Hukum Internasional

download Hukum Internasional

of 38

description

hukum internasional

Transcript of Hukum Internasional

`KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

3

BAB I

PENDAHULUANA. Latar BelakangHubungan antara negara merupakan hubungan yang paling tua dalam studi hubungan internasional dimana, hubungan internasional telah memunculkan aktor-aktor baru selain negara dalam interaksi internasional. Perkembangan ini berakibat pada lahirnya paradigma atau paham baru oleh para penstudi HI dalam mengkaji fenomena-fenomena internasional yang terjadi. Paham tersebut antara lain paham realism, pluralism, strukturalisme, dan globalisme.

Dominasi aktor negara pada awal perkembangan HI menurut kaum realis di gugat oleh kaum pluralis dan menganggap bahwa actor dalam HI tidak hanya di dominasi oleh negara tetapi juga di lakukan oleh MNC , individu , NGO, serta kelompok teroris. Sementara pendekatan strukturalisme lebih memandang interaksi hubungan internasional sebagai ketergantungan negara kecil terhadap negara besar dan dominasi negara kuat terhadap negara lemah.Adanya faktor tunggal dalam HI pada awal perkembangannya membuat tata hubungan internasional pada saat itu hanya diwarnai oleh interaksi antar negara saja. Dominasi peran antar negara tersebut kemudian menjadikannya sebagai aktor utama dalam HI dan tatanan internasional terbentuknya sesuai dengan keinginan negara , khususnya negara besar. Sifat-sifat penguasa di negara-negara tertentu yang represif dan cenderung otoriter, melahirkan rasa kekecewaan bagi rakyatnya karena keinginan untuk turut berpartisipasi dalam bidang politik tidak dapat tersalurkan bahkan cenderung di kekang. Ketika jalur-jalur penyampaian aspirasi politik tidak berjalan baik, maka partisipasi tersebut kemudian diwujudkan melalui gerakan-gerakan radikal yang pada akhirnya akan melahirkan kekerasan-kekerasan sipil.

Pasca perang dunia II, kekerasan sipil merupakan gejala yang sangat menarik perhatian. Dibanding perang sebenarnya yaitu perang antarnegara, kekerasan sipil jauh lebih banyak jumlahnya. Surat kabar New Yeork Times mencatat selama kurun waktu 1946-1959 saja, telah terjadi 1.200 kekerasan sipil yang meliputi perang saudara, aksi-aksi gerilya, huru-hara, kekacauan-kekacauan luas, terorisme, pemberontakan dan kudeta. Peristiwa-peristiwa kekerasan itu terutama sangat mencuat dalam dasawarsa 1960-an yang terjadi tidak saja di negara berkembang, melainkan juga di negara-negara maju. Kekerasan sipil mencakup suatu spectrum yang sangat luas, mulai dari unjuk rasa, atau protes dengan menggunakan kekerasan, pemberontakan spontan, pemberontakan berencana dan berlanjut, kudeta bahkan sampai ke revolusi. Perang Saudara termasuk kekerasan politik sementara perang antar negara tidak.Kekerasan sipil berbentuk terorisme dapat dilakukan oleh penguasa atau negara terhadap rakyatnya sendiri atau terorisme negara, maupun oleh rakyat terhadap penguasanya. Terorisme digunakan sebagai senjata defensive maupun afensif untuk memelihara status quo atau untuk merusak sistem yang ada. Setelah berakhirnya Perang Dingin, berbagai kekerasan sipil termasuk terorisme internasional tampak semakin menjadi-jadi. Perang Saudara, terorisme dalam berbagai bentuk, pemberontakan, pemboman, peracunan, pembantaian, penyandraan, demonstrasi berdarah dan sebagainya memenuhi media cetak maupun elektronik. Amerika Serikat sebagai salah satu negara korban terorisme internasional, seperti yang kita ketahui bahwa Amerika merupakan negara Adi Kuasa yang terkadang memenuhi standar ganda dalam melihat suatu fenomena atau dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya bila berkaitan dengan isu Arab Israel, menjadikannya objek kemarahan dari pihak-pihak yang dianggap dirugikan ataupun tidak senang dengan kebijakan standar ganda tersebut. Hal tersebut membuat Amerika Serikat menjadi sasaran terorisme internasional. Terdapat banyak serangan terorisme yang dilakukan ke tempat-tempat kepentingan Amerika Serikat, baik itu di dalam dan di luar negeri, mulai dari aksi pemboman terhadap sebuah botel di Yaman yang banyak di huni oleh warga Amerika Serikat (1992), gedung World Trade Center New York (1993). Kampung Militer di Riyadh Arab Saudi (1993) basis militer AS di Dahran Arab Saudi (1996). Kedutaan Besar AS di Kenya Tanzania (1998), kapal perang AS USS Cole di Yaman (2000) dan yang terakhir dan sangat berdampak terhadap bangsa dan negara Amerika Serikat yakni serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon dengan menggunakan pesawat terbang komersil yang menjadi tragedy nasional bagi bangsa dan negara Amerika Serikat. Trauma yang sangat mendalam sebagai akibat aksi dari serangan-serangan terorisme tersebut membuat Amerika Serikat sangat reaksioner dalam sikapnya menghadapi issu terorisme yang berkembang saat ini. Amerika Serikat sangat cepat merespon terhadap setiap issu terorisme. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan politik luar negerinya yang berusaha mencari simpati dunia internasional dalam kampanye pemberantasan jaringan terorisme. Hal ini sejalan dengan pendapat William D.Coplin bahwa : Politik luar negeri suatu negara merupakan substansi dari hubungan internasional terselenggara sebagai sarana interaksi antar negara demi pencapaian tujuan nasional. Sebelum mengadakan serangkaian tindakan dalam hubungan luar negerinya, suatu negara terlebih dahulu harus menentukan pola politik luar negerinya berdasarkan atas kebutuhan nasional sehingga kepentingan nasional berperan sebagai kontrol dalam setiap pelaksanaan politik luar negerinya. Di sini, tujuan nasional Amerika adalah berusaha melindungi seluruh warga dan kepentingan di dalam dan di luar negeri sedangkan instrument yang digunakan adalah cenderung kepada politik. Menciptakan rasa aman bagi warganya dinilai sebagai kebutuhan yang mendesak, mengingat warga dan kepentingannya tersebar ke seluruh belahan dunia.

Isu terrorisme, ternyata bukan hanya konsumsi wilayah regional tertentu saja seperti Timur Tengah, namun telah menyebar ke wilayah-wilayah regional lainnya yang memiliki potensi konflik dan instabilitas seperti halnya kawasan regional Asia Tenggara. Konflik intern di negara kawasan tersebut, bisa saja memancing jaringan internasional untuk melakukan aksi-aksi teror di kawasan tersebut. Sebagai contoh aksi terror yang di lakukan oleh gerilyawan Moro di Philipina Selatan. Pada perkembangannya dinilai dapat membahayakan keselamatan warga dan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara.Kemudian di Singapura 25 anggota Jemaah Islamiyah, di Malaysia dan Singapura di duga merupakan suatu jaringan terorisme internasional yang terkait dengan jaringan Al-Qaidah pimpinan Osama Bin Laden. Bersama penangkapan tersebut ditemukan beberapa dokumen yang berisi rencana penyerangan terhadap kepentingan-kepentingan AS di Asia Tenggara seperti di Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Selanjutnya ledakan kecil di sekitar konsulat AS di Bali, kemudian hal ini semakin membuat kawasan tersebut rawan terhadap isu serangan aksi teroris. Dari pemaparan tadi penulis tertarik untuk meneliti kebijakan Amerika Serikat dalam merespon issu terorisme di kawasan Asia Tenggara dalam suatu bentuk makalah dengan judul Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Terorisme Di Asia TenggaraB. Batasan dan Rumusan Masalah

Mengingat dalam judul yang sudah di kemukakan di atas mencakup berbagai aspek dengan kompleksitas masalah maka dalam hal ini , penulis perlu membatasi yaitu hanya berkisar kepada respon pemerintah AS dalam bentuk pernyataan, aksi, dan pola kebijakan di Kawasan Asia Tenggara terutama dalam hubungannya dengan isu terorisme internasional di kawasan tersebut.Dari pembatasan tersebut, maka penulis merumuskannya ke dalam bentuk pertanyaan penelitian makalah sebagai berikut :

1. Bagaimana respon dan wujud kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam merespon terorisme di kawasan Asia Tenggara ?

2. Bagaimana peluang dan tantangan Amerika Serikat dalam menghadapi Terorisme di Asia Tenggara ?BAB IIHASIL PENELITIANA. Respon Amerika Serikat Terhadap Terorisme di Asia Tenggara

Dalam merespon serangan terorisme tanggal 11 September, kalkulasi kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS dapat dikatakan berubah secara signifikan. Hal ini pada gilirannya telah mempebgaruhi konstelasi politik internasional. Respon AS memang cukup keras, Presiden George Walker Bushmenegaskan hal tersebut dengan pernyataannya bahwa AS tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan aksi-aksi ini dan pihak yang melindungi mereka.

Dengan sikapnya yang keras ini, Amerika Serikat tampaknya ingin melahirkan semacam struktur bipolar baru yang memperumit pola-pola hubungan antar negara. Pernyataan Presiden George W. Bush, either you are with us or you are wit the terrorist, secara hitam putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.

Tragedi 11 September, juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan Amerika Serikat dalam menentukan penilaiannya terhadap negara lain. Sekarang ini, Amerika Serikat memiliki kecenderungan untuk lebih menghoraukan masalah terorisme ketimbang isu demokrasi dan hak asasi manusia. Kenyataan bahwa Presiden Perves Musharraf di Pakistan naik ke panggung kekuasaan melalui kudeta militer, misalnya, tidak lagi menjadi penghalang bagi Amerika Serikat untuk menjalin aliansi anti-terorisme dengan negara itu.

Dengan kata lain, Amerika Serikat tampaknya cenderung menjadikan komitmen melawan terorisme-dibandingkan dengan komitmen terhadap demokrasi dan HAM-sebagai alat menilai siapa lawan dan kawan. Akibatnya, telah terjadi pergeseran agenda global dari demokrasi dan HAM menjadi perang melawan terorisme yang dianggap mengancam kepentingan dan keamanan Amerika Serikat secara langsung.

Akumulasi dari pandangan-pandangan inilah yang digunakan Amerika Serikat sebagai landasan paradigm anti-terorismenya yang kemudian menjadi awal kebangkitan negara tersebut. Meskipun sebelum tanggal tragedi 11 September, telah ada indikator menuju hal tersebut, akan tetatpi pada akhirnya tragedi 11 September, inilah yang telah memberikan sebuah titik balik kepada pemerintah Amerika Serikat melalui pelaksanaan kampanye anti-terorisme secara luas.

Pemerintah Amerika Serikat sendiri menganggap terorisme sebagai kejahatan politik. Definisi itu diberikan pemerintah Amerika Serikat mengenai terorisme adalah the unlawful use or threat of violence against persons or property to futher political or social objectives. Untuk itu sejak awal pemerintah Amerika Serikat bersikap tegas, tidak melakukan kompromi, dan menolak melakukan negosiasi dengan kelompok terorisme karena menganggap negosiasi hanya akan memperkuat posisi kelompok terorisme tersebut. Pemerintah Amerika Serikat menolak setiap upaya negosiasi dengan kelompok teroris, baik itu berupa upaya pembayaran tebusan, perubahan kebijakan, penukaran atau pembebasan tawanan. Sikap Amerika Serikat ini kemudian diikuti oleh negara barat sekutunya.

Sikap tegas pemerintah Amerika Serikat terhadap masalah terorisme ini juga di pengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, terorisme dianggap sangat membahayakan kepentingan nasional Amerika Serikat. Terutama karena seringnya warga negara, gedung kedutaan maupun perusahaan milik Amerika Serikat menjadi sasaran tindakan terorisme. Antara tahun 1995-2000, 109 warga negara Amerika Serikat terluka setiap tahunnya akibat terorisme. Kedua, tindakan terorisme juga seringkali dianggap mengganggu proses perdamaian yang telah diupayakan Amerika Serikat selama lebih dari dua puluh tahun di Timur Tengah dalam masalah konflik Arab-Israel. Ketiga, terorisme juga mengancam stabilitas keamanan di negara-negara yang menjadi aliansi Amerika Serikat. Keempat, terorisme selalu terkait dengan tindakan kekerasan sehingga dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM. Dengan keempat faKtor di atas yang dianggap sangat merugikan kepentingan Amerika Serikat, maka negara ini merasa berhak berada di posisi paling depan dalam upaya melawan terorisme internasional.

Sejak 25 Desember 2001, Amerika Serikat memberlakukan UU baru yang di sebut Patriot Act 2001. Undang-undang ini dengan keras menyatakan menentang terorisme dan berbagai kegiatan yang mendukungnya atau bersentuhan dengan aksi terorisme dinyatakan dilarang. Terutama, larangan pemberian bantuan dana pada jaringan terorisme harus diberlakukan. Dalam upaya melawan terorisme ini, Amerika Serikat juga menggunakan kekuatan ekonominya sebagai senjata, selain dengan cara embargo ekonominya sebagai senjata yang sudah lazim dipergunakan di dalam hubungan internasional, Amerika Serikat juga berusaha mematikan seluruh jaringan bisnis dari kelompok yang di curigainya sebagai kelompok teroris dan pendukungnya di seluruh dunia. Meskipun diyakini Undang-Undang ini belum sempurna, karena dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan hak kebebasan sipil warga negara sebab memberikan kekuasaan kepada polisi dan pihak intelejen untuk melakukan semua tindakan yang dianggap perlu demi memberantas terorisme dan pihak yang diduga melindungi dan memberikan bantuan keuangan terhadap gerakan ini. Kongres bersedia mengesahkan dalam waktu singkat.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap sipil, karena pada akhir rakyat yang tidak berdosa yang menjadi korban paling banyak dalam setiap kejahatan teroris, untuk itu perang terhadap terorisme tidak dapat di tangguhkan lagi dan tragedy Black Tuesday tidak boleh terulang kembali. Hal ini menjadi factor. Kongres Amerika Serikat menyetujui anggaran sebesar 14 milyar dollar untuk program pemberantasan terorisme, termasuk dalam usaha ini adalah bantuan pembaruan hukum kepada negara lain sehingga setiap negara yang mendukung pemberantasan terorisme memiliki landasan dalam tindakannya. Pembaharuan bidang hukum itu lebih diutamakan, sebab Amerika Serikat ingin pemberantasan terorisme di seluruh dunia harus tetap mengacu pada hukum. Terorisme dianggap bukan sekedar ancaman fisik atau keamanan, melainkan tindakan multi sektor, sehingga harus dihadapi dari berbagai bidang secara bersama-sama. Pembaharuan hukum itu, terutama diarahkan untuk menghadapi dan membekukan financing terrorism. Setiap negara diharapkan mempercepat pembuatan peraturan yang melarang perijinan money loundering , dan menghalangi masuknya uang teroris ke dalam industri legal di Amerika Serikat dengan pasal hukum yang disebut Willfull Blindes.

Amerika Serikat juga menggunakan beberapa strategi containment policy yang pernah digunakan dalam era Perang Dingin, yaitu pemberian bantuan social dan ekonomi dengan tujuan pembangunan semacam Marshal Plan di Eropa setelah Perang Dunia II berakhir. Penyebarluasan nilai-nilai demokrasi yang dianut Amerika Serikat melalui berbagai kerjasama antara LSM dan organisasi-organisasi pemerintahan Amerika Serikat, maupun pembentukan pemerintahan baru yang pro demokrasi. Kemiskinan dianggap merupakan salah satu factor yang menyebabkan kelompok-kelompok teroris di negara berkembang. Dengan menguatnya ekonomi dan menyebarluaskan kemakmuran di wilayah-wilayah yang rentan terhadap terorisme dianggap dapat membantu menciptakan stabilitas dan perdamaian dunia. Meskipun dianggap kurang efektif dibandingkan penggunaan kekuatan militer, strategi semacam ini tetap perlu dilakukan demi kepentingan jangka panjang. Sebagian pihak bahkan menyanggah kemiskinan sebagai factor yang melahirkan terorisme juga lahir di negara-negara maju dan relative makmur.

Osama Bin Laden sendiri lahir dari keluarga kaya dan berpengaruh di Arab Saudi. Sehingga, upaya perlawanan terhadap terorisme melalui upaya pengentasan kemiskinan oleh Marshal Plan dianggap kurang efektif.

Kebijakan Amerika Serikat yang cukup kontroversial lainnya adalah UU The Anti-Terorism dan Efektive Death Penalty Act tahun 1996, yang secara umum melegitimasi setiap kebijakan pemerintah memerangi terorisme di dalam dan di luar negeri. Termasuk dalam kewenangan pemerintah Amerika Serikat. Berdasarkan UU ini adalah melakukan ekstradisi bagi para teroris yang melakukan penyerangan terhadap warga negara dan property Amerika Serikat untuk diadili di Amerika Serikat, dan pemerintah Amerika Serikat juga berhak membekukan aset keuangan pihak-pihak yang dicurigai melakukan kegiatan terorisme di Amerika Serikat. Hal itu tentu saja menimbulkan polemik dalam hubungan bilateral Amerika Serikat dengan negara lain yang tidak mudah diselesaikan karena tidak semua negara mau menyerahkan warga negaranya untuk di adili di Amerika Serikat, terlebih lagi karena berdasarkan UU yang terbukti bersalah melakukan terorisme dapat dijatuhi hukuman mati.

Amerika Serikat bergabung dengan banyak negara untuk melawan teroris. Kerjasama atau koalisi pemberantasan teroris ini berlandaskan empat prinsip. Pertama, tidak ada konsesi terhadap terorisme dan akan menolak untuk tawar-menawar dengan mereka. Kedua, bertujuan unuk membawa teroris guna diadili terhadap kejahatan yang telah dilakukannya. Ketiga, akan mengisolasi terorisme agar mau mengubah sifatnya. Keempat, akan memperkuat kemampuan anti-terorisme diantara negara yang mau bekerjasama dan yang membutuhkan bantuan. Amerika Serikat mempunyai program pelatihan anti-terorisme yang di tawarkan kepada sejumlah negara sahabat. Hingga tahun 2001 telah lebih dari 15.000 personel dari 80 negara pernah ikut serta dalam pelatihan ini. Berbagai upaya melawan terorisme internasional ini terus diambangkan Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena organisasi teroris juga semakin beragam dalam memotivasi kegiatannya juga semakin canggih baik dalam persenjataan dan pengorganisasiannya.

Secara sepihak, upaya yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah pertama, mengisolasi negara memberikan dukungan terhadap kelompok teroris agar negara tersebut menghentikan bantuannya. Kedua, memperkuat peraturan dan hukum yang pada intinya melawan tindakan terorisme melalui berbagai kerjasama internasional. Ketiga, bersikap tegas dan menolak upaya tawar menawar maupun negosiasi yang diminta kelompok teroris. Kebanyakan tindakan terorisme terhadap Amerika Serikat ditujukan kepada Amerika Serikat dilakukan diluar negeri, sehingga upaya melawan terorisme internasional ini Amerika Serikat jelas memerlukan dukungan negara-negara lain karena masalah terorisme internasional ini sangat kompleks dan harus ditanggulangi dengan kerjasama.

Amerika Serikat menekan negara yang dianggap sebagai sponsor atau melindungi kelompok terorisme. Hal ini penting dilakukan karena selama masih ada dukungan dana dan moral, menyediakan tempat persembunyian, memasok persenjataan, maupun memberikan bantuan logistic maka upaya pemberantasan terorisme akan sulit dilaksanakan.

Setiap tahun Amerika Serikat melakukan pemetaan dan menganalisa kebijakan setiap negara terhadap terorisme dalam tiga kelompok, yaitu negara sponsor terorisme dan negara-negara tidak sungguh-sungguh menanggulangi kegiatan terorisme. Kebijakan yang diterapkan apakah itu tekanan ekonomi, diplomatic, maupun militer akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil pemetaan dan pengelompokan tersebut terhadap negara-negara terkait. Contoh upaya Amerika Serikat agar negara tersebut mau bekerjasama dengan Amerika Serikat dalam melawan terorisme dalam melalui tekanan ekonomi. Amerika Serikat akan memveto pinjaman yang akan diberikan lembaga-lembaga donor internasional kepada negara pendukung terorisme. Sehingga, negara-negara tersebut mengalami kesulitan ekonomi untuk melakukan pembangunan nasionalnya.

B. Strategi Kebijakan Amerika Serikat Dalam Menghadapi Terorisme Di Asia Tenggara

Peristiwa peledakan bom di Legian, Bali (2002), telah membawa makna tersendiri bagi masyarakat akan bahaya perkembangan teror-teror dalam entitas masyarakat sipil di Indonesia. Tragedi yang memiliki dampak sangat besar serta membawa trauma yang mendalam bagi pemerintah (khususnya pada saat itu Pemerintahan Megawati) dan masyarakat dalam melihat perkembangan-perkembangan tindakan terorisme.Dalam menangani aksi teroris itu, Indonesia perlu meyakinkan masyarakatnya bahwa ancaman teroris sudah mencapai tahap yang sangat membahayakan. Oleh karena itu Indonesia melakukan langkah pro aktif untuk memerangi aksi teror tersebut. Sedangkan dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia harus menunjukkan keseriusan dan konsistensinya dalam melakukan kerjasama bilateral, regional maupun multilateral untuk memerangi bahaya atau ancaman terorisme global.Sejak insiden di Bali, Indonesia cenderung dituding sebagai wilayah bagi kegiatan Al-Qaeda dengan jaringannya Jamaah Islamiyah. Para ahli mengatakan bahwa serangan-serangan teroris di Indonesia, termasuk pengeboman gereja dan pusat pembelanjaan (masing-masing terjadi pada tahun 2000 dan 2001) berkaitan dengan kegiatan terorisme internasional. Mengenai tuduhan bahwa Indonesia menjadi tempat bagi kegiatan Al-Qaeda, Menteri Pertahanan Indonesia pernah menggarisbawahi bahwa kegiatan Al-Qaeda memang eksis di Indonesia. Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono juga pernah menyebutkan bahwa teroris asing pernah berlatih di Sulawesi. Meskipun demikian, Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menanggapi pernyataan beberapa negara Barat itu. Pada intinya Indonesia dan Amerika Serikat sepakat dengan tegas untuk memerangi aksi terorisme internasional. Dalam kerangka kerjasama anti terorisme, pihak Administrasi Amerika Serikat merencanakan akan mengajukan anggaran sebesar US$ 14 juta untuk Indonesia tahun 2005. Kerjasama ini lebih diarahkan kepada pihak Kepolisian Indonesia (Polri).Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan masyarakat internasional dalam menangani masalah pasca bom di Bali pada Oktober 2002, dinilai berhasil dan merupakan contoh bagi upaya membangun kekuatan melawan terorisme. Dalam pernyataannya yang dikeluarkan Deplu AS di Washington, Rabu, Realuyo mengatakan, setelah peristiwa di Bali tersebut komunitas internasional bersama-sama membantu Indonesia untuk menghadapi masalah terorisme. Setelah bom yang mengejutkan itu, Indonesia tanpa kenal lelah bekerja dengan pihak internasional untuk memperkuat pertahanan melawan ancaman terorisme, termasuk upaya untuk menghentikan aliran dana teroris, katanya.

Dalam menjalankan kebijakan anti terorismenya, Amerika Serikat menggunakan platform kebijakan preemptive dan preventive.. Kebijakan preemptive adalah kebijakan jangka pendek yang ditujukan untuk mengantisipasi secara cepat potensi serangan terorisme. Sedangkan kebijakan preventive adalah kebijakan jangka menegah dan jangka panjang yang sifatnya tidak terlalu agresif.

Inti dari kebijakan preemptive adalah penerapan strategi menyerang sebelum diserang. Melalui doktrin ini, Amerika Serikat secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui tindakan militer unilateral, untuk menghancurkan apa yang di persepsikannya sebagai kemungkinan ancaman terror terhadap kepentingan Amerika Serikat kapanpun dan dimanapun.

Di sisi lain, kebijakan preventive merupakan strategi untuk menghilangkan kondisi-kondisi yang dapat mendukung kemunculan, perkembangan dan pertumbuhan organisasi terorisme. Kebijakan ini mencakup antara lain peningkatan pertahanan keamanan, penegakan hukum dan demokrasi, mengurangi tingkat kemiskinan dan lain-lain.

Selanjutnya, sejalan dengan doktrin preemptive dan preventive, Amerika Serikat kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang meyakini bahwa pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik yang dapat dilakukan dalam usaha memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan keamanannya.

Penekanan kepada pendekatan militer itu terlihat juga melalui peningkatan anggaran pertahanan yang signifikan dalam pemerintah Amerika Serikat sejak tragedy 11 September, peran Pentagon yang dominan dalam menjalankan kebijakan luar negeri, dan peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di negara-negara yang di harapkan Amerika Serikat dapat menjadi mitra dalam perang melawan terorisme, seperti Pakistan, Filiphina, Indonesia, dan negara-negara lain di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Diselaraskan dengan dua platform kebijakan tersebut, kebijakan anti terorisme Amerika Serikat secara konseptual meliputi empat pilar utama, yaitu defeating, denying, diminishing, dan defending. Empat pilar tersebut dijabarkan sebagai berikut :

a. Defeating: bersama dengan sekutu-sekutunya, Amerika Serikat mengalahkan teroris dengan cara menyerang markas, pemimpin, dan seluruh infrastruktur gerakan mereka.

b. Denying : menentang dan menolak segala bentuk bantuan, dukungan serta perlindungan terhadap teroris. Tujuan utama strategi ini adalah untuk menjaga agar negara lain menghalanhi segala usaha-usaha tersebut dalam wilayah kekuasaan mereka.

c. Diminishing : memperbaiki kondisi yang mendukung munculnya terorisme dengan mendukung pertumbuhan ekonomi, perkembangan politik, penciptaan erkonomi berbasis pasar, dan penegakan hukum.

d. Defending : melindungi warga negara dan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di dalam dan di luar negeri termasuk perlindungan infrastruktur dan cyber.

Empat pilar tersebut dikombinasikan dengan penggunaan sarana-sarana startegis Amerika Serikat berupa :

a. Pendekatan Diplomasi : Penggunaan diplomasi untuk membantu menciptakan koalisi global anti-terorisme merupakan komponen utama dalam kebijakan anti-terorisme Pemerintah Amerika Serikat. Dalam hal ini, media massa juga menjadi sarana diplomasi yang kuat dalam menghadapi teroris dengan cara membangun ketertarikan dan mempengaruhi cara berfirik masyarakat.

b. Sanksi Ekonomi : Jika sebelumnya saksi ekonomi hanya diberikan kepada negara yang aktif mendukung atau mensponsori terorisme internasional, maka pada saat sekarang, sanksi dapat juga dikenakan pada asset-aset yang dikelola langsung kelompok terorisme, seperti pembekuan asset pribadi para tersangka terorisme.

c. Bantuan Ekonomi : Tindakan ini merupakan bentuk usaha mengubah kondisi social ekonomi yang mendukung berkembangnya terorisme. Dengan pengurangan angka kemiskinan diyakini akan dapat mengubah pola hidup dan menekan potensi-potensi terorisme.

d. Aksi Tertutup : Tindakan ini meliputi pengumpulan data intelejen, penyergapan kelompok teroris, dan operasi militer bersifat rahasia. Sebagian besar tindakan ini ditujukan untuk mengawasi dan mencari tahu tujuan, kemampuan atau bahkan rencana strategis organisasi teroris

e. Penawaran hadiah untuk informasi yang berguna : Model ini dipakai karena terbukti berhasil dalam menangani penyelundupan obat-obatan terlarang dan pemberontakan di beberapa negara.

f. Kerjasama dalam penegakan hukum dan ekstradisi : Kerjasama internasional di bidang penegakan hukum, pengawasan, dan kegiatan intelejen termasuk dalam bagian esensial dari kebijakan anti-terorisme pemerintah Amerika Serikat. Kebijakan ekstradisi dalam hal ini termasuk yang krusial mengingat banyak negara yang membatasi perjanjian ekstradisi khususnya yang sifatnya politis.

g. Kekuatan militer : Penggunaan kekuatan militer bukanlah hal yang menjadi kendala bagi negara dengan kekuatan militer seperti Amerika Serikat. Untuk penanganan terorisme di tingkatan domestic maupun internasional, Amerika Serikat di dukung oleh kepemilikan senjata canggih dan mutakhir.

h. Konversi Internasional : Amerika Serikat bersama dengan komunitas internasional telah dan sedang mengembangkan konvensi-konvensi internasional dalam penanganan terorisme. Konvensi-konvensi tersebut mengajak keterlibatan dalam sebuah misi menghukukm para pelaku terror atau mengekstradisi mereka ke negara tempat aksi berlangsung.

Sarana yang dimiliki Amerika Serikat dalam kampanye anti terorismenya kemudian diimasukkan dalam kebijakan anti terorisme Amerika Serikat untuk skala internasional dan menghasilkan strategi-strategi pengamanan bagi kepentingan Amerika Serikat di luar negeri.

Dari strategi-strategi tersebut, beberapa diantaranya memiliki dampak luas dalam konstalasi politik internasional. Strategi yang diamksud adalah penolakan terhadap segala bentuk bantuan kepada terorisme. Dalam hal ini targetnya adalah menjaga agar negara lain mengambil langkah yang sama dengan Amerika Serikat dalam wilayah kekuasaan mereka. Implementasi dari strategi ini meliputi :

a. Merumuskan kebijakan yang dapat membuat negara sponsor teroris mengubah kebijakan mereka.

b. Membentuk dan mengkampanyekan standarisasi internasional dalam mengangani terorisme.

c. Memusnahkan tempat perlindungan teroris

d. Menghalangi lalu lintas darat, air, udara, dan cyber dalam rangka memutuskan akses teroris terhadap senjata, pendanaan.

Peran Amerika Serikat Dalam Mengatasi Munculnya TerorismeDalam hal ini Amerika Serikat bukan sedang mengincar umat Islam, melainkan terorisme. Hanya, kebetulan teroris itu beragama Islam. Pemerintah Amerika Serikat memang tidak bermaksud untuk memproduksi makna Islam dengan terorisme. Juga tidak berniat untuk menciptakan benturan antar peradaban, sebagaimana diteorikan Samuel P. Huntington Dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Peningkatan interaksi ini, selain mempertajam kesadaran dan rasa perbedaan peradaban antara orang-orang atau masyarakat yang berbeda, juga mempertajam kesadaran akan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam peradaban-peradaban itu.Terorisme, menurut Martha Crenshaw, pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan guna mengekspresikan strategi politik. Tindakan tersebut memiliki motif-motif politik. Teroris dan Islam adalah dua term yang seringkali secara tidak disadari dipadukan sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-Qaeda dan Osama adalah representasi kekuatan Islam yang sedang menggeliat dan memberontak dengan menggunakan aksi teror atau kekerasan. Pemaduan ini menjadi berbahaya dan tidak kondusif bagi perkembangan keduanya, Barat dan Islam. Sebab, masing-masing akan terjebak pada stereotipe yang tidak menguntungkan bagi masa depan peradaban global.Perang melawan terorisme adalah perang yang tidak bisa hanya dilakukan di medan perang, melainkan di berbagai bidang. Selain melalui diplomasi, perang bisa dilakukan dengan menggalang kerja sama intelijen, pembekuan aset financial, hingga pencegahan imigrasi illegal. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ralph L Boyce, dalam kuliah umum berjudul US-Indonesian Relations in the Post-September 11 World di Universitas Paramadina, Jakarta, menjelaskan bahwa terorisme itu harus diperangi melalui bidang diplomatik, melalui kerja sama intelijen dan saling berbagi informasi serta membangun koalisi. Di bidang finansial, harus ada kerja sama untuk membekukan asaet-aset teroris serta kerja sama domestik dan internasional untuk mencegah praktik pencucian uang dan imigrasi illegal.Strategi Amerika Serikat bukan sekedar menangani ancaman nyata. Yang lebih tandas dari itu adalah mengalahkan sumber ancaman itu. Namun, sayangnya, fokus yang amat terarah ke garis depan dalam memerangi terorisme membuat orang sulit memahami strategi Amerika Serikat. Walau Pemerintah Amerika Serikat tampaknya berhasil mengembangkan strategi kebijakan luar negeri yang masuk akal, tak mudah membuat orang mengerti kebijakan tersebut. Kemudian dalam visi pemerintahan Bush-Powell kembali menjelaskan persoalan itu secara lebih luas. Presiden Bush mempunyai banyak strategi yang pertama kali dijabarkan secara tebuka pada September 2002 dalam Strategi Keamanan Nasional AS (National Security Strategy of the United State/NSS). Dalam dokumen setebal hampir 40 halaman itu, NSS menjabarkan prioritas kebijakan AS menjadi delapan bab sebagai sebuah strategi yang terintegrasi secara luas dan dalam, sesuai kesempatan maupun tantangan yang dihadapi AS. Tentu saja sebuah dokumen strategi yang ditujukan bagi publik tak akan bisa sepenuhnya terbuka supaya tidak diketahui musuh-musuh kami. Meskipun demikian, dokumen ini dengan jujur merefleksikan kepribadian presiden, yang dengan konsistensinya mengatakan apa yang dia maksudkan dan meyakini apa yang dia katakanya.

Peristiwa WTC bagi Amerika Serikat sendiri merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk perang terhadap terorisme. Hal ini tentunya juga membuka mata bagi negara lainnya, ini menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedy WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional (khususnya dalam bentuk terorisme) dan hegemoni AS sebagai adidaya tunggal.

Serangan menara kembar dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk merubah kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS, dan akan mempengaruhi politik dunia internasional.

Pertama, dengan sikap kerasnya, AS tampak ingin melahirkan semacam struktur bipolar baru. Pernyataan Presiden George W. Bush, either you are with us or you with terrorist, secara jelas menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.

Kedua, tragedy 11 September, juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam menilai seuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih mengkhawatirkan masalah terorisme daripada isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Ketiga, ditambah dengan adanya kecenderungan yang mengaitkan islam dengan terorisme di kalangan para pengambil kebijakan di AS, tatanan politik global semakin diperumit oleh ketegangan antara AS dengan negara-negara Islam ataupun negara dengan penduduk mayoritas islam.

Keempat, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan-serangan teroris di masa depan, AS membentuk sebuah doktrin baru,yakni doktrin preemption. Melalui doktrin ini, AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui tindakan militer, untuk menghancurkan apa yang dianggapnya berpotensi sebagai ancaman terror terhadap kepentingan AS dimana saja, termasuk Asia Tenggara. Doktrin Preemption tersebut jelas meresahkan banyak negara, dan dapat mengubah tatanan, nilai dan norma-norma hubungan antarnegara. Dalam konteks doktrim preemption, prinsip kedaulatan negara, arti penting dan peran institusi-institusi multilateral seperti PBB dan organisasi regional, serta ketentuan-ketentuan hukum internasional dapat saja diabaikan.

Kelima, AS kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang sangat yakin bahwa pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan kepentingannya. Aksi serangan militer ke Afghnaistan dan invasi ke Irak merupakan contoh nyata dari pendekatan ini.

Dari strategi yang di terapkan AS di atas, tersirat bahwa AS berusaha untuk menunjukkan hegemoninya kepada dunia dan adanya keinginan untuk memerangi teroris yang sampai dengan saat ini identik dengan dunia islam. Penggiringan opini bahwa pelaku adalah umat islam, terlepas dari tanpa bukti dan fakta, menyebabkan antipati publik terhadap islam. Terlebih lagi beberapa kelompok islam yang dituding sebagai pelaku tindak terorisme menunjukkan indikasi membenarkan aktivitas-aktivitas tersebut.

Asia Tenggara dengan jumlah muslim terbanyak tentunya menjadi sorotan bagi Amerika Serikat dalam penerapan kebijakannya. Malaysia memberlakukan Undang-Undang yang akan memungkinkan negosiasi perjanjian bantuan hukum timabal balik dengan negara lain. Malaysia telah menandatangani deklarasi anti terorisme dari kerjasama dengan Amerika Serikat, dan menyetujui pembentukan pusat pelatihan anti-terorisme regional di Kuala Lumpur.

Indonesia, pada tahun 2005 Bush menyetujui partisipasi Indonesia Military Education and Training (IMET). Dan diteruskan dengan keputusannya Bush pada Mei 2005 untuk mengaktifkan kembali non-lethal Foreign Military Sales (FMS) di Indonesia dan November 2005 diputuskan juga untuk membatasi Foreign Military Financing (FMF) karena kekhawatiran keamanan nasional AS.

Filiphina, Pemerintahan Bush mendukung kebijakan pemerintah Filiphina menerapkan militer untuk menekan Abu Sayyaf dan mencari penyelesaian yang di negosiasikan dengan MILF. Pada tahun 2002, Amerika memasukkan 1.300 pasukan ke Filiphina Selatan untuk membantu Filiphina dalam Operasi melawan Abu Sayyaf di Pulau Brasilian daya Mindanao. Thailand, Pembentukan Counter Terrorism Intellegence Center (CTIC) tahun 2001 yang merupakan kerjasama Thailan dengan dinas Intilejen AS, CIA.Tekad AS memerangi terorisme bukanlah sebuah ungkapan kemarahan semata. Kesungguhan AS dalam hal ini terlihat jelas ketika AS menjadikan war against terrorism sebagai salah satu bagian dari Strategi Keamanan Nasional AS 2002 (National Security Strategy/NSS). Dan upaya AS memberantas terorisme ini tidak terbatas pada wilayah teritorial AS saja, tetapi juga diseluruh penjuru dunia, dimana kelompok-kelompok militan dan teroris bersembunyi. Afganistan bukanlah satu-satunya wilayah dimana AS berusaha menangkap dan menghancurkan kelompok taliban dan Al-Qaeda. Tetapi ribuan kelompok teroris yang terlatih secara militer dan sebagian besar diantaranya merupakan jaringan Al-Qaeda, telah tersebar di berbagai kawasan seperti belahan benua Amerika utara dan selatan, Eropa, Afrika, Timur Tengah, serta Asia.

Hal tersulit yang ditemukan dalam perang melawan terorisme adalah untuk menemukan musuh. Karena musuh disini bukan lagi negara, tetapi kelompok-kelompok orang yang membentuk jaringan-jaringan teroris. Untuk itu AS menegaskan bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik antar negara dan kawasan agar kampanye ini menjadi efektif.

Akan tetapi, meyakinkan dunia bahwa war against terorrism juga merupakan upaya AS untuk menciptakan keamanan dan perdamaian masyarakat internasional yang lebih baik, bukanlah hal yang mudah. Penyebab utamanya adalah karena terjadi perdebatan diantara negara-negara mengenai terminologi terorisme itu sendiri, termasuk pro dan kontra mengenai kategori kelompok-kelompok yang ditetapkan sebagai teroris internasional.

Oleh karena itu AS memandang perlu mengadakan perang terhadap pemikiran-pemikiran untuk memenangkan pertempuran melawan terorisme internasional. Cara-cara yang akan dilakukan AS meliputi: Dengan mempergunakan pengaruh besar AS dan bekerjasama dengan negara-negara sahabat dan sekutu, Menegaskan bahwa seluruh tindakan terorisme adalah haram sehingga terorisme akan dipandang setara dengan perbudakan, pembajakan, serta pembunuhan masal. Dengan demikian tidak ada negara yang dapat menghargai atau mendukung prilaku teroris, sebaliknya harus ditentang.

Mendukungi pemerintahan moderat dan modern khususnya dikawasan dengan penganut mayoritas muslim, untuk menjamin bahwa tidak ada tempat dimana kondisi dan ideologi yang membantu kemajuan perkembangan terorisme

Mengurangi kondisi-kondisi yang menimbulkan terorisme dengan cara membuat masyarakat internasional untuk fokus terhadap sumber-sumber yang menimbulkan kondisi tersebut

Mempergunakan diplomasi publik yang efektif untuk memajukan aliran informasi yang bebas untuk membangkitkan harapan-harapan dan aspirasi kebebasan dalam lingkungan yang ruled by the sponsors of global terorism.

C. Peluang dan Tantangan Amerika Serikat dalam Menghadapi Terorisme di Asia TenggaraPeristiwa ledakan bom di Gedung WTC 11 September 2001 yang lalu cukup memberikan pengaruh pada situasi politik internasional belakangan ini. Menyusul ledakan WTC ini. Presiden AS, George W. Bush berpidato, Amerika beikut sahabat dan aliansi kami akan bergabung dengan semua pihak yang menginginkan perdamaian dan keamanan di dunia ini. Kita akan bersama-sama berdiri melawan dan memenangkan peperangan terhadap terorisme.Masalah memberantas ini kemudian menjadi urusan bersama dunia. Tak pelak lagi, hampir seluruh kepala negara-negara di dunia, termasuk penguasa di negeri-negeri Islam, tunduk pada tuntutan AS. Perang melawan terorisme, kini telah menjadi kebijakan politik luar negeri AS yang dominan.

Pada masa kepemimpinan yang baru, Obama menggunakan pendekatan baru dalam mengelola perang terhadap terorisme. Strategi baru ini menurutnya adalah pendekatan realis yang di rancang untuk memperbaiki reputasi moral Amerika Sekaligus memperkuat keamanan nasionalnya, tidak seperti kebijakan Bush yang divergen sebelumnya.Obama berusaha memisahkan dua tantangan yang diidentifikasinya saling terkait tetapi keduanya sangat berbeda. Tantangan pertama adalah apa yang disebutnya immediate-near term challenge yakni persistent-evolving Al-Qaedah and its affliation. Terhadap tantangan ini, Obama menegaskan sikapnya pada inagurasi our nation is at war against a far-reaching network of violence and hatred. And to win this war against Al-Qaedah, the administration continues to be unrelenting, using every tool in its toolbox and every arrow its quiver. Untuk menghadapinya, Presiden Amerika Serikat ini mengoptimalkan kekuatan militer termasuk meningkatkan kapabilitas terutama angkatan darat dan angkatan laut, memimpin rezim global nonproliferasi, adaptasi, dan penguatan komunitas intelijen termasuk peningkatan kemampuan linguistic-kultural, kolaborasi dan koordinasi dengan partner intelijen luar negeri.Adapun tantangan kedua adalah apa yang disebutnya sebagai long term challenge-the threat of violent extremism generally, termasuk factor-faktor politik, ekonomi dan sosial yang dinilai menjadikan banyak individu berada dalam jalur kekerasan, maka pendekatan militer, operasi intelijen dan penegakan hukum saja menurutnya tidak akan mampu mengatasi masalah ini.

Ada lima elemen pendekatan Obama untuk mengatasi masalah ini, yaitu :1. Perlawanan terhadap teroris, khususnya di kawasan Asia Tenggara diletakkan pada posisi yang tidak lagi mendistorsi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS tetapi menjadi bagian penting dari kebijakan-kebijakannya yang lebih luas tersebut.

2. Obama tidak lagi menggunakan War On Terrorism untuk mendefinisikan tantangan AS karena menurutnya terorisme tidak lain adalah taktik atau alat untuk mencapai tujuan.

3. Obama menolak istilah jihadist pada teroris muslim, khususnya di kawasan Asia Tenggara karena akan memberikan legitimasi relijius dan pada saat yang sama memneri kesan AS sedang berperang dengan islam. Definisi tantangan yang dikembangkan pemerintah Obama adalah AS sedang berperang dengan Violent extremism dan Ideologies of Violences.4. Mengatasi faktor-faktor hulu pemicu violent extremism dengan menjawab kebutuhan dasar masyarakat seperti keamanan, pendidikan, lapangan pekerjaan untuk mengisolasi ekstrimis dari masyarakat luas yang hendak mereka layani. Para ekstrimis dininilai memanfaatkan kemiskinan masyarakat untuk merekrut mereka melalui jaminan sosial yang mereka tawarkan lalu mengindoktrinisasi masyarakat untuk melakukan tindakan terror. Dengan mengatasi faktor-faktor hulu ini di harapkan opini yang salah-yang dikembangkan para ekstrimis-bahwa AS sebenarnya ingin menjadikan masyarakat tetap melarat dan lemah akan bisa dihapuskan. Selanjutnya, masyarakatlah yang kemudian akan mengisolasi para ekstrimis dan bukan AS yang harus melakukannya.5. Menggunakan semua elemen kekuatan nasional untuk mengatasi penyebab dan kondisi pemicu berbagai ancaman termasuk violent extremism.

Sejumlah rekomendasi kebijakan asistensi keamanan Amerika Serikat di Asia Tenggara dalam rangka menjaga kepentingannya dilakukan melalui langkah-langkah :1. Mengintegrasikan secara lebih baik strategi Counerterorisme, hukum dan peraturan serta kebijakan-kebijakan pembangunan untuk mengatasi isu-isu korupsi di wilayah ini. Hal ini dinilai krusial agar para pejabat terpilih dan birokrat mampu memenangkan kepercayaan komunitas mereka sendiri dan dengan cara demikian mengabaikan teroris dan pengaruh politik mereka.2. Melanjutkan reformasi polisi di Filiphina dan Thailand.

3. Membantu menciptakan wilayah yang tidak terlalu ramah bagi para terorisme di Asia Tenggara melalui peningkatan dukungan terhadap institusi-institusi regional seperti ASEAN, ASEAN Regional Forum, APEC, dan EAS (East Asia Summit). Penyaluran bantuan keamanan, dan pendampingan counterterorisme melalui kerangka kolaboratif semacam ini diharapkan akan mengurangi persepsi bahwa terorisme adalah kepentingan khusus Amerika Serikat.4. Menekan kesepuluh negara ASEAN untuk menandatangani dan meratifikasi seluruh (16) konvensi PBB terkait counterterorisme.

Kebijakan AS untuk memimpin perang melawan terorisme sepertinya semakin berhasil dengan dikeluarkannya resolusi DK PBB No.1373 Tahun 2001. Resolusi tersebut memuat langkah-langkah dalam menanggulangi terorisme dan mendukung tindakan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Dengan demikian, AS semakin memiliki kemudahan dalam mendapatkan akses untuk menghadirkan militernya di luar negeri dengan dalih terorisme.

Hal inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran banyak negara, terutama mereka yang tidak cukup kuat untuk menolak penetrasi militer AS kedalam wilayahnya. Seperti yang selalu ditekan pemerintah AS bahwa perang ini tidak berhenti sampai disini (afghanistan), maka kecenderungan pasca perang di Afghanistan dan Iraq adalah melanjutkan dengan memberikan perhatian terhadap aktivitas terorisme di belahan lain dunia, dalam hal ini berdasarkan dokumen dan rekaman kaset video yang ditemukan dalam markas Al-Qaeda di Afghanistan.

Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat merasakan dampak langsung dari langkah-langkah AS tersebut. Karena tidak lama setelah AS menyerang Afghanistan, pejabat pemerintahan Bush mengumumkan: adanya upaya Osama Bin Laden dan pengikutnya untuk memperluas kegiatan-kegiatan mereka di Asia Tenggara, tidak hanya di filipina, tetapi juga di Singapura dan Indonesia.Berbagai media cetak AS juga banyak mengeluarkan artikel mengenai potensi teror dari gerakan-gerakan kelompok Islam radikal yang berkembang dengan subur di Asia Tenggara.

Implikasi lebih jauh yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika PBB resmi menyatakan bahwa kelompok Jamaah Islamiah digolongkan sebagai organisasi teroris internasional. Keputusan PBB ini tentu saja sangat mempengaruhi Asia Tenggara, dimana selama ini AS selalu menekankan bahwa Jamaah Islamiah merupakan perpanjangan tangan Al-Qaeda, dan jaringannya menyebar di Malaysia, Singapura, serta Indonesia. Sehingga AS mempunyai kekuatan untuk menekan pemerintahan negara-negara Asia Tenggara agar lebih aktif bekerjasama dalam memberantas terorisme seperti yang diinginkan AS.

Pada akhirnya War on Terrorism, menjadi instrumen AS untuk dapat menghadirkan kekuatan militernya diluar teritorialnya. Khususnya bagi Asia Tenggara, indikasi menjadi second front dari perang melawan terorisme semakin terlihat jelas. AS telah menempatkan Asia Tenggara menjadi salah satu prioritas dalam kebijakan luar negeri-nya setelah sekian lama kawasan ini menghilang dari layar radar AS. Sebagai kawasan dengan tingkat prioritas kepentingan yang tinggi, maka AS perlu memastikan kehadiran kekuatan militernya di Asia Tenggara untuk menjaga kepentingan-kepentingan tersebut.

Dibawah spanduk global war on terrorism, pemerintahan presiden Amerika Serikat (AS) pada waktu itu, George W. Bush mulai mendorong kepala pemerintahan negara-negara Asia Tenggara untuk bekerjasama dengan AS. Ada pendapat yang berkembang, bahwa kemunduran pengaruh AS di kawasan Asia Tenggara selama beberapa dekade sebelumnya melatarbelakangi pemikiran untuk menghadirkan kembali militernya di kawasan ini. Namun yang pasti, setelah serangan militer pertama dimulai dengan menyerang Al-Qaeda dan rezim Taliban di Afghanistan pada 7 Oktober 2001, dan spekulasipun dengan cepat menggunung, bahwa operasi-operasi selanjutnya akan segera dilakukan di tempat lain. Hal ini muncul tidak lama setelah Asia Tenggara disebut-sebut sebagai Second Front in the war on terrorism.

Ada beberapa alasan yang tidak mungkin dilepaskan mengapa Asia Tenggara menjadi fokus AS dalam memberantas terorisme, antara lain:1. Seperti yang diberitakan, ada koneksitas antara Asia Tenggara dengan serangan 11 September. Beberapa pembajak, termasuk petinggi-petingginya yaitu Mohhammad Atta dan Zacarias Moussaoui yang sejauh ini diklaim AS memiliki keterlibatan dengan serangan 11 september, dimana mreka diketahui telah mengadakan pertemuan di kuala Lumpur untuk membicarakan rencana-rencana mereka.

2. Sebelum serangan 11 September terjadi, AS telah memperingatkan mengenai operasi kelompok-kelompok militan Islam radikal di kawasan Asia Tenggara, termasuk beberapa diantaranya berhubungan langsung dengan jaringan Al-Qaedah. Antara lain Al-Maunah (Malaysia), Laskar Jihad (Indonesia), beberapa cabang Moro (Filipina).

3. Asia Tenggara adalah rumah dari umat Muslim, dimana Indonesia dan Malaysia mayoritas penduduknya adalah Muslim. Dengan Jumlah penduduk yang besar, batas-batas wilayah yang rawan serta lemahnya institusi negara, membuat AS telah lama mengindentifikasi Kawasan ini potensial menjadi surganya teroris.

Dengan ketiga faktor diatas, kemudian dengan peristiwa Bom Bali-Indonesia, 12 Oktober 2002, memperkuat kesan bahwa Asia Tenggara akan menjadi kawasan penting dalam perjuangan melawan para militan Islamis. Rizal Sukma mengemukan beberapa faktor mengapa diskursus mengenai kemungkinan Asia Tenggara menjadi the second front dari perang melawan terorisme muncul kepermukaan:

1. Adanya fakta bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan dengan jumlah penduduk muslim yang sangat signifikan. Bahkan Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Fakta ini kemudian dikaitkan dengan adanya pandangan bahwa kebanyakan dari teroris dan kelompok-kelompok militan identik dengan ideologi islam radikal. Sehingga ketika kemunduran kondisi ekonomi dan sosial yang dialami Asia Tenggara pasca krisis ekonomi serta kerusuhan politik yang terjadi di indonesia, menciptakan lingkungan yang sangat ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan aktivitas teroris, kelompok radikal, serta kelompok-kelompok separatisme.

2. Eksistensi pergerakan kelompok separatis di Asia Tenggara ini mendorong kemungkinan hadirnya terorisme dan jaringan teroris di sekitar daerah pusat gerakan tersebut terjadi.

3. Meningkatnya peran serta pengaruh kelompok-kelompok islam militan di Indonesia {Laskar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)}, Malaysia {Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM)}, dan Singapura {Jemaah Islamiah (JI)}.

4. Berkenaan dengan 3 faktor diatas, diperkuat dengan ditangkapnya orang-orang dari kelompok-kelompok tersebut yang disinyalir memiliki keterlibatan dengan aktivitas terorisme, semakin meyakinkan bahwa adanya jaringan terorisme di Asia Tenggara.

5. Ancaman-ancaman teroris di kawasan Asia Tenggara yang terus meningkat acapkali memperlihatkan sentimen anti-amerika dikalangan komunitas muslim setelah peristiwa 11 September dan serangan militer AS ke Afghanistan.

BAB V

PENUTUPA. KesimpulanBerdasarkan pemaparan hasil penelitian, maka penulis menarik beberapa kesimpulan yang dianggap merupakan sebagai hasil elaborasi yaitu sebagai berikut : 1. Dalam menghadapi terorisme, khususnya di Asia Tenggara, Pemerintah Amerika Serikat memilih untuk bersikap tegas, tidak melakukan kompromi, dan menolak secara tegas untuk melakukan negosiasi dengan kelompok terorisme, baik itu berupa tebusan, perubahan kebijakaan, penukaran atau pembebasan tawanan. Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan Undang-Undang baru yaitu Patriot Act 2001 yang berisi menentang terorisme dan berbagai kegiatan yang mendukungnya atau bersentuhan dengan aksi terorisme yang dilarang, seperti larangan pemberian bantuan dana pada jaringan terorisme.2. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan politik luar negeri secara umum dalam menghadapi terorisme internasional di kawasan Asia Tenggara yakni, mengeluarkan Kebijakan travel advisory dan travel warning terhadap Negara-negara yang potensial mendapat serangan terorisme di Kawasan Asia Tenggara. Meningkatkan kuantitas personil militer di kawasan Asia untuk melindungi kepentingan dan warga negaranya. Menggiatkan kampanye anti terorisme internasional melalui forum kerjasama regional seperti APEC dan ASEAN.3. Kebijakan luar negeri secara khusus yang bersifat bilateral antara pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Dengan Malaysia berupa kerjasama pembentukan pusat koordinasi anti terorisme regional Asia Tenggara di Malaysia. Bersama Filiphina melakukan kerjasama latihan militer. Dengan Indonesia, pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan dana sebesar 50 juta USD untuk membiayai pelatihan dan pembentukan satuan anti terror yang profesional. Suwardi Wiraatmaja, Pengantar Hubungan Internasional, 1996 , Rafika Adikarya Bandung hal 13

Philips Jusario Vermonte, di terjemahkan oleh Nasution, Politik dan Kekerasan, Pustaka Gramedia Jakarta 1990 hal 34

Kusnanto Anggoro, Terorisme Terhadap Amerika, Jurnal CSIS Vol.36.No.1 2007

William D Coplin, Pengantar Politik Internasional , Bandung : Pustaka Bersama 1992 hal 32

Rensselaer Lee and Raphael Perl. Terorism, the Future, and US Foreign Policy. CRS Issue Brief for Congress, 2002 hal 1.

Rizal Sukma. Keamanan Internasional Pasca 11 September : Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional hal 4.

ibid

Collin Powel, A Strategy of Patnership, Foreign Affairs, 2004, hal.22

Scott Moore The Preemptive and Preventive Use of Force in the Age ogf Global Terror. HYPERLINK "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd"http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd.

Rizal Sukma . Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional Hal5

Raphael Perl. US Anti-Terror Strategy and the 9/11 Commission Report. CRS Report for Congres 2004 hal 3

CRS Issue Brief for Conggress : Terrorism, the future, and U.S. Foreign Policy. HYPERLINK "http://www.iwar.orang.uk/news-archive/crs/9040.pdf"http://www.iwar.orang.uk/news-archive/crs/9040.pdf

Raphael Perl. U.S. Anti-Teror Stategy and the 9/11 Commission Report HYPERLINK "http://www.fpc.state.gov/documents/organizations/44943.pdf"http://www.fpc.state.gov/documents/organizations/44943.pdf.

Rizal Sukma . Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional Hal 6-7

The National Security Strategy of The United States of America.2002 hal 5

Ibid. hal 6

Ibid. hal 6

HYPERLINK "http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/05/26/obama-dan-narasi-baru-terorisme/"http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/05/26/obama-dan-narasi-baru-terorisme/

HYPERLINK "http://www.nbr.org/publications/analysis" http://www.nbr.org/publications/analysis

HYPERLINK "http://www.afsc.org/pwork/0112/011214.htm" http://www.afsc.org/pwork/0112/011214.htm.

Mathew. US may turn attention to far east terror groups, The Guardian,

HYPERLINK "http://www.ceri-sciences-po.org/" http://www.ceri-sciences-po.org

Ibid

Rizal Sukma, The Second Front Discourse: Southeast Asia & The Problem of Terrorism, dalam Asia Pacific Security: Uncertainty in a Changing World Order (Kuala Lumpur, 2002), hal. 78-80