HUBUNGAN PAJANAN PARTIKEL DEBU TERHIRUP (PM )...
Transcript of HUBUNGAN PAJANAN PARTIKEL DEBU TERHIRUP (PM )...
i
HUBUNGAN PAJANAN PARTIKEL DEBU TERHIRUP (PM10) TERHADAP
KELUHAN ASMA PADA MASYARAKAT BERISIKO DI SEKITAR
TERMINAL ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI (AKAP)
KOTA PALEMBANG TAHUN 2016
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH :
AGUS DWI SAPUTRA
1112101000090
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H /2017 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Juli 2017
Agus Dwi Saputra
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 20 Juli 2017
AGUS DWI SAPUTRA, NIM : 1112101000090
Hubungan Pajanan Partikel Debu Terhirup (PM10) Terhadap Keluhan Asma
Pada Masyarakat Berisiko di Sekitar Terminal Antar Kota Antar Provinsi
(AKAP) Kota Palembang Tahun 2016
(xxi + 116 halaman, 34 tabel, 3 bagan, 3 gambar, 8 lampiran)
ABSTRAK
Latar Belakang : Asma merupakan penyakit inflamasi jalan napas kronik yang
berdampak serius terhadap morbiditas dan mortalitas. Terminal merupakan salah satu
lokasi padat aktivitas transportasi. Aktivitas transportasi mengemisikan PM10 dan
menjadi faktor pencetus asma.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan pajanan partikel debu terhirup (PM10) terhadap
keluhan asma pada masyarakat berisiko disekitar terminal antar kota antar provinsi
(AKAP) kota Palembang tahun 2016.
Metode : Jenis penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Populasi
penelitian yaitu seluruh masyarakat berisiko (sopir, kondektur, dan pedagang tetap)
yang beraktivitas dikawasan terminal AKAP kota Palembang. Responden yang diteliti
sebanyak 75 orang yang diambil menggunakan teknik simple random sampling.
Sampel PM10 ambien diambil menggunakan Dusttrak II Aerosol Monitor 8532 di tiga
titik sampling pada masing-masing terminal. Lokasi titik sampling ditentukan
menggunakan radius jarak dari titik pusat terminal. Data keluhan asma, pajanan PM10
dan karakteristik individu diukur melalui wawancara dengan kuesioner, sedangkan
data berat & tinggi badan diukur menggunakan timbangan dan microtoise. Uji Chi
Square digunakan untuk mencari hubungan pajanan PM10 dan karakteristik individu
dengan keluhan asma. Uji beda rata-rata digunakan untuk mencari hubungan waktu &
lama kerja dengan keluhan asma. Uji regresi logistik digunakan untuk mengontrol
variabel perancu.
Hasil Penelitian : Sebanyak 54,7% responden mengalami keluhan asma. Terdapat
hubungan signifikan antara keluhan asma dengan pajanan PM10 (p=0,015); status
merokok (p=0,008); jumlah batang rokok yang dihisap (p=0,017); dan riwayat
penyakit pernafasan (p=0,022). Tidak ditemukan hubungan signifikan antara keluhan
asma dengan jenis kelamin (p=0,684); tingkat pendidikan (p=0,095); status gizi
(p=0,432); waktu kerja (p=0,073) dan lama kerja (p=0,145). Analisis multivariat
menunjukkan pajanan PM10 memiliki hubungan paling dominan terhadap keluhan
asma (p=0,018; OR=3,653) setelah dikontrol variabel karakteristik individu.
Kesimpulan : Pajanan PM10 merupakan faktor paling dominan terhadap keluhan asma
pada masyarakat berisiko disekitar terminal AKAP kota Palembang. Untuk
mengurangi emisi PM10 pengelola terminal sebaiknya menempelkan stiker yang berisi
himbauan mematikan mesin ketika menunggu penumpang.
Kata kunci : Pajanan PM10, Udara Ambien, Keluhan Asma, Terminal
Daftar Bacaan : 73 (1992-2015)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PROGRAME STUDY OF PUBLIC HEALTH
ENVIRONMENTAL HEALTH CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, 20 July 2017
AGUS DWI SAPUTRA, NIM : 1112101000090
The Exposure Relationship of Inhaled Dust Particles (PM10) with the Asthma
Complaints in Risk Communities Around Inter-City Inter-Provincial (AKAP)
Bus Station of Palembang City in 2016
(xxi + 116 pages, 34 tables, 3 charts, 3 pictures, 8 attachments)
ABSTRACT
Background : Asthma is a chronic airway inflammatory disease with serious impact
on morbidity and mortality. Bus station is one of locations with congested
transportation activities. Transportation activity emits PM10 which triggers asthma.
Objective : To determine the exposure relationship of inhaled dust particles (PM10)
with asthma complaints in risk communities around inter-city inter-provincial (AKAP)
bus station of Palembang city in 2016.
Methods : Quantitative research with cross sectional design. The population study
includes community at risk (driver, conductor, and fixed merchant) having activities
at the AKAP bus station area in Palembang city. As many as 75 respondents in this
research were selected using simple random sampling technique. The ambient PM10
sample was assessed using Dusttrak II Aerosol Monitor 8532 at three sampling points
in each bus station. The location of the sampling point is determined using the radius
of distance from the center point of bus station. Data on asthma complaints, PM10
exposure and individual characteristics were measured through interviews with
questionnaires, while weight and height data were measured using scales and
microtoise. Chi Square test was used to find the relationship of PM10 exposure and
individual characteristics with asthma complaints. The average difference test was
used to find correlation both time and length of work with asthma complaints. Logistic
regression tests are used to control confounding variables.
Results : A total of 54,7% of respondents have asthma complaints. There was a
significant association between asthma complaints and PM10 exposure (p=0,015);
smoking status (p=0,008); number of smoked cigarettes (p=0,017); and respiratory
disease history (p=0,022). No significant association between asthma complaints and
sex (p=0,684); education level (p=0,095); nutritional status (p=0,432); working time
(p=0,073); and length of work (p=0,145). Multivariate analysis showed PM10
exposure is the most dominant association with asthma complaint (p=0,018;
OR=3,653) after being controlled by variable of individual characteristic.
Conclusion : PM10 exposure is the most dominant factor to asthma complaints in risk
communities around AKAP bus station of Palembang city. To reduce emissions PM10,
bus station managers should stick stickers with message containing a call to shut down
the machine while waiting for passengers.
Keywords : PM10 Exposure, Ambient Air, Astma Complaint, Bus Station
Bibliography : 73 (1992-2015)
v
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Skripsi
HUBUNGAN PAJANAN PARTIKEL DEBU TERHIRUP (PM10) TERHADAP
KELUHAN ASMA PADA MASYARAKAT BERISIKO DI SEKITAR
TERMINAL ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI (AKAP)
KOTA PALEMBANG TAHUN 2016
Disusun Oleh :
AGUS DWI SAPUTRA
NIM. 1112101000090
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 20 Juli 2017
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Arif Sumantri., SKM., M.Kes
NIP. 19650808 198803 1 002
Riastuti Kusuma Wardani., SKM., MKM
NIP. 19800516 200901 2 005
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, 20 Juli 2017
Mengetahui,
Penguji I
Yuli Amran, SKM, M.KM
NIP. 198005062008012015
Penguji II
Dewi Utami Iriani, M. Kes, Ph.D
NIP. 197503162007102001
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Agus Dwi Saputra
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 06 Agustus 1994
Alamat : Perum. OPI Jl. Tembesu Blok N
No. 48 RT. 41 RW. 13 Jakabaring
Kel. 15 Ulu Kec. Seberang Ulu 1
Palembang
Hp : +6289664746819
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
No Institusi Periode Alamat
1 TK Kartika XI-12 Palembang 1999 s.d 2000 Jl. DI. Panjaitan No.5578,
Bagus Kuning, Kec. Plaju,
Kota Palembang, Sumatera
Selatan 30119
2 SD Negeri 95 Palembang 2000 s.d 2006 Jl. Jenderal A. Yani LR.
Sejahtera Kel. Silaberanti
Kec. Seberang Ulu 1
Palembang
3 SMP Negeri 07 Palembang 2006 s.d 2009 Jl. Jenderal A. Yani LR.
Manggis Kel. Silaberanti
Kec. Seberang Ulu 1
Palembang
4 Madrasah Aliyah (MA) Negeri
01 Palembang
2009 s.d 2012 Jl. Gubernur H. Ahmad
Bastari Jakabaring Kel. 15
Ulu Kec. Seberang Ulu 1
Palembang
5 Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2012 s.d 2017 Jl. Ir. Haji Juanda No. 95,
Ciputat, Cempaka Putih,
Ciputat Timur, Cemp. Putih,
Ciputat Tim., Kota
Tangerang Selatan, Banten
15412
PENGALAMAN KERJA & PENGHARGAAN
Instansi Periode Tugas
Pengalaman belajar lapangan
(PBL) Puskesmas Pondok
Pucung, Kec. Pondok Aren,
Kota Tangerang Selatan,
Banten
12 Januari s.d 03 Maret 2015 Internship
viii
Program Kerja Praktek PT.
Pupuk Kalimantan Timur
(Environmental Departement)
Bontang, Kalimantan Timur
20 Januari s.d 4 Maret 2016 Internship
Beasiswa santri jadi dokter
Sumatera Selatan (SJD-SS)
dinas pendidikan Provinsi
Sumatera Selatan.
2012 s.d 2017 Full Undergraduated
Scholarship Program
RIWAYAT ORGANISASI & KEPANITIAAN
Kegiatan Tahun Tugas
Seminar Nasional Kesehatan
Masyarakat “Upaya Menghadapi
Tantangan Kesehatan Masyarakat
Indonesia Post MDG’s: Healthy
People – Healthy Environment”
2015 Panitia
Studium Generale “Peningkatan
Kopetensi Sarjana Kesehatan
Masyarakat” Program Studi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2016 Panitia
Seminar Profesi Kesehatan
Lingkungan “Combat The
Neglected Tropical Disease
Towards a Filariasis-Free
Country by 2020”
19 November 2015 Ketua Tim Peneliti
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa mengajarkan umatnya untuk
terus memperoleh ilmu pengetahuan yang kelak bermanfaat bagi sesamanya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak, sehingga dapat terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Untuk itu
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Gubernur Sumatera Selatan Bapak Ir. Alex Noerdin, yang telah memberikan
beasiswa santri jadi dokter, sehingga saya bisa melanjutkan pendidikan ke Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
2. Bapak Kemas Ahmad Sukri, Apt, MPH, selaku kepala UPTB Laboratorium
Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Sumatera Selatan.
3. Bapak Drs. Widodo, M.Pd, Selaku Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera
Selatan.
4. Bapak Junaidi, Bapak Jatmiko serta seluru jajaran Dinas Pendidikan Provinsi
Sumatera Selatan.
5. Prof. Dr. Arif Sumantri., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran & Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing I yang
telah membantu saya dalam pemilihan judul dan nasihat serta arahan yang selalu
saya ingat.
6. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM., M.Kes., PhD, selaku Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D, Selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan selaku penguji II yang telah memberikan banyak masukan dalam
penulisan skripsi ini.
x
8. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes, Selaku kepala Peminatan Kesehatan
Lingkungan dan Selaku Dosen Mata Kuliah Analisis Risiko Kesehatan
Lingkungan (ARKL).
9. Ibu Riastuti Kusuma Wardani., SKM., MKM selaku pembimbing II yang banyak
membantu dalam membimbing penelitian saya. Tidak pernah melepaskan saya dan
selalu memberikan semangat kepada saya.
10. Ibu Yuli Amran., SKM., MKM selaku penguji I yang telah memberikan banyak
masukan dalam penulisan skripsi ini.
11. Orang tua yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
12. Teman-teman Program Studi Keseatan Masyarakat angkatan 2012 yang saling
memberikan do’a dan semangat dalam penyusunan skripsi ini.
13. Teman-teman ENVIHSA 4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa
memberikan dukungan dan semagat dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan.
Maka dari itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna
menyempurnakan proposal skripsi ini. Semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat.
Jakarta, 20 Juli 2017
Agus Dwi Saputra
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................................. iii
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................................. xi
DATAR TABEL ....................................................................................................... xv
DAFTAR BAGAN ................................................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xix
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. xx
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xxi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 6
1.4.2 Tujuan Khusus ....................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 7
1.5.1 Bagi Peneliti Selanjutnya ....................................................................... 7
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ........................................... 7
1.5.3 Bagi Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Selatan............................. 7
1.5.4 Bagi Masyarakat di Sekitar Terminal .................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup .............................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 10
2.1 Penyakit Asma ............................................................................................. 10
2.1.1 Pengertian ............................................................................................. 10
2.1.2 Gejala dan Tanda.................................................................................. 11
2.1.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 11
2.1.4 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 12
2.1.5 Klasifikasi ............................................................................................ 13
xii
2.2 Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan ................................................ 15
2.3 Udara ........................................................................................................... 16
2.3.1 Pengertian ............................................................................................. 16
2.3.2 Komposisi ............................................................................................ 17
2.3.3 Jenis-jenis Udara .................................................................................. 17
2.3.4 Pencemaran Udara ............................................................................... 18
2.4 Partikel Debu Terhirup ................................................................................ 18
2.4.1 Pengertian ............................................................................................. 18
2.4.2 Karakteristik ......................................................................................... 19
2.4.3 Sumber ................................................................................................. 22
2.4.4 Baku Mutu Ambien .............................................................................. 23
2.5 Faktor Risiko Asma ..................................................................................... 25
2.5.1 Intake Partikel Debu Terhirup (PM10).................................................. 25
2.5.2 Pajanan Partikel Debu Terhirup (PM10) ............................................... 27
2.5.3 Karakteristik Individu .......................................................................... 32
2.5.4 Waktu Kerja ......................................................................................... 36
2.5.5 Lama Kerja ........................................................................................... 37
2.5.6 Riwayat Penyakit Pernafasan ............................................................... 37
2.5.7 Kebiasaan Merokok ............................................................................. 38
2.6 Kerangka Teori ............................................................................................ 39
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPRASIONAL .................... 41
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................ 41
3.2 Definisi Operasional .................................................................................... 43
3.3 Hipotesis ...................................................................................................... 46
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 47
4.1 Jenis dan Desain Penelitian ......................................................................... 47
4.2 Lokasi dan Waktu ........................................................................................ 47
4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................... 48
4.3.1 Populasi ................................................................................................ 48
4.3.2 Rancangan Sampel ............................................................................... 48
4.4 Pengumpulan Data ...................................................................................... 53
4.4.1 Pengumpulan Data Konsentrasi PM10 .................................................. 53
4.4.2 Pengukuran Berat Badan ...................................................................... 55
4.4.3 Pengukuran Tinggi Badan .................................................................... 57
xiii
4.4.4 Penilaian Status Gizi ............................................................................ 59
4.4.5 Pengumpulan Data Jumlah Batang Rokok yang Dihisap .................... 60
4.4.6 Pengumpulan Data Keluhan Asma ...................................................... 60
4.4.7 Pengumpulan Data Riwayat Penyakit Pernafasan ............................... 61
4.5 Pengolahan Data .......................................................................................... 61
4.5.1 Manajemen Data .................................................................................. 61
4.5.2 Analisis Data ........................................................................................ 62
BAB V HASIL .......................................................................................................... 65
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ......................................................... 65
5.1.1 Gambaran Umum Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota
Palembang ............................................................................................ 65
5.1.2 Gambaran Bus Angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota
Palembang ............................................................................................ 66
5.2 Analisis Univariat ........................................................................................ 68
5.2.1 Keluhan Asma ...................................................................................... 68
5.2.2 Pajanan Partikel Debu Terhirup (PM10) ............................................... 69
5.2.3 Karakteristik Individu .......................................................................... 71
5.3 Analisis Bivariat .......................................................................................... 76
5.3.1 Hubungan Pajanan Partikel Debu Terhirup (Intake PM10) dan Keluhan
Asma .................................................................................................... 76
5.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dan Keluhan Asma ...................................... 77
5.3.3 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Keluhan Asma ............................. 78
5.3.4 Hubungan Status Gizi dan Keluhan Asma ........................................... 78
5.3.5 Hubungan Waktu Kerja dan Keluhan Asma ........................................ 79
5.3.6 Hubungan Lama Kerja dan Keluhan Asma ......................................... 79
5.3.7 Hubungan Status Merokok dan Keluhan Asma ................................... 80
5.3.8 Hubungan Jumlah Rokok dan Keluhan Asma ..................................... 81
5.3.9 Hubungan Riwayat Penyakit Pernafasan dan Keluhan Asma.............. 81
5.4 Karakteristik Individu yang Mempengaruhi Hubungan Pajanan Partikel
Debu Terhirup (PM10) dengan Keluhan Asma ............................................ 82
5.4.1 Pemilihan Variabel Kandidat Multivariat ............................................ 83
5.4.2 Pembuatan Model Faktor Penentu ....................................................... 84
5.4.3 Uji Variabel Perancu ............................................................................ 85
xiv
BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................ 87
6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 87
6.1.1 Keterbatasan Desain Penelitian ............................................................ 87
6.1.2 Keterbatasan Variabel Penelitian ......................................................... 87
6.1.3 Keterbatasan Pengumpulan Data ......................................................... 87
6.2 Gambaran Keluhan Asma............................................................................ 88
6.3 Hubungan Pajanan Partikel Debu (PM10) dan Keluhan Asma .................... 90
6.4 Hubungan Jenis Kelamin dan Keluhan Asma ............................................. 92
6.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Keluhan Asma .................................... 94
6.6 Hubungan Status Gizi dan Keluhan Asma .................................................. 96
6.7 Hubungan Waktu Kerja dan Keluhan Asma ............................................... 97
6.8 Hubungan Lama Kerja dan Keluhan Asma ................................................. 99
6.9 Hubungan Status Merokok dan Keluhan Asma ........................................ 101
6.10 Hubungan Jumlah Batang Rokok yang Dihisap dan Keluhan Asma ....... 102
6.11 Hubungan Riwayat Penyakit Pernafasan dan Keluhan Asma ................... 103
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 105
7.1 Simpulan .................................................................................................... 105
7.2 Saran .......................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 108
LAMPIRAN ............................................................................................................ 116
xv
DATAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran
Klinis Secara Umum Pada Orang Dewasa 14
Tabel 2.2 Baku Mutu Udara Ambien Nasional PP No 41Tahun
1999 23
Tabel 2.3 Standar Baku Mutu Udara Ambien Menurut WHO 24
Tabel 2.4 Standar Udara Ambien Menurut US-EPA 24
Tabel 2.5 Keterangan Perhitungan Intake Non Karsinogenik Pada
Jalur Inhalasi 26
Tabel 2.6 Keterangan Rumus Perhitungan Dosis Referensi Pada
Jalur Pajanan Inhalasi 30
Tabel 2.7 Keterangan Rumus Perhitungan Tingkat Risiko
Kesehatan 31
Tabel 4.1 Keterangan Rumus Perhitungan Besar Sampel 49
Tabel 5.1 Data Kendaraan Bus Antar Kota Antar Provinsi Kota
(AKAP) Terminal Kota Palembang Tahun 2015 67
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Asma di
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota
Palembang Tahun 2016
68
Tabel 5.3 Konsentrasi Partikel Debu Terhirup (PM10) Ambien
Pada 6 Titik Pengukuran di Terminal Antar Kota Antar
Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016
69
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Intake Partikel
Debu Terhirup (PM10) di Terminal Antar Kota Antar
Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016.
70
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota
Palembang Tahun 2016
71
xvi
Nomor Tabel Halaman
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota
Palembang Taun 2016
72
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi di
Terminal Antar Kota Antar Provinsi Kota Palembang
Tahun 2016
73
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu dan Lama
Kerja di Terminal Antar Kota Antar Provinsi Kota
Palembang Tahun 2016.
73
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Status Merokok di
Terminal Antar Kota Antar Provinsi Kota Palembang
Tahun 2016
74
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Batang
Rokok Yang Dihisap di Terminal Antar Kota Antar
Provinsi (AKAP ) Kota Palembang Taun 2016
75
Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit
Napas di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP)
Tahun 2016
75
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Pajanan Partikel
Debu (Intake PM10) dan Keluhan Asma 76
Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Keluhan Asma 77
Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
dan Keluhan Asma 78
Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi dan
Keluhan Asma 78
Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Kerja dan
Keluhan Asma 79
Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Kerja dan
Keluhan Asma 79
xvii
Nomor Tabel Halaman
Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Status Merokok dan
Keluhan Asma 80
Tabel 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Rokok yang
dihisap dan Keluhan Asma 81
Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit
Pernafasan dan Keluhan Asma 81
Tabel 5.21 Kandidat Variabel Independen yang Masuk Ke dalam
Model Multivariat 83
Tabel 5.22 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda
Antara Variabel Usia, Tingkat Pendidikan, Waktu
Kerja, Lama Kerja, Status Merokok, Jumlah Batang
Rokok yang Dihisap, Riwayat Penyakit Pernafasan,
Pajanan Partikel Debu Terhirup (Intake PM10) dengan
Keluhan Asma.
84
Tabel 5.23 Hasil Analisis Multivariat antara Status Merokok dan
Pajanan Partikel Debu Terhirup (Intake PM10) 85
Tabel 5.24 Hasil Uji Variabel Perancu dengan Mengeluarkan
Variabel Status Merokok 85
Tabel 5.25 Hasil Analisis Multivariat Akhir Hubungan Pajanan
Partikel Debu Terhirup (Intake PM10) dengan Keluhan
Asma
86
xviii
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Halaman
Bagan 2.1 Teori Simpul 16
Bagan 2.2 Kerangka Teori 40
Bagan 3.1 Kerangka Konsep 42
xix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
Gambar 4.1 Kurva Aproksimasi 51
Gambar 4.2 Peta Koordinat Titik Sampel PM10 Ambien 52
Gambar 4.3 DUSTTRAK II Aerosol Monitor 8532 53
xx
DAFTAR ISTILAH
AKAP : Angkutan Darat Antar Kota
AKDP : Angkutan Darat Antar Provinsi
ATSDR : Agency for Toxic Substances and Disease Registry
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
EPA : Environmental Protection Agency
IMT : Indeks Masa Tubuh
IPCS : International Programme on Chemical Safety
IRIS : Integrated Risk Information System
ISAAC : International Study of Asthma and Allergies in Childhood
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
NAAQS : National Ambient Air Quality Standars
PAH : Polysiclic Aromatic Hydrocarbon
PPOM : Penyakit Paru Obstruktif Menahun
PUDR : Polusi Udara Dalam Ruangan
PURL : Polusi Udara Luar Ruangan
UPTD : Unit Pelaksana Teknis Daerah
TBC : Tuberculosis
TSP : Total Suspended Particulate
WHO : World Health Organization
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Surat Izin Peminjaman Alat Laboratorium UPTB.
Laboratorium Lingkungan Provinsi Sumatera Selatan
Lampiran II : Hasil Uji Nilai Udara Ambien Terminal AKAP Kota
Palembang
Lampiran III : Instrumen Penelitian
Lampiran IV : Kerangka Sampel Penelitian
Lampiran V : Peritungan Intake Partikel Debu Terhirup (PM10)
Lampiran VI : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Lampiran VII : Output Analisis Data Penelitian
Lampiran VIII : Foto Kegiatan Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi jalan napas kronik yang
berdampak serius terhadap morbiditas dan mortalitas di dunia. Setiap tahun
diperkirakan 300 juta orang di dunia terkena asma dan 8,5% dari penderita
tersebut meninggal akibat asma. Prevalensi asma di berbagai negara dunia
berkisar 1-18% (WHO, 2005a). Pada skala regional Asia Tenggara asma masih
menjadi masalah kesehatan. Tahun 2008 prevalensi asma di Asia tenggara
berkisar 1-6,5% (Masoli, et al., 2008).
Asma termasuk delapan masalah kesehatan paru terbesar di Indonesia.
Prevalensi asma di Indonesia terus mengalami peningkatan dari 4,2% pada
tahun 1995 menjadi 5,4 pada tahun 2003 (ISAAC, 2011). Sedangkan, menurut
laporan Riskesdas (2007), Prevalensi asma di Indonesia mencapai 3,5%.
Provinsi Sumatera Selatan memiliki prevalensi asma yang cukup tinggi. Pada
tahun 2014 prevalensi asma di Sumatera Selatan mencapai 6,67 per 10.000
penduduk (Dinkes Prov. Sumsel, 2014). Kota Palembang merupakan salah satu
kota di Sumatera Selatan yang memiliki prevalensi asma tinggi, yaitu 5,5 per
100.000 penduduk (Dinkes Kota Palembang, 2015).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 orang (sopir,
kondektur & pedagang) yang ada di sekitar Terminal Karya Jaya & Terminal
Alang-Alang Lebar didapatkan bahwa 50% responden merupakan perokok dan
40% memiliki riwayat penyakit pernafasan serta mengeluhkan gejala seperti,
batuk, sesak napas disertai bunyi (mengi) dan rasa nyeri di dada. Responden
2
rata-rata telah bekerja diterminal selama 7 tahun. Lama waktu rata-rata
responden berada di terminal adalah 10 jam/hari dengan lama durasi kerja rata-
rata 7 hari/minggu.
Pencemaran udara yang terakumulasi di dalam tubuh manusia menjadi
risiko penyebab asma. Zat-zat yang berperan dalam pencemaran udara
diantaranya SO2, NO2, Pb, CO2 dan PM10. Menurut Nukman, et al. (2005),
partikel debu terhirup (PM10) memiliki tingkat risiko kesehatan lebih besar
dibandingkan zat polutan lainnya. Partikel debu terhirup (PM10) adalah istilah
umum yang digunakan untuk menjelaskan campuran kompleks partikel aerosol
yang melayang di udara dengan diameter ≤ 10 mikron (U.S. EPA, 2010 and
Harrison, 1999). Dari hasil beberapa penelitian diketahui bahwa partikel debu
(PM10) dapat mengakibatkan inflamasi pada saluran napas dan dapat memicu
terjadinya asma (Darmono, 2010; ATSDR, 2011 and U.S. EPA, 2010).
Aktivitas transportasi merupakan salah satu sumber utama pencemaran
partikel debu terhirup (PM10). Pemakaian BBM dan BBG oleh kendaraan
bermotor mengemisikan debu dengan ukuran beragam. Di Indonesia saat ini
rata-rata konsumsi solar 7,2 juta kl sedangkan premium mencapai 12 juta kl
per tahun. Tingginya konsumsi solar & premium disebabkan oleh
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor. Pada tahun 2012 jumlah kendaraan
di Indonesia mencapai 94.373.324 dan pada tahun 2013 meningkat menjadi
104.118.969 (BPS, 2014). Sedangkan jumlah kendaraan di kota Palembang
tahun 2013 mencapai 2.525.915 kemudian pada tahun 2014 mengalami
peningkatan menjadi 2.525.915 (Ditlantas Polda Sumsel, 2013). Terus
meningkatnya jumlah kendaraan di Indonesia menyebabkan udara kota-kota
3
besar semakin tercemar. Udara kota Palembang misalnya, mengandung
partikel debu terhirup (PM10) pada kisaran 230 µg/m3/24 jam, angka ini sudah
berada di atas baku mutu udara ambien yang dipersyaratkan 150 µg/m3/24 jam.
Konsentrasi tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia.
Berdasarkan hasil penelitian Purwana (1999), partikel debu terhirup (PM10)
pada konsentrasi 70 µg/m3 secara biologis sudah dapat menimbulkan
gangguan pernafasan pada manusia.
Terminal sebagai tempat berkumpul kendaraan sangat berpotensi
menjadi sumber pencemaran partikel debu terhirup (PM10). Terminal Alang-
Alang Lebar & Terminal Karya Jaya merupakan terminal angkutan penumpang
tipe A di kota Palembang yang melayani angkutan bus kota, angkutan darat
dalam provinsi (AKDP), angkutan darat antar provinsi (AKAP) dan angkutan
kota (Latif & Suhirkam, 2013). Dari hasil pengamatan setiap harinya terdapat
130 kendaraan yang masuk ke terminal Karya Jaya dengan rata-rata frekuensi
kedatangan 26 kendaraan/jam. Sedangkan untuk terminal Alang-Alang Lebar
setiap harinya terdapat 150 kendaraan yang masuk ke terminal dengan rata-rata
frekuensi kedatangan 31 kendaraan/jam. Banyaknya jumlah kendaraan yang
masuk & tingginya frekuensi kedatangan kendaraan di terminal Karya Jaya dan
terminal Alang-Alang Lebar membuat populasi yang berada di sekitar terminal
(sopir, kondektur dan pedagang kaki lima) berisiko untuk terpajan partikel
debu terhirup (PM10) dan terkena penyakit asma. Berdasarkan penelitian
Marpaung (2012) dan Nukman, et al. (2005) mengatakan bahwa responden
yang menghabiskan sebagian besar aktivitasnya di luar ruangan (pedagang,
kondektur dan pedagang) memiliki risiko terkena penyakit pernafasan seperti
4
asma, gangguan fungsi paru dan Infeksi saluran pernafasan (ISPA) lebih besar
dibandingkan dengan responden yang sebagian besar aktivitasnya di dalam
ruangan (pegawai dan ibu rumah tangga).
Penelitian dengan desain cross sectional study pada kota industri
yang berada di Slovakia, menghasilkan model regresi logistik yang
menunjukkan peningkatan signifikan pengunjung rumah sakit karena keluhan
asma, yang berhubungan dengan peningkatan polusi partikel debu udara
dengan OR sebesar 2,16 (CI 1,01-4,60) (Arbecs, et al., 2001). Sedangkan
berdasarkan hasil penelitian Marpaung (2012), didapatkan hasil bahwa intake
partikel debu terhirup mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kejadian
asma pada pedagang tetap di terminal terpadu kota Depok (pvalue = 0,007; OR
6,5 (CI 1,65-25,48). Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukkan bahwa
faktor karakteristik individu (jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status gizi)
berhubungan dengan penyakit asma. Sedangkan pada penelitian Carpenito
(2009), mendapatkan hasil bahwa riwayat penyakit pernafasan dan kebiasaan
merokok berhubungan dengan kejadian asma.
Berdasarkan pernyataan di atas maka peneliti tertarik untuk melihat
hubungan pajanan partikel debu terhirup (PM10) terhadap keluhan asma pada
masyarakat berisiko di sekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota
Palembang tahun 2016.
1.2 Rumusan Masalah
Udara ambien di terminal AKAP kota Palembang tidak aman bagi
kesehatan pekerja karena mengandung 230 µg/m3 PM10. Responden yang
bekerja selama 10 jam/hari dengan lama durasi kerja 7 hari/minggu menerima
5
asupan partikel debu terhirup (PM10) sebesar 0,0344 mg/kg/hari. Angka ini
jauh diatas nilai dosis referensi (RfC) PM10 sebesar 0,03 mg/kg/hari. Artinya
responden yang beraktivitas di sekitar terminal berisiko mengalami penyakit
gangguan pernafasan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Risk Quotient (RQ)
sebesar 1,147 (Rahman, 2007).
Hasil perhitungan ini diperkuat oleh keluhan masyarakat di sekitar
terminal AKAP kota Palembang. Masyarakat di sekitar terminal AKAP kota
Palembang mengeluhkan gejala yang mirip dengan asma seperti batuk, sesak
napas yang disertai bunyi (mengi) dan rasa nyeri di dada. Maka dari itu,
penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana hubungan
pajanan partikel debu terhirup (PM10) terhadap keluhan asma pada masyarakat
berisiko di sekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang
tahun 2016.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keluhan asma pada masyarakat berisiko di sekitar
terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016.
2. Bagaimana gambaran pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10) dan
karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan, waktu
kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang rokok yang di hisap, dan
riwayat penyakit pernafasan) pada masyarakat berisiko di sekitar terminal
antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016.
3. Bagaimana hubungan antara pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10)
dan karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan,
waktu kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang rokok yang di hisap,
6
dan riwayat penyakit pernafasan) terhadap keluhan asma pada masyarakat
berisiko di sekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota
Palembang tahun 2016.
4. Bagaimana hubungan antara pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10)
terhadap keluhan asma pada masyarakat berisiko di sekitar terminal antar
kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016 setelah di kontrol
dengan variabel karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat
pendidikan, waktu kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang rokok
yang di hisap, dan riwayat penyakit pernafasan).
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan pajanan partikel debu terhirup (PM10) terhadap
keluhan asma pada masyarakat berisiko di sekitar terminal antar kota antar
provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran keluhan asma pada masyarakat berisiko di sekitar
terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016.
2. Diketahuinya gambaran pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10) dan
karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan, waktu
kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang rokok yang di hisap, dan
riwayat penyakit pernafasan) pada masyarakat berisiko di sekitar terminal
antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016.
3. Diketahuinya hubungan antara pajanan partikel debu terhirup (Intake
PM10) dan karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat
7
pendidikan, waktu kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang rokok
yang di hisap, dan riwayat penyakit pernafasan) terhadap keluhan asma
pada masyarakat berisiko di sekitar terminal antar kota antar provinsi
(AKAP) kota Palembang tahun 2016.
4. Diketahuinya hubungan antara pajanan partikel debu terhirup (Intake
PM10) terhadap keluhan asma pada masyarakat berisiko di sekitar terminal
antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016 setelah di
kontrol dengan variabel karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi,
tingkat pendidikan, waktu kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang
rokok yang di hisap, dan riwayat penyakit pernafasan).
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat memberikan informasi terkait faktor-faktor yang
berhubungan dengan keluhan asma, sehingga dapat menjadi dasar
pengembangan penelitian selanjutnya.
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Informasi dari penelitian ini dapat menjadi bahan tambahan ilmu guna
pengembangan kopetensi dan kemampuan mahasiswa program studi kesehatan
masyarakat.
1.5.3 Bagi Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Selatan
Penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan masukan untuk
mengembangkan program manajemen lalu lintas dan transportasi di Terminal
Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) kota Palembang.
8
1.5.4 Bagi Masyarakat di Sekitar Terminal
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
masyarakat di sekitar terminal (sopir, kondektur & pedagang) untuk
berpartisipasi aktif dan mandiri dalam usaha pencegahan asma dan risiko
pencemaran partikel debu terhirup (PM10).
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pajanan partikel
debu terhirup (PM10) terhadap keluhan asma di wilayah terminal antar kota
antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016. Penelitian ini
dilaksanakan di Terminal Karya Jaya dan Terminal Alang-Alang Lebar Kota
Palembang pada bulan September s.d Desember 2016. Sasaran penelitian ini
adalah seluruh masyarakat bersisiko yang ada di sekitar terminal. Adapun
masyarakat berisiko disekitar terminal yang dimaksud adalah sopir, kondektur
dan pedagang tetap dengan kios permanen dan semi permanen yang
beraktivitas disekitar kawasan terminal antar kota antar provinsi (AKAP) Kota
Palembang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode probability sampling dengan menggunakan teknik
simple random sampling.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desan cross
sectional study. Dalam pengukuran data primer peneliti menggunakan
timbangan badan dan microtoise untuk mengukur berat badan dan status gizi.
Dusttrak II Aerosol Monitor 8532 untuk mengukur konsentrasi partikel debu
terhirup (PM10) yang di pinjam dari UPTB Laboratorium Lingkungan Dinas
Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan data
9
gejala asma, lama kerja, masa kerja, karakter individu (usia, jenis kelamin, dan
tingkat pendidikan), riwayat penyakit pernafasan, status merokok, dan jumlah
rokok yang di hisap di ukur menggunakan kuesioner dengan metode
wawancara.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Penyakit Asma
2.1.1 Pengertian
Asma didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika terjadi gangguan pada
sistem pernafasan yang menyebabkan penderita mengalami mengi (wheezing),
sesak napas, batuk, dan sesak di dada terutama ketika malam hari atau dini hari.
Sedangkan definisi berbeda dikemukakan oleh Kowalak (2011), asma
merupakan gangguan inflamasi (peradangan) pada jalan napas yang ditandai
oleh obstruksi aliran udara dan respon jalan napas yang berlebihan terhadap
berbagai bentuk rangsangan (Depkes RI, 2009).
Asma merupakan salah satu Penyakit Paru Obstruktif Menahun
(PPOM), yaitu penyakit paru jangka panjang yang ditandai oleh peningkatan
resistensi jalan napas. Menurut Canadian Lung Association, asma dapat
muncul karena reaksi terhadap faktor pencetus yang mengakibatkan inflamasi
saluran pernafasan atau reaksi hipersensitivitas. Faktor tersebut akan
menyebabkan kambuhnya asma sehingga berakibat pada kesulitan bernafas
pada penderita (ISAAC, 2011).
Secara medis, asma sulit disembuhkan, hanya saja penyakit ini dapat
dikontrol sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengendalian asma
dilakukan dengan menghindari faktor pencetus, yaitu segala hal yang
menyebabkan timbulnya gejala asma. Faktor pencetus asma terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu genetik, diantaranya antopi/alergi bronkus, eksim; faktor
11
pencetus lingkungan, seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok, asap dapur,
pembakaran sampah, tungau, dan bulu binatang (Dharmayanti, et al., 2015).
2.1.2 Gejala dan Tanda
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak yang
disertai bunyi mengi (wheezing), batuk berulang terutama pada malam hari dan
menjelang pagi, dada terasa berat apabila terpapar udara dingin, debu, dan asap
rokok, susah tidur, mudah lelah saat melakukan aktifitas fisik ringan, denyut
nadi yang cepat dan peningkatan produksi keringat (Depkes RI, 2009).
Bunyi mengi (wheezing) sering terdengar pada saat ekspirasi. Berat
ringannya mengi (wheezing) tergantung pada cepat atau lambatnya aliran udara
yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot
pernafasan, bunyi mengi (wheezing) akan terdengar lebih lemah atau bahkan
tidak terdengar sama sekali (Dharmayanti, et al., 2015).
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi
duduk membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut.
Posisi ini dapat juga dijumpai pada penderita Penyakit Paru Obstruktif
Menahun (PPOM). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernafasan
cuping hidung yang sesuai dengan irama napas (Asmadi, 2008). Frekuensi
pernafasan terlihat meningkat, otot bantu pernafasan ikut aktif dan penderita
tampak gelisah (ISAAC, 2011).
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
Secara umum untuk mendiagnosis asma diperlukan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari
normal sampai didapatkannya kelainan. Selain itu, perlu diperhatikan tanda-
12
tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering
ditemukan adalah mengi (wheezing), tetapi pada sebagian penderita asma tidak
didapatkan mengi diluar serangan (Depkes RI, 2009). Pada serangan asma
umumnya terdengar mengi, disertai tanda-tanda lain, pada asma yang sangat
berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest). Penderita yang mengalami
serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
1. Inspeksi : penderita terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas
cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis.
2. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat
dapat terjadi pulsus paradoksus)
3. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata.
4. Auskultasi : ekspirasi memanjang dan mengi (wheezing)
2.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Untuk beberapa kasus, diagnosa asma dengan wawancara dan
pemeriksaan fisik saja masih belum cukup. Hal ini disebabkan karena banyak
keadaan atau penyakit yang menyerupai asma. Disamping itu gejala asma juga
bervariasi (Maranatha, 2011). Diperlukan pemeriksaan penunjang dalam
memastikan diagnosis. Berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang untuk
penyakit asma :
1. Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri bertujuan untuk menunjukkan adanya
penyempitan jalur napas. Pemeriksaan spirometri tidak saja berguna untuk
diagnosis asma, tetapi juga bermanfaat untuk menilai beratnya
penyempitan saluran napas dan menilai hasil pengobatan. Pada asma
13
kronik pemeriksaan spirometri juga dilakukan berulang-ulang untuk
mencari kombinasi obat yang dapat memberikan hasil pengobatan terbaik
(Sundaru, 2007).
2. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rontgen adalah bertujuan untuk melihat adanya penyakit
paru lain seperti tuberkulosis atau komplikasi asma seperti infeksi paru atau
pecahnya alveoli (pneumothoraks). Pemeriksaan rontgen ini cupup
dilakukan sekali dan baru diulang bila terdapat kecurigaan adanya penyakit
lain atau komplikasi dari asma (Rengganis, 2008).
3. Pemeriksaan tes kulit
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan alergen sebagai pencetus
serangan asma. Uji tusuk kulit (skin prick test) dapat menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut dapat membantu anamnesis
dan mencari faktor pencetus asma (Sundaru, 2007).
4. Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya
kelebihan aktivitas (hiperaktivitas) bronkus. Sebenarnya uji provokasi
bronkus kurang memberikan informasi klinis. Hal ini disebabkan karena
pada pasien yang sensitif dapat menimbulkan obstruksi saluran napas.
Selain itu juga pada dosis yang tinggi juga dapat menimbulkan respon
alergi tanpa asma (Rengganis, 2008).
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi asma dapat dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu etiologi,
derajat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma
14
berdasarkan derajat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan
penatalaksanaan jangka panjang, semaking berat penyakit asma maka semakin
tinggi tingkat pengobatan yang perlu dilakukan. Berdasarkan derajat penyakit
asma dibagi menjadi empat yaitu :
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Secara
Umum Pada Orang Dewasa
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Bulanan APE ≥ 80%
- Gejala< 1x/minggu
- Tanpa gejala diluar
serangan
- Serangan singkat
≤ 2 kali sebulan
Persisten Ringan Mingguan APE > 80%
- Gejala >1x/minggu
tetapi <1x/hari
- Serangan dapat
mengganggu aktivitas
dan tidur
> 2 kali sebulan
Persisten Sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari
- Serangan dapat
mengganggu aktivitas
dan tidur
- Membutuhkan
bronkodilator setiap
hari
> 2 kali sebulan
Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
- Gejala terus menerus
- Sering kambuh
- Aktivitas fisik terbatas
Sering
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan
di Indonesia, 2004
15
2.2 Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan
Patogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarkan dalam suatu
model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan hubungan interaksi antara
komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia.
Hubungan interaktif tersebut digambarkan oleh Achmadi (2008) melalui teori simpul.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui pemahaman yang baik tentang
patoginesis penyakit berbasis lingkungan. Tanpa memahami patogenesis
penyakit atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan, sulit melakukan
pencegahan.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian penyakit merupakan
hasil dari hubungan interaktif antara manusis dan perilakunya serta komponen
lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku masyarakat yang
merupakan salah satu cerminan budaya merupakan bentuk variabel
kependudukan, yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan dan lain sebagainya.
Kajian penyakit pada hakikatnya dipengaruhi oleh variabel kependudukan dan
variabel lingkungan. Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan
kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul oleh Achmadi (2008)
berikut :
16
Bagan 2.1 Teori Simpul (2008)
Pada Bagan 2.1 patogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat
diuraikan ke dalam 5 simpul, yaitu simpul 1 sebagai sumber penyakit; simpul
2 sebagai komponen lingkungan sebagai media transmisi penyakit; simpul 3
adalah variabel kependudukan; sedangkan simpul 4 adalah penyakit berbasis
lingkungan dan simpul 5 adalah variabel lain yang memiliki pengaruh terhadap
masing-masing simpul.
2.3 Udara
2.3.1 Pengertian
Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang
mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan.
Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan. Namun, kualitas
udara yang baik sangat diperlukan oleh manusia, karena dapat mempengaruhi
kesehatan manusia itu sendiri. Menurunnya kualitas udara akibat terjadinya
pencemaran di suatu wilayah seringkali baru dirasakan setelah dampaknya
17
menyebabkan gangguan kesehatan pada makhluk hidup, termasuk manusia
(Fardiaz, 1992).
2.3.2 Komposisi
Udara terdiri dari campuran beberapa macam gas yang
perbandingannya tidak tetap, namun tergantung pada keadaan suhu udara,
tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Komposisi normal udara terbagi atas
gas nitrogen 78,08%, oksigen 20,9%, karbon dioksida 0,03%, dan selebihnya
terdiri dari gas argon, neon, kripton, xenon, dan helium (Sumantri, 2010).
Menurut Irianto (2014) komposisi udara bersih dan kering pada
umumnya tersusun atas nitrogen (780,900 ppm), oksigen (209,400 ppm), argon
(9,300 ppm), karbon dioksida (318 ppm), karbon monoksida (0,1 ppm), helium
(5,2 ppm), kripton (1 ppm), xenon (0,008 ppm), nitrogen oksida (0,0001 ppm),
hidrogen (0,5 ppm), metana (1,5 ppm), ozon (0,02 ppm), neon (18 ppm), sulfur
dioksida (0,0002 ppm), dan amonia (0,01 ppm).
2.3.3 Jenis-jenis Udara
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999 tentang
pengendalian pencemaran udara, udara terbagi menjadi udara ambien dan
udara emisi. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfer yang berada yang berada di dalam wilayah yuridiksi Republik
Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk
hidup dan lingkungan hidup lainnya. Sedangkan udara emisi adalah zat, energi
dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk
dan/atau dimasukkan ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak
mempunyai sebagai potensi sebagai udara pencemar.
18
2.3.4 Pencemaran Udara
Berdasarkan keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup RI. No. KEP-03/MENKLH/II/1991, pencemaran udara
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau
komponen lain ke udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga
kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Polusi udara terdiri atas polusi udara dalam ruangan (PUDR), polusi
udara luar ruangan (PURL) dan polusi udara akibat dari lingkungan kerja.
Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, misalnya di dalam rumah,
sekolah, kantor atau yang sering disebut pencemaran dalam ruangan. Selain
itu, gejala secara kumulatif juga terjadi di luar ruangan mulai dari tingkat
lingkungan rumah, perkotaan, hingga tingkat regional, bahkan saat ini sudah
menjadi gejala global (Hidayat, et al., 2012).
2.4 Partikel Debu Terhirup
2.4.1 Pengertian
Faktor lingkungan merupakan salah satu pencetus asma. Faktor
pencetus lingkungan seperti asap kendaraan bermotor dapat mengemisikan
beberapa zat pencemar udara seperti SO2, NO2, Pb, CO2 dan PM10.
Berdasarkan hasil penelitian Nukman, et al (2005), diketahui bahwa partikel
debu terhirup (PM10) memiliki tingkat risiko kesehatan lebih besar
dibandingkan zat polutan lainnya. Partikel debu terhirup (PM10) adalah istilah
umum yang digunakan untuk menjelaskan campuran kompleks partikel aerosol
yang melayang di udara.
19
Polusi partikel debu terhirup terdiri dari sejumlah komponen penyusun,
yaitu asam (seperti nitrat dan sulfat), bahan kimia organik, logam, dan partikel
tanah atau debu. Berdasarkan ukurannya partikel debu terhirup terbagi menjadi
beberapa katagori, yaitu total suspended particulate matter (TSP), PM10, dan
PM2,5. Total suspended particulate matter (TSP) adalah partikel dengan ukuran
diameter 0,1 hingga 30 mikrometer. TSP mencakup partikel halus (fine
particle), partikel kasar (coarse particle), dan partikel sangat kasar
(supercoarse particle). PM10 merupakan partikel dengan diameter hingga 10
mikrometer. (U.S. EPA, 2010 and Harrison, 1999).
Partikel debu terhirup (PM10) ini juga sering disebut sebagai inhalable
particles, respirable particulate, respirable dust dan inhalable dust. Penamaan
ini didasarkan karena PM10 merupakan kelompok partikel debu terhirup yang
dapat diinhalasi dan respirable spesifik sebagai salah satu prediktor kesehatan
(Koren, 2003). Sedangkan PM2,5 adalah partikel debu terhirup yang berukuran
sampai dengan 2,5 mikrometer. Komponen kimia dari PM2,5 juga berbeda
dengan partikel kasar (coarse dan supercoarse particle). Komposisi utama dari
PM2,5 adalah sulfat, nitrat, komponen organik, dan komponen amonium
(WHO, 2005a).
2.4.2 Karakteristik
Partikel debu terhirup (PM10) merupakan partikel aerosol yang terdiri
dari ion organik, senyawa organik, senyawa logam, elemen karbon dan
senyawa lain. Partikel debu terhirup merupakan komponen normal di udara,
namun karena jumlah dan paparannya yang berlebihan, partikel debu terhirup
berubah menjadi zat pencemar di udara. Tidak jarang pencemaran udara yang
20
diakibatkannya berdampak buruk bagi kesehatan (U.S. EPA, 2010). Untuk
mencegah dampak buruk pencemaran tersebut, diperlukan pemahaman tentang
karakteristik dari partikel debu terhirup itu sendiri. Berikut adalah beberapa
karakteristik partikel debu terhirup yang terkait langsung dengan kesehatan.
1. Karakter Fisika
Menurut Wark & Warner (1981) dalam Gertrudis (2010), sifat
pengendapan dan sifat optis terhadap cahaya sangat menentukan
karakteristik fisik partikel debu terhirup. Sifat pengendapan partikel debu
terhirup memiliki peran penting dalam proses self clearing untuk
menghilangkan partikel pencemar dari atmosfir. Sedangkan sifat optis
partikel debu terhirup terhadap cahaya dapat mengakibatkan reduksi
visibilitas. Partikel yang memiliki rentang gelombang cahaya tampak
(0,38-0,76 µm) merupakan yang efektif dalam mereduksi visibilitas.
2. Karakter Kimia
Perbedaan komposisi kimia ditunjukkan secara nyata pada perbedaan
ukuran partikel debu terhirup di udara (Finlayson, et al., 1986). Komposisi
kimia partikel debu terhirup terbagi menjadi :
a. Partikulat Organik
Polysiclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) merupakan contoh
partikel debu terhirup yang mengandung senyawa organik. Polysiclic
Aromatic Hydrocarbon (PAH) termasuk ke dalam partikel halus dan
umumnya berasal dari pembuangan sisa pembakaran kendaraan
bermotor. Senyawa organik ini dapat masuk kesaluran pernafasan
21
sehingga dapat menyebabkan karsinogenik dan mutagenik pada
manusia.
b. Partikulat Anorganik
Senyawa anorganik bisa terdapat pada partikel halus dan
partikel kasar. Komposisi kimia partikel debu terhirup pada suatu
tempat tidak selalu sama. Perubahan-perubahan dinamika udara juga
dapat mempengaruhinya. Ketika diukur pada waktu yang berbeda
hasilnya tidak selalu sama (Darmono, 2010).
3. Karakter Biologi
Partikel debu terhirup di atmosfir dapat mengandung virus, bakteri,
jamur, alga, protozoa dan serbuk sari. Mikroorganisme tidak dapat
bertahan lama di atmosfir karena kurangnya nutrien dan adanya pengaruh
radiasi ultraviolet cahaya matahari. Namun benerapa organisme dapat
membentuk spora sehingga dapat menyesuaikan diri dalam dispersi udara
dan dapat ditemukan pada ketinggian di atas 2000 meter. Menurut Soemirat
(2000) dalam Gertrudis (2010), kecepatan angin dan kelembaban udara
mempengaruhi lamanya mikroba berada di udara. Sedangkan aktifitas
lingkungan setempat sangat mempengaruhi banyaknya jumlah mikroba di
udara, seperti tanah yang subur akan didapat lebih banyak mikroba
dibandingkan dengan tanah yang tertutup tanaman. Dapat disimpulkan
penularan mikroorganisme melalui udara bebas cukup sulit, kecuali
penyakit yang disebabkan oleh mikroba berspora dan virus.
22
2.4.3 Sumber
Partikel debu dapat bersumber dari antropogenik maupun alami dan
juga dapat ditemukan dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (outdoor).
Partikel debu terhirup (PM10) biasanya bersumber dari aerosol skunder yang
terbentuk dari konversi gas terhadap partikel. Partikel debu terhirup (PM10)
juga dapat berasal dari hasil pembakaran, rekodensasi material organik, dan
uap logam (WHO, 2003).
Partikel debu berdasarkan asal pembentukannya dapat dibagi menjadi
sumber alami dan sumber antropogenik. Sumber alami dapat berasal dari
aktivitas vulkanis, partikel hasil pembakaran di alam, debu dari tanah, pasir
pantai, dan partikel-partikel biologi dari tumbuhan seperti serbuk sari, spora
dan lain-lain. Sumber antropogenik banyak berasal dari aktivitas manusia
seperti emisi cerobong dari proses industri, pertambangan, kegiatan pertanian,
dan manufaktur lainnya (World Bank Group, 1998).
Selain itu sumber partikel debu juga dapat dibedakan berdasarkan
pergerakannya, yaitu sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, sumber emisi bergerak adalah sumber emisi
yang dapat bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari
kendaraan bermotor. Sedangkan sumber tidak bergerak adalah sumber emisi
yang tetap pada suatu tempat. Sumber tidak bergerak biasanya banyak terdapat
pada industri-industri yang memiliki cerobong emisi.
Partikel debu terhirup (PM10) yang biasanya terbentuk dari proses-
proses mekanik seperti penghancuran, penggilingan, pembakaran, dan
23
suspensi debu. Proses mekanik seperti ini banyak dilakukan oleh kegiatan-
kegiatan industri pertambangan, pabrik semen, pertanian, konstruksi, dan
aktifitas trasportasi. Selain itu juga dapat berasal dari kegiatan pertanian, lahan
yang tidak tertutup, dan evaporasi air laut yang terbawa oleh angin. Namun
sumber terbesar PM10 lebih banyak berasal aktivitas trasportasi, pembangkit
listrik bahan bakar minyak bumi, proses metalugi, dan pabrik semen (World
Bank Group, 1998).
2.4.4 Baku Mutu Ambien
Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi,
atau komponen unsur pencemar yang masih ditenggang keberadaannya di
udara bebas. Baku mutu udara ambien lingkungan diatur oleh Peraturan
Pemerintah No 41 tahun 1999 tentang pemantauan kualitas udara :
Tabel 2.2 Baku Mutu Udara Ambien Nasional PP No 41Tahun 1999
No Parameter Waktu
Pengukuran
Baku Mutu
(µg/m3)
Metode
Analisa
Pralatan
1 PM10 24 jam 150 Gravimetric Hi-Vol
2 PM2,5 24 jam 65 Gravimetric Hi-Vol
1 tahun 15
3 TSP 24 jam 230 Gravimetric Hi-Vol
1 tahun 90
Sumber : PP No 41 Tahun 1999
Selain ini WHO dan lembaga pengendalian lingkungan Amerika
Serikat (US Environmental Protection Agency) tidak lagi menggunakan Total
suspended particulate matter (TSP) sebagai indikator pencemaran udara.
World Health Organization dan US Environmental Protection Agency saat ini
24
menggunakan PM10 dan PM2,5 sebagai indikator. WHO (2005b) menetapkan
standar baku mutu udara ambien untuk partikel debu yaitu :
Tabel 2.3 Standar Baku Mutu Udara Ambien Menurut WHO
No Parameter Waktu Pengukuran Baku Mutu (µg/m3)
1 PM10 24 jam 50
1 tahun 20
2 PM2,5
24 jam 25
1 tahun 10
Sumber :
Berbeda dengan standar US Environmental Protection Agency (US-
EPA) menetapkan standar pencemaran udara dalam National Ambient Air
Quality Standars (NAAQS) Tahun 1990.
Tabel 2.4 Standar Udara Ambien Menurut US-EPA
No Parameter Waktu Pengukuran Baku Mutu (µg/m3)
1 PM10 24 jam 150
2 PM2,5 24 jam 35
1 tahun 15
Sumber : National Ambient Air Quality Standars (NAAQS), 1990
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Purwana (1999), nilai
konsentrasi partikel debu terhirup (PM10) tertinggi yang paling sensitif dan
spesifik untuk menduga terjadinya gangguan pernafasan adalah 70 µg/m3.
WHO, Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen
Dioxide and Sulfur Dioxide, 2005b
25
2.5 Faktor Risiko Asma
2.5.1 Intake Partikel Debu Terhirup (PM10)
Intake partikel debu terhirup (PM10) adalah banyaknya jumlah asupan
partikel debu terhirup (PM10) yang diterima oleh responden perberat rata-rata
sampel setiap harinya. Secara teori intake berhubungan langsung dengan risiko
pajanan partikel debu terhirup (PM10). Semakin tinggi tingkat asupan partikel
debu terhirup (PM10) pada seseorang maka tingkat risiko pajanan partikel debu
terhirup juga semakin besar. Dengan tingginya risiko pajanan partikel debu
terhirup (PM10) maka peluang seseorang untuk terkena penyakit asma menjadi
semakin besar.
Hasil penelitian Marpaung (2012) mendapatkan hasil bahwa variabel
intake partikel debu terhirup berhubungan dengan kejadian asma pada
pedagang tetap di sekitar terminal terpadu kota Depok. Pedagang tetap yang
memiliki nilai intake diatas nilai dosis referensi memiliki peluang 6,5 kali lebih
tinggi untuk terkena penyakit asma dibandingkan dengan pedagang tetap yang
memiliki nilai intake di bawah nilai dosis referensi. Sedangkan berdasarkan
hasil analisis multivariat didapatkan hasil bahwa intake partikel debu terhirup
mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kejadian asma pada pedagang
tetap di terminal terpadu kota Depok (pvalue = 0,007; OR 6,5 (CI 1,65-25,48).
Pada penelitian ini nilai intake partikel debu terhirup (PM10) diukur dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
........................................................................... (1)
26
Tabel 2.5 Keterangan Perhitungan Intake Non Karsinogenik Pada Jalur Inhalasi
Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default
Intake (Ink) Jumlah konsentrasi agent
risiko yang masuk ke dalam
tubuh manusia dengan berat
badan tertentu setiap
harinya
mg/kgxhari Tidak ada nilai default
Konsentrasi (C) Konsentrasi agent risiko
pada media udara
mg/m3 Tidak ada nilai default
Laju inhalasi (R) Banyaknya volume udara
yang masuk setiap jamnya
dihitung dengan persamaan
y = 5,3 Ln (x) – 6,9
(Nukman, et al., 2005)
m3/jam - Dewasa (> 13
tahun) = 0,83
m3/ jam
- Anak-anak (6-
12 tahun) =
0,5 m3/jam
Waktu pajanan (tE) Lamanya atau jumlah jam
terjadinya pajanan setiap
harinya
Jam/hari - Pajanan pada
pemukiman =
24 jam/hari
- Pajanan pada
lingkungan
kerja = 8
jam/hari
- Pajanan pada
sekolah dasar
= 6 jam/hari
Frekuensi pajanan (fE) Lamanya atau jumlah hari
terjadinya pajanan setiap
tahunnya
Hari/tahun - Pajanan pada
pemukiman =
350 hari/tahun
- Pajanan pada
lingkungan
kerja = 250
hari/tahun
27
Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default
Durasi pajanan (Dt) Lamanya jumlah tahun
terjadinya pajanan
Tahun Risidensial (pemukiman)
/pajanan seumur hidup =
30 tahun
Berat badan (Wb) Berat badan manusis/
populasi/ kelompok
populasi
Kg - Dewasa
Indonesia =
55 kg
- Anak-anak =
15 kg
Waktu rata-rata (tavg) Priode waktu rata-rata
untuk efek non karsinogen
Hari 30 tahun x 365 hari/tahun =
10.950 hari
2.5.2 Pajanan Partikel Debu Terhirup (PM10)
Partikel debu terhirup (PM10) merupakan salah satu faktor lingkungan
pencetus asma. Pajanan partikel debu terhirup merupakan salah satu zat alergen
yang dapat menginduksi respon inflamasi pada saluran napas. Bila seseorang
menghirup partikel debu terhirup (PM10), terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE
orang tersebut meningkat. Kemudian partikel debu terhirup (PM10) berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator
yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spaseme otot polos bronkiolus, sehingga mengakibatkan inflamasi dan
penyempitan saluran napas.
Berdasarkan studi ekologi di Brazil pada tahun 2003-2004, konsentrasi
total suspended particle (TSP) yang juga mencakup PM10 berhubungan dengan
Sumber : Pedoman Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan, 2012
28
kasus asma yang tercatat di rumah sakit Araraquara, Brazil. Selain itu,
penelitian dengan desain cross sectional study pada kota industri yang berada
di Slovakia, menghasilkan model regresi logistik yang menunjukkan
peningkatan signifikan pengunjung rumah sakit karena keluhan asma, yang
berhubungan dengan peningkatan polusi udara (TSP) dengan OR sebesar 2,16
(CI 1,01-4,60) (Arbecs et al., 2001).
Suatu penelitian di Taiwan yang menggunakan database diagnosis
asma rumah sakit yang diperoleh dari database National Health Insurance dari
tahun 2001 hingga 2002 dan data konsentrasi pencemaran udara, yaitu NO2,
SO2, CO, O3 dan PM10 yang diperoleh dari Departemen Perlindungan
Lingkungan melalui 71 stasiun pemantau kualitas udara. Data ini kemudian
dianalisis dengan kolerasi Spearman’s dan menunjukkan polutan udara yang
paling kuat hubungannya dengan kejadian asma di rumah sakit adalah PM10
(Yeh et al., 2011).
Pada penelitian ini pajanan partikel debu terhirup (PM10) di ukur
dengan menggunakan analisis risiko. Analisis risiko (risk assessment) adalah
kegiatan estimasi penilaian dan pemahaman terhadap suatu risiko yang relevan
terhadap proyek, aktivitas, dan situasi yang ada, menilai sebab akibatnya,
dampak potensial (sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan, atau keselamatan)
dan karakteristik suatu risiko pada waktu tertentu. Sedangkan risiko sendiri
adalah Risiko merupakan suatu keadaan yang memberikan kemungkinan
terjadinya dampak terhadap suatu objek atau besarnya peluang suatu bahaya
menjadi kenyataan untuk terjadi (Kolluru, et al., 1996 and Rahman, 2007).
29
Menurut Depkes RI (2012) analisis risiko merupakan sebuah proses
untuk menghitung atau memprakirakan risiko pada kesehatan manusia,
termasuk juga identifikasi terhadap keberadaan faktor ketidakpastian,
penelusuran pada pajanan tertentu, memperhitungkan karakteristik yang
melekat pada agen yang menjadi perhatian dan karakteristik dari sasaran yang
spesifik. Dalam bidang kesehatan lingkungan analisis risiko ini sering
digunakan untuk mencermati potensi besarnya risiko yang dimulai dengan
mendiskripsikan masalah lingkungan yang telah dikenal dan melibatkan
penetapan risiko pada kesehatan manusia yang berkaitan dengan masalah
lingkungan yang bersangkutan.
Pajanan partikel debu terhirup (PM10) dinyatakan dengan nilai Risk
Quotient (RQ) untuk efek-efek nonkarsinogenik dan Excess Risk (ECR) untuk
efek-efek karsinogenik. RQ dihitung dengan membagi asupan (Intake) risk
agent dengan dosis referensi (RfC/RfD). Dosis referensi didefinisikan sebagai
toksisitas kuantitatif non karsinogenik yang menyatakan estimasi dosis pajanan
harian yang diperkirakan tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan
meskipun pajanan berlanjut sepanjang hayat (IPCS, 2004 and IRIS, 2013).
Dosis referensi terbagi menjadi dua, yaitu untuk pajanan ingesti dan pajanan
inhalasi. Untuk pajanan ingesti disebut dengan reference dose (RfD) dan untuk
pajanan inhalasi disebut dengan reference concentration (RfC). Dosis
referensi didapatkan dari nilai NOAEL (No Observed Adverse Effect Level)
atau LOAEL (Lowest Observed Adverse Effect Level). NOAEL adalah dosis
tertinggi suatu zat pada studi toksisitas kronik atau subkronik yang secara
statistik atau biologis tidak menunjukkan efek merugikan pada hewan uji atau
30
manusia sedangkan LOAEL merupakan dosis terendah yang masih
menimbulkan efek. Secara numerik NOAEL selalu lebih rendah dari pada
LOAEL. Adapun rumus perhitungan matematisnya adalah sebagai berikut :
Tabel 2.6 Keterangan Rumus Perhitungan Dosis Referensi Pada Jalur
Pajanan Inhalasi
Notasi Arti Notasi Satuan
Dosis referensi
(RfD/RfC)
Dosis risk agent yang terhirup per
kilogram (Kg) berat badan per hari
mg/kgxhari
Uncertainty
Factor (UF)
Faktor ketidakpastian dengan UF1 = 10
untuk variasi sensitivitas dalam
populasi manusia, UF2 = 10 untuk
ekstrapolasi dari hewan ke manusia,
UF3 = 10 bila menggunakan NOAEL
yang diturunkan dari uji subkronik,
UF4 = 10 bila menggunakan LOAEL.
Tidak ada satuan
Modifying
Factor (MF)
Faktor modifikasi yang bernilai 1-10
untuk mengakomodasi kekurangan
atau kelemahan studi
Tidak ada satuan
Sumber : Pedoman Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan, 2012
Selain nilai dosis referensi yang dikeluarkan oleh EPA dalam
Integrated Risk Information System (IRIS), Agent for Toxic Substances and
Disease Registry (ATSDR) menggunakan pendekatan No Observed Adverse
Effect Levels / Uncertainty Factor (NOAEL/UF) untuk memperoleh Minimum
Risk Levels (MRLs) dari sebuah substansi bahaya. MRLs didefinisikan sebagai
estimasi pajanan harian pada manusia terhadap bahan kimia yang dianggap
.............................. (2)
31
tidak merugikan selama durasi pajanan tertentu. MRLs diperoleh untuk durasi
paparan akut (1-14 hari), intermediate ( lebih dari 14-364 hari), dan kronik
(lebih dari 365 hari) dengan jalur pajanan inhalation dan ingestion.
Nilai dosis referensi dan MRLs ditujukan sebagai standar screaning
yang dapat membantu profesi kesehatan membuat keputusan prefentif.
Dikarenakan keterbatasan data dan kasus, beberapa nilai dosis referensi dan
MRLs dapat berasal dari penelitian hewan dikarenakan penelitian pada
manusia sangat kurang dan adanya batasan kode etik objek penelitian. Namun
ATSDR dan IRIS mengasumsikan manusia memiliki sensitivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan binatang dalam mendapati efek merugikan dari sebuah
bahan berbahaya. Nilai dosis referensi dan MRLs bisa jadi seratus kali lipat di
bawah level yang ditunjukkan pada tingkat non-toksik di laboratorium hewan
(ATSDR, 2013).
Sedangkan perhitungan nilai Risk Quotient (RQ) yang digunakan untuk
mengukur pajanan partikel debu terhirup (PM10) dihitung dengan
menggunakan rumus matematis sebagai berikut :
Tabel 2.7 Keterangan Rumus Perhitungan Tingkat Risiko Kesehatan
Notasi Arti Notasi Satuan
Risk Quotient
(RQ)
Besarnya tingkat risiko kesehatan yang
diperoleh dari perbandingan antara
intake dengan dosis atau konsentrasi
referensi dari agent risiko
Tidak ada satuan
........................................................................ (3)
32
Notasi Arti Notasi Satuan
Intake (Ink) Jumlah konsentrasi agent risiko yang
masuk ke dalam tubuh manusia dengan
berat badan tertentu setiap harinya
mg/kgxhari
Dosis referensi
(RfD/RfC)
Dosis risk agent yang terhirup per
kilogram (Kg) berat badan per hari
mg/kgxhari
Sumber : Pedoman Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan, 2012
Baik intake maupun RfD atau RfC harus spesifik untuk bentuk spesi
kimia risk agent dan jalur pajanannya. Risiko kesehatan dinyatakan ada dan
perlu dikendalikan jika RQ >1. Namun apabila RQ ≤1, risiko tidak perlu
dikendalikan tetapi perlu dipertahankan agar nilai numerik RQ tidak lebih dari
satu.
2.5.3 Karakteristik Individu
1. Usia
Risiko penyakit asma meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Faktor usia mempengaruhi tingkat elastisitas paru sehingga berakibat pada
otot paru mengencang dan produksi dahak meningkat. Hal ini memicu
timbulnya gejala berupa dada yang terasa sesak, sulit bernafas, mengi dan
batuk.
Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara paparan debu terhirup dengan penyakit asma pada
kelompok usia 31-40 tahun. Sedangkan pada kelompok usia 20-30 tahun
tidak ada hubungan antara paparan partikel debu dengan penyakit asam.
33
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko penyakit asma. Jenis
kelamin laki-laki memiliki tingkat sensitivitas tinggi untuk terkena asma.
Laki-laki membutuhkan energi jauh lebih besar dari pada perempuan.
Untuk memecah zat nutrisi menjadi energi pada proses metabolisme
diperlukan oksigen. Hal ini membuat laki-laki memerlukan oksigen lebih
banyak dari pada perempuan. Menurut Pearce (2009) kebutuhan oksigen
normal laki-laki sebesar 4-5 liter dan pada perempuan sebesar 3-4 liter.
Besarnya kebutuhan oksigen pada laki-laki berbanding lurus dengan laju
respirasi. Hal ini ditunjukkan pada angka default laju respirasi untuk wanita
dan laki-laki pada usia 19-65 tahun masing-masing 11,3 m3/hari dan 15,2
m3/hari. Besarnya laju respirasi pada laki-laki membuatnya rentan
menerima asupan partikel debu terhirup (PM10) lebih banyak dari pada
perempuan. Pada penelitian Darmayanti et al (2015), menunjukkan bahwa
responden laki-laki berisiko 2,11 kali berisiko menderita penyakit asma
dibandingkan responden perempuan.
Hal ini berbanding terbalik dengan luas saluran pernapasan. Perempuan
memiliki luas saluran pernapasan yang lebih kecil dibandingkan laki-laki.
Ketika perempuan terpapar partikel debu terhirup (PM10) akan
meningkatkan permeabilitas sel epitel dan memicu respon terjadinya
peradangan pada saluran napas. Respon peradangan tersebut akan
menghambat jalan napas dan memicu timbulnya gejala asma.
34
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh terhadap rendahnya
persepsi dan perilaku kontrol terhadap penyakit asma (Priyanto, 2009).
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula pengetahuan
terhadap faktor pencetus, gejala, cara pencegahan, dan penanggulangan
penyakit asma. Tingginya pengetahuan seseorang berhubungan dengan
persepsi dan perilaku kontrol terhadap penyakit asma (Atmoko, et al.,
2011).
Lawrence Green menganalisis perilaku manusia melalui tingkatan
kesehatan. Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor
perilaku (Behavior Causes) dan faktor di luar perilaku (Non-Behaviour
Causes). Pada kasus ini perilaku responden dipengaruhi oleh faktor
perilaku. Faktor perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor, yaitu faktor
predisposisi (Predisposing Factors) yang terwujud dalam pengetahuan
sikap, dan kepercayaan responden akan bahaya pajanan partikel debu
terhirup (PM10). Faktor pendukung (Enabling Factors) yang terwujud pada
ketersediaan masker sebagai alat pencegahan terhadap pajanan partikel
debu terhirup (PM10). Faktor pendorong (Renforcing Factors) yang
terwujud pada perilaku pengelola terminal yang melakukan uji emisi
terhadap kendaraan-kendaraan di terminal (Notoatmodjo, 2010).
4. Status Gizi
Status gizi berbanding lurus dengan sistem imunitas (Oemiati, et al.,
2010). Sistem imunitas adalah satu sistem dalam tubuh yang terdiri dari
sel-sel yang berkerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan
35
benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Carpenito, 2009). Sistem
imunitas yang baik dapat menghalangi pajanan partikel debu terhirup
(PM10) menimbulkan respons peradangan pada saluran pernapasan.
Respon peradangan pada saluran pernapasan dapat menimbulkan efek
edema lokal pada dinding bronkiolus, sekresi mukus yang kental di dalam
lumen yang berakibat pada penyempitan saluran napas yang pada akhirnya
dapat memicu timbulnya keluhan asma.
Beberapa hipotesis menyatakan bahwa nilai indeks masa tubuh (IMT)
dapat meningkatkan risiko refluks gastroesofagus, meningkatkan inflamasi
dan menurunkan kapasitas residu fungsional paru yang semuanya itu dapat
memperburuk gejala asma. Semakin besar nilai indeks masa tubuh (IMT)
maka semakin semakin besar risiko asmanya. Hipotesis ini didukung oleh
hasil penelitian yang dilakukan oleh Jacobs (1992) dan Contes (2001)
dimana fungsi paru seseorang menurun seiring dengan peningkatan berat
badan setelah variabel umur, tinggi badan, ras, jenis kelamin, dan status
merokok.
Selain itu obesitas memberikan beban tambahan pada thoraks dan
abdomen berupa peregangan berlebihan. Otot pernapasan bekerja lebih
keras. Jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses pernapasan bertambah.
Jumlah energi diukur dengan banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh
otot-otot pernapasan untuk tiap liter ventilasi. Semakin besar nilai Indeks
Masa Tubuh (IMT), maka kian berat kerja dari saluran pernapasan.
Pengukuran status gizi menggunakan IMT hanya berlaku untuk orang
dewasa yang berusia di atas 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi,
36
anak-anak, dan remaja. Untuk menghitung nilai IMT dapat dihitung dengan
rumus berikut :
2.5.4 Waktu Kerja
Semakin lama responden berada di kawasan terminal maka semakin
besar asupan partikel debu terhirup (PM10) yang dia terima. Apabila asupan
partikel debu terhirup (PM10) yang diterima melebihi dosis referensi akan
berakibat pada timbulnya keluhan asma. Keluhan asma yang timbul sebagai
hasil manifestasi dari respons inflamasi yang ditimbulkan oleh partikel debu
terhirup (PM10). Inflamasi pada saluran pernapasan menimbulkan efek
penyempitan saluran napas yang memicu timbulnya gejala asma.
Tidak signifikannya hubungan antara waktu kerja dan keluhan asma
pada beberapa penelitian kemungkinan disebabkan oleh faktor genetika. Faktor
genetika berhubungan dengan tingkat ekskresi partikel debu terhirup (PM10) di
dalam tubuh (Darmono, 2010). Terdapat beberapa jenis gen tertentu yang khas
dimiliki oleh seseorang dapat mengekskresikan partikel debu terhirup (PM10).
Kemampuan mengekskresikan partikel debu terhirup (PM10) ini yang
kemungkinan mengakibatkan responden tidak mengalami keluhan asma
meskipun dia telah bekerja dalam waktu yang cukup lama. Penelitian di
Amerika mendapatkan hasil bahwa pekerja dengan pajanan harian partikel
debu terhirup yang rendah berhubungan dengan timbulnya penyakit asma
(Thaller, 2008).
37
2.5.5 Lama Kerja
Keluhan asma sangat berkaitan dengan lamanya waktu pajanan
terhadap partikel debu terhirup (PM10). Semakin lama responden berada di
kawasan terminal maka semakin besar asupan partikel debu terhirup (PM10)
yang dia terima. Apabila asupan partikel debu terhirup (PM10) yang diterima
melebihi dosis referensi akan berakibat pada timbulnya keluhan asma. Keluhan
asma yang timbul sebagai hasil manifestasi dari respons inflamasi yang
ditimbulkan oleh partikel debu terhirup (PM10). Inflamasi pada saluran
pernapasan menimbulkan efek penyempitan saluran napas yang memicu
timbulnya gejala asma.
Tidak signifikannya hubungan antara lama kerja dan keluan asma pada
beberapa penelitian kemungkinan diakibatkan oleh faktor genetika. Faktor
genetika berhubungan dengan tingkat ekskresi partikel debu terhirup (PM10) di
dalam tubuh. Terdapat beberapa jenis gen tertentu yang khas dimiliki oleh
seseorang dapat mengekskresikan partikel debu terhirup (PM10). Kemampuan
mengeluarkan partikel debu terhirup (PM10) ini menyebabkan waktu tinggal
(retensi) partikel debu terhirup (PM10) di dalam paru menjadi lebih singkat
(Darmono, 2010).
2.5.6 Riwayat Penyakit Pernapasan
Penyakit pernapasan lain seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA), alergi, TBC, bronkitis dan efisema juga mempengaruhi kejadian asma.
Riwayat penyakit pernapasan berkaitan dengan penurunan kualitas otot
pernafasan. Kualitas otot-otot pernafasan berbanding lurus dengan
permeabilitas saluran pernafasan. Permeabilitas saluran pernafasan yang
38
terganggu dapat berakibat pada menurunnya fungsi organ pernafsan.
Penurunan fungsi pernafasan inilah yang dapat mengakibatkan keluhan asma.
Responden yang tidak memiliki riwayat penyakit pernafasan memiliki peluang
yang lebih kecil untuk mengalami keluhan asam dibandingkan dengan yang
memiliki riwayat penyakit pernafasan. Berdasarkan penelitian Darmayanti et
al (2015), menunjukkan bahwa responden yang memiliki riwayat penyakit
pernafasan berisiko 2,11 kali untuk menderita penyakit asma.
2.5.7 Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok sangat mempengaruhi pembersihan mukosiliaris
saluran pernafasan serta membentuk sekresi yang lebih kental dan lengket
(Sabiston, 1995). Merokok menyebabkan lebih dari 4000 zat kimia berefek
langsung pada sistem pernafasan sehingga perokok akan mengalami batuk
kronis, Peningkatan produksi sputum, dispnea, dan penurunan kapasitas paru.
Kesemua hal tersebut dapat memperberat keluhan asma.
Patogenesi asma melibatkan pelepasan Reactive Oxygen Species (ROS)
dan faktor inflamasi karena meningkatnya permeabilitas endothel. ROS
bersifat toksik karena dapar merusak struktur enzim, menghancurkan formasi
ATP dan DNA. Meskipun ROS dikenal hanya terdapat pada makhluk hidup,
namun studi yang dilakukan di Taipei oleh Huang (2005)menemukan bahwa
ROS ditemukan dominan pada partikel debu terhirup yang dihasilkan rokok.
Reactive Oxygen Species (ROS) pada partikel debu terhirup inilah yang diduga
menjadi salah satu sumber utama untuk insiden asma yang tinggi pada perokok.
Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap maka kebiasaan merokok ini terbagi
menjadi dua kelompok, berdasarkan Indeks Brinkman terdiri dari perokok
39
berat ≥ 600 dan perokok ringan < 600. Adapun perhitungan Indeks Brinkman
adalah sebagai Berikut :
2.6 Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan pada subbab
sebelumnya, maka peneliti membuat kerangka teori berdasarkan teori simpul
dalam menggambarkan hubungan pajanan partikel debu terhirup (PM10)
terhadap keluhan asma pada populasi berisiko disekitar terminal antar kota
antar provinsi (AKAP) kota Palembang. Hubungan antara variabel independen
(pajanan partikel debu terhirup) dan variabel dependen (keluhan asma)
diuraikan ke dalam 4 simpul. Pada simpul pertama menggambarkan sumber
partikel debu terhirip (PM10). Partikel debu terhirup dihasilkan melalui sumber
bergerak (kepadatan kendaraan) dan sumber tidak bergerak (industri,
pembakaran lahan, pembakaran hutan, dan pembakaran sampah). Simpul ke
dua menggambarkan komponen lingkungan.
Komponen lingkungan yang berperan sebagai media transmisi asma
adalah partikel debu terhirup (PM10) dan faktor meteriologi (suhu, arah angin,
kelembaban, dan kecepatan angin). Pada simpul ke tiga menggambarkan
variabel demografi. Pada penelitian ini variabel demografi yang berperan
adalah faktor host (usia, berat badan, jenis kelamin, waktu kerja, lama kerja,
riwayat penyakit pernafasan, status gizi, tingkat pendidikan, status merokok,
dan jumlah rokok yang di hisap. Sedangkan, pada simpul ke empat
Indeks Brinkman (IB)
Jumlah batang rokok yang dihisap per hari x Durasi merokok (Tahun)
40
mengganbarkan dampak kesehatan. Dampak kesehatan pada penelitian ini
adalah keluhan asma. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Bagan 2.2 Kerangka Teori
Teori Simpul (Achmadi, 2008)
Sumber
- Bergerak
- Tidak bergerak
Komponen Lingkungan
- Partikel debu terhirup
(PM10)
- Faktor meteriologi
Demografi
- Karakteristik
individu
Dampak
- Keluhan asma
41
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pajanan partikel
debu terhirup (PM10) terhadap keluhan asma pada masyarakat berisiko di
sekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016.
Pada penelitian ini variabel yang diteliti adalah pajanan partikel debu terhirup
(PM10) yang meliputi intake partikel debu terhirup (PM10) dan variabel keluhan
asma. Sedangkan variabel karakteristik individu yang meliputi jenis kelamin,
status gizi, tingkat pendidikan, waktu kerja, lama kerja, status merokok, jumlah
rokok yang dihisap dan riwayat penyakit napas sebagai faktor perancu
(Confounder factors). Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel yang tidak
diteliti diantaranya sumber partikel debu (pembakaran lahan, pembakaran
sampah, dan keberadaan industri), usia, berat badan, dan karakteristik
partikulat debu.
Sumber partikel debu (pembakaran lahan, pembakaran sampah, dan
keberadaan industri) tidak diteliti karena sangat jarang ditemukan aktivitas
demikian di sekitar wilayah terminal. Variabel usia tidak diteliti karena
sebagian besar sopir, kondektur dan pedagang tetap di terminal antar kota antar
provinsi (AKAP) kota palembang berada pada usia produktif (17-65 tahun).
Alasan variabel berat berat badan dan karakteristik partikulat debu (PM10)
tidak diteliti karena variabel tersebut telah digambarkan oleh variabel intake
partikel debu terhirup (PM10).
42
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil PM10 sebagai variabel
independen utama karena potensi pencemaran udara oleh PM10 sangat tinggi
di terminal. Tingginya polusi PM10 diterminal berasal dari proses pembakaran
bahan bakar, terutama bahan bakar solar. Selain itu juga sifat PM10 yang dapat
melayang di udara dalam waktu yang cukup lama sehingga PM10 dapat
menimbulkan potensi gangguan pernafasan lebih besar dibandingkan polutan
lainnya.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Pajanan Partikel Debu
Terhirup (PM10) :
Intake Partikel Debu
Keluhan Asma
Karakteristik Individu :
- Jenis kelamin
- Status gizi
- Tingkat pendidikan
- Waktu kerja
- Lama kerja
- Status merokok
- Jumlah batang rokok
yang di hisap
- Riwayat penyakit
pernafasan
43
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Skala
Ukur
1 Keluhan Asma Keadaan ada atau tidaknya
gejala asma seperti sesak napas,
rasa sesak di dada yang di alami
oleh responden.
Wawancara Kuesioner 0. Tidak
1. Iya
Ordinal
2 Pajanan Partikel Debu
Terhirup (PM10)
Tingkat kosenterasi PM10 yang
di hirup responden per berat
badan per hari.
Perhitungan Intake
PM10
Software
Pengolah Angka
0. ≤ RfC (0,03 mg/kg/hari)
1. > RfC (0,03 mg/kg/hari)
Sumber : Louvar & Louvar,
1998
Ordinal
4 Jenis Kelamin Ciri-ciri penampilan fisik
seseorang yang menunjukkan
perbedaan antara laki-laki dan
perempuan.
Wawancara Kuesioner 0. Laki-Laki
1. Perempuan
Ordinal
5 Status Gizi Keadaan tubuh sebagai akibat
dari kecukupan zat gizi yang
dilihat dari hasil perhitungan
indeks masa tubuh (IMT).
Pengukuran Microtoise dan
timbangan berat
badan
a) Gizi kurang (IMT <
18,5)
b) Gizi baik (IMT 18,5 ≤
24,99)
c) Gizi lebih (IMT ≥ 25)
0. Normal = (b)
1. Tidak normal = (a) & (c)
Ordinal
44
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Skala
Ukur
Sumber: Marpaung, 2012
6 Tingkat Pendidikan Pendidikan formal yang telah
dicapai responden
Wawancara Kuesioner 0. Tinggi (SMA dan
Perguruan Tinggi)
1. Rendah (Tidak sekolah,
SD, dan SMP)
Sumber: Marpaung, 2012
Ordinal
7 Waktu Kerja Waktu kerja responden dihitung
dari jumlah jam responden
berada di terminal.
Wawancara Kuesioner Jam Rasio
8 Lama Kerja Lamanya waktu responden telah
bekerja diterminal dalam tahun.
Wawancara Kuesioner Tahun Rasio
9 Status Merokok Kebiasaan merokok pada
responden
Wawancara Kuesioner 0. Tidak merokok
1. Merokok
Ordinal
10 Jumlah Rokok yang
Dihisap
Banyaknya rokok yang dihisap
responden yang diperoleh dari
hasil perhitungan jumlah batang
rokok yang dihisap perhari
dikali durasi lama merokok.
Wawancara Kuesioner 0. Perokok ringan (Indeks
Brinkman < 600)
1. Perokok berat (Indeks
Brinkman ≥ 600)
Sumber: Tana, 2007
Ordinal
11 Riwayat Penyakit
Pernafasan
Kondisi pernah atau sedang di
diagnosa satu atau lebih
Wawancara Kuesioner 0. Tidak ada
1. Ada
Ordinal
45
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Skala
Ukur
penyakit berikut antara lain
ISPA, alergi, TBC, bronkitis dan
efisema.
46
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10) dan
karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan, waktu
kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang rokok yang di hisap, dan
riwayat penyakit pernafasan) terhadap keluhan asma pada masyarakat
berisiko di sekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota
Palembang tahun 2016.
2. Ada hubungan antara pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10) terhadap
keluhan asma pada masyarakat berisiko di sekitar terminal antar kota antar
provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016 setelah di kontrol dengan
variabel karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan,
waktu kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang rokok yang di hisap,
dan riwayat penyakit pernafasan).
47
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4
4.1 Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain cross
sectional study (potong lintang). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan pajanan partikel debu terhirup (PM10) terhadap keluhan asma pada
masyarakat berisiko di sekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota
Palembang tahun 2016. Dalam penelitian ini variabel dependen (keluhan asma)
dan variabel independen (intake partikel debu terhirup (PM10), jenis kelamin,
status gizi, tingkat pendidikan, berat badan, waktu kerja, lama kerja, status
merokok, jumlah rokok yang dihisap, serta riwayat penyakit pernafasan)
diamati pada waktu yang sama.
Studi cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari
dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dan efek, dengan cara pendekatan,
observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time
approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap variabel subjek pada saat pemeriksaan. Namun
hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang
sama (Notoatmodjo, 2002).
4.2 Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian ini dilakukan di dua Terminal Antar Kota Antar
Provinsi (AKAP) kota Palembang. Adapun kedua terminal tersebut adalah
Terminal Karya Jaya , Jl. Sriwijaya Raya Km. 14, Karya Jaya, Palembang dan
48
Terminal Alang-Alang Lebar, Jl. Bypass, Alang-Alang Lebar, Palembang.
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Oktober hingga bulan Desember
2016.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat berisiko yang
ada di sekitar terminal dengan usia ≥ 17 tahun. Adapun populasi berisiko
disekitar terminal yang dimaksud adalah sopir, kondektur dan pedagang tetap
dengan kios permanen dan semi permanen yang beraktivitas di sekitar kawasan
Terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang.
Kriteria Eksklusi
1) Keluarga memiliki riwayat asma
2) Pernah di diagnosa asma oleh tenaga kesehatan
4.3.2 Rancangan Sampel
Sampel didefinisikan sebagai bagian dari populasi yang dianggap
mewakili keadaan populasi yang sebenarnya. Dalam penelitian ini diambil dua
jenis sampel. Sampel tersebut adalah udara ambien (outdoor) dalam ukuran
partikel debu terhirup < 10 µm (PM10) dan sampel masyarakat sebagai
responden.
49
4.3.2.1 Sampel Masyarakat
Masyarakat yang dijadikan sampel adalah masyarakat berisiko (sopir,
kondektur, dan pedagang tetap) yang beraktivitas di dalam kawasan
terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang. Perhitungan
besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus estimasi dua proporsi
sebagai berikut :
Tabel 4.1 Keterangan Rumus Perhitungan Besar Sampel
Notasi Arti Notasi Nilai
Default
N Jumlah sampel minimum yang diperlukan -
Z1-α Derajat kepercayaan pada confidence interval (CI)
95%
1,96
Z1-β Kekuatan uji pada 80% 0,84
P1 Proporsi terpapar partikel debu terhirup (PM10) dan
menderita asma (Marpaung, 2012)
0,92
P2 Proporsi yang tidak terpapar partikel debu terhirup
(PM10) dan menderita asam(Marpaung, 2012)
0,63
P Rata-rata proporsi kelompok 1 dan kelompok 2 0,80
Dari rumus di atas maka besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sebesar :
n =1,96 {√2𝑥0,8(1 − 0,8) + 0,84 √0,92 (1 − 0,917) + √0,63 (1 − 0,629)}2
(0,92 − 0,63)2
n = 32 orang
50
Berdasarkan perhitungan diperoleh 32 x 2 = 64 sampel. Untuk
mencegah kehilangan sampel maka jumlah sampel ditambah 15% dari total
sampel. Total sampel dalam penelitian ini adalah 64 + 11 = 75 orang.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode probability
sampling dengan menggunakan teknik simple random sampling. Simple
random sampling adalah salah satu teknik pengambilan sampel di mana
peneliti memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota
populasi untuk ditetapkan sebagai anggota sampel (Sunyoto & Setiawan,
2013). Pembuatan frame sampel dilakukan dengan cara mendata masing-
masing sopir, kondektur dan pedagang tetap yang beraktivitas di kawasan
terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) kota Palembang. Setelah itu
baru dibuat frame sampelnya berupa nomer dan nama responden kemudian
dilakukan randomisasi sampel dengan menggunakan metode kocokan.
4.3.2.2 Sampel Udara
Penentuan jumlah titik sampling udara sangat ditentukan oleh faktor
jumlah penduduk dan tingkat pencemaran. Secara teknis, penetapan jumlah
titik sampling ditentukan dengan menggunakan kurva aproksimasi seperti
pada gambar di bawah ini :
51
Gambar 4.1 Kurva Aproksimasi (2012)
Pada Gambar 4.1 terlihat jumlah maksimum dan minimum titik
sampling udara untuk masing-masing kelas populasi. Pada penelitian ini
jumlah populasi yang berada di kawasan terminal antar kota antar provinsi
(AKAP) kota Palembang diperkirakan kurang dari 100.000 jiwa dan
tingkat pencemaran tergolong tinggi karena terdapat lebih dari satu sumber
potensial pencemaran PM10. Berdasarkan katagori tersebut maka hanya
diperlukan 3 titik pemantauan udara.
Lokasi titik sampling udara ditentukan dengan radius yang berbeda-
beda. Hal ini mengacu pada SK Menteri KLH No.2/Men.LH/1998 bahwa
sampling di ukur pada radius berbeda-beda. Setiap radius dinyatakan
dengan ring dan jarak antara ring ditentukan sebesar 50 m dari titik pusat
terminal (Mean Coordinate) (Novirsa, 2012). Penentuan titik sampling
52
juga mempertimbangkan faktor meteorologi seperti arah angin. Lokasi titik
sampling yang diambil pada penelitian ini digambarkan pada peta berikut :
Sumber : Google Earth
Gambar 4.2 Peta Koordinat Titik Sampel PM10 Ambien
Keterangan :
Ring 1 (Radius 50 meter)
Ring 2 (Radius 100 meter)
Ring 3 (Radius 150 meter)
Titik pusat terminal (Mean Coordinate)
Titik sampling udara (Sampling Point)
Prosedur Pengukuran
Pengukuran konsentrasi PM10 udara ambien menggunakan alat HVAS
(High Volume Air Sampler) dengan metode analisis gravimetri. Alat HVAS
(High Volume Air Sampler) diperoleh dari laboratorium kimia udara Balai
Teknik Kesehatan Lingkungan Kota Palembang. Konsentrasi PM10 pada
masing-masing titik sampling di ukur pada waktu bersamaan.
53
4.4 Pengumpulan Data
4.4.1 Pengumpulan Data Konsentrasi PM10
Konsentrasi PM10 pada udara ambien Terminal Antar Kota Antar
Provinsi Kota Palembang diukur menggunakan Dusttrak II Aerosol Monitor
8532 yang merupakan metode referensi yang disarankan oleh US EPA. Alat
ini menggunakan baterai, memunculkan data dalam bentuk log, menggunakan
laser fotometer dengan prinsip hamburan cahaya sehingga dapat memberikan
pembacaan masa aerosol secara real-time namun juga harus terlindung dari
sinar cahaya materi secara langsung. Minimal waktu pengukuran pada
Dusttark adalah 15 menit untuk melihat konsentrasi dalam waktu 8 jam
(Lestari, 2009).
Gambar 4.3 DUSTTRAK II Aerosol Monitor 8532
(Sumber: http://www.modus.zgora.pl, diakses 2 Januari 2017)
A. Langkah-langkah pengambilan sampel PM10 di Terminal Antar Kota
Antar Provinsi Kota Palembang (AKAP)
1) Menentukan 3 titik sampel pada masing-masing terminal.
2) Menempatkan peralatan sampling pada daerah yang aman.
54
3) Menempatkan Dusttrak berjarak 1 m sampai 5 m dari tepi jalur
kendaraan di dalam terminal dengan ketinggian 1,5 m sampai 2 m dari
permukaan tanah.
B. Metode Sampling Dengan Dusttrak II
Pengukuran PM10 pada udara ambien di terminal dilakukan
menggunakan metode pengukuran sewaktu pada 3 titik sampel di masing -
masing terminal, priode waktu pengukuran pada masing-masing titik
adalah 30 menit.
1) Prosedur umum : Sampel diperoleh dengan penarikan udara dengan
volume tertentu melalui inlet Dusttrak II. Hasil pengukuran langsung
dapat dilihat pada monitor dan tersimpan di dalam memori Dusttrak II.
2) Volume udara : Sebanyak 60 liter volume udara dikumpulkan selama
30 menit/titi dengan flow rate 2 liter per menit.
3) Peralatan sampling : Peralatan sampling adalah Dusttrak II dengan inlet
untuk PM10 yang telah dikalibrasi dengan Rotameter.
C. Langkah-Langkah Sampling
1) Melakukan kalibrasi Dusttrak II dengan rotameter sebelum digunakan.
2) Memperhatikan indikator baterai dengan memastikan indikator baterai
menunjukkan kondisi diatas 90% sebelum mulai melakukan
pengukuran dan mengantisipasi kekurangan daya dengan membawa
charger ke tempat pengukuran.
3) Sesampainya di lokasi, memberitahu petugas terminal dan kemudian
meletakkan Dusttrak II di tempat yang akan diukur dan menyalakan
alat.
55
4) Menunggu sampai Dusttrak II mencatat konsentrasi PM10 di udara
sesuai pengaturan yang telah dilakukan.
5) Menetralkan kembali Dusttrak dari debu pengukuran dengan
melakukan Zero Cal selama 1 menit sebelum melakukan pengukuran.
6) Melakukan kalibrasi dengan rotamater
7) Setelah selesai, lihat file yang ada menggunakan software
TRAKPROTM di komputer dan grafik yang ditampilkan.
4.4.2 Pengukuran Berat Badan
Persiapan
1) Ambil timbangan dari kotak karbon dan keluarkan dari bungkus
pelastiknya
2) Pasang baterai pada bagian bawah alat timbang (Perhatikan Posisi Baterai)
3) Pasang 4 (empat) kaki timbangan pada bagian bawah alat timbang (Kaki
Timbangan Harus Dipasang Dan Tidak Boleh Hilang).
4) Letakan alat timbang pada lantai yang datar
5) Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, lakukan kalibrasi pada alat
timbang dengan menggunakan anak timbang yang mempunyai berat tetap.
6) Responden yang akan ditimbang diminta membuka alas kaki dan jaket
serta mengeluarkan isi kantong yang berat seperti kunci.
Prosedur Penimbangan Responden Dewasa
1) Aktifkan alat timbang dengan cara menekan tombol sebelah kanan (Warna
Biru). Mula-mula akan muncul angka 888,88, dan tunggu sampai muncul
angka 0,00. Bila muncul bulatan (O) pada ujung kiri kaca display, berarti
timbangan siap digunakan.
56
Aktifkan dengan menekan
tombol biru (sebelah kanan)
Muncul angka 888,88
(belum siap digunakan)
Muncul angka 0,00 dengan
bulatan di kiri atas
(telah siap digunakan)
2) Responden diminta naik ke alat timbang dengan posisi kaki tepat di tengah
alat timbang tetapi tidak menutupi jendela baca.
3) Perhatikan posisi kaki responden tepat di tengah alat timbang, sikap tenang
(Jangan Bergerak-Gerak) dan kepala tidak menunduk (Memandang Lurus
ke Depan).
4) Angka di kaca jendela alat timbang akan muncul, dan tunggu sampai angka
tidak berubah (Statis).
5) Catat angka yang terakhir (ditandai dengan munculnya tanda bulatan O
diujung kiri atas kaca display) dan isikan pada kuesioner.
6) Minta responden turun dari alat timbang
7) Alat timbang akan off secara otomatis.
8) Untuk menimbang responden berikutnya, ulangi prosedur 1 s/d 7.
Demikian pula untuk responden berikutnya.
57
4.4.3 Pengukuran Tinggi Badan
Persiapan (Cara Memasang Microtoise)
1) Gantungkan bandul benang untuk membantu memasang microtoise di
dinding agar tegak lurus.
2) Letakkan alat pengukuran di lantai yang datar tidak jauh dari dandul
tersebut dan menempel pada dinding. Dinding jangan ada lekukan atau
tonjolan (rata).
3) Tarik papan penggeser tegak lurus keatas, sejajar dengan benang bandul
yang tergantung dan tarik sampai angka pada jendela baca menunjukkan
angka 0 (Nol). Kemudian dipaku atau direkat dengan lakban pada bagian
atas microtoise.
4) Untuk menghindari terjadi perubahan posisi pita, beri lagi perekat pada
posisi sekitar 10 cm dari bagian atas microtoise.
58
Prosedur Pengukuran Tinggi Badan
1) Minta responden melepaskan alas kaki (sandal/sepatu), topi (penutup
kepala).
2) Pastikan alat geser berada diposisi atas.
3) Reponden diminta berdiri tegak, persis di bawah alat geser.
4) Posisi kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit
menempel pada dinding tempat microtoise di pasang.
5) Pandangan lurus ke depan, dan tangan dalam posisi tergantung bebas.
6) Gerakan alat geser sampai menyentuh bagian atas kepala responden.
Pastikan alat geser berada tepat di tengah kepala responden. Dalam
keadaan ini bagian belakang alat geser harus tetap menempel pada
dinding.
7) Baca angka tinggi badan pada jendela baca ke arah angka yang lebih
besar (ke bawah ) Pembacaan dilakukan tepat di depan angka (skala)
pada garis merah, sejajar dengan mata petugas.
8) Apabila pengukur lebih rendah dari yang diukur, pengukur harus
berdiri di atas bangku agar hasil pembacaannya benar.
59
9) Catat dan isikan ke dalam kuesioner.
4.4.4 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi dilakukan dengan cara menghitung nilai Indeks
Masa Tubuh (IMT). Melalui IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang
dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Pengukuran status gizi menggunakan
IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia di atas 18 tahun dan tidak
dapat diterapkan pada bayi, anak-anak, dan remaja. Untuk menghitung nilai
IMT dapat dihitung dengan rumus berikut :
Posisi kepala, punggung, pantat, betis dan tumit yang benar. Pandangan lurus kedepan.
60
4.4.5 Pengumpulan Data Jumlah Batang Rokok yang Dihisap
Data jumlah batang rokok yang dihisap oleh responden dikumpulkan
dengan menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Pertanyaan pada
kuesioner tersebut meliputi lama responden merokok dalam tahun dan jumlah
batang rokok yang dihisap responden setiap harinya. Kemudian data tersebut
dihitung dengan menggunakan rumus indeks brinkman (BI) yang terdiri dari
perokok berat ≥ 600 dan perokok ringan < 600. Adapun perhitungan Indeks
Brinkman adalah sebagai Berikut :
4.4.6 Pengumpulan Data Keluhan Asma
Pada penelitian ini keluhan asma didefinisikan sebagai sebagai hasil
dari interpretasi keadaan ada atau tidaknya gejala dan faktor pencetus asma
yang dialami oleh responden yang diukur menggunakan kuesioner dengan
metode wawancara. Pada kuesioner pertanyaan terkait keluhan asma
dikodekan oleh variabel D01 hingga variabel D04. Keempat pertanyaan
tersebut merupakan pertanyaan tertutup dan setiap pertanyaan diberi score 0
untuk jawaban tidak dan 1 untuk jawaban ya. Total score dari masing-masing
pertanyaan menentukan ada atau tidaknya keluhan asma. Responden dikatakan
mengalami keluhan asma jika total scorenya lebih besar dari 0. Sedangkan
responden dikatakan tidak memiliki keluhan asma jika total scorenya sama
dengan 0 (Depkes RI, 2007).
Indeks Brinkman (IB)
Jumlah batang rokok yang dihisap per hari x Durasi merokok (Tahun)
61
4.4.7 Pengumpulan Data Riwayat Penyakit Pernafasan
Pada penelitian ini riwayat penyakit pernafasan didefinisikan sebagai
hasil dari interpretasi keadaan ada atau tidaknya gejala penyakit sinusitis,
bronkitis, emfisema, TBC dan riwayat penyakit pernafasan lainnya yang
dialami oleh responden yang diukur menggunakan kuesioner dengan metode
wawancara. Pada kuesioner pertanyaan terkait riwayat penyakit pernafasan
dikodekan oleh variabel C01 hingga variabel C05. Kelima pertanyaan tersebut
merupakan pertanyaan tertutup dan setiap pertanyaan diberi score 0 untuk
jawaban tidak dan 1 untuk jawaban ya. Total score dari masing-masing
pertanyaan menentukan ada atau tidaknya riwayat penyakit pernafasan.
Responden dikatakan memiliki riwayat penyakit pernafasan jika total scorenya
lebih besar dari 0. Sedangkan responden dikatakan tidak memiliki riwayat
penyakit pernafasan jika total scorenya sama dengan 0.
4.5 Pengolahan Data
4.5.1 Manajemen Data
Seluruh data yang dikumpulkan baik melalui kuesioner maupun data hasil
perhitungan dan pengukuran akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut :
1) Data Coding, merupakan kegiatan mengklasifikasikan data dan memberi
kode pada masing-masing kelas sesuai dengan tujuan pengumpulan data
yang dilakukan pada saat membuat kuesioner.
2) Data Editing, merupakan kegiatan pengecekan isian kuesioner pada saat
dilapangan, apakah jawaban pada kuesioner sudah lengkap, jelas dan
relevan, dan konsisten.
62
3) Data Entry, merupakan kegiatan memasukkan data dari kuesioner ke dalam
program komputer atau fasilitas analisis data.
4) Data Cleaning, merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
di entry, apakah ada kesalahan atau tidak.
4.5.2 Analisis Data
1) Analisis Univariat
Merupakan analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi
antara variabel dependen (keluhan asma) dan variabel independen (intake
partikel debu terhirup (PM10), jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan,
dan berat badan, lama kerja, waktu kerja, status merokok, jumlah rokok
yang dihisap, dan riwayat penyakit pernafasan). Pada analisis ini, data
dibedakan berdasarkan jenis variaber, yaitu variabel numerik dan variabel
katagori. Setelah dianalisis kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik.
2) Analisis Bivariat
Merupakan analisis yang digunakan untuk menghubungkan variabel
dependen (keluhan asma) dengan variabel independen (intake partikel debu
terhirup (PM10), jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan, berat badan,
waktu kerja, lama kerja, status meroko, jumlah rokok yang dihisap, dan
riwayat penyakit pernafasan). Karena hasil ukur variabel dependen dan
variabel independen berjenis katagorik dan numerik maka analisis bivariat
yang digunakan adalah uji chi-square untuk variabel yang berjenis
katagorik. Uji chi-square digunakan untuk menjawab pertanyaan terkait
hubungan antara risiko paparan partikel debu terhirup (PM10), intake
63
partikel debu (PM10), karakter individu (jenis kelamin, tingkat pendidikan,
dan status gizi), riwayat penyakit pernafasan, status merokok, dan jumlah
batang rokok yang di hisap dengan keluhan asma pada masyarakat berisiko
di sekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang.
Sedangkan uji t digunakan untuk variabel berjenis numerik. Uji t digunakan
untuk menjawab pertanyaan terkait hubungan antara waktu kerja dan lama
kerja dengan keluhan asma pada masyarakat berisiko di sekitar terminal
antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang.
Keputusan diterima atau ditolaknya hipotesis didasarkan oleh nilai
pvalue. Hipotesis dinyatakan diterima apabila nilai pvalue ≤ 0,05. Antinya
terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Sedangkan hipotesis dinyatakan ditolak apabila nilai pvalue > 0,05. Artinya
tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Kemudian besarnya risiko variabel independen terhadap variabel dependen
dinyatakan oleh nilai OR (Odds Ratio). Hasil dari analisis bivariat disajikan
dalam bentuk tabel.
3) Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara beberapa
variabel independen dengan dependen pada waktu yang bersamaan.
Analisis ini menggunakan analisis regresi logistik ganda yang bertujuan
untuk mengestimasi secara valid pengaruh pajanan partikel debu terhirup
(intake PM10) dengan keluhan asma setelah dikontrol oleh variabel
perancu. Variabel perancu dalam penelitian ini adalah variabel
karakteristik individu.
64
Analisis ini dilakukan dengan melalui beberapa tahap. Tahap pertama
mulai dengan melakukan uji bivariat masing-masing variabel untuk
menyeleksi variabel yang akan dimasukkan dalam analisis regresi logistik
ganda. Bila hasil uji p nilai p ≤ 0,25 maka variabel tersebut dapat masuk
kedalam model multivariat. Sebaliknya jika nilai p > 0,25 maka variabel
tersebut dikeluarkan dari pemodelan.
Pada tahap selanjutnya dilakukan pembuatan model faktor penentu.
Bila hasil uji bernilai p ≤ 0,05 maka variabel tersebut dapat masuk ke dalam
model selanjutnya. Sebaliknya jika nilai p > 0,05 maka variabel tersebut
dikeluarkan dari pemodelan. Pengeluaran variabel dilakukan bertahap
mulai dari variabel yang memiliki nilai p paling besar.
Kemudian dapat dilakukan evaluasi dengan membandingkan koefisien
atau OR masing-masing pada model dengan dan tanpa perancu tersebut.
Jika perbedaan tersebut > 10%, bearti perancu tersebut tidak dapat
dikeluarkan dari model karena akan mengganggu estimasi koefisien
perancunya. Dengan kata lain variabel tersebut merupakan konfonding
untuk variabel lain.
65
BAB V
HASIL PENELITIAN
5
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian
5.1.1 Gambaran Umum Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota
Palembang
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang terdiri
dari dua terminal, yaitu Terminal Karya Jaya dan Terminal Alang-Alang
Lebar. Terminal Karya Jaya adalah terminal penumpang tipe A pertama yang
dibangun di kota Palembang. Terminal ini dibangun berdasarkan izin
penentuan lokasi dari Meteri Perhubungan melalui Surat Keputusan Nomor :
56/AJ.106/DRJD/ 98 tentang Penentuan Lokasi Terminal Penumpang tipe A
di Kota Palembang, Desa Karya Jaya, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kota
Palembang.
Sedangkan Terminal Alang-Alang Lebar adalah salah satu terminal tipe
A yang terletak di Kelurahan Alang-Alang Lebar Kecamatan Sukarame
Palembang, luas ± 5 hektar yang melayani angkutan umum seperti angkutan
antar kota dalam provinsi (AKAD), angkutan antar kota antar provinsi
(AKAP), angkutan pedesaan (Angdes) dan angkutan bus kota.
Menurut data dari Pusat Informasi Dinas Perhubungan Provinsi
Sumatera Selatan, Terminal Karya Jaya & Terminal Alang-Alang Lebar
ditetapkan sebagai terminal tipe A. Tipe A ini diberikan sesuai dengan fasilitas
pelayanan yang diberikan terhadap operator angkutan, disamping telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan juga rencana kebutuhan lokasi simpul
yang merupakan bagian dari rencana umum jaringan transportasi yaitu rencana
66
tata ruang, kepadatan lalulintas dan kepadatan jalan disekitar terminal,
kepadatan moda tarnsportasi baik mitra maupun antar moda, kodisi topografi
lokasi terminal, dan kelestarian lingkungan. Fasilitas yang dimiliki terminal
terdiri dari fasilitas utama dan fasilitas penunjang antara lain sebagai berikut :
A. Fasilitas Umum
- Jalur Pemberangkatan Kendaraan Umum
- Bangunan Kantor Terminal
- Tempat Tunggu Penumpang & Pengantar
- Menara Pengawas
- Kelestarian Lingkungan
B. Fasilitas Penunjang
- Kamar Kecil / Toilet
- Mushola
- Kios
- Telepon Umum
- Tempat Penitipan Barang
- Taman
5.1.2 Gambaran Bus Angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota
Palembang
Kendaraan umum Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) yang beroperasi
diterminal kota palembang melayani rutu perjalanan antar kota di pulau
sumatera dan pulau jawa. Adapun rute perjalanannya adalah sebagai berikut :
67
Tabel 5.1 Data Kendaraan Bus Antar Kota Antar Provinsi Kota (AKAP) Terminal
Kota Palembang Tahun 2015
BUS SEDANG
No Nama PO Seat Trayek Keterangan
1 Bus Kota 24 Kertapati-Alang-Alang
Lebar
Aktif
2 Bus Koa 24 PUSRI-Terminal Alang-
Alang Lebar
Aktif
3 Trans Musi 24 Jakabaring-Terminal
Alang-Alang Lebar
Aktif
4 Trans Musi 24 Kayu Agung-Terminal
Karya Jaya
Aktif
BUS BESAR
1 Gumarang Jaya 60 Palembang-Surabaya Aktif
2 Bengkulu Indah 55 Palembang-Bengkulu Aktif
3 SUN 60 Palembang-Pekanbaru Aktif
4 PO Laju Prima 55 Palembang-Bekasi Aktif
5 Sari Harum 60 Palembang-Yogyakarta Aktif
6 Csh88 60 Palembang-Medan Aktif
7 Karamat Jati 60 Palembang-Jakarta Aktif
8 Lorena 60 Palembang-Malang Aktif
9 Pala Kencana 55 Palembang-Padang Aktif
68
5.2 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian
terkait distribusi frekuensi keluhan asma, pajanan partikel debu terhirup (intake
PM10), karakteristik individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan,
lama kerja, waktu kerja, status merokok, jumlah rokok yang dihisap, dan
riwayat penyakit pernafasan) pada masyarakat berisiko di sekitar terminal antar
kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016.
5.2.1 Keluhan Asma
Pada penelitian ini keluhan asma dilihat berdasarkan hasil wawancara
terkait tanda dan gejala asma yang pernah dialami oleh responden. Pada
kuesioner terdapat empat pertanyaan terkait keluhan asma dan setiap
pertanyaan diberi skor 0-1. Total skor dari masing-masing pertanyaan
menentukan ada atau tidaknya keluhan asma pada responden. Hasil analisis
distribusi frekuensi responden berdasarkan keluhan asma di Terminal Antar
Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016 dapat dilihat pada
Tabel 5.2 berikut ini :
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Asma di Terminal Antar Kota
Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016
Keluhan Asma Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak 34 45,3
Iya 41 54,7
Total 75 100
69
Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa distribusi keluhan asma pada
responden berbeda pada masing-masing kelompok. Sebagian besar responden
mengalami keluhan asma yaitu 41 orang (54,7%) sedangkan responden yang
tidak mengalami keluhan asma adalah sebanyak 34 orang (45,3%).
5.2.2 Pajanan Partikel Debu Terhirup (PM10)
5.2.2.1 PM10 Pada Udara Terminal
Hasil pengukuran konsentrasi partikel debu terhirup (PM10) pada udara
di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016
digambarkan pada Tabel 5.3 berikut ini :
Tabel 5.3 Konsentrasi Partikel Debu Terhirup (PM10) Ambien Pada 6 Titik
Pengukuran di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun
2016
Tempat Titik
Sampel
Konsentrasi Metode
Terminal Alang-Alang
Lebar Palembang
1 109 µg/Nm3
SNI 19-7119.3-2005
2 124 µg/Nm3
3 154 µg/Nm3
Terminal Karya Jaya
Palembang
1 148 µg/Nm3
2 113 µg/Nm3
3 120 µg/Nm3
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa konsentrasi PM10 ambien terendah
sebesar 109 µg/Nm3 dan konsentrasi tertinggi adalah sebesar 154 µg/Nm3.
Konsentrasi PM10 ambient terendah berada pada titik sampel pertama di
70
Terminal Alang-Alang Lebar sedangkan konsentrasi PM10 ambien tertinggi
diperoleh pada titik sampel ke-3 di Terminal Alang-Alang Lebar. Apabila hasil
pengukuran konsentrasi PM10 ambien tersebut dibandingkan dengan standar
baku mutu udara ambien lingkungan yang diatur pada PP No 41Tahun 1999,
maka titik sampel ke-3 di Terminal Alang-Alang Lebar telah melewati standar
baku mutu PM10 pada udara ambient, yaitu sebesar 150 µg/Nm3.
5.2.2.2 Intake Partikel Debu Terhirup (PM10)
Pada penelitian ini pajanan partikel debu dilihat dari intake partikel
debu terhirup (PM10). Intake partikel debu terhirup (PM10) adalah tingkat
konsentrasi partikel debu terhirup (PM10) yang dihirup responden per berat
badan per hari. Intake partikel debu terhirup (PM10) dinyatakan secara
katagorik melalui pembagian RfC (Reference Concentration). Reference
Concentration didefinisikan sebagai toksisitas kuantitatif non karsinogenik
yang menyatakan estimasi dosis pajanan harian yang diperkirakan tidak
menimbulkan efek kesehatan merugikan meskipun pajanan berlangsung
sepanjang hayat. Hasil analisis distribusi frekuensi responden berdasarkan
pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10) di Terminal Antar Kota Antar
Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 5.4 di
bawah ini :
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Intake Partikel Debu Terhirup (PM10) di
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016.
Intake PM10 Jumlah (n) Persentase (%)
≤ RfC 0,03 51 68
> RfC 0,03 24 32
71
Intake PM10 Jumlah (n) Persentase (%)
Total 75 100
Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa distribusi intake partikel debu terhirup
(PM10) didominasi oleh kelompok responden yang memiliki intake di bawah
dosis referensi partikel debu terhirup. Responden yang memiliki intake PM10
≤ RfC 0,03 yaitu 51 orang (68%) sedangkan responden yang memiliki intake
PM10 diatas RfC 0,03 yaitu sebanyak 24 orang (32%).
5.2.3 Karakteristik Individu
5.2.3.1 Jenis Kelamin
Distribusi jenis kelamin pada responden terlihat didominasi oleh laki-
laki. Responden dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 46 orang (61,3%),
sedangkan untuk responden berjenis kelamin perempuan berjumlah 29 orang
(38,7%). Hasil analisis distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis
kelamin di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang
Tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 5.5 di bawah ini :
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Terminal Antar Kota
Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016
Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
Laki-Laki 46 61,3
Perempuan 29 38,7
Total 75 100
72
5.2.3.2 Tingkat Pendidikan
Distribusi tingkat pendidikan pada responden berbeda untuk masing-
masing kelompok. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan
rendah yaitu sebanyak 41 orang (54,7%), sedangkan sisanya memiliki tingkat
pendidikan tinggi sebanyak 34 orang (45,3%). Hasil analisis distribusi
frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan di Terminal Antar Kota
Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel
5.6 di bawah ini :
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Terminal Antar
Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Taun 2016
Tingkat Pendidikan Jumlah (n) Persentase (%)
Tinggi 34 45,3
Rendah 41 54,7
Total 75 100
5.2.3.3 Status Gizi
Distribusi status gizi pada responden didominasi oleh status gizi
normal. Responden dengan status gizi normal berjumlah 54 orang (72%),
sedangkan responden yang memiliki status gizi tidak normal berjumlah 21
orang (28%). Hasil analisis distribusi frekuensi responden berdasarkan status
gizi di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun
2016 dapat dilihat pada Tabel 5.7 di bawah ini :
73
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi di Terminal Antar Kota
Antar Provinsi Kota Palembang Tahun 2016
Status Gizi Jumlah (n) Persentase (%)
Normal 54 72
Tidak Normal 21 28
Total 75 100
5.2.3.4 Waktu dan Lama Kerja
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu dan Lama Kerja di Terminal
Antar Kota Antar Provinsi Kota Palembang Tahun 2016.
Variabel Mean Median Modus SD Min-Max 95% CI
Waktu Kerja 15,01 15 16 3,294 8-20 14,26-15,77
Lama Kerja 24,47 25 16 5,689 15-36 23,16-25,78
1) Waktu Kerja
Berdasarkan Tabel 5.8, terlihat bahwa waktu kerja terpendek adalah 8
jam dan terpanjang 20 jam. Rata-rata waktu kerja responden setiap harinya
adalah 15,01 jam (95% CI: 14,26-15,77) dengan standar deviasi 3,294 jam.
Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan banwa 95% diyakini bahwa
waktu kerja per hari responden adalah 14,26 jam sampai 15,77 jam.
Sedangkan nilai tengah waktu kerja perhari responden adalah 15 jam dan
waktu kerja yang paling sering muncul adalah 16 jam.
2) Lama Kerja
Berdasarkan Tabel 5.8, terlihat bahwa lama kerja terpendek adalah 15
tahun dan terpanjang adalah 36 tahun. Rata-rata lama kerja responden
74
adalah 24,47 tahun (95% CI: 23,16-25,78) dengan standar deviasi 5,689
tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini
bahwa lama kerja responden adalah 23,16 tahun hingga 25,78 tahun.
Sedangkan nilai tengah lama kerja responden adalah 25 tahun dan lama
kerja yang paling sering muncul adalah 16 tahun.
5.2.3.5 Status Merokok
Distribusi status merokok pada responden terdistribusi merata pada
masing-masing kelompok. Responden yang memiliki kebiasan merokok
sebanyak 39 oarang (52%) dan responden yang tidak merokok sebanyak 36
orang (48%). Hasil analisis distribusi frekuensi responden berdasarkan status
merokok di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang
Tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 5.9 di bawah ini :
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Status Merokok di Terminal
Antar Kota Antar Provinsi Kota Palembang Tahun 2016
Status Merokok Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak Merokok 36 48
Merokok 39 52
Total 75 100
5.2.3.6 Jumlah Rokok yang dihisap
Distribusi jumlah rokok yang dihisap pada responden didominasi oleh
perokok ringan yaitu 44 orang (58,7%), sedangkan responden yang
dikategorikan perokok berat sebanyak 31 orang (41,3%). Hasil analisis
distribusi frekuensi responden berdasarkan jumlah rokok yang dihisap di
75
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016
dapat dilihat pada Tabel 5.10 berikut :
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Batang Rokok Yang
Dihisap di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP ) Kota Palembang
Taun 2016
Jumlah Rokok Jumlah (n) Persentase (%)
Perokok Ringan 44 58,7
Perokok Berat 31 41,3
Total 75 100
5.2.3.7 Riwayat Penyakit Pernafasan
Distribusi riwayat penyakit pernafasan pada responden didominasi oleh
kelompok yang tidak memiliki riwayat penyakit pernafasan yaitu sebanyak 49
orang (65,3%), sedangkan responden yang memiliki riwayat penyakit
pernafasan sebanyak 26 orang (34,7%). Hasil analisis distribusi frekuensi
responden berdasarkan riwayat penyakit pernafasan di Terminal Antar Kota
Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel
5.11 berikut :
Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit Pernafasan di
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Tahun 2016
Riwayat Penyakit
Pernafasan
Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak Ada 49 65,3
76
Riwayat Penyakit
Pernafasan
Jumlah (n) Persentase (%)
Ada 26 34,7
Total 75 100
5.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian
terkait hubungan antara pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10) dan
karakteristik individu (jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama kerja, waktu
kerja, status merokok, jumlah batang rokok yang dihisap, status gizi, dan
riwayat penyakit pernafasan) dengan keluhan asma pada masyarakat berisiko
di sekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang tahun
2016. Berikut hasil dari analisis bivariat.
5.3.1 Hubungan Pajanan Partikel Debu Terhirup (Intake PM10) dan Keluhan
Asma
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Pajanan Partikel Debu (Intake PM10)
dan Keluhan Asma
Intake PM10 Keluhan Asma P value OR (95% CI)
Tidak Iya
≤ RfC 0,03 28 (54,9%) 23 (45,1%) 0,015 3,65 (1,24-10,71)
> RfC 0,03 6 (25%) 18 (75%)
Hasil analisis hubungan antara pajanan partikel debu terhirup (Intake
PM10) dengan keluhan asma diperoleh sebanyak 28 responden (54,9%) dengan
77
intake di bawah dosis referensi (RfC) PM10 tanpa keluhan asma. Sedangkan
diantara responden dengan intake diatas dosis referensi (RfC) PM10 terdapat 18
(75%) orang dengan keluhan asma. Hasil uji statistik diperoleh nilai pvalue
sebesar 0,015 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara
intake PM10 dengan keluhan asma. Hasil uji statistik diperoleh pula nilai OR
sebesar 3,65 (95% CI = 1,24-10,71), artinya responden yang memiliki intake
PM10 diatas dosis referensi (RfC) mempunyai peluang 3,65 kali lebih besar
untuk mengalami keluhan asma dibandingkan dengan responden dengan intake
PM10 di bawah dosis referensi (RfC).
5.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dan Keluhan Asma
Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Keluhan Asma
Jenis Kelamin Keluhan Asma P value OR (95% CI)
Tidak Iya
Laki-Laki 20 (43,5%) 26 (56,5%) 0,684 0,82 (0,32-2,09)
Perempuan 14 (48,3%) 15 (51,7%)
Hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan keluhan asma diperoleh
26 responden (56,5%) laki-laki dengan keluhan asma. Sedangkan pada
kelompok responden perempuan terdapat 15 orang (51,7%) dengan keluhan
asma. Hasil uji statistik diperoleh nilai pvalue sebesar 0,684 maka dapat
disimpulkan tidak ada hubungan signifikan antara jenis kelamin dengan
keluhan asma.
78
5.3.3 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Keluhan Asma
Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Keluhan Asma
Tingkat
Pendidikan
Keluhan Asma P value OR (95% CI)
Tidak Iya
Tinggi 19 (55,9%) 15 (44,1%) 0,095 2,19 (0,86-5,55)
Rendah 15 (36,6%) 26 (63,4%)
Hasil analisis hubungan tingkat pendidikan dengan keluhan asma
diperoleh sebanyak 19 responden (55,9%) dengan tingkat pendidikan tinggi
tanpa keluhan asma. Sedangkan pada kelompok responden dengan tingkat
pendidikan rendan terdapat 26 orang (63,4%) dengan keluhan asma. Hasil uji
statistik diperoleh nilai pvalue sebesar 0,095 maka dapat disimpulkan tidak ada
hubungan signifikan antara tingkat pendidikan dengan keluhan asma.
5.3.4 Hubungan Status Gizi dan Keluhan Asma
Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi dan Keluhan Asma
Status Gizi Keluhan Asma P value OR (95% CI)
Tidak Iya
Normal 26 (48,1%) 28 (51,9%) 0,432 1,50 (0,53-4,22)
Tidak Normal 8 (38,1%) 13 (61,9%)
Hasil analisis hubungan status gizi dengan keluhan asma diperoleh
sebanyak 28 responden (51,9%) dengan status gizi normal dengan keluhan
asma. Sedangkan pada kelompok responden dengan status gizi tidak normal
terdapat 13 orang (61,9%) dengan keluhan asma. Hasil uji statistik didapatkan
79
nilai p=0,432 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan signifikan antara
status gizi dengan keluhan asma.
5.3.5 Hubungan Waktu Kerja dan Keluhan Asma
Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Kerja dan Keluhan Asma
Keluhan Asma Mean SD SE pvalue N
Tidak 14,26 2,937 0,504 0,073 34
Iya 15,63 3,477 0,543 41
Rata-rata waktu kerja responden yang tidak memiliki keluhan asma
adalah 14,26 jam dengan standar deviasi 2,937 jam, sedangkan untuk responden
yang mengalami keluhan asma rata rata waktu kerjanya adalah 15,63 jam
dengan standar deviasi 3,477 jam. Hasil uji statistik didaptkan nilai p=0,073,
berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada hubungan yang signifikan antara rata-
rata waktu kerja dengan keluhan asma.
5.3.6 Hubungan Lama Kerja dan Keluhan Asma
Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Kerja dan Keluhan Asma
Keluhan Asma Mean SD SE pvalue N
Tidak 23,41 5,332 0,914 0,145 34
Iya 25,34 5,889 0,920 41
Rata-rata lama kerja responden yang tidak memiliki keluhan asma
adalah 23,41 tahun dengan standar deviasi 5,332 tahun, sedangkan untuk
responden yang mengalami keluhan asma rata rata lama kerjanya adalah 25,34
tahun dengan standar deviasi 5,889 tahun. Hasil uji statistik didaptkan nilai
80
p=0,145, berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada hubungan yang signifikan
antara rata-rata lama kerja dengan keluhan asma.
5.3.7 Hubungan Status Merokok dan Keluhan Asma
Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Status Merokok dan Keluhan Asma
Status
Merokok
Keluhan Asma P value OR (95% CI)
Tidak Iya
Tidak Merokok 22 (61,1%) 14 (38,9%) 0,008 3,53 (1,36-9,18)
Merokok 12 (30,8%) 27 (69,2%)
Hasil analisis hubungan status merokok dengan keluhan asma
diperoleh sebanyak 22 responden (61,1%) dengan status tidak merokok dan
tidak memiliki keluhan asma. Sedangkan pada kelompok responden dengan
status merokok terdapat 27 orang (69,2%) dengan keluhan asma. Hasil uji
statistik diperoleh nilai pvalue sebesar 0,008 maka dapat disimpulkan ada
hubungan yang signifikan antara status merokok dengan keluhan asma. Hasil
uji statistik diperoleh pula nilai OR sebesar 3,53 (95% CI = 1,36-9,18), artinya
responden dengan status merokok mempunyai peluang 3,53 kali lebih besar
untuk mengalami keluhan asma dibandingkan dengan responden dengan status
tidak merokok.
81
5.3.8 Hubungan Jumlah Rokok dan Keluhan Asma
Tabel 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Rokok yang dihisap dan
Keluhan Asma
Jumlah Rokok Keluhan Asma P value OR (95% CI)
Tidak Iya
Perokok Ringan 25 (56,8%) 19 (43,2%) 0,017 3,21 (1,20-8,55)
Perokok Berat 9 (29%) 22 (71%)
Hasil analisis hubungan jumlah batang rokok dengan keluhan asma
direroleh sebanyak 25 responden (56,8%) yang termasuk kategori perokok
ringan tanpa keluhan asma. Sedangkan pada kelompok perokok berat terdapat
22 orang (71%) dengan keluhan asma. Hasil uji statistik diperoleh nilai pvalue
sebesar 0,017 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara
jumlah batang rokok yang dihisap dengan keluhan asma. Hasil uji statistik
diperoleh pula nilai OR sebesar 3,21 (95% CI = 1,20-8,55), artinya responden
yang termasuk kategori perokok berat mempunyai peluang 3,21 kali lebih
besar untuk mengalami keluhan asma dibandingkan dengan responden yang
termasuk kategori perokok ringan.
5.3.9 Hubungan Riwayat Penyakit Pernafasan dan Keluhan Asma
Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit Pernafasan dan
Keluhan Asma
Riwayat
Penyakit Napas
Keluhan Asma P value OR (95% CI)
Tidak Iya
Tidak Ada 16 (64%) 9 (36%) 0,022 3,16 (1,16-8,59)
82
Riwayat
Penyakit Napas
Keluhan Asma P value OR (95% CI)
Tidak Iya
Ada 18 (36%) 32 (64%)
Hasil analisis hubungan antara riwayat penyakit pernafasan dengan
keluhan asama diperoleh sebanyak 16 responden (64%) yang tidak memiliki
riwayat penyakit pernafasan tanpa keluhan asma. Sedangkan diantara
responden yang memiliki riwayat penyakit pernafasan terdapat 32 orang (64%)
yang mengalami keluhan asma. Hasil uji statistik diperoleh nilai pvalue sebesar
0,022 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara riwayat
penyakit pernafasan dengan keluhan asma. Hasil uji statistik diperoleh pula
nilai OR sebesar 3,16 (95% CI = 1,16-8,59), artinya responden yang memiliki
riwayat penyakit pernafasan mempunyai peluang 3,16 kali lebih besar untuk
mengalami keluhan asma dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki
riwayat penyakit pernafasan.
5.4 Karakteristik Individu yang Mempengaruhi Hubungan Pajanan Partikel
Debu Terhirup (PM10) dengan Keluhan Asma
Untuk mengetahui apakah faktor karakteristik individu mempengaruhi
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, maka perlu
dilakukan analisis multivariat. Tahapan yang dilakukan dalam analisis
multivariat meliputi pemilihan variabel kandidat multivariat, pembuatan model
penentu, tahap uji interaksi, dan uji variabel perancu.
83
5.4.1 Pemilihan Variabel Kandidat Multivariat
Pada penelitian ini terdapat 8 variabel perancu (jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status gizi, waktu kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang
rokok yang dihisap, dan riwayat penyakit pernafasan) dan variabel independen
yaitu pajanan partikel debu (Intake PM10) yang diduga berhubungan dengan
keluhan asma. Tahap awal sebelum melakukan analisis multivariat dilakukan
analisis bivariat pada masing-masing variabel. Variabel dengan Pvalue <0,25
dan memiliki kemaknaan secara substansi dapat dijadikan kandidat yang akan
dianalisis untuk penilaian variabel perancu (Lapau, 2013). Hasil analisis
bivariat antar variabel di atas dengan variabel dependen dapat dilihat pada
Tabel 5.21.
Tabel 5.21 Kandidat Variabel Independen yang Masuk Ke dalam Model Multivariat
No Variabel pvalue Keterangan
1 Intake Partikel Debu Terhirup (PM10) 0,015 Kandidat
2 Jenis Kelamin 0,684 Bukan Kandidat
3 Tingkat Pendidikan 0,095 Kandidat
4 Status Gizi 0,432 Bukan Kandidat
5 Waktu Kerja 0,071 Kandidat
6 Lama Kerja 0,141 Kandidat
7 Status Meroko 0,008 Kandidat
8 Jumlah Batang Rokok yang Dihisap 0,017 Kandidat
9 Riwayat Penyakit Pernafasan 0,022 Kandidat
84
Dari Tabel 5.21 diketahui bahwa terdapat dua variabel memiliki pvalue
> 0,25. Dua variabel tersebut adalah jenis kelamin dan status gizi. Dengan
demikian ke dua variabel tersebut tidak dapat masuk ke dalam analisis model
multivariat. Sedangkan tujuh variabel lainnya (Intake PM10, tingkat
pendidikan, waktu kerja, lama kerja, status merokok, jumlah batang rokok
yang dihisap, dan riwayat penyakit pernafasan) dapat masuk ke dalam analisis
multivariat.
5.4.2 Pembuatan Model Faktor Penentu
Variabel yang menjadi kandidat model dilakukan analisis bersamaan
dalam analisis multivariat. Pada analisis ini variabel yang memiliki Pwald
>0,05 dikeluarkan satu persatu dimulai dari variabel yang memiliki Pwald
tertinggi. Hasil pembuatan model faktor penentu dapat dilihat pada Tabel 5.22.
Tabel 5.22 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Antara Variabel Usia,
Tingkat Pendidikan, Waktu Kerja, Lama Kerja, Status Merokok, Jumlah Batang
Rokok yang Dihisap, Riwayat Penyakit Pernafasan, Pajanan Partikel Debu Terhirup
(Intake PM10) dengan Keluhan Asma.
No Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6
1 Pendidikan 0,404 0,391 0,380 - - -
2 Status Merokok 0,224 0,222 0,014 0,008 0,010 0,009
3 Jumlah Rokok 0,734 0,710 - - - -
4 Penyakit Napas 0,054 0,054 0,054 0,050 0,083 -
5 Waktu Kerja 0,907 - - - - -
6 Lama Kerja 0,271 0,269 0,288 0,280 0,045 -
7 Intake PM10 0,094 0,034 0,036 0,031 - 0,017
85
Dari Tabel 5.22 diketahui bahwa dari 7 variabel yang dianalisis, hanya
terdapat 2 variabel yang tersisa. Tabel di atas menunjukkan bahwa kedua
variabel tersebut semuanya memiliki Pwald <0,05. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kedua variabel tersebut merupakan variabel yang mempunyai hubungan
secara signifikan dengan keluhan asma. Hasil analisis multivariat kedua
variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.23.
Tabel 5.23 Hasil Analisis Multivariat antara Status Merokok dan Pajanan Partikel
Debu Terhirup (Intake PM10)
No Variabel Pwald Exp (B) 95% CI
1 Intake PM10 0,017 4,009 (1,284-12,513)
2 Status Merokok 0,009 3,833 (1,398-10,508)
5.4.3 Uji Variabel Perancu
Penelitian ini bertujuan untuk mencari variabel-variabel yang berperan
sebagai perancu (konfonder). Penilaian dilakukan dengan cara
membandingkan nilai OR variabel independen antara sebelum dan sesudah
variabel perancu dikeluarkan. Apabila selisih OR > 10% maka variabel
tersebut dinyatakan terbukti sebagai perancu dan tetap masuk dalam model
(Lapau, 2013). Hasil analisis uji variabel perancu dapat dilihat pada Tabel 5.24.
Tabel 5.24 Hasil Uji Variabel Perancu dengan Mengeluarkan Variabel Status
Merokok
No Variabel Gold Standard OR tanpa variabel
status merokok
∆ OR
1 Intake PM10 4,009 3,653 8,9%
86
Berdasarkan Tabel 5.24 dapat diketahui bahwa setelah variabel status
merokok dikeluarkan pada uji variabel perancu, maka terdapat selisih OR
<10% yaitu 8,9% artinya variabel status merokok bukan merupakan konfonder
variabel pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10) dengan keluhan asma.
Setelah dilakukan uji perancu, variabel status merokok tidak terbukti menjadi
variabel perancu (konfonder). Hasil analisis uji perancu variabel status
merokok tidak mempengaruhi hubungan variabel pajanan partikel debu
terhirup (Intake PM10) dengan keluhan asma dapat dilihat pada Tabel 5.25.
Tabel 5.25 Hasil Analisis Multivariat Akhir Hubungan Pajanan Partikel Debu
Terhirup (Intake PM10) dengan Keluhan Asma
No Variabel pvalue Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
1 Intake PM10 0,018 3,653 1,245 10,712
Dari Tabel 5.25 diketahui bahwa terdapat hubungan antara pajanan
partikel debu terhirup (Intake PM10) terhadap keluhan asma pada masyarakat
berisiko disekitar terminal antar kota antar provinsi (AKAP) kota Palembang
tahun 2016 (p=0,018) setelah dikontrol dengan variabel karakteristik individu.
Besar peluang responden yang memiliki pajanan partikel debu terhirup lebih
besar dari pada dosis referensi PM10 (>RfC 0,03) untuk mengalami keluhan
asma sebesar 3,653 kali setelah dikontrol oleh variabel karakteristik individu.
87
BAB VI
PEMBAHASAN
6
6.1 Keterbatasan Penelitian
6.1.1 Keterbatasan Desain Penelitian
Desain penelitian ini cross sectional study yang mempunyai
keterbatasan tidak mampu menjelaskan hubungan sebab dan akibat (Lapau,
2013). Hal ini dikarenakan variabel bebas dan terikat dilakukan pengukuran
dalam waktu yang sama, sehingga belum dapat dipastikan variabel independen
(Pajanan Partikel Debu Terhirup) merupakan antecedent dari variabel
dependen (Keluhan Asma).
6.1.2 Keterbatasan Variabel Penelitian
Faktor keturunan (gen), suku dan ras merupakan beberapa variabel
yang diperkirakan berhubungan dengan keluhan asma, namun variabel tersebut
sulit diteliti karena harus melakukan pemeriksaan genetika yang memerlukan
biaya yang mahal. Sehingga tidak diketahui pengaruh faktor keturunan (gen),
suku dan ras terhadap keluan asma.
6.1.3 Keterbatasan Pengumpulan Data
1) Pengukuran konsentrasi PM10 ambien Terminal Antar Kota Antar Provinsi
(AKAP) Kota Palembang tidak dilakukan selama 24 jam, tetapi hanya
diukur sewaktu selama 30 menit pada siang hari. Pengukuran sewaktu
kurang dapat merepresentasikan konsentrasi 24 jam. Hal ini disebabkan
karenas keterbatasan alat penelitian.
88
2) Pada pemeriksaan asma tidak dilakukan pemeriksaan fisik & pemeriksaan
penunjang, tapi hanya berdasarkan keluhan terkait gejala, tanda dan faktor
pencetus asma yang dialami oleh responden. Pemeriksaan asma
berdasarkan keluhan terkait gejala, tanda dan faktor pencetus asma masih
belum cukup karena ada beberapa penyakit yang memiliki gejala dan tanda
yang menyerupai penyakit asma. Hal ini disebabkan karena keterbatasan
dana penelitian.
6.2 Gambaran Keluhan Asma
Asma merupakan salah satu Penyakit Paru Obstruktif Menahun
(PPOM), yaitu penyakit paru jangka panjang yang ditandai oleh peningkatan
resistensi jalan napas. Menurut Canadian Lung Association, asma dapat
muncul karena reaksi terhadap faktor pencetus yang mengakibatkan inflamasi
saluran pernafasan atau reaksi hipersensitivitas. Faktor tersebut akan
menyebabkan kambuhnya asma sehingga berakibat pada kesulitan bernafas
pada penderitanya (ISAAC, 2011).
Secara umum untuk mendeteksi asma dapat dilakukan melalui
anamnesa dengan cara melihat tanda dan gejala asma yang dialami oleh
penderita. Selain melalui anamnesa, asma dapat di deteksi melalui pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, penderita asma
ditentukan melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan auskulasi. Dalam beberapa
kasus, diagnosa asma melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik masih belum
cukup. Hal ini disebabkan karena asma memiliki gejala yang bervariasi
(Rengganis, 2008). Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menetapkan
diagnosa. Pemeriksaan penunjang dalam diagnosa asma dapat dilakukan
89
melalui pemeriksaan spirometri, pemeriksaan rontgen, pemeriksaan tes kulit,
dan uji privokasi bronkus.
Patogenesis penyakit asma secara umum dapat digambarkan dalam satu
model paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan penyakit asma sebagai
hasil dari hubungan interaktif antara manusia dan perilakuknya serta
komponen lingkungan yang menjadi potensi dari penyakit. Perilaku
masyarakat yang merupakan salah satu cerminan budaya merupakan bentuk
variabel demografi yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan lain
sebagainya. Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan ini sering
disebut dengan nama teori simpul (Achmadi, 2008).
Pada penelitian ini keluhan asma didefinisikan sebagai hasil dari
interpretasi keadaan ada atau tidaknya gejala dan faktor pencetus asma yang
dialami oleh responden yang diukur menggunakan bantuan kuesioner yang
telah tervalidasi dan reliabel. Pada kuesioner terdapat empat pertanyaan terkait
keluhan asma dan setiap pertanyaan diberi skor 0-1. Total skor dari masing-
masing pertanyaan menentukan ada atau tidaknya keluhan asma. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan terhadap 75 responden di kawasan terminal
AKAP kota Palembang tahun 2016, diketahui bahwa sebagian besar responden
mengalami keluhan asma.
Keluhan asma tidak hadir dengan sendirinya. Terdapat faktor-faktor
yang melatarbelakangi seseorang mengalami keluhan asma. Faktor-faktor
tersebut terdiri dari faktor eksternal seperti pajanan partikel debu terhirup
(PM10). Selain itu, terdapat pula faktor internal yang merupakan karakteristik
individu (jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan, waktu kerja, lama
90
kerja, status merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dan riwayat penyakit
pernafasan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
responden menghirup partikel debu di bawah dosis referensi partikel debu
terhirup (≤ RfC 0,03). Untuk karakteristik individu sebagian besar responden
adalah laki-laki dengan status gizi normal, tingkat pendidikan rendah dan tidak
memiliki riwayat penyakit pernafasan. Rata-rata responden telah bekerja di
terminal selama 24,47 tahun dengan rata-rata waktu kerja 15,01 jam per hari.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, variabel intake partikel debu terhirup
(PM10) terbukti berhubungan dengan keluhan asma pada responden.
Hal ini membuktikan bahwa responden yang beraktivitas dikawasan
terminal AKAP kota Palembang perlu melakukan pengelolaan pajanan partikel
debu (PM10). Secara teori pengelolaan pajanan partikel debu (PM10) dapat
dilakukan melalui dua sekenario. Sekenario pertama dapat dilakukan dengan
menurunkan konsentrasi polutan dan sekenario ke dua dengan cara mengurangi
waktu kontak. Pengelolaan pajanan dengan menurunkan konsentrasi polutan
memberikan benerapa alternatif konsentrasi aman partikel debu (PM10)
menurut waktu pajanannya. Sedangkan pengelolaan pajanan dengan
mengurangi waktu kontak memberikan alternatif waktu pajanan dan frekuensi
pajanan yang aman bagi responden.
6.3 Hubungan Pajanan Partikel Debu (PM10) dan Keluhan Asma
Partikel debu terhirup (PM10) adalah istilah umum yang digunakan
untuk menjelaskan campuran kompleks partikel aerosol yang melayang di
udara. Pada penelitian ini pajanan partikel debu terhirup dilihat dari intake
partikel debu terhirup (PM10). Intake partikel debu terhirup (PM10) adalah
91
tingkat konsentrasi partikel debu terhirup (PM10) yang dihirup responden per
berat badan per hari (Rahman, 2007).
Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa sebagian besar responden
menerima asupan partikel debu terhirup (PM10) dibawah dosis referensi (≤ RfC
0,03). Secara teori asupan partikel debu terhirup (PM10) berkaitan dengan
timbulnya penyempitan saluran pernafasan pada penderita asma. Semakin
kecil asupan partikel debu terhirup (PM10) yang diterima seseorang maka
semakin kecil risiko mengalami keluhan asma.
Analisis tabulasi silang diketahui sebagian besar yang mengalami
keluhan asma adalah responden yang menerima asupan partikel debu terhirup
(PM10) diatas dosis referensi (> RfC 0,03). Berdasarkan hasil uji statistik
diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pajanan partikel
debu terhirup (Intake PM10) dengan keluhan asma. Dosis referensi partikel
debu terhirup (PM10) adalah estimasi dosis partikel debu terirup (PM10) yang
secara statistik atau biologis tidak menunjukan efek kesehatan pada manusia.
Apabila asupan partikel debu terhirup (PM10) yang diterima melebihi dosis
referensi akan berakibat pada timbulnya keluhan asma. Secara teori, partikel
debu terhirup (PM10) merupakan zat alergen yang dapat menginduksi respon
inflamasi pada saluran pernafasan (Gehr & Heyder, 2000). Ketika responden
menghirup partikel debu terhirup (PM10) terjadi fase sensitisasi yang berakibat
pada peningkatan antibodi IgE. Selanjutnya partikel debu terhirup (PM10)
berikatan dengan IgE dan melekat pada sel mast. Hal ini menyebabkan sel mast
berdegranulasi dan mengeluarkan beberapa mediator (Djojodibroto, 2009).
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, eosinofil dan
92
bradikinin. Hal ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus, sekresi mukus yang kental di dalam lumen bronkiolus dan spaseme
otot polos bronkiolus yang berakibat pada penyempitan saluran napas yang
memicu timbulnya keluhan asma (Darmono, 2010).
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pajanan partikel debu
terhirup (PM10) memiliki hubungan paling dominan terhadap keluan asam,
setelah dikontrol oleh variabel karakteristik individu. Penelitian Marpaung
(2012) mendukung hasil penelitian ini yang menyatakan asupan partikel debu
terhirup memiliki pengaruh terbesar terhadap keluhan asma. Pengaruh
dominan partikel debu terhirup (PM10) terhadap keluhan asma disebabkan
karena fase sensitisasi saluran pernafasan sebagai manifestasi dari pajanan
partikel debu terhirup (PM10). Sensitisasi saluran pernafasan mengakibatkan
timbulnya peradangan pada saluran pernafasan yang memperberat kerja
saluran pernafasan.
6.4 Hubungan Jenis Kelamin dan Keluhan Asma
Pada penelitian ini jenis kelamin responden didominasi oleh laki-laki.
Secara teori laki-laki membutuhkan energi jauh lebih besar dari pada
perempuan. Untuk memecah zat nutrisi menjadi energi pada proses
metabolisme diperlukan oksigen. Hal ini membuat laki-laki memerlukan
oksigen lebih banyak dari pada perempuan. Menurut Pearce (2009) kebutuhan
oksigen normal laki-laki sebesar 4-5 liter dan pada perempuan sebesar 3-4 liter.
Besarnya kebutuhan oksigen pada laki-laki berbanding lurus dengan laju
respirasi. Hal ini ditunjukkan pada angka default laju respirasi untuk wanita
dan laki-laki pada usia 19-65 tahun masing-masing 11,3 m3/hari dan 15,2
93
m3/hari. Besarnya laju respirasi pada laki-laki membuatnya rentan menerima
asupan partikel debu terhirup (PM10) lebih banyak dari pada perempuan.
Banyaknya asupan partikel debu (PM10) yang diterima membuat laki-laki lebih
berisiko mengalami keluhan asma.
Hasil analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa responden laki-laki
dan perempuan sama-sama mengalami keluhan asam. Berdasarkan hasil uji
statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dan keluhan asma. Penelitian Oemiati, et al. (2010) dan Sihombing, et
al. (2010) mendukung hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan penyakit asma di
Indonesia. Pada penelitian Olafsdottir (2007) mendapatkan hasil yang berbeda,
dimana C-reactive protein (CRP) yang merupakan biomarker untuk
mendeteksi asma yang mengemukakan bahwa semakin tinggi CRP maka
semakin tinggi pula risiko asma. Hubungan antara CRP dan asma ini secara
signifikan lebih besar pada laki-laki. Secara teori laki-laki memiliki laju
respirasi lebih besar dari pada perempuan, sehingga laki-laki berpeluang lebih
banyak menerima asupan partikel debu terhirup (PM10). Jika asupan partikel
debu terhirup (PM10) yang diterima melebihi dosis referensi akan berakibat
pada timbulnya keluhan asma.
Hal ini berbanding terbalik dengan luas saluran pernafasan. Perempuan
memiliki luas saluran pernafasan yang lebih kecil dibandingkan laki-laki.
Ketika responden perempuan terpapar partikel debu terhirup (PM10) akan
meningkatkan permeabilitas sel epitel dan memicu respon terjadinya
peradangan pada saluran napas. Respon peradangan tersebut akan menghambat
94
jalan napas dan memicu timbulnya gejala asma. Hubungan antara jenis kelamin
dan keluhan asma masih sulit untuk dijelaskan, sehingga diperlukan penelitian
lebih lanjut lagi karena pengaruhnya yang sangat kompleks.
6.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Keluhan Asma
Tingkat pendidikan didefinisikan sebagai pendidikan formal yang telah
dicapai oleh responden. Menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003,
pendidikan formal terdiri dari pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Pada penelitian ini tingkat pendidikan dikatagorikan
menjadi dua, yaitu pendidikan tinggi (SMA, diploma dan perguran tinggi) dan
pendidikan rendah (tidak sekolah s.d SMP).
Hasil analisis distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan
diketahui bahwa sebagian besar responden berpendidikan rendah. Tingkat
pendidikan yang rendah berpengaruh terhadap rendahnya persepsi dan perilaku
kontrol responden terhadap penyakit asma (Priyanto, 2009). Semakin tinggi
tingkat pendidikan responden maka semakin tinggi pula pengetahuan terhadap
faktor pencetus, gejala, cara pencegahan, dan penanggulangan penyakit asma.
Tingginya pengetahuan seseorang berhubungan dengan persepsi dan perilaku
kontrol terhadap penyakit asma (Atmoko, et al., 2011).
Hasil analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa sebagian besar
responden yang mengalami keluhan asma memiliki tingkat pendidikan rendah.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan dan keluhan asma. Hubungan yang tidak
signifikan pada faktor tingkat pendidikan kemungkinan disebabkan karena
proporsi responden dengan tingkat pendidikan tinggi yang tidak mengalami
95
asma dan kelompok responden dengan tingkat pendidikan rendah yang
mengalami asma tidak jauh berbeda. Penelitian Oemiati, et al. (2010)
mendukung hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antar tingkat pendidikan dan keluhan asma. Tingkat
pendidikan yang rendah berakibat pada rendanya perilaku pencegahan
seseorang terhadap pajanan partikel debu terhirup (PM10).
Lawrence Green menganalisis perilaku manusia melalui tingkatan
kesehatan. Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor
perilaku (Behavior Causes) dan faktor di luar perilaku (Non-Behaviour
Causes). Pada kasus ini perilaku responden dipengaruhi oleh faktor perilaku.
Faktor perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor, yaitu faktor predisposisi
(Predisposing Factors) yang terwujud dalam pengetahuan sikap, dan
kepercayaan responden akan bahaya pajanan partikel debu terhirup (PM10).
Faktor pendukung (Enabling Factors) yang terwujud pada ketersediaan
masker sebagai alat pencegahan terhadap pajanan partikel debu terhirup
(PM10). Faktor pendorong (Renforcing Factors) yang terwujud pada perilaku
pengelola terminal yang melakukan uji emisi terhadap kendaraan-kendaraan di
terminal (Notoatmodjo, 2010).
Secara teori semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi
pula pengetahuan seseorang terhadap bahaya dan pencegahan pajanan partikel
debu terhirup (PM10). Pengetahuan yang tinggi tentang bahaya dan pencegahan
pajanan partikel debu berbanding lurus dengan perilaku kontrol seseorang
terhadap penyakit asma di tempat kerja.
96
6.6 Hubungan Status Gizi dan Keluhan Asma
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan tubuh sebagai akibat dari
kecukupan zat gizi yang dilihat dari hasil perhitungan indeks masa tubuh
(IMT). Pada penelitian ini status gizi dikelompokkan menjadi dua yaitu normal
jika IMT 18,5 ≤ 24,99 dan tidak normal jika IMT < 18,5 & IMT ≥ 25.
Hasil analisis distribusi responden berdasarkan status gizi diketahui
bahwa responden didominasi oleh status gizi normal. Status gizi yang normal
berbanding lurus dengan sistem imunitas (Oemiati, et al., 2010). Sistem
imunitas adalah satu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel yang berkerja
sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing yang masuk
ke dalam tubuh (Carpenito, 2009). Sistem imunitas yang baik dapat
menghalangi pajanan partikel debu terhirup (PM10) menimbulkan respons
peradangan pada saluran pernafasan. Respon peradangan pada saluran
pernafasan dapat menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus,
sekresi mukus yang kental di dalam lumen yang berakibat pada penyempitan
saluran napas yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya keluhan asma.
Hasil analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa responden dengan
status gizi normal dan status gizi tidak normal sama-sama mengalami keluhan
asma. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara status gizi dan keluhan asma. Penelitian Koren (2003)
mendukung hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara status gizi dan keluhan asma. Beberapa hipotesis
menyatakan bahwa nilai indeks masa tubuh (IMT) dapat meningkatkan risiko
refluks gastroesofagus, meningkatkan inflamasi dan menurunkan kapasitas
97
residu fungsional paru yang semuanya itu dapat memperburuk gejala asma.
Semakin besar nilai indeks masa tubuh (IMT) maka semakin semakin besar
risiko asmanya. Hipotesis ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh Jacobs (1992) dan Contes (2001) dimana fungsi paru seseorang menurun
seiring dengan peningkatan berat badan setelah variabel umur, tinggi badan,
ras, jenis kelamin, dan status merokok.
Selain itu obesitas memberikan beban tambahan pada thoraks dan
abdomen berupa peregangan berlebihan. Otot pernafasan bekerja lebih keras.
Jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses pernafasan bertambah. Jumlah
energi diukur dengan banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot
pernafasan untuk tiap liter ventilasi. Semakin besar nilai Indeks Masa Tubuh
(IMT), maka kian berat kerja dari saluran pernafasan.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat menjelaskan secara
pasti terkait hubungan sebab akibat antara status gizi dan keluan asma.
Hubungan antara status gizi dengan asma masih harus membutuhkan banyak
penelitian karena pengaruh yang kompleks. Namun, berdasarkan hasil laporan
kasus menunjukkan bahwa rata-rata pasien yang dirawat dirumah sakit pada
kelompok obesitas lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang tidak
obesitas. Selain itu juga pada pasien obesitas memiliki rata-rata lama menderita
asma lebih panjang dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas.
6.7 Hubungan Waktu Kerja dan Keluhan Asma
Waktu kerja responden didefinisikan sebagai waktu kerja responden
yang dihitung dari jumlah jam responden berada di terminal. Hasil analisis
distribusi responden berdasarkan waktu kerja diketahui bahwa sebagian besar
98
responden bekerja di terminal selama 15,01 jam. Menurut teori, keluhan asma
sangat berkaitan dengan lamanya waktu pajanan terhadap partikel debu
terhirup (PM10). Semakin lama responden berada di kawasan terminal maka
semakin besar asupan partikel debu terhirup (PM10) yang dia terima. Apabila
asupan partikel debu terhirup (PM10) yang diterima melebihi dosis referensi
akan berakibat pada timbulnya keluhan asma. Keluhan asma yang timbul
sebagai hasil manifestasi dari respons inflamasi yang ditimbulkan oleh partikel
debu terhirup (PM10). Inflamasi pada saluran pernafasan menimbulkan efek
penyempitan saluran napas yang memicu timbulnya gejala asma.
Hasil analisis beda rata-rata diketahui bahwa responden yang paling
banyak mengalami keluhan asma bekerja di terminal selama 15,63 jam.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara waktu kerja dengan keluhan asma. Penelitian Soedjono
(2002) mendukung hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara waktu kerja dengan keluhan asma. Namun
hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Selvia (2011) dan Hadi (2004) masing-
masing di Terminal Bus Purwokerto dan Terminal Bus Umbulharo Yogyakarta
yang menemukan bahwa masa kerja berhubungan signifikan dengan kejadian
asma pada pedagang di terminal.
Tidak signifikannya hubungan antara waktu kerja dan keluhan asma
disebabkan karena kelompok responden yang mengalami keluhan asma dan
yang tidak mengalami keluhan asma memiliki rata-rata waktu kerja yang tidak
jauh berbeda. Kelompok responden dengan waktu kerja yang lama, namun
tidak mengalami keluhan asma kemungkinan disebabkan oleh faktor genetika.
99
Faktor genetika berhubungan dengan tingkat ekskresi partikel debu
terhirup (PM10) di dalam tubuh (Darmono, 2010). Terdapat beberapa jenis gen
tertentu yang khas dimiliki oleh seseorang dapat mengekskresikan partikel
debu terhirup (PM10). Kemampuan mengekskresikan partikel debu terhirup
(PM10) ini yang kemungkinan mengakibatkan responden tidak mengalami
keluhan asma meskipun dia telah bekerja dalam waktu yang cukup lama.
Namun, pada penelitian ini belum dapat di jelaskan secara pasti hubungan
antara faktor genetik dengan keluhan asma.
Menurut Undang-Undang No 13 tahun 2003 tetang ketenagakerjaan,
untuk pekerja yang bekerja 6 hari maka jam kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari
dan 40 jam dalam 1 minggu. Sebagian besar responden yang bekerja di
terminal lebih dari 15 jam. Hal ini telah melebihi batas waktu kerja yang aman,
sehingga wajar kalau responden yang bekerja selama 15,63 jam mengalami
keluhan asma. Keluhan asma yang timbul sebagai hasil manifestasi dari
pajanan partikel debu terhirup (PM10). Bergantung pada dua hal, yakni kadar
partikel debu di dalam udara dan lamanya paparan berlangsung/dosis kumulatif
(WHO, 2005a). Semakin tinggi dosis kumulatif partikel debu terhirup yang
terakumulasi di dalam saluran pernafasan maka semakin besar peluang
seseorang untuk terkena penyakit asma.
6.8 Hubungan Lama Kerja dan Keluhan Asma
Lama kerja responden didefinisikan sebagai lamanya responden telah
bekerja diterminal dalam tahun. analisis distribusi responden berdasarkan lama
kerja diketahui bahwa sebagian besar responden telah bekerja di terminal
selama 24,47 tahun. Menurut teori, keluhan asma sangat berkaitan dengan
100
lamanya waktu tinggal (retensi) partikel debu terhirup (PM10) di dalam paru
(Amir, 1996). Semakin lama responden bekerja di terminal maka semakin lama
pula terpajan partikel debu terhirup (PM10). Semakin lama seorang terpajan
oleh partikel debu terhirup (PM10) maka semakin lama pula waktu tinggalnya
(retensi) di dalam paru. Waktu tinggal (retensi) partikel debu terhirup (PM10)
mempengaruhi sel mast untuk terus berdegranulasi dan mengeluarkan
beberapa mediator. Beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, eosinofil
dan bradikinin dapat menimbulkan efek edema lokal yang berakibat pada
penyempitan saluran napas. Penyempitan saluran pernafasan ini dapat
mengakibatkan timbulnya gejala asma.
Hasil analisis beda rata-rata diketahui bahwa responden yang paling
banyak mengalami keluhan asma bekerja di terminal selama 25,34 tahun.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara lama kerja dengan keluhan asma. Penelitian Marpaung (2012)
mendukung hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara lama kerja dengan keluhan asma.
Tidak signifikannya hubungan antara lama kerja dan keluan asma
kemungkinan diakibatkan oleh rata-rata tahun kerja yang tidak jauh berbeda
antara kelompok yang mengalami keluhan asma dan yang tidak mengalami
keluhan asma. Kelompok responden yang telah lama bekerja, namun tidak
mengalami keluhan asma kemungkinan disebabkan oleh faktor genetika.
Faktor genetika berhubungan dengan tingkat ekskresi partikel debu terhirup
(PM10) di dalam tubuh. Terdapat beberapa jenis gen tertentu yang khas dimiliki
oleh seseorang dapat mengekskresikan partikel debu terhirup (PM10).
101
Kemampuan mengekskresikan partikel debu terhirup (PM10) ini menyebabkan
waktu tinggal (retensi) partikel debu terhirup (PM10) di dalam paru menjadi
lebih singkat (Darmono, 2010). Namun, pada penelitian ini belum dapat di
jelaskan secara pasti hubungan antara faktor genetik dengan keluhan asma.
Sampai saat ini belum ada teori yang menyatakan lama waktu tinggal
(retensi) maksimal partikel debu terhirup (PM10) di dalam paru. Namun sudah
banyak teori yang menatakan bawah masa tinggal partikel debu terhirup
(PM10) berkaitan dengan timbulnya penyempitan saluran pernafasan pada
penderita asma. Semakin lama waktu tingga partikel debu terhirup (PM10)
maka semakin besar peluang seseorang untuk mengalami penyempitan saluran
pernafasan dan keluhan asma
6.9 Hubungan Status Merokok dan Keluhan Asma
Status merokok didefinisikan sebagai kebiasaan merokok responden.
Hasil analisis distribusi responden berdasarkan status merokok diketahui
bahwa sebagian besar responden adalah perokok. Kebiasaan merokok sangat
mempengaruhi pembersihan mukosiliaris saluran pernafasan serta membentuk
sekresi yang lebih kental dan lengket (Sabiston, 1995). Merokok menyebabkan
lebih dari 4000 zat kimia berefek langsung pada sistem pernafasan sehingga
perokok akan mengalami batuk kronis, Peningkatan produksi sputum, dan
penurunan kapasitas paru. Kesemua hal tersebut dapat memperberat keluhan
asma.
Hasil tabulasi silang diketahui bahwa sebagian besar responden yang
mengalami keluan asma adalah perokok. Berdasarkan hasil uji statistik
diketaui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status merokok dan
102
keluan asma. Hasil ini sejalan dengan penelitian Suharmiati, et al. (2010) dan
Hinggins (1993) dimana prevalensi keadian asma tertinggi pada perokok aktif
dibandingkan mereka yang tidak merokok. Secara teori, patogenesi asma
melibatkan pelepasan Reactive Oxygen Species (ROS) dan faktor inflamasi
karena meningkatnya permeabilitas endothel. ROS bersifat toksik karena dapar
merusak struktur enzim, menghancurkan formasi ATP dan DNA. Meskipun
ROS dikenal hanya terdapat pada makhluk hidup, namun studi yang dilakukan
di Taipei oleh Huang (2005)menemukan bahwa ROS ditemukan dominan pada
partikel debu terhirup yang dihasilkan rokok. Reactive Oxygen Species (ROS)
pada partikel debu terhirup inilah yang diduga menjadi salah satu sumber
utama untuk insiden asma yang tinggi pada perokok.
6.10 Hubungan Jumlah Batang Rokok yang Dihisap dan Keluhan Asma
Jumlah batang rokok yang dihisap didefinisikan sebagai banyaknya
rokok yang dihisap responden yang diperoleh dari hasil perhitungan jumlah
batang rokok yang dihisap perhari dikali durasi lama merokok. Pada penelitian
ini jumlah batang rokok yang dihisap dikategorikan menjadi dua yaitu perokok
ringan jika IBM < 600 dan perokok berat jika IBM ≥ 600.
Hasil analisis distribusi responden berdasarkan jumlah batang rokok
yang dihisap diketahui bahwa sebagian besar responden adalah perokok
ringan. Secara teori, kejadian asma juga berhubungan erat dengan jumlah
bukus rokok dan lama merokok. Sehingga perokok ringan memiliki peluang
yang lebih kecil untuk mengalami keluhan asma dibandingkan dengan perokok
berat.
103
Hasil tabulasi silang diketahui bahwa sebagian besar responden yang
mengalami keluahan asma adalah perokok berat. Berdasarkan uji statistik
diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah batang
rokok yang dihisap dengan keluhan asma. Penelitian post-mortem pada 130
kasus outopsi menemukan adanya gangguan fungsi paru yang lebih besar pada
kelompok perokok berat (Bonstancil, 2005). Berdasarkan teori, Reactive
Oxygen Species (ROS) diduga menjadi pencetus keluan asma. Reactive
Oxygen Species (ROS) dominan ditemukan pada partikel debu dihasilkan
rokok. Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap maka semakin besar pula
asupan Reactive Oxygen Species (ROS). Semakin besar asupan Reactive
Oxygen Species (ROS) yang diterima maka semakin besar peluang untuk
mengalami keluhan asma. Telah kita ketahui bersama bawa rokok
mengandung lebih dari 4000 zat kimia berefek langsung pada sistem
pernafasan, sehingga perokok akan mengalami batuk kronis, peningkatan
produksi sputum, dispnea, dan penurunan kapasitas paru. Kesemua hal tersebut
dapat memperberat keluhan asma.
6.11 Hubungan Riwayat Penyakit Pernafasan dan Keluhan Asma
Riwayat penyakit pernafasan didefinisikan sebagai kondisi pernah atau
sedang di diagnosa satu atau lebih penyakit berikut antara lain ISPA, alergi,
TBC, bronkitis dan enfisema. Pada penelitian ini sebagian besar responden
tidak memiliki riwayat penyakit pernafasan. Riwayat penyakit pernafasan
berkaitan dengan penurunan kualitas otot pernafasan. Kualitas otot-otot
pernafasan berbanding lurus dengan permeabilitas saluran pernafasan.
Permeabilitas saluran pernafasan yang terganggu dapat berakibat pada
104
menurunnya fungsi organ pernafsan. Penurunan fungsi pernafasan inilah yang
dapat mengakibatkan keluhan asma. Responden yang tidak memiliki riwayat
penyakit pernafasan memiliki peluang yang lebih kecil untuk mengalami
keluhan asam dibandingkan dengan yang memiliki riwayat penyakit
pernafasan.
Berdasarkan analisis tabulasi silang diperoleh hasil bahwa sebagian
besar responden yang mengalami keluhan asma adalah yang memiliki riwayat
penyakit pernafasan. Hasil uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara riwayat penyakit pernafasan dengan keluhan asma.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Soedjono (2002) dimana riwayat penyakit
pernafasan dapat meningkatkan risiko hingga dua kali lebih besar untuk
terkena asma pada pedagang tetap di Terminal Induk Jawa Tengah. Menurut
teori, riwayat penyakit pernafasan memberikan beban tambahan pada organ-
organ pernafasan sehingga otot pernafasan bekerja lebih keras. Hal ini dapat
berakibat pada menurunya fungsi organ pernafasan sehingga pada akhirnya
dapat berakibat pada timbulnya penyakit asma.
105
BAB VII
SIMPULAN & SARAN
7
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 75 responden di sekitar
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) kota Palembang tahun 2016
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Terdapat 54,7% responden yang mengalami keluhan asma
2) Terdapat 68% responden yang menghirup partikel debu di bawah dosis
referensi partikel debu (≤ RfC 0,03). Untuk karakteristik individu sebagian
besar responden adalah laki-laki (61,3 %) dengan status gizi normal (72%),
tingkat pendidikan rendah (54,7%) dan tidak memiliki riwayat penyakit
pernafasan (65,3%). Selain itu juga diketahui 52% responden merupakan
perokok dan 58,7 % responden merupakan perokok ringan. Rata-rata
responden telah bekerja di terminal selama 24,47 tahun dengan rata-rata
waktu kerja 15,01 jam per hari.
3) Terdapat hubungan yang signifikan antara keluhan asma dengan pajanan
partikel debu terhirup (p=0,015); status merokok (p=0,008); jumlah batang
rokok yang dihisap (p=0,017); dan riwayat penyakit pernafasan (p=0,022).
Tidak ditemukan hubungan signifikan antara keluhan asma dengan jenis
kelamin (p=0,684); tingkat pendidikan (p=0,095); status gizi (p=0,432);
waktu kerja (p=0,073); dan lama kerja (p=0,145).
4) Variabel pajanan partikel debu terhirup (Intake PM10) memiliki hubungan
paling dominan terhadap keluhan asma (p=0,018; OR=3,653) setelah
dikontrol dengan variabel karakteristik individu, artinya responden yang
106
menghirup partikel debu diatas dosis referensi PM10 (>RfC 0,03) lebih
berisiko 3,653 kali mengalami keluhan asma bila dibandingkan dengan
mereka yang menghirup partikel debu di bawah dosis referensi PM10 (≤
RfC 0,03).
7.2 Saran
1) Bagi Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Selatan
- Melakukan penyuluhan penggunaan masker N95 pada sopir,
kondektur dan pedagang tetap yang beraktivitas di kawasan Terminal
Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) kota Palembang. Penggunaan
masker N95 dapat menghalangi 95% partikel debu terhirup (PM10)
yang masuk ke dalam saluran pernafasan jika digunakan dengan cara
yang benar.
- Penghijauan di kawasan Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP)
kota Palembang terletak dibagian belakang dengan jenis tanaman
terbanyak adalah Mahoni (Swietenia mahagoni). Hal ini kurang efektif
mengurangi pencemaran partikel debu terhirup (PM10) karena sebagian
besar aktifitas menurunkan dan menaikan penumpang berlangsung
dibagian depan terminal, sehingga penghijauan perlu ditingkatkan
pada kawasan depan Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) kota
Palembang.
- Melakukan uji emisi setiap tiga bulan sekali terhadap kendaraan-
kendaraan yang ada di Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP)
kota Palembang.
107
- Untuk mengurangi emisi kendaraan yang disebabkan seringnya
kendaraan “ngetem” sambil menghidupkan mesin, maka pihak
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dapat menempelkan
poster atau stiker dan mensosialisasikan gerakan untuk mematikan
mesin ketika menunggu penumpang di dalam terminal. Poster dapat
berupa pesan singkat seperti “Matikan Mesin Anda Ketika Sedang
Mengisi Penumpang”.
2) Bagi Masyarakat Berisiko disekitar Terminal
- Untuk mengurangi asupan partikel debu terhirup (PM10) masyarakat
berisiko disekitar terminal (sopir, kondektur dan pedagang tetap) dapat
melakukan pola hidup sehat sehingga mencapai berat badan ideal.
Karena secara teori besar dan kecilnya asupan partikel debu terhirup
(PM10) yang di terima seseorang berhubungan dengan massa tubuh.
- Untuk mengurangi asupan partikel debu terhirup (PM10) masyarakat
berisiko disekitar terminal (sopir, kondektur dan pedagang tetap) dapat
mengurangi waktu beraktivitas di kawasan Terminal Antar Kota Antar
Provinsi (AKAP) kota Palembang.
3) Bagi Peneliti Selanjutnya
- Peneliti selanjutna diharapkan dapat melakukan pengukuran
konsentrasi partikel debu terhirup (PM10) ambien di terminal selama
24 jam.
- Peneliti selanjutnya diharapkan juga melakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang dalam menentukan keluhan asma pada
responden.
108
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M., 1996. Penyakit Paru Obstruktif Menahun: Polusi Udara, Rokok dan Alfa-
1-Antiripsin. Surabaya: Airlangga University Perss.
Arbecs, et al., 2001. Air Pollution from Biomass Burning and Asthma Hospital
Admissions in a Sugar Cane Plantation Area in Brazil. Journal of Epidemiologi
and Community Health, 5(61), pp. 395-400.
Asmadi, 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Atmoko, W. et al., 2011. Prevalensi Asma Tidak Terkontrol dan Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Tingkat Kontrol Asma di Poliklinik Asma Rumah Sakit
Persahabatan Jakarta. Jurnal Respirasi Indonesia, 31(2), pp. 53-60.
ATSDR, 2011. ATSDR Public Health Assessment Guidance Manual. s.l.:Health and
Human Services.
Bonstancil, et. al., 2005. Bullous Lung Disease and Cigarette Smoking : A Postmortem
Study. Marmara Medical Journal , 18(3), pp. 123-128.
BPS, 2014. Pekembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Tahun 1987-
2013. [Online] Available at: http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1413
[Diakses 9 July 2016].
Carpenito, 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinis. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Carpenito, L., 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinis. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
109
Contes, J. et. al., 2001. Body Mass, Fat Percentage, and Fat Free Mess as Reference
Variabel For Lung Function: Effects on Terms for Age and Sex. Thorax,
Volume 56, pp. 839-844.
Darmono, 2010. Lingkungan Hidup dan Pencemaran : Hubungannya dengan
Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta: UI Perss.
Darmono, 2010. Lingkungan Hidup dan Pencemaran : Hubungannya dengan
Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta: UI Perss.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Keputusan Meteri Kesehatan RI
Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Depkes RI, 2007. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta:
Balitbangkes.Depkes RI, 2012. Pedoman Analisis Risiko Kesehatan
Lingkungan (ARKL). Jakarta: Direktorat Jendral P2PL Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Dharmayanti, I., Hapsari, D. & Azhar, K., 2015. Asthma among Children in Indonesia:
Causes and Triggers. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, IX(4), pp. 320-
326.
Dinkes Kota Palembang, 2015. Profil Kesehatan Kota Palembang. Palembang: Dinas
Kesehatan Kota Palembang.
Dinkes Prov. Sumsel, 2014. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Palembang:
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan.
110
Ditlantas Polda Sumsel, 2013. Laporan Perkembangan Jumlah Kendaraan di
Sumatera Selatan Tahun 2013-2014. Palembang: Dirjen Lalu Lintas Polda
Sumsel.
Djojodibroto, D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Fardiaz, 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Finlayson, P., B. J., J. n. P. & J., 1986. Atmospheric Chemistry : Fundamental and
Experimental Techniques. New York: Jhon Willy and Son.
Gehr & Heyder, 2000. Particle-Lung Interaction. New York : Marcel Dekker, Inc.
Gertrudis, 2010. Hubungan Antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal
Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Sekitar Pabrik Semen PT. Indocement,
Citeureup, Tahun 2010 [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.
Hadi, B. S., 2004. Pencemaran debu Ambien, Gangguan Fungsi Paru Masyarakat
yang Berada di Dalam Sekitar Terminal Bus Umbulharjo Jogjakarta. (Tesis).
Jogjakarta: Ilmu Keseatan Kerja. Program Pasca Sarjana. Universitas Gajah
Mada.
Harrison, R. M., 1999. Understanding Our Environment An Introduction to
Environmental Chemistry and Pollution. Birmingham UK: Royal Society of
Chemistry.
Hidayat, et al., 2012. Pengaruh Polusi Udara Dalam Ruangan Terhadap Paru. CDK,
39(1), p. 189.
111
Hinggins, e. a., 1993. Smoking and Lung Function in Elderly Man and Women The
Cardiovascular Health Study. JAMA, Volume 269, pp. 2741-2748.
Huang, e. a., 2005. A Study of Reactive Oxygen Species in Mainstream of Cigarette
Indoor Air. Blackwell Munksgaard, Issue 15, pp. 135-140.
IPCS, 2004. Environmental Health Criteria XXX: Principles for modelling dose-
response for the risk assessment of chemicals.. Geneva: World Health
Organization and International Programme on Chemical Safety.
IRIS, 2013. Integrated Risk Information System List of Subatnce. [Online] Available
at: http://www.epa.gov/iris/subst/index.html [Diakses 10 Januari 2016].
ISAAC, 2011. The Global Asthma Report 2011. USA: The International Study of
Asthma and Allergies in Childhod.
Jacobs, e. a., 1992. Are Race and Sex Differences in Lung Function Explained by
Frame Size ? The CARDIA Study. Am Rev Respir Dis , Volume 15, pp. 135-
140.
Kolluru, et al., 1996. Risk Assessment and management Handbook. New York:
McGrawhill inc.
Koren, 2003. Handbook of Environtmental Health Volume 1,Biological, Chemical and
Physical Agents of Environtmentally Related Disease. USA: Lewis Publishers.
Lapau, B., 2013. Metode Penelitian Kesehatan : Metode Ilmiah Penulisan Skripsi,
Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.
112
Latif, A. & Suhirkam, D., 2013. Analisa Kebutuhan Pelayanan Kendaraan Umum
AKDP Dalam Terminal Alang-Alang Lebar Palembang. Pilar Jurnal Teknik
Sipil, IX(2), pp. 24-32.
Lestari, F., 2009. Bahaya Kimia : Sampling dan Pengukuran Kontaminan Kimia di
Udara. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Louvar, J. & Louvar, D., 1998. Health and Environmental Risk Analysis:
Fundamentals With Applications. Upper Saddle River: Prentice Hall PTR.
Marpaung, Y. M., 2012. Pengaruh Pajanan Debu Respirable Terhadap Kejadian
Gangguan Fungsi Paru Pada Pedagang Tetap Di Terminal Terpadu Kota
Depok Tahun 2012 (Skripsi). Depok: FKM Universitas Indonesia.
Masoli, et al., 2008. Global Burden of Asthma. New Zealand: Medical Research
Institute.
NAAQS, 1990. National Ambient Air Quality Standards. [Online] Available at:
http://www3.epa.gov/ttn/naaqs/criteria.html [Diakses 10 Januari 2016].
Notoatmodjo, 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Citra.
Notoatmodjo, S., 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nukman, A. et al., 2005. Analisis dan Manajemen Risiko Kesehatan Pencemaran
Udara : Studi Kasus di Sembilan Kota Besar Padat Trasportasi. Jurnal Ekologi
Kesehatan, Volume 4, pp. 270-289.
Oemiati, R., Sihombing, M. & Qomariah, 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Penyakit Asma Di Indonesia. Media Litbang Kesehatan, 20(1), pp. 41-
49.
113
Pearce, E., 2009. Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.Gramedia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Priyanto, 2009. Studi Prilaku Mengontrol Asma dan Fungsi Paru Pada Pasien Asma
yang Tidak Berobat Teratur Ke Rumah Sakit Persahabatan. (Tesis). Depok:
Departemen Pulmunologi dan Ilmu Kedokteran Respirologi FKUI.
Purwana, R., 1999. Particulate Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan Pernapasan
Anak Balita (Penelitian di Kelurahan Pekojan, Jakarta) [Disertasi]. Depok:
FKM Universitas Indonesia.
Rahman, A., 2007. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan; Kajian Aspek Kesehatan
Masyarakat Dalam Studi Amdal dan Kasus-kasus Pencemaran Lingkungan.
Jakarta: BBTKL.
Rengganis, I., 2008. Diaknosi dan Tatalaksana Asama Bronkial.. Majalah Kedokteran
Indonesia Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, XI(58), pp. 444-453.
Republik Indonesia, 1991. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.KEP-03/MENKLH/II/1991.
Jakarta: Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Republik Indonesia, 1999. Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta: Sekretaris Negara.
Republik Indonesia, 1999. Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta: Sekretaris Negara.
114
Republik Indonesia, 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekretaris Negara.
Republik Indonesia, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: Sekretaris Negara.
Sabiston, 1995. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Selvia, e. a., 2011. Hubungan Kadar HbCo dengan Kapasitas Vital Paru Pedangang
Terminal Bus Purwokerto. Mandala of Health, 5(2).
Sihombing, M., Alwi, Q. & Nainggolan, O., 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan
Dengan Penyakit Asma Pada Usia Lebih dari 10 Tahun Di Indonesia (Analisis
Data Riskesdas 2007). Jurnal Respirasi Indonesia, 30(2), pp. 85-91.
Soedjono, 2002. Pengaruh Kualitas Udara (Debu, COx, NOx, SOx) Terminal
Terhadap Gangguan Fungsi Paru Pada Pedagang Tetap Terminal Bus Induk
Jawa Tengah 2002. (Tesis). Semarang: Program Studi Kesehatan Lingkungan.
Program Pasca Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas
Diponogoro.
Suharmiati, Handajani, L. & Handajani, A., 2010. Hubungan Pola Penggunaan Rokok
Dengan Tingkat Kejadian Asma. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan , 13(4),
pp. 394-403.
Sumantri, A., 2010. Kesehatan Lingkungan Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Sundaru, H., 2007. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
115
Sunyoto, D. & Setiawan, A., 2013. Buku Ajar: Statistik Kesehatan Parametrik, Non
Parametrik, Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta: Nuha Medika.
Tana, L., 2007. Merokok dan Usia Sebagai Faktor Risiko Katarak Pada Pekerja
Berusia > 30 Tahun di Bidang Pertanian. Jurnal Universa Medicina.
Thaller, et al. , 2008. Moderate Increases in Ambient PM10 and Ozone are Associated
with Lung Function Decrease in Beach Lifeguards.. Journal of Occupational
and Environmental Medicine, 2(50), pp. 11-202.
U.S. EPA, 2010. Quantitative Health Risk Assessment for Particulate Matter. North
Carolina: U.S. Environmental Protection Agency.
WHO, 2003. Health Aspects of Air Pollution with Particulate Matter, Ozone and
Nitrogen Dioxide. Bonn: Report on WHO Working Group.
WHO, 2005a. Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide
and Sulfur Dioxide: Global Update 2005. Copenhagen: WHO Regional Office
for Europe.
WHO, 2005b. Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen dioxide,
and Sulfur dioxide Global Update, Summary of Risk Assessment. Copenhagen:
WHO Regional Office for Europe.
World Bank Group, 1998. Airborne Particulate Matter. USA: World Bank.
Yulaekah, S., 2007. Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada
Pekerja Industri Batu Kapur (Tesis). Semarang: Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
116
LAMPIRAN
58
INSTRUMEN PENELITIAN
HUBUNGAN PAJANAN PARTIKEL DEBU TERHIRUP (PM10) TERHADAP
KELUHAN ASMA PADA MASYARAKAT BERISIKO DI SEKITAR
TERMINAL ANTAR KOTA ANTAR PROVINSI (AKAP)
KOTA PALEMBANG TAHUN 2016
LEMBAR KESEDIAAN RESPONDEN
(INFORMED CONSENT)
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Perkenalkan saya mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sedang melakukan penelitian mengenai “ Hubungan Pajanan Parttikel Debu
Terhirup (PM10) Terhadap Keluhan Asma Pada Masyarakat Berisiko Di Sekitar
Terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang Tahun 2016 ”.
Penelitian ini saya lakukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat.
Oleh sebab itu, saya meminta bantuan anda untuk menjadi responden dalam
penelitian ini. Saya sangat mengharapkan kesediaan waktu anda untuk dapat saya
wawancarai serta bersedia untuk dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan.
Atas perhatian dan kerjasamanya, saya ucapkan terimakasih
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Pewawancara
.............................................
(Tanda Tangan/Nama Jelas)
Responden
.............................................
(Tanda Tangan/Nama Jelas)
Petunjuk Pengisian : Isilah Pertanyaan singkat dan berilah lingkaran (O) atau tanda silang
(x) pada jawaban yang dipilih
A. Identitas
A01 Nama ..................................................................................
A02 Nomer Responden ....................................................................................
A03 Jenis kelamin 0. Laki-laki
1. Perempuan A03 [ ]
A04 Pendidikan 1. Tidak sekolah
2. SD
3. SMP
4. SMA
5. Diploma (D1/D2/D3)
6. Sarjana (S1/S2/S3)
A04 [ ]
B. Status merokok & jumlah rokok yang di hisap
Variabel Pertanyaan Koding
(di isi oleh peneliti)
B01 Apakah anda merokok ?
0. Tidak (lanjut ke C01 )
1. Iya
B01 [ ]
B02 Sudah berapa lama anda merokok ?
........................ Tahun B02 [ ]
B03 Berapa batang rokok yang anda hisap setiap hari ?
........................ Batang B03 [ ]
C. Riwayat penyakit pernafasan
Variabel Pertanyaan Koding
(di isi oleh peneliti)
C01 Apakah anda memiliki riwayat penyakit sinusitis
dengan gejala sebagai berikut :
a) Nyeri pada sekitar daerah wajah
b) Rasa sakit pada daerah sekitar mata
Ya Tidak
c) Berkurangnya daya penciuman
d) Hidung berair dan tersumbat yang
berlangsung lebih dari satu minggu
C02 Apakah anda memiliki riwayat penyakit bronkitis
dengan gejala sebagai berikut :
a) Batuk berdahak dalam waktu yang lama
b) Sesak atau nyeri dada saat batuk
c) Sering berkeringat pada malam hari
d) Mudah lelah
Ya Tidak
C03 Apakah anda memiliki riwayat penyakit
emfisema dengan gejala sebagai berikut :
a) Kesulitan bernafas
b) Dada yang terlihat seperti barel/tong (dada
yang bulat dan menonjol)
c) Sianosis (warna kebiruan pada kuku, kulit dan
ujung jari)
Ya Tidak
C04 Apakah anda pernah memiliki riwayat penyakit
TB dengan gejala sebagai berikut :
a) Batuk lebih dari 2 minggu
b) Batuk yang mengeluarkan dahak bercampur
darah
c) Penurunan berat badan tanpa alasan yang jelas
Ya Tidak
C05 Apakah anda memiliki riwayat penyakit
pernafasan lainnya ?
0. Tidak
1. Iya
Sebutkan : .............................................................
C05 [ ]
D. Keluhan asma
Variabel Pertanyaan Koding
(di isi oleh peneliti)
D01 Apakah anda pernah mengalami rasa nyeri di
daerah sekitar dada ? D01 [ ]
0. Tidak
1. Iya
D02 Apakah anda pernah mengalami sesak nafas ?
0. Tidak (lanjut ke pertanaan E)
1. Iya
D02 [ ]
D03 Apakah sesak nafas tersebut terjadi pada kondisi
berikut :
a) Terpapar udara dingin
b) Terpapar debu
c) Terpapar asap rokok
d) Stres/bamyak pikiran
e) Flu atau infeksi saluran pernafasan
f) Kelelahan
g) Alergi obat
h) Alergi makanan
Ya Tidak
D04 Apakah sesak nafas disertai kondisi di bawah ini :
a) Mengi (sesak nafas yang disertai suara)
b) Sesak nafas berkurang atau menghilang tanpa
pengobatan
c) Sesak nafas berkurang atau menghilang dengan
pengobatan
d) Sesak nafas lebih berat dirasakan pada malam
hari atau menjelang pagi
Ya Tidak
E. Pajanan partikel debu terhirup
Variabel Pertanyaan Koding
(di isi oleh peneliti)
E01 Sudah berapa lama anda bekerja di terminal ini ?
.............. Tahun E01 [ ]
E02 Setiap harinya, berapa lama anda bekerja di
terminal ini ?
.............. Jam (dari pukul ................ s.d ................)
E02 [ ]
E03 Dalam seminggu, berapa hari anda bekerja di
terminal ini ?
.............. Hari
E03 [ ]
E04 Berapa lama anda libur/tidak bekerja di terminal
(libur lebaran/libur natal/tahun baru/mudik/urusan
pribadi) ?
Sebulan : ........................ Hari
Setahun : ........................ Hari
E04 [ ]
F. Lembar pengukuran
Variabel Hasil Pengukuran Koding
(di isi oleh Peneliti)
F01 Konsentrasi partikel debu terhirup (PM10)
1. Ring I (50 Meter)
2. Ring II (100 Meter)
3. Ring III (150 Meter)
F01 [ ]
F02 Berat badan
.............. Kg F02 [ ]
F03 Tinggi badan
.............. Cm F03 [ ]
KERANGKA SAMPEL PENELITIAN
NO NAMA NO NAMA NO NAMA NO NAMA
001 Ahmad kohar 046 Heriyawan 091 Romli gose 138 Ibu sawinah
002 Martono 047 Ali Khomarudi 092 Gerardus pape 139 Deden mariyadi
003 Ibu Siti absah 048 Ibu asiyah 093 Ibu aminah 140 Effendy jakfar
004 Dullah 049 Saryoko 094 Ibu uswatun 141 Feredi
005 Ibu Haerawati 050 Warisman 095 Ahmadi 142 Ibu Ermawati
006 Nahrun 051 Adi nugraha 096 Binsar sitompul 143 Hamdan saleh
007 Rosyid 052 Ibu Nuraliyah 097 Nurrohmansyah 144 Ishak
008 Basri 053 Kuswarna 098 Ibu mariyam 145 Ibu sugiharti
009 Sunatman 054 Samuddin 099 Ibu nining 146 M. Riyansyah
010 Ibu Nina 055 Masruri 100 Ibu sulastri 147 Mujiyono
011 Zumardi 056 Dahlan 101 M. Masrun 148 Ristiyono
012 Husain amri 057 Ibu Nurazizah 102 Maskan 149 Ibu sutiyah
013 Ibu Rosmaria 058 Busmarudin 103 Pariman 150 Tarmizi
014 Sumanto 059 Yandi karim 104 Muchendi 151 Abdul bahri
015 Heriawan 060 Idhan efendi 105 Sugiman 152 Ibu tika mulyati
016 Ibu Mariyam 061 Sunaryo 106 Ibu linda rahayu 153 Ibu komariyah
017 Mustofa amri 062 Ibu lani 107 Wahyudi 154 Agus purnadi
018 Tamrin gumai 063 Ibu soliha 108 Yumansyah 155 Ibu sulastri
019 Ibu Endang 064 Ibu yanti 109 Yusup amir 156 Ardianto
020 Sunaryo 065 Ibu nana 110 Ade firmansyah 157 Arfin
021 Ibu Neneng 066 Warsiman 111 Ibu oktarina 158 Eko hardianto
022 Hendro subroto 067 Khairul anam 112 Siswanto 159 Erman
023 Ramli suyanto 068 Agus mauludin 113 Agus hendra 160 Ibu Husna
024 Ibu Mufidah 069 Riswanto 114 Rudi setiawan 161 Ibu siti daharo
025 Warsiman 070 Samsidar 115 Ali usman 162 Asnawi
026 Masran asmari 071 Suratman 116 Ibu perawati 163 Edi jaya
027 Madin 072 Ibu kirana 117 Widarno 164 Ibu badariyah
028 Saripudin 073 Umar mardianto 118 Aris pranata
029 Ibu hera 074 Amrizal 119 Candra kusuma
030 Suratman 075 Tamrin wijaya 120 Ibu samini
031 Nurhamzah 076 Rustam 121 Djaman
032 Ahmad junaidi 077 Abdul Kosim 122 Ibu titin aliya
033 Ibu karmila 078 Ibu Sulastri 123 Edy yono
034 Ibu masyem 079 Marwoto 124 Fajar uhud
035 Ibu tati 080 Badri Solihin 125 Ibu saptaningsih
036 Amar amirudin 081 Abu bakar 126 Gunawan
037 Abdul qadir 082 Idrus madani 127 Handoko
038 Romli 083 Maryanto 128 Handri yusup
039 Ibu yuyun 084 Ibu Sulistiana 129 Kashartadi
040 Suyadi 085 Kasman 130 Ibu siti ratiyah
041 Sufiyansyah 086 Abdul Rozaq 133 Jufri Hasyim
042 M. Ridwan 087 Sari gumai 134 Marwoto
043 Ahmad Toha 088 Hendra ginting 135 Edi susilo
044 Ibu idah farida 089 Ibu salamun 136 Muhtar ali
045 Ibu masnah 090 Ibu Eva 137 Ibu Musturiah
Lampiran Perhitungan Nilai Asupan Partikel Debu Terhirup (Intake PM10)
Nama Konsentrasi
(mg/m3)
Laju Inhalasi
(m3/jam)
Waktu
Pajanan (Jam)
Frekuensi Pajanan
(hari/tahun)
Durasi
Pajanan
(Tahun)
Berat
Badan (Kg)
Waktu Rata-rata
(Hari)
Intake PM10
(mg/kg x hari)
Kategori
Ibu Siti Absah 0,120 0,83 16 250 27 70,10 10.950 0,0140136400 ≤ RfC
Husain Amri 0,113 0,83 13 250 20 69,70 10.950 0,0079877230 ≤ RfC
Ibu Nina 0,148 0,83 18 250 28 46,13 10.950 0,0306416946 > RfC
Ibu Endang 0,148 0,83 19 250 30 50,10 10.950 0,0319082383 > RfC
Tamrin Gumai 0,113 0,83 12 250 26 69,40 10.950 0,0096267025 ≤ RfC
Hendro Subroto 0,148 0,83 19 250 34 56,55 10.950 0,0320380154 > RfC
Ibu Mufidah 0,113 0,83 13 250 18 65,50 10.950 0,0076499216 ≤ RfC
Ibu Idah Farida 0,148 0,83 18 250 29 47,11 10.950 0,0310758557 > RfC
Ahmad Junaidi 0,113 0,83 15 250 20 73,40 10.950 0,0087520063 ≤ RfC
Abdul Qadir 0,120 0,83 16 250 29 67,80 10.950 0,0155622904 ≤ RfC
Busmarudin 0,113 0,83 14 250 23 74,80 10.950 0,0092179999 ≤ RfC
Khairul Anam 0,120 0,83 15 250 20 70,40 10.950 0,0096902242 ≤ RfC
Warsiman 0,148 0,83 20 250 30 54,40 10.950 0,0309327156 > RfC
Rustam 0,120 0,83 14 250 28 74,56 10.950 0,0119554354 ≤ RfC
Ibu Masnah 0,113 0,83 8 250 28 65,80 10.950 0,0072896143 ≤ RfC
Muchendi 0,148 0,83 19 250 32 52,49 10.950 0,0324857355 > RfC
Ali usman 0,120 0,83 11 250 16 77,80 10.950 0,0051442054 ≤ RfC
Ibu Nurazizah 0,148 0,83 17 250 30 46,90 10.950 0,0304974151 > RfC
M. Masrun 0,113 0,83 11 250 16 68,90 10.950 0,0054698557 ≤ RfC
Ristiyono 0,148 0,83 20 250 34 56,22 10.950 0,0339221811 > RfC
Ibu Soliha 0,113 0,83 14 250 20 65,00 10.950 0,0092241658 ≤ RfC
Ibu Nining 0,120 0,83 12 250 24 66,95 10.950 0,0097819882 ≤ RfC
Yumansyah 0,113 0,83 16 250 15 69,50 10.950 0,0073945008 ≤ RfC
Nama Konsentrasi
(mg/m3)
Laju Inhalasi
(m3/jam)
Waktu
Pajanan (Jam)
Frekuensi Pajanan
(hari/tahun)
Durasi
Pajanan
(Tahun)
Berat
Badan (Kg)
Waktu Rata-rata
(Hari)
Intake PM10
(mg/kg x hari)
Kategori
Heriawan 0,113 0,83 13 250 27 74,20 10.950 0,0101294447 ≤ RfC
Ibu Oktarina 0,120 0,83 9 250 23 58,90 10.950 0,0079917204 ≤ RfC
Ibu Sutiyah 0,148 0,83 18 250 30 49,30 10.950 0,0307193865 > RfC
Nurhamzah 0,113 0,83 11 250 28 76,80 10.950 0,0085876023 ≤ RfC
Edi Jaya 0,113 0,83 11 250 18 71,67 10.950 0,0059157554 ≤ RfC
Eko Hardianto 0,148 0,83 17 250 33 50,10 10.950 0,0314044240 > RfC
Marwoto 0,148 0,83 20 250 29 53,90 10.950 0,0301790056 > RfC
Ibu Husna 0,148 0,83 19 250 31 54,80 10.950 0,0301439689 > RfC
Djaman 0,120 0,83 12 250 15 71,84 10.950 0,0056975928 ≤ RfC
Gunawan 0,148 0,83 19 250 34 59,83 10.950 0,0302816275 > RfC
Suratman 0,120 0,83 14 250 16 77,60 10.950 0,0065640446 ≤ RfC
Ibu Perawati 0,113 0,83 15 250 28 58,30 10.950 0,0154263493 ≤ RfC
Sari Gumai 0,120 0,83 11 250 20 72,13 10.950 0,0069357268 ≤ RfC
Ibu Mariyam 0,120 0,83 13 250 27 57,20 10.950 0,0139539228 ≤ RfC
Ibu Lani 0,148 0,83 18 250 29 48,34 10.950 0,0302851378 > RfC
Ardianto 0,124 0,83 9 250 18 67,30 10.950 0,0056562112 ≤ RfC
Yusup Amir 0,154 0,83 17 250 24 74,70 10.950 0,0159391172 ≤ RfC
Nurrohmansyah 0,154 0,83 19 250 30 55,30 10.950 0,0300797642 > RfC
Samuddin 0,154 0,83 17 250 35 57,70 10.950 0,0300930256 > RfC
Umar Mardianto 0,154 0,83 18 250 36 62,60 10.950 0,0302082367 > RfC
Ahmad Toha 0,154 0,83 20 250 25 45,70 10.950 0,0319284993 > RfC
Ibu Nana 0,109 0,83 16 250 25 55,80 10.950 0,0148066316 ≤ RfC
Ibu Kirana 0,124 0,83 12 250 15 59,40 10.950 0,0071205203 ≤ RfC
Agus Mauludin 0,154 0,83 18 250 29 48,90 10.950 0,0311520296 > RfC
Badri Solihin 0,124 0,83 11 250 15 66,80 10.950 0,0058040768 ≤ RfC
Abu Bakar 0,109 0,83 14 250 25 73,33 10.950 0,0098586362 ≤ RfC
Nama Konsentrasi
(mg/m3)
Laju Inhalasi
(m3/jam)
Waktu
Pajanan (Jam)
Frekuensi Pajanan
(hari/tahun)
Durasi
Pajanan
(Tahun)
Berat
Badan (Kg)
Waktu Rata-rata
(Hari)
Intake PM10
(mg/kg x hari)
Kategori
Erman 0,124 0,83 16 250 16 69,50 10.950 0,0086552741 ≤ RfC
Samuddin 0,109 0,83 17 250 27 67,55 10.950 0,0140351744 ≤ RfC
Sugiman 0,124 0,83 10 250 23 60,80 10.950 0,0088889390 ≤ RfC
Ibu Sugiharti 0,154 0,83 19 250 26 47,65 10.950 0,0302544141 > RfC
Ibu Linda Rahayu 0,124 0,83 13 250 24 59,70 10.950 0,0122802139 ≤ RfC
Ibu Uswatun 0,109 0,83 12 250 23 61,30 10.950 0,0092999173 ≤ RfC
Idhan Efendi 0,124 0,83 16 250 18 73,40 10.950 0,0092198126 ≤ RfC
Ibu Yanti 0,109 0,83 12 250 16 60,44 10.950 0,0065615622 ≤ RfC
Masran Asmari 0,154 0,83 18 250 33 57,74 10.950 0,0300216369 > RfC
Ali usman 0,109 0,83 9 250 20 75,40 10.950 0,0049309618 ≤ RfC
Yandi Karim 0,154 0,83 20 250 27 50,60 10.950 0,0311435378 > RfC
Siswanto 0,154 0,83 11 250 23 77,33 10.950 0,0095476659 ≤ RfC
Tarmizi 0,124 0,83 10 250 24 70,23 10.950 0,0080299759 ≤ RfC
Kuswarna 0,154 0,83 20 250 26 48,66 10.950 0,0311857320 > RfC
Ibu Yuyun 0,124 0,83 14 250 25 58,10 10.950 0,0141552511 ≤ RfC
Ibu Soliha 0,109 0,83 17 250 15 65,70 10.950 0,0080168783 ≤ RfC
Agus Hendra 0,124 0,83 12 250 26 70,30 10.950 0,0104285742 ≤ RfC
Handoko 0,109 0,83 15 250 18 57,44 10.950 0,0097091187 ≤ RfC
Ibu Titin Aliya 0,109 0,83 13 250 23 61,50 10.950 0,0100421465 ≤ RfC
Madin 0,124 0,83 16 250 24 73,33 10.950 0,0123048183 ≤ RfC
Ibu Karmila 0,109 0,83 17 250 16 59,80 10.950 0,0093950306 ≤ RfC
Ibu Samini 0,154 0,83 20 250 24 45,24 10.950 0,0309630222 > RfC
Pariman 0,154 0,83 15 250 27 76,90 10.950 0,0153692752 ≤ RfC
Siswanto 0,124 0,83 13 250 18 64,10 10.950 0,0085779497 ≤ RfC
Ibu Musturiah 0,109 0,83 16 250 25 66,12 10.950 0,0124956147 ≤ RfC
Ibu Siti Daharo 0,109 0,83 14 250 26 63,22 10.950 0,0118926153 ≤ RfC
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
1. Hasil Uji Validitas
Pertanyaan r hitung r tabel Keterangan
A03 0,358 0,312 Valid
A04 0,384 0,312 Valid
B01 0,322 0,312 Valid
C01 0,620 0,312 Valid
C02 0,615 0,312 Valid
C03 0,611 0,312 Valid
C04 0,480 0,312 Valid
D01 0,433 0,312 Valid
D02 0,587 0,312 Valid
D03 0,543 0,312 Valid
D04 0,543 0,312 Valid
2. Hasil Uji Reliabilitas
Pertanyaan Cronbach’s Alpha Konstanta Keterangan
A03 0,825 0,60 Reliabel
A04 0,823 0,60 Reliabel
B01 0,829 0,60 Reliabel
C01 0,801 0,60 Reliabel
C02 0,803 0,60 Reliabel
C03 0,802 0,60 Reliabel
C04 0,814 0,60 Reliabel
D01 0,818 0,60 Reliabel
D02 0,805 0,60 Reliabel
D03 0,809 0,60 Reliabel
D04 0,809 0,60 Reliabel
3. Output SPSS
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
A03 6,30 9,252 ,358 ,825 A04 6,23 9,220 ,384 ,823 B01 6,37 9,344 ,322 ,829 C01 6,27 8,547 ,620 ,801 C02 6,17 8,695 ,615 ,803 C03 6,20 8,648 ,611 ,802 C04 6,20 8,993 ,480 ,814 D01 6,23 9,082 ,433 ,818 D02 6,17 8,764 ,587 ,805 D03 6,27 8,754 ,543 ,809 D04 6,27 8,754 ,543 ,809
Case Processing Summary
N %
Cases
Valid 30 69,8
Excludeda 13 30,2
Total 43 100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
,827 11
OUTPUT ANALISIS DATA
1. Keluhan Asma Keluhan Asma
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Tidak 34 45,3 45,3 45,3
Iya 41 54,7 54,7 100,0
Total 75 100,0 100,0
2. Pajanan Partikel Debu (Intake PM10)
Intake PM10
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
<= RfC 0,03 51 68,0 68,0 68,0
> RfC 0,03 24 32,0 32,0 100,0
Total 75 100,0 100,0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Intake PM10 * Keluhan Asma 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0%
Intake PM10 * Keluhan Asma Crosstabulation
Keluhan Asma Total
Tidak Iya
Intake PM10
<= RfC 0,03 Count 28 23 51
% within Intake PM10 54,9% 45,1% 100,0%
> RfC 0,03 Count 6 18 24
% within Intake PM10 25,0% 75,0% 100,0%
Total Count 34 41 75
% within Intake PM10 45,3% 54,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 5,888a 1 ,015 Continuity Correctionb 4,743 1 ,029 Likelihood Ratio 6,116 1 ,013 Fisher's Exact Test ,024 ,014
Linear-by-Linear Association 5,810 1 ,016 N of Valid Cases 75 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,88. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Intake PM10 (<= RfC 0,03 / > RfC 0,03) 3,652 1,245 10,712 For cohort Keluhan Asma = Tidak 2,196 1,052 4,586 For cohort Keluhan Asma = Iya ,601 ,411 ,880
N of Valid Cases 75
3. Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Laki-Laki 46 61,3 61,3 61,3
Perempuan 29 38,7 38,7 100,0
Total 75 100,0 100,0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis Kelamin * Keluhan Asma 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0%
Jenis Kelamin * Keluhan Asma Crosstabulation
Keluhan Asma Total
Tidak Iya
Jenis Kelamin
Laki-Laki Count 20 26 46
% within Jenis Kelamin 43,5% 56,5% 100,0%
Perempuan Count 14 15 29
% within Jenis Kelamin 48,3% 51,7% 100,0%
Total Count 34 41 75
% within Jenis Kelamin 45,3% 54,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square ,165a 1 ,684 Continuity Correctionb ,028 1 ,866 Likelihood Ratio ,165 1 ,685 Fisher's Exact Test ,812 ,433
Linear-by-Linear Association ,163 1 ,686 N of Valid Cases 75 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,15. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin (Laki-Laki / Perempuan) ,824 ,324 2,095 For cohort Keluhan Asma = Tidak ,901 ,546 1,486 For cohort Keluhan Asma = Iya 1,093 ,708 1,686
N of Valid Cases 75
4. Tingkat Pendidikan
Kelompok Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Tinggi 34 45,3 45,3 45,3
Rendah 41 54,7 54,7 100,0
Total 75 100,0 100,0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelompok Pendidikan * Keluhan Asma 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0%
Kelompok Pendidikan * Keluhan Asma Crosstabulation
Keluhan Asma Total
Tidak Iya
Kelompok Pendidikan
Tinggi Count 19 15 34
% within Kelompok Pendidikan 55,9% 44,1% 100,0%
Rendah Count 15 26 41
% within Kelompok Pendidikan 36,6% 63,4% 100,0%
Total Count 34 41 75
% within Kelompok Pendidikan 45,3% 54,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2,793a 1 ,095 Continuity Correctionb 2,068 1 ,150 Likelihood Ratio 2,805 1 ,094 Fisher's Exact Test ,109 ,075
Linear-by-Linear Association 2,756 1 ,097 N of Valid Cases 75 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,41. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kelompok Pendidikan (Tinggi / Rendah) 2,196 ,868 5,556 For cohort Keluhan Asma = Tidak 1,527 ,925 2,522 For cohort Keluhan Asma = Iya ,696 ,446 1,085
N of Valid Cases 75
5. Status Gizi
Kelompok Status Gizi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Normal 54 72,0 72,0 72,0
Tidak Normal 21 28,0 28,0 100,0
Total 75 100,0 100,0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelompok Status Gizi * Keluhan Asma 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0%
Kelompok Status Gizi * Keluhan Asma Crosstabulation
Keluhan Asma Total
Tidak Iya
Kelompok Status Gizi
Normal Count 26 28 54
% within Kelompok Status Gizi 48,1% 51,9% 100,0%
Tidak Normal Count 8 13 21
% within Kelompok Status Gizi 38,1% 61,9% 100,0%
Total Count 34 41 75
% within Kelompok Status Gizi 45,3% 54,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square ,617a 1 ,432 Continuity Correctionb ,278 1 ,598 Likelihood Ratio ,622 1 ,430 Fisher's Exact Test ,454 ,300
Linear-by-Linear Association ,608 1 ,435 N of Valid Cases 75 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,52. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kelompok Status Gizi (Normal / Tidak Normal) 1,509 ,539 4,226 For cohort Keluhan Asma = Tidak 1,264 ,686 2,329 For cohort Keluhan Asma = Iya ,838 ,549 1,278
N of Valid Cases 75
6. Status Merokok
Status Merokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Tidak Merokok 36 48,0 48,0 48,0
Merokok 39 52,0 52,0 100,0
Total 75 100,0 100,0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Merokok * Keluhan Asma 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0%
Status Merokok * Keluhan Asma Crosstabulation
Keluhan Asma Total
Tidak Iya
Status Merokok
Tidak Merokok Count 22 14 36
% within Status Merokok 61,1% 38,9% 100,0%
Merokok Count 12 27 39
% within Status Merokok 30,8% 69,2% 100,0%
Total Count 34 41 75
% within Status Merokok 45,3% 54,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6,954a 1 ,008 Continuity Correctionb 5,784 1 ,016 Likelihood Ratio 7,059 1 ,008 Fisher's Exact Test ,011 ,008
Linear-by-Linear Association 6,862 1 ,009 N of Valid Cases 75 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16,32. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status Merokok (Tidak Merokok / Merokok) 3,536 1,361 9,185 For cohort Keluhan Asma = Tidak 1,986 1,160 3,402 For cohort Keluhan Asma = Iya ,562 ,355 ,890
N of Valid Cases 75
7. Jumlah Batang Rokok yang Dihisap
Jumlah Bantang Rokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Perokok Ringan 44 58,7 58,7 58,7
Perokok Berat 31 41,3 41,3 100,0
Total 75 100,0 100,0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jumlah Bantang Rokok * Keluhan Asma 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0%
Jumlah Bantang Rokok * Keluhan Asma Crosstabulation
Keluhan Asma Total
Tidak Iya
Jumlah Bantang Rokok
Perokok Ringan Count 25 19 44
% within Jumlah Bantang Rokok 56,8% 43,2% 100,0%
Perokok Berat Count 9 22 31
% within Jumlah Bantang Rokok 29,0% 71,0% 100,0%
Total Count 34 41 75
% within Jumlah Bantang Rokok 45,3% 54,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 5,666a 1 ,017 Continuity Correctionb 4,600 1 ,032 Likelihood Ratio 5,790 1 ,016 Fisher's Exact Test ,020 ,015
Linear-by-Linear Association 5,590 1 ,018 N of Valid Cases 75
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,05. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jumlah Bantang Rokok (Perokok Ringan / Perokok Berat) 3,216 1,209 8,556 For cohort Keluhan Asma = Tidak 1,957 1,066 3,593 For cohort Keluhan Asma = Iya ,608 ,405 ,914
N of Valid Cases 75
8. Riwayat Penyakit Pernafasan
Riwayat Penyakit Pernafasan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Tidak Ada 25 33,3 33,3 33,3
Ada 50 66,7 66,7 100,0
Total 75 100,0 100,0
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Riwayat Penyakit Pernafasan * Keluhan Asma 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0%
Riwayat Penyakit Pernafasan * Keluhan Asma Crosstabulation
Keluhan Asma Total
Tidak Iya
Riwayat Penyakit Pernafasan
Tidak Ada Count 16 9 25
% within Riwayat Penyakit Pernafasan 64,0% 36,0% 100,0%
Ada Count 18 32 50
% within Riwayat Penyakit Pernafasan 36,0% 64,0% 100,0%
Total Count 34 41 75
% within Riwayat Penyakit Pernafasan 45,3% 54,7% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 5,273a 1 ,022 Continuity Correctionb 4,203 1 ,040 Likelihood Ratio 5,305 1 ,021 Fisher's Exact Test ,028 ,020
Linear-by-Linear Association 5,202 1 ,023 N of Valid Cases 75 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,33. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat Penyakit Pernafasan (Tidak Ada / Ada) 3,160 1,162 8,593 For cohort Keluhan Asma = Tidak 1,778 1,109 2,851 For cohort Keluhan Asma = Iya ,563 ,321 ,987
N of Valid Cases 75
9. Waktu & Lama Kerja
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Waktu Kerja 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0% Lama Kerja 75 100,0% 0 0,0% 75 100,0%
Descriptives
Statistic Std. Error
Waktu Kerja
Mean 15,01 ,380
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 14,26
Upper Bound 15,77
5% Trimmed Mean 15,09
Median 15,00
Variance 10,851
Std. Deviation 3,294
Minimum 8
Maximum 20
Range 12
Interquartile Range 6 Skewness -,154 ,277
Kurtosis -1,023 ,548
Lama Kerja
Mean
24,47
,657
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 23,16
Upper Bound 25,78
5% Trimmed Mean 24,42
Median 25,00
Variance 32,360
Std. Deviation 5,689
Minimum 15
Maximum 36
Range 21
Interquartile Range 9 Skewness -,087 ,277
Kurtosis -,856 ,548
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Waktu Kerja ,100 75 ,060 ,955 75 ,009 Lama Kerja ,099 75 ,067 ,959 75 ,016
a. Lilliefors Significance Correction
Group Statistics
Keluhan Asma N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Waktu Kerja Tidak 34 14,26 2,937 ,504
Iya 41 15,63 3,477 ,543
Lama Kerja Tidak 34 23,41 5,332 ,914
Iya 41 25,34 5,889 ,920
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Waktu Kerja
Equal variances assumed
1,471 ,229 -1,820 73 ,073 -1,369 ,752 -2,869 ,130
Equal variances not assumed
-1,849 72,968 ,068 -1,369 ,741 -2,845 ,107
Lama Kerja
Equal variances assumed
,648 ,423 -1,474 73 ,145 -1,930 1,309 -4,539 ,679
Equal variances not assumed
-1,488 72,406 ,141 -1,930 1,297 -4,515 ,655
Uji Variabel Perancu
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a
Kel_Pendidikan ,450 ,540 ,696 1 ,404 1,569 ,545 4,518
Rokok 1,113 ,916 1,478 1 ,224 3,044 ,506 18,321
Jumlah_Rokok ,319 ,939 ,116 1 ,734 1,376 ,218 8,665
Penyakit_Nafas 1,173 ,608 3,719 1 ,054 3,232 ,981 10,650
Waktu_Kerja -,015 ,132 ,014 1 ,907 ,985 ,760 1,275
Lama_Kerja -,078 ,071 1,211 1 ,271 ,925 ,806 1,063
Intake 1,866 1,115 2,801 1 ,094 6,462 ,727 57,461
Constant ,043 2,248 ,000 1 ,985 1,044
Step 2a
Kel_Pendidikan ,459 ,535 ,737 1 ,391 1,583 ,555 4,514
Rokok 1,090 ,893 1,489 1 ,222 2,975 ,516 17,136
Jumlah_Rokok ,342 ,918 ,139 1 ,710 1,408 ,233 8,512
Penyakit_Nafas 1,173 ,609 3,711 1 ,054 3,232 ,980 10,662
Lama_Kerja -,078 ,071 1,222 1 ,269 ,925 ,805 1,062
Intake 1,780 ,841 4,481 1 ,034 5,932 1,141 30,842
Constant -,156 1,475 ,011 1 ,916 ,856
Step 3a
Kel_Pendidikan ,468 ,533 ,771 1 ,380 1,597 ,562 4,541
Rokok 1,354 ,551 6,036 1 ,014 3,873 1,315 11,407
Penyakit_Nafas 1,167 ,606 3,705 1 ,054 3,213 ,979 10,548
Lama_Kerja -,073 ,069 1,128 1 ,288 ,929 ,812 1,064
Intake 1,758 ,838 4,405 1 ,036 5,802 1,123 29,970
Constant -,263 1,442 ,033 1 ,855 ,769
Step 4a
Rokok 1,436 ,543 6,984 1 ,008 4,203 1,449 12,193
Penyakit_Nafas 1,188 ,606 3,852 1 ,050 3,282 1,002 10,754
Lama_Kerja -,074 ,069 1,167 1 ,280 ,929 ,812 1,062
Intake 1,812 ,838 4,678 1 ,031 6,121 1,185 31,612
Constant -,066 1,416 ,002 1 ,963 ,936
Step 5a
Rokok 1,359 ,528 6,633 1 ,010 3,892 1,384 10,949
Penyakit_Nafas ,969 ,558 3,010 1 ,083 2,635 ,882 7,871
Intake 1,196 ,597 4,009 1 ,045 3,305 1,026 10,652
Constant -1,497 ,558 7,212 1 ,007 ,224
Step 6a
Rokok 1,344 ,515 6,819 1 ,009 3,833 1,398 10,508
Intake 1,388 ,581 5,715 1 ,017 4,009 1,284 12,513
Constant -,906 ,409 4,892 1 ,027 ,404
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a
Rokok 1,414 ,601 5,543 1 ,019 4,114 1,267 13,356
Intake 1,504 ,769 3,826 1 ,050 4,500 ,997 20,311
Variabel_Interaksi -,269 1,160 ,054 1 ,816 ,764 ,079 7,415
Constant -,944 ,445 4,496 1 ,034 ,389 a. Variable(s) entered on step 1: Rokok, Intake, Variabel_Interaksi.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Intake 1,295 ,549 5,567 1 ,018 3,652 1,245 10,712
Constant -,197 ,281 ,489 1 ,485 ,821 a. Variable(s) entered on step 1: Intake.
FOTO KEGIATAN PENELITIAN