Responsi Hiv
-
Upload
muhdsuhail -
Category
Documents
-
view
878 -
download
10
Transcript of Responsi Hiv
RESPONSI TROPIK INFEKSI
HIV/AIDS dengan PCP
Oleh:
Mira Kusuma Wardhani (0710710006)
Vicia Belladona C H (0710713036)
Jarret R. A/L Selvarajo (0710714012)
Shamini Senglo Raja (0710714044)
Pembimbing:
dr. Niniek, Sp.PD-KPTI
LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Sejarah
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Imunodeficiency Virus) yang
termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahapan akhir dari infeksi HIV.
HIV/AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu
masalah kesehatan yang sedang dihadapi masyarakat dunia akhir-akhir ini. Saat
ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV (Human Immunodeficiency Virus)
maupun AIDS. HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi yaitu krisis
kesehatan, pembangunan negara, ekonomi, pendidikan maupun kemanusiaan
(Djoerban, Djauzi. 2006).
Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun
demikian, dari beberapa literatur sebelumnya ditemukan kasus yang cocok
dengan definisi surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika
Serikat. Sampel jaringan potong beku dan serum dari seorang pria berusia 15
tahun di St. Louis, AS, yang dirawat dengan dan meninggal akibat Sarkoma
Kaposi diseminata dan agresif pada 1968, menunjukkan antibodi HIV positif
dengan Western Blot dan antigen HIV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak
pernah pergi ke luar negeri sebelumnya, sehingga diduga penularanya berasal
dari orang lain yang juga tinggal di AS pada tahun 1960-an atau lebih awal
(Ditjen PPM, 2003).
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan kasus
tertinggi. Pada akhir tahun 1996, kasus HIV/AIDS yang tercatat di Depkes RI
pusat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia) berjumlah 501 orang, terdiri
dari 119 kasus AIDS dan 382 HIV yang dilaporkan dari 19 propinsi (Ditjen PPM &
PL Depkes RI. 2010).
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan sesara resmi oleh
Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di
Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985
yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga
kali diulang menyatakan hasil positif.Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu
2
dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negative sehingga tidak dilaporkan
sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986
di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan termasuk jenis non –
progesor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalanya cukup baik selama 17
tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta
masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002 (Ditjen
PPM, 2003).
Epidemiologi HIV di indonesiia menunjukkan pertumbuhan paling cepat di
Asia, paling utama terkonsentrasi pada kelompok tertentu seperti intravenous
drug users (IDUs), pekerja seks, pelanggan mereka, dan homoseksual. Jumlah
secara kumulatif kasus penderita AIDS yang dilaporkan menunjukkan
peningkatan tajam dari 2.682 kasus pada tahun 2004 menjadi 19.973 kasus
pada akhir tahun 2009. Berdasarkan kelompok usia, kasus AIDS paling sering
pada kelompok usia produktif (15-49 tahun) dan kondisi ini tidak berubah banyak
seiring dengan perubahan epidemiologi. Tingkat penyebarannya juga semakin
meningkat, pada tahun 2004 dari 33 provinsi 16 provinsi saja yang melaporkan
kasus kejadian AIDS di daerah sedangkan pada tahun 2009 seluruh provinsi
melaporkan kasus kejadian AIDS (National AIDS commision of Republic
Indonesia, 2009).
Dari uraian di atas, maka penting bagi kita untuk mengenali gejala HIV /
AIDS secara dini terutama bagi para klinisi, oleh karena itu pada responsi kasus
kali ini, kami akan membahas diagnosis dan penatalaksanaan HIV / AIDS.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara untuk menegakkan diagnosa dan penatalaksanaan HIV /
AIDS?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosa dan dan penatalaksanaan
HIV / AIDS .
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV
(Djoerban, Djauzi, 2006)
2.2 Epidemiologi
Penularan HIV / AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang
mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual
maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfuse
komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Oleh
karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV / AIDS misalnya pengguna
narkotika, pekerja seks komersil dan pelangganya serta narapidana (Djoerban,
Djauzi, 2006).
Epidemiologi HIV di indonesia menunjukkan pertumbuhan paling cepat di
Asia, paling utama terkonsentrasi pada kelompok tertentu seperti intravenous
drug users (IDUs), pekerja seks, pelanggan mereka, dan homoseksual. Jumlah
secara kumulatif kasus penderita AIDS yang dilaporkan menunjukkan
peningkatan tajam dari 2.682 kasus pada tahun 2004 menjadi 19.973 kasus
pada akhir tahun 2009. Berdasarkan kelompok usia, kasus AIDS paling sering
pada kelompok usia produktif (15-49 tahun) dan kondisi ini tidak berubah banyak
seiring dengan perubahan epidemiologi. Tingkat penyebarannya juga semakin
meningkat, pada tahun 2004 dari 33 provinsi 16 provinsi saja yang melaporkan
kasus kejadian AIDS di daerah sedangkan pada tahun 2009 seluruh provinsi
melaporkan kasus kejadian AIDS (National AIDS commision of Republic
Indonesia, 2009).
4
Gambar. 2.1 Gambaran demografik epidemiologi HIV di Indonesia
AIDS adalah sebuah ancaman besar bagi suatu negara meski upaya
pencegahan dan pengobatan sudah dilaksanankan. Berdasarkan analisis dan
proyeksi model matematika, dengan menggunakan demografik, behavioral dan
epidemiologikal data terbaru hal berikut ini dapat diperkirakan terjadi:
Prevalensi HIV pada usia 15-49 tahun meningkat dari 0,22% pada tahun
2008 menjadi 0,37% pada tahun 2014
Akan terjadi peningkatan jumlah penderita HIV wanita yang mana akan
memicu peningkatan jumlah kasus baru HIV pada anak.
Akan terjadi peningkatan kasus baru yang signifikan pada kelompok
homoseksual.
Akan terjadi peningkatan infeksi HIV pada rekan intim kelompok kunci.
Jumlah ODHA akan meningkat dari 372.800 di tahun 2010 menjadi
541.700 di tahun 2014.
Jumlah pasien yang membutuhkan ART akan meningkat dari 50.400
orang tahun 2010 menjadi 86.800 di tahun 2014. Jumlah ODHA yang
membutuhkan ART akan tetap meningkat dengan terjadi perubahan
kriteria terapi berdasarkan jumlah CD4 dari 299 menjadi 350 (National
AIDS commision of Republic Indonesia, 2009).
5
2.3 Patogenesis
Gambar 2. 2 Proses terjadinya infeksi HIV (Siregar, 2004)
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.(Djoerban, 1999).
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada molekul infeksi akut
Simian Imunodeficiency Virus (SIV).SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan
monosit pada mukosa vagina.Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke
kelenjar getah bening regional.Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar
getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi.Sel individual di kelenjar getah
bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ
dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7 – 21 hari
setelah infeksi.Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah
bening beerhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV.Jumlah sel yang
megekpresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan
dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik.Koinsiden
dengan menghilangya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8.Walaupun
demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan
kontrol optimal terhadap replikasi HIV.Replikasi HIV berada pada keadaan
6
‘steady – state’ beberapa bulan setelah infeksi.Kondisi ini bertahan relative stabil
selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi.Faktor yang
mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan
kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan
heterogenitas intrinsik pejamu (Djoerban, 1999).
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,
namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai ke level ‘steady – state’. Walaupun antibodi ini umumnya
memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata
tidak dapat mematikan virus.Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi
dengan melakukan adaptasi pada amplop-nya, termasuk kemampuanya
mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah
sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi (Djoerban,
1999).
Gambar 2.3 Manifestasi klinik AIDS (WHO, 2010)
7
2.4 Diagnosis HIV / AIDS
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita perlu dilakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan tes laboratorium. Apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibody
atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh maka penderita
dinyatakan terinfeksi HIV.
Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat
infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel / mm3.
Tabel 2.1 Cara menentukan diagnosis dini infeksi HIV berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik (WHO, 2010)
2. 4. 1 Infeksi Oportunistik / Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis
AIDS
Cytomegalovirus (CMV) (selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening)
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV (a)
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasive
8
Koksidiodomikosis, diseminata atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Leukoensefaloapti multifocal progresif
Limfoma, Burkitt
Limfoma, imunoblastik
Limfoma, primer pada otak
Mikrobakterium avium kompleks atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mikobakterium tuberculosis, paru atau ekstraparu
Mikobakterium, spesies lain atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi,
diseminata atau ekstrapulmoner
Pneumonia Pneumcystis carinii
Pneumonia rekuren (b)
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome (c)
NB :
(a) Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
menggangu kerja atau aktivitas sehari – hari, tanpa dapat dijelaskan oleh
penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemriksaan lumbal punksi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT Scan atau MRI)
(b) Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
(c) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10 % ditambah diare kronik
(minimal 2 kali selama > 30 hari, intermitten atau konstan), tanpa dapat
dijelaskan oleh penyakit / kondisi lain (mis : kanker, tuberculosis, enteritis
spesifik) selain HIV
Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa ( > 12 tahun )
dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi
pemeriksaan yang sesuai dan sekurang – kurangnya didapatkan 2 gejala mayor
dan 1 gejala minor dan gejala – gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan –
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan HIV :
9
1. Gejala Mayor : Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang
berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan,
penurunan kesadaran dan gangguan neurologis, demensia atau HIV
ensefalopati.
2. Gejala Minor : Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yang
gatal, adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, kandidiasis oro –
faringeal, herpes simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi
jamur berulang pada alat kelamin perempuan
2.5 Tes HIV
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah
seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala
klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun – tahun lamanya.Terdapat
beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi
HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi :
1. Pemeriksaan serologic untuk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV
2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.
Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan
biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien
(UNAIDS,1997).
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan
terhadap antibody HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik :
1. ELISA ( enzyme – linked immunosorbent assay )
2.Aglutinasi atau dot – blot immunobinding assay.
Metode yang biasa digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA
(UNAIDS,1997)
2.6 Stadium Klinis HIV/AIDS
WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak
dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat
dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai
berikut (WHO. 2009):
Stage 1
1. Asimtomatik
2. Persisten generalize limfadenopati
10
Stage 2
1. Penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya (< 10% dari berat
badan)
2. Infeksi saluran nafas atas berulang
3. Herpes zoster
4. Angular cheilitis
5. Ulkus oral berulang ( 2x atau lebih dalam 6 bulan)
6. Erupsi Papular pruritik
7. Dermatitis seboroik
8. Infeksi jamur pada kuku
Stage 3
1. Penurunan berat badan yang berat (> 10% berat badan)
2. Kronik diare selama lebih dari 1 bulan
3. Demam yang persisten (intermiten atau konstan selama lebih dari 1
bulan)
4. Oral kandidiasis
5. Oral hairy leukoplaki
6. TB paru
7. Infeksi bakteri yang berat (pneumonia, meningitis, empyema, infeksi
sendi, PID)
8. Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodantitis
9. Anemia (<8g/dl), neutropenia (<500 sel/ml), trombositopenia (<50.000 )
Stage 4
1. HIV wasting syndrome
2. Penumocystis pneumonia
3. Pneumonia bakterial berulang ( episode saat ini ditambah satu atau lebih
dalam 6 bulan terakhir)
4. Kronik herpes simplek virus (orolabial, genital, anorektal) lebih dari 1
bulan atau pada area tertentu dengan durasi tertentu
5. Esofageal candidiasis
6. TB ekstraparu
7. Kapossi sarkoma
8. Cytomegalovirus disease
11
9. CNS toxoplasmosis
10. HIV encefalopati
11. Kriptokokosis ekstraparu (termasuk meningitis)
12. Disseminated non TB infection
13. Progresif multifokal leukoensefalopati
14. Criptosporodiosis (diare lebih dari 1 bulan)
15. Kronik isosporiasis
16. Diseminated mikosis (cocidiomikosis, histoplasmosis)
17. Septicemia berulang (termasuk non-typhoid salmonella)
18. Lympoma (cerebral atau B cell non-Hodgkin atau solid HIV-assosiated
tumor)
19. Invasive cervical carsinoma
20. Atipikal disseminated leishmaniasis
21. HIV assosiated nefropati
22. HIV assosiated cardiomiopati
2.8 Penatalaksanaan
HIV / AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara
total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV ( obat
anti retroviral, disingkat obat ARV ) bermanfaat menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV / AIDS menjadi lebih sehat,
dapat bekerja normal dan produktif.Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem
kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi
oportunistik.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis yaitu :
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV)
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV / AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma,
sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan
pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan
hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
12
2.9 Terapi Antiretroviral (ARV)
Gambar 2.4 Langkah-langkah dalam pengobatan infeksi HIV (WHO, 2010)
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadi
jauh lebih baik.Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi
lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti
infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan.
Pneumonia Pneumocystis carinii pada odha yang hilang timbul, biasanya
mengharuskan odha minum obat infeksi agar tidak kambuh.Namun sekarang
dengan minum obat ARV teratur, banyak odha yang tidak memerlukan minum
obat profilaksis terhadap pneumonia.
Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti
Sarkoma Kaposi dan limfoma dikarenakan pemberian obat – obat antiretroviral
tersebut.Sarcoma Kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan
khusus.Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi
sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan Sarkoma
Kaposi.Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat
membentuk respons imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV – 8)
yang dihubungkan dengan kejadian Sarcoma Kaposi.
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside
reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease.Tidak semua ARV tersedia
di Indonesia.
13
Tabel 2.2 Obat ARV yang Beredar di Indonesia
Nama
Dagang
Nama
Generik
Golongan Sediaan Dosis (per
hari)
Duviral Tablet. Kandungan
: zidovudin 300
mg + lamivudin
150 mg
2 x 1 tablet
Stavir, Zerit Stavudin
(d4T)
NsRTI Kapsul : 30 mg, 40
mg
> 60 kg : 2 x 40 mg
< 60 kg : 2 x 30 mg
Hiviral, 3TC Lamivudin
(3TC)
NsRTI Tablet 150 mg Lar.
Oral 10 mg / ml
2 x 150 mg.
< 50 kg : 2mg/kg,
2x/hr
Viramune,
Neviral
Nevirapin
(NVP)
NNRTI Tablet 200
mg
1 x 200 mg selama
14 hari, dilanjutkan
2 x 200 mg
Retrovir, Adovi,
Avirzid
Zidovudin (ZDV,
AZT)NsRTI Kapsul 100
mg
2 x 300 mg, atau 2
x 250 mg
Videx Didanosin
(ddI)
NsRTI Tablet kunyah
100 mg
> 60 kg : 2 x 200
mg, atau 1 x 400
mg
< 60 kg : 2 x 125
mg, atau 1 x 250
mg
Stocrin Efavirenz (EFV,
EFZ)NNRTI Kapsul 200
mg
1 x 600 mg, malam
Nelvex,
Viracept
Nelfinavir
(NFV)
PI Tablet 250
mg
2 x 1250 mg
14
Kriteria memulai terapi antiretroviral dapat diperlihatkan pada tabel berikut:
Tabel 2.3 Kriteria memulai terapi antiretroviral
15
Tabel 2.4 Pilihan terapi antiretroviral
Tabel. 2.5 Second line terapi antiretroviral pilihan
16
Guideline rekomendasi memulai terapi antiretroviral didasarkan pada kriteria
berikut:
1. ART direkomendasikan untuk semua pasien dengan CD4 ≤350 cells/mm3,
dengan tidak memperdulikan stadium klinis WHO
2. Pasien dengan stadium klinis WHO stadium 1 dan stadium 2 perlu dicek CD4
dahulu sebelum memulai terapi ART
3. ART direkomendasikan untuk pasien dengan stadium klinis WHO stadium 3
dan stadium 4 tanpa memperdulikan jumlah CD4
17
Tabel 2.6 Kriteria inisiasi ART pada populasi spesifik
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah
kombinasi dari 3 obat ARV.Terdapat beberaoa regimen yang dapat
dipergunakan (Tabel 4), dengan keunggulan dan kerugianya masing –
masing.Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan di
Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV) / lamivudin (3TC), dengan nevirapin
(NVP).
Tabel 2.7 Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial
Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + stavudin
Evafirenz *
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Nevirapin
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Nelvinafir
* Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang
berpotensi tinggi untuk hamil.
Catatan : kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah : zidovudin + stavudin.
18
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti
pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang
mengandung virus HIV (post – exposure prophylaxis) dan pencegahan penularan
dari ibu ke bayi.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian
obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada
beberapa bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya.Efektivitas penularan
HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10 – 30 %. Artinya dari 100 ibu hamil yang
terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular. Sebagian besar
penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui
plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melaui air susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV.Obat
ARV yang dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau
nevirapin.Pemberian nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat
mudah untuk diterapkan dan ekonomis.Sebetulnya pilihan yang terbaik adalah
pemberian ARV yang dikombinasikan dengan operasi Caesar, karena dapat
menekan penularan sampai 1 %.Namun sayangnya di negara berkembang
seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi section caesaria yang
murah dan aman.
Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi
lini pertama dan didapat tanda kegagalan terapi maka dapat dipertimbangkan
penggantian ART pada lini kedua, berikut algoritma untuk menentukan saat
penggantian lini pengobatan:
19
Gambar 2.5. Algoritma penggantian ART
2.10 Definisi
Pneumocystis carinii Pneumonia (PCP) adalah infeksi oportunis paling
mengancam jiwa pada pasien dengan AIDS. PCP Taksonomi dari organisme
masih belum jelas, telah digolongkan sebagai protozoa dan fungi.
Pneumonia umumnya ditemukan di paru-paru orang sehat, tapi menjadi sumber
infeksi oportunistik dapat menyebabkan infeksi paru-paru pada orang dengan
sistem kekebalan tubuh yang lemah. Pneumonia Pneumocystis terutama terlihat
pada penderita kanker, HIV / AIDS dan penggunaan obat yang mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh (Brooks, 1996)
2.11 Etiologi
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi pada paru yang
disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan nama
Pneumocystis jiroveci, sebagai tanda penghormatan kepada ahli parasitology
berkebangsaan Cechnya; Otto Jirovec. Organisme ini pertama kali ditemukan
20
oleh Chagas (1909). Sekarang penyait ini merupakan infeksi oportunis
berbahaya yang paling sering terjadi pada pasien AIDS (Shulman, 1994).
2.12 Taksonomi
Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jiroveci.
Pada awalnya sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jiroveci dalam
golongan protozoa, apalagi sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam sub
klas Coccidiomorpha , klas Sporozoa dari protozoa. Penggolongan ke dalam
protozoa ini dikarenakan karakteristik strukturnya yang menyerupai Toksoplasma
gondii dan sensitif terhadap preparat obat anti parasit, antara lain pentamidin
isethionat, pirimetamin, sulfadiazine, trimetoprim + sulfametoksazol (Gajdusek,
1957; Frenkel et al., 1966; Ham et al., 1971). Hal ini diperkuat oleh Yoneda et al.
(1982) yang berdasarkan pemeriksaannya dengan mikroskop elektron dan
“freeze fracture microscopy” memastikan bahwa Pneumocystis jiroveci adalah
suatu protozoa. Namun studi terbaru berdasarkan penelitian biologi molekuler
asam nukleat RNA ribosom dan biokimianya, Pneumocystis jiroveci dimasukkan
ke dalam golongan fungus (= jamur) yang berhubungan erat dengan
Askomikotina (Sisirawaty, 1989).
Nomenklatur terbaru Pneumocystis jiroveci, dikutip dari Wikipedia.
Kingdom : Fungi
Subkingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Taphrinomycotina
Class : Pneumocystidomycetes
Order : Pneumocystidales
Family : Pneumocystidaceae
Genus : Pneumocystis
Species : P. jiroveci
21
2.13 Epidemiologi
Distribusinya luas di seluruh dunia, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Pada
manusia, PCP lebih sering terjadi secara sporadik, jarang menimbulkan
epidemi(Johnson et al., 1970; Peneral et al., 1970) dan terjadi pada semua
golongan umur (Singer et al., 1975).
PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang menurun,
seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang premature dan
mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal
1980-an, PCP jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi
protein atau penderita ALL (Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien –
pasien yang mendapat terapi kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini
umumnya sering dihubungkan dengan dengan infeksi HIV lanjut (Brooks, 1996).
2.14 Morfologi dan siklus hidup
Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystis jiroveci menjadi 3
stadium, yaitu :
a.Stadium trofozoit
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1 – 5 μ dan memperbanyak diri
secara mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya sebagai
berikut : berdinding tipis (20 – 40 μ) dengan beberapa ekspansi tubular yang
disebut sebagai filopodium; umumnya mempunyai 1 inti tetapi kadang dapat lebih
dari 2 inti; mitokondria,retikulum endoplasmik yang kasar; benda – benda bulat
(round bodies dan vakuol – vakuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna
ungu gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas. Juga
dapat dilihat dengan pewarnaan “acridine orange”. Trofozoit yang kecil (1 – 1,5
μ) ditemukan di dekat kista yang berdinding tebal, berbentuk bulan sabit
menyerupai “intracystic bodies” (beberapa sumber menyatakan “intracystic
bodies” sebagai trofozoit yang sedang berkembang). Trofozoit yang besar
menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama
dengan trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseudopodium
sehingga berbentuk ameboid.
22
b. Stadium prakista Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan
kista. Bentuk oval, ukuran 3 – 5 μ dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40
– 120 μ) dengan jumlah inti 1 – 8. Dengan mikroskop, bentuk ini sukar dibedakan
dari stadium lainnya tetapi dinding yang lebih tebal dari stadium prakista dapat
diwarnai dengan “methenamine silver” (Matsumoto dan Yoshida, 1986).
c. Stadium kista Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis
(Matsumoto dan Yoshida, 1986), juga diduga sebagai bentuk infektif pada
manusia. Dengan mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat, bentuknya bulat
dengan diameter 3,5 - 12 μ (kurang lebih 6 μ), mengandung 8 sporozoit atau
trofozoit yang sedang berkembang (“intracystic bodies”)yang berdiameter 1 –
1,5μ. Sporozoit tersebut dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau
kadang – kadang terlihat kista berdinding tipis dengan suatu massa di tengah
yang homogen atau bervakuol. Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan
Giemsa atau dengan cara Gram – Weiger. Pewarnaan dengan Giemsa baik
untuk melihat bagian – bagian dari parasit. Kapsul berwarna ungu merah,
sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak mengambil warna dianggap
sebagai kista yang berdegenerasi. Untuk menemukan kista, pewarnaan yang
paling cocok adalah Gomori – Silver. Tapi dengan warna ini tidak mungkin
diperiksa susunan dalam kista secara detail. Kista dapat juga dilihat dengan
teknik fluoresen dilabel dengan antibody (Arean, 1971).
Gambar 2.5 Kista Pneumocystis jirovecii
Siklus Hidup
Siklus hidup yang komplit dari Pneumocystis jiroveci belum sepenuhnya
dimengerti, karena organisme ini belum berhasil diisolasi secara in-vitro dan
23
sangatlah sulit mengobservasi siklus hidupnya hanya dari klinis. Secara umum
siklus hidup dari berbagai variasi spesies Pneumocystis digambarkan oleh John
J. Ruffolo , Ph. D. (Cushion, MT, 1988) seperti pada gambar 1.Jamur ini
ditemukan pada paru – paru mamalia tempat jamur ini tinggal tanpa
menyebabkan infeksi yang nyata sampai sistem imun hospes melemah. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan pneumonia yang sering fatal (Manson,2001)).
Keterangan gambar : Fase aseksual : bentuk trofozoit (1) bereplikasi secara
mitosis (2) ke (3). Fase seksual : bentuk trofozoit yang haploid berkonjugasi (1)
dan menghasilkan zigot (early cyst, kista muda) yang diploid (2). Zigot membelah
diri secara meiosisdan dilanjutkan dengan membelah diri secara mitosis untuk
menghasilkan 8 nukleus yang haploid(late phase cyst, kista stadium lanjut). (3)
Kista stadium lanjut mengandung 8 sporozoit yang berisi spora yang kemudian
akan keluar setelah terjadi ekskistasi (diyakini bahwa pelepasan spora terjadi
saat terjadi pembelahan pada dinding sel) (4) . Stadium trofozoit, dimana
organisme ini mungkin berkembang biak melalui binary fission juga diketahui
ada.
24
2.15 . Patogenesis dan Patologi
Pneumocystis jiroveci berada tersebar dimana –mana sehingga hampir
semua orang telah pernah terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak –
kanak sebelum berusia 4 tahun. Transmisi Pneumocystis jiroveci dari orang ke
orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection” (tertelan ludah) dan
kontak langsung (Brown, 1975), dengan kista sebagai bentuk infektif pada
manusia. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi dari orang ke orang
melalui inhalasi. Juga dilaporkan bahwa transmisi dapat terjadi secara “in utero”
dari ibu kepada bayi yang dikandungnya (Singer et al., 1975), namun dengan
trofozoit sebagai bentuk infektifnya. Masa inkubasi ekstrinsik ( = prepaten period)
diperkirakan 20 -30 hari dengan durasi serangan selama 1 – 4 minggu. Masih
ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi infeksi laten yang telah
pernah didapat penderita sebelumnya atau karena paparan berulang dan
reinfeksi terhadap jamur ini. Namun diduga mekanisme infeksinya karena
menjadi aktifnya infeksi laten (Sheldon, 1959; Frenkel et al., 1966).
Organisme ini merupakan patogen ekstra seluler. Paru merupakan
tempat primer infeksi, biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan.
Tetapi dilaporkan bahwa infeksi Pneumocystis jiroveci bisa juga terdapat
ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar getah bening dan sum – sum tulang
(Jarnum et al., 1986; Barnet et al., 1969, Arean, 1971). Organisme umumnya
masuk melalui inhalasi dan melekat pada sel alveolar tipe I. Di paru,
pertumbuhannya terbatas pada permukaan surfaktan di atas epitel alveolar.
Pneumocystis jiroveci berkembang biak di paru dan merangsang pembentukan
eksudat yang eosinofilik dan berbuih yang mengisi ruang alveolar, mengandung
histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi dalam
paru sehingga menurunkan oksigenasi, interstisium menebal dan kemudian
fibrosis. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan kematian karena kegagalan
pernafasan akibat asfiksia yang terjadi karena blokade alveoli dan bronchial oleh
massa jamur yang berproliferasi tadi. Pada autopsi ditemukan paru bertambah
berat dan volumenya bertambah besar, pleura agak menebal. Penampang irisan
paru berwarna kelabu dan terlihat konsolidasi serta septum alveolus yang jelas.
Hiperplasia jaringan interstisial dan terinfiltrasi berat dengan sel mononukleus
dan sel plasma juga tampak. Karena itulah penyakitnya disebut “Pneumonia sel
plasma interstisial”. Dinding alveolus menebal dan alveolus berisi eksudat yang
25
amorf dan eosinofilik – memberi gambaran seperti sarang lebah (honeycomb
appearance)-, yang mengandung histiosit dan limfosit, sel plasma dan organisme
itu sendiri. Tetapi pneumonia pneumosistis pada penderita agamaglobulinemia
atau dengan imunosupresi, eksudat yang khas mungkin tidak ditemukan karena
tidak ada limfosit B (Beaver et al., 1984).
Infeksi Pneumocystis jiroveci ditemukan dalam paru hospes dan biasanya
terbatas di lumen alveolus. Ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa
Pneumocystis jiroveci terdapat di dalam kapiler alveolus, septum interalveolus
interstisial dan sel epitel (Matsumoto dan Yoshida, 1986) (1,2,5,6,7,8).
2.16 Manifestasi Klinis
Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-,
dispnoe – terutama saat beraktivitas-, dan batuk non produktif. Progresivitas
gejala biasanya perlahan, dapat berminggu – minggu bahkan sampai berbulan –
bulan. Semakin lama dispnoe akan bertambah hebat, disertai takipnoe –
frekwensi pernafasan meningkat sampai 90 – 120 x / menit -, sampai terjadi
sianosis. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik.
Saat auskultasi dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai kelainan
apapun. Pada 2 – 6 % kasus, PCP dapat muncul dengan pneumothorax
spontan. Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat gambaran yang khas berupa
infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus ke perifer, bisa meliputi seluruh
lapangan paru. Daerah dengan kolaps, diselingi dengan daerah yang
emfisematosa menimbulkan gambaran seperti sarang tawon (“honey comb
appearance”), kadang – kadang terjadi emfisema mediastinal di pneumothorax
(Juwono, 1987; Beaver et al., 1984).
Gas darah arterial bisa menunjukkan sedikit hypoxia (PaO280-95 mmHg)
tapi pada kondisi lebih parah kelainannya bisa bermakna.
Pada darah dijumpai kadar LDH (Lactate Dehidrogenase) yang tinggi - >
460 U / L – atau Pa O2 (tekanan oksigen parsial arteri) < 75 mmHg. Lesi ekstra
pulmoner jarang terjadi - < 3 % -, namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar
getah bening dan sum – sum tulang.
Radiografi dada bisa menunjukkan infiltrat sempurna atau terkadang bisa
normal, meski infiltrat biasanya interstitial dan bilateral.
26
Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.
Pada penderita anak – anak sehubungan dengan malnutrisi, onset
penyakit berjalan perlahan , dijumpai kegagalan tumbuh kembang (failure to
thrive), yang akhirnya diikuti takipnoe dan sianosis. Sedang pada penderita yang
imunosupresif – anak mau pun dewasa -, onset penyakit berjalan cepat
(Shulman, 1994).
Onset PCP seringkali bertahap, terjadi dalam periode minggu, meski
tampilan fulminan (=terjadi mendadak dan parah) bisa muncul.
2.17 Diagnosa
Diagnosa laboratorium sukar ditegakkan. Diagnosa pasti dilakukan dengan
menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau bahan yang berasal
dari paru, diantaranya :
- sediaan yang diperoleh dari induksi sputum
- sediaan yang diperoleh dari BAL (Broncho Alveolar Lavage) → dilakukan
bila hasil induksi sputum (-).
- Sediaan dari biopsi paru
27
* Pemeriksaan serologis PCR dari sediaan darah, serum dan aspirasi nasofaring
→ masih diteliti lebih lanjut untuk dapat membedakan antara infeksi yang sedang
berlangsung atau infeksi yang sudah lalu.
* Foto roentgen dada dapat menunjukkan gambaran abnormal seperti adanya
gambaran infiltrate interstisial bilateral difus pada daerah hilus. Dapat juga terlihat
gambaran yang berbeda seperti nodul, kavitas, konsolidasi, pneumatocele dan
pneumothorax.
* Sebagai pemeriksaan laboratorium tambahan, analisa gas darah dapat
menunjukkan gambaran penurunan level O2 darah (Cook,1996).
2.18 Manajemen
a. Pengobatan
Pengobatan dengan trimethoprim-sulfgametoxazole (TMP/SMX atau
cotromoxazole) atau pentamidine parenteral dihubungkan dengan 60-100%
tingkat respon. TMP/SMX adalah regimen terpilih untuk perawatan dan
profilaksis PCP pada pasien dengan atau tanpa AIDS.
TMP/SMX diberikan dalam dosis 15-20 mg/kg per hari (berdasar pada
komponen TMP) dalam tiga sampai empat dosis terbagi untuk penanganan PCP.
TMP/SMX biasanya dimulai dengan rute IV, meski terapi oral (karena
absorpsi oral yang tinggi) bisa memenuhi pada kondisi ringan atau untuk
melengkapi terapi setelah didapat respon dengan pemberian IV.
Untuk perawatan PCP yang dihubungkan dengan HIV, pentamidine
isethionate diberikan IV biasanya dalam dosis 4 mg/kg per hari.
Panjang terapi yang optimal untuk perawatan PCP dengan TMP/SMX dan
pentamidine tidak diketahui, tapi 21 hari umum digunakan.
Efek samping yang umum terlihat dengan TMP/SMX adalah kulit
kemerahan, demam, leukopeni, peningkatan serum transaminase, dan
trombositopeni. Tingkat terjadinya insiden efek samping lebih tinggi pada pasien
terinfeksi HIV daripada mereka yang tidak terinfeksi HIV.
Untuk pentamidine, efek samping termasuk hipotensi, takikardi, mulai,
muntah, hipoglisemi atau hiperglisemi parah, pankreatitis, diabetes melitus
ireversibel, peningkatan transaminase, nefrotoksisitas, leukopeni, dan aritmia
kardia.
28
Penambahan dini terapi glukokotikoid ke regimen anti PCP telah
menunjukkan menurunkan resiko kegagalan respratori dan meningkatkan
keselamatan pasien dengan AIDS dan dengan PCP sedang sampai parah
(PaO2 <70 mmHg atau gradient A-a >35 mmHg. Regimen yang saat ini
dianjurkan adalah 40 mg prednisone oral dua kali sehari selama hari ke-1
sampai ke-5; 40 mg sekali sehari pada hari 6-10; dan 20 mg sekali sehari pada
hari 11-21, atau untuk sisa terapi. Pada umumnya, terapi glukokortikoid
tambahan sebaiknya dimulai ketika terapi antipneumocystis dimulai, karena data
pendukung, penggunaan glukokortikoid dimulai pada 24-72 jam pertama sejak
dimulainya terapi antipneumocystis.
b. Profilaksis
Saat ini, profilaksis PCP dianjurkan untuk semua pasien terinfeksi AIDS
yang sebelumnya pernah terkena PCP. Profilaksis juga dianjurkan untuk semua
orang terinfeksi HIV dengan hitung CD4 <200 sel/μl atau sel CD4 mereka <20%
dari total limfosit, atau demam yang tidak bisa dijelaskan (>1000F) selama >2
minggu, atau riwayat adanya oropharyngeal candidiasis. Pasien yang menerima
profilaksis PCP yang hitung CD4-nya naik diatas 200 sel/μl karena terapi
antiretroviral sebaiknya menghentikan segera menghentikan profilaksis PCP
(Tabel 38-6). erlian-ff07.web.unair.ac.id
TMP/SMX adalah terapi yang disukai untuk profilaksis primer atau
sekunder PCP pada dewasa dan remaja.
Dosis yang dianjurkan untuk dewasa dan remaja adalah satu tablet efek
ganda sekali sehari.
TMP/SMX juga dianjurkan untuk profilaksis PCP pada anak. Regimen
TMP/SMX yang dianjurkan (meski ada alternatif lain) adalah TMP 150 mg/m2 per
hari dan SMX 750 mg/m2 per hari diberikan dalam dosis terbagi dua kali sehari,
tiga kali seminggu secara berturutan (seperti, senin, selasa, rabu). Dosis harian
total dari TMP/SMX pada anak sebaiknya tidak melebihi 320 mg TMP dan 1600
mg SMX (DiPiro, 2005).
2.19 Prognosis
Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada
penderita dengan immunodefisiensi / immunocompromized. Bila PCP ditemukan
29
pada penderita dengan immunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai
100 %. Namun bila infeksi dapat didiagnosa sedari dini dan diberikan terapi yang
adekuat, persentase kematian dapat diturunkan hingga 10 %. Sayang, sebagian
besar kasus PCP bahkan baru terdiagnosa setelah pasien meninggal dunia pada
pemeriksaan autopsy ( Molecular Epidemiology of Pneumocystis canii
pneumonia, 2012 ).
30
BAB III
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Zainul Anwar
Tanggal lahir : 21 februari 1983
Usia : 28 tahun
Alamat : Jalan Mindi RT 02 RW 03 Sidowayah Beji , Pasuruan
Status : menikah
Pekerjaan : swasta
Tanggal MRS :20 Januari 2012
Pendidikan : SMP
Suku : Jawa
Agama : Islam
No. Reg : 1203081
1.2 Anamnesis
Keluhan utama: Badan panas dingin
Pasien mengeluhkan badan panas dingin sejak 2 bulan yang lalu. Setiap
hari pasien merasa dingin dan menggigil, setelah sekitar 5 jam kemudian
pasien merasakan panas. Sensasi panasnya membuat pasien menjadi
berkeringat dan panas yang tidak tertahankan. Kemudian dingin lagi. Pasien
minum paracetamol saat dia panas, temperaturnya berkurang sedikit, tapi
kemudian meningkat kembali.
Pasien juga mengeluh batuk dengan dahak keputih-putihan 2 bulan
yang lalu , tetapi pasien tidak mengeluh berkeringat di malam hari.
1 minggu yang lalu, merasakan nyeri dan reaksi kaku pada perut bagian
kanan, karena nyeri dan sensasi kaku pada perutnya, pasien mengalami
penurunan nafsu makan tapi tidak disertai mual dan muntah.
Pasien mengalami penurunan berat badan sekitar 8 kg selama 2
bulan. Pasien masuk RS di RS Bangil dan didiagnosa dengan infeksi HIV, 3
hari kemudian pasien pergi ke RSSA.
31
Saat ini pasien memiliki ulkus dan sariawan di mulut. Pada tahun 2000,
pasien memakai ganja, mengkonsusmsi alcohol (6 botol tiap minggu) dan sex
bebas. Tiga tahun ini, pasien berhenti minum alcohol, konsumsi ganja dan
sex bebas. Pasien merokok setiap hari sampai sekarang.
Review of System
Umum Lelah + Vaskuler Klaudikasio -Penurunan BB + Flebitis -Demam + Ulkus -Menggigil - Arteritis -Berkeringat - Vena Varikose -
Kulit Rash - Abdomen Nafsu makan Turun Gatal - Anoreksia +Luka - Mual +Tumor - Muntah +
Kepala/ Leher
Sakit - Perdarahan -Nyeri - Melena -Kaku Leher - Nyeri -Trauma - Diare +
Mata Kacamata - Konstipasi -Gatal - BAB +Icterus - Hemoroid -Merah - Hernia -Nyeri - Alat kelamin
laki-lakiNyeri -
Diplopia - Gatal -Visus - Sekret -
Telinga Pendengaran - Penyakit kelamin -Infeksi - Ulkus -Nyeri - Ereksi -Benjolan - Ginjal dan
saluran kencing
Disuria -Mulut & Tenggorokan
Nyeri - Hematuria -Kering - Inkontinensia -Suara serak - Nokturia -Sulit menelan - Frekuensi -Sakit saat menelan
- Hematologi Anemia -
Gusi - Perdarahan -Infeksi/Ulkus + Endokrin Diabetes -
Pernafasan Batuk - Penurunan BB +Riak - Goiter -Nyeri - Toleransi terhadap
suhu-
Mengi - Asupan cairan +Sesak nafas - Muskuloske
letalTrauma -
Hemoptisis - Nyeri -Pneumonia - Kaku -Nyeri Pleuritik - Bengkak -Tuberkulosis - Lemah +
32
Payudara Sekret - Nyeri punggung +Nyeri - Kram +Benjolan - Sistem
SyarafSinkop -
Perdarahan - Kejang -Infeksi - Tremor -
Jantung Angina - Nyeri -Sesak nafas - Sensorik -Orthopnea - Tenaga -PND - Daya ingat -Edema - Emosi Kecemasan -Murmur - Tidur +Palpitasi - Depresi -Infark -Hipertensi -
1.3 Pemeriksaan Fisik
Kesan umum: tampak sakit berat. GCS: 456.
TD: 100/60 mmHg. Nadi: 104x/menit. Respirasi: 24x/menit. Suhu aksiler:
38.10C.
KULITInspeksi: Warna kulit normal, turgor kulit dalam batas normal, rash (-)
ekstremitas dan abdomen, luka (-), infeksi (-), ptechiae (-), hematom (-), ekskoriasi (-), ikterus (-), rambut lurus sebahu dan berwarna hitam
Palpasi: nodul (-), atrofi (-)KEPALA DAN LEHERInspeksi: Normocephali,pucat, jarak kedua mata normal,tulang pipi
normal, pembengkakan (-)Palpasi: Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)Auskultasi: Bruit (-)Pemeriksaan: JVP R+2cm H2O (45o)TELINGAInspeksi: Serumen (-/-)
Infeksi (-/-)Palpasi: Massa (-)HIDUNGInspeksi: Hidung tampak pesek, septum deviasi (-), sekret (-),
perdarahan (-), polip (-)Palpasi: Nyeri (-)
RONGGA MULUT DAN TENGGOROKANInspeksi: Gigi tampak normal, leukoplakia (-), ulkus (+) lidah & bibir,
tumor (-), infeksi (-), tonsil T2/T2Palpasi: Nyeri (-), tumor (-)MATAInspeksi: Ptosis (-), sclera icteric (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
kemerahan (-/-), infeksi (-/-), tumor (-/-),perdarahan (-/-),pupil bulat isokor, air mata (+).
Palpasi: Tidak dilakukan pemeriksaan tonometri
33
Funduskopi: Tidak dilakukanTORAKS (PULMO)Inspeksi: Bentuk simetris, gerakan simetris, irama respirasi ritmis,
tumor (-)Palpasi: SF D=S
Perkusi: s ss ss s
Auskultasi: v v Rh - - Wh - -v v + - - -v v - - - -
JANTUNGInspeksi: Iktus invisiblePalpasi: Iktus palpable at ICS V MCL S
Thrill (-)Perkusi: LHM~ictus, pinggang jantung +, RHM~SL DAuskultasi: S1S2 single, reguler, murmur (-), gallop (-)ABDOMENInspeksi: Flat, kontur (-), hernia (-), sikatriks (-), vena collateral (-)
Auskultasi: BU (+) meningkat, bruit (-)Palpasi: Konsistensi supel, massa (-), nyeri (-)
Liver span 12cm,Perkusi: Abdomen timpani, traube space dullness,
shifting dullness (-)PUNGGUNGInspeksi: Dalam batas normalPalpasi: Nyeri (-), tidak teraba adanya tumorEKSTREMITASInspeksi: anemis + + rash - - sianosis - -
+ + - -edema - - icterus - - - - - -
Palpasi: Akral hangat, nyeri (-), massa (-), nadi perifer (+)PEMERIKSAAN SENDIShoulder Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal
Elbow Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal
Wrist & Hand Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal
Hip Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal
Knee Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-), patellar tap test (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal
34
Ankle & Foot Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal
ALAT KELAMINPerempuan: -Laki-laki: Tidak diperiksaREKTUM Tidak diperiksaNEUROLOGIInspeksi: Gerak dalam batas normal, lemah, koordinasi normal,
fasikulasi (-), tremor (-), flaksid (-)Saraf kranialis: Dalam batas normalReflex fisiologis: +2 +2
+2 +2Reflex patologis: - -
- -Motorik 5 5
5 5Sensorik N N
N NBICARA Menjawab sesuai dengan pertanyaan
Foto pasien
35
1.4 Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan Tanggal 20 januari 2011
o Pemeriksaan darah
Lab Value Lab Value
Leukocyte 9.200 3500-10000/µL GDA 80-140
Hemoglobin 7,2 11,0-16,5g/dl Ureum 41,2 10 – 50
PCV 35-50% Creatinin 0,84 0,7 – 1,5
MCV µm2 MCH Pg
Thrombocyte 48.000 150000-390000 Albumin 3,55 3,5 – 5,5
SGOT 38 11-41U/L CRP
kuantitatif
--
SGPT 36 10-41U/L Na 123 136-145
Bilirubin total 0,57 <1 Kalium 3,58 3,5-5
Bilirubin
direk
0,22 <0,25 Chlorida 92 98-106
Bilirubin
indirek
0,35 <0,75 Kolesterol
total
--
HDL -- LDL --
TG -- Protein total --
Pemeriksaan Tanggal 9 Februari 2012
o Pemeriksaan seroimunologi
HbsAg : negatif
Anti HBs : negatif
Anti HCV : negatif
VDRL : negatif
36
TPHA : negatif
TB ICT : negatif
o Pemeriksaan serum elektrolit
Natrium : 123 mmol/l
Kalium : 5,2 mmol/l
Chlorida : 99 mmol/l
Temuan Hasil laboraturium
Hasil: Normokrom Normositer
37
Foto Thorax PA
AP asimetris, trakea ditengah, kurang inspirasi, tulang dan soft tissue normal,
sinus prenicocostalis d/s tajam, hemidiafragma D/S domeshape. Penebalan
hillus, peningkatan bronchovascular. CTR 50%
kesimpulan : Pneumonia
38
EKG
• Sinus Rhythm, HR 101 x/mnt
• PR Interval : 0,16”
• QRS Interval : 0,06”
• QT Interval : 0,32”
• Frontal axis : normal
• Horizontal axis: normal
• Kesimpulan : sinus tachycardi dengan HR 101 bpm
39
POMR (Problem Oriented Medical Record)
CUE AND CLUE PL I Dx P Dx P Tx P Mo
Laki-laki, 28 tahun
Ax:
- Penurunan berat
badan (>10%BB)
- Batuk selama 2
bulan
- Di diagnosa
dengan HIV sejak 3
hari yang lalu
- Riw. free sex (+)
-Pemakaian ganja
- Oral thrush (+)
- HB: 7,2
- Trombosit: 48.000
1. Immuno
compro
missed
state
1.1 HIV
stadium III
-CD4 count
- ELISA
- Konsul VCT
- Determinant
test
-IVFD NS 0.9%: D5%
= 1 : 1
- Diet lunak TKTP
2100 kkal/hari
- Cotrimoxazole
1x960mg (PO)
-Start ARV
-Stavudin 2x30mg
Nevirapin 1x200mg (2
minggu)
- lamifudin 2x150mg
Keluhan
Vital Sign
Laki-laki, 28 tahun
Ax:
-Batuk 2 bulan
dengan riak
berwarna putih
-Penurunan berat
badan
-Suhu badan panas
dingin selama 2
2. Acute
lung
infection
2.1
Pneumonia
CAP
2.2 TB
Secondaru
infection
2.3
Pneumocyst
is
pneumonia
Sputum
culture
Inj. Ceftriaxon 2x1gr
IV
ciprofloxacin 1x1 vial
(drip)
Keluhan
Vital sign
40
bulan (intermitten
Fever)
-Tax : 38,1C
- Ronchi di paru
medial dextra
Laki-laki, 28 tahun
Ax:
- oral mouth ulcer
- Di diagnosa HIV
sejak 3 hari yll
- Oral thrush
3. Oral
thrush
3.1
Candidiasis
oral
Oral swab Candistatin drop 4 dd
gtt 1 cc
- keluhan
Laki-laki, 28 tahun
Ax:
- Hb: 7,2
- HIV (+)
4. Normoc
hrom
Normosit
er
anemia
4.1.due to
chronic
disease
•Confirm diagnosa Keluhan
HB
41
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosa HIV
4.1.1 Anamnesa
Dari anamnesa pasien mengeluhkan badan panas dingin sejak 2
bulan yang lalu. Setiap hari merasa dingin dan menggigil, setelah sekitar 5
jam kemudian merasakan panas. Sensasi panasnya membuat pasien
menjadi berkeringat dan panas yang tidak tertahankan. Kemudian dingin lagi.
Pasien minum paracetamol saat dia panas, temperaturnya berkurang sedikit,
tapi kemudian meningkat kembali. Pasien juga mengeluh batuk dengan
dahak keputih-putihan 2 bulan yang lalu , tetapi pasien tidak mengeluh
berkeringat di malam hari. 1 minggu yang lalu, merasakan nyeri dan reaksi
kaku pada perut bagian kanan, karena nyeri dan sensasi kaku pada
perutnya, pasien mengalami penurunan nafsu makan tapi tidak disertai mual
dan muntah. Pasien mengalami penurunan berat badan 5 kg selama 2 bulan.
Pasien masuk RS di RS Bangil dan didiagnosa dengan infeksi HIV, 3 hari
kemudian pasien pergi ke RSSA. Saat ini pasien memiliki ulkus dan sariawan
di mulut. Pada tahun 2000, pasien memakai ganja, mengkonsusmsi alcohol
(6 botol tiap minggu) dan sex bebas. Tiga tahun ini, pasien berhenti minum
alcohol, konsumsi ganja dan sex bebas. Pasien merokok setiap hari sampai
sekarang. Berdasarkan criteria klinis pasien dapat dikategorikan dalam HIV
stadium III.
4.1.2 Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit berat, oral ulcer,
pemeriksaan yang lain dalam batas normal
4.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal sederhana yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah lengkap dan hitung jenis. Pada penderita dengan immunocompromissed
state, dapat ditemukan penurunan jumlah limfosit < 2000/ul. Selanjutnya, pada
kasus yang telah dicurigai infeksi HIV maka pasien dapat dikonsulkan ke bagian
VCT (Voluntary counceling and Testing) untuk dilakukan dua tahap pemeriksaan
42
khusus, yaitu skrining awal berupa Rapid Test dan Enzime Linked Sorbent Assay
(ELISA), dan yang kedua adalah Uji konfirmasi berupa Western Blot test untuk
mendeteksi antibody spesifik pada pasien. Sesuai dengan pedoman nasional,
diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang
berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1 pemeriksaan
ELISA (WHO, 2010).
Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah
test ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA
dalam keadaan infeksi HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test WB
ini. Hasil test yang positif akan menggambarkan garis presipitasi pada proses
elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri
atas protein struktur utama virus. Setiap protein terletak pada posisi yang
berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas antibodi
terhadap komponen tertentu virus (WHO, 2010)
Pada kasus ini, pasien ini akan dilakukan pemeriksaan VCT yang terdiri
dari pemeriksaan DETERMINAN dan ELISA. Apabila dari hasil dari kedua
pemeriksaan tersebut adalah positif dan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan pasien menderita HIV stage III.
4.2 Penatalaksanaan HIV Stadium III
Pada pasien ini belum diberikan terapi ARVsama sekali.. Pemilihan ARV
yang sesuai yaitu diberikan lini pertama adalah kombinasi dua obat AZT/TDF +
3TC atau FTC + EFV atau NVP. Pada pasien ini, bisa diberikan kombinasi AZT
(zidofudin) dan 3TC (lamifudin). Duviral merupakan kombinasi dua jenis ARV
NRTI yaitu lamivudin dan zidovudin. Pemberian kombinasi ARV ini sesuai
dengan rekomendasi WHO
4.2 Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik
Pada pasien ini, ditemukan oral kandidiasis. Penanganan untuk oral
kandidiasis diberikan nystatin drop. Pemberiannya dimulai walaupun ARV belum
dimulai. Tindakan ini dilakukan untuk melihat apakah ada respon terhadap obat-
obat tersebut.
43
4.3 Prognosis Penyakit
Dengan mengatasi infeksi oportunistik diharapkan dapat berkurangnya keluhan
dan adanya perbaikan kondisi umum pada pasien.
44
BAB V
KESIMPULAN
1. Diagnosis HIV pada kasus ini didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan clinical staging pasien ini masuk
pada kriteria HIV stadium III.
2. Penatalaksanaan HIV stadium III pada pasien ini belum sesuai dengan teori
karena seharusnya pada HIV stadium III terapi ARV diberikan tanpa
menunggu hasil hitung jumlah limfosit CD4+. Pemilihan ARV yang sesuai
yaitu diberikan lini pertama adalah kombinasi dua obat AZT/TDF +3TC atau
FTC+EFV atau NVP, jadi dapat diberikan AZT (zidofudin) dan 3TC
(lamifudin) pada pasien ini.
3. Infeksi oportunistik pada kasus ini kita temukan oral candidiasis, dan acute
lung infection. Pada pasien ini sudah diberikan ceftriaxon, ciprofloxacin,
candistatin
45
DAFTAR PUSTAKA
Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Indonesian edition : Jawetz, Melnick &
Adelberg Mikrobiologi Kedokteran. Ed. 20. EGC. 1996 : 632 – 3.
Brown HW, Neva FA. Basic Clinical Parasitology. United States of America. Appleton Century Crofts. 1983 : 76 - 7.
Cook G. Acute Lobar Pneumonia, Pneumocystosis, Acquired Immune Deficiency Syndrome. In : Manson’s Tropical Disease. 20th ed. London. ELBS & WB Saunders. 1996 : 79 – 80, 281, 394.
Ditjen PPM & PL Depkes RI. Pedoman nasional – perawatan, dukungan dan
pengobatan bagi odha.Jakarta:Deoartemen Kesehatan RI,2003.
Djoerban dan Djauzi. 2006. HIV AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu penyakit
Dalam Jilid III. FKUI: Jakarta.
Shulman ST, et al. Indonesian edition : Dasar Biologis & Klinis Penyaki Infeksi.
4th ed. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1994 : 436 – 46.
Sisirawaty, et al. Beberapa Aspek Pneumocystis Carinii. Seminar Parasitologi
Nasional V. 1989.
Lung Parasites Incertae Sedis : Pneumocystis jiroveci (P. carinii). Available at : http://www.cdfound.to.it/HTML/lung.htm.
Manson – Bahr PH. Manson’s Tropical Diseases. 16th ed. London. ELBS & BT
and C.2001.1968:883–4.
Molecular Epidemiology of Pneumocystis carinii Pneumonia. Emerging Infectious
Diseases vol. 2 number 2. Available at :
http://www.cdc.gov/incidod/eid/vol2no2/beard.htm
National AIDS Commission Republic of Indonesia,2009. Republic of Indonesia
Country Report on the Follow up to the Declaration of Commitment
On HIV/AIDS (UNGASS) Reporting Period 2008 – 2009.
UNAIDS-WHO. Revised recommendation for the selection and use of HIV
antibody test. Weekly Epidemiological Report 1997;72:81-8.
WHO,2010. Antiretroviral therapy for hiv infection in Adults And Adolescents
2010 revision. WHO. Austria.
46