HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

25
2 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berpasang-pasangan adalah salah satu sunatullah atas seluruh ciptaan-Nya, tidak terkecuali manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Allah SWT berfirman, ْ نِ مَ وِ لُ كٍ ءْ يَ ش اَ نْ قَ لَ خِ نْ يَ خْ وَ زْ مُ كَ لَ عَ لَ ونُ رَ كَ & ذَ ت( ٤٩ ) “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat : 49) Kemudian Allah SWT berfirman dalam surat Yasin pada ayat ke- 36 : َ انَ حْ بُ س يِ ذَ الَ قَ لَ خَ اجَ وْ ز5 الأ اَ هَ لُ ك اَ مِ مُ تِ بْ & نُ ? تُ ضْ ز5 الأْ نِ مَ وْ مِ هِ سُ قْ نَ 5 ا اَ مِ مَ و لأَ ونُ مَ لْ عَ ن( ٣٦ ) “Maha suci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yasin : 36) Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang telah Allah tetapkan untuk umat-Nya sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan mempertahankan hidup setelah masing-masing pasangan cukup mampu membekali dan mempersiapkan diri mereka baik dari segi jasmani dan rohani agar mereka dapat

description

HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

Transcript of HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

Page 1: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berpasang-pasangan adalah salah satu sunatullah atas seluruh ciptaan-Nya, tidak

terkecuali manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Allah SWT berfirman,

ل� و�م�ن� ء� ك ي� �ا ش� �ق�ن ل �ن� خ� ي و�ج� م� ز� �ك �ع�ل ون� ل �ر �ذ�ك (٤٩) ت

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat

kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat : 49)

Kemudian Allah SWT berfirman dalam surat Yasin pada ayat ke-36 :

�ح�ان� ب �ذ�ي س �ق� ال و�اج� خ�ل �ه�ا األز� ل �ت م�م�ا ك �ب ن ه�م� و�م�ن� األر�ض ت �فس� �ن ون� ال و�م�م�ا أ �م77 �ع�ل ) ي

٣٦ )

“Maha suci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa

yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka

ketahui.” (Yasin : 36)

Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang telah Allah tetapkan untuk umat-

Nya sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan mempertahankan hidup setelah

masing-masing pasangan cukup mampu membekali dan mempersiapkan diri mereka baik

dari segi jasmani dan rohani agar mereka dapat menjalankan peran dan tujuan hidup

mereka di dunia ini sebaik-baiknya. Allah SWT berfirman,

�ا >ه�ا ي ي� �اس أ �قوا الن م ات �ك ب ذ�ي ر� م� ال�77 �ق�ك �ف�س� م�ن� خ�ل د�ة� ن ق� و�اح�77 ا و�خ�ل�77 �ه�77 ا م�ن و�ج�ه�77 �ث� ز� و�ب

�هم�ا ا ر�ج�اال م�ن Dير� �ث اءD ك �س� (١)….. و�ن

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari

seorang diri (Adam), dan dari padanya Allah menciptakan isterinya (Hawa) ; dan dari

pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”

(An-Nisa :1)

Allah SWT tidak menghendaki manusia untuk berperilaku seperti mahluk-Nya

yang lain, yang mengumbar dan melampiaskan hawa nafsunya secara bebas, berhubungan

Page 2: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

3

antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan. Tetapi Allah telah menetapkan suatu

aturan yang sesuai dengan fitrah mulia manusia sehingga dengannya terjagalah harga diri

dan kehormatan manusia. Oleh sebab itu Allah menjadikan hubungan laki-laki dan

perempuan tercakup dalam sebuah ikatan sakral pernikahan yang terjalin berdasarkan ridha

dari keduanya, yaitu terucapnya ijab-kabul sebagai bentuk keridhaan masing-masing pihak.

Maka dengan pernikahan pula, manusia dapat menjalankan fitrahnya dengan baik,

mereka dapat membangun rumah tangga yang baik, dengan kelembutan hati seorang ibu

dan rengkuhan kasih sayang seorang ayah, sehingga dapat menghasilkan keturunan-

keturunan yang sholeh dan baik. Pernikahan inilah yang diridhai dan disyariatkan oleh

agama Islam.

1.2. Rumusan Masalah

Pembahasan tentang masalah pernikahan ini sangatlah luas, tapi dalam makalah ini,

penulis hanya menjelaskan hal-hal sebagai berikut :

a. Hukum Nikah

b. Kriteria calon suami dan istri

c. Khitbah

1.3. Tujuan Penulisan

Dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum nikah,

kriteria calon suami ataupun calon istri yang baik menurut islam, kemudian penjelasan

tentang khitbah (peminangan) yang sesuai dengan syari’at Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

Page 3: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

4

2.1. Hukum Nikah

Kaum muslimin sepakat bahwa menikah adalah hal yang disyari’atkan oleh Allah

SWT. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Berikut pendapat

para ulama tentang hukum menikah.

Pendapat pertama , menikah hukumnya wajib bagi orang yang sudah mampu

secara fisik maupun ekonomi. Ini adalah pendapat mazhab Daud azh-Zhahiri dan Ibnu

Hazm. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ahmad dan Abu Awanah al-Isfaraini, salah satu

sahabat Imam Syafi’i dan juga merupakan pendapat para ulama salaf.

Kemudian mereka berpendapat bahwa tidak menikah itu merupakan bentuk

penyerupaan terhadap orang-orang Nashara / Nasrani, sedang menyerupai mereka di dalam

masalah ibadah adalah haram. Berkata Syekh al-Utsaimin :  “ …dan karena dengan

meninggalkan nikah padahal ia mampu, itu merupakan bentuk penyerupaan dengan

orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka.

Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram”. Karena menyerupai

mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah,

sehingga menurut mereka menikah hukumnya wajib.

Pendapat kedua , menikah hukumnya mustahabb (dianjurkan). Ini adalah mazhab

jumhur ulama, keempat imam mazhab, dan yang lainnya. Menurut mereka, perintah yang

terkandung didalam teks-teks dalil hanyalah berkonotasi anjuran. Berkata Imam Nawawi :

“Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah

menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang

mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut

Dhahiriyah, dan riwayat dari Imam Ahmad.” Dalil yang mereka gunakan untuk

menguatkan pendapat mereka adalah pada surat An-Nisa ayat ke-3,

�ن� م� و�إ �ال خ�ف�ت ق�س�طوا أ �ام�ى ف�ي ت �ت �ي �ك�حوا ال اب� م�ا ف�ان م� ط�77 �ك اء� م�ن� ل �س�77 �ن�ى الن الث� م�ث و�ث�اع� ب �ن� و�ر م� ف�إ �ال خ�ف�ت وا أ �ع�د�ل و� ف�و�اح�د�ةD ت

� �ت� م�ا أ �ك م� م�ل ك �م�ان ي� �ك� أ �ى ذ�ل �د�ن �ال أ وا أ �عول (٣) ت

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang

yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,

Page 4: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

5

maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu

adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (An-Nisa : 3)

Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa

menikah hukumnya sunnah), karena Allah SWT memberikan pilihan antara menikah atau

mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah

memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul

fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan

menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang 

meninggalkan kewajiban tidak berdosa.

Jadi menikah disini maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya

terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwatnya secara halal, sehingga

dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.

Pendapat ketiga , hukum menikah berbeda-beda, tergantung kepada kondisi

masing-masing individu. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki, juga

pendapat yang beredar dikalangan ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali. Mereka

memaparkan sebagai berikut :

1. Wajib

Menikah hukumnya menjadi wajib, yaitu pernikahan diwajibkan bagi mereka yang

mempunyai hasrat seksual yang tinggi, dan ia takut terjerumus kedalam perzinahan,

kemudian secara ekonomi dan fisik ia sudah mampu untuk menikah. Maka dalam hal ini,

menjaga diri dan kehormatan dari hal-hal yang diharamkan adalah suatu kewajiban.

Sehingga penjagaan tersebut hanya bisa terpenuhi dengan pernikahan.

Qurthubi mengatakan, “Orang yang mampu adalah orang yang takut dengan

bahaya membujang atas diri dan agamanya dan bahaya itu hanya dapat terjaga dengan cara

menikah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban menikah atas

mereka.”

Jika ia takut terjerumus, tapi belum mampu untuk memberi nafkah, maka Allah SWT

berfirman,

�ع�ف�ف� ت �س� �ي �ذ�ين� و�ل �ج�دون� ال ال �احDا ي �ك �هم ح�ت�ى ن �ي غ�ن �ه ي �ه� م�ن� الل (٣٣)...... ف�ض�ل

Page 5: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

6

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,

sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (An-Nur : 33)

Dan ia juga dianjurkan untuk memperbanyak puasanya. Ibnu Mas’ud r.a.

meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

ا ر� ي�77 �اب� م�ع�ش�77 ب �ط�اع� م�ن� ! الش�77 ت م اس�77 �ك اء�ة� م�ن �ب�77 �ل و�ج� ا ز� �ت�77 �ي ه ف�ل �ن�77 �غ�ض> , ف�إ ر� أ �ص�77 �ب �ل , ل�ح�ص�ن ج� و�أ �ف�ر� �ل �م� و�م�ن�, ل �ط�ع� ل ت �س� �ه� ي �ي � ف�ع�ل �الص�و�م �ه ب �ن �ه ; ف�إ اءg ل و�ج�

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan

(secara fisik dan harta untuk memberikan nafkah), hendaknya ia menikah, karena

sesungguhnya menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan

barangsiapa diantara kalian belum mampu, maka hendaknya berpuasa, sebab ia dapat

meredam (syahwat) .” (H.R. Bukhari)

2. Sunnah

Menikah hukumnya menjadi Sunnah, yaitu bagi orang yang memiliki nafsu dan

telah mampu melaksanakan pernikahan, namun ia masih sanggup menjaga dirinya dari

praktik perzinaan. Maka dalam kondisi ini, menikah baginya lebih utama dari pada segala

bentuk peribadahan sunnah yang terus menerus. Karena telah ditegaskan bahwa praktik

hidup membujang (menjadi rahib) bukanlah ajaran Islam.

Dari An-nas bin Malik radhiyallahu ta’ala :  

�س� ع�ن� �ن �ن� أ ا أ Dف�ر� ص�ح�اب� م�ن� ن� �ي� أ �ب �ه ص�ل�ى الن �ه� الل �ي �م� ع�ل ل وا و�س� �ل أ و�اج� س� �ز� �ي� أ �ب الن

�ه ص�ل�ى �ه� الل �ي �م� ع�ل ل �ه� ع�ن� و�س� ر� ف�ي ع�م�ل �ع�ضهم� ف�ق�ال� الس� و�ج ال� ب �ز� �ت اء� أ �س� و�ق�ال� الن�ع�ضهم� ل ال� ب �ح�م� آك �ع�ضهم� و�ق�ال� الل �ام ال� ب �ن اش� ع�ل�ى أ �ه� ف�ح�م�د� ف�ر� �ن�ى الل �ث �ه� و�أ �ي ف�ق�ال� ع�ل

�ال م�ا � ب �ق�و�ام وا أ �ذ�ا ق�ال �ذ�ا ك �ك�ن�ي و�ك ص�ل�ي ل �ام أ �ن صوم و�أ

� ف�ط�ر و�أ و�ج و�أ �ز� �ت اء� و�أ �س� ف�م�ن� النغ�ب� �ت�ي ع�ن� ر� ن �س� س �ي م�ن�ي ف�ل

“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam bertanya kepada istri-istri Nabi mengenai amalan beliau yang tersembunyi.

Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian

lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak

akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa

dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga

Page 6: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

7

tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja

yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Umamah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Menikahlah,

karena aku membanggakan kalian kepada umat yang lain, karena banyaknya jumlah

kalian. Dan janganlah kalian bertindak seperti para pendeta Nasrani yang tidak menikah”

Ibnu Abbas r.a. berkata, “Tidak akan sempurna ibadah seseorang hingga ia

menikah”.

3. Haram

Menikah hukumnya menjadi haram, yaitu bagi seseorang yang dipastikan bahwa

apabila ia melakukan pernikahan maka akan diduga kuat tidak mampu memberikan nafkah

dan memenuhi hak istri, baik lahir maupun bathin, atau ia ingin menikah dengan niat untuk

menyakiti isterinya atau menyia-nyiakan isterinya.

Thabrani berkata, “Ketika seseorang mengetahui secara pasti bahwa ia tidak akan

mampu untuk memberi nafkah kepada istrinya, membayar maharnya, maupun

menjalankan konsekuensi pernikahan, maka haram baginya untuk menikah hingga ia

benar-benar merasa mampu.”

Pernikahan juga diharamkan jika ada penyakit yang menghalanginya untuk

bersenggama/berjima, seperti gila, kusta, dan penyakit kelamin. Begitu pula seorang laki-

laki, ia tidak boleh membohongi istrinya dalam hal nasab maupun kekayaan. Hal-hal

tersebut harus dipaparkan sejujur-jujurnya terlebih dahulu sebelum pernikahan dilakukan.

Diibaratkan seperti halnya seorang pedagang untuk jujur dalam memaparkan kekurangan

dagangannya kepada si pembeli. Kejujuran ini tidak hanya berlaku bagi pihak laki-laki,

tetapi berlaku juga bagi pihak perempuan.

Ketika seseorang menikah, kemudian mendapatkan kekurangan yang tidak ia sukai

dari pasangannya (karena tidak jujur sebelumnya), maka ia diperbolehkan untuk

membatalkan pernikahannya dan mengambil kembali mahar yang telah diberikannya.

4. Makruh

Page 7: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

8

Menikah hukumnya menjadi makruh, apabila seseorang tidak akan mampu untuk

menafkahi istrinya secara lahir maupun bathin dan tidak ada keinginan untuk menikah

(lemah syahwat).

Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi,

namun dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan

oleh istrinya, dikarenakan keadaan istri yang sudah kaya, atau tidak terlalu membutuhkan

terjadinya hubungan suami-istri antara keduanya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari

nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Dan kemungkinan seorang istri

tidak akan mendapatkan nafkah bathin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya

tidak membutuhkannya, dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. 

Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak

punya harta yang cukup, maka baginya menikah adalah makruh. Adapun seseorang yang

mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama

berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya

untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan mayoritas ulama

Syafi’iyah.

Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah

dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Karena

barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti

memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya,

menemaninya ngobrol atau berdiskusi dan lain-lainnya. Karena menikah tidak mesti

“melulu” melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang

suami-istri selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin

hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.

5. Mubah

Page 8: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

9

Menikah hukumnya menjadi mubah, apabila faktor-faktor yang mengharuskan

maupun menghalangi dilaksanakannya pernikahan tidak ada pada diri seseorang.

Maksudnya adalah jika seseorang berada dalam keadaan stabil, sekiranya ia tidak khawatir

terjerumus ke dalam perzinaan jika tidak menikah, dan juga tidak khawatir akan berbuat

zalim kepada istrinya jika menikah.

2.2. Kriteria Calon Suami Istri

Islam dengan syariat dan sistemnya yang komprehensif telah menetapkan kaidah-

kaidah dan kriteria bagi para calon suami istri. Bila kaidah dan kriteria tersebut dipegang

teguh oleh manusia, niscaya pernikahannya akan diwarnai dengan kasih sayang, saling

memahami, saling toleransi, dan saling mencintai. Dan keluarga akan berada dipuncak

keimanan yang kokoh, akhlak yang lurus, tubuh dan jiwa yang tenang.

Seorang istri merupakan komponen paling penting didalam sebuah keluarga, ibarat

tempat tinggal dan kebun bagi suami, ia adalah kekasih dalam mengarungi kehidupan, dan

pelabuhan hati. Karena dari rahimnya anak-anak dilahirkan kemudian mereka mewarisi

berbagai macam sifat dan keistimewaan. Dan dalam rengkuhan seorang istri, maka naluri

dan akhlak seorang anak dapat terbina dengan baik. Begitu pula dengan agama dan jiwa

sosialnya. Oleh karena itu, Islam selalu menekankan pentingnya suami memilih istri yang

sholehah, dan menjadikannya sebaik-baik perhiasan dunia, begitu pula sebaliknya.

Berikut ini adalah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon

istri atau suami :

2.2.1. Kriteria memilih calon Istri

a. Taat beragama dan berakhlak baik

Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena

wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai seorang istri

dan ibu. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menikahi perempuan atas dasar

kecantikannya bisa jadi akan menjerumuskannya kepada kehancuran, dan jangan pula

kalian menikahi perempuan atas dasar kekayaannya semata, karena harta hanya akan

mengarahkanmu kepada keburukan dan aniaya. Akan tetapi, nikahilah perempuan atas

Page 9: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

10

dasar agamanya. Sesungguhnya budak yang buruk rupa, tapi agamanya lebih baik maka

itu lebih utama untuk dinikahi.” (HR. Ibnu Majah)

Kemudian dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau

bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya,

kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah perempuan yang memiliki

pemahaman agama yang baik, niscaya kamu beruntung.” (HR.Bukhari)

Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan,

bahkan kecantikan sekalipun. Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan

berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah

Subhanahu wa Ta’ala, begitu juga ia akan taat kepada suaminya.

b. Berasal dari lingkungan (keluarga) yang baik.

Biasanya seseorang yang berasal dari lingkungan (keluarga) yang baik, akan

memiliki sifat emosional yang stabil, tidak temperamental, serta tidak berperilaku aneh

sehingga ia layak untuk menjalankan perannya dalam mengasihi dan menyayangi anak-

anaknya dan memenuhi hak suaminya. Pada dasarnya, seseorang yang memiliki perilaku

yang baik maka ia akan menerapkan perilaku itu dimanapun ia berada.

Rasulullah saw bersabda, “Manusia ibarat tambang, sebagaimana tambang emas

dan perak, yaitu standar kebaikan seseorang yang berlaku pada masa jahiliah sama

seperti kebaikan yang diterapkan pada masa Islam, jika mereka mengerti (tentang

Islam).” (HR. Bukhari)

c. Subur secara reproduksi (tidak mandul)

Salah satu tujuan utama pernikahan adalah memperbanyak keturunan. Oleh karena

itu, dianjurkan bagi suami untuk mencari istri yang dapat melahirkan (subur). Hal ini dapat

diketahui dari kesehatan reproduksinya, yang biasa dianalogikan kepada kesehatan

reproduksi keluarganya, baik saudara maupun kerabat perempuannya yang lain.

Page 10: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

11

Suatu ketika, seorang laki-laki melamar perempuan mandul. Ia pun berkata kepada

Rasulullah saw, “Aku telah melamar seorang perempuan yang cantik dan terhormat, tapi ia

mandul.” Maka Rasulullah saw, melarangnya untuk melanjutkan lamaran tersebut. Lalu

Beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang lemah lembut dan subur karena pada hari

Kiamat kelak, aku akan membanggakan kepada para nabi atas banyaknya jumlah kalian.”

d. Cantik parasnya

Salah satu fitrah manusia adalah mencintai keindahan atau kecantikan. Manusia

akan merasa ada sesuatu yang tercabut dari diri mereka jika mereka harus berjauhan

dengan segala bentuk keindahan. Bagi manusia, kecantikan dapat menghadirkan perasaan

tenang dan bahagia. Karena itu, Islam tidak menafikan kecantikan sebagai salah satu

kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih istri. Disamping itu wanita yang

dianugerahi Allah kecantikan luar dan dalam tentu lebih menyenangkan sang suami, agar

suami nanti tidak tergoda dengan wanita yang lain

Didalam sebuah hadits sahih, Rasulullah saw bersabda, “Allah itu indah dan

menyukai keindahan.”

Mugirah bin Syu’bah r.a. bermaksud melamar seorang perempuan. Ia

mengungkapkan keinginannya tersebut kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah

bersabda, “Pergilah untuk melihat parasnya lebih dulu, sesungguhnya hal ini lebih

berpotensi untuk dapat melanggengkan (kasih sayang) diantara kalian berdua.”

e. Perawan

Laki-laki yang hendak menikah sebaiknya memilih istri yang masih perawan

karena ia cenderung masih polos dan belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki

lain, sehingga ikatan pernikahan menjadi kuat dan cinta yang ia berikan kepada suaminya

lebih tulus. Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, ”Hendaklah kalian

menikahi wanita yang masih gadis karena ia lebih manis tutur-katanya, lebih banyak

keturunan nya , lebih kecil kemungkinan berkhianat dan lebih bisa menerima pemberian

yang sedikit '” ( HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi)

Page 11: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

12

Ketika Jabir bin Abdullah r.a. menikahi seorang janda, Rasulullah SAW bersabda,

“Mengapa bukan perawan sehingga kamu dapat bercumbu (lebih mesra) dengannya;

begitu pula sebaliknya.” (HR. Bukhari)

f. Usia yang tidak terpaut jauh

Satu hal yang harus diperhatikan laki-laki terhadap calon istrinya adalah kedekatan

dalam hal umur, kedudukan sosial, jenjang keilmuan, dan ekonomi. Kedekatan dalam

beberapa hal itu dapat membantu kelanggengan rumah tangga.

Ketika Abu Bakar dan Umar bin Khattab r.a. melamar Fathimah binti Rasulullah

SAW, beliau menolaknya seraya bersabda, “Ia masih terlalu kecil.” Dan ketika Ali

melamarnya, Rasulullah langsung menikahkan mereka.

g. Murah Mas-kawinnya

Maskawin atau mahar adalah suatu kewajiban yang akan diberikan sang suami

kepada sang istri, agar menjadi sah untuk melakukan hubungan badan, namun dalam

memberikan mahar atau maskawin hendaknya memilih yang ringan-ringan saja dan itu

merupakan ciri-ciri wanita yang baik, seperti dikatakan Rasulullah SAW : “salah satu

keberkahan wanita ialah cepat perkawinanya, cepat pula mengandungnya (yakni

melahirkan anaknya) dan ringan maharnya”.

Begitulah tuntunan Islam kepada laki-laki yang akan menikah dalam memilih istri

sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dan petunjuk menjalankan roda kehidupan.

Jika saja setiap orang memerhatikan dan melaksanakan tuntunan dalam memilih

istri sebagaimana telah disebutkan diatas, maka sangat memungkinkan baginya untuk

membina keluarga surgawi, dimana anak-anak dan suami-istri dapat merasakan

kesenangan dan kebahagiaan. Dari itu, lahirlah generasi-generasi shaleh dengan kehidupan

yang lebih baik dan penuh kemuliaan.

Page 12: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

13

2.2.2. Kriteria memilih calon Suami

a. Islam dan taat beragama

Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih

calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia

dan akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

�ك�حوا و�ال �ن �ات� ت ر�ك �مش� ؤ�م�ن� ح�ت�ى ال �ةg و�ألم�ةg ي �رg مؤ�م�ن ي �ة� م�ن� خ� ر�ك �و� مش� م� و�ل �ك �ت ب �ع�ج� و�ال أ�ك�حوا ن �ين� ت ر�ك �مش� وا ح�ت�ى ال ؤ�م�ن �دg ي �ع�ب �رg مؤ�م�نg و�ل ي ر�ك� م�ن� خ� و� مش� م� و�ل�77 �ك ب �ع�ج� ك� أ �ئ�77 ول أ�د�عون� �ل�ى ي �ار� إ �ه الن �د�عو و�الل �ل�ى ي �ة� إ ن �ج� ة� ال �م�غ�ف�ر� ه� و�ال �ذ�ن�7 �إ �ن ب �ي ب ه� و�ي �ات�7 اس� آي �لن�7 �هم� ل �ع�ل ل

ون� �ر �ذ�ك �ت (٢٢١) ي

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia

menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-

wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik

dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang

Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-

ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

(Al-Baqarah : 221)

b. Berilmu dan berakhlak baik

Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka

Islam memberi anjuran agar memilih suami yang berakhlak yang baik, shalih, dan taat

beragama dan juga berilmu. Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang

mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah

tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan

dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan

kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-

kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin

kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.

Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan

ketakwaannya, seorang laki-laki datang kepada Hasan bin Ali r.a. dan bertanya, “Aku

Page 13: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

14

memiliki seorang anak perempuan. Dengan siapa sebaiknya aku menikahkannya?” Hasan

bin Ali r.a. menjawab, “Nikahkanlah ia dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah

SWT, karena jika ia mencintainya, maka ia akan memuliakannya. Dan jika ia

membencinya, maka ia tidak akan pernah menzaliminya.”

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menikahkan anak perempuannya

dengan seorang yang fasik, maka ia telah memutuskan silaturahminya (dengan anak

perempuannya itu).”

Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati

kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya,

misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya. Demikianlah ajaran Islam dalam

memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap

langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan

akhiratnya.

2.3. Khitbah (Peminangan)

1. Pengertian Khitbah

Khitbah atau pinangan secara bahasa berasal dari kata خطب- يخطب- خطبا yang berarti permintaan atau peminangan, Sedangkan menurut istilah khitbah didefinisikan

dengan beberapapengertian antara lain:

a. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa khitbah adalah memintanya untuk dapat dikawini

dengan perantaraan yang dikenal baik di antara manusia.

b. Abu Zahrah, mendefinisikan khitbah dengan permintaan seorang laki-laki kepada wali

atau seorang perempuan dengan maksud untuk mengawini perempuan itu.

c. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa khitbah adalah permintaan pelamar untuk

menikah kepada pihak tunangan.

Para ulama fiqh, medefinisikan khitbah sebagai keinginan pihak perempuan

menyebarluaskan pertunangan tersebut. Dari beberapa pengertian khitbah di atas, maka

dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa khitbah adalah permintaan yang mengandung akad

(perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk melangsungkan akad

Page 14: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

15

nikah, baik secara langsung maupun melalui walinya, dengan cara-cara yang sudah umum

berlaku dalam masyarakat setempat. Dari situ nampak jelas bahwa khitbah atau tunangan

selalu datang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik dilakukan secara langsung

oleh si peminang maupun diwakilkan kepada walinya.

Khitbah hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan

pengantar kesana. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh

karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang

telah ditentukan oleh syariat.

2. Dasar Hukum Peminangan (Khitbah)

Adapun yang menjadi landasan dilaksanakannya khitbah adalah Surat al-Baqarah ayat 235 :

�اح� و�ال ن م� ج �ك �ي م� ف�يم�ا ع�ل ض�ت �ه� ع�ر� �ة� م�ن� ب اء� خ�ط�ب �س� و� الن� م� أ �ت �ن �ن �ك م� ف�ي أ ك �فس� �ن �م� أ ه ع�ل الل�77

م� �ك �ن �هن� أ ون ر �ذ�ك ت �ك�ن� س� و�اع�دوهن� ال و�ل ا ت ر} (٢٣٥).... س�

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu

Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa

kamu akan menyebut-nyebut mereka secara rahasia....”

Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan

ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang

harmonis. Tunangan hanya langkah awal menuju tali pernikahan. Namun sebagian ulama

cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah, dengan alasan akad nikah adalah akad

luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain, sehingga sebelumnya disunahkan khitbah

sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju rumah

tangga yang lebih mantap.

3. Syarat-Syarat Khitbah

Meskipun sebagian besar ulama tidak menghukumi wajib terhadap khitbah, akan

tetapi di dalam khitbah mengandung suatu akad (perjanjian) antara pihak laki-laki dan

pihak perempuan, sehingga dalam melakukankhitbah harus melalui syarat-syarat yang

Page 15: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

16

telah ditetapkan oleh syari’at. Fiqh Islam telah menjelaskan mengenai syarat-syarat sahnya

khitbah, yaitu:

a. Syarat Lazimiah

1. Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari laki-laki yang

meminangnya, baik mahram nasab, mahram mushaharah, maupun mahram radla’ah

(sepersusuan).

2. Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki

yang telah meminangnya telah melepaskan hak pinangannya atau memberikan izin

untuk dipinang oleh orang lain.

3. Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan ‘iddah.

Selain syarat yang ketiga ini masih ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan

keadaan iddah seorang wanita, yaitu:

a) Perempuan yang dalam keadaan iddah raj’i (talak satu), tidak boleh dipinang

karena yang berhak merujuknya adalah bekas suaminya.

b) Perempuan yang berada dalam masa iddah wafat (ditinggal mati suaminya) boleh

dipinang tetapi dengan sindiran.

c) Perempuan dalam masa iddah bain sugra boleh dipinang oleh bekas suaminya.

d) Perempuan dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang oleh bekas suaminya,

setelah perempuan itu kawin dengan laki-laki lain, didukhul dan diceraikan.

Kesimpulan dari beberapa keadaan iddah seorang wanita, maka khitbah secara

“terang-terangan” kepada perempuan yang sedang berada pada masa iddah adalah haram,

sedangkan khitbah dengan “sindiran” diperbolehkan untuk wanita yang berada pada masa

iddah wafat dan iddah bain kubra, tetapi haram ditujukkan kepada perempuan dalam masa

iddah raji’ dan iddah bain sugra

b. Syarat Mustahsinah

Page 16: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

17

Maksud dari syarat mustahsinah disini adalah syarat tambahan yang apabila

dipenuhi akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang disyaratkan. Syarat mustahsinah

tidak harus dipenuhi dalam khitbah, tetapi lebih bersifat anjuran kepada seorang laki-laki

yang akan meminang seorang perempuan, agar rumah tangga yang akan dibangunnya

berjalan dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam syarat-syarat mustahsinah antara lain :

1. Sejodoh (kafa’ah)

2. Subur dan mempunyai kasih sayang

3. Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan budi pekerti dari

keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian hari.

Demikianlah syarat-syarat yang terdapat dalam khitbah (peminangan), baik syarat yang

bersifat umum maupun yang berupa anjuran.

3. Akibat-akibat sesudah terjadiya Khitbah

Khitbah atau peminangan merupakan langkah awal dalam proses pernikahan.

Dimana melalui khitbah ini seorang yang meminang dan yang dipinang dapat mengenal

lebih dalam, sehingga kelak setelah menjadi suami isteri tidak menimbulkan penyesalan

serta kekecewaan di kedua belah pihak.

Secara prinsip khitbah (peminangan) seorang laki-laki terhadap seorang perempuan

belum berakibat hukum, sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Bab III, pasal 13 tentang Peminangan, sebagai berikut, “ Pinangan belum menimbulkan

akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. Kebebasan

memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan

tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling

menghargai”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa khitbah atau peminangan tidak

mempunyai akibat hukum. Akan tetapi ketika khitbah telah dilakukan, maka timbul

konsekuensi dari khitbah tersebut, yaitu:

Page 17: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

18

a. Meskipun khitbah tidak berakibat hukum, tetapi perempuan yang telah dipinang

oleh seorang laki-laki dan telah diterimanya, maka tidak boleh dipinang oleh laki-

laki lain, karena khitbah yang pertama menutup hak khitbah orang lain, kecuali jika

diizinkan oleh laki-laki pertama. Bahkan jumhur ulama mengharamkan meminang

perempuan yang telah dipinang oleh orang lain.

b. Setelah terjadi khitbah maka laki-laki yang meminang boleh melihat muka dan

tangan perempuan yang dipinangnya serta saling mengenali antara keduanya.

Dalam istilah Arab disebut nadhar dan ta’aruf,. Pernikahan dalam Islam didasarkan

pada kerelaan, kesukaan, serta persetujuan dari kedua belah pihak. Maka dari itulah

diperlukan bagi masing-masing pihak untuk melakukan nadhar dan ta’aruf,

sehingga setelah menikah terhindar dari kemungkinan terjadinya kekecewaan.

Dari Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang

diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan

mendorong untuk menikahinya, maka lakukanlah…….” Meskipun hadis Nabi

menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang

boleh dilihat, pendapat yang paling masyhur adalah melihat muka dan telapak

tangan saja, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan

dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui kehalusan tangannya.

c. Akad khitbah tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan perempuan yang

melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti layaknya suami istri.

d. Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat yang sepi,

kecuali ditemani oleh mahramnya sehingga tidak ditakutkan akan terjadi sesuatu

yang tidak diperbolehkan.

Jabir r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

منها محرم ذو معها ليست بامرأة يخلون فال اآلخر واليوم بالله يؤمن كان منالشيطان ثالثهما فإن

Page 18: HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH

19

“Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan

perempuan, kecuali ditemani oleh mahramperempuan itu, jika tidak maka pihak yang ketiga

adalah setan” (HR.Bukhari)