Hiv Toxoplasmasis
-
Upload
dewi-pradnyani -
Category
Documents
-
view
47 -
download
2
description
Transcript of Hiv Toxoplasmasis
ASUHAN KEPERAWATAN HIV DENGAN KOMPLIKASI
TOKSOPLASMOSIS
Oleh: 2.1 REGULER
I PUTU ROBBY SAPUTRA ( PO7120011005 )
I MADE ADI GUNAWAN ( PO7120011009 )
I GEDE SURYA SASTRAWAN ( PO7120011010 )
I PUTU JUNIARTHA SEMARA P ( PO7120011014 )
I PUTU ARNAWA ( PO7120011026 )
POLTEKKES KEMENKES DENPASARJURUSAN KEPERAWATAN
2013
TOKSOPLASMOSIS
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, protozoa intraselular obligat
distribusi di seluruh dunia. Pengembangan diperantarai sel kekebalan setelah infeksi akut.
Toxoplasma gondii merupakan salah satu penyebab paling umum infeksi kronis dengan
organisme intraseluler pada manusia.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf, menyebabkan
kerusakan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit kesistem saraf tepi. Infeksi
yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas
imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang
tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang
secara klinis danbiologis berjangkauan luas.
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi
oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya
mencapai 15-29,2%, sedangkan di Eropa mencapai rata-rata 90%. Sekitar 10-20% dari pasien
yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat pada akhirnya akan terkena ensefalitis toksoplasma.
Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi
komputer (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologi dari biopsi dan ditemukannya
takizoit dan bradizoit.
Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun
demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multipel yangn
yata bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%,
thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai edema perifokal
dan berdiameter 1 - 3 cm.
A. Definisi
AIDS berasal dari kata acquired yang artinya didapat atau bukan penyakit
keturunan, immune berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency atau kekurangan dan
syndrome yang berarti kumpulan gejala-gejala penyakit. Jadi, dari kata-kata tersebut
dapat diartikan bahwa AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Toxsoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat
alami dengan perjalanannya dapat akut atau menahun, juga dapat menimbulkan gejala
simtomatik maupun asimtomatik.
Insiden komplikasi SSP pada penderita AIDS cukup besar. Manifestasi klinis
AIDS pada SSP dapat terjadi karena 2 hal yaitu virus AIDS itu sendiri atau akibat infeksi
oportunistik atau neoplasma.
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi
oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Ensefalitis toksoplasma
muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh
parasit Toxoplasma gondii yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat
ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah
atau kurang matang.
Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem
kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga mencegah
penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak menanggapi
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat,
masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan
kepribadian.
B. Epidemiologi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrome) dikenal sejak tahun 1981 pada lima
orang pria homoseksual di Los Angeles, Amerika Serikat (Sepkowitz, 2001). Pada tahun
2000, jumlah orang yang terinfeksi HIV di dunia diperkirakan 42 juta orang, dimana dua
pertiganya tinggal di Afrika. HIV menginfeksi laki-laki maupun perempuan, tua maupun
muda, bahkan bayi, semua warna kulit dan ras, dan berbagai orientasi seksual. Dari
jumlah tersebut, 20 juta orang telah meninggal akibat AIDS pada Desember 2000, dan 3
juta diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia, menurut data Departemen Kesehatan
(Depkes), diperkirakan terdapat 90.000 sampai 130.000 orang dengan HIV positif.
Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi HIV
tahun2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV
ini merupakan pengguna obat narkotika (intravenous drug users). Lebih dari 50
% penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi kelainan neurologis.
Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV adalah
ensefalitis toksoplasma, limfoma SSP, meningitis kriptococcal, CMV ensefalitis dan
progressive multifocal leukoencephalopathy. Infeksi oportunistik SSP yang paling
sering pada penderita HIV adalah ensefalitis toksoplasma.
C. Etiologi
Ensefalitis toksoplasma disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa
oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh
tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke
dalam sistem kekebalan, parasit tersebut menetap di sana, sistem kekebalan pada orang
yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, dan dapat mencegah terjadinya
suatu penyakit. Namun, pada orang pasien HIV/AIDS mengalami penurunan kekebalan
tubuh sehingga tidak mampu melawan parasit tersebut. Sehingga pasien mudah terinfeksi
oleh parasit tersebut.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba
yang mentah dan mengandung oocyst (bentuk infektif dari Toxoplasma gondii). Bisa juga
dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat
terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut
pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan
imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.
Daur Hidup Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk yaitu thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir
dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing
merupakan pejamu definitif dari Toxoplasma gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada
pejamu perantara (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst
diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara
berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoite, organisme ini menyebar ke
seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer.
Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada
otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67oC,
didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial
dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan
daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan
jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi
(pembentukan spora). Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi
biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama
lebih dari 1 tahun.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental,transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang
imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang
rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya
infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan
invasive tropozoit (tachyzoite). Tachyzoite ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan
focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200
sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi
yangmungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis
carinii, CD4 < 100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. Avium
Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan
candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
D. Patofisiologi
1. Patofisiologi HIV/AIDS
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan
tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai
reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah sel monosit,
sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi
limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4,
yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang
terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada
sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam
keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama
menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup
monosit, makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini
segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda
asing tersebut, reseptor sel T helper tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk
ke dalam sel T helper tersebut.
Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah
dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper
sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus
memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan
menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan
melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel
T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom
dari HIV dan proviral DNA kemudian dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T
helper sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan
sel T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus
lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel
lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka
tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan
mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
atau sindroma kegagalan kekebalan.
2. Patofisiologi Toxoplasmosis sebagai komplikasi HIV/AIDS
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi
dan kesehatan sel saraf.
Setelah infeksi oral, bentuk tachyzoite atau invasif parasit dari Toxoplasma gonii
menyebar ke seluruh tubuh. Takizoit menginfeksi setiap sel berinti, di mana mereka
berkembang biak dan menyebabkan kerusakan. Permulaan diperantarai sel kekebalan
terhadap T gondii disertai dengan transformasi parasit ke dalam jaringan kista yang
menyebabkan infeksi kronis seumur hidup.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis
sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2, IL-12,
dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang
terinfeksi HIVmenunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro
dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap Toxoplasma gondii. Hal ini
memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan
infeksi HIV.
Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV
dengan CD4 T sel <100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut.
Manifestasi klinis yangtimbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala
(55%), bingung atau kacau(52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi didapatkan adanya
tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75% kasus, adanya defisit
neurologis pada 70% kasus, nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan
kejang pada 30 % kasus.
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan
gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan,
gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan
menifestasi neuropsikiatri.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi ke mungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan
CD4< 200sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
E. Manifestasi Klinis
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan
ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya
kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan
parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-Toxoplasma gondii IgG dan IgM. Deteksi
juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau
enzyme linked immunosorbentassay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
3. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis
yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah
infeksi akut.
4. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple
dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai
edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul
dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
5. Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
G. Penatalaksanaan
1. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua
obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
2. Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Toxoplasma gondii. Sulfadiazin
menghambat penggunaannya.
3. Kombinasi pirimetamin 50-100mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin1-2
g tiap 6 jam.
4. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100
mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
5. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang.
6. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin
1200mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam.
Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
7. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIVdengan
CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit totalkurang dari 1200.
Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamesa
a. Identitas
b. Keluhan utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan kesehatan adalah
nyeri pada lesi yang timbul.
c. Riwayat penyakit sekarang
Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien.
d. Riwayat penyakit dahulu
Terjadi juga pada pasien denagan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV/AIDS) sebagai
komplikasi.
e. Riwayat keluarga
Ada anggota keluarga atau teman dekat yang terinfeksi virus herpes.
2. Riwayat psikososial
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas, kelelahan.
Tanda : kelemahan otot, nyeri otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
terhadap aktifitas.
b. Sirkulasi
Gejala : demam, proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan lama bila
cedera
Tanda : suhu tubuh meningkat, berkeringat, takikardia, mata cekung, anemis,
perubahan tekanan darah postural, volume nadi perifer menurun, pengisian
kapiler memanjang.
c. Integritas ego
Gejala : merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan kontrol
diri, dan depresi.
Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis,
kontak mata kurang.
d. Eliminasi
Gejala : diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih.
Tanda : feces encer disertai mucus atau darah, nyeri tekan abdominal, lesi
pada rectal, ikterus, perubahan dalam jumlah warna urin.
e. Makanan/cairan
Gejala : tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan.
Tanda : penurunan BB yang cepat, bising usus yang hiperaktif, turgor kulit
jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mukosa
mulut
f. Hygiene
Tanda : tidak dapat menyelesaikan ADL, mempeliahtkan penampilan yang
tidak rapi.
g. Neurosensorik
Gejala : pusing, sakit kepala, photofobia.
Tanda : perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi,
kelemahan otot, tremor, penurunan visus, bebal, kesemutan pada ekstrimitas.
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri umum atau lokal, sakit, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit
kepala, nyeri dada pleuritis, nyeri abdomen.
Tanda : pembengkakan pada sendi, hepatomegali, nyeri tekan, penurunan
ROM, pincang.
i. Pernapasan
Tanda : terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non, sesak
pada dada, takipneu, bunyi napas tambahan, sputum kuning.
j. Keamanan
Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses penyembuhan.
Tanda : demam berulang
k. Seksualitas
Tanda : riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan
kondom yang tdk konsisten, lesi pada genitalia, keputihan.
l. Interaksi social
Tanda : isolasi, kesepian, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tidak
terorganisir
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan antibodi spesifik
toksoplasma, yaitu IgG, IgM dan IgG affinity.
IgM adalah antibodi yang pertama kali meningkat di darah bila terjadi
infeksi toksoplasma.
IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM dan biasanya akan
menetap seumur hidup pada orang yang terinfeksi atau pernah
terinfeksi.
IgG affinity adalah kekuatan ikatan antara antibodi IgG dengan
organisme penyebab infeksi. Manfaat IgG affinity yang dilakukan pada
wanita yang hamil atau akan hamil karena pada keadaan IgG dan IgM
positif diperlukan pemeriksaan IgG affinity untuk memperkirakan
kapan infeksi terjadi, apakah sebelum atau pada saat hamil. Infeksi
yang terjadi sebelum kehamilan tidak perlu dirisaukan, hanya infeksi
primer yang terjadi pada saat ibu hamil yang berbahaya, khususnya
pada trimester I.
Bila IgG (-) dan IgM (+)
Kasus ini jarang terjadi, kemungkinan merupakan awal infeksi. Harus
diperiksa kembali 3 minggu kemudian dilihat apakah IgG berubah jadi
(+). Bila tidak berubah, maka IgM tidak spesifik, yang bersangkutan
tidak terinfeksi toksoplasma.
Bila IgG (-) dan IgM (-)
Belum pernah terinfeksi dan beresiko untuk terinfeksi.
Bila sedang hamil, perlu dipantau setiap 3 bulan pada sisa kehamilan
(dokter mengetahui kondisi dan kebutuhan pemeriksaan anda).
Lakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi infeksi.
Bila IgG (+) dan IgM (+)
Kemungkinan mengalami infeksi primer baru atau mungkin juga
infeksi lampau tapi IgM nya masih terdeteksi. Oleh sebab itu perlu
dilakukan tes IgG affinity langsung pada serum yang sama untuk
memperkirakan kapan infeksinya terjadi, apakah sebelum atau sesudah
hamil.
Bila IgG (+) dan IgM (-)
Pernah terinfeksi sebelumnya. Bila pemeriksaan dilakukan pada awal
kehamilan, berarti infeksinya terjadi sudah lama (sebelum hamil) dan
sekarang telah memiliki kekebalan, untuk selanjutnya tidak perlu
diperiksa lagi.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita
toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan
otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama
berada di otak setelah infeksi akut.
d. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple
dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan
disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma
jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
e. Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak.
B. Diagnosa Keperawatan
1 Nyeri kronik berhubungan dengan adanya proses infeksi atau inflamasi
2 Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme dan penyakit,
ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, tubuh menggigil
3 Kekurangan volume caiaran berhubungan dengan tidak adekuat masukan
makanan dan cairan.
C. Intervensi Keperawatan
NoDIAGNOSA
KEPERAWATANINTERVENSI RASIONAL
1. Nyeri kronik
berhubungan dengan
adanya proses
infeksi/inflamasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam nyeri
dapat berkurang, pasien
dapat tenang dan
keadaan umum cukup
baik
Kriteria Hasil:
- Klien
mengungkapakan
nyeri yang
dirasakan hilang
dan terkontrol
- Klien tidak
menyeringai
kesakitan
- TTV dalam
batasan normal
- Intensitas nyeri
berkurang (skala
nyeri berkurang
1-10)
- Selidiki keluhan nyeri,
perhatikan lokasi,
itensitas nyeri, dan
skala
- Anjurkan pasien untuk
melaporkan nyeri
segera saat mulai
- Pantau tanda-tanda vital
- Jelaskan sebab dan
akibat nyeri pada klien
serta keluarganya
- Anjurkan istirahat
selama fase akut
- Anjurkan teknik
distruksi dan relaksasi
- Tingkatkan tirah
baring, bantulah
kebutuhan perawatan
diri
- Berikan situasi
lingkungan yang
kondusif
- Berikan latihan rentang
gerak aktif/pasif secara
tepat dan masase otot
daerah leher/bahu
- Kolaborasi dengan tim
medis dalam pemberian
tindakan
- Nyeri insisi bermakna pada
pasca operasi awal diperberat
oleh gerakan
- Intervensi dini pada kontrol
nyeri memudahkan
pemulihan otot dengan
menurunkan tegangan otot
- Respon autonomik meliputi,
perubahan pada TD, nadi,
RR, yang berhubungan
dengan penghilangan nyeri
- Dengan sebab dan akibat
nyeri diharapkan klien
berpartisipasi dalam
perawatan untuk mengurangi
nyeri
- Mengurangi nyeri yang
diperberat oleh geraka
- Menurunkan tegangan otot,
meningkatkan relaksasi, dan
meningkatkan rasa kontrol
dan kemampuan koping
- Menurunkan gerakan yang
dapat meningkatkan nyeri
- Memberikan dukungan (fisik,
emosional, meningkatkan
rasa kontrol, dan kemampuan
koping)
- Dapat membantu
- Klien
menunjukkan
rileks, istirahat
tidur, peningkatan
aktivitas dengan
cepat
merelaksasikan ketegangan
otot yang meningkatkan
reduksi nyeri/rasa tidak
nyaman tersebut
- Menghilangkan atau
mengurangi keluhan nyeri
klien
2. Hipertermi
berhubungan dengan
peningkatan
metabolisme dan
penyakit, ditandai
dengan peningkatan
suhu tubuh, tubuh
menggigil.
Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 1x24 jam suhu
tubuh dapat
dipertahankan dalam
batas normal.
Kriteria Hasil:
- Suhu antara 36o-
37o c
- RR dan nadi
dalam batas
normal
- Membran
- Monitor tanda-tanda
infeksi.
- Monitor tanda-tanda
vital tiap 2 jam.
- Berikan suhu
lingkungan yang
nyaman bagi pasien.
Kenakan pakaian tipis
pada pasien.
- Kompres hangat,
hindari penggunaan
alkohol
- Berikan cairan iv
sesuai order atau
anjurkan intake cairan
yang adekuat.
- Berikan antipiretik,
jangan berikan aspirin.
7. Monitor komplikasi
neurologis akibat demam.
- Infeksi pada umumnya
menyebabkan peningkatan
suhu tubuh
- Deteksi resiko peningkatan
suhu tubuh yang ekstrem,
pola yang dihubungkan
dengan patogen tertentu,
menurun dihubungkan
dengan resolusi infeksi.
- Kehilangan panas tubuh
melalui konveksi dan
evaporasi
- Dapat membantu mengurangi
demam, penggunaan air es
atau alkohol dapat
menyebabkan peningkatan
suhu secara aktual
- Menggantikan cairan yang
hilang lewat keringat.
- Aspirin bersiko terjadi
perdarahan GI yang menetap.
- Febril dan enselopati bisa
terjadi bila suhu tubuh yang
meningkat.
mukosa lembab
- Kulit dingin dan
bebas dari
keringat yang
berlebih.
- Pakaian dan
tempat tidur
pasien kering
3. Kekurangan volume
caiaran berhubungan
dengan tidak adekuat
masukan makanan dan
cairan
Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 1x24 jam,
asupan cairan adekuat
Kriteria hasil:
- Memiliki
keseimbangan
asupan dan
haluaran yang
seimbang dalam
24 jam.
- Tanda-tanda vita,
dalam batas
normal
- Kaji tanda-tanda
dehidrasi.
- Pantau Tanda-tanda
vital, status membran
mukosa dan turgor
kulit
- Pantau tekanan darah
atau denyut jantung
- Palpasi denyut perifer
- Berikan minum per
oral sesuai toleransi.
- Atur pemberian cairan
infus sesuai order.
- Ukur semua cairan
output (muntah, urine,
diare). Ukur semua
intake cairan.
- Intervensi lebih dini
- Sebagai indikator ke
adekuatan sirkulasi
- Pengurangan dalam
sirkulasi volume cairan
dapat mengurangi tekanan
darah.
- Denyut yang lemah dan
mudah hilang dapat
menyebabkan hipovolemia.
- Mempertahankan intake
yang adekuat
- Melakukan rehidrasi
- Mengatur keseimbangan
antara intake dan output.
- Mengetahui status nutrisi
pasien
- Mengetahui keseimbangan
nutrisi pasien
- Membran mukosa
lembab
- Nadi perifer
teraba
- Menampilkan
hidrasi yang baik
misalnya
membran mukosa
yang lembab.
- Memiliki asupan
cairan oral dan
atau intravena
yang adekuat.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi disesuaikan dengan perencanaan yang telah di buat.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi disesuaikan dengan outcome
DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
Athur, Frank. 2010. Toxoplasmosis. http://www.scribd.com/doc/81494363/BAB-I-II-III-
Edit-Toxoplasmosis. Diakses pada tanggal 20 Mei 2012.
Manjur,A.,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Smaltzer, C.2002.Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah Edisi 8 Volume 3.Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
Syahlan, JH (1997) AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media
Sandy, Indah. 2011. Infeksi Oportunistik Susunan Saraf Pusat Pada Pasien AIDS.
http://www.scribd.com/doc/49900217/Infeksi-Oportunistik-Susunan-Saraf-Pusat-
Pada-AIDS. Diakses pada tanggal 20 Mei 2012
Wilkinson,J.M. 2006. Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil
NOC. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.