HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

8
HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM Nasrulloh Dosen Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap Jl. Kemerdekaan Barat No. 1, Kesugihan, 53274 ABSTRAK Adat/‘Urf ’merupakan suatu hal yang dikenal dan dibiasakan oleh banyak orang, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun meninggalkan sesuatu. ‘Urf terbagi menjadi dua, yaitu ‘urf shahîh dan ’urf fâsid. ‘Urf shahîh merupakan adat kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil syar‘i, sedangkan ‘urf fâsid adalah adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan dalil syar’i. ‘Urf shahîhitulah yang bisa dijadikan sebagai hukum Islam karena sesuai dengan ajaran Islam. ‘Urf shahîhyang telah dijadikan sebagai hukum syari’at itu kemudian disebut dengan al-‘Âdah al-Muhakkamah (hukum adat); Atau dengan ungkapan lain al- ‘Âdah al-Muhakkamah adalah hukum syari’at yang dikukuhkan. Ekonomi Islam adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Islam. Meliputi bank Islam, lembaga keuangan makro Islam, asuransi Islam, reasuransi Islam, reksadana Islam, obligasi Islam dan surat berharga berjangka menengah Islam, sekuritas Islam, pembiayaan Islam, pegadaian Islam, dana pensiun lembaga keuangan Islam, dan bisnis Islam. Contoh penerapan al-‘Âdah al-Muhakkamah dalam mu’âmalah antara lain sahnya model mu‘âthah (Jw; Ulung-ulungan), yakni jual beli tanpa îjâb qabûl, namun dengan bentuk lain yang searti dengan îjâb qabûl. Contoh lain misalnya kewajiban pencatatan tabungan dan hutang-piutang dalam perbankan Islam. A. PENDAHULUAN Banyak perdebatan di kalangan ahli, terutama Indonesia, tentang penggunaan istilah hukum Adat. Adat (al-‘adat) dalam perbendaharaan hukum Islam dikenal dengan istilah hukm al-‘adah (ruling of the tradition) atau dalam istilah yang lazim disebut al-‘urf (use, custom, tradition) dan dipandang sebagai salah satu sumber komplementer hukum Islam. 1 1 Rifyal Ka’bah, Islamic Law as a State Law in Indonesia, sebuah makalah disampaikan pada Annual Conference and International Seminar: Transformasi Nilai-Nilai Islam Dalam Membangun Peradaban Baru Dunia, Program Pascasarjana IAIN Sulthan aha Saifuddin, Jambi, Sabtu 5 Desember 2009. ‘Urf shahih, yakni ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil syar‘i, tidak menghalalkan yang haram serta tidak pula mengharamkan yang halal itulah yang dalam ushul fiqh disebut dengan al- ‘Âdah al-Muhakkamah. 2 Pada realitanya, pemberlakukan hukum Islam di suatu tempat akan dipengaruhi oleh ‘urf yang berkembang pada masyarakat, termasuk di dalamnya hukum Islam yang berhubungan dengn ekonomi atau yang sering disebut dengan istilah ekonomi Islam. 2 Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}ul Fiqh, Mesir: Maktabah Da‘wah Islâmiyyah Syabâb al-Azhar, h. 89.

Transcript of HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Page 1: HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

HUKUM ADATDAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Nasrulloh

Dosen Fakultas Syari’ahInstitut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap

Jl. Kemerdekaan Barat No. 1, Kesugihan, 53274

ABSTRAK

Adat/‘Urf ’merupakan suatu hal yang dikenal dan dibiasakan oleh banyak orang, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun meninggalkan sesuatu. ‘Urf terbagi menjadi dua, yaitu ‘urf shahîh dan ’urf fâsid. ‘Urf shahîh merupakan adat kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil syar‘i, sedangkan ‘urf fâsid adalah adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan dalil syar’i. ‘Urf shahîhitulah yang bisa dijadikan sebagai hukum Islam karena sesuai dengan ajaran Islam. ‘Urf shahîhyang telah dijadikan sebagai hukum syari’at itu kemudian disebut dengan al-‘Âdah al-Muhakkamah (hukum adat); Atau dengan ungkapan lain al- ‘Âdah al-Muhakkamah adalah hukum syari’at yang dikukuhkan.

Ekonomi Islam adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Islam. Meliputi bank Islam, lembaga keuangan makro Islam, asuransi Islam, reasuransi Islam, reksadana Islam, obligasi Islam dan surat berharga berjangka menengah Islam, sekuritas Islam, pembiayaan Islam, pegadaian Islam, dana pensiun lembaga keuangan Islam, dan bisnis Islam.

Contoh penerapan al-‘Âdah al-Muhakkamah dalam mu’âmalah antara lain sahnya model mu‘âthah (Jw; Ulung-ulungan), yakni jual beli tanpa îjâb qabûl, namun dengan bentuk lain yang searti dengan îjâb qabûl. Contoh lain misalnya kewajiban pencatatan tabungan dan hutang-piutang dalam perbankan Islam.

A. PENDAHULUAN Banyak perdebatan di kalangan ahli, terutama

Indonesia, tentang penggunaan istilah hukum Adat. Adat (al-‘adat) dalam perbendaharaan hukum Islam dikenal dengan istilah hukm al-‘adah (ruling of the tradition) atau dalam istilah yang lazim disebut al-‘urf (use, custom, tradition) dan dipandang sebagai salah satu sumber komplementer hukum Islam.1

1Rifyal Ka’bah, Islamic Law as a State Law in Indonesia, sebuah makalah disampaikan pada Annual Conference and International Seminar: Transformasi Nilai-Nilai Islam Dalam Membangun Peradaban Baru Dunia, Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Sabtu 5 Desember 2009.

‘Urf shahih, yakni ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil syar‘i, tidak menghalalkan yang haram serta tidak pula mengharamkan yang halal itulah yang dalam ushul fiqh disebut dengan al- ‘Âdah al-Muhakkamah.2

Pada realitanya, pemberlakukan hukum Islam di suatu tempat akan dipengaruhi oleh ‘urf yang berkembang pada masyarakat, termasuk di dalamnya hukum Islam yang berhubungan dengn ekonomi atau yang sering disebut dengan istilah ekonomi Islam.

2Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}ul Fiqh, Mesir: Maktabah Da‘wah Islâmiyyah Syabâb al-Azhar, h. 89.

Page 2: HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Volume 2, Edisi 2, Juli 2013 ISSN: 2302-0547

8

Oleh karena itu dalam makalah ini, penulis akan memaparkan hukum adat dan aplikasinya dalam ekonomi Islam. Tujuannya adalah agar diketahui bahwa adat kebiasaan masyarakat terkait masalah ekonomi yang sejalan dengan syari‘at Islam itu haruslah tetap dijaga; Dengan begitu, keberlakuan hukum Islam dalam lingkup ekonomi akan dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai obyek hukum.

B. PEMBAHASAN

1. Mengenal Hukum Adat dan sejarahnyaApa yang dimaksud hukum Adat3 tidak

mempunyai makna tunggal. Ia kadang-kadang dimaksudkan sebagai “the native customs and uses” (adat istiadat dan kebiasaan asli), atau “the religious laws, institutions and customs” (adat istiadat, kelembagaan dan hukum-hukum keagamaan), “the religious laws or customs” (hukum-hukum keagamaan dan adat istiadat) dan lain-lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum Adat yang dimaksud adalah hukum lokal Nusantara yang dipengaruhi oleh berbagai unsur yang diberlakukan oleh penduduk bumi putera sewaktu Belanda sampai di Indonesia.

Banyak perdebatan di kalangan ahli, terutama Indonesia, tentang penggunaan istilah hukum Adat. Adat (al-‘âdat) dalam perbendaharaan hukum Islam dikenal dengan istilah hukm al-‘adah (ruling of the tradition) atau dalam istilah yang lazim disebut al-‘urf (use, custom, tradition) dan dipandang sebagai salah satu sumber komplementer hukum Islam. Hukum Adat dalam pengertian ini tidak ada permasalahan bagi para ahli hukum Islam, tetapi hukum Adat yang diperkenalkan oleh Snouck adalah kebiasaan yang mempunyai

3Istilah Adat recht (hukum Adat) dikenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje pada tahun 1893. Dari penelitiannya di Aceh, Snouck berkesimpulan bahwa hukum Islam yang diberlakukan di Aceh tidaklah hukum Islam murni, tetapi hukum Islam yang telah diterima oleh hukum Adat. Dari sini kemudian ia terkenal dengan teori receptie yang ia ciptakan bahwa hukum Islam yang dapat diberlakukan oleh pemerintah hanyalah hukum Islam yang telah diresepsi oleh hukum Adat setempat.

implikasi hukum, khususnya kebiasaan yang disertai sanksi dalam hal pelanggaran.

Teori rerecptie mendapat tanggapan serius dari Hazairin yang menyatakan bahwa teori Snouck bersifat tendensius dengan maksud menelantarkan hukum Islam yang sudah berlaku di kalangan penduduk selama ini. Sebagai seorang islamolog, Snouck tahu betul tentang posisi hukum Adat dalam konteks hukum Islam, tetapi ia sengaja menggunakan pengertian baru sama sekali untuk mengalihkan perhatian dari hukum Islam yang diyakini oleh mayoritas penduduk. Karena itu, Hazairin sering menyebut teori receptie sebagai teori iblis, yaitu makhluk halus iblis yang mempunyai tabiat menyesatkan manusia dengan tipu muslihatnya. Hazairin cukup beralasan karena Snouck sebenarnya adalah seorang ateis yang pernah menjadi intel Belanda dan menyamar sebagai orang muslim di Makkah dengan nama ‘Abdul Ghafar.

Teori hukum Adat selanjutnya dikembangkan oleh Cornelis van Vollenhoven yang membagi wilayah Nusantara kepada beberapa wilayah hukum Adat. Ia telah berusaha keras mengkodifikasi hukum Adat dari berbagai wilayah di Indonesia dengan maksud akan menjadikannya sebagai hukum penduduk bumi putera, tetapi bahkan sampai ke masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, upaya ini tidak pernah berhasil karena tidak mendapat dukungan penuh pemerintah jajahan. Sungguhpun demikian, Van Vallenhoven, Ter Haar dan para penganjur hukum Adat yang lain dari kalangan bangsa Belanda mempunyai murid-murid sampai ke zaman kemerdekaan dari kalangan orang-orang Indonesia sendiri, dan sampai sekarang, hukum Adat masih tetap dipandang sebagai salah satu unsur hukum nasional Indonesia. Ini di samping unsur-unsur lain yang terdiri dari hukum Islam dan hukum warisan kolonial Belanda. Malah di zaman kemerdekaan, unsur-unsur hukum Indonesia tidak hanya terdiri dari perundang-undangan warisan kolonial, hukum Islam dan hukum Adat, tetapi juga perundang-undangan yang mengambil aspirasi dari perundang-undangan Barat modern, terutama bidang hukum ekonomi dan HAM.

Page 3: HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Nasrulloh Hukum Adat dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam

9

Perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari konteks perkembangan keempat unsur ini, apakah akan terjadi persaingan yang menyebabkan salah satu unsur menang, ataukah akan terjadi pelaburan dan harmonisasi dengan mempertemukan bagian-bagian yang mungkin dipertemukan dan meninggalkan berbagai kontradiksi sehingga terbentuk sebuah hukum nasional Indonesia modern yang dapat menjawab tantangan hukum masa depan. Semuanya tergantung kepada perkembangan di masa depan.

Menurut Hazairin, keempat unsur tersebut dapat diintegrasikan tanpa kontradiksi melalui kebijakan legislasi nasional. Dari mana pun asal-usulnya, dari hukum Adat, hukum Islam, hukum warisan kolonial Belanda, maupun hukum Barat modern, bila telah disusun dalam bentuk legislasi nasional melalui pembuatan perundang-undangan yang lazim dalam sebuah negara demokrasi, maka legislasi nasional tersebut adalah hukum nasional Indonesia.

Dari sudut politik hukum Islam, menurut penulis, terdapat di Indonesia dua kecenderungan dari awal kemerdekaan sampai sekarang di kalangan ahli hukum, terutama hukum Islam. Kecenderungan pertama adalah hukum Islam berlaku untuk warga yang beragama Islam, dan kecenderungan kedua adalah bahwa substansi hukum Islam masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia tanpa label Islam sehingga mengikat kepada semua warga negara tanpa melihat agamanya. Misalnya substansi hukum pidana, perdata dan ekonomi Islam menjadi bagian yang integral dari hukum pidana, perdata dan ekonomi nasional Indonesia tanpa menyatakan bahwa substansi ini sebagai substansi hukum Islam. Kedua kecenderungan ini mengemuka dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak awal proklamasi kemerdekaan sampai sekarang.4

4Rifyal Ka’bah, Islamic Law as a State Law in Indonesia, sebuah makalah disampaikan pada Annual Conference and International Seminar: Transformasi Nilai-Nilai Islam Dalam Membangun Peradaban Baru Dunia, Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Sabtu 5 Desember 2009.

Terlepas dari awal kemunculan istilah hukum adat, penulis akan menfokuskan istilah hukum adat dalam arti al- ‘Âdah al-Muhakkamah, yakni ‘urf shahih, ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil syar‘i, tidak menghalalkan yang haram serta tidak pula mengharamkan yang halal. Dengan pengertian ini, setiap adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka itu bisa ditetapkan sebagai hukum Islam selagi ada kesesuaian dengan dalil-dalil syar‘i.

‘Urf sendiri merupakan suatu hal yang dikenal dan dibiasakan oleh banyak orang, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun meninggalkan sesuatu. Tidak ada perbedaan arti antara adat dan ‘urf. ‘Urf yang berupa ucapan misalnya kata ”walad” oleh ‘urf biasa digunakan untuk sebutan anak laki-laki, padalah secara bahasa mencakup laki-laki dan perempuan; Misalnta lagi kata ”lahm” (daging) oleh ‘urf biasa digunakan untuk sebutan daging ikan; Kalau di jawa misalnya kata ”iwak” (daging) oleh ‘urf orang jawa dipakai untuk menyebut ikan. ‘Urf yang berupa amal perbuatan misalnya jual beli ta‘âthi/mu‘âthah (jw: ulung-ulungan), yakni jual beli tanpa shîghat îjâb qabûl.

‘Urf terbagi menjadi dua, yaitu ‘urf shahîh dan urf fâsid. ‘Urf shahîh merupakan adat kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil syar’i, sedangkan ‘urf fâsid adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan dalil syar’i. ‘Urf shahîh itulah yang bisa dijadikan sebagai hukum Islam karena sesuai dengan ajaran Islam. ‘Urf shahîh yang telah dijadikan sebagai hukum syari’at inilah yang kemudian disebut dengan al-‘Âdah al-Muhakkamah; Atau dengan ungkapan lain al-‘Âdah al-Muhakkamah adalah hukum syari’at yang dikukuhkan.

2. Mengenal Ekonomi Islam Ekonomi Islam terdiri dari dua istilah,

yakni ekonomi dan Islam. Kata Islam merupakan ungkapan dari bentuk penyerahan diri dan kepatuhan dengan tunduk serta meninggalkan

Page 4: HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Volume 2, Edisi 2, Juli 2013 ISSN: 2302-0547

10

bentuk-bentuk pembangkangan.5 Dengan demikian Islam artinya kepatuhan atau penyerahan diri kepada Allah swt. Orang yang menyerahkan diri kepada Allah swt disebut muslim. Menurut al-Qur’an, seorang muslim ialah seseorang yang senantiasa membinan dan melakukan hunungan baik dengan Allah swt dan sesama manusia. Membina hubungan dengan Allah maksudnya menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt dengan tunduk kepada aturan-aturan-Nya. Sedangkan membina hubungan dengan sesama manusia maksudnya tidak akan menimbulkan permusuhan, konflik, iri hati dan berprasangka buruk, melainkan selalu menghendaki persahabatan dengan mendoakan keselamatan bagi orang lain. Hubungan dengan sesama manusia itu ditunjukkan melalui kegiatan tingkah laku dalam berucap di antara sesama muslim misalnya ketika bertemu memberi salam dengan ucapan ”assalâmu ‘alaikum”, artinya ”Damai/keselamatan bagimu” dan wajib dijawab dengan ungkapan ”wa‘alaikumus salâm”, artinya ”Damai pula untukmu”.

Sedangkan istilah ekonomi, dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata al-iqtishâd, yang secara bahasa berarti kesederhanaan dan kehematan. Berdasarkan makna ini, kata al-iqtishâd berkembang dan meluas sehingga mengandung makna ‘ilm al-iqtishâd, yakni ilmu yang berkaitan atau membahas ekonomi. Dalam hal ini, Ali Anwar Yusuf memberikan definisi ekonomi adalah kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang dan jasa serta mendistribusikannya.6

Telah menjadi sunnatullah bahwa setiap manusia hidup dalam suatu kegiatan seperti yang disebutkan dalam pengertian ekonomi tersebut di atas memerlukan kerja sama. Tanpa adanya kerjasama mustahil bagi manusia untuk hidup secara normal. Kerja sama memiliki unsur take

5Al-Gazali, Ihyâ’ ‘Ulûmaddîn, dalam al-maktabah asy-syâmilah, al-ishdâr ats-tsâni 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 1, h. 126.

6Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), h. 235.

and give, membantu dan dibantu. Salah satu aspek penting dalam melakukan kerja sama adalah dalam bidang muamalah dalam bentuk kegiatan perdagangan, sewa menyewa, utang piutang, dan sebaginya.

Setelah dua istilah tersebut digabung, menurut ahli ekonomi Islam memiliki pengertian sebagai berikut:

a. M. Akram KanBahwa Ekonomi Islam itu bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagiaan hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya alam atas dasar bekerja sama dan partisipasi.

b. Muhammad Abdul MananEkonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi yang diilhami dari nilai-nilai Islam.

c. Muhammad Nejatullah Ash-SidqiEkonomi islam adalah respons pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu. Berpedoman pad al-Qur’an, sunnah, akal (ijtihad) dan pengelaman.

d. Kursyid AhmadIlmu ekonomi Islam adalah sebuah usaha sustematis untuk memahami masalah-masalah ekoniomi dan tingkah laku manusia secara relasional dalam perspektif Islam.7

Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa ekonomi islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam bidang ekonomi yang bersumber pada sumber-sumber pokok ajaran Islam.

Pengertian ekonomi Islam dapat dijumpai pada penjelasan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyebutkan bahwa ekonomi Islam adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Islam. Meliputi bank Islam, lembaga keuangan makro Islam, asuransi Islam, reasuransi Islam, reksadana Islam, obligasi Islam

7Ibid

Page 5: HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Nasrulloh Hukum Adat dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam

11

dan surat berharga berjangka menengah Islam, sekuritas Islam, pembiayaan Islam, pegadaian Islam, dana pensiun lembaga keuangan Islam, dan bisnis Islam.8 Dengan kesebelas jenis hukum ekonomi Islam ini berarti hampir seluruh cakupan fiqh mu‘amalat dalam syariat Islam telah menjadi hukum positif di Indonesia. Karena ekonomi Islam bersumber pada syari’at Islam, maka ekonomi Islam sering disebut dengan istilah ekonomi syari’ah.

Kemunculan ekonomi syariah merupakan kecenderungan hukum Islam yang berlaku sejak awal kemerdekaan Indonesia. Selama ini, keberlakuan hukum Islam hanya menyangkut warga yang beragama Islam. Khusus mengenai ekonomi syariah, begitu juga sengketa mengenai ekonomi syariah, tidak hanya menyangkut warga negara yang beragama Islam, tetapi mencakup semua warga negara tanpa melihat perbedaan agama. Dengan melibatkan diri dalam kegiatan ekonomi syariah, maka baik muslim maupun non-muslim, telah menundukkan dirinya kepada ketentuan hukum ekonomi syariah. Transaksi ekonomi syariah pada umumnya berdasarkan akad atau perjanjian di antara para pihak, dan dalam hal terjadi sengketa, maka akad atau perjanjian itulah yang menjadi konstitusi bagi para pihak. Dalam hal ini, kemungkinan sengketa tidak hanya terjadi antara sesama muslim, tetapi juga antara muslim dan non muslim, bahkan antara sesama non muslim, bila mereka adalah pihak-pihak yang terlibat dalam akad atau perjanjian syariah.

Dalam bidang ekonomi syariah juga telah terbit perundang-undangan tentang Perbankan Syariah dan SBSN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Tentang Surat Berharga Syariah Negara menyatakan bahwa: ”Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai alat bukti bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah, maupun valuta asing.”

8Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), h. 235.

Penyelasan Umum UU Sukuk Negara menyatakan: ”Keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits serta Ijma’, instrumen pembayaran syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terlepas dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas, kuantitas, dan sebagainya. . .”

Sementara itu, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa: ”Perbankan syariah adalah ”segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.” Pasal 2 menjelaskan bahwa ”Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.”

Pasal ayat (12) menjelaskan: ”Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidan syariah.”

Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan: ”(1) Kegiatan usaha sebaaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah. (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan. dalam Peraturan Bank Indonesia.”

Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa ”Bank Syariah atau UUS dapat menjalanka fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima

Page 6: HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Volume 2, Edisi 2, Juli 2013 ISSN: 2302-0547

12

dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyelurkannya kepada organisasi pengelola zakat.”

Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa: ”Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (naz}ir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif ).”

Hukum materil ekonomi syariah di Indonesia pada umumnya baru dalam bentuk fiqh para fuqahâ’ atau fatwa MUI secara khusus. Mengisi kekosongan perudang-undangan dalam bidang ini bagi kepentingan penyelesaian sengketa di pengadilan, maka Mahkamah Agung RI menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 Buku, masing-masing tentang Subyek Hukum dan Amwal, Akad, Zakat dan Hibah, dan Akutansi Syariah.9

3. Penerapan al-‘âdah al-muhakkamah dalam Ekonomi IslamDi atas telah diketahui bahwa al-‘âdah al-

muhakkamah pada dasarnya merupakan adat kebiasaan manusia yang sesuai dengan syari’at Islam, sehingga oleh karenanya hukum dari adat tersebut sesuai dengan dalil syar’i yang menjadi rujukan.

Sebagai contoh penerapan al-‘âdah al-muhakkamah dalam ekonomi syari’ah dilingkungan masyarakat misalnya jual beli dengan model mu‘âthah (Jw; Ulung-ulungan). Jual beli ini dilakukan oleh masyarakat tanpa menggunakan shîghat îjâb, seperti ucapan penjual: ”Saya jual sarung ini kepadamu dengan harga Rp. 50.000,-”; dan juga tanpa shîghat qabûl seperti ucapan pembeli: ”Saya beli sarung itu dengan harga itu”; Tapi jual beli itu murni dilakukan hanya dengan

9Rifyal Ka’bah, Islamic Law as a State Law in Indonesia, sebuah makalah disampaikan pada Annual Conference and International Seminar: Transformasi Nilai-Nilai Islam Dalam Membangun Peradaban Baru Dunia, Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Sabtu 5 Desember 2009.

penjual memperlihatkan barang dagangannya dan pembeli mengulurkan uang, tanpa ada komunikasi verbal seperti terjadi di super market dan toko-toko besar lainnya. Padahal dalam fiqh mu‘âmalah semestinya shîghat merupakan hal yang menjadi rukun jual beli yang harus dipenuhi. Namun secara substantif, shîghat itu adalah untuk menunjukkan adanya ridha (rela) dari kedua belah pihak sebagaimana yang difirmankan Allah:

بلباطل إلا أن بينكم وا أموالكم م وا ل تأكم ين آمنم ا الا ي أيه

إنا الله سكم وا أنفم لم ول تقتم ارة عن تراض منكم ون ت تكم

رحيم كن بكم

” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. AN-Nisâ’: 29)

Dan juga Hadis Nabi Muhammad saw:

اما البيعم عن تراض إن

”Sesungguhnya jual beli itu haruslah dengan saling rela/ridha”(HR. Ibn Mâjah)

Dari al-Qur’an dan hadis di atas dipahami bahwa setiap transaksi jual beli harus dilakukan dengan kerelaan/kerida’an kedua belah pihak. Kemudian oleh fuqahâ’ rela itu diformulasikan dengan masukkan unsur shîghat sebagai rukun jual beli. Pada mulanya, shîghat haruslah berupa ucapan ”menjual” dari penjual dan ucapan membeli dari ”pembeli”. Namun adat jual beli modern sekarang ini shîghat menjual diwakili dengan label ”harga” pada produk dan shîghat membeli diwakili dengan ulungan tangan berisi uang dari pembeli. Walaupun tidak berupa shîghat, namun karena searti dengan shîghat dalam menunjukkan kerelaan kedua belah pihak maka ditetapkan bahwa hukum

Page 7: HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Nasrulloh Hukum Adat dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam

13

jual beli dengan model bai‘ al-mu‘âthah tersebut adalah sah menurut syariat Islam.

Contoh lain misalnya dalam perbankan Islam, akad atau transaksi hutang piutang pada dasarnya adalah tidak wajib. Perintah Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 282 pada dasarnya bukan perintah wajib, melainkan perintah sunah:

سمى مم أجل إل بدين تداينتم إذا وا آمنم ين الا ا أيه ي

. وهم بم فاكتم

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.“

Dalam tafsir jalâlain disebutkan, tujuannya adalah sebagai tanda bukti dan supaya tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak.10 ’Urf di perbankan Islam adalah setiap akad tabungan atau hutang piutang adalah wajib dicatat karena untuk menghindari adanya kerugian di salah satu pihak. Karena syari’at Islam mengajarkan setiap transaksi yang dilakukan oleh dua pihak haruslah tidak saling merugikan atau membahayakan salah satunya. Nabi bersabda:

ار ر ول ض ل ض صلا الله عليه وسلا ولم اللا قال رسم

Rasûlullâh bersabda: ”Tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh pula merugikan orang lain.“

Hadis inilah yang menjadi prinsip mu’âmalah dalam Islam. Dengan prinsip ini maka ‘urf perbankan Islam yang mewajibkan pencatatan dalam setiap transaksi dengan tujuan agar merugikan salah satu pihak adalah sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga pencatatan tersebut tidak hanya wajib menurut perbankan tetapi wajib menurut hukum Islam.

10Al-Imâm al-Jalîlain, Tafsîr al-Qur’în al-‘Azhîm, dalam al-maktabah asy-syâmilah, al-ishdâr ats-tsâni 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 1, h. 282.

C. KESIMPULANDari uraian makalah ini, dapat disimpulkan

beberapa hal, antara lain:

1. Adat/‘Urf ’merupakan suatu hal yang dikenal dan dibiasakan oleh banyak orang, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun meninggalkan sesuatu. ‘Urf terbagi menjadi dua, yaitu ‘urf shahîh dan ’urf fâsid. ‘Urf shahîh merupakan adat kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil syar‘i, sedangkan ‘urf fâsid adalah adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan dalil syar’i. ‘Urf shahîh itulah yang bisa dijadikan sebagai hukum Islam karena sesuai dengan ajaran Islam. ‘Urf shahîh yang telah dijadikan sebagai hukum syari’at itu kemudian disebut dengan al-‘Âdah al-Muhakkamah (hukum adat); Atau dengan ungkapan lain al- ‘Âdah al-Muhakkamah adalah hukum syari’at yang dikukuhkan.

2. Ekonomi Islam adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Islam. Meliputi bank Islam, lembaga keuangan makro Islam, asuransi Islam, reasuransi Islam, reksadana Islam, obligasi Islam dan surat berharga berjangka menengah Islam, sekuritas Islam, pembiayaan Islam, pegadaian Islam, dana pensiun lembaga keuangan Islam, dan bisnis Islam.

3. Contoh penerapan al-’âdah al-muhakkamah dalam mu’âmalah antara lain sahnya model mu‘âthah (Jw; Ulung-ulungan), yakni jual beli tanpa îjâb qabûl, namun dengan bentuk lain yang searti dengan îjâb qabûl. Contoh lain misalnya kewajiban pencatatan tabungan dan hutang-piutang dalam perbankan Islam.

Page 8: HUKUM ADAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

Volume 2, Edisi 2, Juli 2013 ISSN: 2302-0547

14

DAFTAR PUSTAKA

Al-Gazali, Ihyâ’ ‘Ulûmaddîn, dalam dalam al-maktabah asy-syâmilah, al-ishdâr ats-tsâni 2.08. website: http://www.shamela.ws.

Al-Jalîlain, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, dalam al-maktabah asy-syâmilah, al-ishdâr ats-tsâni 2.08. website: http://www.shamela.ws.

Ka’bah, Rifyal, Islamic Law as a State Law in Indonesia, sebuah makalah disampaikan

pada Annual Conference and International Seminar: Transformasi Nilai-Nilai Islam Dalam Membangun Peradaban Baru Dunia, Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Sabtu 5 Desember 2009.

Khallaf, Abdul Wahhab, ‘Ilm Us}ul Fiqh, Mesir: Maktabah Da‘wah Isla>miyyah Syaba>b al-Azhar.

Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin, 2010, Islamic Banking, Jakarta: PT. Bumi Aksara.