HUKUM TATA NEGARA -...

180
Farkhani, S.H. S.HI., M.H HUKUM TATA NEGARA Pergantian Kepala Negara Persepektif Siyasah Islamiyah dan Konstitusi Negara Republik Indonesia

Transcript of HUKUM TATA NEGARA -...

Farkhani, S.H. S.HI., M.H

HUKUM TATA NEGARAPergantian Kepala Negara Persepektif Siyasah Islamiyah dan

Konstitusi Negara Republik Indonesia

HUKUM TATA NEGARA

Farkhani, S.HI., S.H., M.H.Hukum tata Negara; Farkhani, S.HI., S.H., M.H.; Editor: Evi Aryani; Solo: Pustaka Iltizam; 2016180 hlm.; 20,5 cm

ISBN: 978-602-7668-74-4

Penulis:Farkhani, S.HI, S.H., M.H.

Editor: Evi Ariyani

Tata Letak: Taufiqurrohman Iltizam

Cover: naka_abee

Cetakan I: Oktober 2016

Diterbitkan atas kerjasama :

Pergantian Kepala Negara Persepektif Siyasah Islamiyah dan Konstitusi Negara Republik Indonesia

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 3

Kata Pengantar

Selama negara itu berdiri, perbincangan, wacana dan perde-batan seputar hukum ketetangeraan akan terus bergulir dan me-narik untuk diperhatikan. Hubungan antar lembaga negara dengan lembaga negara lainnya dan kewenangan-kewenangannya sampai pada persoalan pemimpin dan kepemimpinan negara. Salah satu alasan bahwa memperbincangkan tetap menarik adalah karena di dalam ilmu ini sering kali muncul kejutan-kejutan yang berbeda antara teori dan praktik dari masa kemasa. Memiliki keterkaitan antara hukum dan politik yang sangat erat, saling berkelindan dan terkadang saling menjegal satu sama lainnya. Akan tambah me-narik bila kemudian diikut-ikutkan dalam pembentukan negara wellfare yang menjadi tujuan semua negara di dunia.

Lebih dari itu, terkadang diktum suci agama dan berbagai tafsirnya ikut meramaikan persoalan di sekitar hukum ketatane-garaan. Islam yang diyakini sebagai agama yang omnipresent, turut pula berbicara tentang negara dan kepemimpinan negara. Islam telah fasih berbicara negara dari aspek norma dan praktik kenega-raan sejak hijrahnya Nabi Saw. ke Madinah. Para sarjana muslim juga turut andil dalam teorisasi negara dan kepemimpinannya.

Sejarah Indonesia merdeka juga tidak lepas dari perdebatan dan praktik mencari bentuk negara yang ideal. Suasana politik yang belum stabil sampai lepas tahun 1965 serta pergantian kepemimpi-nan negara yang selalu melenceng dari konstitusi mewarnai per-jalanan bangsa ini.

Hukum Tata Negara4

Buku yang hadir dihadapan pembaca ini, tidak akan memba-has segala perbincangan dalam ranah hukum tata negara. Buku ini mencoba untuk berbicara tentang agama dan negara beserta pem-impinnya. Dalam hal kepemimpinan negara ada dua cara pandang yang dipakai; kaca mata agama (Siyasah Islamiyah) dan kaca mata konstitusi negara Republik Indonesia. Terutama dalam hal pen-gangkatan kepala negara dan pemberhentiannya.

Harapannya buku dapat menjadi rujukan dan/atau pengayaan bagi siapapun yang ingin atau sedang belajar tentang hukum tata negara. Akhirya, semoga buku ini bermanfaat bagi para peminat studi hukum tata negara dengan segala aspek bahasannya.

Selanjutnya penulis berkeyakinan bahwa buku ini kurang dari sempurna, untuk itu mengharapkan masukan yang konstruktif ter-hadap buku ini agar lebih bermanfaat bagi siapa saja yang memba-canya dan terhindar dari kesalahan.

Wallahu al-musta’an

Sukoharjo, Maret 2016Penulis

Farkhani, S.H., S.HI, M.H

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 5

Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................................3Daftar isi .....................................................................................5

BAB I TEORI, SEJARAH DAN BENTUK NEGARA ..................9A. Teori Negara Menurut Filsuf Barat ..................................................13B. Sejarah Terbentuknya Negara ...........................................................20 1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory ) ..................... 20 2. Teori Ketuhanan ........................................................................22 3. Teori Kekuatan ...........................................................................24 4. Teori Organis..............................................................................25 5. Teori Historis..............................................................................26 6. Teori Hukum Alam ...................................................................27C. Bentuk atau Sistem Pemerintahan Negara ......................................27 1. Bentuk-bentuk pemerintahan .................................................27 2. Sistem Pemerintahan ................................................................34 a. Sistem pemerintahan presidensial...........................................35 b. Sistem pemerintahan parlementer ..........................................38

BAB II KONSEP NEGARA DALAM ISLAM DAN PANDANGAN ULAMA POLITIK ISLAM .................... 41

A. Konsep Negara dalam Islam ............................................................41 1. Al-Ummah .................................................................................42 2. Qaum dan Jamaah .....................................................................47 3. Khilafah.......................................................................................47B. Pandangan Ulama Politik Islam Klasik tentang Konsep Negara .49 1. Pandangan Ibnu Khaldun ........................................................49 2. Pandangan Al-Farabi ................................................................52 3. Pandangan Al-Mawardi ............................................................54C. Praktek Kenegaraan dalam Sejarah Peradaban Islam ...................56

Hukum Tata Negara6

BAB III KONSEP NEGARA PERSPEKTIF POLITISI INDONESIA DAN PRAKTEK KETATANEGARAAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ................................................ 63

A. Konsep Negara dalam Persepektif Politisi Indonesia ...................63 1. Konsep negara menurut Tan Malaka ......................................64 2. Konsep negara menurut Soekarno ..........................................68 3. Konsep negara menurut Kartosuwiryo ..................................70B. Praktek Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia ....................74 1. Falsafah Pancasila dalam bernegara ........................................74 2. Bentuk negara Indonesia ..........................................................77 3. Sistem Pemerintahan Indonesia ..............................................78

BAB IV PERDEBATAN ISLAM; AGAMA DAN NEGARA ......... 81A. Percikan Pemikiran Ulama Siyasah; Relasi Antara Islam dan

Negara .............................................................................................84B. Madinah Sebagai Negara ...................................................................90

BAB V KEPEMIMPINAN DALAM HUKUM TATA NEGARA .. 95A. Konsep tentang Pemimpin, Kepemimpinan dan Lahirnya

Pemimpin ............................................................................................97 1. Pemimpin dan Kepemimpinan ...............................................98 2. Pengertian kepemimpinan .....................................................107 3. Teori dan tipologi kepemimpinan .........................................109B. Pemimpin Negara dalam Hukum Tata Negara ............................115 1. Teori kontrak sosial .................................................................115 2. Teori kekuasaan absolut ..........................................................116

BAB VI LANDASAN TEOLOGIS DAN YURIDIS KEPEMIMPI-NAN NEGARA DALAM ISLAM DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA ................................................. 121

A. Landasan Teologis Pemimpin Negara dalam Islam .....................121B. Landasan Yuridis Kepemimpinan Negara dan Hukum Tata

Negara Indonesia ..............................................................................132

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 7

BAB VII PENGANGKATAN KEPALA NEGARA MENURUT UUD 1945 PRA DAN PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH) ...... 135

A. Pengangkatan Kepala Negara Sebelum dan Setelah Amandemen UUD 1945 .........................................................................................138

B. Pengangkatan Kepala Negara Menurut Hukum Tata Negara Islam (Siyasah Islamiyah) ................................................................146

BAB VIII PEMBERHENTIAN KEPALA NEGARA MENURUT UUD 1945 PRA DAN PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH) ................................................................. 151

A. Pemberhentian Kepala Negara Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen .............................................................152

B. Pemberhentian Kepala Negara Menurut Hukum Tata Negara Islam (Siyasah Islamiyah) ................................................................160

C. Nilai-Nilai Substansi Islam dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara di Inonesia ...................................172

Daftar Pustaka ............................................................................... 176

Hukum Tata Negara8

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 9

BAB I

TEORI, SEJARAH DAN BENTUK NEGARA

Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pemikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak (Miriam Budiardjo, 1989: 30)

Teori dan konsep tentang negara begitu beragam, namun yang menjadi akar pijakan negara adalah satu yaitu masyarakat yang terdiri atas indivdu-individu manusia. Untuk itu sebagai pen-gantar untuk memahami negara secara baik, maka memahami konsep masyarakat dengan baik adalah sebuah keharusan. Negara merupakan gejala kehidupan dari individu-individu manusia yang berkelompok (komune) dalam sebuah entitas dan wilayah tertentu dengan maksud menjaga dan mempertahankan eksistensi serta ke-berlangsungannya dalam persaingannya dengan entitas kelompok manusia lainnya.

Kebutuhan akan adanya organisasi masyarakat, dalam hal ini dapat ditujukan pada organsasi masyarakat yang disebut dengan negara telah dijelaskan dengan sangat argumentatif oleh sosiolog muslim, Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Ia mengatakan;

“Organisasi masyarakat merupakan kebutuhan...alasan-nya adalah manusia diciptakan sedemikian rupa, hingga ia hanya dapat menopang hidupnya dengan bantuan makanan. Kemampuan setiap individu untuk memperoleh makanan

Hukum Tata Negara10

disesuaikan dengan kebutuhannya. Untuk ini perlu menya-tukan usaha yang dilakukan bersama-sama dengan para pengikutnya. Melalui kerja sama, mereka akan memenuhi ke-butuhan pangannya sesuai dengan jumlah mereka. Terlebih lagi, setiap individu memerlukan pertolongan dari orang lain untuk meraih tujuannya. Oleh karena itu, Tuhan memberi karunia berupa organ tubuh tertentu kepada setiap binatang untuk mempertahankan diri. Sedangkan untuk kepentingan manusia, Tuhan telah memberikan karunia berupa pikiran dan tangan dan dengan bantuan pikiran tangan dapat bekerja dan menghasilkan perlengkapan hidup yang sama fungsinya dengan organ-organ pertahanan tubuh binatang. Jadi selama manusia tidak mau bekerjasama dengan sesamanya, dia tidak bisa mendapatkan makanan untuk mempertahankan hidup dan mendapatkan senjata untuk mempertahankan diri. Teta-pi tanpa itu semua, dia akan menjadi mangsa binatang buas dan spesiesnya akan punah. Tetapi, jika bekerjasama manusia akan memperoleh makanan untuk hidup dan senjata untuk mempertahankan diri. Dengan demikian terpenuhilah ke-inginan Tuhan untuk melindungi makhluk-Nya. Oleh kera-na itu, organisasi masyarakat penting untuk umat manusia, tanpa itu manusia tidak mampu mempertahankan diri.Sete-lah organisasi masyarakat tercapai, kemudian muncul kebu-tuhan untuk saling menahan diri dari kecenderungan untuk menyerang dan menekan sesamanya. Senjata yang dipakai manusia untuk mempertahakan diri dari kebuasan sesaman-ya ini tak pelak lagi tidak mampu membantu pertahanan, maka setiap manusia kemudian membentuk kesamaan dian-tara mereka. Untuk dapat tetap bertahan hidup diperlukan kekuatan mengekang dan harus mencari seseorang diantara mereka yang akan dipercaya memikul kekuasaan serta ke-wenangan, sehingga tak seorangpun akan diserang oleh pihak lain. Inilah apa yang disebut dengan istilah mulk (kedaulatan

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 11

atau kemandirian) yang ada disetiap manusia dan kehadiran-nya penting untuk eksistensi hidupnya (dalam Majid Khaduri, 1995: 5-6).

Ilmu negara adalah ilmu sosial dan seluruh ilmu sosial pas-ti mempelajari manusia sebagai anggota kelompok. Timbulnya kelompok-kelompok yang ada tidak lain adalah karena adanya dua sifat yang saling bertentangan yang ada pada manusia itu sendiri; di satu pihak ingin bekerja sama dan di lain pihak memiliki kecender-ungan untuk bersaing dengan manusia lainnya. Kebutuhan pokok manusia juga terbagi dua, kebutuhan fisik dan kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan tersebut seyogyanya terpenuhi secara seimbang, agar kehidupan manusia terasa nyaman dan bahagia.

Kebutuhan yang bersifat fisik biasanya beraneka ragam dan terus berkembang sesuai dengan perubahan dan kemajuan zaman, dan semua itu biasanya tidak dapat ditemukan hanya dalam satu kelompok manusia. Karenanya, untuk memenuhi apa yang menja-di kebutuhan fisiknya, manusia (orang) tidak cukup untuk berada atau menjadi bagian satu kelompok saja. Ia akan menjadi anggota pada kelompok-kelompok lainnya, agar apa yang menjadi kebutu-han fisiknya terpenuhi. Satu misal, bila seseorang ingin memenuhi kebutuhan ekonominya, maka ia akan membentuk kelompok atau asosiasi di bidang ekonomi. Bidang ekonomi banyak ragamnya, hak ini bisa membawanya menjadi anggota satu, dua atau lebih dari kelompok ekonomi.

Adapun dengan kebutuhan spiritual, pemenuhannya tidak bisa disamakan dengan kebutuhan fisik. Satu model atau jenis kelompok spiritual (agama, kepercayaan atau yang lainnya), bi-asanya sudah dapat mewakili terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual.

Masyarakat, menurut Selo Soemardjan adalah manusia yang berada dalam suatu kelompok yang bertempat tinggal pada ling-

Hukum Tata Negara12

kungan tertentu dan menghasilkan kebudayaan. Terdapat bela-san sarjana yang memberikan definisi tentang masyarakat dengan dua titik temu utama; kumpulan individu manusia dan terorgani-sir. Apabila manusia dibiarkan mengejar kepentingannya berupa pemenuhan terhadap kebutuhan fisik saja misalnya, maka masing-masing akan bersaing secara bebas tanpa batas, tidak terukur dan cenderung akan mementingkan egosentrisnya agar kebutuhannya sendiri terlebih dahulu terpenuhi, bahkan bisa jadi menjadi tidak peduli pada manusia lain. Kondisi yang demikian jelas akan men-imbulkan beragam kerugian pada masyarakat itu sendiri, baik secara parsial maupun secara universal. Untuk kepentingan ini, biasanya kelompok-kelompok masyarakat itu memegangteguhi nilai-nilai luhur dan moral serta sistem kerja kolektif-efesian-efek-tif atau mematuhi aturan main (rule) dalam hidup berkelompok.

Merujuk pada pengertian masyarakat yang disampaikan Selo Soemardjan, negara adalah hasil kebudayaan manusia. Karena ne-gara adalah hasil kreasi budi, karsa, karya dan rasa manusia. Dari definisi masyarakat dengan salah satu produk kebudayaannya yang berupa negara disatu sisi, dan disisi lain dengan muncul berbagai konsep, teori, definisi dan pemahaman terhadap lembaga yang bernama negara menimbulkan persoalan mengenai pembedaan antara masyarakat dan negara yang cukup sulit dibedakan secara teoritis. Bagi orang awam, masayarakat pada satu entitas atau dae-rah tertentu dengan sebuah (nama) negara sering kali disamakan, satu contoh adalah tentang reaksi orang Indonesia atas klaim orang Malaysia pada seni tari Reog dan seni lagu Rasa Sayange.

Memahami teori atau konsep negara akan terasa lebih rumit lagi, bila menyertakan berbagai sudut pandang atau perspektif. Dari berbagai sudut pandang ini dapat saja memperkaya khazanah ilmu tentang negara sebagai sebuah sisi positifnya, pada sisi lain menjadi diskursus yang menyulitkan untuk disatukan cara pandangnya bila masing-masing mempertahankan cara pandangnya.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 13

Para sarjana sosiologi misalnya, memandang negara sebagai entitas nyata atau entitas sosiologis. Artinya wujud adanya lem-baga atau institusi negara adalah muncul dari kegiatan kolektif interdependensi antara individu-individu manusia yang hidup bersama. Adapun para sarjana hukum memandang negara sebagai sebuah fenomena hukum, yakni sebagai korporasi. Oleh karenanya pengertian negara dapat diambil setelah terebih dahulu para pakar hukum itu mendefinisikan makna dari korporasi itu. Perosalannya adalah ternyata banyak sekali korporasi, sehingga para ahli harus memberikan tekanan kekhususan pada norma yang dibentuknya agar lebih mudah mendefinisikan sebuah negara (Hans Kelsen, 2009: 261).

Itulah dua arus besar tentang konsep dan teori tentang ne-gara. Keduanya sangat sulit disatukan, karena beda pijakan awalnya (ilmu). Selanjutnya, kita hanya akan mendapatkan konsep, teori atau definisi negara bila tidak berperspektif sosiologis, ia berpers-pektif hukum. Berikut ini adalah beberapa pandangan dari bebera-pa sarjana tentang konsep atau teori tentang negara.

A. Teori Negara Menurut Filsuf Barat

1. Negara menurut Plato

Plato adalah seorang filosof Yunani yang hidup antara tahun 427-347 S.M. Ia berasal dari keluarga aris-tokrasi yang memiliki peranan penting dalam kehidu-pan politik di Athena. Nama Plato sesungguhnya adalah Aristokles. Plato adalah nama panggilan yang diberikan oleh pelatih senamnya, karena ia memiliki dahi dan bahu yang lebar. Plato dalam bahasa Yunani berarti “si lebar”. Julukan yang diberikan pelatih senamnya ini be-gitu cepat tersebar dan di kemudian hari menjadi pangi-lannya sehari-hari bahkan dijadikan sebagai nama resmi

Hukum Tata Negara14

pada seluruh karya yang diciptakannya. Ayahnya berna-ma Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kordus yang dikagumi oleh rakyat Athena. Ariston meninggal pada saat Plato masih kecil dan kemudian ibunya, Perik-tione menikah lagi dengan paman Plato yang bernama Pyrilampes, ia adalah seorang politikus yang disegani di Athena (J.H. Rapar, 2001: 37-38).

Dari biografi singkatnya terebut, dapat dipahami apabila di kemudian hari Plato tumbuh menjadi seorang filosof politik. Pemahaman tentang negara, politik dan kekuasaan seringkali menjadi rujukan bagi para nega-rawan dan politikus pada masa-masa setelahnya, bahkan sampai sekarang.

Pada zaman Plato hidup, peperangan dan perselisi-han antar elit penguasa seringkali terjadi. Kondisi inilah yang menjadikan hasrat untuk berkarir di bidang politik Plato menjadi pupus.

Para penguasa yang menjalankan negara lebih me-mentingkan dirinya, bertindak anarkhis, menjadi otorit-er, haus kekuasaan, jabatan dan harta kekayaan dan ter-jebak dalam tindakan amoral lainnya. Sikap politisi dan penguasa yang buruk itu tidak hanya ketika negara men-ganut sistem oligarki-aristokrasi maupun demokrasi. Bahkan pada saat negara menganut sistem demokrasi, Socrates, guru yang sangat dikagumi, dihormati dan dicintai oleh Plato ditangkap dan dihukum mati den-gan dakwaan menyesatkan kaum muda. Hal ini pula yang menyebabkan Plato sangat kritis terhadap sistem demokrasi.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 15

Kiranya, kekecewaan yang menghantuinya ten-tang para penyelenggara negara, menjadi Plato berpikir secara sungguh-sungguh tentang konsep negara yang menurutnya ideal dan dapat dijalankan dengan tidak melahirkan para penguasa diktator di kemudian hari.

Bagi Plato negara dan manusia memiliki kesamaan, oleh karena masalah moralitas harus dikedepankan dalam kehidupan negara, bahkan harus menjadi yang paling hakiki dalam kehidupan negara itu sendiri. Ka-rena moral menjadi sesuatu yang paling hakiki dalam negara, maka menurut Plato, para penguasa negara dan rakyatnya pun harus berada pada posisi menunjung nilai moral dalam bernegara. Dan nilai moral yang paling dikedepankan Plato adalah kebajikan. Kebajikan akan diperoleh bila para penguasa negaranya mengerti betul tentang nilai-nilai kebajikan. Pengertian tersebut hanya akan diperoleh apabila penguasa itu memiliki ilmu yang luas. Untuk menjembatani ketersedian calon penguasa yang berwawasan luas adalah tersedia lembaga pendidi-kan yang memadai.

Berkenaan dengan konsep tegas Plato tentang ne-gara, baginya negara ideal adalah komunitas etikal untuk mencapai kebajikan dan kebaikan. Plato pernah menga-takan, “negara ideal hakekatnya adalah suatu keluarga, di dalam negara kamu semua bersaudara, siapapun yang dijumpai seseorang ia akan mengira ia sedang berjumpa dengan saudara lelaki atau saudara wanita, atau ayah atau ibu, atau seorang putra atau putri...., karena itu ne-gara tidak terlalu kecil dan tidak terlalu luas.” (J.H. Ra-par, 2001: 54-55)

Hukum Tata Negara16

Kesimpulan para ahli dari pemikiran Plato tersebut adalah bahwa pemikiran negara Plato sangat terwarnai oleh pemikiran gurunya, Socrates. Untuk mempertegas bahwa pemikiran Plato tentang negara itu sangat terpen-garuh oleh pemikiran Socrates, lihatlah cuplikan pemb-elaan Socrates pada saat ia disidang oleh 500 juri di Pen-gadilan Athena yang ditulis sangat baik oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Apologia;

“Aku harus mengulang kata-kataku ini kepada sia-papun yang kutemui, baik tua ataupun muda, warga di sini atau orang asing, tapi terutama kepada para warga karena merekalah saudara-saudara terdekatku. Bahwa ini adalah perintah Tuhan, dan aku yakin tak ada ke-baikan yang lebih baik pada negeri ini selain pengabdi-anku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah menga-jak kalian semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu! Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta, tapi bahwa dari kebajikan itulah — harta dan segala hal yang baik dari diri manusia akan muncul, baik di sisi publik mau-pun individu. Inilah yang aku ajarkan” (www.islampos.com, diunduh pada tanggal 3 Juni 2014).

2. Negara menurut Aristoteles

Aristoteles adalah murid Plato, ia lahir pada tahun 384 SM di semenanjung Chalcidice-Mecodonia, sebuah kota koloni Yunani yang terletak di sebelah Utara Yu-nani. Aristoteles bukanlah keturunan bangsawan seperti gurunya Plato. Ia lahir dari keluarga menengah dimana

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 17

ayahnya adalah seorang dokter keluarga kerajaan Meco-donia. Aristoteles diasuh sendiri oleh ayahnya di bidang kedokteran dengan harapan ia akan menggantikan ayah sebagai dokter keluarga kerajaan. Namun niat ayahnya itu tidak tercapai, karena ayahnya meninggal sebelum Aristoteles menyelesaikan pendidikannya di bidang ke-doteran.

Sekitar satu abad sebelum masa Aristoteles, kaum Sofis telah menyebarkan ajaran tentang negara. Menu-rut mereka negara semata-mata adalah instrumen, suatu sarana atau mekanisme yang digunakan manusia untuk mencapai dan memperoleh segala sesuatu yang diingin-kannya. Namun menurut Arsitoteles, negara merupakan suatu persekutuan hidup politis, yang dalam bahasa Yu-nani disebut be koinonia politis, artinya suatu persekutu-an hidup yang berbentuk polis (negara kota) (J.H. Rapar, 2001 :167).

Pandangan Aristoteles tentang negara itu hen-daknya berbentuk polis (negara kota) jelas mengikuti pandangan gurunya Plato. Karena negara kota adalah negara yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Negara yang terlalu kecil akan terlalu sulit untuk mem-pertahankan eksistensinya, sedangkan negara yang ter-lalu besar akan terlalu sulit untuk mengelolanya. Namun bagi Aristoteles, negara adalah persekutuan hidup dalam jenjang yang tertinggi, di atas apa yang disebut keluarga dan desa. Negara adalah persekutuan hidup yang paling berdaulat, melingkupi persekutuan-persekutuan hidup yang lebih kecil yang hidup dalam sebuah negara, negara menjadi pengendali, pengayom bagi seluruh manusia yang hidup didalamnya.

Hukum Tata Negara18

Walaupun dalam pandangan Aristoteles negara diposisikan sebagai persekutuan hidup tertinggi yang memiliki kedaulatan absolut tetapi bukan dalam penger-tian yang diinginkan oleh ajaran staats absolutisme. Ne-gara hanya berkewajiban menata seluruh segi kehidupan (J.H. Rapar, 2001: 170).

3. Negara menurut Hans Kelsen

Hans Kelsen dikenal sebagai seorang ahli hukum yang sangat kompeten. Ia terlahir dari keluarga Yahu-di berbahasa Jerman pada tanggal 11 Oktober 1884 di Prague (sekarang menjadi ibu kota Cekoslowakia). Se-masa hidupnya ia adalah ahli hukum yang kaya pengala-man hidup, mengalami perubahan zaman dan mengha-dapi berbagai tantangan. Sampai saat ini tidak ada satu karya biografi yang komplit tentang Hans Kelsen, kecuali yang ditulis oleh murid sekaligus asistennya yang ber-nama Rudolf Aladar Metall dengan judul “Leben und Werk” yang terbit pada tahun 1969 (Nicoletta Bersier Ladavac, 1998: 391). Kelsen berhasil menerbitkan buku pertamanya tahun 1905 dengan judul Die Staatslehre des Dante Alighieri, dan meraih gelar Doktornya di bidang hukum setahun kemudian.

Pada tahun 1911, Kelsen mengajar di bidang hu-kum publik dan filsafat hukum di University Of Vienna. Kelsen mendapatkan gelar profesor penuh bidang Hu-kum Publik dan Hukum Administrasi tahun 1919. Pada tahun 1920 Kelsen dipercayai untuk menjadi penyusun Konstitusi Austria yang kemudian draft konstitusi terse-but ditetapkan tanpa perubahan berarti menjadi Konsti-tusi Austria. Setahun kemudian, Kelsen ditunjuk men-jadi anggota Mahkamah Konstitusi Austria.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 19

Perang dunia kedua yang meletus di Eropa mem-buat Kelsen pada tahun 1940 memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat, dan mengajar di Harvard University sampai tahun 1942. Kemudian pada tahun 1945, Kelsen menjadi warga Negara Amerika Serikat dan menjadi penasehat pada United Nation War Crimes Comission di Washington, yang tugas utamanya adalah menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg.

Selama hidupnya, Kelsen menerima 11 (sebelas) gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai universitas di dunia. Hans Kelsen sang pencetus THE PURE THEO-RY of LAW (teori hukum murni) itu meninggal dunia di Berkeley pada tanggal 19 April tahun 1973 di usia 92 tahun, meninggalkan sekitar 400 karya (http://arlo12.wordpress.com).

Sebagai seorang ahli hukum dan pencetus teori hu-kum murni, maka pandangan Hans Kelsen tentang ne-gara tidak akan jauh dari basis teori yang dicetuskannya. Baginya, negara dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, sebagai korporasi. Maka untuk menentukan definisi negara dapat ditentukan setelah menentukan terlebih dahulu definis korporasi.

Menurut Hans Kelsen, negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional, dan negara sebagai badan hukum adalah suatu personifi-kasi dari komunitas ini atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas ini. Oleh karena itu, persoalan negara adalah persoalan tatanan hukum nasional (Hans Kelsen, 2009: 261). Walaupun ne-gara dipersepsikan sebagai komunitas yang terdiri dari manusia-manusia, janganlah memandang negara dari

Hukum Tata Negara20

aspek sosiologisnya, tetapi tetap dari aspek hukumnya karena persoalan negara adalah persoalan hukum.

B. Sejarah Terbentuknya Negara

Mariam Budiardjo dan Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah sebuah alat (agency), yaitu alat yang diberikan we-wenang untuk mengatur dan mengendalikan segala sendi kehidu-pan bersama dalam satu daerah tertentu dan memiliki kedaulatan. Bila negara dinyatakan sebagai alat, maka negara tidak dapat berdi-ri, bergerak, dan melakukan kegiatan apapun bila tidak ada organ yang menggerakkannya. Organ yang menggerakannya adalah tan-gan-tangan yang disebut dengan pemerintah. Pemerintah terdiri dari individu-individu yang berasal dari masyarakat yang memiliki keahlian tertentu dan dipercaya untuk menjalankan negara dengan mekanisme dan wewenang tertentu. Rentetan ‘peristiwa’ itu men-unjukan bahwa ada proses terjadi atau terbentuknya sebuah nega-ra. Dalam ilmu politik dan/atau ilmu negara, proses yang demikian itu dapat disebut sebagai sejarah terbentunya negara.

Merujuk pada statemen di muka bahwa negara dapat dika-takan sebagai entitas sosiologi dan entitas hukum, menuntut pada munculnya pendekatan dan teori tentang terbentuknya negara. Ada beberapa pendekatan dan teori yang berkaitan dengan sejarah terbentuknya negara;

1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory )

Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat ini be-ranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan pada perjanjian-perjanjian yang terjadi dalam masyarakat. Teori ini adalah teori yang tertua dan terpenting mengenai asal-usul negara. Melihat proses terbentuknya negara melalui teori ini, jelas dapat ditangkap

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 21

bahwa negara merupakan entitas sosiologis. Karena negara berawal dari individu-individu, berkembang membentuk entitas kelompok terkecil sampai akhirnya terus membesar menjadi sebuah negara. Peralihan dari satu fase individu ke fase kelompok, berkumpulnya antar kelompok dan menjadi besar membentuk negara, dapat di-pastikan bahwa kohesi yang terjadi adalah akibat adanya perjanjian dari yang paling sederhana sampai pada yang rumit.

Untuk menjelaskan teori ini, ada beberapa pakar yang memi-liki pengaruh besar dalam pemikiran politik tentang negara, dian-taranya Thomas Hobbes, John Locke dan JJ. Rousseau.

Thomas Hobbes mengemukakan bahwa lahirnya negara ada-lah dengan adanya kesepakatan untuk membentuk negara, maka rakyat menyerahkan semua hak yang mereka miliki sebelumnya secara alamiah (sebelum adanya negara), untuk diatur sepenuhnya oleh kekuasaan negara. Setelah itu Hobbes menentukan kedudukan antara negara dan masyarakat. Hobbes menekankan bahwa setelah terbentuknya negara dari perjanjian masyarakat dan adanya peny-erahan hak masyarakat kepada negara, maka kedudukan negara lebih tinggi dari masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa kekua-saan dan kedaulatan negara lebih besar dari rakyat, absolut atau mendekati absolut. Konsekuensinya, negara harus mampu menjaga masyarakatnya tetap tertib dan teratur, sejahtera dan merasa aman dari berbagai kemungkinan yang mengancam. Bila negara mampu melaksanakannya maka masyarakat wajib patuh pada aturan ne-gara.

John Locke merumuskan teori kontrak sosialnya dalam buku-nya yang berjudul Two Treaties of Government. Dalam buku terse-but, Locke menyebutkan bahwa masyarakat dan pemerintah terikat dalam kontrak sosial dengan mempertahankan sistem kehidupan yang teratur dan seimbang serta ketertiban umum. Menurut Locke, masyarakat terikat untuk menerima dan mengikuti keputusan yang

Hukum Tata Negara22

ditetapkan oleh pemerintah yang berdaulat selama pemerintah yang berdaulat tersebut tidak menyimpang dari batas – batas dasar dan struktur yang membentuk kontrak sosial antar masyarakat dan pemerintah. selain itu, hukum alam yang dikemukakan Locke bersifat normatif dimana hukum alam tersebut memerintahakan bagaimana seseorang seharusnya bersikap, bukan bagaimana sebe-narnya ia bersikap (Noer 1997: 119).

Sama halnya dengan Hobbes, setelah negara terbentuk maka kedudukan, wewenang, kekuasaan dan kedaulatan negara lebih tinggi dari masyarakat. Perbedaan antara Locke dengan Hobbes dalam persoalan ini adalah pada sisi absoltisme negara atas rakyat. Menurut Locke, kekuasaan adalah hasil dari perjanjian sosial atau kontrak sosial dan kekuasaan tersebut tidak bersifat mutlak. Pada teori kontrak sosial Locke dijelaskan bahwa kekuasaan berasal dari hasil kesepakatan warga dengan penguasa negara yang dipilihnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah berasal dari Tuhan yang turun secara turun – temurun serta kekuasaan bu-kan atas dasar teks kitab suci (Firdaus Syam, 2007), Adapun Jean Jacques Rosseau dalam bukunya yang terkenal Du Contract Social (1762), menyatakan bahwa dasar berdirinya sebuah negara beraw-al dari adanya suatu perjanjian atau kesepakan untuk membentuk negara, tetapi rakyat tidak sekaligus harus menyerahkan hak-hak yang dimilikinya untuk diatur negara. Agar partisipasi rakyat da-pat tersalurkan maka rakyat wajib memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam pemerintahan yang didirikan serta menyusun bi-rokrasi pemerintah secara lebih partisipatif (http://agil-asshofie.blogspot.com/2011/11/). Kiranya teori inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya pemilihan umum di seluruh belahan dunia.

2. Teori Ketuhanan

Teori ini lebih terkenal dengan sebutan teori teokratis. Teori ini bersifat universal, ada di belahan dunia Barat dan Timur den-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 23

gan sejarah dan karakternya masing-masing, secara teoritik mau-pun dalam praktik. Sebagai jalan termudah untuk mengidentifikasi sebuah negara teokrasi dapat merujuk pada definisi yang diberi-kan oleh Ryder Smith, yaitu jika sebuah negara menuntut untuk dijalankan oleh satu atau banyak dewa (tuhan) (Majid Khadduri, 1995: 13). The Oxford Dictionary mendefinisikannya sebagai ben-tuk pemerintahan yang didalamnya Tuhan (sifat ketuhanannya) dimanifestasikan dalam diri raja atau penguasa saat itu. Dan orang yang dianggap pertama mengenalkan istilah teokrasi adalah Fla-vius Josephus (37-100 M).

Inti dari teori ini adalah bahwa negara dibentuk oleh Tuhan melalui titah-Nya dalam kitab suci atau melalui sabda manusia-manusia pilihan-Nya yang diutus kepada manusia dan dalam ben-tuk praktik politik ketatanegaraan. Pemimpin-pemimpin negara adalah wakil Tuhan yang menjalankan pemerintahan dan hanya bertanggung jawab pada Tuhan.

Doktrin atau teori teokrasi pada tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah men-ganggap diri-Nya sebagai “penguasa” atas hambanya. Perwakilan-Nya di dunia (raja, khalifah) hanya sebagai kekuatan eksekutif. Oleh sebab itu hukum ketuhanan dianggap sebagai sumber ke-wenangan pemerintah dalam proses pengawasan di bawah sistem-sistem bersangkutan. Keberadaan hukum mendahului negara dan menjadi dasar berdirinya negara. Oleh sebab itu hukum bukan Tu-han, namun hukum Tuhanlah yang sebenarnya mengatur (Majid Khadduri, 1995: 14). Sampai pada satu pemahaman, pelanggaran terhadap kekuasaan merupakan pelanggaran terhadap Tuhan.

Berdasar pada paparan di atas, Majid Khadduri lebih suka me-nyebutnya nomokrasi ketuhanan, karena negara harus berjalan dan terbentuk di atas hukum Tuhan. Walaupun sama-sama mendasar-kan pada hukum Tuhan, negara nomokrasi ketuhanan (teokrasi)

Hukum Tata Negara24

Islam berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Dalam agama Islam, khalifah adalah pemimpin pemerintahan (eksekutif) sekaligus pemimpin spiritual.

3. Teori Kekuatan

Teori kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa ne-gara yang pertama terbentuk karena adanya kekuasaan dan kekua-saan itu didapat dari kekuatan yang berasal dari orang-orang yang paling kuat dan berkuasa atas mereka yang lebih lemah. Dalam ba-hasa yang lain, negara adalah hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara berbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudu-kan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante positif dari sengketa dan penaklukan.

Dalam teori kekuatan, faktor kekuatanlah yang dianggap se-bagai faktor tunggal yang menimbulkan negara. Negara dilahirkan karena pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pembentuk negara itu. Dalam teori ini pula kekuatan mem-buat hukum (might makes right). Kekuatan adalah pembenarannya dan raisond`etre-nya adalah negara.

Doktrin kekuatan merupakan hasil analisa anthropo-sosiolo-gis dari pertumbuhan suku-suku bangsa dimasa lampau, terutama suku-suku bangsa yang bertentangga terus-menerus berada dalam keadaan permusuhan dan pertikaian. Semula kelompok etnis yang ditaklukan itu juga dimusnahkan, tetapi lambat laun penakluk mempertahankan kelompok yang ditaklukan itu dan itulah me-nandakan saat lahirnya negara.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 25

4. Teori Organis

Teori organis ini mengibaratkan atau mempersamakan ter-bentuknya negara sama dengan terbentuknya makhluk hidup. Organ-organ atau komponen-kompononen yang ada pada negara dianggap sebagai sel-sel yang sama fungsi dan peranannya dalam makhluk hidup.

Kehidupan korporasi dari negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu sebagai daging makhluk hidup itu. Fisiologi negara sama dengan fisiologi makhluk hidup, terutama dalam konteks kelahiran, pertumbuhan, perkembangan dan kematiannya. Doktrin organis dari segi isinya dapat digolong-kan ke dalam teori-teori organisme moral, organisme psikis, or-ganisme biologis dan organisme sosial.

Teori organisme moral secara singkat dapat dipahami bahwa negara adalah “naturproduksi”, satu kesatuan organis yang meli-puti semua warga masyarakat sebagai bagian esensial dari kesatuan organis negara. Negara tidak dibuat oleh manusia, tetapi merupa-kan produk moral dari kodrat manusia sebagai makhluk moral. Te-ori organisme psikis menuturkan bahwa negara tidak hanya terdiri dari wujud fisik keberadaan masyarakatnya. Satu kesatuan organ-isme yang ada pada negara memiliki atribut-atribut kepribadian rohani, mental spiritual sebagai manusia. Maka pertumbuhan dan perkembangan negara dapat dipersamakan dengan perkembangan intelektual dan kepribadian individu.

Teori organisme biologis timbul sebagai salah satu manifes-tasi dari pertumbuhan ilmu-ilmu biologi yang muncul pada abad ke-19. Negara diselidiki dengan menggunakan metode-metode dan penggolongan-penggolongan ilmu biologi itu, karena antara negara dan makhluk hidup terdapat persamaan-persamaan dalam

Hukum Tata Negara26

anatomi, fisiologi dan patologinya. Jadi asal mula, perkembangan, struktur dan aktifitas negara diselidiki berdasarkan pada kelahiran, struktur dan fungsi-fungsi organisme biologis. Adapun teori organ-isme sosial lahir bersamaan dengan lahirnya ilmu sosiologi. Ajaran negara sebagai organisme sosial terkait erat hubungannya dengan ajaran organis dari masyarakat dan persekutuan-persekutuan lain-nya. Masyarakat dipandang sebagai suatu keseluruhan yang bersi-fat organis.Negara sebagai slaah satu bentuk perkelompokan sosial juga bersifat organis.

5. Teori Historis

Teori historis atau teori evolusionistis (gradualistic theory) merupakan teori yang menyatakan bahwa lembaga-lembaga so-sial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Sebagai lembaga sosial yang dipe-runtukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput dari pengaruh tempat, waktu dan tuntutan-tuntutan zaman.

Teori historis diperkuat dan telah dibenarkan oleh penye-lidikan historis dan etnologis-antropologis dari lembaga-lembaga sosial bangsa-bangsa primitif di benua Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Perlu ditambahkan bahwa pada saat ini, teori historislah yang umum diterima oleh sarjana-sarjana ilmu politik sebagai teori yang paling mendekati kebenaran tentang asal mula negara.

Sekalipun teori historis pada umumnya mencapai persesuaian paham mengenai pertumbuhan evolusionistis dari negara, namun dalam beberapa hal masih juga terdapat perbedaan pendapat, mis-alnya, apakah yang mendahului negara itu keluarga dan suku yang didasarkan atas sistem keibuan? Serta bagaimanakah peranan fak-tor-faktor kekeluargaan, agama, dan lain-lain dalam pembentukan negara? (Dede Rosyada dkk, 2004: 51-52).

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 27

6. Teori Hukum Alam

Teori hukum alam menyatakan bahwa negara terjadi karena kehendak alamiah manusia, karena manusia yang adi kodratinya sebagai makhluk sosial yang suka berkumpul dengan manusia lain-nya dengan pendorong adanya kesamaan dalam hal-hal tertentu. Dan negara merupakan lembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang dapat dirasa-kan oleh manusia yang berkumpul tersebut. Penganut teori ini ada-lah Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquino.

C. Bentuk atau Sistem Pemerintahan Negara

1. Bentuk-bentuk pemerintahan

Sub judul tersebut sengaja dibuat seperti itu karena ada semacam kegaduhan dalam penggunaan istilah untuk mengidenti-fikasi dan mengklasifikasikan cara kerja atau manajemen pemerin-tah sebuah negara menjalankan negaranya.

Dalam kepustakaan ilmu politik dibedakan antara bentuk pemerintah dan bentuk negara, tetapi perbedaan ini merupakan masalah dalam ilmu politik yang belum selesai. Kranenburg dan Grabowsky lebih mengutamakan bentuk negara daripada bentuk pemerintahan, sedangkan Garner dan Gilchrist mengutamakan bentuk pemerintahan daripada bentuk negara. Konklusinya, bila membicarakan bentuk pemerintahan sebuah negara berarti itu pula bentuk negaranya dan demikian sebaliknya.

Bentuk negara atau pemerintahan dari sebuah negara men-jadi penting sebagai identitas negara dan dalam ranah pergaulan internasional. Di dunia ini dihuni oleh lebih dari 200 negara den-gan berbagai sistem politik yang dianutnya. Tidak semua negara di dunia mempunyai bentuk yang sama. Perbedaan ini menyebabkan

Hukum Tata Negara28

pula perbedaan bentuk pelaksanaan hubungan internasional mas-ing-masing negara. Bagaimana bentuk suatu negara adalah urusan negara itu sendiri. Hukum internasional tidak mempunyai hak atau wewenang untuk ikut menentukan bentuk suatu negara. Suatu ne-gara memilih bentuk negaranya sesuai dengan aspirasinya sendiri dan boleh saja merubah haluan karena kebutuhannya sendiri atau sebab suasana politik tertentu yang terjadi dalam urusan dalam negerinya.

Secara garis besar, bentuk negara dan pemerintahannya terba-gi menjadi 2 (dua), yaitu monarki dan republik, dengan model ken-egaraan kesatuan atau federasi (serikat), plus model negara kota.

1. Monarki (kerajaan, kesultanan)

Kata monarki berasal dari bahasa Yunani, “monos” yang berarti satu dan “archein” yang berarti pemerintah. Negara monarki dipimpin oleh seorang penguasa negara dengan seb-utan raja, ratu, kaisar sultan atau emir. Bentuk negara ini ada-lah yang tertua di dunia. Pada negara yang berbentuk monar-ki, raja, ratu, kaisar, sultan atau emir berkuasa sepanjang hayatnya. Ia akan digantikan apabila sudah wafat atau pada satu kondisi yang mana ia sudah tidak mampu atau tidak in-gin meneruskan kekuasaannya. Pada umumnya penggantinya adalah dari garis keturunannya yang utama yang mendapat gelar putra atau putri mahkota. Pada negara dengan sistem monarki tertentu, seperti Kerajaan Malaysia, kekuasaan raja dibatasi waktunya hanya lima tahun dan digilirkan pada pen-guasa negara bagiannya (persekutuan).

Biasanya pada negara monarki; raja, ratu, kaisar, sultan atau emir hanya sebagai simbol negara dan kekuasaannya sangat terbatas. Perdana menteri sebagai kepala pemerinta-han yang memiliki banyak kekuasaan dan wewenang dalam

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 29

menjalankan roda pemerintahan negara monarki. Masa kepemimpinan perdana menteri dibatasi hanya dalam waktu tertentu.

Dalam perkembangannya, sekarang sistem monarki ter-bagi lagi menjadi 4 (empat); monarki absolut, monarki konsti-tusional, monarki parlementer dan monarki demokrasi.

a. Monarki absolut

Monarki absolut adalah negara yang dipimpin oleh kepala negara (raja atau sebutan lainnya) yang memiliki kewenangan absolut (tidak terbatas). Kewenanganya meliputi seluruh sistem kekuasaan yang ada pada negara itu, kekuasaan eksutif, yudikatif dan legislatif ada ditan-gannya. Pada masa dahulu segala titahnya dan perbua-tannya harus dipatuhi oleh siapapun dan menjadi hu-kum bagi rakyatnya. Keberadaan perdana menteri hanya sebagai simbol saja, karena pada prinsipnya kekuasaan dan kontrol terhadap negara ada dalam wewenang pe-nuh pada satu penguasa negara.

Diantara negara-negara yang menganut sistem monarki ansolut adalah Arab Saudi, Qatar, Oman, Bru-nai Darussalam dan Swaziland.

b. Monarki konstitusional

Berbeda dengan monarki absolut, dalam negara monarki konstitusional, kekuasaan raja dibatasi oleh undang-undang dasar (konstitusi negara). Raja, ratu, kaisar, sultan atau emir hanya sebagai simbol negara, ia memiliki peranan tradisional yang pada kalanya pan-dangannya terhadap penyelenggaraan negara berbeda dengan perdana menteri dan dapat saja mendorong atau

Hukum Tata Negara30

mengusulkan pergantian perdana menteri kepada parle-men.

Terjadinya proses monarki konstitusional pada ne-gara monarki karena 2 (dua) hal;

1. Ada kalanya perubahan menjadi monarki konstitu-sional datang dari inisiatif raja itu sendiri karena ia takut kekuasaannya akan runtuh/dikudeta. Contoh untuk kasus ini adalah Jepang.

2. Ada pula yang berubah menjadi monarki konstitu-sional karena adanya revolusi rakyat terhadap raja. Contohnya; Inggris yang melahirkan Bill of Right I tahun 1689, Yordania dan Denmark (sitongjona-tan-jonatan.blogspot.com).

c. Monarki parlementer

Dalam monarki parlementer, negara dikepalai oleh raja dengan menempatkan parlemen (DPR) sebagai pe-megang kekuasaan tertinggi. Jatuh tegaknya pemerintah tergantung kepercayaan parlemen terhadap perdana menteri dan para menterinya. Perdana menteri dan ka-binetnya bertanggungjawab kepada parlemen adapun raja hanya sebatas simbol saja yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat. Contohnya adalah Malaysia, Ing-gris, Thailand dan Belanda.

d. Monarki demokrasi

Bentuk/sistem ini merupakan monarki yang paling jarang ada di muka bumi. Sekarang ini terdapat 3 monar-ki pemilihan yaitu Paus yang merupakan pemimpin pada negara Vatikan selama seumur hidup yang dipilih

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 31

oleh para Kardinal. Di Arab Saudi pun punya cara untuk terjadinya monarki pemilihan. Malaysia dapat pula dika-takan masuk dalam kategori ini, tetapi dipergilirkan dari raja-raja yang ada pada negara-negara bagiannya. Perlu dipahami bahwa monarki demokrasi tidak pernah lepas dari aliran darah atau keluarga kerajaan.

2. Republik

Kata republik barasal dari bahasa Yunani, dari kata “res” yang bermakna “kekuasaan” dan “publika” yang bermakna “rakyat”. Dari pengertian bahasa ini dapat dipahami bahwa negara republik, kekuasaannya berada di tangan rakyat. Pada negara republik, pemimpin negaranya disebut pres-iden. Presiden bertindak dan berkedudukan sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Namun ada pula pres-iden hanya berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahannya dipegang oleh perdana menteri. Indonesia pernah mengalami sejarah seperti ini pada masa awal-awal kemerdekaan sampai pada tahun 1960-an.

Ada 3 (tiga) macam bentuk negara republik;

a. Republik absolut

Pemerintahan republik absolut bersifat diktaktor, hukum dimanipulasi sedemikian rupa guna mendukung kekuasaan presiden. Contohnya Jerman pada masa Hit-ler, Italia pada masa Mussolini dan Indonesia sempat berada pada posisi ini ketika Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup dengan praktik demokrasi ter-pimpinnya.

Hukum Tata Negara32

Dalam negara republik absolut, kekuasaan bisa diperoleh dengan jalan kudeta atau penyelenggaraan pemilu yang curang dan permainan politik perundang-undangan.

b. Republik konstitusional

Pada negara republik konstitusional, kedudukan presiden dengan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dapat diperebutkan sesuai dengan aturan yang ada dalam konstitusi negara dan peraturan perundangan yang pendukungnya. Presiden bertang-gungjawab kepada parlemen sebagai representasi dari kekuasaan rakyat. Contohnya, Indonesia

c. Republik parlementer

Presiden dalam negara republik parlementer ham-pir mirip kedudukannya seperti raja dalam negara monarki, ia hanya sebagai simbol negara. Yang mem-bedakannya kekuasaan presiden diperoleh lewat pemili-han adapun raja diperoleh dari warisan pendahulunya.

Presiden sebagai kepala negara tidak aktif memim-pin negara. Penyelenggara pemerintahannya dipegang oleh perdana menteri dan kabinetnya yang bertang-gungjawab kepada parlemen. Contoh, negara Italia, In-dia dan Jerman.

Itulah beberapa bentuk negara bila dilihat dari bagaima-na penguasa negara menajalankan roda pemerintahannya atau sistem pemerintahannya. Namun bila dari sisi pengelo-laan wilayah kekuasaannya, bentuk negara dapat dibedakan menjadi negara kesatuan, federasi dan negara kota.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 33

1. Negara kesatuan

Negara kesatuan adalah negara berdaulat yang bi-asanya memiliki kedaulatan wilayah yang luas, yang din-yatakan dalam kesatuan tunggal dengan kontrol berada pada pemerintah pusat. Pemerintah-pemerintah yang ada di daerah (penguasa daerah) hanya menjalankan kekuasaan-kekuasaan yang didelegasikan oleh peme-rintah pusat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pemerintah pusat dengan kewenangannya dapat menentukan status pemerintahan subnasional sesuai dengan situasi dan kondisi yang menyertai daerah itu, bisa dimekarkan menjadi sub baru, digabungkan antara sub yang ada bahkan dapat menghapusnya. Indonesia adalah salah satu contoh negara kesatuan.

2. Negara federasi (serikat)

Negara federasi adalah negara yang terdiri dari be-berapa atau banyak negara bagian, yang masing-masing negara bagian itu dipimpin oleh pemimpin tertinggi, dapat berupa gubernur ataupun raja dan nama yang sejenisnya. Namun kekuasaannya hanya terbatas pada daerah yang ada dalam satu daerah dalam negara yang besar.

Negara bagian berbagi kedaulatan dengan pemer-intah pusat dan negara bagian memiliki fungsi, kedudu-kan dan kekuasaan yang tidak dapat diubah-ubah secara sepihak oleh pemerintah pusat. Indonesia pernah men-jadi negara federal (serikat) dengan nama Republik In-donesia Serikat (RIS), memiliki konstitusi RIS. Namun

Hukum Tata Negara34

model negara serikat di Indonesia ini hanya berlangsung 10 (sepuluh) bulan kemudian kembali kebentuk negara kesatuan dengan pelopornya adalah Perdana Menteri Mohammad Natsir.

3. Negara kota

Konsep negara kota pertama kali digagas oleh Ar-istoteles dan Plato, yaitu suatu negara yang memiliki wilayah kedaulatan yang kecil dengan penduduk yang kecil pula. Negara kota yang dikenal sekarang adalah sebuah negara yang berdaulat yang seluruh (mayoritas) wilayah pemerintahannya sudah berupa kota, sistem pemerintahannya bisa saja berbentuk monarki atau re-publik. Contoh dari negara kota yang sekarang ada, dian-taranya adalah Singapura, Vatikan dan Gibaltar. Bahkan Gibaltar adalah sebuah negara kota yang penduduknya hanya berkisar pada bilangan angka 30.000 (tiga puluh ribu) jiwa saja.

2. Sistem Pemerintahan

Setiap negara di belahan dunia manapun memiliki cara atau sistem pemerintahannya sendiri dalam menjalankan pemerintahan negaranya. Sistem pemerintahan menurut Sri Soemantri (1970: 70) adalah sistem organ eksekutif dan organ legislatif (organ kekuasaan legislatif). Ada pula yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan adalah cara pemerintah dalam mengatur semua yang berkaitan dengan pemerintahan.

NA Delianoor memberikan arti sempit dari sistem pemerin-tahan adalah sistem hubungan kekuasaan antara eksekutif dan leg-islatif. Sebenarnya ini bukan arti sempit dari sistem pemerintahan, tetapi ini adalah inti yang dominan dalam sistem pemerintahan

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 35

negara dalam kerangka trias politika ala Montesqui, keberadaan lembaga yudikatif hanya sesekali masuk dalam frame sistem pemerintahan karena ia berada dalam frame tersendiri, pemegang kekuasaan kehakiman (hukum) yang dapat dijadikan sebagai kon-trol atas hubungan politik dua kutub yang berbeda tersebut pada saat keduanya tunduk pada peraturan perundangan atau posisi lembaga yudikatif kuat. Akan tetapi dapat pula lembaga ini diper-alat untuk kepentingan politik dari lembaga legsilatif dan eksekutif.

Sistem yang dibentuk atau dipilih oleh sebuah pemerintahan gunanya untuk menjaga kestabilan pemerintahan, politik perta-han, ekonomi, kesejateraan sosial dan lain sebagainya. Karena pada setiap sistem itu ada ciri atau aturan umum yang akan dipatuhi oleh setiap pemegang kekuaasaan pemerintahan. Artinya sistem pemer-intah yang dianut itu akan menjadi acuan bagi pemerintah untuk menjalankan kekuasaan pemerintahannya secara benar, terukur dan terarah.

Dalam teori Hukum Tata Negara dikenal dua bentuk sis-tem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil (presidensial). Namun dalam praktek, dikenal juga sistem pemerintahan campuran yang di sebut quasi parlementer atau quasi presidensiil atau dalam bahasa lain sistem parlemeter dan presidesiil tidak murni. Bahkan un-tuk kasus Indonesia pra amandemen UUD 1945, Padmo Wahyono (dalam Bintan R. Saragih, 1992: 7), menamakannya dengan “sistem MPR” yang mempunyai kelainan baik dari sistem presidensiil, parlementer maupun sistem parlementer/presidensiil tidak murni.

a. Sistem pemerintahan presidensial

Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemer-intahan di mana eksekutif tidak bertanggung jawab pada badan legislatif. Pemegang kekuasaan eksekutif tidak da-

Hukum Tata Negara36

pat dijatuhkan oleh atau melalui badan legislatif meskipun kebijaksanaan yang di jalankan tidak disetujui oleh pe-megang kekuasaan legislatif. Pada sistem ini, presiden adalah pemegang kukuasaan eksekutif yang menjalankan negara dan pemerintahan, sehingga presiden menduduki dua posisi seka-ligus; sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Presiden memiliki hak prorogatif untuk memberntuk kabinet dan menunjuk orang-orang yang dianggapnya pan-tas untuk menduduki jabatan menteri dalam kabinetnya. Ka-rena yang membentuk kabinet adalah presiden maka kabinet bertanggungjawab penuh pada presiden dan tidak dapat di-bubarkan oleh parlemen.

Bila dirinci lebih lanjut, ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial sebagai berikut;

1. Presiden adalah penyelenggara negara2. Presiden menjabat dua jabatan sekaligus (kepala negara

dan kepala pemerintahan)3. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih se-

cara langsung oleh rakyat dalam suatu sistem pemilu atau oleh suatu dewan majelis

4. Presiden dapat membentuk kabinet dan memiliki hak prerogatif untuk menempatkan orang-orang dalam ka-binet bentuknya sebagai menteri.

5. Presiden tidak bertanggung jawab pada parlemen6. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen7. Presiden tidak dapat diturunkan oleh parlemen kecuali

melalui prosedur impeachment yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 37

8. Parlemen sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang para anggotanya direpresentasikan sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dalam suatu sistem pemilu.

Bagi negara yang memilih sistem pemerintahan pres-idensial memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah;

1. Kekuasaan eksekutif lebih stabil karena tidak bergantung dan tidak terganggu pada parlemen

2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dalam kurun waktu tertentu. Seperti di Indonesia masa jabatan pres-iden 5 tahun. 

3. Legislatif bukan tempat kaderisasi mengenai jabatan-jabatan eksekutif karena diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri

4. Dalam penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya

Adapun kelemahan atau kekurangan Sistem Pemerinta-han Presidensial adalah;

1. Sistem pertanggung jawaban kurang jelas

2. Pembuatan keputusan/mengambil kebijakan memakan waktu yang lama

3. Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legis-latif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak

4. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif yang

Hukum Tata Negara38

mengakibatkan terjadinya keputusan yang tidak tegas (http://www.artikelsiana.com).

b. Sistem pemerintahan parlementer

Suatu sistem pemerintahan disebut sistem pemerinta-han parlementer apabila eksekutif (pemegang kekuasaan ek-sekutif) secara langsung bertanggung jawab kepada badan legislatif (pemegang kekuasaan legislatif). Dalam sistem ini kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh dua orang yang berbeda dengan kewenangan yang berbeda. Pres-iden, Kaisar, Raja, Ratu, Sultan atau Emir menduduki jabatan sebagai kepala negara, menjadi simbol negara. Sedangkan kepala pemerintahan di jabat oleh perdana menteri.

Pada sistem pemerintahan model ini kelangsungan kekuasaan eksekutif tergantung pada kepercayaan dan dukungan mayoritas suara di badan legislatif. Setiap saat eksekutif dapat kehilangan dukungan mayoritas dari para anggota badan legislatif atau parlemen (misalnya, karena adanya mosi tidak percaya), eksekutif (perdana menteri) akan jatuh dengan cara mengembalikan mandat kepada Kepala Negara.

Dalam keadaan tertentu, pemegang kekuasaan ekse-kutif dapat mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan legislatif. Jalan yang ditempuh yaitu dengan cara meminta kepala negara membubarkan badan legislatif dan segera menyelenggarakan pemilihan umum baru. Tetapi apabila kemudian dalam badan legislatif yang baru ternyata ekse-kutif dikalahkan lagi, badan eksekutif diwajibkan mengem-balikan mandatnya.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 39

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer sebagai berikut;

1. Raja, ratu, kaisar, sultan, emir atau presiden menduduki posisi sebagai kepala negara dan simbol negara. Pada hal kepala ekskutif di jabatan oleh presiden, presiden ditunjuk oleh parlemen/legislatif. Sedangkan kepala ne-gara dengan sebutan raja, ratu, kaisar, emir dan sultan dipilih menurut mekanisme tersendiri, biasanya model pewarisan tahta kepada keturunan genetikal kepala ne-gara sebelumnya.

2. Perdana menteri sebagai kepala pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan.

3. Perdana menteri mempunyai hak perogratif (hak is-timewa) dalam mengangkat dan memberhentikan para menteri-menteri yang baik itu memimpin suatu departe-men dan non departemen. 

4. Kabinet yang dibentuk perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen

5. Parlemen atau legislatif dapat menjatuhkan kekuasaan aksekutif.

Sistem pemerintahan parlementer memiliki beberapa kelebihan, yaitu;

1. Dalam membuat kebijakan/keputusan dalam ditangani secara cepat karena adanya kemudahan penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena terdapat dalam satu partai atau koalisi partai. 

Hukum Tata Negara40

2. Pembuatan keputusan menggunakan waktu yang cepat

3. Dalam pertanggung jawaban terhadap pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas

4. Memiliki pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet/menteri-menteri sehingga kabinet menjadi lebih berhati-hati dalam menjalankan pemerintahanAdapun kelemahan atau kekurangan dari sistem pemer-

intahan parlementer adalah;

1. Kedudukan badan eksekutif atau kabinet bergantung dari mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh parlemen

2. Dalam masa jabatan badan eksekutif atau kabinet tidak dapat ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatan-nya karena sewaktu-waktu dapat dibubarkan oleh legis-latif

3. Parlemen menjadi sebuah tempat dalam kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Kabinet/menteri-menteri dapat mengendalikan legis-

latif, jika sejumlah para anggota kabinet berasal dari partai mayoritas dalam parlemen, karena pengaruh mereka yang be-sar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat menguasai parlemen (http://www.artikelsiana.com).

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 41

BAB II

KONSEP NEGARA DALAM AL-QUR’AN DAN PANDANGAN ULAMA POLITIK

ISLAM

A. Konsep Negara dalam Islam

Menemukan konsep negara yang genuine berupa doktrin penamaan ataupun perintah mendirikan sebuah negara, tidak akan dijumpai dalam literatur kitab suci al-Qur’an dan Hadits Nabi. Akan tetapi untuk menemukan organ-organ negara dalam kitab suci dan al-hadits akan banyak dijumpai. Organ-organ yang dimaksud diantaranya, al-ummah, ulil amri, al-qaum, al-hukmu, jama’ah, baiat, khilafah dan lain-lain.

Baiknya semua konsep yang memungkinkan dianggap seba-gai embrio ataupun organ dari sebuah negara yang tertera dalam al-Qur’an dalam al-Hadits tersebut dibahas dengan seksama. Se-hingga tidak akan muncul lagi keraguan bahwa secara konseptual dan praktikal, negara dan pemerintahannya dalam Islam sungguh nyata adanya. Eksistensi konsep dan praktik negara dalam Islam itu mengesampingkan perdebatan pada bentuk dan sistem pemer-intahan Islam.

Hukum Tata Negara42

1. Al-Ummah

Secara sosiologis, negara merupakan bentuk atau nama lain dari masyarakat atau kumpulan individu yang terorganisir. Istilah yang paling urgen dan pertama yang mesti dirujuk untuk istilah masyarakat yang terogranisir dalam Islam adalah kata ummah. Minimal ada dua alasan menjadikan kata ummah menjadi kata kunci dalam persoalan ini;

a. Dalam al-Qur’an, istilah ummah disebut sebanyak 64 kali dalam 24 surat.

b. Istilah ummah termaktub dalam Piagam Madinah, yang dianggap sebagai konstitusi modern pertama di dunia.

Namun, persoalannya muncul dua tafsir dari kata ummah itu dari para peneliti, sebagian menyebutnya sebagai politcal society dan sebagian menamakannya sebagai religiuos society. Selanjutnya adalah apakah dua penamaan atau tafsiran yang berbeda itu dapat diambil sebagia akar terbentuknya sebuah negara?

Kata ummah secara bahasa dalam bahasa Arab terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju, menumpu, dan mene-ladani. Dari akar yang sama, lahir antara lain kata “um” yang be-rarti “ibu” dan “imam” yang maknanya “pemimpin”; karena kedu-anya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.

Kata ummah ini diserap dalam bahasa Indonesia menjadi umat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan para pen-ganut atau pengikut suatu agama dan makhluk manusia. Ada pula yang mengartikannya bangsa dan ada pula yang memaknainya se-bagai negara.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 43

Ar-Raghib al-Isfihany dalam karyanya Al-Mufradat fi Ghar-ib al-Qur’an, menjelaskan arti ummah sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.

Bila merujuk pada dalil-dalil naqli, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, kata ummah tidak hanya ditujukan pada se-kumpulan manusia, berkumpulnya sekelompok binatang ataupun berkumpulnya sifat-sifat terpuji dalam diri seseorang juga bisa dis-ebut dengan kata ummah itu (M. Quraish Shihab, 1999: 325-328).

Dalil-dalil berikut ini dapat dipelajari lagi secara lebih sek-sama;

ــم ــن دابـــة ف األرض وال طــائــر يــطــر بــنــاحــيــه إال أم ومـــا م

رطنا ف الكتاب من شيء ث إل ربم يشرون . أمثالكم ما فـ“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan bu-rung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melain-kan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS al-An’âm: 38).

Rasulullah Saw. bersabda:

النملة أمة من األمم“Semut (juqa) merupakan umat dan umat-umat (Tuhan)” (HR. Muslim).

Hukum Tata Negara44

لوال أن الكلب أمة من األمم ألمرت بقتلها “Seandainya anjing-anjing bukan umat dan umat-umat (Tu-han) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh” (HR at-Tir-midzi dan an-Nasa’i).

راهيم كان أمة قانتا ل حنيفا ول يك من المشركني . إن إبـ“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat di-jadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang memperseku-tukan (Tuhan),” (QS. al-Naml: 120).

Ali Syariati dalam bukunya Al-Ummah wa al-Imâmah (1990: 36) menyebutkan keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau qabilah (suku). Pakar ini mendefinisikan kata umat – dalam konteks sosiologis -- sebagai “himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama.”

Dalam ilmu politik dan ilmu negara, eksistensi Piagam Ma-dinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad menjadi urgensi untuk diperhatikan dengan seksama, terutama ketika berbicara tentang situasi politik Madinah saat itu dan keberadaan Nabi Muham-mad sebagai pemimpin komunitas. Montgomery Watt secara te-gas mengatakan bahwa Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa diang-gap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian luhur diantara para warganya (dalam Juwairiyah Dahlan, 1999). Senada dengan Watt, H.R. Gibb juga menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah me-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 45

letakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pe-mikiran dan inisiatif Muhammad sendiri (Muhammad Latif Fauzi, 2005: 6).

Dalam Piagam Madinah itu, kata ummah tertera secara jelas dan tegas dalam pasal 1 dan 25 . Kiranya inilah yang menjadi ka-jian utama para sarjana, baik politik, sosiologi, dan ilmu lainnya. Diantara para sarjana yang mengulas Piagam Madinah ini adalah Muhammad Khalid dan Hasan Ibrahim Hasan.

Muhammad Khalid menyatakan bahwa isi yang paling prin-sip dari Piagam Madinah adalah membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur suatu ummah serta menegakkan pemer-intahan atas dasar persamaan hak. Adapun Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa disimpulkan dalam empat pokok;

a. Mempersatukan kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan.

b. Menghidupkan semangat gotong royong, hidup ber-dampingan, saling menjamin diantara sesama warga.

c. Menetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempu-nyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan dan mempertahankan Madinah dari serbuan luar.

d. Menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk agama-agama lain dalam mengurus kepentingan mereka (dalam Juwairiyah Dahlan, 1999).

Hukum Tata Negara46

Pada saat mengomentari surat Ali Imron ayat 4, Inu Kencana Syafiie (1996: 133) mengatakan bahwa segolongan ummat tersebut adalah pemerintah yang sah. Sebelumnya ia menjawab pertanya-an adakah negara Islam menurut al-Qur’an dan al-Hadits dengan menganalogikan pada satu pertanyaan yang sederajat, apakah masuk SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di perintahkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits? Sekolah-sekolah tersebut dalam dua sum-ber utama umat Islam, keduanya hanya memerintahkan kewajiban untuk menuntut ilmu, masalah bentuk sekolah itu seperti apa terserah kepada kita, begitu pula dengan negara. Begitu pula dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak dibicarakan perintah mendirikan negara dan bentuk negaranya, tetapi prinsip-prinsip kehidupan bernegara dan instrumen negar banyak dibicarakan dalam pulu-han ayatnya.

Berdasarkan pada beberapa pendapat dari para sarjana Mus-lim dan Non-Muslim tersebut, nyata bahwa Madinah dengan sega-la ciri dan keunikannya adalah sebuah negara. Karena 4 (empat) syarat pokok berdirinya sebuah negara ada dalam negara Madinah;

a. Adanya pemerintah, Madinah memiliki pemerintahan dengan pimpinan tertingginya Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga mengangkat pemimpin-pemimpin dibawahnya dan mengirimkan utusan-utusan ke negara-negara lain.

b. Adanya wilayah, wilayah negara Madinah adalah Madi-nah dan sekitarnya.

c. Adanya warga negara, warga negaranya adalah kaum Muslimin, kaum Yahudi dan pemeluk agama lain yang hidup di wilayah Madinah

d. Adanya pengakuan dari negara lain, Madinah mengirim utusan dan menerima utusan dan beberapa kali Nabi

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 47

Muhammad (Pemimpin Madinah) menerima utusan dan mendapatkan hadiah dari negara lain.

2. Qaum dan Jamaah

Sama halnya dengan kata ummah, kata qaum dan jamaah juga banyak terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Ketiga kata ini dapat dikatakan sebagai sinonim, memiliki makna yang secara umum sama, walaupun bila diperinci lebih detail ada kekhasan dari masing-masing kata itu memiliki makna yang lebih spesifik. Kekhasan itu pun tidak begitu signifikan untuk menyamakan art-inya pada sekelompok orang yang berkelompok, masyarakat atau-pun warga negara. Jadi dua istilah itu tidak menjadi masalah untuk dijadikan satu indikasi bahwa itu adalah bagian dari unsur wajib yang harus ada dalam sebuah negara.

3. Khilafah

Kata khilafah berasal dari kata “kha-la-fa” yang dapat ber-makna pengganti, belakang, yang datang kemudian. Kata ini dapat berubah menjadi khilafah (bentuk masdar) dan khalifah (bentuk fail). Istilah ini mulai menjadi populer pada saat Rasulullah Saw. wafat. Disamping itu, memang telah tertera pula dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan surat al-Nur ayat 55.

Saat Rasulullah wafat, berarti masyarakat muslim (negara) Madinah tidak memiliki seorang pemimpin. Karena kepimpinan ini dipandang satu urasan yang urgen bagi seluruh kaum muslimin saat itu, sampai-sampai pemakaman Rasulullah tertunda sampai didapatkannya pemimpin baru pengganti Rasul. Melalui rapat yang cukup singkat di Tsaqifah Bani Sa’diyah terpilihlah Abu Ba-kar al-Shiddiq sebagai “khalifah al-rasulillah” yang dapat diartikan “pengganti (kepemimpinan) Rasulullah. Selanjutnya penyebutan

Hukum Tata Negara48

dan praktik kepemimpinan masa setelah Rasulullah itu menjadi menjadi konsep dan sistem ketatanegaraan (siyasah) dalam Islam. Pada rentang waktu selanjutnya, kemudian dieksplorasilah seluruh dalil naqli baik berupa ayat Qur’an maupun Hadits guna menopang konsep kekhilafahan dalam Islam secara teoritik-filosofis. Kemu-dian para ulama melengkapinya dengan teori-teori (pemahaman-nya) tentang siyasah syar’iyah, seperti Ibnu Taimiyah, al-Mawardi dan lain-lain.

Kata khilafah dan khalifah secara praktis diejawantahkan oleh umat Islam dalam praktik ketatanegaraan yang nyata sampai tera-khir tumbangnya kilafah Utsmaniyah di Turki. Setelah itu khalifah dan khilafah menjadi cita-cita kaum muslimin yang terus diper-juangkan untuk tegak kembali.

Ibnu Taimiyah pernah menulis, “wilayah” (organisasi politik) bagi persoalan (kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak secara kokoh dan karena Allah Swt mewajibkan kerja amar ma’ruf nahi munkar, dan menolong pihak yang teraniaya. Semua yang Dia wajibkan tentang jihad, keadilan dan menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan.” Abdul Karim Zaidan lebih tegas menyatakan, “maka menegakkan Daulah (khilafah) Islamiyah merupakan perkara yang wajib untuk melaksanakan hukum-hukum syariat” (dalam Oksep Adhayanto, 2011: 20). Oleh karena itu “kerinduan” sebagian kaum muslimin akan tegaknya khilafah yang baru terus akan digelorakan.

Di Indonesia, organisasi massa keislaman yang nyata dan te-gas bercita-cita tegaknya khilafah Islamiyah adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hizbut Tahrir yang mengusung cita-cita khilafah Islamiyah didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani di Syiria.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 49

B. Pandangan Ulama Politik Islam Klasik tentang Konsep Negara

1. Pandangan Ibnu Khaldun

Nama panjangnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Mu-hammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khalid bin Usman bin Hani bin Kathab bin Kuraib bin Ma’dikarib bin Harish bin Wail bin Hujr, namun ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun populer dalam dunia ilmiah Islam sebagai bapak sosiologi Muslim terkemuka di zamannya dan sampai saat ini. Ibnu Khaldun hidup pada masa dunia Islam sedang mengalami perpecahan dalam bi-dang politik, kemunduran di bidang ilmu pengetahuan dan kesibu-kan dalam perang Salib yang panjang. Instabilitas di bidang politik dan peperangan yang sering berkecamuk itu membuat kehidupan Ibnu Khaldun berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.

Tempat kelahirannya di Afrika Utara (Tunisia), yang pada saat itu berada dalam kekuasaan Dinasti al-Muwahhidun, ramai dengan dengan pemberontakan dan kekacauan politik. Dinasti al-Muwahhidun hancur dan digantikan oleh dinasti-dinasti kecil secara ganti berganti dalam tragedi politik yang berkepanjangan. Diantara dinasti-dinasti kecil yang silih berganti memimpin adalah Keamiran Bani Hafish di Tunisia, Keamiran Bani “Abd al-Wad di Tilmisan dan Keamiran Bani Marin di Fez.

Di tempat lain, Andalusia (Spanyol) yang semula menjadi kekuasaan Muslim telah banyak jatuh ke tangan pasukan Salib. Pusat-pusat kebudaayaan dan ilmu pengetahuan yang semula di bangun dengan kecemerlangan pemikiran sarjana-sarjana muslim hancur dalam penguasaan pasukan Salib, saat itu hanya sebagian kecil wilayah Andalusia Selatan yang masih dalam kekuasaan pasu-kan Muslim (Toto Suharto, 2003: 25).

Hukum Tata Negara50

Kondisi politik yang terus bergolak dan peperangan yan terus terjadi, berimbas pada pengembangan ilmu pengetahuan di kalan-gan para pemikir-pemikir muslim. Tidak banyak karya orisinal yang lahir pada masa dimana Ibnu Khaldun hidup di dalamnya. Stagnasi pemikiran Islam saat itu sungguh memilukan, karya-karya yang muncul hanya berupa syarh atau syarh dari syarh yang telah ada sebelumnya. Kondisi yang demikian itu, dalam sejarah perkembangan intelektual muslim disebut sebagai ‘ashr al-syuruh wa al-hawasyi (masa penjelasan/tafsir dan pemberian catatan ping-gir) dari buku atau karya sarjana muslim yang ada pada masa se-belumnya. Karya yang dianggap orisinil dari pemikiran intelektual masa itu hanya sedikit, diantaranya al-Muqaddimah, sebuah karya monumental dari Ibnu Khaldun.

Sebagai sebuah karya yang lahir pada kondisi masyarakat dan pemerintahan Muslim yang seperti itu, al-Muqaddimah kar-ya orisinil dan monumental Ibnu Khaldun ini tidak bisa lepas dari kondisinya saat itu, walaupun fokus kajian utamanya adalah masyarakat dan berbagai macam aspek yang terkait dengannya, soal politik dan kekuasaan (negara) juga tidak luput dari bahasan-nya. Disinilah ditemukan bagaimana konsep negara menurut Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun membangun konsep negara diawali dengan membangun konsep masyarakat dan kesatuan masyarakat yang disebutnya dengan istilah ashabiyah. Ashabiyah ini awalnya dimak-nai sebagai perasaan nasab, baik karena pertalian darah maupun ikatan emosional kesukuan. Ini sebenarnya adalah konsep yang la-hir secara alamiah dalam kondisi ataupun situasi masyarakat man-apun, darinya akan muncul sikap atau rasa cinta dan kepedulian yang tinggi antar sesama ras, suku atau komunitas dan berusaha untuk terus mempertahankan eksistensinya.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 51

Sikap pertalian yang didasarkan pada konsep ashabiyah itu terus akan berkembang, yang selanjutnya akan membentuk dan mengikat nasab secara umum dalam sebuah kata persaudaraan ka-rena nasab darah dan/atau daerah selanjutnya menciptakan soli-daritas kolehtif. Solidaritas ini akan semakin kuat diikat dengan kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air dan bahasa yang sama. Sikap ini akan terus berkembang yang pada saatnya melahirkan sebuah kesatuan yang sangat besar dengan membentuk sebuah negara.

Pengembangan konsep ashabiyah oleh Ibnu Khaldun ini men-jadi sebuah negara tidak hanya sekedar pada perekat nasab, kedaer-ahan, visi, misi dan kesamaan primordial lainnya. Karena berbicara tentang negara berarti berbicara pula tentang konsep kepemimpi-nan, artinya setelah solidaritas itu terbentuk, selanjutnya siapakah yang berhak menjadi pemimpinnya dan alat pengikat apakah yang akan lebih menguatkan solidaritas itu? Karena dalam pandangan Ibnu Khaldun, solidaritas nasab, kedaerahan, bahasa atau yang lainnya adalah solidaritas semu atau solidaritas yang kurang kuat untuk tetap dalam satu kesatuan yang kuat. Maka bagi Ibnu Khal-dun, setelah solidaritas tersebut terlampaui, negara dapat terbentuk melalui perjanjian atau kesepakatan, proses penaklukan dan seba-gainya. Dalam konteks ini, terlihat bahwa konsep ashabiyah yang dibangun Ibnu Khaldun melampaui batas terminologis ashabiyah yang dipahami oleh masyarakat sebelumnya (Sayuti Pulungan, 1997: 227).

Menurut Ibnu Khaldun, hanya negara yang memiliki talian ashabiyah yang kuat akan mampu menciptakan peradaban manu-sia yang tinggi. Akan tetapi, jika rasa ashabiyah pudar dan hanya dipahami secara sempit, maka yang ada hanya nepotisme-absolut yang membuat hancurnya negara (A. Rahman Zainuddin, 1992: 196). Oleh karenanya Ibnu Khaldun mencari pengikat yang lebih kuat dari sekedar solidaritas ashabiyah, kemudian ditemukannya

Hukum Tata Negara52

bahwa agama adalah alat ikat yang sangat kuat dibandingkan den-gan pengikat-pengikat lainnya.

Berkenaan dengan bentuk negara, Ibnu Khaldun tidak men-unjuk bentuk-bentuk negara dengan nama dan terminologis apa-pun sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para filsuf Yunani macam Plato dan Aristoteles. Ibnu Khaldun hanya memberikan rambu-rambu universal tentang bentuk negara yang ideal. Kon-sep khalifah dan imamah yang diajukannya adalah konsep filosofis tentang kepemimpinan. Konsep kepemimpinan itu menuntun bahwa kepala negara disamping sebagai pemimpin yang berfungsi memelihara kesejahteraan kehidupan duniawi seluruh rakyat, ek-sistensinya juga merupakan pemimpin yang seluruh tindakannya merupakan pedoman dan contoh tauladan yang senantiasa men-jadi acuan bagi seluruh rakyatnya (H. Samsul Nizar, 2003: 102).

2. Pandangan Al-Farabi

Orang mengenalnya dengan sebutan nama al-Farabi, meru-juk pada sebuah nama kota kecil bernama Farab pada provinsi Khurasan Turkestan, tepatnya di sebuah dusun bernama Wasij. Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh al-Farabi, ia dilahirkan pada tahun 257 H/870 M (Seyyed Hossein Nasr, 2006: 35). Al-Farabi dianggap se-bagai pemikir besar di bidang filsafat setelah Aristoteles. Bahkan ia dianggap sebagai guru kedua yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan filsafat Islam.

Sebutan sebagai Guru Kedua (al-Muallim al-Tsani) karena be-berapa sebab; pertama karena kemampuannya yang menonjol di bidang logika. Kecerdikannya di bidang logika karena ia berguru pada tokoh-tokoh logika terkenal di zamannya yakni Matta bin Yu-nus dan Yuhanna bin Hailan (Seyyed Hossen Nasr, 2006: 35), hing-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 53

ga konon walalupun masih muda kemampuannya di bidang logika melampaui gurunya, Matta bin Yunus (Majid Fakhry, 1983: 109).

Kedua, karena kemampuannya mengulas pemikiran-pe-mikiran Aristoteles (M. Saud Shaik, 1994: 75), Seyyed Hossein Nasr (2006: 35) menyebutnya sebagai komentator utama sekali-gus pengikut Aristoteles. Diantara karya-karya Aristoteles yang dikomentarinya adalah buku Categories, Hermeneutics, Prior dan Posterior Analytics, Rhetoric dan Poetics, Metaphysics dan lain-lain. Ketiga, karena ia mampu menciptakan sistem filsafat yang lebih lengkap dibanding pendahulunya, al-Kindi. Keempat, karena al-Farabi mampu menyempurnakana teori ilmu musik yang berasal dari Phytagoras dan menciptakan sejumlah teori baru tentang musik.

Al-Farabi juga dikenal sebagai ahli filsafat politik dan sebagai peletak dasar filsafat politik dalam Islam. Hal ini terbukti dengan beberapa besarnya di bidang ilmu politik; Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Tahshil al-Sa’adah dan Kitab al-Siyasat al-Madaniyyah (Seyyed Hossein Nasr, 2006: 37).

Pemikiran al-Farabi tentang negara banyak tertuang secara sistematis dalam karyanya yang berjudul Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Ide-idenya tentang negara banyak bersifat Platonis, ka-rena buku Republika karya Plato banyak mengilhami bukunya tersebut.

Menurut al-Farabi, manusia adalah makhluk sosial yang me-miliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat (bernegara) dengan tujuan disamping memenuhi kebutuhan pokok hidup juga mencapai kebahagiaan material dan spiritual di dunia dan di akhi-rat. Pandangan al-Farabi tentang manusia ini lebih maju dari Plato dan Aristoteles, dengan menambahkan kehidupan spiritual tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Aspek ukhrawi inilah yang

Hukum Tata Negara54

membedakan dengan dua filsuf Yunani itu. Namun begitu, konsep negara yang diinginkan oleh Farabi sama dengan dua fisuf Yunani itu, yakni negara kota. Dalam makna ketiga filsuf itu tidak meng-inginkan negara yang terlalu luas yang berujung pada sulitnya pen-gelolaan negara dan tidak pula terlalu kecil yang justru dapat men-ciptakan ketidaksempurnaan sebuah masyarakat.

Negara dalam konsep al-Farabi terbagi dua; al-Madinah al-Fadhilah dan al-Madinah al-Jahilah. Al-Madinah al-Fadhilah (ne-gara utama) menurut al-Farabi ibarat tubuh manusia yang satu bagian dengan bagian lainnya saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing, dan jantung menjadi pusat dari segala organ yang ada.

Jantung bertugas menyuplai kebutuhan darah keseluruh ang-gota tubuh yang ada. Jantung menjadi ibarat sebagai pemimpin se-buah negara, pelayan rakyat yang menjamin kesejahteraan seluruh warga negara. Warga negara sesuai dengan kapasitas dan kapabili-tasnya menjalankan fungsinya masing-masing, bekerja untuk men-jaga keutuhan negara dan agar keadilan tercipta dalam negara itu. Konsep negara utama al-Farabi ini sangat jelas dipengaruhi oleh pandangan Plato, yang membagi warga negara dalam tiga kelas; kepala negara, militer dan rakyat.

3. Pandangan Al-Mawardi

Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ha-bib al-Mawardi al-Syafi’i. Ia lebih dikenal al-Mawardi, lahir dikota Basrah Iraq 364 H/974 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa keemasan di tangan khilafah Daulah Abbasiyah.

Al-Mawardi belajar hadits dan fiqih pada al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali (pakar hadits dan bahasa) dan Abi al-Qasim Abdul Wahid bin Muhammad al-Shaimari (seorang hakim di Bas-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 55

rah) Kemudian melanjutkan studi ke “kampus” al-Za’farani” Bag-dad. Disinilah al-Mawardi menajamkan hadits dan fiqih pada Abu Hamid Ahmad bin Tohir al-Isfirayani (http://aliranim.blogspot.com/2010/09/).

Al-Mawardi adalah sarjana muslim yang terhormat pada za-mannya dan cukup rajin menghasilkan karya-karya yang cukup ternama pada bidang yang dikuasainya. Kepakarannya tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan dengan berbagai macam ilmu didalamnya, ia juga banyak menulis buku di bidang bahasa dan ke-sastraan dan juga memiliki keunggulan di bidang ilmu sosial-poli-tik. Salah satu karya besarnya di dalam ilmu politik adalah kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyyah. Buku inilah karya awal yang diterbitkan dan dikenal di dunia Islam.

Selain buku itu, al-Mawardi juga menulis beberapa buku ten-tang ilmu politik dan tata kenegaraan yang lain. Dari buku-buku-nya di bidang ilmu politik dan ketatanegaraan, tidak ada satupun dalam buku-buku tersebut yang membicarakan secara eksplisit tentang konsep negara di dalam Islam. Hal ini dapat dimaklumi adanya, karena al-Mawardi hidup di zaman keemasan Kekhilafa-han Daulah Abbasiyah. Baginya keberadaan khilafah pada saat itu satu bukti bahwa konsep negara telah ada dalam praktik politik dan kenegaraan dalam Islam, yang berarti pula konsep tentang negara telah selesai. Artinya bila ada orang yang bertanya tentang konsep negara dalam Islam, lihat saja Khilafah Daulah Abbasiyah yang se-dang berkuasa itu.

Buku-buku al-Mawardi lebih fasih berbicara mengenai or-gan-organ atau lembaga negara, pemerintah dan seluruh jajaran birokrasinya, berisi tuntunan dan nasehat bagaimana menjalankan pemerintahan yang baik yang sesuai dengan ketentuan ilahiyah dan nubuwah.

Hukum Tata Negara56

Namun demikian, dari buku-bukunya tetang ilmu politik tata pemerintahan dapat disimpulkan padangan al-Mawardi pada konsep negara. Sebagaimana Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi Rabi’, al-Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, teta-pi ia memasukkan agama dalam teorinya. Menurutnya kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan terdapatnya keanekaragaman dan per-bedaan bakat, pembawaan, kecendrungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling memban-tu. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan nega-ra. Dengan demikian, adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu al-Mawardi berpen-dapat, bahwa kepala negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengarur dunia dan mengesahkannya (http://poetraboemi.wordpress.com).

C. Praktek Kenegaraan dalam Sejarah Peradaban Islam

Sekali lagi perlu ditegaskan, walaupun ada pro dan kontra terhadap Madinah, apakah dapat dikatakan sebagai sebuah negara atau bukan, penulis lebih berpihak pada para sarjana yang menya-takan Madinah sebagai negara dan diperkuat oleh syarat-syarat se-buah komunitas disebut sebagai negara.

Al-Mawardi, Ibnu Taimiyah, Hasan al-Banna, Abu A’la al-Muadudi adalah sebagian dari ulama (sarjana) Islam yang meya-kini Madinah sebagai negara. Tidak hanya mereka, para orientalis seperti Montgomery Watt, dan H.R. Gibb juga menyatakan bahwa Madinah adalah sebuah negara.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 57

Ditilik dari syarat terbentuknya negara; Madinah memiliki wilayah kedaulatan, Madinah memiliki pempimpin, dalam hal ini Rasulullah sebagai pemimpinnya, Madinah memiliki rakyat, rakyat terdiri dari kaum muslimin Muhajirin dan Anshar, dan suku-suku asli Madinah yang beragama Yahudi dan Nasrani, dan adanya pen-gakuan dari negara lain, hal ini dibuktikan dengan pengiriman dan penerima delegasi oleh Rasulullah, pemberian hibah yang diterima Rasulullah dan lain-lain.

Madinah sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. ber-nama Yastrib, sebuah kota yang multi etnis dan benar-benar tribal dalam kehidupan sehari-harinya. Peperangan antar suku mudah tersulut hanya karena persoalan perselisihan sepele yang terjadi antar anggota suku dan faktor lainnya. Setelah kedatangan Nabi Saw. namanya dirubah menjadi Madinah al-Nabi, dikenal pula dengan sebutan Madinah Munawwarah. Kini kota itu cukup dike-nal dengan sebutan Madinah saja (Badri Yatim, 2010: 25).

Tidak lama setelah kedatangan Nabi Saw., kota Madinah beru-bah menjadi komunitas sosial baru dan komunitas politik dalam bentuk sebuah “negara” dengan pemerintahan yang berdaulat di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Perubahan yang san-gat drastis ini dinyatakan dengan tegas oleh DB. Mc Donald bahwa; “disini, Madinah. Telah terbentuk negara Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar negeri Islam pertama dan telah meletak-kan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam.” Thomas W. Arnald tambah menegaskan bahwa, “dalam waktu yang bersa-maan Nabi sebagai pemimpin agama dan kepala negara.” Fazlur-rahman sebagai sarjana muslim modern mengakui bahwa Madi-nah adalah sebuah negara. (http://al-zakaa.blogspot.com).

Praktik kenegaraan dan ketatanegaraan yang terjadi di Madi-nah berjalan secara sederhana, tapi perlu diketahui bahwa seseder-hananya Madinah pada saat itu, Madinah adalah negara pertama

Hukum Tata Negara58

yang memiliki konstitusi modern tertulis pertama di dunia. Bah-kan dapat dikatakan Negara Madinah telah melampai zamannya.

Praktik pemerintahannya berjalan atas bimbingan wahyu, ijtihad Nabi Saw dan para sahabat utamanya. Bentuk negaranya bukan republik bukan pula monarki. Mirip negara kota, tapi para ahli sejarah dan politik Islam lebih suka menyebutnya Madinah ‘ala Manhaj Nubuwwah.

Setelah Rasulullah Saw. wafat, tampuk pimpinan negara Ma-dinah dipikul oleh sahabat terdekat Nabi sekaligus mertuanya. Perpindahan kepemimpinan dari Nabi Muhammad Saw. kepada Abu Bakar al-Shiddiq berdasarkan ijtihad dari para sahabat Nabi yang berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah dengan hanya perpato-kan pada asumsi-asumsi hubungan antara Nabi Saw dan Abu Bakar yang sangat dekat dan orang pertama yang masuk Islam. Karena seperti diketahui, sampai pada masa wafatnya, Nabi Muhammad saw. tidak meninggalkan sekaligus menetapkan aturan yang rinci mengenai pemerintahan Islam, termasuk dalam hal suksesi kepem-impinan negara. Tidak adanya tuntunan yang rinci mengenai hal ini, menggiring para pemikir Islam bahwa masalah suksesi kepem-inpinan adalah bagian dari amru al-ummah yang masuk dalam kategori amru al-dunya. Rujukannya kembali pada hadits “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu urusan dunia ka-lian). Kepimpinan pasca Rasulullah disebut khalifah al-rasul (pem-impin pengganti rasul).

Terpilihnya Abu Bakar telah memenuhi tata cara perundin-gan yang dikenal dunia modern saat ini. Kaum Anshar menekan-kan pada persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad Ibn Ubadah. Kaum Muhajirin menekankan pada persyaratan kes-etiaan, mereka mengajukan Abu Ubaidah Ibn Jarrah. Sementara itu Ahlul bait menginginkan agar Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu dan

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 59

karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah (http://njedotpgo.blogspot.com/2012/06/).

Kekuasaan yang dijalankan oleh Abu Bakar bersifat sentral, mirip seperti apa yang dipraktikan oleh Rasulullah, kekuasaan yudikatif, legislatif dan eksekutif berada di tangan satu pemimpin. Masa kepemimpinan Abu Bakar hanya berlangsung selama 2 (dua) tahun.

Setelah Abu Bakar wafat, Umar bin Khattab diangkat seba-gai khalifah penggantinya. Proses terpilihnya Umar bin Khattab berbeda dengan terpilihnya Abu Bakar. Umar bin Khattab dipilih dengan cara ditunjuk oleh Abu Bakar pada saat beliau terbaring sakit, mendekati akhir hayatnya. Memang Abu Bakar sempat ter-lebih dahulu meminta pendapat dan persetujuan dari para sahabat yang menengoknya, sebagai penguat untuk menjatuhkan pilihan. Intinya Umar bin Khattab dipilih menjadi khalifah dengan cara di-tunjuk oleh pemimpin sebelumnya.

Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Al-Khaththab, wilayah Islam sudah meliputi jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan begitu cepat, Umar Ibn Al-Khaththab segera mengatur ad-ministrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan.Kekuasaan negara Madinahn diatur menjadi delapan wialayah pro-pinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga jawa-

Hukum Tata Negara60

tan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-Khaththab juga mendirikan Bait al-Mall. Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkem-bang dimayarakat Umar selalu berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya (Asghar Ali Engineer, 2000: 77).

Setelah Umar bin Khattab wafat, tampuk pimpinan beralih ke sahabat Utsman bin Affan. Perpindahan tampuk pimpinan ini ber-beda pula dengan 2 (dua) khalifah sebelumnya. Utsaman terpilih melalaui musyawarah mufakat dalam lembaga yang dinamakan ahl al-halli wa al-aqdi, semisal lembaga legislatif pada masa modern dengan jumlah yang sangat terbatas, 6 (enam) orang sahabat utama Nabi Saw.

Kebijakan menjalankan roda pemerinatahan Utsman tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Utsman hanya menambahkan beberapa lembaga negara baru, seperti dalam bidang keimigrasian. Lembaga ini layak ada karena wilayah kedaulatan negara Madinah semakin luas sampai ke Cyprus, Azerbaizan, Armenia dan Kurd-istan.

Pada awal pemerintahannya tidak banyak mendapat ancaman dan gangguan, namun setelah 6 (enam) tahun masa kepemerinta-hannya muncul protes dan ketidakpuasan dari masyarakat. Ada-pun sumber ketidakpuasan rakyat adalah pada soal politik, pen-dayagunaan kekayaan negara dan kebijakan keimigrasian.

Bidang politik menjadi biang kekusutan dalam perjalanan pemerintah Utsman bin Affan, yakni nepotisme pengangkatan pejabat negara yang lebih banyak mengedepankan sanak kera-batnya. Hingga memunculkan sikap deligitimasi pada sebagian rakyat (yang telah terpropokasi oleh makar Abdullah bin Saba’ yang ujungnya adalah terbunuh Utsman oleh tangan-tangan pem-berontak.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 61

Setelah Utsman wafat, tampuk pimpinan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah melalui bai’at langsung dari kaum muslimin (pemilihan langsung dalam pemilu modern). Masa pemerintahan pada saat Ali mem-impin adalah masa yang sangat sulit, penuh fitnah, banyak anca-man dan gangguan. Umat Islam sudah mulai terkotak-kotak kem-bali baik adalam ashabiah kesukuan (hubungan darah), ideologi politik bahkan paham keagamaan sampai pada kelompok yang mengaku sebagai pendukung sejatinya.

Perjalanan roda pemerintahan Ali tidak semulus masa kepemimpinan 3 (tiga) khalifah sebelumnya. Diakhir masa pemer-intahannya umat Islam terbagi dalam tiga kekuatan politik dan kekuatan bersenjata; yakni Muawiyah, Syi’ah dan Khawarij. Akh-irnya Ali bin Abi Thalib terbunuh oleh salah seorang Khawarij ber-nama Abdullah bin Muljam.

Pasca wafatnya Ali bin Abi Thalib, jabatan khalifah dipegang oleh Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Jabatan itu hanya dipegangnya dalam waktu beberapa bulan. Karena Hasan menginginkan per-damaian dan menghindari pertumpahan darah, kekuasaan itu dis-erahkan kepada Muawiyah bin Abi Sofyan.

Penyerahan itu juga menyebabkan Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘am jama’ah). Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam (http://njedotpgo.blogspot.com).

Hukum Tata Negara62

Berawal dari peristiwa ini, kemudian sistem pemerintahan dalam sejarah politik Islam berubah menjadi seperti monarki, na-mun dengan penggunaan istilah yang berbeda; kesultanan, keemir-an bahkan adapula yang tetap menggunakan istilah khilafah. Dan pernah pada satu pemerintahan sebuah dinasti pemimpin negara dan pemerintahnya adalah seorang sulthanah (ratu).

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 63

BAB III

KONSEP NEGARA PERSPEKTIF POLITISI INDONESIA DAN PRAKTEK

KETATANEGARAAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

A. Konsep Negara dalam Persepektif Politisi Indonesia

Indonesia pertama kali kedatangan penjajah dari benua Eropa pada abad 16 M, Bangsa Portugis saat itu yang menjejakan kak-inya di bumi pertiwi. Kemudian disusul oleh sebuah kongsi dagang yang bernama VOC. Awalnya VOC hanya menjalankan perdagan-gan biasa, setelah mendapatkan kekuasaan yang besar dari pemer-intah Belanda dan dipersenjatai, mulailah cengkraman penjajahan itu dimulai.

VOC menjadi kongsi dagang sekaligus sebagai penjajah, menguasai seluruh hasil bumi dan hasil alam penduduk pribumi. Kerja paksa “rodi” diterapkan demi memenuhi nafsu jajahannya. Kejayaan VOC memudar karena berbagai kasus korupsi yang men-impa kongsi dagang tersebut, kemudian pemerintah Kerajaan Be-landa menggantikannya. Keberadaan penjajah Belanda secara fisik baru benar-benar hilang pada tahun 1949, setelah melancarkan agresi militer II yang bermaksud memperpanjang masa jajahannya. Hitung punya hitung, ternyata Indonesia dijajah Belanda selam 350 tahun, 3,5 abad, sebuah masa jajahan yang sangat panjang. Kemu-

Hukum Tata Negara64

dian datang Jepang, ganti menjajah Indonesia dalam rentang 3,5 tahun.

Sesungguhnya sejak cengkaraman penjajah mulai dirasakan oleh penduduk pribumi Indonesia, telah ada perlawanan-perlawa-nan yang dilakukan. Namun perlawanan itu hanya bersifat kedaer-ahan dan sporadis, tidak ada bantu-membantu antar daerah, kec-uali bantuan antar kerajaan di nusantara yang memiliki hubungan bilateral ataupun hubungan nasab para pemimpinnya.

Perlawanan baru bersifat nasional, ketika putra-putra terbaik pribumi telah mengenyam pendidikan formal dan dapat men-gakses dunia internasional. Mulai saat itu pulalah muncul intele-ktual-intelaktual Indonesia yang memikirkan perjuangan melawan penjajah secara nasional, terorganisir, sistematis dan dengan tujuan yang pasti, Indonesia merdeka.

Dari sinilah muncul tokoh-tokoh perjuangan yang memiliki gagasan-gagasan dan ide-ide cemerlang tentang negara dan pemer-intahan Indonesia ke depan. Diantara para tokoh itu adalah Tan Malaka, Soekarno dan Kartosuwiryo. Tiga tokoh ini dapat dikata-kan mewakili dari tiap-tiap aliran politik yang dianut, dan tentu saja memiliki pandangan dan konsep yang berbeda tentang nega-ra (Indonesia). Tan Malaka mewakili golongan sosialis-komunis, Soekarno mewakili golongan nasional-sekuler dan Kartosuwiryo mewakili golongan nasionalis-religius (Islamis).

1. Konsep negara menurut Tan Malaka

Tan Malaka dilahirkan dengan nama Sutan Ibrahim pada ta-hun 1987 di Nagari Padan Gadang, Suliki, Luhak Lima Puluh Kuto, Sumatera Barat. Ia adalah orang Minangkabau asli, sebuah suku di pulau Sumatera yang kental dengan tradisi dan adat yang ber-nuansa dengan semboyan adat minang “adat basandi syara’, syara’

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 65

basandi kitabullah”, namun berpola matriakhat dalam sistem keke-luargaan, menempatkan kaum perempuan sebagai calon penerus generasi. Keluarga Minang yang tidak memiliki anak perempuan serasa ditimpa kemalangan, karena anak perempuan itulah yang akan mewarisi rumah, sawah ladang, ternak dan ragam harta pu-saka keluarga. Karena sistem ini juga kaum lelaki Minang gemar merantau. Kondisi ini dilukiskan oleh Tan Malaka dalam autobio-grafinya;

“Ibu Minangkabau biasanya merasa ditimpa kemalangan, ka-lau tidak mempunyai anak perempuan. Di Minangkabau, adat asli yang mewarisi rumah, sawah, ladang, ternak dan harta pusaka lainnya adalah anak perempuan. Sunyilah rumah di Minangkabau, kalu tak ada anak gadis, calon ratu di rumah, pekarangan serta sawah ladangnya. Kesedihan ibu yang ter-pendam dalam sanubarinya ialah tak mempunyai anak per-empuan itu. Kami berdua anak laki-laki tak memenuhi pera-turan “matriarchaat” (Tan Malaka, 2000: 54).

Tan Malaka tumbuh dan berkembang layaknya anak Minang, hidup dalam suasana keislaman yang kental. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan memiliki kemampuan ilmu agama yang ung-gul sehingga di waktu mudanya ia pernah dijadikan guru muda.

Pendidikan formal awalnya dikenyam di kampungnya sendi-ri, kemudian melanjutkan ke sekolah guru yang diperuntukan bagi pribumi. Pada masa di sekolah guru ini kecerdasannya san-gat menonjol sehingga menarik minat salah seorang gurunya dari Belanda dan menawarkannya untuk sekolah di negeri Belanda. Tepatnya pada awal tahun 1914, Tan Malaka tercatat sebagai murid di sekolah Kweekschool Haarlem. Di mulai dari sinilah Tan Malaka mengenal tokoh-tokoh pemikir dunia dan bersinggungan dengan tokoh-tokoh pergerakan dunia. Pemikiran Nietzche adalah salah satu yang dikagumi, disamping Stalin, Karl Marx dan lainnya.

Hukum Tata Negara66

Dalam sejarah perjuangan Indonesia merdeka, sesungguhnya Tan Malaka adalah salah satu tokoh penting dalam pergerakan, perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Namun karena pe-mikirannya dan pergerakan politiknya yang banyak bersinggungan dengan tokoh-tokoh komunis di Indonesia dan dunia internasion-al, bahkan pernah menjabat ketua partai komunis di Indonesia dan Asia, Tan Malaka disebut sebagai orang komunis (PKI). Menurut Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze, bahwa Tan Malaka mati ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetap-kan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Na-sional (www.tanmalaka.estranky.cz).

Pada masa hidupnya, Tan Malaka banyak menuangkan buah pemikirannya dalam buku. Dari buku-bukunya itu dapat ditemu-kan bagaimana konsep negara (Indonesia) yang menjadi cita-cit-anya. Cita-cita besarnya agar terbentuk negara merdeka bernama Indonesia merdeka telah sejak lama ia tulis dalam karya yang terbit pertama kali di Canton, China (Tiongkok) pada tahun 1925 dengan judul Naar De Republik (terj. Menuju Republik Indonesia). Kata Republik Indonesia sudah ia gaungkan ke dunia sebelum pledoi Soekarno “Indonesia Menggugat” pada tahun 1932 ataupun tulisan Hatta dengan judul “Kearah Indonesia Merdeka” yang ditulisnya pada tahun 1930 (Rajiv Dharma dan Ali Yusri, 2013: 19).

Buku Naar De Republik diterbitkan untuk kedua kalinya di Philipina, dalam buku itu konsep tentang Indonesia merdeka den-gan bentuk negara republik telah ia susun sedemikian rupa, mu-lai dari bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan militer. Program-program itu sesungguhnya diperuntukan bagi PKI yang

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 67

dianggapnya sebagai partai yang mampu menjadi motor penggerak revolusioner cita-cita kemerdekaan Indonesia (Rajiv Dharma dan Ali Yusri, 2013: 19).

Keyakinannya terhadap PKI yang semacam itu sangat wa-jar, karena ia adalah bagian dari PKI, thingker dan conseptor ko-munisme di Indonesia serta pengalaman internasionalnya yang banyak berhubungan dengan orang-orang komunis, terutama dari Uni Sovyet (Rusia) dan China (Tiongkok).

Sebab pemikirannya banyak terpengaruh pemikiran dan ger-akan Karl Marx, konsep negara Tan Malaka tidak jauh berangkat dari atau penjelamaan dari konsep pertentangan kelas. Pertentan-gan kelas karena dipicu oleh perbedaan kepemilikan alat produksi yang mengakibatkan munculnya ketidakadilan (Siti Nuraini, 2014). Kasus yang terjadi di Indonesia berbeda dengan kasus yang ditemui Tan Malaka di luar negeri. Di luar negeri terjadi pada masyarakat industri, sedangkan di Indonesia adalah masyarakat agraris.

Tan Malaka menolak tegas tentang teori pembagian kekua-saan dalam membangun negara. Menurutnya negara tidak boleh dibangun di atas kekuasaan yang terpisah-pisah. Negara dibangun dengan bentuk organisasi yang membedakan dengan negara birok-ratis adalah pada kekuasaan, jumlah biro, pembengkakan birokrasi dan keterwakilan rakyat. Pembentukan negara organisasi dilaku-kan setelah revolusi menumbangkan kaum borjuis dan didirikan diktaktur proletariat (Siti Nuraini, 2008).

2. Konsep negara menurut Soekarno

Soekarno dikenal sebagai salah satu founding father negara In-donesia, mendapat julukan dwi tunggal proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Muhammad Hatta. Menjadi pahlawan nasional dan selalu dikenang setiap kali perayaan hari kemerdekaan negara Republik Indonesia.

Hukum Tata Negara68

Soekarno adalah putra dari pasangan Sukemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Ia dilahirkan di kota Surabaya pada tang-gal 6 Juni 1901. Ayah Soekarno, Raden Sekemi Sostrodihardjo ter-masuk golongan bangsawan rendahan Jawa. Gelar “Raden” inilah yang membantu bisa masuk sekolah pendidikan guru (Kweek-school) yang dibuka pada sekitar tahun 1870 di Probolinggo, Jawa Timur (Bernard Dahm, 1987: 27).

Nama kecil Soekarno adalah Koesno Sosrodihadjo, tetapi ka-rena saat kecil sering sakit-sakitan pada tahun kelima dari umurn-ya namanya diganti oleh ayah menjadi Soekarno. Perubahan nama seperti ini satu hal yang lumrah dalam adat Jawa, perubahan itu biasa karena sebab sakit atau sebab yang lain yang dalam pandan-gan tradisonal orang Jawa bahwa nama sebelumnya terlalu berat di sandang oleh sang anak.

Pendidikan formanya dimulai di kota Tulung Agung, disana ia tinggal bersama kakeknya. Bersama kakeknya, Soekarno dididik untuk selalu bersikap jujur dan adil, juga membiarkannya menu-ruti kehendak hatinya sendiri, seperti diperbolehkannya ia nonton pertunjukan wayang yang mulai berlangsung senja sampai dini hari. Bahkan sebelum pergerakan nasionalis dimulai, Soekarno kecil duduk malam demi malam di muka layar, hasrat akan ke-merdekaan dihidupkan terus oleh dalang (Bernard Dahm, 1987: 29).

Soekarno tinggal bersama kakeknya hanya sampai kelas em-pat, kemudian ia dipindahkan oleh ayahnya sekolah di Mojokerto. Setelah lulus, atas bantuan HOS. Cokroaminota, ayahnya memasu-kan Soekarno ke HBS dan lulus pada tahun 1921. Pada saat sekolah di HBS ini, banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan tentu saja ada transfer keilmuan dan semangat perjuangan yang terus ditanam dan digelorakan oleh para tokoh-tokoh tersebut.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 69

Setelah lulus HBS, sebenarnya Soekarno sebenarnya berke-inginan melanjutkan sekolah di Belanda, tapi ibunya tidak mem-berikan izin. Ibunya ingin agar Soekarno melanjutkan sekolah di dalam negeri saja. Akhirnya Soekarno memilih melanjutkan se-kolah di Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hogeschool) di Band-ung (O.P. Simorangkir, 2002: 5), cikal bakal Institut Teknologi Bandung.

Bila melihat perjalanan sekolah Soekarno, kiranya ia mulai mengenal secara baik pergerakan dan pergerakan rakyat untuk merdeka dari penjajah pada saat sekolah di HBS Surabaya, karena disinilah ia bertemu dengan tokoh-tokoh perjuangan, terutama HOS. Cokroaminoto dan para tokoh Sarekat Islam dan di rumahn-ya ia tinggal.

Berkenaan dengan konsep negara menurut Soekarno, kiranya tidak jauh berbeda dengan konsep yang dimiliki oleh Tan Malaka. Keduanya terpengaruh banyak oleh pemikiran Karl Marx, terutama tentang pertentangan kelas. Konsep marhaenisme yang diajukan dan diajarkan oleh Soekarno menjadi bukti yang tidak terbantah-kan. Karena inti dari ajaran marhaen adalah membebaskan kaum proletar dari penjajahan kaum kapitalis borjuis dan mengadakan perlawan non-kompromis terhadap penjajah dengan basis perla-wanannya adalah kaum miskin atau yang dimiskinkan oleh sistem.

Secara rincin apa yang disebut sebagai elemen atau pilar adari marhaen terdiri dari tiga golongan, yaitu:

a. Kaum proletar atau biasa disebut kaum buruh, yaitu orang yang tidak memiliki alat produksi atau alat lainnya untuk be-kerja. Mereka hanya menjual tenaganya untuk mendapatkan upah.

Hukum Tata Negara70

b. Kaum tani melarat, mereka adalah petani-petani Indonesia yang mempunyai sedikit tanah, memiliki alat produksi dan bekerja pada tanahnya sendiri, namun hasil dari pertanian tersebut tidak dapat mencukupi keperluannya. Posisi kaum tani melarat ini adalah semi proletar.

c. Kaum melarat yang lain, mereka adalah orang-orang yang tidak menjadi buruh dan tidak pula memiliki tanah untuk dikerjakan. Mereka adalah para nelayan, pedagang dan seba-gainya (Asmara Hadi, 1958: 10-11).

3. Konsep negara menurut Kartosuwiryo

Kartosuwiryo merupakan salah satu teman Soekarno ketika sekolah di Surabaya dan indekost di rumah milik Cokroaminoto, teman lainnya yang tinggal bersama di rumah itu adalah Alimin, Semaun dan Musso. Karena mereka tinggal bersama dalam satu rumah dengan tokoh utama Sarekat Islam yang kharismatik itu, sudah barang tentu mereka pernah berbincang bersama, menda-patkan pencerahan tentang perjuangan dan pergerakan rakyat, ilmu keislaman dalam lain sebagainya, termasuk bertemu dengan tokoh-tokoh perjuangan yang lebih senior dari mereka selain Tjok-roaminota, semisal Agus Salim, Budi Utomo, Ahmad Dahlan dan lain sebagainya. Walaupun pada akhirnya, jalan yang mereka tem-puh dalam akhir perjuangannnya berbeda-beda. Bahkan Kartosu-wiryo mati dihadapan regu tembak karena perintah teman akrabn-ya selama di Surabaya, Soekarno.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Kartosuwiryo adalah salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, walaupun pada akhirn-ya ia harus mati sebagai pendiri Darul Islam dan pemimpin Tenta-ra Islam Indonesia (DI/TII), dan pergerakannya dianggap sebagai rongrongan (pemberontak) dari kesatuan dan persatuan Negara Republik Indonesia.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 71

Marijan, begitulah orang memanggilnya pada masa kecilnya. Anak dari seorang priyayi Jawa yang bekerja sebagai pegawai Gubernemen Hindia Belanda dengan jabatan Mantri Candu di Rembang, Jawa Tengah. Setelah dewasa nama Marijan bertam-bah menjadi Sekarmadji Marijan Kartosoewiro. Tambahan nama Sekarmadji tidak jelas asal-usulnya sedangkan Kartosoewiryo adalah nama ayah kandungnya. Pada masa dewasa bahkan sete-lah meninggalnya, nama Kartosoewiryo lebih tenar daripada nama kecilnya. S.M. Kartosoewiryo lahir pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah daerah digaris perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo lahir sesudah datangnya masa redup bagi kejayaan feodal suku-suku bangsa kita serta sesu-dah berangsur pudarnya heroisme Islam bersenjata melawan pen-jajahan Belanda. Tetapi bersamaan dengan itu tumbuh dan tersu-sunlah rasa persatuan kebangsaan Indonesia yang berjalin dengan kesumat anti-penjajahan, dan yang kemudian berkembang men-jadi bersifat nasional.

Proses bangkit dan berangsur tersusunnya rasa persatuan ke-bangsaan tersebut didasarkan atas semangat anti-penjajahan yang dahulu selalu berwatak bersenjata. Meninggalkan watak lamanya kemudian menemukan bentuknya yang baru, yaitu dengan melalui organisasi-organisasi modern, lahirlah antara lain serikat-serikat buruh – seperti Sarikat Buruh Pegadaian, Sarikat Buruh Gula, Sari-kat Buruh Kereta Api dan lain-lain. Dan selanjutnya segera pula menemukan ungkapan ideologinya, yaitu dengan lahirnya Budi Utomo (1908), Sarikat Dagang Islam (1905) dan Sarikat Islam (1911), Indische Partij (1912) dan lain-lain.

Periode awal mula kebangkitan nasional ini tidak hanya terdi-ri dari lahirnya organisasi-organisasi buruh, intelektual, golongan menengah dan massa Islam. Periode ini diasuh dan digembleng

Hukum Tata Negara72

pula sesungguhnya oleh massa antara Tanam Paksa sampai den-gan kebangkitan nasional. Setiap tahun dalam masa itu selalu saja terjadi pemberontakan dan perlawanan bersenjata dari rakyat tani. Ketika itu Islam masih merupakan apinya ideologi anti-penjajahan (Hersri S dan Joebaar Ajoeb, 2014).

Sebab Kartosuwiryo adalah anak seorang priyayi Jawa dan pegawai Hindia Belanda, mengantarkannya mudah untuk menge-nyam pendidikan pada masa politik etis itu. Pada tahun 1911, ke-tika Sarikat Islam didirikan, Marijan baru saja masuk Sekolah An-gka Dua (Tweede Inlandsche School) di desa Pagotan Rembang. Sesudah empat tahun duduk di bangku sekolah ini, ia berhasil dipindahkan ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Di sana ia berkesempatan belajar bahasa Belanda (1915). Sesudah empat ta-hun belajar di HIS, pada tahun 1919, diterima sebagai murid pada Europeesche Lagere School (ELS), sekolah rendah bagi anak-anak Eropa di Bojonegoro dan elit bagi kaum pribumi. Keberhasilannya belajar di sekolah yang dikhususkan bagi bangsa Eropa itu, tidak lain adalah karena kecerdasannya yang menonjol.

Pada tahun 1923, Kartosuwiryo melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), sebuah sekolah ke-dokteran Belanda untuk kaum pribumi. Pada saat kuliah inilah, semangat pergerakan nasionalnya dan keislamannya tumbuh den-gan pesat. Keaktifannya di dunia pergerakan sekaligus keaktifan-nya dalam mempelajari Islam, menjadikannya tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan di bangku kuliahnya dan pada akhirnya, pada tahun 1927 – tahun meletusnya pemberontakan komunis di Jawa dan Sumatera Barat, dan ketika ia sudah duduk pada tahun keempat di Sekolah Dokter Jawa Marijan diusir dari Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) dengan tuduhan ko-munis, karena padanya ditemukan buku-buku tentang sosialisme dan komunisme.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 73

Selama kuliah di NIAS, Kartosuwiryo indekost di rumah Cok-roaminoto, selama itu pula ia belajar banyak adari Cokroaminoto tentang pergerakan nasional dan keislaman, sampai pada akhirnya ia menjadi sekretaris pribadi Cokroaminoto. Pada masa perulatan-nya bersama Sarekat Islam, Kartosuwiryo menjadi Islamic Minded. Artinya segala gerak perjuangan dalam pergerakan nasional untuk kemerdekaan Indonesia harus berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, baik dalam bidang politik maupun dalam aksi non-kooper-atif (perang) dengan penjajah.

Di bidang gerakan politik, Kartosuwiryo selalu melibatkan diri pada partai-partai berbasis massa Islam, mulai Sarekat Islam (SI), Partai Sarekat Islam Indonesia dan Masyumi. Dalam bidang militer, ia mendirikan “institut Suffah” yang melahirkan tentara Hizbullah, kemudain ia terlibat pula dalam pembentukan tentara sabilillah di bawah naungan partai Masyumi.

Ilmu politiknya tentang konsep negara, jelas sangat berwarna Islam. Tidak sekedar konsep yang tidak dapat membumi, Konsep negara Islam yang ada pada diri Kartosuwiryo, ia tuangkan dengan memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949. Berawal dari proklamasi NII oleh Kartosuwiryo inilah, ia di-cap sebagai pemberontak oleh regim Soekarno (Orde Lama).

Sampai tumbangnya Orde Baru, suara yang nyaring terdengar dan tulisan dalam buku-buku sejarah di dunia pendidikan Indo-nesia, Kartosuwiryo adalah seorang pemberontak, pemimpin ger-ombolan DI/TII dan sebutan ekstrimis lainnya. Kini mulai mulai muncul suara lain, yang mengupas pandangan tentang Kartosu-wiryo secara lebih fair dan bahkan melambungkan namanya seba-gai pejuang Islam Indonesia, mujahid, ulama besar Asia Tenggara dan lainnya. Salah satu buku yang dapat dijadikan pembanding untuk kepentingan ini adalah “Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosuwiryo” karya Irfan S. Awwas.

Hukum Tata Negara74

B. Praktek Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia

1. Falsafah Pancasila dalam bernegara

Setiap negara dijalankan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu sebagai perwujudan dari keinginan rakyat terhadap negara. Maka setiap gerak negara dalam berbagai aspeknya wajib berkesesuaian dengan falsafah negara itu. Dan yang menjadi falsafah Negara Ke-satuan Republik Indonesia adalah Pancasila (philosofische grond-slag). Di dalam Pancasila itu tertuang filosofi kehidupan bernegara, termasuk didalamnya tentang ketatanegaraan.

Lima falsafah dalam bernegara yang terkandung dalam Pan-casila adalah;

a. Azas Ketuhanan Yang Maha Esa

Azas ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan. Kemerdekaan negara diraih berkat rahmat Tu-han dan jerih payah perjuangan, pengorbanan seluruh rakyat Indonesia. Seluruh warga negaranya harus memiliki iden-titas agama. Perihal ini semakin menguat setelah kegagalan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang atheis, tidak beragama. Nilai-nilai agama tidak boleh pudar dalam bernegara, negara tetap menjamin kebebasan untuk meme-luk agama yang diyakini oleh setiap warga negara, dan negara memfasilitasi berbagai kepentingan kehidupan beragama yang damai dan penuh toleransi.

b. Azas Perikemanusiaan

Hak-hak kemanusiaan dijunjung tinggi, tidak boleh ada diskriminasi ras, suku, adat, budaya, dan agama, tidak boleh ada perbudakan manusia atas manusia. Lembaga-lembaga ne-gara yang bertujuan untuk menjamin perikemanusian yang

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 75

beradab didirikan, untuk menjaga keseimbangan kehidupan sosial warga negaranya.

c. Azas Kebangsaan

Azas kebangsaan menunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat, bebas menen-tukan arah dan masa depannyanya sendiri, bebas mengatur dirinya sendiri dan bebas untuk berbuat sesuai dengan azas kemanusiaan berhubungan dengan bangsa-bangsa yang lain-nya, bebas berkerjasama dan saling tolong menolong dengan bangsa lainnya demi kemajuan dan kesejahteraan warga ne-garanya.

d. Azas Permusyawaratan

Azas ini membimbing semua warga negara untuk sen-ang bermusyawarah dalam menentukan nasib khalayak dan demi kepentingan umum warga negara. Menjalankan negara untuk kepentingan rakyat harus dilalui dengan mekanisme permusyawaratan, permusyawaratan yang mekanismenya diakui bersama. Negara tidak boleh semena-mena meng-gunakan kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki negara adalah pemberian rakyat, rakyat yang berdaulat atau negara. Maka bila mana ada pihak-pihak yang tidak amanah menjalankan negara, rakyat akan mencabut mandatnya dengan kekuasaan-nya sendiri.

e. Azas Keadilan Sosial

Dalam menjalankan negara, pemeerintah dan seluruh warga negara harus memperhatikan keadilan sosial yang merata. Ketimpangan dalam berbagai hal harus dipersempit. Akses pendidikan, kesehatan dan hal-hal lainnya yang men-guasai hajat hidup warga negara harus dikelola oleh negara

Hukum Tata Negara76

untuk kesejahteraan dan kepentingan bersama warga negara. Problem-problem sosial kemasyarakatan diperhatikan dan diselesaikan. Kesejahteraan merata, peberdayaan segala sum-ber daya alam dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan sosial rakyat Indonesia, bangsa Indonesia maju bersama, se-jahtera bersama dan hidup damai bersama.

Dalam hal praktek ketatanegaraan, yang menjadi acuan ada-lah konstitusi UUD 1945. Dalam konstitusi inilah berbagai aturan dan acuan fundamen tentang penyelenggaraan negara, sistem keta-tanegaraan, bentuk negara dan pemerintahan, lembaga-lembaga negara, kepepimpinan negara dan tata hukum negara. Namun menurut Kusnadi dan Ibrahim (1978: 49); yang terpenting dalam pemerintahan dan hidupnya negara adalah semangat penyelengga-ra negara atau pemimpin pemerintahan. Meskipun dibuat Undang-Undang Dasar dengan sedemikian rupa, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan bersifat pero-rangan tentu UUD itu tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya jika UUD itu tidak sempurna akan tetapi semangat penyelenggara pemerintahan baik, UUD itu tentu tidak akan menghalangi jalan-nya negara.

2. Bentuk negara Indonesia

Secara garis besar bentuk negara di dunia terbagi dalam dua klasifikasi; republik dan monarki (kerajaan), dari jenis negara juga terbagi menjadi dua; federasi dan kesatuan. Negara Indonesia, menurut UUD 1945 pasal 1 ayat 1 adalah negara kesatuan berben-tuk republik. Pada masa pergolakan politik pasca kemerdekaan (1950), Indonesia pernah menjadi negara federasi (serikat) dengan sebutan negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Perbedaan yang mencolok antara bentuk negara republik dan monarki ada pada kepala negara, sebagai simbol utama negara.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 77

Kepala negera dalam negara berbentuk republik dipilih secara berkala dalam sistem pemilihan yang telah ditentukan dalam kon-stitusi negara dan peraturan perundangan dibawahnya. Sedangkan kepala negara dalam negara monarki turun temurun dalam garis keturunan penguasa sebelumnya.

Adapun perbedaan antara negara federasi (serikat) dengan negara kesatuan sebagai berikut;

a. Pada Negara federasi (serikat), negara-negara bagian mem-punyai wewenang untuk membuat undang-undang dasarnya sendiri (pouvoir constituant) dan menentukan bentuk organ-isasinya masing-masing dalam batas-batas tidak bertentangan dengan konstitusi negara federasi seluruhnya. Dalam negara kesatuan, bagian-bagian negara yang disebut propinsi tidak memiliki kewenangan membuat undang undang dasar sendi-ri dan tata kelola organisasinya, biasanya seragam dengan tata kelola di pemerintah pusat.

b. Dalam negara federal wewenang pembuat undang-undang pemerintah pusat federal ditentukan secara terperinci. Sedan-gkan wewenang lainnya ada pada negara-negara bagian (re-sidu of power). Sebaliknya dalam negara kesatuan wewenang secara terperinci ada pada pemerintah propinsi, sisanya ada pada pemerintah pusat (Kusnadi dan Ibrahim, 1978: 84).

Perbedaan tersebut berlaku secara umum pada banyak ne-gara, namun pada negara-negara tertentu sangat mungkin berlaku sebaliknya, contohnya Canada dan Indonesia.

3. Sistem Pemerintahan Indonesia

Secara mudah yang dimaksud dengan sitem pemerintahan adalah cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan negara, yang

Hukum Tata Negara78

berisi berbagai aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ atau alat kelengkapan negara dengan tugas dan fungsi (tupoksi) yang telah ditentukan dalam konstitusi negara.

Ada tiga corak sistem pemerintahan di dunia yang sekarang ini berlaku;

a. Sistem parlementer. Pada sistem ini, parlemen (lembaga leg-islatif) lebih berkuasa dibandingkan penyelenggara pemerin-tahan negara (eksekutif). Pada sistem ini pergantian eksekutif dapat sering terjadi, bila parlemen mengangap pemerintah (eksekutif) dianggap tidak mampu menjalankan roda pemer-intahan. Melalu mosi tidak percayanya parlemen dapat mem-bubarkan eksekutif, biasanya perdana menteri dan menteri-menteri dalam pimpinannya. Contohnya Inggris, Jepang, Thailand, Malaysia dan lain-lain. Pada sebagian negara adap-ula kepala negara (simbol negara) membubarkan ekskutif, biasanya pada situasi pergolakan politik pertentangan antara parlemen dan perdana menteri yang tidak berkesudahan.

Indonesia, pada masa sistem parlementer (1950) atau pada saat berbentuk negara serikat dimana konstalasi politik yang belum stabil, pernah mengalami pergantian yang cukup cepat pada penyandang kekuasaan eksekutif.

b. Sistem presidensiil. Pada sistem ini kedudukan eksekutif dan legislatif sama, sebagai kekuatan kekuasaan yang saling men-goreksi (checks and balances). Eksekutif tidak dapat mem-bubarkan legislatif dan legislatif tidak dapat menjatuhkan ek-sekutif. Contoh dari sistem ini adalah Amerika Serikat, Brazil dan Indonesia.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 79

Namun dalam sejarah, Indonesia pernah terjadi pembubaran parlemen (konstituante) oleh presiden, yakni melalui dekrit presiden Soekarno pada tanggal 5 juli 1959. Dekrit ini ter-paksa dikeluarkan oleh Soekarno dengan alasan sebagai beri-kut;

1. Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.

2. Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.

3. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.

4. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus men-uju gerakan sparatisme.

5. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional

6. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk.

7. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.

Dekrit ini berhasil dilaksanakan karena presiden mendapat-kan dukungan politik dan rakyat dan pada saat itu kedudu-kan presiden lebih kuat dibandingkan parlemen. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah keluar dekrit.

Hukum Tata Negara80

Namun dekrit ini gagal, karena presiden tidak mendapatkan dukungan politik dan dukungan rakyat penuh, disamping itu karena sistem yang telah berubah, dimana eksekutif dan leg-islatif adalah sederajat kedudukannya dan tidak dapat saling menjatuhkan secara konstitusi.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 81

BAB IV

PERDEBATAN ISLAM; AGAMA DAN NEGARA

Pada era Yunani kuno manusia disebut sebagai binatang so-sial, begitulah para filosof mengatakannya. Manusia hanya bisa bertahan hidup jika menjadi anggota masyarakat, tak seorangpun kecuali Tuhan yang mampu hidup sendiri. Manusia diciptakan un-tuk hidup berdampingan. Dari para filosof itu, tak ada yang men-yatakan tentang kebutuhan hidup bersosialita yang lebih sopan kecuali Aristoteles (438 SM). Aristoteles mengatakan “seseorang yang terisolasi...tidak termasuk bagian dari kehidupan kota (Ma-jid Khadduri, 2002: 3). Beragam ungkapan itu akhirnya tersimpul dalam satu frasa bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon, ke-mudian kita memaknainya manusia adalah makhluk sosial, sebuah sebutan yang dibuat seberadab mungkin dan berkemanusiaan.

Berawal dari konsep manusia adalah binatang (makhluk) sosial, menuntun pada pemikiran terhadap konsep negara. Pada awalnya orang Yunani kuno meyakini bahwa terbentuknya kera-jaan-kerajaan adalah pemberian (given) dari Tuhan, sampai kemu-dian muncul Protagoras yang menyatakan bahwa negara tercipta atas kehendak manusia itu sendiri (J.H. Rapar, 2003: 52). Bersamaan dengan munculnya konsep pemikiran tentang negara, pada saat itu pula muncul pemikiran tentang bentuk negara, sistem pemerinta-han dan siapa yang berhak menjadi pemimpin masyarakat.

Hukum Tata Negara82

Berbeda dengan Islam, para pemikir Islam mulai dari Nabi Muhammad (632 M) sampai pada Ibnu Khaldun (1406 M), hak-hak maupun kewajiban manusia diatur secara tegas sesuai dengan kepentingan masyarakat. Nabi Muhammad menyusun masyarakat Islam sebagai masyarakat yang tersusun atas “satu tangan seperti halnya dinding kokoh yang saling menopang”. Di dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 103, dijelaskan bahwa masyarakat itu ditunjuk sebagai suatu bangsa (umat) atau suatu komunitas persaudaraan yang diikat dengan segenap kewajiban bersama terhadap kewenan-gan Tuhan Yang Maha Agung (Majid Khadduri, 2002: 3).

Pada konsep-konsep awal tentang terbentuknya masyarakat sampai pada terbentuknya negara menunjukkan bahwa keberadaan beserta kepentingan individu tidak begitu menjadi sesuatu yang penting dibahas, penekanan lebih besar pada pada suatu kelompok atau entitas. Sebab kelompok atau entitas yang ada, baik yang ter-bentuk secara alamiah maupun by desain lebih memiliki kekuatan dan keterikatan yang lebih kuat, apalagi pada kondisi masyarakat yang tribal. Bila merujuk pada konsep manusia sesuai konsepsi kodratnya al-Farabi, menurutnya manusia tidak dilengkapi ke-mampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Jika manusia ingin mencapai kesempurnaan kodratnya, dia harus masuk menjadi anggota masyarakat (qaum) dan beker-jasama dengan orang lain. Lebih lanjut al-Farabi mengatakan bah-wa kodrat hidup bersama juga melekat pada dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan, hidup berjama’ah (Majid Khadduri, 2002: 4).

Dalam konsep kehidupan masyarakat yang berjama’ah ini, pasti menuntut adanya kepemimpinan dan kewenangan-kewenan-gan yang menjadi hak dan kewajibannya, termasuk didalamnya adalah konsep pengangkatan pemimpin dan pergantian pemimpin untuk sebuah simbol keberlangsungan atau eksistensi sebuah masyarakat atau entitas tertentu.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 83

Pada sebuah entitas negara, pembahasan mengenai kepem-impinan sebuah negara akan terus berlangsung selama negara itu masih eksis, dari berbagai segi. Islam sebagai agama yang kamil dan syamil, sudah barang tentu berbicara masalah ini walau dalam ba-hasa yang berbeda dan lebih bersifat serta berupa tatanan nilai atau norma.

Lebih menukik, berbicara mengenai kepemimpinan dalam sebuah negara menurut perspektif Islam, tidak akan bisa terlepas dari membicarakan perdebatan antara relasi Islam sebagai agama dan negara sebagai entitas politik. Perbedaan antara relasi agama dan negara selamanya akan terasa menarik bila dua golongan sub-stansialisme dan formalisme agama masih belum “berdamai”, ber-satu menemukan konsep relasi itu yang dapat mengakomodir dua pandangan yang berbeda dalam satu titik, atau minimal dalam ru-ang arsir. Kondisi ini akan sangat menyenangkan atau sebaliknya kurang menguntungkan, bergantung pada situasi dan konteks yang melingkupi perdebatan itu dilambungkan.

Di dalam Islam, perdebatan semacam ini telah dimulai sejak zaman klasik, pertengahan hingga kontemporer. Di antara para to-koh atau sarjana Islam yang dapat dijadikan referensi dalam per-soalan ini, diantaranya; Ibnu Abi Rabi, Ibnu Khaldun, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, al-Maududi, Ali Abd al-Raziq, Sayyid Qutb, M. Natsir, Khomaini, Fazlurrhaman dan lain-lain.

Pandangan dan pemikiran mereka ini terlahir dari pergula-tan pemahaman mereka terhadap doktrin-doktrin normatif Islam yang bersumber pada Qur’an dan Sunnah, serta pada realitas poli-tik dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw. dan konteks politik di zaman yang mereka hadapi masing-masing.

Hukum Tata Negara84

A. Percikan Pemikiran Ulama Siyasah; Relasi Antara Islam dan Negara

Menurut Husain Fauzi al-Najar (tt: 148), memang Nabi Mu-hammad saw. tidak diutus untuk mendirikan kerajaan ataupun untuk mengembangkan konsep kenegaraan. Beliau hanyalah nabi dan rasul yang diutus oleh Allah kepada seluruh umat ma-nusia dengan dakwah menebarkan risalah langit yang terakhir. Di dalam menyampaikan risalah dakwahnya itu dapat saja membawa persoalan-persoalan kemanusiaan (kebutuhan jama’ah Islamiyah), dan ini merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Sebab per-soalan tandzim al-syiyasy adalah suatu kebutuhan agar hidup ber-masyarakat (berjama’ah) dapat tertib dan teratur.

Pergulatan semacam dan selama ini akhirnya melahirkan aliran pemikiran politik dalam Islam. Menurut Munawir Sadjali (1993: 1-2), ada tiga kelompok besar yang terklasifikasi sebagai berikut; aliran pertama, berpendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, didalamnya terdapat sistem ketatane-garaan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara hendaknya merujuk pada sistem ketatanegaraan Islam, tidak perlu dan bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Adapaun sistem keta-tanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun.

Aliran kedua, mereka berpendirian bahwa Islam adalah aga-ma dalam pengertian Barat yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Muhammad hanyalah rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali pada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Nabi tidak pernah dimak-sudkan untuk mendirikan dan mengepalai sebuah negara.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 85

Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah sebuah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Is-lam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, tidak ada sistem ketatane-garaan dalam Islam tetapi hanyalah seperangkat tata nilai kehidu-pan berbangsa.

Hampir senada dengan apa yang dikatakan oleh Munawir Sadjali, Dien Syamsuddin mengatakan kendati Islam dipahami se-bagai agama yang memiliki totalitas –dalam pengertian meliputi aspek kehidupan manusia- termasuk politik, namun yang pasti Is-lam mengajukan pasangan istilah dunya-akhirah, din-daulah atau umur al-dunya dan umur al-akhirah. Terkait dengan konsep yang terkesan sangat dikotomik itu, dalam ranah pergulatan pemikiran politik tentang relevansi agama dan negara menuju pada tiga para-digma.

Pertama, memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara (integrated para-digm). Paradigma ini memahami bahwa Islam hadir dimana-mana (omnipresense). Pandangan ini menodrong pemeluknya untuk per-caya bahwa Islam mencakup din, dunya dan daulah (Bahtiar Ef-fendi, 1998: 7). Karenanya, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negaranya diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (devine sovereignity). Kelompok ini di-wakili oleh kaum revivalis-fundamentalis semacam Sayyid Hawa, Sayyid Qutb, Hasan al-Banna, Muhammad Natsir, Taqiyuddin al-Nabhani, Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain.

Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubun-gan secara simbiotik, yaitu berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, agar agama dapat berkembang dan sebaliknya negara memerlukan agama agar nega-

Hukum Tata Negara86

ra dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Jika tidak ada saling dukung, masyarakatpun sedikit banyak akan terhadang dalam hal menjalankan syari’at dan banyak aturan-aturan syari’at seperti, zakat, jihad, dan lain sebagainya yang realisasinya melibat-kan kegiatan yang bersifat kolektif (Yamani, 2002: 98).

Paradigma ketiga, sekularistik, yaitu menolak hubungan in-tegralistik maupun hubangan simbiotik antara agama dan negara. Paradigma ini menolak pendasaran negara pada agama atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara (Abu Zahra [ed.], 1999: 45). Salah seorang cendikiawan yang ber-pendapat demikian adalah Muhammad Imara, seorang pe-mikir muslim asal Mesir. Ia pernah mengatakan bahwa Islam se-bagai agama tidak menentukan sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu akan berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia untuk memikirkannya) dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah dig-ariskan agama ini (Muhammad Imara, 1979: 76-77). Senada dengan Imara adalah Ali Abd Raziq (2002: 60), menurutnya risalah bukan kerajaan, ditilik dari segi apapun keduanya tidak ada persamaan. Risalah punya maqam tersendiri begitu pula dengan kerajaan.

Menurut aliran ini istilah negara (daulah) tidak ditemukan dalam al-Qur’an, dan bahkan bagi mereka al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu politik. Penyebutan semacam ini terilhami oleh pe-mikiran Kristiani, yakni pertama kali diucapkan oleh Yesus Kristus, “berikan kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan (Charles Kurzman [ed.], 2001: 223). Nurkhalis Madjid pun ikut menegaskan posisinya pada aliran ini, ia mengatakan “dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep negara Islam adalah suatu distorsi hubungan proposional

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 87

antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidu-pan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedan-gkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan pribadi” (Muhammad Tahir Azhary, 1992: 23).

Paradigma ketiga inilah yang paling banyak mendapat re-spon, baik dari sarjana Islam maupun Barat. Diantaranya Bernard Lewis, ia menyatakan:

“persembahkan kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar dan kepada Tuhan apa-apa yang menjadi milik Tuhan. Ten-tunya ini adalah doktrin dan praktek Kristen. Hal ini benar-benar asing bagi Islam....Sedangkan Islam –sejak dari masa hidup pendirinya- adalah sebuah negara, dan pertalian antara agama dan negara tertancap tanpa dapat dihapuskan di dalam ingatan dan kesadaran pengikut setianya, di dalam kitab suci, sejarah dan pengalamannya...Sebagaimana seorang Nabi, maka beliau juga seorang prajurit sekaligus negarawan, kepala pemerintahan dan pendiri dari suatu kerajaan, dan pengikut-pengikutnya ditopang oleh seluruh kepercayaan akan mani-festasi (tanda-tanda Tuhan, lewat berbagai kesuksesan dan kemenangan mereka). Islam sudah bertalikan dengan kekua-saan sejak masa-masa awalnya (Muhammad Tahir Azhary, 1992; 35-36)

Sarjana Barat yang memiliki pandangan serupa dengan Ber-nard Lewis adalah Laura Veccia Vagleiri dan W. Montgometry Watt. Sangkalan yang sangat keras terhadap aliran ini dilakukan oleh Ali Abd Raziq, sarjana muslim dan penulis buku yang san-gat kontroversial, al-Islam wa Ushul al-Hukm dan kemudian Mu-hammad Dhia’uddin al-Rayis membantah Ali Abd Raziq dengan menulis sebuah buku secara khusus berkenaan dengan persoalan yang diperdebatkan, yakni berjudul al-Islam wa al-Khilafah fi al-Ashr al-Hadits.

Hukum Tata Negara88

Indikasi adanya pergulatan semacam ini juga dapat dikatakan sebagai upaya pencarian konsep tentang negara oleh ulama politik, dengan maksud; pertama, untuk menemukan idealitas Islam ten-tang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu men-coba menjawab pertanyaan, “bagaimanakah bentuk negara dalam Islam?” Pendekatan ini bertolak bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (mene-kankan aspek praksis dan substansial) guna menjawab pertanyaan “bagaimanakah isi negara menurut Islam?” Pandangan ini ber-dasarkan pada asumsi bahwa Islam tidak membawa konsep terten-tu tentang negara, hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral (Abu Zahra, 1999: 43-44).

Dua kelompok besar tersebut (formalis dan substansialis), sama-sama melakukan pengkajian yang cukup mendalam terha-dap teks Qur’an dan Sunnah. Bila mengkaji lebih dalam, wajar bila kemudian lahir dua kubu yang berbeda dalam cara namun satu dalam tujuan. Kaum substantif lewat kajiannya mengatakan bahwa Qur’an dan Hadits tidak ada yang secara eksplisit menunjukkan ke-wajiban untuk mendirikan negara Islam. Seba kata al-daulah dalam konteks teori politik modern diartikan sebagai negara (state), sep-erti al-dualah al-islamiyah, al-daulah al-arabiyah (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1996: 191).

Kata al-daulah dalam pengertian ini sama sekali tidak tertera dalam l-Qur’an, namun hanya ditemukan derivatifnya saja, yaitu terdapat dalam surat al-Hasr ayat 7 yang berbunyi “kay lā yakūna dūlatan baina al-aghniyā’i”. Ini bukan ayat politik, tetapi berkenaan dengan persoalan ekonomi (iqtishadiyah), tentang distribusi atau peredaran harta kekayaan dalam masyarakat Islam. Hal demikian kemudian disimpulkan oleh banyak pakar politik bahwa Islam tidak memerintahkan pendirian negara Islam. Amien Rais mis-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 89

alnya, dalam wawancaranya dengam Panjimas yang dimuat dalam nomor 376 tanggal 14 Muharram 1403/1 November 1982 menga-takan:

“al-Qur’an menyuruh kaum muslimin untuk mengikuti pem-impin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang menggunakan Islam sebagai patokan kepem-impinannya, bukannya kepemimpinan orang-orang munafik dan kafir. Sedangkan khilafah menurut saya, adalah suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk Allah swt. masupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaannya al-Qur’an tidak secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Islam-ic state atau negara Islam, saya kira tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang lebih penting adalah selama suatu negara menjalankan etos Islam, kemudian me-negakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh dari eksploitasi manusia atas ma-nusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti menurut Islam sudah dipandang sebagai negara yang baik”.

Komentar Amien Rais ini di sepakati oleh Muhammad Roem. Lain halnya dengan Ahmad Muhammad Jamal, seorang ulama Mesir berpendapat bahwa Islam tidak menyusun bentuk pemer-intahan yang jelas...tidak pula memberikan rinciannya. Agama ini hanyalah meletakkan beberapa prinsip dasar yang bersifat umum tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan memungkinkannya dibangun sebuah negara untuk kesejahteraan masyarakat (Asghar Ali Engi-neer, 2000: 58). Qomaruddin Khan, seorang guru besar Sejarah Islam di Universitas Karachi juga berpendapat bahwa tujuan al-Qur’an bukanlah menciptakan sebuah negara, jika didalamnya ter-

Hukum Tata Negara90

bentuk sebuah masyarakat Qur’ani maka itupun sudah merupakan tanda-tanda negara Islam. Dengan demikian, tiadanya penjelasan rinci merupakan rahmat besar bagi kaum muslimin, karena hal ini memungkinkan Islam untuk mengikuti kemajuan zaman dan me-nyesuaikan diri terhadap kondisi dan lingkungan baru. Namun ti-adanya bentuk yang jelas juga mengandung kelemahan, para ulama “penjual ayat” akan mendukung dan merestui negara yang opresif yang pada dasarnya –bukan pada wujudnya- sangat bertentangan dengan semangat Islam (Ali Asghar Engineer, 2000: 37-38).

B. Madinah Sebagai Negara

Terlepas dari perbedaan wacana yang sangat mencolok terse-but di atas, secara historis, bila kita melihat kepada kondisi soso-politik masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Muhammad saw. menurut teori asal-usul terbentuknya negara, Madinah telah layak dikatakan sebagai negara. Sebab Madinah memiliki batas teritorial yang jelas, memiliki masyarakat atau rakyat, memiliki pemerinta-han yang berdaulat dengan kepala negara (kepala pemerintahan), juga diakui eksistensi dan kedaulatannya oleh negara-negara besar dan kecil pada zamannya serta memiliki konstitusi berupa Mitsāq al-Madīnah (Piagam Madinah).

Pengakuan bahwa Madinah sebagai sebuah negara juga dapat kita lihat dari pandangan para ilmuan dan politisi muslim maupun oreintalis, dulu ataupun sekarang diantaranya ibnu Taimiyah, Ab-dul Karim Zaldan, Nouruzzaman Shiddiqi, Amien Rais, Taqiyud-din al-Nabhani, Munawir Sadjali, Montgometry Watt dan lain-lain. Bahkan Asghar Ali Engineer (2000: 37-38), secara ekslusif mengo-mentari Madinah sebagai berikut;

“Negara yang baru beliau dirikan itu memiliki karakter egali-tarian non represif. Untuk ukuran Madinah waktu itu, karak-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 91

ter negara yang semacam ini bukanlah hal yang aneh. Ber-beda dengan Makkah, Madinah belum membentuk formasi sosio-ekonomi baru. Gaya hidup kesukuan yang dimiliki se-cara bersama, daerah ini otomatis menjadi sumber penghidu-pan. Di wilayah ini belum ada saudagar kaya karena barang yang tersedia dimiliki secara bersama, baik oleh klan, maupun suku. Institusi kepemilikan pribadi memang belum ada, itu-lah sebabnya persoalan kelas orang kaya belumlah muncul. Hanya dalam komunitas yang didominasi oleh kaum berhar-talah negara akan memiliki karakter represif ”.

Adapun Muhammad Tahir Azhary (1992: 12) dengan tegas menyatakan bahwa Madinah adalah sebuah negara, yaitu suatu negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw. berdasarkan perjanjian Aqabah 1 dan Aqabah 2 dengan dasar konstitusi Madi-nah. Logikanya, bila kondisi sosio-politik maupun geo-politik satu masyarakata telah dinyatakan dan diakui sebagai sebuah negara, maka secara otomatis instrumen-instrumen yang hidup dan di-pakai dalam masyarakat itu menjadi suatu aturan yang baku yang akan dijadikan patokan atau rujukan dalam proses perekembangan negara tersebut, menjadi hukum ketatanegaraan.

Dalam konteks Madinah, keberadaan ‘shahifah al-muwadda’ah’ (shahifah madinah) menjadi bukti lain yang tak terbantahkan bahwa Madinah adalah sebuah negara. Piagam itu adalah hasil kesepakatan seluruh penduduk Madinah yang menga-komodir kepentingan bersama dan juga sebagai bentuk pengakuan bahwa Muhammad Saw. adalah pimpinan tertinggi komunitas Ma-dinah.

Piagam Madinah itu diakui oleh para sarjana politik Barat dan Timur sebagi konstitusi pertama yang tertulis pada sebuah

Hukum Tata Negara92

negara. Ia mendahului Konstitusi Prancis yang lahir pada tahun 1795, aadapun Magna Charta yang lahir di Inggris pada tahun 1215 adalah perjanjian/konstitusi yang tidak tertulis. Jadi pada persoa-lan apa lagi bila masih ada orang yang meragukan Madinah ada-lah sebuah negara? Bentuk negara apa? Bentuk negara pada zaman seperti itu bukan persoalan penting, yang terpenting adalah sistem ketatanegaraannya berjalan dan pengakuan dari pihak eksternal sebagai negara yang berdaulat. Kalaupun terpaksa harus disebut-kan bentuknya, maka penulis sepakat untuk menamainya “daulah ‘ala manhaj nubuwwah”.

Walaupun secara teori negara modern, Madinah telah cukup dikatakan sebagai sebuah negara. Toh, tetap ada dikalangan Islam sendiri yang menyangsikan bahwa Madinah adalah sebuah negara dalam pengertian teori modern sebuah negara. Sebagaimana yang disampaikan oleh Hamid Basyaib (http://islamlib.com) dengan argumentasi sekedarnya meragukan Madinah sebagai negara dan meragukan Muhammad Saw. sebagai pemimpin negara. Argumen-tasinya adalah;

1. Negara Madinah adalah hasil tafsir (pengistilahan/pemahaman) dari orang-orang yang hidup jauh setelah Nabi Muhammad Saw. Sedangkan Nabi Saw. tidak per-nah memproklamirkan Madinah sebagai negara.

2. Penduduk Madinah hanya terdiri dari beberapa ribu orang saja; terdiri dari minoritas kaum Yahudi, Suku Hajarj dan Aus, sedikit orang Nasrani dan beberapa pu-luh orang Muhajirin.

3. Perjanjian Madinah hanya akibat dari kecerdikan Nabi Muhammad Saw. yang menempati komunitas baru, berupaya mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dan local wisdom.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 93

4. Nabi Saw. tidak bisa disebut sebagai kepala negara, ka-rena beliau tidak mendapatkan mandat itu secara resmi, tidak memiliki gubernur, bupati, menteri dan sebagainya yang membantunya secara formal.

Madinah tidak pernah menjadi negara karena pada masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Kuffah (Irak). Madinah adalah kota biasa dan sampai sekarang tetap menjadi kota dalam wilayah kedaulatan Saudi Arabia.

Hukum Tata Negara94

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 95

BAB V

KEPEMIMPINAN DALAM HUKUM TATA NEGARA

Persoalan yang paling asasi dalam sebuah komunitas, entitas sosial dan bahkan negara adalah soal kepemimpinan. Persoalan ini sesungguhnya telah menjadi bagian dari hukum alam (sunnatullah) pada setiap makhluk hidup ciptaan Tuhan. Perhatikanlah dunia bi-natang, setiap kali ada sebuah koloni binatang tertentu, niscaya di tengah-tengah mereka ada satu yang menjadi pemimpinnya. Pem-pimpin dari mereka biasanya yang paling besar atau paling kuat, paling cantik, paling produktif atau karena sebab-sebab lain yang sesuai dengan/dalam kebiasaan koloni binatang tersebut.

Apalagi manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling sem-purna dalam penciptaannya, dari awal penciptaannya sudah dilengkapi berbagai perangkat hidup pada dirinya guna menjalan-kan misinya sebagai pemakmur bumi. Menjadi pemakmur bumi yang begitu luas tidak dapat dilakukan sendiri, butuh kawan, ada menejerial dan yang lebih penting dari itu adalah perlu adanya pemimpin, yang bekerja, mengorganisir dan memenej individu dan masyarakat untuk bekerja, berbuat dalam rangka memakmur-kan bumi.

Lain dari pada itu, pada saat kita memperbincangkan sejarah peradaban manusia, bercerita tentang kemajuan budaya, teknologi, ilmu pengetahuan, kekuasaan dan kejayaan sebuah kaum, dinasti,

Hukum Tata Negara96

kerajaan, bangsa dan negara atau kegemilangan ekspedisi dan in-vasi ataupun kolonialisasi, tidak akan pernah lengkap kisah sejarah itu tanpa menyertakan nama-nama pemimpinya. Bila berbicara berkenaan dengan pemimpin maka akan berbicara pula dengan kepemimpinan, cara pemilihannya bahkan sampai berakhir kekua-saannya dan terpilih pemimpin yang baru.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan la-hir sebagai suatu konsekuensi logis dari perilaku dan budaya ma-nusia yang lahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial (plato: zoon politicon) yang sangat tinggi dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia kemudian menyusun organisasi dari yang terkecil sampai yang terbesar sebagai media pemenuhan kebutuhan serta menjaga berbagai kepentingannya. Bermula dari hanya sebuah kelompok, berkembang hingga menjadi suatu bangsa.

Pada setiap organisasi itu selalu ada seorang atau lebih yang dianggap sebagai pemimpin. Di Indonesia, ‘pemimpin’ sering dis-ebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, raja, tua-tua dan sebagainya. Setelah menduduki posisi pemimpin, kualitas diri yang dimiliki seseorang dalam memimpin adalah kepemimpinan. Kepemimpi-nan berhubungan erat dengan kecakapan, keterampilan dan ting-kat pengaruh yang dimiliki seseorang (S.B Pramono dan Dessy Harahap, 2013: iii). Pada banyak kasus, kecakapan, keterampilan dan pengaruh menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk diang-kat menjadi seorang pemimpin, baik pada organisasi (masyarakat) tribal maupun organisasi modern.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 97

A. Konsep tentang Pemimpin, Kepemimpinan dan Lahirnya Pemimpin

Ada orang yang mengatakan bahwa pemimpin tidak dilahir-kan tetapi pemimpin itu muncul karena diciptakan (by design). Akan tetapi kita juga tidak dapat memungkiri bahwa ada pemimpin yang dilahirkan, walaupun jumlahnya sedikit dan kita tidak akan pernah tahu kapan pemimpin yang dilahirkan itu datang. Contoh para pemimpin yang dilahirkan adalah para nabi dan rasul. Argu-men bahwa pemimpin itu (dapat) diciptakan adalah karena syarat dasar yang harus ada pada seorang pemimpin, seperti kecakapan, keterampilan dan pandai mempengaruhi orang lain, bisa dipela-jari, dilatih dan diujicobakan.

Tiga syarat dasar itu adalah perasan bahasa dari berbagai ka-pabalitas dan kapasitas dari seorang pemimpin, yang dengannya ia dapat diangkat melalui musyawarah mufakat, penunjukan, pemili-han ataupun cara-cara lain yang dipilih dan diyakini. Tiga syarat dasar itu pula yang menjadi daya tarik dan daya rekat legitimasi dari komunitas atau masyarakat yang dipimpinnya.

Dunia pemimpin dan kepemimpinan, baik yang bersifat pro-fan maupun sakral, sangat dekat dengan persoalan politik. Semen-tara itu politik lebih berwarna profan, apalagi menjadi pemimpin sebuah negara, kemahiran, ketangkasan, kelihaian, keluwesan, ke-luasan, dan ketegasan dan sikap positif lainnya sangat dekat dan dapat mudah berubah sesuai kepentingan yang menghadangnya.

Nilai-nilai kepemimpinan itu sesungguhnya lahir dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri sese-orang. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah kelahiran dari sebuah proses yang panjang dalam diri seseorang.

Hukum Tata Negara98

Pramono dan Dessy Harahap (2013: iv) menegaskan bahwa ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika ter-jadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangu-nan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong kemajuan dalam organisasinya maka pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin.

Paparan tersebut di atas menunjukkan bahwa ada 2 (dua) sosok ‘pemimpin’; pemimpin yang dilahirkan dan pemimpin yang diciptakan. Kedua-duanya akan tetap ada sepanjang sejarah manu-sia. Yang pasti, Kecenderungan alamiah manusia untuk berkum-pul dan berkelompok, baik formal atau informal, resmi atau tidak resmi, menuntut adanya suatu kepemimpinan. Kebutuhan seperti ini akan mengantarkan seseorang atau sekelompok orang pada posisi memimpin. Melalui kedudukan itu mereka memperoleh otoritas untuk mengatur kehidupan kelompok sosialnya. Hukum sosial yang demikian adalah bagian dari sunnatullah. Kita tidak bisa membayangkan kelangsungan hidup suatu unit sosial sekecil apapun tanpa adanya suatu kepemimpinan, apalagi sebuah negara yang berdaulat. Dari sinilah kita bertolak untuk mengetahui be-berapa konsep tentang pemimpin dan kepemimpinan.

1. Pemimpin dan Kepemimpinan

a. Pengertian pemimpin

Pemimpin berasal dari kata ‘pimpin’. Kata pimpin men-gandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan menunjukkan ataupun mempengaruhi ter-masuk memerintah. Paling tidak itulah makna yang dapat di-mengerti dari kata pemimpin.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 99

Para ahli di bidang menejemen memberikan pengertian pemimpin, dimana pengertian ini diupayakan untuk dapat di-pahami oleh mereka yang sedang belajar menjadi pemimpin dan memiliki keterampilan memimpin. Menurut Ermaya Suradinata (1997: 11), pemimpin adalah orang yang mem-impin kelompok dua orang atau lebih, baik organisasi mau-pun keluarga.

Adapun Winardi (1990: 32) merinci pengertian pem-impin dalam dua model pemimpin; pemimpin formal (formal leader) dan pemimpin informal (informal leader). Pemimpin formal adalah seorang (pria atau wanita) yang oleh organisasi tertentu (swasta atau pemerintah) ditunjuk (berdasarkan su-rat-surat keputusan pengangkatan dari organisasi yang ber-sangkutan) untuk memangku sesuatu jabatan dalam struktur organisasi yang ada dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran-sasaran organ-isasi tersebut yang ditetapkan sejak semula. Kepala negara ter-masuk dalam kategori pemimpin formal ini, karena ia dipilih dan ditetapkan dengan prosedur yang ditetapkan dan men-dapatkan surat ketetapan sebagai pemimpin negara oleh lem-baga yang berwenang.

Menurut HAMKA, pemimpin ialah; “memimpin su-paya tegak, membimbing supaya dapat berjalan, memapah supaya jangan jatuh atau menarik naik kalau sudah terge-lincir jatuh. Tegak ke muka kalau bahaya datang mengancam (Zulkifli Moh. Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah, 2013: 18). Adapun menurut Maccoby, pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai

Hukum Tata Negara100

agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin me-nolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan.

Dari beberapa pengertian pemimpin yang disampaikan oleh para ahli menunjukkan bahwa hadirnya pemimpin dalam sebuah komunitas tertentu sangat dibutuhkan dan menjadi kebutuhan alamiah yang tidak dapat elakan. Maka berbagai usaha untuk mendapatkan pemimpin akan diupayakan sede-mikian rupa dan berapa besar akomodasi untuk kepentingan itu akan kucurkan. Wacana dan perbincangan tentang pem-impin yang diharapkan akan terus dilakukan bahkan sampai pemimpin itu ditemukan atau hadir dalam kehidupan suatu komunitas.

b. Urgensi kehadiran pemimpin

Setelah mangkatnya Nabi Isa as.dan sampai masa men-jelang diutusnya Muhammad menjadi rasul terakhir, kedatan-gan pemimpin spiritual (nabi) baru telah menjadi perbincan-gan yang serius dikalangan kaum Yahudi. Mereka berharap pemimpin terakhir yang datang adalah orang mulia yang be-rasal dari golongannya.Oleh karenanya setelah tanda-tanda kerasulan Muhammad diketahui oleh seorang ahli spiritual Nasrani, memesan kepada pamanya Abu Thalib untuk men-jaganya dengan sedemikian rupa dan diupayakan merahasia-kan tanda itu dan berupa untuk menjauhkannya dari komu-nitas Yahudi.

Bila melihat pada proses awal terbentuknya masyarakat bernegara, baik itu Protagoras, Plato, Aristoteles, Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah dan lain-lain, menuju satu titik temu bahwa negara bermula dari sifat kodrati manusia sebagai mahluk sosial yang selalu membu-tuhkan keberadaan manusia lainnya, hidup berpasangan dan

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 101

berkembang biak hingga mencapai populasi yang sangat me-nakjubkan.

Logikanya, kebutuhan hidup manusia dengan sendirinya meningkat. Di sisi lain manusia tidak dapat memenuhi kebu-tuhan hidupnya dengan sendiri. Untuk itu, bekerjasama dan melakukan pembagian tugas adalah niscaya untuk dilakukan, butuh pengorganisasian dan menejemen yang baik. Untuk kebutuhan ini, Ibnu Taimiyah (1323: 36) pernah mengatakan;

“Kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan di du-nia maupun diakherat kecuali mereka bergabung menjadi sebuah masyarakat, bekerjasama saling tolong-menolong. Kerjasama saling tolong-menolong tersebut perlu mencipta-kan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan. Karena ala-san inilah dikatakan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk sosial. Apabila umat manusia telah diorganisir maka sudah pasti banyak hal-hal yang mereka harus lakukan untuk mewujudkan kesejahteraan mereka dan banyak pula hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan karena akibat-akibatnya yang buruk dan mereka harus mematuhi pemimpinyang menjunjung tinggi cita-cita tersebut dan orang-orang yang mencegah perbuatan-perbuatan yang berakibat buruk itu.Jadi seluruh umat manusia harus tunduk kepada para pemimpin atau orang-orang yang mencegah perbuatan tersebut”.

Dalam Islam, sesungguhnya perbincangan hangat ten-tang pemimpin baru dimulai dengan sangat serius ketika Nabi Muhammad Saw. wafat. Umat Islam, terutama para sahabat utama Nabi Saw. pada saat itu memandang bahwa persoalan hilangnya pemimpin harus segera diselesaikan hingga agak menelantarkan jasad Nabi untuk tidak segera dikebumikan. Baru setelah pemimpin baru umat Islam didapat, jasad Nabi

Hukum Tata Negara102

Saw.segera dikebumikan dengan prosesi yang sangat layak se-bagai Nabi utusan Allah.

Peristiwa politik di Tsaqifah Bani Sa’idah dapat dijadi-kan sebagai satu pertanda bahwa hadirnya pemimpin sangat urgen dari persoalan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sampai-sampai jasad mulia Nabi Saw.tidak segera diurus sebagaimana tuntunan dan praktik yang diajar-kan sendiri oleh Nabi Saw. pada masa hidupnya.

Setelah wafatnya Nabi Saw.itu tidak ada seorang mus-limpun yang meragukan kebutuhan akan pemerintahan. Tak satupun yang berkata, “kita tidak lagi membutuhkan pemer-intahan.” Tidak pernah terdengar seseorang mengatakan hal semcam ini. Semua sepakat secara bulat mengenai perlunya pembentukan pemerintahan. Ketidaksepakatan yang terjadi hanyalah pada siapa yang layak memikul tanggung jawab atas pemerintahan itu dan mengepalainya (Imam Khomaini, 2002:31).

Urgensi keberadaan pemimpin dalam Islam sungguh sangat diperhatikan, bahkan ajaran Nabi Saw.banyak ber-bicara pada persoalan ini. Karena pentingnya hal ini, setiap muslim dianggap sebagai seorang pemimpin yang harus ber-tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, minimal menjadi pemimpin dan memimpin dirinya sendiri.

Para sarjana muslim juga urun rembuk akan pentingnya pemimpin, apalagi dalam komunitas sebuah negara. Muham-mad Abid al-Jabiri (2000: 63-64) pernah menulis bahwa Islam merupakan satu agama dakwah yang tidak bertujuan untuk mendirikan satu negara, kerajaan atau empirium tetapi mem-butuh pemimpin untuk melaksanakan tugas menurut apa yang bicarakan oleh Ibnu taimiyah di atas. Alasannya; per-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 103

tama, al-Qur’an mengandung hukum-hukum yang menuntut kaum muslimin untuk melaksanakannya dan sebagian dari hukum-hukum itu memerlukan kekuasaan yang mewakili komunitas mereka untuk melaksanakannya seperti hukuman bagi pencuri.

Kedua, bahwa pelaksanaan hukum-hukum itu pada akhirnya telah mengantarkan kepada perkembangan dakwah Islam menjadi satu negara yang teratur dan memiliki lemba-ga-lembaga bersamaan denan perekembangan dan perluasan geografis, peradaban dan pemikiran dunia Islam. Dan yang terpenting adalah karena masyarakat yang dibangunnya men-yatakan kesediaan melaksanakan kehendak Allah sebagaima-na tercantum dalam wahyu-Nya, yakni menegakkan aturan-aturan dan hukum-hukum Allah. Karena Islam memadukan antara urusan agama dan dunia, diperlukan adanya lembaga (negara) dan pemimpin untuk mengatur dan melaksanakan-nya.

Imam Khomaini ikut menegaskan, “seperangkat hu-kum saja yang dibuat untuk memperbaiki dan mengatur masyarakat tidak cukup. Supaya hukum sanggup menjamin kebaikan dan kebahagiaan diperlukan kekuasaan eksekutif (pen: pemerintahan dan pemimpinnya) (dalam Salim Azzam, 1983: 122).

Dalam madzhab politik dan teologi Syi’ah, Imam Ridla pernah menceritakan bahwa Abdul Wahid ibn Muhammad ibn Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Qutaibah al-Nais-aburi dari Muhammad Fadhl ibn Syadzan al-Naisaburi meri-wayatkan bahwa seseorang bertanya mengapa Alla Swt. men-unjuk para ulil amri dan memerintahkan kita untuk mentaati mereka? Lalu Imam Ridla menjawab, “banyak alasan, salah satunya adalah manusia diperintahkan untuk memperhatikan

Hukum Tata Negara104

batas-batas (dalam hukum Islam) dan tidak melampauinya agar terhindar dari kerusakan. Hal ini tidak dapat dicapai tanpa ditunjuknya seorang yang amin (terpercaya) bagi mere-ka, yang akan menjamin bahwa mereka tetap berada dalam batas-batas yang diperbolehkan bagi mereka dan mencegah mereka dari perbuatan melampaui batas.

Alasan lainnya adalah bahwa kita tidak pernah men-dapatkan adanya sebuah kelompok atau bangsa yang berdiri sendiri tanpa seorang pemimpin sejak diperlukannya (pem-impin) dalam masalah agama dan dunia. Tidak akan sesuai dengan kebijaksanaan Allah ketika Allah membiarkan umat manusia menyelesaikan sendiri permasalahan mereka, se-mentara Dia mengetahui bahwa manusia memerlukan pem-impin demi keselamatan mereka.

Alasan selanjutnya adalah jika Allah tidak menunjuk seorang pemimpin yang amin, melindungi, terpercaya, dan tertib maka masyarakat akan terbelakang, agama akan ters-ingkir, norma-norma dan aturan-aturan yang telah diwahyu-kan akan berubah (Salim Azzam, 1983: 41-42).

Melihat pada sejarah perjuangan bangsa sendiri, Indo-nesia, pada saat Jepang telah takluk oleh Sekutu dengan dilu-luhlantakkannya Herosima dan Nagasaki oleh bom atom dan Amerika berhasil menghancurkan kekuatan Jepang di Saipan Pasifik, menjadikan Jepang bertekuk lutut. Menyerahkalahn-ya Jepang terhadap Sekutu ini menjadikan Indonesia dalam keadaan facum of power. Kondisi Jepang yang sudah menyer-ah ini tidak segera direspon cepat oleh ‘golongan tua’ pejuang kemerdekaan. Akhirnya pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 sekelompok pemuda seperti Sukani, Wikana dan Chaer-ul Saleh dengan terpaksa mengambil tindakan dengan “men-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 105

culik” Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Karawang. Tujuan satu, yaitu agar Indonesia segera merdeka. Akhirnya, keesokan harinya Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Satu hari setelah itu, Soekarno dan Hatta didaulat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Ditetapkannya Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden dalam waktu yang sangat singkat itu, Bangsa Indonesia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

Dua contoh dengan beda zaman namun memilki satu kesamaan, yakni urgensi hadirnya seorang pemimpin dalam sebuah negara, menunjukkan bahwa keberadaan pemimpin begitu vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pem-impin itulah yang akan menjalankan negara.

Tidak sekedar itu, pemimpin menjadi inti dari me-nejemen, ialah yang menjalankan segala sesuatu yang ada dibawah kepemimpinannya. Ini berarti bahwa menejemen akan tercapai tujuannya  jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian mem-impin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama.

Urgensi lain berkenaan dengan keberadaan pemimpin adalah karena tugas dan perannya. Menurut Jamaes A.F Stonen tugas utama seorang pemimpin adalah;

Hukum Tata Negara106

a. Pemimpin bekerja dengan orang lain. Seorang pem-impin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi sebaik orang diluar or-ganisasi. 

b. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertang-gungjawabkan (akuntabilitas). Seorang pemimpin ber-tanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kes-uksesan stafnya tanpa kegagalan.

c.   Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas. Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin harus dapat menyusun tugas dengan menda-hulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pem-impin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya ke-pada  staf.  Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.

d.   Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual. Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengiden-tifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan  lain. 

e.   Manajer adalah seorang mediator. Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pem-impin harus dapat menjadi seorang mediator (penen-gah).

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 107

f.   Pemimpin adalah politisi dan diplomat.Seorang pem-impin harus mampu mengajak dan melakukan kompro-mi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.

g.   Pemimpin membuat keputusan yang sulit.Seorang pem-impin harus dapat memecahkan masalah (keolabenu.blogspot.com/2013).Adapun peran seorang pemimpin menurut Henry

Mintzberg adalah :

a. Peran hubungan antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.

b.    Fungsi Peran informal sebagai monitor, penyebar infor-masi dan juru bicara.

c.    Peran Pembuat keputusan, berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator.

2. Pengertian kepemimpinan

Kepemimpinan memiliki kata dasar yang sama dengan pem-impin, yakni pimpin. Kemudian mendapatkan awalan ‘ke’ dan akhiran’an’ yang menjadikannya berubah menjadi kata sifat dari pemimpin. Artinya kepemimpinan harus menjadi sifat dan sikap yang inhern dalam diri seorang pemimpin.

Secara terminologi, dapat dilacak beberapa pengertian ten-tang kepemimpinan dari beberapa orang ahli, diantaranya adalah; menurut Siagian (1986:12) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah keterampilan dan kemampuan seseorang mempengaruhi perilaku orang lain, baik yang kedudukannya lebih tinggi mau-

Hukum Tata Negara108

pun lebih lebih rendah daripadanya dalam berfikir dan bertindak agar perilaku yang semula mungkin individualistik dan egosentrik berubah menjadi perilaku organisasional. Menurut Stogdill meny-impulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan, dan diantaranya memiliki beberapa unsur yang sama. Sedangkan menurut Sarros dan Butchatsky, istilah ini dapat didefinisikan se-bagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organ-isasi (http://idadwiw.wordpress.com, diunduh tanggal 29 Septem-ber 2014).

Dari beberapa definisi tersebut semakin nyata bahwa kepem-impinan adalah sifat dan sikap yang harus ada pada diri seorang pemimin, dan dari beberpa devinisi itu pula kepemimpinan memi-liki beberapa implikasi, antara lain :

a. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima ara-han dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya kar-yawan atau bawahan, tidak akan ada pimpinan.

b. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengi-kutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Para pem-impin dapat menggunakan bentuk-bentuk  kekuasaan  atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawa-han dalam berbagai situasi.

c. Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendi-ri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compas-sion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 109

dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi (http://idadwiw.wordpress.com, diunduh tanggal 29 September 2014).

3. Teori dan tipologi kepemimpinan

a. Teori kepemimpinan

Setiap teori lahir sesuai dengan zamannya, bila zaman berubah dan kecenderungan berubah, maka sangat mungkin teori akan berkembang atau berubah. Sampai saat ini dari teori kepemimpinan dari mulai yang klasik sampai yang ter-modern, terangkum lebih kurang ada 8 (delapan) teori, yaitu;

1. Teori genetik

Teori genetik merupakan teori paling awal yang diperkenalkan kepada khalayak. Ungkapan yang paling terkenal dari teori ini adalah “a leader is born, not made” (pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat). Seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak perlu lagi belajar dan dilatih kepemimpinan, dan dia akan mun-cul menjadi pemimpin dengan kepemimpinannya yang melekat dan tumbuh secara alamiah serta muncul pada situasi dan kondisi yang tepat pada saat dibutuhkan.

Menurut teori ini, segala kebutuhan, keterampilan, kapasitias, religiusitas, integritas dan apapun yang diper-lukan oleh seorang pemimpin telah melekat ada padanya dan akanmuncul sebagai sosok pemimpin yang heroik, serta dikenang kepemimpinannya sepanjang masa.

Hukum Tata Negara110

2. Teori sifat

Teori sifat berasumsi bahwa orang mewarisi sifat dan ciri-ciri tertentu yang membuat mereka lebih cocok untuk menjadi pemimpin.

Teori sifat mengidentifikasi kepribadian tertentu atau karakteristik perilaku yang sama pada umumnya pemimpin. Sebagai contoh, ciri-ciri seperti ekstraversi, kepercayaan diri dan keberanian, semuanya adalah sifat potensial yang bisa dikaitkan dengan pemimpin besar.Jika ciri-ciri khusus adalah fitur kunci dari kepemimpinan, maka bagaimana menjelaskan orang-orang yang memi-liki kualitas-kualitas tetapi bukan pemimpin?Pertanyaan ini adalah salah satu kesulitan dalam menggunakan te-ori sifat untuk menjelaskan kepemimpinan.Ada banyak orang yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang terkait dengan kepemimpinan namun tidak pernah mencari posisi kepemimpinan (http://www.blogteori.com/2013, diunduh tanggal 30 September 2014).

3. Teori kontingensi

Teori ini lebih menitikberatkan pada keberhasilan pemimpin dalam memimpin. Bahwa tidak ada kaitan-nya dengan model gaya kepemimpinan seorang pem-impin. Keberhasilan seorang pemimpin dengan kepem-impinannya tergantung pada banyak variabel, gaya kepemimpinan mungkin menjadi salah satu variabel, ada kualitas pengikut, ikatan primodialisme, trah (ketu-runan) dan lain-lain.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 111

4. Teori situasional

Teori ini tidak menekankan pada gaya kepemimpi-nan tertentu. Gaya kepemimpinan dipilih sesuai dengan situasi yang dihadapi, dalam arti melihat terlebih dahulu pada siapa yang dipimpin.

5. Teori perilaku

Teori ini berkebalikan dengan teori genetik (great man), “the leader is made not born”. Menurut teori sia-papun dapat menjadi pemimpin yang berhasil, karena kompetensi untuk menjadi pemimpin dipelajari, dilatih, diobservasikan atau mungkin melalaui jalan try and eror. Maka secara tidak langsung pengalaman dalam mem-impin dapat mengantarkannya menjadi pemimpin yang berhasil.

6. Teori partisipasi

Teori kepemimpinan partisipatif menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang ideal adalah mengam-bil masukan dari orang lain. Para pemimpin mendorong partisipasi dan kontribusi dari anggota kelompok dan membantu anggota kelompok merasa lebih berkomit-men terhadap proses pengambilan keputusan. Dalam teori partisipatif, bagaimanapun, pemimpin berhak un-tuk memungkinkan masukan pendapat dari orang lain (http://www.blogteori.com/2013, diunduh tanggal 30 September 2014).

7. Teori menejemen

Teori ini disebut juga teori transaksional, karena te-ori ini menekankan pada pengawasan kinerja, sumbang-

Hukum Tata Negara112

sih organisasi dan kelompok, pemberian rewardandpun-ishment.

8. Teori hubungan

Teori hubungan juga dikenal sebagai teori trans-formasi, fokus pada hubungan yang terbentuk antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin transformasional memotivasi dan menginspirasi dengan membantu ang-gota kelompok melihat penting dan baiknya suatu tugas.

Pemimpin fokus pada kinerja anggota kelompok dan juga ingin setiap orang untuk memaksimalkan po-tensinya. Pemimpin dengan gaya ini sering memiliki standar etika dan moral yang tinggi (http://www.blogte-ori.com/2013, diunduh tanggal 30 September 2014).

b. Tipologi kepemimpinan dalam menjalankan pemerinta-han

Ada beberapa tipologi kepemimpinan yang dipraktek-kan oleh para penguasa negara di berbagai belahan dunia.Semua tipologi yang tersebutkan di bawah ini memiliki ki-sah keberhasilan dan kegagalannya.Artinya model atau tipe apapun yang digunakan bisa berhasil atau gagal dalam tataran aplikasinya.

1. Tipe otoritarian

Tipe otoritarian adalah gaya kepemimpinan yang paling tua dikenal manusia. Otoritarian berasal dari kata authority (Inggris) atau auctoritas (Latin) yang be-rarti pengaruh, kuasa atau wibawa.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 113

Melihat dari arti kata ini, pemimpin yang bertipe otoriter berarti pemimpin yang memusatkan kepem-impinan pada pengaruh, kuasa dan wibawa yang terpu-sat pada personal pemimpin. Dengan demikian pem-impin yang otoriter tidak mesti harus bertindak represif dan despotik, dan pada negara dengan situasi dan kondi-si tertentu (kacau, darurat) pemimpin yang memiliki tipe ini justru dibutuhkan. Namun ketika kondisi sudah berubah, ia harus merubah gaya kepemimpinnya terse-but agar lebih kompatibel dan dapat diterima oleh raky-atnya. Bila gaya itu tertap dipertahankan, niscaya kejatu-hannya tinggal menunggu masa yang tepat. Satu contoh keberhasilan tipe pemimpin otoriter adalah Libya den-gan presidennya bernama Moammar Khaddafi.

Pemimpin yang otoriter adalah menempatkan kekuasaan di satu tangan atau sekelompok kecil orang yang ada di lingkaran kekuasaan atau orang-orang ter-dekat dengan pemimpin. Posisi bawahan hanya sebagai pelaksana, bawahan akan bekerja maksimal hanya untuk kepetingan kepuasan sang penguasa.

2. Tipe totalitarian

Beda tipis antara tipe otoritarian dengan tipe to-talitarian. Tipe totalitarian memegang penuh segala kekuasaannya pada satu pemimpin, tidak rela dibagi-bagi, semuanya harus tunduk dan patuh pada satu titah kepemimpinannya. Kepemiminan Hitler menjadi per-sonifikasi dari kepemimpinan tipe totalitariaanisme ini.

Hukum Tata Negara114

3. Tipe demokratis

Tipe kepemimpinan demokratis biasanya membagi kekuasaannya pada pemimpin-pemimpin lain yang di-berikan wewenang berdasarkan norma atau tata hukum yang dikehendaki pada sebuah negara.

Pemimpin yang demokratis selalu mengedepankan musyawarah, mendengar pendapat orang lain dan men-cari dukungan dari pihak lain. Pemimpin demokratis berada pada posisi yang lemah dalam mengambil sikap dan terkesan pragmatik.

4. Tipe Laissez Faire

Tipe jenis ini memberikan kekuasaan penuh pada bawahan. Cara kerjanya berdasarkan pada aturan-atu-ran, menghendaki banyak partisipasi dan tidak mau me-maksakan apa yang menjadi kehendaknya. Pemimpin seperti ini sebenarnya tidak layak untuk disebut pem-impin karena dia tidak punya kehendak untuk mengen-dalikan yang dipimpinya.

5. Tipe profetik

Profetik berasal dari kata profet yang bermakna nabi, manusia suci. Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan seperti nabi. Kepemimpinan ini adalah tipe yang paling berhasil karena tidak ada satu nabipun yang dianggap gagal menjadi pemimpin bagi umatnya.

Pemimpin profetik adalah pemimpin yang me-waris sifat-sifat kenabian dalam prkatik kepemimpinan-nya, memandang rakyat (bawahan) sebagai subyek yang sama mulia dengan dirinya. Kepemimpinan dan keputu-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 115

sannya tetap memandang pada hak-hak setiap manusia, baik ia rakyatnya ataupun musuhnya. Kepemimpinann-ya selalu mendasarkan pada nilai-nilai humanisme yang dipandu oleh nilai-nilai luhur ilahiyah.

Gaya kepemimpinan model ini oleh Plato disebut pemimpin filsuf, Iwan Fals menyebutnya pemimpin ma-nusia setengah dewa dan Emha Ainu Najib menyebutnya pemimpin boneka, boneka Tuhan.

B. Pemimpin Negara dalam Hukum Tata Negara

Tujuan akhir setiap negara adalah menciptakan kebahagian bagi rakyatnya, bonum publicum (Miriam Budiarjo, 1989: 45). Dalam konstitusi UUD 1945 (preambule) dituliskan bahwa tujuan negara Indonesia adalah “.....melindungi segenap bangsa Indone-sia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...”. Untuk meraih cita-cita negara, dibutuhkan pemerintah yang akan menggerakkan negara untuk melakasanakan program-program yang akan mencapai kebaha-giaan rakyat. Oleh karenanya, dibutuhkan seorang pemimpin ne-gara/pemerintahan yang visioner dan kompatibel dengan tujuan sebuah negara.

Minimal ada 2 (dua) teori yang dapat dijadikan argumentasi secara umum tentang terciptanya pemimpin negara dengan se-genap kekuasaannya atas rakyat;

1. Teori kontrak sosial

John Locke dan JJ.Roussseau adalah dua tokoh yang pal-ing dikenal dengan teori kontrak sosial ini. Asumsi dari teori ini adalah bahwa suatu kesepakatan yang telah ditandatanga-

Hukum Tata Negara116

ni antara pemimpin suatu masyarakat dengan rakyatnya. Kes-epakatan tersebut menetapkan bahwa sang pemimpin akan mempergunakan kekuasaannya untuk mewakili kehendak seluruh warga negaranya.

2. Teori kekuasaan absolut

Thomas Hobbes dan Friedrich Hegel adalah pendukung teori ini. Mereka mengatakan bahwa individu telah menyer-ahkan segala haknya kepada sang pemimpin pada waktu me-nerima kepemimpinannya. Sesunggguhnya teori ini memiliki banyak pendukung walaupun tidak dapat dibuktikan secara ilmiah (Fathi Osman dalam Mumtaz Ahmad, 1993: 75-76).

Dalam Islam, pemimpin dan kepemimpinan dapat dikatakan sebagai keharusan ilahiyah dan nubuwah. Pada masa awal Islam datang, pemimpin dan kepemimpinan adalah kehendak ilahiyah. Nabi Muhammad sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Madinah dipersiapkan sedemikian rupa oleh Allah untuk menjadi pemimpin umat bagi seluruh manusia di dunia. Pada tataran mikro dipahami oleh sebagian manusia sebagai pemimpin bagi umat Is-lam. Justru pada tataran mikro ini, kajian kepemimpinan Nabi Mu-hammad dan Negara Madinah menjadi menarik dan layak menjadi kajian sepanjang sejarah manusia.

Pada praktik kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. tidak se-luruhnya adalah titah Allah Swt. Pada banyak persoalan Nabi Saw. juga meminta pendapat, saran, usulan dan menangkap aspirasi masyarakat. Pada persoalan ini, Fathi Osman (Mumtaz Ahmad, 1993: 104-105) mengatakan;

“peran serta rakyat dalam keputusan-keputusan politik pent-ing merupakan prinsip dasar negara dan masyarakat Mus-lim. Prinsip itulah yang dipakai dalam perjanjian (kontrak)

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 117

imamah atau bay’ah pada masa lampau, dan dapat diterapkan dalam pemungutan suara pada masa kini. Nabi sendiri diper-intahkan oleh Allah untuk melaksanakan syura dengan para sahabatnya dalam masalah duniawi yang tidak ada wahyu ten-tangnya; Maafkanlah mereka (para sahabat), mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlan dengan mereka dalam urusan kemasyarakatan, kemudian apabila kamu tel-ah membulatkan tekad (untuk mengambil keputusan) maka bertawakallah pada Allah (QS. Ali Imaran: 159) ......beliau melakukan syura dan mengikuti anjuran sahabatnya dalam beberapa kesempatan, misalnya dalam kesempatan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Hudaibiyah. Bahkan pada situasi yang peka, seperti tuduhan terhadap istrinya, Aisyah, Nabi membicarakannya dimuka umum dan meminta saran.”

Seiring berkembangnya zaman, pemikiran kaum muslimin terhadap keberadaan pemimpin negara semakin berkembang pula. Sejarah tentang kepemimpinan nubuwah, khulafa al-rasyidin, di-nasti-dinasti dan kesultanan Islam tetap menjadi pelajaran penting dan pondasi politik Islam dikemudian hari. Sejak pertengahan abad ke-19 menurut Fazlurrahman para pemimpin terkemuka yang ber-pikiran reformis dalam Islam mengatakan bahwa agar Islam dilak-sanakan dalam sektor umum, maka harus didirikan pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Alasan yang dikemukakan oleh Fazlurrahman adalah;

1. Bahwa tanpa partisipasi rakyat dalam pemerintahan, negara-negara Muslim tidak akan cukup kuat untuk me-nahan tekanan-tekanan ekspansi Barat. Penguasa tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat mudah menyerah pada tuntutan kekuatan-kekuatan Barat.

Hukum Tata Negara118

2. Untuk kemajuan dan perkembangan internal (pemer-intahan Islam, pen), tanpa partisipasi rakyat, negara-negara Muslim juga akan tetap lemah (Mumtaz Ahmad, 1993: 124).

Apa yang disampaikan oleh Fathi Osman dan Fazlurrahman itu, dalam bahasa hukum dan politiknya disebut legitimasi. Lagiti-masi bagi seorang pemimpin dan kepemimpinannya adalah sangat penting, itu merupakan satu tahap yang harus dilalaui untuk men-dapatkan apa yang disebut otoritas.

Menurut Weber, otoritas suatu kepemimpinan baik yang ber-sifat profan maupun sakral (religius), politik dan non-politik, pada umumnya didapat karena adanya legitimasi. Berbekal legitimasi, dengan demikian seorang pemimpin telah memiliki kartu pas un-tuk memainkan otoritas politiknya (dalam Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemadi, [ed.], 1964: 345), memimpin rakyat dengan segala kekuasaan dan kewenangannya yang otoritatif.

Selain 2 (dua) alasan yang dikemukakan oleh Fazlurrahman tersebut di atas, tidak adanya partisipasi rakyat (legitimasi), akan berpengaruh pada tingkat stabilitasi negara dalam berbagai bidang. Redahnya otoritas negara yang bersumber pada legitimasi pengua-sa dapat menjadi faktor pemicu gagalnya program-program pemer-intah, munculnya gerakan sparatisme dan akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Pada kondisi tertentu akan menuntun negara pada situasi perang saudara, perebutan dan pergantian kekuasaan sektarian, kekerasan negara pada rakyat, pembunuhan massal oleh penguasa, gnodisida (pembersihan etnis) dan keributan yang tak kunjung berakhir, seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Asia selatan, Timur-Tengah dan sebagian Afrika.

Jadi keberadaan pemimpin negara yang diperoleh dari par-tisipasi rakyat dalam memilihnya, secara sosiologis akan menda-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 119

patkan dukungan yang besar dari rakyat. Rakyat memberikan le-gitimasinya kepada pemimpin negara untuk membawanya kepada kesejahteraan dan kemajuan. Pemimpin negara yang mendapatkan dukungan dari rakyat akan memiliki otoritas penuh untuk mem-bawa rakyat sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Dukun-gan sosiologis akan tambah kuat bila sesuai dengan konstitusi ne-gara dan peraturan perundangan yang diakui oleh seluruh warga negara.

Hukum Tata Negara120

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 121

BAB VI

LANDASAN TEOLOGIS DAN YURIDIS KEPEMIMPINAN NEGARA DALAM ISLAM DAN HUKUM TATA

NEGARA INDONESIA

A. Landasan Teologis Pemimpin Negara dalam Islam

Agama Islam diturunkan Allah ke muka bumi bersama ‘pa-ket’ pemimpin dan kepemimpinan. Paket ini seperti paket-paket risalah sebelumnya. Ketentuan ini sesuai dengan sunatullah yang tertera dalam beberapa firman-Nya sebagai berikut;

ا أنت منذر قول الذين كفروا لوال أنزل عليه آية من ربه إن ويـ

وم هاد ولكل قـ“orang-orang yang kafir berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tu-hannya?” Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk” (QS. al-Ra’du: 7).

Hukum Tata Negara122

هم بلقسط وهم نـ يـ ولكل أمة رسول فإذا جاء رسولم قضي بـ

ال يظلمون “Tiap-tiap umat mempunyai rasul; Maka apabila telah datang Rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya” (QS. Yunus: 47).

جاعلك إن قــال فــأتــهــن بكلمات ربــه ــراهــيــم إبـ لى تـ ابـ وإذ

المني نال عهدي الظ للناس إماما قال ومن ذريت قال ال يـ“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan be-berapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menu-naikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya aku akan men-jadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim” (QS. al-Baqarah: 124).

Diantara para pemimpin-pemimpin manusia dalam sejarah manusia berupa utusan Allah (rasul dan nabi). Banyak diantara-nya hanya berperan sebagai pemimpin spiritual bagi umatnya, ada pula beberapa diantara mereka diutus sebagai pemimpin spiritual sekaligus sebagai pemimpin politik. Nabi Sulaiman, Nabi Daud dan Nabi Muhammad Saw. adalah tiga contoh utusan Allah yang mengemban dua misi.

Islam dengan pemimpin spiritual dan pemimpin politiknya Nabi Muhammad Saw. adalah risalah terakhir yang melengkapi dan menyempurnakan berbagai risala langit yang datang sebel-umnya. Maka, banyak diyakini bahwa sebagai risalah terakhir, su-dah barang tentu ajarannya dianggap yang memiliki nilai univer-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 123

salitas dan kompleksitas dalam setiap relung kehidupan manusia. Termasuk didalamnya adalah landasan teologis akan urgensinya keberadaan pemimpin dalam sebuah komunitas terkecil sekalipun sampai komunitas terbesar berbentuk negara.

Ada 2 (dua) argumen (dalil) yang bisa dijadikan landasan hu-kum akan pentingnya keberadaan pemimpin dalam Islam;

1. Dalil aqli

Dalil aqli yang dapat dipergunakan dalam hal ini adalah per-istiwa yang terjadi di Tasqifah bani Sa’idah pada saat Rasulullah Saw. wafat. Terlantarnya jasad mulia Rasulullah untuk dikebumi-kan pada satu sisi dan disisi lain terjadi pedebatan kecil yang layak menjadi pemimpin pengganti Rasulullah dapat dijadikan sebagai dalil aqli bahwa facum of power tidak boleh terjadi dalam sebuah tata pemerintahan.

Kekosongan pemimpin negara (facum of power) akan mem-bawa malapetaka besar bagi seluruh bangsa yang hidup dalam naungan sebuah negara. Kekosongan penguasa akan dapat dijadi-kan peluang untuk terjadinya berbagai tindakan destruktif, karena hukum, walaupun ada akan menjadi tidak berguna dan kehilangan sifat impresifnya.

Kekosongan penguasa akan memberikan peluang kepada para pemilik syahwat politik untuk memanfatkan momentum itu untuk mendeklarasikan diri sebagai pemimpin hanya dengan dukungan sebagian kecil dari etnis pendukung atau loyalisnya. Akhirnya in-stabilitas politik, ekonomi, hukum dan sosial akan menyelimuti se-luruh warga negara.

Itulah sebabnya, mendapatkan pemimpin yang baru lebih penting dari mengebumikan jasad pemimpin sebelumnya yang sangat perfect sekalipun kepemimpinannya.

Hukum Tata Negara124

2. Dalil naqli

Terdapat dua sumber yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum dalam Islam akan pentingnya keberadaan pemimpin negara;

a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an

Ada 4 (empat) kata kunci yang dapat dijadikan rujukan untuk mencari dalil-dalil yang berkaitan dengan pemimpin dan kepemimpinan dalam al-Qur’an adalah kata “imam, khalifah, wali dan ulil amri”.

1. Imam, berkenaan dengan istilah ini ada dua kata yang digunakan; “imam” (isim mufrad) dan “a’immah” (isim jama’), artinya pemimpin. Kata “imam” disebut seban-yak 7 (tujuh) kali dalam 7 (tujuh) surat yang berbeda, sedangkan kata “a’immah” disebut sebanyak 5 (lima) kali dalam 4 (empat) surat.

a. Kata “imam” terdapat dalam ayat-ayat sebagai beri-kut; al-Hijr ayat 79, Yasin ayat 12, al-Baqarah ayat 124, Hud ayat 17, al-Furqan ayat 74, al-Ahqaf ayat 12, dan al-Isra ayat 71

b. Kata “a’immah” terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut; al-Taubah ayat 12, al-Anbiya ayat 73, al-Qashash ayat 5 dan 41 dan al-Sajadah ayat 24,

2. Khalifah, sebagaimana kita ketahui dalam kamus-kamus bahasa Arab, berasal dari kata kha-la-fa, yang dapat saja memiliki aneka arti; dibelakang, yang datang setelah, pengganti dan pemimpin. Dalam terminologi politik kata khalifah dimaknai sebagai pemimpin negara.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 125

Istilah khalifah dalam terma pemimpin negara termak-tub dalam Al-Quran sebanyak 7 (tujuh) kali dalam 6 (enam) surat, yaitu; al-Baqarah ayat 30, Shad ayat 26, al-An’am ayat 165,Yunus ayat 14 dan 73, al-A’raf ayat 69, dan al-Naml ayat 62,

Kata khalifah atau khalaif yang dipadukan dengan kata “ja-‘a-la” bermakna mengangkat, menjadikan, atau memfungsikan. Makna ini adalah kunci memahami is-tilah khalifah secara syar’i menurut aqidah Islam (http://khalifah000.wordpress.com/), yaitu aparatur Allah dimu-ka bumi.

3. Wali, cukup banyak kata ini terdapat dalam al-Qur’an baik dalam bentuk mufrad (singular) maupun dalam bentuk jama’ (plural). Diantara kata wali yang dapat dimaknai sebagai pemimpin negara (politik) terdapat dalam surat al-Maidah ayat 51 dan surat al-Nisa ayat 144.

4. Ulil Amri

Menurut hemat penulis, terma inilah yang paling cocok dan tanpa perlu penafsiran yang mendalam dan eksten-sif untuk mengait-kaitkan dengan pemimpin politik dalam arti kepala negara dan/atau kepala pemerintahan. Kata ulil amri ini hanya terulang 2 (dua) kali dalam al-Qur’an, yakni dalam surat al-Nisa ayat 59 dan 83 sebagai berikut;

األمر الرسول وأول وأطيعوا أطيعوا هللا آمنوا الذين ها أيـ ي

تم ردوه إل هللا والرسول إن كنـ نازعتم ف شيء فـ منكم فإن تـ

Hukum Tata Negara126

ر وأحسن تويل وم اآلخر ذلك خيـ ؤمنون بهلل واليـ تـ“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikan-lah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik aki-batnya..”

وإذا جاءهم أمر من األمن أو الوف أذاعوا به ولو ردوه إل

هم نبطونه منـ هم لعلمه الذين يستـ الرسول وإل أول األمر منـ

يطان إال قليل عتم الش بـ ولوال فضل ال عليكم ورحته التـ“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang kea-manan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Ra-sul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).”

Walaupun ahli tafsir berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud ulil amri dalam dua ayat al-Qur’an itu, namun mayoritas pandangannya tertuju pada pemimpin politik atau yang memiliki keterkaitan dengan bidang politik. Berikut ini adalah beberapa nukilan pendapat para ahli tafsir dalam kitab tafsirnya masing-masing;

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 127

1. Tafsir at-Thabari

Sebuah kitab tafsir klasik yang ditulis oleh ulama besar Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari dan banyak diru-juk oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri.

Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimak-sud dengan ulil amri adalah umara. Berkata sebagian ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpen-dapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)

2. Tafsir al-Mawardi

Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat “ulul amri” pada QS An-Nisa:59.

Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid. Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa wa-laupun mereka mengartikannya dengan umara namun mere-ka berbeda pendapat dalam sabab nuzul turunnya ayat ini.

Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin

Hukum Tata Negara128

Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Ra-sul sebagai pemimpin dalam sariyah.

Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah.

Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih me-nyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500).

3. Tafsir al-Maraghi

Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasu-kan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemasla-hatan umum.

Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebut-kan contoh yang dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi (lembaga legislatif) yang dipercaya oleh umat, sep-erti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam kemasla-hatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya. (Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 72-73).

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 129

4. Tafsir Fakhrur Razi

Imam Fakhur Razi mencatat ada empat pendapat ten-tang makna ulil amri;

Pertama, makna ulil amri itu adalah khulafa ar-rasyidin.

Kedua, pendapat lain mengatakan bahwa ulil amri ber-makna pemimpin perang (sariyah).

Ketiga, ulil amri itu adalah ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara dan mengajarkan manusia tentang agama (islam).

Keempat, dinukil dari kelompok rawafidh bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah imam-imam yang mashum. (Tafsir al-fakhr ar-Razi, juz 10, h. 144)

5. Tafsir Ruh al-Ma’ani

Senada dengan sejumlah kitab tafsir di atas, al-Alusi, pengarang tafsir Ruh al-Ma’ani, mendata adanya beberapa pandangan tentang makna ulil amri. Ada yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah pemimpin kaum muslimin (umara al-muslimin) pada masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para khalifah, sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah pem-impin sariyah. Juga ada yang berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi. (Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, h. 65).

6. Tafsir Ibnu Katsir

Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadits mengenai makna ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah, menurut zhahirnya ialah ulama. Sedangkan secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518) (http://media.isnet.org/isnet/).

Hukum Tata Negara130

b. Dalil-dalil dalam al-Hadits

Al-Hadits adalah sumber panduan hidup bagi selu-ruh aktivitas kehidupan seluruh umat Islam, masalah sosial, ekonomi sampaia pada soal politik dan ketatanegaraan. Apal-agi Nabi Saw. sang pemilik dan tindak suci itu diposisikan pemimpin umat, pembela kaum lemah dan tertindas, pem-impin perang dan posisi-posisi penting dalam kehidupan so-sial-politik di masyarakat Madinah. Bahkan jauh sebelum itu, kalangan Quraisy, demi untuk menghambat ajaran Islam di bawa Nabi Muhammad Saw. pernah ditawari menjadi peting-gi segala kaum di masyarakat Makkah. Oleh karena sangatlah wajar apabila dalam hadits terdapat banyak tuntunan tentang pemimpin dan kepemimpinan serta tanggungjawabnya se-bagai pemimpin, baik pemimpin bagi dirinya sendiri apalagi pemimpin bagi khalayak.

Berikut ini beberapa hadits yang memberikan petunjuk bahwa pemimpin dan kepemimpinan salah satu masalah kru-sial dalam Islam;

نا عبد هللا بن مسلمة عن مالك عن عبد هللا بن دينار ثـ حد

عن عبد هللا بن عمر أن رسول ال صلى هللا عليه وسلم قال

أال كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فاألمر الذي على

أهل هم والرجل راع على عليهم وهو مسئول عنـ الناس راع

علها وولده يت بـ هم والمرأة راعية على بـ يته وهو مسئول عنـ بـ

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 131

هم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول وهي مسئولة عنـ

عنه فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته“Ibn Umar r.a berkata : saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pem-impin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari-hal hal yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari danMuslim)

د بن نا مم ثـ نا حات بن إسعيل حد ثـ نا علي بن بر حد ثـ حد

رة أن رسول ال عجلن عن نفع عن أب سلمة عن أب هريـ

ؤمروا ليـ فـ سفر ثلثة ف إذا كــان قــال وسلم عليه صلى ال

قلنا ألب سلمة فأنت أمرن أحدهم قال نفع فـ“Apabila terdapat tiga orang dalam sebuah perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah seorang dari mereka seba-gai pemimpin. Nafi’ berkata; kemudian kami katakan kepada Abu Salamah; maka engkau adl pemimpin kami.” [HR. Abu-daud No.2242].

Hukum Tata Negara132

ياح نا يي بن سعيد عن شعبة عن أب التـ ثـ د حد نا مسد ثـ حد

عن أنس بن مالك رضي ال عنه قال قال رسول ال صلى

عبد عليكم عمل استـ وإن وأطــيــعــوا اســعــوا ــم وســل عليه ال

حبشي كأن رأسه زبيبة“Anas r.a berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan ta’atlah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu se-orang budak habasyah yang kepalanya bagaikan kismis.” (HR. Bukhari)

Sesungguhnya masih banyak hadits tentang urgennya mengangkat seorang pemimpin. Lebih banyak lagi hadits yang berbicara tentang panduan mencari pemimpin, sikap pemimpin kepada rakyat, pemimpin yang adil, larangan me-minta jabatan dan akibat-akibat buruk dari pemimpin yang otoriter serta bodoh.

B. Landasan Yuridis Kepemimpinan Negara dan Hukum Tata Negara Indonesia

Bangsa Indonesia baru memiliki negara yang berdaulat sete-lah terjadinya proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan itu adalah hasil dari sebuah episode panjang perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Semboyan “merde-ka atau mati” menjadi harga mati seluruh pejuang saat itu. Ada ce-rita yang cukup menarik pada detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan itu. Soekarno yang menetapkan diri non-kooperatif terhadap Belanda, pada penjajah Jepang berubah haluan, menjadi kooperatif dengan penjajah. Sikap kooperatifnya ini mengarahkan

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 133

dia menjadi kurang responsif terhadap ajakan untuk segera me-merdekaan diri pada saat kondisi facum of power pasca kekalahan Jepang oleh tentara Sekutu. Sementara para pejuang lainnya sep-erti Sutan Syahrir berbeda haluan dengan Soekarno-Hatta saat itu, tetap berjuang lewat gerakan underground. Para pejuang yang dip-impin oleh Syahrir inilah yang menjadi otak “penculikan” Seokar-no-Hatta.

Berkenaan dengan kecepatan menerima berita internasional, Syahrir dan kawan-kawan lebih cepat dari Soekarno-Hatta, karena Syahrir memiliki pesawat radio gelap. Seluruh berita politik in-ternasional sangat mudah diterima Syahrir tanpa ada sensor dari pemerintah penjajah. Berita jatuhnya bom atom pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 di kota Nagasaki dan Heroshima, luluh lantakn-ya kekuatan Jepang di Saipan, Pasifik, bunuh diri masal serdadu Jepang di Okinawa dan pidato Kaisar Hirohito tentang pernyataan menyerah kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 menjadi bahan akurat bagi Syahrir dan pemuda nasionalis saat itu untuk segera mendesak deklarasi kemerdekaan secepatnya. Bahkan pada tanggal 15 Agustus 1945, dr. Soedarsono sempat membacakan teks proklamasi kemerdekaan yang disusun oleh Syahrir, tapi sayang teks itu hilang (S.B. Pramono dan Dessy Harahap, 2013: 53-54).

Para pemuda nasional yang sudah mendapat berita rentetan kekalahan dan menyerahnya Jepang kepada Sekutu, menilai Soekarno- Hatta lamban bereaksi. Akhirnya dengan sangat ter-paksa pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00, Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh “menculik” dan membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang. Disana Soekarno-Hatta didesak untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu terjadi perdebatan antara golongan tua dan muda berjalan alot. Walaupun terjadai beberapa kesepakatan tentang proklamasi kemerdekaan, tapi kondisi dan situasi yang diinginkan oleh golongan muda tidak

Hukum Tata Negara134

begitu mendukung dan menguntungkan, tak ada dukungan penuh dari anggota PETA.

Tapi Tuhan berkendak lain, setelah perundingan itu ternyata keesokan harinya Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sehari setelah itu, Soekarno-Hatta ditunjuk oleh PPKI menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Dari berbagai catatan, pada sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 banyak putusan yang diambil, diantaranya pengesahan UUD 1945 dan penunjukkan presiden. Semua putusan itu sangat cepat dan singkat, karena kebutuhannya adalah agar Indonesia menjadi ne-gara yang merdeka dan berdaulat baik secara the jure maupun the facto, serta pengakuan dunia internasional.

Bila dilihat dari sejarah penunjukan itu berawal dari usulan Otto Iskandardinata dan berbeda dengan isi dari konstitusi yang baru saja disahkan, yakni lewat pemilihan. Maka dapat dikatakan penunjukan itu tidak berkesesuaian dengan UUD 1945 yang men-jadi konstitusi negara. Kondisi revolusi saat itu sajalah yang dapat membenarkan peristiwa penunjukkan presiden dan wakil presiden.

Setelah itu, konfigurasi politik dibarengi dengan beberapa kali perubahan sistem pemerintahan menjadi Soekarno mulus menja-di presiden dengan memanfaatkan perubahan-perubahan situasi politik. Bahkan sampai pada menjadikan dirinya sebagai presiden seumur hidup.

Dilihat dari berbagai kasus dalam negara modern, landasan hukum yang dipakai dalam menentukan atau memilih kepala ne-gara adalah konstitusi negara. Dalam konteks Indonesia, berarti UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait. Dalam konstitusi UUD 1945 terutama pada pasal 7.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 135

BAB VII

PENGANGKATAN KEPALA NEGARA MENURUT UUD 1945 PRA DAN

PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH)

Demokrasi merupakan tema sentral UUD 1945, sehingga semua pemerintahan di Indonesia berupaya mewujudkan nilai-nilai demokrasi dengan cara memberikan penafsiran atas nama demokrasi yang terkandung dalam UUD 1945 tersebut. Dengan perbedaan latar belakang, tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh masing-masing pemerintahan, upaya mewujudkan demokrasi tersebut melahirkan penafsiran atas demokrasi yang berbeda satu sama lain (Aidul Fitriciada Azhari, 2010: 28).

Tafsiran-tafsiran tentang demokrasi itu jelas terekam dalam rentang sejarah demokratitasi di Indonesia, dari masa awal ke-merdekaan sampai masa reformasi. Dari rekam jajak demokratisasi itu, hubungan antara pejabat negara, elemen ataupun kompenen negara berlangsung secara fluktuatif, ekuivalen dengan need dan mood aparatur negara yang berkuasa. Terkadang politik belah bambu diterapkan untuk melanggengkan kekuasaannya (Farkhani, 2011: 2).

Hukum Tata Negara136

Tafsiran demokrasi yang termuat dalam UUD 1945 itu mela-hirkan sistem demokrasi ala Indonesia dengan sebutan;

Pertama, demokrasi liberal. Sistem dekorasi liberal ini berlang-sung mulai tahun 1945-1945. Ciri utamanya adalah la-hirnya puluhan partai peserta pemilu sebagai akibat dari lahirnya maklumat No. X pada tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Muhammad Hatta.

Kedua, demokrasi parlementer. Demokrasi parlementer ber-langsung antara tahun 1950-1959. Pada masa ini frag-mentasi politik sangat kuat, mengakibatkan kinerja par-lemen dan pemerintah tidak berjalan mulus. Pemimpin pemerintahan berganti silih berganti, anehnya walaupun fragmentasi politik yang seperti itu, posisi Soekarno se-bagai kepala negara tidak terusik sama sekali.

Ketiga, demokrasi terpimpin. Secara sederhana demokrasi ter-pimpin bercirikan dominasi penuh dari presiden, dan ide ini adalah murni dari pemikiran Soekarno sendiri pada saat itu. Berawal dari ketidakpercayaan Soekarno pada sistem demokrasi parlementer yang dipraktikan se-belumnya. Berbagai mosi tidak percaya dari partai poli-tik menjadi iklim politik tidak tenteram, kepala pemer-intahan selalu tidak dapat bertahan lama.

Keempat, demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah taf-siran demokrasi ala Soeharto, meletakkan Pancasila se-bagai dasar negara yang sakral dan memposisikan UUD 1945 sebagai korpus tertutup, tertutup dari perubahan dan tertutup dari tafsiran di luar pemerintah. Dalam me-nafsirkan demokrasi Pancasila, Soeharto menempatkan pemerintah (presiden) pada posisi yang sangat kuat. Tri-as Politika berjalan dalam bayang-bayang semu, kurang

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 137

makna dan kurang artikulasi. Presiden memiliki kekua-saan absolut menjalan negara dan hampir-hampir tak terbatas wewenang dan kekuasaannya, sehingga sampai lima kali pemilihan presiden, tak seorangpun yang be-rani bersaing melawan Soeharto.

Kelima, demokrasi reformasi. Sesungguhnya demokrasi refor-masi adalah bentuk kelanjutan dari evolusi demokra-si Pancasila, Yang membedakan adalah konsistensi demokrasi yang bertitik tolak pada norma dan aturan konstitusi dengan pembagian kekuasaan yang berim-bang serta kontrol ketat pada masing-masing titik kekua-saan trias politika (Farkhani, 2011: 19-26).

Kajian pengangkatan dan pemberhentian presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan) di Indonesia mulai muncul di era demokrasi reformasi. Pada masa di mana kekuasaan Orde Baru dengan ikon Soeharto sudah tidak lagi diperhitungkan sama sekali bahkan alergi bila disangkut-pautkan dalam berbagai hal sebagai bagian dari Soeharto. Pada saat yang sama eforia demokratisasi menyelimuti seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia.

Kajian ini semakin mengemuka ketika partai-partai poros tengah yang dimotori oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Amin Rais-nya berhasil menjadikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden ke-4 mengalahkan Megawati yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai par-tai pemenang pemilu tahun 1999. Kurang dari dua tahun masa pemerinatahn Abdurrahmman Wahid, karena banyaknya kasus dan instabilitasi politik yang tidak kunjung membaik, akhirnya melalui Sidang Istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001, Abdur-rahman Wahid dilengserkan secara konstitusional.

Hukum Tata Negara138

A. Pengangkatan Kepala Negara Sebelum dan Setelah Amandemen UUD 1945

Betapapun sangat urgen dan mendesaknya kebutuhan akan pemimpin masyarakat atau negara, merujuk pada norma-norma yang diwujudkan dalam bentuk aturan (konstitusi dan peraturan perundang-undangan) atas konsensus bersama menjadi wajib hukumnya. Setelah keberadaan norma hukum, kemudian jalur ini sengaja dilanggar, jangan harap stabilitas sosial, politik dan ekonomi akan terwujud dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab bersama. Taruhlah ada kekuatan inkonstitusional yang san-gat kuat, otoriter dan represif yang dengan kekuatannya itu mampu meredam segala gejolak yang ada, paling itu hanya akan ada diper-mukaan, sementara gerakan-gerakan bawah tanah (under ground) menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak, menunggu wak-tu dan kesempatan yang tepat untuk muncul kepermukaan.

Oleh karenanya ketaatan kepada konstitusi, kebenerimaan antara yang dipimpin dan yang memimpin harus terwujud, tidak boleh ada keterpaksaan. Ini penting, sebab keterkaitan dan hubun-gan antar pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin keselarasan, harmoni serta membentuk mozaik yang indah, penuh kesadaran bahwa masing-masing pihak saling membutuhkan keberadaan satu sama lainnya.

Di negara kita, Indonesia tercinta, telah ada empat orang presiden yang pada masa pengkatan dan pemberhentiannya men-unjukkan ada masalah politik dan hukum yang paling tidak perlu pengkajian, bahkan dari sisi legitimasi hukumnya.

Pertama, Presiden Soekarno. Pada saat pengangkatan Soekarno sebagai presiden dalam sidang PPKI yang berawal dari usulan Otto Iskandardinata bersamaan dengan pengesa-han UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 139

Penulis tidak mengetahui mana dahulu (pada saat sidang itu), apakah pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi negara atau penunjukan Soekarno sebagai presiden per-tama negara Indonesia yang baru merdeka. Namun dari beberapa literatur yang didapat, menunjukkan bahwa pengesahan UUD 1945 lebih dulu dilakukan ketimbang penunjukkan Soekarno sebagai presiden oleh Sidang PPKI.

Padahal kita ketahui bersama bahwa dalam batang tu-buh UUD 1945 terdapat pasal yang membicarakan ten-tang pemilihan presiden. Melihat fakta sejarah yang ber-samaan itu, sudah dapat dipahami bahwa penunjukkan itu tidak sesuai dengan konstitusi UUD 1945. Namun dalam kondisi negara yang baru merdeka dan masih ter-buka rongrongan penjajah Belanda untuk melanjutkan penjajahannya, serta kebutuhan teoritik dan politik yang mengharuskan untuk segera hadirnya seorang presiden bagi sebuah negara yang baru merdeka, penunjukan Soekarno sebagai presiden saat itu dapat dipahami se-bagai sebuah kaharusan sejarah dan kaharusan sebuah revolusi.

Kedua, Presiden Soeharto. Karena ontran-ontran politik, insta-bilitas sosial dan ekonomi, serta persoalan pemberonta-kan G 30 S PKI, pada tanggal 1 November 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 179/KOTI/1965 mengangkat Mayjen Soeharto sebagai Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Kemudian pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah (dikenal dengan sebutan SUPERSEMAR, Surat Perintah Sebelas Maret) kepada Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu bagi terjaminya kea-

Hukum Tata Negara140

manan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemer-intahan dan revolusi.

Walaupun beberapa kebijakan telah dikeluarkan oleh Soekarno untuk mengatasi ketidakstabilan situasi poli-tik, sosial, keamanan dan ketertiban serta keterpurukan ekonomi, kondisi itu tidak kunjung membaik. Akhirnya pada tanggal 20 Februari 1967 Presiden Soekarno men-gumumkan penyerahan kekuasaan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 kepada Jenderal Soeharto.

Pada Sidang Istimewa MPRS yang digelar pada tanggal 7-11 Maret 1967, Presiden Soekarno dilengserkan dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden (Hamdan Zoelva, 2005: 92-99). Melihat proses politik di MPRS saat itu, jelas mengabaikan norma hukum yang terdapat dalam konstitusi negara.

Ketiga, Presiden BJ. Habibie. Setelah selama 32 tahun sejak menduduki jabatan Pejabat Presiden pada tahun 1967, akhirnya Soeharto lengser setelah didemo oleh hampir seluruh elemen bangsa, terutama mahasiswa dengan nama gerakan reformasi.

Presiden Soeharto yang membacakan surat pengun-duran dirinya sebagai presiden di Istana Negara dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ. Habibie dianggap oleh sebagian kelompok reformis se-bagai peralihan kekuasaan yang inkonstitusional, yang berarti tidak absah, dengan bukti mereka menyusun sua-tu deklarasi di Hotel Sahid Jaya, 12 November 1998 yang dikenal dengan “Komunike Bersama” (Sri Edi Swasono, 2001: 448).

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 141

Keempat, Presiden Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid terpilih dalam Sidang MPR pada tahun 1999, setelah In-donesia berhasil menyelenggarakan pemilu yang di nilai oleh dunia internasional sebagai pemilu yang sangat demokratis.

Berawal dari peristiwa itu, kemudian Indonesia dikenal sebagai negara paling demokratis di dunia.

Terpilihnya Abdurrahman Wahid, –dengan segala kekurangan yang ada padanya- lebih cenderung atas pertimbangan politik yang lebih dominan, dibanding mencermati dan menafsirkaan secara sungguh-sungguh pada peraturan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden yang tertera dalam UUD 1945 dan secara khu-sus TAP MPR RI No. II/MPR/1973.

Bila sebatas melihat kulit dari UUD 1945 dan TAP MPR tersebut, Abdurrahman Wahid terpilih secara prosedur-al dan konstitusional. Tapi bila saja para politisi di MPR itu melakukan pengkajian secara mendalam pada syarat-syarat seseorang menjadi presiden, bisa jadi Abdurrah-man Wahid akan terganjal.

Kelemahan-kelemahan yang ada pada diri Abdurrah-man Wahid yang kemudian menjadi penyebab ia juga dilengserkan oleh MPR melalui Sidang Istimewa di ta-hun 2001.

Dalam hal mengkaji pengangkatan presiden dan wakil pres-iden di Indonesia, norma dasarnya terdapat dalam UUD 1945. Se-belum amandemen UUD 1945, landasan hukum yang dijadikan acauan dalam pengangkatan presiden (kepala negara) Indonesia tercantum dalam UUD 1945 pasal 6 ayat 2 dan TAP MPR RI No. II/

Hukum Tata Negara142

MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presidan dan Wakil Pres-iden.

Secara garis besar dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut;

a. Warga negara yang akan diangkat sebagai presiden harus tel-ah memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam UUD 1945 pasal 6 ayat 1 dan TAP MPRS RI No. II/MPR/1973 pasal 1 dengan rincian persyaratan sebagai berikut;

1. Warga negara Indonesia asli

2. Telah berusia 40 tahun

3. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum.

4. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

5. Setia kepada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pan-casila dan Undang-Undang Dasar 1945

6. Bersedia menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis dan putu-san-putusan Majelis

7. Berwibawa

8. Jujur

9. Cakap

10. Adil

11. Dukungan dari rakyat yang tercermin dalam majelis

12. Tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak lang-sung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pan-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 143

casila dan Undang-Undang Dasar 1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau organisasi terlarang lainnya.

13. Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 ta-hun.

14. Tidak terganggu jiwa/ingatannya.

b. Calon presiden diusulkan oleh fraksi secara tertulis dan dis-ampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan Fraksi dengan persetujuan calon.

c. Diadakan pemungutan suara oleh anggota MPR guna menen-tukan siapa yang berhak menjadi presiden.

d. Pemilihan dilakukan di MPR dengan syarat memenuhi quo-rum yang telah ditentukan.

e. Setelah terpilih, calon dilantik menjadi presiden oleh MPR dengan mengucapkan sumpah.

Tahun 2004 UUD 1945 telah mengalami perubahan yang keempat, setelah tiga tahun sebelumnya pada tiap tahun men-galami perubahan. Dan UUD 1945 setelah tahun 2004 belum lagi mengalami perubahan walaupun beberapa kali muncul wacana untuk melakukan perubahan yang kelima. Oleh karenanya, konsti-tusi UUD 1945 pasca amandemen menjadi acuan ketatanegaraan Indonesia, terutama dalam hal ini adalah mengenai pengangkatan presiden dam wakil presiden.

Hukum Tata Negara144

Sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen, pasca aman-demen pun aturan tentang pengangkatan presiden tidak cukup hanya diatur dalam konstitusi negara, teknis pelaksanaan selan-jutnya adalah diterangkan lebih lanjut dengan peraturan perun-dang-undangan tentang pemilihan umum presiden dan wakil pres-iden. Setelah amandemen lahir 2 (dua) undang-undang tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu; UU No. 23 Tahun 2003 dan UU No. 42 Tahun 2008.

UU No. 23 Tahun 2003 dijadikan sebagai acuan untuk pelak-sanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004, adapun UU No. 42 Tahun 2008 dijadikan acuan untuk Pe-milihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2009 dan 2014.

Aturan yang ada dalam UUD 1945 pasca amandemen dan undang-undang tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden selanjutnya diperjelas lagi dalam hal teknis pelaksanannya oleh peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Secara singkat peraturan tentang pengangkatan paket pasan-gan presiden dan wakil presiden dijelaskan sebagai berikut;

a. Warga negara yang akan diangkat menjadi presiden (wakil presiden) harus telah memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam UUD 1945 pasal 6 dan pasal 6A dan UU No. 42 Tahun 2008 pasal 5, dengan rincian syarat;

1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena ke-hendaknya sendiri

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 145

3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana be-rat lainnya

4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden

5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara

7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara pero-rangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara

8. Sedang tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan

9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela

10. Terdaftar sebagai pemilih

11. Memiliki Nomor pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tel-ah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi

12. Belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama

13. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945

Hukum Tata Negara146

14. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putu-san pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih

15. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun

16. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat

17. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komu-nis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bu-kan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI dan

18. Memiliki visi, misi dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.

b. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum

c. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat

d. Setelah terpilih, calon dilantik menjadi presiden dan wakil presiden oleh MPR dengan mengucapkan sumpah.

B. Pengangkatan Kepala Negara Menurut Hukum Tata Negara Islam (Siyasah Islamiyah)

Dalam Islam, lembaga kepala negara dan pemerintahan di-adakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala negara untuk mem-impin umat Islam sebagaimana tersebutkan dalam dalil-dalil yang

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 147

disebutkan pada bab sebelumnya, menurut ijma ulama hukumnya wajib.

Kewajiban itu dapat berlandasan pada rasionalitas kemanu-siaan dan dapat pula berdasarkan pada syari’at. Berdasarkan rasio karena manusia mempunyai kecenderungan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada seorang pemimpin yang dapat menghalan-gi terjadinya kedzaliman yang menimpa mereka serta menuntas-kan perselisishan dan permusuhan diantara mereka. Seandainya tidak ada pemimpin dan pemerintah niscaya mereka hidup dalam ketidakteraturan tanpa hukum dan menjadi bangsa yang primitif tanpa ikatan. Berdasarkan syari’at karena kepala negara menjalan-kan tugas-tugas agama yang bisa saja rasio tidak mendorongnya dan rasio tidak mewajibkan sang pemimpin untuk menjalankan-nya (Imam al-Mawardi, 2000: 15).

Ketika syari’at telah mewajibkan umat Islam untuk mengang-kat seorang kepala negara, maka syari’at pun telah menggariskan thariqhah, cara atau metode yang harus ditempuh untuk mewu-judkan perintah wajib itu. Metode yang dimaksud telah disebutkan dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’ Sahabat, yaitu bai’at (Taqi-yuddin al-Nabhani, 1996: 80). Diantara dalil-dalil yang dijadikan rujukan adalah;

وق أيديهم بايعون هللا يد هللا فـ ا يـ بايعونك إن إن الذين يـ‘Sesungguhnya orang-orang yang membai’atmu (Muhammad) sebenarnya semata-mata mereka membai’at Allah, tangan Al-lah berada di atas tangan-tangan mereka” (QS. al-Fath: 10)

Sebuah Hadits menyatakan;

“Kami berbait kepada Nabi Saw. untuk senantiasa menden-gar dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami

Hukum Tata Negara148

senangi maupun yang tidak kami senangi dan kami tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak dan agar kami senan-tiasa mengerjakan atau mengatkan yang dimanapun kami be-rada, tidak takut –karena Allah- akan celaan dari orang-orang yang mencela” (HR. Bukhari).

Sebelum pembaitan, ada prosedur yang harus dilalui terle-bih dahulu dalam sistem hukum ketatanegara Islam, yakni melalui proses yang ada dalam lembaga yang bernama ahlul halli wal aqdi. Dalam lembaga ini, sebelum pembaitan ada tahap pencalonan, pe-milihan dan penerimaan calon.

Pada saat ahlul halli wal aqdi bersidang untuk memilih kepala negara, maka mereka segera mempelajari siapa saja individu yang memenuhi kriteria untuk memangku jabatan kepemimpinan nega-ra itu, kemudian mereka mendahulukan orang-orang yang paling utama dan paling lengkap persyaratannya, serta orang-orang yang memiliki konduite bagus di mata masyarakat, sehingga masyarakat segera ikut membai’atnya dan tidak menentangnya.

Jika seseorang itu telah terpilih untuk memangku jabatan tersebut, hal itu harus ditawarkan kepadanya; jika ia setuju maka masyarakat segera membai’atnya dan bai’at itu menjadi sah bag-inya (legitimate). Setelah itu masyarakat seluruhnya harus turut membai’atnya dan mentaatinya. Jika orang yang terpilih itu me-nolak, maka jabatan itu tidak boleh dipaksakan kepadanya, sebab kepemimpinan itu adalah akad saling ridla dari hasil pemilihan bebas, tidak dapat dilakukan dengan tekanan dan paksaan. Lalu jabatan itu ditawarkan kepada orang lain yang juga memiliki kom-petensi dan kapabalitas untuk memangkunya (Imam al-Mawardi, 2000: 20).

Jika ada dua orang yang memiliki kapasitas yang sama, maka yang lebih tua yang didahulukan walaupun untuk memilih yang

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 149

muda tetap diperbolehkan. Adapun jika salah seorang itu memiliki pengetauan yang lebih luas dan yang kedua lebih berani (memiliki kelebihan yang terspesifikasi), maka pemilihan harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan negara pada saat itu (Imam al-Mawar-di, 2000: 21).

Sebelum seorang calon pemimpin negara itu dipilih, calon itu harus dipastikan memiliki syarat-syarat umum sebagai calon kepala negara, yaitu;

a. Keseimbangan (‘adalah) yang memenuhi semua kriteria.

b. Mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya dapat melakukan ijtihad untuk menghadapi kejadian-kejadian yang timbul dan untuk membuat kebijakan hukum.

c. Panca inderanya lengkap dan sehat –dari pendengaran, penglihatan, lidah dan sebagainya- sehingga ia dapat menangkap dengan benar dan tepat apa yang ditangkap dengan inderanya itu.

d. Tidak ada kekurangan pada anggota tubuhnya yang menghalanginya untuk bergerak dan cepat bangun.

e. Visi pemikirannya baik sehingga ia dapat menciptakan kebijakan bagi kepentingan rakyat dan mewujudkan ke-maslahatan mereka.

f. Mempunyai keberanian dan sifat menjaga rakyat, yang membuatnya mempertahankan rakyatnya dan memer-angi musuh.

g. Mempunyai nasab dari suku Quraisy (Imam al-Mawar-di, 2000: 18). Untuk point yang terakhir ini, para pemikir politik kenegaraan Islam berselisih, ada yang tetap pada ketentuan ini yang didukung oleh beberapa dalil hadits, ada pula yang mencoba keluar dari ketentuan tersebut,

Hukum Tata Negara150

menyesuaikan dengan konteks kebutuhan yang dihadapi umat.

Melihat pada kasus sejarah kekhilafahan pasca Rasulullah, dalam Islam ada beberapa model pemilihan dan pengakatan kepa-la negara yang dapat dipilih dan digunakan sesuai dengan konteks politik dan aturan perundangan yang ada, yaitu;

a. Model pemilihan langsung, dengan mencontoh kasus pembai’atan langsung Abu Bakar al-Shiddiq sebagai calon yang diajukan dari golongan kaum Muhajirin, mengalahkan Abdullah bin Ubadah dari golongan An-shar.

b. Model penyerahan mandat dari pemimpin sebelumnya, yaitu kasus penyerahan mandat dari Abu bakar kepada Umar bin Khattab.

c. Model pemilihan tidak langsung melalui lembaga ahlul halli wal aqdi seperti kasus terpilih Utsman bin Affan.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 151

BAB VIII

PEMBERHENTIAN KEPALA NEGARA MENURUT UUD 1945 PRA DAN

PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH)

Empat Presiden Negara Republik Indonesia, secara berurutan mengakhiri masa jabatannya secara tidak normal, yakni berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir dan per-tanggungjawabanya tidak diterima oleh MPR.

Pertama, Presiden Soekarno diberhentikan oleh Majelis Per-musyawaratan Rakyat Sementara melalui Sidang Istime-wa pada tahun 1967, dengan tuduhan Presiden Soekar-no terlibat dalam gerakan G-30-S/PKI pada tahun 1965 yang memakan korban para jenderal TNI Angkatan Darat serta ketidakmampuannya untuk menstabilisasi kondisi politik, ekonomi, sosial dan keamanan.

Kedua, Presiden Soeharto lengser, mengundurkan diri dari jabatannya karena tekanan demontrasi mahasiswa dan elemen masyarakat pendukung reformasi. Soeharto yang hampir 6 (enam) kali pemilihan dalam sidang MPR selalu terpilih dan memiliki kekuasaan yang luar biasa melingkupi eksekutif, legislatif dan yudikatif, tidak berdaya menghadapi gelombang demontrasi. Krisis moneter yang terjadi sejak tahun 1997 yang tak kunjung

Hukum Tata Negara152

berhasil diatasi, meluncur menjadi pemicu delegitimasi terhadap pemerintahan Soeharto. Akhirnya, pada bulan Mei 1998 Soeharto mengakhiri masa jabatannya setelah 32 tahun berkuasa.

Ketiga, Presiden BJ. Habibie yang semula sebagai wakil pres-iden, karena Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, dilantik menjadi presiden yang ke-3. Presiden Habibie seusungguhnya berhasil memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia, kurs rupiah yang sem-pat mencapai level 17.000/dollah US dibawanya menjadi 7.000/dollar US. Kran demokrasi yang dulu sempat ter-sumbat, dibuka lebar.

Presiden BJ. Habibie mengakhiri masa jabatannya den-gan penolakan laporan pertanggungjwabannya sebagai presiden pengganti Soeharto oleh MPR. Dosa besar yang dituduhkan kepada Habibie adalah melepaskan Timor Timur dari NKRI.

Keempat, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR melalui Sidang Istimewa sebelum masa jabatannya be-rakhir. MPR mencabut mandatnya karena Presiden Abdurrahman Wahid dianggap melanggar Undang-Un-dang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

A. Pemberhentian Kepala Negara Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen

Dalam sistem presidensil, sebagaimana empat presiden RI yang mengakhiri masa jabatannya secara tidak normal itu, sesung-guhnya memberikan kedudukan presiden sangat kuat, karena memang sistem ini dimaksudkan untuk melahirkan suatu pemer-intahan yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Oleh ka-

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 153

rena itu dalam sistem pemerintahan seperti ini ditentukan masa jabatan presiden dalam jangka waktu tertentu (fix term office peri-ode). Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila presiden itu melakukan pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi (Hamdan Zoelva, 2005: 4-5). Dan kita ketahui bersama bahwa UUD 1945 sebelum perubahan tidak memberikan aturan yang rinci mengenai pemberhentian presiden di tengah masa jabatannya atau sebelum masa jabatannya berakhir.

Ada satu pasal yang sedikit memiliki korelasi dengan per-soalan pemberhentian ini, tetapi memerlukan penafisran kontitusi yang sangat ekstensif, yaitu pasal 8. Namun menurut hemat penu-lis pasal itu hanya berkenaan dengan berhentinya presiden dari jabatannya karena “peristiwa alamiah” (overmach) yang bersifat kemanusiaan.

Pasal 8 itu berbunyi “jika presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya ia di-ganti oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya”. Adapun aturan yang dapat dijadikan rujukan untuk pemberhentian kepala negara dari jabatannya sebelum perubahan UUD 1945, hanya da-pat dilihat dalam TAP MPR RI No. VI/MPR/1973 tentang Kedudu-kan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan atau Antar Lembaga Tinggi Negara, yakni terdapat dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa “majelis dapat memberhentikan presiden sebelum habis masa jabatannya karena;

a. Atas permintaan sendiri

b. Berhalangan tetap

c. Sungguh-sungguh melanggar haluan negara.

Melihat pada aturan konstitusi dan peraturan perundangan lainnya, maka sangat wajar 3 (tiga) dari 4 (empat) presiden In-

Hukum Tata Negara154

donesia yang mengakhiri masa jabatannya secara tidak normal, lebih berat unsur politiknya ketimbang unsur hukum. Dalam ar-tian konfigurasi dan fragmen politik lebih dominan menjadi faktor pendorong lengsernya presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Sedangkan politik sangat penuh dengan faktor kepentingan, baik individu maupun kelompok atau golongan. Atau gabungan antara kepentingan individu dan kepentingan golongan.

Setelah amandemen ketiga terhadap UUD 1945, baru wajah Hukum Tata Negara Indonesia berubah, terutama yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian kepala negara. Peruba-han itu mencakup;

Pertama, tidak lagi menempatkan Majelis Permusyawaratan Raky-at (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang mendis-tribusikan kekuasaan negara pada lembaga-lembaga negara yang lain termasuk tidak memiliki kekuasaan tunggal untuk mengangkat presiden dan wakil presiden.

Kedua, memberikan penguatan dan mempertegas sistem pemerintahan presidensil yang dianut yaitu dengan me-nentukan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat serta presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan dalam jabatannya apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghinaan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tidak pidanan berat lainnya, atau perbuatan tercela; maupun apabila terbukti sudah tidak lagi memenuhi syarat seba-gai presiden dan/atau wakil presiden Republik Indonesia (Hamdan Zoelva, 2005: 6).

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 155

Rincian yang disampaikan Hamdan Zoelva tersebut, tertera jelas dalam konstitusi UUD 1945 pasal 7A (pasal hasil amandemen ketiga). Memperhatikan isi dari pasal ini maka arah bandul pem-berhentian presiden dalam masa jabatannya berubah, dari sangat bernuansa politik menjadi sangat bernuansa hukum, meskipun pada akhirnya pemberhentian ini tetap harus melalui lembaga politik, dalam hal ini adalah dalam Sidang Majelis Permusyawara-tan Rakyat (MPR).

Pelanggaran hukum yang termaktub dalam pasal 7A itu ada-lah;

1. Melakukan tindakan pengkhianatan terhadap negara2. Melakukan tindak pidana korupsi3. Melakukan tindak pidana penyuapan4. Melakukan tindak pidana lainnya dan 5. Melakukan tindakan tercelaKarena konstitusi ini adalah konstitusi “baru” yang tidak lagi

ada penjelasannya seperti halnya UUD 1945 sebelum amandemen, maka kita tidak mendapatkan pengertian tentang perbuatan-per-buatan yang termasuk dalam pelanggaran hukum yang dimaksud pasal 7A tersebut. Untungnya Undang-Undang tentang No. 24 Ta-hun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 10 ayat 3 memberi-kan penjelasan tentang hal itu, yaitu;

1. Yang dimaksud dengan penghianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Undang-undang yang dimaksud ada-lah undang-undang yang terkait khusus dengan keamanan negara, atau untuk sementara ini dapat diarahkan pada per-buatan-perbuatan yang diatur dalam Buku I dan Buku II KUHPidana.

Hukum Tata Negara156

2. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Un-dang-undang yang dapat dijadikan barometer korupsi dan penyuapan adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 yang dirubah dengan UU No. 20 Ta-hun 2001).

3. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang di-ancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Ru-jukan jelasnya ada pada KUHPidana dan berbagai peraturan perundangan lainnya yang memberikan ketentuan ancaman pidana pada para pelanggarnya hukuman 5 (lima) tahun atau lebih, misal UU tentang Terorisme.

4. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden dan/atau wakil presiden. Untuk persoa-lan ini, baik UUD 1945 maupun UU Mahkamah Konstitusi tidak memberikan penjelasan yang memadai. Maka bisa saja ini dijadikan sebagai peluang permainan politik para senator di parlemen. Karena acuannya dapat saja ditarik ke berbagai norma yang hidup (living law) dalam masyarakat Indonesia dan sangat interpretatif.

Walaupun persoalan ini (point 4) sangat mungkin manjadi bahan permainan politik para senator di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun UUD 1945 memberikan tuntunan yang tertuang dalam pasal 7B. Pasal ini akan memberikan rambu bahwa usulan pemberhentian kepala negara tidak dapat dilakukan hanya berawal dari permainan politik para senator, menafsir suatu perbuatan yang dilakukan oleh presiden. Usulan itu akan diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan adanya prosedur ketat yang harus dilalui oleh para politisi di lembaga DPR itu sendiri dan pertarungan politik yang mungkin saja terjadi antara partai pendukung presiden dan para

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 157

oposisi. Jadi walaupun untuk perbuatan tercela ini tidak ada taf-sir otentiknya, pasal-pasal lain yang ada dalam konstitusi dan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi menjadi rambu-rambu yang ketat agar presiden dan wakil presiden tidak mudah dijatuhkan oleh permainan politik para senator di DPR.

Adapun mekanisme pemberhentian presiden dan wakil pres-iden diatur secara jelas dalam pasal 7B UUD 1945. Dalam hal ini lembaga yang diberikan wewenang untuk memberhentikan pres-iden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya hanya MPR. MPR hanya menjadi terminal akhir dari segala proses yang berawal dari usulan DPR.

Runtutannya adalah; DPR menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas atas kinerja pemerintah dalam hal menjalankan undang-undang, menjalankan program-program pembangunan, kebijakan dan kinerja pemerintah secara umum, termasuk penga-wasan terhadap tingkah laku (akhlak/moral) pribadi dari presiden dan/atau wakil presiden (eksekutif).

Pengawasan dalam hal ini tercakup dalam dua kategori; pel-anggaran terhadap hukum dan konduite dimana presiden dan/atau wakil presiden dianggap sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden (pasal 7A).

Setelah DPR mendapatkan keyakinan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dianggap melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat, maka DPR harus bersidang dengan ketentuan harus mendapat dukungan 2/3 suara dari quorum kehadiran para anggota DPR (pasal 7B ayat 3). Kemudian usulan itu disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan atas kesimpulan yang diajukan oleh DPR. Bila Mahkamah Konstitusi itu memutuskan bahwa kesimpulan yang diajukan oleh DPR itu benar dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

Hukum Tata Negara158

(hukum), maka DPR meneruskan proses usul pemberhentian itu kepada MPR. Namun bila mana apa yang disampaikan oleh DPR itu diputuskan oleh MK tidak terjadi pelanggaran hukum, maka gugurlah usulan pemberhentian dari DPR itu.

Apa yang dilakukan oleh DPR sebelum melakukan usulan itu, DPR harus melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum ataupun sudah tidak terpenuhinya syarat menjadi presiden dan/atau wakil presiden. Tugas itu harus diawali dengan mekan-isme hak angket.

Hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan ter-hadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta ber-dampak luas pada kehidupan masyarakat dan bangsa yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan mengenai hak angket ini diatur dalam pasal 20A ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “dalam melaksanakan fungsinya, selain yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak ang-ket, dan hak menyatakan pendapat”. Namun mekanisme pengajuan hak ini UUD 1945 tidak merincinya. Oleh karenanya rujukan me-kanisme tersebut harus melihat pada peraturan perundangan yang mengatur tentang hak angket dan hak-hak lainnya yang melekat pada DPR, dalam hal ini tertera dalam dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pada pasal 199-209.

Mekanisme permberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang demikian rigid, dikawal oleh pasal-pasal dalam konstitusi ne-gara (UUD 1945) dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 ten-tang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 159

(UU MD3) dan ditambah dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat menghalangi kepentin-gan dan pandangan politik yang bisa saja bersifat sangat subyektif dan permainan politik DPR. Seperti apa yang pernah terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid.

Walaupun telah ada upaya untuk menguatkan kedudukan presiden dalam sistem presidensil di Indonesia, dengan menga-mandemen UUD 1945 dan melengkapinya dengan peraturan pe-rundangan dibawahnya sebagaimana tersebut di atas, tetap saja masih menyisakan celah, dimana proses politik justru memiliki adil besar atas pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di MPR. Karena, jika pun putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa presiden dan atau wakil presiden melanggar hukum atau sudah tidak memenuhi syarat, tetapi dalam konstitusi maupun pe-rundangan lainnya tidak memberikan perintah kepada MPR untuk wajib menerima putusan MK. Ini berarti tetap memberikan ruang proses politik dalam MPR.

Proses politik dalam MPR itu paling tidak ada dua kemung-kinan atau bahkan tiga kemungkinan; pertama, secara aklamasi, musyawarah mufakat menyetujui putusan MK dan memberhenti-kan presiden dan/atau wakil presiden. Kedua, bisa jadi tidak meng-hiraukan putusan MK, MPR masih memandang layak presiden dan/atau wakil presiden dipandang masih layak untuk melanjutkan kekuasaan. Ketiga, suara anggota MPR terbelah, antara yang meny-etujui untuk pemberhentian dan yang melanjutkan kepemimpinan negara. Bila ini terjadi akan ada proses politik yang “dinamis” anta-ra para pendukung pemakzulan dan pendukung presiden untuk melanjukan kepemimpinan negara. Lobi-lobi akan dilakukan dan bisa memakan waktu lama, suasana politik bisa saja memanas dan akan berakibat pada kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan, pemerintahan tidak berjalan efektif dan lain sebagi-

Hukum Tata Negara160

anya, atau akhirnya terjadi voting, maka siapa yang paling banyak suara, ia yang menang.

B. Pemberhentian Kepala Negara Menurut Hukum Tata Negara Islam (Siyasah Islamiyah)

Di dalam Siyasah Syar’iyah atau Hukum Ketatanegaraan Is-lam, sesungguhnya tidak ada limit atau batasan waktu seorang yang telah dipilih menjadi khalifah, pemimpin negara dalam memimpin negara. Limitnya adalah sampai khalifah atau kepala negara (pr-seiden) itu menyatakan sendiri bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas-tugas negara atau dinyatakan sudah tidak mampu oleh lembaga berwenang oleh karena beberapa alasan. Ini berarti masa jabatan khalifah, kepala negara atau presiden bisa saja berlangsung seumur hidup.

Berkenaan pemberhentian kepala negara pada atau dalam masa jabatannya dalam sistem ketatanegaraan Islam bisa saja ter-jadi. Pemberhentian atau pemakzulan atau impeachment adalah masalah teknis atau prosedural yang bersifat administratif. Teknis administrasi atau prosedur dan mekanisme pemakzulan (pember-hentian) kepada negara tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi Saw. Bila begini adanya, maka terbuka luas bagi manusia untuk melakukan ijtihad, untuk men-emukan mekanisme pemakzulan yang dinisbatkan kepada syari’at. Oleh karena ini adalah persoalan ijtihad, maka sangat mungkin akan terjadi variasi hasil ijtihad dari para mujtahid. Dan semuanya itu dapat dinyatakan sah bila telah dipilih dan dianggap sebagai mekanisme pemakzulan yang terbaik.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 161

Beberapa yuris muslim, ketika membahas persoalan pemak-zulan imam, khalifah atau kepala negara banyak diantaranya hanya membahas tentang syarat atau hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan, tanpa menerangkan bagaimana mekan-isme pemakzulan itu dan lembaga apa yang berwenang untuk me-makzulkannya.

Asumsi penulis, ketidakpastian dalam proses pemakzulan dalam sistem ketatanegaraan Islam terpengaruh pada proses pen-gangkatan khalifah atau kepala negara dalam Islam yang tidak ter-paku dalam satu mekanisme tertentu, dalam sejarah ada tiga me-kanisme. Sementara itu ada dalil-dalil yang tidak memperbolehkan bagi rakyat yang telah membaiat khalifah kemudian karena sebab-sebab tertentu menarik kembali baitnya. Seperti hasil ijtihad dari mayoritas kaum Sunni bahwa bai’at yang telah diberikan kepada seorang imam tidak boleh ditarik kembali.

Menurut Abdul Qadir Zallum, “kalau bai’at tersebut sudah di-berikan, maka ia wajib terikat dengannya. Kalau yang memberikan baiat tersebut handak menariknya kembali, maka tidak diperbole-hkan. Membatalkan bai’at sama artinya dengan melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah (HR. Ridwan, 2007: 278).

Sekalipun umat yang mengangkat khalifah dan membai’atnya namun umat tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan khalifah, selama akad bai’at kepadanya dilaksanakan secara sem-purna berdasarkan ketentuan syara’. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang mewajibkan ketaatan kepada khalifah, sekalipun terus menerus melaksanakan kemungkaran, bertindak dzalim, dan me-makan hak-hak rakyat, selama tidak memerintah berbuat maksiat dan tidak jelas-jelas kufur (Taqiyuddin An Nabhani, 1996: 139).

Hukum Tata Negara162

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim telah dari Auf bin Malik mengatakan : “Aku mendengar Rasulullah bersabda :

ــهــم ويــبــونــكــم ويــصــلــون عليكم ــتــكــم الــذيــن تــبــونـ خــيــار أئــم

بغضونكم هم ويـ بغضونـ تكم الذين تـ وتصلون عليهم وشرار أئم

يف نابذهم بلس لعنونكم قيل ي رسول ال أفل نـ هم ويـ لعنونـ وتـ

لة قال ال ما أقاموا فيكم الص فـsebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cin-tai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan ka-lian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Ditanyakan pada Rasulullah: wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu? Beliau menjawab: “jangan selama mereka masih menegakan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian, ingatlah siapa saja yang diperintah oleh seorang penguasa, lalu ia melaksan-akan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka hendaklah dia membenci yang merupakan kemaksiatan kepada Allah saja. Dan janganlah sekali-kali melepaskan tangannya dari ket-aatan kepadanya” (HR. Muslim).

Hadits inilah yang paling sering digunakan sebagai dalil bah-wa bai’at (kontrak politik) antara rakyat dan khalifah mengikat keduanya dan tidak boleh ada penarikan kembali atas bai’at yang telah dilakukan. Hadits ini pula sering dijadikan judgement bahwa khalifah akan berkuasa sampai seumur hidup.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 163

Oleh karenanya sangat wajar bila ada para yuris muslim yang tidak menyentuh tentang mekanisme pemakzulan khilafah. Dian-tara para yuris muslim yang hanya memberikan syarat pemakzu-lan tetapi tidak memberikan solusi tentang mekanismenya adalah Abul A’la al-Maududi, al-Mawardi dan Taqiyuddin al-Nabhani.

Pandangan al-Mawardi dalam bukunya “al-Ahkam al-Shulthaniyah” mengenai hal apa saja yang dapat menjadi penyebab seorang khalifah (kepala negara) diturunkan dari jabatannya;

a. Kredibilitas pribadinya rusak, yakni melakukan perbuatan-perbuatan fasik semisal mengikuti syahwatnya.

Khalifah melakukan perbuatan-perbuatan yang dilar-ang agama, melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan syahwat dan menuruti hawa nafsunya. Jika khalifah mel-akukan perbuatan tersebut, maka hilanglah kompetensinya dan jabatannya. Namun apabila khalifah itu mampu segera memperbaiki diri dan meraih kredibiltasnya kembali, maka menurut al-Mawardi ia dapat langsung kembali memangku jabatannya sebagai khalifah dan tidak perlu mengikuti prose-dur pemilihan dan pengangkatan khalifah dari awal.

Perbuatan lain yang meruntuhkan kredibilitasnya ada-lah yang berkaitan dengan pemaham akidah, semisal melaku-kan takwil yang salah.

b. Terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya, yakni kekurangan pada panca indera, kekurangan pada anggota tu-buh, dan kekurangan dalam melakukan gerakan.

Yang dimaksud dalam persoalan ini adalah hilangnya akal dan hilangnya penglihatan (Imam al-Mawardi, 2000: 39-41).

Hukum Tata Negara164

Sementara itu menurut Taqiyuddin al-Nabhani, ada 8 (de-lapan) hal yang dapat menjadikan seorang khalifah dimakzulkan dari jabatannya, yaitu;

a. Murtad, keluar dari agama Islam menjadi tidak beragama atau berpindah agama

b. Gila (hilang ingatan) yang tidak dapat ditolelir atau minim harapan untuk kembali seperti semula

c. Ditawan oleh musuh yang kuat dan musthil untuk dapat dibe-baskan

d. Kehilangan ‘adalah-nya, yaitu melakukan perbuatan-perbua-tan fasik secara terang-terangan

e. Kegilaan yang terkadang datang dan terkadang sembuh

f. Berubah bentuk kelaminnya, menjadi perempuan atau waria

g. Tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya karena sebab ter-tentu, baik karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya.

h. Adanya intervensi pihak luar yang mengakibatkan pikiran dan kebijakan yang dibuatnya tidak mandiri atau berada dalam te-kanan pihak lain (Taqiyuddin al-Nabhani, 1996: 135-138).

Lain pendapat mayoritas ulama Sunni, lain pula pendapat ulama dari madzhab yang lain. Ulama lain berargumentasi bahwa karena bai’at merupakan kontrak politik atas dasar suka rela, den-gan dua posisi yang berbeda, rakyat sebagai pemangku hak pemilih dan khalifah sebagai wakil rakyat (umat) yang berkuasa dan berke-wajiban melindungi rakyat yang telah membaiatnya dengan hak untuk dipatuhi segala aturan dan kebijakannya sebagai kewajiban bagi rakyatnya.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 165

Sebagaimana kontrak atau perjanjian, dalam bai’at pun bila terjadi wanprestasi atau pencideraan oleh salah satu pihak (khali-fah) terhadap perjanjian itu, maka rakyat berhak untuk menun-tut atau bahkan membatalkan apa-apa yang telah diperjanjikan. Dalam hal pencideraan terhaadap bai’at ini berarti boleh menarik kembali bai’atnya.

Selain dua pendapat itu ada pula pendapat yang cukup ekstrim ketika melihat kondisi khalifah dianggap sudah tidak amanah. Bagi sebagian kaum Mu’tazilah, pandangan seluruh kaum Khawarij dan Zaidiyah (salah satu sekte dalam Syi’ah) menyatakan pendapat bah-wa kondisi khalifah yang sudah menyelesihi dari amanahnya, maka ia tidak layak lagi menjabat, ia harus diturunkan secara paksa, diperangi atau bahkan dibunuh. Maka tidak heran mereka akan segera mengangkat senjata terhadap pemerintah yang berkuasa yang sudah tidak layak lagi menduduki jabatannya karena alasan yang menurut mereka khalifah telah wanprestasi terhadap kontrak politiknya dengan ummat.

Abu Bakar al-Ahsam, salah seorang ulama mu’tazilah men-gatakan, “menyingkirkan imam yang durhaka dengan kekuatan bersenjata itu wajib, bila telah diketemukan imam yang adil sebagai penggantinya.” Pendapat al-Ahsam itu didukung pula oleh salah se-orang ulama Sunni perawi hadits Abu Hanifah. Beliau mengatakan bahwa “keimaman seorang zalim bukan saja batal, tetapi lebih dari itu, diperbolehkan melakukan pemberontakan terhadapnya. Bah-kan seyogyanya hal itu dilakukan dengan syarat pemberontakan itu memiliki faktor untuk dapat berhasil dan berfaidah dengan seorang yang adil dan baik sebagai pengganti orang zalim dan fasik, dan bukan semata-mata memecah belah kekuatan dan menghilangkan nyawa.” (muhammadrizal.blogspot.com diakses pada tanggal 31 Oktober 2014).

Hukum Tata Negara166

Pada masa pemerinatahan Ali bin Abi Thalib, kaum Mu’tazilah membuat makar yang sangat keji. Menurut mereka instabilitas poli-tik yang melanda pemerintahan Islam saat itu sudah tidak amanah lagi, tidak layak ditaati. Maka diantara mereka (kaum Mu’tazilah); Ibnu Muljam berjanji akan membunuh Ali bin Abi Thalib dan Al Burak bin Abdillah akan membunuh Muawiyah bin Abi Sufyan, sedangkan Amr bin Bakr berjanji akan membunuh Amr bin Ash. Mereka menganggap bahwa ketiganya adalah pemimpin sesat. Mereka bersepakat akan membunuh ketiganya pada 17 Ramadhan 40 H. Dari ketiganya hanya Ibnu Muljam yang sukses, sedangkan Muawiyah hanya menderita luka-luka (Ibnu Katsir, 2004: 381).

Dari beragam syarat atau hal yang dapat diperbolehkannya seorang khalifah atau imam (kepala negara) dimakzulkan dalam masa jabatannya, Abdul Qadil Zallum mengklasifikasinya menjadi dua;

Pertama, perubahan keadaan khalifah yang secara otomatis mengeluarkannya dari jabatannya dan wajib dimakzul-kan;

a. Khalifah murtad dari Islam

Dalam berbagai sistem ajaran dalam Islam, iden-titas kemusliman seseorang harus jelas, tidak hanya ke-jelasan dalam persoalan administratif tetapi perlu ada pembuktian dalam praktik kehidupan seseorang dalam kesehariannya.

Pada persoalan kepemimpinan, syarat Islam adalah syarat utama. Bila seorang khalifah murtad maka gugur-lah kepemimpinannya dan tidak ada kewajiban taat dari ummatnya. Karena dalam al-Qur’an, orang kafir tidak boleh menjadi penguasa atas kaum muslimin, demikian

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 167

juga tidak diperbolehkan bagi orang kafir memiliki jalan untuk berkuasa atas orang-orang mukmin.

Ketentuan tersebut didasarkan atas dua firman Allah sebagai berikut;

ولن يعل هللا للكافرين على المؤمنني سبيل . “(Dan) Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai oranng-orang mukmin” (QS. Al-Nisa: 141).

عوا الرسول وأول عوا هللا وأطيـ ها الذين آمنوا أطيـ ي أيـ

األمر منكم“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri dari kamu sekalian.” (QS. Al-Nisa: 59)

Kata minkum (dari kamu sekalian) bersamaan den-gan kata ulil amri tersebut merupakan pernyataan yang tegas, tentang adanya syarat Islam bagi seorang waliyul amri (khalifah), selama dia masih menjadi waliyul amri. Kalau dia telah menjadi kafir, maka dia tidak lagi men-jadi bagian dari kita (kaum muslimin). Dengan demiki-an, sifat yang disyaratkan oleh Al Qur’an bagi seorang waliyul amri, yaitu harus Islam telah hilang. Karena itu, khalifah akan dikeluarkan dari jabatan kekhalifahannya karena kemurtadannya dan dia tidak akan kembali men-jadi khalifah kaum muslimin, sehingga hukum mentaat-

Hukum Tata Negara168

inya menjadi tidak wajib (http://insidewinme.blogspot.com diakses tanggal 31 Oktober 2014).

b. Khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disem-buhkan.

Sehatnya pikiran menjadi modal penting bagi khal-ifah untuk menjalankan roda pemerintahan, menjalan-kan syara’ dan menetapkan kebijakan serta hudud-hudud dalam Islam. Setelah ia menjabat kedudukan khalifah, kemudian karena sebab sesuatu menjadikannya ia gila, maka syarat untuk istimrariyah kepemimpinannya men-jadi putus. Ini didasarkan pada hadits Nabi Saw;

عن ابن عباس، قال: مر على على بن اىب طالب رضي

هللا عنه قال: اوما تذكر ان رسول هللا صلى هللا عليه

وسلم قال: رفع القلم عن ثلثة: عن اجملنون املغلوب

على عقله حىت يفيق، وعن النائم حىت يستبقظ، وعن

الصىب حىت يتلمDari Ibnu Abbas berkata: Ali bin Abi Thalib men-emuiku dan ia berkata: “Tidakkah kamu ingat bah-wasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Telah diangkat pena (tidak ada beban hukum dan kewajiban) atas tiga orang; orang tidur hingga ia bangun, orang gila sampai ia sembuh dan anak kecil sampai ia baligh”. (HR. Abu Daud)

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 169

Siapa saja yang diangkat pena atasnya, maka dia tidak sah untuk mengurusi urusannya sendiri, maka ten-tu dia tidak boleh tetap menjadi khalifah yang mengu-rusi urusan orang-orang. Dan hal itu merupakan sesuatu yang lebih jelas --karena mengurusi urusannya sendiri saja tidak boleh, apalagi mengurusi urusan orang lain, apalagi dalam hal ini negara yang memiliki urusan yang besar dan banyak.

c. Khalifah ditawan oleh musuh yang kuat yang mu-satahil dapat membebaskannya dari tawanan itu.

Pemimpin yang sedang ditawan musuh akan terpu-tus komunikasi dan ia tidak dapat memberikan instruksi-instruksi berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Khalifah yang dalam kondisi demikian sudah tidak pantas lagi untuk melanjutkan kepemimpi-nannya.

Kedua, perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya dari jabatannya;

a. Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya, yaitu khali-fah telah melakukan perbuatan-perbuatan fasik se-cara terang-terangan.

b. Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi per-empuan atau waria

c. Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terka-dang sembuh dan terkadang gila

d. Khalifah tidak lagi dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai khalifah karena suatu sebab, baik karena ca-

Hukum Tata Negara170

cat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya.

e. Adanya tekanan terhadap khalifah yang menyebab-kan ia tidak lagi independen menurut pikirannya sendiri dalam mengurus rakyatnya sendiri yang sesuai dengan hukum syara’.

Kiranya klasifikasi model Zallum ini adalah hanya untuk menunjukkan, alasan mana saja yang tidak ditolelir dan sesegera mungkin memakzulkan khalifah. Yang termaksud pada persoa-lan ini adalah perbuatan-perbuatan pada klasifikasi pertama. Se-dangkan pada klasifikasi kedua tetap memberikan tolelir terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh pribadi khalifah maupun aparat pemerintahnya supaya sebab- sebab penghalang itu dapat dis-elesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Namun dalam waktu tenggang yang diharapkan tidak terjadi maka khalifah itu segera dimakzulkan dan carikan penggantinya.

Tidak adanya sumber hukum yang jelas yang dapat dijadikan dasar bagi para yuris atau sarjana politik Islam berkenaan dengan teknis (administrasi dan prosedur) pemakzulan khilafah, menjadi-kan mereka berijtihad untuk menemukan cara atau mekanisme yang dapat dipakai sebagai wahana pemakzulan itu. Tidak hanya menemukan mekanisme, tetapi sekaligus menemukan atau men-ciptakan lembaga mana yang berwenang untuk melakukan teknis pemakzulan tersebut.

Karena persoalan ini adalah ranah ijtihad, maka akan sangat mungkin terjadi perbedaan hasil ijtihad dan akan sangat bervari-asi. Varietas hasil ijtihad politik akan menjadi khazanah dalam keil-muan hukum tata negara Islam adalah sebuah keuntungan, tetapi pada sisi lain ini akan mejadi sebuah pilihan sulit bagi politisi untuk mengimplementasikannya dalam sebuah hukum ketatanegaraan

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 171

Islam. Jalan akhir yang bisa mungkin ditempuh adalah memilih salah satu hasil ijtihad itu, kemudian menjadikan sebagai “hukum” baku untuk persoalan pemakzulan khalifah yang sedang berkuasa.

Ketidakjelasan mekanisme pemakzulan dalam aliran Sunni menjadi olok-olok kaum syi’ah. Menurut salah satu website orang Syi’ah Indonesia menceritakan beberapa kisah suksesi kepemimpi-nan khalifah pada zaman khalifaturrasyidin dan kejayaan dinasti Muawiyah dan Abasiyah yang sungguh tidak memiliki mekanisme yang jelas tentang suksesi, termasuk didalamnya yang terkait den-gan pemakzulan. Menurut website tersebut, ketidakjelasan suksesi dalam ajaran Sunni sangat potensial melahirkan chaos.

Olok-olok salah seorang penganut Syi’ah dapat dibenarkan karena memang tidak ada satu literatur politik ketatanegaraan Is-lam yang kompeten membahas persoalan itu.

Abdul Qadir Zallum hanya menerangkan bahwa bisa saja seorang khalifah dimakzulkan dalam masa jabatannya dan lem-baga yang berwenang untuk melakukan hal itu adalah Mahkamah Mazalim. Qadhi Mahkamah Mazalim yang bertugas memutuskan apakah Khalifah dimakzulkan atau tetap meneruskan amanah kepemimpinannya. Dalam hal ini jelas, Zallum hanya memberi-kan keterangan tentang lembaga yang berhak untuk memakzulkan khalifah adalah Mahkamah Mazalim. Sedangkan bagaimana me-kanisme pengajuan khalifah untuk dimakzulkan tidak ada keter-angan yang valid.

Karena ketidakjelasan mekanisme pemakzulan khalifah dalam sistem Hukum Ketatanegaraan Islam, maka persoalan terse-but sampai sekarang tetap menjadi persoalan ijtihadi bagi seluruh yuris muslim di dunia ini.

Hukum Tata Negara172

C. Nilai-Nilai Substansi Islam dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara di Inonesia

Sejak lama masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat religius, secara historis paling tidak memiliki sistem kepercayaan tersendiri yang mengakaui adanya kekuatan yang lebih besar di luar dirinya sebagai manusia. Animisme dan Dinamisme sebagai sebuah sistem kepercayaan yang original dimiliki oleh orang-orang asli Indonesia sebelum agama-agama itu masuk ke Indonesia men-jadi bukti bukti bahwa jejak manusia beragama atau berkeper-cayaan terhadap sesuatu yang lebih unggul,lebih mulia dan lebih tinggi telah ada jauh sebelum agama masuk.

Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia bukan-lah agama pertama yang dianut masyarakat Indonesia. Agama Is-lam berproses dari daerah-daerah pesisir yang menjadi pusat per-dagangan dan pemerintahan menuju keseluruh pelosok Indonesia membutuhkan waktu ratusan tahun. Pada kurun waktu yang ratu-san tahun itu sangat wajar bila hampir seluruh ajaran agama Islam masuk dan menjadi suatu sistem atau bagian yang tak terpisahkan dalam ragam kehidupan masyarakat Indonesia. Maka tidak heran bila dalam naskah Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal Konsti-tusi UUD 1945 sebuah kalimat (7 kata) yang secara formal menga-rah pada pelaksanaan ajaran Islam bagi masyarakat Idonesia yang beragama Islam. Tujuh kata yang dimaksud adalah “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-peme-luknya” Piagam Jakarta tersebut tertanggal 22 Juni 1945.

Piagam Jakarta itulah sesungguhnya awal pembukaan UUD 1945. Satu hari setelah kemerdekaan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, tujuh kata itu berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Salah satu tokoh yang sangat berperan dalam peruba-han itu adalah Mohammad Hatta.

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 173

Dari banyak versi cerita tentang perubahan itu dan sidang-sidang dalam BPUPPKI dan PPKI menunjukkan bahwa pergula-tan politik antara nasionalis sekular dan nasionalis religius sudah terjadi.

Penghilangan tujuh kata itu, oleh kelompok Islamis dianggap sebagai kerugian dan kehilangan yang besar dalam sejarah per-juangan umat Islam memerdekakan Indonesia dan menuduh ada para penghianat yang wanprestasi terhadap gentelment agreement yang telah membuat kesepakatan pada sidang-sidang PPKI.

Terkait tentang hilangnya tujuh kata tersebut, M. Roem men-gatakan, “hilangnya tujuh perkataan itu dirasakan oleh Umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan agar golongan Prot-estan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indone-sia, maka umat Islam memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama Jendral Alamsyah Ratu Prawiranegara, menama-kan Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia (http://moulizieenoval.blogspot.com).

Rupanya kehilangan yang dikatakan oleh Alamasyah itu se-bagai hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ternyata masih menyisakan asa pada sebagian umat Islam untuk mengembalikan tujuh kata yang hilang tersebut. Kelompok ini kemudian bermeta-morfosis menjadi organisasi masa dan invidu yang rindu tegakn-ya syari’at secara formal di Inonesia. Kelompok atau orang yang semacam ini disebut oleh Masdar F Mas’udi (2013: vi) sebagai orang-orang yang mengembangkan mentalitas “luar pagar” yang memandang konstitusi UUD 1945 semata-mata sebagai produk sekuler yang tercerabut dari nilai-nilai keagamaan. Disisi lain ada pula dari kalangan umat Islam juga yang berupaya “menghibur” seperti Alamsyah demi persatuan dan kesatuan Indonesia. Bahkan

Hukum Tata Negara174

ada diantara mereka yang menulis satu buku khusus tentang syarah (penjelasan) UUD 1945 dalam perspektif Islam.

Berkait dengan kajian ini, penulis sekadar ingin menunjukkan apakah nilai-nilai substantif ajaran Islam telah menjiwai konstitusi dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pen-gakatan dan pemberhentian kepala negara di Indonesia.

Sebagaimana disampaikan pada awal bab ini, dalam UUD 1945 sebelum amandemen, aturan yang berkenaan dengan pen-gangkatan presiden hanya terdapat dalam pasal 6. Ketentuan itu hanya menyebutkan bahwa presiden di pilih oleh Majelis Per-musyawaratn Rakyat. Terlepas dari sejarah pemilihan presiden yang pernah terjadi sebelum UUD 1945 itu diamandemen, model pemilihan perwakilan sebagaimana yang termaktub dalam konsti-tusi sejalan dengan sejarah yang pernah terjadi dalam sistem keta-tanegaraan negara Madinah (Islam). Lebih khusus adalah peristiwa terpilihnya Utsman bin Affan dalam lembaga yang disebut ahlul halli wal aqdi.

Berkenaan dengan persyaratan bagi calon presiden tertuang dalam TAP MPRS RI No. II/MPR/1973. Persoalan lokalitas Indo-nesia jelas berbeda dengan pendapat para yuris Muslim yang telah merinci syarat-syarat seorang kepala negara Islam. Secara seder-hana, aturan pengangkatan dan mekanisme pengangkatan pres-iden di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 sejalan dengan nilai-nilai Islam. Begitu pula dengan pengangkatan presiden pasca amandemen beserta peraturan yang mengikutinya. Bahkan pasca amandemen justru nilai-nilai itu semakin dekat termasuk sangat dekat dengan pendapat-pendapat para yuris muslim di bidang ket-atanegaraan Islam.

Pemberhentian, pemakzulan atau impeachment presiden dalam sistem ketatanegaraan Islam tidak jelas, maka aturan yang

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 175

bersifat local wisdom asal tidak bertentangan secara diametral den-gan nilai-nilai universal Islam dan humanisme dalam pemakzulan presiden di Indonesia dapat dikatan sesuai dengan nilai-nilai keis-laman.

Hukum Tata Negara176

DAFTAR PUSTAKA

A. Mukti Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayu Media, Malang, 2005Abdurrahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-

undangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995Aidul Fitriciada Azhari, “Revolutiegroundwet and Amandement of

the 1945 Constitution: From Decolonisasi to Democratiza-tion”, Indonesian Legal Journal, vo. VII, 2007.

____________________, bahan kuliah mata kuliah hukum kons-titusi Pasca Sarjana Program Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2007.

Bintan R. Saragih, Majlis Permusyawaratan Rakyat, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1992

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2004

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.E. Utrecht / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indo-

nesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1989Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah

Konsensus Nasional tantang Dasar Negara Republik Indone-sia (1945-1949), Jakarta, Gema Insani Pers, Jakarta, 2001.

Hasanuddin AF dkk, Pengantar Ilmu Hukum, al-Husna Baru, Jakarta, 2004

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2005Jawahir Thontowi, Islam, Politik dan Hukum, Madyan Press, Yog-

yakarta, 2002

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 177

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

_______, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1974

J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavel-li, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1960

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hu-kum UI, Jakarta, 1978.

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, LESFI, Yogyakarta, 1999.

Rabiatul Syahriyah, “Sejarah Hukum Mengungkapkan Fakta Hukum Masa Lampau Dalam Hubungannya Dengan Fakta Hukum Masa Kini”, Makalah pada Digital Library, 2004

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Press, Jakarta, 2000

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.Sodjono Didjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Press,

Jakarta, 1991Soehino, Hukum Tata Negara Sistem Pemerintahan Negara, Liberty,

Yogyakarta, 1993

Hukum Tata Negara178

Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Tarsito, Bandung, 1976

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995Yefrizawati, “Ilmu Hukum: Suatu Kajian Ontologis” makalah pada

e-USU Resipatory, 2005Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2006.

http//:www.acehinstitute.orghttp//:sudiknokuliah.blogspot.comhttp//:www.ummahonline.comhttp//:www. wikipedia.orghttp://www.kesimpulan.co.cchttp//:www.ruchcitra.blogspot.comhttp://www.blogcatalog.comhttp://islamlib.com/ diakses tanggal 21 Februari 2015http://www.katailmu.com. diakses tanggal 27 Februari 2015http:www.artikelsiana.com

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. 179

Catatan: .........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

Hukum Tata Negara180

Catatan: .........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................