Hukum Pariwisata 1

25
HOTELIER anything that you need in hospitality industries Pilih Bahasa Monday, October 8, 2012 ANALISA HUKUM PARIWISATA ANALISA HUKUM PARIWISATA UU RI No. 9 / 1990 UU RI No. 10 / 2009 ANALISA Definisi Pariwisata Segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusaha objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, definisi dari pariwisata menjadi lebih spesifik dibandingkan dengan UU Nomor 9 Tahun 1990. Hal tersebut dikarenakan UU Nomor 10 Tahun 2009, menyebutkan pihak – pihak terkait yang ikut terlibat di dalam pengembangan serta pengaturan industri pariwisata di Indonesia baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah. Definisi Kepariwisata an Segala sesuatu yang berhubungan Seluruh kegiatan yang terkait dengan Seperti kita ketahui bahwa definisi kepariwisataan yang tercantum di dalam UU Nomor 9 Tahun 1990 bersifat umum dan tidak

description

penting

Transcript of Hukum Pariwisata 1

Page 1: Hukum Pariwisata 1

HOTELIERanything that you need in hospitality industries

Pilih Bahasa ▼Monday, October 8, 2012

ANALISA HUKUM PARIWISATA

ANALISA HUKUM PARIWISATA

UU RI No. 9 / 1990

UU RI No. 10 / 2009 ANALISA

Definisi Pariwisata

Segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusaha objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

Berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.

Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, definisi dari pariwisata menjadi lebih spesifik dibandingkan dengan UU Nomor 9 Tahun 1990. Hal tersebut dikarenakan UU Nomor 10 Tahun 2009, menyebutkan pihak – pihak terkait yang ikut terlibat di dalam pengembangan serta pengaturan industri pariwisata di Indonesia baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah.

Definisi KepariwisataanSegala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata.

Seluruh kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah

Seperti kita ketahui bahwa definisi kepariwisataan yang tercantum di dalam UU Nomor 9 Tahun 1990 bersifat umum dan tidak spesifik sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena hal tersebut, maka UU Nomor 9 Tahun 1990 direvisi kembali menjadi UU Nomor 10 Tahun 2009 dimana definisi kepariwisataan tersebut menjadi lebih terperinci, spesifik dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 

Page 2: Hukum Pariwisata 1

dan pengusaha.Pasal - pasal yang UU yang perlu di analisaUsaha Jasa PariwisataPasal 8 Pasal 14Usaha jasa pariwisata meliputi penyediaan jasa perencanaan, jasa pelayanan, dan jasa penyelenggaraan pariwisata. 

(1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain:  a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata;  c. jasa transportasi wisata;  d. jasa perjalanan wisata;  e. jasa makanan dan minuman; f. penyediaan akomodasi; g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;  h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; i. jasa informasi pariwisata; j. jasa konsultan pariwisata; k. jasa pramuwisata;  l. wisata tirta; dan m. spa.  (2) Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 

Karena perkembangan industri pariwisata semakin meningkat, maka usaha pariwisata maka diperlukan revisi dalam UU Tahun 2009 terdapat penambahan  jenis usaha yang terlibat dalam industri pariwisata dimana usaha tersebut lebih spesifik dalam penyelenggaran kegiatan usahanya. 

Pasal 9(1) Usaha jasa pariwisata dapat berupa jenis-jenis usaha: a. jasa biro perjalanan wisata; b. jasa agen perjalanan wisata; c. jasa pramuwisata; d. jasa konvensi, perjalanan insentif, dan pameran; e. jasa impresariat; f. jasa konsultan pariwisata, g. jasa informasi pariwisata. (2) Pemerintah dapat menetapkan jenis usaha jasa pariwisata selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Page 3: Hukum Pariwisata 1

Ketentuan PidanaPasal 36 Pasal 64(1) Barang siapa melakukan perbuatan melawan hak, dengan sengaja merusak, mengurangi; mengurangi nilai, memisahkan, atau membuat tidak dapat berfungsi atau tidak dapat berfungsinya secara sempurna suatu objek dan daya tarik wisata, atau bangunan obyek dan daya tarik wisata, atau bagian dari bangunan objek dan daya tarik wisata, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).  

(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidanapenjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling  banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliarrupiah).   

UU mengenai ketentuan pidana pada tahun 2009 hanya terdiri dari satu pasal saja, dimana UU tahun 1990 terdiri dari 5 pasal.  UU tahun 1990 direvisi sehingga lebih padat. Dilihat dari segi sanksi yang diberikan kepada pihak pelanggar bahwa lama penjara lebih lama 2 tahun pada pasal 64 tahun 2009 dibandingkan tahun 1990, sementara denda yang dikenakan lebih sedikit. Hal ini tentunya direvisi dengan tujuan meminimalisasi pelanggaran karena pelanggar akan dituntut lebih lama didalam penjara.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi ancaman pidana yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan

(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya dan melawan hukum, merusak fisik, atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 

Page 4: Hukum Pariwisata 1

mengenai lingkungan hidup, benda cagar budaya, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, perikanan, dan Undang-undang yang lainnya.

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).  

Pasal 36Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 37Barangsiapa karena kelalaiannya merusak atau mengakibatkan terganggunya keseimbangan atau mengakibatkan gangguan terhadap kelancaran kegiatan yang menjadi objek dan daya tarik wisata dalam wisata budaya dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau 

Page 5: Hukum Pariwisata 1

denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 38

Barangsiapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 35 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 

Pasal 39(1) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 adalah kejahatan. (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 adalah pelanggaran. Penambahan Pasal - pasal dalam UU Tahun 2009Sistem Perencanaan

Page 6: Hukum Pariwisata 1

Pasal 8 s/d 9

Didalam pasal-pasal ini disebutkan keterlibatan dari pemangku kepentingan seperti Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat itu sendiri di dalam mengimplementasikan sistem perencanaan pemerintah, baik yang berdimensi jangka panjang, terpadu, dan yang berkelanjutan.

Kawasan Strategis

Pasal 12 s/d 13

Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan bahwa kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan kawasan strategis pariwisata baik yang nasional maupun kabupaten/kota. Dimana di setiap kawasan strategis tersebut ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Desentralisasi

Page 7: Hukum Pariwisata 1

Pasal 29 s/d 30

Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, dijelaskan kewenangan – kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengembangan dan pemeliharaan aset – aset pariwisata di masing – masing kawasan strategis pariwisata. Dimana di dalam UU Nomor 9 Tahun 1990, tidak menyebutkan secara terperinci kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah di dalam pengembangan dan pemeliharaan aset – aset pariwisata.

Sistem Kordinasi

Pasal 33 s/d 35

Pasal 33 s/d 35 UU Nomor 10 Tahun 2009, memberikan kekuatan hukum bagi Pemerintah untuk melakukan koordinasi strategis lintas sektor pada tataran kebijakan, program maupun kegiatan kepariwisataan. Disebutkan pula bahwa koordinasi lintas sektor dipimpin langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden. Disebutkan dan dijelaskan pula tentang ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, mekanisme, dan hubungan koordinasi strategis lintas sektor diatur dengan Peraturan Presiden.

Badan Promosi Pariwisata Indonesia

Pasal 36 s/d 42

Di dalam Pasal 36 s/d 42 dijelaskan bahwa dalam upaya meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke wilayah Indonesia, maka dibentuklah Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagai mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dimana Badan Promosi Pariwisata Indonesia merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri. Badan Promosi Pariwisata Indonesia terdiri

Page 8: Hukum Pariwisata 1

dari dua unsur yaitu unsur penentu kebijakan (Asosiasi kepariwisataan, Asosiasi profesi kepariwisataan, Asosiasi penerbangan dan Pakar/Akademis) dan unsur pelaksana yang profesional. Pada UU Nomor 10 Tahun 2009 ini juga menyebutkan tugas – tugas dari Badan Promosi Pariwisata Indonesia dan pembiayaan serta pendayagunaan biaya tersebut. Badan Promosi Pariwisata Indonesia ini harus sudah terbentuk paling lambat dua tahun setelah UU Kepariwisataan berlaku.

 Gabungan Industri Pariwisata Indonesia 

Page 9: Hukum Pariwisata 1

Pasal 50

Menjelaskan mengenai Gabungan Industri Pariwisata Indonesia yang dibentuk dan untuk pertama kali difasilitasi oleh Pemerintah, dimana Gabungan Industri Pariwisata Indonesia dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif, dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia berfungsi sebagai mitra kerja bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta wadah komunikasi dan konsultasi para anggotanya di dalam penyelenggaraan dan pembangunan kepariwisataan. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia bersifat mandiri dan dalam melakukan kegiatannya bersifat nirlaba. Disebutkan juga di dalam Pasal 50, pihak – pihak yang turut serta di dalam keanggotaan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia dan ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk keanggotaan, susunan kepengurusan dan kegiatan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. 

Standarisasi dan Sertifikasi

Pasal 53 s/d 55

Dijelaskan bahwa untuk meningkatkan pelayanan dalam industri pariwisata, setiap tenaga kerja bidang pariwisata diwajibkan memiliki standar kompetensi yang diperoleh melalui sertifikasi kompetensi yang diberikan oleh lembaga sertifikasi profesi yang mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi dan usaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BERANDA

Page 10: Hukum Pariwisata 1

DASAR HUKUM PENGELOLAAN

PARIWISATA PENGELOLAAN PARIWISATA 

BERDASARKAN UNDANG UNDANG, PERATURAN PEMERINTAH DAN PERDA 

A.  UNDANG  - UNDANG

1. Undang  Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Pasal 14 Mengatakan : “ Setiap Orang 

dan atau masyarakat di dalam dan disekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas ;

a.. Menjadi Pekerja / Buruh

b. Konsinyasi ; dan / atau

c. Pengelolaan.

B. PERATURAN PEMERINTAH

1. Peraturan Pemerintah No.67 Tahun 1996 Tentang Penyelenggaraan  Kepariwisataan , Pasal  41 mengatakan “Pengusahaan 

Objek dan Daya Tarik Wisata alam dislenggarakan oleh Perseroan Terbatas, Koperasi atau Perorangan.

C. PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI

1. Peraturan daerah provinsi bali,  no .3 tahun 2001 tentang desa pakraman, Bab V Harta Kekayaan Desa Pakraman Pasal 9 

Mengatakan :

(1) Harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada yang berupa  harta bergerak dan 

tidak bergerak, material dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religious magis yang menjadi milik desapakraman.

(2) Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan olehprajuru desa sesuai dengan awig-awig desapakraman masing-

masing. Setiap pengalihan/perubahan status harta  kekayaan  desa pakraman harus mendapat persetujuan paruman.

(4) Pengawasan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh krama desapakraman.

(5) Tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama pribadi.

(6) Tanah desapakraman dan tanah milik desapakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan.

2. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Usaha Pariwisata Di Kawasan Pariwisata Di Provinsi 

Daerah Tingkat I Bali Bab IV Benduk Usaha dan Permodalan Pasal 9 mengatakan bahwa : usaha kawasan pariwisata harus 

berbentuk perseroan terbatas atau koperasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan mengutamanakan tenaga kerja 

setempat. 

 Pasal 6 Usaha Kawasan Pariwisata meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:  Membangun atau menyewakan satuan-satuan 

Page 11: Hukum Pariwisata 1

simpul (lingkungan tertentu) itu untuk membangun Usaha        Pariwisata meliputi Usaha Kawasan Jasa Pariwisata, Pengusahaan 

Obyek dan Daya Tarik  Wisata Usaha Sarana Pariwisata dan Pusat Pembelanjaan sesuai gambar rencana;

 

 pasal 9 Mengatakan Untuk memperoleh Izin Prinsip Usaha Kawasan Pariwisata, pengusaha harus mengajukan permohonan 

kepada Gubernur Kepala Daerah, dengan melampiri: Gambar/lokasi rencana;  Rekomendasi Kepala Daerah Tingkat II (dilengkapi 

dengan saran, pendapat dan pertimbangan Desa Adat);  Akte pendirian perusahaan; Proposal/rencana pengembangan usaha 

kawasan pariwisata.

1.2. LANDASAN HUKUMPenyusunan Rancangan Renstra Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten Tahun 2012-2017 disusun dengan berlandaskan pada :1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah;2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4010);4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah6. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluas Pelaksanaan RencanaPembangunan Daerah7. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah;8. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Banten Tahun 2012-2017 (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Nomor 41)9. Peraturan Gubernur Banten No. Tentang Uraian Tugas Dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Banten

PERKEMBANGAN HUKUM PARIWISATA (5)Label: perkembangan kebijakan hukum pariwisata tahap ketiga

Kebijakan Pariwisata Dalam GBHN 1999-2004:

a. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang

bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung

nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam

Page 12: Hukum Pariwisata 1

rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun

peradaban bangsa.

b. Merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, untuk memberikan rujukan sistim nilai

bagi totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik, hokum dan kegiatan kebudayaan

dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas

berbudaya masyartakat.

c. Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-ilai budaya dalam rangka memilah-milah

nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan

bangsa di masa depan.

d. Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam kesenian untuk memberi inspirasi bagi

kepekaan terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada etika, moral,

estetika dan agama serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak

cipta dan royalty bagi pelaku seni dan budaya.

e. Mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat sebagai media massa

kreatif untuk meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan

opini public yang positif, dan nilai tambah secara ekonomi

f. Melestarikan apresiasi kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan

memberdayakan sentra-sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian

nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga menumbuhkan kebanggaan nasional.

g. Menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi

pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara

konsisten sehingga dapat menjadi wahana persahabatan antar bangsa.

h. Mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh, terpadu,

interdisipliner, dan partisipatoris dengan menggunakan criteria ekonomis, teknis,

ergonomik, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak

lingkungan

Kebijakan kepariwisataan dalam Program Pembangunan Nasional 2004 - 2009

ditarik dari bidang Ekonomi, ke dalam bidang Sosial budaya, dengan titel Kebudayaan,

Kesenian, dan Pariwisata. Kebijakan tersebut tampak melepaskan kepariwisataan dari

situasi sarat beban ke keadaan yang lebih rasional. Kebijakan kepariwisataan diletakkan

pada dua gagasan kunci:

a. kepariwisataan berpijak pada kebudayaan tradisional ; dan

b. kepariwisataan sebagai wahana persahabatan antar bangsa.

Gagasan tersebut mengembalikan status dan fungsi kepariwisataan dari status dan

fungsi ekonomi ke status dan fungsinya semula, kebudayaan, sebagaimana ditetapkan

Page 13: Hukum Pariwisata 1

dalam Kebijakan Pembangunan Semesta Berencana Tahap Pertama. Program

Permbangunan Nasional juga mensyaratkan pendekatan system bagi pengembangan

kepariwisataan, yaitu suatu pendekatan yang utuh, terpadu, multidispliner,

partisipatoris, dengan criteria ekonomis, teknis, ergonomis, social budaya, hemat

energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan.

Pendekatan demikian terasa berlebihan di banding status dan fungsi kepariwisataan

yang sekedar berstatus dan berfungsi kebudayaan. Akan menjadi berbeda, sekiranya

kebijakan tersebut terlebih dahulu menggambarkan status dan fungsi kepariwisataan

secara lengkap, mencakup status dan fungsi ekonominya. Saying penegasan demikian

tidak dilakukan, sehingga pendekatan demikian cenderung bernilai berlebihan dantidak

rasional.

Disisi lain, kemunculan kata kriteria ekonomi pada pendekatan tersebut, menimbulkan

kesan bahwa pemerintah tidak berniat membebaskan kepariwisataan dari status dan

fungsi ekonomi, dan karena itu, cara perumusan demikian justru dapat menimbulkan

implikasi teknis, seperti kekaburan ruang lingkup kebijakan, lingkup kebijakan dalam

perencanaan kebijakan, penetapan target dan desain kebijakan. Jika salah, perumusan

demikian dapat menjerumuskan kebijakan kepariwisataan ke dalam beberapa

kemungkinan:

1) motif budaya sangat dominan, motif ekonomi sangat tipis, atau bahkan diabaikan

sama sekali;

2) motif kebudayaan seimbang dengan motif ekonomi ( proporsional);

3) motif ekonomi secara tidak disadari lebih dominan, mengalahkan motif budaya;

4) motif ekonomi mengakibatkan eksploitasi kebudayaan.

Alternatif demikian dapat dicegah dengan cara:

mempertegas status dan fungsi kepariwisataan dalam hubungan dengan potensi-

potensi kepariwisataan, seperti lingkungan hidup, masyarakat pendukung, dan

kebudayaan masyarakat setempat’

menata kembali motif, substansi dan arah kebijakan kepariwisataan;

.merumuskan secara akurat dan proporsional kebijakan kepariwisataan.

Perkembangan kebijakan tersebut mencerminkan:

dua pola dasar, yaitu kepariwisataan sebagai kegiatan kebudayaan dan ekonomi;

dua model pendekatan, yaitu kebudayaan dan ekonomi; dan

dua model target, yaitu target budaya dan target ekonomi.

Kebijakan pada perkembangan tahap pertama memiliki kesamaan dengan pada

perkembangan tahap ketiga, yaitu sama-sama didasarkan pada pendekatan

kebudayaan, dan sama-sama menempatkan kebudayaan sebagai kegiatan

Page 14: Hukum Pariwisata 1

kebudayaan. Sedangkan pada tahap kedua memiliki cirri yang sangat kontras, yaitu

didasarkan pendekatan ekonomi, berorientasi pada devisa dan pertumbuhan optimal.

Namun penting diperhatikan bahwa model perumusan kebijakan pada tahap ketiga

dapat menjerumuskan kepariwisataan ke dalam keadaan lebih buruk disbanding akibat-

akibat kebijakan kepariwisataan pada tahap kedua.

Belakangan disebutkan bahwa kebijakan kepariwisataan didasarkan pada pendekatan

komunitas atau pendekatan kemasyarakatan, dimana kegiatan kepariwisataan tidak

lagi diletakkan pada komunitas professional, atau masyarakat pelaku bisnis, melainkan

lebih pada masyarakat asli daerah masing-masing dimana kepariwisataan tersebut

dikembangkan. Pendekatan demikian sesungguhnya tidak ditemukan pada bagian

kebijakan kepariwisataan, seni dan budaya, melainkan pada bidang kebijakan ekonomi

yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi didasarkan system ekonomi

kerakyatan, sebagai koreksi terhadap pendekatan ekonomi berbasis kekuasaan ke

ekonomi berbasis kerakyatan.

B. Perkembangan Kebijakan Pariwisata Internasional

GATS

GATS (General Agreement on Trade in Services) atau Persetujuan Umum Perdagangan

jasa, masuk ke dalam sistem hukum Indonesia melalui Undang-undaag Nomor 7 Tahun

1994, yaitu Undang-undang tentang Pengesahan Agreement Establishing the World

Trade Organisation (WTO Agreement) atau Persetujuan Pendirian Organisasi

Perdagangan Dunia. GATS merupakan bagian WTO Agreement dan terletak padaAnnex

1B Persetujuan tersebut.

GATS mencakup enam bagian:

Bagian I, Ruang lingkup dan definisi (Scope and Definition);

Bagian II, Kewajiban-kewajiban umum dan disiplin (General Obligations and Diciplines);

Bagian III, Komitmen Khusus (Spesific Commitments);

Bagian IV, Liberalisasi Progresif (Progressive Liberalisation);

Bagian V, Ketentuan Kelembagaan (Institutional Provisions);

BagianVl, Ketentuan Penutup (Final Provisions).

1.2. Ruang Lingkup GATS

GATS diterapkan terhadap setiap kebijakan perdagangan setiap anggota GATS yang

berdampak terhadap perdagangan jasa. Perdagangan jasa menurut GATS adalah

penyediaan jasa:

Page 15: Hukum Pariwisata 1

Dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lainnya;

Di dalam wilayah suatu negara anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara

anggota lainnya;

Oleh penyedia jasa dari satu negara anggota, melalui kehadiran perusahaan jasa di

dalam wilayah negara anggota lainnya

Oleh penyedian jasa dari satu negara anggota, melalui kehadiran natural person dari

suatu negara anggota di dalam wilayah negara anggota lainnya.

Batas-batas penerapan GATS, termasuk prinsip-prinsip, standar standar, persyaratan-

persyaratan, ketentuan-ketentuan, mekanisme dan prosedur, kemudahan, keuntungan

dan serta sanksi-sanksinya, dengan demikian adalah: Pertama, hanya berlaku di antara

negara-negara anggota GATS; Kedua, sepanjang berdampak terhadap pasokan jasa dari

negara anggota lainnya.

Ketentuan-ketentuan GATS hanya berlaku di antara negara-negara anggota GATS. Tidak

ada kewajiban bagi negara anggota GATS memberikan perlakuan serupa terhadap

pemasok jasa bukan negara anggota GATS. Hal lainnya, adalah bahwa hanya kebijakan

perdagangan jasa yang berdampak yang masuk ke dalam ruang lingkup GATS, di luar

itu tidak. Untuk sampai pada jastifikasi berdampak atau tidak, harus ada verifikasi.

Ketentuan demikian mengisyaratkan bahwa setiap negara anggota mempunyai hak

penuh, berdasarkan prinsip kedaulatannya, mengatur atau menerbitkan kebijakan

perdagangan jasa, namun kebijakan demikian serta merta harus memperhatikan

prinsip-prinsip GATS manakala bersentuhan dengan pasokan jasa dari negara-negara

anggota GATS, dan terutama yang berdampak terhadap pemasokan jasa di dalam atau

ke dalam wilayah negara penerbit kebijakan. Ketentuan ini secara analogis berlaku

terhadap perdagangan jasa pariwisata.

1.3. Prinsip-prinsip GATS

a. Most Favoured Nation Treatment

Setiap negara harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan tidak

berbeda terhadap jasa dan pemasok jasa dari negara lain sesuai perlakuan yang

diberikan terhadap pemasok jasa dari negara anggota lainnya. Negara anggota

diperbolehkan menerapkan kebijakan yang menyimpang dari prinsip tersebut, dengan

syarat kebijakan tersebut dicantumkaa dan memenuhi persyaratan Annex Pasal II

(Exeptions).

Annex ketentuan tersebut mengatur persyaratan bagi suatu negara anggota untuk

dikecualikan dari kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal II. Misalnya, bahwa

pengecualian dapat diberikan lebih dari 5 (lima) tahun. Tetapi, untuk periode pertama,

Page 16: Hukum Pariwisata 1

tidak boleh lebih dari lima tahun sejak GATS berlaku.

Annex tersebut lebih jauh mengatur tencang cara melakukan penguj ian dan

penghentian. Penghentian adalah keharusan untuk menghentikan pengecualian jika

telah mencapai 10 (sepuluh) tahun. Prinsip ini, memberi peluang kepada pemerintah

Indonesia untuk memperoleh pengecualian-pengecualian terhadap pemasok jasa

tertentu, termasuk pemasok jasa dari dalam wilayahnya (pemasok jasa domestik, tetapi

pengecualian demikian hams dihapuskan setelah kurun waktu sepuluh tahun sejak

GATS berlaku. Setelah itu, pemasok jasa pariwisata Indonesia hams siap bersaing

secara cerbuka (tanpa proteksi).

b. Transparasi

Setiap negara anggora wajib menerapkan, segera, semua peraturan pemndangan,

termasuk undang-undang, peraturan-peraturan, pedoman pelaksanaan dan peraturan

pemndangan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang

dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian ini, termasuk selumh perjanjian

internasional di mana negara tersebut menjadi anggotanya.

Setiap negara harus secara periodik, paling tidak setahun sekali, memberitahu Council

for Trade in Services (CTS), penerbitan atau perubahan peraturan pemndangan yang

terjadi di negara bersangkutan. Setiap negara harus menjawab setiap pertanyaan

negara lain berkaitan dengan informasi yang diperlukan.

Ketentuan ini menumt setiap pelaku bisnis pariwisata memahami peraturan

perundangan yang diterbitkan pemerintahnya dan peraturan perundangan yang

berlaku di dalam negara tujuan bisnisnya, untuk dapat memanfaatkan peluang dan

fasilitas perlindungan yang disediakan peraturan perundangan tersebut, memenuhi

kewajiban-kewajiban dengan sebaik-baiknya, untuk manfaat yang maksimal dan

mencegah risiko bisnis yang dapat timbul dari akibat kelalaian terhadap peluang dan

kewajiban tersebut.

Informasi-informasi harus diberitahukan secara terbuka untuk urnum, namun Pasal III

bis tetap memberikan kesempatan kepada suatu negara untuk menyimpan informasi-

informasi yang bersifat rahasia, yang dapat menghambat penerapan GATS.

c. Perlakuan Khusus Untuk Negara Berkembang

Negara berkembang tetap mendapat kemudahan dalam pelaksanaan GATS, melalui

komitmen khusus (specific commitment), sepanjang negara bersangkutan

berkepentingan secara nyata untuk menata kapasitas, efisiensi dan daya saing sektor

jasa, termasuk pariwisata, dan untuk itu negara-negara berkembang dapat

Page 17: Hukum Pariwisata 1

meningkatkan akses terhadap jaringan informasi dan akses pasar.

Ketentuan ini dapat digunakan pelaku bisnis pariwisata Indonesia untuk menuntut

pemerintah Indonesia memanfaatkan hak dan peluang tersebut, baik dalam rangka

penataan kapasitas, efisiensi dan daya saing pelaku bisnis domestik, maupun dalam

rangka memperoleh peluang akses pasar, tanpa hams memberikan kompensasi serupa

bagi pelaku jasa dari pemilik pasar. Ketentuan ini sangat penting bagi pelaku bisnis

Indonesia untuk menata diri, canpa kehilangan kesempatan mengakses pasar asing.

d. Kerjasama Dengan Negara Bukan Anggota

Kerjasama dengan negara bukan anggota tidak dilarang sepanjang tidak merugikan

penerapan GATS. Karena itu, setiap negara anggota GATS tetap dapat membentuk atau

menjadi anggota suatu kerjasama ekonomi, baik bilateral, regional, maupun universal.

e. Ketentuan Domestik

Setiap negara anggota, dalam membuat dan menerapkan ketentuan domestik, tidak

boleh merugikan kepentingan penerapan GATS. Setiap regulasi hams diterapkan secara

wajar, obyektif dan tidak memihak.

Ketentuan ini mengharuskan pelaku bisnis pariwisata melakukan kegiatan bisnis secara

mandiri, berdasarkan kapasitas sendiri, tanpa subsidi atau pun perlakuan khusus dari

pemerintah. Mereka tidak dapat meminta memberikan perlakuan demikian semata-

mata untuk keuntungan mereka.

Pasal XV GATS menentukan bahwa subsidi harus didasarkan negosiasi multilateral,

karena subsidi secara umum dapat mengakibatkan distorsi perdagangan.

f. Standar

Standar jasa dapat ditetapkan secara bilateral, regional, dan universal dan domestik,

sepanjang penerapannya bersifat obyektif dan tidak diskriminatif.

Pelaku bisnis pariwisata dapat menggunakan ketentuan ini untuk menjelaskan kepada

pemerintah keadaan mereka, dan meminta pemerintah menetapkan, atau merevisi,

standar tertentu sesuai keadaan mereka. Hanya saja, mereka harus siap bersaing

secara obyektif dengan pelaku bisnis asing dalam pemenuhan standar tersebut.

Perlakuan khusus tidak dibenarkan dalam penerapan suatu standar.

g. Monopoli 

Monopoli dalam pemasokaa jasa diperkenankan sepanjang pemegang monopoli tidak

melakukan kegiatan di luar batas-batas monopoli yang diberikan pemerintahnya.

Page 18: Hukum Pariwisata 1

Ketentuan ini mengandung dua makna, pertama, monopoli dibolehkan, kedua,

pemerintah harus secara tegas menentukan batas-batas monopoli bagi pelaku bisnis,

dan menjamin bahwa monopoli diterapkan tidak melampaui batas-batasnya.

h. Hambatan

Suatu standar, monopoli dan praktek usaha tidak boleh dilakukan dengan maksud

melakukan hambatan terhadap pemasok jasa lain.

Hambatan juga dilarang terhadap lalu lintas pembayaran, melalui komitmen khusus

sesuai ketentuan komitmen khusus, kecuali berkenaan dengan anggaran dasar IMF bagi

anggota-anggotanya, yang ditujukan untuk pengaturan devisa, dengan syarat negara

bersangkutan tidak membebankan pembatasan terhadap transaksi modal yang tidak

konsisten dengan komitmen khusus, kecuali atas permintaan IMF atau Pasal XII. 

Pasal XII menentukan bahwa suatu negara anggota diperkenankan melakukan

pembatasan-pembatasan perdagangan jasa terhadap pemasok jasa asing, dalam hal

terjadi kesulitan yang serius terhadap neraca pembayaran luar negeri negara tersebut.

Ketentuan ini sangat berguna bagi pelaku bisnis pariwisata, dalam suatu masa krisis,

untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya. 

i. Pengecualian Umum

Setiap negara mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan tindakan berhubungan

dengan perlindungan moral dan kepentingan umum, kehidupan, kesehatan manusia,

binatang dan tumbuh-tumbuhan, menjamin ketaatan terhadap undang-undang,

pencegahan penipuan, pemalsuan, mengatasi pelanggaran perjanjian dalam

perdagangan jasa, perlindungan rahasia pribadi, termasuk catatan dan rekening

pribadi.

Ketentuan ini berguna untuk melindungi kepentingan pelaku bisnis pariwisata dari

praktek curang dan perbuatan melanggar hukum pelaku bisnis asing yang

mengakibatkan kerugian luas pada individu, masyarakat dan negara.

j. Akses Pasar

Sesuai dengan model-model pasokan jasa sebagaimana ditentukan dalam Pasal I GATS,

setiap negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama terhadap jasa atau

pemasok jasa dari negara anggota lainnya, dan tidak boleh berbeda dengan ketentuan,

pembataaan dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan secara khusus dalam jadwal

komitmen yang dibuat. Terhadap hal ini ditentukan dua kondisi, pertama, jika suatu

negara menerapkan komitmen akses pasar berkaitan dengan model pasokan jasa

Page 19: Hukum Pariwisata 1

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 2(a), dan jika pergerakan modal lintas

batas negara sangat diperlukan dalam rangka pasokan jasa tersebut, maka negara

tersebut hams memperkenankan pemindahan modal ke luar wilayahnya; kedna, jika

komitmen akses pasar tersebut berkaitan dengan model pasokan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1 ayat 2 (c), pasokan jasa dari wilayah suatu negara di dalam

wilayah negara lainnya, maka negara tersebut harus memperkenankan pemindahan

modal ke dalam wilayahnya.

Prinsip-prinsip GATS menyediakan kemudahan dan peluang-peluang, termasuk peluang

pasar yang lebih luas, untuk memasok jasa di dalam wilayah negara anggota GATS

lainnya, dan juga tantangan yang tidak ringan sehubungan dengan kehadiran pemasok

jasa asing di dalam wilayah Indonesia. Keadaan ini tidak dapat dihindarkan sehubungan

dengan peluang yang diperoleh Indonesia. Kendati pun demikian, pelaku bisnis

pariwisata Indonesia masih memiliki peluang cukup luas untuk memanfaatkan berbagai

i prinsip, seperti hak atas pengecualian (Pasal II ayat (2) dan (3)), kerjasama regional

intra ASEAN (Pasal V), pengaturan domestik untuk keperluan penataan kapasitas pelaku

bisnis domestik dalam rangka membangun kapasitas bersaing yang lebih baik (Pasal

VI), atau juga ketentuan tentang monopoli (Pasal VII), untuk melindungi kepentingan

pelaku bisnis domestik sampai saatnya mereka dapat bersaing secara lebih adil,

dengan kapasitas yang lebih sebanding.

Hal yang paling penting yang hams dilakukan saat ini adalah, pertama, menata diri

serta memenuhi persyaratan dan standar bisnis yang telah ada untuk mendapatkan

kapasitas bisnis riil, untuk memasuki era persaingan riil, dan Kedua, mengembangkan

komunikasi dua arah yang lebih baik antara pemerintah dengan komunitas bisnis

pariwisata untuk memberi pengetahuan kepada pemerintah tentang kondisi riil

komunitas bisnis pariwisata, sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan

pertukaran peluang dengan negara lain.

Dalam perdagangan jasa GATS berlaku prinsip resiprositas, bahwa suatu negara hanya

wajib memberikan akses kepada anggota GATS, hanya jika negara tersebut mendapat

akses serupa dari negara anggota yang memperoleh akses serupa. Karena itu,

sesungguhnya tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk membuka kran kedaulatannya

bagi pemasok jasa asing, kecuali Indonesia memperoleh akses serupa dari negara

penerima akses. Untuk keperluan keakurasian pembukaan akses pasar tersebut,

pemerintah Indonesia memerlukan input dari komunitas bisnis, agar pemerintah tidak

salah buka atau mempertukarkan akses.

II. Kebijakan Terhadap Lingkungan

Page 20: Hukum Pariwisata 1

Sesuai dengan Deklarasi Stockholm 1972 (Prinsip 1) yang menyatakan bahwa :

“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in

an environment of a duality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a

solemn responsibility to protect and improve the environment for present and future

generations”. Artinya lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap orang

dan karenanya manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memperbaiki

lingkungan untuk generasi saat sekarang maupun generasi yang akan datang. Prinsip

tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, sehingga

dapat memberikan gugatan hukum kepada pihak/orang lain apabila hak atas

lingkungan hidupnya yang baik dan sehat merasa diganggu.

III. Kebijakan Terhadap Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan program dunia

internasional yang dicetuskan dalam komisi lingkungan hidup PBB (World Commission

on Environment and Development) pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan

mengharuskan pembangunan yang memperhatikan pelestarian alam sehingga dapat

dinikmati oleh generasi yang akan datang. Jadi pembangunan berwawasan lingkungan

merupakan sarana untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Menurut Harris, et al ( 2003:36), “Sustainable tourism is tourism that is developed and

maintained in a manner, and at such a scale, that it remains economically viable over

an indefinite period and does not undermine the physical and human environment that

sustains and nurtures it. It needs to be economically sustainable, because if tourism is

not profitable then it is a moot question to ask whether it is environmentally sustainable

– tourism that is unprofitable and unviable will simply cease to exist”.

Artinya pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang dikembangkan dengan baik

secara terus menerus, tidak merusak alam dan dapat memberikan keuntungan ekonomi

dalam waktu yang tidak terbatas. 

WTO mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: “Pembangunan

pariwisata berkelanjutan mempertemukan kebutuhan wisatawan dan daerah penerima

saat ini sekaligus mempertahankan dan meningkatkan peluang untuk masa depan.

Semua ini dipertimbangkan sebagai pengaruh untuk mengelola semua sumber-sumber

alam sedemikian rupa agar kebutuhan ekonomi, sosial dan nilai estetika terpenuhi

sembari mempertahankan integritas budaya, proses ekologi dan keanekaragaman

hayati.

Melalui konferensi tingkat tinggi di Santiago, Chili pada 1 Oktober 1999 ,WTO

mengeluarkan kode etik pariwisata global yang bertujuan untuk melindungi alam dan

Page 21: Hukum Pariwisata 1

lingkungan dari kegiatan pariwisata. Kode etik ini berisi 10 pasal tentang ketentuan-

ketentuan atau aturan-aturan yang berlaku bagi daerah tujuan wisata, pemerintah, biro

perjalanan wisata, pekerja dan wisatawan di seluruh dunia. Kutipan pasal dan

terjemahannya adalah sebagai berikut:

Pasal 1 : Kontribusi pariwisata dapat menciptakan rasa saling menguntungkan dan

saling menghormati diantara individu dan masyarakat

Pasal 2 : Pariwisata merupakan sebuah alat untuk memenuhi keinginan pribadi maupun

kolektif

Pasal 3 : Pariwisata merupakan pembangunan yang berkelanjutan

Pasal 4 : Pariwisata memanfaatkan budaya masyarakat yang dapat memberi

sumbangan terhadap peningkatan budaya masyarakat.

Pasal 5 : Pariwisata merupakan kegiatan yang menguntungkan masyarakat lokal

Pasal 6 : Kewajiban-kewajiban para pemegang keputusan dalam pembangunan

pariwisata 

Pasal 7 : Hak-hak pariwisata

Pasal 8 : Kebebasan gerak wisatawan

Pasal 9 : Hak-hak pekerja industri pariwisata

Pasal 10 : Implementasi prinsip-prinsip kode etik global pariwisataDiposkan oleh admin di 06.59