Hobibaca.com - Jilid 05 - Pedang Hati Suci - Chin Yung

download Hobibaca.com - Jilid 05 - Pedang Hati Suci - Chin Yung

of 11

description

buku cerita

Transcript of Hobibaca.com - Jilid 05 - Pedang Hati Suci - Chin Yung

  • HobiBaca.Com Menu

    HomeElectronic QuranBuku TamuDownload

    Info Admin

    Fasilitas Komentar

    2006-12-07, 11:48:32Khusus untuk Artikel, kita sudah menambahkan fasilitas untuk kirim komentar. Semoga dengan ini akan ada feedback buat kami dan juga menambah informasi lainnya bagi para pembaca. Terima Kasih

    Lainnya ...

    Partner

    Pengunjung

    Online : 1 UsersHari ini : 127 Users

    29991

    Sejak tanggal :25 September 2006

    Isi

    Cerita Silat Cina > Chin Yung > Pedang Hati Suci >

    Karya : Chin YungPenerjemah : -Pengirim : AdminTanggal : 2006-10-10, 12:36:44

    Pedang Hati Suci

    Jilid 05

    Segera Tik Hun melompat kearah datangnja suara, ia lihat diatas loteng gedung itu ada sinar pelita, daun djendela kamar tampak terbuka. Tjepat ia melajang kepinggir djendela dan melongok kedalam kamar. Kebetulan ia melihat seorang wanita dalam keadaan terikat sedang ditelentangkan diatas randjang, dua laki2 jang punggungnja menggemblok golok sedang hendak berbuat tidak senonoh.

    Tik Hun tidak kenal siapakah wanita itu, tapi terang wanita itu sangat ketakutan, wadjahnja putjat dan sedang me-ronta2 diatas randjang sambil ber-teriak2 minta tolong.

    Tik Hun berdjiwa kesatria, meski ia sendiri dalam kesulitan, tapi melihat keselamatan orang lain terantjam, ia tidak dapat tinggal diam. Terus sadja ia melompat masuk kedalam kamar, kontan pedangnja menusuk salah seorang laki2 itu.

  • Namun laki2 itu tjukup gesit, tjepat ia berkelit, menjusul ia samber sebuah kursi disampingnja untuk menangkis. Disebelah sana laki2 jang lain sudah lantas lolos sendjata terus membatjok.

    Tik Hun melihat kedua laki2 itu memakai kedok kain hitam, hanja sepasang mata mereka jang kelihatan. Segera ia membentak: "Bangsat, serahkan djiwamu!" Berbareng ia menusuk pula tiga kali be-runtun2.

    Tanpa bersuara kedua laki2 itu menangkis dan balas menjerang. Tiba2 satu diantaranja berseru: "Lu-hiantit, mari pergi!"

    "Ja, anggap keparat Ban Tjin-san itu masih untung, lain kali kita datang lagi menuntut balas," sahut laki2 jang lain. Berbareng goloknja lantas membatjok pula keatas kepala Tik Hun.

    Karena serangan itu tjukup ganas, terpaksa Tik Hun mengegos, kesempatan itu telah digunakan oleh laki2 jang satunja untuk mendepak medja hingga tatakan lilin diatas medja itu djatuh kelantai dan sirap, seketika kamar itu mendjadi gelap gelita. Menjusul mana kedua laki2 itu lantas melesat keluar melalui djendela, saat lain terdengarlah suara gemertakan, beberapa potong genting telah ditimpukan kedalam kamar.

    Dalam kegelapan Tik Hun kurang tjeli, pula ilmu Ginkang bukan mendjadi kemahirannja, maka iapun tidak berani mengedjar. Ia pikir salah seorang tadi she Lu, tentu adalah begundalnja Lu Thong jang hendak membalas dendam, tapi mereka tidak tahu kalau Ban-supek sudah tewas.

    Pada saat itu, tiba2 wanita diatas randjang itu mendjerit lagi: "Aduh, sakitnja, matilah aku, dadaku tertantjap belati!"

    Tik Hun terkedjut, tjepat tanjanja: "He, apa kau telah ditikam maling itu?"

    "Aduh, kena! Dadaku kena!" rintih wanita itu.

    "Biar kunjalakan lilin untuk memeriksa lukamu," udjar Tik Hun.

    "O.......tolong! Tolonglah aku, lekas!" rintih pula siwanita.

    Mendengar suara orang sangat menderita, segera Tik Hun mendekatinja.

    Diluar dugaan, mendadak wanita itu terus merangkul erat2 tubuhnja Tik Hun sambil ber-teriak2: "Tolong, tolong! Ada maling! Tolong!"

    Sungguh kedjut Tik Hun tak terkira. Sudah terang tadi ia melihat wanita itu terikat kaki-tangannja, mengapa sekarang dapat menjikapnja? Lekas2 ia hendak mendorong pergi orang, siapa tahu tenaga wanita itu ternjata tidak lemah, bahkan menjikap lebih kentjang hingga seketika Tik Hun susah melepaskan diri.

    Tiba2 keadaan mendjadi terang, dari luar djendela menjelonong masuk dua obor hingga kamar itu terang-benderang. Berbareng suara beberapa orang sedang menanja: "Ada apa? Ada apa?"

  • "Tolong! Ada Djay-hoa-tjat (maling tjabul)! Tolong!" masih wanita itu ber-teriak2.

    Tik Hun mendjadi gusar, serunja: "Ken.......kenapa kau sembarangan omong!"

    Berbareng iapun men-dorong2 hendak melepaskan diri. Kalau tadi wanita itu menjikap kentjang2 pinggangnja Tik Hun, adalah sekarang ia malah menolak dorongan Tik Hun itu sambil berseru: "Djangan pegang2, djangan pegang2 aku!"

    Dan selagi Tik Hun hendak berlari menjingkir, "njes" tahu2 tengkuknja terasa dingin, sebatang pedang telah mengantjam lehernja. Dan sedang Tik Hun hendak membela diri, se-konjong2 sinar putih berkelebat, ia merasa tangan kanan kesakitan, "trang" pedangnja sudah djatuh kelantai.

    Waktu ia memandang kebawah, hampir2 ia djatuh kelengar. Ternjata kelima djari tangan kanannja telah dipapas orang hingga habis, darah memantjur keluar bagai mata air.

    Waktu Tik Hun melirik, ia lihat Go Him berdiri disampingnja sambil menghunus pedang jang bernoda darah.

    "Kau!" hanja ini sadja tertjetus dari mulutnja Tik Hun, berbareng kakinja terus mendepak.

    Tapi mendadak punggungnja terasa digebuk orang sekali hingga ia ter-hujung2 dan djatuh menindih diatas badan wanita tadi.

    Kembali wanita itu ber-teriak2 pula: "Aduh! Tolong! Tolong! Ada maling!"

    "Ringkus bangsat ketjil ini!" terdengar Loh Kun berkata.

    Tik Hun sudah nekad dan akan mengadu djiwa dengan mereka. Meski dia tjuma seorang anak desa jang tidak berpengalaman, tapi kini iapun insjaf dirinja telah terdjebak oleh tipu muslihat orang. Maka begitu melompat bangun, terus sadja Loh Kun hendak dirangsangnja. Tapi sekilas dilihatnja satu wadjah jang tjantik dan putjat. Itulah Djik Hong.

    Tik Hun tertegun, ia lihat mimik wadjah Djik Hong penuh mengundjuk rasa duka, marah, dan hina pula. "Sumoay!" serunja.

    Muka Djik Hong merah padam, sahutnja: "Ken........kenapa kau berbuat begini?"

    Meski rasa Tik Hun penuh penasaran, namun dalam saat demikian ia mendjadi tidak sanggup buka suara.

    Maka menangislah Djik Hong, katanja pula sambil terguguk sedih: "Oh, le........ lebih baik aku mati sadja!"

    Dan demi nampak kelima djari tangan Tik Hun terkutung, ia ikut sedih. Tanpa pikir ia robek udjung badjunja dan mendekati sang Suheng untuk membalut lukanja.

    Saking kesakitan, beberapa kali hampir2 Tik Hun pingsan, namun ia bertahan sekuat-kuatnja sambil mengertak gigi hingga bibir sendiri tergigit petjah.

    "Siau-sunio (ibu guru ketjil), bangsat ini berani berbuat kurang adjar padamu, tentu kami akan tjintjang dia," demikian kata Loh Kun kemudian.

  • Kiranja wanita itu adalah gundiknja Ban Tjin-san, namanja si Mirah. Dengan aksi ia menutupi mukanja sendiri sambil menangis pula: "O, matjam2 budjukan jang dia katakan padaku. Ia bilang gurumu su........sudah mati dan suruh aku mengikut dia. Ia bilang ajahnja nona Djik telah membunuh orang hingga dia ikut tersangkut urusan. Ia mengatakan telah banjak mengumpulkan harta benda, sudah kaja-raja mendadak, aku diadjak ikut minggat........"

    Dalam keadaan bingung Tik Hun tidak sanggup lagi membela diri, ia tjuma bisa menggumam: "Bohong, bohong!"

    "Hajo pergi menggeledah kamar bangsat ketjil ini!" teriak Tjiu Kin.

    Maka be-ramai2 Tik Hun lantas digusur kekamarnja. Dengan bingung Djik Hong ikut djuga dari belakang. Sebaliknja Ban Ka lantas berkata: "Kalian djangan bikin susah Tik-suko, belum terang perkaranja, djangan sampai mempitenah orang baik2."

    "Huh, masakah perkaranja masih kurang djelas?" udjar Tjiu Kin dengan gusar.

    "Apakah tadi engkau tidak mendengar dan menjaksikan sendiri?" kata Tjiu Kin.

    "Ja, tapi boleh djadi karena dia terlalu banjak minum, dalam keadaan mabuk mendjadi silap," sahut Ban Ka.

    Datangnja kedjadian2 itu sangat tjepat hingga Djik Hong sudah tidak bisa berpikir pula. Diam2 ia sangat berterima kasih mendengar Ban Ka membela Tik Hun. Dengan pelahan iapun berkata padanja: "Ban-suko, memang Tik-suheng bukanlah orang sematjam itu."

    "Ja, makanja aku kira dia terlalu banjak minum, soal mentjuri tentu tak nanti diperbuatnja," sahut Ban Ka.

    Tengah bitjara, Tik Hun sudah digusur kedalam kamarnja. Sepasang mata Sim Sia berdjelilatan kian kemari, tiba2 ia mendekati tempat tidur, ia tarik keluar satu bungkusan jang antap dan bersuara gemerintjingnja logam.

    Karuan Tik Hun bertambah kaget, ia lihat Sim Sia membuka bungkusan itu dan menuang keluar isinja. Ternjata semuanja adalah perkakas2 rumah tangga dari emas dan perak.

    Kembali Djik Hong mendjerit sambil memegangi medja. Segera Ban Ka menghiburnja: "Djangan kuatir, Djik-sumoay, pelahan2 kita mentjari daja lain."

    Menjusul Pang Tan menjingkap kasur dan tertampak pula dua bungkusan lain, waktu dibuka, isinja adalah emas intan dan perhiasan permata.

    Kini Djik Hong tidak ragu2 lagi, menjesalnja tidak kepalang, sungguh kalau bisa ia ingin membunuh diri sadja. Sedjak ketjil ia dibesarkan bersama Tik Hun, dalam pandangannja pemuda itu adalah tjalon suaminja kelak. Siapa duga kekasih jang sangat dihormat dan ditjintainja itu dikala dirinja sedang dirundung malang lantas akan minggat bersama wanita lain. Apa benar2 wanita jang genit ini telah berhasil menggodanja atau dia kuatir tersangkut perkaranja ajah, maka ingin melarikan diri? Demikian pikirnja.

    Dalam pada itu Loh Kun telah memaki: "Bangsat, bukti2 sudah njata, apakah kau

  • masih berani menjangkal?"

    Berbareng itu, "plak-plok", kontan ia tempiling Tik Hun dua kali.

    Karena kedua tangannja dipegangi Sun Kin dan Go Him, Tik Hun tidak dapat menangkis, karuan pipinja terus merah abuh. Bahkan Loh Kun belum puas, kembali ia djotos sekali pula didadanja Tik Hun.

    "Djangan, djangan memukulnja! Ada apa bisa dibitjarakan setjara baik2," seru Djik Hong melerai.

    "Mampuskan dulu bangsat ketjil ini baru diseret kepengadilan negeri," seru Tjiu Kin. Berbareng iapun menghantam sekali. Tak tahan lagi Tik Hun menjemburkan darah. Segera Pang Tan pun madju dengan pedang terhunus, katanja: "Potong sekalian tangan kirinja, biar dia buntung!"

    Terus sadja Sun Kin angkat lengan kiri Tik Hun dan Pang Tan ajun pedangnja hendak menabas. Saking kuatirnja sampai Djik Hong mendjerit sekali.

    Maka berkatalah Ban Ka: "Sudahlah, djangan bikin susah dia lagi, biar kita serahkan dia kepada jang berwadjib sadja."

    Melihat Pang Tan sudah menarik kembali pedangnja, barulah Djik Hong merasa lega, dengan air mata ber-linang2 ia pandang sekedjap kepada Ban Ka dengan penuh rasa terima kasih.

    **********

    Sudah tentu didepan pembesar negeri djuga Tik Hun tak bisa memberi pengakuan jang memuaskan. Sama sekali tak tersangka olehnja bahwa sang Sumoay jang ditjintainja itupun pertjaja dirinja mendjadi maling dan bermaksud membawa minggat perempuan lain..............

    "Satu, dua, tiga, empat............" begitulah rangketan petugas jang menghudjani bebokong Tik Hun. Walaupun rangketan itu sangat keras, namun kalau dibandingkan hatinja jang sakit waktu itu, rangketan itu boleh dikata tiada artinja, bahkan rasa sakit luka tangan kanannjapun takada artinja lagi.

    "........sepuluh........limabelas............duapuluh........." demikian Tik Hun terus dihudjani rangketan hingga kulit dagingnja melotjot sampai achirnja iapun tak sadarkan diri.

    Ketika Tik Hun siuman didalam pendjara, ia merasa kepalanja sangat berat, ia tidak tahu dimana dirinja berada saat itu dan sudah lewat berapa lamanja. Pelahan2 ia merasakan kesakitan luka djari tangannja itu, kemudian merasakan punggung, paha dan bokong djuga kesakitan sekali. Ia ingin membalik tubuh supaja tempat jang kesakitan itu tidak tertindih dibawah, tapi mendadak pundaknja djuga kesakitan luar biasa, kembali ia djatuh pingsan.

    Ketika untuk kedua kalinja ia siuman, pertama jang terdengar olehnja adalah suara rintihannja sendiri, menjusul terasalah kesakitan diantero tubuhnja. Ia tidak tahu mengapa pundaknja sedemikian sakitnja? Apakah disebabkan kedua pundaknja djuga dipapas orang? Sungguh ia tidak berani memandang lagi.

    Mendadak ia mendengar suara gemerintjingnja benturan besi, waktu ia menunduk, ia

  • lihat ada dua utas rantai mendjulur turun dari pundaknja sendiri. Karuan ia kaget dan takut. Ketika ia melirik kepundak, seketika gemetarlah tubuhnja. Dan karena gemetar, pundaknja mendjadi lebih kesakitan lagi. Kiranja kedua rantai itu telah menerobos "Pi-pe-kut" (tulang pundak) dipundaknja dan udjungnja digembok bersatu dengan rantai belenggu kaki dan tangannja.

    Bahwa tulang pundak dilubangi, ia pernah mendengar tjerita gurunja, tjara itu katanja tjuma dilakukan oleh pembesar negeri terhadap pendjahat kaliber besar. Sekali Pi-pe-kut ditembus, sekalipun kepandaianmu setinggi langit djuga tak berguna lagi.

    Sesaat itu timbul matjam2 pertanjaan dalam benaknja Tik Hun. "Kenapa aku diperlakukan begini? Aku terpitenah, apa pembesar negeri tak tahu?"

    Ketika diperiksa Ti-koan (Bupati), pernah djuga ia menuturkan apa jang terdjadi sebenarnja. Akan tetapi ia kalah bukti dan saksi. Si Mirah, itu gundiknja Ban Tjin-san tegas2 menuduh dia bermaksud memperkosanja. Kedelapan muridnja Ban Tjin-san djuga menjatakan menemukan bukti2 harta tjuriannja dikamarnja Tik Hun. Opas2 kota Heng-tjiu djuga mengatakan tidak mungkin ada pendjahat jang berani menggerajangi keluarga Ban jang disegani itu.

    Tik Hun masih ingat wadjah Tikoan itu tjukup welas-asih tampaknja, usianja kira2 setengah umur. Ia jakin tuan besar Tikoan itu tjuma sementara ini pertjaja pada aduan orang tapi achirnja pasti dapat menjelidiki duduk perkara jang sebenarnja. Akan tetapi kelima djari tangannja telah dipapas orang, kelak mana dapat menggunakan pedang lagi?

    Begitulah dengan penuh rasa gusar, sesal dan sedih, tanpa hiraukan rasa sakit ia terus berbangkit dan ber-teriak2: "Penasaran! Penasaran!"

    Tapi mendadak kakinja terasa lemas, ia terbanting djatuh lagi.

    Watak Tik Hun memang sangat keras kepala, segera ia meronta hendak bangun pula. Tapi baru sadja berdiri, kembali kakinja lemas, lagi2 ia roboh telungkup.

    Namun sambil me-rangkak2 ia masih ber-teriak2: "Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!"

    "Hehe, otot tulangmu telah dirusak orang, kepandaianmu telah punah semua, he-he, modal jang kau tanam ini sungguh tidak ketjil!" demikian tiba2 suara seorang berkata dengan dingin dipodjok kamar pendjara itu.

    Namun Tik Hun tidak gubris pada siapa jang berbitjara itu dan apa artinja kata2 itu, ia masih terus berteriak: "Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!"

    Mendengar suara ribut itu, seorang sipir bui mendatanginja dan membentak: "Ada apa kau gembar-gembor, lekas tutup batjotmu!"

    Tapi teriakan Tik Hun semakin keras: "Aku tidak bersalah!"

    "Kau tutup mulut tidak?" bentak sipir bui itu dengan gusar.

    Namun Tik Hun berteriak terlebih keras lagi. Sipir bui itu menjengir edjek sekali, ia putar pergi dan datang pula dengan membawa seember air. Dari luar rudji kamar bui itu, terus sadja ia siramkan air itu kebadan Tik Hun.

  • Seketika Tik Hun mengendus bau pesing, hendak menghindar sudah tak keburu lagi, karuan seluruh tubuhnja basah kujup. Kiranja air jang disiramkan sipir bui itu adalah air kentjing.

    Air kentjing mengandung kadar garam, maka rasa sakit luka2 Tik Hun itu bertambah perih oleh karena tersiram air kentjing jang asin itu. Matanja mendjadi ber-kunang2 dan gelap, kembali ia pingsan lagi.

    Tik Hun tak tahan lagi oleh siksaan itu, ia djatuh sakit panas, dalam keadaan tak sadar ia selalu mengigau memanggil Suhu dan Sumoay.

    Ber-turut2 tiga hari ia sama sekali tidak makan nasi jang dihantarkan sipir bui.

    Sampai hari keempat, panas badannja sudah mulai hilang. Luka2nja djuga sudah mulai kaku hingga tidak terlalu sakit seperti tempo hari.

    Dan begitu ingat pada penasarannja, kembali ia berteriak: "Aku tidak bersalah!"

    Tapi suaranja sekarang sudah terlalu lemah, ia tjuma bisa me-rintih2 sadja.

    Setelah duduk sebentar dan agak tenang, ia tjoba memeriksa keadaan kamar bui jang terbuat dari batu itu, luasnja kira2 tiga meter persegi, lantainja batu, dindingnja djuga batu.

    Dipodjok sana terdapat sebuah tong kotoran, bau jang tertjium olehnja adalah bau apek dan batjin melulu.

    Waktu ia berpaling, ia lihat diudjung sana ada sepasang mata jang bengis sedang melotot kepadanja.

    Ia terkedjut. Tak tersangka olehnja didalam bui itu masih ada seorang lain lagi. Ia lihat orang itu penuh berewok, rambutnja pandjang terurai sampai diatas pundak, badjunja tjompang-tjamping tak keruan hingga lebih mirip orang hutan. Ada djuga persamaannja dengan dirinja, jaitu kaki-tangan orang itupun diborgol, bahkan Pi-pe-kut dipundaknja djuga ditembusi dua utas rantai.

    Melihat itu, perasaan jang per-tama2 timbul padanja adalah senang, sebab didunia ini ternjata masih ada seorang lagi jang tidaak beruntung dan senasib seperti dirinja. Tapi lantas pikirnja pula: "Orang ini begini bengis, tentu seorang pendjahat kaliber besar. Ia dihukum karena setimpal dengan dosanja, tapi aku dihukum tanpa salah. Tak dapat aku dipersamakan dia."

    Berpikir sampai disini, tanpa merasa air matanja terus bertjutjuran.

    Waktu ia dirangket dan dipendjarakan, meski sudah banjak derita jang dirasakan, tapi selama itu ia mengertak gigi bertahan sebisanja dan tidak pernah meneteskan air mata. Tapi kini mendadak menangis, ia mendjadi tak tahan lagi, achirnja ia menangis ter-gerung2 dengan keras.

    "Hm, permainanmu sungguh hidup benar, pandai sekali kau! Apa engkau bekas pemain sandiwara, ja?" edjek si hukuman berewok itu.

  • Namun Tik Hun tidak menggubrisnja, ia tetap menangis se-keras2nja. Maka terdengarlah suara sipir bui itu mendatangi lagi dengan membawa seember air kentjing pula.

    Melihat itu, betapa pun Tik Hun kepala batu djuga sudah kapok, kuatir kalau disiram air kentjing lagi, terpaksa ia berhentikan tangisannja.

    Tiba2 sipir itu mengamat-amatinja sedjenak, lalu katanja: "Badjingan tjilik, itulah ada orang datang mendjenguk kau!"

    Girang tertjampur kedjut Tik Hun, tjepat tanjanja: "Sia..........siapa?"

    Sipir itu memandangnja sedjenak pula, lalu mengeluarkan kuntji untuk membuka gembok pintu. Kemudian iapun keluar untuk membuka pintu besi diudjung lorong sana, ketika pintu besi diluar itu dikuntji lagi, maka terdengarlah suara tindakan tiga orang mendatangi.

    Saking girangnja Tik Hun terus melompat bangun, tapi kakinja masih lemas, ia terguling pula, terpaksa bersandar didinding sambil memandang keluar. Karena bergeraknja itu, pundaknja mendjadi sangat kesakitan, tapi untuk sementara sudah dilupakan olehnja, sebab dia jakin orang jang datang itu tentu Suhu dan Sumoaynja.

    Mendadak seruan "Suhu" jang diutjapkan separoh itu ditelannja kembali hingga mulutnja masih ternganga. Ternjata ketiga orang jang datang itu per-tama2 memang betul sipir bui itu, orang kedua djuga benar adalah sang Sumoay, Djik Hong, tapi orang ketiga ternjata seorang pemuda ganteng berdandan perlente, itulah Ban Ka adanja.

    "Suko, Suko!" seru Djik Hong segera sambil menubruk kepinggir langkan besi.

    Tik Hun mendekatinja, ia lihat pakaian gadis itu terdiri dari bahan sutera, terang bukan lagi badju baru jang dipakainja dari desa itu.

    Karena itu ia melangkah mundur lagi. Ia lihat kedua mata sigadis merah bendul dan masih berseru: "Suko, Suko, kau......... kau..........."

    "Dimana Suhu?" sela Tik Hun. "Apakah beliau sudah diketemukan?"

    Djik Hong menggeleng kepala dan air matanja ber-linang2 tanpa mendjawab.

    "Baikkah engkau? Tinggal dimana kau?" tanja Tik Hun pula.

    "Aku tidak punja tempat meneduh, maka sementara tinggal di rumah Ban-suko........"

    "Tempat itu adalah tempat tjelaka, djangan engkau tinggal disana, le........lekas pindah keluar!" seru Tik Hun.

    Djik Hong menunduk, sahutnja dengan pelahan: "Tapi ke.......kemana aku harus pergi? Aku tidak punja uang pula. Ban-suko djuga sang.........sangat baik padaku. Selama beberapa harini ia selalu..........selalu mendatangi kantor kabupaten, ia sudah banjak mengeluarkan uangnja untuk meno........menolong engkau."

  • Tik Hun semakin gusar, teriaknja: "Aku toh tidak bersalah, perlu apa dia membuang uang? Dan tjara bagaimana kita harus membajar kembali padanja kelak? Nanti kalau Tikoan Tay-loya sudah terang menjelidiki perkaraku, tentu aku akan dibebaskan."

    "O, ken.......kenapa engkau berbuat begitu? Mengapa hen........hendak meninggalkan aku?" demikian tiba-tiba Djik Hong menangis pula setengah meratap.

    Tik Hun tertjengang sedjenak, tapi segera iapun paham. Ternjata sampai sekarang sang Sumoay masih pertjaja dia telah perlip-perlipan dengan wanita lain serta mentjuri harta milik orang. Sesaat itu rasa sakit hatinja itu djauh lebih menderita daripada sakit segala siksaan badan. Rasanja be-ribu2 kata hendak didjelaskannja kepada Djik Hong, tapi toh seketjappun tak sanggup diutjapkannja se-akan2 mulutnja sudah tak berkuasa lagi.

    Melihat sikap Tik Hun jang luar biasa itu, Djik Hong mendjadi takut, ia berpaling tidak berani memandangnja lagi.

    Melihat sang Sumoay mendadak melengos, sungguh hantjur luluh hati Tik Hun. Ia sangka sigadis sudah sedemikian bentji dan dendam padanja karena ia telah main serong dengan wanita lain dan mentjuri milik orang.

    "Oh, Sumoay, djika engkau sudah tidak mempertjajai diriku lagi, kenapa engkau datang pula mendjenguk aku?" demikian keluhnja dalam hati.

    Maka ia tidak berani pandang sigadis pula, pelahan2 iapun berputar menghadap dinding.

    Djik Hong menoleh pula, katanja: "Suko, apa jang sudah lalu, tak perlu kita bitjarakan lagi sekarang, jang kuharap semoga selekasnja dapat memperoleh beritanja ajah. Ban-suko djuga .....djuga akan berdaja untuk mendjamin kau keluar........"

    Sebenarnja hati Tik Hun ingin mengatakan tidak sudi didjamin dan ingin bilang engkau djangan tinggal dirumahnja, tapi meski mulutnja sudah terpentang, rasanja toh sangat berat mengeluarkan suara. Saking terguntjang perasaannja hingga badannja gemetar, rantai belenggunja ikut bersuara gemerintjing.

    "Temponja sudah habis, lekas" desak sipir bui. "Disini adalah pendjara kusus untuk hukuman berat, sebenarnja dilarang orang mendjenguk, kalau diketahui atasan, tentu kami tjelaka. Nona, meski orang ini dapat keluar dengan hidup djuga bakal mendjadi tjatjad, maka lebih baik engkau melupakan dia sadja dan kawinlah dengan seorang pemuda jang ganteng lagi kaja!"

    Habis berkata, ia pandang Ban Ka sekedjap dengan senjum berarti.

    "Toasiok sebentar lagi," mohon Djik Hong.

    Lalu ia ulurkan tangannja untuk menarik badju Tik Hun, katanja pula: "Suko, djanganlah kau kuatir, aku pasti minta Ban-suko menolong keluar kau, lalu kita bersama akan pergi mentjari ajah."

    Ia angsurkan sebuah kerandjang ketjil kedalam kamar dan katanja: "Didalam kerandjang ada sedikit Siobak, ikan pindang, telur ajam dan ada lagi dua tahil uang perak. Suko........."

    Sipir bui sudah tidak sabar lagi, bentaknja: "Nona, djangan omong terus, aku takbisa menunggu lagi!"

  • Dan baru sekarang Ban Ka ikut buka suara: "Tik-suheng, djagalah dirimu baik2, perkaramu adalah perkaraku. Siaute pasti akan berusaha sebisanja untuk minta keringanan pada Koan-thayya dan lain hari kami akan menengok kau lagi."

    Cerita Silat Cina > Chin Yung > Pedang Hati Suci >

    Buku

    Politik

    Cerita Silat Cina

    Chin YungGan KLKho Ping HooKhu LungTjan ID

    Cerita Silat Lokal

    A. Merdeka PermanaBastian TitoKho Ping HooSH. Mintarja

    Novel

    Misteri

    Pengetahuan

    BudayaIlmuwanInternetPengusaha Luar Negeri

    Artikel

    AA GymAyah - BundaBiografiBisnisCintaEkonomiHumorIptekHarun YahyaIslamiKarirKehidupanKeluargaKesehatan

  • KomputerMakananPemerintahanPemudaPertanianPolitikPropertiPsikologiTransportasiWanita

    Copyright 2006, hobibaca.com, All right reserved.