HIV CNS

25
BAB I PENDAHULUAN Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang dapat menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena penurunan sistem imun yang menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk bertahan terhadap infeksi oportunistik. 1 Menurut Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), kasus HIV yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 33,4 juta orang, dan 2 juta diantaranya meninggal karena AIDS. Rata-rata kematian terjadi pada lebih dari 90% pada pasien dengan infeksi HIV yang tidak terobati. Diperkirakan pasien meninggal 8-10 tahun sejak terinfeksi. Saat infeksi berlanjut ke tahap AIDS, harapan hidup pasien biasanya dibawah 2 tahun pada kasus yang tidak terobati. Pada kasus yang tidak berlanjut, orang dengan infeksi HIV dapat terhindar dari AIDS selama 15 tahun atau lebih. 2 Tanpa pengobatan, hampir seluruh individu yang terinfeksi HIV berkembang hingga tahap imunosupresi lanjut, dimana deplesi sel limfosit T CD4 mengarah kepada AIDS dan kematian dini. 3 Komplikasi neurologis muncul pada lebih dari 40% pasien dengan infeksi HIV. 10-20% kasus merupakan kelainan yang didasari oleh AIDS. Pada otopsi, prevalensi abnormalitas neuropatologi didapatkan sebesar 80%. Walaupun pada perkembangannya kelainan

description

HIV CNS

Transcript of HIV CNS

BAB I

PENDAHULUAN

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang dapat menyebabkan

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena penurunan sistem imun yang

menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk bertahan terhadap infeksi oportunistik.1 Menurut

Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), kasus HIV yang terjadi di seluruh

dunia pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 33,4 juta orang, dan 2 juta diantaranya meninggal

karena AIDS. Rata-rata kematian terjadi pada lebih dari 90% pada pasien dengan infeksi HIV

yang tidak terobati. Diperkirakan pasien meninggal 8-10 tahun sejak terinfeksi. Saat infeksi

berlanjut ke tahap AIDS, harapan hidup pasien biasanya dibawah 2 tahun pada kasus yang tidak

terobati. Pada kasus yang tidak berlanjut, orang dengan infeksi HIV dapat terhindar dari AIDS

selama 15 tahun atau lebih.2

Tanpa pengobatan, hampir seluruh individu yang terinfeksi HIV berkembang hingga

tahap imunosupresi lanjut, dimana deplesi sel limfosit T CD4 mengarah kepada AIDS dan

kematian dini. 3 Komplikasi neurologis muncul pada lebih dari 40% pasien dengan infeksi HIV.

10-20% kasus merupakan kelainan yang didasari oleh AIDS. Pada otopsi, prevalensi

abnormalitas neuropatologi didapatkan sebesar 80%. Walaupun pada perkembangannya

kelainan CNS akibat HIV telah diobservasi selama beberapa tahun terakhir, mortalitas dari

penyakit ini tetap tinggi.4

HIV nampaknya tidak mengambil alih sel-sel dalam sistem saraf, tetapi menyebabkan

inflamasi yang signifikan pada tubuh. Inflamasi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada

medulla spinalis dan otak, menghambat sel saraf untuk bekerja secara normal. Komplikasi

neurologi dapat diakibatkan kerusakan yang disebabkan dari virus HIV sendiri, tetapi dapat juga

disebabkan oleh efek samping HIV dan AIDS.5

Pada makalah ini akan dibahas mengenai manifestasi HIV pada sistem saraf pusat

mengingat pentingnya hal tersebut untuk dipahami. Makalah ini disusun untuk menambah

pengetahuan dan disusun dalam rangka pemenuhan tugas laporan dalam proses pembelajaran di

bagian Ilmu Saraf RSPI Sulianti Saroso.

BAB II

Komplikasi HIV pada Sistem Saraf PusatHIV merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamily Lentivirus dari

family Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe : HIV-1 yang menyebar luas

ke seluruh dunia; HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat dan beberapa Negara Eropa

AIDS (Acruired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau

penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV

(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap

akhir dari infeksi HIV6

Patologi

Manifestasi HIV/AIDS dapat melalui 3 mekanisme:

Konsekuensi langsung dari virus HIV

Demensia asosiasi HIV

Infeksi oportunis

Toxoplasmosis

Cytomegalovirus

Infeksi jamur

Tuberculosis

Neoplasma pada host immunocompromised

Lymphoma primer CNS

1. Demensia Asosiasi HIV7,8

Pada tahap lanjut HIV, komplikasi neurologis yang paling sering terjadi adalah subacute/chronic

enchepalitis HIV yang timbul dalam bentuk dementia. Sebelumnya disebut sebagai

encephalopathy AIDS, tetapi sekarang dementia AIDS kompleks lebih dipilih. Diperkirakan

hanyak 3% dari kasus AIDS yang bermanifestasi sebagai dementia, tetapi frekuensi mendekati

dua pertiga kasus terjadi setelah gejala konstitusional dan infeksi oportunistik pada AIDS telah

ditegakan.

Patologi

Dasar patologis dari dementia menunjukkan penghalusan diffuse dan multifocal dari substansia

alba disertai infiltrasi sedikit limfosit dan beberapa gugus makrofag yang berbusa, nodule

microglia, dan multinucleated giant cell. CMV terbukti terlibat, tetapi dari evidence virologist

dementia AIDS complex merupakan akibat langsung dari HIV. Perubahan patologis pada

dementia AIDS sebenarnya tidak seragam seperti yang digambarkan. Dalam satu kelompok

pasien, terdapat substansia alba yang menjadi pucat seperti difus dengan pewarnaan myelin,

disertai astrosit reaktif dan makrofag, terjadi kerusakan pada blood brain barier dari cerminan

myelin. Dalam bentuk lain, proses ini disebut “diffuse poliodystrophy” dimana terdapat astrosit

yang tersebar luas dan aktivasi mikroglial di korteks serebral dengan sedikit neuron yang hilang.

Pada pasien lain, terdapat focal perivascular dari demyelinisasi seperti pada post infeksi

encephalomyelitis. Sifat lesi substansia alba yang difus ini tidak dapat dipahami. Perubahan

bentuk patologis ini dapat terjadi secara tunggal atau bersamaan dan berkorelasi dengan derajat

keparahan dementia.

Presentasi Klinis

Sindrom klinis yang terjadi pada dementia AIDS kompleks terdiri dari kombinasi disfungsi

kognitif, perilaku, dan motor. Sementara ada beberapa variasi manifestasi individu meliputi:

kurangnya perhatian, berkurangnya konsentrasi, apatis, menumpulnya kepribadian, perlambatan

psikomotor, dan ataksia.

Pengobatan dan prognosis

Derajat keparahan bergantung pada viral load dan dapat berkurang dengan highly active

antiretroviral therapy (HAART). Infeksi superimposed dapat berujung pada penyakit fulminant.

Prognosis secara keseluruhan tidak baik, umumnya penyakit berkembang berujung kematian

kurang dari setahun.

2. Toxoplasmosis7,8

Toxoplasma gondii dapat menyebakan infeksi asimtomatis pada 80% manusia sehat,namun bisa

menimbulkan manifestasi klinis mematikan pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Perjalanan

penyakit toksoplasmosis otak biasanya berlangsung subakut pada pasien HIV stadium lanjut atau

yang memiliki jumlah sel CD4 < 200 sel/UL. Keluhan dan gejala timbul secara bertahap pada

minggu pertama hingga mingguke-4. Manifestasi utama yang tampak pada penderita

AIDSdengan toksoplasmosis otak adalah demam, sakit kepala, defisit neurologis fokal dan

penurunan kesadaran

Etiologi dan Penularan

Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain

yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang padadaging

mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di

sana, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hinggatuntas,

mencegah penyakit.Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau

domba yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari

sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi

transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu

yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang

rendahdapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi

opportunistik dengan predileksi di otak.

Gejala dan Tanda

Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap pengobatan,

lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan,

pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien

menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya

perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi

toksoplasma. Keadaan inihampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya

kekebalan pada penderita- penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini.

Gejala-gejala fokalnyacepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang

dan penurunankesadaran

Diagnosis

Pemeriksaan Serologi

Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan dengan

indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay

(ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan

seumur hidup.

Pemeriksaan cairan serebrospinal

Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein

Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR)

Mendeteksi DNA T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan

bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang

terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi

aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.

CT scan

Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan biasanya

ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik

pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau

tanpa lesi.

Biopsi otak

Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak

Penatalaksanaan

Sebelum memulai terapi empiric TO sebaiknya dipenuhi tiga syarat berikut yaitu:

Pasien HIV positif

Gejala klinis neurologis yang progresif

Neuroimaging menunjukkan ada lesi fokal di otak

Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini

dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma gondii membutuhkan vitamin B untuk hidup.

Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat

penggunaannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per

hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia.

Orang dengan toksoplasmosis biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk

mencegah anemia sebanyak 10-20 mg per hari.

Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari 80% orang menunjukkan

kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari toksoplasmosis seharusnya terus memakai

obat antitokso dengan dosis rumatan yang lebih rendah. Jelas bahwa orang yang mengalami

toksoplasmosis sebaiknya mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Bila CD4 naik menjadi

di atas 200 selama lebih dari tiga bulan, terapi rumatan toksoplasmosis dapat dihentikan.

3. Meningitis kriptokokus (MK) 7,8

Meningitis kriptokokus terlihat pada sekitar 10% individu dengan AIDSyang tidak diobati dan pada

orang lain dengan sistem kekebalannya sangat tertekan oleh penyakit atau obat. Hal ini disebabkan oleh

jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan dalam kotoran kotoran dan burung. Jamur pertama-

tama menyerang paru dan menyebar menutupi otak dan sumsum tulang belakang, menyebabkan

peradangan.Gejala termasuk kelelahan, demam, sakit kepala, mual, kehilanganmemori,

kebingungan, mengantuk, dan muntah. Jika tidak diobati, pasien dengan meningitis kriptokokus dapat

jatuh dalam koma dan meninggal.

Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan pada

tanah dan tinja burung. Jamur ini pertama menyerang paru dan menyebar ke otak dan saraf

tulang belakang, menyebabkan peradangan. Risiko infeksi paling tinggi jika jumlah CD4 di

bawah 50.

Patogenesis

Cryptococcus neoformans merupakan ragi berkapsul berbentuk bulat hingga oval berukuran 4-6

micron yang dikelilingi kapsul polisakarida. Walaupun fagositosis dengan complemen

merupakan perlindungan diri awal utama melawan invasi cryptococcal, hilangnya respon sel

yang intak menyebabkan proses penelanan dan pembunuhan mikroorganisme tidak efektif

menyebabkan diseminasi dan peningkatan Cryptococcus. Kapsul polisakarida yang tersusun dari

exopolisakarida berkontribusi dalam virulensi dengan menekan respon imun, menginhibisi

migrasi leukosit, dan memicu replikasi HIV. C neoformans dibedakan dengan jamur lain karena

kemampuannya menghasilkan urea dan memiliki enzim phenoloxidase yang dapat berikaan

dengan membrane sehingga mampu mengubah senyawa phenolic menjadi melanin.

Cryptococcus memiliki kecenderungan untuk menyerang CNS karena kemampuanya

menghasilkan melanin dari katekolamin yang terdapat pada jaringan ini dalam konsentrasi tinggi.

Produksi melanin tidak didapatkan pada spesies Cryptococcus lain selain C neoformans.

Tanda dan Gejala

Gejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit kepala, mual dan muntah,

kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan pada cahaya terang. Gejala ini muncul secara

perlahan. Tanda-tanda seperti meningismus, termasuk kuduk kaku, timbul < 40%

penderita. Kejang dan defisit neurologik fokal sering timbul dan merupakan tanda koma

kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi ekstraneural, dapat terjadi

dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi di kulit, abses prostat dan hepatitis.

Pemeriksaan Penunjang

Tes laboratorium dipakai untuk menentukan diagnosis meningitis. Tes laboratorium ini memakai

darah atau cairan sumsum tulang belakang. Darah atau cairan sumsum tulang belakang dapat

dites untuk kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut ‘CRAG’ mencari antigen (sebuah

protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes ‘biakan’ mencoba menumbuhkan jamur kriptokokus

dari sampel. Tes biakan membutuhkan satu minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil positif.

Cairan sumsum tulang belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai dengan tinta India

(70% positif) dan ditemukan antigen kriptokokus dalam darah dan LCS (95-100% positif). LCS

jumlah sel, glukosa, protein dapat terjadi tetapi tidak selalu. Kultur darah dan urin (+).

Penatalaksanaan

Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi memakai flukonazol

namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B dan kapsul flusitosin. Amfoterisin B

adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat merusak ginjal.

Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi lebih berat bila

terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal ini disebabkan karena

adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune reconstruction inflammatory

syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat memulihkan kemampuan sistem kekebalan

untuk menanggapi infeksi dan menghasilkan pemberantasan bakteri secara cepat. ART sering

ditunda hingga terapi awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan.

Minggu 1-2 Amfoterisin B 0.7-1 mg/kg per hari dalam infus dextrosa 5% dan diberikan

selama 4-6 jam dikombinasi dengan flukonazol 800 mg per hari PO

Minggu 3-10 Flukonazol 800 mg per hari PO

Bila tidak dapat menggunakan amfoterisin B dapat digunakan flukonazol saja dengan dosis 800-

2000 mg per hari selama 12 minggu. Setelah fase akut terapi harus dilanjutkan dengan terapi

rumatan dengan flukonazol 200 mg per hari. Terapi rumatan harus terus diberikan hingga jumlah

sel CD4 > 200 sel/UL

Pencegahan

Memakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah meningitis

kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak meresepkannya:

Sebagian besar infeksi jamur mudah diobati

Flukonazol adalah obat yang sangat mahal

Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi (seperti

kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada tenggorokan) yang kebal

(resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan ini hanya dapat diobati dengan

amfoterisin B.

4. Cytomegalovirus7,8

Pada awal epidemic AIDS, cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab mayor dari morbiditas

dan mortalitas pada pasien dengan AIDS. Epidemiologi menunjukkan bahwa setengah dari

pasien HIV mengalami infeksi CMV dengan chorioretinitis, espohagitis, colitis, pneumonia, dan

manifestasi pada CNS. Dengan pengobatan antiretroviral yang efektif terjadi penurunan CMV

pada pasien AIDS.

Epidemiologi

CMV merupakan penyebab non-Epstein-Barr virus mononucleosis pada populasi umum dan

merupakan pathogen penting pada host immunocompromised termasuk pasien AIDS. Resiko

terpapar CMV meningkat sesuai umur dimana kejadian pada usia tua ditemukan lebih banyak.

Seperti herpesvirus lain, CMV tetap tinggal secara laten pada host terinfeksi seumur hidup dan

jarang mengalami reaktivasi kecuali pada individu immunocompromised. Prevalensi infeksi

CMV lebih tinggi pada populasi dengan resiko infeksi HIV sekitar 75% dari pengguna obat

injeksi dan >90% pada pria homoseksual.

Patogenesis

Pada pasien dengan AIDS, penurunan fungsi immune secara progresif dan secara spesifik

imunitas termediasi sel, memungkinkan reaktivasi dan replikasi CMV untuk terjadi. Ekskresi

urin asimptomatik pada CMV dapat terdeteksi sekitar 50% kejadian saat hitungan limfosit CD4

<100 sel/ µL. Tranmisi antar sel menyebabkan nekrosis jaringan sehubungan dengan inflamasi

nonspesifik. Episode viremia CMV transient juga dapat terjadi, walaupun tidak terdapat hubungan klinis

dengan viremia secara pasti, menyebabkan diseminasi CMV pada organ lain

Gejala klinis

Sebuah sindrom klinis yang berbeda didapatkan pada pasien AIDS dengan CMV seperti

radikulopati, sebuah sindrom medulla spinalis yang ditandai dengan nyeri dan kelemahan

ekstremitas bawah, spastisitas, arefleksia, retensi urin, dan hipoestesia. Pada CSF ditemukan

infeksi virus atipikal, polimorfonuklear pleositosis, dan konsentrasi gula yang rendah. Kultur

CSF dapat member hasil negative, tetapi DNA assay dan antigen biasanya positif.

Ensefalitis CMV pada pasien ditandai dengan perubahan sifat, kesulitan berkonsentrasi, nyeri

kepala, dan somnolen. Diagnosis dapat ditegakan dengan biopsy otak, dengan ditemukannya

periventricular necrosis, giant cells, intranuclear, intrasitoplasmik inklusi, kultur CMV positif

atau dengan identifitkasi strain antigen dan DNA assay jaringan otak atau CSF.

Pengobatan

Ganciclovir

Ganciclovir (Ctovene, DHPG) merupakan sebuah analog nuklosida asiklik dari guanine yang

merupakan inhibitor poten dari repiklasi CMV. Ganciclovir secara cepat difosforilasi didalam sel

yang terinfeksi virus. Ganciclovir trifosfat secara kompetiti menginhibisi pengikatan trifosfat

deoxyguanosin pada DNA polymerase, dengan hasil inhibisi sintesis DNA dan terminasi

elongasi DNA.

Untuk induksi terapi, ganciclovir diberikan secara IV dengan dosis 5 mg/kg dua kali sehari

selama 2 hingga 3 minggu atau sampai terjadi stabilisasi. Terapi maintenance dengan ganciclovir

(5 mg/kg) diberikan sehari sekali. Ganciclovir melalui eliminasi renal, sehingga pada pasien

dengan insufisiensi renal perlu dilakukan penyesuaian dosis. Namun, ganciclovir IV telah dapat

digantikan oleh valganciclovir (Valcyte), prodrug oral dari ganciclovir. Valganciclovir pada

dosis 900 mg (2 tablet 450 mg) secara oral memberikan hasil sama dengan ganciclovir IV 5

mg/kg, dan menunjukan efikasi yang sama dengan pengobatan IV.

Foscarnet

Foscarnet (Foscavir, trisodium phosphonoformate) merupakan analog pyrophosphate dengan

aktifitas vitro melawan semua jenis herpes virus. Tidak seperti ganciclovir, foscarnet tidak

memerlukan fosforilasi intraseluler untuk menginhibisi polimerasi DNA virus, sehingga

mempertahankan aktivitas pada CMV resisten ganciclovir.

Foscarnet IV 90 mg/kg dengan infuse pump selama 1 jam dengan 1L normal saline 2 kali sehari

selama 2 hingga 3 minggu pada terapi induksi. Maintenance terapi dengan foscarnet (90-120

mg/kg) diberikan selama 2 jam dengan 1L IV normal saline sekali sehari. Foscarnet dieliminasi

melalui ginjal dan perlu dilakukan monitoring fungsi renal dua kali seminggu.

Cidofovir

Cidofovir merupakan analog nukleotida dengan waktu paruh lebih panjang secara intraseluler

dan aktivitas poten melawan herpesvirus broad spectrum, termasuk CMV. Sebagai nukleotida,

cidofovir tidak memerlukan aktivasi virus termediasi fosforilasi dan dapat mempertahankan

aktivitas terhadap CMV resisten ganciclovir karena mutasi kinase pada fosforilasi ganciclovir.

Cidofovir diberikan secara IV 5mg/kg sekali seminggu selama 2 minggu diikuti terapi

maintenance 5mg/kg setiap 2 minggu. Pada hari obat diberikan, pasien harus menerima 4 g

probenecid oral untuk mengurangi uptake ginjal pada cidofovir ( probenecid diberikan 3 jam

preinfusi dan 1 g 2 jam dan 8 jam postinfusi) Pasien yang dapat mentoleransi loading cairan juga

menerima 2 L IV hidrasi normal saline tiap infuse cidofovir.

5. Meningitis Tuberkulosis7,8

Infeksi tuberculosis (TBC) merupakan salah satu infeksi oportunistik pada penderita HIV yang

dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan data dari WHO dan UNAIDS, pada akhir tahun

2000, sekitar 11,5 juta orang yang terinfeksi HIV juga terinfeksi TBC, dan 20% diantaranya

berada di Asia Tenggara. Lebih dari 12% dari seluruh penderita HIV di dunia meninggal karena

infeksi TBC, dan resiko tertular TBC meningkat 10 kali lipat pada penderita HIV dibandingkan

dengan yang bukan penderita HIV. Di Indonesia jumlah penderita TBC menempati peringkat

ketiga di seluruh dunia dan jumlahna dapat bertambah seiring dengan peningkatan penderita HIV

di Indonesia. Manifestasi klinis dari infeksi TBC di otak bermacam-macam. Diantaranya radang

selaput otak atau meningitis dan tuberkuloma yang gambaran radiologisnya mirip dengan infeksi

toksoplasma dan limfoma. Infeksi TBC di otak pada penderita HIV sendiri dapat terjadi pada

stadium awal HIV, stadium lanjut dan pada keadaan Immune Reconstruction Syndrome (IRIS).

Meningitis TBC merupakan salah satu infeksi otak yang tersering pada penderita HIZ setelah

infeksi toksoplasma. Mengenali gejala dan menegakkan diagnosis meningitis TBC merupakan

hal penting karena dapat disembuhkan pada penderita HIV sekalipun

Patofisiologi

Awal infeksi di SSP berawal dari penyebaran secara hematogen dimana basil TBC ini masuk ke

otak melalui pleksus koroideus. Hal ini dapat terjadi pada fase infeksi primer, ataupun saat

reaktivasi. Kemudia terjadi hal yang sama seperti infeksi tuberculosis di paru-paru sehingga

timbul tuberkel-tuberkel kecil yang terdiri dari jaringan nekrotik di tengah dan dikelilingi oleh

makrofag dan limfosit. Lesi ini disebut juga rich foci dapat diteumakn di meningen otak, di

dalam parenkim otak atau di medulla spinalis. Perbedaan organ paru dan otak adalah di otak

terdapat sawar darah otak yang melindungi otak dari antigen. Sawar darah otak ini dibentuk oleh

kapiler intraparenkimal, berfungsi sebagai pertahanan yang dapat mencegah difusi obat dan

faktor-faktor radang ke parenkim otak. Namun pada keadaan inflamasi permeabilitas sawar

darah otak terganggu sehingga faktor-faktor inflamasi sendiri berpindah dari pembuluh darah ke

jaringan. Selain itu otak tidak mempunyai sistem limfe atau jaringan retikuloendotelial sehingga

tidak ada sistem yang menyaring kuman atau antigen dari pembuluh darah, akibatnya basil

tuberculosis terperangkap dalam otak. Bila lesi-lesi yang terletak di permukaan otak rupture dan

cairan kaseosa mengalir ke area subarachnoid atau ke daerah ventrikel dan menyebabkan

meningitis. Sedangkan lesi-lesi yang terletak di dalam parenkim otak dan membesar akan

membentuk tuberkuloma. Tuberkel-tuberkel kecil di otak yang multiple akan member gambaran

tuberculosis milier di otak. Tuberkel sering ditemukan di fissure Sylvii, dekat pre atau post vena

centrlis. Tuberkel milier juga bias ditemukan di dasar otak, ependyma, dan kadang-kadang

tersebar di seluruh otak. Alasan mengapa ada tuberkel yang membesar membentuk tuberkuloma,

dan yang lain tidak membesar belum diketahui

Gejala klinis

Secara klinis infeksi tuberculosis di otak memberkan gambaran yang bervariasi. Biasanya pasien

mengeluh lemah, atau terdapat perubahan kepribadian. Selain itu keluhan pasien juga dapat

berupa sakit kepala yang hilang timbul disertai atau tanpa mual muntah, bahkan kejang.

Keluhan-keluhan ini muncul sekitar 2-3 minggu bahkan lebih. Pemeriksaan fisik yang ditemukan

adalah penurnan kesadaran, demam ringan, adanya tanda rangsang meningeal berupa kaku

kuduk, parese syaraf kranialis hemiparese, dan papil edema. Hal penting yang harus diingat

infeksi TBC otak pada stadium awal belum memberikan tanda khas meningitis berupa kaku

kuduk.

Stadium 1 Tidak ada tanda spesifik

Tidak ada perubahan kesadaran

Belum ada defisit neurologis

Stadium 2 Lemah/Perubahan kepribadian

Kaku kuduk/iritasi meningen

Defisit neurologis minor berupa parese syaraf cranial

Stadium 3 Stupor/koma

Kejang

Defisit neurologis berat berupa hemiparesis

Pada penderita HIV, kecurigaan terhadap infeksi TBC di otak tidak selalu ditemukan bersamaan

dengan infeksi TBC di pari-paru. Terkadang gambaran adiologis thorax normal terutama bila

penderita HIV memiliki status imun yang buruk. Gambaran thorax TBC baru ditemukan pada

penderita HIV setelah diberikan obat anti tuberculosis (OAT) dan status imun yang mulai

membaik. Hal ini terjadi pada stadium IRIS. Oleh karena itu gejala, tanda, riwayat pernah

meminum OAT dan kontak dengan penderita TBC merupakan hal penting yang harus ditanyakan

pada anamnesis. Setelah itu barulah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk lebih menegakan

diagnosis infeksi TBC di otak.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis tuberkuloss diantaranya terdapat limfositosis, laju

endap darah (LED) yang meningkat, sputum basil tahan asam (BTA), foto Roentgen thorax,

pemeriksaan cairan otak, dan CT-Scan kepala. Limfositosis darah ditemukan dari pemeriksaan

hitung jenis leukosit. Tetapi karena penderita HIV mengalami gangguan sistem imun, maka

limfositosis tidak selalu ditemukan. Sputum BTA dapat negative, dan terkadang sering

ditemukan ro thoraz yang normal atau non spesifik pada penderita HIV-TBC. CT Scan kepala

dengan kontras dapat ditemukan gambaran ventrikulitis, tuberkuloma, atau bahkan normal.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pengambilan cairan otak/lumbar puncture (LP).

LP dapat membedakan jenis infeksi otak, apakah disebabkan oleh TBC atau bakteri lain.

Gambaran cairan otak pada infeksi TBC akan terlihan pleositosis limfositer (100-400), protein

yang meningkat (100-500 g/dl), glukosa menurun, kadang ditemukan adanya BTA namun

peluangna <10%. Polymerase Chain Reaction (PCR) tuberkulosa cairan otak dapat diperiksa

dengan sensitivitas 48% dan spesifitas 100%. Bila PCR TB analisa cairan otak positif, dianggap

spesifik untuk tuberculosis.

Pengobatan infeksi TBC di otak

Pengobatan dapat dimulai bila terdapat gejala klinis dan pemeriksaan penunjang yang sesuai

untuk TBC. Pengobatan yang sesuai untuk meningitis tuberculosis adalah Rifampisin (R),

isoniazid (H), etambutol (E), dan pirazinamid (Z) selama 9-12 bulan. Panduan OAT yang

diberikan 2RHZE/-10RH. Isoniazid (INH) memiliki efek bakterisidal dan bakteriostatik, bekerja

dengan menghambat asam mikolat diberikan 5mg/kgBB/hari. Untuk mencegah timbulnya

neuropati perifer akibat INH diberikan piridoksin (B6) 25-50 mg/kgBB/hari. Rifampisin bekerja

secara bakterisidal dengan menghambat DNA dependent RNA polymerase diberikan 10

mg/kgBB/hari. Etambutol memiliki efek bakteriostatik dengan menginhibisi arabynosil

transferase diberikan 15-25 mg/kgBB/hari. Pirazinamid memiliki efek bakterisidal dengan cara

yang belum diketahui diberikan 15-30 mg/kbBB/hari. Selain itu diberikan juga dexamethasone

untuk mengurangi efek inflamasi di otak. Indikasi untuk pemberian kortikosteroid untuk

tuberculosis SSP adalah peningkatan tekanan intracranial, edema serebri, defisit neurologis

fokal, hidrosefalus, infark, dan adanya meningitis basalis.

Pengobatan infeksi TBC otak 2 bulan pertama

Obat Dosis

INH 300 mg 1x sehari

Rifampisin 450 mg 1x sehari sebelum makan pagi

Pyrazinamid 500 mg 3 x 1 tablet sehari setelah makan

Ethambutol 250 mg 3 x 2 tablet sehari

Pengobatan infeksi TBC otak 7-10 bulan berikutnya

Obat Dosis

INH 300 mg 1x sehari

Rifampisin 450 mg 1 x sehari sebelum makan pagi

Bila terdapat putus obat diberikan kategori 2 dengan menyertakan Streptomisin injeksi 750 mg

1x sehari untuk 2 bulan pertama, selanjutnanya dengan INH dan Rifampisin 7-10 bulan. Untuk

menilai respons terapi dengan mudah adalah dengan menilai perbaikan secara klinis. Bila dalam

2 minggu terapi tidak terdapat perbaikan, pertimbangkan untuk mengesplorasi penyebab lain

selain TBC.

6. Lymphoma Primer CNS7,8

Walaupun Kaposi sarcoma (KS) merupakan neoplasma sistemik paling umum pada HIV, namun

penyebarannya pada CNS jarang terjadi. Diantara kanker sistemik, lymphoma non-Hodgkin

merupakan penyebab penting dari disfungsi neurologis pada HIV dan menginvasi CNS dengan

menyebar melalui leptomeningens. Tanda dan gejala seperti palsy nervus cranial dan

poliradikulopathy, dan myelopathy karena metastasis epidural yang menekan medulla spinalis.

Massa intraparenkim jarang terjadi. Primary CNS lymphoma (PCNSL) merupakan penyebab

umum lesi massa cerebral pada pasien dengan AIDS. Tanda dan gejala yang paling sering terjadi

berupa confusion, lethargy, dan perubahan sifat, biasanya dengan defisit focal, seperti

hemiparesis, kehilangan hemisensory, ataxia, aphasia. Kejang lebih jarang terjadi, tapi

ditemukan pada beberapa kasus. Pada CT atau MRI, lesi dapat ditemukan secara tunggal atau

multiple. Pada injeksi kontras ditemukan peningkatan kontras secara difus atau dalam bentuk

cincin. Sekitar setengah lesi berhubungan dengan edema dan efek massa, tetapi pada derajat

pembengkakan yg biasanya ringan relative terhadap ukuran tumor. Lokasi paling sering pada

substansia alba periventrikuler, dan pada substansia grisea dalam. Primary CNS lymphoma dapat

dibedakan secara radiologi dari toxoplasmosis; namun, lesi tunggal pada MRI pada pasien AIDS

menyerupai lymphoma. Diagnosa definitive membutuhkan biopsy otak atau hasil positif pada

sitologi CSF. Assay special untuk mendeteksi marker clonal pada CSF dapat membantu

diagnosis. Sebelum ketersediaan pengobatan antiretroviral efektif, pendekatan awal dengan

evaluasi ulang secara klinis dan radiologi. Radiasi otak (4000 hingga 5000 cGy selama 3

minggu) memperpanjang survival pada beberapa pasien dengan AIDS. Tumor bersifat

radiosensitive, tetapi rasio kekambuhan tinggi. Secara keseluruhan, pasien yang diobati

mempunyai harapan hidup lebih tinggi dan lebih kebal terhadap infeksi oportunistik dibanding

lymphoma, Dexamethasone, yang limpholitik juga efektif terhadap edema yg berasosiasi oleh

tumor, dapat digunakan untuk mengontrol gejala.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mbita Z, Hull R, Dlamini Z. Human Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1)-Mediated

Apoptosis: New Therapeutic Targets. Viruses. 2014;6(8):3181-3227.

2. Bennett NJ. HIV Disease : MedlinePlus Medical Encyclopedia [Internet]. Nlm.nih.gov.

2015 [23 January 2015]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/211316-

overview

3. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of

antiretroviral agents in HIV-1-infected adults and adolescents. Department of Health and

Human Services. Available at

http://www.aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/AdultandAdolescentGL.pdf. [Cited 4 April

2016].

4. Rani P. Central Nervous System Complications in HIV [Internet]. medscape. 2016 [cited

4 April 2016]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1167008-overview

5. Neurological Complications of HIV [Internet]. Hopkinsmedicine.org. 2016 [cited 4 April

2016]. Available from:

http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/nervous_system_disorders/

neurological_complications_

6. Marcelena R, Rengganis I.Infeksi HIV/AIDS. Kapita Selekta. 4th ed. 573-83. Jakarta:

Media Aesculapius; 2014.

7. Modul Kursus Dasar NeuroAIDS 2011. Jakarta: 21-22 Maret 2011.

8. Neurologic Manifestation of HIV [Internet]. hivinsite.ucsf.edu. 2016 [cited 4 April 2016].

Available from: http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-01-02#S1.2X