Responsi Hiv

61
RESPONSI TROPIK INFEKSI HIV/AIDS dengan PCP Oleh: Mira Kusuma Wardhani (0710710006) Vicia Belladona C H (0710713036) Jarret R. A/L Selvarajo (0710714012) ShaminiSenglo Raja (0710714044) Pembimbing: dr. Niniek, Sp.PD-KPTI

Transcript of Responsi Hiv

Page 1: Responsi Hiv

RESPONSI TROPIK INFEKSI

HIV/AIDS dengan PCP

Oleh:

Mira Kusuma Wardhani (0710710006)

Vicia Belladona C H (0710713036)

Jarret R. A/L Selvarajo (0710714012)

Shamini Senglo Raja (0710714044)

Pembimbing:

dr. Niniek, Sp.PD-KPTI

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2012

Page 2: Responsi Hiv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Sejarah

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai

kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan

tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Imunodeficiency Virus) yang

termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahapan akhir dari infeksi HIV.

HIV/AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu

masalah kesehatan yang sedang dihadapi masyarakat dunia akhir-akhir ini. Saat

ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV (Human Immunodeficiency Virus)

maupun AIDS. HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi yaitu krisis

kesehatan, pembangunan negara, ekonomi, pendidikan maupun kemanusiaan

(Djoerban, Djauzi. 2006).

Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun

demikian, dari beberapa literatur sebelumnya ditemukan kasus yang cocok

dengan definisi surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika

Serikat. Sampel jaringan potong beku dan serum dari seorang pria berusia 15

tahun di St. Louis, AS, yang dirawat dengan dan meninggal akibat Sarkoma

Kaposi diseminata dan agresif pada 1968, menunjukkan antibodi HIV positif

dengan Western Blot dan antigen HIV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak

pernah pergi ke luar negeri sebelumnya, sehingga diduga penularanya berasal

dari orang lain yang juga tinggal di AS pada tahun 1960-an atau lebih awal

(Ditjen PPM, 2003).

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan kasus

tertinggi. Pada akhir tahun 1996, kasus HIV/AIDS yang tercatat di Depkes RI

pusat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia) berjumlah 501 orang, terdiri

dari 119 kasus AIDS dan 382 HIV yang dilaporkan dari 19 propinsi (Ditjen PPM &

PL Depkes RI. 2010).

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan sesara resmi oleh

Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di

Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985

yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga

kali diulang menyatakan hasil positif.Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu

2

Page 3: Responsi Hiv

dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negative sehingga tidak dilaporkan

sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986

di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan termasuk jenis non –

progesor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalanya cukup baik selama 17

tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta

masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002 (Ditjen

PPM, 2003).

Epidemiologi HIV di indonesiia menunjukkan pertumbuhan paling cepat di

Asia, paling utama terkonsentrasi pada kelompok tertentu seperti intravenous

drug users (IDUs), pekerja seks, pelanggan mereka, dan homoseksual. Jumlah

secara kumulatif kasus penderita AIDS yang dilaporkan menunjukkan

peningkatan tajam dari 2.682 kasus pada tahun 2004 menjadi 19.973 kasus

pada akhir tahun 2009. Berdasarkan kelompok usia, kasus AIDS paling sering

pada kelompok usia produktif (15-49 tahun) dan kondisi ini tidak berubah banyak

seiring dengan perubahan epidemiologi. Tingkat penyebarannya juga semakin

meningkat, pada tahun 2004 dari 33 provinsi 16 provinsi saja yang melaporkan

kasus kejadian AIDS di daerah sedangkan pada tahun 2009 seluruh provinsi

melaporkan kasus kejadian AIDS (National AIDS commision of Republic

Indonesia, 2009).

Dari uraian di atas, maka penting bagi kita untuk mengenali gejala HIV /

AIDS secara dini terutama bagi para klinisi, oleh karena itu pada responsi kasus

kali ini, kami akan membahas diagnosis dan penatalaksanaan HIV / AIDS.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana cara untuk menegakkan diagnosa dan penatalaksanaan HIV /

AIDS?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosa dan dan penatalaksanaan

HIV / AIDS .

3

Page 4: Responsi Hiv

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai

kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunya kekebalan

tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang

termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV

(Djoerban, Djauzi, 2006)

2.2 Epidemiologi

Penularan HIV / AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang

mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual

maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfuse

komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Oleh

karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV / AIDS misalnya pengguna

narkotika, pekerja seks komersil dan pelangganya serta narapidana (Djoerban,

Djauzi, 2006).

Epidemiologi HIV di indonesia menunjukkan pertumbuhan paling cepat di

Asia, paling utama terkonsentrasi pada kelompok tertentu seperti intravenous

drug users (IDUs), pekerja seks, pelanggan mereka, dan homoseksual. Jumlah

secara kumulatif kasus penderita AIDS yang dilaporkan menunjukkan

peningkatan tajam dari 2.682 kasus pada tahun 2004 menjadi 19.973 kasus

pada akhir tahun 2009. Berdasarkan kelompok usia, kasus AIDS paling sering

pada kelompok usia produktif (15-49 tahun) dan kondisi ini tidak berubah banyak

seiring dengan perubahan epidemiologi. Tingkat penyebarannya juga semakin

meningkat, pada tahun 2004 dari 33 provinsi 16 provinsi saja yang melaporkan

kasus kejadian AIDS di daerah sedangkan pada tahun 2009 seluruh provinsi

melaporkan kasus kejadian AIDS (National AIDS commision of Republic

Indonesia, 2009).

4

Page 5: Responsi Hiv

Gambar. 2.1 Gambaran demografik epidemiologi HIV di Indonesia

AIDS adalah sebuah ancaman besar bagi suatu negara meski upaya

pencegahan dan pengobatan sudah dilaksanankan. Berdasarkan analisis dan

proyeksi model matematika, dengan menggunakan demografik, behavioral dan

epidemiologikal data terbaru hal berikut ini dapat diperkirakan terjadi:

Prevalensi HIV pada usia 15-49 tahun meningkat dari 0,22% pada tahun

2008 menjadi 0,37% pada tahun 2014

Akan terjadi peningkatan jumlah penderita HIV wanita yang mana akan

memicu peningkatan jumlah kasus baru HIV pada anak.

Akan terjadi peningkatan kasus baru yang signifikan pada kelompok

homoseksual.

Akan terjadi peningkatan infeksi HIV pada rekan intim kelompok kunci.

Jumlah ODHA akan meningkat dari 372.800 di tahun 2010 menjadi

541.700 di tahun 2014.

Jumlah pasien yang membutuhkan ART akan meningkat dari 50.400

orang tahun 2010 menjadi 86.800 di tahun 2014. Jumlah ODHA yang

membutuhkan ART akan tetap meningkat dengan terjadi perubahan

kriteria terapi berdasarkan jumlah CD4 dari 299 menjadi 350 (National

AIDS commision of Republic Indonesia, 2009).

5

Page 6: Responsi Hiv

2.3 Patogenesis

Gambar 2. 2 Proses terjadinya infeksi HIV (Siregar, 2004)

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.Hilangnya fungsi

tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.(Djoerban, 1999).

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada molekul infeksi akut

Simian Imunodeficiency Virus (SIV).SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan

monosit pada mukosa vagina.Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke

kelenjar getah bening regional.Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar

getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi.Sel individual di kelenjar getah

bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ

dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7 – 21 hari

setelah infeksi.Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah

bening beerhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV.Jumlah sel yang

megekpresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan

dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik.Koinsiden

dengan menghilangya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8.Walaupun

demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan

kontrol optimal terhadap replikasi HIV.Replikasi HIV berada pada keadaan

6

Page 7: Responsi Hiv

‘steady – state’ beberapa bulan setelah infeksi.Kondisi ini bertahan relative stabil

selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi.Faktor yang

mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan

kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan

heterogenitas intrinsik pejamu (Djoerban, 1999).

Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,

namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah

menurun sampai ke level ‘steady – state’. Walaupun antibodi ini umumnya

memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata

tidak dapat mematikan virus.Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi

dengan melakukan adaptasi pada amplop-nya, termasuk kemampuanya

mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah

sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi (Djoerban,

1999).

Gambar 2.3 Manifestasi klinik AIDS (WHO, 2010)

7

Page 8: Responsi Hiv

2.4 Diagnosis HIV / AIDS

Untuk menegakkan diagnosis pada penderita perlu dilakukan anamnesa,

pemeriksaan fisik dan tes laboratorium. Apabila dengan pemeriksaan

laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibody

atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh maka penderita

dinyatakan terinfeksi HIV.

Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat

infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel / mm3.

Tabel 2.1 Cara menentukan diagnosis dini infeksi HIV berdasarkan riwayat dan

pemeriksaan fisik (WHO, 2010)

2. 4. 1 Infeksi Oportunistik / Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis

AIDS

Cytomegalovirus (CMV) (selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening)

CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)

Ensefalopati HIV (a)

Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau

esofagitis

Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu

Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)

Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru

Kandidiasis esophagus

Kanker serviks invasive

8

Page 9: Responsi Hiv

Koksidiodomikosis, diseminata atau ekstraparu

Kriptokokosis, ekstraparu

Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)

Leukoensefaloapti multifocal progresif

Limfoma, Burkitt

Limfoma, imunoblastik

Limfoma, primer pada otak

Mikrobakterium avium kompleks atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu

Mikobakterium tuberculosis, paru atau ekstraparu

Mikobakterium, spesies lain atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi,

diseminata atau ekstrapulmoner

Pneumonia Pneumcystis carinii

Pneumonia rekuren (b)

Sarkoma Kaposi

Septikemia Salmonella rekuren

Toksoplasmosis otak

Wasting syndrome (c)

NB :

(a) Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang

menggangu kerja atau aktivitas sehari – hari, tanpa dapat dijelaskan oleh

penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan

pemriksaan lumbal punksi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT Scan atau MRI)

(b) Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun

(c) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10 % ditambah diare kronik

(minimal 2 kali selama > 30 hari, intermitten atau konstan), tanpa dapat

dijelaskan oleh penyakit / kondisi lain (mis : kanker, tuberculosis, enteritis

spesifik) selain HIV

Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa ( > 12 tahun )

dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi

pemeriksaan yang sesuai dan sekurang – kurangnya didapatkan 2 gejala mayor

dan 1 gejala minor dan gejala – gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan –

keadaan lain yang tidak berkaitan dengan HIV :

9

Page 10: Responsi Hiv

1. Gejala Mayor : Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang

berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan,

penurunan kesadaran dan gangguan neurologis, demensia atau HIV

ensefalopati.

2. Gejala Minor : Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yang

gatal, adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, kandidiasis oro –

faringeal, herpes simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi

jamur berulang pada alat kelamin perempuan

2.5 Tes HIV

Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah

seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala

klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun – tahun lamanya.Terdapat

beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi

HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi :

1. Pemeriksaan serologic untuk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV

2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.

Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan

biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien

(UNAIDS,1997).

Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan

terhadap antibody HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik :

1. ELISA ( enzyme – linked immunosorbent assay )

2.Aglutinasi atau dot – blot immunobinding assay.

Metode yang biasa digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA

(UNAIDS,1997)

2.6 Stadium Klinis HIV/AIDS

WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak

dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat

dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai

berikut (WHO. 2009):

Stage 1

1. Asimtomatik

2. Persisten generalize limfadenopati

10

Page 11: Responsi Hiv

Stage 2

1. Penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya (< 10% dari berat

badan)

2. Infeksi saluran nafas atas berulang

3. Herpes zoster

4. Angular cheilitis

5. Ulkus oral berulang ( 2x atau lebih dalam 6 bulan)

6. Erupsi Papular pruritik

7. Dermatitis seboroik

8. Infeksi jamur pada kuku

Stage 3

1. Penurunan berat badan yang berat (> 10% berat badan)

2. Kronik diare selama lebih dari 1 bulan

3. Demam yang persisten (intermiten atau konstan selama lebih dari 1

bulan)

4. Oral kandidiasis

5. Oral hairy leukoplaki

6. TB paru

7. Infeksi bakteri yang berat (pneumonia, meningitis, empyema, infeksi

sendi, PID)

8. Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodantitis

9. Anemia (<8g/dl), neutropenia (<500 sel/ml), trombositopenia (<50.000 )

Stage 4

1. HIV wasting syndrome

2. Penumocystis pneumonia

3. Pneumonia bakterial berulang ( episode saat ini ditambah satu atau lebih

dalam 6 bulan terakhir)

4. Kronik herpes simplek virus (orolabial, genital, anorektal) lebih dari 1

bulan atau pada area tertentu dengan durasi tertentu

5. Esofageal candidiasis

6. TB ekstraparu

7. Kapossi sarkoma

8. Cytomegalovirus disease

11

Page 12: Responsi Hiv

9. CNS toxoplasmosis

10. HIV encefalopati

11. Kriptokokosis ekstraparu (termasuk meningitis)

12. Disseminated non TB infection

13. Progresif multifokal leukoensefalopati

14. Criptosporodiosis (diare lebih dari 1 bulan)

15. Kronik isosporiasis

16. Diseminated mikosis (cocidiomikosis, histoplasmosis)

17. Septicemia berulang (termasuk non-typhoid salmonella)

18. Lympoma (cerebral atau B cell non-Hodgkin atau solid HIV-assosiated

tumor)

19. Invasive cervical carsinoma

20. Atipikal disseminated leishmaniasis

21. HIV assosiated nefropati

22. HIV assosiated cardiomiopati

2.8 Penatalaksanaan

HIV / AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara

total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat

meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV ( obat

anti retroviral, disingkat obat ARV ) bermanfaat menurunkan morbiditas dan

mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV / AIDS menjadi lebih sehat,

dapat bekerja normal dan produktif.Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem

kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi

oportunistik.

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis yaitu :

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral

(ARV)

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang

menyertai infeksi HIV / AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma,

sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik

dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan

agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan

pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan

hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

12

Page 13: Responsi Hiv

2.9 Terapi Antiretroviral (ARV)

Gambar 2.4 Langkah-langkah dalam pengobatan infeksi HIV (WHO, 2010)

Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadi

jauh lebih baik.Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi

lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti

infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan.

Pneumonia Pneumocystis carinii pada odha yang hilang timbul, biasanya

mengharuskan odha minum obat infeksi agar tidak kambuh.Namun sekarang

dengan minum obat ARV teratur, banyak odha yang tidak memerlukan minum

obat profilaksis terhadap pneumonia.

Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti

Sarkoma Kaposi dan limfoma dikarenakan pemberian obat – obat antiretroviral

tersebut.Sarcoma Kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan

khusus.Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi

sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan Sarkoma

Kaposi.Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat

membentuk respons imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV – 8)

yang dihubungkan dengan kejadian Sarcoma Kaposi.

Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse

transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside

reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease.Tidak semua ARV tersedia

di Indonesia.

13

Page 14: Responsi Hiv

Tabel 2.2 Obat ARV yang Beredar di Indonesia

Nama

Dagang

Nama

Generik

Golongan Sediaan Dosis (per

hari)

Duviral Tablet. Kandungan

: zidovudin 300

mg + lamivudin

150 mg

2 x 1 tablet

Stavir, Zerit Stavudin

(d4T)

NsRTI Kapsul : 30 mg, 40

mg

> 60 kg : 2 x 40 mg

< 60 kg : 2 x 30 mg

Hiviral, 3TC Lamivudin

(3TC)

NsRTI Tablet 150 mg Lar.

Oral 10 mg / ml

2 x 150 mg.

< 50 kg : 2mg/kg,

2x/hr

Viramune,

Neviral

Nevirapin

(NVP)

NNRTI Tablet 200

mg

1 x 200 mg selama

14 hari, dilanjutkan

2 x 200 mg

Retrovir, Adovi,

Avirzid

Zidovudin (ZDV,

AZT)NsRTI Kapsul 100

mg

2 x 300 mg, atau 2

x 250 mg

Videx Didanosin

(ddI)

NsRTI Tablet kunyah

100 mg

> 60 kg : 2 x 200

mg, atau 1 x 400

mg

< 60 kg : 2 x 125

mg, atau 1 x 250

mg

Stocrin Efavirenz (EFV,

EFZ)NNRTI Kapsul 200

mg

1 x 600 mg, malam

Nelvex,

Viracept

Nelfinavir

(NFV)

PI Tablet 250

mg

2 x 1250 mg

14

Page 15: Responsi Hiv

Kriteria memulai terapi antiretroviral dapat diperlihatkan pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Kriteria memulai terapi antiretroviral

15

Page 16: Responsi Hiv

Tabel 2.4 Pilihan terapi antiretroviral

Tabel. 2.5 Second line terapi antiretroviral pilihan

16

Page 17: Responsi Hiv

Guideline rekomendasi memulai terapi antiretroviral didasarkan pada kriteria

berikut:

1. ART direkomendasikan untuk semua pasien dengan CD4 ≤350 cells/mm3,

dengan tidak memperdulikan stadium klinis WHO

2. Pasien dengan stadium klinis WHO stadium 1 dan stadium 2 perlu dicek CD4

dahulu sebelum memulai terapi ART

3. ART direkomendasikan untuk pasien dengan stadium klinis WHO stadium 3

dan stadium 4 tanpa memperdulikan jumlah CD4

17

Page 18: Responsi Hiv

Tabel 2.6 Kriteria inisiasi ART pada populasi spesifik

Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah

kombinasi dari 3 obat ARV.Terdapat beberaoa regimen yang dapat

dipergunakan (Tabel 4), dengan keunggulan dan kerugianya masing –

masing.Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan di

Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV) / lamivudin (3TC), dengan nevirapin

(NVP).

Tabel 2.7 Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial

Kolom A Kolom B

Lamivudin + zidovudin

Lamivudin + didanosin

Lamivudin + stavudin

Evafirenz *

Lamivudin + zidovudin

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didanosin

Nevirapin

Lamivudin + zidovudin

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didanosin

Nelvinafir

* Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang

berpotensi tinggi untuk hamil.

Catatan : kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah : zidovudin + stavudin.

18

Page 19: Responsi Hiv

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti

pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang

mengandung virus HIV (post – exposure prophylaxis) dan pencegahan penularan

dari ibu ke bayi.

Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian

obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada

beberapa bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya.Efektivitas penularan

HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10 – 30 %. Artinya dari 100 ibu hamil yang

terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular. Sebagian besar

penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui

plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melaui air susu ibu.

Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV.Obat

ARV yang dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau

nevirapin.Pemberian nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat

mudah untuk diterapkan dan ekonomis.Sebetulnya pilihan yang terbaik adalah

pemberian ARV yang dikombinasikan dengan operasi Caesar, karena dapat

menekan penularan sampai 1 %.Namun sayangnya di negara berkembang

seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi section caesaria yang

murah dan aman.

Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi

lini pertama dan didapat tanda kegagalan terapi maka dapat dipertimbangkan

penggantian ART pada lini kedua, berikut algoritma untuk menentukan saat

penggantian lini pengobatan:

19

Page 20: Responsi Hiv

Gambar 2.5. Algoritma penggantian ART

2.10 Definisi

Pneumocystis carinii Pneumonia (PCP) adalah infeksi oportunis paling

mengancam jiwa pada pasien dengan AIDS. PCP Taksonomi dari organisme

masih belum jelas, telah digolongkan sebagai protozoa dan fungi.

Pneumonia umumnya ditemukan di paru-paru orang sehat, tapi menjadi sumber

infeksi oportunistik dapat menyebabkan infeksi paru-paru pada orang dengan

sistem kekebalan tubuh yang lemah. Pneumonia Pneumocystis terutama terlihat

pada penderita kanker, HIV / AIDS dan penggunaan obat yang mempengaruhi

sistem kekebalan tubuh (Brooks, 1996)

2.11 Etiologi

Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi pada paru yang

disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan nama

Pneumocystis jiroveci, sebagai tanda penghormatan kepada ahli parasitology

berkebangsaan Cechnya; Otto Jirovec. Organisme ini pertama kali ditemukan

20

Page 21: Responsi Hiv

oleh Chagas (1909). Sekarang penyait ini merupakan infeksi oportunis

berbahaya yang paling sering terjadi pada pasien AIDS (Shulman, 1994).

2.12 Taksonomi

Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jiroveci.

Pada awalnya sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jiroveci dalam

golongan protozoa, apalagi sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam sub

klas Coccidiomorpha , klas Sporozoa dari protozoa. Penggolongan ke dalam

protozoa ini dikarenakan karakteristik strukturnya yang menyerupai Toksoplasma

gondii dan sensitif terhadap preparat obat anti parasit, antara lain pentamidin

isethionat, pirimetamin, sulfadiazine, trimetoprim + sulfametoksazol (Gajdusek,

1957; Frenkel et al., 1966; Ham et al., 1971). Hal ini diperkuat oleh Yoneda et al.

(1982) yang berdasarkan pemeriksaannya dengan mikroskop elektron dan

“freeze fracture microscopy” memastikan bahwa Pneumocystis jiroveci adalah

suatu protozoa. Namun studi terbaru berdasarkan penelitian biologi molekuler

asam nukleat RNA ribosom dan biokimianya, Pneumocystis jiroveci dimasukkan

ke dalam golongan fungus (= jamur) yang berhubungan erat dengan

Askomikotina (Sisirawaty, 1989).

Nomenklatur terbaru Pneumocystis jiroveci, dikutip dari Wikipedia.

Kingdom : Fungi

Subkingdom : Dikarya

Phylum : Ascomycota

Subphylum : Taphrinomycotina

Class : Pneumocystidomycetes

Order : Pneumocystidales

Family : Pneumocystidaceae

Genus : Pneumocystis

Species : P. jiroveci

21

Page 22: Responsi Hiv

2.13 Epidemiologi

Distribusinya luas di seluruh dunia, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Pada

manusia, PCP lebih sering terjadi secara sporadik, jarang menimbulkan

epidemi(Johnson et al., 1970; Peneral et al., 1970) dan terjadi pada semua

golongan umur (Singer et al., 1975).

PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang menurun,

seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang premature dan

mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal

1980-an, PCP jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi

protein atau penderita ALL (Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien –

pasien yang mendapat terapi kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini

umumnya sering dihubungkan dengan dengan infeksi HIV lanjut (Brooks, 1996).

2.14 Morfologi dan siklus hidup

Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystis jiroveci menjadi 3

stadium, yaitu :

a.Stadium trofozoit

Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1 – 5 μ dan memperbanyak diri

secara mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya sebagai

berikut : berdinding tipis (20 – 40 μ) dengan beberapa ekspansi tubular yang

disebut sebagai filopodium; umumnya mempunyai 1 inti tetapi kadang dapat lebih

dari 2 inti; mitokondria,retikulum endoplasmik yang kasar; benda – benda bulat

(round bodies dan vakuol – vakuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna

ungu gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas. Juga

dapat dilihat dengan pewarnaan “acridine orange”. Trofozoit yang kecil (1 – 1,5

μ) ditemukan di dekat kista yang berdinding tebal, berbentuk bulan sabit

menyerupai “intracystic bodies” (beberapa sumber menyatakan “intracystic

bodies” sebagai trofozoit yang sedang berkembang). Trofozoit yang besar

menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama

dengan trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseudopodium

sehingga berbentuk ameboid.

22

Page 23: Responsi Hiv

b. Stadium prakista Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan

kista. Bentuk oval, ukuran 3 – 5 μ dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40

– 120 μ) dengan jumlah inti 1 – 8. Dengan mikroskop, bentuk ini sukar dibedakan

dari stadium lainnya tetapi dinding yang lebih tebal dari stadium prakista dapat

diwarnai dengan “methenamine silver” (Matsumoto dan Yoshida, 1986).

c. Stadium kista Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis

(Matsumoto dan Yoshida, 1986), juga diduga sebagai bentuk infektif pada

manusia. Dengan mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat, bentuknya bulat

dengan diameter 3,5 - 12 μ (kurang lebih 6 μ), mengandung 8 sporozoit atau

trofozoit yang sedang berkembang (“intracystic bodies”)yang berdiameter 1 –

1,5μ. Sporozoit tersebut dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau

kadang – kadang terlihat kista berdinding tipis dengan suatu massa di tengah

yang homogen atau bervakuol. Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan

Giemsa atau dengan cara Gram – Weiger. Pewarnaan dengan Giemsa baik

untuk melihat bagian – bagian dari parasit. Kapsul berwarna ungu merah,

sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak mengambil warna dianggap

sebagai kista yang berdegenerasi. Untuk menemukan kista, pewarnaan yang

paling cocok adalah Gomori – Silver. Tapi dengan warna ini tidak mungkin

diperiksa susunan dalam kista secara detail. Kista dapat juga dilihat dengan

teknik fluoresen dilabel dengan antibody (Arean, 1971).

Gambar 2.5 Kista Pneumocystis jirovecii

Siklus Hidup

Siklus hidup yang komplit dari Pneumocystis jiroveci belum sepenuhnya

dimengerti, karena organisme ini belum berhasil diisolasi secara in-vitro dan

23

Page 24: Responsi Hiv

sangatlah sulit mengobservasi siklus hidupnya hanya dari klinis. Secara umum

siklus hidup dari berbagai variasi spesies Pneumocystis digambarkan oleh John

J. Ruffolo , Ph. D. (Cushion, MT, 1988) seperti pada gambar 1.Jamur ini

ditemukan pada paru – paru mamalia tempat jamur ini tinggal tanpa

menyebabkan infeksi yang nyata sampai sistem imun hospes melemah. Hal

inilah yang kemudian menimbulkan pneumonia yang sering fatal (Manson,2001)).

Keterangan gambar : Fase aseksual : bentuk trofozoit (1) bereplikasi secara

mitosis (2) ke (3). Fase seksual : bentuk trofozoit yang haploid berkonjugasi (1)

dan menghasilkan zigot (early cyst, kista muda) yang diploid (2). Zigot membelah

diri secara meiosisdan dilanjutkan dengan membelah diri secara mitosis untuk

menghasilkan 8 nukleus yang haploid(late phase cyst, kista stadium lanjut). (3)

Kista stadium lanjut mengandung 8 sporozoit yang berisi spora yang kemudian

akan keluar setelah terjadi ekskistasi (diyakini bahwa pelepasan spora terjadi

saat terjadi pembelahan pada dinding sel) (4) . Stadium trofozoit, dimana

organisme ini mungkin berkembang biak melalui binary fission juga diketahui

ada.

24

Page 25: Responsi Hiv

2.15 . Patogenesis dan Patologi

Pneumocystis jiroveci berada tersebar dimana –mana sehingga hampir

semua orang telah pernah terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak –

kanak sebelum berusia 4 tahun. Transmisi Pneumocystis jiroveci dari orang ke

orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection” (tertelan ludah) dan

kontak langsung (Brown, 1975), dengan kista sebagai bentuk infektif pada

manusia. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi dari orang ke orang

melalui inhalasi. Juga dilaporkan bahwa transmisi dapat terjadi secara “in utero”

dari ibu kepada bayi yang dikandungnya (Singer et al., 1975), namun dengan

trofozoit sebagai bentuk infektifnya. Masa inkubasi ekstrinsik ( = prepaten period)

diperkirakan 20 -30 hari dengan durasi serangan selama 1 – 4 minggu. Masih

ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi infeksi laten yang telah

pernah didapat penderita sebelumnya atau karena paparan berulang dan

reinfeksi terhadap jamur ini. Namun diduga mekanisme infeksinya karena

menjadi aktifnya infeksi laten (Sheldon, 1959; Frenkel et al., 1966).

Organisme ini merupakan patogen ekstra seluler. Paru merupakan

tempat primer infeksi, biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan.

Tetapi dilaporkan bahwa infeksi Pneumocystis jiroveci bisa juga terdapat

ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar getah bening dan sum – sum tulang

(Jarnum et al., 1986; Barnet et al., 1969, Arean, 1971). Organisme umumnya

masuk melalui inhalasi dan melekat pada sel alveolar tipe I. Di paru,

pertumbuhannya terbatas pada permukaan surfaktan di atas epitel alveolar.

Pneumocystis jiroveci berkembang biak di paru dan merangsang pembentukan

eksudat yang eosinofilik dan berbuih yang mengisi ruang alveolar, mengandung

histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi dalam

paru sehingga menurunkan oksigenasi, interstisium menebal dan kemudian

fibrosis. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan kematian karena kegagalan

pernafasan akibat asfiksia yang terjadi karena blokade alveoli dan bronchial oleh

massa jamur yang berproliferasi tadi. Pada autopsi ditemukan paru bertambah

berat dan volumenya bertambah besar, pleura agak menebal. Penampang irisan

paru berwarna kelabu dan terlihat konsolidasi serta septum alveolus yang jelas.

Hiperplasia jaringan interstisial dan terinfiltrasi berat dengan sel mononukleus

dan sel plasma juga tampak. Karena itulah penyakitnya disebut “Pneumonia sel

plasma interstisial”. Dinding alveolus menebal dan alveolus berisi eksudat yang

25

Page 26: Responsi Hiv

amorf dan eosinofilik – memberi gambaran seperti sarang lebah (honeycomb

appearance)-, yang mengandung histiosit dan limfosit, sel plasma dan organisme

itu sendiri. Tetapi pneumonia pneumosistis pada penderita agamaglobulinemia

atau dengan imunosupresi, eksudat yang khas mungkin tidak ditemukan karena

tidak ada limfosit B (Beaver et al., 1984).

Infeksi Pneumocystis jiroveci ditemukan dalam paru hospes dan biasanya

terbatas di lumen alveolus. Ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa

Pneumocystis jiroveci terdapat di dalam kapiler alveolus, septum interalveolus

interstisial dan sel epitel (Matsumoto dan Yoshida, 1986) (1,2,5,6,7,8).

2.16 Manifestasi Klinis

Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-,

dispnoe – terutama saat beraktivitas-, dan batuk non produktif. Progresivitas

gejala biasanya perlahan, dapat berminggu – minggu bahkan sampai berbulan –

bulan. Semakin lama dispnoe akan bertambah hebat, disertai takipnoe –

frekwensi pernafasan meningkat sampai 90 – 120 x / menit -, sampai terjadi

sianosis. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik.

Saat auskultasi dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai kelainan

apapun. Pada 2 – 6 % kasus, PCP dapat muncul dengan pneumothorax

spontan. Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat gambaran yang khas berupa

infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus ke perifer, bisa meliputi seluruh

lapangan paru. Daerah dengan kolaps, diselingi dengan daerah yang

emfisematosa menimbulkan gambaran seperti sarang tawon (“honey comb

appearance”), kadang – kadang terjadi emfisema mediastinal di pneumothorax

(Juwono, 1987; Beaver et al., 1984).

Gas darah arterial bisa menunjukkan sedikit hypoxia (PaO280-95 mmHg)

tapi pada kondisi lebih parah kelainannya bisa bermakna.

Pada darah dijumpai kadar LDH (Lactate Dehidrogenase) yang tinggi - >

460 U / L – atau Pa O2 (tekanan oksigen parsial arteri) < 75 mmHg. Lesi ekstra

pulmoner jarang terjadi - < 3 % -, namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar

getah bening dan sum – sum tulang.

Radiografi dada bisa menunjukkan infiltrat sempurna atau terkadang bisa

normal, meski infiltrat biasanya interstitial dan bilateral.

26

Page 27: Responsi Hiv

Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.

Pada penderita anak – anak sehubungan dengan malnutrisi, onset

penyakit berjalan perlahan , dijumpai kegagalan tumbuh kembang (failure to

thrive), yang akhirnya diikuti takipnoe dan sianosis. Sedang pada penderita yang

imunosupresif – anak mau pun dewasa -, onset penyakit berjalan cepat

(Shulman, 1994).

Onset PCP seringkali bertahap, terjadi dalam periode minggu, meski

tampilan fulminan (=terjadi mendadak dan parah) bisa muncul.

2.17 Diagnosa

Diagnosa laboratorium sukar ditegakkan. Diagnosa pasti dilakukan dengan

menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau bahan yang berasal

dari paru, diantaranya :

- sediaan yang diperoleh dari induksi sputum

- sediaan yang diperoleh dari BAL (Broncho Alveolar Lavage) → dilakukan

bila hasil induksi sputum (-).

- Sediaan dari biopsi paru

27

Page 28: Responsi Hiv

* Pemeriksaan serologis PCR dari sediaan darah, serum dan aspirasi nasofaring

→ masih diteliti lebih lanjut untuk dapat membedakan antara infeksi yang sedang

berlangsung atau infeksi yang sudah lalu.

* Foto roentgen dada dapat menunjukkan gambaran abnormal seperti adanya

gambaran infiltrate interstisial bilateral difus pada daerah hilus. Dapat juga terlihat

gambaran yang berbeda seperti nodul, kavitas, konsolidasi, pneumatocele dan

pneumothorax.

* Sebagai pemeriksaan laboratorium tambahan, analisa gas darah dapat

menunjukkan gambaran penurunan level O2 darah (Cook,1996).

2.18 Manajemen

a. Pengobatan

Pengobatan dengan trimethoprim-sulfgametoxazole (TMP/SMX atau

cotromoxazole) atau pentamidine parenteral dihubungkan dengan 60-100%

tingkat respon. TMP/SMX adalah regimen terpilih untuk perawatan dan

profilaksis PCP pada pasien dengan atau tanpa AIDS.

TMP/SMX diberikan dalam dosis 15-20 mg/kg per hari (berdasar pada

komponen TMP) dalam tiga sampai empat dosis terbagi untuk penanganan PCP.

TMP/SMX biasanya dimulai dengan rute IV, meski terapi oral (karena

absorpsi oral yang tinggi) bisa memenuhi pada kondisi ringan atau untuk

melengkapi terapi setelah didapat respon dengan pemberian IV.

Untuk perawatan PCP yang dihubungkan dengan HIV, pentamidine

isethionate diberikan IV biasanya dalam dosis 4 mg/kg per hari.

Panjang terapi yang optimal untuk perawatan PCP dengan TMP/SMX dan

pentamidine tidak diketahui, tapi 21 hari umum digunakan.

Efek samping yang umum terlihat dengan TMP/SMX adalah kulit

kemerahan, demam, leukopeni, peningkatan serum transaminase, dan

trombositopeni. Tingkat terjadinya insiden efek samping lebih tinggi pada pasien

terinfeksi HIV daripada mereka yang tidak terinfeksi HIV.

Untuk pentamidine, efek samping termasuk hipotensi, takikardi, mulai,

muntah, hipoglisemi atau hiperglisemi parah, pankreatitis, diabetes melitus

ireversibel, peningkatan transaminase, nefrotoksisitas, leukopeni, dan aritmia

kardia.

28

Page 29: Responsi Hiv

Penambahan dini terapi glukokotikoid ke regimen anti PCP telah

menunjukkan menurunkan resiko kegagalan respratori dan meningkatkan

keselamatan pasien dengan AIDS dan dengan PCP sedang sampai parah

(PaO2 <70 mmHg atau gradient A-a >35 mmHg. Regimen yang saat ini

dianjurkan adalah 40 mg prednisone oral dua kali sehari selama  hari ke-1

sampai ke-5; 40 mg sekali sehari pada hari 6-10; dan 20 mg sekali sehari pada

hari 11-21, atau untuk sisa terapi. Pada umumnya, terapi glukokortikoid

tambahan sebaiknya dimulai ketika terapi antipneumocystis dimulai, karena data

pendukung, penggunaan glukokortikoid dimulai pada 24-72 jam pertama sejak

dimulainya terapi antipneumocystis.

 

b. Profilaksis

Saat ini, profilaksis PCP dianjurkan untuk semua pasien terinfeksi AIDS

yang sebelumnya pernah terkena PCP. Profilaksis juga dianjurkan untuk semua

orang terinfeksi HIV dengan hitung CD4 <200 sel/μl atau sel CD4 mereka <20%

dari total limfosit, atau demam yang tidak bisa dijelaskan (>1000F) selama >2

minggu, atau riwayat adanya oropharyngeal candidiasis. Pasien yang menerima

profilaksis PCP yang hitung CD4-nya naik diatas 200 sel/μl karena terapi

antiretroviral sebaiknya menghentikan segera menghentikan profilaksis PCP

(Tabel 38-6). erlian-ff07.web.unair.ac.id

TMP/SMX adalah terapi yang disukai untuk profilaksis primer atau

sekunder PCP pada dewasa dan remaja.

Dosis yang dianjurkan untuk dewasa dan remaja adalah satu tablet efek

ganda sekali sehari.

TMP/SMX juga dianjurkan untuk profilaksis PCP pada anak. Regimen

TMP/SMX yang dianjurkan (meski ada alternatif lain) adalah TMP 150 mg/m2 per

hari dan SMX 750 mg/m2 per hari diberikan dalam dosis terbagi dua kali sehari,

tiga kali seminggu secara berturutan (seperti, senin, selasa, rabu). Dosis harian

total dari TMP/SMX pada anak sebaiknya tidak melebihi 320 mg TMP dan 1600

mg SMX (DiPiro, 2005).

2.19 Prognosis

Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada

penderita dengan immunodefisiensi / immunocompromized. Bila PCP ditemukan

29

Page 30: Responsi Hiv

pada penderita dengan immunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai

100 %. Namun bila infeksi dapat didiagnosa sedari dini dan diberikan terapi yang

adekuat, persentase kematian dapat diturunkan hingga 10 %. Sayang, sebagian

besar kasus PCP bahkan baru terdiagnosa setelah pasien meninggal dunia pada

pemeriksaan autopsy ( Molecular Epidemiology of Pneumocystis canii

pneumonia, 2012 ).

30

Page 31: Responsi Hiv

BAB III

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. Zainul Anwar

Tanggal lahir : 21 februari 1983

Usia : 28 tahun

Alamat : Jalan Mindi RT 02 RW 03 Sidowayah Beji , Pasuruan

Status : menikah

Pekerjaan : swasta

Tanggal MRS :20 Januari 2012

Pendidikan : SMP

Suku : Jawa

Agama : Islam

No. Reg : 1203081

1.2 Anamnesis

Keluhan utama: Badan panas dingin

Pasien mengeluhkan badan panas dingin sejak 2 bulan yang lalu. Setiap

hari pasien merasa dingin dan menggigil, setelah sekitar 5 jam kemudian

pasien merasakan panas. Sensasi panasnya membuat pasien menjadi

berkeringat dan panas yang tidak tertahankan. Kemudian dingin lagi. Pasien

minum paracetamol saat dia panas, temperaturnya berkurang sedikit, tapi

kemudian meningkat kembali.

Pasien juga mengeluh batuk dengan dahak keputih-putihan 2 bulan

yang lalu , tetapi pasien tidak mengeluh berkeringat di malam hari.

1 minggu yang lalu, merasakan nyeri dan reaksi kaku pada perut bagian

kanan, karena nyeri dan sensasi kaku pada perutnya, pasien mengalami

penurunan nafsu makan tapi tidak disertai mual dan muntah.

Pasien mengalami penurunan berat badan sekitar 8 kg selama 2

bulan. Pasien masuk RS di RS Bangil dan didiagnosa dengan infeksi HIV, 3

hari kemudian pasien pergi ke RSSA.

31

Page 32: Responsi Hiv

Saat ini pasien memiliki ulkus dan sariawan di mulut. Pada tahun 2000,

pasien memakai ganja, mengkonsusmsi alcohol (6 botol tiap minggu) dan sex

bebas. Tiga tahun ini, pasien berhenti minum alcohol, konsumsi ganja dan

sex bebas. Pasien merokok setiap hari sampai sekarang.

Review of System

Umum Lelah + Vaskuler Klaudikasio -Penurunan BB + Flebitis -Demam + Ulkus -Menggigil - Arteritis -Berkeringat - Vena Varikose -

Kulit Rash - Abdomen Nafsu makan Turun Gatal - Anoreksia +Luka - Mual +Tumor - Muntah +

Kepala/ Leher

Sakit - Perdarahan -Nyeri - Melena -Kaku Leher - Nyeri -Trauma - Diare +

Mata Kacamata - Konstipasi -Gatal - BAB +Icterus - Hemoroid -Merah - Hernia -Nyeri - Alat kelamin

laki-lakiNyeri -

Diplopia - Gatal -Visus - Sekret -

Telinga Pendengaran - Penyakit kelamin -Infeksi - Ulkus -Nyeri - Ereksi -Benjolan - Ginjal dan

saluran kencing

Disuria -Mulut & Tenggorokan

Nyeri - Hematuria -Kering - Inkontinensia -Suara serak - Nokturia -Sulit menelan - Frekuensi -Sakit saat menelan

- Hematologi Anemia -

Gusi - Perdarahan -Infeksi/Ulkus + Endokrin Diabetes -

Pernafasan Batuk - Penurunan BB +Riak - Goiter -Nyeri - Toleransi terhadap

suhu-

Mengi - Asupan cairan +Sesak nafas - Muskuloske

letalTrauma -

Hemoptisis - Nyeri -Pneumonia - Kaku -Nyeri Pleuritik - Bengkak -Tuberkulosis - Lemah +

32

Page 33: Responsi Hiv

Payudara Sekret - Nyeri punggung +Nyeri - Kram +Benjolan - Sistem

SyarafSinkop -

Perdarahan - Kejang -Infeksi - Tremor -

Jantung Angina - Nyeri -Sesak nafas - Sensorik -Orthopnea - Tenaga -PND - Daya ingat -Edema - Emosi Kecemasan -Murmur - Tidur +Palpitasi - Depresi -Infark -Hipertensi -

1.3 Pemeriksaan Fisik

Kesan umum: tampak sakit berat. GCS: 456.

TD: 100/60 mmHg. Nadi: 104x/menit. Respirasi: 24x/menit. Suhu aksiler:

38.10C.

KULITInspeksi: Warna kulit normal, turgor kulit dalam batas normal, rash (-)

ekstremitas dan abdomen, luka (-), infeksi (-), ptechiae (-), hematom (-), ekskoriasi (-), ikterus (-), rambut lurus sebahu dan berwarna hitam

Palpasi: nodul (-), atrofi (-)KEPALA DAN LEHERInspeksi: Normocephali,pucat, jarak kedua mata normal,tulang pipi

normal, pembengkakan (-)Palpasi: Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)Auskultasi: Bruit (-)Pemeriksaan: JVP R+2cm H2O (45o)TELINGAInspeksi: Serumen (-/-)

Infeksi (-/-)Palpasi: Massa (-)HIDUNGInspeksi: Hidung tampak pesek, septum deviasi (-), sekret (-),

perdarahan (-), polip (-)Palpasi: Nyeri (-)

RONGGA MULUT DAN TENGGOROKANInspeksi: Gigi tampak normal, leukoplakia (-), ulkus (+) lidah & bibir,

tumor (-), infeksi (-), tonsil T2/T2Palpasi: Nyeri (-), tumor (-)MATAInspeksi: Ptosis (-), sclera icteric (-/-), konjungtiva anemis (-/-),

kemerahan (-/-), infeksi (-/-), tumor (-/-),perdarahan (-/-),pupil bulat isokor, air mata (+).

Palpasi: Tidak dilakukan pemeriksaan tonometri

33

Page 34: Responsi Hiv

Funduskopi: Tidak dilakukanTORAKS (PULMO)Inspeksi: Bentuk simetris, gerakan simetris, irama respirasi ritmis,

tumor (-)Palpasi: SF D=S

Perkusi: s ss ss s

Auskultasi: v v Rh - - Wh - -v v + - - -v v - - - -

JANTUNGInspeksi: Iktus invisiblePalpasi: Iktus palpable at ICS V MCL S

Thrill (-)Perkusi: LHM~ictus, pinggang jantung +, RHM~SL DAuskultasi: S1S2 single, reguler, murmur (-), gallop (-)ABDOMENInspeksi: Flat, kontur (-), hernia (-), sikatriks (-), vena collateral (-)

Auskultasi: BU (+) meningkat, bruit (-)Palpasi: Konsistensi supel, massa (-), nyeri (-)

Liver span 12cm,Perkusi: Abdomen timpani, traube space dullness,

shifting dullness (-)PUNGGUNGInspeksi: Dalam batas normalPalpasi: Nyeri (-), tidak teraba adanya tumorEKSTREMITASInspeksi: anemis + + rash - - sianosis - -

+ + - -edema - - icterus - - - - - -

Palpasi: Akral hangat, nyeri (-), massa (-), nadi perifer (+)PEMERIKSAAN SENDIShoulder Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)

Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal

Elbow Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal

Wrist & Hand Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal

Hip Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal

Knee Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-), patellar tap test (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal

34

Page 35: Responsi Hiv

Ankle & Foot Inspeksi: eritema (-), edema (-), deformitas (-)Palpasi: nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM aktif: normal; ROM pasif: normal

ALAT KELAMINPerempuan: -Laki-laki: Tidak diperiksaREKTUM Tidak diperiksaNEUROLOGIInspeksi: Gerak dalam batas normal, lemah, koordinasi normal,

fasikulasi (-), tremor (-), flaksid (-)Saraf kranialis: Dalam batas normalReflex fisiologis: +2 +2

+2 +2Reflex patologis: - -

- -Motorik 5 5

5 5Sensorik N N

N NBICARA Menjawab sesuai dengan pertanyaan

Foto pasien

35

Page 36: Responsi Hiv

1.4 Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan Tanggal 20 januari 2011

o Pemeriksaan darah

Lab Value Lab Value

Leukocyte 9.200 3500-10000/µL GDA 80-140

Hemoglobin 7,2 11,0-16,5g/dl Ureum 41,2 10 – 50

PCV 35-50% Creatinin 0,84 0,7 – 1,5

MCV µm2 MCH Pg

Thrombocyte 48.000 150000-390000 Albumin 3,55 3,5 – 5,5

SGOT 38 11-41U/L CRP

kuantitatif

--

SGPT 36 10-41U/L Na 123 136-145

Bilirubin total 0,57 <1 Kalium 3,58 3,5-5

Bilirubin

direk

0,22 <0,25 Chlorida 92 98-106

Bilirubin

indirek

0,35 <0,75 Kolesterol

total

--

HDL -- LDL --

TG -- Protein total --

Pemeriksaan Tanggal 9 Februari 2012

o Pemeriksaan seroimunologi

HbsAg : negatif

Anti HBs : negatif

Anti HCV : negatif

VDRL : negatif

36

Page 37: Responsi Hiv

TPHA : negatif

TB ICT : negatif

o Pemeriksaan serum elektrolit

Natrium : 123 mmol/l

Kalium : 5,2 mmol/l

Chlorida : 99 mmol/l

Temuan Hasil laboraturium

Hasil: Normokrom Normositer

37

Page 38: Responsi Hiv

Foto Thorax PA

AP asimetris, trakea ditengah, kurang inspirasi, tulang dan soft tissue normal,

sinus prenicocostalis d/s tajam, hemidiafragma D/S domeshape. Penebalan

hillus, peningkatan bronchovascular. CTR 50%

kesimpulan : Pneumonia

38

Page 39: Responsi Hiv

EKG

• Sinus Rhythm, HR 101 x/mnt

• PR Interval : 0,16”

• QRS Interval : 0,06”

• QT Interval : 0,32”

• Frontal axis : normal

• Horizontal axis: normal

• Kesimpulan : sinus tachycardi dengan HR 101 bpm

39

Page 40: Responsi Hiv

POMR (Problem Oriented Medical Record)

CUE AND CLUE PL I Dx P Dx P Tx P Mo

Laki-laki, 28 tahun

Ax:

- Penurunan berat

badan (>10%BB)

- Batuk selama 2

bulan

- Di diagnosa

dengan HIV sejak 3

hari yang lalu

- Riw. free sex (+)

-Pemakaian ganja

- Oral thrush (+)

- HB: 7,2

- Trombosit: 48.000

1. Immuno

compro

missed

state

1.1 HIV

stadium III

-CD4 count

- ELISA

- Konsul VCT

- Determinant

test

-IVFD NS 0.9%: D5%

= 1 : 1

- Diet lunak TKTP

2100 kkal/hari

- Cotrimoxazole

1x960mg (PO)

-Start ARV

-Stavudin 2x30mg

Nevirapin 1x200mg (2

minggu)

- lamifudin 2x150mg

Keluhan

Vital Sign

Laki-laki, 28 tahun

Ax:

-Batuk 2 bulan

dengan riak

berwarna putih

-Penurunan berat

badan

-Suhu badan panas

dingin selama 2

2. Acute

lung

infection

2.1

Pneumonia

CAP

2.2 TB

Secondaru

infection

2.3

Pneumocyst

is

pneumonia

Sputum

culture

Inj. Ceftriaxon 2x1gr

IV

ciprofloxacin 1x1 vial

(drip)

Keluhan

Vital sign

40

Page 41: Responsi Hiv

bulan (intermitten

Fever)

-Tax : 38,1C

- Ronchi di paru

medial dextra

Laki-laki, 28 tahun

Ax:

- oral mouth ulcer

- Di diagnosa HIV

sejak 3 hari yll

- Oral thrush

3. Oral

thrush

3.1

Candidiasis

oral

Oral swab Candistatin drop 4 dd

gtt 1 cc

- keluhan

Laki-laki, 28 tahun

Ax:

- Hb: 7,2

- HIV (+)

4. Normoc

hrom

Normosit

er

anemia

4.1.due to

chronic

disease

•Confirm diagnosa Keluhan

HB

41

Page 42: Responsi Hiv

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Diagnosa HIV

4.1.1 Anamnesa

Dari anamnesa pasien mengeluhkan badan panas dingin sejak 2

bulan yang lalu. Setiap hari merasa dingin dan menggigil, setelah sekitar 5

jam kemudian merasakan panas. Sensasi panasnya membuat pasien

menjadi berkeringat dan panas yang tidak tertahankan. Kemudian dingin lagi.

Pasien minum paracetamol saat dia panas, temperaturnya berkurang sedikit,

tapi kemudian meningkat kembali. Pasien juga mengeluh batuk dengan

dahak keputih-putihan 2 bulan yang lalu , tetapi pasien tidak mengeluh

berkeringat di malam hari. 1 minggu yang lalu, merasakan nyeri dan reaksi

kaku pada perut bagian kanan, karena nyeri dan sensasi kaku pada

perutnya, pasien mengalami penurunan nafsu makan tapi tidak disertai mual

dan muntah. Pasien mengalami penurunan berat badan 5 kg selama 2 bulan.

Pasien masuk RS di RS Bangil dan didiagnosa dengan infeksi HIV, 3 hari

kemudian pasien pergi ke RSSA. Saat ini pasien memiliki ulkus dan sariawan

di mulut. Pada tahun 2000, pasien memakai ganja, mengkonsusmsi alcohol

(6 botol tiap minggu) dan sex bebas. Tiga tahun ini, pasien berhenti minum

alcohol, konsumsi ganja dan sex bebas. Pasien merokok setiap hari sampai

sekarang. Berdasarkan criteria klinis pasien dapat dikategorikan dalam HIV

stadium III.

4.1.2 Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit berat, oral ulcer,

pemeriksaan yang lain dalam batas normal

4.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan awal sederhana yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

darah lengkap dan hitung jenis. Pada penderita dengan immunocompromissed

state, dapat ditemukan penurunan jumlah limfosit < 2000/ul. Selanjutnya, pada

kasus yang telah dicurigai infeksi HIV maka pasien dapat dikonsulkan ke bagian

VCT (Voluntary counceling and Testing) untuk dilakukan dua tahap pemeriksaan

42

Page 43: Responsi Hiv

khusus, yaitu skrining awal berupa Rapid Test dan Enzime Linked Sorbent Assay

(ELISA), dan yang kedua adalah Uji konfirmasi berupa Western Blot test untuk

mendeteksi antibody spesifik pada pasien. Sesuai dengan pedoman nasional,

diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang

berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1 pemeriksaan

ELISA (WHO, 2010).

Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah

test ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA

dalam keadaan infeksi HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test WB

ini. Hasil test yang positif akan menggambarkan garis presipitasi pada proses

elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri

atas protein struktur utama virus. Setiap protein terletak pada posisi yang

berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas antibodi

terhadap komponen tertentu virus (WHO, 2010)

Pada kasus ini, pasien ini akan dilakukan pemeriksaan VCT yang terdiri

dari pemeriksaan DETERMINAN dan ELISA. Apabila dari hasil dari kedua

pemeriksaan tersebut adalah positif dan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan pasien menderita HIV stage III.

4.2 Penatalaksanaan HIV Stadium III

Pada pasien ini belum diberikan terapi ARVsama sekali.. Pemilihan ARV

yang sesuai yaitu diberikan lini pertama adalah kombinasi dua obat AZT/TDF +

3TC atau FTC + EFV atau NVP. Pada pasien ini, bisa diberikan kombinasi AZT

(zidofudin) dan 3TC (lamifudin). Duviral merupakan kombinasi dua jenis ARV

NRTI yaitu lamivudin dan zidovudin. Pemberian kombinasi ARV ini sesuai

dengan rekomendasi WHO

4.2 Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik

Pada pasien ini, ditemukan oral kandidiasis. Penanganan untuk oral

kandidiasis diberikan nystatin drop. Pemberiannya dimulai walaupun ARV belum

dimulai. Tindakan ini dilakukan untuk melihat apakah ada respon terhadap obat-

obat tersebut.

43

Page 44: Responsi Hiv

4.3 Prognosis Penyakit

Dengan mengatasi infeksi oportunistik diharapkan dapat berkurangnya keluhan

dan adanya perbaikan kondisi umum pada pasien.

44

Page 45: Responsi Hiv

BAB V

KESIMPULAN

1. Diagnosis HIV pada kasus ini didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis

dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan clinical staging pasien ini masuk

pada kriteria HIV stadium III.

2. Penatalaksanaan HIV stadium III pada pasien ini belum sesuai dengan teori

karena seharusnya pada HIV stadium III terapi ARV diberikan tanpa

menunggu hasil hitung jumlah limfosit CD4+. Pemilihan ARV yang sesuai

yaitu diberikan lini pertama adalah kombinasi dua obat AZT/TDF +3TC atau

FTC+EFV atau NVP, jadi dapat diberikan AZT (zidofudin) dan 3TC

(lamifudin) pada pasien ini.

3. Infeksi oportunistik pada kasus ini kita temukan oral candidiasis, dan acute

lung infection. Pada pasien ini sudah diberikan ceftriaxon, ciprofloxacin,

candistatin

45

Page 46: Responsi Hiv

DAFTAR PUSTAKA

Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Indonesian edition : Jawetz, Melnick &

Adelberg Mikrobiologi Kedokteran. Ed. 20. EGC. 1996 : 632 – 3.

Brown HW, Neva FA. Basic Clinical Parasitology. United States of America. Appleton Century Crofts. 1983 : 76 - 7.

Cook G. Acute Lobar Pneumonia, Pneumocystosis, Acquired Immune Deficiency Syndrome. In : Manson’s Tropical Disease. 20th ed. London. ELBS & WB Saunders. 1996 : 79 – 80, 281, 394.

Ditjen PPM & PL Depkes RI. Pedoman nasional – perawatan, dukungan dan

pengobatan bagi odha.Jakarta:Deoartemen Kesehatan RI,2003.

Djoerban dan Djauzi. 2006. HIV AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu penyakit

Dalam Jilid III. FKUI: Jakarta.

Shulman ST, et al. Indonesian edition : Dasar Biologis & Klinis Penyaki Infeksi.

4th ed. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1994 : 436 – 46.

Sisirawaty, et al. Beberapa Aspek Pneumocystis Carinii. Seminar Parasitologi

Nasional V. 1989.

Lung Parasites Incertae Sedis : Pneumocystis jiroveci (P. carinii). Available at : http://www.cdfound.to.it/HTML/lung.htm.

Manson – Bahr PH. Manson’s Tropical Diseases. 16th ed. London. ELBS & BT

and C.2001.1968:883–4.

Molecular Epidemiology of Pneumocystis carinii Pneumonia. Emerging Infectious

Diseases vol. 2 number 2. Available at :

http://www.cdc.gov/incidod/eid/vol2no2/beard.htm

National AIDS Commission Republic of Indonesia,2009. Republic of Indonesia

Country Report on the Follow up to the Declaration of Commitment

On HIV/AIDS (UNGASS) Reporting Period 2008 – 2009.

UNAIDS-WHO. Revised recommendation for the selection and use of HIV

antibody test. Weekly Epidemiological Report 1997;72:81-8.

WHO,2010. Antiretroviral therapy for hiv infection in Adults And Adolescents

2010 revision. WHO. Austria.

46