Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik XXX
-
Upload
atasnamatrauma -
Category
Documents
-
view
115 -
download
1
description
Transcript of Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik XXX
Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik XXX
1. FAKTOR PENYEBAB DAN YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA GIZIKURANG PADA BALITA DI …
2. PERBANDINGAN METODE PENGGUNAAN ANTROPOMETRI DENGANBIOKIMIA DALAM PEMERIKSAAN STATUS GIZI SISWA SMA DI …
3. HUBUNGAN PEKERJAAN DAN KONDISI SOSIAL BUDAYA DENGANSTATUS GIZI MASYARAKAT DI …
4. GAMBARAN PENGETAHUAN ORANGTUA TENTANG KEBUTUHAN GIZIBALITA DI ....
5. HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DENGAN STATUS GIZI PADA BALITA DI…
6. PENATALAKSANAAN DIET PADA PASIEN PASCA BEDAH DI …
7. TINJAUAN PENATALAKSANAAN DIET PADA PASIEN DENGAN PENYAKITDIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DI…
8. PERBEDAAN ANTARA PETUGAS GIZI YANG MENGGUNAKAN PROSEDUR TETAP TATALAKSANA GIZI DENGAN YANG TIDAK MENGGUNAKAN DI…
9. GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG POLA MENUSEIMBANG DI…10. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CAKUPAN PEMBERIANVITAMIN A DOSIS TINGGI PADA BALITA OLEH KADER DI …
11. GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG KEBUTUHAN GIZI DI…
12. GAMBARAN PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DIET MAKANANPADA PENDERITA PENYAKIT THYPOID DI …
13. GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BURUK PADA BALITADI WILAYAH KERJA PUSKESMAS…
14. HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN LINGKUNGAN RUMAH DENGANKEJADIAN PENYAKIT TBC PADA BALITA YANG MENDAPAT IMUNISASIBCG DI KABUPATEN ……… TAHUN 2008
15. HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DENGAN TINGKAT PENGETAHUANTENTANG KEBUTUHAN GIZI ANAK USIA SEKOLAH DI ....
16. GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU-IBU TENTANG GIZI PADABALITA DI ...
17. KARAKTERISTIK BALITA GIZI KURANG DI KAMPUNG ………TAHUN 2008
18. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA GIZIKURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ……
19. HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DENGAN TINGKAT PENGETAHUANTENTANG KEBUTUHAN GIZI ANAK USIA SEKOLAH DI ....
20. GAMBARAN DAN SIKAP ORANGTUA YANG MEMILIKI BALITA DENGANSTATUS GIZI KURANG DI…
21. HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN ANEMIADI…
22. GAMBARAN PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG MANFAAT GIZISEIMBANG DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN SEHARI-HARI DI...
1. HUBUNGAN ENDOKRIN DAN SISTEM SARAF: NEUROENDOKRINOLOGIDENGAN TIMBULNYA EFEK PENINGKATAN KALSIUM PADA PASIENDENGAN DX … DI….
2. STUDI DISGENESIS TUBULUS SEMINIFERUS: SINDROMA KLINEFELTER KROMATIN POSITIF DAN JENISNYA PADA PASIEN DX…DI …
3. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PENUAAN DAN FISIOLOGIINTOLERANSI KARBOHIDRAT PADA PASIEN DX… DI…
4. IDENTIFIKASI DIFERENSIASI GANGGUAN METABOLISME LIPOPROTEINDALAM TUBUH PADA PENDERITA GML DI…
5. PERBANDINGAN KEGUNAAN KLINIS RADIOIMMUNOASSAY KARBOKSIL(53-84) DAN TENGAH (44-68) PTH DENGAN IMMUNOMETRIC ASSAY PTHINTAK PADA PASIEN DX GGK DI…
6. TINJAUAN PENATALAKSANAAN PASIEN PADA DIALISA: OSTEODISTROFIRENALIS STADIUM I DAN II DI RS…
7. IDENTIFIKASI ESOFAGUS DAN TRAKEA PADA PASIEN KECELAKAANLALU LINTAS DENGAN PENGGUNAAN METODE VISUAL DI …
8. PERBANDINGAN UJI LABORATORIUM RUTIN DENGAN UJI ANTIBODIHETEROFIL PADA PASIEN DX MONONUKLEOSUS INFEKSIOSA DI …APASIEN DX MONONUKLEOSUS INFEKSIOSA DI …
9. STUDI KASUS: PENGENDALIAN PENCEMARAN LOGAM MERCURI DI…
10. PENGARUH PERBEDAAN PH KEASAMAN SUSU SAPI TERHADAPKEKUATAN TARIK DIAMENTRAL TUMPATAN SEMEN IONOMER KACA(GIC)
11. PENGARUH SEKRESI SALIVA TERHADAP PEMBENTUKAN PLAK PADAANAK LAKI-LAKI USIA 6-7 TAHUN
12. PENGARUH UKURAN LENGKUNG GIGI RAHANG ATAS (PANJANG DANLEBAR LENGKUNG GIGI) TERHADAP UKURAN BENTUK WAJAH(TINGGIDAN LEBAR WAJAH) PADA ANAK SUKU JAWA USIA 4-5 TAHUN DENGANSTATUS GIZI BAIK
13. EFEKTIFITAS EKSTRAK DALAM SRIKAYA SEBAGAI BAHAN PEMBERSIHGIGI TIRUAN RESIN AKRILIK TERHADAP JAMUR CANDIDAE ALBICANS14. PENGARUH GEL LIDAH BUAYA TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR CANDIDATE ALBICANS
15. PENGARUH LARUTAN SODIUM BIKARBONAT 1 % TERHADAPPENURUNAN KADAR PH SALIVA DALAM RONGGA MULUT PADAPEROKOK
16. PERBANDINGAN BENTUK WAJAH ANTARA MAHASISWA SUKU JAWADAN SUKU TERNATE
17. PENGARUH PERBEDAAN DOSIS PEMBERIAN EKSTRAK GETAH PAPAYASEBAGAI ANTI INFLAMASI
18. PENGARUH BULU SIKAT GIGI RATA DENGAN BULU SIKAT GIGI ZIGZAGDARI BAHAN NILON TERHADAP PENURUNAN PLAK PADA ANAK PEREMPUAN USIA 12 TAHUN DENGAN METODE MENYIKAT GIGISECARA HORIZONTAL
19. PENGARUH STATUS KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT (OHI-S) PADALANSIA YANG MENGGUNAKAN GIGI TIRUAN LEPASAN BERDASARKANTINGKAT PENDIDIKAN
20. PERBANDINGAN STATUS SKOR PLAK SANTRI DI PONPES YANGTERSEDIA PELAYANAN KESEHATAN GIGI SECARA PERIODIC DANTIDAK TERSEDIA PELAYANAN KESEHATAN GIGI21. PERBANDINGAN PENGARUH MENYIKAT GIGI DENGAN PEGANGANSIKAT YANG LURUS DAN PEGANGAN SIKAT YANG BERSUDUTTERHADAP PENGURANGAN PLAK GIGI PADA ANAK PEREMPUAN USIA12 TAHUN DENGAN METODE MENYIKAT SECARA HORIZONTAL
22. PERBANDINGAN STATUS KESEHATAN GUSI PADA PEMAKAI GIGITIRUAN SEBAGIAN LEPASAN DI BUAT OLEH DOKTER GIGI DAN TUKANGGIGI
23. PENGARUH PERBEDAAN MENYIKAT GIGI DENGAN METODEHORIZONTAL DAN VERTICAL TERHADAP PENGURANGAN PLAK PADAANAK PEREMPUAN USIA 12 TAHUN
24. PENGARUH GIGI MOLAR TIGA ATAS TERHADAP TERJADINYAPERIKORONITIS GIGI MOLAR TIGA BAWAH
25.PENGARUH METODE SOKLETASI DAN PERKOLASI EKSTRAK ETANOLKAYU SIWAK TERHADAP KANDUNGAN ZAT SENYAWA AKTIF
DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOLIK DAUN SAMTILOTOTERHADAP PERTUMBUHAN STREPTOCOCCUS MUTANS
26. EFEKTIFITAS EKSTRAK ETANOL KAYU SIWAK DENGAN METODEPERKOLASI TERHADAP PERTUMBUHAN STAPHILOCOCUS AUREUSISOLATE 248 YANG RESISTEN MULTIANTIBIOTIK
27. PENGARUH LAMA PERENDAMAN LARUTAN KOPI TERHADAPPERUBAHAN WARNA IONOMER ART
28. PENGARUH EKSTRAK BUAH APEL TERHADAP PERUBAHAN WARNA GIGIDALAM PROSES BLEACHING BERDASARKAN PERBEDAAN KOSENTRASI29. PENGARUH EKSTRAK BUAH APEL TERHADAP PERUBAHAN WARNA GIGIDALAM PROSES BLEACING BEDASARKAN BERBEDAAN WAKTU
.HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU RUMAH TANGGADENGAN PEMANFAATAN SAYURAN BAGI BALITA DI DS
HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KINERJA PENGAWAS MENELANOBAT (PMO) PENYAKIT TB-PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS XXX FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARUPADA ORANG DEWASA BERDASARKAN HASIL PENUNJANG RONTGEN POSITIF DI RS XXX
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KETIDAKPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN TB. PARU
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Visi Pembangunan Kesehatan Nasional dalam Indonesia Sehat 2010 merupakan gambaran
masyarakat Indonesia pada masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan sehat dan
perilaku sehat yang diharapkan mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan
merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Perilaku sehat adalah perilaku
proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit,
melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.
Salah satu perilaku sehat yang harus diciptakan untuk menuju Indonesia Sehat 2010 adalah
perilaku pencegahan dan penanggulangan (Tuberculosis Paru) TB paru (Depkes RI, 2000).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan setiap tahun terjadi
583.000 kasus baru TB paru dengan kematian sekitar 140.000 orang. Secara kasar diperkirakan
dalam setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 orang penderita baru TB Paru BTA
positif dan penyakit TB Paru ini menyerang sebagian kelompok usia yang merupakan sumber
daya manusia yang penting dalam pembangunan bangsa (Depkes RI, 2004).
Hasil penelitian Sudira (2005), menunjukan bahwa TB paru adalah sebagai penyebab kematian
ketiga terbesar sesudah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan serta
menduduki urutan pertama pada kelompok penyakit infeksi.
Program pemberantasan penyakit TB paru bertujuan untuk menurunkan insiden dan prevalensi
penyakit/penderita TB paru dengan jalan memutuskan rantai penularan. Tujuan tersebut dapat
dicapai dengan penerapan teknologi kesehatan secara tepat oleh petugas-petugas kesehatan yang
didukung peran serta aktif masyarakat. Peran serta masyarakat dapat dicapai apabila masyarakat
memahami tindakan pencegahan yang perlu mereka lakukan di dalam penanggulangan TB paru.
Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyakit TB paru perlu dilakukan upaya
penyuluhan.
Selain dalam bentuk penyuluhan pemerintah pusat dalam hal ini telah berupaya keras memenuhi
sarana dan prasarana seperti sarana diagnosis, sarana pengobatan dan pengawasan serta
pengendalian pengobatan dalam penanggulangan TB paru. Sejak tahun 1995/1996 setelah
dilakukan evaluasi bersama WHO, Indonesia mulai melaksanakan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short) melalui pola operasional baru dengan pembentukan Kelompok
Puskesmas Pelaksana (KPP) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), meskipun demikian
cakupan pengobatan masih rendah salah satu alasan masih rendahnya cakupan pengobatan TB
adalah ketidak teraturan pada saat minum obat (Depkes RI, 2000).
Menurut beberapa ahli Ellis et all (2000) ketidakteraturan waktu minum obat dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, pekerjaan, usia, motivasi dan komunikasi atau informasi.
Tambayong (2002) menyimpulkan bahwa faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan
diantaranya adalah kurang pahamnya tujuan pengobatan dan tidak mengertinya pasien tentang
pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya.
Fenomena yang ada di Propinsi Lampung, didapatkan angka kekambuhan penderita TB masih
cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat bahwa dari 100.000 penduduk, 161 orang diantaranya
diperkirakan menderita TB paru (Kompas, 2005) dengan angka kekambuhan 34,24%. Di
Kotamadya Metro sendiri pada tahun 2003 – 2006 ditemukan jumlah penderita TB paru
sebanyak 161 orang, angka kekambuhan mencapai 11,73% (Profil Kesehatan Propinsi Lampung,
2006).
Dari hasil pra survey yang peneliti lakukan pada minggu pertama bulan Juli 2007 di Puskesmas
ZZZ Kotamadya Metro, pada tahun 2003 jumlah penderita TB paru sebanyak 37 orang, 11
diantaranya (29,72%) merupakan pasien ulang, tahun 2004 jumlah penderita TB paru sebanyak
23 orang, 3 diantaranya (13,04%) merupakan pasien ulang, tahun 2005 didapatkan 25 orang
penderita TB paru, 2 diantaranya (8%) merupakan pasien ulang, tahun 2006 jumlah penderita TB
paru sebanyak 18 orang yang sebagian besar disebabkan oleh rokok dan polusi udara, kemudian
pada tahun 2007 yaitu antara bulan Januari hingga Juni didapatkan jumlah penderita TB paru
sebanyak 25 orang, dimana 10 orang diantaranya (40%) merupakan penderita lanjutan dari tahun
2006. Adapun data pasien TB paru di Puskesmas ZZZ pada tahun 2004 – 2007 dapat lebih jelas
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.1Jumlah Cakupan Penderita TB Paru di Puskesmas ZZZ
Kecamatan ZZZ tahun 2004-2007
No. TahunJumlah
Penderita
Pasien Kunjungan
Ulang
Persentase (%)
1. 2004 23 3 13,042. 2005 25 2 83. 2006 18 - -4. 2007
(Januari – Juni)
25 10 40
Sumber: Data POA Puskesmas ZZZ, 2007.
Melihat masih tingginya angka kekambuhan pada klien TB dan beberapa kendala yang terkait
dengan pengobatan klien TB tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Faktor-
faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien TB. Paru di
Puskesmas ZZZ Kotamadya Metro Tahun 2007”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1.2.1 Sebagian besar masyarakat masih belum memahami atau mengetahui tentang berbagai macam
aturan waktu minum obat yang benar.
1.2.2 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan seseorang dalam
mengkonsumsi obat seperti; pendidikan, pekerjan, usia, motivasi dan komunikasi dan atau
informasi.
1.2.3 Ditemukan jumlah penderita TB paru di Kotamadya Metro sebanyak 161 orang pada tahun
2003 – 2006 yang sebagian besar disebabkan oleh rokok dan polusi udara.
1.2.4 Didapatkan 25 orang penderita TB paru yang mengalami kendala dalam mengikuti
pengobatan yang diberikan oleh petugas kesehatan di Puskesmas ZZZ.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas, maka yang menjadi rumusan masalah penelitian ini tentang “Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien TB. Paru di Puskesmas ZZZ”.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien TB. Paru di Puskesmas ZZZ.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Untuk mengetahui hubungan usia dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien di Puskesmas
ZZZ
1.4.2.2 Untuk mengetahui hubungan pendidikan dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien di
Puskesmas ZZZ
1.4.2.3 Untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien di
Puskesmas ZZZ
1.4.2.4 Untuk mengetahui hubungan informasi dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien di
Puskesmas ZZZ
1.4.2.5 Untuk mengetahui hubungan motivasi dengan ketidakpatuhan minum obat pada pasien di
Puskesmas ZZZ
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini agar dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Puskesmas ZZZ untuk
mengoptimalkan pelayanan yang diberikan khususnya dalam peningkatan pengetahuan aturan
waktu minum obat pada masyarakat di sekitar wilayah kerja puskesmas ZZZ.
1.5.2 Bagi Program Studi Keperawatan
Dapat memberikan masukan bagi institusi Fakultas Kedokteran Universitas ZZZ khususnya
Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai data awal melakukan penelitian selanjutnya.
1.5.3 Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan peneliti tentang aturan waktu minum obat yang tepat dan
menyelesaikan salah satu tugas akhir pendidikan berupa penelitian riset keperawatan.
Efektifitas Rapid Diagnostic Test (RDT) Terhadap Penderita Malaria
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangPenyakit malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, dalam Buku The World Malaria Report 2005, World Health Organization (WHO), menggambarkan walaupun berbagai upaya telah dilakukan, hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan menyebabkan kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan saat ini masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria (¶ www.wordpress.com.2006.Kamis, 1 mei 2008).
Malaria di Indonesia masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menurunkan produktivitas kerja. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya. Diperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di daerah yang berisiko tertular malaria, dari 293 Kabupaten/Kota merupakan wilayah endemis malaria, sejak lima tahun terakhir, angka kesakitan malaria menunjukkan penurunan. Di Jawa-Bali, Annual Parasite Incidence (API) pada tahun 2000 sebesar 0,81%o turun menjadi 0,15%o pada tahun 2004. Untuk di luar Jawa-Bali, Annual Malaria Incidence (AMI) pada tahun 2000 sebesar 31,09%o turun menjadi 20,57% pada tahun 2004. Namun demikian, sejak 1997-2005 Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria masih sering terjadi, dengan jumlah kasus 32,987 penderita dan 559 kematian akibat malaria, Case Fatality Rate (CFR) malaria berat yang dilaporkan dari beberapa Rumah Sakit berkisar 10-50% (Depkes, 2006).
Hampir separuh populasi Indonesia sebanyak kurang lebih 90 juta orang tinggal di daerah endemis malaria, diperkirakan ada 30 juta kasus malaria setiap tahunnya, kurang lebih 10% yang mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan, menurut data dari fasilitas kesehatan tahun 2001 diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per 100.000 penduduk dengan angka yang tertinggi 20% di Gorontalo, 13% di NTT dan 10% di Papua. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di Indonesia adalah 11 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 8 per 100.000 penduduk untuk perempuan (¶ www.Undp.or.id/pubss/imdg, 2004.1 Mei 2008).
Provinsi Lampung merupakan pintu gerbang antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera dengan mobilitas penduduk yang tinggi, maka adanya daerah endemis malaria merupakan masalah yang perlu mendapat prioritas penanggulangan. Mengingat angka Annual Malaria Insidence (AMI) di Provinsi Lampung selama tiga tahun terakhir ini, bergerak secara fluktuatif yaitu pada tahun 2005 angka AMI-nya sebesar 6,2/1000 penduduk, lalu tahun 2006 turun menjadi 4,47/1000 penduduk dan meningkat pada tahun 2007 sebesar 7,47/1000 penduduk (¶ www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004 Kamis, 1 Mei 2008).
Kabupaten Tanggamus, penyakit malaria masih merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, yang mempengaruhi angka kesakitan bayi, anak balita, dan ibu melahirkan serta dapat menurunkan produktifitas tenaga kerja. Pada tahun 2005 jumlah kasus malaria klinis adalah 11.544 kasus, dengan angka kesakitan (13,76/1000 penduduk), dan malaria positif sebanyak 587 kasus (5,08% dari klinis) terjadi peningkatan tahun 2006 yaitu malaria klinis 11.709 kasus (13,9/1000 penduduk), dan malaria positif sebanyak 725 kasus (6,19% dari klinis) termasuk masih tinggi bila dibandingkan dengan target Indonesia Sehat 2010 sebesar 5/1000 penduduk, sehingga masih perlu perhatian (Dinkes Tanggamus, 2006).
Di Puskesmas Sudimoro penderita malaria yang banyak ditemukan adalah Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum. Berdasarkan laporan kegiatan Mass Blood Survey (MBS) Kabupaten Tanggamus tahun 2008, bahwa hasil yang ditemukan berkisar 93 orang P.vivax dan 39 orang P. Falciparum. Dan berdasarkan dari hasil perbandingan tahun 2006 dan tahun 2007, maka angka kesakitan yang ditemukan untuk penyakit malaria tersebut telah menurun. Hal ini dapat diketahui dengan adanya pemberian obat yang telah diubah dari pemberian kloroquin menjadi Artemicin Combination Therapy (ACT) yang merupakan gabungan dari beberapa obat antara lain Artemicin, Amodiakuin, dan primaquin. Sehingga hal ini dapat menekan tingkat kesakitan pada pasien yang menderita penyakit malaria. Pengobatan malaria terdiri beberapa tahapan, yaitu lini I menggunakan kloroquin dan primaquin, lini II Sp dan primaquin dan lini III primaquin dan kina (Laporan P2 Malaria Puskesmas Sudimoro, 2008).
Sesuai dengan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kabupaten termasuk di daerah yang sudah dinyatakan resisten obat kloroquin seperti Puskesmas Sudimoro, maka Departemen Kesehatan mendesentralisasikan UU No. 2 & 25 tahun 1999 dan PP No.25 tahun 2000) yang menganjurkan untuk dilakukan penggantian obat yang efikasinya lebih baik seperti ACT. Puskesmas Sudimoro merupakan salah satu Puskesmas yang memberikan pengobatan malaria Falciparum dengan menggunakan obat kloroquin dan Sulfadoksin Pirimetamin (SP) atau ACT yang akhir-akhir ini setelah dilakukan MBS diberikan obat tersebut, namun tidak semua penderita malaria mendapatkannya, hanya yang positif malaria saja yang mendapatkan obat ACT dan belum pernah dilakukan evaluasi hasil pengobatannya, dan ini merupakan kebijakan nasional.
Salah satu cara untuk mendiagnosa penderita malaria adalah dengan melakukan pemeriksaan di laboratorium, dimana terdapat dua cara untuk mengetahui apakah penderita
positif menderita malaria yaitu dengan menggunakan Mikroskop dan Rapid Diagnostic Test (RDT).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyaningrum, dkk (2004) di Puskesmas Hanura terhadap 445 responden mengalami malaria klinis memperlihatkan bahwa sensitivitas 95,1% dan spesifitas 100% terhadap penggunaan RDT dibandingkan dengan menggunakan mikroskopis.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Utami, dkk (2007) menyimpulkan bahwa di daerah hipo endemis Immuno Chromatographic Test (ICT) reliabel, valid dan cost effective untuk diagnosis malaria vivax maupun falciparum, untuk daerah meso endemis ICT mempunyai reliabilitas, validitas dan cost effectiveness yang baik untuk malaria falciparum. Sehingga dapat disarankan ICT dapat dipakai sebagai perangkat diagnosis di Puskesmas di daerah hipo meso endemis, terutama apabila tidak tersedia fasilitas mikroskopis, kemampuan mikroskopis rendah, dan untuk daerah sulit dijangkau, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: perlunya didahului dengan penapisan klinis yang lebih akurat (mengembangkan algoritma klinis spesifik lokal), riwayat sakit penderita dan riwayat minum obat serta perlu mengenal kekhususan dari RDT yang digunakan.
ACT terutama diberikan untuk Plasmodium falciparum, sehingga dalam pemberian obat tersebut diagnosis mikroskopis mutlak harus dilakukan sesuai dengan golden standar atau baku emas yang berlaku (95% -100%). Saat ini Puskesmas Sudimoro belum mempunyai tenaga analis/mikroskopis yang melakukan pembacaan sediaan darah tebal malaria, sehingga dalam penegakan diagnosis menggunakan RDT, meskipun RDT merupakan paket untuk diagnosis dalam rangka terapi ACT, namun hingga saat ini penelitian tentang ketepatan dengan menggunakan diagnosis RDT masih minim dibandingkan dengan mikroskopis.
B. Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimanakah efektifitas Rapid Diagnostic Test (RDT) terhadap penderita malaria di Desa ZZZ?”
C. Tujuan Penelitian1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas dan efikasi RDT dengan diagnosis penderita malaria di Desa ZZZ.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui proporsi diagnosa penderita malaria dengan menggunakan RDT.
b. Diketahui proporsi diagnosa penderita malaria dengan menggunakan Mikroskopis.
c. Diketahuinya efektifitas RDT dan Mikroskopis dalam penemuan penderita malaria
D. Manfaat Penelitian1. Dapat memberikan informasi kepada Dinas Kesehatan mengenai efektifitas RDT dalam
penemuan penderita malaria.
2. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat ZZZ dapat memberikan tambahan referensi mengenai efektifitas RDT dalam penemuan penderita malaria.
3. Bagi Puskesmas Sudimoro sebagai bacaan baru mengenai penggunaan RDT dalam penemuan penderita malaria.
4. Bagi penulis diharapkan dapat menambah ketrampilan dan pengalaman dalam menggunakan RDT untuk penemuan penderita malaria di Tingkat Puskesmas.
E. Ruang LingkupPenelitian ini bersifat kuantitatif yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas dan efikasi
RDT dengan diagnosis penderita malaria di Desa ZZZ. Sasaran dalam penelitian adalah semua penderita malaria yang ada di Desa tersebut. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2008.