Hiv Toxoplasmasis

26
ASUHAN KEPERAWATAN HIV DENGAN KOMPLIKASI TOKSOPLASMOSIS Oleh: 2.1 REGULER I PUTU ROBBY SAPUTRA ( PO7120011005 ) I MADE ADI GUNAWAN ( PO7120011009 ) I GEDE SURYA SASTRAWAN ( PO7120011010 ) I PUTU JUNIARTHA SEMARA P ( PO7120011014 ) I PUTU ARNAWA ( PO7120011026 ) POLTEKKES KEMENKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN 2013

description

askep

Transcript of Hiv Toxoplasmasis

Page 1: Hiv Toxoplasmasis

ASUHAN KEPERAWATAN HIV DENGAN KOMPLIKASI

TOKSOPLASMOSIS

Oleh: 2.1 REGULER

I PUTU ROBBY SAPUTRA ( PO7120011005 )

I MADE ADI GUNAWAN ( PO7120011009 )

I GEDE SURYA SASTRAWAN ( PO7120011010 )

I PUTU JUNIARTHA SEMARA P ( PO7120011014 )

I PUTU ARNAWA ( PO7120011026 )

POLTEKKES KEMENKES DENPASARJURUSAN KEPERAWATAN

2013

TOKSOPLASMOSIS

Page 2: Hiv Toxoplasmasis

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, protozoa intraselular obligat

distribusi di seluruh dunia. Pengembangan diperantarai sel kekebalan setelah infeksi akut.

Toxoplasma gondii merupakan salah satu penyebab paling umum infeksi kronis dengan

organisme intraseluler pada manusia.

HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf, menyebabkan

kerusakan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit kesistem saraf tepi. Infeksi

yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas

imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang

tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang

secara klinis danbiologis berjangkauan luas.

Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi

oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya

mencapai 15-29,2%, sedangkan di Eropa mencapai rata-rata 90%. Sekitar 10-20% dari pasien

yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat pada akhirnya akan terkena ensefalitis toksoplasma.

Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala

klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi

komputer (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Diagnosis pasti ditegakkan

berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologi dari biopsi dan ditemukannya

takizoit dan bradizoit.

Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun

demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multipel yangn

yata bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%,

thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai edema perifokal

dan berdiameter 1 - 3 cm.

A. Definisi

AIDS berasal dari kata acquired yang artinya didapat atau bukan penyakit

keturunan, immune berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency atau kekurangan dan

syndrome yang berarti kumpulan gejala-gejala penyakit. Jadi, dari kata-kata tersebut

dapat diartikan bahwa AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem

kekebalan tubuh oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Page 3: Hiv Toxoplasmasis

Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang

disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Toxsoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat

alami dengan perjalanannya dapat akut atau menahun, juga dapat menimbulkan gejala

simtomatik maupun asimtomatik.

Insiden komplikasi SSP pada penderita AIDS cukup besar. Manifestasi klinis

AIDS pada SSP dapat terjadi karena 2 hal yaitu virus AIDS itu sendiri atau akibat infeksi

oportunistik atau neoplasma.

Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi

oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Ensefalitis toksoplasma

muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh

parasit Toxoplasma gondii yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat

ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah

atau kurang matang.

Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem

kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga mencegah

penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak menanggapi

pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat,

masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan

kepribadian.

B. Epidemiologi

AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrome) dikenal sejak tahun 1981 pada lima

orang pria homoseksual di Los Angeles, Amerika Serikat (Sepkowitz, 2001). Pada tahun

2000, jumlah orang yang terinfeksi HIV di dunia diperkirakan 42 juta orang, dimana dua

pertiganya tinggal di Afrika. HIV menginfeksi laki-laki maupun perempuan, tua maupun

muda, bahkan bayi, semua warna kulit dan ras, dan berbagai orientasi seksual. Dari

jumlah tersebut, 20 juta orang telah meninggal akibat AIDS pada Desember 2000, dan 3

juta diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia, menurut data Departemen Kesehatan

(Depkes), diperkirakan terdapat 90.000 sampai 130.000 orang dengan HIV positif.

Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi HIV

tahun2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV

ini merupakan pengguna obat narkotika (intravenous drug users). Lebih dari 50

% penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi kelainan neurologis.

Page 4: Hiv Toxoplasmasis

Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV adalah

ensefalitis toksoplasma, limfoma SSP, meningitis kriptococcal, CMV ensefalitis dan

progressive multifocal leukoencephalopathy. Infeksi oportunistik SSP yang paling

sering pada penderita HIV adalah ensefalitis toksoplasma.

C. Etiologi

Ensefalitis toksoplasma disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa

oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh

tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke

dalam sistem kekebalan, parasit tersebut menetap di sana, sistem kekebalan pada orang

yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, dan dapat mencegah terjadinya

suatu penyakit. Namun, pada orang pasien HIV/AIDS mengalami penurunan kekebalan

tubuh sehingga tidak mampu melawan parasit tersebut. Sehingga pasien mudah terinfeksi

oleh parasit tersebut.

Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba

yang mentah dan mengandung oocyst (bentuk infektif dari Toxoplasma gondii). Bisa juga

dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat

terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut

pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan

imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan

mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.

Daur Hidup Toxoplasma gondii

Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk yaitu thachyzoite, tissue cyst (yang

mengandung bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir

dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing

merupakan pejamu definitif dari Toxoplasma gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada

pejamu perantara (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst

diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara

berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoite, organisme ini menyebar ke

seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.

Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer.

Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada

otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.

Page 5: Hiv Toxoplasmasis

Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67oC,

didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial

dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan

daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan

jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi

(pembentukan spora). Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi

biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama

lebih dari 1 tahun.

Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang

mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau

kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat

transplasental,transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang

imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang

rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya

infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan

invasive tropozoit (tachyzoite). Tachyzoite ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan

focus nekrosis.

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi

prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200

sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi

yangmungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis

carinii, CD4 < 100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. Avium

Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan

candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.

D. Patofisiologi

1. Patofisiologi HIV/AIDS

HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan

tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai

reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah sel monosit,

sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi

limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4,

yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang

Page 6: Hiv Toxoplasmasis

terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada

sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam

keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama

menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup

monosit, makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini

segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda

asing tersebut, reseptor sel T helper tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk

ke dalam sel T helper tersebut.

Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah

dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper

sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus

memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan

menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.

Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan

melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat

double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel

T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.

Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom

dari HIV dan proviral DNA kemudian dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T

helper sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan

sel T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus

lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel

lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka

tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan

mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

atau sindroma kegagalan kekebalan.

2. Patofisiologi Toxoplasmosis sebagai komplikasi HIV/AIDS

Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita

HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi

dan kesehatan sel saraf.

Setelah infeksi oral, bentuk tachyzoite atau invasif parasit dari Toxoplasma gonii

menyebar ke seluruh tubuh. Takizoit menginfeksi setiap sel berinti, di mana mereka

berkembang biak dan menyebabkan kerusakan. Permulaan diperantarai sel kekebalan

Page 7: Hiv Toxoplasmasis

terhadap T gondii disertai dengan transformasi parasit ke dalam jaringan kista yang

menyebabkan infeksi kronis seumur hidup.

Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis

sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2, IL-12,

dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang

terinfeksi HIVmenunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro

dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap Toxoplasma gondii. Hal ini

memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan

infeksi HIV.

Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV

dengan CD4 T sel <100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut.

Manifestasi klinis yangtimbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala

(55%), bingung atau kacau(52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi didapatkan adanya

tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75% kasus, adanya defisit

neurologis pada 70% kasus, nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan

kejang pada 30 % kasus.

Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan

gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan,

gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan

menifestasi neuropsikiatri.

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi

prediktor untuk validasi ke mungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan

CD4< 200sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.

E. Manifestasi Klinis

Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon

terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang

meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan

perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.

Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan

ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi

toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya

kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan

Page 8: Hiv Toxoplasmasis

parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan

mengalami kejang dan penurunan kesadaran.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Serologi

Didapatkan seropositif dari anti-Toxoplasma gondii IgG dan IgM. Deteksi

juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau

enzyme linked immunosorbentassay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2

bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.

2. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan

elevasi protein.

3. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)

Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain

Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan

bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis

yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak  berarti

terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah

infeksi akut.

4. CT scan

Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple

dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai

edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul

dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.

5. Biopsi otak 

Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak 

G. Penatalaksanaan

1. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua

obat ini dapat melalui sawar-darah otak.

2. Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin

menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Toxoplasma gondii. Sulfadiazin

menghambat penggunaannya.

Page 9: Hiv Toxoplasmasis

3. Kombinasi pirimetamin 50-100mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin1-2

g tiap 6 jam.

4. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100

mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.

5. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang.

6. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin

1200mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam.

Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.

7. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIVdengan

CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit totalkurang dari 1200.

Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Anamesa

a. Identitas

b. Keluhan utama

Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan kesehatan adalah

nyeri pada lesi yang timbul.

c. Riwayat penyakit sekarang

Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien.

d. Riwayat penyakit dahulu

Terjadi juga pada pasien denagan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV/AIDS) sebagai

komplikasi.

e. Riwayat keluarga

Ada anggota keluarga atau teman dekat yang terinfeksi virus herpes.

2. Riwayat psikososial

a. Aktivitas/istirahat

Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas, kelelahan.

Tanda : kelemahan otot, nyeri otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi

terhadap aktifitas.

b. Sirkulasi

Gejala : demam, proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan lama bila

cedera

Page 10: Hiv Toxoplasmasis

Tanda : suhu tubuh meningkat, berkeringat, takikardia, mata cekung, anemis,

perubahan tekanan darah postural, volume nadi perifer menurun, pengisian

kapiler memanjang.

c. Integritas ego

Gejala : merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan kontrol

diri, dan depresi.

Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis,

kontak mata kurang.

d. Eliminasi

Gejala : diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih.

Tanda : feces encer disertai mucus atau darah, nyeri tekan abdominal, lesi

pada rectal, ikterus, perubahan dalam jumlah warna urin.

e. Makanan/cairan

Gejala : tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan.

Tanda : penurunan BB yang cepat, bising usus yang hiperaktif, turgor kulit

jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mukosa

mulut

f. Hygiene

Tanda : tidak dapat menyelesaikan ADL, mempeliahtkan penampilan yang

tidak rapi.

g. Neurosensorik

Gejala : pusing, sakit kepala, photofobia.

Tanda : perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi,

kelemahan  otot, tremor, penurunan visus, bebal, kesemutan pada ekstrimitas.

h. Nyeri/kenyamanan

Gejala : nyeri umum atau lokal, sakit, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit

kepala, nyeri dada pleuritis, nyeri abdomen.

Tanda : pembengkakan pada sendi, hepatomegali, nyeri tekan, penurunan

ROM, pincang.

i. Pernapasan

Tanda : terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non, sesak

pada dada, takipneu, bunyi napas tambahan, sputum kuning.

j. Keamanan

Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses penyembuhan.

Page 11: Hiv Toxoplasmasis

Tanda : demam berulang

k. Seksualitas

Tanda : riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan

kondom yang tdk konsisten, lesi pada genitalia, keputihan.

l. Interaksi social

Tanda : isolasi, kesepian, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tidak

terorganisir

3. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan antibodi spesifik

toksoplasma, yaitu IgG, IgM dan IgG affinity.

IgM adalah antibodi yang pertama kali meningkat di darah bila terjadi

infeksi toksoplasma.

IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM dan biasanya akan

menetap seumur hidup pada orang yang terinfeksi atau pernah

terinfeksi.

IgG affinity adalah kekuatan ikatan antara antibodi IgG dengan

organisme penyebab infeksi. Manfaat IgG affinity yang dilakukan pada

wanita yang hamil atau akan hamil karena pada keadaan IgG dan IgM

positif diperlukan pemeriksaan IgG affinity untuk memperkirakan

kapan infeksi terjadi, apakah sebelum atau pada saat hamil. Infeksi

yang terjadi sebelum kehamilan tidak perlu dirisaukan, hanya infeksi

primer yang terjadi pada saat ibu hamil yang berbahaya, khususnya

pada trimester I.

Bila IgG (-) dan IgM (+)

Kasus ini jarang terjadi, kemungkinan merupakan awal infeksi. Harus

diperiksa kembali 3 minggu kemudian dilihat apakah IgG berubah jadi

(+). Bila tidak berubah, maka IgM tidak spesifik, yang bersangkutan

tidak terinfeksi toksoplasma.

Bila IgG (-) dan IgM (-)

Belum pernah terinfeksi dan beresiko untuk terinfeksi.

Bila sedang hamil, perlu dipantau setiap 3 bulan pada sisa kehamilan

(dokter mengetahui kondisi dan kebutuhan pemeriksaan anda).

Lakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi infeksi.

Page 12: Hiv Toxoplasmasis

Bila IgG (+) dan IgM (+)

Kemungkinan mengalami infeksi primer baru atau mungkin juga

infeksi lampau tapi IgM nya masih terdeteksi. Oleh sebab itu perlu

dilakukan tes IgG affinity langsung pada serum yang sama untuk

memperkirakan kapan infeksinya terjadi, apakah sebelum atau sesudah

hamil.

Bila IgG (+) dan IgM (-)

Pernah terinfeksi sebelumnya. Bila pemeriksaan dilakukan pada awal

kehamilan, berarti infeksinya terjadi sudah lama (sebelum hamil) dan

sekarang telah memiliki kekebalan, untuk selanjutnya tidak perlu

diperiksa lagi.

b. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan

elevasi protein.

c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)

Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain

Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan

bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita

toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan

otak tidak  berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama

berada di otak setelah infeksi akut.

d. CT scan

Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple

dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan

disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma

jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.

e. Biopsi otak 

Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak.

B. Diagnosa Keperawatan

1 Nyeri kronik berhubungan dengan adanya proses infeksi atau inflamasi

2 Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme dan penyakit,

ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, tubuh menggigil

3 Kekurangan volume caiaran berhubungan dengan tidak adekuat masukan

makanan dan cairan.

Page 13: Hiv Toxoplasmasis

C. Intervensi Keperawatan

NoDIAGNOSA

KEPERAWATANINTERVENSI RASIONAL

1. Nyeri kronik

berhubungan dengan

adanya proses

infeksi/inflamasi.

Tujuan:

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama 2 x 24 jam nyeri

dapat berkurang, pasien

dapat tenang dan

keadaan umum cukup

baik

Kriteria Hasil:

- Klien

mengungkapakan

nyeri yang

dirasakan hilang

dan terkontrol

- Klien tidak

menyeringai

kesakitan

- TTV dalam

batasan normal

- Intensitas nyeri

berkurang (skala

nyeri berkurang

1-10)

- Selidiki keluhan nyeri,

perhatikan lokasi,

itensitas nyeri, dan

skala

- Anjurkan pasien untuk

melaporkan nyeri

segera saat mulai

- Pantau tanda-tanda vital

- Jelaskan sebab dan

akibat nyeri pada klien

serta keluarganya

- Anjurkan istirahat

selama fase akut

- Anjurkan teknik

distruksi dan relaksasi

- Tingkatkan tirah

baring, bantulah

kebutuhan perawatan

diri

- Berikan situasi

lingkungan yang

kondusif

- Berikan latihan rentang

gerak aktif/pasif secara

tepat dan masase otot

daerah leher/bahu

- Kolaborasi dengan tim

medis dalam pemberian

tindakan

- Nyeri insisi bermakna pada

pasca operasi awal diperberat

oleh gerakan

- Intervensi dini pada kontrol

nyeri memudahkan

pemulihan otot dengan

menurunkan tegangan otot

- Respon autonomik meliputi,

perubahan pada TD, nadi,

RR, yang berhubungan

dengan penghilangan nyeri

- Dengan sebab dan akibat

nyeri diharapkan klien

berpartisipasi dalam

perawatan untuk mengurangi

nyeri

- Mengurangi nyeri yang

diperberat oleh geraka

- Menurunkan tegangan otot,

meningkatkan relaksasi, dan

meningkatkan rasa kontrol

dan kemampuan koping

- Menurunkan gerakan yang

dapat meningkatkan nyeri

- Memberikan dukungan (fisik,

emosional, meningkatkan

rasa kontrol, dan kemampuan

koping)

- Dapat membantu

Page 14: Hiv Toxoplasmasis

- Klien

menunjukkan

rileks, istirahat

tidur, peningkatan

aktivitas dengan

cepat

merelaksasikan ketegangan

otot yang meningkatkan

reduksi nyeri/rasa tidak

nyaman tersebut

- Menghilangkan atau

mengurangi keluhan nyeri

klien

2. Hipertermi

berhubungan dengan

peningkatan

metabolisme dan

penyakit, ditandai

dengan peningkatan

suhu tubuh, tubuh

menggigil.

Tujuan:

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama 1x24 jam suhu

tubuh dapat

dipertahankan dalam

batas normal.

Kriteria Hasil:

- Suhu antara 36o-

37o c

- RR dan nadi

dalam batas

normal

- Membran

- Monitor tanda-tanda

infeksi.

- Monitor tanda-tanda

vital tiap 2 jam.

- Berikan suhu

lingkungan yang

nyaman bagi pasien.

Kenakan pakaian tipis

pada pasien.

- Kompres hangat,

hindari penggunaan

alkohol

- Berikan cairan iv

sesuai order atau

anjurkan intake cairan

yang adekuat.

- Berikan antipiretik,

jangan berikan aspirin.

7.     Monitor komplikasi

neurologis akibat demam.

- Infeksi pada umumnya

menyebabkan peningkatan

suhu tubuh

- Deteksi resiko peningkatan

suhu tubuh yang ekstrem,

pola yang dihubungkan

dengan patogen tertentu,

menurun dihubungkan

dengan resolusi infeksi.

- Kehilangan panas tubuh

melalui konveksi dan

evaporasi

- Dapat membantu mengurangi

demam, penggunaan air es

atau alkohol dapat

menyebabkan peningkatan

suhu secara aktual

- Menggantikan cairan yang

hilang lewat keringat.

- Aspirin bersiko terjadi

perdarahan GI yang menetap.

- Febril dan enselopati bisa

terjadi bila suhu tubuh yang

meningkat.

Page 15: Hiv Toxoplasmasis

mukosa lembab

- Kulit dingin dan

bebas dari

keringat yang

berlebih.

- Pakaian dan

tempat tidur

pasien kering

3. Kekurangan volume

caiaran berhubungan

dengan tidak adekuat

masukan makanan dan

cairan

Tujuan:

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama 1x24 jam,

asupan cairan adekuat

Kriteria hasil:

- Memiliki

keseimbangan

asupan dan

haluaran yang

seimbang dalam

24 jam.

- Tanda-tanda vita,

dalam batas

normal

- Kaji tanda-tanda

dehidrasi.

- Pantau Tanda-tanda

vital, status membran

mukosa dan turgor

kulit

- Pantau tekanan darah

atau denyut jantung

- Palpasi denyut perifer

- Berikan minum per

oral sesuai toleransi.

- Atur pemberian cairan

infus sesuai order.

- Ukur semua cairan

output (muntah, urine,

diare). Ukur semua

intake cairan.

- Intervensi lebih dini

- Sebagai indikator ke

adekuatan sirkulasi

- Pengurangan dalam

sirkulasi volume cairan

dapat mengurangi tekanan

darah.

- Denyut yang lemah dan

mudah hilang dapat

menyebabkan hipovolemia.

- Mempertahankan intake

yang adekuat

- Melakukan rehidrasi

- Mengatur keseimbangan

antara intake dan output.

- Mengetahui status nutrisi

pasien

- Mengetahui keseimbangan

nutrisi pasien

Page 16: Hiv Toxoplasmasis

- Membran mukosa

lembab

- Nadi perifer

teraba

- Menampilkan

hidrasi yang baik

misalnya

membran mukosa

yang lembab.

- Memiliki asupan

cairan oral dan

atau intravena

yang adekuat.

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi disesuaikan dengan perencanaan yang telah di buat.

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi disesuaikan dengan outcome

DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.

Edisi IV.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006

Page 17: Hiv Toxoplasmasis

Athur, Frank. 2010. Toxoplasmosis. http://www.scribd.com/doc/81494363/BAB-I-II-III-

Edit-Toxoplasmosis. Diakses pada tanggal 20 Mei 2012.

Manjur,A.,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Smaltzer, C.2002.Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah Edisi 8 Volume 3.Buku

Kedokteran EGC : Jakarta.

Syahlan, JH (1997) AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media

Sandy, Indah. 2011. Infeksi Oportunistik Susunan Saraf Pusat Pada Pasien AIDS.

http://www.scribd.com/doc/49900217/Infeksi-Oportunistik-Susunan-Saraf-Pusat-

Pada-AIDS. Diakses pada tanggal 20 Mei 2012

Wilkinson,J.M. 2006. Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil

NOC. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.