Hukum Telekomunikasi, AMERIKA dan konferensi ITU DUBAI 2012
-
Upload
rachardy-andriyanto -
Category
Education
-
view
266 -
download
2
description
Transcript of Hukum Telekomunikasi, AMERIKA dan konferensi ITU DUBAI 2012
Bukti Nyata Amerika Bersikeras Kuasai dan Kendalikan Media Internet di
Asia-Pasifik, Kasus Kim Dotcom
(disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum telekomunikasi)
Kelas A
OLEH KELOMPOK I
M. KHAMIL FAIRIZAL. H 080710101080
DANIS BUDI 080710101065
JEFFRIY MARTHIN P.H 090710101031
NDARU NOER P 090710101205
RACHARDY ANDRIYANTO 090710101240
ASYIKUL FIRDAUS 090710101260
BINTANG DWI CAHYA 090710101282
IMAM SANUSI 090710101322
JAKA SETYA ADHIGUNA 100710101014
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2014
Dalam 10 tahun terakhir sektor telekomunikasi telah mengalami perubahan-perubahan
penting seiring semakin pentingnya dampak sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional dan perdagangan internasional. Di seluruh dunia internet dan komunikasi nirkabel
semakin unjuk gigi, salah satunya karena dipicu oleh kepopuleran aplikasi Web 2.0 seperti
Facebook. Saat ini telepon genggam dimiliki oleh mayoritas manusia di planet ini.
Perubahan-perubahan cepat ini membutuhkan regulasi yang mampu beradaptasi
dengan perkembangan terbaru. Berbagai negara telah memeriksa ulang kerangka kerja
mereka, meratifikasi undang-undang baru dan membangun otoritas perundang-undangan
untuk menerapkan hukum dan perundang-undangan sesuai perkembangan terbaru.
Di 89 negara yang tergabung dalam International Telecomunication Union telah
menandatangani kesepakatan baru terkait regulasi telekomunikasi yang memberi kewenangan
kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengatur tata-kelola internet tanggal 3-14
Desember 2012 di Dubai. Menariknya, Amerika Serikat menolak ikut menandatangani
kesepakatan baru bidang telekomunikasi tersebut, dengan dalih “yang menurut saya sangat
aneh yaitu, karena terdapat kata-kata dari regulasi baru tersebut yang membuka kemungkinan
bagi pemerintah untuk mengontrol internet“. Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future
Institute
Dalam pandangan kami dari Global Future Institute, dalih yang digunakan Amerika
untuk menolak keikutsertaannya dalam regulasi baru telekomunikasi ini, menarik untuk
digali lebih jauh. Benarkah semata karena alasan-alasan yang tidak demokratis di balik
perjanjinan teleokomunikasi PBB tersebut, atau karena Amerika merasa akan kehilangan
kontrol dan kendalinya atas tata-kelola internet internasional yang selama ini memang berada
dalam dominasi beberapa korporasi global Amerika yang berada di luar kendali pemerintahan
di Washington.
Global Future Institute memandang kesepakatan baru bidang telekomunikasi tersebut
merupakan sebuah langkah strategis yang cukup mendasar, karena perjanjian ini merupakan
revisi atau bahkan pembaruan terhadap regulasi sebelumnya (International Telecomunication
Regulation-ITRs) yang ditandatangani pada 1988.
Yang mencurigakan dari alasan yang disampaikan pihak Amerika adalah
keberatannya soal kemungkinan adanya tata-kelola baru dalam bidang internet. Padahal
Sekretaris Jenderal ITU Hamadoun Toure jelas-jelas mengatakan kesepakatan tersebut tidak
menyinggung sama sekali soal internet, meskipun di kesepakatan terdapat seruan yang tidak
mengikat untuk mendorong pertumbuhan internet.
Adapun bunyi resolusi yang jadi keberatan Amerika tersebut: "Semua pemerintah
harus mempunyai Prean dan tanggung jawab yang sama soal tata kelola Internet dalam level
internasional untuk memastikan stabilitas, keamanan dan keberlanjutan Internet dan masa
depan pengembangannya."
Kalau ini yang jadi keberatan Amerika, kiranya logis bagi kita untuk bercuriga
mengapa negara Paman Sam ini begitu khawatir dengan adanya peran pemerintah dalam
mengatur tata kelola internet, yang tentunya termasuk soal cyber media.
Dalam War on Terror yang menjadi landasan kebijakan mantan Presiden George W
Bush antara 2000-2008, memang Amerika telah mengekploitasi habis-habisan media cyber
untuk membangun opini masyarakat internasional bahwa aksi terorisme menyusul pemboman
Gedung World Trade Center dan Pentagon, dilakukan oleh anasir-anasir Islam Radikal yang
diprakarsai oleh Al Qaeda dan Osama bin Laden. Dalam perang informasi ini, media internet
telah menjadi instrument penting pihak Pentagon. Dan dalam skema perang informasi model
begini, Amerika memang mengandalkan pada korporasi-korporasi swasta yang bergerak di
bidang Information Technology (IT), untuk melayani kepentingan-kepentingan strategis
Amerika dalam pengembangan opini publik. Dan bilamana perlu, korporasi-korporasi global
AS di ranah IT tersebut memainkan peran sebagai agen-agen intelijen yang bekerja untuk
Pentagon maupun National Security Act (NSA). NSA, yang dinilai bahkan jauh lebih
berbahaya mengingat jangkauan kendali kontrolnya di dalam dan luar negeri Amerika, selalu
mengandalkan pada perangkat-perangkat telekomunikasi dan teknologi komunikasi dalam
operasi-operasi intelijennya mengawasi dan mendeteksi musuh-musuh Amerika.
Membuka Kembali File Lama Kim Dotcom, Korban Operasi Intelijen Amerika dan
Selandia Baru.
Kalau anda membuka file-file lama berupa berita-berita Koran pada 1990-an, maka
terdapat seorang sosok yang bergerak sebagai entrepreneur di ranah internet. Dialah Kim
Schmitz atau yang kelak lebih populer sebagai Kim Dotcom. Dotcom dinilai sukses sebagai
entrepreneur di ranah internet karena dia lah pendiri dan pemrakarsa berdirinya Megaupload
beserta perusahaan-perusahaan rekanannya (associated) yang mengelola hosting website.
Pada 20 Januari 2012, pemerintah Selandia Baru menjebloskan Dotcom ke penjara
gara-gara tuduhan pemerintah Amerika bahwa Dotcom terlibat dalam pelanggaran hak cipta
terkait kiprah dirinya di Megaupload website dan penggelapan. Bahkan pihak Amerika
menjerat Dotcom terlibat dalam insider trading jual beli saham yang barang tentu dianggap
pelanggaran hukum. Benarkah semua tuduhan pihak Amerika tersebut?
Yang jelas Dotcom sendiri sudah membantah semua tuduhan tersebut dan tidak benar.
Kalau melihat rekam jejak Dotcom bergerak di ranah internet, sepertinya Amerika memang
khawatir benar dengan orang model Dotcom ini. Kalau ukuran sukses seseorang dilihat dari
segi materi. Mungkin Dotcom merupakan salah satu contoh yang cukup fantastis. Pada 2009.
Dotcom membeli 12 mobil mewah seharga 3,2 juta dolar AS. Dan menyewa sebuah
helicopter untuk bersiaga mengantarkan dia ke mana pun dia pergi.
Sedemikian rupa reputasinya sebagai pengusaha sukses dalam bidang hosting website,
sehingga pemerintah Selandia Baru dengan senang hati member izin mukim bagi Dotcom
pada November 2010. Izin tersebut diperoleh Dotcom dari Kementerian Imigrasi Selandia
Baru. Padahal waktu itu Dotcom sudah dikenakan vonis pidana dan dipersona non grata dari
Thailand. Yang menarik itu pertimbangan mengapa pihak imigrasi Selandia Baru member
izin tempat tinggal di Selandia Baru. Menurut Warwick Truck, Kepala Imigrasi Selandia
Baru, Dotcom dikabulkan permohonan tinggal di negeri ini karena masuk kategori investor
istimewa (The Investor Plus Categoy). Menurut ketentuan Imigrasi Selandia Baru, seseorang
diberi izin tinggal kalau dia mampu menanam investasi sebesar 10 juta dolar AS di Selandia
Baru.
Kembali ke bisnis inti Dotcom dalam file hosting dan bisnis berbagi informasi,
mulanya pada Februari 2003 Dotcom merintis berdirinya sebuah perusahaan bernama Data
Protect Limited, yang kemudian dia rubah namanya menjadi Megaupload pada 2005. Di
sinilah keanehan mulai timbul. 7 tahun setelah sukses mengelola Megaupload, Pada 2012
Dotcom nampaknya mulai jadi target operasi aparat intelijen dan keamanan Amerika.
Sehingga pada 5 Januari 2012, pemerintah Amerika negara bagian Virginia telah mengajukan
dakwaan tindak kejahatan pembajakan media-media online, persekongkolah dalam
pelanggaran hak cipta, bahkan persekongkolan dalam pencucian uang (money loundering)
terhadap Dotcom dan para eksekutifnya.
Pada saat dakwaan tersebut diajukan pada Dotcom dan rekan-rekan bisnisnya, dia
sudah mukim di Selandia Baru. Alhasil, dua minggu sejak dakwaan diajukan, Kim Dotcom
beserta mitranya seperti Finn Batato, Mathias Ortman dan Bram van der Kolk, dikenakan
dijebloskan oleh kepolisian Selandia Baru di Coatesville, Auckland, Selandia Baru. Aset
kekayaan Dotcom senilai 17 juta dolar AS disita oleh pihak kepolisian Selandia Baru,
termasuk 18 mobil mewah, dan benda-benda seni yang tentunya bernilai jutaan dolar. Yang
lebih sialnya lagi, rekening bank Dotcom segera dibekukan. Sehingga Dotcom tidak bisa
mengakses uang cash-nya yang diperkirakan senilai 175 juta dolar AS.
Sejak saat itu berakhirlah sudah legenda Dotcom di ranah internet. Karena sejak saat
itu dia meringkuk dalam penjara. Namun kasusnya ini belakangan menarik perhatian
beberapa media sehingga berkembang spekulasi bahwa jangan-jangan Dotcom telah menjadi
korban dari target operasi aparat intelijen Selandia Baru atas arahan dan permintaan dari FBI,
polisi federal Amerika. Karena saat Dotcom dan para mitra bisnisnya ditahan, merupakan
warga negara asing yang sudah mendapat izin tinggal di Selandia Baru. Sehingga pihak
berwajib Amerika tidak punya legalitas menangkap Dotcom.
Dan celakanya, ada banyak bukti-bukti bahwa The Organized and Financial Crime
Agency (OFCANZ) telah meminta badan intelijen Selandia Baru untuk memata-matai
Dotcom dan mitranya van der Kolk sejak 16 Desember 2011. Peran dari lembaga spionase
Selandia Baru The Government Communication Security Bureau (GCSB) dalam menangani
spionase terhadap Dotcom dan para mitranya ini pun terungkap pada Agustus 2012. Ketika
para pengacara Dotcom menginvestigasi aparat kepolisian ihwal sekelompok orang tanpa
identitas yang terlibat dalam sebuah pertemuan menjelang penggrebekan dan penangkapan
terhadap Dotcom di tempat tinggalnya pada 19 Januari 2005 (2 minggu setelah dikenakan
dakwaan oleh pemerintah negara bagian Virginia Amerika Serikat). .
Sekelumit kisah yang kami sajikan tentang Kim Dotcom, membuktikan betapa
Amerika dan sekutu-sekutunya di kawasan Asia Pasifik, telah secara total mengendalikan dan
menguasai media-media cyber, termasuk perangkat-perangkat-perangkat telekomunikasi
terbaru yang didistribusikan oleh Amerika bagi perusahaan-perusahaan IT provider-provider
luar negeri. Sehingga para stakeholders telekomunikasi dan cyber media Amerika ini praktis
mempunyai akses bebas tanpa hambatan terhadap pertukaran dan berbagi data-data elektronik
(Electronic Data Exchange and Sharing).
Kedua, kasus Kim Dotcom tersebut secara jelas membuktikan bahwa Washington
secara aktif tetap menjalin kerjasama dengan beberapa badan-badan intelijen Negara -
negara sekutunya di Asia Pasifik dalam menerapkan secara illegal sarana dan cara-cara
mengadakan investigasi terhadap warga masyarakat yang bermukim di negara-negara yang
masuk dalam kendali dan penguasaan pemerintah Amerika. Seperti Kanada, Selandia Baru,
Australia dan Inggris. Kesemua negara yang tersebut tadi masuk kategori the US-led
“Echelon” Global Surveillance Stations.