hukum islam dalam peraturan daerah.docx

52
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.” Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan den pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu: 1. Nilai Unitaris , yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersi ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat dan negaraRepublik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan- kesatuan pemerintahan; dan 2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial , dari isi dan jiwa pasal 18 Undang- undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di at jelaslah bahwa Pemerintahdiwajibkan untuk melaksanakanpolitik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1] Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan dese Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerahotonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusa pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah pada Daerah Tingkat II (Dati II) [2] dengan beberapa dasar pertimbangan [3] : 1. Dimensi Politik , Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerah sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangny federalis relatif minim;

Transcript of hukum islam dalam peraturan daerah.docx

Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu: 1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuankesatuan pemerintahan; dan 2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undangundang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1] Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan

penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]: 1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;

2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif; 3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah: 1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah; 2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan 3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju Daftar isi

1 Aturan Perundang-undangan 2 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru 3 Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru 4 Referensi 5 Pranala luar

Aturan Perundang-undangan Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah 6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,

berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5] Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: 1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6] 2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan 3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8] Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurangkurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11] Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), [12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13] Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat. Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]: 1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah; 2. pembentukan negara federal; atau 3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat. Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain : 1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.

2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah. 3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat,

diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan kepadanya. 6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan

diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. 7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15] 8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden. 9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang. 10.Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi

daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undangundang. 11.Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD. 12.Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah. 13.Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota. 14.Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah.

Lembaga

pembantu

Gubernur,

Pembantu

Bupati/Walikota,

Asisten

Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus. 15.Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

Pengertian "otonom" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan selanjutnya yang disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut: 1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah

dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Latar Belakang Otonomi Daerah Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan

diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi. Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN. Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri.

Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman pemerintah daerah. Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung. Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan. Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan. Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan ketika masa orde baru. Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.

Prinsip Otonomi Daerah Otonomi daerah diselenggarakan untuk menterjemahkan gagasan desentralisasi sebagai kritik atas kuatnya sentralisasi yang diselenggarakan pada masa pemerintahan rezim Soeharto. Desentralisasi dipilih sebab ia memiliki kelebihan dibanding sentralisasi negara yang melahirkan problem bernegara. Melalui reformasi, otonomi daerah menjadi kebijakan yang dibuat untuk bisa membangun tata kelola baru yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Otonomi daerah memiliki prinsip-prinsip yang harus ada untuk bisa mencapai tujuan. Prinsip itu adalah: 1. Adanya pemberian kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri

2. Dalam menjalankan wewenang dan hak mengurus rumah tangganya, daerah tidak dapat menjalankan di luar batas-batas wilayahnya 3. Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, pelayanan yang prima, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. 4. Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan daerah dan dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat. 5. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama yakni politik, ekonomi serta sosial dan budaya. 1. Bidang politik. Otonomi daerah adalah sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang

responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif. 2. Bidang ekonomi. Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam

konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi untuk masyarakat daerah 3. Bidang sosial budaya Otonomi daerah digunakan untuk menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan masyarakat. Permasalahan Otonomi Daerah Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah: 1. Kewenangan yang tumpang tindih Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. 2. Anggaran Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan

APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung masyarakat. 3. Pelayanan Publik Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan Putra Asli Daerah untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan. 4. Politik Identitas Diri Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis 5. Orientasi Kekuasaan Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti putra daerah dalam pemilihan kepala daerah. 6. Lembaga Perwakilan Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan

rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah. 7. Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. 8. Pilkada Langsung Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya. Pokok Pokok Penyelenggaraan Otonomi Daerah Penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan bisa memacu prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah untuk bisa menjalankan pembangunan guna meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan keseriusan agar kebijakan ini bisa berhasil dijalankan. Pokok-pokok penyelenggaraan otonomi daerah meliputi: 1. Penyerahan kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan. 2. Dalam otonomi pemerintahan daerah terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh dan propinsi yang diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintahan pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi. 3. Gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai wakil pemerintah pusat. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dan dengan pemerintah bersifat

kabupaten/kota),

maka

hubungan

provinsi

kabupaten

koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas pemerintahan antar kabupaten dan kota di wilayahnya. Gubernur juga melakukan supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintah berdasarkan otnomi daerah di dalam wilayahnya. 4. Adanya penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Otonomi daerah memberi kewenangan untuk mempertegas DPRD

dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. Selain itu untuk memfungsikan peran pemberdayaan dan penyalur aspirasi masyarakat yang sebenarnya. 5. Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanaan eksekutif melalui

pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif dengan kebutuhan daerah. 6. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah. 7. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat block grant, pengatura pembagian sumbersumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada. 8. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap uapaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial suatu bangsa. Dalam otonomi daerah, ada pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah yang diatur menurut UU No.32 tahun 2004. Pembagian wewenang itu meliputi: 1. Kewewenangan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama; 2. Kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi (Pasal 13 ayat 1 UU. No. 32 Tahun 2004):

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10.Pengendalian lingkungan hidup; 11.Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12.Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13.Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14.Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15.Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan 16.urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Penyusunan Perda Partisipatif Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting, terutama di daerah. Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD sebagai lembaga legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah kelengkapan eksekutif daerah. Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai lembaga legeslatif dan mitra sejajar

eksekutif daerah. Indikator lain masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah daerah. Di sisi lain kebijakan otonomi daerah juga memendam banyak persoalan. Di antara persoalan tersebut adalah lemahnya SDM daerah yang sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan daerah. Hal ini terlihat misalnya dari banyaknya produk Perda yang bermasalah.Disinyalir misalnya, dalam rentang waktu setahun setelah otonomi daerah saja, dari 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya bermasalah. Pada konteks inilah, dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyusunan Perda, perlu mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan I. Mengapa Partisipasi diperlukan Kebijakan Otonomi Daerah telah melahirkan angin segar untuk pelibatan masyarakat, karena kebijakan ini diambil dengan tujuan meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal secara fisik memang lebih dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil umumnya langsung berkaitan dengan keseharian masyarakat. Dampaknya jika ada kebijakan yang kurang sesuai masyarakat dapat segera mengkritisi kebijakan tersebut dan penyelenggara pemerintahan yang hidup bersama masyarakatnya mau-tidak mau harus merespon aspirasi masyarakatnya.

Penyelengaraan pemerintahan lokal yang lebih dinamis ini telah menimbulkan suatu kebutuhan bersama untuk mengatur pelibatan masyarakat. II. Hak

Masyarakat, Kewajiban Pemerintah dan Mekanisme Partisipasi Hak Masyarakat Sebagaimana tertuang dalam PP nomer 68 tahun 1999 berkenaan

dengan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara, maka masyarakat mendapatkan hak-haknya sebagai berikut; 1. Hak mencari dan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan negara 2. Hak menyampaikan saran dan pendapat 3. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara 4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-haknya diatas Kewajiban Pemerintah Sebagai konsekwensi adanya pengakuan terhadap hak masyarakat maka penyelenggara pemerintahan mempunyai kewajiban untuk mendengar pendapat masyarakat (yang berkepentingan) dalam proses perumusan dan penetapan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Dengan demikian penyelenggara pemerintahan sebagai penerima mandat masyarakat berkepentingan untuk menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat. Dan

terjaminnya hak-hak masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan penyelenggaraan pamerintahan. Mekanisme Partisipasi Mekanisme yang memungkinkan pelibatan aktif masyarakat minimal harus menjamin terlaksananya hak masyarakat sehingga dalam mekanisme pelibatan masyarakat ini minimal harus mengatur: 1. Penyampaian informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan prosedur pelibatan masyarakat 2. Tanggapan terhadap aspirasi masyarakat 3. Hasil akomodasi masyarakat dan 4. Keberatan III. Tingkatan Dan Bentuk Partisipasi Masyarakat Derajat Partisipasi Masyarakat Tinggi Memiliki Contoh Lembaga Pemerintah, legislatif, LSM,

Kontrol

mendorong

masyarakat, masalah,

untuk tujuan,

mengindentifikasikan maksud kunci. dan Lembaga

kesimpulan-kesimpulan memiliki kemauan setiap

membantu

masyarakat

dalam

langkah-langkahdalam tujuan-tujuan tersebut.

menyelesaikan

Lembaga pemerintah, legislatif, LSM mengidentifikasikan Memiliki Kekuasaan menyampaikannya mendefinisikan masalah kepada dan

masyarakat, serta

keterbatatasan

yang terlegasi membuat keputusan-keputusan yang dapat digabungkan dalam suatu rencana yang diterima Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM Keterlibatan dalam perencanaan menyampaikan perencanaan tentative dan terbuka untuk menerima perubahan dari subjek yang dipengaruhi. Mengharapkan perubahan rencana paling sedikit dan mungkin lebih dari itu. Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM menyampaikan rencana dan mengundang Saran tanggapan masyarakat. Rencana hanya dipersiapkan untuk dimodifikasi, jika

memang diperlukan Dikonsultasi Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM

mencoba menawarkan rencana. Mencari dukungan agar, memperoleh penerimaan atau memberi sanksi, sehingga pengadaan administrasi diharapkan. Lembaga pemerintah, legislatif, LSM Menerima informasi sosialisasi membuat perencanaan dan Masyarakat tercapai seperti yang

mengumumkannya.

dikerahkan untuk tujuan mendengarkan informasi. Masyarakat berkumpul menjadi suatu yang diharapkan.

Rendah

Tidak

ada

sama sekali

Masyarakat tidak mengetahui sama sekali.

Sumber: Community participation for health for all. London, Community participation group of the United Kingdom for all network, 1991 dalam Suhardi Suryadi dan Julmansyah 2001 IV. Alur Partisipasi Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam penyusunan peraturan daerah, partisipasi dikatakan optimal bila masyarakat terlibat secara aktif dari awal proses penyusunan hingga peraturan daerah itu disahkan menjadi produk hukum. Hal ini dapat dilakukan bila masyarakat dan lembaga legislatif saling berjalan sinergis untuk mewujudkan produk hukum yang terbaik untuk daerah. Dalam fungsinya sebagai Lembaga legilslasi, DPRD perlu menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat (selain menyerap masukan dari inisiatif anggota DPRD atau masukan dari Pemda) untuk bahan penyusunan kebijakan daerah. Semua aspirasi yang masuk dicatat dan didokumentasikan dengan baik. Selanjutnya DPRD melakukan proses seleksi dengan memperhitungkan berbagai aspek seperti sumberdaya, sumber dana,

tingkat keperluan dan berbagai keterbatasan-keterbatasan lainya.

Tujuan dari

proses seleksi ini adalah untuk menyusun prioritas usulan-usulan yang akan dibahas lebih lanjut di DPRD. Untuk mendapatkan partisipasi yang optimal, sebelum dibahas lebih lanjut di DPRD, usulan yang sudah diprioritaskan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas. Paling tidak masyarakat mengetahui dari sekian aspirasi yang masuk di DPRD ada priotitas yang akan dibahas lebih lanjut. Langkah ini dilakukan selain untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, juga merupakan bentuk Transparansi lembaga Legislasi kepada publik. Dari sini masyarakat akan mengetahui aspirasi mana yang menjadi prioritas DPRD dan mengapa aspirasi tersebut yang dipilih. Setelah

disosialisasikan, DPRD perlu menyerap aspirasi dari masyarakat. Aspirasi dari masyarakat cukup penting karena akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan. Upaya untuk menyerap aspirasi tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yakni cara pasif dan aktif. Cara pasif DPRD menunggu reaksi masyarakat setelah usulan-usulan prioritas disosialisasikan. Sedangkan cara aktif, DPRD mengundang atau mengajak bekerjasama dengan elemen masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan pembahasan. Setelah mendapatkan masukan dari masyarakat, usulan prioritas di bahas di DPRD melalui Rapat Paripurna (I dan II). Dari rapat ini, usulan-usulan prioritas tersebut akan ditetapkan untuk dibahas lebih mendalam dalam rapat-rapat komisi. Jumlah usulan yang ditetapkan tergantung dari hasil pembahsan dalam rapat paripurna. Selama sidang komisi, DPRD kembali membuka ruang publik untuk mendapatakan masukan-masukan dari masyarakat. Bila perlu Draft Raperda yang telah dibahas di sidang komisi disosialisasikan dan dibahas bersama masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan. Cara yang ditempuh sebagaimana telah disebutkan diatas, yakni melalui dua cara. Cara pasif menunggu reaksi masyarakat setelah draft disebarluaskan. Sedangkan Cara aktif mengajak berbagai elemen yang berkepentingan dimasyarakat untuk melakukan

pembahasan bersama. Selanjutnya setelah melakukan pembahasan disidang komisi, masyarakat perlu mengetahui proses pengesahan Raperda dalam sidang paripurna DPRD. Keterlibatan masyarakat terlibat dalam proses pengesahan merupakan ujung dari proses partisipasi masyrakat dalam penyusunan Peraturan Daerah. Alur proses Partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah bisa dilihat dalam gambar berikut: {mosimage} I. Pendahuluan Meningkatnya kebutuhan akan berbagai peraturan perundang-undangan tidak dapat dihindari, tidak saja untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini (termasuk akibat diberikannya otonomi kepada daerah), tetapi merupakan perangkat yang dibutuhkan dalam era globalisasi. Peningkatan kuantitas peraturan perundangundangan tersebut seyogyanya diimbangi dengan peningkatan kualitas. Peraturan perundang-undangan hendaknya disusun secara hati-hati dan seksama dengan mengikuti syarat-syarat teknis dan juridis tanpa mengabaikan kaidah-kaidah filosofis dan sosiologis. Suatu kajian hukum/perundang-undangan perlu dilakukan dengan penelitian-penelitian kepustakaan dan empiris, guna memperoleh suatu peraturan dengan kualitas yang baik dan dapat berlaku efektif dalam masyarakat. Penelitian terhadap peraturan perundang-undangan tidak saja dilakukan dalam rangka pembuatan rancangan peraturan, tetapi juga perlu dilakukan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah peraturan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, rasa keadilan, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain. II. Keperluan Penelitian Sebuah penelitian perlu dilakukan karena : 1. Hasil penelitian yang baik akan menjamin proses pengambilan keputusan darimana Rancangan Peraturan Daerah tersebut berawal

2. Garis besar yang disarankan dalam penelitian dapat dijadikan sebagai peta untuk menuntun pembuat rancangan dalam mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti yang ada. 3. Garis besar yang sama memastikan bahwa para pembuat rancangan menyusun fakta-fakta tersebut secara logis. 4. Laporan hasil penelitian merupakan perangkat kenadali mutu dari RUU Sedangkan fungsi penelitian akan bermanfaat untuk: 1. Memaparkan fakta-fakta apa adanya 2. Memperlihatkan penjelasan atau bukti yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa tujuan-tujuan yang dicapai akan berhasil. III. Metodologi Penelitian Belum ada standar baku dalam membuat metodologi penelitian untuk penyusunan rancangan peraturan perundangan. Berbagai

alternatif metodologi terbuka kemungkinan digunakan asalkan hasilnya dapat membantu mencapai tujuan penelitian itu sendiri, yakni menjawab persoalan dalam rangka penyusunan rancangan peraturan daerah. Salah satu metodologi penilitian yang dapat digunakan untuk keperluan penyusunan peraturan daerah adalah metodologi pemecahan masalah. Suatu laporan hasil penelitian dari seorang pembuat rancangan perlu menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan bertumpu kepada dasar pemikiran yang berdasarkan pengalaman. Ada empat langkah pemecahan masalah: 1. Mengenali kesulitannya Umumnya sebuah produk peraturan perundangan seperti peraturan daerah dibuat karena ada kesulitan-kesulitan yang ingin dipecahkan. Pembuat rancangan peraturan daerah dalam hal ini perlu

mengenali lebih jauh letak kesulitan-kesulitan tersebut secara cermat. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah kesulitankesulitan apakah yang terjadi? Apakah fakta-fakta dilapangan menunjukkan bahwa kesulitan-keulitan itu benar-benar terjadi? Pada langkah awal pembuat rancangan peraturan daerah ini perlu membuat deskripsi dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan disertai fakta-fakta yang ditemukan dilapangan. 2. Mengusulkan dan menjamin penjelasannya Setelah deskripsi kesulitan di dipaparkan dengan disertai fakta-fakta dilapangan, maka langkah

selanjutnya adalah meneliti lebih lanjut mengapa kesulitan-kesulitan dapat terjadi. Penyebab-penyebab apa sajakah yang melatarbelakangi kesulitan tersebut. Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat membantu mencari akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang ditemukan dilapangan secara cermat. 3. Pengusulan Solusi Setelah penyebab dari kesulitas dapat diketahui dengan jelas, maka langkah selanjutnya adalah memberikan solusi. Upaya

memberikan solusi ini diharapkan mampu menjawab akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang sejak semula diajukan. Solusi ini dibuat sudah dengan sendirinya sudah memperhatikan dampak-dampak yang terjadi dimasyarakat bila solusi diterapkan dilapangan. Dari pemberian solusi inilah selanjutnya dirinci menjadi rancangan peraturan daerah. 4. Memantau dan Menilai pelaksanaan Pada akhirnya laporan hasil penelitian harus membuktikan bahwa rancangan undang-undang

menyertakan mekanisme pemantauan dan penilaian yang cukup. Para pembuat undang-undang memerlukan masukan untuk menentukan apakah perilaku sosial berperilaku sebagaimana yang ditentukan dan akan menghasilkan akibat sebagaimana yang diharapkan.

IV. Langkah-Langkah Penelitian Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam proses Penelitian Raperda 1. Membentuk Tim Peneliti Dengan keterbatasanketerbatasan anggota DPRD untuk membantu melakukan kerja-kerja penelitian dalam penyusunan peraturan daerah, DPRD perlu membentuk tim peneliti. Tim ini idealnya mereka yang mengetahui tentang persoalan penelitian dan juga menyangkut persoalan-persoalan hukum/peraturan. Dalam hal ini mereka yang duduk dalam tim bisa dari kalangan anggota legeslatif sendiri yang dianggap mampu untuk itu atau pihak luar yang ditunjuk karena kemampuannya (pakar/akademisi) atau gabungan antara kalangan legeslatif dan pihak luar. 2. Melengkapi penelitian awal Kerja tim peneliti adalah melakukan pengkajian dan penelitian terhadap permasalahan atau topik yang akan menjadi Perda. Pada proses kegiatan penelitian awal ini, paling tidak menyangkut: 1. Studi literatur/pustaka 2. Penelitian yang lengkap tentang undang-undang yang ada 3. Menyerap dan mengkaji masukan dari berbagai pihak seperti pengacara, kaum akademisi, anggota parlemen, LSM, Pers dan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan masalah yang akan menjadi Perda. 4. Penelitian tentang perda terkait yang ada di daerah lain. 3. Menyusun Naskah Akademik (Kertas Kerja I) Setelah melakukan penelitian awal, tim peneliti perlu merumuskan hasil penelitiannya ke dalam bentuk naskah akademik. Tujuan menyusun naskah akademis ini adalah sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan daerah. Muatan naskah akademis ini paling tidak bisa menjawab persoalan sebagaimana yang dijelaskan dalam metodologi penyelesaian masalah, yakni memperjelas peta masalah, mencari sebab-sebab dari timbulnya masalah yang dihadapi dan solusi-solusi yang diperlukan untuk

menyelesaikan masalah. Naskah akademik ini selanjutnya menjadi Kertas Kerja I tim peneliti untuk dikonsultasikan ke pihak yang lebih luas. 4. Melaksanakan pembahasan dengan elemen terbatas Untuk menyempurnakan hasil penelitian awal, naskah akademik yang telah disusun dikonsultasikan kepada sejumlah elemen terbatas (di luar tim peneliti). Pihak-pihak tersebut bisa dari kalangan akademisi, LSM, praktisi hukum, tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan masalah. 5. Penyempurnaan Naskah Akademik (Kertas Kerja Ii) Setelah kertas kerja I dikonsultasikan elemen terbatas (di luar tim), maka hasil yang didapat adalah masukan-masukan. Berbagai masukan tersebut selanjutnya diolah sedemikian rupa sehingga akan menyempurnakan naskah akademik yang telah dibuat. Hasil penyempurnaan ini merupakan kertas kerja II tim peneliti untuk dikonsultasikan kepada pihak yang luas (publik). Kertas kerja II idealnya harus lebih sempurna dan lebih kuat posisinya dibandingkan dengan kertas kerja I. 6. Melaksanakan pembahasan dengan publik Penyempurnaan akhir kertas kerja tim peneliti adalah melakukan konsultasi dengan publik melalui kegiatan seminar/diskusi umum 7. Menyusun draft Raperda Setelah hasil penelitian mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan maka langkah selanjutnya adalah merumuskannya ke dalam Draft Raperda. Draf ini kemudian diserahkan oleh tim peneliti kepada pemberi mandat.

PERATURAN DAERAH SYARIAT ISLAM DALAM POLITIK HUKUM NASIONAL Penyelenggaraan otonomi daerah yang kurang dapat dipahami dalam hal pembagian kewenangan antara urusan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah sejak tahun 2000 hingga saat ini, akhirnya berdampak pada banyaknya

Peraturan Daerah-Peraturan Daerah yang memiliki muatan materi melampaui batas kewenangan dari Pemerintah Daerah itu sendiri. Banyak ditetapkannya Peraturan Daerah yang bernuansa agama (Peraturan Daerah Syariat Islam) adalah salah satu bukti pelanggaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan melampaui batas kewenangan yang seharusnya masalah agama merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat. Sistem hukum nasional kita adalah sistem hukum yang bukan berdasarkan agama tertentu tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan terhadap produk hukum nasional. Pakar Politik Hukum dari Universitas Islam Indonesia, Prof. Dr. M. Mahfud. MD dalam tulisannya yang berjudul Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah, menjelaskan bahwa hukum agama sebagai sumber hukum di sini diartikan sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan harus menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu menurut peraturan perundang-undangan. Konsepsi prismatik menurut Fred W. Riggs (1964), sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahfud, menyatakan bahwa Pancasila mengandung unsur-unsur yang baik dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang meliputi : (1) Pancasila memuat unsur yang baik dari pandangan individualisme dan kolektivisme, dimana di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan sebagai makhluk sosial; (2) Pancasila mengintegrasikan konsep negara hukum rechtsstaat yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta

konsepsi negara hukum the rule of law yang menekankan pada common law dan rasa keadilan; (3) Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law); serta (4) Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan oleh satu agama tertentu (negara agama) tetapi juga tidak hampa agama (negara sekuler) karena negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi karena kuantitas pemeluknya. Berdasarkan pada konsepsi prismatik tersebut, lahirlah beberapa tuntunan sebagai landasan kerja politik hukum nasional, yaitu : (1) hukum-hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang diskriminatif berdasarkan ikatan primordial, dimana hukum nasional harus menjaga keutuhan bangsa dan negara baik secara territori maupun secara ideologi; (2) hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan dimana dalam pembuatannya harus menyerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan hukum tidak hanya dapat dibentuk berdasarkan suara terbanyak (demokratis) tetapi harus dengan prosedur dan konsistensi antara hukum dengan falsafah yang harus mendasarinya serta hubungan-hubungan hierarkisnya; (3) hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial yang antara lain ditandai oleh adanya proteksi khusus oleh negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah agar tidak dibiarkan bersaing secara bebas tetapi tidak pernah seimbang dengan sekelompok kecil dari bagian masyarakat yang kuat; serta (4) hukum bardasarkan toleransi beragama yang berkeadaban dalam arti tidak boleh ada hukum publik yang didasrkan pada ajaran agama tertentu.

Prof. Mahfud berpendapat bahwa dengan konsep prismatik dan kaidah penuntun hukum yang khas sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, sebenarnya kita sudah mempunyai pegangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tegas jika kemudian ada hukum-hukum yang dipersoalkan karena dinilai keluar dari bingkai penuntunnya, dalam artian kalau memang ada produk hukum yang menyimpang dari empat kaidah penuntun itu, maka haruslah diselesaikan dengan instrumen hukum yang tersedia agar dapat disesuaikan dengan sistem hukum Pancasila yang prismatik. Dalam bukunya yang berjudul Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Prof. Mahfud memaparkan bahwaa dalam realitas politik di Indonesia, negara ini bukan negara Islam melainkan negara Pancasila, sehingga secara formal kelembagaan tidak memungkinkan umat Islam untuk mewujudkan seutuhnya prinsip-prinsip tentang hukum, terutama dalam bentuk yang resmi. Bangsa Indonesia memiliki latar belakang masyarakat yang pluralistik, sehingga dalam pengaturan bidang-bidang yang mempunyai sifat sentisif telah dibatasi oleh pemerintah untuk menjadi kewenangan pemerintah pusat. Keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah telah diatur dengan batasan-batasan yang jelas dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1999 yang berbunyi : Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang

pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.

Tetapi pada kenyataannya, yang terjadi di beberapa daerah adalah penerapan keleluasaan otonomi daerah yang berlebihan, bahkan sampai bertentangan dengan ketentuan yang telah mengatur mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pada bulan Oktober tahun 2004, pemerintah dengan persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyempurnakan materi muatan yang terkandung dalam peraturan mengenai pemerintahan daerah dengan

mengundangkan peraturan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengundangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tahun 2004 tersebut sekaligus menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah tidak berlaku lagi (Pasal 239 Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004). Berlakunya Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diikuti dengan pengundangan dan pemberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor : 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada bulan Juli tahun 2007 sebagai peraturan pelaksananya. Sebagaimana telah diatur sebelumnya pada Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 2009 dalam hal pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah, maka di dalam Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 juga diatur secara lebih rinci mengenai hal tersebut.

Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1), disebutkan bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali urusan Pemerintah yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Urusan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut kemudian dijabarkan pada ayat (3) yaitu bahwa Urusan Pemerintah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi : a) politik luar negeri; b) pertahanan; c) keamanan; d) yustisi; e) moneter dan fiskal nasional; dan f) agama. Untuk mempertegas pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, Peraturan Pemerintah Nomor : 38 Tahun 2007 kembali membuat ketentuan yang termuat dalam Pasal 2, yaitu : 1) Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. 2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.

3) Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Meskipun telah diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 serta dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 38 Tahun 2007 tetapi Pemerintah Daerah masih banyak yang menyalahgunakan keleluasaan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hal itu dapat kita lihat dari banyaknya Peraturan Daerah Syariat Islam yang ditetapkan. Selain urusan agama merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dalam segi pengaturannya, Peraturan Daerah Syariat Islam yang mempunyai materi muatan mengenai ketentuan-ketentuan dari salah satu agama itu juga menciptakan suatu kecemasan bagi kelompok masyarakat di luar agama yang bersangkutan atas diskriminasi yang diciptakan dari penetapan Peraturan Daerah Syariat Islam tersebut. Tujuan bangsa dan negara Indonesia adalah membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara definitif, tujuan negara Indonesia tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang meliputi : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pancasila merupakan pijakan dalam setiap usaha mewujudkan tujuan bangsa dan negara Indonesia yang mendasarkannya ke dalam 5 (lima) sila yang terkandung di

dalamnya, yaitu : (1) Ketuhanan yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Arah hukum Indonesia sudah sangat jelas, terletak pada tujuan dan dasar negara. Pemberlakukan ketentuan/syariat/hukum agama ke dalam suatu hukum positif di daerah merupakan penyimpangan dari tujuan dan dasar negara Indonesia sekaligus merupakan pelanggaran dari ketentuan peraturan di atasnya (UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota). Dalam ketentuan Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa materi muatan Peraturan Daerah mengandung asas : a) pengayoman; b) kemanusiaan; c) kebangsaan; d) kekeluargaan; e) kenusantaraan; f) bhineka tunggal ika; g) keadilan; h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i) ketertiban dan kepastian hukum; j) keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Ketentuan Pasal 138 Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penetapan Peraturan Daerah Syariat Islam bertentangan dengan asas kebangsaan, yaitu bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah harus mencerminkan sifar dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan)

dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia; asas bhinneka tunggal ika, yaitu bahwa materi muatan Peraturan Daerah harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah senfitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; serta asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan yaitu bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. Sikap negara Indonesia yang mendiamkan penetapan dan pemberlakuan Peraturan Daerah-Peraturan Daerah Syariat Islam yang banyak bermunculan sejak tahun 2000 tersebut memunculkan pemahaman bahwa Peraturan Daerah Syariat Islam tersebut adalah sah dan tidak bertentangan dengan tujuan dan dasar negara serta tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya. Bernard L. Tanya dalam makalah yang berjudul Judicial Review dan Arah Kebijakan Politik Hukum, sebuah Perspektif, mengemukakan bahwa hukum merupakan alat untuk mencapai Tujuan Negara, dimana hukum harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat prinsip cita hukum, yakni : (1) melindungi semua unsur bangsa demi keutuhan; (2) mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan; (3) mewujudkan kedaulatan rakyat dan negara hukum; (4) menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan keberadaban dalam hidup beragama.

Empat prinsip cita hukum tersebut menurut Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, haruslah selalu menjadi asas umum yang memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan negara sebab cita hukum adalah kerangka keyakinan yang bersifat normatif dan konstitutif. Cita hukum bersifat normatif karena berfungsi sebagai pangkal dan prasyarat ideal yang mendasari setiap hukum positif, sedangkan bersifat konstitutif karena mengarahkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai oleh negara. Peraturan Daerah Syariat Islam sangat tidak sejalan dengan sistem hukum Indonesia, dimana kesatuan hukum yang dibangun untuk mencapai tujuan negara seharusnya selalu bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Banyaknya Peraturan Daerah Syariat Islam yang berlaku di Indonesia memberikan ancaman terhadap kerangka dasar/pijakan politik hukum Indonesia karena substansi yang terkandung di dalam Peraturan Daerah Syariat Islam menciptakan in-toleransi hidup beragama yang berdasarkan pada keadaban dan kemanusiaan.

Banyak kepentingan publik yang dilanggar sebagai dampak dari penetapan dan pemberlakuan Peraturan Daerah Syariat Islam. Sikap tidak toleran dan ekslisivisme menjadi sangat merebak di berbagai daerah. Hal tersebut sangat menunjukkan bahwa keinginan untuk hidup secara berdampingan dengan kelompok agama lain sangat rendah serta penghargaan terhadap kebebasan beragama kelompok lain pun juga menjadi sangat rendah.

Hukum di Indonesia dapat diartikan sebagai alat untuk meraih cita-cita serta mencapai tujuan bangsa dan negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka menurut Prof. Mahfud, politik hukum diartikan sebagai arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum guna mencapai cita-cita serta tujuan bangsa dan negara atau dengan kata lain, bahwa politik hukum adalah upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan. Dengan demikian, Prof. Mahfud memaparkan bahwa politik hukum nasional harus berpijak pada pola pikir atau kerangka dasar, sebagai berikut : 1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara, yakni : a. Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahteraan umum; c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; d. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, yakni : a. Berbasis moral agama; b. Menghargai dan melindungi hak asasi manusia tanpa diskriminasi;

c. Mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan primordialnya; d. Meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat; e. Membangun keadilan sosial. 4. Apabila dikaitkan dengan ccita hukum negara Indonesia, politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk : a. Melindungi semua unsut bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa; b. Mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan; c. Mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan

hukum); d. Menciptakan toleransi hidup beragama berdasarkan keadaban dan

kemanusiaan. 5. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut, maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem hukum kepentingan, nilai sosial dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Politik hukum mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum, serta sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah suatu hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara.

Peraturan Daerah Syariat Islam tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan negara yang hendak menegakkan keadilan sosial, menegakkan hak asasi manusia, menegakkan persatuan tanpa diskriminasi, serta mengancam prinsip cita hukum (rechtsidee) mengenai perlindungan terhadap semua unsur bangsa demi keutuhan integrasi. Arah hukum negara Indonesia yang seharusnya sudah jelas, yakni terletak pada tujuan negara, pada dasar negara, pada cita-cita hukum maupun pada pijakan/dasar politik hukum negara Indonesia bahkan pada hakikatnya, semua umat beragama di Indonesia wajib melaksanakan ketentuan hukum agamanya masing-masing secara interen tanpa harus di-perda-kan (menjadi hukum positif negara) menjadi berantakan dan sangat mencemaskan bagi berbagai kelompok masyarakat.

Perda Bernuansa Agama dan Masa Depan Demokrasi Indonesia, Sebuah Sketsa

Oleh Ahmad SuaedyHadirnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) bernuansa agama sejak demokratisasi dan desentralisasi Indonesia paka Orde Baru telah membetot perhatian banyak kalangan. Sebagian besar mengkhawatirkan bahwa fenomena ini akan menjadi titik balik bagi demokratisasi, yaitu munculnya benih-benih diskriminasi dan pengabaian kesataraan semua warga negara di depan hukum dalam Indonesia yang menganut negara hukum, bahkan hendak mengubah Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama (Islam). Kekhawatiran demikian sangat beralasan mengingat didirikannya negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945--dengan segala

amandemennnya, justeru dimaksudkan sebagai dasar bagi negara demokrasi yang menjunjung tinggi kesamaan warga negara di depan hukum. Di beberapa daerah, praktik dari Perda dan aturan-aturan tersebut telah memberikan efek diskriminasi bagi pelayanan publik yang sangat nyata (Subair Umam dkk, 2007).

Namun bagi para pendukungnya, proses ini adalah bagian dari perjuangan mereka yang belum selesai bagi didirikannya Indonesia itu sendiri. Kegagalan di tingkat nasional untuk mengubah Indonesia menjadi negara agama (Islam) mendorong mereka untuk mengubah startegi dengan desa mengepung kota, yaitu memunculkan berbagai aturan yang bernuansa agama di derah-daerah untuk mengubah pondasi negara Indonesia menjadi negara berdasarkan agama Islam (Haedar Nasir, 2007). Namun secara historis, fenomena masuknya berbagai unsur hukum agama (khususnya Islam) ke dalam sistem hukum nasional sesungguhnya telah terjadi sejak negara Indonesia itu sendiri berdiri. Pengamatan Ratno Lukito (2003), menunjukkan bahwa, meskipun pada dasarnya hukum adat dan hukum Islam memiliki hukum kesempatan nasional yang sama untuk mewarnai lebih

perkembangan

tetapi

hukum

Islam

selalu

memenangkan kompetisi dari persiangan keduanya. Dengan kata lain, dalam sejarah perkembangan hukum Indonesia, hukum Islam lebih mewarnai hukum nasional ketimbang hukum adat, seperti hukum perkawinan dan waris, dan bahkan hukum ekonomi seperti lahirnya Bank Muamalat dan UU Zakat di tahun 1990an (Robert Hefner, 2003). Sebagai isu publik, ada kecenderungan bahwa penerapan Syariah Islam makin tidak populer. Ini diindikasikan bahwa beberapa kepala daerah seperti di Cianjur, Jawa Barat dan Bulukumba di Sulawesi Selatan, serta pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan itu sendiri, calon-calon yang mengusung penerapan Syariah Islam kalah dalam pemilihan langsung (pilkada). Tetapi penerapan itu justeru berjalan dengan cara semacam mainstreaming dan creeping. Departemen Agama dan Departemen Hukum dan HAM, misalnya, sedang menyiapkan setidaknya tiga RUU (Rancangan

Undang-undangan) tentang apa yang disebut Syariah Islam Terapan, yaitu tentang Pernikahan, Kewarisan, dan Wakaf yang ketiganya problematik dari segi hubungan antar warganegara yang berbeda agama. Berbagai unsur Syariah juga muncul dalam beberapa rancangan undangundang dan peraturan, baik di pusat maupun di daerah tanpa muncul di debat publik. Para pendukung penerapan Syariah Islam tidak lagi menfokuskan pada perjuangan di ranah publik melainkan di ranah praktis strategis, maka yang sedang terjadi adalah perebutan berbagai jabatan strategis oleh para pendukung penerapan Syariah Islam. Partai-partai politik yang berbasis ideologi Islam pun seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) cenderung menyembunyikan agenda penerapan Syariah sebagai debat dan diskusi publik. Bahkan akhir-akhir ini PKS cenderung hendak merangkul sebanyak mungkin masyarakat pemilih dengan mengedepankan isu pluralisme dan kebhinekaan. Tetapi dalam praktiknya, para eksponen partai-partai itu, baik di masyarakat maupun di birokrasi bekerja secara sistematis untuk memasukkan unsur-unsur Syariah Islam ke dalam hukum atau perundangundangan dan berbagai peraturan pemerintah, baik secara undangundangan dan aturan tersendiri maupun menjadi bagian dari perundangundangan dan aturan secara umum. Tiga partai yang disebut di atas adalah the inner ruling parties, di samping Partai Demokrat (PD) yang didirikan oleh SBY (Susilo Bambang Yudoyono), yang sedang berkuasa sekarang ini. Karena itu mereka

memiliki kesempatan yang cukup besar untuk merencanakan dan melakukan mainstreaming agenda-agenda tersebut tanpa harus membawa isu-isu ke ranah dan debat publik. Kecenderungan pengabaian dan kelemahan pengetahuan tentang Islam oleh SBY dan PD, maka peran partai-partai itu cenderung menguat memanfaatkan status dan kedekatan dengan kekuasaan. Berbagai prediksi meningkatnya perolehan suara partai-partai tersebut, khususnya PKS, dengan sendirinya akan

memperkuat arus mainstreaming dan creeping tersebut. Secara kuantitatif, Robin Bush (2007) telah menghitung maraknya Perda yang bernuansa agama (khususnya Islam) akhir-akhir ini, , mislanya, berjumlah sekitar 78 Perda, di 52 Kabupaten dan Kota, tidak termasuk SK Bupati, Walikota dan Gubernur dan draf yang belum diputuskan oleh DPRD. Maka, jika pertumbuhan itu terus berlanjut, mau tidak mau memang mungkin akan memengaruhi arah perkembangan hukum nasional. Keputusan Mahkamah Agung yang menolak Judicial Review atas Perda Tangerang (Nurun Nisa dkk, 2007) tentang anti prostitusi yang diskriminatif terhadap perempuan dengan alasan bukan ruang lingkup MA, telah menimbulkan kehawatiran lebih besar tentang perkembangan tersebut. Beberapa dimensi munculnya Perda-perda bernuansa agama

Tilikan yang cukup hati-hati akan sampai pada pemikiran bahwa, sesungguhnya tidak ada single factor dalam fenomena ini, melainkan harus dilihat dari beberapa sudut pandang dengan memilah-milah sejumlah faktor yang memengaruhinya. Bush, misalnya, menunjuk ada beberapa faktor tumbuh suburnya Perda-perda bernuansa agama tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah (a) faktor sejarah dan budaya lokal. Menurut Bush,

tumbunya berbagai perda bernuansa agama (Islam) ada hubungannya dengan daerah-daerah yang memiliki sejarah dengan DI/TII. (b) Daerah-daerah yang memiliki potensi korupsi tinggi, sehingga bisa diprediksikan bahwa perda atau kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya menutupi korupsi yang dilakukan oleh para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif. (c) Pengaruh lokal politik. Ini terjadi misalnya ketika seorang politisi ingin menyalonkan diri sebagai kepala daerah atau seorang incumbent hendak mencalonkan diri lagi menjadi calon kepala daerah periode berikutnya. Maka salah satu alat untuk menarik para pemilih adalah dengan cara menawarkan diterapkan perda-perda

bernuansa agama. (d) Kelemahan kalangan politisi tentang kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan dan tiadanya visi untuk menyejahterakan masyarakat, sementara di lain pihak adanya kesempatan politik yang luas dan kekuasaan yang cukup untuk membuat berbagai peraturan. Tiadanya kemampuan untuk menggali isu-isu strategis untuk menyejahterakan rakyat dan lemahnya kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan tentang pemerintah yang baik (good governance), lalu menjadikan referensi agama sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan aturan. Sementara itu, menurut Arskal Salim yang dikutip dalam Bush, menunjukkan setidaknya ada tiga kategori perda bernuansa agama ini. a) Perda-perda yang berkaitan dengan isu keprihatinan publik (public order) atau pengaturan moral masyarakat seperti perda tentang anti perjudian, anti prostitusi dan anti minuman keras. Sesungguhnya isu demikian bukan

hanya menjadi keprihatinan dan komitmen orang beragama tertentu melainkan hampir semua orang dengan motivasi masing-masing. b) Aturan-aturan yang berkaitan dengan keterampilan beragama dan kewajiban ritual keagamaan. Aturan ini seperti aturan tentang kewajiban bisa baca Al-Quran, membayar zakat dan sebagainya. Aturan ini spesifik ditujukan untuk orang-orang Islam. Sedangkan (c) adalah aturan yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan seperti kewajiban memakai jilbab bagi perempuan dan baju koko bagi laki-laki di hari Jumat. Aturan terakhir ini, pada praktiknya sering menimbulkan diskriminatif baik dalam pelayanan publik oleh pemerintah maupun di kalangan masyarakat sendiri. Bukan hanya kepada orang non-Muslim melainkan bahkan diskriminatif terhadap kalangan Islam sendiri. Beberapa Pertimbangan untuk merespon

Dengan berbagai kenyataan di atas, penulis berpikir bahwa respon terhadap fenomena maraknya Perda dan berbagai aturan yang bernuansa agama, khususnya Islam, tidak bisa direspon hanya dari satu sudut pandang dan strategi tunggal semata. Peraturan-peraturan tersebut tampaknya harus dilihat kasus per kasus dengan segala latar belakang dan konteks politiknya masing-masing. Respon yang terlampau general dan gebyah uyah terhadapnya akan berisiko tertinggalnya berbagai hal penting dan tidak tuntas. Langkah demikian juga akan melahirkan kritik dan mungkin advokasi yang proporsional. Pertama-tama, perlu terlebih dahulu diberi ukuran paradigmatik dan substansi tentang perda-perda atau aturan-aturan tersebut dengan argumen yang memadahi. Misalnya, dasar negara Pancasila dan UUD

1945 dengan segala amandemannya adalah ukuran utama, sedangkan prinsip-prinsip hak asasi manusia harus pula ikut mendukungnya. Dalam aturan-aturan yang dikategorikan sebagai public order atau keprihatinan umum seperti perjudian, prostitusi dan minuman keras sangat sulit untuk direspon ke tingkat substansi dan paradigamtik seperti itu, karena ia menjadi keprihatinan dan komitmen bersama masyarakat. Yang harus dilakukan terhadap aturan semacam ini adalah pemantauan atas tujuan dan langkah-langkah penerapannya, misalnya pelarangan yang tanpa jalan keluar sehingga menimbulkan pengangguran massal dan penderitaan. Juga cara-cara penegakannya (enforcement), misalnya menggunakan cara-cara kekerasan dan kriminalisasi yang berlebihan serta diskriminatif. Dengan demikian advokasi yang dilakukan pun akan lebih memenuhi sasaran. Tanpa ada ukuran yang nyata dan respon yang terukur seperti itu dikuatirkan akan terjadi perdebatan yang tanpa ujung pangkal. Ukuran berikutnya adalah prosedur pembuatan dan landasan atau konsideran dari aturan-aturan tersebut. Salah satu ukuran penting dalam hal ini adalah UU no. 10 tahun 2004 tentang prosedur pembuatan perundang-undangan, termasuk di dalamnya Perda dan aturan lainnya. Konsistensi konsideran yang mendasari aturan-aturan tersebut penting untuk diuji dengan landasan hukum yang berlaku di Indonesia. Ini penting mengingat, ada beberapa Perda yang diduga kuat hanya

merupakan fotocopy dari daerah lain sehingga mengabaikan partisipasi masyarakat yang penuh sebagaimana diatur dalam UU tersebut dan niat baik tentang usaha menyelesaikan masalah sosial di daerah itu.

Di samping itu, juga ada beberapa aturan seperti SK Bupati dan Walikota yang mendasarkan, misalnya, pada Fatwa MUI atau pendapat sekelompok orang dengan mengabaikan landasan hukum yang ada. Dengan ukuran demikian, usaha untuk melakukan advokasi akan terfokus pada kesalahan dan penyimpangan aturan itu tanpa harus mengangkatnya terlalu tinggi pada level konstitusi, misalnya. Ukuran berikutnya adalah konteks politik lokal. Jika memang terbukti bahwa Perda atau aturan sejenis benar- benar hanya komoditi politik seorang politisi untuk tujuan meraih jabatan tertentu, advokasi bisa difokuskan pada komoditifikasi politik tersebut. Di Sulawesi Selatan dan Cianjur, misalnya, terbukti bahwa dagangan Syariah Islam tidak memberikan dampak signifikan bagi terpilihnya seorang pasangan Gubernur dan Bupati. Daerah yang terkenal maniak Syariah Islam itu justeru memilih pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang mengusung visi pluralisme dan toleransi dan Bupati yang tidak mengusung isu itu. Terkadang masalah politik memang menjadi masalah besar dan ini menuntut keberanian dan visioner dari para pemegang pemerintahan di pusat. Tetapi kenyatannya itu tidak dilakukan. Secara teoritik, SK-SK Bupati, Wakilkota dan Gubernur yang secara hukum tidak prosedural, misalnyadengan mendasarkan pada fatwa MUI, dan juga Perda-perda yang menyimpang seharusnya cukup dibatalkan oleh Mendagri. Tetapi karena kandungan politiknya tinggi maka pemerintah lebih memilih diam, kuatir dengan reaksi polittik yang akan menjatuhkan kepercayaan masyarakat.

Diperlukan

tekanan

politik

yang

besar

kepada

pemerintah

untuk

melakukannya. Namun hasil riset yang dilakukan the Wahid Institute (2008) keseluruhan dari fenomena itu menunjukkan lemahnya civil society untuk menekan para politisi dan pemerintah untuk lebih memberikan perhatian kepada isu-isu publik seperti kemiskinan, keadilan dan korupsi ketimbang isu-isu semu dan memuaskan sentimen kelompok semata. Karena itu di samping memang diperlukan adanya reformasi terhadap hukum Islam itu sendiri (Abdullah An-Naim, 2007), gerakancivil

society untuk mengusung isu-isu substansial berdasarkan, meminjam istilah Naim, public reason justeru untuk mengaktualkan substansi dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Kelompok seperti ini sesungguhnya sudah lama terbentuk dan bekerja di banyak sektor dan merata di hampir kelompok masyarakat, baik yang sejak awal mengusung nilai Islam secara langsung untuk mendukung demokrasi maupun yang berangkat dari tantangan sosial umumnya. Namun kelompok ini sering terbentur pada terbatasnya kemampuan untuk memonbilisasi massa secara langsung dan

terkonsentrasinya sumber-sumber daya kekuasaan di tangan pemerintah dan parlemen (Suaedy, 2007).***