Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas...

43
2. LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Rekayasa Ulang 2.1.1.1. Definisi Rekayasa Ulang Rekayasa ulang proses bisnis sebenarnya bukanlah suatu hal yang benar- benar baru. Pertama kali gagasan mengenai hal tersebut diperkenalkan oleh Michael dengan menyatakan bahwa definisi rekayasa ulang (reengineering) adalah: “Pemikiran ulang secara fundamental dan perancangan ulang secara radikal atas proses bisnis untuk mendapatkan perbaikan dramatis dalam hal ukuran-ukuran kinerja yang penting dan kontemporer seperti biaya, kualitas, pelayanan, dan kecepatan (Hammer,1996:22).” Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Henry Johansson dalam buku “Business Process Reengineering” mendefinisikan: “Rekayasa-ulang Proses Bisnis sebagai sarana bagi organisasi untuk mewujudkan perubahan kinerja secara radikal diukur dari biaya, waktu siklus, layanan dan mutu, melalui penerapan beragam alat dan teknik yang difokuskan pada bisnis sebagai salah satu perangkat proses bisnis inti yang berorientasi kepada pelanggan dan bukan sekedar seperangkat fungsi-fungsi organisasi (Johansson, 1995:32).” Beberapa ahli menyebut rekayasa ulang dengan sebutan yang bermacam- macam seperti inovasi proses, atau desain ulang proses. Seperti halnya Thomas H. Davenport mendefinisikan inovasi proses adalah: “Pemikiran strategi-strategikerja baru, kegiatan desain proses aktual serta implementasi perubahan di semua dimensi teknologi, manusia, dan organisasi yang kompleks (Davenport,1995:2).” 2.1.1.2. Kunci Rekayasa Ulang Menurut Davenport (1995:7), bahwa terdapat kesamaan yang menjadi kunci dari suatu rekayasa ulang, yaitu :

Transcript of Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas...

Page 1: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

2. LANDASAN TEORI

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Rekayasa Ulang

2.1.1.1. Definisi Rekayasa Ulang

Rekayasa ulang proses bisnis sebenarnya bukanlah suatu hal yang benar- benar baru. Pertama kali gagasan mengenai hal tersebut diperkenalkan oleh Michael dengan menyatakan bahwa definisi rekayasa ulang (reengineering) adalah: “Pemikiran ulang secara fundamental dan perancangan ulang secara radikal atas proses bisnis untuk mendapatkan perbaikan dramatis dalam hal ukuran-ukuran kinerja yang penting dan kontemporer seperti biaya, kualitas, pelayanan, dan kecepatan (Hammer,1996:22).”

Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Henry Johansson dalam buku “Business Process Reengineering” mendefinisikan:

“Rekayasa-ulang Proses Bisnis sebagai sarana bagi organisasi untuk mewujudkan perubahan kinerja secara radikal diukur dari biaya, waktu siklus, layanan dan mutu, melalui penerapan beragam alat dan teknik yang difokuskan pada bisnis sebagai salah satu perangkat proses bisnis inti yang berorientasi kepada pelanggan dan bukan sekedar seperangkat fungsi-fungsi organisasi (Johansson, 1995:32).”

Beberapa ahli menyebut rekayasa ulang dengan sebutan yang bermacam- macam seperti inovasi proses, atau desain ulang proses. Seperti halnya Thomas H. Davenport mendefinisikan inovasi proses adalah: “Pemikiran strategi-strategikerja baru, kegiatan desain proses aktual serta implementasi perubahan di semua dimensi teknologi, manusia, dan organisasi yang kompleks (Davenport,1995:2).”

2.1.1.2. Kunci Rekayasa Ulang

Menurut Davenport (1995:7), bahwa terdapat kesamaan yang menjadi kunci dari suatu rekayasa ulang, yaitu :

1. Fundamental; bahwa dalam melaksanakan rekayasa ulang perusahaan harus menanyakan pertanyaan paling dasar tentang perusahaan mereka dan bagaimana operasinya.

2. Radikal; bahwa merekayasa ulang berarti merancang ulang secara radikal mulai dari akar permasalahan, yang berarti mengesampingkan struktur dan prosedur yang ada dan menciptakan cara yang sama sekali baru dalam menyelesaikan pekerjaan.

Page 2: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

3. Dramatis; bahwa rekayasa ulang bukan merupakan upaya peningkatan secara marjinal ataupun inkremental, tetapi tentang suatu lompatan besar dalam hal kinerja perusahaan.

4. Proses; merupakan hal yang paling penting dalam rekayasa ulang, karena konsep inti dari rekayasa ulang adalah konsep yang berorientasi proses.

2.1.1.3. Proses dan proses inti

Dalam mempertimbangkan untuk melaksanakan rekayasa ulang penting sekali untuk memahami sepenuhnya apa yang dinamakan proses. “Proses adalah seperangkat mentransformasikannya 1995:44).”

Sedangkan Corporation” mendefinisikan: “Proses adalah sekumpulan aktifitas produksi yang meliputi satu jenis input atau lebih dan menciptakan output yang bernilai bagi pelanggan (Hammer, 1996:42).”

Sebelum rancangan rekayasa ulang dibuat harus mengetahui beberapa hal tentang proses yang ada, apa yang dikerjakan, bagaimana kinerjanya, dan hal-hal apa yang menjadi penentu kinerja tersebut yang semua itu nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk menciptakan rancangan yang baru. Denganrancangan proses yang baru tersebut penekanan biaya akan dengan sendirinya terjadi bila kegiatan-kegiatan yang tidak menambah nilai disingkirkan dari proses dan sekaligus meningkatkan efektifitas dari proses tersebut.

2.1.1.4. Penggerak Rekayasa Ulang

Dalam buku Process Innovation oleh Thomas H. Davenport, dibahas beberapa hal yang menjadi penggerak rekayasa ulang yaitu :

1. Tekanan persaingan.

2. Tekanan pelanggan.

3. Keuangan; Perusahaan yang menanggung beban utang yang cukup besar seringkali perlu melakukan pemangkasan biaya secara besar-besaran untuk meningkatkan kemampuan menghasilkan laba. Dengan suatu rekayasa ulang dapat lebih selektif dalam mengeliminasi biaya-biaya yang tidak perlu.

4. Kebutuhan akan koordinasi dan manajemen saling ketergantungan fungsional (Davenport, 1995:56).”

Dari hal-hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi penggerak utama rekayasa ulang adalah menyangkut masalah kebutuhan untuk memperbaiki kinerja keuangan perusahaan. Sasaran

Page 3: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

lain seperti penekanan waktu, peningkatan mutu, pelayanan pada pelanggan, diwujudkan dalam penjualan yang lebih tinggi atau produksi yang lebih murah, yang semuanya itu juga mengarah ke peningkatan kinerja keuangan. Demikian juga halnya dengan pemberdayaan sumber daya yang ada, pada akhirnya juga mengarah ke peningkatan kinerja keuangan perusahaan.

2.1.1.5. Kerangka Kerja Rekayasa Ulang

Dalam buku “Process Business Reengineering”, Johansson (1995:42) menyatakan tahap-tahap yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam merekayasa ulang proses bisnisnya, yaitu:

Tahap 1 : Temukan, dalam tahap ini perusahaan menciptakan misi strategik untuk mendominasi atau memperbaharui daya saing di pasar, dan menentukan apa yang akan dilakukan terhadap proses yang ada guna mencapai strategi tersebut. Dalam tahap ini pada dasarnya perusahaan harus mengidentifikasi peluang dan skala rekayasa ulang proses bisnis yang akan diimplementasikan tersebut.

Tahap 2 : Desain ulang, dalam tahap ini proses yang akan direkayasa ulang dirinci, direncanakan, dan direkayasa.

Tahap 3 : Realisasi, dalam tahap ini rekayasa ulang tersebut diimplementasikan untuk melaksanakan strategi.

Johansson (1995:46) menyimpulkan bahwa pada dasarnya rekayasa ulang memang harus mengakumulasikan dari tiga tahap proses tersebut. Proses pertama adalah menemukan proses itu sendiri, meliputi identifikasi bagian-bagian yang terlibat dalam proses, identifikasi alur proses diantara bagian-bagian yang terlibat dalam proses. Sedangkan tahap desain ulang meliputi identifiaksi output sub proses, identifikasi aktivitas yang menghasilkan output, identifikasi input dari sub proses, dan rekayasa itu sendiri. Sedangkan realisasi rekayasa ulang proses meliputi berbagai aktivitas, yaitu: identifikasi masalah, dan realisasi rekayasa ulang.

Sedangkan Thomas H. Davenport memberikan kerangka kerja untuk rekayasa ulang dalam lima langkah :

Mengidentifikasi proses untuk inovasi. Mengidentifikasi pengungkit Perubahan. Mengembangkan visi proses. Memahami proses yang ada. Merancang dan membuat prototipe proses yang baru

Davenport (1995:61).”

Page 4: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

Perubahan manajemen dapat memfokuskan pada banyak usaha dalam proses improvement. Perubahan tersebut membuat manajemen mempunyai pandangan yang lebih luas terhadap proses hubungan di dalam organisasi. Manajemen harus mempertimbangkan lingkungan eksternal, para pemegang saham, dan teknik infrastruktur bilamana berusaha untuk membentuk struktur organisasi dan kultur dalam mengimplementasikan rekayasa ulang. Perubahan struktur manajemen juga harus memfokuskan pada unit-unit fungsi untuk mempunyai tanggung-jawab kerja. Hal ini termasuk kebijakan, prosedur, peraturan, memfokuskan pada interaksi antar karyawan dan hubungan karyawan dengan atasannya.

Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut secara otomatis proses yang ada di dalamnya pun akan berubah. Walaupun demikian masih sangatlah sulit fasilitas, dan perlengkapan.

Perubahan kultur manajemen bagi perusahaan untuk melakukan hal yang satu ini karena merupakan suatu pilihan yang beresiko tinggi. Oleh sebab itu sebelum melakukannya diperlukan pemikiran yang cermat. Seringkali perusahaan memilih cukup melakukan perbaikan mutu berkelanjutan (continuous improvement) saja dengan resiko yang relatif lebih kecil dibanding melakukan rekayasa ulang.

Menurut pakar reengineering, M. Hammer menyatakan: “Untuk memperbaiki seluruh kinerja organisasi, dan mendapatkan peluang berhasil yang lebih besar sebaiknya kedua metode tersebut digunakan, sehingga merupakan suatu metode yang saling melengkapi (Hammer, 1996:67).”

2.1.1.6.Ukuran Kerja Rekayasa Ulang

Johansson (1995:46) menyatakan: "Ukuran keberhasilan reenginering process mendasarkan dua tolak ukur yaitu target operasional dan perbandingan efektifitas dan efisiensi antar periode." Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa ukuran dari rekayasa ulang proses dapat disandarkan pada dua sisi pandang, yaitu:

a. Target operasional

Jika melalui reenginering process target operasional perusahaan tercapai, maka dapat disimpulkan bahwa reenginering process adalah berhasil, dan demikian pula sebaliknya.

b. Perbandingan

Perbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering process dan fase setelah reenginering process. Jika melalui reenginering process efisiensi dan efektifitas operasional meningkat, maka dapat disimpulkan bahwa reenginering process adalah berhasil, dan demikian pula sebaliknya.

Page 5: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

Perusahaan dimungkinkan memilih salah satu maupun kedua-duanya dari tolak ukur reenginering process untuk menilai reenginering process yang dirancang dan diimplementasikan dalam operasional perusahaan.

2.1.2. Business Process Analysis

Johansson (1995:51) menyatakan: "Reenginering process harus dilakukan dengan mengidentifikasikan suatu proses untuk menemukan keunggulan dan kelemahan, sehingga dapat dilakukan inovasi proses baru yang lebih efektif dan efisien." Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa rekayasa ulang proses hanya dapat dilakukan dengan mengidentifikan proses yang ada terlebih dahulu sehingga dapat dilakukan inovasi proses berdasarkan kelemahman proses yang telah terjadi.

Sudjatmiko (1996:23) menyatakan: "Rekayasa proses bisnis adalah bagian dari rekayasa ulang proses karena menyangkut inovasi atas suatu proses yang telah ada." Pendapat tersebut mengilustrasikan bahwa rekayasa ulang proses bisnis adalah bagian dari rekayasa ulang proses, berarti rekayasa ulang proses bisnis berarti juga harus memperhatikan konsep rekayasa ulang proses secara keseluruhan.

“Business process Analysis adalah kunci pendekatan analitis yang mendukung dan membantu manajemen dalam melakukan analisis terhadap aktivitas, siklus waktu, biaya, kualitas dan akar penyebab permasalahan untuk perbaikan proses bisnis dalam meningkatkan efisiensi biaya (Sudjatmiko, 1996:23).” Tetapi perlu diingat, bahwa penerapannya harus selalu berorientasi pada usaha untuk meningkatkan kepuasan konsumen.

Ada dua cara dasar untuk memandang suatu organisasi, yaitu:

a. Functional view.

Cara ini memandang bagan organisasi sebagai model utama dari bisnis perusahaan. Peningkatan program terfokus pada peningkatan efisiensi dan efektifitas fungsi tertentu atau unit organisasi tertentu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa cara ini tidak menitikberatkan pada usaha untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara menyeluruh.

b. Process view.

Cara ini lebih memfokuskan pada pekerjaan itu sendiri daripada struktur organisasi yang dipakai untuk mengelola pekerjaan tersebut. Titik beratnya terletak pada usaha untuk mengidentifikasi proses. Selanjutnya proses akan dibagi menjadi sub proses-sub proses yang akan dibagi lagi menjadi aktivitas- aktivitas. Process view menyediakan cara terbaik untuk menganalisis bisnis, sebab process view disusun berdasarkan pada bagaimana cara konsumen memandang suatu bisnis. Konsumen akan berinteraksi dengan organisasi melalui proses bisnisnya. Hanya dengan mengambil perspektif yang sama dengan konsumen, maka organisasi dapat menilai value dari hasil yang telah dicapai. Jadi process view menyediakan dasar bagi Total Cost Management.

Terdapat dua alasan mengapa perusahaan melakukan Business Process Analysis, yaitu sebagai:

Page 6: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

a. Program pengurangan biaya dan siklus waktu, proses perbaikan kualitas, atau usaha-usaha lain untuk memperbaiki kinerja perusahaan.

b. Langkah awal dalam menerapkan Activity Based Costing, Performance Measurement and Decision Support Improvements.

Business Process Analysis merupakan dasar dari Total Cost Management dalam menganalisis proses bisnis yang menfokuskan pada proses dan meningkatkan kinerja perusahaan. Jadi Business Process Analysis berfokus pada proses perusahaan di dalam melakukan analisis, bukan pada fungsi organisasi.

Menurut Ostrenga et al. (1992:61), ada dua prinsip dalam memandang suatu organisasi:

a. Sudut pandang fungsional.

Cara ini memandang bagan organisasi sebagai model utama dari bisnis. Peningkatan program terfokus pada peningkatan efisiensi dan efektifitas fungsi tertentu atau unit organisasi tertentu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa cara ini tidak menitikberatkan pada usaha meningkatkan kinerja perusahaan secara menyeluruh.

b. Sudut pandang proses.

Cara ini lebih menfokuskan pada pekerjaan itu sendiri daripada struktur organisasi yang dipakai untuk mengelola pekerjaan tersebut. Titik beratnya terletak pada usaha untuk mengidentifikasi proses. Selanjutnya proses akan dibagi menjadi sub proses yang akan dibagi lagi menjadi aktivitas. Pandangan proses menyediakan cara terbaik untuk menganalisis bisnis, sebab disusun berdasarkan pada bagaimana cara konsumen memandang suatu bisnis.

Konsumen akan berinteraksi dengan organisasi melalui proses bisnis, hanya dengan mengambil perspektif yang sama dengan konsumen, maka organisasi dapat menilai hasil yang telah dicapai.

Perusahaan yang menerapkan Business Process Analysis tidak lagi menggunakan pendekatan fungsioanal yang berdasarkan pada struktur organisasi dan hanya memfokuskan diri pada peningkatan efisiensi dan efektifitas masing- masing fungsi ataupun unit organisasi yang spesifik. Jika memandang pekerjaan dengan dasar department by department, hanya akan menimbulkan kompleksitas, masalah baru dan juga rework pada departemen lainnya. Business Process Analysis menekankan pada pola hubungan yang bersifat cross functional dengan menembus dinding pemisah antar fungsi yang diciptakan oleh struktur organisasi fungsional.

Penerapan Business Process Analysis diawali dengan mengidentifikasi proses yang akan dianalisis, kemudian dari proses tersebut akan dipisahkan menjadi sub proses, yang pada akhirnya akan dipisahkan lagi menjadi aktivitas- aktivitas.

2.1.2.1. Proses

Page 7: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

Proses adalah:”A set of linked activities that take an input, transform it, and create an output. Ideally the transformation that occurs in process should add value to the inputs and create an output that is useful to and effective for recipient (Johansson (1993:9).

” Proses merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan untuk menghasilkan suatu output, sedangkan input modal, sumber daya manusia, teknologi dan berbagai informasi yang diubah oleh serangkaian aktivitas menjadi suatu output.

Ada tiga elemen penting yang terdapat dalam setiap proses, yaitu:

a. Transformation.

Hasil dari satu atau lebih transformasi adalah output, sedangkan input merupakan sumber dari proses transformasi.

b. Feedback control.

Merupakan aturan yang mengubah aktivitas-aktivitas dengan tujuan untuk memperbaiki atribut-atribut tertentu dari suatu output.

c. Repeatability

Merupakan proses yang dilakukan secara berulang-ulang dengan cara yang sama pula.

2.1.2.2. Sub Proses

Sub proses adalah bagian dari suatu proses yang merupakan rangkaian dari beberapa aktivitas dan memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dari proses itu sendiri. Setiap sub proses juga memiliki input, proses, transformasi, dan output.

Dalam business process analysis, harus ditentukan input, output, dan konsumen dari masing-masing sub proses. Penentuan konsumen ini sangat penting, sebab merupakan dasar untuk menentukan aktivitas mana yang perlu dilakukan dan aktivitas mana yang tidak perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

2.1.2.3. Aktivitas

Aktivitas adalah: “An activity is a combination of people, technology, raw material, methods, and environment that produces a given product or service (Brimson, 1991:46).” Aktivitas adalah kombinasi dari manusia, teknologi, bahan baku, metode, dan lingkungan yang menghasilkan produk atau jasa.

Dalam business process analysis, aktivitas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

Page 8: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

a. Value added activity, yaitu aktivitas yang dilakukan dapat memberikan nilai tambah dan kepuasan kepada konsumen dan perusahaan. Aktivitas ini terbagi lagi menjadi dua kategori, yaitu:

1) Real value added activity

Merupakan aktivitas yang benar-benar bernilai bagi konsumen dan harus dilakukan oleh perusahaan.

2) Business value added activity

Merupakan aktivitas yang tidak bernilai bagi konsumen tetapi dibutuhkan oleh perusahaan.

b. Non value added activity, yaitu aktivitas yang dilakukan tidak memberikan nilai tambah bagi konsumen dan perusahaan.

2.1.2.4. Langkah-Langkah Business Process Analysis

Dalam penerapannya, sebelumnya perlu untuk dipertimbangkan hal-hal seperti tujuan yang ingin dicapai, identifikasi proses dengan mempertimbangkan kemungkinan analisis proses sampai dengan mempertimbangkan kemungkinan analisis proses sampai pada tingkat aktivitas, dan pengembangan rencana perbaikan.

Manurut Mustopo (1998:221) menyebutkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam penerapan business process analysis, yaitu:

1. Langkah

1. Mengembangkan model proses bisnis

Bisnis adalah serangkaian proses yang saling berhubungan yang disebut value chain. Tujuan dari business process model adalah untuk mengidentifikasi aliran proses utama dalam organisasi perusahaan. Dimana model proses bisnis ini akan memberi gambaran mengenai keseluruhan perusahaan dan juga menunjukkan proses utama perusahaan dan hubungan diantaranya. Proses utama tersebut selanjutnya akan dibagi menjadi sub proses dan aktivitas pendukungnya. Pada saat mengidentifikasikan sub proses, penting untuk mengidentifikasikan batasan proses, yaitu titik awal dan akhir dari suatu proses. Proses dari tiap-tiap perusahaan tidak selalu sama, tergantung pada bentuk, situasi, dan kondisi perusahaan tersebut.

2. Langkah

2. Mengembangkan definisi proses/aktivitas

Setelah mengidentifikasikan sub proses, langkah selanjutnya adalah membagi sub proses yang terpilih ke dalam aktivitas. Beberapa langkah yang harus dilakukan, diantaranya:

Melakukan pengembangan model proses bisnis dan a) Identifikasi output sub proses.

Page 9: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

Output yang dimaksud adalah setiap produk atau jasa yang dihasilkan oleh

suatu sub proses. Output dari suatu proses terdiri atas transaksi, informasi,

atau dokumen-dokumen.

b) Identifikasi konsumen.

Hal ini dilakukan karena tiap-tiap konsumen mempunyai kriteria sendiri

dalam memilih suatu produk, tidak bisa selalu cocok dengan produk yang

dihasilkan oleh perusahaan. Identifikasi konsumen merupakan elemen

penting dalam Business Process Analysis. Konsumen yang dimaksud

disini meliputi konsumen internal maupun konsumen eksternal. Konsumen

eksternal adalah pihak diluar perusahaan yang membeli produk yang

dihasilkan oleh perusahaan. Bila suatu output yang dihasilkan oleh suatu

proses diterima oleh pihak lain dalam perusahaan yang sama, maka pihak

lain tersebut yang akan disebut sebagai konsumen internal. Identifikasi

Page 10: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

konsumen juga menjadi dasar untuk menentukan aktivitas mana yang

menghasilkan nilai tambah dan aktivitas mana yang tidak menghasilkan

nilai tambah dilihat dari sudut pandang konsumen.

c) Identifikasi aktivitas yang menghasilkan output.

Pada bagian ini dibuat suatu kerangka aktivitas secara keseluruhan, bisa

dengan melakukan interview. Dalam mengidentifikasikan aktivitas

hendaknya dihindarkan pada pendefinisian yang terlalu mendetail atau

pendefinisian yang terlalu sempit, karena itu akan menambah kerumitan

dalam analisis tanpa memberikan informasi yang bermanfaat bagi

manajemen.

d) Identifikasi input dari sub proses.

Informasi tentang input dapat diperoleh dengan cara mengumpulkan data

historis, melakukan observasi fisik, dan wawancara. Data tentang input ini,

nantinya akan sangat bermanfaat untuk menentukan upaya-upaya

Page 11: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

perbaikan apa yang akan dilakukan oleh perusahaan.

3. Langkah 3. Melakukan process value analysis

Tujuan dari process value analysis adalah untuk mengidentifikasikan

kesempatan untuk meningkatkan kinerja bisnis dengan beberapa cara sehingga

peningkatan akan tercapai pada akhirnya. Karakteristik yang istimewa dari

process value analysis adalah yang dikendalikan oleh input dari konsumen.

Peluang utama untuk perbaikan berasal dari aktivitas-aktivitas yang

menambah waktu atau biaya pada proses tanpa menambah nilai dimata

konsumen. Ada tiga aktivitas yang digunakan

aktivitas yang terlibat dalam proses operasi, yaitu:

a) Real value added activities, yaitu aktivitas yang benar-benar menambah

nilai dimata konsumen, karena itu aktivitas ini sangat dibutuhkan oleh

perusahaan untuk menghasilkan output.

Page 12: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

b) Business value added activities, yaitu aktivitas yang tidak bernilai tambah

di mata konsumen tetapi dibutuhkan oleh perusahaan karena memiliki nilai

tambah bagi perusahaan.

c) Non value added activities, yaitu aktivitas yang tidak bernilai tambah, baik

bagi konsumen maupun bagi perusahaan sehingga sebisa mungkin untuk

dihilangkan atau diminimalkan.

Dalam melaksanakan analisis nilai proses perlu dilakukan seleksi terhadap

aktivitas untuk mengetahui aktivitas mana yang bernilai tambah dan aktivitas

mana yang tidak bernilai tambah. Pedoman untuk melakukan seleksi tersebut

yaitu:

a. Aktivitas yang melibatkan banyak orang dan banyak fungsi, semakin

memiliki peluang bahwa proses tersebut mengandung banyak aktivitas

yang tidak bernilai tambah.

b. Aktivitas

Page 13: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

memungkinkan proses tersebut mengandung banyak aktivitas yang tidak

bernilai tambah.

c. Aktivitas administrasi dan pendukungnya mempunyai persentase yang

cukup besar atas aktivitas yang tidak bernilai tambah dibanding aktivitas

untuk mengelola seluruh

yang

memerlukan

banyak

persetujuan

akan

yang langsung berhubungan dengan pembuatan produk atau pelayanan

jasa kepada konsumen.

d. Memperhatikan proses yang membutuhkan cycle time yang panjang untuk

Page 14: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

menghasilkan output. Semakin panjang cycle time, semakin besar

probabilitasnya mengandung aktivitas yang tidak bernilai tambah.

e. Menyelidiki proses yang dianggap kompleks. Jika proses tersebut

mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi, maka proses tersebut akan

mengandung semakin banyak kemungkinan terjadinya aktivitas yang tidak

bernilai tambah.

Analisis nilai proses merupakan teknik yang tepat untuk mengidentifikasi

kesempatan dalam melakukan peningkatan, bila dicurigai terjadi hal-hal sebagai

berikut:

a. Keberadaan aktivitas yang berlebihan dan tidak diperlukan.

b. Waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tidak

sebanding dengan nilai yang dihasilkan.

c. Suatu proses tampak lebih kompleks dari yang seharusnya.

d. Mayoritas sumberdaya yang tersedia lebih tertuju pada aktivitas yang tidak

Page 15: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

menguntungkan.

Kesempatan terbesar untuk melakukan peningkatan berasal dari aktivitas yang

mengkonsumsi waktu dan biaya tetapi tidak menghasilkan nilai dari sudut

pandang konsumen. Analisis nilai proses membantu untuk mengidentifikasi

aktivitas yang tidak menghasilkan nilai tambah, serta mengeliminasinya dari

organisasi dengan menganalisis faktor penyebab utamanya. Data pokok yang

dibutuhkan untuk melakukan analisis adalah cycle time, cost, dan customer

assessment value.

4. Langkah 4. Mengembangkan rencana perbaikan

Langkah-langkah terakhir dalam proses bisnis adalah mengembangkan proses

perbaikan yang terdiri dari dua tahap pokok, yaitu:

1) Identifikasi masalah.

Dalam melaksanakan proses ini yang harus dilakukan terlebih dahulu

Page 16: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

adalah mengidentifikasikan masalah yang terjadi dari proses yang disoroti,

kemudian mencari akar permasalahannya. Input yang digunakan adalah

informasi yang telah diolah dalam definisi aktivitas dan process value

analysis. Masalah-masalah yang umumnya terjadi dalam suatu proses

meliputi:

(1) Gap

Dengan mengidentifikasi gap, dapat mengarahkan suatu perusahaan

untuk menfokuskan perhatiannya pada tuntutan yang benar-benar

penting bagi konsumen.

(2) Pemborosan

Pemborosan yaitu adanya aktivitas yang tidak menghasilkan nilai

tambah, dapat diidentifikasi dengan menempatkan semua aktivitas

yang tidak menghasilkan nilai tambah pada activity model.

(3) Ketidakefisienan

Page 17: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

Ketidakefisienan adalah hasil dari metode-metode komplek yang

menyebabkan panjangnya siklus waktu, dapat diidentifikasikan dengan

memeriksa urut-urutan aliran aktivitas dan mengidentifikasikan

aktivitas-aktivitas yang mengkonsumsi biaya yang tidak proporsional

dengan nilai yang dihasilkan.

(4) Ketidakstabilan

Tingginya variabilitas dalam input, output, waktu dan kualitas dapat

mengidentifikasikan timbulnya ketidakstabilan. Ketidakstabilan dapat

diidentifikasi dengan memeriksa bagan alur dan mempertanyakan

ketepatan input, output, dan waktu.

(5) Pemecahan masalah.

Langkah

permasalahan itu diidentifikasi adalah mengembangkan suatu rencana

Page 18: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam

perusahaan tersebut.

selanjutnya

yang

harus

dilakukan

setelah

Dalam mengembangkan rencana perbaikan ini dapat dilakukan melalui dua

tahap, yaitu:

a. Mencari pendekatan-pendekatan terhadap akar permasalahan yang telah

diidentifikasi.

b. Merangkai pendekatan-pendekatan tersebut ke dalam suatu rencana

tindakan melalui lima unsur yaitu: output, input, sekelompok aktivitas,

orang, dan teknologi.

Page 19: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

2.1.2.5.Hubungan Antara Rekayasa Ulang Dengan Proses Penjualan

Seperti yang telah dipaparkan bahwa rekayasa ulang menyangkut semua

proses dalam operasional perusahaan. Operasional dalam hal ini meliputi

operasional bagian produksi, operasional bagian penjualan, operasional bagian

adminsitrasi dan berbagai proses operasional yang lain dan bahkan juga

dimungkinkan untuk diterapkan pada sub operasional seperti proses pembelian,

proses seleksi bahan baku, dan lainnya.

Sudjatmiko (1996:67) menyatakan: "Semua proses dimungkinkan untuk

dilakukan rekayasa ulang selama proses itu masih ditemukan berbagai kelemahan,

baik proses penjualan, proses produksi, maupun proses operasional yang lain."

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa proses penjualan juga

merupakan bagian dari konsep rekayasa ulang, untuk itu rekayasa ulang atas

proses penjualan berarti juga harus memperhatikan aturan main dalam rekayasa

Page 20: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

ulang itu sendiri.

2.1.3. Penjualan

2.1.3.1. Pengertian Penjualan

“Penjualan adalah suatu transaksi berpindahnya hak kepemilikan atas

suatu barang dari penjual kepada pembeli, dimana pembeli diwajibkan untuk

menyerahkan sejumlah uang atau alat penukar lainnya sebagai bentuk

pengorbanan atas kepemilikan barang dari pemilik atau pihak yang berkuasa atas

barang tersebut sebelumnya (Baridwan, 1996:136).”

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

penjualan merupakan suatu bentuk proses yang terjadi antara pemilik dan pembeli

atas suatu barang. Proses tersebut bisa terjadi jika syarat-syaratnya terpenuhi

yaitu:

a. Adanya pemilik atau pihak yang berkuasa atas barang yang akan

diperjualbelikan. Dalam kenyataannya bisa saja suatu pihak yang predikatnya

Page 21: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

bukan pemilik tetapi mempunyai kewenangan untuk menjual suatu produk,

seperti agen penjualan maupun untuk barang yang dalam status barang

konsinyasi (titipan).

b. Adanya pembeli, yaitu suatu pihak yang mempunyai kemauan dan

kemampuan untuk memenuhi pengorbanan sehubungan dengan kepemilikan

barang yang ditawarkan oleh penjual.

Adanya produk atau barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan

tersebut dapat dikatakan sebagai obyek dari transaksi penjualan yang terjadi

antara penjual dan pembelian.

“Volume penjualan adalah jumlah produk yang berhasil dijual oleh

perusahaan selama periode tertentu yang dapat dinyatakan dalam satuan unit

maupun dalam rupiah (nominal) (Baridwan, 1996:138)”. Volume penjualan dari

suatu perusahaan dapat dijabarkan sebagai umpan balik dari kegiatan pemasaran

Page 22: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

yang dilaksanakan oleh perusahaan.

Kotler dan Amstrong (1998:13) mengatakan bahwa: "Penjualan dalam

lingkup kegiatan, sering disalahartikan dengan pengertian pemasaran. Penjualan

dalam lingkup ini lebih berarti tindakan menjual barang atau jasa". Kegiatan

pemasaran adalah penjualan dalam lingkup hasil atau pendapatan berarti penilaian

atas penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode.

Menurut Swastha dan Irawan (2000:136), “Permintaan pasar dapat diukur

dengan menggunakan volume fisik maupun volume rupiah”. Berdasarkan

pendapat Swastha dan Irawan tersebut, pengukuran volume penjualan dapat

dilakukan dengan dua cara, yaitu didasarkan jumlah unit produk yang terjual dan

didasarkan pada nilai produk yang terjual (omzet penjualan). Volume penjualan

yang diukur berdasarkan unit produk yang terjual yaitu jumlah unit penjualan

nyata perusahaan dalam suatu periode tertentu, sedangkan nilai produk yang

terjual (omzet penjualan) yaitu jumlah nilai penjualan nyata perusahaan dalam

Page 23: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

suatu periode tertentu.

2.1.3.2. Jenis Penjualan

Harnanto (1999:12) menyatakan bahwa: “Terdapat beberapa sistem

penjualan dalam suatu perusahaan antara lain penjualan tunai, penjualan kredit

dan penjualan konsinyasi.”

a. Penjualan tunai

“Penjualan tunai adalah suatu transaksi penjualan antara penjual dan pembeli,

dimana uang atau alat penukar penjualan lainnya telah diterima oleh penjual

ketika penjual menyerahkan barang yang ditawarkan kepada pembeli (hak

kepemilikan atas barang telah beralih dari penjual kepada pembeli)

(Baridwan, 1996:155)”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan

bahwa suatu penjualan dapat dikatakan tunai jika pembayaran atas penjualan

suatu barang atau produk maksimal telah diterima oleh penjual ketika penjual

Page 24: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

telah menyerahkan

demikian jika pembeli sebelumnya telah menyerahkan sebagian atau

seluruhnya uang sebagai alat pembelian kepada penjual meskipun pembeli

belum menerima barang yang dibelinya, maka menurut pendapat tersebut

masih dapat dikategorikan sebagai penjualan tunai dari sudut penjual.

b. Penjualan kredit

“Penjualan kredit adalah suatu transaksi penjualan yang melibatkan antara

penjual dan pembeli, dimana penjual belum menerima uang sebagi hasil

penjual ketika hak kepemilikan atas barang yang dijualnya telah beralih

kepada pembeli (Baridwan, 1996:157)”. Adapun jangka waktu pembayaran

yang harus diakukan oleh pembeli terkait dengan transaksi yang terjadi antara

pembeli dan penjual tersebut sepenuhnya berdasakan kesepakatan antara

pihak penjual dan pembeli. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan

pula bahwa suatu penjualan dapat dikategorikan sebagai penjualan tunai atau

Page 25: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

barang yang ditawarkan kepada pembeli. Dengan

kredit sepenuhnya tergantung pada waktu penerimaan atas uang sebagai

bentuk pengorbanan dari pembeli atas transaksi tersebut oleh penjual.

c. Penjualan konsinyasi

Harnanto (1999:17) menyatakan bahwa konsinyasi merupakan suatu

perjanjian dimana salah satu pihak yang memiliki barang menyerahkan

sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan

komisi tertentu. Pihak yang menyerahkan barang disebut consignor

(pengamanat) dan pihak yang menerima barang disebut consignee, factor,

commission merchant atau komisioner. Dari segi pengamanat (consignor)

transaksi pengiriman barang-barang kepada komisioner, biasanya disebut

barang-barang konsinyasi (consignment out). Sedang bagi komisioner untuk

barang-barang yang diterimanya disebut barang-barang komisi (consignment

Page 26: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

in). Terdapat perbedaan yang prinsip antara transaksi penjualan dengan

transaksi konsinyasi. Dalam transaksi penjualan hak milik atas barang

berpindah kepada pembeli pada saat penyerahan barang, dan keadaan itu di

dalam akuntansi dipakai sebagai dasar pengakuan terhadap timbulnya

pendapatan. Sedangkan dalam transaksi konsinyasi penjualan barang dari

pengamanat kepada komisioner tidak diikuti adanya penyerahan hak milik

atas barang yang bersangkutan. Meskipun diakui bahwa dalam transaksi

konsinyasi

penyimpanan barang kepada komisioner, namun demikian hak milik atas

barang yang bersangkutan tetap berada pada pengamanat (consignor). Hak

milik atas barang tersebut akan berpindah dari pengamanat apabila

komisioner telah berhasil menjual barang tersebut kepada pihak ketiga.

itu

telah

Page 27: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

terjadi

perpindahan

terhadap

pengolahan

2.1.3.3. Sistem Penjualan

Harnanto (1999:23) menyatakan bahwa: “Sistem penjualan merupakan

suatu prosedur atau skema kerja untuk memastikan bahwa semua kinerja bagian-

bagian dalam penjualan telah berjalan sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan.”

Berdasarkan pada pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem

penjualan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

a. Fungsi koordinasi

Fungsi koordinasi dalam hal ini untuk menyatukan kinerja masing-masing

Page 28: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

bagian sehingga keberadaan maing-masing bagian tersebut saling menunjang

antara bagian satu dengan bagian lainnya untuk mencapai tujuan perusahaan.

b. Fungsi pengawasan

Fungsi pengawasan dalam hal ini adalah untuk memastikan bahwa kinerja

masing-masing bagian dalam penjualan telah sesuai dengan ketentuan.

c. Fungsi evaluasi

Hasil evaluasi kinerja tersebut dapat dijadikan sandaran bagi perusahaan

untuk menentukan kebijakan lebih lanjut terkait pembenahan atas sistem

pengendalian intern yang ditetapkan.

Dengan demikian sistem penjualan berarti rangkaian prosedur yang

menghubungkan antar bagian yang saling berkaitan dengan penjualan berbagai

produk perusahaan. Bagian-bagian tersebut harus saling dirangkaikan agar kinerja

masing-masing bagian dapat terkoordinasi dengan baik sehingga mampu

menjalankan fungsi penjualan dengan memadai.

Page 29: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

2.1.3.4. Proses Penjualan

“Proses penjualan merupakan serangkaian aktivitas perusahaan mulai dari

penerimaan order pembelian dari konsumen sampai barang yang dipesan jatuh ke

tangan pembeli (Mustopo, 1998:235).” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat

duipahami abhwa aktivitas-aktivitas yang dapat dikelompokkan

aktivitas penjualan mulai dari alur dokumen yaitu dokumen order pembelian dari

konsumen sampai pada realisasi penyeragan barang dari penjual kepada

konsumen.

“Proses penjualan merupakan satu set aktivitas mulai dari pengenlan

produk kepada konsumen sampai pada realisasi pembelian yang dilakukan oleh

konsumen (Sudjatmiko, 1996:67).” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat

dipahami bahwa aktivitas penjualan merupakan aktivitas yang dimulai dari

ke dalam

Page 30: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

pengenalan produk, sedang pengenalan produk dalam hal ini meliputi aktivitas

periklanan. Untuk itu termasuk dalam kelompok proses penjualan antara lain

aktivitas periklanan, aktivitas penjualan riil mulai dari penerimaan order

pembelian dari konsumen sampai pada penyerahan barang kepada konsumen.

2.1.4. Efisiensi Biaya Terkait dengan Rekayasa Ulang

“Efficiency is a measure of an organization’s ability to control costs at a

given activity level (Atkinson et al.,1995:513),”. Untuk meningkatkan efisiensi

biaya perusahaan harus melakukan manajemen terhadap aktivitas atau melakukan

analisis terhadap aktivitas dan perbaikan aktivitas secara terus-menerus. Rekayasa

ulang merupakan suatu proses pengidentifikasian aktivitas-aktivitas dalam

organisasi

mempertahankan aktivitas-aktivitas yang memberi nilai tambah bagi konsumen

dan perusahaan (value added activities), serta mengeliminasi non value added

activities.

Page 31: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

Menurut Hansen dan Mowen (1997:396), pengurangan biaya dapat

dilakukan dengan empat cara, yaitu:

a) Activity elimination.

Tindakan ini difokuskan pada non value added activities, yaitu berupaya untuk

mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah.

b) Activity reduction.

Tindakan ini ditujukan untuk mengurangi waktu dan sumber daya yang

diperlukan oleh aktivitas tersebut. Pendekatan terhadap pengurangan biaya ini

terutama ditujukan untuk perbaikan efisiensi terhadap aktivitas yang penting

atau strategi jangka pendek untuk memperbaiki non value added activities

sampai aktivitas tersebut dieliminasi.

c) Activity selection.

Tindakan ini meliputi pemilihan diantara sekumpulan aktivitas yang berbeda

Page 32: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

yang disebabkan oleh strategi yang berbeda pula.

dan

menyeleksi

setiap

aktivitas

yang

dilakukan

d) Activity sharing.

Tindakan ini difokuskan untuk meningkatkan efisiensi pada aktivitas yang

diperlukan dengan menggunakan komponen yang telah diperlukan dengan

menggunakan skala ekonomis.

Aktivitas dari value atau non value activities akan dibahas dengan

menggunakan rekayasa ulang. Dimana manajer tidak langsung mengatur biaya,

melainkan dengan mengelolah aktivitas yang mengkonsumsi biaya.

Page 33: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

Rekayasa ulang memandang organisasi berdasarkan pada process view

untuk membantu mengidentifikasikan proses mana dalam perusahaan yang akan

dianalisis. Kemudian dari proses tersebut akan dipisahkan lebih lanjut dalam sub

prose-sub proses yang akan dipecah lagi menjadi aktivitas-aktivitas. Dengan

melakukan process value analysis, maka perusahaan akan membagi aktivitas-

aktivitasnya menjadi tiga bagian, yaitu real value added activities, business value

added activities, dan non value added activities.

Fokus dari Business Process Analysis adalah ditujukan pada usaha untuk

mengeliminasi dan meminimisasi aktivitas yang tidak bernilai tambah. Kemudian

ditentukan biaya masing-masing aktivitas dan diupayakan untuk menemukan

faktor utama penyebab timbulnya permasalahan tersebut, serta dicari faktor

pemicunya (root causes). Setelah itu harus dicari pemecahannya dan

mengimplementasikan pemecahan tersebut. Dengan demikian aktivitas yang tidak

Page 34: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

bernilai tambah dapat diminimisasi bahkan dieliminasi, sehingga perusahaan

dapat meningkatkan efisiensinya.

Tolok ukur dari efisiensi dan efektifitas operasi dengan menggunakan

rekayasa ulang yaitu dengan menerapkan prinsip perbandingan. Jika desain proses

baru mampu menghasilkan pengurangan biaya operasi dengan tanpa mengurangi

kualitas maupun kuantitas output penjualan dibandingkan periode sebelumnya,

berarti proses rekayasa ulang tersebut mampu mencapai efisiensi dan efektifitas.

2.2. Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Listiani Wijaya (1998) dengan

mengambil judul penelitian: “Production Reengineering Process Untuk

Mencapai Cost Leadership Pada PT X di Sidoarjo.”

Persamaan antara penelitian terdahulu dan penelitian sekarang terletak

pada tema yang diangkat yaitu rekayasa ulang proses. Dan perbedaan antara

penelitian terdahulu dan penelitian sekarang terletak pada:

Page 35: Web viewPerbandingan dalam hal ini mengarah pada perbandingan tingkat efisiensi dan efektifitas operasional. Adapun perbandingan tersebut dilakukan antara fase sebelum reenginering

1. Lokasi obyek penelitian, penelitian terdahulu berlokasi di Sidoarjo dan

penelitian sekarang berlokasi di Pasuruan.

2. Obyek penelitian, penelitian terdahulu terfokus pada divisi produksi dan

penelitian sekarang terfokus pada divisi penjualan.

3. Arah pembahasan, penelitian terdahulu mengarah pada pencapaian cost

leadership dan penelitian sekarang mengarah pada efisiensi biaya