PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU - IPB...
Transcript of PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU - IPB...
-
PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU
MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PEMASAKAN SISTEM UAP
(Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah)
Oleh
RIAN RULI NARULITA
F34103069
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
-
Rian Ruli Narulita. F34103069. Peningkatan Mutu Gula Merah Tebu Melalui Penerapan Teknologi Pemasakan Sistem Uap (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah). Dibawah bimbingan Tajuddin Bantacut dan Suprihatin. 2008.
RINGKASAN
Gula merah tebu (GMT) di Kabupaten Rembang masih tergolong bermutu rendah dan bervariasi. Variasi mutu tersebut disebabkan oleh teknologi proses yang sederhana, bahan baku yang bervariasi, dan kondisi pengolahan yang tidak konsisten. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mutu GMT perlu dilakukan perbaikan pada proses pengolahan dan penanganan bahan baku. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji penerapan teknologi baru pada proses produksi gula merah tebu, serta mengkaji peningkatan mutu GMT dengan adanya perbaikan proses tersebut. Studi kasus ini meliputi identifikasi usaha GMT, verifikasi, dan analisa mutu produk.
Penerapan teknologi yang diuji-cobakan adalah pemasakan nira tebu dengan sistem uap di salah satu industri GMT di Rembang. Sedangkan perbaikan kondisi proses yang dilakukan adalah perlakuan terhadap bahan baku (tebu) dan nira hasil penggilingan tebu. Pada teknologi inovasi tersebut, sembilan wajan berundak diganti dengan satu tanki pemasakan. Sistem pemanasan yang baru adalah menggunakan prinsip pindah panas. Panas dari uap yang dihasilkan boiler digunakan untuk memanaskan nira dalam tanki. Tungku boiler diletakkan terpisah, yaitu di luar ruang produksi, sehingga asap dan abu pembakaran tidak mengkontaminasi nira dan produk akhir.
Penggunaan bahan baku yang lebih bersih, perlakuan penyaringan bertahap pada nira sebelum dimasak, dan penggantian peralatan proses pengolahan wajan berundak dengan wajan uap dapat meningkatkan mutu produk, penghematan input tenaga kerja untuk pengadukan selama pemasakan, dan penghematan waktu. Peningkatan mutu ditandai dengan perubahan sifat fisik GMT (meliputi rasa, aroma, dan penampakan produk), peningkatan kadar sukrosa sebesar 22.39%, serta penurunan kadar abu sebesar 31.21%; kadar air sebesar 38.49%; TDS sebesar 40.63%; dan kadar glukosa 41.80%.
Dalam penelitian ini telah disusun rancangan panduan Good Manufacture Practice (GMP), serta panduan sanitasi (SSOP). Rancangan ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman bagi industri gula merah tebu agar dapat memproduksi GMT yang aman dan layak bagi konsumen.
ii
-
Rian Ruli Narulita. F34103069. Quality Improvement of Cane Brown Sugar by Application of Processing Tecnology Using Steam (Case Study in District of Rembang, Central Java). Supervised by Tajuddin Bantacut dan Suprihatin. 2008.
SUMMARY
The quality of Cane Brown Sugar (CBS) in Rembang is still poor and various. This variation is caused by traditionally process technology, variation of raw materials, and unconsistanly processing conditions. Improving technical processing and maintaining raw materials are needed to increase CBS quality. The aim of this research were to study the application of new technology in CBS producing process, and to analyse the improved CBS quality level as the result of the applied technology. This research identification of CBS business unit, verification and analising the product quality.
The applied technology tested was steam system covers for cooking cane juices. This experiments were conducted at a small scale CBS industry in Rembang. The process conditions tested were the treatment of canes and cane juices. In this innovation technology, nine cooking pans were replaced by a cooked tank. New heat system was applied using convection heat transfer principle. Heats steam from boiler was used to cook cane juices in the tank. Stove of boiler was placed separated outside the production room in order to avoid contamination of cane juices and also downstream products.
The use of cleaner raw material, staged filtering of pre cooked cane juices, and substituting cooking pans with steam tank resulted in improvement of product quality, reduce processing time and worker input of stirring during cooking. The quality improvement were indicated by changes of physical characteristic of the produced CBS (including taste, odor, and product performance), increasing of sucrose level of 22,39%; decreasing of ashes level of 31,21 %; decreasing of water level of 38,49 %, decreasing of TDS of 40.63 %; and decreasing of glucose level 41.80 %.
In this work a GMP (Good Manufacture Practice) for CBS processing and SSOP (Sanitation Standard Operation Procedure) were developed. These guidances can be used in CBS industry, so it can produce good quality of CBS.
iii
-
PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU
MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PEMASAKAN SISTEM UAP
(Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RIAN RULI NARULITA
F34103069
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
iv
-
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU
MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PEMASAKAN SISTEM UAP
(Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RIAN RULI NARULITA
F34103069
Dilahirkan pada tanggal 29 Juli 1985
di Boyolali
Tanggal Lulus : 4 April 2008
Menyetujui,
Bogor, April 2008
Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
v
-
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
Peningkatan Mutu Gula Merah Tebu Melalui Penerapan Teknologi
Pemasakan Sistem Uap (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah) adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dari dosen pembimbing.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2008
Yang membuat pernyataan
Rian Ruli Narulita F34103069
vi
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah pada tanggal 29
Juli 1985 sebagai anak pertama dari pasangan Sutarmo dan
Suginem. Penulis menempuh pendidikan di TK IKKA I
Boyolali (1990-1991), SDN VIII Boyolali (1991-1997),
SLTPN 1 Boyolali (1997-2000), dan SMUN 1 Boyolali
(2000-2003). Penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI, diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam keanggotaan HIMALOGIN
(Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian), UKM Pramuka IPB, dan
Organisasi Daerah Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali (FKMB). Penulis
pernah melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di Pabrik Kopi Banaran,
Ambarawa, dengan judul laporan Mempelajari Proses Produksi Kopi Beras dan
Penanganan Limbah di Pabrik Kopi Banaran PTP. Nusantara IX (Persero) Jawa
Tengah.
Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Peningkatan Mutu Gula Merah
Tebu Melalui Penerapan Teknologi Pemasakan Sistem Uap (Studi Kasus di
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah) sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian di bawah bimbingan Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc. dan
Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing..
vii
-
KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa
mencurahkan nikmat, rahmat, dan kasih kepada setiap ummat-Nya. Hanya dengan
ijin-Nya penulis dapat melaksanakan tugas akhir dan menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Muhammad SAW,
penyandang akhlaqul karimah, serta keluarga; sahabat; dan ummat yang
mengikuti Sunnahnya.
Penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan rasa
terimakasih dan penghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M. Sc. selaku dosen akademik sekaligus dosen
pembimbing skripsi pertama yang telah menyisihkan waktunya untuk
membimbing dan mengarahkan penulis demi terselesaikannya skripsi ini.
2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing. selaku pembimbing skripsi kedua yang telah
memberikan kesempatan penelitian, arahan, dan bimbingan kepada penulis.
3. Ir. Muslich, M. Si. selaku dosen penguji. Terima kasih atas saran, kritik, dan
arahan yang telah diberikan guna kesempurnaan skripsi ini.
4. Ibu Arini Khusniati dan Keluarga Besar Bapak Abdussalam yang telah
memberikan bantuan moril dan materiil. Terima kasih atas rasa
kekeluargaannya serta kesempatan yang telah diberikan.
5. Segenap Laboran di Laboratorium TIN dan Staf Departemen TIN yang telah
membantu kelancaran penelitian, skripsi, dan urusan akademis lain.
6. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian hingga tersusunnya
skripsi, khususnya kepada rekan penelitian, Mila Fadilah Utami, S.TP.
Penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak
terkait, serta dapat dijadikan sumber informasi bagi yang memerlukan.
Bogor, April 2008
Penulis
viii
-
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
DAFTAR TABEL .........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................
1.2. Tujuan ..............................................................................................
1.3. Ruang Lingkup .................................................................................
1.4. Dasar Pemikiran ...............................................................................
2. KONDISI UMUM USAHA 2.1. Profil Perkebunan Tebu Rakyat di Kabupaten Rembang ................
2.2. Profil Usaha Gula Merah Tebu ........................................................
3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Mutu Gula Merah .............................................................................
3.2. Proses Pembuatan Gula Merah Tebu ...............................................
3.3. Perbaikan Proses pada Penelitian Terdahulu ....................................
4. METODE PENELITIAN 4.1. Kerangka Pelaksanaan .....................................................................
4.2. Tata Laksana ....................................................................................
4.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................
4.2.2. Tahapan Penelitian ...............................................................
4.2.3. Pengujian Beda Nilai Tengah................................................
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengolahan Gula Merah Tebu secara Konvensional .......................
5.2. Pengolahan Gula Merah Tebu Sistem Uap ......................................
5.3. Kajian Teknologi Inovasi .................................................................
5.3.1. Boiler ....................................................................................
5.3.2. Wajan pemasakan .................................................................
ii
iii
v
vi
vii
1
1
2
2
4
6
15
17
19
21
21
21
22
23
24
31
34
35
39
-
5.4. Analisa Mutu Gula Merah Tebu ......................................................
5.4.1. Sifat Fisik .............................................................................
5.4.2. Kadar Air ..............................................................................
5.4.3. Kadar Abu ............................................................................
5.4.4. Kadar Padatan Tidak Larut (Total Dissoluble Solid/TDS) ...
5.4.5. Kadar Sukrosa dan Glukosa .................................................
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ........................................................................................
6.2. Saran ...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................
41
41
43
44
46
47
53
54
55
58
-
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan gula pasir (gula putih) dan gula jawa (gula merah) ... Tabel 2. Sebaran perkebunan tebu dan potensi pengembangannya di
Kabupaten Rembang tahun 2005 ...................................................... Tabel 3. Luas areal, produksi, produktifitas dan jumlah petani komoditas
tebu di Kabupaten Rembang tahun 2006 .......................................... Tabel 4. Harga jual gula tumbu dari pengrajin ke pedagang pengumpul
(Tahun giling 2006) ......................................................................... Tabel 5. Nilai gizi yang terkandung setiap 100 g berbagai jenis gula ............ Tabel 6. Spesifikasi persyaratan mutu gula merah tebu.................................. Tabel 7. Perbandingan sifat fisik GMT konvensional dan sistem uap ........... Tabel 8. Perbandingan antara pengolahan GMT konvensional dan
pengolahan GMT sistem uap ........................................................... Tabel 9. Estimasi biaya investasi usaha gula merah tebu ..............................
3
5
5
12
14
15
42
51
52
-
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Distribusi produk gula merah tebu..............................................
Gambar 2. Diagram alir pembuatan gula merah tebu ...................................
Gambar 3. Kondisi tebu ...............................................................................
Gambar 4. Mesin penggiling ........................................................................
Gambar 5. Penampungan nira ......................................................................
Gambar 6. Bak penyaluran ke wajan ...........................................................
Gambar 7. Tungku dan wajan pemasakan konvensional .............................
Gambar 8. Pembuangan buih nira ................................................................
Gambar 9. Penahan luapan nira ...................................................................
Gambar 10. Pengadukan gula merah tebu di atas meja pengentalan (10a) dan selanjutnya didinginkan (10b) .............................................
Gambar 11. Penyusukan agar dihasilkan gula awur (gula semut) .................
Gambar 12. Wajan pemasakan .......................................................................
Gambar 13. Boiler ..........................................................................................
Gambar 14. Pipa spiral di dalam wajan untuk mengalirkan uap ...................
Gambar 15. Penampang boiler pipa air ..........................................................
Gambar 16. Hubungan antara kapasitas boiler yang diperlukan dengan bobot tebu yang digiling........................................................................
Gambar 17. Konstruksi dasar boiler dan wajan pemasakan ..........................
Gambar 18. Penampang pipa spiral ...............................................................
Gambar 19. Perbandingan mutu GMT berdasarkan analisa kimia ................
Gambar 20. Perbandingan kadar air gula merah tebu ....................................
Gambar 21. Perbandingan kadar abu gula merah tebu ..................................
Gambar 22. Perbandingan padatan tak terlarut (TDS) pada gula merah tebu
Gambar 23. Perbandingan kadar sukrosa pada gula merah tebu .....................
Gambar 24. Perbandingan kadar glukosa pada gula merah tebu .....................
10
19
25
25
26
26
27
28
28
30
30
33
33
34
36
37
39
40
41
43
45
46
48
48
-
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisa Mutu Gula Merah Tebu ................................ Lampiran 2. Hasil Uji-t pada Kadar Air, Kadar Abu, %TDS, Kadar
Sukrosa, dan Kadar Glukosa Gula Merah Tebu ........................ Lampiran 3. Neraca Massa Pengolahan Gula Merah Tebu ........................... Lampiran 4. Rancangan Manual GMP dan SSOP GMT ............................... Lampiran 5. Perhitungan Energi pada Pengolahan GMT Konvensional ....... Lampiran 6. Perhitungan Energi pada Pengolahan GMT Sistem Uap ........... Lampiran 7. Rancang Bangun Alat Pengolahan Gula Merah Tebu Sistem
Uap ............................................................................................ Lampiran 8. Ukuran Boiler dan Wajan Pemasakan........................................ Lampiran 9. Penentuan Harga Pokok dan Harga Jual GMT pada Kondisi
Pengolahan Konvensional ......................................................... Lampiran 10. Penentuan Harga Pokok dan Harga Jual GMT pada Kondisi
Pengolahan Sistem Uap ............................................................
59
64 66
67
79
82
84
85
86
87
-
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sebagian besar gula merah yang ditemui di pasar lokal cukup bervariasi, terutama
dalam hal penampakan dan sifat fisiknya, yaitu warna, kadar kotoran, dan
kekerasannya. Keragaman mutu tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu rendahnya teknologi proses yang digunakan, variasi bahan baku, dan kondisi
proses pengolahan yang tidak konsisten. Menurut Rosby (2004), proses produksi
gula merah yang selama ini dikerjakan menggunakan teknologi sederhana dan
bersifat tradisional inilah yang menyebabkan hasil produksi gula merah sangat
bervariasi.
Gula merah berbahan baku nira tebu pada umumnya diproduksi oleh industri
kecil. Para pengusaha industri kecil gula merah tebu di Kabupaten Rembang
memiliki keinginan untuk mengembangkan usaha melalui peningkatan kualitas
dan kuantitas produk. Keinginan tersebut membutuhkan suatu pemikiran agar
memberikan solusi yang tepat. Alih teknologi merupakan alternatif jawaban untuk
masalah produk gula yang bervariasi.
Pada penelitian ini, dikaji penerapan teknologi baru (pengolahan gula dengan
sistem uap) dengan didukung usaha perbaikan kondisi proses pengolahan. Alih
teknologi tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi secara optimal
kepada para pengusaha gula merah tebu, terutama di Kabupaten Rembang.
Dengan meningkatnya kualitas produk, industri gula merah tebu diharapkan dapat
lebih berkembang serta mampu bersaing.
1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengkaji penerapan produksi gula merah tebu
dengan penggunaan teknologi pemasakan sistem uap, serta mengetahui
peningkatan mutu yang dapat dicapai dengan teknologi tersebut.
-
1.3. Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus pada salah satu Usaha Gula Merah
Tebu di Kabupaten Rembang, yang meliputi:
a. Karakterisasi usaha gula merah tebu.
b. Uji coba produksi dengan menggunakan alat pemasakan gula merah tebu
sistem uap.
c. Analisa produk, baik dari hasil pengolahan konvensional maupun pengolahan
sistem uap. Analisa tersebut meliputi perubahan sifat fisik (warna, rasa,
aroma, dan penampakan), serta perubahan sifat kimia (kadar air, kadar abu,
bagian tak terlarut dalam air, kadar sukrosa, dan kadar glukosa).
1.4. Dasar Pemikiran Usaha Gula Merah Tebu (GMT) adalah salah satu usaha kecil yang perlu
dikembangkan karena gula merah memiliki peluang sebagai komoditas ekspor.
Besarnya peluang ekspor komoditas ini didukung dengan masih sedikitnya negara
yang memproduksi gula merah, terutama gula merah tebu. Ketersediaan bahan
baku yang cukup tinggi di Indonesia memberikan peluang yang cukup besar untuk
mengembangkan GMT. Berdasarkan data yang telah diperoleh, lahan tanaman
tebu di Kabupaten Rembang cukup luas dan hampir setiap tahun cenderung
meningkat, baik luas areal maupun produktivitasnya.
Semakin meluasnya areal tebu rakyat yang tidak diimbangi dengan kapasitas
giling pabrik gula putih (PG) yang memadai, mengakibatkan kelebihan produksi
tebu tidak mampu diserap oleh PG. Tebu yang tidak dapat ditampung oleh PG
diolah oleh masyarakat menjadi gula merah. Hal tersebut yang menjadi dasar
pendirian usaha GMT. Pertumbuhan usaha GMT semakin meningkat dengan
adanya kebijakan impor gula oleh pemerintah. Isu kebijakan impor gula putih
dapat dijadikan kesempatan bagi para pelaku usaha GMT untuk meningkatkan
produktivitasnya.
Seiring dengan berubahnya pola hidup masyarakat yang semakin memperhatikan
nutrisi makanan yang dikonsumsi, gula merah akan semakin diminati sebagai
-
pengganti konsumsi gula putih. Karena ditinjau dari segi kesehatan, gula merah
memiliki manfaat nutrisi yang lebih baik. Perbandingan antara gula putih dan gula
merah mengenai kandungan dan manfaatnya disajikan pada Tabel 1. Keunggulan
tersebut mampu menjadi pendukung dikembangkannya usaha gula merah tebu.
Tabel 1. Perbandingan gula pasir (gula putih) dan gula jawa (gula merah)
VARIABEL Gula Pasir Gula Jawa
Rasa Manis Ya Ya Glukosa Ada Ada Galaktomanan (berfungsi untuk kesehatan) Tidak ada Ada Energi spontan (energi bisa langsung digunakan oleh tubuh) Tidak Ya
Antioksidan Tidak Ya Lebih bermanfaat untuk diabetes Tidak Ya Mengandung senyawa non-gizi yg bermanfaat untuk diabetes (penelitian terbaru yang belum dipublikasikan)
Tidak Ya
Aroma khas nira Tidak Ya Mengandung senyawa yg bermanfaat untuk kesehatan seperti yg ada dalam kelapa muda (peneliti Depkes RI, non publikasi)
Tidak Ya
Sumber: Nirasari, 2007
Pengembangan usaha GMT memiliki dampak yang cukup signifikan di bidang
ekonomi dan sosial. Dengan adanya usaha pengolahan GMT, sumber daya
manusia di sekitar usaha dapat diserap sebagai tenaga kerja. Dengan demikian,
pengangguran di wilayah tersebut mampu ditekan serta kesejahteraan hidup
masyarakat lebih meningkat. Peningkatan kesejahteraan petani akan lebih baik
apabila sistem produksi gula kelapa yang bersifat industri rumahan diubah
menjadi sistem pabrikasi dan dilakukan peningkatan mutu serta inovasi produk.
Hal ini akan membebaskan petani dari sistem ijon yang diterapkan oleh
pedagang/pengepul gula yang merugikan kaum tani selama ini.
-
2. KONDISI UMUM USAHA
2.1. Profil Perkebunan Tebu Rakyat di Kabupaten Rembang Secara geografis Kabupaten Rembang terbentang diantara 111o00 111o301 BT
dan 603o1 700o1 LS. Sebagian daerahnya merupakan pantai Laut Jawa.
Rembang berbatasan dengan Kabupaten Blora di sebelah Selatan, Propinsi Jawa
Timur (Kabupaten Tuban) di sebelah Timur, dan Kabupaten Pati di sebelah Barat.
Kabupaten Rembang mencakup wilayah seluas kurang lebih 101.747 ha, terbagi
atas 14 Kecamatan serta 294 Desa/Kelurahan yang terdiri dari 288 Desa dan enam
Kelurahan.
Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan yang telah lama dibudidayakan di
Kabupaten Rembang. Areal tebu rakyat di Kabupaten Rembang hingga akhir
tahun 2005 seluas 4.398 ha yang tersebar di 12 wilayah kecamatan dengan sentra
produksi di Kecamatan Pamotan, Sulang, Sumber, dan Pancur yang ditinjau
secara teknis relatif mempunyai kesesuaian lahan dan agroklimat. Luas lahan tebu
dan potensi pengembangannya di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada tahun 2006, jumlah luas tanaman tebu Kabupaten Rembang 6.140,86 ha,
dengan luas potensi lahan kering sebesar 9.488 ha. Luas areal, produksi,
produktifitas, dan jumlah petani komoditas tebu di Kabupaten Rembang Tahun
2006 dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada tahun 2005, jumlah petani tebu adalah 1.994 orang dengan volume produksi
16.353.679 ton dan rendemen 6-7 %, sedangkan volume produksi tebu pada tahun
2006 di Kabupaten Rembang mencapai 23.127.555 ton dengan rata-rata rendemen
10 %. Jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan usaha tani tebu adalah 2.701
orang. Dari data tahun 2005 dan 2006 tersebut terlihat bahwa perkebunan tebu
rakyat di Kabupaten Rembang cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya.
-
Tabel 2. Sebaran perkebunan tebu dan potensi pengembangannya di Kabupaten Rembang tahun 2005
No Kecamatan Luas (Ha) Potensi Lahan
Pengembangan (Ha) 1 Rembang 117 673 2 Sulang 968 1.127 3 Sumber 459 686 4 Bulu 108 462 5 Gunem 113 397 6 Pamotan 1.859 2.250 7 Pancur 353 720 8 Kaliori 75 421 9 Sedan 185 640 10 Kragan 57 695 11 Sarang 40 450 12 Lasem 64 317 13 Sluke - 200 14 Sale - 450 Jumlah 4.398 9.488
Sumber : Data Statistik BPS Kabupaten Rembang tahun 2006
Tabel 3. Luas areal, produksi, produktifitas dan jumlah petani komoditas tebu di Kabupaten Rembang tahun 2006
Produksi
No Kecamatan Luas Areal (Ha) Ton
Rata-rata Produksi (Kg/Ha)
Jumlah Petani (KK)
1 Sumber 341 1.221.462 3582 92 2 Bulu 167 566.130 3390 61 3 Gunem 213 722.070 3390 189 4 Sale - - - - 5 Sarang 19 62.700 3300 6 6 Sedan 90 322.380 3582 38 7 Pamotan 3.015 12.050.955 3997 1235 8 Sulang 1.305 4.791.960 3672 503 9 Kaliori 109 369.510 3390 29 10 Rembang 181 619.020 3420 52 11 Pancur 554 1.917.948 3462 439 12 Kragan 27 90.720 3360 10 13 Sluke - - - - 14 Lasem 119 392.700 3300 47 Jumlah 6140 23127.555 3767 2701
Tahun 2005 4398 16353.697 3718 1994 Tahun 2004 3871 11951.000 3087 1984
Sumber: Data Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Rembang Tahun 2007
-
Pada umumnya, hasil panen tebu dijual ke Pabrik Gula (PG) untuk diolah menjadi
gula putih, namun ada juga yang dijual untuk diolah menjadi gula merah tebu
(GMT). Pabrik Gula yang menjadi tujuan penjualan hasil panen petani tebu di
Kabupaten Rembang adalah PG Rendeng di Kudus, PG Trangkil di Pati, dan PG
lain di sekitarnya. Perkiraan distribusi lahan pada tahun 2005 adalah sebagai
berikut: 1.200 ha masuk PG Rendeng, 800 ha masuk PG Trangkil, 2000 ha masuk
usaha gula tumbu (gula merah tebu), dan sisanya masuk ke PG lain.
Para pengusaha gula merah tebu di Kabupaten Rembang lebih dikenal dengan
istilah Pengusaha/Perusahaan Gula Tumbu (PGT). Di Kabupaten Rembang
terdapat kurang lebih 161 unit PGT. Dalam satu tahun musim giling, satu unit
PGT mampu mengolah minimal sepuluh hektar bahan baku (tebu). Diantara PGT
yang tersebar di beberapa kecamatan di Rembang, jumlah PGT yang paling
banyak berada di Kecamatan Pamotan, yaitu 96 PGT. Masing-masing PGT
memiliki 1-3 unit gilingan, bahan baku yang digunakan merupakan tebu yang
berasal dari lahan milik pribadi dan lahan sewa. Namun, tidak sedikit pula yang
menggunakan sistem beli tebu dari petani lain yang tidak memiliki unit gilingan.
Ada beberapa PGT yang hanya memproduksi gula tumbu bila harga gula putih
diperkirakan mengalami penurunan. Sebaliknya, para pengusaha gula tumbu akan
beralih menjual hasil tebunya ke PG, bila harga gula putih diperkirakan naik dan
harga gula tumbu jauh di bawah harga gula putih. Para pemilik kebun tebu
beranggapan, jika tebunya dijual ke PG maka tidak perlu mengeluarkan biaya
produksi (biaya giling dan upah tenaga kerja) serta resikonya lebih kecil.PGT
yang produksinya tergantung pada harga gula putih tersebut biasa disebut dengan
PGT tidak tetap.
2.2. Profil Usaha Gula Merah Tebu Usaha Gula Merah Tebu di Kecamatan Pamotan mulai dirintis pada tahun 1993.
Pada awal produksinya, PGT di Kabupaten Rembang hanya mengolah gula
tumbu. Disebut gula tumbu karena gula yang dihasilkan dicetak dalam tumbu
(wadah dari anyaman bambu). Setiap PGT memiliki jumlah unit pengolahan gula
yang bervariasi, rata-rata 1-3 unit pengolahan. Satu unit pengolahan terdiri dari
-
satu buah mesin penggiling tebu dan satu tungku pemasakan dengan sembilan
kawah (wajan) di atasanya.
Produk yang dihasilkan berupa gula merah tumbu (GMT) yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan berbagai industri. Beberapa industri (pabrik) yang
menggunakan gula tumbu sebagai bahan baku produksinya antara lain pabrik
kecap (Indofood dan beberapa kecap lokal) serta anggur kolesom (cap Orang
Tua). Pada tahun 1998, beberapa PGT mulai melakukan inovasi produk dengan
memproduksi gula merah awur (gula semut).
Hasil yang diperoleh dari analisa usaha ini dapat digunakan untuk
menggambarkan kondisi usaha gula merah tebu pada periode penelitian. Analisa
yang dilakukan meliputi manajemen sumberdaya manusia, produksi, pemasaran,
keuangan, serta penelitian dan pengembangan usaha.
(a) Manajemen sumberdaya manusia
Perusahaan Gula Tumbu/Tebu (PGT) yang dianalisa merupakan bentuk usaha
perorangan yang dikelola dengan menggunakan manajemen yang masih
sederhana. Dalam menjalankan usahanya, PGT menggunakan tenaga kerja lokal.
Untuk mengoperasikan satu unit pengolahan, dibutuhkan tenaga kerja sebanyak
12-15 orang. Pembagian kerja dalam satu unit pengolahan adalah sebagai berikut:
7-10 orang di bagian lahan (menebang tebu), dua orang di bagian mesin
penggilingan tebu, dua orang di bagian pemasakan, dan satu orang di bagian
penjemuran ampas tebu (bagas).
Karyawan yang bekerja di bagian lahan dan penjemuran ampas merupakan
karyawan harian dengan waktu kerja delapan jam per hari, sedangkan karyawan
bagian penggilingan dan pemasakan merupakan karyawan borongan dengan
waktu kerja 12 jam per hari. Upah yang diterima setiap karyawan berbeda.
Karyawan harian rata-rata menerima upah sebesar Rp 20.000,00 per hari dengan
tiga kali makan, sedangkan karyawan borongan menerima upah sebesar Rp
170.000,00 per ton gula yang diperoleh. Upah diberikan satu minggu sekali, yaitu
pada saat gula diambil oleh distributor.
-
Perekrutan karyawan PGT tidak menggunakan seleksi yang ketat dan tidak
memerlukan kriteria khusus. Karyawan yang bekerja di PGT merupakan orang
yang dipilih/diminta secara langsung oleh pemilik usaha dengan
mempertimbangkan kemauan dan kesungguhan dalam bekerja. Karyawan di PGT
pada umumnya tingkat pendidikannya rendah, yaitu lulusan SD dan ada juga yang
tidak pernah mengenyam bangku sekolah.
(b) Produksi
PGT di Kabupaten Rembang beroperasi menggunakan teknologi serta kondisi
produksi yang masih sederhana. Mesin giling tebu yang digunakan digerakkan
oleh generator 20 PK (satuan daya, 1 PK = 1 horse power/HP). Pemasakan nira
masih menggunakan tungku tradisional dengan sembilan kawah (wajan). Tungku
pemasakan tersebut memerlukan bagas kering sebagai bahan bakarnya.
Pada umumnya, musim giling tebu berlangsung selama 45 bulan per tahun,
mulai bulan Juni/Juli hingga September/Oktober. Produksi gula merah pada awal
musim panen (JuniJuli) lebih rendah dibandingkan pada pertengahan atau akhir
musim panen (AgustusSeptember). Namun pada tahun giling 2007 (saat
penelitian), musim panen baru dimulai pada awal Agustus dan berakhir pada awal
Desember, agak terlambat dibandingkan musim-musim panen sebelumnya. Pada
awal panen, rendemen gula masih relatif rendah, yaitu berkisar 78 %, selanjutnya
rendemen akan terus meningkat dan rendemen pada puncak panen dapat mencapai
11-12 %. Pada akhir panen, rendemen hampir sama dengan awal panen, bahkan
bisa lebih rendah, hanya mencapai 6 % saja.
Dalam satu hari kerja, satu unit pengolahan mampu mengolah 78 ton tebu (setara
dengan luasan panen 0.120.13 ha). Pemasakan nira dari 78 ton tebu tersebut
tidak dilakukan sekaligus, tetapi 45 kali pemasakan. Jika diambil asumsi
rendemen rata-rata 10 %, maka pengrajin akan menghasilkan 78 kwintal gula
merah tebu setiap harinya. Pada umumnya, pengrajin gula merah akan menjual
hasil produksinya setelah gula mencapai 40 tumbu (lebih kurang lima ton gula),
biasanya disebut dengan satu kali gulingan. Untuk memenuhi 40 tumbu tersebut
diperlukan waktu sekitar 710 hari pengolahan. Jika dalam satu musim giling
-
terdapat 12 kali gulingan, maka kapasitas produksi usaha gula merah tumbu
maupun gula awur per musim adalah 60 ton.
(c) Pemasaran
Pemasaran dapat diuraikan sebagai proses menetapkan, mengantisipasi,
menciptakan, dan memenuhi kebutuhan serta keinginan pelanggan akan produk
dan jasa. Pemasaran merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam
mengembangkan usaha. Analisa pemasaran berhubungan dengan analisa produk,
distribusi, promosi, dan harga. Variabel-variabel tersebut akan mempengaruhi
kinerja perusahaan.
Produk
Bahan baku yang digunakan adalah nira tebu. Menurut Muchtadi dan Sugiyono
(1992), nira dihasilkan oleh tanaman yang berdaun hijau dan digunakan dalam
metabolisme tanaman. Pada beberapa jenis tanaman, nira disimpan dalam akar,
batang, bunga, dan buah. Nira tebu yang digunakan dalam pengolahan gula merah
tersebut diperoleh dari proses penggilingan bagian batang tebu (Saccharum
officinarum).
Sebagian besar tebu yang diolah adalah tebu jenis PS 864 dan BZ 148 yang telah
mencapai umur panen, yaitu 812 bulan. Jenis tersebut dipilih karena dapat
ditanam di lahan sawah maupun di lahan tadah hujan. Karakteristik ini cukup
cocok untuk lahan di Kabupaten Rembang yang memiliki variasi jenis tanah.
Karakteristik lainnya yaitu memiliki anakan yang cukup banyak serta gula yang
dihasilkan cukup baik.
Kondisi dan sifat-sifat nira akan menentukan sifat dan mutu produk yang
dihasilkan (Goutara, 1985). Menurut Martoyo (1990), nira tebu dalam keadaan
segar terasa manis, berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,56,0.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, nira yang akan diolah di PGT berwarna
hijau kekuningan dan memiliki pH rata-rata 5,0. Dengan demikian nira tersebut
dapat dikatakan cukup baik untuk diolah. Nira yang bermutu tinggi mempunyai
kadar gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) yang rendah. Karena keterbatasan alat
-
di tempat penelitian, maka pengukuran terhadap kadar gula pereduksi pada nira
tidak dilakukan.
Penelitian ini difokuskan pada PGT yang memproduksi berupa gula semut. Gula
merah berbentuk serbuk yang lebih dikenal dengan sebutan gula awur ini
dikonsumsi oleh industri. Pada dasarnya pembuatan gula awur dan gula merah
cetak adalah sama, perbedaannya hanya pada bagian akhir proses. Pada
pengolahan gula merah cetak, setelah nira mengental/matang dilakukan
pencetakan, sedangkan pada pengolahan gula awur, setelah nira didinginkan
dilakukan penggerusan/penyusukan agar diperoleh butiran-butiran halus.
Umumnya, produk fisik harus dikemas dan diberi label sebagai elemen dari
strategi produk. Kemasan yang dirancang dengan baik dapat menciptakan
kenyamanan dan nilai promosi (Kotler, 2005). Kemasan GMT di PGT Kabupaten
Rembang, baik berupa gula tumbu maupun gula awur, dapat dikatakan kurang
menarik konsumen. Namun karena industri pengguna tidak terlalu
mempermasalahkan kemasan, maka para pengrajin GMT di Kabupaten Rembang
juga kurang memperhatikan kemasan produk. Gula tumbu hanya dikemas dalam
tumbu saja, sedangkan gula awur pengemasannya lebih baik, yaitu menggunakan
plastik sebagai kemasan primer dan karung plastik sebagai kemasan sekunder.
Kemasan tersebut juga tidak berlabel.
Pemasaran gula merah tebu tidak dilakukan dengan menyalurkan langsung ke
industri pengguna, tetapi melalui distributor (pedagang pengumpul). Pada
umumnya terbentuk tiga pola pemasaran pada PGT di Kabupaten Rembang,
seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Pedagang pengumpul menengah
Pedagang Pengumpul besar Industri Pengrajin
Gambar 1. Distribusi produk gula merah tebu
-
Beberapa PGT dapat digolongkan sebagai pengrajin sekaligus pedagang
pengumpul menengah. Selain menjual produknya sendiri, PGT tersebut juga
mengumpulkan gula merah tebu (sebagian besar berupa gula tumbu) dari PGT
yang ada disekitar wilayahnya. Gula yang telah terkumpul selanjutnya dijual ke
pedagang pengumpul besar, yang merupakan penyuplai gula merah untuk
berbagai industri. Gula merah tebu dari Kabupaten Rembang banyak dikonsumsi
oleh industri-industri kecap, sirup, anggur kolesom, jenang, dan industri pengguna
lain yang tersebar di wilayah Rembang, Kudus, Pati, Semarang, Pasuruan,
Surakarta, dan Yogyakarta.
Promosi
Promosi penjualan bertujuan untuk mendorong pembelian suatu produk atau jasa
tertentu secara lebih cepat dan lebih besar oleh konsumen atau pedagang
(Blattberg dalam Kotler, 2005). Promosi yang biasa dilakukan PGT adalah dalam
bentuk langsung/lisan (negosiasi), baik dengan distributor maupun dengan industri
pengguna (melalui distributor). Promosi melalui media elektronik maupun media
cetak belum pernah dilakukan karena dirasa kurang diperlukan. Alasan lainnya
yaitu karena PGT telah melakukan kontrak untuk memenuhi kebutuhan industri
tertentu saja.
Harga
Biasanya harga jual gula awur lebih tinggi daripada gula tumbu. Perbedaan
tersebut hanya berkisar antara Rp 100,00 hingga Rp 200,00 per kilogram,
meskipun tahapan proses pembuatan gula awur lebih panjang dan membutuhkan
kesabaran serta keuletan yang lebih tinggi. Harga produk GMT dipengaruhi oleh
mekanisme pasar. Dalam hal ini, industri pengguna memegang kendali dalam
menentukan harga GMT. Oleh karena itulah harga gula merah tebu selalu
berubah-ubah. Harga jual gula tumbu dari pengrajin ke pedagang pengumpul
dapat dilihat pada Tabel 4. Dari kapasitas produksi dan harga jual yang diketahui,
dapat dihitung omset yang diperoleh usaha gula merah tebu. Penghitungan omset
GMT berdasarkan data 2006 adalah sebagai berikut.
-
Omset usaha = total produksi x harga jual rata-rata
= 60ton/tahun x Rp 2.950,00/kg x 1000kg/ton
= Rp 177.000.000,00/tahun
Tabel 4. Harga jual gula tumbu dari pengrajin ke pedagang pengumpul (Tahun
giling 2006)
Bulan Gula tumbu (Rp/kg)
Awal Juni 3.000
Pertengahan Juni 2.900
Awal Juli 2.800
Pertengahan Juli 2.750
Akhir Juli 2.700
Awal Agustus 2.650
Pertengahan Agustus 2.600
Awal September 2.650
Pertengahan September 2.700
Akhir Oktober 3.000
Pertengahan Desember 3.550
(d) Keuangan
Dana yang digunakan sebagai modal usaha berasal dari dana pribadi dan
pinjaman. Sistem pinjaman dalam usaha GMT ini adalah kas bon antara
pengusaha bermodal kecil dengan pengusaha berodal besar. Pinjaman uang
digunakan sebagai modal usaha, mulai dari biaya budidaya tebu hingga biaya
pengolahan menjadi gula merah. Pinjaman tersebut dilunasi pada saat musim
giling, dengan cara memotong hasil penjualan GMT dengan bon yang ada.
Sistem pencatatan keuangan dalam PGT belum dilakukan dengan baik, hal ini
terlihat dari tidak lengkapnya pencatatan mengenai pemasukan dan pengeluaran.
Sistem pencatatan yang rinci dapat digunakan untuk menentukan harga dasar
penjualan gula merah.
-
(e) Penelitian dan Pengembangan
Penelitian dan pengembangan dalam suatu perusahaan sangat diperlukan dalam
mendukung usaha yang sudah ada, membantu meluncurkan usaha baru,
mengembangkan produk baru, meningkatkan mutu produk, memperbaiki efisiensi
proses manufaktur dan memperdalam atau memperluas kemampuan teknologi
perusahaan. Untuk kasus PGT Ibu Arini, kegiatan penelitian dan pengembangan
yang telah dilakukan adalah adanya perubahan produk yang dihasilkan. PGT
tersebut tidak lagi memproduksi gula tumbu, melainkan sudah memproduksi gula
awur yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
-
3. TINJAUAN PUSTAKA
Gula merah adalah hasil olahan nira yang berbentuk padat dan berwarna coklat
kemerahan sampai dengan coklat tua. Nira yang digunakan biasanya berasal dari
tanaman kelapa, aren, lontar atau siwalan, dan tebu (Dachlan, 1984). Selain untuk
konsumsi di tingkat rumah tangga, gula merah juga menjadi bahan baku untuk
berbagai industri pangan seperti industri kecap, tauco, produk cookies, dan
berbagai produk makanan tradisional (Santoso, 1993). Gula merah juga mulai
dikonsumsi di berbagai negara baik sebagai konsumsi akhir maupun sebagai
bahan baku dan bahan tambahan dalam suatu industri. Gula merah banyak
diminati di Jerman dan Jepang, industri perhotelan, supermarket, pabrik kecap
ekspor, hingga pabrik anggur (Warastri, 2006).
Dilihat dari segi kesehatan, gula merah tebu memiliki nilai gizi yang cukup baik.
Perbandingan nilai gizi yang terkandung dalam berbagai jenis gula dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai gizi yang terkandung setiap 100 g berbagai jenis gula
G.Kelapa (mg)
G.Aren (mg)
G.Merah Tebu (mg)
G. Pasir (mg)
Madu (mg)
Kalori 386.0 386.0 356.0 364.0 294 Protein 3.0 0.0 0.4 0.0 0.3 Lemak 10.0 0.0 0.5 0.0 0.0 Hidrat arang 76.0 95.0 90.6 94.0 79.5 Kalsium 76.0 75.0 51.0 5.0 5.0 Fosfor 37.0 35.0 44.0 1.0 16.0 Besi 2.6 3.0 4.2 0.1 0.9 Vit. A 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Vit. B1 0.0 0.0 0.02 0.0 9.0 Vit. B2 0.0 0.0 0.03 0.0 0.0 Vit. C 0.0 0.0 0.0 0.0 04.0 Air 10.0 9.0 7.4 5.4 20.0
Sumber: Tan, 1980
-
3.1. Mutu Gula Merah Mutu gula merah ditentukan terutama dari rasa dan penampilannya yang meliputi
bentuk, warna, kekeringan, dan kekerasannya. Gula yang berwarna lebih cerah
dan agak keras lebih disukai serta memiliki harga jual lebih tinggi. Gula merah
memiliki struktur dan tekstur yang kompak, tidak keras, sekaligus terdapat kesan
empuk sehingga mudah dipatahkan (Santoso, 1993). Persyaratan mutu gula merah
tebu dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang dirumuskan
dalam SNI 01-6237-2000. Syarat mutu tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Spesifikasi persyaratan mutu gula merah tebu
Persyaratan No. Jenis uji Satuan Mutu I Mutu II 1 Keadaan
- bau - rasa - warna - penampakan
- - - -
Khas Khas Coklat muda sampai tua Tidak berjamur
Khas Khas Coklat muda sampai tua Tidak berjamur
2 Bagian yang tak larut dalam air, b/b % Maks 1.0 Maks 5.0
3 Air, b/b % Maks 8.0 Maks 10.0 4 Gula (dihitung sebagai
sakarosa), b/b % Min 65 Min 60
5 Gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa), b/b % Maks 11 Maks 14
6 Bahan tambahan makanan pengawet - residu - benzoat
mg/kg mg/kg
Maks 20 Maks 200
Maks 20 Maks 200
7 Cemaran logam - timbal (Pb) - tembaga (Cu) - seng (Zn) - timah (Sn) - raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 2.0 Maks 2.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03
Maks 2.0 Maks 2.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03
8 Cemaran arsen mg/kg Maks 0.1 Maks 0.1 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2000)
-
Gula merah hasil produksi pengrajin maupun yang didapatkan di pasaran pada
umumnya dalam bentuk gula cetak dan mutunya beragam, ditinjau dari segi
keawetan (daya simpan), warna, maupun kadar kotoran. Adanya keragaman
warna dan kekerasan pada produk-produk gula merah di pasaran Indonesia dapat
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu rendahnya teknologi pengolahan, adanya
variasi bahan baku (kondisi nira), maupun proses pengolahan yang tidak konsisten
(Santoso, 1993).
Wirioatmodjo et al. (1984) menyatakan bahwa sebagai komoditi pertanian, gula
merah memiliki ciri daya simpannya relatif singkat karena mudah menyerap air
sehingga mudah lembek. Mengenai warna, Herman (1987) mengungkapkan
bahwa sebagian besar gula kelapa warnanya coklat sampai coklat kehitaman serta
mudah lembek. Hal ini mungkin akibat terjadinya kegosongan selama proses
pengolahan, disamping nira yang diolah kurang baik.
a. Warna Gula Merah
Gula merah yang warnanya lebih cerah dianggap memiliki kualitas yang lebih
baik (Nurlela, 2002). Warna gula merah ditentukan oleh mutu nira yang
digunakan. Nira yang telah terfermentasi mengandung asam dan gula pereduksi
relatif tinggi. Menurut Shallenberg et al. dalam Nurlela (2002), kandungan gula
pereduksi berperan penting dalam proses pencoklatan pada gula merah. Hal ini
dikarenakan gula yang siap melakukan reaksi pencoklatan adalah gula pereduksi,
sedangkan gula non pereduksi harus mengalami perubahan menjadi gula
pereduksi terlebih dahulu.
Reaksi pencoklatan non enzimatis yang diduga terjadi pada proses pembuatan
gula merah adalah reaksi maillard dan karamelisasi, yang disebabkan oleh
keberadaan gula pereduksi, protein, dan lemak dalam nira. Reaksi maillard adalah
reaksi yang terjadi antara asam amino dengan gula pereduksi apabila dipanaskan
bersama-sama. Reaksi karamelisasi adalah reaksi yang terjadi pada pemanasan
gula dalam asam, basa, dan pemanasan tanpa air (Ozdemir, 1997).
-
b. Kekerasan Gula Merah
Kekerasan gula merah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu nira, kadar
air, dan kadar lemak. Mutu nira berhubungan dengan jumlah sukrosa yang
terdapat di dalamnya. Semakin baik mutu nira, jumlah sukrosa akan semakin
tinggi dan gula merah yang terbentuk akan memiliki tekstur yang baik. Apabila
sukrosa telah terinversi maka gula merah akan sulit mengeras. Penguraian sukrosa
menjadi gula pereduksi disebabkan adanya aktivitas enzim invertase yang
dihasilkan mikroba kontaminan atau akibat pemanasan dalam suasana asam yang
terjadi selama pengolahan (Santoso, 1993).
Air merupakan salah satu komponen yang berpengaruh terhadap keempukan gula.
Semakin tinggi kadar air maka kekerasan gula merah akan semakin rendah
(Sudarmadji et al., 1989). Kadar air yang terdapat pada gula merah adalah kurang
dari 12%. Kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan gula merah menjadi lembek
dan cepat rusak (Dachlan, 1984).
c. Rasa Gula Merah
Gula merah mempunyai nilai kemanisan 10% lebih manis daripada gula pasir.
Adanya bahan-bahan dari berbagai jenis gula seperti sukrosa, fruktosa, glukosa,
dan maltosa menyebabkan rasa manis (Santoso, 1993). Gula merah juga memiliki
rasa sedikit asam karena adanya kandungan asam-asam organik di dalamnya.
Adanya asam-asam ini menyebabkan gula merah mempunyai aroma yang khas,
sedikit asam, dan berbau karamel. Rasa karamel pada gula merah diduga
disebabkan adanya reaksi karamelisasi akibat panas selama pemasakan (Nengah,
1990).
3.2. Proses Pembuatan Gula Merah Tebu Definisi gula merah tebu menurut SNI 01-6237-2000 adalah gula yang dihasilkan
dari pengolahan air atau sari tebu (Saccharum officinarum) melalui pemasakan
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang diperbolehkan dan berwarna
kecoklatan. Proses pembuatan gula merah tebu pada prinsipnya sama dengan
-
pembuatan gula merah pada umumnya. Prinsipnya adalah proses penguapan nira
dengan cara pemanasan sampai nira mencapai kekentalan tertentu kemudian
mencetaknya menjadi bentuk yang diinginkan (Ashari et al., 2005).
Tahap awal pembuatan gula merah adalah proses penggilingan batang tebu untuk
mengekstraksi nira semaksimal mungkin. Proses ini dilakukan dengan
menggunakan mesin giling yang digerakkan oleh diesel yang dihubungkan dengan
sabuk transmisi atau belt. Peralatan giling ini dibuat dari besi yang terdiri dari dua
silinder bergerigi yang bergerak berlawanan arah sehingga batang tebu hancur
karena terjepit diantara dua silinder. Dengan demikian nira tebu dapat terekstrak
(Lesthari, 2006).
Nira yang telah terekstrak kemudian disaring menggunakan kain penyaring untuk
memisahkan kotoran-kotoran seperti potongan ranting, daun kering, dan serangga.
Nira hasil penyaringan dimasukkan ke dalam wajan kemudian dipanaskan pada
suhu sekitar 110 0C selama tiga sampai empat jam sambil dilakukan pengadukan.
Suhu yang optimal untuk pemanasan nira adalah 110-120 0C. Apabila suhunya
terlalu tinggi, maka akan terjadi karamelisasi berlebihan sehingga gula yang
dihasilkan dapat menjadi gosong. Pengadukan perlu dilakukan untuk
mempercepat penguapan air dari nira dan untuk membentuk kristal gula yang
kompak serta menghasilkan warna gula yang seragam (Sagala et al., 1978).
Pada pemasakan dengan suhu tinggi ini kotoran-kotoran halus akan terapung
bersama dengan buih nira. Kotoran tersebut dibuang dengan menggunakan serok
(Santoso, 1993). Buih-buih yang timbul selama proses dapat dikurangi dengan
melakukan pengadukan terus menerus serta dapat ditambahkan parutan kelapa,
minyak kelapa, atau kemiri yang dihaluskan. Bahan-bahan ini ditambahkan untuk
menurunkan tegangan permukaan antara buih dan cairan nira (Palungkun, 1993).
Pemanasan nira dihentikan jika nira sudah mulai pekat dan berwarna kecoklatan
serta buih-buih nira sudah menurun. Kecukupan pemanasan sangat mempengaruhi
mutu gula merah yang dihasilkan. Apabila waktu pemanasan terlalu cepat maka
gula merah yang dihasilkan akan lembek dan mudah meleleh (Sardjono, 1985).
Nira pekat yang telah masak kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang telah
-
dibasahi air untuk mempermudah pelepasan gula merah. Alat pencetakan gula
merah umumnya adalah tempurung kelapa atau batang bambu (Dyanti, 2002).
Proses pembuatan gula merah tebu secara ringkas disajikan pada Gambar 2.
Larutan kapur
Buih dan kotoran
Batang tebu
Nira
Penggilingan
Penjernihan dengan pemanasan awal 70 0C
Pencetakan
Pemanasan 100-110 0C
Penggumpalan
Gula merah tebu
Natrium metabisulfitdan minyak
kelapa
Bagas
Penjernihan dengan pemanasan awal 70 0C
Gambar 2. Diagram alir pembuatan gula merah tebu
3.3. Perbaikan Proses pada Penelitian Terdahulu
Untuk memperoleh produk dengan mutu yang baik perlu diperhatikan mutu bahan
baku, proses produksi, dan pengemasan produk. Menurut penelitian Nurlela
(2002), pembentukan warna gula merah pada dasarnya sangat tergantung pada dua
hal, yaitu kondisi bahan baku (nira) dan proses pembuatan gula merah. Kondisi
-
bahan baku atau nira yang menghasilkan gula merah dengan warna coklat
kekuningan, keras, dan kering adalah nira segar dengan kisaran pH antara 5.55.6.
Tahapan proses yang mempengaruhi mutu adalah suhu proses, pengadukan
selama pemasakan, serta kondisi kebersihan proses (sanitasi) dan alat-alat yang
digunakan. Warna produk gula merah memang sangat berpengaruh pada persepsi
konsumen. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan mutu dan
mengurangi variasi mutu gula merah adalah perlu adanya cara pengolahan gula
merah yang lebih baik, meliputi suhu pengolahan, waktu pengolahan, intensitas
pengadukan, serta kebersihan alat (Nurlela, 2002).
Menurut penelitian Yustiningsih (2006), proses penjernihan nira optimum dengan
metode defekasi mampu menurunkan nilai kadar air, kadar abu, total kotoran,
kadar glukosa, kadar protein, dan kadar lemak; serta meningkatkan kadar sukrosa.
Pada penelitian tersebut, proses defekasi pada semua kombinasi suhu nira dan
dosis kapur yang digunakan ternyata tidak berbeda nyata. Atas dasar alasan
praktis dan efisien, Yustiningsih menyarankan bahwa untuk aplikasi di Industri
Gula Merah Tebu (IGMT), kombinasi yang digunakan adalah suhu nira 29 oC dan
dosis kapur 0,067 %.
Hasil penelitian Lesthari (2006) menunjukkan bahwa penundaan giling tebu dapat
menurunkan kadar sukrosa gula merah yang dihasilkan. Selain itu, Lesthari (2006)
juga menyimpulkan bahwa penambahan natrium metabisulfit tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kecerahan warna gula merah, justru meningkatkan
kadar abu. Berdasarkan hasil penelitian Lesthari tersebut, maka pada penelitian ini
juga tidak digunakan bahan tambahan natrium metabisulfit.
-
4. METODE PENELITIAN
1.5. Kerangka Pelaksanaan Mutu gula merah tebu saat ini masih tergolong rendah dan bervariasi akibat dari
teknologi dan kondisi proses produksi yang diterapkan tidak optimum. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan mutu gula merah tebu diperlukan langkah-
langkah sebagai berikut:
Identifikasi faktor-faktor penyebab mutu gula merah tebu yang rendah dan
bervariasi, mencakup bahan baku, alat, sanitasi, cara produksi, dan lain-lain
melalui pustaka-pustaka yang sesuai
Formulasi perbaikan proses berdasarkan analisis teoritis berdasarkan hasil-
hasil penelitian terdahulu dan data/informasi lainnya
Verifikasi teknologi proses melalui kajian eksperimental skala besar dengan
target perbaikan kualitas produk hingga memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI)
Analisa hasil eksperimen dan formulasi standar proses produksi gula merah
tebu berdasarkan hasil penelitian
1.6. Tata Laksana 3.6.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Usaha Gula Merah Tebu (GMT) milik Ibu Arini
Khusniati yang berlokasi di Desa Japerejo, Kecamatan Pamotan, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah. Kegiatan pengumpulan data dilakukan pada akhir bulan
Mei hingga akhir bulan November 2007. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan
pertimbangan ketersediaan bahan baku di daerah tersebut sangat mendukung,
skala produksi dan pemasarannya cukup besar, serta adanya komitmen kerjasama
untuk pengembangan industri kecil gula merah tebu.
-
3.6.2. Tahapan Penelitian
a) Karakterisasi Usaha
Tahap karakterisasi ini digunakan untuk memperoleh data penunjang, data
tersebut berupa data primer dan data sekunder. Selanjutnya data-data yang
diperoleh dianalisa. Data primer diperoleh melalui eksperimen, pengamatan
langsung dan wawancara. Wawancara dilaksanakan dengan pemilik usaha gula
merah tebu (GMT), pedagang (distributor) GMT, konsumen GMT, serta pihak-
pihak yang berkaitan dengan usaha setempat, yaitu pekerja di usaha GMT
(pengolah), Petugas Penyuluh Lapang (PPL), dan pegawai-pegawai di berbagai
instansi terkait.
Data sekunder diperoleh dari Instansi Pemerintah Kabupaten Rembang (Dinas
Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Rembang; Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Rembang; Badan Pusat Statistik Kabupaten Rembang;
dan Badan Pemerintahan Daerah Kabupaten Rembang), dan berbagai sumber
pustaka serta publikasi yang dianggap relevan.
b) Verifikasi Teknologi Proses
Pada tahap ini dilakukan eksperimen skala besar untuk memperbaiki kualitas gula
merah tebu hingga sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Eksperimen
dilakukan berdasarkan hasil formulasi perbaikan proses secara teoritis dan
disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Usaha meningkatkan mutu gula
merah tebu difokuskan pada proses produksinya.
Usaha yang dilakukan adalah mengolah nira tebu menjadi gula merah dengan
menggunakan alat baru yang diasumsikan lebih baik daripada peralatan tradisional
yang biasa digunakan sebelumnya. Selain menggunakan alat baru, usaha
perbaikan yang dilakukan dengan mengkondisikan proses produksi sebaik
mungkin. Kondisi proses tersebut mencakup penanganan bahan baku sebelum
diproses dan cara pengolahan. Tebu yang akan digiling disortir dan dibersihkan
serta mengusahakan penyaringan bertahap. Pengolahan diusahakan agar higienis.
-
c) Analisa Mutu Produk
Langkah terakhir pada tahap ini adalah analisa mutu. Analisa akhir gula merah
tebu dilakukan untuk melihat mutu gula merah hasil perbaikan proses. Mutu gula
merah tersebut kemudian dibandingkan dengan mutu gula merah awal sebelum
perbaikan proses (hasil pengolahan konvensional) dan standar mutu gula merah
tebu. Analisa yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar gula pereduksi,
kadar sukrosa, dan kadar bagian tidak larut dalam air. Prosedur analisa selanjutnya
dapat dilihat pada Lampiran 1.
4.2.3. Pengujian Beda Nilai Tengah
Selain perbandingan deskriptif, untuk mendukung data analisa mutu kimia yang
diperoleh, maka dilakukan pengujian hipotesis. Dalam penelitian ini dilakukan
pengujian dengan membandingkan dua populasi yang dihasilkan dari dua
perlakuan yang berbeda (pemasakan konvensional dan pemasakan sistem uap)
pada unit percobaan (pengolahan gula merah tebu). Mengacu pada Siregar (2004),
untuk menentukan apakah nilai rata-rata dua kelompok data relatif sama atau
berbeda, dilakukan uji-t, yaitu:
X1 X2t = t . (1/n1) + (1/n2)
dengan varian gabungan (S2):
(ni 1)S2 (n1 1) S2 + (n2 1)S2S2 = (ni 1)
=(n2 1) + (n2 1)
Uji pada kedua populasi dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : 1 = 2 H1 : 1 2Dengan kriteria pengujian, tolak H0 jika p-value < 0,05.
-
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.3. Pengolahan Gula Merah Tebu secara Konvensional Pengolahan gula merah tumbu di PGT yang ada di Kabupaten Rembang memiliki
tahapan proses yang hampir sama. Namun, ada sedikit perbedaan pada kondisi
unit usahanya. PGT yang pemiliknya memperhatikan kualitas produk serta
mempunyai modal besar, pada umumnya kondisi unit usahanya lebih baik. Brak
(bangunan pengolahan) PGT modal besar biasanya sudah dibuat menggunakan
tiang permanen walaupun masih sederhana, sedangkan PGT yang modalnya
terbatas biasanya braknya masih menggunakan tiang bambu sehingga terkesan
tidak kokoh dan tidak bersih. Kondisi tempat usaha merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan. Kurangnya kesadaran sebagian
besar PGT terhadap kondisi tempat usaha dapat menjadi penyebab kurang
berkembangnya usaha gula merah tumbu.
Tahapan proses produksi gula merah tumbu di Kabupaten Rembang terdiri dari
penggilingan, pemasakan, pencetakan, serta pengemasan dan penyimpanan.
Tahapan proses produksi gula merah awur meliputi penggilingan, pemasakan,
penyusukan, serta pengemasan dan penyimpanan. Penjelasan dari setiap tahapan
proses adalah sebagai berikut:
a. Penggilingan
Pada tahap ini dilakukan penghancuran batang tebu hasil panen dengan
menggunakan mesin. Tujuan penghancuran batang tebu adalah untuk
mendapatkan ekstrak tebu yang disebut nira. Sumber penggerak mesin giling tebu
adalah mesin diesel (generator) dengan daya 20 PK. Satu unit mesin giling di PGT
mampu menggiling tebu sebanyak 68 ton per hari yang dikerjakan dalam 34
kali giling. Dalam satu hari kerja tersebut (1012 jam), menghasilkan 67 kwintal
gula, dengan asumsi rendemen rata-rata 10 %.
-
Tebu yang digiling adalah tebu yang telah mencapai umur panen, yaitu sekitar 12
bulan. Tebu yang dipanen sebelum maupun setelah mencapai umur panen akan
menghasilkan gula yang kualitasnya rendah. Berdasarkan Goutara (1985), pada
saat tebu memasuki umur panen (1116 bulan), kadar sukrosanya akan terus
meningkat, sedangkan kadar gula pereduksinya akan menurun. Kenaikan sukrosa
tersebut akan turun kembali setelah melewati umur panen. Tebu yang telah
dipanen harus segera digiling agar tidak terjadi kerusakan berupa inversi sukrosa.
Gambar 3. Kondisi tebu Gambar 4. Mesin penggiling
Cara pemanenan dan kebersihan tebu juga berpengaruh pada gula yang dihasilkan.
Cara pemanenan tebu di PGT-PGT Rembang masih belum diperhatikan dengan
baik. Tebu-tebu hasil panen biasanya bukan berupa batang tebu saja, tetapi masih
terdapat daun-daun tebu. Berdasarkan data komunikasi personal, cara menebang
tebu yang benar adalah dengan membuang daun-daun tebu dari batangnya serta
memangkas bagian pucuk dan pangkal batang. Daun-daun tebu ikut digiling
bersama batang tebu, hal ini mungkin dapat berpengaruh pada kadar gula dan
kadar kotoran dalam produk serta mempengaruhi rendemen gula.
Pada prinsipnya, proses penggilingan dan penyaluran nira hingga ke wajan
pemasakan sudah cukup baik, namun pelaksanaannya masih kurang baik.
Penyaringan pada bak penampung nira hasil penggilingan masih belum sempurna,
pekerja kurang telaten menjaga kebersihan bak tersebut, dan kadang-kadang
saringan tidak dipasang semuanya. Sebaiknya para pekerja memulai
memperhatikan kondisi pengolahan, mulai dari penanganan bahan baku hingga
proses pemasakan.
-
b. Pemasakan
Nira yang terekstrak biasanya berwarna kuning kehijau-hijauan dan akan berubah
karena adanya pengotor dari lingkungan. Pada penelitian ini, nilai rata-rata pH
nira adalah 5,0 dengan densitas 14 oBrix. Nira hasil penggilingan dialirkan ke bak
yang bersekat dan diberi saringan kasar dengan tujuan menghilangkan kotoran
dari nira sebelum diolah. Kotoran yang tersaring berupa daun tebu, tanah dan
pasir, serta kotoran-kotoran berukuran besar lainnya. Selanjutnya nira ditampung
di sebuah wajan yang sudah tidak digunakan untuk memasak (Gambar 5).
Gambar 5. Penampungan nira Gambar 6. Bak penyaluran ke wajan
Dari wajan, nira dipindahkan lagi ke bak yang ditutup dengan kain penyaring
(Gambar 6). Pemindahan dilakukan dengan menggunakan ember. Dari bak
tersebut nira kemudian dialirkan ke wajan-wajan pemasakan yang berada di atas
tungku melalui selang (pipa) dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Pemasakan
yang bertujuan untuk menguapkan air dalam nira tersebut dilakukan secara
bertahap dengan memindahkan nira secara berurutan dari wajan yang paling
belakang menuju wajan paling depan (paling dekat dengan sumber api).
Tungku yang digunakan untuk memasak adalah tungku panjang yang dibuat
miring dan di atasnya terdapat sembilan wajan pemasakan. Wajan pemasakan ini
berdiameter kurang lebih satu meter dan berkapasitas 65-72 liter nira. Wajan-
wajan tersebut diatur berundak dan agak miring untuk memudahkan pemindahan
nira dari wajan satu ke wajan berikutnya. Desain tungku dapat dilihat pada
Gambar 7.
-
wajan
cubung
Gambar 7. Tungku dan wajan pemasakan konvensional
Seperti halnya pada penelitian Yustiningsih (2006), tungku pemasakan juga
dilengkapi dengan tempat pemasukan bahan bakar, penampungan abu
pembakaran, serta cerobong asap. Konstruksi tungku seperti inilah yang
memungkinkan asap pembakaran yang keluar dari cerobong mengalami kontak
langsung dengan nira yang sedang dimasak. Terjadinya kontaminasi asap dapat
mempengaruhi produk yang dihasilkan karena asap mengandung partikel-partikel
pengotor seperti debu. Oleh karena itulah gula merah hasil produksi tercium bau
asap, berwarna gelap, dan tercipta rasa yang spesifik.
Pada awal pemanasan (suhu pemasakan 6070 oC) ditambahkan kapur 250 gram
untuk memudahkan pemisahan kotoran yang larut dalam nira, sehingga diperoleh
gula yang bersih dan tidak lembek. Penambahan kapur akan mempercepat gerakan
molekul-molekul cairan nira sehingga menimbulkan gerakan pada kotoran yang
kemudian akan melayang ke permukaan cairan dan terapung bersama buih nira
(Departemen Industri, 1992). Buih dan kotoran yang terapung tersebut harus
dibuang dengan menggunakan serok (Gambar 8). Jika buih cukup banyak, maka
digunakan cubung untuk menahan luapan nira. Cubung adalah alat berbentuk
tabung dan dibuat dari anyaman bambu, diletakkan di tengah wajan sebagai
penahan luapan nira (Gambar 9).
Proses pembuatan gula merah pada dasarnya adalah penguapan dan pengkristalan,
dimana kecepatannya tergantung dari jumlah nira yang diolah serta suhu
pemanasan. Menurut Sagala et al. (1978), suhu optimal untuk pemanasan nira
-
adalah 110120 oC. Bila terlalu tinggi gula yang dihasilkan bisa menjadi gosong.
Selama pemasakan perlu dilakukan pengadukan untuk mempercepat penguapan
air dari nira serta memberi peluang untuk pembentukan kristal gula yang kompak.
Pengaturan suhu dan intensitas pengadukan harus selalu diperhatikan. Di PGT,
pemasukan bahan bakar dan pengadukan dilakukan oleh pekerja yang sudah
berpengalaman, sehingga untuk mengatur kedua faktor tersebut hanya
menggunakan intuisi pekerja saja.
Gambar 8. Pembuangan buih nira Gambar 9. Penahan luapan nira
Pada saat pemasakan terjadi dua reaksi pencoklatan, yaitu karmelisasi dan reaksi
Maillard. Bila gula dipanaskan di atas titik cairnya maka gula akan berwarna
gelap. Pada suhu mendekati titik lebur sukrosa (185186 oC) terjadi dekomposisi
sukrosa (Eskin et al., 1971). Schallenberge (1975) menambahkan, bila sukrosa
dipanaskan pada 200 oC secara terus menerus akan terjadi hidrolisis dan dehidrasi
yang diikuti dimerisasi yang mengakibatkan produk tidak berasa manis.
Pemasakan nira menjadi nira kental (gulali) ini berlangsung selama 34 jam.
Gulali matang biasanya hanya tersisa pada dua wajan yang terdekat dengan
sumber panas (tempat pemasukan bahan bakar). Menurut Ashari et al. (2005),
semakin depan posisi wajan, nira semakin kental. Gulali pada wajan yang di
depan (biasanya wajan pertama dan kedua dari depan) telah siap diangkat atau
dicetak. Jika sudah hampir masak, ditambahkan minyak kelapa dengan tujuan
mengurangi tegangan permukaan sehingga tidak lengket.
-
c. Pencetakan Tahap ini hanya dilakukan pada PGT yang memproduki gula tumbu, sedangkan
pada PGT yang memproduksi gula awur, setelah tahap pemasakan selesai,
langsung dilanjutkan tahap pengentalan dan penyusukan. Proses pencetakan
dilakukan dengan menggunakan tumbu (wadah dari anyaman bambu). Dalam satu
kali matang, gulali tidak dicetak dalam satu wadah sekaligus, tetapi dibagi
menjadi 35-40 tumbu. Hal ini dilakukan untuk mempercepat penghilangan panas
sehingga gulali lebih cepat mengeras serta mencegah warna gelap gula akibat
karamelisasi lanjutan. Pemadatan juga dipercepat dengan cara mengaduk-aduk
gulali di dalam tumbu. Untuk memenuhi tumbu tersebut, diperlukan waktu sekitar
7 hingga 10 hari. Satu tumbu memiliki bobot sekitar 125 kg gula.
d. Pengentalan dan Penyusukan
Pada PGT yang memproduksi gula awur, gulali yang telah matang selanjutnya
dipindahkan ke suatu wadah dari kayu, biasa disebut meja, yang sebelumnya telah
ditaburi Sodium Benzoat sebagai bahan pengawet. Rata-rata penggunaan Sodium
Benzoat di PGT 100 gram setiap satu kali pengolahan yang menghasilkan 150
kg gula. Gula dari wajan pemasakan diangkut ke meja dengan menggunakan
ember alumunium. Penggunaan meja bertujuan untuk mempercepat penghilangan
uap panas dari gula sehingga reaksi maillard dan karamelisasi tidak berlangsung
terus. Selain penggunaan meja, penghilangan panas dari gula juga dipercepat
dengan pengadukan selama 1015 menit (Gambar 10a). Pengadukan juga
berpengaruh pada tingkat kecerahan dan kekerasan gula.
Gula yang telah kering dan dingin selanjutnya dilakukan penyusukan sehingga
diperoleh butiran-butiran gula yang lebih halus (Gambar 11). Tahapan inilah yang
membedakan proses pembuatan gula tumbu (gula cetak) dan gula awur (gula
semut). Sagala et al. (1978) menyatakan bahwa tahap penggumpalan merupakan
proses pembesaran kristal. Pengadukan yang dilakukan akan menurunkan suhu
gulali yang mengakibatkan naiknya koefisien kejenuhan, naiknya koefisien
kejenuhan mengakibatkan terjadinya penempelan sukrosa pada inti kristal yang
ada setelah pemasakan.
-
10a 10b
Gambar 10. Pengadukan gula merah tebu di atas meja pengentalan (10a) dan selanjutnya didinginkan (10b)
Gambar 11. Penyusukan agar dihasilkan gula awur (gula semut)
e. Pengemasan dan penyimpanan
Pengemasan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk dan mencegah
terjadinya penurunan mutu. Gula awur dikemas setiap 50 kg dengan
menggunakan plastik HDPE (High Density Poly Etilen) sebagai kemasan primer,
serta karung plastik sebagai kemasan sekundernya. Selanjutnya, gula yang telah
dikemas disimpan di dalam gudang dengan cara ditumpuk. Selama ini, gudang
penyimpanan GMT di tingkat pengolah belum terlalu diperhatikan. Lantai gudang
penyimpanan masih berupa tanah dan tidak diperhatikan mengenai suhu,
kebersihan, maupun keamanan dari hewan pengganggu. Hal ini seharusnya
diperbaiki dengan melihat prosedur yang sesuai. Gula yang telah diproduksi akan
diambil oleh pembeli tetap (distributor industri) setiap 7-10 hari sekali, biasanya
sekitar 5-6 ton gula.
-
2.4. Pengolahan Gula Merah Tebu Sistem Uap Secara umum, persoalan yang dihadapi oleh industri gula merah adalah masalah
teknologi. Oleh karena itu, tantangan utama yang dihadapi oleh pengembang
industri gula merah adalah memasyarakatkan teknologi pengolahan yang lebih
baik seperti inovasi produk, maupun pengembangan peralatan yang sesuai (Tim
Survei Dewan Gula Indonesia, 1987). Selain itu, keinginan PGT untuk
meningkatkan kualitas produk menjadi dasar dilakukannya inovasi teknologi dan
perbaikan proses pada pengolahan gula merah tebu. Teknologi inovasi yang perlu
dikembangkan untuk pengolahan gula merah tebu ditekankan di bagian
pemasakan, karena dianggap sebagai bagian yang paling berpengaruh terhadap
produk yang dihasilkan.
Teknologi inovasi yang dicoba untuk diterapkan di PGT Ibu Arini adalah teknik
pengolahan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (steam). Dasar pemikiran
diciptakan teknik tersebut adalah perlunya suatu teknologi pemasakan agar bahan
(nira) tidak dipanaskan secara langsung menggunakan tungku, tetapi proses
pemanasan dijauhkan dari sumber api serta cerobong asap. Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi timbulnya aroma, cita rasa, dan warna yang tidak diinginkan
seperti yang terjadi pada pengolahan konvensional, karena kontaminasi asap.
Usaha peningkatan kualitas gula merah tebu juga dilakukan dengan cara
mengkondisikan proses produksi sebaik mungkin. Proses produksi di dalam suatu
usaha merupakan seluruh aktivitas yang mengubah masukan menjadi suatu
keluaran berupa barang ataupun jasa. Usaha-usaha perbaikan proses produksi
dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu serta dengan membuat rancangan
manual GMP (Good Manufacture Practice) dan SSOP (Sanitation Standard
Operation Procedure), yang dapat dilihat di Lampiran 4.
Tahapan proses pengolahan menggunakan teknologi baru ini pada dasarnya sama
dengan pengolahan konvensional, yaitu penggilingan, pemasakan, pengentalan
dan penyusukan, serta pengemasan dan penyimpanan. Pada pengolahan
menggunakan alat baru ini, usaha perbaikan kondisi hanya dilakukan pada tahap
penggilingan dan pemasakan. Tahapan selanjutnya masih sama dengan cara
-
pengolahan sebelumnya. Verifikasi skala besar menggunakan alat baru telah
dilakukan di PGT yang dijadikan obyek penelitian (milik Ibu Arini). Tahapan
proses pengolahan yang mengalami usaha perbaikan adalah sebagai berikut:
a. Penggilingan Penggilingan batang tebu dilakukan sama dengan cara penggilingan pada
pengolahan konvensional. Usaha perbaikan proses yang dilakukan pada tahap ini
yaitu dengan memperhatikan kondisi bahan baku (tebu) yang akan digiling.
Sebelum digiling, tebu dibersihkan dari daun-daun dan kotoran lain yang terikut
pada saat pengangkutan dari kebun. Diharapkan dari perlakuan tersebut dapat
menurunkan kadar abu dan padatan tak terlarut, serta meningkatkan rendemen dan
kadar sukrosa pada produk akhir.
Pada umumnya, penebang tebu untuk produksi gula putih akan membuang bagian
pucuk tebu, daun-daun, dan pangkal tebu. Berbeda dengan penebang tebu untuk
produksi gula putih, para penebang tebu untuk produksi gula merah masih kurang
memperhatikan kebersihan tebu. Keadaan tersebut berlangsung turun temurun dan
tidak ada upaya untuk mengubah kebiasaan tersebut. Selama ini harga jual tebu ke
PG selalu lebih tinggi dibanding harga jual tebu ke PGT karena tebu yang dijual
ke pabrik-pabrik gula (PG) lebih bersih.
Adanya peraturan atau persyaratan penjualan tebu ke PG sangat mempengaruhi
kebersihan tebu hasil tebangan. Jika petani tebu tidak bisa memenuhinya, maka
PG dapat membelinya dengan harga yang sangat rendah dan bahkan menolaknya.
Hal seperti ini tidak berlaku di kalangan penebang tebu PGT walaupun pemilik
usaha akan memberlakukan harga sesuai dengan harga tebu di PG. Perlu
kesadaran diri dari penebang untuk mengubah kebiasaan yang telah mengakar
tersebut.
b. Pemasakan Tahap pemasakan merupakan sasaran utama usaha perbaikan proses produksi.
Perbaikan yang dilakukan pada tahap ini adalah perubahan penggunaan teknologi
pengolahan, sedangkan prinsip-prinsip cara pengolahannya sama, yaitu
-
menguapkan air dalam nira dengan cara pemanasan hingga diperoleh kekentalan
tertentu. Jika pada pengolahan konvensional digunakan tungku dengan wajan
pemasakan di atasnya, pada pengolahan cara baru digunakan tanki pemasakan
yang terpisah dari tungkunya.
Gambar 12. Wajan pemasakan Gambar 13. Boiler
Pemasakan nira pada pengolahan cara baru ini dilakukan secara tidak langsung,
yaitu dengan menggunakan prinsip pindah panas tipe konveksi. Pemindahan
panas adalah proses dinamik, yaitu panas dipindahkan dari bahan yang bersuhu
lebih tinggi ke bahan yang bersuhu lebih rendah. Kecepatan pemindahan panas
tergantung pada perbedaan suhu (Wirakartakusumah et al., 1992). Pindah panas
pada pengolahan gula adalah konveksi panas uap dalam pipa ke nira. Uap yang
digunakan untuk proses pengolahan berasal dari penguapan air di dalam boiler.
Pada pengolahan sistem baru ini wajan/tanki pemasakan yang digunakan mampu
menampung 700 liter nira mentah. Oleh karena itu, nira yang dihasilkan dari
satu kali giling tebu dapat dimasak sekaligus dalam satu wadah tanpa adanya
pemanasan bertahap seperti pada pengolahan konvensional. Mula-mula, uap yang
dihasilkan boiler dialirkan melalui pipa menuju tanki pemasakan. Panas dari uap
akan berpindah ke pipa spiral (Gambar 14) yang ada di dalam wajan. Dengan
adanya perbedaan suhu, maka akan berlangsung proses pindah panas secara
konveksi dari pipa spiral ke nira dalam tanki sehingga suhu nira meningkat hingga
mencapai 100 oC.
-
Gambar 14. Pipa spiral di dalam wajan untuk mengalirkan uap
Waktu yang diperlukan untuk mendidihkan nira menggunakan panas uap ternyata
cukup singkat antara 10-15 menit, tetapi hingga diperoleh nira matang diperlukan
waktu yang lama, yaitu sekitar 4-5 jam. Waktu ini sedikit lebih lama bila
dibandingkan dengan waktu pengolahan konvensional (3-4 jam). Namun
diperkirakan jika jumlah wajan yang digunakan lebih banyak (empat buah), maka
keseluruhan waktu proses akan lebih sedikit (lebih cepat).
Jika nira sudah matang (mengental), tahap berikutnya sama dengan tahapan pada
pengolahan konvensional, yaitu pengentalan, penyusukan, pengemasan, dan
penyimpanan. Gula yang dihasilkan menggunakan alat baru lebih menarik
daripada gula yang dihasilkan pada pengolahan konvensional. Warnanya lebih
terang, rasa lebih manis, tidak tercium lagi bau sangit sehingga aromanya lebih
khas (harum). Apabila hal ini dapat dipertahankan maka harga yang diterima
pengusaha lebih tinggi dan usahanya lebih berkembang.
2.5. Kajian Teknologi Inovasi Dewasa ini perkembangan teknologi mengalami kemajuan yang cukup pesat, baik
teknologi yang langsung berkaitan langsung dengan proses produksi maupun
teknologi pendukung kegiatan produksi sebuah bisnis (teknologi informasi).
Kemajuan teknologi yang terus berkembang dapat memberikan kontribusi yang
besar bagi keberadaan suatu usaha. Salah satu perkembangan teknologi juga mulai
diterapkan pada unit pengolahan gula merah tebu, yaitu teknologi pemasakan nira
tebu secara tidak langsung (pemasakan dengan uap). Teknologi inovasi ini dicoba
diterapkan untuk memperbaiki kualitas gula merah tebu. Teknologi yang telah di
-
uji-cobakan di PGT Rembang terdiri dari dua komponen utama, yaitu boiler dan
wajan pemasakan. Deskripsi kedua komponen tersebut adalah sebagai berikut.
5.3.2. Boiler Boiler atau ketel uap adalah alat yang digunakan untuk memproduksi uap
bertekanan tinggi (steam). Uap yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai
keperluan. Dalam penelitian ini, boiler digunakan sebagai penyuplai panas untuk
menguapkan air yang terkandung dalam nira pada proses pengolahan gula merah
tebu. Air yang diuapkan pada pengolahan GMT 76 % (b/b) (James, 1985).
Boiler sebagai penyuplai panas untuk memasak gula juga membutuhkan panas
untuk memanaskan air. Menurut Wiraatmadja (1989), sebagai medium pemanas,
uap memperoleh panas dari sumber panas yang berasal dari bahan bakar atau
sumber panas lainnya seperti listrik. Jadi prinsip kerja boiler yaitu panas yang
dihasilkan sumber panas akan diserap oleh air di dalam boiler untuk menguapkan
air menjadi uap pada suhu 220 oF atau lebih, yang akan dibebaskan kembali saat
terjadi kondensasi. Berdasarkan pembacaan pada termometer yang terpasang pada
dinding boiler, suhu uap di dalam boiler saat uji coba mencapai 120 oC.
Dalam penelitian ini, sumber panas bagi boiler diperoleh dari pembakaran bagas
yang telah dikeringkan. Bagas adalah ampas tebu yang sudah diekstrak gulanya
pada bagian penggilingan. Penggunaan bagas sebagai bahan bakar pada boiler
sudah biasa digunakan pada pabrik-pabrik gula yang berbahan baku tebu. Bagas
dibakar secara langsung untuk menghasilkan uap, kemudian energi uap tersebut
digunakan untuk pengolahan gula.
Jenis boiler yang digunakan adalah boiler pipa air, seperti terlihat pada Gambar
15. Mengacu pada Wiraatmadja (1989), apabila yang berada di dalam pipa adalah
air dan gas panas ada di luarnya, maka boiler tersebut dikatakan sebagai boiler
pipa air. Boiler tipe pipa air biasanya dipilih karena penggunaan air lebih sedikit,
sehingga jika terjadi kerusakan (ada pipa yang pecah) tidak terlalu membahayakan
(lebih aman) walaupun tekanannya jauh lebih tinggi dari tekanan boiler dalam
-
pipa api. Tekanan operasi boiler pipa pada pengolahan GMT mencapai 2 kg/cm2
(asumsi konstan) dengan suhu 120 oC.
Pipa berisi air
Gas panas
Gambar 15. Penampang boiler pipa air
Boiler pada pengolahan gula merah tebu ini harus mampu menghasilkan uap
minimal 0,44 kg/kg tebu segar, dengan nilai kalor sebesar 1.202 kJ. Jika
diasumsikan kapasitas penggilingan PGT sebesar 1,5 ton tebu dalam satu kali
pengolahan, maka diperlukan kalor sebesar 18,03 x 105 kJ. Jumlah kalor ini lebih
sedikit bila dibandingkan kalor yang dibutuhkan pada pengolahan konvensional,
yaitu 52,26 x 105 kJ. Dengan demikian, jumlah bagas yang dibutuhkan sebagai
bahan bakar pada boiler juga lebih sedikit daripada tungku konvensional.
Perhitungan energi secara lengkap disajikan pada Lampiran 5 dan 6.
Menurut Wiraatmadja (1989), pada waktu yang singkat, umumnya boiler
memiliki kemampuan untuk menerima beban 150 % dari kemampuan boiler yang
dinyatakan. Boiler yang dipilih sebaiknya memiliki kapasitas yang besarnya 200
% dari kebutuhan normal menurut perhitungan. Dengan demikian, boiler pada
pengolahan GMT harus dapat menampung 1320 liter air (200 % x 0,44 kg uap/kg
tebu segar x 1.500 kg tebu segar x 1 kg/), dengan asumsi satu kali pengolahan
digunakan 1.500 kg tebu.
Kapasitas boiler dalam penelitian ini adalah seribu liter. Kapasitas tersebut belum
memenuhi kriteria pemilihan ukuran boiler menurut Wiraatmadja, namun sudah
memenuhi batas minimum, yaitu 990 liter (150 % x. 0,44 kg uap/kg tebu segar x
1.500 kg tebu segar x 1 kg/). Kebutuhan kapasitas boiler berbanding lurus
dengan banyaknya tebu yang digiling. Hubungan antara kedua faktor tersebut
disajikan pada Gambar 16.
-
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600tebu yang digiling (kg)
kapa
sita
s boi
ler
(lite
r)
Gambar 16. Hubungan antara bobot tebu yang digiling dengan kapasitas boiler
yang diperlukan
Daya tahan pecah (brusting strenght) boiler sangat ditentukan oleh diameternya,
sehingga diameter boiler harus dibatasi. Misalnya, diameternya tidak boleh lebih
dari 4,24 meter dengan diameter pipa 0,279 meter (Wiraatmadja, 1989). Boiler
pada penelitian ini berdiameter 1,30 meter dengan pipa air sejumlah 54 buah.
Diameter pipa air tersebut dua inch (5,08 cm), dengan demikian boiler tersebut
sudah memenuhi syarat menurut Wiraatmadja.
Boiler harus dijaga dapat memproduksi uap dengan tekanan dan temperatur
tertentu agar efisien (rendemen ketel tinggi). Oleh karena itu, kelengkapan alat
bantu pada boiler sangat diperlukan untuk memudahkan pengoperasian.
Perlengkapan tersebut antara lain termometer, manometer (pressure gauge), kaca
penduga tinggi air, katup pengaman, dan injektor. Manometer adalah alat penduga
tekanan yang biasa digunakan pada boiler. Tekanan uap dalam boiler setiap saat
harus dipantau untuk menghindari terjadinya tekanan yang melebihi batas
kekuatan boiler.
Tekananan maksimum pada boiler pengolahan gula ini adalah 7-8 kg/cm2, dan
kekuatan tensil bahan bejana boiler mencapai 800 kg/cm2. Namun pada uji coba
yang telah dilakukan, tekanan rata-rata yang pernah dicapai hanya 3 kg/cm2.
Pencapaian tekanan dan suhu dalam boiler sangat tergantung pada pemasukan
bahan bakar. Kekuatan bejana boiler dapat dihitung sebagai berikut (Wiraatmadja,
1989).
-
R x P S = T
Keterangan: S = kekuatan tensil bahan bejana (kg/cm2) P = tekanan dalam bejana (kg/cm2) R = jari-jari bejana (cm) T = tebal bahan bejana (cm)
Katup pengaman adalah salah satu perlengkapan boiler yang paling penting.
Katup ini didesain agar dapat membuka bila tekanan boiler melampaui batas,
sehingga uap dapat keluar sampai tekanan di dalam boiler turun menjadi normal
(2-4 psig lebih rendah dari sebelumnya). Untuk menjaga keselamatan pekerja,
katup pengaman otomatis ini harus sering diperiksa. Perlengkapan kaca penduga
tinggi air digunakan untuk melihat ketinggian air dalam boiler. Jika ketinggian air
sudah di bawah batas minimal, air harus dipompakan ke dalam boiler. Dengan
demikian, kerusakan akibat kekurangan air dalam boiler dapat dihindari. Alat ini
terdiri dari sebuah tabung gelas dan sebuah tabung logam yang diletakkan tegak
lurus dan sejajar.
Pompa air (injektor) juga memiliki fungsi yang penting untuk menjaga pemasukan
air ke dalam boiler sehingga kelancaran operasi boiler tetap terjaga. Pompa yang
digunakan biasanya adalah pompa bertekanan tinggi sehingga mampu mendorong
air ke dalam boiler yang bertekanan tinggi. Konstruksi boiler pada pengolahan
gula merah tebu dapat dilihat pada Gambar 17 serta Lampiran 7 dan 8.
Efisiensi panas pada boiler berukuran kecil dan medium hanya sekitar 70-80 %,
karena pada proses pemanasan terjadi kehilangan panas (Wiraatmadja, 1989).
Kehilangan panas tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut :
a. kehilangan panas melalui cerobong 11,6 %
b. kehilangan panas karena pembentukan uap air pada pembakaran hidrogen dan
keluar dari cerobong 4,5 %
c. kehilangan panas karena bahan tidak terbakar dan radiasi 2,5 %
d. kehilangan panas karena pembakaran tidak sempurna 1,5 %
e. kehilangan panas karena bahan yang dapat dibakar terbawa oleh abu 2,3 %.
-
Gambar 17. Konstruksi dasar boiler dan wajan pemasakan
5.3.2. Wajan Pemasakan Wajan pemasakan adalah alat yang digunakan untuk menampung nira hasil
penggilingan, yang selanjutnya diuapkan airnya sehingga diperoleh nira kental
(gula). Pada penelitian ini, digunakan wajan dengan kapasitas 700 liter nira
mentah, dengan diameter 130 cm dan tinggi 60 cm. Bahan wajan bagian dalam
adalah stainless steel dengan ketebalan empat milimeter, sedangkan bagian luar
menggunakan bahan besi MS (mild steel). Antara wajan bagian dalam dan luar
terdapat jarak/ruang yang berfungsi sebagai jaket uap sehingga membantu
mempercepat pindah panas nira. Bagian luar wajan dilengkapi dengan
termometer, manometer, dan keran pembuangan uap otomatis (safety valve).
Bagian dasar wajan didesain bebentuk cekung, tidak datar, agar nira dapat
dikeluarkan dengan sempurna sehingga mengurangi loss.
Prinsip pemasakan nira adalah menguapkan air yang terkandung di dalam nira
dengan cara