Hukum Bisnis

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan ini membahas suatu pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”. Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang hukum bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient). Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang- undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-

Transcript of Hukum Bisnis

Page 1: Hukum Bisnis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan

hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur

apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi

ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak semata-mata

hukum an sich. Oleh karena itu tulisan ini membahas suatu pendekatan terhadap

hukum yang semakin hari semakin berkembang, yakni “Economic Analysis of

Law”.

Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of

Law di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa

pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi

perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus

pembahasannya adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi

kecenderungan di bidang hukum bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit

dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient). Kecenderungan-kecenderungan

tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam

memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan, ketidakefisienan

dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis, serta

adanya ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan.

Cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sudah jelas tercantum dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yaitu “Kesejahteraan

Umum Seluruh Rakyat Indonesia”. Dengan demikian, maka tugas negara tidak

hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai

kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate). Masalah yang kita

hadapi kemudian adalah bagaimana menterjemahkan pengertian kesejahteraan

atau lebih tepat “kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tersebut,

karena fenomena yang terjadi saat ini adalah bahwa “kesejahteraan bagi rakyat”

hanya menjadi slogan dan bahan kampanye bagi sebagian pejabat di Indonesia,

namun dalam penerapannya masih jauh dari yang diharapkan. Terutama dalam

Page 2: Hukum Bisnis

pengembangan perekonomian di Indonesia masih dikuasai oleh kelompok-

kelompok tertentu yang mana kelompok tersebut selain mempunyai usaha juga

mempunyai kewenangan menetapkan kebijakan sehingga penerapan hukum dapat

disesuaikan dengan kepentingan kelompok tersebut.

1.2 Tujuan Penulisan

1.3 Sistematika Penulisan

Page 3: Hukum Bisnis

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Analisis Ekonomi Atas Hukum

Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal

sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui

pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik

bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan

mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social

welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam

tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis

mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-

proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun

1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh

pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang

membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker

(1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum;

Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner

(1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan

penerbitan “Journal of Legal Studies”.ii

Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan

pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan

dasar mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau

‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum

terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of

a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan

apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat

(the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi

Atas Hukum terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang

biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah

laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang

Page 4: Hukum Bisnis

berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka

kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.iii

Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut

mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi

Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis

dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang

bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya.

Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam

mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai

asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka

akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko

diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan

bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana

memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat

diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi

jumlah kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik adalah yang

memberikan hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab kecelakaan.iv

Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas

pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas

pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-

permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian

Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law

dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :

“A study of many applications of economic reasoning to problems of law

and public policy including economic regulation of business; antitrust

enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract law

and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in

economics is required; relevan economic concepts will developed through

analysis of various legal applications.”v

Page 5: Hukum Bisnis

2.2 Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan,

baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan

perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara resmi Garis-

garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah Kebijakan

Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan

peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam

menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan

satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan

hukum di Indonesia.

Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas Hukum

belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga

aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan

mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian yang

merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau pendekatan tertentu

dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli hukum di Indonesia kurang

bergairah dalam melakukan penjelajahan teoritis atas berbagai paradigma dalam

ilmu hukum atau taking doctrine seriously.vi Meskipun demikian perbincangan

mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali tidak ada. Hal ini

dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik Parahyangan

Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :

Berdasarkan pengamatan empiris upaya perlindungan lingkungan yang

hanya digantungkan pada penggunaan instrumen hukum (legal instruments)

terbukti kurang efektif.

Praktek-praktek perlindungan lingkungan di negara lain, ternyata sudah

menerapkan konsep mixed-tools of compliance, dimana instrumen ekonomi

(economic instruments) merupakan salah satu insentif yang membuat potensial

pencemar mematuhi ketentuan Hukum Lingkungan.

Terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang

lingkungan hidup yang memberikan dasar hukum yang kuat untuk menerapkan

konsep mixed-tools of compliance.vii

Page 6: Hukum Bisnis

Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh

Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam

implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian

monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division, merger,

cross-shareholding, dan sebagainya.viii Tidak kalah menariknya juga pembahasan

Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan pendekatan ekonomi.

Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa :

“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool)

untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang

terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum

berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-

dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan

dalam hukum perbankan.”ix

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

keinginan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan

hukum di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang

diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan

lebih memberikan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan,

penerapan dan enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat

sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas hukum

telah menggejala di setiap bidang hukum.

2.3 Implementasi Dalam Hukum Bisnis

Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum,

terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di

bawah akan dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan

prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini

berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan

rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang

menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya

ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement

dari peraturan perundang-undangan.

Page 7: Hukum Bisnis

Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan

profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan

perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No.

42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya

pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy

Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak

jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia

secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup

dibuat dengan akta di bawah tangan.x

Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya

berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat

dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara

notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan.

Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para

debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik

sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan

Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa

notaris yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut

dapat secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan

akta.

Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan

dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini adalah

bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta

pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas

tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan

hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah kerjanya.

Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama

berkenaan dengan pembebanan yang secara ekonomis memberatkan debitor

pengusaha lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara

Page 8: Hukum Bisnis

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan

Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk

Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, pemerintah memberikan

kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku sampai berakhirnya masa

berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.

Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang

Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa

akta perjanjian kredit dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena itu terdapat

pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-

undangan yang memuat ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris

Connection”.

Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga

menimpa profesi hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang

Kepailitan, menetapkan bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan

harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam

hal ini izin praktek pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain berupa

permohonan pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator,

permohonan Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali,

permohonan penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan

syarat-syarat penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan

rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat

hukum yang memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana

dihubungkan dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara

kepailitan serta diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara

kepailitan. Namun ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan

tertentu untuk ikut dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate

lawyer BUMN, maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal

5 Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi

karena dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga

tidak diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal

corporate lawyer BUMN diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan,

Page 9: Hukum Bisnis

maka proses acara kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer

yang berbiaya tinggi.

Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-

lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional

(BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang

dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan

menimbulkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-

lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat

dan perlindungan konsumen, tugas sebagaimana dibebankan kepada KPPU,

BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas satu lembaga yang bernama

Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan perbandingan di bawah ini

dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai berikut :

“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade

competition in the American economy. … It provides guidance to business and

industry on what they may do under the laws administered by the commission. It

also gathers and makes available to Congress, the president, and the public factual

data on economic and business conditions.

The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year

terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than

three of the commissioners may be members of the same political party. One

commissioner is chosen as chair by the president.

The most prominent and active consumer protection agency this year was

the Federal Trade Commission.”xv

Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan

dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum

bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat

dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-

tugasnya mendekati atau dapat dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka

tidak perlu membentuk lembaga baru.

Page 10: Hukum Bisnis

Permasalahan lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah

ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan

perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya

ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga

non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para

pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut

tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut :

“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut

dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang

bersengketa.”

Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila

upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut

harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak

gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan

Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat

dalam perjanjian arbitrase.

Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang

dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen

perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang

Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-

undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan

dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh)

tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan

jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk

memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen

dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan

dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses

pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan

pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja,

Page 11: Hukum Bisnis

sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang

juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan

akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.

2.4 Penegakan Hukum Bisnis di Indonesia

Kemajuan ekonomi telah menimbulkan terjadinya tarik menarik

kepentingan yang kuat di antara para pelaku ekonomi serta munculnya ketidak

seimbangan antara keinginan pelaku-pelaku ekonomi disatu pihak, dengan

kebutuhan masyarakat di lain pihak. Oleh sebab itu maka kedudukan, fungsi,dan

peranan penegakan hukum akan menjadi semakin penting.

Dalam penegakan hukum bisnis di Indonesia, perlu dibentuk dan didukung

dengan adanya aturan main untuk menjamin terlaksananya bisnis yang sehat

dengan tujuan yang ingin dicapai adalah akan terwujudnya suatu pola dan watak

tertentu dalam perekonomian nasional. Selain itu, hukum dalam perekonomian

dapat berfungsi sebagai sarana untuk melakukan pemerataan (mewujudkan cita-

cita keadilan sosial), yaitu dengan merinci secara hati-hati kebijaksanaan yang

diperlukan untuk memanfaatkan segala sumber yang ada dengan sebaiknya,

sehingga hasil positif yang dicapai melalui peranan pemerintah dalam

perekonomian tidak diragukan.

Secara normatif, Sistem ekonomi Indonesia berdasarkan UUD 1945

terutama pasal 33 ayat 2 dan 3, mengarah pada sistem ekonomi sosialis, akan

tetapi dengan perkembangan suatu golongan pengusaha, saat ini akan semakin

menuju pada sistem ekonomi kapitalis. Dengan perubahan sistem tersebut, maka

akan membuka peluang munculnya pola-pola persaingan yang kurang sehat yang

memiliki batasan antara pengusaha yang besar dengan pengusaha yang menengah

atau kecil. Untuk itu perlu diatur dengan peraturan yang memiliki legalitas formal

antara lain :

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Penataan kegiatan usaha ekonomi di Indonesia ditandai dengan

diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang berasaskan kepada demokrasi

Page 12: Hukum Bisnis

ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha

dan kepentingan umum dengan tujuan untuk menjaga kepentingan umum dan

melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui

terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan

berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek monopoli serta

menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam rangka meningkatkan ekonomi

nasional.

Dari segi penegakan hukum, undang-undang ini memiliki ciri khas yaitu

dengan adanya keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang

memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan juga

sekaligus sebagai pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 35 dan 46, selain

daripada itu dalam undang-undang ini juga diatur adanya larangan terhadap

praktek monopoli dan monopsoni serta persaingan usaha tidak sehat, melarang

pelaku usaha melakukan kegiatan yang menimbulkan terjadinya penguasaan atau

pemusatan produksi dan atau pemasaran.

2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan

pengganti dari undang-undang No. 1 Tahun 1967 dan UU No. 6 Tahun 1968

dimana pada undang-undang yang lama dirasakan ada yang perlu mendapatkan

perubahan dan penyesuaian dengan kondisi kekinian.

Undang-undang ini mencakup semua kegiatan penanaman modal langsung

di semua sektor. Undang-undang ini juga memberikan jaminan perlakuan yang

sama dalam rangka penanaman modal. Selain itu, undang-undang ini

memerintahkan agar pemerintah meningkatkan koordinasi antarinstansi

pemerintah, antarinstansi pemerintah dengan Bank Indonesia dan antarinstansi

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Koodinasi dengan pemerintah daerah

harus sejalan dengan semangat otonomi daerah.

Undang-undang ini mengatur agar pemerintah daerah bersama-sama

dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun pemerintah, harus lebih

diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun

dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal. Pemerintah daerah

Page 13: Hukum Bisnis

menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas otonomi daerah dan

tugas pembantuan atau dekonsentrasi.

Perekonomian nasional saat ini ditandai dengan adanya kompetisi yang

semakin ketat sehingga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus mampu

mendorong penciptaan daya saing perekonomian nasional yang terintegrasi

menuju perekonomian global. Untuk itu pemerintah harus objektif dalam

menerapkan hukum di semua sektor kegiatan ekonomi sehingga perekonomian

nasional semakin beranjak menuju perekonomian yang sehat dan dinamis.

Dalam rangka menciptakan persaingan yang sehat antar pelaku bisnis di

Indonesia dan untuk menunjang peningkatan penanaman modal di Indonesia,

maka perlu kiranya pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah bersama-

sama berupaya menciptakan kondisi yang kondusif baik dari sektor hukum,

politik, keamanan dan kemudahan birokrasi. Komitmen ini harus dijalankan dan

ditepati dengan semangat untuk membangun perekonomian Indonesia demi

terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam hal penerapan penegakan hukum dan kaitannya dengan

perkembangan bisnis di Indonesia, Pemerintah telah berusaha keras untuk

menegakkannya sesuai dengan koridor hukum yang seharusnya, meskipun bila

kita lihat dari fenomena yang ada saat ini seolah masih jauh dari harapan yang

diinginkan seluruh rakyat Indonesia.

Beberapa hal yang dapat diambil sebagai contoh dalam penerapan hukum

di Indonesia dan kaitannya dengan perkembangan perekonomian antara lain

adalah munculnya kasus dimenangkannya PT. Kaltim Prima Coal atas Dirjen

Pajak yang menunggak pajak sebesar Rp. 1,5 triliun. Terlepas dari mana yang

benar dan mana yang salah, rakyat dihadapkan pada suatu kondisi yang

mengindikasikan adanya “perselingkuhan politik dan bisnis” antara pengusaha

dengan penguasa dimana Aburizal Bakrie sebagai pemilik PT. Kaltim Prima Coal

pada saat yang sama sebagai mitra koalisi presiden di Sekretariat Bersama

Koalisi.

Penegakan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia dan kaitannya

dengan perkembangan perekonomian nasional masih kurang maksimal. Pada

Page 14: Hukum Bisnis

intinya UU No. 25 tahun 2007 mempunyai tujuan yang substansial yaitu, 1)

membenahi iklim invenstasi di Indonesia, 2) kepastian hukum mengenai tenaga

kerja asing, 3) ketepatan pengurusan perizinan dalam membuka usaha baru di

Indonesia.

Namun UU penanaman modal bukan senjata pamungkas yang dapat

menjamin iklim investasi membaik. Perbaikan perilaku birokrat, keterkaitan

sinergis dengan perangkat aturan lain, serta kejelasan arah kebijakan industrial

adalah faktor-faktor penentu lainnya yang tidak dapat diabaikan. Apabila kita lihat

lebih dalam pada undang-undang penanaman modal, terdapat beberapa point yang

dalam penerapannya masih membutuhkan perbaikan antara lain :

Dalam Pasal 3 yang menguraikan tentang asas dan tujuan penenaman

modal, disana disebutkan bahwa salah satu asas penanaman modal

didasarkan pada asas berwawasan lingkungan, dimana asas penanaman

modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan

perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Namun dalam pelaksanaan di lapangan tidak sedikit yang kita temui, para

penanam modal terutama yang bergerak dalam usaha pertambangan sangat

kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Banyak kasus yang telah

terjadi berkaitan dengan hal ini, salah satunya adalah kasus yang menimpa

PT. Famia Niagara di Kabupaten Seluma yang melaksanakan usaha

penambangan pasir besi. Namun dikarenakan kurang memperhatikan

kelestarian lingkungan akhirnya mendapatkan tentangan dari masyarakat.

Dan pemerintah daerah seolah kurang proaktif dalam menyelesaikan kasus

ini.

Hal ini mungkin dikarenakan kewenangan pemerintah daerah dalam

memberikan insentif kepada penanam modal tetapi tidak memperhatikan

kelestarian lingkungan dan sumber daya alam, dimana dengan

kewenangan tersebut pemerintah daerah mengizinkan penanam modal

mengeruk sumber daya alam tanpa mengindahkan sumber daya

lingkungan berkelanjutan (sustainable resources) karena sampai saat ini

pemerintah daerah lebih memprioritaskan pendapatan daerah

dibandingkan kelestarian lingkungan.

Page 15: Hukum Bisnis

Pada pasal 10 mengenai ketenagakerjaan, UU No. 25 Tahun 2007

menegaskan bahwa perusahaan penanam modal dalam memenuhi

kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga Negara

Indonesia.

Berkenaan dengan pasal ini, mungkin kasus PT. Drydock World Graha di

Batam dapat dijadikan sebagai contoh bagaimana penerapan undang-

undang ini di lapangan.

Upaya untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia agar lebih kondusif

bagi masuknya penanaman modal asing dan kondisi yang diinginkan investor

asing tersebut adalah:

a. Kebebasan dalam kepemilikan saham, termasuk dihapuskannya divestasi.

b. Kebebasan menetapkan sendiri nilai investasi.

c. Perlakuan sama dalam hukum dan kedudukan.

d. Konsistensi dalampelaksanaan peraturan-peraturan.

e. Adanya jaminan berinvestasi dan berusaha.

f. Diterima kehadirannya sebagai mitra pembangunan.

g. Birokrasi yang transparan dan lancar.

h. Kepastian hukum dan penagakan hukum.

Disamping itu terdapat beberapa faktor pokok yang perlu dipelihara, yaitu:

a. Stabilitas Nasional yang mantap dan dinamis.

b. Kebijaksanaan ekonomimakro yang tepat.

c. Keadaan perekonomian yang sehat yang terlihat dari terkendalinya tingkat

inflasi, nilai tukar mata uang, pertumbuhan ekonomi dan tersedianya

faktor-faktor produksi yang cukup.

d. Tersedianya prasarana fisik, teknologi, institusional dan sosial yang baik.

Page 16: Hukum Bisnis

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pelaksanaan penerapan hukum di Indonesia terutama berkenaan dengan

penegakan perekonomian di Indonesia masih membutuhkan perhatian dan

komitmen yang serius dari pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah. Banyak kasus-kasus yang terjadi belakangan ini

menunjukkan bahwa penegakan hukum bisnis di Indonesia masih belum

optimal. Untuk itu perlu adanya suatu usaha untuk menelaah dan mengkaji

fungsi dan pengaruh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menunjang

perkembangan bisnis (usaha) dalam perekonomian nasional.

2. Dalam rangka meningkatkan investasi penanaman modal baik PMA

maupun PMDN, maka disarankan untuk selalu diupayakan pemberian

kemudahan-kemudahan kepada para calon investor terutama dari segi

perizinan. Selain itu perlu adanya penegakan hukum untuk menjamin

kepastian hukum bagi setiap usaha yang dijalankan di Indonesia.

3.2 Saran

Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta

melibatkannya dalam kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi

lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif

pemikiran yang dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia.

Tulisan ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis

Ekonomi Atas Hukum, namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal

telah dapat memunculkan salah satu kritik penting berkenaan dengan masalah

economic efficiency yang secara tidak sadar ada dalam perkembangan hukum

bisnis di Indonesia. Oleh karena itu relevan kiranya untuk masa yang akan datang,

memfungsikan model Analisis Ekonomi Atas Hukum disamping model teori

hukum lain ke segenap proses hukum di Indonesia, baik dalam tingkat

pembentukan, penerapan atau penegakan hukum dan dalam menganalisis doktrin

serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.

Page 17: Hukum Bisnis

DAFTAR PUSTAKA

1. Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan,

Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28 – Tahun VIII, Jakarta, 1997.

2. Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian

Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6,

Tahun II, Jakarta, 2000.

3. Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National

Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999.

4. Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan

Lingkungan, teks oratio dies, Jakarta, 1995.

5. Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University

Online Course”, http://www.hls.edu/.

6. Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No.

42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10,

Jakarta, 2000.

7. Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam

Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, Jakarta, 1999.

8. Soenaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Cet. 2,

Binacipta, Bandung, 1988, hal 8-34