HUKUM PERBURUHAN

46
PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH SEBAGAI UPAYA MENCAPAI GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA DAN SINGAPURA I. PENDAHULUAN Corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah kinerja perusahaan. Isu mengenai corporate governance ini mulai mengemuka, khususnya di Indonesia pada tahun 1998, yaitu ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi berkepanjangan. Terdapat dugaan bahwa berlarut-larutnya proses perbaikan atas krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia ini disebabkan oleh sangat lemahnya corporate governance yang diterapkan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sebagai reaksi terhadap dugaan tersebut, baik pemerintah maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan terhadap praktik corporate governance ini dan ditindaklanjuti dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Penerapan Good Corporate Governance merupakan salah satu upaya untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Investor dan kreditor asing Page 1 of 46

Transcript of HUKUM PERBURUHAN

Page 1: HUKUM PERBURUHAN

PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH SEBAGAI UPAYA

MENCAPAI GOOD CORPORATE GOVERNANCE

DI INDONESIA DAN SINGAPURA

I. PENDAHULUAN

Corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang

menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan

yang menentukan arah kinerja perusahaan. Isu mengenai corporate

governance ini mulai mengemuka, khususnya di Indonesia pada tahun

1998, yaitu ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi berkepanjangan.

Terdapat dugaan bahwa berlarut-larutnya proses perbaikan atas krisis

ekonomi yang terjadi di Indonesia ini disebabkan oleh sangat lemahnya

corporate governance yang diterapkan perusahaan-perusahaan di

Indonesia. Sebagai reaksi terhadap dugaan tersebut, baik pemerintah

maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan

terhadap praktik corporate governance ini dan ditindaklanjuti dengan

menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Penerapan Good Corporate Governance merupakan salah satu upaya

untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia.

Investor dan kreditor asing menganggap penerapan prinsip Good

Corporate Governance sebagai salah satu faktor penentu bagi

pengambilan keputusan untuk berinvestasi di suatu perusahaan. Dengan

demikian, penerapan prinsip Good Corporate Governance dalam dunia

usaha di Indonesia telah menjadi tuntutan zaman agar perusahaan-

perusahaan yang ada tidak sampai terlindas oleh persaingan global yang

semakin keras.

Page 1 of 31

Page 2: HUKUM PERBURUHAN

Prinsip-prinsip Good Corporate Governance pada dasarnya bertujuan

untuk memajukan kinerja suatu perusahaan yang di dalamnya tercakup

serangkaian pola perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja,

pertumbuhan, struktur pembiayaan serta perlakuan terhadap para

pemegang saham dan pemangku kepentingan (stake holders) dengan

memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan

keputusan yang sistematis yang dapat digunakan sebagai dasar

pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja perusahaan. Good

Corporate Governance juga mencakup korelasi antar kebijakan tentang

buruh dan kinerja perusahaan. Sehingga, untuk memajukan kinerja

perusahaan, prinsip-prinsip Good Corporate Governance ini semestinya

dijalankan secara amanah, akuntabel, transparan dan fair demi

terciptanya nilai kinerja perusahaan jangka panjang seraya terlayaninya

kepentingan semua pihak yang berkepentingan dengan jalannya

perusahaan (stakeholders).

Penelitian tentang variasi penerapan Good Corporate Governance di

tingkat perusahaan masih sangat sedikit dilakukan. Di antara yang sedikit

itu, riset The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) pada

tahun 2002, menemukan bahwa alasan utama perusahaan menerapkan

Good Corporate Governance adalah kepatuhan terhadap peraturan.

Perusahaan meyakini bahwa implementasi Good Corporate Governance

merupakan bentuk lain penegakan etika bisnis dan etika kerja yang sudah

lama menjadi komitmen perusahaan, dan implementasi Good Corporate

Governance berhubungan dengan peningkatan citra perusahaan.

Perusahaan yang mempraktikkan Good Corporate Governance diyakini

akan mengalami perbaikan citra dan peningkatan nilai perusahaan.

Kepatuhan terhadap peraturan dalam konteks Good Corporate

Governance antara lain mencakup terjalinnya hubungan yang baik dan

sehat antara perusahaan dan pekerja (buruh) dengan menjunjung tinggi

Page 2 of 31

Page 3: HUKUM PERBURUHAN

etika bisnis dan etika kerja sebagaimana diamanatkan dalam hukum

perburuhan, termasuk di dalamnya adalah terlindunginya hak-hak buruh

sebagai aset utama perusahaan. Namun, lazim dijumpai dalam praktik di

berbagai negara undang-undang perburuhan yang ada dan berlaku di

suatu negara sama sekali tidak mencerminkan praktik perburuhan yang

ada. Hal ini lazim dijumpai baik di negara-negara industri maju maupun di

negara-negara berkembang. Di kelompok negara industri maju, misalnya,

The Singapore Trade Union Act mengijinkan dilakukannya pemogokan

atau aksi-aksi lainnya apabila sebagian besar anggota serikat pekerja

menghendaki hal itu. Namun, dalam praktiknya, penerapan undang-

undang tersebut sangat jauh berbeda. Misalnya, pemogokan hanya boleh

dilakukan atas seijin pemerintah dengan alasan kekhawatiran akan

terjadinya kerusuhan, huru-hara atau tindakan-tindakan buruh yang dapat

mempengaruhi keamanan publik atau mengganggu keharmonisan

masyarakat yang menjadi kebanggaan Singapura selama ini. Perbedaan

antara teori hukum perburuhan Singapura dan praktik hubungan

perburuhan di lapangan ini jelas menunjukkan bahwa aturan-aturan

hukum itu harus dianalisis dari perspektif atau konteks sosial dan politik.

Untuk dapat memahami secara lebih baik tentang penerapan prinsip Good

Corporate Governance dalam bentuk kepatuhan terhadap peraturan in

casu hukum perburuhan yang mengatur hubungan antara perusahaan

dan pekerja (buruh), makalah ini membahas disparitas antara pengaturan

masalah perburuhan (dalam hukum perburuhan) dan pelaksanaannya

dalam praktik. Diyakini bahwa disparitas antara teori (hukum perburuhan)

dan praktik (penerapan ketentuan hukum perburuhan) ini terkait erat

dengan setting historis, sosial-ekonomi dan politik suatu negara. Agar

uraian yang diberikan dapat lebih komprehensif, maka dalam makalah ini

diberikan pula perbandingan tentang penerapan undang-undang

perburuhan di Indonesia dan Singapura.

Page 3 of 31

Page 4: HUKUM PERBURUHAN

II. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian dalam bagian Pendahuluan di atas, permasalahan

utama yang dianggap menarik untuk dikaji dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimanakah perlindungan hak-hak buruh yang ada di

Indonesia dan Singapura?

2. Bagaimanakah disparitas yang terjadi antara perlindungan hak-

hak buruh dalam hukum perburuhan dan dalam praktik penerapan

hukum perburuhan di Indonesia dan Singapura?

III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Lahirnya hukum perburuhan terkait erat dengan Revolusi Industri yang

terjadi di Eropa, khususnya di Inggris, pada abad 19. Revolusi Industri

yang ditandai dengan ditemukannya mesin uap mengubah secara

permanen hubungan antara buruh dan majikan. Penemuan mesin-mesin

telah mempermudah proses dalam berproduksi. Revolusi Industri ini

menandai munculnya jaman mekanisasi yang tidak dikenal sebelumnya.

Ciri utama zaman mekanisasi ini adalah hilangnya usaha-usaha industri

kecil, membesarnya jumlah buruh yang bekerja di pabrik, kondisi kerja di

pabrik yang umumnya berbahaya dan tidak sehat, anak-anak dan

perempuan ikut diterjunkan bekerja di pabrik dalam jumlah massal, jam

kerja yang panjang, upah yang sangat rendah, dan perumahan yang

sangat buruk.1 Keprihatinan utama yang mendasari lahirnya hukum

perburuhan adalah kondisi anak-anak dan perempuan yang bekerja di

pabrik-pabrik tenun/tekstil dan pertambangan yang sangat membahayakan

kesehatan dan keamanan mereka.

Undang-undang pertama dalam bidang perburuhan muncul di Eropa Barat,

yaitu Inggris tahun 1802, disusul Jerman dan Perancis sekitar tahun 1840,

sedangkan Belanda sesudah tahun 1870. Undang-undang pertama ini

1 Tim Pengajar Hukum Perburuhan, Hukum Perburuhan. Buku Ajar A, (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 87

Page 4 of 31

Page 5: HUKUM PERBURUHAN

bersifat memberikan perlindungan terhadap kesehatan kerja ( healthy )

dan keselamatan kerja ( safety ). Undang-undang perlindungan inilah yang

menandakan berawalnya hukum perburuhan. Pada hakekatnya peraturan

atau hukum perburuhan dibuat sebagai perangkat untuk mengurangi

ekses dari pemujaan dan pemanfaatan mesin-mesin.2 Pada masa itu

sudah mulai muncul tendensi bahwa para pengusaha lebih menghargai

mesin yang baru ditemukan daripada para pekerjanya. Upaya pemerintah

melindungi kesehatan dan keselamatan kerja melalui hukum tidak berjalan

dengan mulus.

Saat maraknya Revolusi Industri, teori sosial yang dominan adalah faham

liberalisme dengan doktrin laissez-faire. Dalam doktrin ini negara tidak

intervensi ke bidang ekonomi selain menjaga keamanan dan ketertiban.

Konsep negara yang dominan waktu itu adalah Negara Penjaga Malam

(the night-watchman-state ). Oleh karena itu, upaya pemerintah dalam

rangka perlindungan buruh mendapat perlawanan keras dari kelompok

pengusaha dan para intelektual pendukung laissez-faire, terutama Adam

Smith. Mereka menuduh intervensi pemerintah menggangu kebebasan

mereka dalam perdagangan dan asas kebebasan berkontrak.3

Pada jaman liberalisme ekonomi ini, sejalan dengan filsafat laissez-faire,

cukup kuat desakan agar hubungan kerja dibebaskan dari segala

pembatasan. Yang dianut di sini adalah asas bahwa majikan dan buruh

haruslah mutlak bebas untuk mengadakan hubungan kerja berdasarkan

perjanjian, dan hubungan kerja seperti ini dapat diakhiri kapan saja oleh

salah satu pihak.4

2 H.P. Rajagukguk, “Transformasi Ketenagakerjaan. Perwujudan Standar Hak-Hak Normatif dan Politik bagi Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Era Pasar Bebas” dalam Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 23-24.

3 Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 100.

4Prof. Imam Soepomo, SH., Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Penerbit Djambatan,

Page 5 of 31

Page 6: HUKUM PERBURUHAN

Pada saat yang sama, serikat-serikat buruh belum cukup berkembang

sehingga tidak dapat berbuat banyak. Sikap anti serikat buruh masih

sangat kuat baik dari kalangan pengusaha maupun dari sistem hukum

yang ada. Sebagai contoh, hingga tahun 1825 di Inggris masih berlaku

Undang-Undang Penggabungan (Combination Acts) yang menganggap

sebagai ilegal semua aksi kolektif ( collective action ) untuk tujuan apapun.

Di Belanda, larangan untuk berorganisasi/berserikat ( coalitie verbod ) baru

dihapus pada tahun 1872.5 Sejak penghapusan inilah buruh dapat

melakukan konsolidasi dalam serikat-serikat buruh.6 Oleh karena itu,

hukum perburuhan yang bertujuan melindungi buruh terutama adalah hasil

desakan para pembaharu di dalam maupun di luar parlemen.

Secara perlahan, lahirnya hukum perlindungan buruh merupakan bukti

bahwa secara sosial mulai muncul kesadaran bahwa doktrin laissez-faire

mulai ditinggalkan atau setidaknya tidak lagi dapat diterapkan secara

mutlak. Mulai muncul kesadaran bahwa negara harus intervensi dalam

hubungan buruh dan majikan.7 Kesadaran baru ini ditandai dengan

munculnya teori sosial yang ingin mengimbangi gagasan di balik doktrin

laissez-faire . Misalnya, M. G. Rood berpendapat bahwa undang-undang

perlindungan buruh merupakan contoh yang memperlihatkan ciri utama

hukum sosial yang didasarkan pada teori ketidakseimbangan kompensasi.

Teori ini bertitik-tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dan

penerima kerja ada ketidaksamaan kedudukan secara sosial-ekonomis.

1999), hlm. 3-4.

5 W. E. J. McCarthy, “Principles and Possibilities in British Trade Union Law,” dalam Trade Union, edited by W. E. J. McCarthy, (England: Penguin Education, 1976), hal. 345.

6 Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 113

7 Akan terbukti kemudian, khususnya di Inggris, bahwa negara juga tidak sewenang-wenang dalam intervensi itu. Doktrin laissez-faire tidak dihapuskan sepenuhnya oleh negara.

Page 6 of 31

Page 7: HUKUM PERBURUHAN

Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi kerja. Oleh karena itu,

hukum perburuhan memberi hak lebih banyak kepada pihak yang lemah

daripada pihak yang kuat. Hukum bertindak “tidak sama” kepada masing-

masing pihak dengan maksud agar terjadi suatu keseimbangan yang

sesuai. Hal ini dipandang sebagai jawaban yang tepat terhadap rasa

keadilan umum.8

Terhadap pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa perlindungan

sosial bagi buruh oleh negara merupakan pelanggaran atas prinsip

perlakuan yang sama oleh undang-undang, Levenbach yang disebut juga

bapak hukum perburuhan mengatakan:

“Peraturan-peraturan perburuhan dapat disebut sebagai pengeculian darurat karena peraturan-peraturan itu memuat campur tangan negara yang ditujukan kepada hubungan yang seharusnya merupakan kebebasan para pihak. Aturan-aturan mutlak dalam hal perorangan yang tak terbatas sudah tidak diakui lagi. Mengenai peraturan perburuhan, orang terlalu banyak melihat dari segi persamaan hak yang tidak normal, yang akan mengingkari persamaan hak di depan hukum. Pendapat seperti ini keliru dalam menafsirkan pengertian persamaan kedudukan di depan hukum”.9

Mendukung pendapat Levenbach, pakar hukum perburuhan lainnya, S.

Mok mengemukakan,

“Pada umumnya orang tidak melihat lagi bahwa pemberi kerja dan penerima kerja di dalam hukum perburuhan, bukan lagi mitra yang sederajat. Kepentingan buruh jauh lebih besar. Merekalah, kaum lemah, yang harus dilindungi. Sedangkan pengusaha (pemberi kerja), walaupun mereka menyetujui pemberian perlindungan bagi buruh, mereka sendiri tidak membutuhkannya”.10

Pendapat yang paling banyak dikutip berkaitan dengan sifat khas

8 Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 89-90

9 Tim Pengajar Hukum Perburuhan, hlm. 115

10 Tim Pengajar Hukum Perburuhan, hlm. 116

Page 7 of 31

Page 8: HUKUM PERBURUHAN

perlindungan buruh dalam hukum perburuhan adalah ungkapan dari

Commons dan Andrews berikut ini:

“Dimana para pihaknya tidak setara (dan jelas adanya kepentingan umum), maka negara yang menolak memperbaiki ketidaksetaraan itu sebenarnya tidak memberikan kepada pihak yang lemah perlindungan hukum yang sama”.11

Dari pendapat di atas, terdapat dua hal yang sangat penting.

Pertama, bahwa para pihak dalam hukum perburuhan, yaitu buruh dan

majikan, adalah pihak yang tidak seimbang kedudukannya. Kedua, bahwa

perlindungan yang sama di hadapan hukum bagi mereka harus berarti

mengatasi ketidakseimbangan itu. Di sini Commons dan Andrews

memakai istilah yang suka dipakai oleh penganut paham liberalisme untuk

membela keberadaan hukum perburuhan, yaitu “equal protection of the

laws” .

A. Pengaturan Masalah Perburuhan di Indonesia

1. Hak Kerja dan UU No. 12 tahun 1964

Undang-Undang No. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan

Swasta lahir pada periode demokrasi terpimpin yang otoriter dimana

Presiden Soekarno dan militer memegang posisi sentral dalam

menyelenggarakan negara. Demokrasi parlementer sebagai sistem politik

yang cukup demokratis berakhir pada bulan Juli 1959 saat Presiden

Soekerno mengeluarkan suatu Dekrit tentang pemberlakuan kembali UUD

1945. Dekrit itu disusul dengan pembubaran DPR dan Majelis Konstituante

hasil Pemilu 1955.12

11 “Where the parties are unequal (and a public purpose is shown) then the State which refuses to redress the inequality is actually denying to the weaker party the equal protection of the laws .” Dikutip dalam H.P. Rajagukguk, Ibid., hlm. 25

12 Abdul Hakim G. Nusantara, “Tinjauan Terhadap Organisasi Buruh dan Hukum Perburuhan di Indonesia” dalam Tahanan dari Kemajuan. Penelaahan Situasi Perburuhan Indonesia Saat Ini, disunting oleh David R. Harris, (Jakarta: INFID, 1995), hlm. 29

Page 8 of 31

Page 9: HUKUM PERBURUHAN

Konsep yang dianut UU No. 12 /1964 mengenai hak kerja dapat ditelusuri

dari isi dan penjelasannya serta dari risalah sidangnya. Pertimbangan

utama dari UU ini adalah untuk lebih menjamin ketenteraman serta

kepastian bekerja bagi kaum buruh (bagian Menimbang). Untuk menjamin

ketenteraman serta kepastian bekerja itu maka PHK sedapat mungkin

harus dihindarkan. Pasal 1 UU ini menegaskan bahwa ”Pengusaha harus

mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Segala

daya upaya harus dilakukan untuk menghindari terjadinya PHK (pasal 2).

Penjelasan UU ini mengakui bahwa:

“Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa

pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin

kepastian ketenteraman hidup kaum buruh, seharusnya tidak ada

pemutusan hubungan kerja”.

Akan tetapi, UU ini juga mengakui bahwa pemutusan hubungan kerja

tidak

dapat dicegah seluruhnya. PHK dapat saja terjadi setelah berbagai cara

mencegahnya dilakukan dan pengusaha telah melakukan langkah-langkah

yang harus dilalui sesuai ketentuan UU ini.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa UU No.12/1964 menganggap

bahwa hubungan antara buruh dan pengusaha adalah hubungan 2 (dua)

pihak yang tidak seimbang kekuatannya. Hampir seluruh uraian isi dan

penjelasan UU ini menyangkut PHK yang dilakukan pengusaha terhadap

buruh dan apa artinya PHK itu bagi seorang buruh. UU ini ingin

menekankan bahwa pengusaha tidak diperbolehkan melakukan PHK

sewenang-wenang. Kendatipun merupakan pemberi kerja, keinginan

pengusaha semata untuk melakukan PHK belum menjadi alasan yang

cukup untuk PHK.

Page 9 of 31

Page 10: HUKUM PERBURUHAN

Melalui UU No. 12 tahun 1964 pemerintah menjamin salah satu hak asasi

rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi, yaitu hak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak demi kemanusiaan (pasal 27 ayat (2)UUD 1945

sebelum amandemen). Sumber lain yang memberi penjelasan tentang UU

No.12/1964 ini adalah risalah sidangnya. Dalam risalah sidang Paripurna

pengesahan UU ini terungkap beberapa hal yang menerangkan UU No.

12/1964 ini. Hal-hal itu terungkap melalui pendapat terakhir golongan-

golongan yang menjadi anggota Komisi D DPR-GR. Berikut ini beberapa

aspek penting dalam pembasahan sebelum disahkannya UU No. 12/1964,

sebagai berikut:

Pertama, terdapat perubahan mendasar yang terjadi dari rancangan

pertama hingga yang terakhir disahkan menjadi UU. Terjadi empat (4) kali

perubahan atas RUU yang diajukan oleh Pemerintah hingga akhirnya

disetujui di rapat Paripurna. Rancangan pertama yang diajukan oleh

pemerintah tidak mencabut peraturan tentang pemecatan (PHK) yang

berlaku pada masa kolonial, yaitu: Regeling Ontslagrecht voor bjpaalde

neit Europese Arbeiders (Peraturan Pemberhentian Buruh bukan Eropa)

dan ketentuan PHK dalam KUHPerdata buku ketiga bab 7a.

Perubahan fundamental dari rancangan pertama yang diajukan

Pemerintah dengan yang akhirnya disahkan adalah bahwa Rancangan

Undang-Undang yang semula dimaksudkan sebagai UU yang mengatur

pelaksanaan suatu ketentuan pemecatan (PHK) yang sudah ada

(Ontslagrecht dan KUHPerdata) ternyata kemudian menjadi suatu UU

yang memuat suatu konsep tersendiri tentang pemecatan (PHK).

Terjadinya perubahan besar itu memperlihatkan besarnya peran anggota

parlemen sebagai wakil rakyat dalam menetapkan Undang-Undang.

Terlihat sekali bahwa para anggota parlemen saat itu cukup menguasai

masalah yang sedang dibahas. Mereka mampu menawarkan suatu konsep

yang sama sekali baru dan mengajukan banyak sekali data-data dalam

Page 10 of 31

Page 11: HUKUM PERBURUHAN

mendukung konsep itu.

Kedua, terdapat keprihatinan yang besar tentang pelaksanaan Undang-

Undang. Bahwa Undang-Undang sebaik apapun tidak akan berguna jika

tidak diawasi pelaksanaannya.

Ketiga , terdapat kekhawatiran tentang tidak adanya sanksi pidana dalam

UU No. 12/1964. Kekhawatiran ini juga terkait dengan tidak akan efektifnya

pelaksanaan UU ini jika tidak memuat juga ketentuan pidana. Pemerintah,

melalui Menteri Perburuhan, berpendapat bahwa soal sanksi pidana ini

berat untuk dimasukkan dalam rangancan Undang-Undang ini karena

dikuatirkan akan berdampak negatif terhadap dunia usaha.

Terkait dengan keprihatinan tentang ketiadaan sanksi pidana ini perlu

dikemukakan hasil penelitian berupa naskah akademis peraturan

perundang-undangan tentang PHK untuk perubahan dan penyempurnaan

UU No.12/1964 yang dilakukan oleh suatu Tim Kerja yang dibawahi oleh

Marzuki Achmad, SH. Salah satu rekomendasi naskah akademis ini adalah

pentingnya penetapan sanksi pidana terhadap pelanggaran UU No.

12/1964. Pasal 10 UU No.12/1964 menyebutkan bahwa PHK tanpa izin

dari Panitia Daerah atau Pusat adalah batal demi hukum.

“Ketentuan Pasal 10 tersebut sudah tidak sesuai lagi untuk tetap

dipertahankan mengingat pentingnya upaya peningkatan perlindungan

tenaga kerja, sehingga setiap pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

tanpa izin, perlu dikenakan sanksi pidana, dalam pengertian tidak sekedar

batal demi hukum. Penerapan sanksi pidana perlu...guna meningkatkan

kewibawaan undang-undang…”13

13 Marzuki Achmad et.al, Naskah Akademis untuk Perubahan UU No. 12 tahun 1964, (Tim Kerja, 1994), hlm. 30.

Page 11 of 31

Page 12: HUKUM PERBURUHAN

Keempat , keprihatinan tentang praktek-praktek ketidakadilan di bidang

perburuhan ( unfair labour practices ) secara umum. Dalam pembahasan

di rapat paripurna ini para anggota parlemen masih mengungkapkan

pemecatan sewenang-wenang yang dialami para aktivis serikat buruh.

Mencermati risalah sidang di atas, dapat diketahui beberapa hal sebagai

berikut. Pertama, bahwa UU No.12/1964 yang akhirnya diterima dan

disahkan memuat konsep yang sama sekali berbeda dari konsep yang

diajukan pemerintah pertama kali. Yang dihasilkan akhirnya adalah suatu

Undang-Undang yang diharapkan akan melindungi buruh dari pemecatan

(PHK) sewenang-wenang. Kedua , bahwa UU No. 12/1964 ini menganut

pendirian bahwa hubungan antara buruh dan pengusaha/majikan bukan

semata hubungan dua pihak yang sejajar. Dengan kata lain, pemerintah

melakukan “intervensi positif” dalam hubungan itu dengan melarang

pengusaha melakukan pemecatan (PHK) sewenang-wenang. “Intervensi

positif” ini didasarkan pada pandangan bahwa secara sosial ekonomis

posisi buruh lemah di hadapan pengusaha. Di dalamnya juga terkandung

amanat konstitusi tentang perlindungan akan hak atas pekerjaan.

2. Pelaksanaan UU No. 12 tahun 1964

Dalam penerapan UU No. 12 tahun 1964 tentang PHK terjadi banyak

ketidakpastian yang terutama terkait dengan peraturan pelaksana dan

aparat penegaknya. Selama berlakunya UU No. 12 tahun 1964 sudah lebih

dari 15 buah peraturan, keputusan, petunjuk pelaksana atau produk lain

yang dibuat oleh birokrasi (oleh Menteri atau jajaran di bawahnya).

Diantaranya ada yang sungguh-sungguh berfungsi sebagai penjabaran

dari peraturan di atasnya, tetapi ada juga yang inkonsisten dengan

peraturan di atasnya.14

14 Fauzi Abdullah, “Perselisihan Perburuhan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia: Sebuah Catatan Pendek,” (Makalah disampaikan pada Diskusi Panel dengan tema “Perselisihan Perburuhan” yang diselenggarakan oleh Institut Perburuhan Jakarta (IPJ) di Jakarta, 31 Juli 2000), hlm. 2

Page 12 of 31

Page 13: HUKUM PERBURUHAN

Terdapat beberapa contoh peraturan di bawah UU No. 12 tahun 1964 yang

inkonsisten dengan UU tersebut. Pertama , peraturan yang memberi

kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan skorsing bagi buruh

selama proses perijinan PHK. Selama masa skorsing, upah buruh juga

dipotong. Ini bertentangan dengan UU No. 12 tahun 1964 yang

menegaskan bahwa sebelum ijin PHK belum diberikan masing-masing

pihak harus tetap melaksanakan kewajibannya. Dalam UU No. 12 ini

dianut prinsip praduga tak bersalah. Kedua , beberapa peraturan Menteri

yang terus menambah daftar alasan yang bisa dipakai oleh pengusaha

untuk melakukan PHK, seperti: 6 hari berturut-turut tidak masuk kerja

tanpa pemberitahuan dianggap mengundurkan diri, PHK dapat didasarkan

pada alasan tidak harmonisnya hubungan buruh dan pengusaha.15

Tidak efektifnya bidang pengawasan ketenagakerjaan juga berdampak

pada terjadinya ketidakpastian dalam penerapan UU No. 12 tahun 1964.

Dalam banyak kasus, buruh sendirilah yang menyampaikan pengaduan ke

Depnaker tentang PHK yang dialaminya. Dalam surat-surat yang

dikeluarkan oleh Depnaker dalam kaitan dengan perselisihan perburuhan,

misalnya, tertera kalimat seperti: ”Berkenaan dengan masalah PHK/PHI

yang telah disampaikan oleh__________ dengan suratnya No.___”.

Format surat seperti itu memperlihatkan bahwa PHK dianggap sebagai

salah satu jenis perselisihan yang ditangani oleh Depnaker dan P4.

Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UU No. 12 tahun 1964

yang tidak melihat PHK sebagai salah satu jenis perselisihan. Seharusnya,

jika ada buruh mengadukan PHK yang dialaminya, Depnaker tidak perlu

memprosesnya sebagai perselisihan yang bisa terus berlanjut ke P4

Daerah atau Pusat, tetapi pejabat pengawas perlu memeriksa apakah PHK

tersebut sudah sesuai ketentuan UU No. 12/1964 atau tidak. Pejabat

15 IbidPage 13 of 31

Page 14: HUKUM PERBURUHAN

pengawas harus memeriksa apakah PHK tersebut sudah berdasarkan ijin

yang dikeluarkan oleh P4D/P. Dalam kenyataan sering terjadi bahwa

pengaduan buruh atas PHK yang dialaminya berlanjut terus hingga P4P

tanpa pejabat P4 memahami ketentuan UU No. 12/1964 yang mengatur

bahwa untuk melakukan PHK, pengusaha harus memohonkan ijin.

Dari pendekatan daya saing ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,

perlindungan hak kerja yang dijamin oleh UU No. 12/1964 sudah cukup

lama menjadi perdebatan dan termasuk salah satu keprihatinan (area of

concern). Pola pikir yang mengatakan bahwa cara meningkatkan

kesejahteraan buruh adalah melalui perlindungan hak kerja ( job security )

sebagaimana dianut oleh UU No. 12 tahun 1964 dianggap sudah tidak

relevan dan dimulai ditantang. Misalnya, Alejandra Cox Edwards

mengatakan bahwa transformasi ekonomi memerlukan proses realokasi

buruh. Kebijakan atau UU, seperti di Indonesia, yang melindungi buruh dari

resiko kehilangan pekerjaan atau mempersulit pengusaha memecat buruh

akan memperlambat proses penciptaan lapangan kerja baru. Dalam

konteks seperti itu pengusaha tidak berani mengambil banyak resiko

dengan membuka lapangan kerja baru.16

3. Konsepsi Dan Visi Tentang Hak Kerja Dalam UU Tentang PPHI

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI disahkan pada tanggal

16 Desember 2003, setelah melalui pembahasan selama tiga tahun tujuh

bulan. Undang-undang ini terdiri dari 9 Bab, 126 pasal dan 204 ayat.

Sedangkan ide baru yang diperkenalkan dalam UU ini adalah Pengadilan

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dibentuk di 2 (dua)

tingkat, yaitu Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA).

16 Alejandra Cox Edwards, “Labor Regulations and Industrial Relations in Indonesia”, (Paper yang dipresentasikan dalam Workshop dengan tema: “Indonesian Workers in the 21 Century”, kerjasama antara Departemen Tenaga Kerja dan World Bank, Jakarta, 2-4 April 1996), hlm. 19-20.

Page 14 of 31

Page 15: HUKUM PERBURUHAN

Bagian penjelasan UU PPHI memuat beberapa alasan dan pertimbangan

untuk menghapus atau mengganti UU yang sebelumnya berlaku untuk

pemutusan hubungan kerja (PHK) yaitu UU No. 12 tahun 1964. Berikut ini

2 (dua) pertimbangan yang dimuat dalam Penjelasan UU PPHI tentang UU

No. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta:

1. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh

pemutusan hubungan kerja.

2. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama

ini diatur dalam UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan

Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta ternyata tidak efektif lagi

untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan

hubungan kerja. Hal ini disebabkan karena hubungan antara

pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang

didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri

dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak

menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut,

maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan

hubungan yang harmonis.”

Pertimbangan pertama di atas memperlihatkan perbedaan konsepsi

tentang hak kerja antara UU No 12/1964 dengan UU PPHI. UU No.

12/1964 tidak menempatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai

salah satu jenis perselisihan. Pertimbangan 1 di atas mengimplikasikan

bahwa secara teoritis pengusaha/majikan dapat sewaktu-waktu melakukan

PHK. Jika tidak setuju dengan PHK tersebut, pihak buruh dapat

menggugat di Pengadilan. Jadi, untuk melakukan PHK pengusaha tidak

perlu lagi memohonkan ijin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan (P4) sebagaimana ditentukan dalam UU No. 12/1964. Dalam

konsepsi UU No. 12/1964, jika ijin PHK tidak diberikan maka buruh yang

Page 15 of 31

Page 16: HUKUM PERBURUHAN

bersangkutan harus tetap dipekerjakan. Dengan demikian, sebagai

pemberi kerja, majikan tidak berkuasa secara absolut mencabut pekerjaan

yang telah diberikannya kepada seorang buruh. Pemerintah, dalam hal ini

P4, dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang pemutusan

hubungan kerja.

Sedangkan dalam UU PPHI, kendatipun seorang buruh menolak PHK

yang dilakukan oleh majikan dengan menggugat ke Pengadilan PPHI,

yang dapat dituntutnya hanyalah ganti rugi atau pesangon. Buruh tidak

mungkin menuntut dipekerjakan kembali karena Pengadilan PPHI adalah

peradilan perdata.Pertimbangan kedua di atas secara sederhana ingin

mengatakan bahwa UU No. 12/1964 tidak efektif mencegah dan

menanggulangi kasus-kasus PHK karena didasarkan pada konsepsi yang

keliru tentang hakekat hubungan antara buruh dan pengusaha/majikan.

Pada bagian uraian tentang UU No.12/1964 telah dijelaskan tentang

konsepsi yang dianutnya tentang hubungan buruh dan majikan. Dalam UU

No. 12/196 dianut konsepsi bahwa buruh sebagai penerima kerja berada

pada posisi yang lemah secara sosial ekonomis di hadapan majikan

sebagai pemberi kerja. Dalam kondisi yang demikian, hubungan kerja

antara buruh dan majikan tidak bisa dilepaskan menjadi urusan kedua

belah pihak.

Sementara itu, UU PPHI menganut konsepsi yang lebih “liberal” tentang

relasi antara buruh dan majikan. Buruh dan majikan dianggap sebagai dua

pihak yang sama kedudukannya. Dalam UU ini gagasan yang dominan

adalah bahwa relasi buruh dan majikan mutlak bersifat perdata. Ini sama

sekali berbeda dengan UU No. 12/1964 yang berpandangan bahwa ikatan

antara buruh dan majikan juga memiliki aspek hukum publik karena posisi

keduanya tidak seimbang.

Selain itu, pertimbangan kedua di atas juga memperlihatkan kelemahan

Page 16 of 31

Page 17: HUKUM PERBURUHAN

metodologis. Penilaian itu hanya memakai satu aspek saja dari tiga (3)

aspek yang seharusnya dilihat untuk menguji efektivitas suatu produk

perundangan, yaitu isi/substansi ( legal substance ), struktur hukum ( legal

structure ), dan budaya hukum (legal culture). Penilaian di atas hanya

melihat segi substansi dengan mengatakan bahwa UU No.12/1964 tidak

efektif karena isinya tidak mencerminkan hakikat hubungan antara buruh

dan pengusaha.

Terlihat bahwa dalam pelaksanaannya kelemahan utama UU No. 12/1964

adalah penyelewengan pada tingkat peraturan pelaksana aparat birokrasi

dan bukan pada tingkat/aspek substansinya.

Selain UU No.12/1964, perkembangan hukum perburuhan di Indonesia

ditandai pula oleh lahirnya 4 undang-undang yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat

Pekerja/Serikat Buruh;

2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial;

4. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan

dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat

Buruh telah mengubah sistem keserikatburuhan di Indonesia. Dengan

diundangkannya UU ini maka sistem keserikatburuhan di Indonesia

berubah dari single union system menjadi multi union system. Hal ini

disebabkan karena menurut UU No.21/2000, sekurang-kurangnya 10

orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu perusahaan.

Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU

Page 17 of 31

Page 18: HUKUM PERBURUHAN

No.21/2000 ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja

melalui serikat pekerja/serikat buruh. Buruh diberikan kesempatan untuk

berpartisipasi dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya.

Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan hukum perburuhan yang

mengatur keserikatburuhan mempunyai nilai positif.

Selanjutnya UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti

UU No.25/1997 yang sempat diundangkan namun tidak pernah efektif. UU

No. 13/2003 ini juga mengandung banyak permasalahan, misalnya

masalah inkonsistensi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain

sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal yang

inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Perjanjian Kerja Waktu tertentu. Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak

mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain

pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja

waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi

perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum dalam

masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan

karenapihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya

dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih

memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin

job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan

yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk

kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu

(kontrak). Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain

kecuali menerima tawaran itu.

Page 18 of 31

Page 19: HUKUM PERBURUHAN

2. Outsourcing. Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing

pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan karena pengusaha,

dalam rangka efisiensi, merasa aman jika buruh yang di-outsource

adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang

bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan

jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa di-back up oleh

pasal 6 ayat 2 a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa

pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan

pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang di-

outsource juga merasa di-back up oleh pasal 1 butir 15 yang

menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan

jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini

disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada

dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan

perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan

ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing

pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan

hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut

kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini

berarti bahwa melalui Pasal 6 ayat (2a) UU No.13/2003 Pemerintah

melagalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga

termasuk human-trafficking. Hal ini pada hakikatnya adalah suatu

pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kemudian UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial

meskipun sampai saat ini masih belum diberlakukan namun melalui kajian

yuridis-normatif dapat dikemukakan bahwa UU No.2/2004 masih

mengandung banyak kelemahan yang mengakibatkan proses

Penyelesaian Perselisihan Industrial yang lama dan ini berarti mahal. Hal

ini antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

Page 19 of 31

Page 20: HUKUM PERBURUHAN

1. UU ini berparadigma konflik karena hanya memberikan kesempatan

kepada pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara, sedangkan

pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan tidak diberi

keleluasaan dalam menggunakan mekanisme yang ditawarkan oleh

UU ini. Hal ini tercermin dari perbedaan kewenangan pengadilan

hubungan industrial dibandingkan dengan kewenangan arbitrase.

Menurut UU ini, pengadilan hubungan industrial diberi kewenangan

untukmenyelesaikan semua jenis perselisihan hubungan industrial

sebagaimana dimaksudkan oleh UU ini, yaitu: perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan

hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja. Sedangkan

kewenangan arbitrase terbatas pada perselisihan kepentingan dan

perselisihan antar serikat pekerja. Pihak-pihak yang ingin

memenangkan perkara jalurnya adalah pengadilan, sedangkan pihak-

pihak yang ingin menyelesaikan persoalan bukan ke pengadilan

melainkan ke arbitrase sebagai alternative dispute resolution. Menurut

UU ini, para pihak yang menyelesaikan perselisihan pemutusan

hubungan kerja atau perselisihan hak tidak dapat menyelesaikannya

melalui arbitrase. Mereka harus menempuh jalur pengadilan

hubungan industrial. Padahal 99, 9 % perselisihan perburuhan adalah

perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak. Dengan

demikian 99,9 % dari ribuan kasus perburuhan akan diselesaikan

melalui jalur pengadailan hubungan industrial dan akan bermuara di

Mahkamah Agung. Timbul pertanyaan di sini apakah pengadilan

hubungan industrial dapat menyelesaikan kasus perburuhan yang

jumlahnya ribuan itu dalam waktu 50 hari untuk setiap kasusnya?

Pertanyaa serupa juga dapat dikemukakan disini kepada Mahkamah

Agung yang diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan setiap

kasusnya. Dengan demikian harapan terselesaikannya kasus

perburuhan dalam waktu 140 hari melalui mekanisme yang

Page 20 of 31

Page 21: HUKUM PERBURUHAN

ditawarkan UU ini akan jauh dari kenyataan.

2. Dengan dicabutnya pasal 158 tentang Kesalahan Terberat untuk

kasus pemutusan hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam UU

No.13/2003 juga akan memperlama proses penyelesaian perselisihan

pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan pengadilan hubungan

industrial baru dapat memproses kasus tersebut terutama dengan

alasan pencurian, penggelapan atau penganiayaan setelah kasus

tersebut mendapatkan keputusan yang mengingat dari pengadilan

pidana.

Akhirnya UU No.39/2004 tentang Pembinaan dan Perlindungan Tenaga

Kerja Indonesia di Luar Negeri juga masih memposisikan TKI sebagai

ekspor komoditi, bukan sebagai manusia dengan segala harkat dan

martabatnya. Hal ini terjadikarena UU ini belum menciptakan sistem

penempatan TKI ke Luar Negeri yang berpihak kepada TKI sebagaimana

terurai di bawah ini:

1. Perusahan penempatan TKI yang pada dasarnya business-oriented

diberi kewenangan untuk merektut, menampung, melatih dan

sekaligus menempatkan TKI, melindungi TKI selama masa pra

penempatan, pada masa penempatan dan pasca penempatan.

Pembebanan tanggung jawab yang sangat berat ini tidak dapat

dibebankan kepada perusahaan penempatan TKI yang business-

oriented. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penempatan TKI yang

tidak selektif. Penempatan TKI yang tidak selektif ini akan merupakan

akar permasalahan terjadinya penganiayaan, pelecehan seksual, tidak

dibayar upahnya, penipuan, pemerasan dan lain-lain akan merupakan

persoalan laten yang akan berulang kembali pada masa mendatang.

2. Tidak adanya ketentuan yang melarang kegiatan penempatan TKI

Page 21 of 31

Page 22: HUKUM PERBURUHAN

secara ilegal serta tidak adanya ketentuan yang melarang pejabat

Depnaker, Deplu dan Depkumham termasuk saudara-saudaranya

yang menurut garis keturunan menyamping atau kebawah akan

menimbulkan persoalan TKI sebagaimana tersebut di atas.

B. Pengaturan Masalah Perburuhan di Singapura17

Untuk memahami tentang masalah perburuhan in casu perkembangan

undang-undang perburuhan dan hubungan perburuhan di Singapura,

terlebih dahulu perlu diberikan ulasan sekilas tentang setting sejarah dan

geopolitik Singapura.

Singapura merupakan sebuah negara pulau dan negara kota yang terletak

di kawasan Asia Tenggara. Luas negara ini hanya 622 kilometer persegi,

setara dengan 223 mil persegi, atau sekitar tiga setengah kali ukuran luas

kota Washington DC. Republik Singapura terdiri dari satu pulau utama

dan beberapa pulau kecil yang terbentang di sisi selatan Semenanjung

Malaysia. Negara ini memiliki jalur lalulintas darat dan kereta api yang

dapat menghubungkan lalulintas dari dan ke Malaysia.

Singapura merupakan dataran rendah yang cukup kaya kandungan

mineral, namun ia tidak memiliki kekayaan alam lain selain dari sumber

daya manusia, perikanan serta pelabuhan perairan dalam yang telah

memberikan kontribusi besar bagi negara ini melalui aktivitas

perdagangan laut sejak para penjelajah dari Eropa menemukan pulau ini

di abad ke-sembilan belas. Bahkan, pelabuhan utama Singapura telah

menjadi satu titing penting bagi rute pelayaran di kawasan Asia Tenggara.

Sebagian besar wilayah daratan negara ini telah mengalami tahap

perkembangan industri yang masif, dimana sekitar 84% wilayah daratan

Negara ini telah dibangun atau sedang dalam tahap pembangunan.

17 Uraian ini diambil dari Elizabeth C. Surin, “Government Influence On Labor Unions In A Newly Industrialized Economy: A Look At The Singapore Labor System”.

Page 22 of 31

Page 23: HUKUM PERBURUHAN

Singapura merupakan negara multi-rasial, multi-agama dan multi bahasa.

Pada tahun 1994, penduduknya berjumlah 2.859.142 jiwa dengan tingkat

pertumbuhan penduduk sebesar 1,12 persen per tahun. Bahasa Inggris

merupakan bahasa resmi utama negara ini sekaligus bahasa administrasi

pemerintahan. Bahasa resmi lainnya meliputi bahasa Cina, Tamil dan

Melayu. Sebagian besar sekolah di Singapura mewajibkan penggunaan

setidaknya dua bahasa sejak dari kelas 1 SD. Bahasa Inggris selalu

menjadi salah satu dari bahasa wajib tersebut.

Singapura menjadi koloni Inggris pada tahun 1819. Bahkan, hingga saat

ini, negara kota ini mengakui Sir Stamford Rafles sebagai Bapak Pendiri

Negara Singapura modern.

Setelah Perang Dunia II, yaitu setelah Jepang melepaskan kekuasaannya

di kawasan Asia Tenggara, Singapura bergabung dengan negara-negara

semenanjung Malaysia lainnya untuk membentuk Negara Malaysia

sebagai koloni kerajaan Inggris Raya. Negara Koloni Malaysia ini

memperoleh kemerdekaan parsial dari Inggris pada tahun 1955 dan

kemudian dipimpin oleh David Marshall. Singapura dan Malaysia akhirnya

memperoleh kemerdekaan penuh dari Inggris pada tahun 1959 ketika

penduduk Singapura secara bulat terpilih sebagai pemimpin partai

berkuasa di Singapura, yaitu People’s Action Party (PAP). Pada tahun

1963, negara Singapura dan Malaysia merdeka bersatu untuk membentuk

sebuah Negara Federasi, yaitu Federasi Malaysia. Namun, tidak lama

sesudah itu terjadi ketegangan antara warga Singapura keturunan China

dan penduduk muslim Malaysia. Perselisihan ini berlanjut hingga akhirnya

Singapura keluar dari Federasi Malaysia dan membentuk negara

Singapura yang merdeka dan berdaulat pada tanggal 9 Agustus 1965.

Sistem pemerintahan Singapura, baik itu lembaga-lembaga pemerintah

dan hukum yang ada di Singapura mengikuti model yang ada di Inggris.

Singapura, misalnya, menerapkan sistem parlementer, dimana Perdana

Page 23 of 31

Page 24: HUKUM PERBURUHAN

Menteri merupakan kepala pemerintahan negara sekaligus ketua partai

politik yang berkuasa. Presiden hanya merupakan kepala negara

seremonial, seperti halnya Ratu yang ada dalam sistem monarkhi Inggris.

Pemilihan Umum untuk memilih partai yang berkuasa dilaksanakan setiap

4 tahun sejak tahun 1959. Hak suara dimiliki oleh setiap warga Negara

Singapura yang telah berusia 21 tahun atau lebih. Calon-calon yang akan

menduduki jabatan-jabatan publik terlebih dahulu dipilih oleh pimpinan

partai-partai. Pemilu dilaksanakan untuk memilih partai yang akan

berkuasa, bukan memilih nama-nama calon yang akan menduduki

jabatan-jabatan publik. Pola seperti ini memunculkan kecenderungan

bahwa calon-calon pejabat tersebut diuntungkan oleh kedekatannya

dengan partai penguasa, bukan karena prestasi atau capaian politik dari

individu calon.

Negara Singapura memiliki tiga organ/lembaga negara, yaitu eksekutif,

legislatif dan yudikatif. Pemahaman tentang struktur pemerintahan ini

merupakan prasyarat penting untuk memahami fungsi hubungan

perburuhan/hubungan industrial di Singapura, karena di negara ini

pemerintah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap gerakan

buruh.

Hingga bulan Januari 1991, jabatan presiden sebagai kepala negara tetap

merupakan jabatan seremonial belaka. Sebelum itu, presiden dipilih oleh

partai berkuasa dan Perdana Menteri merupakan penentu akhir dari

proses pemilihan itu. Pada tahun 1991 dilakukan amandemen terhadap

konstitusi Singapura, yang memuka jalan bagi proses pemilihan presiden

secara langsung oleh rakyat. Pemilihan presiden secara langsung

pertama kali dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 1993. Berdasarkan

ketentuan Undang-Undang Dasar hasil amandemen, Presiden memegang

jabatan selama enam tahun. Presiden memiliki kekuasaan untuk mem-

veto kebijakan anggaran negara dan untuk menunjuk pejabat-pejabat

Page 24 of 31

Page 25: HUKUM PERBURUHAN

publik. Presiden juga mmeiliki kewenangan untuk mereview kebijakan

investasi pemerintah, memerintahkan penahanan orang-orang yang

membahayakan keamanan dan mengeluarkan undang-undang tentang

keagamaan.

Kekuasaan presiden di Singapura relatif terbatas, namun pada tahun 1993

kekuasaan presiden diperluas sehingga mencakup pengawasan terhadap

pejabat-pejabat korup di dalam partai yang berkuasa. Pada tahun yang

sama, Perdana Menteri Lee Kuan Yew, yang telah berkuasa sejak

berdirinya negara merdeka Singapura, mengundurkan diri serta

menyerahkan kekuasaan kepada kadernya yang berusia lebih muda.

Sekalipun demikian, Lee mengangkat dirinya sendiri sebagai “Menteri

Senior” dan tetap memiliki kekuasaan yang signifikan dalam pemerintahan

dengan kewenangannya untuk mengawasi dan memberikan nasihat

kepada Perdana Menteri Goh Chok Tong.

Cabang kekuasaan eksekutif di Singapura terdiri dari presiden, perdana

menteri dan para menteri kabinet. Para menteri kabinet ini dipilih dari

anggota-anggota parlemen. Presiden memilih para menteri berdasarkan

masukan dari Perdana Menteri. Perdana Menteri merupakan pemimpin

cabinet. Para menteri cabinet ini bertanggungjawab kepada parlemen.

Tugas para menteri ini antara lain adalah melaksanakan seluruh kebijakan

pemerintah serta menjalankan urusan-urusan administrasi kenegaraan

sehari-hari.

Sedangkan, cabang kekuasaan legislatif terdiri dari presiden dan

parlemen unikameral yang mencakup pula perdana menteri di dalamnya.

Perdana menteri tidak hanya memimpin kabinet yang merupakan salah

satu unsur dari cabang kekuasaan eksekutif, melainkan juga merupakan

pemimpin mayoritas di parlemen. Oleh karena itu, cabang kekuasaan

eksekutif dan legislatif di Singapura tidak saling independen antara satu

dan yang lainnya. Dengan kata lain, sistem checks and balances

Page 25 of 31

Page 26: HUKUM PERBURUHAN

sebagaimana yang dikenal dalam sistem demokrasi politik Amerika justru

tidak dikenal dalam struktur pemerintahan Singapura. Karena perdana

menteri Singapura memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif

sekaligus, maka kecil atau bahkan tidak ada sama sekali peluang bagi

partai oposisi untuk menjatuhkan undang-undang produk legislatif atau

kebijakan-kebijakan pemerintah.

Sementara itu, dalam cabang Yudikatif, Hakim-hakim di Singapura

menduduki jabatannya karena ditunjuk, bukan dipilih. Kekuasaan

kehakiman di negara ini dipegang oleh Mahkamah Agung dan pengadilan-

pengadilan di bawahnya. Mahkamah Agung terdiri dari Ketua Mahkamah

Agung dan Hakim-Hakim Banding (appeal judges). Konstitusi Singapura

mengatur secara khusus tentang masa jabatan dan independensi hakim-

hakim Mahkamah Agung.

Sistem hukum Singapura mengikuti model sistem hukum common law

Inggris. Namun, berbeda dengan Inggris, Singapura tidak mengakui

yurisdiksi Mahkamah Internasional. Singapura juga tidak semata-mata

mengadopsi sistem hukum Inggris. Negara ini juga mengadopsi sistem

Australia untuk mendesain undang-undang arbitrase perburuhannya.

Pengadopsian model Australia ini berimplikasi pada dibentuknya Industrial

Arbitration Court (IAC) di Singapura yang memiliki kekuasaan luas untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa perburuhan. Berikut ini beberapa

peraturan perundang-undangan tentang perburuhan yang ada di

Singapura.

1. The Employment Act

The Employment Act 1968 ini merupakan salah satu undang-undang yang

dirancang untuk menciptakan iklim yang menarik bagi para investor untuk

menanamkan modalnya di perusahaan-perusahaan Singapura. Undang-

undang ini merupakan penyempurnaan sekaligus konsolidasi atas

berbagai ordonansi yang dibuat oleh penguasa kolonial, diantaranya

Page 26 of 31

Page 27: HUKUM PERBURUHAN

adalah The Labor Ordonance 1957, The Shop Assistants Employment

Ordinance 1957 dan The Clerck’s Employment Ordinance 1957.

Melalui undang-undang ini pemerintah Singapura berupaya menciptakan

standarisasi kondisi kerja. Diantaranya, diatur tentang standar hari kerja

dalam satu minggu (yaitu maksimal 44 jam dalam seminggu), besaran

upah lembur dan batas waktu lembur yang diijinkan untuk dilaksanakan

oleh para pekerja/buruh. Selain itu, diatur pula tentang besaran tunjangan

yang diterima oleh pekerja/buruh yang sakit serta ketentuan tentang masa

cuti bagi mereka dalam satu tahun. Melalui berbagai peraturan tersebut

diharapkan dapat dicegah timbulnya biaya-biaya tersembunyi yang tinggi

atas lembur yang dilakukan oleh para pekerja/buruh sehingga melalui

penghambatan biaya tinggi ini investor-investor asing diharapkan tertarik

untuk menanamkan modal mereka di Singapura. Melalui undang-undang

ini pemerintah Singapura juga mengharapkan dapat mengakselerasi

pertumbuhan industri di negaranya.

Pada tahun 1975 undang-undang ini diamandemen, yaitu dengan

membekukan kewajiban pemberian bonus atau pembayaran-pembayaran

lainnya kepada para pekerja/buruh hingga pada tingkatan atau jumlah

tertentu. Dengan amandemen ini berarti pemerintah memberikan jaminan

bagi para investor untuk mendapatkan biaya tenaga kerja yang lebih

murah. Disisi lain, pemerintah membatasi atau mengurangi hak berupa

bonus atau pembayaran-pembayaran lainnya bagi para pekerja/buruh

hingga pada tingkatan atau jumlah tertentu.

Pada tahun 1984 undang-undang ini kembali diamandemen dengan

tujuan untuk meningkatkan produktivitas. Amandemen kedua ini

memberikan ijin bagi perusahaan/pengusaha untuk mengatur jam kerja

secara lebih fleksibel, yaitu dengan mengijinkan pekerja-pekerja non-shift

untuk selama dua belas jam sehari apabila pekerja bersangkutan

memberikan persetujuan tertulis kepada perusahaan. Selain itu,

Page 27 of 31

Page 28: HUKUM PERBURUHAN

amandemen kedua ini juga memberikan larangan bagi perusahaan-

perusahaan untuk mempekerjakan anak-anak di bawah usia dua belas

tahun. Sekalipun demikian, perusahaan-perusahaan boleh mengajukan

ijin untuk mempekerjakan anak-anak di bawah usia dua belas tahun untuk

bidang-bidang pekerjaan non industri dan sesudah mendapatkan

sertifikasi dari petugas kesehatan.

Ketentuan Bab II dari undang-undang in menyatakan bahwa setiap

hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja/buruh harus dibuat

berdasarkan kontrak, baik kontrak lisan maupun tertulis. Dalam keadaan-

keadaan tertentu, pekerja/buruh dalam kontrak ini dapat mengakhiri

kontrak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada perusahaan,

misalnya apabila ternyata perusahaan melanggar ketentuan kontrak kerja

yang telah mereka sepakati, perusahaan tidak membayar gaji sesuai yang

telah disepakati, atau apabila bidang kerja yang ditangani oleh si

pekerja/buruh menghadapkannya pada resiko bahaya, kekerasan atau

penyakit.

2. The Industrial Relation Act

Undang-undang ini dirancang untuk merestrukturisasi hubungan

ketenagakerjaan di Singapura sekaligus untuk menciptakan sistem

kerjasama tripartite yang melibatkan pemerintah/negara dalam masalah-

masalah perburuhan. Melalui undang-undang ini, maupun

amandemennya tahun 1968, penyelesaian sengketa perburuhan

diarahkan untuk dicegah dan diselesaikan di luar pengadilan, yaitu melalui

proses tawar-menawar kolektif (collective bargaining), konsiliasi dan

arbitrase. Proses tawar-menawar kolektif menggariskan bahwa apabila

negosiasi gagal menyelesaikan sengketa antara perusahaan dan

pekerja/buruh, maka langkah berikutnya yang harus ditempuh adalah

proses konsiliasi. Konsiliasi ini dilaksanakan oleh The Office of

Page 28 of 31

Page 29: HUKUM PERBURUHAN

Commissioner of Labor yang berada di bawah naungan departemen

tenaga kerja. Jika upaya konsiliasi masih mengalami kegagalan, maka

langkah berikutnya adalah penyelesaian sengketa melalui mahkamah

arbitrase, yaitu The Industrial Arbitration Court (IAC). Ketua dan Wakil

Ketua lembaga arbitrase ini ditunjuk langsung oleh presiden atas saran

dari Perdana Menteri. Dengan posisi seperti ini, nampak bahwa IAC

memiliki kekuasaan yang sangat besar serta posisi yang sangat kuat

untuk menyelesaikan sengketa antara perusahaan dan pekerja/buruh.

3. The Trade Union Act

Undang-undang ini mengadopsi The British Trade Unions Ordinance yang

memberikan kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas pada Negara

untuk memberikan atau menolak pengakuan terhadap serikat-serikat

pekerja. Negara diperkenankan mengambil tindakan-tindakah atau

pembatasan-pembatasan dan pengawasan-pengawasan guna menjamin

keamanan nasional serta untuk memastikan terlaksananya kebijakan anti

dukungan bagi komunisme dan aktivitas-aktivitas komunisme. Dengan

kata lain, undang-undang ini membuka jalan bagi pemerintah untuk

menutup pintu bagi oposisi atau bagi pandangan-pandangan yang

bertentangan dengan ideologi pemerintah. Peluang bagi terjadinya dialog

yang terbuka dan transparan antara perusahaan, pekerja/buruh dan

pemerintah juga menjadi semakin sempit karena pemerintah memiliki

kekuasaan yang besar untuk menentukan serikat pekerja yang mana yang

boleh mengikuti negosiasi dan hal-hal apa yang boleh dinegosiasikan.

Undang-undang ini juga mengatur hak pekerja untuk melakukan

pemogokan. Namun demikian, dalam praktiknya sangat jarang pekerja

dapat menikmati atau melaksanakan haknya tersebut tanpa ada ijin

terlebih dahulu dari pemerintah, sekalipun hak untuk melakukan

Page 29 of 31

Page 30: HUKUM PERBURUHAN

pemogokan secara nyata-nyata telah ada dan diatur dalam undang-

undang ini.

IV. KESIMPULAN

Undang-Undang adalah sarana untuk mengukuhkan suatu pandangan

tertentu/partikular tentang kehidupan sosial atau relasi antara pihak-pihak

dalam masyarakat. Maka produk UU tidak pernah bebas nilai. UU selalu

menganut paradigma tertentu tentang relasi sosial. UU PPHI tidak hadir

tanpa maksud. Di dalamnya terkandung pandangan tertentu tentang

hakeket relasi buruh dan majikan yang sifatnya lebih liberal dan hal ini

berbeda dengan konsepsi yang dianut dalam peraturan yang dicabutnya,

yaitu UU No. 12/1964. Gagasan tentang perlindungan hak atas pekerjaan

yang dianut oleh UU No. 12/1964 telah lenyap dengan dihapuskannya

kewajiban majikan memohonkan ijin untuk melakukan PHK.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang tahap

pembangunannya dilakukan secara konkuren (tahap unifikasi, tahap

industrialiasi dan tahap kesejahteraan berlangsung secara bersamaan),

kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan hukum perburuhan.

Tahap industrialisasi yang menekankan pertumbuhan ekkonomi setinggi-

tingginya akan mengarahkan hukum perburuhan untuk melindungi pemilik

modal. Hal ini berarti bahwa buruh dikorbankan demi pertumbuhan

ekonomi yang setinggi-tingginya. Di lain pihak pada tahap kesejahteraan

fokus pembangunan adalah untuk memperhatikan kesejahteraan

masyarakat termasuk buruh. Tuntutan pemulihan ekonomi dari krisis

multidimensional dan tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh berjalan

bersamaan. Kondisi ini akan mempengaruhi perkembangan hukum

perburuhan, sehingga akan terjadi tarik menarik kepentingan dari kedua

Page 30 of 31

Page 31: HUKUM PERBURUHAN

belah pihak. Pengusaha akan berusaha untuk tetap mempertahankan

ketentuan yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan

outsourcing, di lain pihak buruh akan berusaha agar ketentuan Perjanjian

Kerja Waktu tertentu dan outsourcing dihapuskan. Pengusaha akan

berusaha menekan besarnya upah minimum, di lain pihak pekerja akan

berusaha meningkatkan upah minimum. Pihak pemerintah cenderung

untuk memihak para pelaku bisnis karena Pemerintah menghadapi

persoalan bagaimana menarik investor domestik/asing dan untuk

mengatasi masalah pengangguran. Dengan demikian tren hukum

perburuhan 2006 akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis

bukan kepada pekerja/buruh semata-mata.

Secara nyata dapat diketahui bahwa perlindungan terhadap hak-hak

buruh, baik di Indonesia maupun di Singapura, telah diatur dan dijamin

oleh undang-undang, bahkan di dalam konstitusi. Namun, dalam

praktiknya, terdapat disparitas yang lebar antara teori yang tertulis dalam

hukum perburuhan kedua negara dengan apa yang terjadi dalam praktik.

Dengan kata lain, ketentuan dalam undang-undang perburuhan kedua

negara tidak selalu sebangun dengan praktik yang terjadi di lapangan.

Contoh nyata adalah praktik outsourcing di Indonesia dan penerapan ijin

pemogokan bagi pekerja/buruh di Singapura. Ketimpangan-ketimpangan

seperti ini merupakan faktor-faktor yang dapat menjadi perintang bagi

terwujudnya good corporate governance yang justru sangat menjunjung

tinggi transparansi, keterbukaan dan akuntabilitas publik.

Page 31 of 31