian besar masyarakat

    karena umumnya perempuan lebih banyak mengurus keluarga sehingga harus

    menarik diri dari dunia kerja. Hal ini tampak jelas dari data yang menunjukkan

    bahwa perempuan yang mengurus rumahtangga memiliki persentase yang tinggi,

    yaitu sebesar 36.43 persen.

    Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan dan Jenis

    Kelamin di Indonesia, Tahun 2010

    Jenis Pekerja Laki-laki

    (orang)

    Persentase

    (%)

    Perempuan

    (orang)

    Persentase

    (%)

    Formal 28 841 706 42.75 15 563 626 38.20

    Informal 38 620 517 57.25 25 181 918 61.80

    Jumlah 67 462 223 100 40 745 544 100

    Total Tenaga Kerja = 108.207.776

    Sumber: BPS, 2010

    Ketimpangan ternyata tidak hanya terjadi pada partisipasi bekerja, tetapi

    juga terjadi ketika para perempuan tersebut telah masuk pasar tenaga kerja.

    Mayoritas perempuan pekerja terserap sebagai pekerja informal, yaitu sebesar

    61.0 persen (Tabel 2). Perempuan sebagai pekerja formal hanya sebesar 38.20

    persen. Pekerja laki-laki lebih beruntung karena memiliki peluang yang lebih

    besar sebagai pekerja formal, yaitu sebesar 42.75 persen. Artinya, perempuan

  • 6

    tidak hanya memiliki kesempatan yang kecil dalam hal kesempatan bekerja, tetapi

    juga dalam hal mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak sebagai pekerja

    formal.

    KPPA (2011) mengungkapkan bahwa upah pekerja informal di Indonesia

    lebih rendah sekitar 30 persen dari yang diterima pekerja formal. Kondisi pekerja

    informal tidak hanya lebih buruk dalam hal upah, tetapi umumnya juga kurang

    memperoleh asuransi, pelatihan dan hak pensiun. Oleh karena itu tingginya

    persentase perempuan di sektor informal menggambarkan tingginya persentase

    perempuan yang memperoleh upah rendah dengan kondisi pekerjaan yang kurang

    menguntungkan.

    Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah Indonesia melalui kebijakan

    pengeluarannya memiliki peran besar untuk memperbaiki ketimpangan gender di

    pasar tenaga. Teori Keynesian menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah akan

    meningkatkan output nasional. Selanjutnya, peningkatan output membutuhkan

    sejumlah tambahan tenaga kerja seperti yang ditunjukkan pada fungsi produksi.

    Oleh karena itu, dengan kebijakan pengeluaran yang sensitif gender akan mampu

    memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja.

    Pengeluaran pemerintah yang sensitif gender mengakui ketidaksetaraan

    yang mendasar antara laki-laki dan perempuan dan memperbaikinya melalui

    alokasi sumberdaya publik. Pengeluaran sensitif gender akan mempertimbangkan

    penganggaran pemerintah dan manfaat pembangunan yang dicapai baik bagi laki-

    laki ataupun perempuan sehingga mampu memperkecil ketimpangan gender

    dalam segala bidang (Balmori, 2003).

    Upaya pemerintah Indonesia untuk memperbaiki ketimpangan gender

    melalui kebijakan pengeluarannya dilakukan dengan dikeluarkannya Instruksi

    Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG)

    dalam pembangunan. Inpres ini mengamanatkan semua kementerian dan lembaga

    untuk mengintegrasikan gender pada setiap tahapan proses pembangunan yaitu

    mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi

    pada semua bidang pembangunan. Inpres ini seharusnya berimplikasi pada

    pengeluaran pemerintah yang lebih responsif gender.

  • 7

    Berdasarkan uraian sebelumnya diketahui bahwa penetapan target

    pertumbuhan ekonomi cukup efektif mendorong ekonomi Indonesia ke arah

    pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi tersebut mampu menyediakan

    lapangan kerja baru tetapi belum diketahui apakah pertumbuhan ekonomi tersebut

    berdampak terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja

    Indonesia.

    Selanjutnya diketahui juga pengeluaran pemerintah berdampak terhadap

    penyerapan tenaga kerja dan kebijakan kesetaraan gender melalui PUG di

    Indonesia telah menjadi kebijakan nasional. PUG memiliki konsekuensi terhadap

    anggaran pemerintah yang lebih sensitif gender. Akan tetapi masih belum

    diketahui bagaimana dampaknya terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar

    tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan informasi tersebut, maka dikemukakan

    perumusan permasalahan sebagai berikut:

    1. Bagaimana dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap

    penyerapan tenaga kerja di Indonesia?

    2. Bagaimana dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap

    ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia?

    3. Bagaimana dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di

    pasar tenaga kerja di Indonesia?

    1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Berdasarkan uraian sebelumnya maka dirumuskan tujuan penelitian

    sebagai berikut:

    1. Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap

    penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

    2. Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap

    ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia.

    3. Menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender

    di pasar tenaga kerja di Indonesia.

    Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah Indonesia agar

    mempertimbangkan perbaikan ketimpangan gender dalam pengejaran

    pertumbuhan ekonomi. Selain itu sebagai masukan dalam mempertimbangkan

    pengalokasian anggaran yang sensitif gender.

  • 8

    1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

    Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak pertumbuhan

    ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar

    tenaga kerja di Indonesia. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan

    ketimpangan gender adalah ketika proporsi perempuan pekerja formal lebih kecil

    dibandingkan laki-laki sehingga menyebabkan proporsi perempuan pekerja

    informal lebih besar dibandingkan laki-laki.

    Pekerja formal mewakili pekerja dengan upah dan kondisi pekerjaan yang

    layak (mendapatkan fasilitas tunjangan kerja dan asuransi). Sedangkan pekerja

    informal mewakili pekerja dengan upah rendah dan kondisi pekerjaan yang

    kurang menguntungkan (tidak mendapatkan fasilitas tunjangan kerja dan

    asuransi). Kriteria pekerja formal dan informal menggunakan kriteria yang

    digunakan BPS.

    Sektor ekonomi dalam penelitian ini meliputi 21 sektor. Faktor produksi

    dibagi menjadi dua bagian besar yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Faktor

    produksi tenaga kerja didisagregasi menjadi 12 berdasarkan jenis kelamin (laki-

    laki/perempuan), formalitas pekerjaan (formal/informal), dan tingkat pendidikan

    (tinggi/rendah/sedang).

    Selanjutnya, tenaga kerja dikatakan berpendidikan tinggi jika minimal

    lulus D1. Tenaga kerja dikatakan berpendidikan sedang jika lulus SMA/sederajat,

    dan dikatakan berpendidikan rendah jika maksimal lulus SMP.

    Penggunaan alat analisis SNSE ini memiliki kelebihan antara lain: 1)

    mampu merangkum seluruh kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu

    wilayah untuk suatu kurun waktu tertentu, sehingga dapat dengan memudah

    memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu wilayah; 2)

    memotret struktur sosial ekonomi di suatu wilayah, sehingga dapat mempermudah

    dalam memberikan gambaran distribusi pendapataan; 3) dapat menunjukkan

    dengan baik dampak suatu kebijakan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat

    maupun distribusi pendapatan (Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju, 2009 dalam

    Daryanto dan Hafizrianda, 2010).