HUBUNGAN SIKAP IBU DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN …

62
HUBUNGAN SIKAP IBU DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN PRIMER INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA (USIA 1-5 TAHUN) DI WILAYAH PUSKESMAS CARINGIN SKRIPSI Diajukan Untuk salah Satu syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan Disusun Oleh: DARA FUTRI RAHAYU AK.1.15.060 PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG 2019

Transcript of HUBUNGAN SIKAP IBU DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN …

HUBUNGAN SIKAP IBU DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN

PRIMER INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)

PADA BALITA (USIA 1-5 TAHUN) DI WILAYAH

PUSKESMAS CARINGIN

SKRIPSI

Diajukan Untuk salah Satu syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana

Keperawatan

Disusun Oleh:

DARA FUTRI RAHAYU

AK.1.15.060

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

BANDUNG

2019

ABSTRAK

Di Indonesia prevalensi penyakit menular ISPA mengalami penurunan

dari tahun 2013 sebesar 13,8% menjadi 4.4% pada tahun 2018. Angka kejadian

ISPA di Kota Bandung pada anak tahun 2018 sebanyak 82.702 orang atau sebesar

(33.02%). Balita mudah untuk tertular ISPA oleh karena itu perlunya pencegahan

primer ISPA yang dilakukan oleh orangtua, salah satu faktor yang mempengaruhi

perilaku ibu yaitu sikap dalam pencegahan ISPA.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan sikap dengan tindakan

pencegahan primer ISPA pada balita (usia 1-5 tahun) wilayah kerja puskesmas

Caringin tahun 2019.

Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan deskriptif

korelasional dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Populasi

pada penelitian ini yaitu seluruh ibu yang memiliki balita sebanyak 112 orang.

Sampel sebanyak 53 orang. Analisa data menggunakan analisa univariat dan

analisa bivariat dengan uji statistik analisis chi square.

Hasil analisis univariat diperoleh hasil sebagian besar responden (56.6%)

memiliki sikap negatif terhadap pencegahan primer penyakit ISPA, sebagian besar

responden (66.0%) tindakan pencegahan primer ISPA tidak baik. Hasil uji

statistik chi square diperoleh hasil nilai value (0.014) < α 0.05 yang berarti Ha

diterima maka diartikan terdapat hubungan antara sikap dengan tindakan

pencegahan primer ISPA pada balita.

Perlunya peningkatan penyuluhan tentang kesehatan penyakit menular

atau tidak menular pada anak yang dilakukan oleh petugas kesehatan agar ibu

lebih mengetahui dan memahami akan pentingnya pencegahan dini penyakit

termasuk pencegahan primer ISPA sehingga dapat sebagai salah satu cara dalam

menurunkan angka kejadian ISPA di tempat penelitian.

Kata Kunci : Pencegahan Primer ISPA, Sikap

Kepustakaan : 31 sumber (2014-2018)

28 buku (2014-2018)

3 jurnal (2016-2017)

ABSTRACT

In Indonesia, the prevalence of RESPIRATORY infectious diseases has

decreased from the year 2013 amounting to 13.8% to 4.4% in the year 2018. The

number of respiratory events in the city of Bandung in the year 2018 as much

82,702 people or registration (33.02%). Toddlers easy for contracting respiratory

therefore the need for primary prevention of respiratory conducted by parents,

one of the factors that affect the behavior of the mother that is the attitude in the

prevention of respiratory.

The purpose of this research is to know the attitude of the relationship

with the primary respiratory precautions on toddlers (ages 1-5 years) work-area

clinics Caringin year 2019.

Research methods in this study using descriptive korelasional by using the

draft cross sectional study. The population in this study i.e. the whole mothers

who have babies as many as 112 people. Sample as many as 53 people. Data

analysis using univariate analysis and analysis of the statistical test analysis with

bivariat chi square.

The results of the univariate analysis of the obtained results the majority

of respondents (56.6%) having a negative attitude towards primary prevention of

respiratory disease, the majority of respondents (66.0%) primary prevention of

respiratory Act is not good. The results of the statistical test chi square value of

the results obtained value (0.014) 0.05 meaning α < Ha accepted then there is

defined the relationship between attitude with the primary respiratory precautions

on toddlers.

The need for increased public awareness about health infectious diseases

or not contagious in children conducted by health workers so that more mothers

will know and understand the importance of early prevention primary prevention

of respiratory ailments including so be as one way in lowering the number of

respiratory events in place of research.

Key words: Primary Prevention of respiratory, the attitude of

Librarianship: 31 sources (2014-2018)

28 books (2014-2018)

3 journals (2016-2017)

i

KATA PENGANTAR

Bissmilahirahmanirrahim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah

memberikan nikmat kekuatan, kesehatan, karunia dan berkat-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan berjudul “Hubungan sikap ibu

dengan tindakan pencegahan primer infeksi saluran nafas akut (ISPA) pada

balita (Usia 1-5 tahun) di Wilayah Puskesmas Caringin”.

Skripsi ini dibuat oleh penulis sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan pendidikan Program Studi Sarjana Keperawatan Universitas

Bhakti Kencana Bandung Tahun 2019. Dalam penulisan skripsi ini penulis

banyak mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu

selayaknya penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan rasa

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. H. Mulyana, SH., M.Pd., M.HKes selaku Ketua Yayasan Adhi Guna

Kencana.

2. Dr. Entris Sutrisno, MH.Kes., Apt selaku rektor Universitas Bhakti

Kencana Bandung.

3. R. Siti Jundiah, S.Kp., M.Kep selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Bhakti Kencana Bandung.

4. Lia Nurlianawati, S.Kep., Ners., M.Kep selaku ketua Program Studi

Sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Bhakti Kencana

Bandung dan penguji I yang telah memberikan arahan dan masukan demi

kelancaran proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

5. Inggrid Dirgahayu, S.Kp., M.KM selaku pembimbing I yang selalu

memberikan bimbingan, masukan, arahan, motivasi, dan bantuan sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Novitasari Ts. Fuadah, S.Kep., Ners., M.Kep selaku pembimbing II yang

selalu memberikan bimbingan, masukan, arahan, motivasi, dan bantuan

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

ii

7. Yuyun Sarinengsih, S.Kep.,Ners., M.Kep selaku penguji I yang telah

memberikan arahan dan masukan demi kelancaran proses penelitian dan

penyusunan skripsi ini.

8. Denni Fransiska, S.Kp., M.Kep selaku penguji II yang telah memberikan

arahan dan masukan demi kelancaran proses penelitian dan penysunan

skripsi ini.

9. Seluruh dosen, staf pengajar dan karyawan Universitas Bhakti Kencana

Bandung terutama Program Studi Sarjana Keperawatan Faktultas

Keperawatan yang telah banyak memberikan wawasan dan segala bentuk

bantuan.

10. Terimakasih kepada orangtua Ayah dan Mamah, adik tercinta yang selalu

memberikan doa, kekuatan, kasih sayang yang tiada henti, memberikan

motivasi dan support setiap saat serta memberikan dukungan baik moril

maupun material.

11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas

Keperawatan Universitas Bhakti Kencana Bandung angkatan 2015 yang

telah membantu dan memberikan support setiap saat, terutama untuk

sahabat-sahabatku yang tercinta (Selvia, dina, ulfah, dinda) dan kepada

teman hidupku (Niktul) terimakasih untuk semua doa dan dukungannya

sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini.

Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Penulis menyadari dalam

penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga penulis

dapat memperbaiki dalam proses penelitian selanjutnya.

Bandung, 07 Agustus 2019

Penulis

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .............................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................. v

DAFTAR BAGAN ..................................................................................... vii

DAFTAR TABEL...................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 6

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 7

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 7

1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 7

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 9

2.1 Perilaku .................................................................................................. 9

2.2 Perilaku Pencegahan ............................................................................. 13

2.3 Sikap ...................................................................................................... 18

2.4 Konsep Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ................................. 24

2.5 Kerangkat Teori .................................................................................... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................. 50

3.1 Rancangan Penelitian ........................................................................... 50

3.2 Paradigma Penelitian ............................................................................ 50

vi

3.3 Hipotensis Penelitian ............................................................................ 53

3.4 Variabel Penelitian ................................................................................ 53

3.5 Definisi Konseptual dan Definisi Oprasional ....................................... 54

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................... 55

3.7 Pengumpulan Data ................................................................................ 57

3.8 Langkah-langkah Penelitian ................................................................. 63

3.9 Pengolahan dan Analisa Data................................................................ 64

3.10 Etika Penelitian ................................................................................... 70

3.11 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 72

4.1 Hasil Penelitian ..................................................................................... 72

4.2 Pembahasan ........................................................................................... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 84

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 84

5.2 Saran ...................................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA

vii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Hubungan Sikap Ibu Dengan Tindakan Pencegahan

Primer Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita

(Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah Puskesmas Caringin ................... 49

Bagan 3.1Hubungan Sikap Dengan Tindakan Pencegahan

Primer ISPA Pada Balita (Usia 1-5 tahun) Di Wilayah

Kerja Puskesmas Caringin Tahun 2019 ..................................... 52

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian .................................................. 55

Tabel 3.2 Alternatif Jawaban Pengukuran Sikap ........................................ 58

Tabel 4.1Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Terhadap Pencegahan

Prime Penyakit ISPA Di Wilayah Kerja Puskesmas

Caringin Tahun 2019................................................................... 72

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pencegahan Primer ISPA

Di Wilayah Kerja Puskesmas Caringin Tahun 2019.................. 73

Tabel 4.3Hubungan Sikap Dengan Tindakan Pencegahan Primer

ISPA Pada Balita (Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah

Kerja Puskesmas Caringin Tahun 2019 ...................................... 73

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Pernyataan kesediaan menjadi responden

Lampiran II : Hasil Uji Validalitas dan Realibilitas

Lampiran III : Lembar Kuesioner

Lmpiran IV : Hasil Penelitian

Lampiran V : Data Responden

Lampiran VI : Lembar Persyaratan Sidang

Lampiran VII : Lembar konsul

Lampiran VII : Lembar matrik

Lampiran VIII : Surat kampus STIKes ( permohonan data dan penelitian)

Lampiran IX : Surat balasan

Lampiran X : Riwayat hidup

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan dibidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan

nasional yang ditata dalam Sistem Kesehatan Nasional diarahkan untuk

mencapai derajat kesehatan yang optimal dan produktif sebagai perwujudan

dari kesejahteraan umum. Upaya pemerintah dalam meningkatkan kesehatan

salah satunya yaitu penyehatan perumahan dan lingkungan yang diutamakan

pada daerah yang mempunyai resiko tinggi kemungkinan penularan penyakit

seperti Diare, TB Paru, Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) (Depkes, 2015).

Data menurut WHO (World Healthy Organization) ISPA menunjukkan

salah satu penyebab kematian pada anak dibawah lima tahun di dunia.

Hampir 7 juta anak meninggal akibat ISPA setiap tahun. Kasus terbanyak

terjadi di Bahamas (33%), Romania (27%), Timor Leste (21%), Afganistan

(20%), Laos (19%), Indonesia (16%), dan India (13%). Tingkat mortalitas

akibat ISPA pada bayi, anak dan ibu tergolong tinggi terutama di negara-

negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. ISPA juga

merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di sarana

pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2015).

2

Di Indonesia ISPA masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama

dan merupakan penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan,

kunjungan berobat ke puskesmas akibat ISPA sebesar 40-60%, dan 15-30%

kunjungan berobat di rawat jalan dan rawat inap rumah sakit. Depkes RI

prevalensi ISPA pada tahun 2014 adalah 25%, dan prevalensi ISPA yang

tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25.8% (Depkes,

2015). Data terbaru menurut RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar)

prevalensi penyakit menular ISPA tahun 2018 mengalami penurunan jika

dibandingkan dengan hasil RISKESDAS 2013, yaitu dari 13,8% menjadi

4.4%, namun demikian angka kejadian ini masih bisa mengalami kenaikan di

tahun lainnya (RISKESDAS, 2018).

ISPA dapat disebabkan karena bakteri, virus, jamur, dan rickettsia.

Bakteri yang dapat menyebabkan ISPA paling banyak yaitu Haemophilus

influenza dan Streptoccocus oneumonia. Tanda dan gejala ISPA dapat berupa

batuk, kesukaran bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga, dan demam.

Gejala ISPA dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu gejala ISPA ringan, gejala

ISPA sedang, dan gejala ISPA berat (Kemenkes, 2014).

Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA sangat rentan dialami oleh

anak-anak, hal ini dikarenakan kekebalan tubuh anak yang masih rendah,

anak dapat mengalami serangan ISPA 5-8 kali setiap tahun terutama mereka

yang tinggal di daerah urban. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

kejadian ISPA yaitu faktor intrinsk (status gizi, berat badan lahir, ASI

Eksklusif, jenis kelamin, dan status imunisasi), dan faktor ekstrinsik (sanitasi

3

lingkungan, kepadatan hunian, ventilasi, suhu, dan kelembapan ruangan)

pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain yaitu

pemberian ASI ekslusif, menjaga kesehatan gizi, melakukan penyuluhan dan

sosialisasi, imunisasi lengkap, kebersihan lingkungan dan pribadi, mencegah

kontak langsung ataupun tidak langsung dengan penderita ISPA, ventilasi

rumah, dan pelaksanaan surveilens sentinel pneumonia (Najmah, 2016).

Perilaku pencegahan penyakit dalam keperawatan komunitas dapat

digunakan pada tahap sebelum terjadinya suatu penyakit prepathogenesis

phase dan pada tahap pathogenesis phase. Pada tahap prepathogenesis phase

dapat dilakukan melalui kegiatan primary prevention atau pencegahan primer

yaitu kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya masalah kesehatan dan

mencakup perlindungan. Pada tahap pathogenesis phase dapat dilakukan

dengan sekodary prevention (pencegahan sekunder) yaitu pencegahan pada

saat masih atau sedang sakit dan tertiary prevention (pencegahan tersier)

yaitu usaha pencegahan setelah sembuh dari sakit. Berdasarkan tahapan

tersebut pencegahan primer merupakan upaya pencegahan terpenting dalam

kesehatan karena dilakukan sebelum terjadinya penyakit (Mubarak, 2014).

Berdasarkan Levell dan Clark pencegahan primer dapat dilakukan

melalui tahapan peningkatan kesehatan (health education, penyuluhan

kesehatan, growth and development monitoring, pengadaan rumah sehat,

pengendalian lingkungan, stimulasi dini, dan pemberantasan penyakit tidak

menular), dan tahapan perrlindungan umum dan khusus (imunisasi, personal

hygiene, dan perlindungan diri) (Mubarak, 2014). Menurut teori Najmah

4

tentang pencegahan ISPA dan berdasarkan teori Levell dan Clark pencegahan

primer maka pada penelitian ini pencegahan primer ISPA dapat dilakukan

diantaranya yaitu mencari informasi tentang ISPA (health education),

imunisasi lengkap pada balita, pemenuhan makanan bernutrisi, personal

hygiene, pengadaan rumah sehat.

Pencegahan penyakit dapat dipengaruhi oleh perilaku kesehatan. Perilaku

kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang

berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi

sehat-sakit (kesehatan). Perilaku kesehatan ditentukan atau terbentuk dari 3

faktor yaitu faktor: Faktor predisposisi (predisposing factors), faktor

pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factors) Faktor

paling mempengaruhi perilaku seseorang terhadap kesehatan ditentukan oleh

faktor predisposisi yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dari orang

atau masyarakat yang bersangkutan. (Notoatmodjo, 2014).

Sikap merupakan faktor yang termasuk ke dalam predisposisi faktor atau

faktor pemungkin yang akan membentuk perilaku seseorang. Sikap

merupakan kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertindak dan bukan

merupakan pelaksanaan motif tertentu, atau perasaan mendukung maupun

perasaan tidak mendukung pada objek tertentu. Sikap terdiri dari komponen

kognitif (represensi apa yang dipercayai), komponen afektif (perasaan yang

menyangkut aspek emosional), dan komponen konatif (aspek kecenderungan

berperilaku sesuai keinginan) (Notoatmodjo, 2014).

5

Hasil penelitian oleh Fithria (2016) tentang Upaya keluarga dalam

pencegahan Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita, diperoleh

hasil upaya pencegahan ispa tingkat pertama (primer) yaitu sebanyak 25

(50%) kategori baik (Fithria, 2016). Hasil penelitian oleh Arfiza Ridwan

(2016) tentang pencegahan primer penyakit infeksi saluran pernafasan akut

pada balita di desa Ceurih Banda Aceh, diperoleh hasil ada hubungan sikap

ibu dengan pencegahan primer terhadap penyakit infeksi saluran pernafasan

akut pada balita (p=0.001) (Arfiza, 2016).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bandung angka kejadian ISPA

pada anak tahun 2018 sebanyak 82.702 orang atau sebesar (33.02%). Tiga

puskesmas penyumbang tertinggi angka kejadian ISPA di Kota Bandung

yaitu Puskesmas Kopo (43,4%), Puskesmas Caringin (45.9%), Puskesmas

Pasir Kaliki (24,3%). Dari hasil tersebut dapat dilihat angka kejadian ISPA di

Kota Bandung paling tertinggi yaitu di Puskesmas Caringin (Dinkes Kota

Bandung, 2018).

Puskesmas Caringin menaungi enam desa/kelurahan yaitu desa Babakan

Ciparay, Margahayu Utara, Margasuka, Cirangrang, Sukahaji, dan Babakan.

Berdasarkan data pada bulan desember tahun 2018 angka kejadian ISPA pada

anak di Puskesmas Caringin yaitu sebanyak 607 orang (Data Puskesmas

Caringin, 2018). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di puskesmas pada

tanggal 19 Maret 2019 data anak yang mengalami ISPA sebanyak 135 pasien.

Tingginya angka kejadian ISPA di Puskesmas Caringin salah satunya

disebabkan oleh masih rendahnya upaya tindakan pencegahan penyakit ISPA

6

di wilayah tersebut. Hal ini dipertegas oleh pernyataan oleh salah satu petugas

kesehatan masih banyaknya balita yang tidak melakukan imunisasi lengkap,

kurangnya keaktifan ibu untuk datang ke puskesmas pada jadwal konseling

balita yang diadakan setiap satu minggu sekali, dan masih adanya balita yang

tergolong gizi kurang karena kurangnya asupan gizi pada balita.

Hasil studi pendahuluan dengan melakukan wawancara pada 10 ibu yang

memiliki balita tentang pencegahan primer ISPA, diperoleh hasil 5 orang ibu

menyatakan dalam pelaksanaan pencegahan primer penyakit ISPA ibu merasa

tidak konsisten dalam perilaku pencegahan penyakit karena terkadang merasa

pencegahan dini tidak perlu dilakukan pada awal karena belum tentu anaknya

akan mengalami ISPA. 3 orang ibu menyatakan pencegahan primer ISPA

harus dilakukan karena sebagai langkah awal dari terhindarnya penyakit yang

dapat membahayakan anaknya, dan 2 orang menyatakan bahwa pencegahan

primer ISPA dianggap belum penting dilakukan karena selama ini anaknya

tidak pernah mengalami sakit yang serius termasuk ISPA.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai “Hubungan Sikap Dengan Tindakan Pencegahan Primer

ISPA Pada Balita (Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah Kerja Puskesmas Caringin”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Apakah Terdapat Hubungan Sikap Dengan Tindakan

7

Pencegahan Primer ISPA Pada Balita (Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah Kerja

Puskesmas Caringin?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan sikap dengan tindakan pencegahan primer

ISPA pada balita (usia 1-5 tahun) wilayah kerja puskesmas Caringin.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi gambaran sikap ibu terhadap pencegahan primer

penyakit ISPA di Puskesmas Caringin.

2. Mengidentifikasi gambaran tindakan pencegahan primer ISPA di

Puskesmas Caringin.

3. Menganalisis hubungan sikap dengan tindakan pencegahan primer

ISPA pada balita wilayah kerja puskesmas Caringin tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai sikap ibu

pada anak yang mengalami kejadian ISPA dan sebagai bahan informasi

untuk upaya meningkatkan pelayanan kesehatan anak terutama pada

tindakan pencegahan ISPA.

8

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Tempat Penelitian

Memberikan informasi bagi pihak tenaga kesehatan terutama

mengenai sikap ibu terhadap penyakit ISPA, sehingga sebagai

bahan landasan untuk melakukan asuhan keperawatan memberikan

penyuluhan tentang tindakan pencegahan primer penyakit ISPA.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Menjadi data awal dan sumber referensi untuk peningkatan kualitas

pencegahan kesehatan terutama mengenai penyakit ISPA, serta

menjadi bahan bacaan di pustakaan.

3. Bagi Peneliti

Menambah wawasan dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama

menjadi mahasiswa keperawatan, dan sebagai bahan dasar untuk

peneliti selanjutnya.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

2.1.1 Pengertian

Perilaku adalah segala tindakan atau aktivitas organisme (mahluk

hidup) yang bersangkutan. Perilaku merupakan respon atau reaksi

seseorang terhadap adanya stimulus (rangsangan dari luar)

(Notoatmodjo, 2014).

Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus

atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-

faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan). Dengan kata lain

perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik

yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan

dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan

kesehatan ini mencakup mencegah dan melindungi diri dari penyakit

dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari

penyembuhan saat sakit atau terkena masalah kesehatan (Notoatmodjo,

2014).

10

2.1.2 Cakupan Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan mencakup sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2014)

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana

manusia berespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan

mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di

luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan

dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan

penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkatan pencegahan

penyakit yaitu :

1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan

kesehatan (health promotion behavior). Misalnya makan

makanan yang bergizi, olah raga, tidak merokok, dan

sebagainya.

2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)

adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit.

Misalnya tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan

nyamuk Demam Berdarah, imunisasi dan sebagainya,

termasuk juga perilaku menjaga kebersihan lingkungan tempat

tinggal supaya terhindar dari berbagai penyakit.

3) Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health

seeking behavior) yaitu perilaku untuk melakukan atau

mencari pengobatan misalnya berusaha mengobati diri sendiri

penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilias

kesehatan modern (puskesmas, dokter, PKD dan sebagainya)

11

4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health

rehabilitation behavior) yaitu perilaku yang berhubungan

dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari

penyakit. Misalnya melakukan diet, mematuhi anjuran dokter

dalam rangka pemulihan kesehatan.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon

seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sisitem

pelayanan modern maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut

respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, cara pelayanan,

petugas kesehatan, dan obat-obatnya terwujud dalam pengetahuan,

persepsi, sikap, dan penggunaan fasilitas, petugas, dan obat-obatan.

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior) yakni respon

seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi

kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan

praktik terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di

dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan dan sebagainya,

sehubungan dengan kebutuhan tubuh kita.

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health

behavior) adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai

determinan ke manusia. Misalnya adalah perilaku seseorang

terhadap pencegahan terhadap penyakit DHF yaitu dengan

menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat

penampungan air, dan mengubur atau mendaur ulang barang-barang

bekas yang dapat menjadi tempat genangan air (Depkes RI, 2014).

12

2.1.3 Faktor-faktor dalam Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan mendapat perhatian yang tinggi karena

kebiasaan perilaku kesehatan mempengaruhi kecenderungan

berkembangnya penyakit kronis dan fatal. Penyakit dan kematian akan

berkurang jika manusia mempunyai gaya hidup yang meningkatkan

kesehatan seperti menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal,

perilaku hidup bersih dan sehat, makan-makanan yang bergizi, olah

raga, mengendalikan stres, dan tidak merokok. Di negara berkembang

seperti Indonesia, pada umumnya masyarakat masih berorientasi pada

pengobatan penyakit bukan pada pencegahan penyakit. Perilaku

masyarakat belum mendukung ke arah perilaku hidup sehat dan

memberikan pengaruh yang paling besar terhadap munculnya masalah

kesehatan di masyarakat. Hal ini sejalan dengan kondisi kesehatan

masyarakat Indonesia sat ini masih tepuruk, yang ditandai dengan

fenomena temuan kasus-kasus gizi buruk, DHF, TBC yang belum dapat

diatasi (Priyoto, 2014).

Green (1980) menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan

oleh tiga faktor yaitu; (Notoatmodjo, 2014)

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud

dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan

sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas

13

atau sarana-sarana kesehatan. Misalnya puskesmas, obat-obatan,

jamban dan sebagainya.

2. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam

sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2.2 Perilaku Pencegahan

2.2.1 Tingkat Pencegahan

Berdasarkan Levell dan Clark (1965) tingkatan pencegahan dalam

keperawatan komunitas dapat digunakan pada tahap sebelum terjadinya

suatu penyakit (Prepathogenesis Phase) dan pada tahap Pathogenesis

Phase (Mubarak, 2014).

1. Prepathogenesis Phase

Pada tahapan ini yang dapat digunakan melalui kegiatan primary

prevention atau pencegahan primer. Pencegahan primer ini dapat

dilakukan selama fase pre pathogenesis terjadinya penyakit atau

masalah kesehatan. Pencegahan dalam arti sebenarnya yaitu,

terjadinya sebelum sakit atau ketidakfungsian dan di aplikasikan

ke dalam populasi sehat pada umumnya. Pencegahan primer

merupakan suatu usaha agar masyarakat yang berada dalam stage

of optinum health tidak jatuh kedalam stage yang lain dan yang

lebih buruk. Pencegahan primer ini melibatkan tindakan yang

diambil sebelum terjadinya masalah kesehatan dan mencakup

14

aspek promosi kesehatan dan perlindungan. Dalam aspek promosi

kesehatan, pencegahan primer berfokus pada peningkatan

kesehatan secara keseluruhan dari mulai individu, keluarga, dan

kelompok masyarakat. perlindungan kesehatan ini ditujukan

untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan yang spesifik.

Misalnya, imunisasi adalah ukuran pelindung untuk penyakit

menular tertentu. Aspek perlindungan kesehatan dari pencegahan

primer ini juga dapat melibatkan, mengurangi atau

menghilangkan faktor risiko sebagai cara untuk mencegah

penyakit. Primary prevention dilakukan dengan dua kelompok

kegiatan yaitu:

1) Health Promotion atau Peningkatan Kesehatan

Peningkatan status kesehatan masyarakat, dengan melalui

beberapa kegiatan, sebagi berikut:

1. Pendidikan kesehatan atau health education

2. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) seperti

penyuluhan tentang masalah gizi.

3. Pengamatan tumbuh kembang anak atau growth and

development monitoring

4. Pengadaan rumah yang sehat

5. Pengendalian lingkungan masyarakat

6. Program P2M (pemberantasan penyakit tidak menular)

15

7. Simulasi dini dalam kesehatan keluarga dan asuhan pada

anak atau balita penyuluhan tentang pencegahan penyakit

2) General and specific protection (Perlindungan umum dan

khusus)

Merupakan usaha kesehatan untuk memberikan perlindungan

secara khusus dan umum terhadap seseorang atau masyaraka,

antara lain :

1. Imunisasi untuk balita

2. Hygine perseorangan

3. Perlindungan diri dari terjadinya kecelakaan

4. Perlindungan diri dari lingkungan kesehatan dalam kerja

5. Perlindungan diri dari carsinogen, toxic dan alergen

2. Pathogenesis Phase

Pada tahap pathogenesis ini dapat dilakukan dengan dua kegiatan

pencegahan yaitu :

1) Sekodary Prevention (Pencegahan Sekunder)

Yaitu pencegahan terhadap masyarakat yang masih atau

sedang sakit, dengan dua kelompok kegiatan:

1. Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis awal

dan pengobatan segera atau adekuat), antara lain melalui:

pemeriksaan kasus dini (early case finding), pemeriksaan

umum lengkap (general check up), pemeriksaan missal

(mass screening), survey terhadap kontak, sekolah dan

16

rumah (contactsurvey, school survey, household survey),

kasus (case holding), pengobatan adekuat (adekuat

tretment).

2. Disability Limitation (Pambatasan Kecacatan)

Penyempurnaan dan intensifikasi terhadap terapi

lanjutan, pencegahan komplikasi, perbaikan fasilitas

kesehatan, penurunan beban sosial penderita, dan lain-

lain.

Pada pencegahan level ini menekankan pada upaya

penemuan kasus secara dini atau awal dan pengobatan tepat

atau “early diagnosis and prompt treatment”. Pencegahan

sekunder ini dilakukan mulai saat fase patogenesis (masa

inkubasi) yang dimulai saat bibit penyakit masuk kedalam

tubuh manusia sampai saat timbulnya gejala penyakit atau

gangguan kesehatan. Diagnosis dini dan intervensi yang tepat

untuk menghambat prosespatologik (proses perjalanan

penyakit) sehingga akan dapat memperpendek waktu sakit

dan tingkat keparahan atau keseriusan penyakit.

2) Tertiary Prevention (Pencegahan Tersier)

Yaitu usaha pencegahan terhadap masyarakat yang setelah

sembuh dari sakit serta mengalami kecacatan antara lain :

1. Pendidikan kesehatan lanjutan

2. Terapi kerja (work therapy)

17

3. Perkampungan rehabilitsi sosial

4. Penyadaran terhadap masyarakat

5. Lembaga rehabilitasi dan partisipasi masyarakat

Upaya pencegahan tersier dimulai pada saat cacat atau

ketidakmampuan terjadi penyembuhan sampai stabil/

menetap atau tidak dapat diperbaiki (irreversaible). Dalam

pencegahan ini dapat dilaksanakan melalui program

rehabilitas untuk mengurangi ketidakmampuan dan

meningkatkan efisiensi hidup penderita. Kegiatan rehabilitasi

ini meliputi aspek medis dan sosial. Pencegahan tersier

dilaksanakan pada fase lanjut proses patogenese suatu

penyakit atau gangguan pada kesehatan. Penerapannya pada

upaya pelayanan kesehatan masyarakat melalui program

PHN (Public Health Nursing) yaitu merawat penderita

penyakit kronis di luar pusat-pusat pelayanan kesehatan yaitu

di rumahnya sendiri.

Perawatan penderita pada stadium terminal (pasian yang

tidak mampu diatasi penyakitnya) jarang dikategorikan

sebagai pencegahan tersier tetapi bersifat paliatif, prinsip

upaya pencegahan adalah mencegah agar individu atau

kelompok masyarakat tidak jatuh sakit, diringankan gejala

penyakitnya atau akibat komplikasi sakitnya, dan

ditingkatkan fungsi tubuh penderita setelah perawatan

18

dilakukan. Rehabilitas sebagai tujuan pencegahan tersier

lebih dari upaya untuk menghambat proses penyakitnya

sendiri yaitu mengembalikan individu kepada tingkat yang

optimal dari ketidakmampuannya. Jadi pencegahan pada

tahap pathogenesis ini dimaksudkan untuk memperbaiki

keadaan masyarakat yang sudah jatuhpada tahap sakit ringan,

sakit, dan sakit berat agar dapat mungkin kembali ke tahap

sehat optinum.

2.3 Sikap

2.3.1 Definisi Sikap

Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup

dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek sikap secara nyata

menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang

bersipat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2014).

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi

merupakan predisposisi perilaku dan mengikat sikap sebagai bagian

dari psikologis yang dapat dipengaruhi oleh keadaan pada saat tertentu

sikap ini masih merupakan suatu respon tertutup terhadap suatu

stimulus (Notoatmodjo, 2014).

19

2.3.2 Tingkat Sikap

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari

sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala resiko merupakan sikap paling tinggi.

2.3.3 Struktur Dan Pembentukan Sikap

Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup

dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek, manivestasi sikap

tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih

dahulu dari perilaku tertutup (Notoatmodjo, 2014).

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek

lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap suatu obyek.

Dalam penentuan sikap terdapat 3 komponen yaitu :

20

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

3. Kecenderungan untuk bertindak .

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang

utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu :

1. Komponen Kognitif

Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercaya

oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif berisi persepsi,

kepercayaan dan streotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu.

Sering kali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan

pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau

problem yang kontraversial (Azwar, 2014).

2. Komponen Afektif

Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek

sikap yang menyangkut emosi. Aspek emosional ini lah yang

biasanya yang terbakar paling dalam sebagai komponen sikap dan

merupakan aspek paling terhadap pengaruh-pengaruh yang

mungkin akan mengubah sikap seseorang

3. Komponen Perilaku (konatif)

Komponen perilaku atau komponen konatif dalam stuktur sikap

menunjukan bagaimana perilaku atau kecenderungan berprilaku

21

yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang

dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan

dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.

Para ahli psikologis banyak yang beranggapan ketiga komponen

sikap tersebut adalah selaras dan konsisten dikarenakan apabila

dihadapkan dengan suatu obyek sikap yang sama maka ketiga

komponen itu harus mempolakan arah dan sikap yang seragam dan juga

mereka beranggapan kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi

perilaku (Azwar, 2014)

Apabila seseorang hidup dalam budaya yang mempunyai norma

yang longgar bagi pergaulan bebas, sangat mungkin mereka akan

mempunyai sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan

pergaulan heteroseksual, walaupun secara kognitif sudah tahu dampak

yang akan timbul dari perbuatannya.

Demi interaksi socialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap

tertentu terhadap berbagia obyek psikologis yang dihadapinya. Diantara

berbagai factor yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu :

1. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami ikut membentuk dan

mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus. Tanggapan

akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat

mempunyai penghayatan dari tanggapan seseorang harus

mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis.

22

Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif

atau negative akan bergantung pada berbagai factor.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain yang disekitar kita merupakan salah satu diantara

komponen yang ikut mempengaruhi sikap pada umumnya individu

cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah

dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini

antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafilasi dan

keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap

penting tersebut.

3. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Seseorang

memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan mendapat

reinforcement (pengutn, ganjar) dari masyarakat untuk sikap dan

perilaku tersebut.

4. Pengaruh media masa

Sebagai suara komunikasi berbagi bentuk media massa seperti TV,

radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh

besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam

penyampaian informasi sabagai tugas pokoknya media massa

membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru yang

23

mengenai sesuatu hal memberikan landasan berfikir kognitif baru

berbagai terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Apabila cukup

kuat akan memberi dasarefektif dalam menilai sesuatu hal

sehinggat terbentuknya arah sikap tertentu.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagi system merupakan

pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya

merupakan dasar pengetahuan konsep moral dalam diri individu

pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu

yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan

dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

6. Pengaruh factor emosional

Tidak semua bentuk sikap di tentukan oleh sesuatu lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang kadang-kadang sesuatu bentuk sikap

merupakan pertanyaan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai

semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme

pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang

sementara dan segera berlalu begitu frustasi hilang akan tetapi

dapat pula merupakan sikap yang lebih resisten dan bertahan lama.

Adanya pengalaman menyenangkan dalam suatu obyek cenderung

akan membentuk sikap terhadap obyek tersebut dan sebaliknya tidak

adanya pengalaman sama sekali dengan suatu obyek cendrung akan

24

membentuk sikap yang negative terhadap obyek tersebut (Azwar,

2014).

2.4 Konsep Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.4.1 Pengertian ISPA

Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran

pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi

adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga

alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga

tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup

saluran pernafasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah

(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan.

Sesuai dengan batasan ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam

saluran pernapasan (respiratory tract). Infeksi akut adalah infeksi yang

berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan

proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat

digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14

hari (Suhandayani, 2017).

25

2.4.2 Etiologi

ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, maupun riketsia. Infeksi

bakterial merupakan penyulit ISPA oleh karena virus, terutama bila ada

apidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai keradangan

parenkim. ISPA oleh virus, merupakan penyebab terbesar dari angka

kejadian ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus

penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas

untuk masing-masing jenis virus, sebaliknya beberapa jenis virus

bersama-sama pula memberikan gambaran klinik yang hampir sama.

(Amin, 2011). Virus yang termasuk penggolong ISPA adalah rinovirus,

koronavirus, adenovirus, dan koksakievirus, influenza, virus sinisial

pernapasan. Virus yang mudah ditularkan melalui ludah yang

dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita adalah virus influenza, virus

sinisial pernapasan, dan rinovirus (Junaidi, 2014).

2.4.3 Patofisiologi ISPA

Patofisiologi saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar

dengan dunia luar sehingga dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang

efektif dan efisien dari sistem saluran pernapasan ini. Ketahanan saluran

pernapasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara

sangat tergantung pada 3 unsur alamiah yang selalu terdapat pada orang

sehat, yaitu: utuhnya epitel mukosa dan gerak moksila,

makrofagalveoli, dan antibodi setempat. Sudah menjadi suatu

26

kecenderungan, bahwa terjadinya infeksi bakterial, mudah terjadi pada

saluran napas yang telah rusak sel-sel epitel mukosanya, yang

disebabkan oleh infeksi-infeksi terdahulu. Keutuhan gerak lapisan

mukosa dan silia dapat terganggu oleh karena: (Amin, 2014).

1. Asap rokok dan gas SO2 polutan utama adalah pencemaran udara.

2. Sindroma imotil.

3. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).

Makrofag biasanya banyak terdapat di alveoli dan baru akan di

mobilisasi ke tempat-tempat dimana terjadi infeksi. Asap rokok

menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan

alkohol, menurunkan mobilitas sel-sel ini. Antibodi setempat pada

saluran napas, adalah Imunoglobulin A (Ig A) yang banyak terdapat di

mukosa. Kurangnya antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi

saluran pernapasan, seperti pada keadaaan defisiensi Ig A pada anak.

Mereka dengan keadaan-keadaan imunodefisiensi juga akan mengalami

hal yang serupa, seperti halnya penderita-penderita yang mendapat

terapi situastik, radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas, dan

lain-lain. Gambaran klinik radang oleh karena infeksi sangat tergantung

pada karakteristik inokulum, daya tahan tubuh seseorang, dan umur

seseorang. Karakteristik inokulum sendiri terdiri dari besarnya aerosol,

tingkat virulensi jasad renik dan banyak (jumlah) jasad renik yang

masuk. Daya tahan tubuh, terdiri dari utuhnya sel epitel mukosa dan

gerak mukosilia, makrofagalveoli, dan Ig A (Amin, 2014).

27

Umur mempunyai pengaruh besar terutama pada ISPA saluran

pernapasan bawah anak dan bayi, akan memberikan gambaran klinik

yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa. Terutama

penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi pertama karena virus,

pada mereka ini tampak lebih berat karena belum diperoleh kekebalan

alamiah. Pada orang dewasa, mereka memberikan gambaran klinik

yang ringan sebab telah terjadi kekebalan yang diberikan oleh

infeksinya terdahulu. Pada ISPA dikenal 3 cara penyebaran infeksi ini:

1. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk-batuk.

2. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk-batuk

dan bersin-bersin.

3. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah

dicemari jasad renik (hand to hand transmission).

Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus,

melalui bahan sekresi hidung, virus ISPA terdapat 10-100 kali lebih

banyak dalam mukosa hidung dari pada faring. Dari beberapa klinik,

laboratorium, maupun dilapangan, diperoleh kesimpulan bahwa

sebenarnya kontak hand to hand merupakan modus yang terbesar bila

dibandingkan dengan cara penularan aerogen yang semula banyak

diduga (Amin, 2014).

28

2.4.4 Klasifikasi ISPA

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi menurut (Suhandayani, 2017),

sebagai berikut :

1) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut Infeksi yang menyerang

bagian hidung sampai faring seperti pilek, faringitis, dan otitis

media.

2) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut Infeksi yang menyerang

mulai dari bagian laring sampai alveoli seperti epiglotitis,

bronkitis, bronkiolitis, laringitis, laringotrakeitis, dan pneumonia.

1. Klasifikasi penyakit berdasarkan umur sebagai berikut :

1) Kelompok umur < 2 bulan, dibagi atas :

a) Pneumonia berat, bila batuk disertai dengan napas cepat

(fast breathing), 10 dimana frekuensi pernapasan 60

kali/menit atau lebih, atau adanya tarikan kuat pada dinding

dada bagian bawah ke dalam yang kuat (severe chest

indrawing).

b) Non pneumonia, bila tidak ada tarikan dinding dada bagian

bawah dan frekuensi pernapasan normal.

2) Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun, dibagi atas :

a) Pneumonia sangat berat, bila batuk dan mengalami

kesulitan saat bernapas yang disertai sianosis sentral,

adanya tarikan dinding dada, dan kejang.

29

b) Pneumonia berat, bila batuk dan mengalami kesulitan

bernapas serta ada tarikan dinding dada, tetapi tidak disertai

sianosis sentral.

c) Pneumonia, bila batuk dan terjadi kesukaran bernapas yang

disertai dengan napas cepat, yaitu >50 kali/menit untuk

umur 2-12 bulan, dan >40 11 kali/menit untuk umur 12

bulan sampai 5 tahun.

d) Non pneumonia, bila mengalami batuk pilek saja, tidak ada

tarikan dinding dada, tidak ada napas cepat, frekuensi

kurang dari 50 kali/menit pada anak umur 2-12 bulan dan

kurang dari 40 kali/menit untuk umur 12 bulan sampai 5

tahun.

2.4.5 Manifestasi Klinis

Menurut (Suhandayani, 2017) penyakit ISPA pada balita dapat

menimbulkan berbagai tanda dan gejala seperti batuk, pilek, demam,

kesulitan bernafas, dan sakit tenggorokan. Gejala ISPA terbagi

menjadi 3, yaitu :

1. Gejala dari ISPA ringan

Seorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika

ditemukan satu atau lebih gejala-gejala berikut :

1) Batuk

2) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir (ingus) dari hidung

30

3) Demam, jika suhu badan lebih dari 37°C d. Serak, yaitu anak

bersuara parau saat berbicara atau menangis

2. Gejala dari ISPA sedang

Seorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang, jika

ditemukan gejala-gejala dari ISPA ringan yang disertai satu atau

lebih gejala-gejala berikut :

1) Suhu tubuh lebih dari 39°C

2) Pernapasan cepat (fast breathing) yaitu frekuensi nafas 60

kali/menit atau lebih

3) Radang Tenggorokan

4) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

5) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak

campak

3. Gejala dari ISPA Berat

Seorang balita dinyatakan menderita ISPA berat, jika dijumpai

gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang yang disertai satu atau

lebih gejala-gejala berikut :

1) Sianosis

2) Kesadaran menurun

3) Pernapasan berbunyi seperti mengorok

4) Ada tarikan dinding dada

5) Nadi > 160 kali per menit atau tidak teraba

31

2.4.6 Pencegahan ISPA

Pencegahan ISPA sangat erat kaitannya dengan sistem

kekebalan tubuh yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang dengan

sistem kekebalan tubuh yang lemah akan sangat rentan terhadap

serangan sehingga pengobatan ISPA biasanya di fokuskan kepada

mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah. ISPA

sangat rentan kepada anak-anak, itulah mengapa kasus ISPA

sebagai penyakit dengan prevalensi sangat tinggi di dunia juga

menunjukkan angka kematian anak sangat tinggi dibandingkan

penyakit lainnya (Yusri, 2016).

Menurut Najmah (2016) pencegahan penyakit ISPA dapat

dilakukan dengan beberapa cara antara lain:

1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk

mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau

mencegah orang sehat agar tidak sakit.

1) Mempromosikan pemberian Air Susu Ibu pada bayi dan

balita selama 6 bulan pertama dan melengkapi ASI dengan

makanan tambahan ASI (MP-ASI) hingga dua tahun untuk

meningkatkan daya tahan tubuh anak sejak dini.

2) Menjaga kesehatan gizi, dengan mengkonsumsi makanan

sehat dan jika perlu memberikan mikronutrient tambahan

32

seperti zink, zat besi dan sebagainya sehingga dapat

meningkatkan kekebalan tubuh.

3) Melakukan penyuluhan dan sosialisasi mengenai penyakit

ISPA.

4) Melakukan imunisasi lengkap pada anak sehingga tidak

mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh virus dan

penyakit. Imunisasi influenza biasa diberikan jika

diperlukan.

5) Menjaga kebersihan lingkungan dan perorangan dengan

melakukan pola hidup bersih dan sehat, mencuci tangan

dengan sabun dan menciptakan lingkungan rumah yang

sehat.

6) Mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan

penderita ISPA. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)

saat berinteraksi dengan orang yang menderita ISPA

maupun ketika berada di lingkungan yang berdebu.

7) Ventilasi yang baik di rumah dan tidak merokok pada

ruangan tertutup.

8) Pelaksanaan surveilens sentinel pneumonia untuk

mengetahui gambaran kejadian pneumonia dalam ditribusi

epidemiologi, menurut waktu, tempat dan orang di wilayah

sentinel; mengetahui jumlah kematian.

33

2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary prevention)

Pencegahan tingkat kedua merupakan diagnose dini dan

upaya dalam mengobati yang telah sakit agar sembuh,

menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan

komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Adapun

tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pencegahan sekunder

yaitu:

1) Jika balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala

peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adaya

tarikan dinding dada bagian bawah kea rah dalam, maka

anak tidak perlu diberikan obat antibiotik tetapi cukup

diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan

obat atuk tradisionat atau obat batuk lain yang tidak

mengandung zat yang merugikan.

2) Jika anak batuk dan atau kesusahan bernafas. Diagnosa ini

berdasarkan umur, batas frekuensi napas cepat pada anak

berusia dua bulan sampai 1 tahun adalah 50 kali per menit

dan untuk anak 1 – 5 tahun adalah 40 kali per menit, maka

sebaiknya anak diberi obat antibiotik melalui mulut.

3) Jika anak batuk dan kesusahan bernafas disertai sesak nafas

atau tarikan dinding dada bawah kearah dalam (chest

indrawing) pada anak berusia dua bulan sampai 5 tahun,

maka anak segera dibawa ke rumah sakit, diberikan

34

antibiotik melalui jalur infus, diberi oksigen, dan di rawat di

rumah sakit.

3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Pencegahan ini dimaksud untuk mengurangi

ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi, adapun

tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pencegahan tersier

adalah:

1) Jika anak batuk berlangsung selama 30 hari, rujuk untuk

pemeriksaan lanjutan.

2) Antibiotik diberikan selama 5 hari dan ibu dianjurkan untuk

kontrol anaknya setelah 2 hari atau lebih cepat bila keadaan

memburuk

3) Jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram

fenikol selama 48 jam, periksa lanjutan untuk

memeriksakan adanya komplikasidan ganti dengan

kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu

pneumonia stafilokokus.

2.4.7 Penatalaksanaan ISPA

Penatalaksanaan dilakukan dalam pelayanan kesehatan sesuai

klasifikasinya dengan petunjuk bagan MTBS, untuk gejala batuk

bukan pneumonia beri pelega tenggorokan dan pereda batuk aman,

jika batuk lebih dari 3 minggu rujuk untuk pemeriksaan lanjutan,

35

kunjungi pelayanan kesehatan bila selama 5 hari tidak ada perbaikan.

Klasifikasi penumonia diberikan antibiotik yang sesuai, beri pelega

tenggorokan dan pereda batuk yang aman dan pneumonia berat beri

dosis pertama antibiotik yang sesuai dan dirujuk ke sarana kesehatan

yang memadai (Depkes, 2016)

Perawatan dirumah sangat penting dalam penatalaksanaan balita

dengan penyakit ISPA, dengan cara (WHO, 2014):

1. Pemberian makanan

1) Berilah makanan secukupnya selama sakit,

2) Tambahlah jumlahnya setelah sembuh,

3) Bersihkan hidung agar tidak mengganggu pemberian makanan.

2. Pemberian cairan

1) Berilah anak minuman lebih banyak

2) Tingkatkan pemberian ASI

3. Pemberian obat pelega tenggorokan dan pereda batuk dengan

ramuan yang aman dan sederhana

4. Paling penting: amati tanda-tanda pneumonia

Bawalah kembali ke petugas kesehatan, bila napas menjadi

sesak, napas menjadi cepat, anak tidak mau minum, sakit anak

lebih parah.

36

2.4.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya ISPA

Menurut Utami (2014) banyak faktor yang berperan terhadap

terjadinya ISPA, baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik.

Adapun faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor instrinsik

Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam

balita itu sendiri. Faktor instrinsik adalah faktor yang

meningkatkan kerentanan pejamu terhadap kuman. Faktor

instrinsik terdiri dari status gizi, status imunisasi balita, riwayat

BBLR, umur balita.

1) Gizi

Balita adalah kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

penyakit. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling

sering menderita penyakit akibat gizi dalam jumlah besar. Gizi

buruk akan menyebabkan terganggunya sistem pertahanan

tubuh. Perubahan morfologis yang terjadi pada jaringan limfoid

yang berperan dalam sistem kekebalan akibat gizi buruk,

menyebabkan pertahanan tubuh menjadi lemah. Rendahnya

daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan

mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.

2) Imunisasi

Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan

yang sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian

37

bayi dan balita. Imunisasi merupakan salah satu cara

meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif.

Imunisasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan

kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu antigen,

sehingga kelak bila ia terpajan pada antigen serupa tidak terjadi

penyakit. Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya

penyakit tertentu atau imunisasi adalah suatu upaya untuk

mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara

memasukkan kuman atau produk kuman yang telah dilemahkan

atau dimatikan ke dalam tubuh. Imunisasi lengkap perlu

diupayakan untuk mengurangi faktor yang meningkatkan

mortalitas ISPA, campak, pertusis, difteri, dan beberapa

penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka

peningkatan cakupan imunisasi seperti difteri, pertusis serta

campak akan berperan besar dalam upaya pemberantasan

penyakit tersebut. Bayi dan balita mempunyai status imunisasi

lengkap bila terserang penyakit diharapkan perkembangan

penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.

3) Riwayat BBLR

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan, perkembangan

fisik dan mental pada balita. Bayi dengan berat badan lahir

rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar

dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada

38

bulan pertama melahirkan karena pembentukan zat anti

kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terserang

penyakit infeksi, terutama pneumonia dan penyakit saluran

pernapasan. Apabila daya tahan terhadap tekanan dan stress

menurun, makan sistem imun dan antibodi berkurang, sehingga

mudah terserang infeksi. Pada anak hal ini dapat

mengakibatkan kematian.

4) Umur

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk

terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan

anak balita akan lebih tinggi jika dibandingakan dengan orang

dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan

gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan

karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merukana kejadian

infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses

kekebalan secara alamiah. Bayi umur kurang dari satu tahun

mempunyai risiko lebih tinggi terhadap penyakit ISPA. Hal ini

disebabkan imunitas anak kurang dari dua tahun belum baik

dan lumen saluran napasnya masih sempit. Pneumonia pada

anak balita sering disebabkan virus penapasan dan puncaknya

terjadi pada umur 2-3 tahun. Penyebabnya antara lain imunisasi

yang kurang lengkap, pemeberian nutrisi yang kurang baik,

39

tidak diberikan ASI eksklusif dan pajanan terhadap asap dapur,

asap rokok, serta penderita ISPA lainnya.

2. Faktor ekstrinsik

Merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh, biasanya

disebut faktor lingkungan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang

dapat meningkatkan pemaparan dari pejamu terhadap kuman

penyebab yang terdiri dari tiga unsur yaitu biologi, fisik dan sosial

ekonomi yang meliputi kondisi fisik rumah, jenis bahan bakar,

ventilasi, kepadatan hunian, care seeking, kebiasaan orang tua

merokok, polusi asap dapur, lokasi dapur, pendidikan ibu,

pekerjaan orang tua, dan penghasilan keluarga. Selain kondisi fisik

rumah, faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA

pada balita yaitu:

1) Status ekonomi

Status ekonomi sangat sulit dibatasi. Hubungan dengan

kesehatan juga kurang nyata yang jelas bahwa kemiskinan erat

kaitannya dengan penyakit, hanya saja sulit dianalisis yang

mana sebab dan mana akibat. Status ekonomi menentukan

kualitas makanan, hunian, kepadatan, gizi, taraf pendidikan,

tersedianya fasilitas air bersih, sanitasi, besar kecilnya keluarga,

teknologi. Tingkat penghasilan sering dihubungkan dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan.

Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada

40

mungkin karena tidak cukup uang untuk membeli obat,

membayar tansport dan lainnya.

2) Pendidikan

Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan

kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya

dalam masyarakat tempat dia hidup, proses sosial yakni

seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih

dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga

ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan

kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal.

Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan penyakit.

Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan

penyakit. Demikian juga dengan pendapatan, kesehatan

lingkungan dan informasi yang didapat tentang kesehatan.

Semakin rendah pendidikan ibu maka semakin tinggi risiko

ISPA pada balita.

3) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi

setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil

domain yang terpenting dalam membentuk tindakan seseorang.

Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku

sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari

41

pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan akan

berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan

masyarakat sebagai keluaran (outcame) pendidikan kesehatan.

4) Pemberian ASI eksklusif

Bayi atau balita yang kekurangan gizi sangat rentan

terhadap penyakit-penyakit infeksi, termasuk diare dan indfeksi

saluran pernapasan. Oleh karena itu, pemenuhan gizi bayi

memerlukan perhatian yang serius. Gizi bagi bayi yang paling

sempurna adalah air susu ibu. ASI adalah cairan hidup yang

mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari

berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur. Bayi

ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih jarang sakit

dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.

5) Keberadaaan anggota keluarga yang menderita ISPA

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan

ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek

penanganan ISPA di keluarga, baik yang dilakukan oleh ibu

ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit

terkecil dari masyarkat yang berkumpul dan tinggal dalam satu

rumah tangga, satu sama lainnya saling tergantung dan

berinteraksi, bila salah satu atau beberapa anggota keluarganya

mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh

42

terhadap keluarga lainnya, apalagi untuk penyakit menular

seperti ISPA.

6) Perilaku

Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan

ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan

sebagian dari orang tua masyarakat bersangkutan. Disamping

itu ketersediaan fasilitas kesehatan, sikap dan perilaku para

petugas kesehatan juga dapat memperkuat terbentuknya

perilaku. Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap, tindakan,

proaktif untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya

penyakit. Perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan

dengan kegiatan/tindakan seseorang dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan untuk

mencegah penyakit, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.

Perilaku yang mempengaruhi ISPA diantaranya:

1. Kebiasaan membuka jendela

Jendela kamar tidur merupakan bagian dinding yang dapat

dibuka agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk ke

ruang tidur sehingga dapat membunuh organisme di

dalamnya. Jendela kamar tidur dikatakan tidak berfungsi

apabila jendela tersebut selalu ditutup pada siang hari. Suatu

kamar tidur yang memiliki jendela tetapi tidak pernah

dibuka akan membuat kamar tidur menjadi pengap dan

43

lembab. Perilaku membuka jendela merupakan salah satu

kelompok perilaku penghuni dalam penilaian rumah sehat.

2. Kebiasaan merokok orang tua

Kebiasaan merokok dapat menyebabkan saluran napas

mengalami iritasi akibat asap rokok yang dihirup secara

langsung maupun secara pasif akibat merokok di dalam

rumah. Hal ini mengakibatkan kadar COHb di dalam darah

meningkat. Anak-anak lebih mudah terserang pneumonia

dan masalah pernapasan lainnya jika mereka tinggal di

lingkungan yang tercemar asap.

3. Penggunaan obat nyamuk/Bahan bakar memasak

Pencemaran udara di dalam rumah selain berasal dari luar

ruangan dapat pula berasal dari sumber polutan di dalam

rumah terutama sktivitas penghuninya antara lain

penggunaan biomassa untuk memasak atau pemanas

ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan

bahan bakar, asap rokok, penggunaan obat nyamuk, pelarut

organik yang mudah menguap (formaldehid) yang banyak

dipakai pada peralatan perabotan rumah tangga.

2.4.9 Dampak ISPA

Dampak Infeksi Pernafasan Saluran Akut ( ISPA ) ini memiliki

dampak yaitu, Nasofaringitis, faringitis, sinusitis, rhinitis, tonsilitis,

44

abses retrofiring, otitis media dan penyakit penyakit jalan nafas bagian

atas lainnya, ISPA mudah sekali menyerang anak-anak, karena

kekebalan tubuh masih rendah (Kartiningrum, 2016).

Adapun menurut Suhandayani (2014) Dampak ispa pada balita

antara lain seperti gangguan pernapasan, dan tidak nafsu makan.

Gangguan pernafasan seperti Virus yang menyebabkan ISPA pada

balita menyerang sistem pernapasan atas, seperti hidung, tenggorokan

dan paru-paru. Dampak dari terganggunya sistem pernapasan ini tidak

baik bagi kesehatan balita, karena akan mengganggu sistem tubuh

lainnya. Sulit bernapas membuat tubuh kekurangan oksigen yang

sangat dibutuhkan tubuh. Akibatnya organ-organ tubuh lain tidak

berfungsi dengan baik juga. Sedangkan tidak nafsu makan di

akibatkan karena sakit tenggorokan dan radang, karena virus masuk ke

tenggorokan. Akibatnya, balita sulit menelan makanan dan minuman.

Batuk dan pilek yang biasanya datang berbarengan dengan sakit

tenggorokan ini juga membuatnya tidak nafsu makan, sehingga

tubuhnya pun menjadi lemas. Status gizi yang buruk akan

menyebabkan sistem pertahanan tubuh dan antibody menurun

sehingga balita akan lebih mudah terserang infeksi seperti diare, dan

infeksi saluran pernafasan. Pada balita yang daya tahan tubuhnya

masih belum sempurna beresiko akan berlimpat ganda terkena ISPA.

Status gizi yang kurang tidak hanya meningkatkan angka kesakitan

dan kematian tetapi juga akan menurunkan produktifitas, menghambat

45

pertumbuhan sel-sel otak yang mengakibatkan kebodohan dan

keterbelakanagan. Dimana status gizi juga dapat mempengaruhi

kekebelan tubuh balita, karena balita yang mengalami gizi buruk

meskipun telah di imunisasi lengkap tetap akan terserang penyakit

(Maryunani, 2014).

2.4.10 Perilaku Pencegahan

Berdasarkan teori perilaku pencegahan penyakit menurut Levell

dan Clark (1965) pada tahap prepathogenesis phase dan berdasarkan

teori pencegahan ISPA menurut Najmah (2016) maka pencegahan

primer ISPA pada penelitian ini yaitu:

1. Health education atau Mencari informasi tentang ISPA

Menurut Friedman (1998) sebuah intervensi keperawatan utama

adalah mengajar keluarga tentang sistim kesehatan, sakit, dan

dinamika keluarga, pengasuh anak, perlakuan perawatan

kesehatan, dan bidang-bidang terkait lainnya. Penyuluhan

menyediakan informasi bagi klien dan dengan demikian

membantu mereka mengatasi perubahan hidup secara lebih

efektif. Memperoleh informasi yang bermakna membantu

anggota keluarga merasa memiliki perasaan kontrol, juga mampu

membuat mereka mendefinisikan pilihan-pilihan mereka sendiri

dan pemecahan masalah.

46

2. Imunisasi Pada Balita

Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang

sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan

balita. Imunisasi merupakan salah satu cara meningkatkan

kekebalan tubuh seseorang secara aktif. Imunisasi merupakan

salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang

secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak bila ia terpajan

pada antigen serupa tidak terjadi penyakit. Pemberian vaksin

untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu atau imunisasi

adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu

penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman

yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh. Imunisasi

lengkap perlu diupayakan untuk mengurangi faktor yang

meningkatkan mortalitas ISPA, campak, pertusis, difteri, dan

beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka

peningkatan cakupan imunisasi seperti difteri, pertusis serta

campak akan berperan besar dalam upaya pemberantasan

penyakit tersebut. Bayi dan balita mempunyai status imunisasi

lengkap bila terserang penyakit diharapkan perkembangan

penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.

3. Pemenuhan makanan bernutrisi pada balita

Menurut Tarwoto (2013) keadaan gizi sangat berpengaruh pada

daya tahan tubuh. Anak yang gizinya kurang atau buruk akan

47

lebih mudah terjangkit penyakit menular atau penyakit infeksi

salah satunya penyakit ISPA.

Agar virus ISPA tidak menyerang tubuh, maka balita butuh

kekebalan tubuh yang kuat. Nutrisi yang paling tepat untuk

menjaga kekebalan tubuh adalah vitamin C, yang aktif

membunuh kuman dan bakteri. Berikan balita makanan yang

banyak mengandung vitamin C seperti buah-buahan dan sayuran

hijau.

4. Personal hygiene (kebiasaan mencuci tangan sebelum memberi

makan atau minum kepada balita)

Salah satu cara penularan ISPA pada balita adalah melalui udara

dan makanan. Virus yang terbang di udara dan menempel di

makanan atau barang-barang yang disentuh anak bisa dengan

mudah masuk ke tubuhnya. Untuk mencegah hal tersebut,

perlunya kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum atau

sesudah beraktifitas, termasuk ketika akan memberi

makanan/minuman kepada balita.

Hasil penelitian oleh Ahmad Yamin (2016) tentang kebiasaan ibu

dalam pencegahan primer penyakit ISPA pada balita keluarga non

gakin di desa Nanjung Mekar, diperoleh hasil kebiasaan ibu

dalam pencegahan primer ISPA sebanyak 48 (55.17%) kategori

baik, dengan uji statistic terdapat hubungan sikap dengan

48

kebiasaan ibu dalam pencegahan primer ISPA pada balita (p=

0.021)

5. Menciptakan rumah sehat (termasuk menghindarkan anak dari

penyebab langsung dan tidak langsung kejadian ISPA)

Pemeliharaan lingkungan rumah baik di dalam maupun di luar

harus tetap dijaga, supaya tetap sehat, karena pemeliharaan rumah

dapat mempengaruhi kesehatan penghuninya. Segala fasilitas

yang tersedia apabila tidak dipelihara dengan baik dapat menjadi

media bagi penyakit. Pemeliharaan lingkungan rumah dengan

cara menjaga kebersihan di dalam rumah, mengatur pertukaran

udara dalam rumah, menjaga kebersihan lingkungan luar rumah

dan mengusahakan sinar matahari masuk ke dalam rumah di siang

hari, supaya pertahanan udara di dalam rumah tetap bersih

sehingga dapat mencegah kuman dan termasuk menghindari

kepadatan penghuni karena dianggap risiko meningkatkan

terjadinya ISPA.

49

2.5 Kerangkat Teori

Bagan 2.1

Hubungan Sikap Ibu Dengan Tindakan Pencegahan Primer Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita (Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah

Puskesmas Caringin

Sumber : modifikasi dari terori (Levell dan Clark dalam Mubarak, 2014),

(Notoatmodjo, 2014), dan (Najmah, 2016)

Perilaku Sehat

Konsep Pencegahan

Penyakit:

1. Pencegahan

primer

2. Pencegahan

sekunder

3. Pencegahan

tersier

Pencegahan primer

ISPA:

1. Health education

2. Imunisasi

3. Pemenuhan

makanan

bernutrisi

4. Personal hygiene

5. Pengadaan rumah

sehat

Faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku kesehatan :

1. Faktor predisposisi :

1) Pengetahuan

2) Sikap

2. Faktor pemungkin :

1) Sarana kesehatan

2) Fasilitas kesehatan

3. Faktor penguat:

1) Petugas kesehatan