HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN SINDROM MULUT TERBAKAR …
Transcript of HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN SINDROM MULUT TERBAKAR …
HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN
SINDROM MULUT TERBAKAR PASIEN
POLI PSIKIATRI RSUD PIRNGADI MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
ALZERESSY PUTRI
NIM: 130600117
Pembimbing:
Nurdiana, drg., Sp.PM
Aida Fadhilla Darwis, drg., MDSc
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
Universitas Sumatera Utara
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Tahun 2017
Alzeressy Putri
HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN SINDROM MULUT TERBAKAR
PASIEN POLI PSIKIATRI RSUD PIRNGADI MEDAN
ix + 38 halaman
Kecemasan merupakan sinyal dan peringatan terhadap adanya suatu ancaman
yang berdasarkan tingkatannya dibagi menjadi kecemasan ringan, sedang, berat, dan
berat sekali. Keadaan tersebut dapat mengganggu kehidupan seseorang dan
memengaruhi kesehatan organ tubuh seperti jantung, ginjal, paru-paru, serta rongga
mulut. Salah satu kelainan rongga mulut yang dapat dipengaruhi oleh kecemasan
yaitu Sindrom Mulut Terbakar (SMT). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
hubungan kecemasan dengan SMT. Penelitian ini merupakan penelitian survei
analitik dengan pendekatan cross sectional yang melibatkan 50 orang pasien Poli
Psikiatri RSUD Pirngadi Medan dengan gejala utama kecemasan. Pemilihan sampel
pada penelitian ini dengan teknik non probability purposive sampling. Data penelitian
dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety
(HRS-A) dengan wawancara langsung serta melakukan anamnesis dan pemeriksaan
klinis untuk diagnosis SMT. Analisis data dilakukan dengan Fisher’s Exact test.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu dari 50 subjek, pasien yang mengalami
SMT berjumlah 6 orang (12%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan SMT
(p=0,001), sementara itu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kecemasan
berdasarkan tingkatannya dengan tipe SMT (p=1,000). Kesimpulan penelitian ini
yaitu terdapat hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan terjadinya
Universitas Sumatera Utara
SMT namun tidak berhubungan dengan tipe SMT serta ditemukan SMT tipe II
sebagai kelainan yang lebih banyak dijumpai pada pasien dengan gejala utama
kecemasan.
Daftar rujukan: 48 (1994-2016)
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
dihadapan tim penguji skripsi
Medan, 25 Oktober 2017
Pembimbing: Tanda tangan 1. Nurdiana, drg., Sp.PM
NIP: 19780622 200502 2 002 .................................
2. Aida Fadhilla Darwis, drg., MDSc
NIP: 19860218 201012 2 004 .................................
Universitas Sumatera Utara
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini dipertahankan di hadapan tim penguji
pada tanggal 25 Oktober 2017
TIM PENGUJI
KETUA : Nurdiana, drg., Sp.PM
Aida Fadhilla Darwis, drg., MDSc
ANGGOTA : Dr. Wilda Hafni Lubis, drg., M.Si
Indri Lubis, drg
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
kasih karunia-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul
“Hubungan Kecemasan dengan Sindrom Mulut Terbakar Pasien Poli Psikiatri RSUD
Pirngadi Medan” ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi penulis untuk
mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara.
Rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada
kedua orangtua terkasih, ayah Ir. Alusdin Sinaga dan ibu dr. Dumaria Situmorang,
serta abang Daniel, ST; adik Aldoni dan Melissa atas segala doa, motivasi, perhatian,
dan harapan selama penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih
kepada Nurdiana, drg., Sp.PM dan Aida Fadhilla Darwis, drg., MDSc selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah dengan sabar, tulus, dan ikhlas meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran dalam memberikan motivasi, arahan, dan saran yang sangat
berharga yang telah diberikan untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada:
1. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes, Sp.RKG(K) selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara;
2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit
Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
3. Dr. Wilda H. Lubis, drg., M.Si dan Indri Lubis, drg selaku tim penguji
skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran yang bermanfaat kepada
penulis;
4. Amrin Thahir, drg dan Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D selaku Dosen
Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan
Universitas Sumatera Utara
kepada penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara;
5. Seluruh Staf Pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara, khususnya staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Mulut;
6. Kepala Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan dr. Mawar Tarigan, Sp.KJ
yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis dalam pelaksanaan
penelitian;
7. Teman-teman koass di Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan yang telah
memberikan motivasi dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian.
8. Kelompok kecil “Gavriela Eleanor”, Kak Yuki, Sere, Eva, dan Yolanda
yang telah menjadi keluarga bagi penulis;
9. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Dina, Marianne, Naro, Aude, Kiky, Ayu,
Kurnia, Destri, Maria, Tita, Lasti, Balindo serta seluruh teman-teman stambuk 2013
yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran
yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu, dan masyarakat. Tiada lagi yang
dapat penulis ucapkan selain ucapan syukur, semoga kasih karunia Tuhan Yang Maha
Esa selalu menyertai kita semua.
Medan, Oktober 2017
Penulis,
(Alzeressy Putri)
NIM.130600117
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 3 1.4 Hipotesis ........................................................................................... 4 1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................... 4 1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................................. 4 1.5.2 Manfaat Praktis .............................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecemasan ........................................................................................ 5 2.1.1 Defenisi Kecemasan ....................................................................... 5 2.1.2 Etiopatogenesis Kecemasan ........................................................... 5 2.1.3 Gejala Kecemasan .......................................................................... 6 2.1.4 Tingkat Kecemasan ........................................................................ 7 2.1.5 Penilaian Kecemasan ...................................................................... 8 2.2 Sindrom Mulut Terbakar (SMT) ....................................................... 9 2.2.1 Defenisi SMT ................................................................................. 9 2.2.2 Etiologi SMT .................................................................................. 9 2.2.3 Gambaran Klinis dan Klasifikasi SMT .......................................... 12 2.2.4 Diagnosis ........................................................................................ 12 2.2.5 Penatalaksanaan ............................................................................. 13 2.3 Hubungan Kecemasan dengan Sindrom Mulut Terbakar ................. 13 2.4 Kerangka Teori .................................................................................. 15 2.5 Kerangka Konsep .............................................................................. 16
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................. 17 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 17 3.3 Populasi dan Sampel ......................................................................... 17 3.4 Besar Sampel ..................................................................................... 17 3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ............................................................. 18 3.5.1 Kriteria Inklusi ............................................................................... 18 3.5.2 Kriteria Eksklusi ............................................................................. 19 3.6 Variabel Penelitian ............................................................................ 19 3.6.1 Variabel Bebas ............................................................................... 19 3.6.2 Variabel Terikat .............................................................................. 19 3.7 Defenisi Operasional ......................................................................... 19 3.8 Alat dan Bahan .................................................................................. 22 3.8.1 Alat Penelitian ................................................................................ 22 3.8.2 Bahan Penelitian ............................................................................. 22 3.9 Prosedur Penelitian ............................................................................ 22 3.9.1 Pengumpulan Data ......................................................................... 22 3.9.2 Pengolahan Data ............................................................................. 22 3.10 Analisis Data ................................................................................... 23 3.10.1 Data Univariat .............................................................................. 23 3.10.2 Data Bivariat ................................................................................ 23 3.11 Etika Penelitian ............................................................................... 23
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis Data Univariat ..................................................................... 25 4.1.1 Data Demografi Subjek Penelitian ................................................. 25 4.1.2 Distribusi dan Frekuensi Kecemasan ............................................. 25 4.1.3 Distribusi dan Frekuensi SMT ....................................................... 26 4.1.4 Distribusi dan Frekuensi SMT Berdasarkan Tingkat Kecemasan . 26 4.2 Analisis Data Bivariat ....................................................................... 27 4.2.1 Hubungan Kecemasan Berdasarkan Tingkatannya dengan SMT .. 27 4.2.2 Hubungan Kecemasan Berdasarkan Tingkatannya dengan Tipe
SMT ............................................................................................... 28 BAB 5 PEMBAHASAN ..................................................................................... 29 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 33 6.2 Saran .................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 35 LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Data demografi ....................................................................................... 25
2 Distribusi dan frekuensi kecemasan berdasarkan tingkat kecemasan .... 26
3 Distribusi dan frekuensi SMT ................................................................ 26
4 Distribusi dan frekuensi SMT berdasarkan tingkat kecemasan ............. 27
5 Hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan SMT ............. 27
6 Hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan tipe SMT ...... 28
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian
2. Lembar persetujuan setelah penjelasan (Informed Consent)
3. Kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A)
4. Lembar pemeriksaan
5. Persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan penelitian kesehatan (Ethical
Clearance)
6. Surat selesai penelitian dari RSUD Pirngadi Medan
7. Hasil uji statistik
8. Rincian biaya
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecemasan merupakan sinyal dan peringatan terhadap ancaman baik internal
maupun eksternal.1,2 Gejala kecemasan yang bersifat akut atau kronik merupakan
komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan.3 National Comorbidity
Study United States melaporkan bahwa satu dari empat orang memenuhi kriteria
untuk mengalami satu gangguan kecemasan dengan prevalensi rata-rata 17,7%
selama 12 bulan terakhir.1 Kecemasan sering terjadi pada anak-anak dan remaja
dengan prevalensi rata-rata 6-17%. Gangguan kecemasan yang muncul saat usia
anak-anak dan remaja biasanya akan tetap ada hingga dewasa.4 Gangguan kejiwaan
berupa kecemasan dan depresi berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 menunjukkan prevalensi sebesar 6% di Indonesia.5
Kecemasan dapat dibedakan berdasarkan tingkatannya yaitu ringan, sedang,
berat, dan berat sekali. Tingkat kecemasan berat dan berat sekali dapat menyebabkan
perubahan fisiologis tubuh.2 Kecemasan juga dapat memengaruhi kesehatan organ
tubuh seperti jantung, ginjal, paru-paru, serta rongga mulut.6-8 Rongga mulut akan
bersifat reaktif terhadap pengaruh emosional seperti stres, kecemasan, dan depresi.8
Perubahan pada rongga mulut yang dapat dipengaruhi oleh kecemasan antara lain
liken planus, Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR), dan Sindrom Mulut Terbakar
(SMT).7,8 Penelitian Suresh et al. pada pasien dengan kecemasan diperoleh prevalensi
liken planus 5,7%, SAR 12%, dan SMT 2,87%.8
Sindrom mulut terbakar (SMT) merupakan kondisi rasa sakit dalam mulut
yang kronik, biasanya disertai dengan rasa terbakar atau panas pada lidah, bibir, dan
mukosa tanpa adanya kelainan patologik.9,10 SMT dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe berdasarkan variasi gejalanya. Tipe I untuk gejala yang meningkat sepanjang
hari, tipe II untuk gejala yang konstan sepanjang hari, dan tipe III untuk gejala yang
muncul secara intermiten.10 Lokasi yang paling sering terlibat SMT yaitu lidah dan
Universitas Sumatera Utara
berlangsung setidaknya 4-6 bulan.11 SMT merupakan gangguan yang biasanya terjadi
dalam rentang usia 38-78 tahun.10 Prevalensi SMT pada populasi umum yaitu 0,7-
15% dan lebih sering terjadi pada perempuan, dengan rasio perempuan dan laki-laki
adalah 7:1.10,11,12
SMT merupakan kelainan dengan etiologi yang belum diketahui secara pasti.
Gejala SMT yang bertahan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pengaruh
buruk terhadap aktivitas penderitanya.13 Spanemberg et al. menyatakan bahwa
penderita SMT menunjukkan kualitas hidup yang rendah, dimana sindrom ini sangat
berkaitan terhadap perubahan emosional penderitanya.13 Menurut Kalati et al. pasien
SMT mengalami gangguan tidur sehingga dapat memperburuk kondisi penderitanya.
Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan insomnia, perubahan suasana hati, rasa
lelah, dan memengaruhi rasa sakit.14
Hubungan sebab-akibat antara kecemasan dengan SMT masih
diperdebatkan.15 Penelitian yang dilakukan Buljan et al. pada tahun 2008 mengenai
hubungan kecemasan, depresi, dan SMT pada 120 subjek ditemukan sebanyak 42
orang menderita SMT dengan tingkat kecemasan dan depresi lebih tinggi
dibandingkan subjek lainnya.16 Amenabar et al. pada tahun 2008 menyatakan bahwa
kecemasan yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan kortisol dan berhubungan
dengan SMT. 17 Gao et al. pada tahun 2009 membandingkan kelompok SMT dengan
kelompok kontrol dan melaporkan bahwa kelompok SMT memiliki persentase
depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.12
Penelitian yang dilakukan oleh Bakhtiari et al. pada tahun 2010 tentang hubungan
SMT dan kecemasan pada usia tua di Tehran menyatakan bahwa terdapat perbedaan
kecemasan yang signifikan antara kelompok SMT dengan kelompok kontrol.18
Spanemberg et al. pada tahun 2011 mengatakan bahwa dari 40 kasus SMT dengan
rentang usia 25-81 tahun, sekitar 90% penderita SMT merasakan gelisah, tegang, dan
khawatir.19 Penelitian Suresh et al. pada tahun 2015 menunjukkan peningkatan
terjadinya SMT berdasarkan tingkat kecemasan yaitu kecemasan ringan 0%,
kecemasan sedang 25%, dan kecemasan berat 75%.8
Universitas Sumatera Utara
Penelitian mengenai hubungan kecemasan dengan SMT masih sedikit
dilakukan sehingga mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian mengenai hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan SMT
dan tipe SMT belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu
melakukan penelitian untuk melihat hubungan kecemasan dengan SMT pasien Poli
Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Berapakah prevalensi kecemasan berdasarkan tingkatannya pada pasien
Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan?
2. Berapakah prevalensi SMT pada pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi
Medan?
3. Berapakah prevalensi SMT berdasarkan tingkat kecemasannya pada pasien
Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan?
4. Apakah ada hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan SMT
pada pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan?
5. Apakah ada hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan tipe
SMT pada pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui prevalensi kecemasan berdasarkan tingkatannya pada
pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
2. Untuk mengetahui prevalensi SMT pada pasien Poli Psikiatri RSUD
Pirngadi Medan.
3. Untuk mengetahui prevalensi SMT berdasarkan tingkat kecemasannya pada
pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
4. Untuk mengetahui hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan
SMT pada pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
Universitas Sumatera Utara
5. Untuk mengetahui hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan
tipe SMT pada pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
1.4 Hipotesis
1. Ada hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan SMT pada
pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
2. Ada hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan tipe SMT pada
pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi pasien dengan
gejala utama kecemasan tentang hubungan kecemasan dengan SMT.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut
mengenai hubungan kecemasan dengan terjadinya SMT.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi dokter, dokter
gigi, dan tenaga medis lainnya baik dalam praktek pribadi maupun program
kesehatan tentang usaha promotif, preventif, dan kuratif yang dapat dilakukan untuk
mengatasi SMT pada pasien dengan gejala utama kecemasan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecemasan
2.1.1 Defenisi Kecemasan
Istilah kecemasan berasal dari bahasa Yunani yaitu angh yang berarti suatu
keadaan terdesak.20 Defenisi kecemasan menurut Hawari adalah gangguan alam
perasaan yang ditandai dengan perasaan khawatir yang mendalam dan berkelanjutan,
tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, perilaku dapat terganggu tetapi
masih dalam batas normal.3 Kecemasan dapat disebabkan oleh stres yang berlebihan
dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama ketika seseorang merasa tidak
mampu untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.21
Kecemasan dapat bersifat normal atau adaptif apabila memiliki manfaat.
Kecemasan yang bermanfaat misalnya yang dapat mendorong seseorang untuk
melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau memotivasi seseorang untuk
belajar menjelang ujian.21 Kecemasan merupakan ketegangan dan antisipasi dari
adanya suatu ancaman.20 Kecemasan menjadi abnormal apabila tingkatannya tidak
sesuai dengan proporsi ancaman atau terjadi tanpa sebab. Kecemasan yang berat
dapat mengganggu kehidupan seseorang. 21
2.1.2 Etiopatogenesis Kecemasan
Kecemasan merupakan respon emosional subjektif terhadap suatu stresor atau
sumber stres.22 Beberapa hal yang dapat menjadi stresor yaitu masalah kesehatan,
hubungan sosial, ujian sekolah, pekerjaan, kondisi lingkungan, dan beberapa hal
lainnya yang merupakan sumber kekhawatiran.21
Stresor akan ditangkap melalui sistem saraf panca indra dan akan diteruskan
ke bagian pusat emosi yang disebut sistem limbik, melalui transmisi saraf atau
neurotransmitter.3 Neurotransmitter terdiri dari monoamin, asetilkolin, asam amino,
gamma-aminobutyric acid (GABA), peptida, substansi P, dan opioids. Monoamin
Universitas Sumatera Utara
terdiri dari katekolamin (norepinefrin, epinefrin, dan dopamin), serotonin (5-
hydroxytryptamine), dan histamin.23 Neurotransmitter yang secara signifikan terlibat
dalam patofisiologi kecemasan adalah serotonin, norepinefrin, dan GABA.22
Serotonin memiliki fungsi dalam memberikan perasaan tenang dan mengalami
penurunan saat terjadinya kecemasan. Norepinefrin berperan dalam ekspresi
fisiologis terhadap kecemasan seperti pengaturan denyut jantung, tekanan darah,
memori, kesadaran, serta emosi dan mengalami peningkatan saat terjadinya
kecemasan. GABA merupakan neurotransmitter inhibitor yang menghalangi
penghantaran impuls di serabut saraf dan akan mengalami penurunan saat terjadinya
kecemasan.22,23 Bagian otak yang dipengaruhi oleh kecemasan dalam merespon
emosi serta menimbulkan gejala kecemasan yaitu amigdala yang berperan membuat
rasa takut, hipokampus yang berhubungan dengan daya ingat, batang otak yang
berperan dalam pernapasan dan peningkatan detak jantung, hipotalamus yang
mengaktivasi respon stres, talamus yang mengintegrasikan stimulus pancaindra, dan
basal ganglia yang menyebabkan tremor.22
2.1.3 Gejala Kecemasan
Gejala yang sering dikeluhkan orang yang mengalami kecemasan antara lain
merasa cemas, berfirasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung,
merasa tegang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian atau takut pada keramaian,
gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi,
gangguan daya ingat, serta beberapa keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot
dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan
pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.3
Gejala kecemasan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:21
1. Gejala fisik yaitu gelisah, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat,
pening atau pingsan, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit
bernafas, jantung berdetak kencang, suara bergetar, jari-jari atau anggota tubuh
menjadi dingin, merasa lemas atau mati rasa, sulit menelan, leher atau punggung
Universitas Sumatera Utara
terasa kaku, gangguan sakit perut, panas dingin, sering buang air kecil, wajah terasa
memerah, dan merasa sensitif atau mudah marah.
2. Gejala tingkah laku yaitu berperilaku menghindar, dependen, dan mudah
terguncang.
3. Gejala kognitif yaitu khawatir tentang sesuatu, ketakutan terhadap sesuatu
yang terjadi dimasa depan, ketakutan akan kehilangan kontrol, ketakutan akan
ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa
dikendalikan, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, khawatir saat
ditinggal sendirian, dan sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran.
2.1.4 Tingkat Kecemasan
Kecemasan merupakan hal yang normal atau abnormal tergantung tingkat dan
durasi terjadinya, serta bagaimana seseorang menanggapinya.2 Tingkat kecemasan
terbagi atas:
1. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan merupakan perasaan yang timbul akibat suatu peristiwa
yang memerlukan perhatian khusus.2 Kecemasan ini berhubungan dengan
pengalaman menegangkan dalam merespon peristiwa sehari-hari.24 Kecemasan ini
akan menstimulasi peningkatan sensori dan membantu seseorang untuk belajar,
menyelesaikan masalah, berpikir, bertindak, merasakan, dan melindungi dirinya
sendiri.2 Kecemasan ringan mempersiapkan seseorang untuk bertindak dan biasanya
memotivasi seseorang untuk membuat suatu perubahan dalam mencapai
tujuannya.2,24
2. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang merupakan kecemasan yang mengganggu sehingga
seseorang dapat merasa gugup atau gelisah.2 Kecemasan ini mengakibatkan kesulitan
untuk berkonsentrasi dan menjadi kurang waspada terhadap peristiwa yang terjadi
disekitarnya.22 Namun, seseorang dengan kecemasan ini mampu memproses
informasi yang didapat, menyelesaikan masalah, dan dapat fokus pada sesuatu hal
jika diarahkan untuk melakukannya.2,24
Universitas Sumatera Utara
3. Kecemasan berat
Seseorang dengan kecemasan berat memiliki masalah dalam berpikir dan
mempertimbangkan.2 Perhatian menjadi sangat terbatas dan sulit untuk
menyelesaikan suatu tugas.22 Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci
dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan.24 Gejala fisik yang dapat terjadi biasanya adalah sakit
kepala, palpitasi, dan insomnia. Gejala emosional yang dirasakan adalah
kebingungan, takut, dan perasaan menyeramkan.22
4. Kecemasan panik atau berat sekali
Kecemasan ini merupakan kecemasan yang hebat yang dirasakan seseorang.
Seseorang dengan kecemasan ini tidak memiliki kemampuan untuk fokus, terjadi
kesalahpahaman, dan kehilangan hubungan dengan realita sehingga dapat mengalami
delusi atau halusinasi.22 Kecemasan panik dihubungkan dengan perasaan mengerikan
yang diyakini dapat mengancam kehidupan, perasaan takut menjadi gila atau
kehilangan kendali.22 Individu yang mengalami kecemasan ini tidak mampu
melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Periode yang berkepanjangan dari
kecemasan ini dapat menyebabkan kelelahan bahkan kematian.24
2.1.5 Penilaian Kecemasan
Tingkat kecemasan seseorang yang terbagi atas ringan, sedang, berat, atau
berat sekali dapat diketahui dengan menggunakan instrumen yang disebut Hamilton
Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Instrumen ini terdiri dari 14 kelompok gejala
dimana setiap kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Setiap
kelompok gejala diberi penilaian angka antara 0-4, yang artinya adalah nilai 0 = tidak
ada gejala (keluhan), nilai 1 = gejala ringan, nilai 2 = gejala sedang, nilai 3 = gejala
berat, nilai 4 = gejala berat sekali.3
Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh orang yang telah dilatih
untuk menggunakannya melalui teknik wawancara langsung. Masing-masing nilai
dari ke 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan berdasarkan hasil penjumlahan
tersebut dapat diketahui tingkat kecemasan seseorang. Tingkat kecemasan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan total nilai yaitu tidak ada kecemasan = <14, kecemasan ringan = 14-20,
kecemasan sedang = 21-27, kecemasan berat = 28-41, dan kecemasan berat sekali =
42-56.3
Instrumen ini bukan dimaksudkan untuk menegakkan diagnosa gangguan cemas.
Diagnosa gangguan cemas ditegakkan dari pemeriksaan klinis oleh dokter atau
psikiater.3
2.2 Sindrom Mulut Terbakar (SMT)
2.2.1 Defenisi SMT
Sindrom Mulut Terbakar (SMT) didefinisikan sebagai nyeri sensasi terbakar
pada lidah atau mukosa oral tanpa adanya lesi pada rongga mulut.25 Sensasi terbakar
dapat terjadi unilateral atau bilateral dan cenderung berkurang saat makan atau
minum.26 International Association for the Study of Pain menyatakan SMT sebagai
kelainan khusus dengan karakteristik rasa terbakar kronis di rongga mulut atau rasa
nyeri tanpa adanya perubahan mukosa.27 SMT disebut juga stomatopirosis (sensasi
mulut terbakar), glossopirosis (sensasi lidah terbakar), stomatodinia (nyeri pada
mulut), glossodinia (nyeri pada lidah), dan disestesia oral (gangguan sensasi).18
2.2.2 Etiologi SMT
SMT merupakan kelainan pada rongga mulut yang kronis dan memiliki
gambaran klinis yang kompleks sehingga etiologinya dianggap multifaktorial.25
Etiologi SMT dapat dikelompokkan menjadi faktor lokal, sistemik, dan
psikogenik.26,28
1. Faktor lokal
a. Gigitiruan
Gigitiruan yang dihubungkan dengan SMT umumnya dipengaruhi oleh desain
dan bahan gigitiruan.25 Desain gigitiruan yang tidak tepat dapat menimbulkan sensasi
terbakar pada mulut karena peningkatan stres fungsional terhadap otot rongga
mulut.26 Gejala mulut terbakar ditemukan pada 50% pasien dengan desain gigitiruan
yang salah.29 Bahan gigitiruan juga dapat menyebabkan sensasi terbakar pada mukosa
Universitas Sumatera Utara
mulut.26 Monomer sisa pada bahan gigitiruan akrilik merupakan salah satu penyebab
terjadinya SMT.10 Monomer methyl-methacrylate yang digunakan dalam pembuatan
gigitiruan menunjukkan reaksi positif terhadap tes tempel (patch test).25 Penggantian
gigitiruan pada pasien dapat menyembuhkan gejala SMT sebanyak 25%.29
b. Infeksi Rongga Mulut
Infeksi rongga mulut yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme
dikaitkan dengan SMT, terutama Candida albicans.30 Candida dapat menyebabkan
SMT dengan invasi ke jaringan mukosa, menyebabkan hipersensitivitas, atau dengan
memproduksi toksin.31
c. Xerostomia
Prevalensi SMT dengan keluhan xerostomia sekitar 46%-67%.32 Xerostomia
merupakan perasaan subjektif dimana mulut terasa kering. Xerostomia adalah simtom
yang sering dihubungkan dengan perubahan kualitas dan kuantitas saliva akibat
penyakit sistemik, pemakaian obat-obatan, dan radioterapi. Pasien dengan xerostomia
sering mengeluhkan bahwa mulutnya terasa kering dan terbakar.26
d. Kebiasaan parafungsional
Kebiasaan parafungsional seperti bruxism dan menjulurkan lidah dapat
menstimulasi terjadinya SMT.29 Kebiasaan parafungsional memungkinkan terjadinya
perubahan neuropatik yang dapat menyebabkan gejala SMT. Aktivitas parafungsional
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti stres, karakteristik kepribadian, dan
kejiwaan.32
2. Faktor Sistemik
a. Defisiensi vitamin dan mineral
Defisiensi vitamin B1, B2, B6, B12, zat besi, dan asam folat dapat
dihubungkan dengan SMT. Pasien dengan defisiensi nutrisi mengalami SMT
sebanyak 2-33%.29 Defisiensi asam folat yang dihubungkan dengan angular cheilitis
dan glossodinia dapat mengakibatkan terjadinya SMT. Lidah akan mengalami atrofi
papila, hingga permukaan lidah menjadi licin dan berkilat.25 Defisiensi asam folat dan
vit B12 dapat menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan rasa
sakit dan terbakar di rongga mulut.33
Universitas Sumatera Utara
b. Diabetes melitus
Hubungan antara SMT dengan diabetes melitus ditemukan pada 2-10%
pasien.29 SMT merupakan salah satu gejala dari diabetes yang seringkali dihubungkan
dengan xerostomia dan kandidiasis.25,26 Penderita diabetes lebih rentan mengalami
infeksi kandida yang dapat menimbulkan sensasi terbakar pada rongga mulut.25
Diabetes yang terkontrol dapat meningkatkan penyembuhan SMT.29
c. Perubahan hormon
Perubahan hormon dianggap sebagai faktor yang penting dalam terjadinya
SMT.10 Prevalensi perempuan perimenopause dan postmenopause yang datang ke
klinik kesehatan untuk gejala SMT sekitar 90% dan diketahui bahwa rasa nyeri akan
muncul dari 3 tahun sebelum, hingga 12 tahun setelah menopause.10,32 Gejala SMT
merupakan akibat dari penurunan hormon estrogen selama menopause.10 Produksi
hormon estrogen yang menurun dapat menyebabkan perubahan pada rongga mulut
sehingga menyebabkan gejala SMT.29
d. Obat-obatan
Obat antihipertensi merupakan obat-obatan yang paling berperan
mengakibatkan SMT, khususnya angiotensin converting enzyme inhibitors – ACE
inhibitors (contohnya: captropil, enalapril, lisinopril), diuretik, dan obat beta
blockers.29,30 Pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitors dapat mengalami glossitis.
Penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya
xerostomia.26 Obat-obatan memiliki peran dalam mengurangi aliran saliva dengan
mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit.34
3. Faktor Psikogenik
Terdapat perdebatan mengenai kecemasan dan depresi sebagai penyebab atau
akibat terhadap nyeri dan sensasi terbakar di mulut.32 Beberapa gangguan psikologis
atau kejiwaan berperan dalam terjadinya SMT yaitu takut terhadap kanker, depresi,
gangguan kepribadian, dan kecemasan kronis.29 SMT dikatakan sebagai salah satu
gejala kecemasan dan depresi yang ditimbulkan oleh stres psikologis.26 Pasien SMT
berdasarkan fungsi psikologisnya akan sulit untuk berkonsentrasi, mudah merasa
pusing, dan memiliki perasaan yang sedih.29
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Gambaran Klinis dan Klasifikasi SMT
Gejala utama SMT adalah timbulnya rasa terbakar atau rasa nyeri pada
mukosa oral, terjadi perubahan persepsi rasa atau disgeusia, dan xerostomia.35,36
Gejala lain dari SMT antara lain timbulnya rasa haus, sakit kepala, serta nyeri pada
sendi temporomandibular (TMJ), leher, bahu, dan otot suprahioid.36 Rasa terbakar
biasanya terjadi di 2/3 anterior lidah, diikuti oleh dorsum lidah, lateral lidah, anterior
palatum keras, dan mukosa labial. Rasa nyeri terjadi secara spontan tanpa faktor
penyebab yang dapat diidentifikasi. Rasa nyeri dapat berlanjut selama 4-6 bulan
dengan intensitas keparahan yang bervariasi. Lebih dari 70% pasien SMT mengalami
perubahan persepsi rasa yang biasanya dapat berupa rasa pahit, metalik, atau
campuran.35
Sindrom mulut terbakar dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan variasi dari
gejalanya. SMT tipe I memiliki gejala yang tidak muncul pada pagi hari yang akan
meningkat sepanjang hari dimana intensitas keparahan akan memuncak pada sore
hari.29,36 SMT tipe II ditandai dengan gejala konstan yang terjadi disepanjang hari.29,36
SMT tipe III digambarkan dengan gejala yang dapat muncul secara intermiten dan
terjadi pada tempat yang tidak biasa seperti pada mukosa bukal, dasar mulut,
tenggorokan, dan leher.29,36 Tipe I (35%) biasanya dihubungkan dengan penyakit
sistemik seperti defisiensi nutrisi dan diabetes melitus. Tipe II (55%) biasanya
dihubungkan dengan gangguan psikogenik sedangkan tipe III (10%) dihubungkan
dengan reaksi alergi atau faktor lokal.10,36
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis SMT dapat dilakukan dengan anamnesis yaitu menanyakan riwayat
medis pasien. Informasi dari pasien yang dapat diperoleh yaitu mengenai onset nyeri
yang dirasakan secara tiba-tiba atau intermiten, perasaan nyeri yang meningkat
sepanjang hari, nyeri bilateral pada mulut, mulut terasa kering dan terbakar,
perubahan pengecapan, dan perasaan nyeri yang berkurang saat makan atau tidur.25
Selanjutnya, pemeriksaan klinis tidak menunjukkan perubahan pada rongga mulut.36
Pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan seperti pemeriksaan darah, pengukuran
Universitas Sumatera Utara
sekresi saliva, swab untuk kultur mikrobiologis, pemeriksaan faktor lokal seperti
kesalahan pada gigitiruan, dan pemeriksaan psikologis.26,36
2.2.5 Penatalaksanaan
Melakukan edukasi kepada pasien merupakan hal yang penting. Pasien dapat
diberi penjelasan mengenai kondisi yang diderita dan meyakinkan bahwa SMT
bukanlah suatu kelainan pada rongga mulut yang ganas.37,38 Metode psikologis dapat
berguna dalam mengatasi gejala SMT pada pasien.38 Pasien dengan gejala yang parah
biasanya membutuhkan terapi obat. Terapi obat yang dinyatakan sangat membantu
adalah tricyclic antidepressants (TCA) dosis rendah seperti amitriptilin, doxepin, atau
clonazepam.37 Penggunaan obat antidepresan efektif untuk pasien dengan atau tanpa
depresi. Obat lain yang dapat digunakan adalah dosulepin, fluoxetine, gabapentin,
nortriptilin, dan trazodone. 27
2.3 Hubungan Kecemasan dengan Sindrom Mulut Terbakar
Kecemasan dapat memengaruhi produksi hormon dalam sistem endokrin.21
Respon emosional atau kecemasan akan diteruskan ke bagian pusat emosi yang
disebut sistem limbik.3 Hipotalamus yang merupakan bagian dari sistem limbik, akan
melepas suatu hormon yang menstimulasi kelenjar pituitari didekatnya untuk
menghasilkan adrenocorticotrophic hormone (ACTH). ACTH selanjutnya
menstimulasi kelenjar adrenal yang berlokasi di atas ginjal. Lapisan terluar kelenjar
adrenal yang disebut korteks adrenal melepas sekelompok kortikosteroid yaitu
kortisol dan kortison di bawah pengaruh ACTH.21
Penelitian Amenabar et al. menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara level kortisol saliva dengan SMT, sekitar 50 % pasien SMT dengan
kecemasan mengalami peningkatan kortisol 1,4 kali dibandingkan dengan orang
normal.17 Pelepasan kortisol yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
hipokortikolisme di dalam tubuh. Kortisol berperan terhadap jaringan saraf dalam
regenerasi dan proteksi, level kortisol yang tinggi atau rendah dapat merusak jaringan
saraf. Hormon steroid salah satunya yaitu kortisol, menstimulasi perubahan
Universitas Sumatera Utara
neuropatik yang menimbulkan gejala SMT. Interaksi antara eferen saliva, gustatori,
dan aferen somatik terjadi pada SMT. Degenerasi dari serabut saraf aferen gustatori
primer dan hilangnya kontrol hambatan pada aferen somatik mulut merupakan
penyebab terjadinya sensasi terbakar.39 Penelitian imunohistokimia yang dilakukan
oleh Lauria et al. menyatakan bahwa terjadi kehilangan epitel dan serabut saraf
subpapiler pada pasien dengan SMT. Degenerasi akson pada saraf dapat menginduksi
sensitifitas serabut saraf dan meningkatkan persepsi nyeri.40
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Teori
Kecemasan
Perubahan
Sindrom Mulut
Terbakar
(SMT)
Ringan Sedang Berat Berat sekali
Tingkat Kecemasan
Liken
Planus
Stomatitis
Aftosa
Rekuren
(SAR)
Sistemik
Jantung Ginjal Paru-paru
Rongga Mulut
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep
Kecemasan
- Tingkat kecemasan
Ringan
Sedang
Berat
Berat sekali
Sindrom Mulut Terbakar
(SMT)
- Tipe SMT
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan yaitu survei analitik untuk mencari hubungan
antar variabel. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara variabel independen (kecemasan) dan variabel dependen
(SMT). Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu melakukan
observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu dimana subjek hanya
diobservasi satu kali dan pengukuran variabel subjek dilakukan pada saat
pemeriksaan tersebut.41 SMT merupakan efek dan kecemasan merupakan faktor
risiko yang akan dianalisis hubungannya pada penelitian ini.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poli Psikiatri Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi
(RSUD Pirngadi) Medan. Pemilihan rumah sakit ini dilakukan karena RSUD
Pirngadi merupakan salah satu pusat rujukan di Medan serta terdapat Poli Psikiatri
dengan jumlah pasien yang banyak. Berdasarkan survei pendahuluan diperoleh data
jumlah pasien dengan diagnosis kecemasan dalam 5 tahun terakhir (2012-2016) yaitu
855 orang. Penelitian dilakukan pada 31 Juli sampai 31 Agustus 2017.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien yang melakukan perawatan di Poli
Psikiatri RSUD Pirngadi Medan. Sampel dalam penelitian ini merupakan pasien
dengan gejala utama kecemasan yang melakukan perawatan di Poli Psikiatri RSUD
Pirngadi Medan.
Universitas Sumatera Utara
3.4 Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis satu
populasi pada data proporsi:42
n=[Zα √Po (1-Po)+Zβ √Pa (1-Pa)]2
(Pa-Po)2
Keterangan :
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
Zα = nilai sebaran normal baku pada α tertentu (1,96)
Zβ = nilai sebaran normal baku pada β tertentu (1,282)
Po = proporsi penelitian sebelumnya yaitu 35%16
Pa = perkiraan proporsi penelitian 15%
n=�1,96�0,35(1-0,35)+1,282�0,15(1-0,15)�
2
(0,15-0,35)2
n=[0,934+0,457]2
0,04
n=1,9390,04
n=48,5 →50 orang
Jumlah sampel minimum yang didapat adalah 50 orang dengan teknik
pengambilan sampel non probability purposive sampling yaitu subjek dalam populasi
tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat terpilih yang didasari oleh
kriteria yang ditentukan oleh peneliti.41
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut:
3.5.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Pasien Poli Psikiatri dengan gejala utama kecemasan yang diketahui
berdasarkan rekam medis.
Universitas Sumatera Utara
2. Pasien yang tidak menopause dan tidak memiliki riwayat penyakit sistemik
seperti diabetes melitus (DM), pasien yang tidak sedang mengonsumsi obat-obatan
angiotensin converting enzyme inhibitors – ACE inhibitors, seperti: captopril,
enalapril, dan lisinopril.
3. Pasien yang tidak memakai gigitiruan.
4. Pasien yang bersedia menjadi subjek penelitian.
3.5.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Pasien Poli Psikiatri yang tidak kooperatif.
2. Pada rongga mulut pasien ditemukan lesi yang berhubungan dengan
terjadinya SMT.
3.6 Variabel Penelitian
3.6.1 Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecemasan.
3.6.2 Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah SMT.
3.7 Definisi Operasional
Variabel
Penelitian
Defenisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala
Ukur
Kecemasan Kecemasan merupakan
ketegangan dan
antisipasi dari adanya
suatu ancaman.20
Melihat
diagnosis pada
rekam medis
Rekam medis Kategorik
dengan
data
nominal
yaitu ya
atau tidak
Universitas Sumatera Utara
Tingkat
kecemasan
Kecemasan ringan:
Tingkat kecemasan
yang dinilai
berdasarkan instrumen
HRS-A dengan total
nilai 14-20.3
Kecemasan sedang:
Tingkat kecemasan
yang dinilai
berdasarkan instrumen
HRS-A dengan total
nilai 21-27.3
Kecemasan berat:
Tingkat kecemasan
yang dinilai
berdasarkan instrumen
HRS-A dengan total
nilai 28-41.3
Kecemasan berat sekali:
Tingkat kecemasan
yang dinilai
berdasarkan instrumen
HRS-A dengan total
nilai 42-56.3
Pengisian
kuesioner
dengan
penjumlahan
skor dari 14
kelompok
pertanyaan.
Kuesioner
HRS-A
Kategorik
dengan
data
ordinal
yaitu
tingkat
kecemasan
Sindrom
Mulut
Terbakar
Kondisi rasa sakit
dalam mulut yang
kronik, disertai rasa
terbakar atau panas
Anamnesis
dan
pemeriksaan
klinis untuk
Lembar
pemeriksaan,
kaca mulut
Kategorik
dengan
data
nominal
Universitas Sumatera Utara
(SMT) dalam rongga mulut
selama 4-6 bulan yang
terdapat pada lidah,
palatum, bibir, mukosa
bukal dan labial, atau
dasar mulut tanpa
disertai lesi mukosa
atau tanda klinis
lainnya.9,11
melihat ada
tidaknya lesi
pada rongga
mulut
yaitu ya
atau tidak
Tipe SMT SMT Tipe I:
Gejala tidak muncul
pada pagi hari dan akan
meningkat sepanjang
hari dimana intensitas
keparahan akan
memuncak pada sore
hari. 29,36
SMT Tipe II:
Gejala konstan yang
terjadi disepanjang
hari.29,36
SMT Tipe III:
Gejala yang muncul
secara intermiten dan
terjadi pada tempat
yang tidak biasa seperti
pada leher29,36
Anamnesis Lembar
pemeriksaan
Kategorik
dengan
data
nominal
yaitu tipe
I, tipe II,
atau tipe
III.
Universitas Sumatera Utara
3.8 Alat dan Bahan
3.8.1 Alat
1. Rekam medis
2. Kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A)
3. Lembar pemeriksaan
4. Alat tulis
5. Alat diagnostik (kaca mulut, sonde, pinset)
3.8.2 Bahan Penelitian
1. Masker
2. Sarung tangan
3. Desinfektan
3.9 Prosedur Penelitian
3.9.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada pasien Poli Psikiatri dengan gejala utama
kecemasan yang dilihat dari rekam medis. Pasien diberikan penjelasan tentang
penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan apakah pasien bersedia untuk
menjadi subjek penelitian. Setelah pasien setuju menjadi subjek penelitian, pasien
diminta menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan wawancara
langsung untuk memperoleh tingkat kecemasan subjek penelitian, dengan bantuan
dari perawat yang bertugas di Poli Psikiatri. Setelah itu untuk mendiagnosis SMT,
dilakukan anamnesis dengan mengajukan pertanyaan dan pemeriksaan intraoral untuk
melihat apakah ada lesi pada rongga mulut subjek.
3.9.2 Pengolahan Data
Pengolahan data dengan menggunakan sistem manual dan komputerisasi.
Universitas Sumatera Utara
3.10 Analisis Data
3.10.1 Data Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap
variabel penelitian. Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi:
1. Data Demografi.
2. Distribusi dan frekuensi kecemasan berdasarkan tingkat kecemasan.
3. Distribusi dan frekuensi SMT.
4. Distribusi dan frekuensi SMT berdasarkan tingkat kecemasan.
3.10.2 Data Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang melibatkan dua variabel yaitu variabel
bebas dan variabel terikat yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Data bivariat
disajikan dalam bentuk tabel meliputi tabulasi silang antara kecemasan dengan SMT.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan Fisher’s Exact test untuk
mengetahui:
1. Hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan SMT.
2. Hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan tipe SMT.
Berdasarkan uji statistik tersebut dapat diputuskan:
• Menolak Ho, jika diperoleh nilai X2 hitung > X2 tabel atau nilai p ≤ α (0,05).
• Menerima Ho, Jika diperoleh nilai X2 hitung < X2 tabel atau p > α (0,05).
3.11 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut:
1. Ethical Clearance
Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada Komisi Etik
Penelitian Kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun
nasional, diperlukan untuk memenuhi aspek legal tatacara penelitian yang telah
disepakati.
Universitas Sumatera Utara
2. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Peneliti memberikan lembar persetujuan kepada subjek kemudian
menjelaskan terlebih dahulu tujuan penelitian, tindakan yang akan dilakukan serta
menjelaskan manfaat yang diperoleh dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
penelitian. Bagi subjek yang setuju, dimohon untuk menandatangani lembar
persetujuan (informed consent) agar dapat berpartisipasi dalam penelitian.
3. Kerahasiaan
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti karena data yang ditampilkan dalam bentuk data kelompok bukan data
pribadi subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis Data Univariat
4.1.1 Data Demografi Subjek Penelitian
Penelitian dilakukan pada 50 pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
Data demografi subjek penelitian menunjukkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan dengan jumlah 29 orang (58%) laki-laki dan 21 orang
(42%) perempuan. Berdasarkan kelompok usia, subjek yang berusia ≥ 45 tahun
berjumlah 21 orang (42%), 35-44 tahun berjumlah 15 orang (30%), 25-34 tahun
berjumlah 12 orang (24%), serta 18-24 tahun berjumlah 2 orang.
Tabel 1. Data Demografi
Karakteristik Frekuensi (n=50) Persentase (%)
1. Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
29
21
58
42
2. Usia
a. 18-24 tahun
b. 25-34 tahun
c. 35-44 tahun
d. ≥ 45 tahun
2
12
15
21
4
24
30
42
4.1.2 Distribusi dan Frekuensi Kecemasan
Data penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa subjek dengan kecemasan
ringan berjumlah 39 orang (78%) sedangkan subjek dengan kecemasan sedang
Universitas Sumatera Utara
berjumlah 11 orang (22%). Tidak ditemukan subjek dengan kecemasan berat dan
berat sekali.
Tabel 2. Distribusi dan Frekuensi Kecemasan Berdasarkan Tingkat Kecemasan
Kecemasan Frekuensi (n) Persentase (%)
Kecemasan ringan
Kecemasan sedang
Kecemasan berat
Kecemasan berat sekali
39
11
0
0
78
22
0
0
Total 50 100
4.1.3 Distribusi dan Frekuensi Sindrom Mulut Terbakar (SMT)
Tabel 3 menunjukkan distribusi dan frekuensi SMT pada pasien Poli Psikiatri
di RSUD Pirngadi Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 orang subjek,
6 orang (12%) mengalami SMT sedangkan 44 orang lainnya (88%) tidak mengalami
SMT.
Tabel 3. Distribusi dan Frekuensi SMT
SMT Frekuensi (n) Persentase (%)
Ya
Tidak
6
44
12
88
Total 50 100
4.1.4 Distribusi dan Frekuensi SMT Berdasarkan Tingkat Kecemasan
Berdasarkan tabel 4 dibawah ini dapat diketahui bahwa pasien dengan
kecemasan ringan yang mengalami SMT yaitu 1 orang (2%) sedangkan pasien
dengan kecemasan sedang yang mengalami SMT yaitu 5 orang (10%). Tidak
diperoleh data SMT pada kecemasan berat dan berat sekali.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Distribusi dan Frekuensi SMT Berdasarkan Tingkat Kecemasan
Kecemasan
SMT
Frekuensi (n) Persentase (%)
Ringan
Sedang
Berat
Berat sekali
1
5
0
0
16,67
83,33
0
0
Total 6 100
4.2 Analisis Data Bivariat
4.2.1 Hubungan Kecemasan Berdasarkan Tingkatannya dengan SMT
Tabel 5 menunjukkan hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan
SMT yang diuji dengan Fisher’s Exact test dan mendapatkan nilai p < 0,05 yaitu
0,001 maka Ho ditolak. Oleh karena itu pada penelitian ini menunjukkan ada
hubungan yang bermakna antara kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan SMT.
Tabel 5. Hubungan Kecemasan Berdasarkan Tingkatannya dengan SMT
Kecemasan
SMT
p Ya Tidak
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Ringan
Sedang
Berat
Berat sekali
1
5
0
0
2
10
0
0
38
6
0
0
76
12
0
0
0,001
Total 6 12 44 88
Universitas Sumatera Utara
4.2.2 Hubungan Kecemasan Berdasarkan Tingkatannya dengan Tipe SMT
Tabel 6 menunjukkan hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan
tipe SMT yang diuji dengan Fisher’s Exact test dan mendapatkan nilai p=1,000 maka
Ho diterima (p>0,05). Oleh karena itu pada penelitian ini menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan tipe
SMT.
Tabel 6. Hubungan Kecemasan Berdasarkan Tingkatannya dengan Tipe SMT
Kecemasan
SMT
p Tipe I Tipe II Tipe III
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Ringan
Sedang
Berat
Berat sekali
0
0
0
0
0
0
0
0
1
4
0
0
16,66
66,67
0
0
0
1
0
0
0
16,66
0
0
1,000
Total 0 0 5 83,33 1 16,66
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian ini subjek dengan jenis kelamin laki-laki (58%) lebih
banyak dibandingkan subjek dengan jenis kelamin perempuan (42%). Hasil penelitian
yang diperoleh berbeda dengan data National Comorbidity Study yang menyatakan
bahwa kecemasan lebih banyak terjadi pada perempuan (30,5%) dibandingkan
dengan laki-laki (19,2%).1 Gangguan kecemasan pada umumnya lebih banyak terjadi
pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 2:1.22 Berdasarkan penelitian
yang dilakukan de Lijster et al. gangguan kecemasan lebih banyak terjadi pada subjek
berjenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki dengan persentase 70,55% dan
29,45%.43 Perbedaan hasil penelitian yang diperoleh tersebut dapat disebabkan karena
perbedaan metodologi penelitian. Perempuan yang telah mengalami menopause
dieksklusikan sebagai subjek pada penelitian ini karena menopause merupakan salah
satu faktor etiologi SMT.
Rentang usia terjadinya kecemasan bervariasi. Data yang diperoleh dari hasil
penelitian ini yaitu pada kelompok usia ≥ 45 tahun berjumlah 21 orang (42%) lebih
banyak dibandingkan dengan subjek pada kelompok usia lainnya. Menurut data yang
dilaporkan WHO, gangguan kecemasan di Brazil dan Belanda juga lebih banyak
terjadi pada kelompok usia ≥ 45 tahun. 44 Gangguan kecemasan dapat terjadi jika
seseorang tidak mampu menyesuaikan diri untuk menanggulangi penyebab
kecemasan yang dialaminya seperti masalah hubungan sosial, pekerjaan, lingkungan
yang buruk, keuangan, menopause, atau trauma. Kecemasan dapat terjadi pada siapa
saja tergantung dengan respon atau reaksinya terhadap penyebab kecemasan
tersebut.3
Kecemasan dapat dibagi berdasarkan tingkatannya yaitu ringan, sedang, berat,
dan berat sekali.2 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek paling banyak
dengan kecemasan ringan berjumlah 39 orang (78%). Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Mykletun et al. di Norwegia pada tahun 2009 dari 15,5%
Universitas Sumatera Utara
orang yang mengalami kecemasan diperoleh 9,9% kecemasan ringan, 4,6%
kecemasan sedang, serta 1% kecemasan berat.45 Kecemasan ringan merupakan
kecemasan yang umum terjadi. Kecemasan ini membantu seseorang untuk
memecahkan masalah, berpikir, bertindak, atau melindungi dirinya misalnya
membantu murid untuk fokus dalam persiapan ujiannya.2 Penanganan pada pasien
dengan kecemasan berat dan berat sekali bertujuan untuk menurunkan kecemasan
sampai tingkat ringan atau sedang.24 Subjek dalam penelitian ini sebagian besar
merupakan pasien Poli Psikiatri yang telah ditangani serta melakukan kontrol secara
berkala sehingga kecemasan berat dan berat sekali tidak diperoleh dalam penelitian
ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi dan frekuensi SMT pada
pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan dengan kecemasan yaitu 12%. Penelitian
Suresh et al. pada pasien dengan kecemasan yang mengalami SMT yaitu 2,87%
sedangkan penelitian Aditya et al. pada pasien dengan gangguan mental yang
mengalami SMT yaitu 9,5%.7,46 Perbedaan dalam prevalensi tersebut dapat terjadi
karena adanya perbedaan dalam mendiagnosis SMT.15 Penelitian ini menegakkan
diagnosis SMT dengan menanyakan pada pasien tentang rasa terbakar yang dirasakan
tanpa adanya kelainan pada mukosa mulut sedangkan pada penelitian lainnya
ditanyakan juga tentang xerostomia dan perubahan persepsi rasa pada rongga
mulutnya.
Penelitian tentang SMT dengan tingkat kecemasan masih sangat jarang
dilakukan. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pasien dengan kecemasan sedang
yang mengalami SMT yaitu 5 orang (10%) lebih banyak dibandingkan pasien dengan
kecemasan ringan yaitu 1 orang (2%). Penelitian Suresh et al. di India pada tahun
2014 diperoleh pasien dengan kecemasan berat yang mengalami SMT 75%,
kecemasan sedang 25%, kecemasan ringan 0% sedangkan penelitian Amenabar et al.
di Brazil pada tahun 2008 pada pasien SMT diperoleh kecemasan ringan 30%, sedang
6,7%, dan berat 13,3%7,17 Kecemasan dapat menyebabkan perubahan pada kondisi
rongga mulut.8 Tingkat kecemasan yang meningkat dapat memperparah kondisi tubuh
seseorang termasuk rongga mulutnya.2
Universitas Sumatera Utara
Hubungan sebab-akibat antara kecemasan dengan SMT masih
diperdebatkan.15 Penelitian yang dilakukan Buljan et al. menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara kecemasan dengan SMT dengan nilai p<0,01 dan adanya korelasi
yang kuat (r=0,547) antara level kecemasan dengan keparahan SMT.16 Hasil yang
diperoleh pada penelitian ini dari hasil analisis bivariat, mengenai hubungan
kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan SMT adalah p=0,001 maka Ho ditolak,
artinya ada hubungan yang bermakna antara kecemasan berdasarkan tingkatannya
dengan SMT. Kecemasan dapat terjadi karena adanya respon terhadap suatu stresor
seperti masalah kesehatan, hubungan sosial, ujian sekolah, pekerjaan, kondisi
lingkungan, dan beberapa hal lainnya yang merupakan sumber kekhawatiran.21,22
Respon emosional atau kecemasan akan diteruskan ke bagian pusat emosi yang
disebut sistem limbik.3 Hipotalamus yang merupakan bagian dari sistem limbik, akan
melepas suatu hormon yang menstimulasi kelenjar pituitari didekatnya untuk
menghasilkan adrenocorticotrophic hormone (ACTH). ACTH selanjutnya
menstimulasi kelenjar adrenal yang berlokasi di atas ginjal. Lapisan terluar kelenjar
adrenal yang disebut korteks adrenal melepas sekelompok kortikosteroid yaitu
kortisol di bawah pengaruh ACTH.21 Kortisol pada seseorang yang mengalami
kecemasan akan meningkat. Kortisol berperan terhadap jaringan saraf dalam
regenerasi dan proteksi, level kortisol yang tinggi atau rendah dapat merusak jaringan
saraf. Hormon kortisol dapat menstimulasi perubahan neuropatik yang menimbulkan
gejala SMT. Interaksi antara eferen saliva, gustatori, dan aferen somatik terjadi pada
SMT. Degenerasi dari serabut saraf aferen gustatori primer dan hilangnya kontrol
hambatan pada aferen somatik mulut merupakan penyebab terjadinya sensasi terbakar
pada rongga mulut.39
Berdasarkan variasi gejalanya SMT dibagi menjadi tipe I, tipe II, dan tipe
III.15,29 SMT tipe I memiliki gejala yang meningkat sepanjang hari, SMT tipe II
ditandai dengan gejala konstan yang terjadi sepanjang hari, dan SMT tipe III
digambarkan dengan gejala yang muncul secara intermiten.36 Hasil analisis bivariat
pada penelitian ini, mengenai hubungan kecemasan berdasarkan tingkatannya dengan
tipe SMT menunjukkan nilai p=1,000 maka Ho diterima yaitu tidak terdapat
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan dengan tipe SMT. Hasil
penelitian ini diperoleh prevalensi SMT tipe II sebanyak 83,33%. Penelitian yang
dilakukan Kohorst et al. menunjukkan bahwa prevalensi SMT tipe II yang diperoleh
sebanyak 69,2% lebih banyak dibandingkan tipe I (11,8%) maupun tipe III (8,9%).47
Penelitian yang dilakukan Eli et al. menyatakan bahwa pasien dengan kecemasan
yang mengalami SMT tipe II sebanyak 88%.48 SMT tipe II merupakan gejala yang
paling banyak terjadi pada pasien dengan kecemasan.35 Menurut literatur, SMT tipe I
berhubungan dengan penyakit sistemik seperti diabetes melitus, tipe II berhubungan
dengan kecemasan, dan tipe III berhubungan dengan reaksi alergi dan faktor
lokal.10,36 Pada penelitian ini tidak diperoleh SMT tipe I karena pasien dengan riwayat
penyakit sistemik dieksklusikan dari penelitian ini sedangkan tipe III diperoleh
sebanyak 16,66%. Hal tersebut dapat terjadi karena pasien tidak menyadari adanya
riwayat alergi yang dideritanya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan:
1. Distribusi dan frekuensi kecemasan ringan pada pasien Poli Psikiatri
RSUD Pirngadi Medan yaitu 78% lebih banyak dibandingkan kelompok kecemasan
lainnya.
2. Distribusi dan frekuensi SMT pada pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi
Medan yaitu 12%.
3. Distribusi dan frekuensi SMT berdasarkan tingkat kecemasan pasien Poli
Psikiatri RSUD Pirngadi Medan lebih banyak terjadi pada kecemasan sedang
(83,33%).
4. Ada hubungan yang signifikan antara kecemasan berdasarkan tingkatannya
dengan SMT pada pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan. (p=0,001).
5. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kecemasan berdasarkan
tingkatannya dengan tipe SMT pada pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.
(p=1,000).
6.2 Saran
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu penelitian dilakukan di Poli Psikiatri
dimana kebanyakan dari pasien telah melakukan kontrol berulang sehingga
kecemasan berat dan berat sekali sulit ditemukan. Penelitian selanjutnya dapat
dilakukan dengan mengeksklusikan pasien yang telah melakukan kontrol berulang di
Poli Psikiatri atau dapat juga dilakukan di Rumah Sakit Jiwa. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut tentang hubungan
kecemasan dengan SMT. Diagnosis SMT dengan menanyakan tentang rasa nyeri
terbakar, xerostomia, dan perubahan persepsi rasa pada rongga mulut subjek dapat
dilakukan sebagai penelitian lebih lanjut. Selain itu dapat juga dilakukan penelitian
Universitas Sumatera Utara
dengan membandingkan variabel lain yang merupakan faktor risiko dari SMT seperti
defisiensi nutrisi, pemakaian obat-obatan, atau penggunaan gigitiruan. Kerjasama
antara dokter, dokter gigi serta tenaga medis lainnya diperlukan untuk usaha
promotif, preventif, dan kuratif yang dapat dilakukan dalam mengatasi SMT pada
pasien dengan gejala utama kecemasan.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Synopsis of psychiatry. 11th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer, 2015: 387-8.
2. Videbeck SL. Psychiatric – mental health nursing. 5th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer, 2011: 226-8,234.
3. Hawari D. Manajemen stres cemas dan depresi. Edisi 2. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2016: 63,78-83.
4. Clarck DA, Beck AT. Cognitive therapy of anxiety disorders. New York: The
Guilford Press, 2010: 11.
5. Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2013: 127-9.
6. Roy-Byrne et al. Anxiety disorders and comorbid medical illness. Gen Hosp
Psychiatry 2008; 30: 208-25.
7. Suresh et al. Psychosocial characteristics of oromucosal diseases in
psychiatric patients: observational study from Indian dental college. North
Am J Med Sci 2014; 6: 570-4.
8. Suresh et al. Oral mucosal diseases in anxiety and depression patients:
hospital based observational study from south India. J Clin Exp Dent 2015;
7(1): e95-9.
9. Rahmayanti F. Sindroma mulut terbakar. Indonesian J of Dent 2006; 14: 17-
21.
10. Savitha KC, Shantaraj SL. Etiology, diagnosis and management of burning
mouth syndrome: an update. J of Advanced Oral Research 2012; 3(3): 7-13.
11. Minor JS, Epstein JB. Burning mouth syndrome and secondary oral burning.
Otolaryngol Clin N Am 2011; 44: 205-19.
12. Gao J, Chen L, Zhou J, Peng J. A case-control study on etiological factors
involved in patients with burning mouth syndrome. J Oral Pathol Med 2009;
38: 24-8.
Universitas Sumatera Utara
13. Spanemberg JS, Dias AP, Barreriro BOB, Cherubini K, de Figueiredo MAZ,
Salum FG. Impact of burning mouth syndrome on quality of life. Rev Odonto
Cienc 2012; 27(3): 191-5.
14. Kalati FA, Bakhshani NM, Tahmtan B, Movahedinejad F. Association of
impaired sleep quality in patients with burning mouth syndrome: a case-
control study. Health Scope 2015; 4(2): 1-4.
15. Galli F, Lodi G, Sardella A, Vegni E. Role of psychological factors in burning
mouth syndrome: A systematic review and meta-analysis. International
Headache Society 2016; 1: 1-13.
16. Buljan D, Savic I, Karlovic D. Correlation between anxiety, depression and
burning mouth syndrome. Acta Clin Croat 2008; 47: 211-6.
17. Amenabar JM et al. Anxiety and salivary cortisol levels in patients with
burning mouth syndrome: case-control study. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
Oral Radiol Endod 2008; 105: 460-5.
18. Bakhtiari S, Khalighi HR, Azimi S, Alavi K, Valoogerdi HA, Namazi Z.
Correlation between burning mouth syndrome and anxiety in the elderly
inmates of sanitaria in Tehran. J Dent Res Dent Clin Dent Prospect 2010;
4(2): 37-41.
19. Spanemberg JC, Archilla AR, Salobrena AC, Coppola MC, de Araujo LMA.
Burning mouth syndrome: psychological aspects of southern brazil
individuals. Revista Brasileira de Ciencias de Saude 2011; 9(27): 1-6.
20. Rachman S. Anxiety. 2nd ed. New York: Psychology Press, 2004: 1-2.
21. Nevid J, Rathus S, Greene B. Psikologi abnormal. Trans. Tim Fakultas
Psikologi UI. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003: 35-6, 164.
22. Townsend MC. Psychiatric mental health nursing. 6th ed. United States: FA
Davis Company, 2009: 15-17,563.
23. Scully C. Medical problems in dentistry. 6th ed. Singapore: Elsevier, 2012:
253-5.
24. Stuart G. Buku saku keperawatan jiwa. Trans. Kapoh R, Yudha. Jakarta:
EGC, 2006: 144.
Universitas Sumatera Utara
25. Anil S, Alsqah MN, Rajendran R. Burning mouth syndrome: diagnostic
appraisal and management strategies. Saudi Dent J 2007; 19(3): 128-38.
26. Vellappally S. Burning mouth syndrome: a review of the etiopathologic
factors and management. The J of Cont Dent Pract 2016; 17(2): 171-6.
27. Scully C. Oral and maxillofacial medicine. 2nd ed. Toronto: Elsevier, 2008:
171.
28. Ventakaraman BK. Diagnostic oral medicine. 1st ed. India: Wolters Kluwer
Health, 2013: 476-7.
29. Tseikhin AM, Moricca P, Niv D. Burning mouth syndrome: will better
understanding yield better management. Pain practice 2007; 7(2): 151-62.
30. Coculescu EC, Tovaru S, Coculescu BI. Epidemiological and etiological
aspects of burning mouth syndrome. Journal of medicine and life 2014; 7(3):
305-9.
31. Muzyka BC, de Rossi SS. A review of burning mouth syndrome. Journal
CME 1999; 64: 29-35.
32. Scala A, Checchi L, Montevecchi M, Marini I. Update on burning mouth
syndrome: overview and patient management. Crit Rev Oral Biol Med 2003;
14(4): 275-91.
33. Krasteva A, Kisselova A, Dineva V, Ivanova A, Krastev Z. Folic acid and
vitamin B12 levels in bulgarian patients with burning mouth syndrome. J of
IMAB 2013; 19(4): 422-5.
34. Nasri C, Teixeira MJ, Okada M, Formigoni G, Heir G, de Siqueira JTT.
Burning mouth complaints: clinical characteristics of a brazilian sample.
Clinics 2007; 62(5): 561-6.
35. Aravindhan R, Vidyalakshmi S, Kumar MS, Satheesh C, Balasubramanium
AM, Prasad VS. Burning mouth syndrome: a review on its diagnostic and
therapeutic approach. J Pharm Bioall Sci 2014; 6: 521-5.
36. Coculescu EC, Radu A, Coculescu BI. Burning mouth syndrome: a review on
diagnosis and treatment. J of Med and Life 2014; 7(4): 512-5.
Universitas Sumatera Utara
37. Blasberg B, Eliav E, Greenberg MS. Orofacial pain. In: Greenberg M, Glick
M, Ship JA. eds. Oral Medicine, 11th ed. India: BC Decker Inc, 2008: 284-5.
38. Nakazone PA, Nogueira AVB, de Alencar FGP, Massucato EMS. Burning
mouth syndrome: a discussion about possible etiological factors and treatment
modalities. Braz J Oral Sci 2009; 8(2): 62-6.
39. Woda A, Dao T, Gremeau-Richard C. Steroid dysregulation and stomatodynia
(burning mouth syndrome). J Orofac Pain 2009; 23: 202-10.
40. Lauria G et al. Trigeminal small-fiber sensory neuropathy causes burning
mouth syndrome. Pain 2005; 115: 332-7.
41. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 4th ed.
Jakarta: Sagung Seto, 2011: 5-7, 99-100, 130-44.
42. Hidayat AA. Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data. Jakarta:
Salemba Medika, 2007: 66-7.
43. de Lijster JM et al. The age of onset of anxiety disorders: a meta-analysis.
Can J Psychiatry 2016; 1: 1-10.
44. World Health Organization. Cross-national comparisons of the prevalences
and correlates of mental disorders: WHO International Consortium in
Psychiatric Epidemiology. Bull World Health Organ 2000; 78(4): 413-26.
45. Mykletun A, Bjerkeset O, Overland S, Prince M, Dewey M, Stewart R. Levels
of anxiety and depression as predictors of mortality: the HUNT study. Br J
Psychiatry 2009; 195: 118-25.
46. Aditya A, Lele S. Prevalence of xerostomia and burning sensation in patients
with psychosocial disorders. J Int Dent Med Res 2011; 4(3): 111-6.
47. Kohorst JJ, Bruce AJ, Torgerson RR, Schenck LA, Davis MDP. A
population-based study of the incidence of burning mouth syndrome. In:
Kohorst JJ. Mayo Clinic Proceedings, 2014: 1545-52.
48. Eli I, Kleinhauz M, Baht R, Littner M. Antecedents of burning mouth
syndrome (glossodynia)-recent life events vs. psychopathologic aspects. J
Dent Res 1994; 73(2): 567-72.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
Selamat pagi,
Perkenalkan nama saya Alzeressy Putri, saat ini saya sedang menjalani
pendidikan dokter gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Saya
akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Kecemasan dengan
Sindrom Mulut Terbakar Pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan” yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan kecemasan dengan terjadinya sindrom mulut
terbakar (rasa terbakar/panas pada rongga mulut). Manfaat penelitian ini adalah
memberi pengetahuan kepada Bapak/Ibu tentang sensasi terbakar pada mulut yang
dapat terjadi akibat kecemasan.
Bapak/Ibu sekalian, kecemasan dapat memengaruhi kesehatan tubuh termasuk
kesehatan rongga mulut dan dapat menimbulkan rasa terbakar/ panas pada rongga
mulut. Kondisi ini sering terjadi bersamaan dengan mulut kering yang menyebabkan
kesulitan menelan makanan dan perubahan pengecapan, sehingga memerlukan
perawatan kesehatan rongga mulut yang lebih baik.
Pada penelitian ini saya akan mengikutsertakan 50 orang pasien Poli Psikiatri
dengan gejala utama kecemasan sebagai peserta. Prosedur penelitian ini adalah
dengan pengisian kuesioner yaitu melakukan wawancara langsung dan pemeriksaan
kondisi rongga mulut. Saya akan meminta Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan
yang saya berikan dan pemeriksaan rongga mulut yang akan dilakukan adalah dengan
melihat kondisi mulut Bapak/Ibu.
Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini adalah bersifat sukarela. Tidak akan
terjadi efek samping dan tidak akan mengubah kondisi rongga mulut Bapak/Ibu.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan Bapak/Ibu memperoleh manfaat dengan
mengetahui hubungan kecemasan dengan terjadinya sensasi terbakar pada rongga
mulut.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini, identitas Bapak/Ibu akan disamarkan. Hanya peneliti,
anggota peneliti, dan anggota komisi etik yang bisa melihat datanya. Kerahasiaan
data Bapak/Ibu akan dijamin sepenuhnya. Sebagai ucapan terima kasih atas kesediaan
Bapak/Ibu untuk turut serta dalam penelitian ini saya akan memberikan imbalan
berupa permen karet xylitol yang dapat membantu produksi air liur sehingga dapat
meringankan keluhan mulut kering.
Jika Bapak/Ibu sudah mengerti isi dari lembar penjelasan ini dan bersedia
menjadi subjek penelitian, maka mohon kiranya Bapak/Ibu dapat mengisi dan
menandatangani surat pernyataan persetujuan sebagai subjek penelitian yang
terlampir pada lembar berikutnya. Apabila Bapak/Ibu mengalami keluhan maka dapat
menghubungi saya:
Nama : Alzeressy Putri
Alamat : Jl. Sei Putih Baru no.8/35
No. HP : 082273490993
Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, partisipasi, dan
kesediaan waktu Bapak/Ibu, saya ucapkan terimakasih.
Medan, 2017
Peneliti,
(Alzeressy Putri)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin : L/P
Alamat :
No.Telp/Hp :
Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh
kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan bersedia
berpartisipasi pada penelitian mengenai “Hubungan Kecemasan dengan Sindrom
Mulut Terbakar Pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan.”
Medan, 2017
Saksi peneliti Peserta Penelitian
( ) ( )
Mahasiswa Peneliti
(Alzeressy Putri)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3
HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY
(HRS-A)
Nomor responden :
Nama responden :
Tanggal Pemeriksaan :
Skor : 0 = tidak ada
1 = ringan
2 = sedang
3 = berat
4 = berat sekali
Total Skor : kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
14-20 = kecemasan ringan
21-27 = kecemasan sedang
28-41 = kecemasan berat
42-56 = kecemasan berat sekali
Universitas Sumatera Utara
No. Pertanyaan 0 1 2 3 4
1. Perasaan ansietas
(cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri,
mudah tersinggung)
2. Ketegangan
(merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat tenang,
mudah terkejut, mudah menangis, gemetar,
gelisah)
3. Ketakutan
(pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri,
pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas,
pada kerumunan orang banyak)
4. Gangguan tidur
(sukar tidur, terbangun malam hari, tidak
nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi buruk)
5. Gangguan kecerdasan
(sukar konsentrasi, daya ingat menurun, daya
ingat buruk)
6. Perasaan depresi
(hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada
hobi, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-
ubah sepanjang hari)
7. Gejala otot
(sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot, gigi
gemerutuk, suara tidak stabil)
8. Gejala sensorik
(tinitus, penglihatan kabur, muka merah atau
pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk)
Universitas Sumatera Utara
9. Gejala kardiovaskuler
(denyut jantung cepat, nyeri di dada, denyut nadi
mengeras, perasaan lesu seperti mau pingsan,
detak jantung berhenti sekejap)
10. Gejala respiratori
(rasa sakit di dada, perasaan tercekik, sering
menarik nafas, nafas pendek/sesak)
11. Gejala gastrointestinal
(sulit menelan, gangguan pencernaan, nyeri
sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di
perut, rasa kembung, mual, muntah, buang air
besar lembek, kehilangan berat badan)
12. Gejala urogenital
(sering buang air kecil, tidak dapat menahan air
seni, tidak haid, darah haid berlebihan, darah haid
amat sedikit, ejakulasi dini, ereksi melemah,
impotensi)
13. Gejala otonom
(mulut kering, muka merah, mudah berkeringat,
pusing, sakit kepala, bulu-bulu berdiri)
14. Tingkah laku/sikap pada wawancara
(gelisah, jari gemetar, kerut kening, muka tegang,
otot tegang, nafas pendek dan cepat, muka merah)
Jumlah Nilai Angka (Skor Total)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT
Hubungan Kecemasan dengan Sindrom Mulut Terbakar
Pasien Poli Psikiatri RSUD Pirngadi Medan
No :
Tanggal :
A. DATA DEMOGRAFI
Nama :
Jenis Kelamin : L/P
Umur : tahun
Alamat :
No Hp :
Bacalah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dan jawab setiap pertanyaan dengan
melingkari pilihan jawaban anda.
Petunjuk
B. DIAGNOSIS SINDROMA MULUT TERBAKAR (Minor et al, 2011)
1. Apakah ada rasa nyeri terbakar yang Anda rasakan pada rongga mulut Anda
selama 4-6 bulan terakhir?
a. Ya
b. Tidak
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimanakah rasa nyeri yang Anda rasakan pada rongga mulut Anda?
a. Meningkat sepanjang hari
b. Tidak berubah atau konstan sepanjang hari
c. Kadang muncul, kadang tidak
C. PEMERIKSAAN RONGGA MULUT
1. Apakah ada lesi klinis yang ditemukan dari pemeriksaan rongga mulut ?
*diisi oleh peneliti
a. Ada
b. Tidak
Kesimpulan : *diisi oleh peneliti
A. Mengalami Sindrom Mulut Terbakar
B. Tidak mengalami Sindrom Mulut Terbakar
Tipe SMT
A. Tipe I
B. Tipe II
C. Tipe III
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Tingkat Kecemasan * SMT 50 100.0% 0 0.0% 50 100.0%
Tingkat Kecemasan * SMT Crosstabulation
SMT
Total ya tidak
Tingkat Kecemasan ringan Count 1 38 39
Expected Count 4.7 34.3 39.0
sedang Count 5 6 11
Expected Count 1.3 9.7 11.0
Total Count 6 44 50
Expected Count 6.0 44.0 50.0
Universitas Sumatera Utara
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 14.947a 1 .000
Continuity Correctionb 11.161 1 .001
Likelihood Ratio 12.233 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear Association 14.648 1 .000
N of Valid Cases 50
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.32.
b. Computed only for a 2x2 table
Universitas Sumatera Utara
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Tingkat Kecemasan * Tipe
SMT 6 12.0% 44 88.0% 50 100.0%
Tingkat Kecemasan * Tipe SMT Crosstabulation
Tipe SMT
Total Tipe II Tipe III
Tingkat Kecemasan ringan Count 1 0 1
Expected Count .8 .2 1.0
sedang Count 4 1 5
Expected Count 4.2 .8 5.0
Total Count 5 1 6
Expected Count 5.0 1.0 6.0
Universitas Sumatera Utara
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .240a 1 .624
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .403 1 .526
Fisher's Exact Test 1.000 .833
Linear-by-Linear Association .200 1 .655
N of Valid Cases 6
a. 4 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .17.
b. Computed only for a 2x2 table
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8
RINCIAN BIAYA
1. Bahan Habis Pakai (ATK) a. Kertas A4 (1 rim) : Rp 40.000,- b. Kertas Kuarto (1 rim) : Rp 40.000,- c. Tinta Printer : Rp 200.000,- d. Desinfektan : Rp 22.000,- e. Masker : Rp 20.000,- f. Sarung tangan : Rp 47.000,-
2. Bahan Tidak Habis Pakai
a. Jasa Print : Rp 150.000,- b. Jasa Fotokopi : Rp 50.000,-
3. Biaya Statistik : Rp 350.000,-
4. Biaya survey dan penelitian : Rp 400.000,-
5. Biaya inducement @50 x Rp 3.000,- : Rp 150.000,-
Total : Rp 1.469.000,-
Universitas Sumatera Utara