HUKUM LINGKUNGAN -...

164
i

Transcript of HUKUM LINGKUNGAN -...

Page 1: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

i

Page 2: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

HUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN

DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Oleh:

A’an Efendi

Page 3: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

HUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Diterbitkan oleh

UPT Penerbitan UNEJ

Jl. Kalimantan 37 Jember 68121

Telp. 0331-330224, Psw. 319, Fax. 0331-339029

E-mail: [email protected]

Hak Cipta @ 2012

Cover/layout: Noerkoentjoro W.D.

Perpustakaan Nasional RI – Katalog Dalam Terbitan

344.04

EF EFENDI, A’an

h Hukum Lingkungan: Gugatan Sengketa

Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara/

oleh Aan Effendi.--Jember: Jember University

Press, 2012

x, 154 hlm. ; 23 cm.

ISBN: 978-602-9030-22-8

1. HUKUM LINGKUNGAN

I. Judul

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak tanpa

ijin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

baik cetak, photoprint, maupun microfilm.

Page 4: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

v

PRAKATA

Salah satu materi baru Undang-Undang No.32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH) adalah Pasal 93 yang mengatur gugatan administratif di

peradilan tata usaha negara terhadap izin lingkungan. Materi ini

tidak ada dalam undang-undang yang sebelumnya, baik itu

Undang-Undang No.4 Tahun 1982 maupun Undang-Undang No.23

Tahun 1997.

Gugatan terhadap izin lingkungan di peradilan tata usaha

negara adalah sarana efektif dalam rangka pencegahan dan

penanggulangan pencemaran lingkungan. Gugatan di peradilan tata

usaha negara berisi tuntutan agar izin lingkungan yang

menimbulkan pencemaran lingkungan dinyatakan batal atau tidak

sah untuk menghentikan pencemaran yang terjadi. Kedepan sarana

gugatan di peradilan tata usaha negara ini harus lebih diperdayakan.

Buku ini disusun dengan sistematika pembahasan yang

dibagi dalam empat bab sebagai pegangan untuk melaksanakan

penulisan yang kemudian diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:

Bab 1 pendahuluan, menjelaskan tentang izin lingkungan

yang menjadi dasar sengketa lingkungan di peradilan tata usaha

negara. Izin lingkungan adalah obyek sengketa lingkungan di

peradilan tata usaha negara. Bab pendahuluan ini menjadi landasan

untuk pembahasan bab-bab selanjutnya.

Bab 2 dibahas berbagai aspek hukum peradilan tata usaha

negara, dimulai dari peristilahan peradilan tata usaha negara sampai

dengan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan

pengadilan tata usaha negara.

Bab 3 dibahas penyelesaian sengketa lingkungan melalui

peradilan tata usaha negara. Pembahasan penyelesaian sengketa

lingkungan melalui peradilan tata usaha negara dalam bab ini

didasarkan pada analisis Pasal 93 UUPPLH. Dalam bab III juga

dibahas tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan

peran serta dalam pengelolaan lingkungan.

Sebagai bab terakhir, yaitu bab 4 merupakan bab penutup.

Dalam bab penutup ini berisi simpulan yang merupakan intisari dari

pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

Page 5: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

vi

Buku ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa fakultas

hukum, dosen fakultas hukum, organisasi lingkungan hidup, pejabat

pemerintahan, hakim, dan masyarakat pada umumnya yang

berminat pada persoalan-persoalan lingkungan.

Dengan selesainya penulisan buku ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Prof.

Dr. Tejasari yang telah bersedia untuk mereview naskah ini

sehingga pada akhirnya sampai ke tangan para pembaca.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat

Prof. Dr.Siti Sundari Rangkuti, S.H. yang telah memberikan bekal

ilmu hukum lingkungan yang sangat berkarakter kepada penulis

ketika masih menjadi mahasiswa.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan

adik penulis yang selalu menjadi motivator untuk terus berkarya di

bidang akademik. Spesial untuk Dwi Nurhayati Adhani, S.Psi

penulis sampaikan terimakasih atas dorongan semangat yang selalu

diberikan agar penulis terus dapat berkarya, terutama untuk menulis

buku.

Kepada sahabat-sahabat penulis di Fakultas Hukum

Universitas Jember, Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum.

(Mbak Dy), Rahmadi Indra Tektona, S.H., M.H. (Mas Bejo),

Nuzulia Kumala Sari, S.H., M.H., Firman Floranta Adonara, S.H.,

M.H. dan Samuel Saut Maratua Samosir, S.H., M.H. Penulis

sampaikan terima kasih atas kebersamaannya selama ini yang

adalah motivasi tersendiri untuk terus berkarya.

Jember, Juli 2012

A’an Efendi, S.H.,M.H.

Page 6: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

vii

DAFTAR ISI

Halaman

Prakata .............................................................................................. v Daftar Isi ........................................................................................... vii Daftar Tabel ...................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1

Daftar Bacaan ................................................................. 6

BAB II PERADILAN TATA USAHA NEGARA ..................... 7 2.1 Istilah-istilah ........................................................... 7 2.2 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara .......... 10

2.2.1 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara ..... 10 2.2.2 Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ............................................... 12 2.2.3 Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ............................................... 15

2.3 Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ........... 17 2.4 Penyelesaian Sengekta Tata Usaha Negara ............ 20

2.4.1 Sengketa Tata Usaha Negara ........................ 21 2.4.2 Subyek Sengketa Tata Usaha Negara ........... 21 2.4.3 Obyek Sengketa Tata Usaha Negara ............ 24 2.4.4 Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara .......................................................... 29

2.5 Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara ............ 32 2.5.1 Alasan-alasan Mengajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara ....................................... 32 2.5.2 Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara ..................... 37 2.5.3 Syarat-syarat Gugatan .................................. 39 2.5.4 Petitum Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara .......................................................... 41

2.6 Acara Pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha Negara ..................................................................... 42

2.6.1 Acara Pemeriksaan Biasa ............................. 43 2.6.2 Acara Pemeriksaan Cepat ............................. 46 2.6.3 Acara Pemeriksaan Singkat .......................... 48

Page 7: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

viii

2.7 Pembuktian ............................................................. 49

2.7.1 Pembuktian Dalam Hukum Acara

Pidana ........................................................... 50

2.7.2 Alat-alat Bukti .............................................. 52

2.7.3 Alat Bukti Surat atau Tulisan ....................... 53

2.7.4 Alat Bukti Keterangan Ahli .......................... 55

2.7.5 Alat Bukti Keterangan Saksi ........................ 57

2.7.6 Alat Bukti Pengakuan Para Pihak ................. 59

2.7.7 Alat Bukti Pengetahuan Hakim .................... 60

2.7.8 Keadaan yang Telah Diketahui Umum

Tidak Perlu Dibuktikan ................................ 61

2.7.9 Harus Ada Minimal Dua Alat Bukti

yang Sah ....................................................... 62

2.8 Putusan .................................................................... 64

2.8.1 Pengertian Putusan ....................................... 64

2.8.2 Amar atau Diktum Putusan ........................... 65

2.8.3 Susunan Isi Keputusan .................................. 67

2.8.4 Kekuatan Putusan ......................................... 69

2.9 Upaya Hukum

2.9.1 Perlunya Upaya Hukum ................................ 70

2.9.2 Perlawanan Terhadap Putusan

Dismissal ...................................................... 70

2.9.3 Banding ......................................................... 71

2.9.4 Kasasi ........................................................... 73

2.9.5 Perlawanan Oleh Pihak Ketiga ..................... 77

2.9.6 Peninjauan Kembali ...................................... 78

2.10 Pelaksanaan Putusan ............................................... 82

Daftar Bacaan ................................................................. 87

BAB III GUGATAN LINGKUNGAN MELALUI

PERADILAN TATA USAHA NEGARA ..................... 91

3.1 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan

Sehat ....................................................................... 91

3.1.1 jaminan Hak Atas Lingkungan Hidup

Yang Baik dan Sehat .................................... 91

3.1.2 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik

dan Sehat di beberapa Negara Sebagai

Perbandingan ................................................ 93

3.1.3 Hak Atas Informasi Lingkungan Hidup ....... 98

3.2 Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan

Lingkungan ............................................................. 103

Page 8: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

ix

3.2.1 Peran Serta Masyarakat Dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Lingkungan Nasional ................... 112

3.2.2 Peran Serta Masyarakat Dalam Prosedur

AMDAL ....................................................... 116

3.2.3 Peran Serta Masyarakat Dalam Hinder

Ordonantie dan Permasalahannya ................ 118

3.3 Gugatan Sengketa Lingkungan di Peradilan

Tata Usaha Negara .................................................. 121

3.3.1 Dasar Hukum Gugatan sengekta Lingkungan

di Peradilan Tata Usaha Negara ................... 121

3.3.2 Izin Lingkungan Sebagai Obyek Sengketa

Lingkungan di Peradilan Tata Usaha

Negara .......................................................... 125

3.3.3 Hambatan-hambatan Penyelesaian

Sengekta Lingkungan di Peradilan Tata

Usaha Negara ............................................... 127

3.3.4 Kasus-kasus Sengketa Lingkungan di

Peradilan Tata Usaha Negara ....................... 133

Daftar Bacaan ................................................................. 146

BAB IV PENUTUP ...................................................................... 149

4.1 Hukum Positif Indonesia pada Masa Orde Baru

GLOSARIUM .................................................................................. 151

INDEKS ......................................................................................... 153

Page 9: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbitnya KTUN yang Merugikan Masyarakat ........................ 2 Tabel 2. Kegiatan-kegiatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara yang Menimbulkan Perkara- perkara Administrasi Negara .................................... 3 Tabel 3. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara....................................................................... 16 Tabel 4. Kompetensi Relatif Pengadilan Tata Usaha Negara 18 Tabel 5. Orang atau Badan Hukum Perdata yang Dirugikan KTUN ....................................................................... 24 Tabel 6. Elemen-Elemen KTUN ............................................ 25 Tabel 7. Keputusan Tata Usaha Negara ................................. 26 Tabel 8. Pengertian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik........................................................................... 34 Tabel 9. Kategori Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik........................................................................... 36 Tabel 10. Ketentuan Saat Mulai Menghitung 90 Hari.............. 38 Tabel 11. Perbedaan Akta Otentik yang Dibuat oleh Pegawai Umum dan Akta Otentik yang Dibuat Dihadapan Pegawai Umum .......................... 54 Tabel 12. Fakta-Fakta yang tidak Perlu dibuktikan di Persidangan............................................................... 61 Tabel 13. Banding Berdasar Pasal 130 UU PERATUN ........... 71 Tabel 14. Putusan yang Tidak Dapat Dimintakan Banding ..... 73 Tabel 15. Alasan-Alasan Mengajukan Peninjauan Kembali .... 79 Tabel 16. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali.................................................. 81 Tabel 17. Asas-asas Hukum Administrasi ................................ 84 Tabel 18. Istilah Peranserta Di Berbagai Negara ..................... 104 Tabel 19. Peranserta Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Nasional .................................................................... 113 Tabel 20. Kasus-Kasus Sengketa Lingkungan Di Pengadilan Tata Usaha Negara ................................................... 133

Page 10: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

BAB 1. PENDAHULUAN

Gugatan lingkungan terhadap keputusan tata usaha negara yang

berwujud izin lingkungan di pengadilan tata usaha negara bertujuan

membatalkan izin lingkungan yang menimbulkan terjadinya pencemaran

lingkungan sehingga segera menghentikan pencemaran lingkungan yang

terjadi. Pada awalnya gugatan lingkungan melalui peradilan tata usaha

negara tidak diatur dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UULH) maupun Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Gugatan lingkungan di

peradilan tata usaha negara baru diatur dalam Undang-Undang No.32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH) yang mencabut berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).

Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan, kelembagaan

yang berwenang melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan

dampak negatif serta pemulihan kualitas sangat berperan (Siti Sundari

Rangkuti 1994:4). Kelembagaan yang berwenang dalam pengelolaan

lingkungan mencakup tingkat pusat dan daerah. Kelembagaan

pengelolaan lingkungan tingkat daerah sangat penting, mengingat

pencemaran dan perusakan lingkungan terjadinya di daerah yang

memerlukan tindakan penanggulangan yang bersifat segera. Kelembagaan

yang berwenang dalam pengelolaan lingkungan adalah kunci pokok

keberhasilan pengelolaan lingkungan.

Wewenang dan kelembagaan pengelolaan lingkungan tingkat

nasional dan daerah secara konkrit adalah kewenangan untuk menerbitkan

izin lingkungan. Izin lingkungan adalah instrumen yang berfungsi sebagai

sarana pencegahan pencemaran lingkungan. Izin lingkungan adalah izin

yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau

kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh

izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35 UUPPLH). Izin lingkungan diterbitkan oleh badan/pejabat yang berwenang

dalam bentuk keputusan/ketetapan yang menurut Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN) disebut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan

BAB 1

Page 11: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

2 | P e n d a h u l u a n

final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU PERATUN).

Dalam praktek terkadang penerbitan suatu KTUN dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat karena adanya unsur kesalahan atau kekeliruan. Diterbitkannya KTUN oleh badan/pejabat berwenang yang mengandung unsur kesalahan, misalnya kesalahan menerbitkan izin lingkungan sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan, bagi pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara, agar izin lingkungan tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak sah. Gugatan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan ke pengadilan tata usaha negara adalah berisi tuntutan agar izin itu dinyatakan batal atau tidak sah oleh hakim, sehingga putusan tersebut segera menghentikan pencemaran akibat izin lingkungan yang tidak cermat (Siti Sundari Rangkuti 2008:121). Di samping itu, peradilan tata usaha negara diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu KTUN (Djoko Prakoso 1988:7).

Menurut Prajudi Atmosudirdjo, perbuatan-perbuatan administrasi negara (badan atau pejabat tata usaha negara) yang dipersoalkan pada umumnya adalah perbuatan hukum administrasi (Negara) yang mengandung kekurangan, keanehan, keganjilan, kekeliruan, kesalahan, terlambat, dan sebagainya (O.C. Kaligis 2002:13).

Beberapa faktor yang mempengaruhi terbitnya suatu KTUN yang merugikan masyarakat, antara lain: Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbitnya KTUN yang

Merugikan Masyarakat

No Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbitnya KTUN yang

Merugikan Masyarakat

1 Adanya peraturan perundang-undangan yang tidak jelas atau

tidak lengkap

2 Kurangnya pedoman dan petunjuk pelaksanaannya

3 Kurangnya pendidikan dan latihan jabatan pegawai sehingga

mereka kurang menguasai urusan serta tata cara penyelesaiannya

4 Kurangnya organisasi manajemen yang diperlukan

5 Kurangnya buku-buku instruksi lengkap dengan peraturan serta

pedoman pelaksanaannya yang tersedia di tempat bekerja

6 Faktor remunerasi personal

7 Kurangnya alat-alat bekerja modern yang meningkatkan efisiensi

Sumber: O.C. Kaligis, Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha Negara,

2002.

Page 12: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 3

Kegiatan-kegiatan administrasi negara/tata usaha negara yang

paling banyak menimbulkan perkara-perkara administrasi negara adalah

sebagai berikut:

Tabel 2 Kegiatan-kegiatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara

yang Menimbulkan Perkara-Perkara Administrasi Negara

No Jenis Kegiatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

Perizinan ( dispensasi, izin, lisensi, konsensi)

Administrasi kepegawaian negeri (kenaikan pangkat, ganti rugi

jabatan, perlakukan tidak adil)

Administrasi keuangan negara (kekeliruan pembukuan,

kekeliruan hitung, kekeliruan pertanggungan jawab)

Administrasi perumahan dan pergudangan (status rumah, status

gedung, sewa, tanggung jawab perawatan, dan sebagainya)

Perpajakan (penetapan jumlah, tata cara penagihan)

Perbeacukaian (penetapan kriteria, tata cara penagihan)

Agraria, pengambilan tanah untuk pelebaran jalan, sewa tanah

Perfilman (badan sensor film, perizinan import film)

Pemeriksaan bahan makanan dan mutu barang dagangan

Keselamatan perusahaan dan kerja, pemeriksaan instrumen-

instrumen

Jaminan sosial, tunjangan cacat, fakir miskin

Pertarifan dan pembayaran uang sekolah, pendidikan

Kebersihan kota, tata cara penanggulangan sampah

Organisasi dan pengaturan lalu lintas darat, air dan udara

Keamanan dan ketertiban kota, keindahan kota

Pertanian, perhewanan, peternakan, perikanan, perhutanan

Pengamanan dan perawatan jalan, jembatan, pelabuhan

Organisasi dan pengamanan rumah-rumah penginapan

Kesehatan rakyat, rumah sakit, klinik-klinik, pertarifan dan

organisasinya

Sumber: Djoko Prakoso, Peradilan Tata Usaha Negara, 1988.

Dari segi perlindungan hukum terhadap perbuatan pemerintahan

penguasa (khususnya KTUN) maka sampai beroperasinya peradilan tata

usaha negara pada dasarnya terdapat tiga jalur prosedur penyelesaian

sengketa administratif yang satu sama lain saling berbeda. Prosedur

penyelesaian sengketa administratif tersebut mencakup: jalur prosedur

keberatan, jalur banding administratif dan jalur prosedur gugatan perdata

Page 13: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

4 | P e n d a h u l u a n

berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang berpokok pada tuntutan ganti

rugi yang diajukan kepada pengadilan perdata biasa yang bebas

(Indroharto 2004:45-46).

Prosedur keberatan berarti pihak yang dirugikan oleh KTUN

mengajukan keberatan kepada instansi yang mengeluarkan KTUN itu

sendiri. Apabila pihak yang dirugikan oleh suatu KTUN mengajukan

banding kepada instansi lain (misalnya instansi atasan atau instansi yang

bertindak sebagai instansi banding administratif) dari instansi yang

mengeluarkan KTUN maka disebut dengan banding administratif.

Prosedur keberatan dan banding administratif ini dapat dilakukan apabila

peraturan perundang-undangan yang berlaku menyatakan secara jelas

bahwa suatu KTUN dapat diajukan keberatan atau banding administratif.

Prosedur gugatan perdata adalah gugatan berdasar ketentuan Pasal

1365 KUH Perdata di peradilan umum. Menurut Indroharto, gugatan

ganti rugi yang diajukan dapat dikabulkan, jika terbukti: a. KTUN yang

digugat bersifat melawan hukum; b. Instansi yang digugat itu benar

bersalah melakukan perbuatan yang bersangkutan; c. Pengugat memang

menderita kerugian; d. Sebagai akibat perbuatan (KTUN) instansi yang

digugat tersebut.

Prosedur gugatan terhadap KTUN yang berwujud izin lingkungan

sebagai sarana penyelesaian sengketa lingkungan administatif melalui

peradilan tata usaha negara pada awalnya tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan lingkungan, baik itu UULH maupun UUPLH.

Meskipun demikian, beberapa kasus lingkungan telah diajukan ke

pengadilan tata usaha negara, yaitu: gugatan yang diajukan oleh WALHI,

Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Yayasan

Pengembangan Hukum Lingkungan dan Yayasan Forum Studi

Kependudukan dan Lingkungan Hidup terhadap Presiden akibat

dikeluarkannya Kep.Pres. No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman

yang Berasal dari Dana Reboisasi kepada PT.IPTN dan gugatan WALHI

melalui Pengadilan Tata Usaha Negara DKI terhadap Sekretaris Jenderal

Departemen Pertambangan dan Energi, karena telah mengeluarkan Surat

No.600/6115/SJT/1995 tentang Persetujuan Laporan RKL dan RPL PT.

Freeport Indonesia Company (Takdir rahmadi 2003:149-150).

Setelah berlakunya UUPPLH, dasar hukum gugatan terhadap izin

lingkungan melalui peradilan tata usaha negara terdapat pada Pasal 93

ayat (1) yang menyatakan: setiap orang dapat mengajukan gugatan

terhadap keputusan tata usaha apabila: a. Badan atau pejabat tata usaha

negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/ atau kegiatan yang

wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan Amdal; b. Badan atau pejabat

Page 14: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 5

tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang

wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL;

dan/atau c. Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin

usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

Pasal 93 ayat (2) menyatakan bahwa tata cara pengajuan gugatan terhadap

keputusan tata usaha negara mengaju pada hukum acara peradilan tata

usaha negara yang berlaku, yaitu Undang-Undang No.51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN).

Diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan melalui peradilan tata

usaha negara dalam UUPPLH adalah kemajuan dalam bidang hukum

lingkungan, mengingat sebagian besar hukum lingkungan adalah hukum

administrasi. Pada masa mendatang perlu dilakukan pemberdayaan

peradilan tata usaha negara sebagai sarana penyelesaian sengketa

lingkungan untuk menghentikan pencemaran lingkungan akibat suatu izin

lingkungan.

Page 15: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

6 | P e n d a h u l u a n

DAFTAR BACAAN

A’an Efendi, 2009. Kewenangan Kementerian Negara Lingkungan

Hidup (KNLH) dalam Pengelolaan Lingkungan di Indonesia,

Majalah Ilmiah Hukum dan Masyarakat,

No.III/TH.XXXIV/2009, Fakultas Hukum Universitas Jember,

Jember.

__________, 2009. Perizinan Lingkungan Sarana Pencegahan

Pencemaran Lingkungan, Jurnal Ilmu Hukum Qistie,

Universitas Wahid Hasyim Semarang, Vo.3 No.3.

__________, 2010. Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di

Daerah: Problematika dan Pembicaraannya dalam

Pemilukada, Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi

Universitas Jember, Volume II Nomor 2, November.

Djoko Prakoso, 1988. Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang

No.5/1985), Liberty, Yogyakarta.

Indroharto, 2004. Usaha Memahami Undang-Undang tentang

Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian

Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta.

O.C. Kaligis, 2002. Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha Negara di

Indonesia, Buku Pertama, Alumni, Bandung.

Siti Sundari Rangkuti, 1994. Kesamaan Persepsi Terhadap Penegakan

Hukum Lingkungan, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Unair.

__________________, 2008. Reformasi Bidang Hukum Lingkungan,

dalam Departemen Hukum Tata Negara FH Unair, Dinamika

Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan Edisi Khusus

Kumpulan Tulisan Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti

Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga University Press, Surabaya.

Takdir Rahmadi, 2003. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan

Beracun, Airlangga University Press, Surabaya.

Page 16: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

BAB 2. PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Istilah-istilah lain peradilan tata usaha negara, yaitu peradilan tata

usaha, peradilan administrasi, peradilan administratif, peradilan

administrasi negara, dan peradilan dalam tata usaha pemerintahan.

Keragaman istilah ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

kepustakaan hukum tata negara dan hukum administrasi di Indonesia.

2.1 Istilah-Istilah

Selain istilah peradilan tata usaha negara, dalam berbagai peraturan

perundang-undangan dan kepustakaan hukum tata negara dan hukum

administrasi di Indonesia juga digunakan istilah-istilah lain. Menurut

Sjachran Basah, banyaknya istilah-istilah ini kemungkinan diakibatkan

oleh terjemahan dari “administratieve rechtspraak” (Sjahran Basah

1997:31).

Peradilan tata usaha negara adalah istilah resmi yang digunakan

Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

(UU PERATUN). Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman juga menggunakan istilah peradilan tata usaha

negara. Dalam berbagai kepustakaan, istilah peradilan tata usaha negara

digunakan antara lain oleh Djoko Prakoso, Benjamin Mangkoedilaga,

Philipus M. Hadjon et.al, SF Marbun, Zairin Harahap, O.C. Kaligis,

Indroharto, Rozali Abdullah, dan Wicipto Setiadi.

Mengingat istilah peradilan tata usaha negara adalah istilah resmi

yang digunakan UU PERATUN, penulis menggunakan istilah peradilan

tata usaha negara (kecuali untuk kutipan yang memang menggunakan

istilah lain). Namun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 144 UU

PERATUN, istilah peradilan tata usaha negara dapat juga disebut dengan

istilah peradilan administrasi negara.

Menurut SF Marbun, pada saat rancangan undang-undang

PERATUN dibahas di DPR, penggunaan istilah ini telah memperoleh

perhatian dan pembahasan yang cukup mendalam. Masing-masing pihak

mengemukakan alasannya dengan berbagai argumentasi, sehingga pada

akhirnya diperoleh kesepakatan untuk mempergunakan istilah peradilan

tata usaha negara, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk

mempergunakan istilah peradilan administrasi negara (SF Marbun

1997:42).

BAB 2

Page 17: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

8 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Istilah peradilan tata usaha antara lain digunakan Pasal 161 dan

Pasal 162 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) dan

Pasal 108 UUDS 1950. Istilah peradilan tata usaha juga digunakan oleh

H.A.K. Pringgodigdo.

Istilah peradilan administrasi antara lain digunakan oleh Rochmat

Sumitro, Sjahran Basah, SF Marbun, Suparto Wijoyo dan Bismar Siregar.

Alasan pemilihan istilah peradilan administrasi dikatakan oleh Rochmat

Soemitro karena istilah “peradilan administratif” meskipun sering dipakai

dalam tulisan-tulisan atau undang-undang namun hal itu merupakan suatu

perusakan bahasa. Dalam bahasa Indonesia suatu kata yang merupakan

suatu “ajectif” dari suatu kata lain tidak mengalami perubahan, misalnya:

kursi kayu, meja besi, rumah batu dan sebagainya. Oleh karena itu, istilah

yang dipakai “peradilan administrasi” bukan “peradilan administratif”.

Pemilihan istilah “administrasi” dan bukan istilah “tata usaha” oleh

Rochmat Sumitro dilandasasi oleh tiga alasan, yaitu: pertama, kata

administrasi itu sudah diterima umum dan pula telah digunakan oleh

pemerintah kita; buktinya dengan adanya nama “lembaga administrasi

negara”, “administrasi niaga”, dsb; kedua, kata “administratie” yang

asalnya dari kata latin “administratie”, dapat mempunyai dua arti: a. “elke

stelselmatige, schriftelijke vastlegging en ordening van gegevens,

samengesteld met het doel een overzicht van deze gegevens te verkrijgen

in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamelingen

van aantekeningen kan men als administratie qualificeren”(setiap

penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis

dengan maksud mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan

itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan lain. Tidak

semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi)

b.“wordt ook in het bijzonder gebruikt voor het bestuur van de staat, de

provincien, de waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. In

de V.S. verstaat men onder the administration het gehele staatbestuur,

den president daaronder begrepen” (digunakan juga istimewa untuk

menyatakan pemerintahan suatu negara, propinsi, waterschap (=subak),

kota-kota dan maskape-maskape besar. Di Amerika Serikat dengan kata

“the administration” dimaksudkan keseluruhan pemerintahan, termasuk

presiden. Bila “administratie” diartikan seperti dimaksudkan di bawah sub

(b), maka akan kami gunakan terjemahan “administrasi”. Dalam arti

kedua maka sudah pula tersimpul kata tata usaha. Jadi jika kami

menggunakan kata administrasi negara, maka didalamnya sudah

tersimpul pula tata usahanya; ketiga, kata administrasi itu mengingatkan

kita pada kata-kata asing yang mirip yaitu “administration” dan

Page 18: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 9

“administratie” yang mempunyai arti yang sama, sehingga penggunaan

istilah itu akan memudahkan kami bila kami mempelajari buku asing

dalam bahasa Inggris, Perancis dan Belanda (Rochmat Soemitro 1976:4-

6).

Selain alasan yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro, Sjahran

Basah menambahkan lagi 2 (dua) alasan mengapa menggunakan istilah

peradilan administrasi, yaitu: pertama, apabila istilah peradilan

“administrasi negara” dipergunakan maka predikat “negara” menjadi

berkelebihan (pleonasme) dan tidak perlu, disebabkan sesungguhnya

hanyalah negara saja yang berhak membentuk peradilan, yang ditetapkan

dengan undang-undang vide Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.14

Tahun 1970; (sekarang Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pen), kedua, seiring dengan alasan

diatas bahwa berlainan dengan adanya pasangan pengertian “perkara

pidana-sipil” dan “perkara pidana militer atau “peradilan sipil” dan

“peradilan militer”, maka tidak ada pasangan lawan terhadap istilah

“peradilan administrasi negara” berupa “peradilan administrasi swasta”,

atau “peradilan administrasi partikelir” (Sjahran Basah 1997:35-36).

Istilah peradilan administratif antara lain terdapat dalam TAP

MPRS No.II/MPRS/1960 pada Lampiran A (penyempurnaan) di Bagian

III, Bidang “Pemerintahan dan Keamanan/Pertahanan”, di bawah judul

“Perundang-undangan, Kepenjaraan dan Kepolisian” Nomor 37.

“Masalah Pengembangan Peradilan Administratief di Indonesia”, dalam

Cinerama Hukum, PT. Eresco, Bandung-Jakarta, 1971, h.147-169.

“Peradilan Administratief”, dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas

Indonesia No.2 dan 3 tahun ke V 1975 masing-masing halaman 137-141

dan hal 197-205.

Istilah peradilan administrasi negara antara lain dipergunakan oleh

Philipus M. Hadjon, Kuntjoro Purbopranoto, SF Marbun dan Moh.

Mahfud MD, dan Utrecht. UU PERATUN selain menggunakan nama

resmi undang-undang peradilan tata usaha negara juga tidak menutup

kemungkinan untuk menggunakan istilah peradilan administrasi negara

(vide Pasal 144).

Istilah peradilan dalam tata usaha pemerintahan antara lain

digunakan oleh Wirjono Prodjodikoro dan Pasal 66 dan 67 Undang-

Undang No.19 Tahun 1948 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di samping

keberagaman istilah, setiap penulis juga tidak konsisten menggunakan

satu istilah akan tetapi beberapa istilah digunakan secara silih berganti.

Dalam satu buku terkadang beberapa beberapa istilah digunakan secara

bergantian begitu saja tanpa ada penjelasan lebih lanjut.

Page 19: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

10 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

2.2 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara dan Asas-Asas Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan tata usaha negara di dalamnya mengandung unsur-unsur:

adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum yang

dapat diterapkan pada suatu persoalan, adanya sengketa tata usaha negara

yang disebabkan adanya KTUN, ada minimal dua pihak dan salah satu

pihak harus badan/pejabat tata usaha negara, badan peradilan yang berdiri

sendiri dan terpisah, yaitu PTUN/PTTUN/MA, yang berwenang

memutuskan sengketa secara netral atau tidak memihak, dan adanya

hukum formal (hukum acara peradilan tata usaha negara) dalam rangka

menerapkan hukum, menemukan hukum “in concreto” untuk

mempertahankan ditaatinya hukum materiil (hukum tata usaha

negara/hukum administrasi).

2.2.1 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, peradilan (rechtspraak, bahasa

Belanda, judiciary, bahasa Inggris) adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan (R.

Soebekti dan Tjitrosoedibio 1989:89). Pengadilan (rechtbank, bahasa

Belanda, court, bahasa Inggris) adalah badan yang melakukan peradilan,

yaitu memeriksa dan memutus perkara sengketa-sengketa hukum dan

pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang (R. Soebekti dan

Tjitrosoedibio 1989:89). Peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal

konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan

yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh

apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat

mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting” (Sudikno

Mertokusumo:2006:5). Pengadilan adalah badan atau lembaganya

sedangkan peradilan adalah fungsinya.

Menurut Rochmat Soemitro, adanya suatu peradilan harus

terpenuhi unsur-unsur: a. adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang

mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan, b. adanya

suatu perselisihan hukum yang konkrit, c. adanya sekurang-kurangnya

dua pihak, dan d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang

memutuskan perselisihan.

Di samping 4(empat) unsur peradilan seperti yang disebutkan oleh

Rochmat Soemitro diatas, Sjahran Basah menambahkan satu unsur lagi,

yaitu adanya unsur hukum formal. Dengan adanya hukum formal adalah

Page 20: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 11

dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan

hukum (rechtvinding) “in concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum

materiil.

Peradilan administrasi adalah peradilan, maka peradilan

administrasi harus juga memenuhi unsur-unsur peradilan yang

disebutkan diatas. Pertama, adanya suatu aturan hukum yang abstrak

yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.

Aturan hukum yang abstrak sebagai unsur peradilan tata usaha negara

terletak di lingkungan hukum administrasi negara yang dapat diterapkan

pada suatu persoalan.

Kedua, adanya sengketa hukum yang konkrit disebabkan adanya

keputusan administrasi negara, yaitu KTUN. Menurut UU PERATUN,

KTUN adalah dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Sengketa tata

usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara

antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata

usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Pasal 1 angka 10 UU PERATUN).

Ketiga, minimal dua pihak, dan sekurang-kurangnya salah satu

pihak harus administrasi negara. Menurut UU PERATUN, salah satu

pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah badan atau pejabat tata

usaha negara, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang

mengeluarkan KTUN yang menjadi dasar gugatan di PTUN.

Badan/pejabat tata usaha negara adalah administrasi negara yang

melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik

di pusat maupun di daerah (Pasal 1 angka 7 UU PERATUN).

Keempat, adanya badan peradilan yang berdiri sendiri dan terpisah,

yang berwenang memutuskan sengketa secara netral atau tidak memihak.

Berdasarkan UU PERATUN, badan peradilan yang dimaksud adalah

badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan tata usaha

negara, yaitu pengadilan tata usaha negara sebagai pengadilan tingkat

pertama, pengadilan tinggi tata usaha negara sebagai pengadilan tingkat

banding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi.

Kelima, adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum,

menemukan hukum “in concreto” untuk mempertahankan ditaatinya

hukum materiil. Adanya hukum formal adalah sangat penting dan

strategis untuk melaksanakan fungsi sebuah peradilan dalam mencari,

menemukan fakta-fakta dan akhirnya menerapkan kaidah hukum (SF

Marbun 1997:42). Hukum formal yang berlaku dalam peradilan tata

Page 21: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

12 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

usaha negara adalah hukum acara peradilan tata usaha negara yang dasar

hukumnya tertuang dalam UU PERATUN.

2.2.2 Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Istilah-istilah lain untuk hukum acara peradilan tata usaha negara

adalah hukum acara peradilan administrasi negara, hukum acara peradilan

administrasi dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan peradilan

administrasi. Hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hukum

formil untuk menjalankan hukum materillnya (hukum tata usaha

negara/hukum administrasi).

Hukum dapat dibedakan atas beberapa macam menurut cara

membedakannya, yaitu menurut sumbernya, isinya, kekuatan

mengikatnya, dasar pemeliharaannya, keadaannya, tempat berlakunya,

bentuknya, penerapannya, dan sebagainya (Riduan Syahrini 2004:74).

Menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, apabila hukum

dilihat dari sistemnya maka sistem hukum adalah merupakan sesuatu

yang bersifat menyeluruh dan berstruktur. Atas dasar kriteria-kriteria

tertentu, maka sistem hukum dapat dibedakan antara bidang-bidang yang

menghasilkan aneka dikotomi: 1. Ius constitutum dan ius constituendum,

2. Hukum alam dan hukum positif, 3. Hukum imperatif dan hukum

fakultatif, 4. Hukum substantif dan hukum ajektif, dan 5. Hukum tertulis

dan hukum tidak tertulis (Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka

1994:1-3).

Menurut Utrecht/Moh. Saleh Djindang, apabila hukum dilihat dari

segi fungsinya, maka hukum dapat dibedakan menjadi hukum materiil

dan hukum formil (E. Utrecht/Moh Saleh Djindang 1989:43). Hukum

materiil mengatur isi atau materi dari hubungan antara kedua belah pihak

atau menerangkan perbuatan-perbuatan mana yang dapat dihukum dan

pidana yang dapat dijatuhkan. Hukum formil menunjuk cara

mempertahankan atau cara menjalankan peraturan-peraturan tersebut.

Zwarensteyn sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto menjelaskan

pengertian hukum materiil dan hukum formil:“Substantive law regulates

our rights and duties, whereas adjective (also called procedural) law

regulates the methods of enforcing rights and duties”. Hukum materill

atau hukum substamtif adalah hukum yang mengatur hak-hak dan

kewajiban-kewajban kita, sementara hukum formil atau hukum ajektif

adalah hukum yang mengatur bagaimana cara untuk menegakkan hak-hak

dan kewajiban-kewajiban tersebut.

Hukum materiil adalah hukum yang mengatur isi daripada

hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding, rechtsbetrekking) dalam

Page 22: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 13

masyarakat. Hubungan-hubungan hukum dalam lapangan perdata diatur

oleh hukum perdata dan hubungan-hubungan hukum dalam lapangan

hukum publik diatur oleh hukum publik. Hukum formil ialah hukum yang

mengatur tentang bagaimana caranya mempertahankan atau menegakkan

hukum materiil. Hukum formil ini bisa juga disebut hukum acara, yang

terdiri atas hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara

tata usaha negara.

Selanjutnya A.M.Bos menjelakan keterkaitan antara hukum

materiil dengan dengan hukum formil : “Het materiele recht regelt

relaties tussen personen (bv. “contracten moeten nagekomen worden”).

Als zulke regels overtreden worden, moet er iets geberuen: het materiele

recht moet “gehandhaafd” worden en dat gebeurt in een proces. Zo’n

proces is zelf weer geregeld en die regels heten “formeel recht”. Het

formele rechts is dus het procesrecht: het burgerlijke procesrecht, het

strafprocesrecht en bestuurlijk procesrecht”. (“Hukum materiil mengatur

hubungan antar manusia (misalnya “perjanjian-perjanjian harus

dilaksanakan”). Apabila aturan-aturan semacam itu dilanggar, maka harus

terjadi sesuatu: hukum materiil harus “ditegakkan” dan hal itu terjadi

didalam suatu acara. Acara tersebut diatur dan aturan-aturannya disebut

“hukum formil”. Hukum formil adalah hukum acara: hukum acara

perdata, hukum acara pidana dan hukum acara tata usaha”).

Antara hukum materiil dan hukum formil mempunyai keterkaitan

erat dan saling tergantung satu sama lain serta tidak bisa saling

dipisahkan. Seperti dikatakan oleh Sjahran Basah, peradilan tanpa hukum

material akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan,

sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas-

batas yang jelas dalam menjalankan wewenangnya (Sjahran Basah

1989:1). Peranan hukum acara sangat penting dalam menciptakan suasana

peradilan; apakah peradilan menjadi suatu arena pertempuran ataukah

suatu forum damai dan tenteram tergantung dari hukum acaranya

(Philipus M. Hadjon 1987:195).

Hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hukum formil

yang berfungsi untuk mempertahankan hukum materiil (hukum

administrasi). Hukum acara peradilan administrasi merupakan hukum

formal yang pada hakekatnya termasuk dalam lingkup hukum publik

(Suparto Wijoyo 2004:14). Di dalam hukum publik, hukum formal

berfungsi sebagai publiekrechttelijk instrumentarium untuk menegakkan

hukum materiil (F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek dalam Suparto Wijoyo

2004:14).

Page 23: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

14 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Seperti halnya keberagaman istilah peradilan tata usaha negara,

istilah hukum acara peradilan tata usaha negara juga berbeda-beda. Di

samping istilah hukum acara peradilan tata usaha negara, terdapat istilah-

istilah lain, diantaranya “ hukum acara peradilan tata usaha negara”,

“hukum acara peradilan administrasi negara”, “hukum acara peradilan

administrasi” dan “hukum acara pengadilan dalam lingkungan peradilan

administrasi”. Istilah “hukum acara dalam lingkungan peradilan

administrasi” digunakan oleh Sjahran Basah dengan pertimbangan karena

disitu termuat pengertian yang lebih luas (Sjahran Basah 1989:1).

Menurut Rozali Abdullah, hukum acara peradilan tata usaha negara

adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang

harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan

hukum tata usaha negara/hukum administrasi negara (Rozali Abdullah

1994:1-2). Hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hukum yang

mengatur tentang cara-cara bersengketa di peradilan tata usaha negara

serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses

penyelesaian sengketa tersebut (Zairin Harahap 2001:24).

Hukum acara peradilan tata usaha negara yang berlaku adalah

hukum acara peradilan tata usaha negara sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara. Sesuai titlenya Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tidak

mencabut berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1986 maupun

Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan

demikian, yang berlaku adalah ketiga undang-undang tersebut sekaligus.

UU PERATUN, selain mengatur hukum formilnya (hukum

acaranya) juga sekaligus hukum materiilnya. Menurut Syahran Basah,

pada umumnya secara teoritis cara pengaturan terhadap hukum formal

dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Ketentuan prosedur

berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya atau dengan

susunan, kompetensi dari badan yang melakukan peradilan dalam bentuk

undang-undang atau peraturan lainnya, dan 2. Ketentuan prosedur

berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam bentuk undang-undang

atau peraturan lainnya.

UU PERATUN mengikuti ketentuan yang pertama, yaitu hukum

formil dan hukum materiilnya diatur secara bersama-sama. Hukum acara

peradilan tata usaha negara dalam UU PERATUN dimuat dalam

ketentuan Pasal 53 sampai dengan Pasal 141. UU PERATUN terdiri atas

145 pasal. Ketentuan hukum materiil sebanyak 56 pasal, sedangkan

Page 24: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 15

hukum formil sebanyak 89 pasal (atau dengan perbandingan jumlah

hukum materiil sekitar 38,7 persen dan hukum formil sekitar 61,3 persen

dari total jumlah pasal yang ada dalam UU PERATUN) (Zairin Harahap

2001:24).

2.2.3 Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara adalah asas

praduga rechtmatig (vermoden van rechtmatigheid=praesumptio iustae

causa), asas pembuktian bebas, asas keaktifan hakim (dominus listis), dan

asas putusan pengadilan tata usaha negara mempunyai kekuatan mengikat

“erga omnes”. Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara

tercermin dalam UU PERATUN sebagai dasar hukum proses beracara di

peradilan tata usaha negara dan juga tercermin dalam setiap proses

peradilan tata usaha negara.

Asas hukum juga disebut prinsip hukum. Sudikno Mertokusumo,

dengan merujuk berbagai pendapat, menyatakan bahwa asas hukum atau

prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan

pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari

peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan

hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan

mencari sifat - sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut (Sudikno

Mertokusumo 1985:34).

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan unsur yang

penting dan pokok dari peraturan hukum (Satjipto Rahardjo 1982:85).

Lebih lanjut dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa barangkali tidak

berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan

“jantungnya” peraturan hukum. Kita menyebutnya demikian oleh karena,

pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu

peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada

akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut

landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya

peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

Dengan merujuk dari berbagai pendapat, Suparto Wijoyo

menyimpulkan bahwa asas hukum memiliki fungsi: 1. Bagi pembuat

undang-undang (wetgever), asas-asas hukum merupakan pedoman dalam

pembuatan undang-undang (wetgeving)-peraturan perundang-undangan,

2. Bagi hakim (rechter), asas-asas hukum menolong untuk mencermatkan

interprestasi dan membantu dalam pengenaan analogi serta mengarahkan

Page 25: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

16 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

dalam memberikan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan

(Suparto Wijoyo 2004:50).

Selanjutnya, dengan mendasarkan pada fungsi-fungsi asas-asas

hukum seperti itu, terhadap asas-asas hukum administrasi yang

merupakan tempat bertumpunya norma-norma hukum administrasi,

dapatlah dikatakan bahwa: 1. Asas- asas hukum administrasi akan

memberikan arah dalam “positiveringsarbeid” oleh pembentuk undang-

undang (wetgever) maupun organ pemerintahan (“bestuurrorganen”), 2.

Asas-asas hukum administrasi akan memberikan pedoman bagi

“administratieve” dalam melakukan interprestasi hukum guna menjamin

ketepatan menentukan putusan dalam rangka menyelesaikan sengketa

administrasi karena peraturan perundang-undangan (hukum administrasi)

yang tidak mengatur atau kurang jelas, dan 3. Asas-asas hukum

administrasi memberikan tuntutan pada warga masyarakat khususnya

academicians hukum administrasi melalui pemikiran-pemikirannya, dan

pembuat peraturan perundang-undangan maupun hakim administrasi

dalam melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan

(hukum administrasi) yang terancam kehilangan maknanya (Suparto

Wijoyo 2004:50-51). Asas-asas hukum administrasi adalah landasan dari

hukum acara peradilan tata usaha negara. Hukum acara peradilan

administrasi mempunyai karakteristik yang tercermin dalam asas-asas

hukum administrasi yang melandasi hukum acara peradilan administrasi

(ibid).

Menurut Philipus M. Hadjon et.al, ciri khas hukum acara peradilan

tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya

(Philipus M. Hadjon et.all, 1994:313). Asas-asas hukum acara peradilan

tata usaha negara menurut Philipus M. Hadjon et.al adalah sebagai

berikut:

Tabel 3. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

No Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

1

2

3

Asas praduga rechtmatig (vermoden van rechtmatigheid=

praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa

setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai

ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda

pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5

Tahun 1986).

Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban

pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW.

Page 26: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 17

4 Asas ini dianut Pasal 107 UU No.5 Tahun 1986 hanya saja masih

dibatasi ketentuan Pasal 100.

Asas keaktifan hakim (dominus listis). Keaktifaan hakim

dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena

kedudukan para pihak adalah pejabat tata usaha negara sedangkan

penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.

Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga

omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan

demikian putusan TUN berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi

para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan

Pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”

Sumber: Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,

1994.

Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara diatas nantinya

akan tercermin dalam UU PERATUN sebagai dasar hukum proses

beracara di peradilan tata usaha negara dan juga tercermin dalam setiap

proses peradilan tata usaha negara.

2.3 Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara

Kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara adalah bertugas

dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa

tata usaha negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha

negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat

tata usaha negara, baik di pusat dan daerah, sebagai akibat dikeluarkannya

keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi pengadilan tata

usaha negara berkaitan dengan kewenangan pengadilan tata usaha negara

mana (Jakarta/Surabaya dan sebagainya) untuk menyelesaikan sengketa

tata usaha negara.

Berkaitan dengan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan

mengadili suatu perkara, hukum acara mengenal adanya kewenangan

absolut atau kompetensi absolut dan kewenangan relatif atau kompetensi

relatif dari suatu lembaga peradilan. Kompetensi absolut berkaitan dengan

kewenangan pengadilan untuk mengadili suaatu perkara menurut obyek

atau materi atau pokok sengketa (S.F. Marbun 1988:59). Kompetensi

relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili

suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.

Page 27: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

18 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Kompetensi absolut menyangkut pembagian kekuasaan antar

badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut

pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa belanda disebut

attributie van rechtsmacht. Kompetensi absolut menjawab pertanyaan:

badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa

itu? (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1997:11)

Apakah suatu sengketa menjadi wewenang pengadilan tata usaha negara,

pengadilan negeri, pengadilan agama atau pengadilan militer untuk

memeriksa dan mengadilinya.

Lawan dari kompetensi absolut adalah kompetensi relatif. Ia

menjawab pertanyaan: pengadilan negeri yang dimana yang berwenang

untuk mengadili perkara ini? pengadilan negeri di Bandung, di Jakarta

atau pengadilan negeri di Garut? Jika suatu sengketa tata usaha negara,

pengadilan tata usaha negara manakah yang berwenang untuk memeriksa

dan mengadilinya? pengadilan tata usaha negara di Jakarta atau

pengadilan tata usaha negara di Surabaya dan sebagainya.

Dasar hukum kompetensi relatif pengadilan tata usaha negara

terdapat pada Pasal 54 ayat (1) UU PERATUN yang menyatakan:

gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang

berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.

Pada prinsipnya Pasal 54 ayat (1) menganut asas actor rei forum sequitur,

yaitu penggugat harus mengajukan gugatan di pengadilan di tempat

tergugat tinggal. Asas actor rei forum sequitur tidak berlaku mutlak,

tetapi terdapat pengecualian-pengualian sebagaimana diatur pada Pasal 54

ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6).

Berdasarkan Pasal 54 UU PERATUN, kompetensi relatif

pengadilan tata usaha negara adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Kompetensi Relatif Pengadilan Tata Usaha Negara

No Dasar

Hukum

Kompetensi Relatif Pengadilan Tata usaha Negara

1 Pasal 54

ayat (1)

Pengadilan tata usaha negara yang berwenang untuk

memeriksa dan mengadili sengketa tata usaha negara

adalah pengadilan tata usaha negara yang meliputi

tempat tinggal tergugat (actor Sequitur Forum Rei)

2 Pasal 54

ayat (2)

Apabila tergugat lebih dari satu, penggugat dapat

memilih salah satu pengadilan tata usaha negara yang

daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan

tergugat

Page 28: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 19

3 Pasal 54

ayat (3)

Pengadilan tata usaha negara yang berwenang

memeriksa dan mengadili adalah pengadilan tata

usaha negara yang berada di tempat kedudukan

penggugat apabila tempat kedudukan tergugat tidak

berada dalam daerah hukum pengadilan tata usaha

negara tempat kedudukan penggugat yang

selanjutnya akan diteruskan kepada pengadilan yang

bersangkutan.

4 Pasal 54

ayat (4)

Pengadilan tata usaha negara yang berwenang

memeriksa dan mengadili sengketa tata usaha negara

adalah pengadilan tata usaha negara yang berada di

tempat kedudukan penggugat apabila dalam hal-hal

tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha

negara yang bersangkutan yang diatur dalam suatu

peraturan pemerintah ditentukan demikian.

5 Pasal 54

ayat (5)

Pengadilan tata usaha negara yang berwenang adalah

pengadilan tata usaha negara yang berkedudukan di

Jakarta apabila pihak penggugat dan tergugat

berkedudukan di luar negeri.

6 Pasal 54

ayat (6)

Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan

penggugat di luar negeri, gugatan diajukan ke

pengadilan tata usaha negara yang berada di daerah

kedudukan hukum tergugat.

Sumber: A’an Efendi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2012.

Kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara diatur dalam

Pasal 47 UU PERATUN yang menentukan: “Pengadilan bertugas dan

berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata

usaha negara”. Sengketa tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 4 UU

PERATUN: “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul

dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat dan daerah,

sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk

sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN diatas,

KTUN adalah dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Tanpa adanya

KTUN tidak akan pernah ada sengketa tata usaha negara. KTUN adalah

suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata

usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang

Page 29: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

20 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3).

Pengertian KTUN berdasar Pasal 1 angka 3 UU PERATUN

dikurangi untuk hal-hal yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2 dan

ditambah Pasal 3. Apa yang ditentukan oleh Pasal 2 UU PERATUN tidak

digolongkan kedalam pengertian KTUN sehingga tidak menjadi

wewenang PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Sebaliknya, apa yang ditentukan oleh Pasal 3 UU PERATUN tidak

memenuhi unsur-unsur KTUN menurut Pasal 1 angka 3 UU PERATUN,

namun dikategorikan sebagai KTUN, sehingga menjadi kompetensi

pengadilan tata usaha negara untuk memeriksa dan mengadilinya. Apa

yang ditentukan oleh Pasal 3 UU PERATUN ini adalah suatu KTUN

fiktif yang bersifat negatif.

Pengadilan tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa

dan mengadili sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal KTUN yang

dipersengketakan: pertama, KTUN dikeluarkan dalam waktu perang,

keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang

membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, kedua, KTUN dikeluarkan dalam keadaan mendesak untuk

kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

2.4 Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Sengketa tata usaha negara adalah sengketa antara orang/badan

hukum perdata sebagai penggugat melawan badan/pejabat tata usaha

negara sebagai tergugat (Pasal 1 angka 4 UU PERATUN). Sengketa tata

usaha negara di pengadilan tata usaha negara hanya mencakup sengketa

ektern dan tidak termasuk sengketa intern. Obyek sengketa tata usaha

negara di pengadilan tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha

Negara (KTUN). Penyelesaian sengketa tata usaha negara wajib

diselesaikan melalui upaya administratif terlebih dahulu jika berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku mewajibkan untuk itu.

Pengadilan tata usaha negara baru berwenang memeriksa dan memutus

sengketa tata usaha negara apabila telah ditempuh upaya administratif

yang tersedia.

Page 30: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 21

2.4.1. Sengketa Tata Usaha Negara

Menurut Sjahran Basah, sengketa administrasi negara dapat

digolongkan menjadi 2 (macam) yaitu sengketa administrasi negara intern

dan sengketa administrasi negara ektern. Sengketa administrasi negara

intern adalah sengketa yang terjadi antara kedua fihak yang termasuk

administrasi negara, sedangkan sengketa administrasi negara ektern

adalah sengketa yang terjadi antara administrasi negara dengan rakyat.

Sengketa administrasi negara intern dapat terjadi dalam satu departemen

(instansi) maupun antar depertemen (instansi). Sengketa administrasi

negara intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat tata

usaha negara yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) atau

kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen (instansi)

lainnya, yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga

menimbulkan kekaburan kewenangan.

Pengertian sengketa tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 4 UU

PERATUN: “Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul

dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di

daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,

termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-

undangan”. Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN, sengketa

tata usaha negara yang menjadi kompetensi pengadilan tata usaha negara

adalah sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) ektern

saja, yaitu sengketa antara administrasi negara dengan rakyat, yang oleh

Pasal 1 angka 4 UU PERATUN adalah sengketa antara orang atau badan

hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat

dikeluarkannya KTUN. UU PERATUN tidak mencakup di dalamnya

sengketa intern.

2.4.2 Subyek Sengketa Tata Usaha Negara

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN, subyek

sengketa tata usaha negara adalah orang atau badan hukum perdata

melawan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai akibat

dikeluarkannya KTUN. Orang atau badan hukum perdata bertindak

sebagai penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai

tergugat. Kedudukan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai

tergugat ditentukan oleh Pasal 1 angka 6: “Tergugat adalah Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan

Page 31: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

22 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang

digugat oleh orang atau badan hukum perdata”.

Dalam sengketa tata usaha negara selalu menempatkan orang atau

badan hukum perdata sebagai penggugat dan badan atau pejabat tata

usaha negara sebagai tergugat. Tidak memungkinkan memposisikan

badan atau pejabat tata usaha negara sebagai penggugat dan orang atau

badan hukum perdata sebagai tergugat. Hal ini disebabkan bahwa

lahirnya sengketa tata usaha negara adalah karena dikeluarkannya KTUN,

sedangkan pihak yang dapat mengeluarkan KTUN adalah hanya badan

atau pejabat tata usaha negara. Juga tertutup kemungkinan badan atau

pejabat tata usaha negara menggugat sesama badan atau pejabat tata

usaha negara, mengingat kewenangan pengadilan tata usaha negara hanya

menyangkut sengketa administrasi negara ektern yaitu sengketa

administrasi negara dengan rakyat.

Mengenai siapa yang dimaksud badan atau pejabat tata usaha

negara, Pasal 1 angka 2 UU PERATUN menyatakan bahwa yang

dimaksud badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat

yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (Indroharto 2004:28). Penjelasan Pasal

1 angka 3 menentukan: Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan”

ialah kegiatan yang bersifat eksekutif.

Menurut Indroharto, karena menurut Pasal 1 angka 2 UU

PERATUN tersebut, batasannya atau ukurannya hanya soal “berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dikerjakan itu berupa

kegiatan urusan pemerintahan”. Oleh karena itu, suatu peraturan

perundang-undangan dapat saja memberi tugas pelaksanaan urusan

pemerintahan tersebut kepada apa saja dan siapa saja di luar instansi-

instansi/jajaran pemerintah di bawah Presiden. Dengan kata lain yang

menjadi ukuran untuk dapat menganggap apa dan siapa saja itu sebagai

badan atau jabatan TUN adalah: asal apa dan siapa saja tersebut

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku melaksanakan

suatu urusan pemerintahan. Pengertian badan/pejabat TUN janganlah

diartikan semata-mata secara struktural tetapi lebih ditekankan pada aspek

fungsional (Philipus M.Hadjon et.all 1994:139).

Tergugat dalam sengketa tata usaha negara adalah badan atau

pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN yang menjadi obyek

sengketa di pengadilan tata usaha negara. Kewenangan badan atau pejabat

tata usaha negara untuk mengeluarkan KTUN dapat bersumber dari

kewenangan atributif, delegasi atau mandat. Wewenang atributif artinya

wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara itu

Page 32: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 23

bersumber dari suatu peraturan perundang-undangan sendiri. Apabila

badan atau pejabat tata usaha negara yang memperoleh wewenang secara

atributif mengeluarkan KTUN yang kemudian yang disengketakan, maka

yang harus digugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang

disebutkan dalam peraturan dasarnya telah memperoleh wewenang

pemerintahan secara atributif tersebut (Indroharto 2004:31).

Apabila badan atau pejabat tata usaha negara yang memperoleh

wewenang secara atributif ini kemudian mendelegasikan kewenangannya

kepada badan atau pejabat tata usaha negara lainnya, maka apabila badan

atau pejabat tata usaha negara yang memperoleh delegasi tersebut lalu

mengeluarkan KTUN yang kemudian menjadi obyek sengketa di

pengadilan tata usaha negara, maka badan atau pejabat tata usaha negara

yang terakhir inilah yang harus digugat. Pada pendelegasian wewenang

itu menurut hukum telah benar terjadi pelimpahan dalam arti pemindahan

wewenang dari badan atau pejabat tata usaha negara yang satu kepada

yang lain. Walaupun hubungan hirarkies tidak mengalami perubahan,

namun yang berubah adalah pemilikan wewenang pemerintahan yang

terdapat dalam peraturan dasarnya semula.

Berbeda dengan delegasi, pada mandat tidak terjadi perubahan baik

mengenai hubungan hirarki maupun wewenang yang diatur dalam

peraturan dasarnya. Pihak yang memberikan kewenangannya secara

mandat disebut mandan dan yang menerima penyerahan kewenangan

disebut mandataris. Apabila pihak mandataris mengeluarkan KTUN yang

kemudian menjadi obyek sengketa di pengadilan tata usaha negara maka

yang harus digugat adalah mandan bukan mandataris.

Mengenai kedudukan orang atau badan hukum perdata sebagai

pihak penggugat dalam sengketa tata usaha negara dijelaskan oleh

Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN yang menyatakan bahwa

sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 maka hanya orang atau badan

hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang

dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk

menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya hanya orang atau

badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang

bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata

Usaha Negara.

Pihak penggugat dalam sengketa tata usaha negara adalah orang

atau badan hukum perdata. Namun demikian, tidak semua orang atau

badan hukum perdata dapat menjadi pihak penggugat dalam sengketa

tata usaha negara. Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam sengketa

Page 33: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

24 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

tata usaha negara adalah orang atau badan hukum perdata yang

kepentingannya terkena oleh akibat hukum KTUN yang dikeluarkan dan

karenanya orang atau badan hukum perdata tersebut kepentingannya

dirugikan.

Konkretnya, orang atau badan hukum perdata yang dapat dirugikan

oleh keluarnya suatu KTUN dapat digolongkan dalam tiga kelompok:

Tabel 5. Orang atau Badan Hukum Perdata yang Dirugikan KTUN

No Orang atau Badan Hukum Perdata yang Dirugikan KTUN

1 Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang

dituju oleh suatu KTUN. Di sini orang atau badan hukum perdata

tersebut secara langsung terkena kepentingannya oleh keluarnya

KTUN yang dialamatkan kepadanya tersebut. Karena itu jelas ia

berhak untuk mengajukan gugatan

2 Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut

sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang meliputi:

Yang termasuk dalam kelompok ini sangat luas variasinya.

Mereka itu merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung

oleh keluarnya suatu KTUN yang sebenarnya dialamatkan kepada

orang lain.

Organisasi-organisasi kemasyarakatan (pecinta lingkungan

hidup), sebagai pihak ketiga dapat merasa kepentingan, karena

keluarnya suatu KTUN itu dianggapnya bertentangan dengan

tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran

dasarnya.

3 Badan atau Pejabat TUN yang lain.

UU PERATUN ini tidak memberi hak kepada Badan atau Pejabat

TUN untuk menggugat

Sumber: Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang

Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan

Tata Usaha Negara, 2005.

2.4.3 Obyek Sengketa Tata Usaha Negara

Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN, yang menjadi

obyek sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan badan

atau pejabat tata usaha negara di pengadilan tata usaha negara adalah

akibat dikeluarkannya KTUN oleh badan atau pejabat tata usaha negara

yang merugikan kepentingannya orang atau badan hukum perdata

Page 34: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 25

tersebut. KTUN adalah dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Tanpa

ada KTUN tidak akan pernah ada sengketa tata usaha negara.

KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan

atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha

negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3).

Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PERATUN, KTUN mengandung

elemen-elemen dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 6. Elemen-Elemen KTUN

Elemen-elemen KTUN

1. Suatu penetapan tertulis

2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN

3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara

4. Bersifat konkrit, individual, dan final

5. Menimbulkan akibat hukum seseorang atau badan hukum perdata

KTUN yang memenuhi elemen-elemen dalam tabel diatas adalah

KTUN yang menjadi obyek sengketa di pengadilan tata usaha negara,

yaitu: suatu penetapan tertulis, di keluarkan oleh badan atau pejabat tata

usaha negara, berisi tindakan hukum tata usaha negara, bersifat konkrit,

individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang

atau badan hukum perdata.

Yang dimaksud dengan “penetapan tertulis” terutama menunjuk

kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh

badan atau pejabat tata usaha negara. Keputusan itu memang disyaratkan

tertulis, namun yang diisyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya

seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Pernyataan tertulis

itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu,

sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan

merupakan suatu KTUN menurut undang-undang ini apabila sudah jelas:

a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;

b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan c. Kepada siapa

tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.

Yang dimaksud badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan

atau pejabat tata usaha negara di pusat dan di daerah yang melakukan

kegiatan yang bersifat eksekutif. Yang dimaksud tindakan hukum tata

usaha negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha

Page 35: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

26 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata usaha negara yang

dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain.

Bersifat konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam KTUN itu

tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya

keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A

sebagai pegawai negeri. Bersifat individual artinya KTUN itu tidak

ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang hal yang

dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap nama orang yang

terkena keputusan itu disebutkan. Umpamannya, keputusan tentang

pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan

nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.

Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat

menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan

persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final

karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada

pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang

pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi

Kepegawaian Negara.

Pengertian KTUN menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU

PERATUN ini ternyata masih belum tuntas karena masih dikurangi oleh

ketentuan Pasal 2 dan ditambah oleh Pasal 3 serta dibatasi oleh Pasal 49.

Tabel 7. Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara

KTUN Pasal 1 angka 3 Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

badan atau pejabat tata usaha negara yang

berisi tindakan hukum tata usaha negara

yang berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang bersifat

konkret, individual dan final, yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang

atau badan hukum perdata

KTUN Pasal 3 (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara tidak mengeluarkan

keputusan, sedangkan hal itu menjadi

kewajibannya, maka hal tersebut

disamakan dengan Keputusan Tata

Usaha Negara.

Page 36: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 27

Lanjutan Tabel 7. Keputusan Tata Usaha Negara

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara tidak mengeluarkan

keputusan yang dimohon, sedangkan

jangka waktu sebagaimana ditentukan

data peraturan perundang-undangan

dimaksud telah lewat, maka Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara

tersebut dianggap telah menolak

mengeluarkan keputusan yang

dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan tidak

menentukan jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),

maka setelah lewat jangka waktu

empat bulan sejak diterimanya

permohonan, Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang bersangkutan

dianggap telah mengeluarkan

keputusan penolakan.

KTUN Pasal 49 Pengadilan tidak berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata

Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan

yang disengketakan itu dikeluarkan:

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya,

keadaan bencana alam, atau keadaan

luar biasa yang membahayakan,

berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

b. Dalam keadaan mendesak untuk

kepentingan umum berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Bukan

KTUN

Pasal 2 Tidak termasuk dalam pengertian

Keputusan Tata Usaha Negara menurut

Undang-Undang ini:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang

merupakan perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang

Page 37: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

28 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

merupakan pengaturan yang bersifat

umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang

masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang

dikeluarkan berdasarkan ketentuan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana atau peraturan perundang-

undangan lain yang bersifat hukum

pidana.

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang

merupakan perbuatan hukum perdata;

f. Keputusan Tata Usaha Negara yang

merupakan pengaturan yang bersifat

umum;

g. Keputusan Tata Usaha Negara yang

masih memerlukan persetujuan;

h. Keputusan Tata Usaha Negara yang

dikeluarkan berdasarkan ketentuan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana atau peraturan perundang-

undangan lain yang bersifat hukum

pidana.

Apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2 UU PERATUN

adalah hal-hal yang sepenuhnya memenuhi unsur KTUN yang dimaksud

dalam Pasal 1 angka 3 UU PERATUN, namun tidak termasuk dalam

pengertian KTUN. Apabila dikaji, sebagain Pasal 2 UU PERATUN hanya

sekedar pengurangan atau penegasan terhadap ketentuan Pasal 1 angka 3

UU PERATUN. Dilihat dari segi teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan, sebagian Pasal 2 UU PERATUN ini terlalu

berlebihan atau overbodig (Wicipto Setiadi 1992:101).

Pasal 2 huruf a menentukan yang tidak termasuk dalam pengertian

KTUN adalah KTUN yang merupakan perbuatan hukum keperdataan.

Rumusan ini sebenarnya tidak perlu, karena dengan sendirinya tidak

memenuhi unsur “tindakan hukum tata usaha negara”. Demikian juga

rumusan Pasal 2 huruf b yang menyatakan KTUN yang merupakan

pengaturan yang bersifat umum. Rumusan ini dengan sendirinya tidak

Page 38: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 29

memenuhi unsur “konkrit, individual”. Begitu pula rumusan Pasal 2 huruf

c yang menyatakan KTUN yang masih memerlukan persetujuan.

Rumusan ini sebetulnya juga tidak perlu, karena tidak memenuhi unsur

“final”.

Sebaliknya, ketentuan Pasal 3 UU PERATUN yang tidak

sepenuhnya memenuhi unsur-unsur KTUN namun dikategorikan sebagai

KTUN. Apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 3 UU PERATUN

diatas adalah perluasan dari pengertian KTUN, karena apabila Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara tidak berbuat dan tidak ada keputusan tertulis

namun disamakan dengan KTUN. Apa yang tercantum dalam Pasal 3 UU

PERATUN ini dikenal sebagai KTUN fiktif dan negatif sifatnya.

Selanjutnya, terdapat pengecualian seperti diatur dalam ketentuan

Pasal 49 UU PERATUN. Sebenarnya yang disebutkan dalam ketentuan

Pasal 49 UU PERATUN adalah termasuk dalam pengertian KTUN,

namun karena alasan-alasan tertentu hal ini tidak menjadi kewenangan

PTUN untuk menyelesaikannya.

Untuk Pasal 49 huruf a tidak begitu menimbulkan permasalahan.

Permasalahan akan muncul sehubungan dengan Pasal 49 huruf b dengan

adanya kriterium kepentingan umum. Pemerintah, melalui peraturan

perundang-undangan seyogyanya segera menentukan kriteria apa yang

dimaksud dengan kepentingan umum. Hal ini untuk menjaga agar tidak

terjadi penghalalan segala macam cara dengan dalih kepentingan umum.

Adanya peraturan perundang-undangan yang menentukan kriteria

kepentingan umum akan lebih menjamin perlindungan kepada rakyat.

Pemerintah tidak bisa dengan seenaknya mengeluarkan KTUN yang

merugikan rakyat dengan dalih kepentingan umum namun tidak bisa

digugat melalui peradilan tata usaha negara karena terbentur oleh Pasal 49

UU PERATUN.

2.4.4 Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Jika seseorang akan mengajukan gugatan di PTUN, maka penting

untuk diperhatikan adalah ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN

yang menyatakan: Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara di beri wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-

undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha

Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus

diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Pasal 48 ayat (2)

menyatakan bahwa Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud

Page 39: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

30 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah

digunakan.

Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU PERATUN,

penggunaan upaya administratif dalam penyelesaian sengketa tata usaha

negara adalah bersifat wajib. Pengadilan tata usaha negara baru

berwenang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara apabila

telah ditempuh upaya administratif yang tersedia. Sifat wajib penggunaan

upaya administratif ini lebih ditegaskan pada Penjelasan Pasal 48 ayat (2)

UU PERATUN: Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada

penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih

tetap merasa belum puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan

diajukan ke Pengadilan.

Namun demikian, tidak semua sengketa tata usaha negara harus

diselesaikan melalui upaya administratif terlebih dahulu. Upaya

administratif dilakukan apabila berdasarkan peraturan perundang-

undangan ditentukan bahwa suatu sengketa tata usaha negara harus

diselesaikan melalui upaya administratif terlebih dahulu.

Dengan demikian, keberatan yang hanya bersifat suatu protes atau

pengaduan yang tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan

seperti yang sering terjadi sehari-hari diajukan oleh seseorang atau

sekelompok orang kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang

mengeluarkan keputusan (dengan tembusan kemana-mana) bukanlah

suatu upaya administratif menurut pengertian UU PERATUN (Indroharto

2004:53). Hal yang perlu diperhatikan tentang penggunaan upaya

administratif ini adalah tidak mudahnya untuk menemukan peraturan

perundang-undangan yang didalamnya mengatur tentang mekanisme

upaya administratif.

Menurut penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN, upaya

administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang

atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu KTUN.

Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan

terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilaksanakan

oleh instansi lain dari yang mengeluarkan KTUN, maka prosedur tersebut

dinamakan “banding administratif”. Dalam hal penyelesaian KTUN

tersebut harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha negara

yang mengeluarkan KTUN itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut

“keberatan”.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN terdapat

2 (dua) macam upaya administratif, yaitu banding administratif dan

prosedur keberatan. Banding administratif berarti penyelesaian sengketa

Page 40: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 31

tata usaha negara dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari

yang mengeluarkan KTUN. Prosedur keberatan berarti penyelesaian

sengketa tata usaha negara diselesaikan oleh instansi yang mengeluarkan

KTUN itu sendiri.

Contoh mekanisme banding administratif yang diberikan oleh

penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PERATUN, antara lain: Keputusan

Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam

Staaatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan “Regeling van

het beroep in belasting zaken”, Keputusan Badan Pertimbangan

Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980

tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuan Pusat berdasarkan Undang-Undang

No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuan dan

Undang-Undang No.12 Tahun 1964, tentang Pemutusan Hubungan Kerja

di Perusahaan Swasta dan Keputusan Gubernur berdasarkan Pasal 10 ayat

(2) Undang-Undang Gangguan Staatsblad 1926 Nr. 226. Contoh dari

upaya administratif yang berupa prosedur keberatan adalah Pasal 25

Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan-Ketentuan umum

Perpajakan.

Selanjutnya, berdasarkan penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU

PERATUN, yang membedakan antara penyelesaian sengketa tata usaha

negara di pengadilan tata usaha negara dengan penyelesaian sengketa tata

usaha negara melalui upaya administratif adalah bahwa penyelesaian

sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif dilakukan

penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi

kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Sedangkan pengadilan tata

usaha negara hanya memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara

hanya melakukan pengujian terhadap KTUN yang disengketakan hanya

dari segi hukumnya saja.

Dengan demikian, berdasar UU PERATUN, penyelesaian sengketa

tata usaha negara meliputi: pertama, penyelesaian sengketa tata usaha

negara melalui upaya administratif (banding administratif maupun

keberatan) apabila peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

menentukan bahwa suatu sengketa tata usaha negara harus diselesaikan

dulu melalui upaya administratif. Gugatan di pengadilan tata usaha negara

hanya dapat dilakukan apabila upaya administratif yang tersedia telah

dilakukan. Kedua, penyelesaian melalui peradilan tata usaha negara, yaitu

melalui gugatan di pengadilan tata usaha negara, banding di pengadilan

tinggi tata usaha negara dan kasasi di Mahkamah Agung.

Page 41: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

32 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

2.5 Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara

Alasan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara adalah

bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Keputusan Tata Usaha

Negara (KTUN) yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum

pemerintahan yang baik. Gugatan di pengadilan tata usaha negara hanya

dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak

saat diterima atau diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara

(KTUN). Suatu gugatan di pengadilan tata usaha harus memuat: a. nama,

kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau

kuasanya; b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; c. dasar

gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan pengadilan. Petitum

pokok gugatan di pengadilan tata usaha negara adalah agar KTUN

dinyatakan batal atau tidak sah dengan petitum tambahan tuntutan ganti

rugi dan atau rehabilitasi khusus untuk sengketa kepegawaian.

2.5.1 Alasan-Alasan Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha

Negara

Mengajukan suatu gugatan ke pengadilan adalah tindakan yang

bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh

pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (Sudikono Mertokusumo

2003:6). Dalam sengketa tata usaha negara, mengajukan gugatan di

pengadilan tata usaha negara bertujuan agar hakim pengadilan tata usaha

negara menyatakan batal atau tidak sah KTUN yang disengketakan

karena KTUN itu telah merugikan kepentingan penggugat. Disamping itu,

penggugat juga dapat menuntut ganti rugi dan/atau rehabilitasi khusus

bagi sengketa di bidang kepegawaian.

Agar suatu gugatan yang diajukan oleh seorang penggugat

dikabulkan oleh hakim, maka suatu gugatan harus memenuhi syarat-

syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Pasal 53 ayat (2) UU

PERATUN menetapkan alasan-alasan gugatan di Pengadilan Tata Usaha

Negara, yaitu: KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau KTUN yang digugat itu

bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Menurut Philipus M. Hadjon, alasan menggugat pada dasarnya

adalah persoalan keabsahan (rechtmatigheid) dari suatu KTUN.

Keabsahan itu menyangkut wewenang, prosedur dan substansi. Tiga hal

tersebut diukur dengan peraturan tertulis dan/atau AUPB. Dengan

demikian sebetulnya alasan menggugat cukup dua, secara alternatif atau

Page 42: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 33

kumulatif, yaitu: a. KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan; b. KTUN tersebut bertentangan dengan AUPB

(rumusan Pasal 53 ayat 2 tidak logis). Menurut penjelasan Pasal 53 ayat

(2) UU PERATUN, KTUN yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan secara

prosedural/formal dan bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan secara materiil atau substantif.

KTUN yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam

peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal

merupakan KTUN yang cacat mengenai bentuknya (vormgebreken) dan

biasanya menyangkut mengenai persiapan, terjadinya, susunan atau

pengumuman keputusan yang bersangkutan (Wicipto Setiadi 1992:105).

Suatu KTUN bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan yang bersifat materiil/substantif adalah keputusan

yang cacat mengenai isi (inhoudsgebreken), misalnya, keputusan izin

mendirikan bangunan (IMB) yang bertentangan dengan rencana yang

telah ditentukan (ibid:105-106).

Selanjutnya alasan untuk mengajukan gugatan di pengadilan tata

usaha negara adalah KTUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas

umum pemerintahan yang baik (AUPB). Istilah AUPB berasal dari kata

bahasa Belanda algemene begineselen van behoorlijk bestuur (Ridwan

HR 2002:182). Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan secara beragam,

misalnya: dasar-dasar pemerintahan yang baik, asas-asas pemerintahan

yang baik, asas-asas pemerintahan yang layak, asas-asas pemerintahan

yang patut dan lain sebagainya. Penulis menggunakan istilah asas-asas

umum pemerintahan yang baik sesuai dengan istilah resmi yang

digunakan dalam UU PERATUN. Menurut Ridwan HR, AUPB adalah

asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam

penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian

penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, terhormat,

bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyelahgunaan

wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.

Menurut Jazim Hamaidi, asas-asas umum pemerintahan yang baik

(AUPB) memiliki pengertian sebagai berikut:

Page 43: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

34 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Tabel 8. Pengertian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

No Pengertian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

1

2

3

4

AUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang

dalam lingkungan hukum administrasi negara

AUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi

negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi

hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara

(yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar

pengajuan gugatan bagi pihak penggugat

Sebagian besar dari AUPB masih merupakan asas-asas yang tidak

tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktek kehidupan

di masyarakat

Sebagain asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan

terpancar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun

sebagian dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis,

namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.

Sumber: Jazim Hamaidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan

Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Peradilan

Administrasi Indonesia, 1999.

AUPB pada hakekatnya dapat dipergunakan sebagai salah satu

dasar untuk menguji bagi penyelesai atau hakim apakah perbuatan

pemerintahan yang telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan tertulis, yakni menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi,

serta kesesuaian menyangkut pedoman-pedoman yang tidak tertulis yakni

AUPB tersebut (Lutfi Effendi 2004:82).

Sebenarnya saat pembahasan Undang-Undang No.5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara di DPR, Fraksi ABRI mengusulkan

agar AUPB dimasukkan sebagai salah satu alasan gugatan terhadap

keputusan Badan/Pejabat TUN, akan tetapi usulan ini tidak diterima oleh

Pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail Saleh, selaku

Menteri Kehakiman waktu itu yang mewakili pemerintah (Ridwan HR

2002:188). Alasan pemerintah adalah dalam praktek ketatanegaraan

maupun dalam Hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia,

belum mempunyai kriteria tentang “algemene beginselen van behoorlijk

bestuur” yang berasal dari negara Belanda. Pada waktu itu kita belum

mempunyai tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di

negara-negara kontinental tersebut. Tradisi demikian bisa dikembangkan

melalui yurisprudensi yang kemudian akan menimbulkan norma-norma.

Page 44: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 35

Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha Negara kita selalu

dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang

konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali

dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkrit (ibid:188-189).

Namun demikian, menjelang ditetapkannya UU. No.5 Tahun 1986

ikatan alumni IIAP-LAN bekerja sama dengan MENPAN, lembaga

administrasi negara dan departemen kehakiman mengadakan lokakarya

14 Juli 1990 disepakati bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik

dapat menilai KTUN yang digugat (Lutfi Effendi 2004:83). Sampai

dengan diundangkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, AUPB memang tidak dimasukkan sebagai

alasan untuk menggugat KTUN di pengadilaan tata usaha negara. Baru

dengan perubahan Undang-Undang No.5 Tahun 1986, yaitu Undang-

Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang

No.5 Tahun 1986, AUPB diakui secara formal sebagai salah satu alasan

untuk menggugat KTUN di pengadilan tata usaha negara.

Meskipun AUPB tidak secara formal diakui oleh Undang-Undang

No. 5 Tahun 1986, namun praktek peradilan tata usaha negara

mendasarkan putusannya pada AUPB. Misalnya Putusan PT TUN Medan

No.37/BDG-gG/PL/PT.TUN/1992, pertimbangan hakim PTUN antara

lain: ...prosedur yang ditempuh tergugat sebelum menerbitkan SK. No

774/SK/1991 ternyata telah memenuhi asas-asas umum pemerintahan

yang baik yaitu melakukan: fair play, berdasarkan fakta yang nyata,

berhati-hati, menyatakan kepada yang berkepentingan (Philipus M.

Hadjon 1994:329). Putusan PT. TUN Jakarta No.017/G/1991/PT.TUN-

JKT tanggal 19 Agustus 1992 dengan pertimbangan hakim sebagai

berikut: Keputusan tergugat No.399/386/7-5/XVIII/PHK/8-91 tanggal 7

Agustus 1991 itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang ada dan AUPB yaitu asas keadilan (Suparto Wijoyo 2004:165).

Berdasarkan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan

Undang-Undang No.5 Tahun 1986, AUPB secara formal diakui sebagai

alasan untuk menggugat KTUN di PTUN (Pasal 53 ayat (2)). Namun

demikian, UU PERATUN tidak menerangkan apa yang dimaksud AUPB.

UU PERATUN hanya menyebutkan jenis-jenis AUPB dengan merujuk

pada Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nopetisme. AUPB

tersebut meliputi: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara,

keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas.

Menurut Kuncoro Purbopranoto, AUPB dikategorikan dalam 13

(tiga belas) asas, yaitu:

Page 45: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

36 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Tabel 9. Kategori Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

No Kategori Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Asas kepastian hukum (principle of legal security)

Asas keseimbangan (principle of proporcionalitas)

Asas kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh (principle of

equality)

Asas bertindak cermat (principle of carefulness)

Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of

motivation)

Asas jangan mencampuradukkan kewenangan ( principle of non

misuse of competence)

Asas permainan yang layak (principle of fair play)

Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or

prohition of arbitrariness)

Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting

raised expectation)

10 Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal

(principle of undoing the consequences of an annulled decision)

11 Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi

(principle of protecting the personal way of live)

12 Asas kebijaksanaan (sapientia)

13 Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public

service).

Sumber: Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata

Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, 1981.

Fungsi dari AUPB adalah untuk menguji keabsahan KTUN bebas.

KTUN bebas adalah KTUN yang didasarkan pada suatu kebebasan

bertindak yang lazimnya dikenal dengan asas “freies ermessen”

(discretionary power) (Philipus M. Hadjon 1994:145). Mengenai fungsi

AUPB untuk menguji keabsahan KTUN bebas dikatakan Philipus M.

Hadjon berkaitan pembagian KTUN terikat dan KTUN bebas. Relevansi

pembagian KTUN bebas dan KTUN terikat adalah kaitannya pada alat

ukur aspek “rechtmatigheid” suatu KTUN. Sah-tidaknya suatu KTUN

terikat diukur dengan peraturan tertulis sedangkan KTUN bebas kiranya

tidak dijangkau oleh peraturan tertulis. Dalam praktek pemerintahan

dewasa ini sudah dikembangkan asas hukum tak tertulis berupa asas-asas

umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk

bestuur) untuk mengukur KTUN bebas.

Page 46: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 37

Dengan demikian, keabsahan suatu KTUN terikat diuji dengan

peraturan tertulis (peraturan perundang-undangan) dan untuk keabsahan

KTUN bebas diuji dengan AUPB. Berdasar UU PERATUN setalah

perubahan, Pasal 53 ayat (2) mengakui secara tegas bahwa salah satu

alasan untuk menggugat suatu KTUN adalah karena bertentangan dengan

AUPB. Ketentuan yang demikian pada awalnya tidak diatur dalam

Undang-Undang No.5 Tahun 1986, namun, hakim dalam prakteknya

mengakui eksistensi AUPB dalam pertimbangannya untuk memberi

putusan di pengadilan tata usaha negara.

2.5.2 Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha

Negara

Hal sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang atau badan

hukum perdata yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan adalah

berkaitan dengan apakah ia mengajukan gugatan itu dalam waktu yang

masih diperbolehkan sehingga gugatannya akan diterima oleh pengadilan.

Jika seorang mengajukan gugatan dalam waktu yang sudah lewat akan

mengakibatkan gugatannya menjadi tidak diterima atau ditolak.

Tenggang waktu menggugat (beroepstermijn) lazim juga disebut

bezwaartermijn, verzoektermijn atau klaagtermijn. Tenggang waktu gugat

adalah batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum

perdata untuk memperjuangkan haknya dengan cara mengajukan gugatan

melalui peradilan administrasi (SF Marbun 1997:235). Dalam UU

PERATUN, mengenai tenggang waktu untuk mengajukan gugatan di

pengadilan tata usaha negara oleh orang atau badan hukum perdata diatur

dalam ketentuan Pasal 55 yang menentukan: “Gugatan dapat diajukan

hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari sejak saat diterimanya

atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara”.

Makna tenggang waktu sembilan puluh hari ini di jelaskan oleh

penjelasan Pasal 55 UU PERATUN: Bagi pihak yang namanya tersebut

dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu

sembilan puluh hari itu sejak diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara

yang digugat. Lebih lanjut Penjelasan Pasal 55 UU PERATUN

menyatakan: Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan

menurut ketentuan: a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu sembilan

puluh hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan

dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya

permohonan yang bersangkutan; b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang

waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu

empat bulan yang sejak tanggal diterimanya permohonan yang

Page 47: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

38 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

bersangkutan. Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu

keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh

hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.

Berdasarkan Pasal 55 UU PERATUN beserta penjelasannya,

tenggang waktu untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha

Negara terhadap semua KTUN adalah 90 (sembilan puluh) hari, yang

membedakan adalah saat mulai dihitungnya waktu 90 (sembilan puluh)

hari tersebut, yaitu:

Tabel 10. Ketentuan Saat Mulai Menghitung Waktu 90 Hari

No Saat Mulai Menghitung Waktu 90 Hari

1

Untuk KTUN biasa (positif) berwujud yang tertuju kepada alamat

yang dituju, maka saat mulai dihitungnya 90 hari adalah menurut

bunyi rumusan Pasal 55,yaitu sejak hari diterima KTUN yang

bersangkutan; atau sejak hari pengumumannya, kalau hal itu

diharuskan oleh peraturan dasarnya.

2 Untuk KTUN yang telah melewati upaya administratif, maka 90

hari tersebut dihitung sejak diterimanya KTUN yang diputus dari

instansi upaya administratif yang bersangkutan.

3 Untuk keputusan fiktif bedanya terletak pada apakah dalam

peraturan dasarnya ditentukan ada tidaknya tenggang waktu dalam

batas mana badan atau pejabat TUN harus sudah mengadakan

reaksi atas suatu permohonan yang telah masuk:

Kalau ada ketentuan tenggang waktu harus mengeluarkan

keputusan, maka tenggang waktu 90 hari dihitung sejak habisnya

kesempatan mengambil suatu KTUN yang bersangkutan.

Sedang apabila tidak ada ketentuan tenggang waktu untuk

mengambil suatu KTUN yang dimohon, maka tenggang waktu 90

hari itu dihitung setelah lewat empat bulan sejak permohonan yang

bersangkutan diterima.

Sumber: Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Perdilan

Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha

Negara,2005.

Berkaitan dengan tenggang waktu untuk mengajukan gugatan,

Mahkamah Agung pernah menerbitkan SEMA No.2 Tahun 1992, yang

diantaranya menyatakan bahwa: “Bagi mereka yang tidak dituju oleh

suatu KTUN tetapi merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang

waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kausistis

Page 48: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 39

sejak saat merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN dan mengetahui

adanya KTUN tersebut”.

Apa yang ditentukan oleh SEMA diatas adalah berkaitan dengan

pihak ke III yang secara tidak langsung dituju oleh suatu KTUN, namun

kepentingannya dirugikan oleh terbitnya suatu KTUN. Pihak ke III ini

dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara yang

tenggang waktunya adalah sejak pihak ke III ini merasa kepentingannya

dirugikan oleh KTUN dan mengetahui adanya KTUN tersebut.

Persoalannya adalah bagaimana jika pihak ke III ini merasa

kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dan ia mengetahui adanya

KTUN tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama (misalnya sudah

puluhan tahun), apakah ia masih punya hak untuk menggugat KTUN itu.

Apa yang diatur dalam SEMA ini sangat bertentangan dengan asas

kepastian hukum. SEMA ini memungkinkan seseorang untuk mengajukan

gugatan terhadap KTUN yang telah diterbitkan puluhan tahun silam.

2.5.3 Syarat-Syarat Gugatan

Gugatan yang diajukan oleh seorang penggugat di pengadilan tata

usaha negara harus memenuhi syarat-syarat gugatan yang telah ditentukan

oleh UU PERATUN. Pasal 56 ayat (1) menentukan bahwa suatu gugatan

harus memuat: a. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan

penggugat, atau kuasanya; b. Nama, jabatan, dan tempat kedudukan

tergugat; c. Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh

Pengadilan.

Apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) diatas adalah

suatu kelaziman dalam mengajukan gugatan disemua jenis peradilan.

Suatu gugatan harus memenuhi identitas para pihak, yaitu pihak

penggugat maupun pihak tergugat. Identitas penggugat yang harus dimuat

dalam gugatan adalah meliputi nama, kewarganegaraan, tempat tinggal

dan pekerjaan penggugat. Identitas tergugat yang harus dimuat dalam

gugatan adalah nama, jabatan dan tempat kedudukan tergugat.

Selain memuat identitas para pihak, gugatan juga harus memuat

dasar-dasar atau alasan-alasan gugatan yang biasa disebut dengan istilah

posita atau fundamentum petendi. Suatu gugatan memuat juga tentang

petitum, yaitu apa yang diinginkan oleh penggugat supaya diputus oleh

hakim.

Gugatan yang diajukan oleh seorang penggugat yang didampingi

seorang kuasa, maka gugatan harus disertai dengan surat kuasa yang sah.

Namun, adanya kuasa dalam gugatan tata usaha negara adalah bersifat

Page 49: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

40 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

alternatif dan bukan suatu keharusan. Artinya penggugat dapat

mengajukan gugatannya sendiri atau dengan pemberian kuasa.

Gugatan yang diajukan oleh penggugat diisyaratkan dalam bentuk

tertulis karena gugatan itu nantinya akan menjadi pegangan pengadilan

dan para pihak selama pemeriksaan perkara. Namun demikian, penggugat

yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk

menggugat itu kepada panitera pengadilan yang akan membantu

merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.

Pemberian kuasa oleh penggugat kepada kuasanya dapat dilakukan

dengan surat kuasa khusus atau bahkan dengan lisan pada saat

persidangan. Menurut Pasal 58 UU PERATUN, hakim masih berwenang

untuk memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang

menghadap sendiri ke persidangan, meskipun para pihak sudah diwakili

oleh seorang kuasa apabila memang hal untuk itu dipandang perlu.

Untuk mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara,

penggugat harus membayar uang muka biaya perkara yang besarnya

ditaksir oleh panitera pengadilan. Uang muka biaya perkara adalah biaya

yang dibayar terlebih dahulu sebagian uang panjar oleh pihak penggugat

terhadap perkiraan biaya perkara yang diperlukan dalam proses

berperkara seperti kepaniteraan, biaya materai, biaya saksi, biaya ahli,

biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang sidang dan

biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim.

Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan

akan dicatat dalam daftar perkara oleh panitera pengadilan. Selambat-

lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah gugatan

dicatat, hakim menentukan waktu dan tempat pelaksanaan persidangan

dan menyuruh memanggil para pihak (penggugat dan tergugat) untuk

hadir pada tempat dan waktu yang telah ditentukan.

Dalam menentukan hari sidang, hakim harus memperhatikan jauh

dekatnya tempat tinggal para pihak dari lokasi tempat persidangan.

Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari

6 (enam) hari, kecuali dalam sengketa yang harus diperiksa dengan acara

cepat.

Pemanggilan terhadap para pihak yang bersangkutan dilakukan

dengan surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.

Pemanggilan untuk pihak tergugat dilakukan dengan surat panggilan yang

disertai dengan sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa

gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.

Bagi penggugat yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara

maka dapat mengajukan permohonan untuk bersengketa secara gratis

Page 50: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 41

(prodeo) kepada ketua pengadilan. Permohonan diajukan oleh penggugat

pada waktu mengajukan gugatannya dengan disertai surat keterangan

tidak mampu dari kepala desa atau lurah ditempat kediaman pemohon.

Permohonan untuk beracara gratis diatas harus diperiksa dan

ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Apabila

pengadilan mengabulkan permohonan untuk beracara secara gratis ini,

maka hal ini akan berlaku untuk pengadilan tingkat pertama, tingkat

banding dan tingkat kasasi.

Dalam mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara,

penggugat sedapat mungkin menyertakan KTUN yang dipersengketakan

(Pasal 56 ayat (3). Melihat rumusan yang menyatakan “sedapat mungkin”

berarti bukan suatu keharusan atau kewajiban melainkan suatu pilihan

atau anjuran. Memang penggugat tidak mungkin untuk menyertakan

KTUN apabila KTUN yang digugat adalah KTUN negatif. Di sini

penggugat mengajukan gugatan karena memang badan atau pejabat tata

usaha negara tidak menerbitkan KTUN yang dimohonkan sampai

tenggang waktu yang telah ditentukan. Apabila yang digugat bukan suatu

KTUN negatif, maka sudah seharusnya penggugat menyertakan KTUN

yang digugat tersebut dalam rangka kemudahan dan kelancaran

pemeriksaan oleh hakim.

Menurut Pasal 62 dan 63 UU PERATUN, hakim berwenang untuk

melakukan rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan sebelum

melakukan pemeriksaan pokok sengketa untuk memeriksa apakah

gugatan yang diajukan oleh penggugat telah memenuhi persyaratan yang

telah ditentukan. Apabila gugatan yang diajukan tidak memenuhi

persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan, hakim dapat mengeluarkan

suatu penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar.

2.5.4 Petitum Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara

Seseorang yang mengajukan gugatan di pengadilan pastinya

menginginkan agar hakim memutus sesuai apa yang dikehendakinya. Apa

yang diinginkan oleh seorang penggugat dalam gugatannya dikenal

dengan istilah petitum. Petitum dalam sengketa tata usaha negara di

pengadilan tata usaha negara ditentukan oleh Pasal 53 ayat (1) UU

PERATUN: Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat

mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang

berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu

dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti

rugi dan/atau rehabilitasi.

Page 51: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

42 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Penjelasan Pasal 53 ayat (1) menentukan: Berbeda dengan gugatan

dimuka pengadilan perdata, maka apa yang dituntut dimuka Pengadilan

Tata Usaha Negara itu terbatas pada satu macam tuntutan pokok yang

berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugikan

kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Tuntutan

tambahan yang dibolehkan hanya tuntutan ganti rugi dan hanya dalam

sengketa kepegawaian sajalah dibolehkan adanya tuntutan tambahan

lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.

Ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN diatas juga harus

dikaitkan dengan Pasal 3 UU PERATUN tentang KTUN negatif dan

Pasal 117 ayat (2) tentang tuntutan sejumlah uang kompensasi. Dari situ

akan diperoleh tuntutan apa saja yang dapat diajukan dalam gugatan: 1.

Tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN itu

dinyatakan batal atau tidak sah;atau 2. Tuntutan agar badan atau pejabat

TUN yang digugat untuk mengeluarkan KTUN yang dimohonkan

penggugat; dengan atau tanpa 3. Tuntutan ganti kerugian; dan atau 4.

Tuntutan rehabilitasi dengan atau tanpa kompensasi (Zairin Harahap

1997:100).

Ganti kerugian adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang

atau badan hukum perdata atas beban badan tata usaha negara

berdasarkan putusan TUN karena adanya kerugian materiil yang diderita

oleh penggugat (Pasal 1 angka 1 PP No.43 Tahun 1991 tentang Ganti

Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Pengadilan Tata Usaha

Negara). Besarnya jumlah ganti kerugian yang dapat diperoleh penggugat

dalam sengketa tata usaha negara paling sedikit Rp. 250.000 (dua ratus

lima puluh ribu rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000 (lima juta

rupiah) dengan memperhatikan keadaan yang nyata (Pasal 3).

Rehabilitasi adalah merupakan hak penggugat dalam kemampuan

kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti

semula, sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam pemulihan

hak tersebut termasuk juga hak-haknya yang timbulkan oleh kemampuan

kedudukan, dan harkatnya sebagai pegawai negeri (penjelasan Pasal 121

ayat (2) UU PERATUN). Rehabilitasi ini hanya diperbolehkan dalam

sengketa tata usaha negara bidang kepegawaian saja.

2.6 Acara Pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha Negara

Acara pemeriksaan di peradilan tata usaha negara meliputi acara

pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan cepat, dan acara pemeriksaan

singkat. Dalam pemeriksaan acara biasa, tahapan penanganan sengketa

meliputi: melakukan penelitian administratif (prosedur dismissal),

Page 52: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 43

pemeriksaan persiapan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pemeriksaan dengan acara cepat diajukan oleh penggugat dengan

mengajukan suatu permohonan kepada ketua pengadilan agar perkaranya

diperiksa dengan acara cepat. Permohonan itu diajukan dalam gugatannya

dengan alasan adanya kepentingan penggugat yang cukup mendesak.

Acara pemeriksaan singkat dilakukan dalam hal perlawanan terhadap

penetapan ketua pengadilan (pengadilan tata usaha negara) bahwa

gugatan tidak diterima atau tidak berdasar sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 62 ayat (1) dan terdapat keadaan mendesak mengakibatkan

penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat itu dilaksanakan.

Menurut P.W.A Geritzen Rode, pemeriksaan gugatan di peradilan

administrasi tingkat pertama, di samping dilakukan dengan acara biasa

juga dengan acara luar biasa (Sjahran Basah 1992:5). Beracara menurut

acara biasa, secara garis besar prosesnya dapat dibagi atas tindakan

sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dan pada pemeriksaan di

(muka) sidang pengadilan dengan berbagai ragam pentahapan yang harus

dilalui (Suparto Wijoyo 2004:56). Beracara dengan luar biasa

dilaksanakan melalui acara cepat (versnelde procedures) dan acara

singkat (kort-geding) (ibid). Hukum acara pemeriksaan di pengadilan tata

usaha negara dapat dilakukan dengan pemeriksaan biasa, pemeriksaan

cepat dan pemeriksaan singkat.

2.6.1 Acara Pemeriksaan Biasa

Yang dimaksud dengan acara biasa adalah jalannya proses dari tiap

gugatan yang masuk, kalau tidak diterapkan acara-acara khusus, seperti

acara singkat, acara cepat, acara yang dipakai dalam menyelesaikan

permohonan untuk penundaan pelaksaan keputusan yang sedang digugat

dan acara untuk menangani permohonan untuk beracara dengan cuma-

Cuma. Acara biasa ini adalah acara yang normal ditempuh dan yang

seharusnya dilalui oleh tiap gugatan yang diajukan (Indroharto 2004:66).

Suatu gugatan tata usaha negara dilakukan dengan acara

pemeriksaan biasa disebabkan adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama,

karena permohonan penggugat agar gugatannya diperiksa dengan acara

cepat tidak diterima, sedangkan upaya hukum lain tidak disediakan untuk

itu. Kedua, karena kemauan penggugat sendiri, sebab penggugat tidak

mengajukan permohonan agar gugatannya diperiksa dengan acara cepat

(SF Marbun 1988:107).

Dalam pemeriksaan acara biasa, tahapan penanganan sengketa

meliputi: melakukan penelitian administratif (prosedur dismissal),

pemeriksaan persiapan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Penelitian

Page 53: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

44 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

administratif (prosedur dismissal) diatur dalam ketentuan Pasal 62 ayat

(1), sedangkan Tahapan pemeriksaan persiapan diatur dalam ketentuan

Pasal 63 UU PERATUN.

Tahap rapat permusyawaratan adalah untuk menentukan apakah

suatu gugatan dapat diterima atau tidak dapat diterima. Suatu gugatan

akan tidak diterima apabila terpenuhi unsur-unsur seperti yang disebutkan

oleh Pasal 62 ayat (1) UU PERATUN, yaitu Setelah tahapan rapat

permusyawaratan dilalui, tahap selanjutnya dalam pemeriksan dengan

acara biasa adalah tahapan pemeriksaan persiapan.

Dalam tahap rapat permusyawaratan ketua pengadilan tata usaha

negara berwenang memutuskan dengan suatu penetapan bahwa gugatan

dapat diterima atau tidak berdasar, dalam hal: a. Pokok sengketa tersebut

nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan; b. Syarat-syarat

gugatan sebagaimana dimaksud dalam 56 tidak dipenuhi oleh penggugat

sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan (Pasal 62 ayat (1).

Penetapan bahwa suatu gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar

diucapkan dalam rapat permusyawaratan sehari sebelum hari persidangan

ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya

(Pasal 62 ayat (2) huruf a). Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan

dengan suara tercatat oleh panitera pengadilan atas perintah ketua

pengadilan (Pasal 62 ayat (2) huruf b).

Terhadap penetapan ketua pengadilan tata usaha negara dapat

dilakukan upaya hukum perlawanan dalam jangka waktu empat belas hari

setelah penetapan diucapkan (Pasal 62 ayat (3) huruf a). Perlawananan

dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 56 UU PERATUN. Perlawanan

diperiksa dan diputus oleh pengadilan dengan acara singkat (Pasal 62 ayat

4). Dalam hal perlawanan dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan

bahwa gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar

sebagaimana ketentuan Pasal 62 ayat (1) gugur demi hukuim dan pokok

gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.

Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat dilakukan upaya

hukum (Pasal 62 ayat 6).

Setelah tahapan rapat permusyawaratan dilalui, tahap selanjutnya

dalam pemeriksan dengan acara biasa adalah tahapan pemeriksaan

persiapan sebagaimana diatur pada Pasal 63 UU PERATUN. Dalam

tahapan pemeriksaan persiapan ini dimaksudkan untuk melengkapi

gugatan yang kurang jelas.

Dalam tahap pemeriksaan persiapan hakim dapat melakukan dua

hal, yaitu: pertama, hakim wajib memberi nasehat kepada penggugat

untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang

Page 54: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 45

diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. Kedua, hakim dapat

meminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang

bersangkutan. Untuk yang pertama bersifat imperatif atau wajib

sedangkan yang kedua bersifat pilihan. Namun demikian, Pasal 63 ayat

(2) UU PERATUN beserta penjelasannya tidak menjelaskan mengenai

penjelasan apa yang diminta oleh hakim kepada badan atau pejabat tata

usaha negara yang bersangkutan tersebut.

Dalam Penjelasan Pasal 63 ayat (1) dinyatakan bahwa pemeriksaan

persiapan adalah kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa tata

usaha negara. Dalam pemeriksaan persiapan hakim dapat meminta

penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang

bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.

Wewenang hakim ini dimaksudkan untuk mengimbangi dan mengatasi

kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan informasi atau

data yang diperlukan dari badan atau pejabat tata usaha negara mengingat

bahwa penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara kedudukannya

tidak sama.

Apabila dalam jangka waktu tiga puluh hari sebagaimana dimaksud

Pasal 63 ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatannya,

maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat

diterima (Pasal 63 ayat 3). Terhadap putusan hakim yang menyatakan

bahwa gugatan tidak dapat diterima tidak dapat dilakukan upaya hukum,

tetapi penggugat dapat mengajukan gugatan baru (Pasal 63 ayat 4).

Apabila hakim menilai gugatan yang diajukan oleh penggugat telah

lengkap, tahap selanjutnya dalah tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pemeriksaan sidang dengan acara biasa diatur dalam ketentuan Pasal 68

sampai dengan Pasal 97 UU PERATUN.

Dalam pemeriksaan dengan acara biasa maka sidang dilakukan

oleh majelis hakim dengan 3 (tiga) orang hakim. Persidangan adalah

terbuka untuk umum, kecuali apabila majelis hakim memandang bahwa

sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau

keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.

Apabila penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan hari

pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa

disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun

setiap kali dipanggil dengan patut, maka gugatan dinyatakan gugur dan

penggugat harus membayar biaya perkara. Penggugat berhak

memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah penggugat membayar uang

muka biaya perkaara. Apabila yang tidak hadir adalah tergugat atau

kuasanya di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan juga tidak

Page 55: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

46 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,

meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka hakim ketua

sidang meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat hadir dan

atau menanggapi gugatan. Permintaan itu dilakukan dengan suatu surat

penetapan.

Apabila setelah lewat waktu 2 (dua) bulan sesudah dikirimkan surat

penetapan tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari

tergugat sendiri, maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang

berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa

dengan tanpa hadirnya tergugat. Putusan terhadap pokok gugatan dapat

dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya

dilakukan secara tuntas.

Dengan demikian, jelaslah dalam hukum acara pengadilan tata

usaha negara tidak dikenal adanya putusan verstek, meskipun akhirnya

ada kesan seperti itu, tetapi harus diingat putusan verstek tidak

memerlukan pemeriksaan pokok perkara dan segi pembuktiannya

dilakukan secara tuntas (Zairin Harahap 1997:124). Terhadap putusan tata

usaha negara ini tidak dapat dilakukan upaya hukum.

Dalam hukum acara perdata, verstek adalah pernyataan, bahwa

tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus datang.

Verstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak tergugat kesemuanya tidak

datang menghadap pada sidang yang pertama, dan, apabila perkara

diundurkan sesuai dengan Pasal 126 HIR, juga pihak tergugat

kesemuanya tidak datang menghadap lagi (Retnowulan Sutantio dan

Iskandar Oeripkartawinata 1997:25). Terhadap putusan verstek pihak

tergugat dapat melakukan upaya hukum berupa perlawanan sesuai dengan

ketentuan Pasal 129 HIR.

2.6.2 Acara Pemeriksaan Cepat

Mengenai makna acara pemeriksaan cepat, Indroharto menyatakan

bahwa acara pemeriksaan cepat pada dasarnya merupakan percepatan dari

jalannya proses pemeriksaan dan pemutusan pokok sengketa dari gugatan

yang masuk. Percepatan jalannya proses itu dapat dicapai dengan

penyingkatan tenggang-tenggang dan atau tidak diterapkan atau

disederhanakannya unsur-unsur yang terdapat dalam acara biasa. Tujuan

percapatan jalannya acara itu adalah untuk memperoleh putusan yang

lebih cepat dari sengketa yang diajukan.

Mengenai latar belakang diperlukannya acara pemeriksaan cepat,

Indroharto menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh karena

diperkirakan rata-rata tiap perkara kalau harus diperiksa dengan acara

Page 56: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 47

biasa akan memakan waktu lama, mungkin setengah tahun, mungkin

setahun dua tahun atau lebih seperti yang dialami di Nederland. Karena

itu diperlukan adanya suatu prosedur yang dapat mempercepat jalannya

prosedur biasa.

Menurut Philipus M. Hadjon, terdapatnya pemeriksaan dengan

acara cepat dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, karena

pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku

untuk acara biasa. Pengecualian-pengecualian itu dapat terjadi, karena

alasan-alasan tertentu, yang membawa akibat terhadap: a. Pemeriksaan

unus judex bukan hakim majelis (Pasal 99 ayat (1) yang merupakan

pengecualian terhadap Pasal 68 ayat (1); b. Prosesnya dengan meniadakan

prosedur pemeriksaan persiapan (Pasal 99 ayat (2) yang merupakan

pengecualian terhadap Pasal 63); c. Waktu untuk jarak antara

pemanggilan serta hari sidang boleh kurang dari 6 hari (Pasal 64 ayat (2),

pemeriksaan dipersempit, yaitu sejak gugatan didaftar sampai dengan

pembuktian selesai berlangsung selama 35 hari dengan perincian sebagai

berikut: c.1 14 hari setelah diterima permohonan ketua pengadilan (tata

usaha negara) mengeluarkan penetapan (Pasal 98 ayat (2); c.2 7 hari

setelah dikeluarkan penetapan, ketua pengadilan (tata usaha negara)

menentukan hari, tempat, dan waktu sidang (Pasal 99 ayat (2); c.3 14 hari

waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak (Pasal 98

ayat (3). Demikian pula jarak waktu untuk putusanpun dipercepat.

Dalam UU PERATUN, prosedur beracara dengan acara cepat

hanya diatur dalam ketentuan 2 (dua) pasal saja, yaitu Pasal 98 dan 99.

Menurut ketentuan Pasal 98, pemeriksaan dengan acara cepat dapat

diajukan oleh penggugat dengan mengajukan suatu permohonan kepada

ketua pengadilan agar perkaranya diperiksa dengan acara cepat.

Permohonan itu diajukan dalam gugatannya dengan alasan adanya

kepentingan penggugat yang cukup mendesak.

Namun demikian, Pasal 98 UU PERATUN beserta penjelasannya

tidak menjelaskan kriteria atau ukuran “kepentingan penggugat yang

cukup mendesak” itu. Penjelasan Pasal 98 hanya mencontohkan

kepentingan penggugat itu mendesak apabila kepentingan itu menyangkut

KTUN yang misalnya berisi tentang pembongkaran bangunan atau

rumah.

Terhadap permohonan penggugat ini, pengadilan harus

memberikan penetapan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)

hari, apakah permohonan itu ditolak atau dikabulkan. Apabila

permohonan itu ditolak tidak dapat digunakan upaya hukum.

Page 57: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

48 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Apabila permohonan acara cepat yang diajukan oleh penggugat

dikabulkan oleh pengadilan, ketua pengadilan pengadilan tata usaha

negara mengeluarkan penetapan yang menentukan hari, tempat, dan

waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan menurut

Pasal 63. Dalam prosedur acara cepat, tenggang waktu untuk jawaban dan

pembuktian bagi para pihak (penggugat dan tergugat) ditentukan tidak

boleh melebihi empat belas hari.

Berbeda dengan pemeriksaan acara biasa yang yang diperiksa oleh

majelis hakim (tiga orang hakim), maka dalam pemeriksaan acara cepat

diperiksa oleh hakim tunggal. Dalam pemeriksaan acara cepat, yang

dipercepat itu baik pemeriksaannya maupun juga pemutusan sengketanya.

Pemeriksaan dengan acara cepat ini memiliki kelebihan-kelebihan

dan juga kekurangan-kekurangan tertentu. Keuntungan yang diperoleh

dari pemeriksaan dengan acara cepat adalah bahwa keputusan mengenai

hukumnya dari sengketa yang diajukan lebih cepat diperoleh. Hal ini

tentu sangat bermanfaat bagi penggugat mengingat gugatan yang diajukan

tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat. Bagi tergugat akan

segera mengetahui apakah KTUN yang digugat itu sah atau tidak sah, ini

perlu diperhatikan bila tergugat akan mengeluarkan KTUN yang serupa

dimasa mendatang (Indroharto 2004:159).

Kekurangan-kekurangan dari pemeriksaan acara cepat, diantaranya:

bagi pihak ketiga mengandung resiko yang cukup besar, apabila pihak

ketiga mengetahi adanya keputusan pengadilan yang menyangkut

kepentingan atau haknya sudah terlambat, sehingga pihak ketiga ini tidak

dapat masuk dalam proses guna mempertahankan kepentingan atau hak-

haknya tersebut. Dengan percepatan proses peradilan juga memungkinkan

mengandung resiko bahwa fakta-fakta yang digunakan sebagai dasar

penilaian tidak begitu kuat dan menyakinkan bila dibandingkan dengan

pemeriksaan acara biasa.

2.6.3 Acara Pemeriksaan Singkat

UU PERATUN menentukan bahwa acara pemeriksaan singkat

dapat dilakukan dalam hal perlawanan terhadap penetapan ketua

pengadilan (pengadilan tata usaha negara) bahwa gugatan tidak diterima

atau tidak berdasar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 ayat (1) dan

terdapat keadaan mendesak mengakibatkan penggugat sangat dirugikan

jika KTUN yang digugat itu dilaksanakan (Philipus M. Hadjon et all

1994:360). Perlawanan dilakukan oleh penggugat untuk melawan hasil

rapat permusyawaratan yang menentukan bahwa gugatannya itu tidak

Page 58: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 49

diterima atu dinyatakan tidak berdasar. Perlawanan ini dilakukan hanya

dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah penetapkan diucapkan.

Acara pemeriksaan cepat juga berkaitan dengan ketentuan bahwa

gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat. Ketentuan

semacam ini tentu sangat berpotensi untuk merugikan kepentingan

penggugat. Untuk menghindari kerugian tersebut penggugat dapat

mengajukan permohonan agar pelaksanaan KTUN tersebut ditunda

pelaksanaannya selama pemeriksaan sengketa tata usaha negara, sampai

dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Permohonan penundaan pelaksanaan KTUN diatas dapat diajukan

sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok

sengketanya. Permohonan tersebut akan dikabulkan apabila dipenuhi

persyaratan yang ditentukan oleh penjelasan Pasal 67: a. Terdapat

keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita

penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi

kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata

Usaha Negara tersebut; b. Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara

yang digugat itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum

dalam rangka pembangunan. Dalam UU PERATUN sendiri meskipun

memperkenalkan proses beracara dengan acara singkat, namun tidak

diatur lebih lanjut apa yang dimaksud dengan acara singkat yang harus

ditempuh oleh pengadilan pada waktu menyelesaikan atau memutus

perkara gugatan dengan acara singkat (Indroharto 2004:149).

Dengan acara pemeriksaan cepat ini akan diperoleh keuntungan-

keuntungan tertentu, yaitu pembuat undang-undang bermaksud agar

rintangan-rintangan yang mungkin akan menjadi penghalang dalam

penyelesaian secara cepat sengketa-sengketa tata usaha negara sedapat

mungkin dapat disingkirkan. Acara pemeriksaan cepat juga untuk

menanggulangi arus masuknya perkara-perkara yang sebenarnya tidak

memenuhi syarat untuk diproses sebagai suatu gugatan yang diperkirakan

juga akan membanjir di Pengadilan Tata Usaha Negara.

2.7 Pembuktian

Alat-alat bukti dalam sengketa tata usaha negara meliputi: alat

bukti surat atau tulisan, alat bukti keterangan ahli, alat bukti keterangan

saksi, alat bukti pengakuan para pihak, dan alat bukti pengakuan para

pihak. Untuk keadaan yang telah diketahui umum tidak perlu dibuktikan.

Pembuktian dalam sengketa tata usaha negara harus minimal dengan dua

alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Page 59: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

50 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

2.7.1 Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Setiap proses perkara di pengadilan, baik di pengadilan umum

maupun pengadilan tata usaha negara pasti akan ditempuh suatu proses

pembuktian. Pembuktian adalah bagian penting dalam hukum acara.

Menurut Indroharto, salah satu hal penting yang selalu harus dilakukan

oleh hakim dalam pemeriksaan pengadilan adalah: dengan cara yang tepat

(menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan pembuktian)

menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang relevan untuk

digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan akhir nanti yang

disingkat dengan kata pembuktian, disamping penerapan hukum

(rechtstoepassing) serta kadangkala menemukan hukum (rechtsvinding).

Dalam pembuktian hakim menetapkan fakta-fakta yang relevan

yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan

putusannya. Tugas hakim dalam pembuktian adalah menetapkan hukum

atau undang-undang, menetapkan apa yang hukum antara dua pihak yang

bersangkutan itu (Subekti 1982:79). Dalam melakukan pembuktian hakim

terikat oleh aturan-aturan yang disebut hukum pembuktian. Hukum

pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus

diindahkan dalam melangsungkan pertarungan dimuka hakim, antara

kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan (Subekti 2008:2).

Apabila penggugat menginginkan gugatannya dikabulkan oleh

hakim, maka penggugat harus berhasil menyakinkan hakim tentang dalil-

dalil gugatannya. Demikian juga tergugat harus menyakinkan hakim

dalam dalil-dalil jawabannya agar gugatan penggugat ditolak.

Membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau

dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (ibid).

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya

peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena

hakim yang harus mengkonstair peristiwa, mengkwalisirnya, dan

kemudian mengkonstituir, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim

yang didasarkan atas pembuktian tersebut (Sudikno Mertokusumo

2006:136). Tujuan pembuktian adalah untuk menunjukkan alat-alat bukti

tertentu kepada hakim, sehingga memberikan kepastian kepada hakim

adanya fakta-fakta hukum yang disengketakan untuk kemudiaan dijadikan

dasar pertimbangan dalam keputusannya (SF Marbun 1988:124).

Baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara peradilan

tata usaha negara hakim memerlukan pembuktian sebagai dasar untuk

mengambil putusan. Dalam pembuktian hukum acara perdata berlaku

ketentuan Pasal 1865 BW/Pasal 163 RIB/Pasal 283 RDS yang

menentukan “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu

Page 60: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 51

hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak

orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan

adanya hak atau peristiwa tersebut”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1865

BW/Pasal 163 RIB/Pasal 283 RDS, dalam hukum acara perdata berlaku

asas actori incumbit probatio, yang berarti barang siapa mengajukan

suatu tuntutan harus dibebani dengan pembuktian.

Dalam pembuktian hukum acara perdata ditentukan alat-alat bukti

dalam ketentuan Pasal 1866 BW/Pasal 164 RIB/283 RDS, yaitu: a. Bukti

tulisan; b. Bukti dengan saksi-saksi; c. Persangkaan-persangkaan; d.

Pengakuan; e. Sumpah. Hakim perdata terikat sepenuhnya oleh alat-alat

bukti yang disebutkan diatas. Hakim perdata menghadapi suatu alat bukti

yang sah dan mengikat.

Bila dalam hukum pembuktian acara perdata beban pembuktiannya

sudah ditentukan dipihak penggugat, serta hakim terikat oleh alat-alat

bukti sah yang disebutkan dalam undang-undang maka tidak demikian

dengan hukum pembuktian dalam hukum acara peradilan tata usaha

negara. Indroharto mengatakan bahwa berbeda dengan ajaran pembuktian

yang berlaku dalam hukum acara perdata, maka umumnya dalam literatur

dikatakan, bahwa hukum pembuktian yang berlaku dalam hukum acara

TUN seperti di Nederland umumnya adalah ajaran pembuktian bebas.

Karena hakim administrasi disana pada dasarnya bebas dalam

menentukan luas pembuktian, beban pembuktian, penilaian hasil

pembuktian maupun dalam penentuan alat-alat pembuktian yang

digunakan untuk membuktian suatu fakta.

Dalam Penjelasan Pasal 107 UU PERATUN dinyatakan bahwa

Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran

material. Berbeda dengan sistem pembuktian dalam hukum acara perdata,

maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam

pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para

pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri: a.

apa yang harus dibuktikan; b. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal

apa yang harus dibuktikan para pihak yang berperkara dan hal apa saja

yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri; c. alat bukti mana saja yang

diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian; dan d. Kekuatan

pembuktian yang telah diajukan.

Dalam hukum acara peradilan tata usaha negara berlaku ajaran

pembuktian bebas. Dalam ajaran pembuktian bebas terkandung

pengertian: a. Hakim administrasi menentukan luas pembuktian; b.

Hakim adminstrasi menentukan beban pembuktian; c. Hakim administrasi

Page 61: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

52 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

menentukan penilaian hasil pembuktian; d. Hakim administrasi

menentukan alat-alat pembuktian.

Bila dikaji UU PERATUN menganut hukum pembuktian bebas

yang terbatas, yaitu kebebasan hakim dibatasi oleh alat-alat bukti yang

telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 100 UU PERATUN.

Wewenang hakim juga dibatasi oleh ketentuan Pasal 107 UU PERATUN

untuk menilai sahnya pembuktian, yaitu paling sedikit harus ada dua alat

bukti yang sah berdasarkan keyakinan hakim.

2.7.2 Alat-Alat Bukti

Alat bukti adalah segala apa yang menurut undang-undang dapat

dipakai untuk membuktikan sesuatu (Subekti dan Tjitrosoedibio 1980:8).

Alat-alat bukti dalam hukum acara peradilan tata usaha negara menurut

Pasal 100 ayat (1) UU PERATUN meliputi: a. surat atau tulisan; b.

Keterangan ahli; c. keterangan saksi; d. Pengakuan para pihak; dan e.

Pengetahuan hakim. Pasal 100 ayat (2) menyatakan bahwa keadaan yang

telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan. Lebih lanjut Pasal 107

menyatakan bahwa hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban

pembuktian berserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian

diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan

hakim.

Ketentuan tentang alat-alat bukti dan keyakinan hakim

sebagaimana disebutkan Pasal 100 dan 107 UU PERATUN diatas

menurut Philipus M. Hadjon et.al adalah ketentuan yang lazim dalam

hukum acara perdata. Hal seperti itu seyogyanya tidak perlu untuk hukum

acara peradilan tata usaha negara. Dalam hukum acara Peradilan Tata

Usaha Negara yang dipersoalkan ialah sah-tidaknya sebuah KTUN

(persoalan rechtmatigheid). Persoalan rechtmatigheid menyangkut alat

ukur. Dalam hal ini yang perlu ialah alat ukur yang digunakan hakim

untuk menyatakan suatu KTUN sah atau tidak sah. Keabsahan suatu

KTUN (rechtmatigheid) suatu KTUN diukur dengan peraturan

perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis berupa asas-asas

umum pemerintahan yang baik. Aspek-aspek yang diukur adalah

wewenang, prosedur dan substansi.

Relevan dengan pendapat Philipus M. Hadjon et.al, adalah

pendapat Harjono yang menyatakan bahwa proses untuk sampai pada

suatu kesimpulan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah proses

analitis, logis, sistematis untuk memberi makna atau isi suatu peraturan

perundang-undangan..., untuk sampai pada kesimpulan bertentangan,

Page 62: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 53

tidak diperlukan alat bukti, tetapi penerapan dan penafsiran peraturan

perundang-undangan.

Berdasar ketentuan Pasal 100 UU PERATUN telah ditentukan

secara limitatif alat-alat bukti dalam hukum acara peradilan tata usaha

negara, yaitu surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi,

pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim. Ketentuan tentang alat-

alat bukti dalam Pasal 100 UU PERATUN ini mendapat catatan Tatiek

Sri Djatmiati yang menyatakan “seyogyanya keputusan tata usaha negara

juga dipandang sebagai alat bukti, bukankah dari keputusan tata usaha

negara itu lahir sengketa. Jadi tidak ada salahnya jika keputusan tata

usaha negara tersebut juga diperhitungkan sebagai alat bukti”.

Dalam praktek penyelesaian sengketa tata usaha negara di

pengadilan tata usaha negara, hakim pengadilan tata usaha negara banyak

yang menjadikan KTUN sebagai alat bukti dalam membuktikan

keabsahan KTUN, diantaranya: Putusan PTUN Jakarta

No.035/G/1991/Pr/PTUN-Jkt tanggal 2 Oktober 1991 antara lain

menjadikan alat bukti yang sah: “Surat Perintah Bongkar III Walikota

Jakarta Barat kepada Sdr. Irsan Gunawan 893/1.785.2. tanggal 9 April

1991 yang merupakan obyek sengketa, Putusan PTUN Jakarta

No.056/G/1991/Pr/PTUN-Jkt tanggal 22 Januari 1992: Dalam

pertimbangannya mengungkapkan: bahwa “Surat dari Walikota Jakarta

Pusat Nomor 1703/1/711.9 tanggal 19 Juni 1991 tentang Perintah

Pengosongan Rumah” yang merupakan obyek sengketa dijadikan alat

bukti yang sah (Suparto Wijoyo 2004:123).

2.7.3 Alat Bukti Surat atau Tulisan

Alat bukti pertama menurut Pasal 100 UU PERATUN adalah alat

bukti surat atau tulisan. Yang dimaksud dengan surat adalah suatu

pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan dengan tanda-tanda

bacaan dan dimuat dalam sesuatu benda (Teguh Samudera 2004:37).

Menurut Pasal 100 UU PERATUN, alat bukti surat ini terdiri atas tiga

jenis, yatu surat yang berupa akta otentik, akta dibawah tangan dan surat-

surat lainnya yang bukan akta.

Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang

pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang

membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti

tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya

(Pasal 101 UU PERATUN). Pengertian akta otentik ini sama dengan

pengertian akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 BW/Pasal165

RIB/Pasal 285 RDS, yaitu akta yang didalam bentuk yang telah

Page 63: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

54 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang

pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu

dibuatnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 100 UU PERATUN dan Pasal 1868

BW/Pasal 165 RIB/Pasal 285 RDS diatas, suatu akta otentik memiliki

unsur-unsur: 1. Akta oktentik bentuknya telah ditentukan oleh undang-

undang; 2. Dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum; 3. Pegawai umum

itu berwenang membuat akta otentik tersebut; 4. Sengaja dijadikan alat

bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didlamnya.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dapat disimpulkan terdapat 2

(dua) jenis akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh pegawai umum dan

akta otentik yang dibuat dihadapan pegawai umum. Antara akta otentik

yang dibuat oleh pejabat umum dengan akta otentik yang dibuat

dihadapan pegawai umum terdapat perbedaan pokok, yaitu:

Tabel 11. Perbedaan Akta Otentik yang Dibuat oleh Pegawai Umum dan

Akta Otentik yang Dibuat Dihadapan Pegawai Umum

Akta Otentik yang Dibuat oleh

Pegawai Umum

Akta Otentik yang Dibuat

Dihadapan Pegawai Umum

- Inisiatif datang dari pihaknya.

- Pihaknya mengetahui benar

tentang hal-hal yang

dikemukan dalam isi akta (isi

akta).

- Pegawai umum tidak pernah

memulai inisiatifnya.

- Pegawai umum tidak tahu benar

kebenaran dari hal-hal yang

dikemukan oleh kedua belah

pihak yang hadir dihadapannya

(isi dan akta).

Sumber: Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara

Perdata, 2004.

Siapakah yang dimaksud dengan pegawai umum? Pasal 101 UU

PERATUN maupun penjelasannya tidak menjelaskan apapun. Menurut

Subekti, yang dimaksud dengan pegawai umum adalah seorang notaris,

seorang hakim, seorang juru sita pada suatu pengadilan, seorang pegawai

catatan sipil dan lain sebagainya. Sudikno Mertokusumo menyatakan

bahwa berdasarkan Pasal 1 PJN jo. Pasal 1868 maka notarislah satu-

satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Yang

dikecualikan dari notaris untuk membuat akta otentik adalah pejabat

(ambtenaar atau pejabat, bukan openbaar ambtenaar atau pejabat umum)

yang ditunjuk oleh undang-undang. Jadi akta otentik dapat dibuat oleh

Page 64: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 55

pejabat umum, yaitu notaris atau pejabat lain (bukan pejabat umum) yang

ditunjuk untuk itu oleh undang-undang, seperti panitera, jurusita, pegawai

pencatat sipil dan sebagainya (Sudikno Mertokusumo 2006:154). Dengan

demikian, yang disebut pejabat umum yang berwenang untuk membuat

akta otentik harus ditentukan kewenangannya oleh undang-undang.

Menurut Pasal 101 UU PERATUN dengan dibuatnya akta otentik

memang sengaja untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang suatu

peristiwa atau peritiwa hukum yang tercantum didalamnya. Secara teoritis

memang apa yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau akta

yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian.

Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu

tujuannya adalah untuk pembuktian hari kalau terjadi sengketa.

Alat bukti surat atau bukti tulisan yang kedua adalah berupa akta

dibawah tangan. Akta dibawah tangan adalah surat yang dibuat dan

ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk

dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum

yang tercantum didalamnya (Pasal 101 huruf a UU PERATUN). Akta

dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh

para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.

Yang membedakan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan

adalah pada aspek pihak yang membuatnya. Akta otentik dibuat oleh atau

dihadapan pejabat umum sedangkan akta bawah tangan dibuat para pihak

sendiri tanpa bantuan pejabat umum. Persamaan antara keduanya adalah

sama-sama sengaja dibuat sebagai alat bukti tentang peristiwa atau

peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.

Mengenai alat bukti berupa surat-surat lainnya tidak diberikan

pengertian maupun jenis-jenisnya oleh UU PERATUN. Begitu juga

dalam HIR dan KUHPerdata tidak mengatur tentang alat bukti surat-surat

yang bukan akta. Surat-surat yang bukan akta ini dengan sengaja dibuat

oleh para pihak, namun tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian

dikemudian hari bila terjadi sengketa. Oleh karena itu surat-surat yang

bukan akta itu dapat dianggap sebagai petunjuk kearah pembuktian

(Teguh Samudera 2004:54).

2.7.4 Alat Bukti Keterangan Ahli

Alat bukti keterangan ahli diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu Pasal

102 dan Pasal 103 UU PERATUN. Pasal 102 ayat (1) menyatakan bahwa

keterangan ahli adalah pendapat yang diberikan dibawah sumpah dalam

persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan

pengetahuannya. Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi

Page 65: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

56 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli (Pasal 102

ayat 2).

Berdasarkan Pasal 103 ayat (1) UU PERATUN ahli atau

beberapa ahli dapat dihadirkan atas permintaan kedua belah pihak yang

berperkara atau oleh hakim ketua sidang karena jabatannya dapat

menunjukkannya. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi

keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan

dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya

yang sebaik-baiknya (Pasal 103 ayat 2).

Walaupun UU PERATUN mengakui keterangan ahli sebagai alat

bukti namun tidak ada penjelasan tentang siapa yang dimaksud seorang

ahli. Keterangan ahli juga merupakan alat bukti yang sah dalam hukum

acara pidana. Ahli yang dapat memberikan keterangan ahli dalam hukum

acara pidana menurut Karim Nasution tidaklah perlu merupakan seorang

spesialis dalam lapangan suatu ilmu pengetahuan. Setiap orang menurut

hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap

mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai suatu

hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang

soal itu.

Nederburh dalam bukunya “Wet en Adat II” mengemukakan

bahwa bukanlah berarti bahwa dalam memerlukan bantuan ahli, kita

selalu harus meminta bantuan sarjana-sarjana, atau ahli-ahli ilmu

pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang berpengalaman dan

kurang pendidikan, namun dalam bidangnya tokh sangat cendekia

(scherpzining). Mereka umpamanya tukang kayu, tukang sepatu, pembuat

senjata, pemburu dan sebagainya yang untuk soal-soal tertentu dapat

memberi pertolongan yang sangat diperlukan. Ahli itu tidak saja orang-

orang yang terpelajar, tidak saja orang yang telah duduk dibangku

sekolah, tapi juga orang-orang yang mungkin belum pernah bersekolah.

Ukuran ahli adalah luas sekali (Djoko Prakoso 1988 82-83).

Mengingat hukum acara pidana berbeda dengan hukum acara

peradilan tata usaha negara, pengertian ahli seperti yang dijelaskan diatas

tidak dapat diadopsi begitu saja dalam hukum acara peradilan tata usaha

negara. Dalam hukum acara pidana yang diuji adalah fakta-fakta yang

kemudian dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan

putusannya. Dalam hukum acara PERATUN yang diuji adalah keabsahan

KTUN yang digugat, yang alat ukurnya adalah peraturan perundang-

undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Pihak yang dapat menjelaskan tentang keabsahan suatu KTUN

tentunya adalah meraka yang ahli dalam bidang hukum publik (hukum

Page 66: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 57

administrasi). KTUN adalah pengertian hukum publik (hukum

administrasi), yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha

negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU

PERATUN).

Pengertian ahli dalam hukum acara PERATUN tidaklah seluas

pengertian ahli dalam hukum acara pidana seperti yang telah dijelaskan

diatas. Pengertian ahli dalam hukum acara PERATUN terbatas pada

orang-orang yang mempunyai keahlian di bidang hukum publik (hukum

administrasi).

2.7.5 Alat Bukti Keterangan Saksi

Adalah suatu kewajiban hukum bagi setiap orang yang dipanggil

sebagai saksi di pengadilan untuk datang dan memberikan kesaksiannya.

Sebagai kewajiban hukum berarti bagi pihak yang dipanggil sebagai

saksi dan tidak hadir untuk memberikan keterangannya dapat dipaksakan

kehadirannya oleh hukum.

Menurut HIR apabila seseorang dipanggil sebagai saksi dan tidak

memenuhi kewajibanya maka terhadapnya dapat dikenakan tindakan-

tindakan: dihukum membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk

memanggil saksi, secara paksa dibawa ke pengadilan atau dimasukkan

dalam penyanderaan. Menurut KUHAP apabila seseorang dipanggil

sebagai saksi dan tidak memenuhi kewajibannya dapat dituntut pidana

berdasarkan Pasal 216 dan 522 KHUP. Menurut Pasal 86 ayat (2) UU

PERATUN apabila saksi yang telah dipanggil dengan patut namun tidak

datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Hakim ketua

sidang dapat memberi perintah supaya saksi dibawa oleh polisi

kepersidangan. Saksi tidak datang setelah dipanggil secara sah dapat

dikenakan tuntutan sesuai KUHAP.

Kewajiban setiap orang untuk menjadi saksi ini terdapat

pengecualiannya seperti yang telah ditentukan oleh Pasal 88 UU

PERATUN. Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah: a. Keluarga

sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa; b.

Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah

bercerai; c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; d. Orang sakit

ingatan.

Page 67: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

58 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Selain golongan orang-orang yang tidak boleh didengar

kesaksiaannya menurut Pasal 88 UU PERATUN, terdapat juga golongan-

golongan orang tertentu yang dapat mengundurkan diri dari kewajiban

untuk memberikaan kesaksian sebagaimana diatur Pasal 89 ayat (1) UU

PERATUN, yaitu orang yang dapat minta pengunduran diri dari

kewajiban untuk memberikan kesaksian: a. saudara laki-laki dan

perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah pihak; b. setiap orang

yang terkena martabat, pekerjaan, atau jabatannya yang diwajibkan

merahasiakan segaala sesuatu yang berhubungan dengan martabat,

pekerjaan atau jabatannya.

Pasal 89 ayat (2) menyatakan bahwa ada atau tidak adanya dasar

kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 89 ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan hakim.

Artinya apakah sesuatu itu termasuk rahasia atau bukan sehingga tidak

boleh dibuka didepan umum adalah ditentukan oleh hakim. Ketentuan ini

sangat logis untuk menghindari adanya keengganan orang yang dipanggil

sebagai saksi dan dia tidak memenuhi kewajibannya dengan dalih untuk

merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan martabat, pekerjaan atau

jabatannya.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai alat bukti dalam hukum

acara peradilan tata usaha negara adalah keterangan saksi yang berkenaan

dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri (Pasal

104 UU PERATUN). Prinsip seperti ini adalah prinsip umum dalam

hukum acara, baik hukum acara PERATUN, hukum acara pidana maupun

hukum acara perdata. Sudah semestinya keterangan saksi adalah

keterangan yang ia lihat, dengar atau alami sendiri. Keterangan saksi

tidak boleh diberikan atas dasar mendapat keterangan dari pihak lain atau

atas hasil pendapat atau dugaannya sendiri. Keterangan saksi yang

diperoleh dari orang lain ini disebut dengan istilah testimonium de

auditur.

Seorang saksi yang dipanggil di pengadilan akan memberikan

kesaksiannya seorang demi seorang. Oleh hakim ketua sidang seorang

saksi akan ditanyakan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau

tanggal lahir, agama atau kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan

kekeluarga, dan hubungan kerja dengan penggugat dan tergugat. Seorang

saksi yang akan memberikan kesaksiannya wajib mengucapkan sumpah

atau atau janji menurut agama atau kepercayaannya.

Meskipun ada suatu kewajiban hukum bagi saksi untuk

mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangannya,

namum bila hal ini tidak dilakukan oleh saksi tidak ditentukan akibatnya

Page 68: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 59

oleh UU PERATUN. Dalam hukum acara pidana bila seorang saksi

dalam memberikan kesaksiannya tidak dilakukan sumpah atau janji

menurut agama atau kepercayaannya akan berakibat seperti yang

ditentukan oleh penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP, yaitu keterangan

saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat

dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan

keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

Dengan demikian, mengucapkan sumpah atau janji bagi seorang

saksi dalam hukum acara pidana adalah suatu syarat mutlak. Bila hal ini

dilanggar akan berakibat keterangan saksi tersebut dianggap tidak sah

sebagai alat bukti dan hanya berfungsi sebagai keterangan yang dapat

menguatkan keyakinan hakim saja.

2.7.6 Alat Bukti Pengakuan Para Pihak

Mengenai alat bukti berupa pengakuan para pihak ini hanya disebut

dalam satu pasal, yaitu Pasal 105 UU PERATUN yang menyatakan: “

Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan

alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim”. Penjelasan Pasal 105

UU PERATUN hanya menyatakan “cukup jelas”.

Alat bukti yang berupa pengakuan para pihak ini juga dikenal

dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara pidana alat bukti

pengakuan disebut dengan keterangan terdakwa. Pengakuan menurut

Sudikono Mertokusumo adalah merupakan keterangan yang

membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh

lawan. Menurut Subekti sebenarnya tidak tepat bila pengakuan ini

dimasukkan sebagai alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang

dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan, maka pihak-pihak

yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan

diakuinya dalil-dalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu

dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap

dalil-dalil yang dibantah atau disangkal (Subekti 2008:51).

Menurut Asser sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo

juga menyatakan bahwa suatu pengakuan bukanlah suatu alat bukti

meskipun pengakuan ini ditentukan sebagai alat bukti dalam ketentuan

Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 BW. Hakekatnya suatu

pengakuan bukanlah merupakan pernyataan tentang kebenaran, sekalipun

biasanya memang memang mengandung kebenaran, akan tetapi lebih

merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara

Dalam hukum acara perdata pengakuan dapat dilakukan didepan

hakim dalam persidangan atau pengakuan diluar pengadilan. Menurut

Page 69: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

60 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Pasal 174 HIR/311RBg/1925BW pengakuan di depan hakim

dipersidangan merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya,

baik secara pribadi maupun diwakilkan secara khusus. Pengakuan diluar

sidang adalah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam

suatu perkara perdata diluar persidangan untuk membenarkan pernyataan-

pernyataan yang diberikan oleh lawannya. Menurut Pasal 1928 BW

pengakuan di luar persidangan ini kekuatan hukumnya diserahkan kepada

pertimbangan hakim.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1926 BW suatu pengakuan di hadapan

hakim dalam persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau

terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kekhilafan

mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan tidak dapat ditarik kembali

apabila dengan alasan seolah-olah orang yang melakukan pengakuan

keliru tentang hal hukumnya (Pasal 1926 ayat 2 BW). Sedangkan untuk

pengakuan di luar persidangan dapat ditarik kembali.

Dalam hukum acara PERATUN tidak dijelaskan apa pengakuan itu

dilakukan dihadapan hakim di persidangan atau di luar persidangan.UU

PERATUN hanya menentukan bahwa pengakuan para pihak tidak dapat

ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima

oleh hakim.

Namun demikian, pengakuan para pihak ini harus diteliti dengan

seksama apakah benar-benar suatu pengakuan yang diberikan atas dasar

suatu fakta. Hal ini perlu dilakukan supaya jangan sampai salah satu

pihak memberikan pengakuan karena adanya faktor lain, misalnya karena

adanya suatu paksaan dari pihak lain yang tentunya akan merugikan.

2.7.7 Alat Bukti Pengetahuan Hakim

Seperti halnya ketentuan tentang alat bukti pengakuan para pihak,

ketentuan tentang alat bukti pengetahuan hakim juga hanya diatur dalam

1 (satu) pasal, yaitu Pasal 106 UU PERATUN yang menyatakan:

“Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui; dan diyakini

kebenaarannya”. Penjelasan pasalnya menyatakan cukup jelas.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, pengetahuan hakim adalah hal

yang dialami oleh hakim sendiri selama pemeriksaan perkara dalam

sidang. Pengetahuan hakim adalah pengetahuan yang oleh hakim yang

bersangkutan diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satu

daripadanya adalah hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh hakim

tersebut atau hakim lain yang ditunjuknya, seperti hasil pemeriksaan

setempat (Indroharto 2004:203). Termasuk kelompok pengetahuan hakim

Page 70: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 61

adalah barang-barang dan orang-orang yang ditunjukkan kepada hakim

yang sedang memeriksa perkara itu (ibid).

Penting untuk diperhatikan tentang pengetahuan hakim ini adalah

bahwa pengetahuan itu harus dilakukan secara obyektif sehingga tidak

menimbulkan kerugian pihak lain. Pengetahuan hakim ini harus

dilengkapi dengan alat bukti sah yang lain untuk menjaga

keobyektifitasannya. Hal ini untuk mencegah agar hakim tidak memihak

salah satu pihak dengan dalih berdasarkan alat bukti pengetahuan hakim.

2.7.8 Keadaan yang Telah Diketahui Umum Tidak Perlu Dibuktikan

Dalam pembuktian hukum acara pada umumnya terdapat suatu

prinsip bahwa hal-hal yang sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan

kebenarannya. Hal-hal yang diketahui umum ini disebut dengan fakta-

fakta notoir. Hal ini merupakan pengecualian dari prinsip bahwa semua

fakta yang dipersengketakan yang nantinya akan menjadi dasar putusan

hakim itu harus dibutuhkan.

Menurut Anema, fakta yang diketahui umum adalah tiap fakta atau

tiap keadaan, yang setiap oleh orang beradab, yang mengikuti zaman,

mesti dapat dianggap diketahuinya, tanpa pemeriksaan yang lebih

seksama atau tanpa pemeriksaan yang mendalam dapat diketahuinya dari

sumber yang dikuasai oleh umum dan yang juga dengan kepastian yang

cukup, untuk dipergunakan sebagai dasar hukum membenarkan bagi

sesuatu “tindakan kemasyarakatan yang serius” (dengan “tindakan

kemasyarakatan yang serius” dimaksud: menjatuhkan putusan hakim)

(Pitlo 1978:21).

Indroharto mengelompokkan fakta-fakta apa saja yang tidak perlu

dibuktikan adalah sebagai berikut:

Tabel 12. Fakta-Fakta yang tidak Perlu diBuktikan di Persidangan

No Fakta-Fakta yang tidak Perlu diBuktikan di Persidangan

1 Fakta-fakta yang sudah diketahui secara umum, umpama bahwa

stasiun KA yang ada di komplek Monas itu namanya stasiun

Gambir adalah fakta yang sudah diketahui umum (Pasal 100 ayat

2)

2 Hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi; suatu

perbuatan itu akan dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian,

apabila kejadian tersebut menurut pengalaman umum dapat

diharapkan selalu akan terjadi karena perbuatan-perbuatan

semacam itu;

Page 71: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

62 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Seperti dalam contoh dari pengalaman umum itu, umpamanya:

suatu tembakan mengenai dada seseorang tentu akan

membahayakan jiwa sikorban. Bahwa hal itu membahayakan

jiwa sikorban hal ini tidak perlu dibuktikan lagi.

3 Fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan, hakim

tidak memerlukan pembuktian dalam proses tersebut; bahwa si A

sudah pernah didengar sebagai saksi pada pemeriksaan

tanggal....yang lalu.

4 Eksistensi hukum pun tidak perlu dibuktikan, karena hakim dapat

dianggap selalu mengetahui apa hukumnya (ius curia novit).

Sekalipun dalam kenyataannya tidak demikian, karena hakim pun

juga manusia biasa, namun prinsip itu juga harus dianggap

berlaku dalam proses peradilan TUN. Terbatasnya pengetahuan

seorang hakim TUN tentang perturan-peraturan yang ada dan

diperlukan dalam proses yang harus ia periksa akan terbukti nanti

adalah merupakan hal yang biasa, malah seringkali akan terjadi ia

akan meminta pihak tergugat untuk menyediakan peraturan yang

diperlukan dalam proses yang bersangkutan.

Sumber: Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang

Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan

Tata Usaha Negara, 2005.

Dalam hukum acara pidana, berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat

(2) KUHAP menyatakan secara tegas bahwa hal yang secara umum sudah

diketahui tidak perlu dibuktikan.

2.7.9 Harus Ada Minimal Dua Alat Bukti yang Sah

Hukum pembuktian dalam hukum acara peradilan tata usaha negara

menurut UU PERATUN adalah sistem pembuktian bebas yang terbatas.

Dikatakan pembuktian bebas yang terbatas karena dalam melakukan

pembuktian hakim TUN terikat oleh alat-alat bukti sah sebagaimana

disebut dalam Pasal 100 UU PERATUN. Disamping itu hakim juga

dibatasi oleh ketentuan Pasal 107 UU PERATUN. Pasal 107 UU

PERATUN menentukan: Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan,

beban pembuktian berserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya

pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan

keyakinan hakim.

Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 100 UU PERATUN

diatas untuk sahnya pembuktian dalam hukum acara peradilan tata usaha

negara diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan

Page 72: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 63

dengan keyakinan hakim. Ketentuan semacam ini mirip dengan hukum

pembuktian yang berlaku yang dalam hukum acara pidana. Pasal 183

KUHAP menentukan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Apa yang ditentukan oleh Pasal 183 KUHAP diatas dikenal dengan

sistem pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk

bewijsleer). Dengan sistem ini seseorang bisa dijatuhi pidana apabila

terpenuhi ketentuan: 1. Ada dua alat bukti yang sah menurut undang-

undang; 2. Atas dasar alat bukti yang sah tersebut hakim memperoleh

keyakinan bahwa terdakwa bersalah.

Apa yang ditentukan oleh Pasal 100 dan Pasal 107 UU PERATUN

ini cenderung akan menimbulkan berbagai kesulitan dan kerancuan dalam

proses penyelesaian sengketa tata usaha negara (Suparto Wijoyo

2004:125). Rumusan Pasal 100 dan 107 UU PERATUN ini adalah suatu

kelaziman yang ada dalam hukum acara perdata. Mungkin ketika proses

pembuatan UU PERATUN ini memang sangat dipengaruhi oleh

ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum acara perdata. Hal ini

nampak dari apa yang ditentukan dalam penjelasan umum angka 5 UU

PERATUN: “Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum

acara yang dipergunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara,

yang meliputi hukum acara pemeriksaan tingkat pertama dan hukum

acara pemeriksaan tingkat banding. Hukum acara yang digunakan pada

Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara

yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata”.

Dalam pemeriksaan sengketa TUN yang dipersoalkan adalah sah-

tidaknya suatu KTUN yang digugat. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa

keabsahan suatu KTUN menyangkut alat ukur. Alat ukur yang digunakan

untuk menilai keabsahan suatu KTUN adalah dengan peraturan

perundang-undangan/hukum tertulis dan asas-asas umum pemerintahan

yang baik, bukan dengan alat-alat bukti seperti yang dirumuskan dalam

Pasal 100 UU PERATUN.

Rumusan Pasal 100 dan 107 UU PERATUN adalah suatu

kelaziman yang ada dalam hukum acara perdata dan tidak berlaku untuk

hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Kedepan ketentuan semacam

ini perlu untuk dikaji ulang akar tidak rancu dan menimbulkan

problematika dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara.

Page 73: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

64 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

2.8 Putusan

Putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim, sebagai

pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan

dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau

sengketa antara pihak. Amar putusan pengadilan tata usaha negara dapat

berupa: a. gugatan ditolak, b.gugatam dikabulkan, c.gugatam tidak

diterima, d.gugatan gugur. Putusan pengadilan terdiri atas 4 bagian, yaitu

1. kepala putusan, 2.identitas para pihak, 3.pertimbangan dan 4.amar.

Putusan pengadilan memiliki 3 (tiga) macam kekuatan, yaitu kekuatan

eksekutorial, kekuatan sebagai akta otentik dan kekuatan untuk

menangkis atau eksepsi.

2.8.1 Pengertian Putusan

Setelah seluruh proses acara dilalui maka tahapan akhir adalah

dijatuhkannya putusan oleh hakim. Putusan hakim bertujuan untuk

mengakhiri suatu sengketa antara pihak penggugat dan tergugat. Dalam

UU PERATUN sendiri tidak terdapat definisi tentang putusan. Dalam

hukum acara pidana yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP).

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu

pernyataan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang

untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak. Termasuk

pengertian putusan hakim adalah bukan hanya yang diucapkan, melainkan

juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian

diucapkan hakim dalam persidangan.

Ketentuan tentang putusan pengadilan tata usaha negara diatur

dalam Pasal 97 UU PERATUN yang didalamya memuat 11 (sebelas)

ayat. Berdasarkan Pasal 97 UU PERATUN, putusan diambil setelah

pemeriksaan sengketa sudah selesai dan para pihak mengemukakan

pendapat yang terakhir yang berupa kesimpulan masing-masing. Putusan

diambil oleh majelis hakim yang menyidangkan perkara melalui suatu

musyawarah yang dilakukan dalam ruangan yang tertutup.

Pada prinsipnya putusan diambil oleh majelis hakim melalui hasil

permufakatan bulat. Namun demikian, apabila tidak tercapai pengambilan

putusan dengan permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara

Page 74: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 65

terbanyak. Jika dengan cara yang kedua ini pun putusan tidak dapat

diambil, maka cara terakhir pengambilan putusan, yaitu suara terakhir

hakim ketua majelis yang menentukan.

Putusan berdasarkan golongan dapat berupa putusan sela dan

putusan akhir. Putusan sela atau putusan antara adalah putusan yang

fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara (Sudikno

Mertokusumo 2006:230). Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri

suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.

Putusan sela dijatuhkan terhadap eksepsi yang dilakukan karena

menyangkut atribusi serta distribusi (Philipus M. Hadjon et all 1994:353)

yaitu putusan pengadilan tata usaha negara yang menyatakan bahwa

pengadilan tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa dan

mengadili perkara yang diajukan karena obyeknya bukan KTUN atau

putusan pengadilan tata usaha negara yang menyatakan bahwa pengadilan

tata usaha negara tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili

perkara karena perkara yang diajukan tidak termasuk dalam wilayah

hukumnya. Putusan sela juga dapat diambil berkaitan dengan ketentuan

Pasal 83 UU PERATUN. Menurut Pasal 83 UU PERATUN, Pengadilan

tata usaha negara dapat menjatuhkan putusan sela berkaitan dengan

permohonan pihak ketiga yang akan masuk dalam perkara yang sedang

berlangsung, baik itu sebagai pihak yang membela haknya sendiri atau

bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.

Menurut UU PERATUN, putusan akhir yang dijatuhkan oleh

majelis hakim dapat berupa: a. Gugatan ditolak; b. Gugatan dikabulkan; c.

Gugatan tidak diterima; d. Gugatan gugur. Dalam hal gugatan dikabulkan,

maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang

harus dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang

mengeluarkan KTUN, yang dapat berupa: a. pencabutan KTUN yang

bersangkutan; atau b. pencabutan KTUN yang bersangkutan dan

menerbitkan KTUN yang baru;atau c. penerbitan KTUN dalam hal

gugatan didasarkan pada Pasal 3 serta dapat disertai pembebanan ganti

rugi. Jika menyangkut kepegawaian, maka dapat disertai pembebanan

rehabilitasi.

Putusan yang telah diambil oleh majelis hakim harus diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum. Bila ketentuan yang demikian tidak

dilakukan maka akan berakibat putusan pengadilan menjadi tidak sah dan

tidak mempunyai kekuatan hukum.

2.8.2 Amar atau Diktum Putusan

Page 75: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

66 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Menurut sifatnya amar atau diktum putusan pengadilan dapat

dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1. Putusan kondemnatoir

(condemnatoir vonnis, condemnatory verdict), 2. Putusan deklarator

(declartoir vonnis, declaratory verdict), 3. Putusan konstitutif

(constitutief vonnis, constitutive verdict) (Abdulkadir Muhammad

2000:149).

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat hukum salah

satu pihak yang bersengketa. Amar putusannya biasanya menyatakan: “

Menghukum dan seterusnya....”. Putusan deklarator adalah putusan yang

bersifat menerangkan atau menegaskan suatu keadaan hukum. Putusan

konstitutif adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru,

atau sebaliknya meniadakan keadaan hukum baru.

Menurut ketentuan Pasal 97 ayat 7 UU PERATUN, amar putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berwujud: a. gugatan ditolak, b.

Gugatan dikabulkan, c. gugatan tidak diterima, d. gugatan gugur.

Dengan amar putusan berupa gugatan ditolak berarti pengadilan

tata usaha negara membenarkan atau memperkuat KTUN yang

dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Dengan ditolaknya

gugatan penggugat maka KTUN yang menjadi obyek sengketa adalah

sah. Terhadap putusan yang menyatakan bahwa gugatan ditolak tidak

dapat diajukan gugatan baru lagi.

Dengan amar putusan berupa gugatan dikabulkan berarti tidak

membenarkan atau memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat TUN. Dengan dikabulkannya gugatan penggugat maka KTUN

yang digugat adalah tidak sah.

Apabila gugatan dikabulkan maka badan atau pejabat TUN

berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah ditentukan oleh Pasal

97 ayat 9 UU PERATUN, yaitu: a. Pencabutan KTUN yang

bersangkutan; b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan

KTUN yang baru; c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan

pada Pasal 3; d. Memberikan ganti kerugian dalam hal bukan sengketa

kepegawaian; e. Memberikan kompensasi dan rehabilitasi dalam sengketa

kepegawaian.

Amar putusan gugatan tidak diterima berarti gugatan tidak

memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Menurut Pasal 63 UU

PERATUN, apabila dalam pemeriksaan persiapan ditemukan suatu

gugatan yang kurang jelas maka hakim wajib memberikan nasehat kepada

penggugat untuk memperbaiki dan melengkapi gugatannya dengan data

yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. Apabila dalam

jangka waktu tiga puluh hari ini penggugat belum menyempurnakan

Page 76: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 67

gugatannya, maka hakim dengan putusannya menyatakan bahwa gugatan

tidak dapat diterima.

Terhadap putusan hakim yang menyatakan gugatan tidak dapat

diterima ini tidak dapat dilakukan upaya hukum, namun pihak dapat

mengajukan gugatan baru lagi. Gugatan baru ini harus diperbaiki dan

dilengkapi dengan data-data yang diperlukan.

Amar putusan gugatan gugur apabila para pihak atau para

kuasanya, kesemuanya tidak hadir pada persidangan yang telah

ditentukan dan telah dipanggil secara patut. Jika para pihak tidak hadir

pada persidangan yang telah ditentukan meskipun telah dipanggil secara

patut maka para pihak dianggap tidak berniat untuk meneruskan proses

gugatannya sehingga gugatannya harus dinyatakan gugur. Dengan

dinyatakannya gugatan gugur pihak penggugat harus membayar biaya

perkara. Terhadap putusan yang menyatakan bahwa gugatan gugur ini

pihak penggugat dapat mengajukan gugatan baru sekali lagi sesudah

membayar uang maka biaya perkara.

2.8.3 Susunan Isi Putusan

Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri atas 4

bagian, yaitu: 1. Kepala putusan, 2. Identitas para pihak, 3. Pertimbangan

dan 4. Amar. Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada

bagian atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” ini pertama kali diatur dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang No.19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dengan dicantumkannya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial pada

putusan. Pencantuman irah-irah “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”

bukan sekedar ungkapan dekoratif tetapi merupakan syarat hukum.

Putusan pengadilan yang tidak mencantumkan irah-irah “Demi

Ketuhanan Yang Maha Esa” akan batal demi hukum (van rechtswege

nietig, null and void), tidak mempunyai kekuatan hukum (Bagir Manan

2007:40). Pasal 109 ayat (2) UU PERATUN menyatakan bahwa tidak

dicantumkannya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang

Maha Esa” menyebabkan batalnya putusan pengadilan. Pencantuman

irah-irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”

dalam putusan pengadilan tata usaha negara ditentukan secara jelas oleh

Pasal 109 ayat (1) huruf a UU PERATUN yang menyatakan bahwa

putusan pengadilan harus memuat kepala putusan yang berbunyi “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Page 77: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

68 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Berdasarkan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa peradilan dilakukan “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1) ).

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa ketentuan yang

menentukan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai

dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menentukan bahwa Negara berdasarkan

Ketuhanan yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat

menurut agama dan kepercayaannya.

Menurut ketentuan Pasal 109 ayat (1) huruf b UU PERATUN,

identitas para pihak yang harus dimuat dalam putusan meliputi: nama,

jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para

pihak yang bersangkutan.

Pertimbangan atau juga disebut konsideran merupakan dasar

putusan. Bagian pertimbangan merupakan alasan-alasan yang digunakan

oleh hakim dalam pengambilan putusannya. Pertimbangan putusan hakim

terdiri atas pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan

tentang hukumnya. Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa segala putusan

pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, memuat pula

pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau

sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Tentang

pertimbangan dalam putusan pengadilan tata usaha negara diatur dalam

Pasal 109 ayat (1) huruf c, d, dan e UU PERATUN menentukan bahwa

putusan pengadilan harus memuat: ringkasan gugatan dan jawaban

tergugat yang jelas, pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang

diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa di

periksa dan alasan hukum yang menjadi dasar putusan.

Amar atau diktum merupakan jawaban terhadap petitum daripada

gugatan. Amar putusan pengadilan tata usaha negara dapat berupa: a.

Gugatan ditolak, b. Gugatan dikabulkan, c. Gugatan tidak diterima dan d.

Putusan gugur.

Menurut Pasal 109 ayat (1) huruf f UU PERATUN amar atau

diktum dalam putusan harus juga dimuat tentang biaya perkara. Biaya

perkara dibayar oleh pihak yang dikalahkan baik sebagian atau untuk

seluruhnya. Yang dimaksud dengan biaya perkara menurut Pasal 111 UU

PERATUN mencakup: a. biaya kepaniteraan dan biaya materai; b. biaya

saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta

pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk

Page 78: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 69

saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan; c. biaya

pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang

diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.

Jumlah biaya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan/atau

tergugat dimuat dalam amar putusan akhir pengadilan.

Selain empat hal diatas, putusan pengadilan harus juga memuat

hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta

tentang hadir atau tidaknya para pihak. Putusan harus ditandatangani oleh

para hakim yang memeriksa dan memutus perkara serta ditandatangani

oleh panitera yang ikut bersidang. Apabila ada anggota majelis hakim

yang berhalangan untuk menandatangani putusan, maka hakim ketua

majelis hakim menandatanganinya dengan menyatakan, bahwa ia

berhalangan. Apabila hakim ketua majelis atau dalam hal pemeriksaan

dengan acara cepat hakim ketua sidang berhalangan menandatangani,

maka putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua pengadilan dengan

menyatakan berhalangannya hakim ketua majelis atau hakim ketua sidang

tersebut.

2.8.4 Kekuatan Putusan

Setiap putusan pengadilan memiliki tiga macam kekuatan, yaitu

kekuatan eksekutorial, kekuatan sebagai suatu akta otentik dan kekuatan

untuk menangkis atau eksepsi (Subekti 1982:128). Kekuatan eksekutorial

artinya suatu putusan hakim dapat dipaksakan berlakunya kepada pihak

yang dikalahkan apabila ia tidak melaksanakan putusan secara sukarela.

Kekuatan putusan sebagai akta otentik berarti putusan mengikat para

pihak yang bersengketa dan juga mengikat pihak ketiga, yaitu

membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang

disebutkan dalam putusan itu dan dijatuhkannya putusan sebagaimana

dapat dibaca dalam amar putusan tersebut. Putusan pengadilan

mempunyai kekuatan tangkisan atau eksepsi berarti tidak boleh diajukan

lagi gugatan yang baru dalam perkara yang sama. Ketentuan yang

demikian sesuai dengan asas “ non bis in idem”, yang artinya tidak boleh

dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama.

2.9 Upaya Hukum

Upaya hukum adalah hak yang diberikan oleh undang-undang

kepada para pihak yang bersengketa di pengadilan untuk mengajukan

pemeriksaan terhadap suatu putusan pengadilan kepada pengadilan yang

kedudukannya lebih tinggi dengan tujuan untuk memperbaiki kekeliruan

Page 79: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

70 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

yang ada dalam putusan. Upaya hukum dalam hukum acara peradilan tata

usaha negara meliputi: perlawanan terhadap putusan dismissal, banding,

kasasi, perlawanan oleh pihak ketiga, dan peninjauan kembali.

2.9.1 Perlunya Upaya Hukum

Putusan hakim adalah putusan yang dibuat oleh manusia biasa yang

mungkin terdapat kekeliruan didalamnya. Kekeliruan ini harus diperbaiki

agar tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak yang bersengketa

di pengadilan. Perbaikan putusan hakim dilakukan melalui suatu upaya

yang disebut oleh upaya hukum. Upaya hukum merupakan hak yang

diberikan oleh undang-undang kepada para pihak yang bersengketa di

pengadilan untuk mengajukan pemeriksaan terhadap suatu putusan

pengadilan kepada pengadilan yang kedudukannya lebih tinggi. Tujuan

dari upaya hukum adalah untuk memperbaiki kekeliruan yang ada dalam

putusan.

Mengenai latar belakang diperlukannya upaya hukum terhadap

putusan pengadilan menurut Sudikno Mertokusumo adalah bahwa suatu

putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan

tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran

dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa

ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat

diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya

hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki

kekeliruan dalam suatu putusan.

Dengan demikian, adanya suatu upaya hukum merupakan sesuatu

yang bersifat mutlak. Upaya hukum merupakan sarana koreksi terhadap

kemungkinan adanya kesalahan putusan hakim. Disamping itu, upaya

hukum juga berfungsi untuk menjamin keadilan bagi para pihak yang

merasa kepentingannya dirugikan oleh putusan hakim. UU PERATUN

sendiri tidak memberikan penjelasan tentang makna upaya hukum.

Namun ketentuan pasal-pasalnya hanya mengatur tentang berbagai jenis

upaya hukum, yaitu perlawanan terhadap putusan dismissal, banding,

kasasi, perlawanan oleh pihak ketiga dan pemeriksaan peninjauan

kembali.

2.9.2 Perlawanan Terhadap Putusan Dismissal

Perlawanan terhadap putusan dismissal adalah perlawanan terhadap

penetapan ketua pengadilan yang diambil dalam rapat permusyawaratan.

Apabila dalam rapat permusyawaratan ketua pengadilan menetapkan

bahwa suatu gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, maka pihak

Page 80: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 71

penggugat dapat melakukan upaya hukum perlawanan terhadap penetapan

ketua pengadilan tersebut.

Upaya hukum perlawanan dapat dilakukan hanya dalam jangka

waktu empat belas hari setelah penetapan ketua pengadilan diucapkan.

Perlawanan yang diajukan pihak penggugat ini diperiksa dan diputus

dengan acara singkat.

Apabila upaya hukum perlawanan ini dikabulkan oleh pengadilan,

maka penetapan ketua pengadilan menjadi gugur demi hukum dan pokok

gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut pemeriksaan

acara biasa. Terhadap putusan mengenai perlawanan ini tidak dapat

dilakukan upaya hukum.

2.9.3 Banding

Banding disebut juga “ulangan pemeriksaan”. Banding adalah

merupakan pemeriksaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah

pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik yang

mengenai fakta-faktanya, maupun penerapan hukum atau undang-undang

(Philipus M. Hadjon 1994:362). Banding disebut juga “ulangan

pemeriksaan” karena memang dalam banding dilakukan pemeriksaan

terhadap kedudukan faktanya maupun penerapan hukumnya.

Upaya hukum banding dalam UU PERATUN diatur dalam

ketentuan Pasal 122 sampai dengan 130 yang pada intinya mengandung

pengertian-pengertian berikut:

Tabel 13. Banding Berdasar Pasal 130 UU PERATUN

Banding Berdasar Pasal 130 UU PERATUN

a. Banding dilakukan terhadap putusan akhir pengadilan tata usaha negara (putusan pengadilan tingkat pertama). Untuk putusan yang bukan putusan akhir dapat dimintakan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir.

b. Hak mengajukan banding dimiliki baik itu oleh pihak penggugat maupun pihak tergugat.

c. Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh penggugat atau tergugat ataupun kuasanya kepada pengadilan tata usaha negara (pengadilan tingkat pertama) yang menjatuhkan putusan dalam jangka waktu empat belas hari setelah putusan pengadilan itu diberitahukannya secara sah.

d. Permohonan banding yang diajukan oleh penggugat atau tergugat atau kuasanya disertai pembayaran uang muka biaya perkara

Page 81: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

72 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

banding yang besarnya ditaksir oleh panitera. e. Permohonan pemeriksaan banding yang diajukan itu dicatat oleh

panitera. f. Kemudian panitera memberitahukan adanya permohonan banding

kepada pihak terbanding.

g. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah

permohonan pemeriksaan banding dicatat, panitera

memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat

melihat berkas perkara di kantor pengadilan tata usaha negara

dalam tenggang waktu tiga puluh hari setelah mereka menerima

pemberitahuan tersebut.

h. Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan

harus dikirimkan kepada panitera pengadilan tinggi tata usaha

negara selambat-lambatnya enam puluh hari sesudah permohonan

pemeriksaan banding.

i. Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra

memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada panitera

pengadilan tinggi tata usaha negara dengan ketentuan bahwa

salinan memori dan/atau kontra memori banding diberikan kepada

pihak lainnya dengan perantaraan panitera pengadilan.

j. Penyerahan memori dan kontra memori banding oleh para pihak

bukanlah suatu keharusan. Tidak diwajibkannya penyerahan

memori dan kontra memori banding ini berkaitan dengan dasar

dan sifat pemeriksaan banding di mana pengadilan banding itu

mengulangi seluruh segi pemeriksaan perkaranya (baik fakta

maupun hukumnya).

k. Dalam pemeriksaan banding berlaku juga ketentuan Pasal 78 dan

79 UU PERATUN.

l. Pengadilan tinggi tata usaha negara memeriksa dan memutus

pemeriksaan banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang

hakim.

m. Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh

pengadilan tinggi tata usaha negara permohonan banding dapat

dicabut oleh pihak pemohon. Apabila permohonan pemeriksaan

banding ini dicabut maka tidak dapat diajukan lagi meskipun

masih dalam jangka waktu yang diperbolehkan untuk mengajukan

banding.

n. Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan

pengadilan tata usaha negara, ia tidak dapat mencabut kembali

pernyataan tersebut meskipun jangka waktu untuk mengajukan

Page 82: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 73

permohonan banding belum lampau.

Yang perlu diperhatikan oleh para pihak yang akan mengajukan

permohonan pemeriksaan banding adalah bahwa tidak semua putusan

dapat dimintakan banding. Putusan-putusan yang tidak dapat dimintakan

banding tersebar dalam pasal-pasal UU PERATUN sebagai berikut:

Tabel 14. Putusan yang Tidak Dapat Dimintakan Banding

Putusan yang Tidak Dapat Dimintakan Banding

a. Penetapan pengadilan yang berkaitan dengan permohonan

penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat

pertama, tingkat banding dan kasasi yang merupakan penetapan di

tingkat pertama dan terakhir (Pasal 61 ayat (2) dan (3) UU

PERATUN).

b. Penetapan ketua pengadilan yang diambil dalam rapat

permusyawaratan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima

atau tidak berdasar seperti yang ditentukan oleh Pasal 62 ayat (1)

UU PERATUN.

c. Putusan pengadilan terhadap perlawanan yang diajukan terhadap

penetapan Ketua Pengadilan yang diambil dalam rapat

permusyawaratan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima

atau tidak berdasar (Pasal 62 ayat (6) UU PERATUN).

d. Putusan pengadilan mengenai perlawanan pihak ketiga sebelum

pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal

118 UU PERATUN). Dalam Pasal 118 UU PERATUN berlaku

ketentuan Pasal 62 dan 63 sehingga tidak tersedia upaya hukum

banding.

2.9.4 Kasasi

Lembaga kasasi ini berasal dari Perancis. Perkataan “kasasi”

(dalam bahasa perancis “cassation”) berasal dari perkataan Perancis

“casser” yang berarti “memecahkan” atau membatalkan. Tugas

pengadilan dalam pemeriksaan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan

pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya

penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang

duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan.

Berbeda dengan pemeriksaan banding yang memeriksa baik

mengenai duduk perkara (fakta)nya maupun mengenai penerapan

hukumnya, dalam pemeriksaan kasasi hanya memeriksa mengenai

Page 83: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

74 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

penerapan hukumnya saja. Pemeriksaan banding disebut juga

“pemeriksaan tingkat terakhir” dalam arti pemeriksaan oleh judex fakti

yang terakhir.

Karena Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi hanya

memeriksa mengenai penerapan hukumnya saja dan bukan mengenai

faktanya, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan

atau penetapan semua pengadilan dari semua lingkungan peradilan, yang:

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. Salah

menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. Lalai memenuhi

syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang

mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan

(Pasal 30 ayat (1) UU MAHKAMAH AGUNG).

Upaya hukum kasasi hanya diatur secara singkat dalam satu pasal,

yaitu Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 131 ayat (2) UU PERATUN

menyatakan bahwa acara pemeriksaan kasasi dilakukan menurut Undang-

Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang

No.14 Tahun 1985 ini sudah mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan

Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No.14 Tahun 1985 dan Undang-Undang No.3 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung, sehingga yang berlaku adalah ketiga undang-

undang tersebut sekaligus.

Berdasarkan ketentuan Pasal 131 UU PERATUN menunjuk

ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU MAHKAMAH AGUNG mengenai

prosedur acara pemeriksaan kasasi. Pasal 55 ayat (1) UU MAHKAMAH

AGUNG menentukan: pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus

oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama atau yang diputus oleh

Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan

menurut ketentuan undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MAHKAMAH

AGUNG diatas dinyatakan bahwa pemeriksaan kasasi yang diputus oleh

pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara dilakukan menurut

ketentuan undang-undang ini, yang berarti menurut ketentuan UU

MAHKAMAH AGUNG.

Namun sayang, UU MAHKAMAH AGUNG tidak mengatur sama

sekali tentang hukum acara pemeriksaan kasasi di peradilan tata usaha

negara. Dalam Bab IV tentang HUKUM ACARA BAGI MAHKAMAH

AGUNG Bagian Kedua tentang Pemeriksaan Kasasi Paragraf 2 hanya

diatur tentang acara pemeriksaan kasasi di Peradilan Umum. Atas dasar

ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU MAHKAMAH AGUNG yang

Page 84: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 75

menyatakan “Pemeriksaan kasasi yang diputus oleh Pengadilan di

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan menurut undang-

undang ini” maka acara pemeriksaan kasasi yang berlaku di peradilan

umum juga berlaku untuk ketentuan acara kasasi yang berlaku di

lingkungan peradilan tata usaha negara.

Upaya hukum kasasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada

Mahkamah Agung. Permohonan kasasi dapat dilakukan hanya jika

pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding.

Pengecualian terhadap ini apabila undang-undang menentukan suatu

putusan tidak bisa dibanding namun langsung dilakukan upaya hukum

kasasi.

Permohonan kasasi dilakukan oleh pihak yang berperkara atau

kuasasnya yang perkaranya diputus oleh pengadilan tingkat banding atau

tingkat terakhir. Dengan demikian, pihak ketiga tidak memiliki hak untuk

mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi. Permohonan kasasi juga

dapat dilakukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum yang putusan

kasasinya tidak boleh merugikan pihak yang berperkara.

Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui

panitera pengadilan tingkat pertama hanya dalam jangka waktu empat

belas hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan

kepada pemohon. Apabila setelah lewat jangka waktu empat belas hari ini

para pihak tidak mengajukan permohonan kasasi maka para pihak

dianggap menerima putusan.

Pemohon pemeriksaan kasasi membayar biaya pemeriksaan kasasi

dan kemudiaan panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar

dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang

dilampirkan pada berkas perkara. Selambat-lambatnya dalam jangka

waktu tujuh hari setelah permohonan kasasi didaftar, panitera (panitera

pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara) memberitahukan

secara tertulis mengenai permohonan kasasi kepada pihak lawan.

Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat

alasan-alasannya dalam tenggang waktu empat belas hari setelah

permohonan kasasinya dicatat dalam buku daftar. Berbeda dengan

penyampaian memori dan kontra memori banding yang sifatnya

fakultatif, penyampaian memori kasasi ini bersifat wajib/mutlak. Bahkan

menurut ketentuan Pasal 115 ayat (2) UU MAHKAMAH AGUNG yang

lama yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1950 apabila pemohon kasasi

tidak menyampaikan memori kasasi dalam jangka waktu yang telah

ditentukan oleh undang-undang maka permohonan pemeriksaan kasasi

dianggap tidak ada.

Page 85: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

76 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Panitera (panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat

pertama) memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan

menyampaikan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam jangka

waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari. Pihak lawan kemudian

mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada panitera dalam

jangka waktu empat belas hari sejak tanggal diterimanya salinan memori

kasasi. Surat jawaban terhadap memori kasasi ini biasa disebut dengan

kontra memori kasasi.

Setalah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori

kasasi, panitera (panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat

pertama) mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas

memori kasasi dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung dalam

jangka waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari. Panitera Mahkamah

Agung mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dengan

membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaan, membuat catatan

singkat tentang isinya dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah

Agung.

Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung,

pemohon dapat mencabut permohonan kasasinya. Apabila pemohon

mencabut permohonan kasasinya, pemohon tidak dapat mengajukan

permohonan kasasi lagi dalam perkara yang sama meskipun tenggang

waktu untuk mengajukan kasasi belum lampau. Apabila pencabutan

permohonan kasasi dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirim ke

Mahkamah Agung, maka berkas perkara tidak diteruskan kepada

Mahkamah Agung. Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung

berdasarkan surat-surat, namun apabila dipandang perlu Mahkamah

Agung dapat mendengar sendiri para pihak atau para saksi atau

memerintahkan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding yang

memutus perkara untuk mendengar para pihak atau para saksi.

Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan yang

dimohonkan kasasi dan mengadili perkara tersebut maka yang dipakai

adalah hukum pembuktian yang berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.

Putusan Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan

oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain.

Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan

Pasal 30 huruf a, yaitu Mahkamah Agung membatalkan putusan atau

penetapan pengadilan karena alasan tidak berwenang atau melampaui

batas wewenang, Mahkamah Agung menyerahkan perkara itu kepada

pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan mengadilinya.

Page 86: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 77

Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi

berdasarkan Pasal 30 huruf b dan huruf c, yaitu karena alasan salah

menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku atau lalai

memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan yang mengancam kelalain itu dengan batalnya putusan yang

bersangkutan, maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang

dimohonkan kasasi itu. Salinan putusan Mahkamah Agung dikirimkan

kepada ketua pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara yang

kemudian putusan Mahkamah Agung itu diberitahukan kepada kedua

belah pihak selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah putusan dan

berkas perkara diterima oleh pengadilan tingkat pertama tersebut.

2.9.5 Perlawanan Oleh Pihak Ketiga

Upaya hukum perlawanan pihak ketiga diatur dalam ketentuan

Pasal 118 UU PERATUN yang terdiri atas tiga ayat. Perlawanan pihak

ketiga dilakukan oleh pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau

diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa. Perlawanan pihak

ketiga ini dilakukan terhadap pelaksanaan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap yang berisi kewajiban tergugat

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 97 ayat (9), ayat (10) dan ayat

(11) UU PERATUN. Perlawanan ini dilakukan oleh pihak ketiga karena

ia kawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut. Gugatan

perlawanan diajukan kepada pengadilan tingkat pertama yang mengadili

perkara itu.

Gugatan perlawanan harus dilakukan pada saat sebelum putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut

dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 56. Dalam permohonan perlawanan pihak ketiga ini berlaku

ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 63. Dengan

demikian, dalam permohonan perlawanan pihak ketiga berlaku rapat

permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan.

Dalam rapat permusyawaratan ketua pengadilan berwenang

memutuskan bahwa permohonan perlawanan pihak ketiga dinyatakan

tidak diterima atau tidak berdasar bila terpenuhi ketentuan Pasal 62 ayat

(1). Permohonan perlawanan pihak ketiga juga bisa dinyatakan tidak

diterima dalam proses pemeriksaan persiapan apabila terpenuhi ketentuan

Pasal 63. Atas dasar ketentuan Pasal 62 ayat (4) juga dapat terjadi

pemeriksaan dengan acara singkat. Upaya hukum perlawanan pihak

Page 87: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

78 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

ketiga tidak dengan sendirinya menunda pelaksanaan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

2.9.6 Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali adalah upaya hukum yang dilakukan terhadap

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang

pemeriksaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Peninjauan kembali

pada awalnya dikenal dalam “Reglement op de Strafvordering” yang

merupakan hukum acara pidana yang berlaku untuk bangsa Eropa yang

dikenal dengan istilah “herziening”. Peninjauan kembali untuk hukum

acara perdata diatur dalam “Reglement op de Burgerlijke

Rechtsvordering” yang merupakan hukum acara perdata yang berlaku

untuk bangsa Eropa yang dikenal dengan istilah “request civil”.

Dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia,

peninjauan kembali mulai dipakai dalam Undang-Undang No.19 Tahun

1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal

15 menentukan: Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, apabila

terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan undang-

undang.

Kemudian Undang-Undang ini dicabut dengan undang-undang

baru, yaitu Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Peninjauan kembali diatur dalam Pasal 21:

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan

undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak

yang berkepentingan.

Terakhir dengan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman perihal upaya hukum peninjauan kembali diatur

dalam ketentuan Pasal 24 yang menyatakan bahwa terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,pihak-pihak

yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang

ditentukan dalam undang-undang. Terhadap putusan peninjauan kembali

tidak dapat dilakukan peninjauan kembali (Pasal 24 ayat 2).

Dalam UU PERATUN upaya peninjauan kembali diatur dalam

ketentuan Pasal 132 yang menyatakan bahwa terhadap putusan

Page 88: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 79

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum dapat diajukan

permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 132

ayat 1). Pasal 132 ayat (2) menyatakan bahwa acara pemeriksaan

peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)

Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Berdasarkan ketentuan Pasal 132 UU PERATUN, mengenai acara

pemeriksaan peninjauan kembali menunjuk ketentuan Pasal 77 ayat (1)

Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal 77

(1) UU PERATUN menentukan: Dalam pemeriksaan peninjauan kembali

perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama

atau Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, digunakan

hukum acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai

dengan Pasal 75.

Dengan demikian, untuk acara pemeriksaan peninjauan kembali

perkara yang diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha

negara berlaku ketentuan Pasal 67 sampai dengan Pasal 75 UU

MAHKAMAH AGUNG.

Peninjaun kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada

Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap. Mahkamah Agung memutus permohonan

peninjaun kembali pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan adanya

permohonan peninjauan kembali adalah tidak menangguhkan atau

menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

Permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan

berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan secara limitatif sebagai

berikut:

Tabel 15. Alasan-Alasan Mengajukan Peninjauan Kembali

Alasan-Alasan Mengajukan Kasasi

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu

muslihat lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau

didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana

dinyatakan palsu;

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang

bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat

ditemukan;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih

daripada yang dituntut;

Page 89: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

80 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. Apabila diantara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang

sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama

tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan

yang lain;

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau

suatu kekeliruan yang nyata.

Tenggang waktu pengajuan permohonan kembali adalah 180

(seratus delapan puluh) hari yang dihitung dengan ketentuan sebagai

berikut:

Tabel 16. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Kembali

Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Kembali

a. Apabila permohonan peninjauan kembali didasarkan pada suatu

kebohongan atau tipu muslihat lawan yang diketahui setelah

perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang

kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu maka waktu 180

(seratus delapan puluh) hari adalah sejak diketahuinya kebohongan

atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh

kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada pihak yang

berperkara;

b. Apabila permohonan peninjauan kembali didasarkan alasan bahwa

setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat

ditemukan, maka waktu 180 (seratus delapan puliuh) hari adalah

sejak ditemukannya surat-surat bukti yang hari serta tanggal

ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan

oleh pejabat yang berwenang;

c. Apabila permohonan peninjauan kembali didasarkan pada alasan-

alasan sebagai berikut:

c.1 apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau

lebih daripada yang dituntut;

c.2 apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus

tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

c.3 apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim

atau suatu kekeliruan yang nyata.

Jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari adalah sejak

Page 90: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 81

putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah

diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.

d. Apabila permohonan peninjauan kembali didasarkan pada alasan

bahwa apabila pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang

sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama

tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama

lain, maka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari adalah sejak

putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan

hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak.

Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum

diputus. Apabila permohonan peninjaun kembali dicabut maka tidak

dapat diajukan lagi permohonan peninjauan kembali yang kedua dan

seterusnya. Dengan demikian, para pihak dianggap menerima putusan.

Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan sendiri oleh pihak-

pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau wakilnya yang secara

khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses pemeriksaan

peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan peninjauan

kembali dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Permohonan peninjaun

kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua

pengadilan tata usaha negara yang memutus perkara dalam tingkat

pertama dengan membayar biaya perkara.

Permohonan peninjaun kembali diajukan oleh pemohon secara

tertulis dengan menyebutkan alasan yang jelas yang dijadikan dasar

permohonan. Permohonan dimasukkan di kepaniteraan pengadilan tata

usaha negara yang memutus pada tingkat pertama.Apabila pemohon

peninjauan kembali tidak dapat menulis, maka ia menguraikan

permohonannya secara lisan di hadapan ketua pengadilan tata usaha

negara yang memutus pada tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk

oleh ketua pengadilan yang selanjutnya akan membuat catatan tentang

permohonan tersebut. Setalah ketua pengadilan tata usaha negara yang

memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan kembali,

maka panitera wajib untuk memberikan atau mengirimkan salinan

permohonan peninjauan kembali kepada lawan pemohonan dalam jangka

waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan

peninjauan kembali diterima oleh ketua pengadilan tata usaha negara

yang memutus perkara dalam tingkat pertama.

Pemberian atau pengiriman salinan permohonan peninjauan

kembali kepada lawan pemohon adalah dimaksudkan untuk: a. Dalam hal

permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana

Page 91: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

82 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

dimaksud Pasal 67 huruf a atau huruf b agar pihak lawan mempunyai

kesempatan untuk mengajukan jawabannya; b. Dalam hal permohonan

peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang tersebut Pasal

67 huruf c sampai dengan huruf f agar dapat diketahui.

Pihak lawan harus mengajukan jawaban sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah

menerima salinan permohonan peninjauan kembali. Surat jawaban

diserahkan atau dikirimkan kepada pengadilan tata usaha negara yang

memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu oleh

Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut,

yang salinannnya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon

untuk diketahui.

Panitera mengirimkan permohonan dan berkas secara lengkap

beserta biayanya kepada Mahkamah Agung dalam jangka waktu

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari. Dalam permohonan peninjauan

kembali tidak ada surat menyurat antara pemohon dan/atau pihak lain

dengan Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung berwenang memerintahkan pengadilan tata

usaha negara yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau

pengadilan tingkat banding untuk mengadakan pemeriksaan tambahan,

atau meminta segala keterangan serta pertimbangan. Setelah pengadilan

yang bersangkutan melaksanakan perintah itu segera mengirimkan berita

acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan kepada Mahkamah

Agung.

Dalam pemeriksaan peninjaun kembali Mahkamah Agung dapat

memberikan putusan sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan

peninjauan kembali dan Mahkamah Agung membatalkan putusan yang

dimohonkan peninjauan kembali, selanjutnya memeriksa dan memutus

perkara dengan disertai pertimbangan-pertimbangan; b. Menolak

permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung

berpendapat bahwa permohonan peninjaun kembali itu tidak beralasan

dengan disertai pertimbangan-pertimbangan.

Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan permohonan

peninjauan kembali kepada pengadilan tata usaha negara yang memutus

perkara dalam tingkat pertama dan selanjutnya oleh Panitera pada

pengadilan tata usaha negara yang bersangkutan dalam jangka waktu 30

(tiga puluh) hari menyampaikan salinan putusan itu kepada pihak lawan

dengan memberikan alasannya.

2.10 Pelaksanaan Putusan

Page 92: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 83

Pelaksanaan putusan adalah tujuan utama gugatan di pengadilan

tata usaha negara. Dalam hukum acara peradilan tata usaha negara

putusan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap. Putusan harus dilakukan secara sukarela oleh pihak yang

dikalahkan. Jika pihak yang dikalahkan tidak melaksanakan secara suka

rela, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar

pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan.

Putusan yang telah dijatuhkan hakim harus dilaksanakan.

Pelaksanaan putusan hakim pada dasarnya adalah hal yang paling

dikehendaki oleh seseorang yang mengajukan gugatan di pengadilan.

Putusan yang tidak dapat dilaksanakan tentu tidak ada artinya. Pihak yang

dimenangkan dalam putusan dikatakan hanya menang diatas kertas saja.

Dalam hukum acara PERATUN, putusan yang dapat dilaksanakan

hanyalah putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Berbeda

dengan hukum acara PERATUN, dalam hukum acara perdata dikenal

adanya putusan serta merta atau “uitvoerbaar bij voorraad”, yaitu putusan

yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan itu

sedang dilakukan suatu upaya hukum.

Yang dimaksud dengan putusan yang telah memiliki kekuatan

hukum tetap adalah putusan sebagai berikut: a. Putusan pengadilan

tingkat pertama yang sudah tidak tidak dapat dilawan atau dimintakan

pemeriksaan banding lagi; b. Putusan pengadilan tinggi yang tidak

mintakan pemeriksaan kasasi lagi; c. Putusan Mahkamah Agung dalam

tingkat kasasi (Wicipto Setiadi 1992:144).

Putusan pengadilan tata usaha negara yang memerlukan

pelaksanaan hanyalah putusan pengadilan tata usaha negara yang amar

putusannya mengabulkan gugatan penggugat. Putusan pengadilan tata

usaha negara yang amar putusannya berupa gugatan ditolak, gugatan

tidak diterima atau gugatan gugur tidak memerlukan pelaksanaan.

Apabila gugatan di pengadilan tata usaha negara dikabulkan oleh

hakim, maka badan/pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat yang

dikalahkan harus melaksanakan isi putusan, yang dapat berupa: a.

Pencabutan KTUN yang bersangkutan; b.Pencabutan KTUN yang

bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; c. Penerbitan KTUN

apabila gugatan dilakukan atas dasar Pasal 3; d. Membayar ganti

kerugian; e. Melakukan rehabilitasi.

Pelaksaan putusan dilaksanakan atas perintah ketua pengadilan

yang mengadilinya dalam tingkat pertama. Putusan harus dilakukan

secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan. Apabila tidak dilakukan,

menurut ketentuan Pasal 116 ayat (3) UU PERATUN maka penggugat

Page 93: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

84 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar pengadilan

memerintahkan tergugat melaksanakan putusan.

Apabila terhadap perintah ketua pengadilan seperti diatas tetap

tidak dilaksanakan oleh tergugat, ketua pengadilan mengajukan tentang

hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Dalam jangka

waktu dua bulan setelah instansi atasan menerima pemberitahuan ketua

pengadilan, instansi atasan harus sudah memerintahkan pejabat yang

menjadi tergugat untuk melaksanakan putusan.

Dalam hal badan/pejabat tata usaha negara tetap tidak

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum

tetap, terhadap badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan

dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau

sanksi administratif. Terhadap badan/pejabat tata usaha negara yang tidak

melaksanakan putusan pengadilan ini diumumkan oleh panitera pada

media massa cetak setempat. Ketentuan tentang besaran uang paksa, jenis

sanksi administrasi dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa

dan/atau sanksi administratif diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Selain diumumkan pada media massa cetak setempat, terhadap

badan/pejabat tata usaha negara yang tidak melaksanakan putusan

pengadilan ini diajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan

pemerintahan tertinggi agar memerintahkan kepada badan/pejabat tata

usaha negara yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan.

Juga diajukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan

fungsi pengawasan.

Pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara berarti adalah

melaksanakan eksekusi terhadap badan/pejabat tata usaha negara yang

menjadi tergugat. Dalam pelaksaan eksekusi terhadap badan/pejabat tata

usaha negara terdapat hambatan-hambatan yang berasal dari asas-asas

hukum administrasi sendiri. Asas-asas hukum administrasi itu adalah:

Tabel 17. Asas-asas Hukum Administrasi

No Asas-asas Hukum Administrasi

1

2

Asas bahwa terhadap benda-benda publik tidak dapat diletakkan

sita jaminan

Asas “rechtmatigheidheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi

asas ini adalah asas kewenangan. Pejabat atasan tidak

dibenarkan menerbitkan KTUN yang seharusnya menjadi

wewenang pejabat tertentu dibawahnya. Dengan demikian

andaikata pejabat atasan memerintahkan pejabat dibawahnya

Page 94: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 85

3

4

untuk menerbitkan sebuah KTUN dan ternyata tidak dilakukan,

pejabat atasan tidak bisa menerbitkan KTUN yang dimaksud

Asas bahwa kebebasan pejabat pemerintahan tidak bisa

dirampas. Kemungkinan dari asas ini misalnya tidak mungkin

seorang pejabat dikenai tahanan rumah karena tidak

melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Asas bahwa negara (dalam hal ini) pemerintah selalu harus

dianggap “solvable” (mampu membayar).

Sumber: Philipus M. Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi

Indonesia, 1994.

Memang salah satu problematika yang berkaitan dengan putusan

pengadilan tata usaha negara adalah ketidakpatuhan badan/pejabat tata

usaha negara untuk melaksanakan putusan, padahal putusan hakim adalah

mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan apabila

putusan tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Menurut

Wicipto Setiadi, ketidakpatuhan badan/pejabat tata usaha negara terhadap

putusan pengadilan tata usaha negara disebabkan beberapa kemungkinan,

yaitu: pertama, ketidakpatuhan pejabat tata usaha negara terhadap

penetapan pengadilan tata usaha negara karena informasi yang salah atau

tidak tepat. Masih ada pejabat yang belum sepenuhnya memahami

keberadaan pengadilan tata usaha negara sesuai dengan Undang-Undang

No.5 Tahun 1986. Kedua, ketidakpatuhan pejabat tata usaha negara itu

justru dilatarbelakangi oleh sikap arogansi atau kecongkakan pejabat

dengan kekuasaan yang diembannya. Akibat dari sikap ini, maka akan

terjadilah kecenderungan apa yang disebut dengan pelecehan pengadilan

(contempt of court).

Dalam UU PERATUN sendiri telah diatur jika badan/pejabat tata

usaha negara tidak melaksanakan putusan. Apabila badan/pejabat tata

usaha negara tidak melaksanakan putusan, ketua pengadilan

memberitahukan kepada instansi atasan yang kemudian instansi atasan ini

memerintahkan badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan untuk

melaksanakan putusan. Apabila setelah diperintah oleh instansi atasan

badan/pejabat tata usaha negara tetap tidak melaksanakan putusan maka

ketua pengadilan memberitahukan hal ini kepada Presiden sebagai kepala

pemerintahan tertinggi.

Yang menjadi persoalan apakah Presiden akan menanggapi

pemberitahuan ketua pengadilan dan selanjutnya memerintahkan

badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan untuk melaksanakan

putusan? Mengingat negara Indonesia adalah negara hukum mestinya

Page 95: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

86 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

semua pihak harus patuh untuk melaksanakan putusan hakim yang juga

merupakan produk hukum. Terlebih lagi bagi badan/pejabat tata usaha

negara yang merupakan aparatur pemerintahan harus memberikan contoh

yang baik kepada masyarakat untuk taat hukum. Jangan sampai aparatur

memerintahkan warga masyarakat untuk taat hukum akan tetapi dirinya

sendiri tidak mentatati hukum.

Berdasar perubahan kedua UU PERATUN, apabila badan/pejabat

tata usaha negara tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap ia diancam dengan ancaman sanksi

administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan demikian bertujuan supaya badan/pejabat tata usaha negara

tidak main-main untuk menjalankan putusan pengadilan. Di samping itu,

bagi badan/pejabat TUN yang tidak mematuhi putusan pengadilan

namanya diumumkan di media massa cetak. Ini bertujuan supaya

masyarakat tahu bahwa badan/pejabat tata usaha negara yang

bersangkutan adalah tidak taat hukum sehingga akan menimbulkan rasa

malu bagi badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan apabila ia

tidak melaksanakan putusan pengadilan.

Page 96: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 87

DAFTAR BACAAN

A’an Efendi, 2012. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,

Diktat, FH Universitas Jember.

Abdulkadir Muhammad, 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Bagir Manan, 2007. Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-

Undang No.4 Tahun 2004, FH UII Press, Yogyakarta.

Benjamin Mangkoedilaga, 1986. Kompetensi Relatif dan Absolut

Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,

Angkasa, Bandung.

Djoko Prakoso, 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam

Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta.

____________, 2002. Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang

No.5/1986), Liberty, Yogyakarta.

E. Utrecht, 1988. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,

Pustaka Tinta Mas, Surabaya.

_________, 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan

Kesebelas, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

H.A.K. Pringgodigdo, 1981. Tiga Undang-Undang Dasar, PT.

Pembangunan, Jakarta, Cetakan Kelima.

Harjono, 1990. Masalah Pembuktian Dalam Peradilan Tata Usaha

Negara, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Unair, Surabaya,

Nomor 2, Tahun V.

Indroharto, 2004. Usaha Memahami Undang-Undang tentang

Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian

Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta.

Page 97: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

88 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

________, 2005. Usaha Memahami Undang-Undang tentang

Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan

Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Jazim Hamidi, 1999. Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan

Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Peradilan

Administrasi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kuntjoro Purbopranoto, 1981. Beberapa Catatan Hukum Tata

Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni,

Bandung.

Lutfi Effendi, 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayu Media,

Malang.

O.C. Kaligis, 2002. Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha Negara di

Indonesia, Alumni, Bandung.

Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di

Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.

_________________, 1994. Pengantar Hukum Administrasi

Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Pitlo, 1978. Pembuktian dan Daluarsa, Cetakan Pertama, Intermasa,

Jakarta.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997. Hukum

Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,

Bandung, Cetakan Ketujuh.

Riduan Syahrini, 2004. Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Ridwan HR, 2002. Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta.

Rochmat Soemitro, 1976. Masalah Peradilan Administrasi dalam

Hukum Pajak di Indonesia, Cetakan ke-IV, Eresco, Jakarta-

Bandung.

Page 98: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 89

Rozali Abdullah, 1994. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,

Cetakan Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta.

R. Soebekti dan Tjitrosoedibio, 1989. Kamus Hukum, Pradnya Paramita,

Jakarta.

SF Marbun, 1988. Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty Yogyakarta.

________, 1997. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya

Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

________, dan Moh. Mahfud MD, 1987. Pokok-Pokok Hukum

Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta.

Sjachran Basah, 1997. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan

Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung.

Sjahran Basah, 1989. Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan

Peradilan Administrasi (HAPLA), Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1994. Aneka Cara

Pembedaan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Subekti, 1982. Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum

Nasional-Binacipta, Cetakan Kedua, Jakarta.

______, Hukum Pembuktian, 2008. Cetakan Ketujuh Belas, Pradnya

Paramita, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi

Ketujuh, Liberty, Yogyakarta.

Suparto Wijoyo, 2004. Karakteristik Hukum Acara Peradilan

Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), Airlangga

University Press, Surabaya.

Tatiek Sri Djatmiati, 1988. Mengkaji Hukum Acara Pada UU No. 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Yuridika,

Majalah Fakultas Hukum Unair, No.5 Tahun III.

Page 99: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

90 | P e r a d i l a n T a t a U s a h a N e g a r a

Teguh Samudera, 2004. Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara

Perdata, Alumni, Bandung.

Wicipto Setiadi, 1992. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara

Suatu Perbandingan, Rajawali Pers, Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro, 1974. Bunga Rampai Hukum, PT. Ichtiar Baru,

Jakarta.

_________________, 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan

Kesebelas, Sumur Bandung.

Zairin Harahap, 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,

Rajawali Pers, Jakarta.

Page 100: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

BAB 3. GUGATAN LINGKUNGAN MELALUI

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

3.1 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pertama kali

dikenal dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian dicabut

dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan terakhir dengan Undang-Undang No.32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat pertama kali dituangkan dalam

perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus

2000.

3.1.1 Jaminan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat pada mulanya

diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH):

“Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Orang adalah orang seorang, kelompok orang atau badan hukum.

Setelah UULH dicabut dengan Undang-Undang No. 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur dalam Pasal 5 ayat (1):

“Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang

baik dan sehat”. Kemudian UUPLH dicabut dengan Undang-Undang

No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPPLH). Pasal 65 ayat (1) menentukan: “Setiap orang berhak

atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi

manusia”.

Berbeda dengan UULH dan UUPLH, UUPPLH dengan tegas

menyatakan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah

bagian dari hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak

yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan

setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang

HAM).

Sebagai bagian dari hak asasi manusia maka terhadap hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat berlaku asas-asas dasar hak asasi

BAB 3

Page 101: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

92 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

manusia, yaitu: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung

tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang

secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang

harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat

kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagian, dan kecerdasan serta keadilan

(Pasal 2 UU. No.39 Tahun 1999 tentang HAM).

Hak untuk mendapatkan lingkungan yang berkualitas tertuang

dalam Prinsip 1 Deklarasi Stocholm yang menyatakan “Man has the

fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in

an environment of quality that permits a life of dignity and well-being,

and he bears a solemn responbility to protect and improve the

environment for present and future generataions”. Hak atas lingkungan

hidup yang baik dan sehat juga diatur dalam Article 1 Legal Principle For

Environmenttal Protection and Sustainable Development yang

merupakan hasil kesepakatan “Experts Group on Environmental Law of

the World Commission on Environmental and Development” yang

menentukan: “All human beings have the fundamental right to an

environment adequate for their health and well-being”.

Pada mulanya UUD 1945 tidak mengenal hak atas lingkungan

hidup yang baik dan sehat. Baru perubahan kedua UUD 1945 yang

disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, hak atas lingkungan hidup yang

baik dan sehat diatur dalam Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan

kesehatan”.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga diatur dalam

Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari

Ketetapan MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang

menyatakan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat”. Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia menentukan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat”.

Menurut Heinhard Steiger, bahwa apa yang dinamakan hak-hak

subyektif (subjective rights) adalah bentuk yang paling luas dari

perlindungan seseorang (Koesnadi Hardjasoemantri 2002:93). Hak-hak

peseorangan merupakan bentuk perlindungan yang paling ekstensif,

karena menyediakan landasan terhadap gugatan hukum bagi individu

untuk mewujudkan kepentingannya terhadap lingkungan hidup yang baik

dan sehat. Hak/gugatan ini dapat dilaksanakan melalui sarana prosedur

peradilan (Siti Sundari Rangkuti 2005:280).

Page 102: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 93

Steiger menyatakan bahwa hak/gugat tersebut mempunyai dua

fungsi yang berbeda, yaitu: 1. The function of defence (Abwehrfunktion) is

the right of the individual to defence himself againts an interference with

his environment which is to his disadvantage; 2. The function of

performence (Leistungfunction) is the right of the individual to demand

the performence of aan act in order to preserve, to restore or to improve

his environment (ibid).

Fungsi pertama adalah sebagai hak individu untuk

mempertahankan dirinya terhadap gangguan yang merugikan

lingkungannya. Fungsi kedua adalah hak individu untuk menuntut

dilakukannya tindakan pelestarian, pemulihan atau perbaikan terhadap

lingkungannya. Hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat adalah merupakan argumentasi hukum yang sangat substantif bagi

seseorang untuk melakukan gugatan terhadap pemenuhan kedua fungsi

hak perseorangan tersebut melalui forum pengadilan (Suparto Wijoyo

1999:21).

Gugatan lingkungan dapat dilakukan melalui gugatan perbuatan

melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

berdasarkan Pasal 87 ayat (1) UUPPLH untuk memperoleh ganti kerugian

dan/atau untuk melakukan tindakan tertentu atau dengan gugatan di

peradilan tata usaha negara untuk membatalkan penerbitan izin

lingkungan yang tidak cermat yang menimbulkan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini

diiringi dengan kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian

fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup.

3.1.2 Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat di Beberapa

Negara Sebagai Perbandingan

Di Amerika Serikat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

diatur dalam National Environmental Protection Act of 1969 (NEPA

1969). Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Belanda diatur

dalam Aricle 21 (Environment) Konstitusi Belanda. Di Rusia, hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur dalam Article 2 the

Constitution of Russian. Di Spanyol, hak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat diatur dalam Pasal 45 Konstitusi Spanyol. Hak atas lingkungan

hidup yang baik dan sehat di Portugal terdapat dalam ketentuan Article

66. Di Jepang, Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Jepang

dituangkan dalam Article 3 The Basic Environmental Law (Law no.91 of

1993) yang berlaku sejak tanggal 19 November 1993. Di Thailand diatur

Page 103: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

94 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

pada Bab III Konstitusi Thailand, sedangkan di Philipinan diatur pada

Section 3 Philippine Environmental Policy.

Di Amerika Serikat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

tertuang dalam National Environmental Protection Act of 1969 (NEPA

1969) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1970. Berdasar Section 2 NEPA

1969, tujuan dari undang-undang ini adalah “The purposes of this Act

are: To declare a national policy which will encourage productive and

enjoyable harmony between man and his environment; to promote efforts

which will prevent or eliminate damage to the environment and biosphere

and stimulate the health and welfare of man; to enrich the understanding

of the ecological systems and natural resources important to the Nation;

and to establish a Council on Environmental Quality”.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terdapat pada

Section 101 (c) yang menentukan “The Congress recognizes that each

person should enjoy a healthful environment and that each person has a

responsibility to contribute to the preservation of the environment”.

Berdasarkan Section 101 (c) NEPA 1969, disamping setiap orang berhak

untuk menikmati lingkungan yang sehat juga berkewajiban untuk

menjaga kelestarian lingkungan.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga terdapat pada

konstitusi beberapa negara bagian, misalnya “the Constitution of Illinois”:

“each person has the right to a healthful environment”; “the Constitution

of Rhode Island”: “the rights to use and enjoyment of the natural

resources of the state with due regard for the preservation of their

values”; dan “the Constitution of Pennsylvania”: “the people have a right

to clean air, pure water and to preservation of the natural, scenic,

historic, and aesthetic values of the environment”.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Belanda terdapat

pada Aricle 21 (Environment) Konstitusi Belanda yang menentukan “It

shall be the concern of the authorities to keep the country habitable and

to protect and improve the environment”. Berdasar Pasal 21 Konstitusi

Belanda bahwa pihak yang memiliki otoritas harus memelihara wilayah

negara sehingga layak untuk dihuni dan melindungi dan meningkatkan

kualitas lingkungan.

Berdasarkan Article 2 (Protection of Human Rights) the

Constitution of Russian menyatakan “Humans, their rights and freedoms

are the supreme value. It is a duty of the state recognize, respect and

protect the rights and liberties of humans and citizens”. Hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat tertuang terdapat pada Article 42

(Environment): “Everyone has the right to favorable environment,

Page 104: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 95

reliable information about its condition and compensation for the damage

caused to his or her health or property by ecological violations”.

Article 42 the Constitution of Russian memberikan jaminan hak

bagi setiap orang untuk menikmati lingkungan yang nyaman, memperoleh

informasi tentang lingkungan dan memperoleh kompensasi terhadap

kerusakan kesehatan atau harta bendanya yang disebabkan oleh bencana

ekologis. Hak ini diiringi dengan kewajiban untuk menjaga kelestarian

lingkungan sebagaimana ditentukan Article 58 (Duty to Protect the

Environment) yang menyatakan: “Everyone is obliged to preserve nature

and the environment, and care for natural wealth”.

Konstitusi Spanyol memberikan jaminan hak kepada setiap orang

untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam

ketentuan Pasal 45. Pasal 45 ayat (1) menyatakan “Everyone has the right

to enjoy an environment suitable for development of the person as well as

the duty to preserve it”. Setiap orang berhak untuk menikmati

keberlanjutan lingkungan dalam rangka pengembangan diri dan sekaligus

berkewajiban untuk memelihara kelestariannya.

Pasal 45 ayat (2) menentukan “The public authorities shall concern

themselves with the rational use of all natural resources for the purpose

of protecting and improving the quality of life and protecting and

restoring the environment, supporting themselves on an indispensable

collective solidarity”. Pihak otoritas publik secara rasional memanfaatkan

seluruh sumber daya alam untuk tujuan melindungi dan meningkatkan

kualitas hidup serta melindungi dan memperbaiki kualitas lingkungan.

Pasal 45 ayat (3) menentukan “For those who violate the provisions

of the foregoing paragraph, penal or administrative sanctions, as

applicable, shall be established and they shall be obliged to repair the

damage caused”. Barang siapa melanggar ketentuan ayat (1) dan ayat (2)

diancam dengan sanksi pidana dan sanksi administrasi serta wajib untuk

memperbaiki kerusakan yang disebabkan olehnya.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam konstitusi

Portugal diatur dalam Article 66. Article 66 ayat (1) menentukan

“Everyone has the right to a healthy and ecologically balanced human

environment and the duty to defend it”. Berdasarkan Article 66 (1)

Konstitusi Portugal setiap orang memiliki hak atas kesehatan dan

keseimbangan lingkungan manusia secara sekologis serta berkewajiban

untuk mempertahankan kelestarian lingkungan.

Article ayat (2) menyatakan “ It is the duty of the State, acting

through appropiate bodies and having resources to or taking support on

popular initiatives, to: a. Prevent and control pollution, its effects and

Page 105: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

96 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

harmful forms of erosion; b. Order and promete regional planning aimed

to achieving a proper location of activities, a balanced social and

economic development, and resulting in biological balanced landscapes;

c.Create and develop natural reserves and park and recreation areas and

classify and protect landscapes and site so as to ensure the conservation

of nature and the preservation of cultural assets of historical or artististic

interest; d. Promote the rational use of natural resources, safeguarding

their capacity for renewal and ecological stability”.

Berdasarkan Article 66 (1) Konstitusi Portugal setiap orang

memiliki hak atas kesehatan dan keseimbangan lingkungan manusia

secara sekologis serta berkewajiban untuk mempertahankan kelestarian

lingkungan. Negara berkewajiban untuk bertindak melalui badan-badan

dan sumber daya yang tersedia untuk melakukan prakarsa-prakarsa untuk:

a. mencegah dan mengendalikan pencemaran, yaitu dampak dan akibat

erosi, b. memerintahkan dan meningkatkan perencanaan regional dengan

tujuan untuk mencapai lokasi kegiatan yang tepat, c. menciptakan dan

mengembangkan sumber daya cadangan dan taman dan wilayah rekreasi

dan menggolongkan dan melindungi bentang alam dan situs-situs untuk

memastikan konservasi sumber daya alam dan pelestarian aset-aset

budaya, d. meningkatkan penggunaan sumber daya alam secara wajar dan

menjaga kemampuan untuk menjaga keseimbangan ekologi.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Jepang

dituangkan dalam Article 3 The Basic Environmental Law (Law no.91 of

1993) yang berlaku sejak tanggal 19 November 1993 “Environmental

conservation shall be conducted appropriately to ensure that the present

and future generations of human beings can enjoy the blessings of healthy

and productive environment and that the environment as the foundation

of human survival can be preserved into the future, in consideration that

preserving the healthy and productive environment is indispensable for

healthy and cultured living for people, and that the environment is

maintained by a delicate balance of the ecosystem and form the

foundation of human survival, which is finite in its carrying capacity and

presently at risk of being damaged by the environmental load by human

activities”.

Berdasarkan The Basic Environmental Law, Jepang, pelestarian

lingkungan dilakukan untuk menjamin bahwa generasi sekarang dan

generasi mendatang dapat menikmati produktivitas dan kesehatan

lingkungan dan bahwa lingkungan merupakan fundamen bagi manusia

untuk mempertahankan kelangsungan kehidupannya di masa mendatang.

Kesehatan dan produktivitas lingkungan sangat diperlukan sebagai

Page 106: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 97

pertimbangan untuk memelihara kesehatan dan kehidupan manusia yang

berbudaya. Lingkungan adalah fundamen kelangsungan kehidupan

manusia dan harus dipertahankan berdasar keseimbangan ekologis.

Pada Bab III Konstitusi Thailand tentang tentang hak dan

kebebasan rakyat Thiland, Section 56 menyatakan “The right of a person

to give to the State and communities participation in the preservation and

exploitation of natural resources and biological diversity and in the

protection, promotion and preservation of the quality of the environment

for usual and consistent survival in the environment which is not

hazardous to his or her health and sanitary c ondition,welfare or quality

of life, shall be protected, as provided by law”. Any project or activity

which may seriously affect the quality of the environment shall not be

permitted, unless its impacts on the quality of the environment have been

studied and evaluated and opinions of an independent organisation,

consisting of representatives from private environmental organisations

and from higher education institutions providing studies in the

environmental field, have been obtained prior to the operation of such

project or activity, as provided by law. The right of a person to sue a

State agency, State enterprise, local government organisation or other

State authority to perform the duties as provided by law under paragraph

one and paragraph two shall be protected.

Section 56 Konstitusi Thailand memberikan hak kepada setiap

orang untuk berpartisipasi bagi negara dan masyarakat dalam pelestarian

dan ekploitasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati dan dalam

perlindungan, peningkatan dan pelestarian kualitas lingkungan dan untuk

bertahan pada kelangsungan lingkungan yang tidak berbahaya.

Terhadap proyek atau aktivitas yang dapat menimbulkan dampak

yang serius terhadap kualitas lingkungan tidak akan diijinkan, kecuali ada

suatu studi dan evaluasi dan pendapat dari organisasi yang independen

tentang dampak itu, yang terdiri atas perwakilan dari organisasi

lingkungan privat dan lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan studi

tentang lingkungan.

Lebih lanjut Section 56 Konstitusi Thailand menentukan bahwa

setiap orang memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada badan-

badan negara, perusahaan-perusahaan negara, organisasi pemerintah

daerah atau otoritas yang lain untuk melaksanakan kewajiban

sebagaimana diatur dalam paragraph 1 dan paragraph 2.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Filipina tertuang

dalam Section 3 Philippine Environmental Policy yang menyatakan: “In

furtherance of these goals and policies, the Goverment regognizes the

Page 107: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

98 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

right of the people to healthful environment. It shall be the duty and

responsbility of each individual to contribute to the preservation and

enhancement of the Philippine environment”. Berdasarkan ketentuan

Section 3 Philippine Environmental Policy, di samping memberi jaminan

kepada setiap orang untuk menikmati lingkungan yang sehat juga disertai

kewajiban untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan kualitas

lingkungan.

3.1.3 Hak Atas Informasi Lingkungan Hidup

Hak atas informasi lingkungan hidup adalah konsekuensi dari hak

atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan adanya informasi

tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka sistem pengambilan

keputusan akan semakin sempurna, terutama yang menyangkut aspek-

aspek pengelolaan lingkungan (N.H.T Siahaan 2006: 127), yang pada

akhirnya dapat dihindarkan kemungkinan-kemungkinan dampak buruk

suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan.

Pemberian informasi lingkungan hidup yang benar kepada

masyarakat dapat memberikan manfat-manfaat tertentu dalam

pengelolaan lingkungan, diantaranya: a. Dengan informasi, masyarakat

memiliki hak menyatakan pendapat sesuai dengan kepentingannya

(misalnya dalam suatu rencana kegiatan atau pemberian izin untuk suatu

kegiatan, masyarakat dapat menolaknya karena dapat merusak

lingkungannya, menerima dengan syarat tertentu, bahkan berperan

sebagai penyokong jika kegiatan ini dipandang bersifat positif); b.

Masyarakat dapat memberikan kontribusinya untuk berpartisipasi

melakukan pengelolaan lingkungan; c. Masyarakat dapat memahami apa

yang menjadi kewajibannya atas suatu pengelolaan lingkungan; dan d.

Dalam sistem Amdal khususnya, prinsip pemberian informasi yang benar

dan akurat kepada masyarakat merupakan syarat mutlak, yang untuk

selanjutnya masyarakat dapat menentukan sikapnya terhadap rencana

suatu kegiatan (ibid 127-128).

Pada awalnya hak atas informasi lingkungan hidup diatur dalam

ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUPLH yang menyatakan “Setiap orang

mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan

peran dalam pengelolaan lingkungan hidup”. Penjelasan Pasal 5 ayat (2)

UUPLH menyatakan bahwa hak atas informasi lingkungan hidup

merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan

lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas

informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas

peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, disamping akan

Page 108: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 99

membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup

sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat berupa data, keterangan atau

informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup

yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui

masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan

hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik

pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang.

Setelah berlakunya UUPPLH hak atas informasi lingkungan hidup

diatur dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2):Setiap orang berhak

mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses

partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan

hidup yang baik dan sehat. Penjelasan Pasal 65 ayat (2): Hak atas

informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak

berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada

asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan

meningkatkan nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan

lingkungan hidup, disamping akan membuka peluang bagi masyarakat

untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat ini

dapat berupa data, keterangan atau informasi lain yang berkenaan dengan

pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang

terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai

dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan

lingkungan hidup, baik pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup,

dan rencana tata ruang.

Rumusan Pasal 65 ayat (2) UUPPLH lebih luas cakupannya

dibandingkan dengan Pasal 5 ayat (2) UUPLH karena didalamnya

mencakup hak untuk memperoleh pendidikan lingkungan, akses

partisipasi dan akses keadilan dalam rangka memenuhi hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun rumusan penjelasan kedua

pasal tersebut sama.

Jaminan hak atas informasi lingkungan hidup ini semakin kuat

dengan diundangkannya Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP). Menurut UUKIP yang dimaksud

dengan informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-

tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun

penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan

dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan

teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non

Page 109: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

100 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

elektronik (Pasal 1 angka 1 UUKIP). Informasi publik adalah informasi

yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu

badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan

negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya

yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang

berkaitan dengan kepentingan publik (Pasal 1 angka 2 UUKIP).

Tujuan dari di undangkannya UUKIP ini adalah: a. menjamin hak

warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik,

program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik,

serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong

partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; c.

meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan

publik dan pengelolaan badan publik yang baik; d. mewujudkan

penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan

efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; e.mengetahui

alasan kebijakan publik yang mempengerahui hajat hidup orang banyak;

f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan

bangsa; dan/atau g.meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di

lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang

berkualitas.

Pada dasarnya setiap orang berhak memperoleh informasi publik

karena informasi adalah bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap

pengguna informasi publik. Bahkan setiap informasi publik harus dapat

diperoleh oleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat

waktu, biaya ringan dan cara sederhana.

Setiap badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara

berkala yang meliputi: a. Informasi yang berkaitan dengan badan hukum

publik; b. Informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait;

c. Informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau d. Informasi lain yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 9 ayat (2) UUKIP).

Meskipun tidak disebutkan dengan tegas bahwa informasi publik yang

berkaitan dengan pengelolaan lingkungan harus diumumkan secara

berkala, namun dengan melihat ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf d UU

KIP yang menyatakan “informasi lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan” dapat disimpulkan bahwa informasi publik yang

harus diumumkan secara berkala adalah termasuk informasi tentang

pengelolaan lingkungan.

Menurut ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf u, Pasal 63 ayat (2)

huruf o, dan Pasal 63 ayat (3) huruf i UUPPLH memberikan kewenangan

kepada pemerintah atau pemerintah provinsi atau pemerintah

Page 110: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 101

kabupaten/kota untuk mengelola informasi lingkungan hidup sesuai

dengan kewenangannya. Informasi lingkungan hidup yang dikelola oleh

pemerintah atau pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota

adalah menjadi hak masyarakat untuk mengetahuinya sesuai dengan

ketentuan Pasal 65 ayat (2) UUPPLH. Di samping itu, bagi setiap orang

yang melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib untuk memberikan

informasi yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu.

Informasi publik wajib diberikan kepada masyarakat kecuali secara

khusus dilarang oleh undang-undang. Apabila masyarakat mendapat

hambatan atau kegagalan untuk memperoleh informasi publik maka

dapat mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam UUKIP. Bahkan terhadap badan publik yang dengan sengaja

tidak menyediakan, tidak memberikan, dan atau/tidak menerbitkan

informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik

yang wajib diumumkan secara serta merta, informasi publik yang wajib

tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas

dasar permintaan, dan kemudian mengakibatkan kerugian terhadap orang

lain diancam dengan ancaman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun

dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.,00 (lima juta rupiah)

sesuai dengan ketentuan Pasal 52 UU KIP.

Namun demikian, tidak setiap informasi publik dapat diperoleh.

Disini terdapat pengecualian. Informasi publik yang dikecualikan bersifat

rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum

didasarkan pada pengujian tentang konsekeunsi yang timbul apabila suatu

informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan

dengan seksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi

kepentingan yang lebih besar dari pada membukanya atau sebaliknya.

Informasi publik yang tidak dapat diberikan/atau tidak dapat dibuka

untuk masyarakat meliputi: a. informasi yang dapat membahayakan

negara; b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan

usaha dari persaingan usaha tidak sehat; c. informasi yang berkaitan

dengan hak-hak pribadi; d. informasi yang berkaitan dengan rahasia

jabatan; dan/atau e. informasi publik yang diminta belum dikuasai atau

didokumentasikan (Pasal 6 ayat 3). Ketentuan Pasal 6 ayat (3) adalah

bersifat mutlak. Hal demikian dapat disimpulkan dari rumusan “tidak

dapat diberikan/atau tidak dapat dibuka”, yang berarti ketentuan diatas

tidak dapat dibuka dalam keadaan apapun.

Informasi-informasi yang dikecualikan untuk dapat diakses oleh

masyarakat diatur dalam ketentuan Pasal 17 huruf a sampai dengan huruf

Page 111: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

102 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

j UUKIP. Namun, terhadap ketentuan Pasal 17 ini terdapat pengecualian

seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Menurut Pasal 20

ayat (1) UU KIP pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17

huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat

permanen. Berarti dalam keadaan-keadaan dan dengan syarat-syarat

tertentu ketentuan Pasal 17 dapat disimpangi.

Di Belanda sejak tanggal 14 Februari 2005 setiap warga negara

memiliki akses yang luas terhadap pengelolaan lingkungan. Hal ini

disebabkan hasil perubahan terhadap undang-undang informasi dan

undang-undang pengelolaan lingkungan di Belanda. Perubahan terhadap

kedua undang-undang tersebut sebagai hasil dari diberlakukannya the

Aarhus Convention. G.H. Addink menyatakan Since February 14th 2005

citizen have larger access to environmental matters. This is a result of the

changes of the Dutch Information act and the Environmental

Management Act. These two amandement are a result of the Aarhus

Convention which grant the public rights regarding access to

information, publik participation and access to justice, in govermental

decision-making proceses on matters concerning the local, national and

transboundary environment (G.H. Addink 2008:254).

Dalam Dutch Information Act tidak hanya diatur tentang akses

memperoleh informasi tentang pengelolaan lingkungan, namun juga

informasi publik secara umum. Dengan diberlakukannya Dutch

Information Act dapat diakses dokumen-dokumen penting berupa:

documents of parliament, document from departements of a ministry,

departements of the province, local authorities, body of surveyors of the

dikes and the office of the dike-reeve, other public services and

committees (ibid:256). Dokumen-dokumen itu dapat berwujud notes-

concept-minutes-memos-and report are public (ibid).

Terdapat dua bentuk informasi, yaitu informasi yang bersifat aktif

dan informasi yang bersifat pasif. Informasi aktif adalah the information

from managing bodies, provinces, local authorities, water boards, and

other public services and committees. These public institution give

automatically access in their reports and other information sources. They

create this access themselves. Informasi pasif which means that the public

institutions don’t give their information automatically, but only on

request (ibid:258).

Dengan informasi yang aktif berarti informasi tersebut berasal dari

badan-badan publik itu sendiri. Badan-badan publik ini dengan sengaja

memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi.

Page 112: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 103

Sedangkan dengan informasi pasif badan-badan publik akan memberikan

informasi jika memang ada yang memintanya.

Tidak semua informasi dapat diberikan kepada publik, ada

pengecualiannya. Pengecualian pemberian informasi ini dibedakan

menjadi dua macam, yaitu pengecualian secara absolut atau mutlak dan

pengecualian secara relatif. Mengenai hal ini G.H. Addink menyatakan

Absolute means thet the goverment is not allowed to give information that

can do damage in any form or way the Crown, which means the Union of

the Queen and her ministers. Furthermore there is no right of access

when the Protection of Personal Information Act forbids this. The second

category, relative, means that the goverment mus make a contemplation

of interest. Some rules can be contrary to the interest of the public versus

the institutions: the right of access and the need of secrecy and discretion

(ibid:259).

Beberapa permohonan informasi yang dapat ditolak untuk

diberikan adalah: 1. personal opinions of the authorities; 2.

confidentiality concerning the prooceding; 3. international affairs; 3.

economical and financial interest; 4. Secrecy of the production and

construction of companies; 5. investigation and prosecution in criminal

matters; 6. Inspection, control, surveillance, management and

guardianship by the goverment; 7. special environmental matters, like the

Endangared Animal Species Act; 8. information concerning prevention

and restriction of sabotage and organized opposition (ibid).

3.2 Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan adalah

konsekuensi lebih lanjut dari jaminan hak atas lingkungan hidup yang

baik dan sehat. Hakekat sebenarnya dari hak berperan serta adalah dalam

prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara (KTUN), khususnya

tentang izin lingkungan. Sebelum suatu keputusan izin lingkungan

ditetapkan oleh badan/pejabat yang berwenang, masyarakat diberikan

kesempatan untuk ikut menyumbangkan berbagai pemikiran atau

mengajukan keberatan terhadap izin yang akan dikeluarkan. Keberatan ini

didasarkan pada alasan, misalnya dengan adanya izin lingkungan tersebut

dapat menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan sehingga

akan merugikan masyarakat sekitar. Dalam UUPPLH tidak terdapat

pengaturan tentang peran serta masyarakat, UUPPLH hanya mengatur

peran masyarakat.

Pemberian jaminan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

harus disertai dengan jaminan prosedur perlindungannya agar

Page 113: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

104 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

pelaksanaannya agar dapat berfungsi secara efektif. Pelaksanaan hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat dapat diwujudkan dalam bentuk

hak untuk mengambil bagian dalam prosedur hukum administrasi, seperti

peranserta (inspraak, public hearing) atau hak banding (beroep) terhadap

penetapan administratif (keputusan tata usaha negara) (Siti Sundari

Rangkuti 2005:282).

Dalam “Inspraak”, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam

pengambilan keputusan dengan cara ikut berfikir sebelum keputusan

(meedenken) dan tidak dengan jalan mengajukan keberatan (bezwaren)

sesudah keputusan diambil. Dengan demikian, dalam lembaga “inspraak”

terdapat kegiatan nyata yang dapat memberikan pengaruh terhadap

kebijaksanaan lingkungan dan bertindak dengan cara diskusi dengan

penguasa mengenai masalah lingkungan (meedenken en meesprekeen)

(Siti Sundari Rangkuti 1984:8-9). Peranserta masyarakat sebagai prosedur

perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam

pengelolaan lingkungan adalah dalam rangka mewujudkan keberhasilan

upaya pencegahan pencemaran lingkungan.

Peran serta masyarakat disebut juga dengan istilah partisipasi

masyarakat (istilah dalam Bab XI Undang-Undang No.12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Peran serta

masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dikenal diberbagai negara

dengan berbagai istilah sebagai berikut:

Tabel 18. Istilah Peranserta Di Berbagai Negara

No Negara Istilah

1 Belanda Inspraak

2 Swedia Public Information Programmes

3 Denmark Public Information Programmes/Regulatory Decision

making

4 Austria Public Information Programmes

5 Kanada Commissions of Inguiry/Public Hearing/Regulatory

Decision Making

6 Jerman Regulatory Decision Making

7 USA Environmental Assessment Procedures/Impact

Statements/Administrative and Judicial Appeal

Sumber: Siti Sundari Rangkuti, Pembinaan Hukum Lingkungan

Administratif, Hukum Lingkungan Keperdataan dan Hukum

Lingkungan Kepidanaan, 1983/1984.

Page 114: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 105

Peran serta masyarakat merupakan hal yang essensial dalam

pengelolaan lingkungan yang baik (good environmental governance),

terutama dalam prosedur administratif perizinan lingkungan sebagai

instrumen pencegahan pencemaran lingkungan (Siti Sundari Rangkuti

2008:113). Hakekat sebenarnya dari hak berperan serta adalah dalam

prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara (KTUN), khususnya

tentang izin lingkungan. Peran serta masyarakat terasa penting dalam

prosedur administratif pengelolaan lingkungan, seperti misalnya

perizinan, AMDAL dan sebagainya.

Sebelum suatu keputusan izin lingkungan ditetapkan oleh

badan/pejabat yang berwenang, masyarakat diberikan kesempatan untuk

ikut menyumbangkan berbagai pemikiran atau mengajukan keberatan

terhadap izin yang akan dikeluarkan. Keberatan ini didasarkan pada

alasan, misalnya dengan adanya izin lingkungan tersebut dapat

menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan sehingga akan

merugikan masyarakat sekitar.

Dengan peranserta masyarakat berarti tersedianya kesempatan bagi

individu-individu, kelompok, organisasi untuk memberikan masukan

dalam pembuatan keputusan yang berdampak atau kemungkinan

berdampak pada lingkungan, termasuk pembuatan undang-undang,

penegakan hukum dalam suatu negara, kebijakan, dan petunjuk-petunjuk,

dan termasuk prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (Lal

Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson tt:79).

Dengan adanya peran serta masyarakat ini badan/pejabat yang

berwenang akan memperoleh berbagai informasi yang dapat dijadikan

pertimbangan apakah suatu izin lingkungan tetap akan dikeluarkan atau

tidak.. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam pengambilan keputusan

adalah merupakan wujud demokratisasi dalam pengambilan keputusan.

Di samping itu, apabila masyarakat dilibatkan dalam pengambilan

keputusan maka kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap

pengambilan keputusan akan lebih besar. Apabila izin lingkungan tetap

dikeluarkan dan dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan pencemaran

masih terdapat sarana hukum bagi masyarakat, yaitu dengan cara

mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara agar izin tersebut

dapat dibatalkan.

Pentingnya peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan

dinyatakan dalam pembukaan Bab 23 Agenda 21 yang menyebutkan

bahwa peranserta masyarakat adalah salah satu prasyarat pokok untuk

mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Page 115: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

106 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan menetapkan

tiga pilar penting, yaitu access to information, access to decision-making

dan access to justice. (Glenn M. Wiser dan Daniel B. Magraw, JR 2005:24)

Dengan access to information berarti masyarakat atau publik dapat

memperoleh informasi lingkungan secara keseluruhan, kecuali jika

dinyatakan secara tegas bahwa informasi tersebut tidak dapat diberikan

kepada publik.

Access to decision-making berarti masyarakat atau publik dapat

berperanserta dan memberikan pendapat terhadap proses pembuatan

keputusan lingkungan. Dengan demikian, dengan access to decision-

making mensyaratkan bahwa masyarakat akan menerima pemberitahuan

tentang proses pembuatan keputusan lingkungan sejak dini dengan

informasi yang cukup, tepat waktu dan dilakukan dengan cara yang

efektif, serta adanya ketentuan yang jelas dan transparan mengenai

kepentingan orang dan kelompok untuk mengajukan informasi, komentar

atau atau analisis mengenai isu yang relevan.

Sedangkan access to justice berarti setiap individu dan kelompok

memiliki kesempatan untuk mendapatkan ganti kerugian ketika pihak

yang berwenang gagal memenuhi kewajiban mereka untuk menyediakan

akses atas informasi lingkungan dan akses untuk berpereranserta dalam

proses pembuatan keputusan tentang lingkungan.

Salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam pengambilan

keputusan lingkungan misalnya tertuang dalam Hinder Ordonantie (HO)

atau Undang-Undang Gangguan. Berdasarkan Pasal 5 HO memberikan

hak kepada Setiap orang untuk mengajukan keberatan terhadap izin HO

yang ditetapkan oleh bupati/walikota. Di samping dapat mengajukan

keberatan atas ditetapkan izin HO, terdapat juga prosedur banding

administratif terhadap penetapan izin HO kepada instansi yang

kedudukannya lebih tinggi.

Berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam pengelolaan

lingkungan, prinsip 10 Declarasi Rio menyatakan “Environmental issue

are best handled with the participation of all concerned citizens, at the

relevant level. At the national level, each individual shall have

appropriate access to information concerning the environment that is

held by public authorities, including information on hazardous materials

and activities in their communities, and the opportunity to participate in

decision-making processes. State shall facilitate awareness and

participation by making information widely available. Effective access to

judicial and administrative proceeding, including redrees and remedy,

shall be provided”.

Page 116: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 107

Prinsip 10 Declarasi Rio diatas menekankan pentingnya

peningkatan kesempatan masyarakat untuk memperoleh informasi

lingkungan, termasuk informasi tentang bahan dan aktivitas berbahaya

disekitar meraka dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam

pengambilan keputusan. Pemerintah harus menyediakan sarana serta

meningkatkan kesadasaran dan partisipasi masyarakat dengan

menyediakan berbagai informasi tentang lingkungan.

Menurut Lothar Gundling, beberapa alasan peran serta masyarakat

adalah: (a) Imforming the aministration (memberi informasi kepada

pemerintah); (b) Increasing the readiness of the public to accept decision

(meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan); (c)

Supplementing judicial protection (membantu perlindungan hukum); (d)

Democratizing decision-making (mendemokratisasikan pengambilan

keputusan) (Yuliandri 2008:294).

G.H Addink mengemukakan alasan/motivasi mengapa peran serta

masyarakat diberikan, yaitu: 1.The need of a hearing about thoughts and

feelings that exist in a Democratic Society; 2. The essenstial of building a

safety valve for the frustrations and anxieties of the citizen;. 3. The use

collecting opinions and feedback from citizens in order to process those

in results that can change the policy of the goverment; 4. The useful

participation of the citizens via joint decision making in a democratic

decision making process.

Diana Conyer mengemukakan tiga alasan mengapa peran serta

masyarakat begitu penting dibutuhkan, Pertama, peran serta masyarakat

merupakan suatu alat guna memperoleh suatu informasi mengenai

kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat, karena tanpa kehadirannya

program pembangunan akan mengalami kegagalan; Kedua, masyarakat

akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika mereka

merasa dilibatkan, mulai dari proses persiapan, perencanaan, dan

pelaksanaannya. Ketiga, mendorong adanya partisipasi umum di banyak

negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi

bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat itu sendiri

(N.H.T Siahaan 2006:113-114).

Dengan adanya peran serta masyarakat dalam pengelolaan

lingkungan diharapkan tujuan-tujuan tertentu akan tercapai. Dalam

hubungan ini OECD menekankan fungsi peran serta masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan: Public participation can serve as an opportunity

for allowing citizens and groups to express their views and interest, as a

political tool for anticipating shifts in public attitudes and values and as

means for building consensus in areas of environmental controversy and

Page 117: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

108 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

conflict. It is not just a form of anticipatory policy, but a means for

improving the quality and acceptability of goverment decision (Siti

Sundari Rangkuti 2008:113).

Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, Peran serta masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan hidup mempunyai jangkauan luas. Peranserta

tersebut tidak hanya meliputi peran serta individu yang terkena berbagi

peraturan atau keputusan administratif, akan tetapi meliputi pula peran

serta kelompok dan organisasi dalam masyarakat. Peran serta efektif

dapat melampaui kemampuan orang seorang, baik dari sudut kemampuan

keuangan maupun sudut kemampuan pengetahuan, sehingga peranserta

kelompok dan organisasi sangat diperlukan, terutama yang bergerak di

bidang lingkungan hidup.

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang terasa

dewasa ini adalah peran serta masyarakat yang dilakukan oleh lembaga

swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan. LSM yang

bergerak dalam bidang lingkungan ini oleh UUPPLH disebut Organisasi

Lingkungan Hidup (OLH), yaitu kelompok orang yang terorganisasi dan

terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan

dengan lingkungan hidup (Pasal 1 angka 27 UUPPLH).

Salah satu bentuk peran serta OLH adalah dengan melibatkannya

pada Komisi Pusat dan Komisi Daerah dalam rangka penyusunan Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). OLH juga juga dapat

memberikan penyuluhan, pendidikan lingkungan atau memberikan

bantuan hukum kepada masyarakat yang menjadi korban pencemaran

untuk mengajukan gugatan di pengadilan.

Bahkan OLH dapat tampil sebagai pihak penggugat dalam kasus

sengketa lingkungan, baik gugatan di pengadilan negeri maupun di

pengadilan tata usaha negara. oleh UUPPLH, OLH diberikan legal

standing atau hak gugat dalam kasus pencemaran lingkungan.

Pada mulanya peran serta masyarakat dalam pengelolaan

lingkungan diatur dalam ketentuan Pasal 6 UULH. Setiap orang

mempunyai hak dan kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan

lingkungan hidup (Pasal 6 ayat 1 UULH). Peran serta masyarakat akan

diatur dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 6 ayat (1)

menyatakan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota

masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan

hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap

pelaksanaan dan penilaian. Dengan adanya peran serta tersebut anggota

masyarakat mempunyai motivasi kuat untuk bersama-sama mengatasi

Page 118: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 109

masalah lingkungan hidup dan menguasahakan berhasilnya kegiatan

pengelolaan lingkungan hidup.

Setelah UULH dicabut dengan UUPLH justru tidak diatur tentang

peran serta masyarakat. Pasal 5 ayat (3) UUPLH hanya mengatur tentang

hak untuk berperan dan bukan hak untuk berperan serta. Pasal 5 ayat (3)

menentukan: Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka

pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 5 ayat (3) menyatakan: Peran

sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses

pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun

dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan. Peran tersebut antara lain dalam proses penilaian

menganai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijaksanaan

lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan.

Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan

memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan

keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Di samping itu, Pasal 6 ayat (1) UUPLH menentukan: “Setiap

orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan

menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. Penjelasan

Pasal 6 ayat (1) menyatakan: Kewajiban setiap orang sebagaimana

dimaksud pada ayat ini tidak terlepas dari kedudukannya sebagai anggota

masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan

makhluk sosial. Kewajiban tersebut mengandung makna bahwa setiap

orang turut berperan serta dalam upaya memelihara lingkungan hidup.

Misalnya, peran serta dalam mengembangkan budaya bersih lingkungan

hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbangan di bidang lingkungan hidup.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UUPLH mengatur tentang peran serta

masyarakat dalam upaya memelihara lingkungan hidup, yang berwujud

peran serta dalam mengembangkan budaya bersih lingkungan, kegiatan

penyuluhan dan bimbingan lingkungan hidup. Namun peran serta

sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) ini tidak memiliki

arti hukum sama sekali. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan

lingkungan dalam artian yuridis adalah peran serta masyarakat dalam

prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara (KTUN) dalam

pengelolaan lingkungan, misalnya izin lingkungan.

Setelah berlakunya UUPPLH juga tidak diatur tentang peran serta

masyarakat. UUPPLH hanya mengatur tentang hak untuk berperan dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pasal 65 UUPPLH ayat (4)

menentukan: Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan

Page 119: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

110 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 65 ayat (5) menyatakan: Setiap

orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengaduan sebagaimana dimaksud pada Pada Pasal 65 ayat (5) akan

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Penjelasan Pasal 65 ayat (4) UUPPLH tidak menjelaskan lebih

lanjut tentang apa yang dimaksud hak untuk berperan dalam perlindungan

dan pengelolaan lingkungan. Pasal 65 ayat (4) UUPPLH hanya

menyatakan cukup jelas. Ketentuan Pasal 65 ayat (5) dan ayat (6)

UUPPLH sesungguhnya tidak perlu ada. Dengan diberikannya hak bagi

setiap orang untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan dikawatirkan akan berimplikasi pada sifat

pasif aparatur penegak hukum. Dalam kasus pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan aparatur baru akan bertindak apabila ada

pengaduan masyarakat. Padahal tindak pidana pencemaran lingkungan

adalah tindak biasa dan bukan tindak pidana aduan.

Kesalahpahaman aparatur penegak hukum pernah terjadi saat

dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Negara Menteri Kependudukan dan

Lingkungan Hidup Nomor: 03/SE/MENKL/6/1987 tentang Prosedur

Penanggulangan Kasus Pencemaran Lingkungan dan Perusakan

Lingkungan Hidup dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

No.19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus

Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan Hidup. Dengan adanya Surat

Edaran dan Keputusan Menteri ini berimplikasi pada sikap pasif aparatur

penegak hukum yang didasarkan pada salah persepsi bahwa tindak pidana

lingkungan adalah tindak pidana aduan. Aparatur penegak hukum akan

bertindak kalau ada pengaduan. Tindak pidana lingkungan adalah tindak

pidana biasa bukan tindak pidana aduan.

Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan Pasal

66 UUPPLH yang menyatakan: “Setiap orang yang memperjuangkan hak

atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara

pidana maupun digugat secara perdata”. Penjelasan Pasal 66 UUPPLH

menyatakan: Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban

dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan

untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan

dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian

peradilan.

Page 120: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 111

Ketentuan Pasal 66 ini dilatarbelakangi seringnya seseorang yang

melaporkan telah terjadinya kasus pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan oleh suatu perusahaan atau industri tertentu, namun kemudian

dilaporkan balik atas dasar pencemaran nama baik sehingga harus

diproses secara pidana. Pasal 66 adalah bentuk perlindungan hukum yang

diberikan kepada orang yang menjadi pelapor terjadinya tindak pidana

lingkungan. Bagi pelapor diberi kekebabalan hukum untuk tidak bisa

dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Meskipun ketentuan Pasal 66 UUPPLH ini dilatar belakangi oleh

ide yang baik, namun sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan Pasal

28D UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang mendapatkan

perlakuan yang sama didepan hukum. Seseorang yang melaporkan telah

terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan memang harus

diberikan perlindungan hukum, tetapi tidak berarti kebal hukum.

Seandainya dia telah membuat laporan palsu tentang telah terjadinya

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan atau laporan yang dibuatnya

tidak terbukti, maka bagi pihak yang dirugikan dapat menuntut atau

menggugatnya secara perdata.

Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) UUPPLH menyatakan bahwa

masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya

untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup. Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b.

pemberian saran, pendapat, usul, keberatan; dan/atau c. penyampaian

informasi dan/atau laporan (Pasal 70 ayat 2).

Menurut ketentuan Pasal 70 ayat (3) UUPPLH, peran masyarakat

dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian,

keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan

kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d. menumbuhkembangkan

ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan

e. mengembangkan dan menjaga budaya kearifan lokal dalam rangka

pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Dengan demikian, baik UUPLH maupun UUPPLH tidak mengatur

tentang peran serta masyarakat, yang ada hanyalah hak untuk berperan

bagi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Tujuan UUPPLH yang

hendak menyempurnakan UUPLH ternyata tidak terwujud. Apakah

dengan tidak diaturnya peran serta masyarakat merupakan bentuk

pengkebirian terhadap hak publik? Kita tunggu saja bagaimana penerapan

UUPPLH selanjutnya.

Page 121: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

112 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Sebagai bahan perbandingan perlu diketengahkan tentang

pengaturan peran serta masyarakat dalam the Aarhus Convention. Dalam

the Aarhus Convention diatur secara komprehensif tiga bentuk peran serta

masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, yaitu public participation in

decisions on specific activities sebagaimana diatur dalam Article 6, public

participation concerning plans, programmes and policies relating to the

environment sebagaimana diatur dalam Article 7 dan public participation

during the preparation of executive regulations and/or generally

applicable legally binding normative instrument sebagaimana diatur

dalam Article 8.

Selanjutnya setiap bentuk peran serta masyarakat dalam setiap

Article dalam the Aarhus Convention diatur secara terperinci mengenai

bentuk peran serta apa saja yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Pengaturan peran serta masyarakat dalam the Aarhus Convention ini

layak untuk diajukan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan

lingkungan dimasa mendatang.

3.2.1 Peran Serta Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Lingkungan Nasional

Mengenai peran serta masyarakat dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan lingkungan ( environmental legislation) diatur

dalam ketentuan Pasal 96 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 96 ayat (1)

menentukan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan

dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: a. rapat

dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d.

seminar, lokakarya, dan/atau diskusi (Pasal 96 ayat 2).

Masyarakat adalah orang perorangan atau kelompok orang yang

mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-

undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan

secara lisan dan/atau tertulis maka setiap Rancangan Peraturan

Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan diatur pula dalam Peraturan Presiden

No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan

Presiden. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka penyiapan

dan pembahasan Rancangan Undang-Undang, masyarakat dapat

Page 122: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 113

memberikan masukan kepada pemrakarsa. Pemberian masukan dilakukan

dengan menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan. Dalam

memberikan masukan masyarakat harus menyebutkan identitas secara

lengkap.

Secara komprehensif pengaturan tentang peran serta msyarakat

diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR, yaitu Peraturan DPR RI Nomor

01/ Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI. Untuk peran serta

masyarakat dalam pembentukan Perda akan dilaksanakan sesuai dengan

peraturan tata tertib DPRD.

Peranserta masyarakat diatur dalam Bab XIV tentang Representasi

Rakyat dan Partisipasi Masyarkat Bagian Kedua Partisipasi Masyarakat

sebagai berikut:

Tabel 19. Peranserta Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan Lingkungan Nasional

Dasar

Hukum

Peranserta Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan Lingkungan Nasional

Pasal 208 Masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan

dan/atau tertulis kepada DPR dalam proses:

a. penyusunan dan penetapan Prolegnas;

b. penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang;

c. pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN;

d. pengawasan pelaksanaan undang-undang; dan

e. pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Pasal 209 1. Dalam hal masukan diberikan secara tertulis dalam

proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 huruf a,

huruf b, huruf d dan huruf e, masukan disampaikan

kepada anggota dan/atau pimpinan alat kelengkapan.

2. Dalam hal masukan diberikan dalam proses

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 huruf c,

masukan disampaikan kepada pimpinan komisi.

Pasal 209 3. Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) disampaikan dengan menyebutkan identitas yang

jelas ditujukan kepada pimpinan DPR, pimpinan komisi,

pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia khusus,

pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan

Anggaran, yang menyiapkan dan menangani

pembahasan rancangan undang-undang serta melakukan

pengawasan pelaksanaan undang-undang, atau

Page 123: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

114 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

kebijakan pemerintah.

4. Dalam hal masukan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) disampaikan kepada pimpinan DPR, masukan

diteruskan kepada pimpinan komisi, pimpinan gabungan

komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan

Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, yang

menyiapkan rancangan undang-undang.

Pasal 210 1. Dalam hal masukan disampaikan secara lisan, pimpinan

komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia

khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan

Badan Anggaran, menentukan waktu pertemuan dan

jumlah orang yang diundang dalam pertemuan.

2. Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan

panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau

pimpinan Badan Anggaran menyampaikan undangan

kepada orang yang diundang sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

3. Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan dalam bentuk rapat dengar pendapat umum,

pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan

gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan

Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, atau

pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan

gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan

Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran

didampingi oleh beberapa anggota yang terlibat dalam

penyiapan rancangan undang-undang.

4. Hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

menjadi bahan masukan terhadap rancangan undang-

undang yang sedang dipersiapkan.

Pasal 11 Pimpinan alat kelengkapan yang menerima masukan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 210

menyampaikan informasi mengenai tindak lanjut atas

masukan kepada masyarakat melalui surat atau media

elektronik.

Sumber: Peraturan DPR RI Nomor 01/ Tahun 2009 tentang Peraturan

Tata Tertib DPR RI

Hambatan-hambatan yang mungkin timbul dari pelaksanaan peran

serta masyarakat ini adalah bagaimana cara mengetahui mekanisme peran

Page 124: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 115

serta masyarakat tersebut. Hal ini mengingat yang menjadi dasar hukum

adalah suatu peraturan tata tertib DPR yang tentu tidak mudah untuk

didapat oleh masyarakat. Peraturan tata tertib DPR hanya mempunyai

kekuatan hukum mengikat kedalam dan tidak keluar.

Pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam pembentukan

undang-undang, baik saat penyiapan rancangan undang-undang maupun

ketika proses pembahasan undang-undang di DPR sederhana, serta tidak

ada konsekuensi hukum dalam hal proses partisipasi masyarakat tidak

dilaksanakan ketika proses pembahasan rancangan undang-undang

(Yuliandri 2008:298). Disamping itu, salah satu hal yang tidak terungkap

bagaimana menguji ada umpan balik serta terdapat perubahan yang

signifikan dari rancangan undang-undang yang disiapkan. Adanya peran

serta masyarakat diharapkan akan menghasilkan produk peraturan

perundang-undangan yang implementatif dalam penerapannya di

masyarakat karena peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk atas

informasi, pendapat atau masukan masyarakat yang akan terkena

pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan itu sendiri.

Disamping peningkatan peran serta masyarakat, yang tidak boleh

dilupakan adalah peningkatan kualitas anggota DPR dan pemerintah

sebagai lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan

perundang-undangan. Dengan lembaga yang berkualitas tentunya akan

menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang berkualitas

juga.

Produk perundang-undangan yang berkualitas sangat penting

terutama yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Bila suatu

peraturan perundang-undangan lingkungan dibuat secara gegabah dan

tanpa pertimbangan yang mendalam, atau tanpa informasi yang luas dari

masyarakat tentunya akan berdampak luar biasa pada lingkungan.

Pencemaran dan kerusakan lingkungan akan terjadi dan dampaknya akan

diraskan oleh setiap orang.

Sebagai contoh adalah dikeluarkannya PERPU No.1 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No.19

Tahun 2004. Berdsarkan Undang-Undang No.19 Tahun 2004 ini

pemerintah memberikan izin kepada tiga belas perusahaan pertambangan

untuk melakukan kegiatan pertambangan dikawasan hutan lindung yang

sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang No.41 Tahun 1999. Pasal 83A

menyatakan bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang

pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya

Undang-Undang No.41 Tahun 2009 tentang Kehutanan dinyatakan tetap

Page 125: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

116 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

berlaku sampai berakhirnya izin perjanjian dimaksud. Selanjutnya Pasal

83B menyatakan pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 83A ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 83B Undang-Undang No.19

Tahun 2004 diatas telah dikeluarkan Keputusan Presiden No.41 Tahun

2004 tentang Perijinan atau Perizinan di Bidang Pertambangan yang

Berada di Kawasan Hutan. Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut

telah ditetapkan tiga belas izin untuk perusahaan pertambangan di

kawasan hutan, yaitu: PT. Freeport Indonesia, PT Gag Nickel, PT Weda

Bay Nickel, PT Nusa Halmahera Mineral, PT Aneka Tambang, PT Pelsart

Tambang Kencana, PT Interec Sacra Raya, Karimun Granite, PT Soric

Mas Mining, PT Indominco Mandiri, PT Natarang Mining, PT

International Nickel Indonesia dan PT Aneka Tambang (Antam-Bahulu).

Dengan terbitnya undang-undang seperti ini, dapat dipastikan di

masa mendatang akan banyak terjadi bencana ekologi yang luar biasa.

Kegiatan penambangan dikawasan hutan lindung tentunya akan

menimbulkan dampak berupa kerusakan hutan yang kemudian akan

menimbulkan berbagai bencana lingkungan, sperti banjir, tanah longsor,

kerusakan habitat yang hidup dalam hutan dan lain-lain.

3.2.2 Peran Serta Masyarakat Dalam Prosedur AMDAL

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah

instrumen preventif pencegahan pencemaran lingkungan. AMDAL lahir

dengan diundangkannya undang-undang tentang lingkungan hidup di

Amerika Serikat, National Environmental Policy Act (NEPA), pada tahun

1969 (Otto Soemarwoto 1997:1). NEPA mulai berlaku tanggal 1 Januari

1970.

Penggunaan AMDAL sebagai instrumen pencegahan pencemaran

lingkungan ini kemudian banyak diikuti oleh negara-negara lain,

termasuk Indonesia. Pentingnya penerapan AMDAL dalam pengelolaan

lingkungan juga dituangkan dalam Prinsip 17 Deklarasi Rio:

Environmental impact assesment, as national instrument, shall be

undertaken for proposed activities that are likely to have significant

adverse impact on the environment and are subject to a decision of a

competent national authority.

AMDAL adalah suatu kegiatan (studi) yang dilakukan untuk

mengidentifikasi, memprediksi, menginterprestasi dan

mengkomunikasikan pengaruh suatu rencana kegiatan (proyek) terhadap

lingkungan (Daud Silalahi 1995:23). AMDAL adalah kajian mengenai

dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan

Page 126: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 117

pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan

keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 ayat

(1) PP No.27 Tahun 1999 tentang AMDAL).

Tidak setiap usaha dan/atau kegiatan wajib AMDAL. Hanya usaha

dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan yang

wajib memiliki AMDAL. Kriteria tentang dampak penting ditentukan

Pasal 22 UUPPLH sebagai berikut: a. Besarnya jumlah penduduk yang

akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. Luas wilayah

penyebaran dampak; c. Intensitas berlangsung; dan lamanya dampak; d.

Banyaknya komponen lingkungan lain yang akan terkena dampak; e.

Sifat kumulatif dampak; f. Berbalik dan/atau berbaliknya dampak; dan g.

Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

AMDAL disusun oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan dengan

melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan

AMDAL harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang

transparan dan lengkap serta harus diberitahukan sebelum kegiatan

dilaksanakan.

Masyarakat yang dilibatkan dalam proses penyusunan AMDAL

adalah masyarakat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 26 ayat (3), yaitu:

a. Masyarakat yang terkena dampak; b. Masyarakat pemerhati lingkungan

hidup; dan/atau c. Masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk

keputusan dalam proses AMDAL. Masyarakat dapat mengajukan

keberatan terhadap dokumen AMDAL. Dokumen AMDAL harus memuat

saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha

dan/atau kegiatan.

Peran serta masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL lebih

lanjut diatur dalam PP No.29 Tahun 1999 tentang AMDAL. Peran serta

masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL diatur dalam Bab VI

tentang Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat.

Pasal 33 ayat (1) PP AMDAL menentukan bahwa setiap usaha

dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib

diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa

menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Pengumuman

dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan pemrakarsa (Pasal

33 ayat 2). Tata cara dan bentuk pengumuman ditetapkan oleh Kepala

instaansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup.

Dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak diumumkannya rencana

usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1),

warga masyarakat yang berkepentingan berhak mengajukan saran,

Page 127: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

118 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana usaha

dan/atau kegiatan tersebut (Pasal 33 ayat 3). Tata cara penyampaian

saran, pendapat dan tanggapan masyarakat ditetapkan oleh kepala instansi

yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 34 ayat (1) PP AMDAL menetapkan bahwa bagi warga

masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses

penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak

lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana

pemantauan lingkungan hidup. Bentuk dan tata cara keterlibatan

masyarakat dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka

acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan

lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup ditetapkan

oleh kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup,

saran,pendapat, dan tanggapan warga masyarakat yang berkaitan,

kesimpulan komisi penilai, dan keputusan kelayakan lingkungan hidup

dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum (Pasal 35 ayat

1). Semua dokumen-dokumen oleh instansi yang bertanggung jawab

diserahkan kepada suatu lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan.

Peran serta masyarakat dalam prosedur AMDAL dapat juga dengan

dilibatkannya organisasi lingkungan lingkungan hidup sesuai dengan

bidang usaha dan/kegiatan yang dikaji, masyarakat terkena dampak, serta

anggota lain yang dipendang perlu dalam komisi penilai AMDAL, baik

itu komisi penilai AMDAL tingkat pusat ataupun komisi penilai AMDAL

tingkat daerah.

3.2.3 Peran Serta Masyarakat Dalam Hinder Ordonantie dan

Permasalahannya

Dalam Hinder Ordonantie Stb.1926 No.226, yang

diubah/ditambah, terakhir dengan Stb.1940 No.450 diatur tentang peran

serta masyarakat berupa hak masyarakat untuk menyatakan

pendapat/keberatan sebelum permohonan izin diputuskan dan hak

masyarakat untuk mengajukan banding terhadap izin HO kepada

gubernur. Peran serta masyarakat berupa hak untuk menyatakan

pendapat/keberatan sebelum permohonan izin HO dikabulkan diatur

dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan “Ia (pejabat yang

berwenang) harus membeberkan permintaan itu dengan lampirannya

dalam kantornya agar dapat diperiksa oleh tiap-tiap orang, dan

memberitahukan hal itu kepada orang banyak dengan menempelkan

pemberitahuan yang tertulis dalam bahasa Indonesia dan bila perlu juga

Page 128: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 119

dalam bahasa asing di atas atau dekat tempat tanah yang bersangkutan

itu”

Pasa 5 ayat (3) menentukan bahwa dalam satu bulan sesudah hari

pemberitahuan itu, setiap orang berhak untuk menyatakan keberatannya

terhadap pemberian izin itu kepada pejabat tesebut pada ayat (1). Pejabat

yang berwenang harus memeriksa keberatan-keberatan itu, dan apabila

dapat, ia harus mendengar orang-orang yang berkepentingan tersebut

guna kepentingan mereka dan juga ia harus memeriksa adanya keberatan-

keberatan lain tentang pemberian izin yang diminta itu.

Peran serta masyarakat untuk mengajukan banding terhadap

penetapan izin HO diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang

menyatakan “Keputusan tentang suatu permintaan izin harus dengan

segera diberitahukan kepada orang yang meminta, dan juga kepada umum

dengan menempelkan suatu pemberitahuan dalam bahasa Indonesia di

atas atau di dekat tanah untuk tempat kerja itu”. Terhadap keputusan izin

orang dapat mengajukan banding: a. bila diberikan oleh sebuah propinsi,

kepada College van Gedeputeerdennya (kini dapat disamakan dengan

DPRD) atau kepada Gubernurnya kalau College van Gedeputeerdennya

belum terbentuk; b. dalam hal-hal lainnya kepada Gubernur (kini: untuk

Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada Gubernur DKI dan untuk Daerah

Istimewa Jogyakarta kepada Kepala Daerah DIJ).

Yang berhak meminta banding itu ialah si pemohon dan orang-

orang yang berkepentingan, masing-masing sejauh dikalahkan dalam

keputusan itu. Hal meminta keputusan banding lebih tinggi itu kepada

College van Gedeputeerden atau kepada Gubemur, harus dilakukan dalam

empat belas hari sesudah pemberitahuan yang tersebut pada ayat (1) itu

(Pasal ayat (2) HO).

Barangsiapa meminta keputusan banding itu haruslah

memberitahukan hal itu pada waktu itu juga kepada pejabat yang

memberikan keputusan yang tersebut pada ayat (1). Pejabat itu

mengumumkan dengan segera menurut cara yang disebut pada ayat (1).

Jika permintaan itu dilakukan oleh orang selain daripada si pemohon izin

itu, maka permintaan keputusan lebih tinggi itu diberitahukan selekas-

lekasnya oleh pejabat tersebut kepada si pemohon izin dengan surat

tercatat (Pasal 10 ayat 3 HO).

Sesudah itu, pejabat yang tersebut pada ayat di atas ini

mengirimkan selekas-lekasnya segala surat-surat, bersama-sama dengan

pertimbangannya, kepada pejabat tempat orang meminta keputusan lebih

tinggi itu. Pejabat yang memberi keputusan banding itu mensahkan,

menambahi, mengubah atau membatalkan keputusan terdahulu itu dengan

Page 129: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

120 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

surat ketetapan yang menyebut sebab-musababnya dan dalam hal

membatalkannya, la dapat memberi keputusan sendiri atau mengirimkan

permintaan izin itu kembali kepada pejabat yang mula-mula memutuskan

itu supaya ditinjau kembali (Pasal 10 ayat 4).

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (5) HO bahwa adanya

permohonan banding tidak mempunyai kekuatan penangguhan, yang

berarti tiduk menunda berlaku izin HO yang dimintakan banding. Izin HO

yang diberikan itu boleh dipindahkan kepada orang lain.

Permasalahan yang timbul berkaitan dengan prosedur keberatan

dalam HO adalah mengenai cara pengumuman apabila ada suatu

permohonan izin HO yang harus ditempel dikantor Bupati/Walikota.

Dengan cara pengumuman yang demikian tentu tidak dapat dengan

mudah untuk diketahui bahwa ada permohonan izin HO. Apabila dalam

jangka waktu 30 (tiga) puluh hari telah lewat dan tidak ada keberatan

maka prosedur keberatan sudah tidak bisa dilakukan lagi.

Apabila prosedur keberatan sudah tidak dapat dilakukan masih

terdapat upaya banding yang harus diajukan kepada gubernur dalam

jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman keputusan izin.

Persoalannya adalah dalam praktek belum banyak mengetahui dan

mempergunakan upaya banding ini. Akibatnya sarana banding (beroep)

terhadap izin HO dalam Pasal 10 HO tidak pernah dimanfaatkan sebagai

upaya administratif (Siti Sundari Rangkuti 2005:151).

Secara umum pelaksaan HO sebagai salah satu peraturan

perundang-undangan lingkungan memang menimbulkan berbagai

problematika. HO masih tertulis dalam bahasa Belanda yang untuk

kelancaran penggunaannya terdapat terjemahan dalam bahasa Indonesia

dengan berbagai versi. Terjemahan kedalam bahasa Indonesia ini belum

tentu tepat dan juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yang

mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah HO dalam bahasa aslinya

karena yang dimuat dalam Staatblad adalah HO yang ada dalam bahasa

Belanda.

HO mempunyai jangkauan yang sangat terbatas, yaitu 200 meter

dari tempat usaha yang bersangkutan serta dalam batas Daerah Tingkat II.

Pencemaran lingkungan tidak mengenal batas wilayah Daerah Tingkat II

atau bahkan batas negara, pencemaran dapat terjadi secara transnasional

atau melintasi batas-batas negara.

Banyak sumber pencemaran yang tidak terjangkau oleh HO, mengingat HO hanya mengatur tentang pencemaran dari tempat usaha.

Sumber pencemaran di luar tempat usaha tidak dapat tersentuh oleh HO.

Page 130: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 121

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya HO

akan semakin menjadi ketinggalan. HO juga hanya dapat menjerat pelaku pencemaran yang dilakukan

oleh perusahaan yang bersifat individual atau mandiri. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan secara bersama-sama atau

kolektif tidak dapat dijangkau oleh HO. Sanksi administrasi yang ada dalam HO tidak bersifat fakultatif

sehingga dapat saja dijatuhkan meskipun terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil. Sanksi pidana yang ada dalam Pasal 15 ayat (1)a HO,

yaitu sanksi pidana selama-lamanya 2 bulan kurungan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.500 (lima ratus rupiah) (dinaikkan menjadi lima

belas kali berdasarkan UU No.18/Prp/1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda Dalam KUHP dan Dalam Ketentuan-ketentuan Pidana

Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum tanggal 17 Agustus 1945) tentu sangat ringan dan tidak sesuai dengan perkembangan pengelolaan

lingkungan sekarang ini. Demikian juga dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1)b yang menetapkan bahwa bagi perusahaan yang melanggar

persyaratan perizinan yang telah ditetapkan dikenakan sanksi kurungan selama-lamanya 2 (dua) minggu atau denda setinggi-tingginya Rp.250

(dua ratus lima puluh rupiah) tentunya tidak mempunyai arti sama sekali

bagi pengelolaan lingkungan sekarang ini.

3.3 Gugatan Sengketa Lingkungan di Pengadilan Tata Usaha Negara

3.3.1 Dasar Hukum Gugatan Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata

Usaha Negara

Salah satu kekurangan atau kelemahan UULH maupun UUPPLH

adalah tidak adanya pengaturan tentang penyelesaian sengketa lingkungan melalui gugatan di peradilan tata usaha negara. Namun demikian, dalam

praktek peradilan telah ada beberapa kasus sengketa lingkungan yang diajukan ke peradilan tata usaha negara. Penyelesaian sengketa

lingkungan melalui peradilan tata usaha negara memiliki kelebihan dibandingkan dengan penyelesaian sengketa lingkungan di peradilan

umum, baik itu melalui gugatan perdata maupun tuntutan secara pidana. Gugatan perdata di peradilan umum bertujuan untuk memperoleh

ganti kerugian bagi korban pencemaran/perusakan lingkungan yang tentunya tidak menyentuh persoalan pencemarannya. Tuntutan pidana

ditujukan kepada pelaku atau pencemar yang juga tidak menyentuh

persoalan pencemarannya. Gugatan perdata atau tuntutan pidana di peradilan umum adalah tidak untuk menyelesaikan persoalan pencemaran

itu sendiri.

Page 131: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

122 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Gugatan sengketa lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara

bertujuan untuk membatalkan izin lingkungan yang dimiliki oleh suatu

usaha dan/atau kegiatan. Dengan dibatalkannya izin lingkungan tersebut

berarti suatu usaha/kegiatan tidak dapat melanjutkan lagi

usaha/kegiatannya sehingga sumber pencemarannya dapat dihentikan.

Sasaran yang dituju disini adalah perbuatannya (pencemarannya).

Gugatan terhadap izin lingkungan di peradilan tata usaha bertujuan untuk

menghentikan pencemran yang terjadi.

Mengingat sebagian besar materi hukum lingkungan adalah hukum

administrasi maka besar kemungkinan dapat terjadi sengketa administrasi

atau sengketa tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan badan/pejabat tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya

KTUN (izin lingkungan) yang menimbulkan kerugian bagi orang atau

badan hukum perdata.

Segi hukum lingkungan administratif terutama muncul apabila

keputusan penguasa yang bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk

penetapan (beschikking) penguasa, misalnya dalam prosedur perizinan,

penentuan baku mutu lingkungan, prosedur analisis mengenai dampak

lingkungan (AMDAL) dan sebagainya (Siti Sundari Rangkuti 2005:5).

Mengenai materi hukum lingkungan sebagai bagian dari hukum

administrasi dijelaskan oleh Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman

yang menyatakan “environmental law is classified as a branch of

administrative law. This classification means that these laws are overseen

by body known as administrative agency, and that many of the specific

regulations in this area also established by this agency. Because

environmental law falls within this classification, some basic

understanding of administrative law is necessary”.

Apabila penguasa mengeluarkan KTUN, misalnya izin lingkungan

yang menimbulkan pencemaran lingkungan sehingga merugikan

kepentingan orang atau badan hukum perdata maka orang atau badan

hukum perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha

negara yang berisi tuntutan agar KTUN (izin lingkungan) tersebut

dinyatakan batal atau tidak sah.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan tata usaha

negara diatur dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) yang menyatakan bahwa

etiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha

negara apabila: a. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin

lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak

dilengkapi dengan dokumen amdal; b. Badan atau pejabat tata usaha

negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-

Page 132: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 123

UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau c.

Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha

dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Pasal 93

ayat (2) menentukan bahwa tata cara pengajuan terhadap keputusan tata

usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Gugatan sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara

mengacu pada hukum acara peradilan tata usaha negara, yaitu hukum

acara peradilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana telah diubah dua kali dengan Undang-Undang No. 9 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara ( UU PERATUN).

Ketentuan Pasal 93 UUPPLH yang menyatakan “Setiap orang

dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara”

bukanlah berarti siapa saja dapat menjadi pihak penggugat dalam

sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara. Pengertian setiap

orang ini harus dihubungkan dengan pengertian sengketa tata usaha

negara dan pengertian keputusan tata usaha negara (KTUN) sebagai

obyek sengketa di peradilan tata usaha negara.

Pasal 1 angka 4 UU PERATUN menyatakan: “Sengketa tata usaha

negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara

antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan

Pasal 1 angka 4 UU PERATUN subyek sengketa tata usaha negara adalah

orang atau badan hukum perdata melawan badan/pejabat tata usaha

negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Orang

atau badan hukum perdata adalah pihak penggugat yang menggugat

badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN sebagai pihak

tergugat. Keputusan tata usaha negara adalah obyek sengketa di peradilan

tata usaha negara. Keputusan tata usaha negara (KTUN) adalah suatu

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha

negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,

individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang

atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3).

Page 133: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

124 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Mengenai kedudukan orang atau badan hukum perdata sebagai

pihak penggugat dalam sengketa tata usaha negara ditentukan dalam Pasal

53 ayat (1) UU PERATUN: orang atau badan hukum perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat

mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang

berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu

dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti

rugi dan/atau rehabilitasi.

Selanjutnya Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN

menyatakan: sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 maka hanya orang

atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum

saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara

untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya hanya

orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat

hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya

yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan

Tata Usaha Negara.

Kedudukan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai tergugat

ditentukan oleh Pasal 1 angka 6 yang menyatakan: “Tergugat adalah

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan

berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan

kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”.

Setiap orang yang dimaksud oleh Pasal 93 ayat (1) UUPPLH

adalah orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan

oleh KTUN yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara.

Orang atau badan hukum perdata inilah yang menjadi pihak penggugat

dalam kasus sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara.

Orang atau badan hukum perdata ini dapat mengajukan gugatan

terhadap KTUN di pengadilan tata usaha negara dengan alasan-alasan: a.

KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; b. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan

asas-asas umum pemerintahan yang baik. (Pasal 53 ayat (2) UU

PERATUN). Menurut penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU PERATUN,

KTUN yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat

digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan secara prosedural/formal dan bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan secara materiil atau substantif.

Berdasarkan ketentuan Pasal Pasal 93 ayat (1) UUPPLH, gugatan

terhadap KTUN yang berwujud izin lingkungan dapat dilakukan dengan

alasan-alasan: a. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin

Page 134: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 125

lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak

dilengkapi dengan dokumen amdal; b. Badan atau pejabat tata usaha

negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-

UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau c.

Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha

dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

Ketentuan Pasal 93 ayat (1) UUPPLH ini harus dihubungkan

dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UU PERATUN. Apabila

dengan diterbitkannya KTUN (izin lingkungan) merugian kepentingan

orang atau badan hukum perdata maka dapat diajukan gugatan di

peradilan tata usaha negara dengan alasan-alasan sebagaimana disebut

oleh Pasal 53 ayat (2) agar KTUN (izin lingkungan) itu dinyatakan batal

atau tidak sah dengan atau tanpa disertai ganti kerugian. Artinya,

meskipun izin lingkungan yang diterbitkan kepada usaha dan/atau

kegiatan yang wajib amdal dan dilengkapi dengan dokumen amdal atau

izin lingkungan yang diterbitkan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL

dan dilengkapi dengan UKL-UPL ataupun izin usaha yang dilengkapi

dengan izin lingkungan, namun apabila dengan diterbitkannya izin

lingkungan ini menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan sehingga

merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata maka dapat

diajukan gugatan di peradilan tata usaha negara agar izin lingkungan

tersebut dinyatakan batal atau tidak sah.

Secara lebih jelas, orang atau badan hukum perdata dapat

menggugat suatu KTUN yang merugikan kepentingannya ke peradilan

tata usaha negara dengan alasan KTUN itu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau KTUN itu bertentangan dengan

AUPB. Dengan demikian, sepanjang KTUN itu merugikan kepentingan

orang atau badan hukum perdata, namun tidak terpenuhi ketentuan

sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 93 ayat (1) UUPPLH, orang atau

badan hukum perdata tetap dapat menggugatnya di peradilan tata usaha

negara karena KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan AUPB.

3.3.2 Izin Lingkungan Sebagai Obyek Sengketa Lingkungan di Peradilan

Tata Usaha Negara

Yang menjadi obyek sengketa lingkungan di peradilan tata usaha

negara adalah izin lingkungan. Izin lingkungan ini digugat oleh orang

atau badan hukum perdata karena merugikan kepentingannya dengan

tujuan agar izin lingkungan ini dinyatakan batal atau tidak sah.

Page 135: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

126 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Dalam UULH maupun UUPPLH tidak terdapat terminologi izin

lingkungan. Istilah izin lingkungan terdapat dalam peraturan perundang-

undangan lingkungan yang baru, yaitu UUPPLH. Izin lingkungan adalah

adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha

dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk

memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35 UUPPLH).

Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi

teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36).

Sesungguhnya Pasal 1 angka 35 UUPPLH diatas tidak menjelaskan

apa yang dimaksud dengan izin usaha/kegiatan. UUPPLH hanya

menjelaskan bahwa izin usaha dikeluarkan oleh instansi teknis. Jadi

kepada pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan dipersilahkan untuk mencari

sendiri instansi teknis yang berwenang untuk menerbitkan izin

usaha/kegiatan yang sedang diprakarsainya.

Perizinan merupakan kategori penting keputusan-keputusan dalam

rangka ketentuan-ketentuan larangan dan/atau keputusan-keputusan

perintah. Sistemnya adalah bahwa undang-undang melarang suatu

tindakan tertentu atau tindakan-tindakan tertentu yang saling

berhubungan. Larangan ini tidak dimaksudkan secara mutlak, namun

untuk dapat bertindak dan mengendalikan masyarakat dengan cara

mengeluarkan izin (Philipus M. Hadjon 1994:126). The basic idea of

permit system is that the law explicitly forbids a certain activity, and

subsequently rules that activity is only allowed when a competent

authority has issued permit (Marjan Peters 2004).

Dengan demikian, dengan sistem perizinan: pada dasarnya sesuatu

adalah dilarang kecuali dengan izin. Siti Sundari Rangkuti menyatakan:

“untuk mendirikan instalasi (“inrichting”) yang dapat menimbulkan

gangguan atau pencemaran lingkungan dipergunakan izin lingkungan,

karena pada dasarnya: “dilarang, kecuali dengan izin”, yang berarti

pemrakarsa memerlukan izin lingkungan (“milieuverguning”-

“environmental licence”)”. Lebih lanjut Siti Sundari Rangkuti

menyatakan: “Jenis perizinan yang umumnya mengenai kegiatan yang

mempunyai dampak penting terhadap lingkungan dikenal dengan istilah

izin lingkungan (“environmental licence” atau “milieuvergunning”)”.

Perizinan merupakan instrumen kebijaksanaan yang paling penting.

Izin tertulis diberikan dalam bentuk penetapan (beschikking) penguasa.

Environmental licencing is a state administrative decision (beschikking)

and contains precise measuring instrument to achieve to compulsory

Page 136: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 127

environmental management prerequisities needed to prevent pollution

(Siti Sundari Rangkuti dan Suparto Wijoyo 1997:99).

Perizinan pada intinya memiliki tujuan-tujuan: for revenue rising,

to control the use natural resource, to control socially undersirable

activities, to protect the public against dishonest persons and to control

the development of land (W. Riawan Tjandra 2005:80). Izin lingkungan

difungsikan sebagai instrumen dalam pengelolaan lingkungan yang

dibutuhkan untuk pencegahan pencemaran lingkungan.

Izin lingkungan adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 9 UU PERATUN yang memenuhi

unsur-unsur: suatu penetapan tertulis, dikeluarkan oleh badan atau

pejabat tata usaha negara, berisi tindakan hukum tata usaha negara,

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat

konkret individual, dan final, dan menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata. Izin lingkungan yang merugikan

(menimbulkan pencemaran lingkungan) kepentingan orang atau badan

hukum perdata dapat digugat di peradilan tata usaha negara supaya

dibatalkan atau dinyatakan tidak sah untuk menghentikan pencemaran

yang terjadi.

3.3.3 Hambatan-Hambatan Penyelesaian Sengketa Lingkungan di

Peradilan Tata Usaha Negara

Gugatan terhadap izin lingkungan di peradilan tata usaha negara

adalah sarana efektif untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran

lingkungan yang terjadi. Dengan dibatalkannya izin lingkungan yang

dimiliki oleh suatu usaha dan/atau kegiatan berarti menghentikan

pencemaran lingkungan yang terjadi. Di sini yang dituju adalah langsung

pada sumber pencemarannya.

Dengan sistem perizinan lingkungan sektoral yang ada di Indonesia

menjadi penghambat sarana gugatan di peradilan tata usaha negara untuk

pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan. Perizinan

lingkungan dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang berbeda dan dengan

prosedur yang berbeda, tidak ada sistem perizinan lingkungan terpadu.

Jenis perizinan lingkungan di Indonesia sedemikian banyaknya sehingga

Waller dan Waller menamakan Indonesia sebagai een vergunningenland

(negara perizinan) (Siti Sundari Rangkuti 2005:24).

Setiap izin adalah berdiri sendiri dan tidak saling terkait. Apabila

salah satu izin dicabut atau dibatalkan masih ada izin yang lainnya. Hal

demikian terjadi misalnya dalam kasus pencemaran lingkungan di Medan

yang dilakukan oleh PT. Sari Morawa. Izin HO dari PT Sari Morawa ini

Page 137: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

128 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

telah dicabut oleh Walikota Medan, namun PT Sari Morawa masih tetap

bisa beroperasi karena masih memiliki izin yang lain, yakni izin usaha

industri (NHT Siahaan 2006:190) sehingga pencemaran lingkungan yang

dilakukan oleh PT. Sari Morawa tidak berhenti.

Diperlukan adalah reformasi perizinan lingkungan dari yang

bersifat sektoral menjadi perizinan lingkungan yang bersifat terpadu, yang

berarti hanya ada satu jenis izin lingkungan dan diterbitkan oleh satu

badan/pejabat yang berwenang. Dengan hanya ada satu jenis izin

lingkungan tentu akan menguntungkan bagi pemrakarsa usaha dan/atau

kegiatan karena cukup membutuhkan satu jenis izin lingkungan saja.

Disamping itu, bila dalam pelaksanaan izin lingkungan ini menimbulkan

pencemaran lingkungan, maka bagi pihak yang dirugikan dapat

mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara agar izin lingkungan

yang menyebabkan pencemaran lingkungan dinyatakan batal atau tidak

sah. Dengan dibatalkannya izin lingkungan berarti akan menghentikan

pencemaran yang terjadi.

Setelah diundangkannya UUPPLH memang ada usaha untuk

menciptakan unifikasi sistem perizinan lingkungan. Setiap usaha dan/atau

kegiatan bisa memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan kalau sudah

memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan adalah prasyarat untuk

diterbitkannya izin usaha dan/atau kegiatan oleh badan/pejabat yang

berwenang. Apabila izin lingkungan dicabut maka izin usaha dan/atau

kegiatan juga ikut dicabut.

Namun sayangnya, UUPPLH juga tidak menyebutkan jenis izin

usaha dan/atau kegiatan apa saja yang memerlukan izin lingkungan.

UUPPLH hanya menyatakan bahwa izin usaha dan/kegiatan dikeluarkan

oleh instansi teknis. Dengan demikian pemrakarsa usaha dan/atau

kegiatan harus mencari sendiri instansi teknis mana yang berwenang

untuk menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatannya.

Ditetapkannya izin lingkungan sebagai syarat untuk memperoleh

izin usaha dan/atau kegiatan ini akan membingungkan karena suatu izin

usaha dan/atau kegiatan terkadang juga berfungsi sebagai izin lingkungan

yang fungsinya untuk mencegah pencemaran lingkungan. Misalnya

adalah izin usaha industri berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1984

tentang Perindustrian yang salah satu fungsinya adalah juga untuk

mencegah pencemaran lingkungan.

Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara menyatakan: Setiap orang yang

melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang

mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan

Page 138: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 129

mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan

usaha dan/atau kegiatan.

Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) PP. No. 41 Tahun 1999 diatas tidak

ditetapkan izin khusus berupa “izin pembuangan emisi”, namun cukup

dituangkan dalam persyaratan yang ada dalam izin usaha/ dan atau

kegiatan. Dengan demikian izin usaha dan/atau kegiatan ini berfungsi

sebagai sarana pencegahan pencemaran lingkungan (udara).

Di samping itu, meski telah memperkenalkan izin lingkungan,

UUPPLH masih mengatur tentang perizinan lain yang berkaitan dengan

pengelolaan lingkungan sehingga dapat dikualifikasi sebagai izin

lingkungan. Dalam UUPPLH terdapat: Izin pengelolaan limbah bahan

berbahaya dan beracun sebagaimana diatur dalam Pasal 59 dan Izin

melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan

sebagaimana diatur dalam Pasal 61.

Di luar UUPPLH terdapat juga izin HO berdasarkan Hinder

Ordonantie yang menjadi wewenang bupati/walikota, izin pemanfaatan

air limbah dan izin pembuangan air limbah berdasarkan PP No.82 Tahun

2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

yang menjadi wewenang bupati/walikota, izin pengelolaan sampah

berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan

Sampah yang menjadi wewenang kepala daerah sesuai dengan

kewenangannya masing-masing dan berbagai jenis perizinan lain sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Bila salah satu jenis izin diatas, misalnya dibatalkan oleh peradilan

tata usaha negara maka izin yang lain tidak menjadi otomatis ikut batal

karena diantara izin-izin itu tidak saling terkait. Dengan dibatalkannya

salah satu jenis izin tidak menghentikan pencemaran karena suatu usaha

dan/atau kegiatan akan tetap beroperasi karena masih ada izin yang lain.

Disamping itu, mungkin ada keengganan dari pengadilan untuk

membatalkan izin lingkungan yang digugat karena dikuatirkan akan

menimbulkan dampak yang lain, misalnya pemutusan hubungaan kerja

(PHK) terhadap pekerja/buruh di perusahaan yang izinnya dibatalkan.

Terhadap pelaksanaan izin lingkungan juga dapat dilakukan

penegakan hukum lingkungan administratif. Penegakan hukum

lingkungan administratif berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan

yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan atau secara konkrit oleh badan

atau pejabat yang berwenang memberikan izin lingkungan melalui

mekanisme pengawasan dan sanksi administrasi.

Pejabat atau instansi yang berwenang memberi izin lingkungan

merupakan aparatur penegak hukum utama dalam penegakan hukum

Page 139: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

130 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

lingkungan. Pejabat atau instansi yang berwenang memberi izin

lingkungaan adalah aparatur yang mampu mencegah terjadinya

pencemaran lingkungan melalui izin yang diberikan.

Izin lingkungan adalah instrumen hukum lingkungan yang

berfungsi sebagai sarana pencegahan pencemaran lingkungan. Prinsip

umum mengenai wewenang penegakan hukum lingkungan administratif

adalah: pejabat yang berwenang memberi izin lingkungan

bertanggungjawab terhadap penegakan hukum lingkungan administratif

(Siti Sundari Rangkuti 1999).

Penegakan hukum lingkungan administratif dilakukan melalui

mekanisme pengawasan dan penerapan sanksi administrasi. Pengawasan

adalah instrumen penegakan hukum lingkungan administratif yang

bersifat preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan sanksi

administrasi adalah instrumen penegakan hukum lingkungan administratif

yang sifatnya represif untuk memaksakan kepatuhan (Philipus M. Hadjon

1996:1).

Pengawasan sebagai sarana penegakan hukum lingkungan

administratif diatur dalam Bab XII tentang Pengawasan dan Sanksi

Administrasi dari Pasal 71 sampai dengan Pasal 75. Pasal 71 ayat (1)

menentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan

penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota

dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melaksanakan pengawasan

kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggungjawab di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 71 ayat 2). Dalam

melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota

menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang yang merupakan

pejabat fungsional (Pasal 71 ayat (3).

Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1), pejabata pengawas

lingkungan hidup berwenang: a. Melakukan pemantauan; b. Meminta

keterangan; c. Membuat salinan dan dokumen dan/atau membuat catatan

yang diperlukan; d. Memasuki tempat tertentu; e. Memotret; f. Membuat

rekaman audio visual; g. Mengambil sampel; h. Memeriksa peralatan; i.

Memeriksa peralatan; j. Memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi;

dan/atau k.Menghentikan pelanggaran tertentu. Dalam melaksanakan

tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan

koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil. Bagi

Page 140: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 131

Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi tugas

pejabat pengawas lingkungan hidup.

Lebih lanjut Pasal 72 menyatakan bahwa Menteri, gubernur, atau

bupat/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan

pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap

izin lingkungan. Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan

penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan penanggungjawab usaha

dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah

daerah jika pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di

bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal

73).Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat

pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan akan

diatur lebih lanut dalam Peraturan Pemerintah

Yang menjadi problematika berkaitan dengan pengawasan sebagai

sarana penegakan hukum lingkungan administratif adalah ketentuan

Pasal 73 UUPPLH yang menetapkan: Menteri dapat melakukan

pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan

yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika

pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Apa yang digariskan dalam ketentuan Pasal 73 UUPPLH diatas

bertentangan dengan prinsip umum penegakan hukum lingkungan

administratif yang menyatakan bahwa pejabat yang memberi izin

lingkungan bertanggungjawab terhadap penegakan hukum lingkungan

administratif. Siapa yang dimaksud dengan Menteri oleh Pasal 73

UUPPLH? Menurut Pasal 1 angka 39 UUPPLH Menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup.

Berdasarkan Peraturan Presiden No.9 Tahun 2005 tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja

Kementerian Negara Republik Indonesia, Menteri yang dimaksud adalah

kementerian negara lingkungan hidup (KNLH). Pada mulanya

kementerian negara lingkungan hidup bernama menteri negara

lingkungan hidup. Bagaimana mungkin KNLH diserahi wewenang untuk

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan izin lingkungan yang

diterbitkan oleh pemerintah daerah. Lalu bagaimana mekanisme

penyerahan wewenang tersebut? Bukankah antara KNLH dengan

pemerintah daerah tidak ada hubungan struktural organisatoris.

Sebagai tindak lanjut dari pengawasan adalah sanksi administrasi.

Jika dalam pengawasan terhadap izin lingkungan oleh badan/pejabat yang

Page 141: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

132 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

berwenang ditemukan adanya pelanggaran maka dapat dijatuhkan sanksi

administrasi. Sanksi administrasi merupakan sarana kekuasaan yang

bersifat hukum publik yang dapat diterapkan oleh penguasa sebagai reaksi

terhadap mereka yang tidak mentaati norma-norma hukum administrasi

(Philipus M. Hadjon:1995/1996:1). Sifat dari sanksi administrasi adalah

reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula (Philipus M. Hadjon

et all 1994:247).

Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu

pencegahan dan penanggulangan perbuataan terlarang dan terutama

ditujukan terhadap perlindungan lingkungan yang dijaga oleh ketentuan

hukum yang langgar tersebut (Siti Sundari Rangkuti 2005:217). Sanksi

administrasi berfungsi sebagai instrumentarium untuk menanggulangi

perbuataan-perbuatan terlarang dan ditujukan untuk melindungi

kepentingan lingkungan maupun masyarakat, kepentingan mana memang

dijaga oleh peraturan yang bersangkutan yang dilanggar (Paulus Efendi

Lotulung 1995/1996:2).

Sanksi administrasi yang dapat diterapkan oleh badan/pejabat yang

berwenang terhadap pelanggaran syarat izin lingkungan adalah sesuai

dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UUPPLH, yaitu: a. Teguran tertulis; b.

Paksaan pemerintah; c. Pembekuan izin lingkungan; d. Pencabutan izin

lingkungan.

Disamping itu, dalam ketentuan PP. No.81 Tahun 2001 juga diatur

tentang sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan oleh bupati/walikota

terhadap pelanggaran syarat IPAL dan IBAL, yaitu: teguran tertulis,

penghentian sementara, pencabutan izin melakukan usaha dan/atau

kegiatan, paksaan pemerintahan atau uang paksa.

Yang menjadi hambatan terhadap penerapan sanksi administrasi

adalah juga berkaitan dengan banyaknya jenis izin lingkungan seperti

telah dijelaskan diatas. Apabila salah satu izin dijatuhi sanksi administrasi

berupa pencabutan izin maka masih ada izin yang lain sehingga tidak

menyelesaikan persoalan pencemaran lingkungannya.

Sanksi administrasi yang berwujud pencabutan izin ini juga

menimbulkan problematika tersendiri bila diterapkan. Kemungkinan

besar akan ada keengganan dari badan/pejabat yang berwenang untuk

menjatuhkan jenis sanksi ini mengingat akibat yang akan ditimbulkannya

adalah penutupan perusahaan yang tentunya akan berujung pada

pemutusan hubungan kerja karyawannya sehingga akan menambah

jumlah pengangguran yang telah ada.

Page 142: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 133

3.3.4 Kasus-Kasus Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara

Sebelum berlakunya UUPPLH terdapat beberapa kasus sengketa

lingkungan yang diajukan ke peradilan tata usaha negara, diantaranya

adalah: gugatan yang diajukan oleh WALHI, Yayasan Forum Studi

Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Yayasan Pengembangan Hukum

Lingkungan dan Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan

Hidup terhadap Presiden akibat dikeluarkannya Kep.Pres. No.42 Tahun

1994 tentang Bantuan Pinjaman yang berasal dari dana reboisasi kepada

PT.IPTN dan gugatan WALHI melalui Pengadilan Tata Usaha Negara

DKI terhadap Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi,

karena telah mengeluarkan Surat No.600/6115/SJT/1995 tentang

persetujuan laporan RKL dan RPL PT. Freeport Indonesia

Company,(Takdir Rahmadi 2008:148-149) gugatan enam orang

pengusaha terhadap Menteri Negara Lingkungan Hidup (MENLH)

dengan obyek sengketa adalah Surat Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana

Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta dan gugatan

PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. Terhadap Bupati

Lahat dengan obyek gugatan Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor:

540/29/KEP/PERTAMBEN/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang

Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa Pertambangan EkSplorasi (KW 97

PP 0350) dan Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KW.DP.16.03.04.01.03)

PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk.

Tabel 20. Kasus-Kasus Sengketa Lingkungan Di Pengadilan Tata Usaha

Negara

No Kasus

1 Gugatan WALHI, Yayasan Forum Studi Kependudukan dan

Lingkungan Hidup, Yayasan Pengembangan Hukum Lingkungan

dan Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup

terhadap Presiden Republik Indonesia dengan obyek sengketa

Kep.Pres. No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman yang

berasal dari dana reboisasi kepada PT.IPTN

2 Gugatan WALHI terhadap Sekretaris Jenderal Departemen

Pertambangan dan Energi, dengan obyek sengketa Surat

No.600/6115/SJT/1995 tentang persetujuan laporan RKL dan

RPL PT. Freeport Indonesia Company.

3 Gugatan enam orang pengusaha terhadap Menteri Negara

Page 143: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

134 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Lingkungan Hidup (MENLH) dengan obyek sengketa adalah

Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14

Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi

dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta

4 Gugatan PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk.

Terhadap Bupati Lahat dengan obyek gugatan Surat Keputusan

Bupati Lahat Nomor: 540/29/KEP/PERTAMBEN/2005 tanggal

24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa

Pertambangan EkSplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa

Pertambangan Eksploitasi (KW.DP.16.03.04.01.03) PT.

TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk.

Kasus pertama, empat LSM yaitu WALHI, Yayasan Forum Studi

Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Yayasan Pengembangan Hukum

Lingkungan dan Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan

Hidup telah mengajukan gugatan terhadap Presiden akibat dikeluarkannya

Kep.Pres. No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman yang berasal dari

dana reboisasi kepada PT.IPTN. Kep.Pres tersebut menurut para

penggugat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

dan lingkungan. Namun, majelis hakim pada Pengadilan Tata Usaha

Negara DKI Jakarta (Putusan No.008/G/1994) memutuskan bahwa

gugatan ke empat LSM itu tidak diterima karena Kep.Pres No.42 Tahun

1994 belum bersifat final, sehingga tidak memenuhi pengertian KTUN

menurut UU PERATUN No.5 Tahun 1986. Dalam kasus ini majelis

hakim pengadilan tata usaha negara mengakui kewenangan LSM

dibidang lingkungan untuk mengajukan gugatan TUN dengan prasyarat

LSM itu merupakan sebuah badan hukum, memiliki anggaran dasar

dengan tujuan perlindungan lingkungan dan nyata-nyata berbuat untuk

perlindungan lingkungan hidup (ibid).

Meskipun gugatannya tidak diterima namun segi positif dari

putusan pengadilan diatas adalah diakuinya legal standing bagi LSM

lingkungan. Dengan diberikannya legal standing tersebut maka LSM

lingkungan dapat tampil sebagai penggugat dalam kasus-kasus

lingkungan. Putusan pengadilan yang sebelumnya juga mengakui legal

standing LSM lingkungan hidup adalah Putusan Majelis Hakim PN

Jakarta Pusat (Putusan No:820/PDT.G/1998) dalam kasus kerusakan

hutan dimana WALHI tampil sebagai penggugat yang menggugat Kepala

Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Dalam Negeri, Gubernur

Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri Negara Kependudukan

dan Lingkungan Hidup, Menteri Kehutan dan PT. Inti Indorayon Utama.

Page 144: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 135

Kasus kedua, WALHI melalui pengadilan tata usaha negara DKI

menggugat Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi,

karena telah mengeluarkan Surat No.600/6115/SJT/1995 tentang

persetujuan laporan RKL dan RPL PT. Freeport Indonesia Company.

WALHI menilai pengeluaran surat persetujuan itu mengabaikan saran-

saran WALHI selaku anggota tidak tetap komisi AMDAL Departemen

Pertambangan dan Energi. Tergugat telah mengajukan eksepsi, antara

lain: bahwa surat persetujuan tentang RKL dan RPL bukanlah sebuah

keputusan TUN tetapi hanya surat biasa. Oleh sebab itu, gugatan

seharusnya harus dinyatakan tidak dapat diterima. Majelis hakim menolak

eksepsi ini. Akan tetapi dalam pokok perkara, majelis hakim

(Putusan:053/G/1995/PTUN Jkt) menolak gugatan WALHI atas dasar,

bahwa diikuti atau tidaknya saran-saraan WALHI adalah merupakan

kewenangan “dicreationer” dari komisi AMDAL. Dengan kata lain,

anggota-anggota lainnya dalam Komisi AMDAL tidak terikat dengan

saran-saran WALHI dalam memberikan persetujuan atas dokumen RKL

dan RPL (ibid).

Hal yang menarik dari kasus yang kedua adalah digugatnya sebuah

dokumen AMDAL. AMDAL adalah bagian dari prosedur perizinan

dengan demikian AMDAL bukanlah sebuah KTUN yang didalamnya

terkandung unsur-unsur: tertulis, konkrit, individual dan final (Siti

Sundari Rangkuti 2005:134-135). Yang berkedudukan sebagai KTUN

adalah izin. Dengan demikian yang dapat diajukan gugatan ke PTUN

adalah izinnya bukan AMDALnya. Dalam prakteknya AMDAL instansi

yang bertanggungjawab hanya sekedar rekomendasi (Suparto Wijoyo

1999:61).

Kasus ketiga, enam orang penggugat, yaitu: Tjondro Indria

Liemonta bertindak untuk dan atas nama PT. Bakti Bangun Era Mulia, Ir.

Richard S. Hartono dan Ir. Suhendro Prabowo bertindak untuk dan atas

nama PT. Taman Harapan Indah, Ir. Aris Setyanto Nugroho dan Susanto

bertindak untuk dan atas nama PT. Manggala, A. Syaifuddin bertindak

untuk dan atas nama PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Ir. Jahja B.

Riabudi, MBA bertindak untuk dan atas nama PT. Pembangunan Jaya

Ancol dan Ir. H. Ongki Sukasah H bertindak untuk dan atas nama PT.

Jakarta Propetindo menggugat Menteri Negara Lingkungan Hidup

(MENLH) sebagai akibat dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri

Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan

Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.

Adapun latar belakang, argumentasi dan dasar hukum dari gugatan

penggugat (fundamentum petendi) pada pokoknya bahwa pada tanggal 19

Page 145: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

136 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Februari 2003, tergugat mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana

Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan

Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta di Propinsi DKI Jakarta, yang

pada pokonya mewajibkan kepada semua instansi yang berwenang untuk

menolak permohonan izin melakukan usaha dan atau kegiatan yang

berhubungan dengan reklamasi dan revitalisasi tersebut.

Bahwa sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan a quo, Para

Penggugat telah mengalami kerugian materiel dan immateriel, dengan

perincian dari masing-masing pihak akan disampaikan sebagai lampiran

dalam bukti para penggugat.

Bahwa Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14

Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan

Revitalisasi Pantai Utara Jakarta adalah bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Bahwa penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan

Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh tergugat merupakan

perbuatan yang melampaui wewenang (Detournement de Pouvoir),

karena menyimpang dari maksud dan tujuan wewenangnya.

Bahwa penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan

Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh tergugat merupakan

perbuatan sewenang-wenang (Willekeur), karena tidak sesuai dengan

fakta-fakta yang sebenarnya.

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon

kepada Pengadilan Tata Usaha Negara supaya memberikan putusan

sebagai berikut:

DALAM PROVISI (PENUNDAAN):

- Memerintahkan Tergugat untuk menunda berlakunya keputusan

Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003 tentang

Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai

Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan produk administratif lainnya

sampai menunggu adanya keputusan yang berkekuatan tetap.

DALAM POKOK PERKARA:

1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Tergugat No. 14

Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana

Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan

Page 146: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 137

Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta;

3. Mewajibkan dan memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat

Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003

tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi

Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di

Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul

dalam perkara ini;

Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya

(ex aequo et bono).

Tergugat mengajukan eksepsi sebagai berikut:

I. Mengenai Kompetensi Absolut;

Bahwa surat keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat bukanlah

Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3

Undang-Undang No.5 Tahun 1986, karena masih bersifat rekomendasi

dan belum bersifat final.

II. Eksepsi lain-lain;

A. Para penggugat tidak memiliki kepentingan hukum dalam

mengajukan gugatan a quo (Standi in Persona);

B. Gugatan salah alamat (Error in Persona);

C. Gugatan penggugat kabur (Obscuur Libel);

D. Keputusan tergugat a quo tidak bersifat individual dan final;

Amar Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

No.75/G.TUN/2003/PTUN-JKT. tanggal 11 Februari 2003 sebagai

berikut:

DALAM POKOK PERKARA:

1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan tidak sah Surat Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003

tanggal 19 Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan

Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana

Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan

Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003 tentang

Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai

Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

4. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan dan

tindak lanjut berlakunya Surat Keputusan No.14 Tahun 2003 tanggal

Page 147: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

138 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

19 Februari 2003 sampai adanya Putusan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap;

5. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar

biaya perkara yang besarnya Rp.162.000 (seratus enam puluh dua ribu

rupiah);

Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut

diajukan banding oleh pihak tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara Jakarta. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta

dengan Putusan No.202/B/2004/PT.TUN.JKT. tanggal 3 Februari 2005

yang amarnya sebagai berikut:

I DALAM PUTUSAN SELA:

- Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding

mengenai Putusan Sela;

- Menguatkan Putusan Sela Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Jakarta No.75/G.TUN/2003/PTUN-JKT, tanggal 23 September

2003, yang dimohonkan Banding;

II DALAM PUTUSAN AKHIR

DALAM EKSEPSI:

- Menolak Eksepsi dari Tergugat/Pembanding seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA:

- Menerima Permohonan Banding dari Tergugat/Pembanding, Para

Tergugat II Intervensi/Para Pembanding;

- Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

No.75/G.TUN/2003/PTUN-JKT, tanggal 11 Februari 2004, yang

dimohonkan Banding;

- Menghukum Tergugat/Pembanding, Para Tergugat II

Intervensi/Para Pembanding untuk membayar biaya perkara secara

bersama-sama, yang dalam Tingkat Banding ditetapkan sebesar

Rp.200.000 (dua ratus ribu rupiah);

Terhadap putusan pengadilan tinggi tata usaha negara ini diajukan

kasasi oleh Tergugat/Pembanding berdasarkan Surat Kuasa Khusus

tanggal 23 Juni 2003 dan Surat Kuasa Khusus Substitusi tanggal 4 Juli

2003 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 25 April 2005

sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi No.038/KAS-

2005/PTUN-JKT, yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta.

Pada pemeriksaan tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang

dilakukan oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Paulus E.

Lotulung, SH sebagai Ketua Majelis, H. Imam Soebechi, S.H.,M.H. dan

Page 148: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 139

Marina Sidabutar, S.H.,M.H. sebagai anggota, Mahkamah Agung dengan

Putusan No.109K/TUN/2006, yang amarnya sebagai berikut:

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MENTERI

NEGARA LINGKUNGAAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA tersebut;

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Jakarta No.202/B/2004/PT.TUN-JKT tanggal 3 Februari 2005 yang

menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

No.75/G.TUN/2003/PTUN-JKT tanggal 11 Februari 2004;

Pertimbangan Mahkamah Agung adalah bahwa Surat Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang

Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai

Utara Jakarta masih bersifat rekomendasi dan belum mempunyai

kekuatan hukum karena merupakan bagian/atau persyaratan untuk

memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang. sehingga surat keputusan a

quo belum bersifat final. Oleh karena itu Surat Keputusan in casu bukan

merupakan/tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha

Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 jo.Pasal 2 Huruf c Undang-

Undang No.5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian

Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa,

memutus dan menyelesaikannya.

Beberapa catatan penting yang dapat diketengahkan terhadap

putusan diatas, pertama, obyek sengketa dalam kasus ini adalah Surat

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang

Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara

Jakarta. Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang kemudian

dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tinggi Tata Usaha Negara surat

keputusan ini dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara

(KTUN) sehingga menjadi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara

Jakarta untuk memeriksa dan menyelesaikannya.

Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun

2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi Pantai Utara

Jakarta adalah surat keputusan yang berisi penolakan atas dokumen

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) reklamasi Pantai

Utara Jakarta. Keputusan persetujuan atau penolakan AMDAL tidak

dapat dikualifikasi sebagai KTUN, karena tidak terpenuhi unsur

“menimbulkan akibat hukum” sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 1

angka 9 UU PERATUN.

AMDAL adalah bagian dari prosedur perizinan, sehingga yang

dapat menimbulkan akibat hukum dan dapat digugat di pengadilan tata

Page 149: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

140 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

usaha negara adalah izin lingkungannya bukan dokumen AMDALnya.

Sehingga adalah tepat pertimbangan dari Mahkamah Agung yang

menyatakan bahwa Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi

dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta masih bersifat rekomendasi dan

belum mempunyai kekuatan hukum karena merupakan bagian/atau

persyaratan untuk memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang,

sehingga surat keputusan a quo belum bersifat final. Oleh karena itu Surat

Keputusan in casu bukan merupakan/tidak termasuk dalam pengertian

Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 2

jo.Pasal 2 Huruf c Undang-Undang No.5 Tahun 1986 sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Dengan demikian Pengadilan Tata Usaha Negara tidak

berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya.

Kedua, petitum 1 yang isinya memerintahkan Tergugat untuk

menunda berlakunya keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19

Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan

Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara

Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan produk

administratif lainnya sampai menunggu adanya keputusan yang

berkekuatan tetap. Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan petitum

pertama adalah apakah jika gugatan ditolak, tetap dianggap penetapan

pemberlakuan KTUN yang disengketakan berlaku? apabila gugatan

ditolak maka dengan sendirinya juga penetapan penundaan pemberlakuan

KTUN yang disengketakan juga ditolak.

Ketiga, petitum 2 yang isinya menyatakan batal atau tidak sah

Surat Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003 tanggal 19 Februari 2003

tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi

Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di

Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Berdasarkan asas hukum yang

berlaku dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, yaitu asas

praduga rechtmatig (vermoden van rechtmatigheid=praesumptio iustae

causa), yang berarti tindakan penguasa harus selalu dianggap sah sampai

dengan ada pembatalannya. Konsekuensinya adalah bahwa dengan

diajukannya gugatan di pengadilan tata usaha negara tidak menunda

pelaksanaan KTUN yang digugat.

Asas praduga rechtmatig ini tertuang dalam ketentuan Pasal 67 UU

PERATUN yang menyatakan bhwa gugatan tidak menunda atau

menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

Page 150: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 141

digugat. Berdasar asas praduga rechmatig maka suatu KTUN hanya dapat

dibatalkan (vernietigbaar) dan bukan dinyatakan tidak sah atau batal

maupun batal demi hukum (van rechtwege nietig).

Keempat, petitum 3 yang isinya ewajibkan dan memerintahkan

Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tergugat No. 14 Tahun 2003

tanggal 19 Februari 2003 tentang Ketidaklayaan Rencana Kegiatan

Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana

Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Petitum

ketiga yang menyatakan “mewajibkan dan memerintahkan kepada

tergugat untuk mencabut......” adalah berlebihan. Dengan dibatalkannya

KTUN yang disengketakan, hal seperti itu tidak perlu dimintakan.

Kasus keempat, PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM

(Persero) Tbk., diwakili oleh Ismet Harmaini, Direktur Utama PT.

Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) menggugat Bupati Lahat di

Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang sebagai akibat diterbitkannya

Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor: 540/29/KEP/PERTAMBEN/2005

tanggal 24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa

Pertambangan EkSplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan

Eksploitasi (KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG BATUBARA

BUKIT ASAM (Persero) Tbk. (Selanjutnya disebut sebagai "Keputusan

Nomor:540/29") yang telah merugikan kepentingan penggugat.

Alasan gugatan penggugat adalah bahwa Bahwa Keputusan Nomor

: 540/29 (dalam diktum Ketetapan Pertama) yang berbunyi : Status

wilayah eks Kuasa Pertambangan PT.TAMBANG BATUBARA BUKIT

ASAM (Persero ) Tbk., (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Per tambangan PT.

TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero ) Tbk.,

(KW.DP.16.03.04.01.03) yang terletak dalam wilayah Kabupaten Lahat

sebagai wilayah yang dikuasai Negara dan pengelolaannya dilaksanakan

oleh Pemerintah Kabupaten Lahat; adalah bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Bahwa Keputusan Nomor:540/29 bertentangan dengan Asas-asas

umum Pemerintahan Yang antara lain: Asas Kepastian Hukum, Asas

Tertib Kepentingan Umum, Asas Proporsional, dan Asas Efisiensi.

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon

kepada Pengadilan Tata Usaha Palembang agar memberikan putusan

sebagai berikut:

Dalam Penundaan

Page 151: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

142 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

1. Mengabulkan Permohonan Penundaan Pelaksanaan yang dimohonkan

oleh Penggugat;

2. Menyatakan menunda permberlakukan Surat Keputusan Bupati Lahat

Nomor: 540/29/Kep/Pertemben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang

Penetapan Status wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW

97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan (KW DP 16m03 04 01 03) PT.

TAMBANG BUKIT ASAM (Persero) Tbk., sampai dengan adanya

putusan yang bersifat tetap (inkracht van gewijsde);

Dalam Pokok Perkara

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Bupati Lahat

Nomor: 540/29/Kep/Pertemben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang

Penetapan Status wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW

97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan (KW DP 16m03 04 01 03) PT.

TAMBANG BUKIT ASAM (Persero) Tbk;

3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan

Bupati Lahat Nomor:

540/29/Kep/Pertemben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang

Penetapan Status wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW

97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan (KW DP 16m03 04 01 03) PT.

TAMBANG BUKIT ASAM (Persero) Tbk.;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam

perkara ini;

Tergugat mengajukan eksepsi sebagai berikut:

I. EKSEPSI KOMPETENSI ABSOLUT/EXCEPTIE VAN

ONBEVOEGHEID'

II. GUGATAN KURANG PIHAK/SALAH ALAMAT/ERROR IN

PERSONA (EXCEPTIE PLURIUM LITIS CONSORTIUM);

III. EXCEPTIE OBSCURI LIBELI;

Amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor:

06/G.TUN/2005/PTUN-PLG. tanggal 29 Agustus 2005, adlah sebagai

berikut:

Dalam Eksepsi

-Menolak Eksepsi-eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara

1. Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.240.000,- (dua ratus empat puluh ribu rupiah).

Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang

tersebut diajukan banding oleh pihak Penggugat kepada Pengadilan

Page 152: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 143

Tinggi Tata Usaha Negara Medan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Medan dengan Putusan dengan putusan Nomor: 100/BDG/2005/PT.TUN-

MDN tanggal 14 Desember 2005, yang amarnya sebagai berikut:

-Menerima permohonan banding Penggugat/Pembanding;

-Membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang

Nomor: 06/G.TUN/2005/PTUN-PLG. tanggal 29 Agustus yang

dimohonkan banding, dan dengan:

MENGADILI SENDIRI

Dalam Eksepsi:

- Menolak Eksepsi Tergugat/Terbanding;

Dalam Pokok Perkara:

-Menolak gugatan Penggugat/Pembanding seluruhnya;

-Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara

pada kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding ditetapkan

sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah);

Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Medan diajukan

upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yang dengan amar putusan

Mahkamah Agung RI Nomor:326 K/TUN/2006 tanggal 10 Mei 2007,

yang telah berkekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut:

-Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT.

TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk tersebut;

-Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara Medan

Nomor: 100/BDG/2005/PT.TUN-MDN tanggal 14 Desember 2005 yang

membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor:

06/G.TUN/2005/PTUN-PLG tanggal 29 Agustus 2005;

MENGADILI SENDIRI:

DALAM EKSEPSI:

-Menolak eksepsi tergugat;

DALAM POKOK PERKARA:

-Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

-Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara

dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi i ni ditetapkan

sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah),

Menimbang, bahwa amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor:

326 K/TUN/2006 tanggal 10 Mei 1997, yang telah berkekuatan hukum

tetap tersebut adalah sebagai berikut:

- Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi: PT.

TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk tersebut;

Page 153: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

144 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan

Nomor: 100/BDG/2005/PT.TUN-MDN tanggal 14 Desember 2005

yang membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang

Nomor: 06/G.TUN/2005/PTUN-PLG tanggal 29 Agustus 2005;

MENGADILI SENDIRI:

DALAM EKSEPSI

- Menolak Eksepsi Tergugat;

DALAM POKOK PERKARA

- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

- Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya

perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini

ditetapkan sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut diajukan

permohonan peninjauan kembali secara tertulis pada tanggal 20 Juni 2011

sebagaimana ternyata dari akte permohonan peninjauan kembali Nomor:

06/G.TUN/2005/PTUN-PLG. yang dibuat oleh Wakil Panitera

Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang, permohonan mana disertai

dengan memori peninjauan kembali yang memuat alasan-alasan yang

diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut pada

tanggal 20 Juni 2011 (hari itu juga);

Pada pemeriksaan tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung

yang dilakukan oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Paulus

E. Lotulung, SH sebagai Ketua Majelis, Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.

dan Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja sebagai anggota, Mahkamah Agung

dengan Putusan No.109PK/TUN/2011, yang amarnya sebagai berikut:

MENGADILI:

Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon

Peninjauan Kembali: BUPATI LANGKAT tersebut;

Membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor:

326K/TUN/2006 tanggal 10 Mei 2007;

MENGADILI KEMBALI:

Dalam Eksepsi:

- Menolak eksepsi tergugat;

Dalam Pokok Perkara:

- Menolak gugatan Penggugat untuk selurruhnya; Menghukum Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon

Kasasi/Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Page 154: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 145

Beberapa catatan penting yang dapat diketengahkan terhadap putusan diatas, pertama, petitum 1 yang isinya menunda pemberlakuan Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor: 540/29/Kep/Pertamben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan 9KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk., sampai dengan adanya putusan yang bersifat tetap (inkracht van gewijsde) dalam perkara ini.Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan petitum pertama adalah apakah jika gugatan ditolak, tetap dianggap penetapan pemberlakuan KTUN yang disengketakan berlaku? apabila gugatan ditolak maka dengan sendirinya juga penetapan penundaan pemberlakuan KTUN yang disengketakan juga ditolak.

Kedua, petitum 2 yang isinya menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor: 540/29/Kep/Pertamben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan 9KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk. Berdasarkan asas hukum yang berlaku dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, yaitu asas praduga rechtmatig (vermoden van rechtmatigheid=praesumptio iustae causa), yang berarti tindakan penguasa harus selalu dianggap sah sampai dengan ada pembatalannya. Konsekuensinya adalah bahwa dengan diajukannya gugatan di pengadilan tata usaha negara tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat.

Asas praduga rechtmatig ini tertuang dalam ketentuan Pasal 67 UU PERATUN yang menentukan gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Berdasar asas praduga rechmatig maka suatu KTUN hanya dapat dibatalkan (vernietigbaar) dan bukan dinyatakan tidak sah atau batal maupun batal demi hukum (van rechtwege nietig).

Ketiga, petitum 3 yang isinya memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Bupati Lahat Nomor: 540/29/Kep/Pertamben/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang Penetapan Status Wilayah Eks Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW 97 PP 0350) dan Kuasa Pertambangan 9KW.DP.16.03.04.01.03) PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (Persero) Tbk. Petitum ketiga yang menyatakan “memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut......” adalah berlebihan. Dengan dibatalkannya KTUN yang disengketakan, hal seperti itu tidak perlu dimintakan.

DAFTAR BACAAN

Page 155: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

146 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

A’an Efendi, 2011. Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat

Dalam UUD 1945 dan Prosedur Pelaksanaannya, Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Universitas Jember, Volume III No.2.

__________, 2011. Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat

Dalam UUD 1945 dan Perbandingannya Dengan Konstitusi Beberapa Negara, Jurnal Konstitusi Pusat Studi Kebijaakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Vol.III No.1.

__________, 2011. Telaah Pasal 66 Undang-Undang No.32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) terhadap Pasal 28D UUD 1945, Jurnal Konstitusi FH Universitas Moch Sroedji Jember, Volume II No.2.

G.H. Addink, 2008. Transparent Administration and Public

Participation as Principles of Good Governance From a Comparative Perspektive, dalam Dinamika Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan Edisi Khusus Kumpulan Tulisan Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga University Press, Surabaya.

Glenn M. Wiser dan Daniel B. Magraw, JR., 2005. Principles and

Approaches of Sustainable Development and Chemicals Management for Strategic Approach to International Chemichals Management (SAICM), Center for International Environmental Law (CIEL).

Koesnadi Hardjasoemantri, 1985. Aspek Hukum Peran Serta

Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan, Universitas Gajah Mada.

______________________, 2002. Hukum Tata Lingkungan, Edisi

Ketujuh, Cetakan Ketujuhbelas, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Lal Kurukulasuriya dan Nicholas A. Robinson, tanpa tahun. Training

Manual on International Environmental Law, United Nation Environmental Programme.

Marjan Peters, 2004. Elaborating Integration of Environmental Law:

the Case of Indonesia, Workshop Revisi Undang-Undang No.23

Page 156: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

H U K U M L I N G K U N G A N | 147

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 30-31 Agustus 2004, Hotel Salak The Heritage-Bogor.

Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, 1997. Environmental Law,

Prentice Hall, New Jersey. N.H.T Siahaan, 2006. Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta. Paulus Effendie Lotulung, 1995/1996. Penelitian tentang Efektivitas

Sanksi Administratif Dalam Rangka Penegakan Hukum Lingkungan Sebagai Upaya Pencegahan Pencemaran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta.

Philipus M. Hadjon, 1996. Penegakan Hukum Lingkungan

Administrasi Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan Pasal 20 ayat (3) dan (4) UU. No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Unair, No.1 Tahun XI.

________________, 1994. Pengantar Hukum Administrasi, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta. Siti Sundari Rangkuti, 1984. Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik

dan Sehat, di Sampaikan pada SEMINAR SEHARI LINGKUNGAN HIDUP tentang “Keserasian Tata Lingkungan Kampus Unair”, FH Universitas Airlangga, Surabaya.

__________________, 1983/1984. Pembinaan Hukum Lingkungan

Administratif, Hukum Lingkungan Keperdataan dan Hukum Lingkungan Kepidanaan, dalam Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Lingkungan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI.

__________________, 1996. Sistem Perizinan Lingkungan Instrumen

Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Seminar Nasional Hukum Lingkunga, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), Hotel Indonesia, Jakarta.

__________________ and Suparto Wijoyo, 1997. Deregulating

Licencing to Improve Environmental Control Control and

Page 157: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

148 | G u g a t a n L i n g k u n g a n

Monitoring in Indonesia, Journal of Environmental Law, Edition 11.

_________________, 1999. Penegakan Hukum Lingkungan

Administratif di Indonesia, Pro Justitia, Tahun XVII No.1. _________________, 1999. “Analisis UUPLH Dari Aspek Hukum

Lingkungan dan Teknis Yuridis Dalam Rangka Revisi” , Semiloka Nasional tentang Revisi UUPLH, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga Penelitian Universitas Airlangga dan Komisi Kerja Hukum Lingkungan BKPSL-Indonesia, Surabaya.

__________________, 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan

Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya.

__________________, 2008. Keterbukaan dan Hukum Lingkungan

(Transparency and Environmental Law), dalam Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan Edisi Khusus Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga University Press, Surabaya.

Suparto Wijoyo, 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan

(Environmental Disputes Resolution), Airlangga University Press, Surabaya.

Takdir Rahmadi, 2003. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan

Beracun, Airlangga University Press, Surabaya. W. Riawan Tjandra, 2005. Perijinan Sebagai Instrumen Perlindungan

Lingkungan, Justitia Et Pax, Majalah Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Yuliandri, 2008. Membentuk Undang-Undang yang Berkelanjutan,

dalam Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan Edisi Khusus Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga University Press, Surabaya.

Page 158: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

GLOSARIUM

Actor Sequitur

Forum Rei

: Kewenangan pengadilan untuk mengadili

suatu gugatan adalah pengadilan dimana

terletak tempat kediaman tergugat.

Amar : Bunyinya suatu putusan, yaitu kata-kata

yang terdapat di bawah perkataan

“mengadili” atau “memutuskan”.

Asas praduga

rechmatig

: Asas yang menentukan bahwa dengan

adanya suatu gugatan di pengadilan tata

usaha negara tidak menunda pelaksanaan

KTUN yang digugat.

Considerans : Considerans atau sering disebut

pertimbangan adalah dasar putusan, yaitu

bagian suatu putusan yang memuat alasan-

alasan mengapa putusan dijatuhkan.

Diktum : Lihat amar.

Eigenrichting : Perbuatan main hakim sendiri

Herziening : Upaya peninjauan kembali dalam perkara

pidana khusus untuk golongan orang Eropa

saat berlakunya Reglement op de

Strafvordering pada zaman Hindia

Belanda.

Het Herziene

Indonesisch

Reglement

: Reglement hukum acara perdata yang

berlaku untuk Jawa dan Madura.

Ius Constitutum : Hukum yang berlaku pada suatu tempat

dan waktu tertentu.

Ius

Constituendum

: Hukum yang dicita-citakan untuk berlaku

dimasa mendatang.

Judex factie : Pemeriksaan fakta-fakta oleh pengadilan

tingkat pertama dan tingkat banding,

sementara itu Mahkamah Agung dalam

pemeriksaan tingkat kasasi dan peninjauan

kembali memeriksa penerapan hukumnya

dan disebut sebagai judex juries.

Legal standing : Hak untuk tampil menjadi pihak penggugat

di pengadilan. Dalam Undang-Undang

Page 159: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

152 | G l o s a r i u m

No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH) memberikan hak kepada

organisasi lingkungan hidup dan

pemerintah/pemerintah daerah untuk

menjadi penggugat dalam gugatan sengketa

lingkungan.

Memori : Risalah atau tulisan yang memuat

penjelasan-penjelasan.

Memori banding : Risalah yang diajukan oleh pihak yang

mengajukan banding (pembanding) di

mana ia menguatkan permohonan

bandingnya.

Memori kasasi : Risalah yang memuat alasan-alasan atau

keberatan-keberatan yang diajukan

terhadap putusan yang dimohonkan kasasi,

yaitu putusan hakim banding (pengadilan

tinggi).

Panitera : Pejabat di pengadilan yang bertugas untuk

mencatat jalannya proses persidangan.

Petitum : Apa yang diminta oleh penggugat supaya

diputuskan oleh hakim dalam surat

gugatannya.

Posita : Dalil-dali gugatan yang diajukan oleh

penggugat dalam suatu gugatan.

Rechtsreglement

Buitengewesten

Request civil

: Reglement hukum acara perdata yang

berlaku untuk wilayah luar Jawa dan

Madura.

Peninjauan kembali dalam perkara perdata

bagi orang Eropa berdasarkan Reglement

op de Burgerlijke Rechtsvordering pada

zaman Hindia Belanda.

Page 160: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

INDEKS

A

Amdal, 13, 107

Amar, 73, 74, 75, 76, 77, 146, 152

Asas, 18, 23, 24, 25, 26, 42, 43, 44, 45, 94, 97, 150, 151, 154

Asas hukum, 23

Asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara, 23, 24, 25

Asas-asas hukum administrasi, 24, 94

B

Banding, 39, 80, 82, 147

Banding administratif, 39

F

Freeport Indonesia, 13, 124, 142, 144, 158

H

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, 99, 100, 101, 102,

103, 104, 106

I

Izin lingkungan, 9, 134, 135, 137, 138

J

Jaksa Agung, 84

K

Kasasi, 82, 84, 89, 147, 148, 152, 153, 154

Kompetensi absolut, 25, 26, 28

Kompetensi relatif, 26

Keputusan tata usaha negara, 132

L

Lingkungan, 9, 12, 14, 43, 83, 84, 88, 96, 97, 98, 99, 101, 105, 106,

112, 113, 116, 117, 118, 120, 121, 125, 130, 134, 136, 141,

142, 143, 144, 145, 148, 149, 155, 156, 157, 158, 157, 158

Page 161: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

154 | I n d e k s

M

Mahkamah Agung,, 83, 85, 88

P

Peradilan administrasi, 19

Pengadilan, 13, 18, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 33, 36, 38, 40, 41, 46, 47,

48, 50, 51, 58, 71, 74, 75, 80, 82, 83, 84, 88, 89, 94, 96, 97, 98,

99, 130, 132, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152,

153, 158

Pengelolaan, 9, 14, 15, 99, 112, 119, 138, 155, 156, 157, 158, 157

Peradilan, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 28, 33,

43, 45, 51, 58, 60, 61, 71, 72, 83, 84, 88, 96, 97, 98, 99, 130,

131, 134, 136, 141, 148, 149

Peradilan tata usaha negara, 15, 18

Petitum, 40, 50, 150, 155

R

Rehabilitasi, 51

U

Upaya hukum, 78, 79, 80, 83, 84, 86, 87

W

Wewenang, 9, 31, 54, 61

Y

Yayasan Forum Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 12,

141, 142, 143

Yayasan Pengembangan Hukum Lingkungan, 12, 141, 142, 143

Page 162: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

BIOGRAFI PENULIS

A’an Efendi adalah dosen tetap di Fakultas Hukum, Universitas Jember,

Jawa Timur, sejak tahun 2008. Lahir di Bojonegoro, 3 Februari 1983.

Mengampu mata kuliah hukum lingkungan, hukum tata negara,

perancangan peraturan perundang-undangan dan hukum acara peradilan

tata usaha negara.

Lulus sarjana hukum dari Universitas Putra Bangsa, Surabaya, tahun

2004. Lulus magister hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya, tahun

2007. Saat ini adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas

Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, konsentrasi hukum lingkungan.

Saat ini tinggal di Jalan Manyar Tegal 57 Surabaya, Jawa Timur. HP.

083030394828/081333203418. Email:[email protected].

Beberapa karya ilmiah dalam bidang hukum lingkungan baik berupa buku

maupun jurnal ilmiah adalah sebagai berikut:

Buku

A’an Efendi, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Mandar Maju,

Bandung, 2012.

Jurnal Ilmiah

1. A’an Efendi, Perijinan Lingkungan Sarana Pencegahan

Pencemaran Lingkungan, Jurnal Hukum Qistie, FH Universitas

Wachid Hasyim, Semarang, 2011.

2. A’an Efendi, Kewenangan Kementerian Negara Lingkungan

Hidup (KNLH) Dalam Pengelolaan Lingkungan di Indonesia,

Majalah Hukum dan Masyarakat, FH Universitas Jember, Jember,

2010.

3. A’an Efendi, Instrumen-Instrumen Hukum Lingkungan Sarana

Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Jurnal Hukum Supremasi,

FH Universitas Islam Balitar, Blitar, 2011.

4. A’an Efendi, Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di

Daerah: Problematika dan Pembicaraannya Dalam Pemilukada,

Jurnal Pusat Kajian Konstitusi Universitas Jember, Jember, 2011.

5. A’an Efendi, Isu Lingkungan Dalam Pemilihan Umum Kepala

Daerah, Jurnal Pusat Kajian Konstitusi Universitas Moch. Sroedji,

Jember, 2011.

Page 163: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

6. A’an Efendi, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Dalam UUD 1945 dan Perbandingannya dengan Konstitusi

Beberapa Negara, Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas

Padjajaran, Bandung, 2011.

7. A’an Efendi, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Dalam UUD 1945 dan Prosedur Pelaksanaannya, Jurnal Pusat

Kajian Konstitusi Universitas Jember, Jember, 2011.

8. A’an Efendi, Telaah Pasal 66 Undang-Undang No.32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH) Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Jurnal Pusat

Kajian Konstitusi Universitas Moch. Sroedji, Jember, 2011.

9. A’an Efendi, UUD 1945 dan Aktivitas Bisnis Hijau, Jurnal Pusat

Kajian Konstitusi Universitas Dr. Sutomo, Surabaya, 2011.

10. A’an Efendi, Penyelesaian Kasus Pencemaran Lingkungan Dari

Aspek Hukum Lingkungan, Majalah Hukum Risalah Hukum, FH

Universitas Mulawarman, Samarinda, 2012.

Page 164: HUKUM LINGKUNGAN - penerbitan.unej.ac.idpenerbitan.unej.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/hukum-lingkungan_aan-efendi.pdfHUKUM LINGKUNGAN GUGATAN SENGKETA LINGKUNGAN DI PERADILAN TATA

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui peradilan tata usaha negara adalah mengajukan

gugatan di pengadilan tata usaha negara terhadap izin lingkungan yang diterbitkan secara

keliru sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dengan tujuan agar hakim

menyatakan tidak sah atau batal sehingga dapat segera menghentikan pencemaran lingkungan

yang terjadi.

Buku ini membahas secara komprehensif tentang penyelesaian sengketa lingkungan melalui

peradilan tata usaha negara, yang dimulai dari pembahasan tentang segala aspek peradilan

tata usaha negara, dimulai dari istilah-istilah peradilan tata usaha negara sampai dengan

pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negara. Pembahasan selanjutnya tentang gugatan

sengketa lingkungan di peradilan tata usaha negara dan dilengkapi dengan kasus-kasus

gugatan sengketa lingkungan yang sudah diputus oleh pengadilan tata usaha negara.

Buku ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa fakultas hukum, dosen fakultas hukum,

organisasi lingkungan hidup, pejabat pemerintahan, hakim, dan masyarakat pada umumnya

yang berminat pada persoalan-persoalan lingkungan.