Hitam Putih dalam Choco-Vanilla (Olivia)
-
Upload
olivia-d-purba -
Category
Documents
-
view
95 -
download
1
Transcript of Hitam Putih dalam Choco-Vanilla (Olivia)
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
0 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Hitam Putih dalam Choco-Vanilla ©
(Seluruh isi dari tulisan ini adalah karya asli dari Olivia D. Purba)
Synopsis HITAM PUTIH (COKLAT-VANILLA)
1 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Hidup Dani, seorang siswa SMU di Jakarta, agak berubah akhir-akhir ini.
Tepatnya semenjak kedatangan Miki, sepupunya yang cantik, dari Australia. Pasalnya
Dani sudah delapan tahun tidak bertemu dengan sepupunya yang blesteran Indo-Prancis-
Australia ini. Bersama Miki setiap hari sambil menemani hari-hari liburannya di
Indonesia membuat Dani sering teringat dengan kenangan-kenagan masa kecilnya
bersama Miki. Kenangan manis yang tidak dapat terhapus dari ingatannya. Ia sempat
kesal ketika menyadari bahwa Andre, saingannya dalam perbutan jabatan ketua OSIS di
sekolahnya tengah mendekati Miki. Suatu saat Dani pun sadar bahwa ia mencintai
sepupunya ini. Lebih jauh lagi, ternyata Miki juga memiliki perasaan yang sama dengan
Dani. Namun mungkinkah hubungan cinta dibina dengan saudara yang masih memiliki
hubungan darah? Akan tetapi cinta memang tidak mengenal rintangan, mereka bertahan
melanjutkan perasaan mereka meskipun terpisah oleh jarak. Namun, tiba-tiba saja sebuah
surat tua menyadarkan bahwa mereka tidak akan bisa terus bersama. Kenyataan yang
tertulis dalam surat itu menguak kemungkinan bahwa mereka adalah saudara kandung
membuat keduanya begitu syok! Sebenarnya apa rahasia yang disimpan oleh orangtua
mereka puluhan tahun yang lalu? Mampukah cinta mereka mengalahkan segala rintangan
dunia?
Beautiful girl, where ever you are
2 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
I knew when I saw, you had opened the door
I knew that I’d love again after a long, long while
I’d love again.
You said “hello” and I turned to go
But something in your eyes left my heart beating so
I just knew that I’d love again after a long, long while
I’d love again
It was destiny’s game
For when love finally came on
I rushed in line only to fine
That you were gone
Whenever you are, I fear that I might
Have lost you forever like a song in the night
Now that I’ve loved again after a long, long while
I’’ve loved again
Beautiful girl, I’ll search on for you
‘Til all of you loceliness in my arms come true
You’ve made me love again after along, long while
In loce again
And I’m glad that it’s you
Hmm, beatiful girl
(Beautiful Girl – Jose Marichan)
Prolog
3 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Prang… Praak… Piring-piring serta peralatan makan lain
terdengar berjatuhan dari atas meja makan bundar tersebut. Dua
orang pria muda yang usianya terpaut tidak begitu jauh sedang berdiri
di masing-masing ujung meja. Mata mereka saling bertatapan satu
sama lain. Pria yang sedang memakai kemeja menggenggam
tangannya yang terluka. Sementara jari-jari tangannya yang terluka itu
dikepalkannya erat. Nafasnya terengah-engah, pandangannya lurus
kedepan. Pandangan tajam itu ditujukan pada pria yang berdiri di
ujung satunya lagi. Pria yang satu lagi ini sedang memakai kaus
oblong dan celana bahan. Berbeda dengan pria yang satunya lagi, pria
ini menatap dengan pandangan mata sayu. Seperti ada rasa bersalah
tertinggal dalam bola matanya. Hal itu terlihat jelas meskipun
rambutnya yang disisir ke samping menutupi sebagian pandangannya.
Ia mematung dengan posisi tubuh tegak. Kondisi di ruangan yang
kemungkinan besar adalah ruang makan tersebut begitu berantakan.
Taplak meja tercampak dari meja, piring-piring kaca pecah berantakan
di bawah sisi meja, dan begitu pula halnya akan gelas dan sendok.
Kedua pria itu masih terus bertatapan. Akhirnya pria yang memakai
kaus oblong memecah kekakuan dengan berjalan mendekat. Tanpa
memperhatikan lantai yang berantakan, ia melangkahkan kakinya.
Beberapa pecahan kaca menusuk telapak kakinya, namun tidak ia
hiraukan. Ia berjalan dengan pandangan mata lurus ke depan.
4 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Dik… aku minta maaf.” ujarnya setelah berjalan beberapa
meter dari posisinya. Pria yang satu lagi hanya menatap, terus
menatap, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya secara
perlahan.
“Dik… kau lihat ini, Dik?” tanya pria itu sambil menunjukkan
sebuah cin-cin perak yang melingkar di jari manis tangan kirinya. ”Dik,
aku sudah bertunangan dengan Anya, Dik. Itu cuma cerita lama, Dik.
Dan aku tidak bermaksud merahasiakannya padamu.” Ujar pria itu lagi
dengan memelas.
Pria yang di panggil ‘adik’ itu tidak mengucapkan satu katapun.
Ia hanya memandangi sosok yang berdiri dihadapannya sambil terus
menggeleng-gelengkan kepala. Nafasnya masih terengah-engah
sementara darah terus mengucur lewat pergelangan tangannya.
Tampaknya ia baru saja melepaskan emosi lewat benda-benda di
sekitarnya.
“Dik… bicaralah, Dik. Aku gak bermaksud menghianatimu, Dik.
Bukan Dik.” Pria yang satu ini terus memelas dan berusah menahan
gundahnya. Ia kemudian berjalan semakin mendekat. Darah mulai
menetes melalui sobekan kulit di telapak kakinya. Pria yang satu lagi
masih terus menggeleng. Hingga ketika pria yang sedari tadi terus
berbicara berada cukup dekat dengannya, pria yang satu lagi beranjak
dengan segera. Puing-puing yang berantakan tertinggal di tempat itu.
5 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Tapi pria itu pergi dengan membawa seserpih dari puing yang
tersangkut. Puing hati yang hancur.
Sepeninggalan pria berkemeja itu, pria yang satunya menunduk
dengan wajah layu. Hatinya sesak, dadanya juga. Tidak dihiraukan
rasa nyeri di telapak kakinya. Darah berceceran, barang-barang juga
berantakan dan tidak berbentuk lagi. Pemandangan itu bagai
menggambarkan hati keduanya.
Chapter 1. Pertemuan Kembali
Sore ini kedatangan tamu membuat Mama sangat sibuk menyiapkan segala sesuatunya:
membersihkan ini, membersihkan itu, membereskan barang-barang, mempersiapkan ruangan, dan lain
sebagainya. Mama juga telah memasak berbagai jenis makanan. Aku merasa seperti akan diadakan suatu
perjamuan besar saja di rumah ini. Aku sendiri sebenarnya tidak bisa dibilang terlalu tenang. Bingung
entah kenapa aku jadi sedikit nervous. Bukannya biasanya kalau ada tamu yang datang, aku calm down
saja? Baik tamu itu datang dari negeri antah berantah ataupun dari sebelah tembok dinding alias
tetanggaku. Bukannya tamu ini cuma saudara dekatku yang sudah mengenal sifatku secara mendalam
dari kecil? Bukannya ia cuma saudara dekatku yang biasa saja? Apakah mungkin karena aku sudah tidak
bertemu delapan tahun dengannya? Atau mungkin karena dia telah datang jauh-jauh dari luar negeri,
dari Australia? Ah, sudahlah! Aku tidak mengerti. Lagipula kenapa aku harus bingung memikirkan itu.
Lebih baik aku sekarang memikirkan tentang proposal saja. Proposal yang harus ku buat untuk
memuaskan keinginan teman-temankuku agar aku ikut dalam pencalonan ketua OSIS. Bingung juga
6 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
kenapa harus aku? Aku sendiri masih ragu apakah aku harus benar-benar mengajukannya? Karena
sebenarnya aku tidak merasa mempunyai kelebihan khusus ataupun pribadi berkepemimpinan yang
mantap untuk menghimpun teman-teman di sekolah. Aku kan cuma Dani. Aku cuma pelajar SMU biasa-
biasa. Mungkin beberapa orang beranggapan aku anak yang baik dan ramah. Tapi, apakah modal
friendly ku ini saja cukup untuk mengatur kegiatan seisi sekolah? Ah, aku semakin bingung.
Tlit…tlit...tlit…pada saat pikiran Dani menerawang, tiba-tiba terdengar bunyi lagu standart
ponsel dari sumber bunyi yang tergeletak di depan meja belajarnya. Ia kemudian melirik sekilas,
dilihatnya nomor yang sudah tidak asing lagi dikepalanya, Friska.
“Napa Chik?” tanya Dani dengan suara beratnya begitu membuka flip ponsel clamshall
miliknya. Chika adalah panggilan khususnya pada Friska.
“Hei Dani, met malam. Lo gi paen? Ganggu gak nih?”
“Gak kok. Gue lagi bengong gak jelas aja, ada apa?”
“Gak, cuma mau ingatin aja soal pemilihan ketua OSIS-nya itu. Gue baru dapat kabar kalau
proposalnya harus ada CV lo yang jelas. Tadi ada kakak kelas yang laporin ke gue sekaligus nanyain lo.
Terus lo tahu gak, banyak yang bilang lo asli masuk dalam kategori ideal sebagai seorang ketua OSIS.
Ditambah lagi banyak anak kelas satu dan dua yang dukung lo.”
“Hmmmf..” Dani menghela nafasnya datar.
“Ya ampun Dan, lo kok kayak gak niat gitu? Semangat donk! Gue yakin kok lo pasti bisa, lo kan
cukup populer di sekolah. Secara lo The Best Capture klub fotografi kita…hehehe..” tawa Friska. Ia
berusaha mendukung Dani dengan gurauan.
7 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Biasa aja kok Chik, gue cuma lagi bimbang buat ngambil keputusan. Gue takut gak bisa
mengatur waktu dengan baik. Lagian sebentar lagi kita udah kelas tiga, gue pengennya lebih serius
belajar supaya bisa ngelanjut ke univeritas yang kompeten.”
“Dani!” tiba-tiba teriakan Mama yang masih terkesan lembut terdengar dari arah ruang tamu.
Teriakan Mama sejenak memotong pembicaraan antara kedua sahabat itu.
“Ups, Nyokap gue udah manggil ni Chik, udah dulu ya?”
“Ok deh.”
“E, tunggu…” sela Dani.
“Apa?”
“Dani…..!!!” Mama memanggil kedua kalinya dengan nada yang lebih tinggi.
“Iya Mama, tunggu sebentar…” teriak Dani sembari menjauhi ponselnya.”Ingat tugas Kimia kita
besok dikumpul lo, jangan sampai telat lagi kayak kemaren ya Chika. Gimana sih, masak ketua kelas
kerjanya gak siap tugas melulu.” ledek Dani diselingi sedikit tawa ringan.
“OK, Sip Bos…!” balas Friska dengan nada sok tegas “Lo udah ingatin itu ke gue dua hari yang
lalu.”
“Biar lo makin ingat aja. Hehehe…”
“Iya.. iya..., Makasih ya? Met malam, See ya tommorow at class.”
“See ya too, Chika.”
Klik.. tut..tut..tut… Dani meletakkan gagang teleponnya setelah mendengar bunyi saluran ponsel
yang terputus itu, kemudian ia langsung menuruni tangga.
“Ada apa Ma?”
“Enggak, Mama cuma mau nanyain kamu aja. Kamu ingat kan sebentar lagi Om Rio dan
anaknya mau datang ke Jakarta?” Mama bertanya sembari membetulkan posisi meja diruang tamu.
8 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Iya.”
“Mama mau minta tolong sama kamu, dua hari lagi Om Rio tiba di Jakarta, jadi kamu temani
mereka jalan-jalan ya? Mama tahu akhir-akhir ini kamu sibuk dengan kegiatan kamu di sekolah, tapi gak
ada salahnya meluangkan sedikit waktu untuk Miki. Kamu udah lama kan gak main bareng lagi
dengannya kan? Kalau gak salah udah delapan tahun ya dari semenjak dia berangkat ke sana.”
Deg! Seketika itu juga jantungku seperti berhenti berdetak. Begitu Mama menyebutkan nama
‘Miki’. Nama yang begitu berkesan dihatiku.
Malam telah larut, lampu-lampu malam berpijar menghiasi tiap sudut kota. Malam selalu hadir
dengan kesunyian, namun malam segera berlalu dan pagi pun datang dengan terang fajar yang
menghangatkan tiap raga manusia. Pagi ini Dani sekolah seperti biasa. Langit masih mendung dan angin
dingin menusuk dibalik seragam sekolahnya. Langit seperti ini selalu menimbulkan rasa kelabu dalam
hati Dani, teringat akan sepenggal kisah kenangan masa lalunya.
Udah hampir delapan tahun gak bertemu dengannya. Jujur saja aku rindu padanya. Mungkin dia
sekarang udah berubah ya? Terakhir bertemu sewaktu dia masih berumur delapan tahun. Pasti banyak
yang udah berubah. Aku rindu sekali dengannya. Selama ini hanya bisa berhubungan lewat chatting atau
telepon dan itupun jarang. Sesungguhnya aku tidak sabar lagi ingin bertemu dengannya.
“Doar…” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing lagi menyadarkan Dani dari lamunannya.
“Pagi-pagi udah ngelamun, ntar kesandung batu lho.” ejek Friska dengan senyuman lebarnya.
Telunjuknya diarahkan ke wajah Dani.
“Hei Chika! Gimana tugas lo, udah selesai lum?” balas Dani berkata dengan menyeringai
sembari mengacak rambut sobatnya ini dari belakang sebagai sebuah tanda persahabatan.
9 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Udah donk, kan udah diingatin kemaren. Hehehe..” jawab Friska. Setelah itu, selama beberapa
detik mereka berjalan menuju gerbang sekolah dengan diiringi diam. Tiba-tiba Friska teringat sesuatu
dan seketika itu juga dia menyeletuk,
“Oya Dan, ntar lo datang gak ke festival kita minggu depan?”
“Festival apa?” tanya Dani sembari mengerutkan keningnya, dicobanya mengigat sesuatu hal
penting yang mungkin dilupakannya.
“Festival musik sekolah kita!” seru Friska dengan nada agak tinggi seperti hendak menyadarkan
Dani akan hal yang sangat penting. “Bukannya lo ikut salah satu seksinya? Kok lo lupa sih?”
“Ya ampun!” seru Dani sambil menampar keningnya. “Gue ingat, tapi gak ingat kalau
festivalnya itu minggu depan! Gimana ya? Padahal gue udah janji ama Nyokap. Duh…” Dani langsung
mengeryitkan keningnya dan menerawang jauh, wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir.
“Emang lo janji apa ama nyokap lo?”
“Om ama sepupu gue mau datang kesini, liburan gitu. Gue udah janji ama Nyokap mau nemenin
sepupu gue selama liburannnya di sini. Duh, gimana ya? Gue jadi bingung ni. Gue gak mungkin asal
ninggalin festival itu juga kan? Lagian gue masih punya tanggung jawab ngawasin jalannya acara.”
“Lo gak biasanya Dan keteteran gini. Lagi banyak pikiran ya? Gini aja, gimana kalau kamu ajak
aja sepupu lo ke festival?”
“Ha??”
“Gak ada salahnya kan?”
“Hm… iya juga ya?” ucap Dani sembari mengelus-elus dagunya.
10 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ayah… ayah… akhirnya suratnya datang, Ayah saya berhasil, saya lulus! Lihat…
lihat… di sini tertulis Rio Haryono. Ayah, saya berhasil Yah, Ayah!!!” teriak Rio sembari
berlari menyusuri tiap sudut rumah. Ia menaiki tangga dengan diikuti semua penghuni
rumah yang menyusulnya karena heran akan tingkah lakunya itu.
“Ayah!” teriaknya lagi lebih kencang.
“Ada apa Rio?” tanya sebuah suara berat dari dalam kamar. Setelah mengangkat
cerutunya, pria itu kemudian keluar dari kamar emasnya. Sekilas dapat dilihat
kewibawaannya dibalik tubuh tegap yang sudah kropos, hasil perjuangannya di masa lalu.
”Liat Ayah, liat!” seru Rio antusias sembari membukakan selembar kertas yang
telah kusut teremuk. Seisi rumah menjadi heboh mendengar suara teriakan Rio. Tidak
luput juga Bibik kesayangan keluarga ini, yang telah mengabdikan hampir separuh dari
waktu hidupnya untuk membantu tiap kegiatan keluarga ini.
“Saya berhasil masuk universitas di Australia, saya bisa melanjutkan studi saya ke
luar negeri Ayah! Luar biasa kan, Yah?” Meskipun pria tua tadi hanya menganguk-anguk
tenang, namun dalam hatinya tertuang begitu banyak perasaan yang bercampur-aduk.
Tangannya terbujur kaku memandangi selembar kertas itu, dirasakannya waktu terhenti
dalam benaknya. Disaat seisi rumah melompat kegirangan akan berita menggembirakan
itu, ia hanya terdiam, tetap memandangi kertas yang sama.
“Jadi, dia pergi juga ya, Yah?” ucap sebuah suara sembari memberikan sehelai sapu
tangan kepada pria tua di sebelahnya yang terlihat lara. Sambil menerima sapu tangan
yang melambai-lambai terhembus angin itu, pria tua itu memandang jauh ke arah
pesawat terbang yang meluncur pesat meninggalkan landasan. Setelah beberapa saat, ia
mulai membuka suara.
11 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Dia anakku, anak kesayanganku. Aku tahu aku akan jarang bertemu dia lagi. Akan
sangat susah bagiku bertemu dengan anak bungsuku yang manja, tumpuan harapanku.”
lelaki tua itu berusaha menahan tangisnya yang akhirnya menetes juga. Tangisan pria tua
selalu berbeda dengan tangisan-tangisan lain. Tangis yang berisi pengalaman yang penuh
akan suka dan duka dunia, akan pahit dan manisnya hidup, akan asinnya garam dunia.
“Ayah tenang saja Yah, masih ada aku. Aku gak akan ninggalin Ayah, aku janji akan
selalu menemani Ayah dan ada di samping Ayah.” timpal pria muda itu sembari menepuk
punggung orang yang di panggilnya Ayah di sampingnya. Setelah itu ia memandangnya
dengan penuh rasa sayang dan perhatian.
Lelaki tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah anaknya yang satu ini
dengan air muka yang penuh haru dan senyuman getir, penuh usaha penghiburan diri
sendiri.
Sore yang cerah, angin berhembus begitu lirih dimusim penghujan ini. Entah kenapa sore ini
berbeda dengan biasanya. Biasanya di sore seperti ini, hujan akan turun membasahi sudut-sudut kota
walaupun hanya gerimis sejenak. Sebenarnya sore ini Dani hendak bersantai-santai di luar, ada
keinginan dalam dirinya untuk duduk sebentar di bangku taman yang sudah berkarat itu sambil
menikmati hembusan angin serta merasakan helai dedaunan yang masih hijau segar jatuh tertiup angin
dan menepis wajahnya. Hanya saja, ia terlalu lelah setelah melakukan tanggung jawab dan aktivitasnya
hari ini di sekolah. Kepalanya yang terasa berat seperti menuntunnya langsung menuju bantalnya di
sudut tempat tidur kamar. Pada akhirnya ia memutuskan untuk langsung saja berjalan kerumah daripada
nongkrong sebentar di bangku taman.
12 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Mama, aku pulang.” ucapnya pelan sambil celingak-celinguk memperhatikan keadaan
sekeliling rumah.
“Mama...?!” ucapnya sekali lagi, kali ini lebih mirip kata tanya daripada seruan. Ia
memerhatikan sekelilingnya, seperti ada keganjialan dalam rumah ini. Biasanya rumah ini akan selalu
hangat menyambut kedatangannya. Mama yang perhatian selalu menunggu kehadiran seisi rumah
dengan kelembutan, memberi segala kerpeluan yang mungkin dibutuhkan dengan tangan penuh kasih.
Berhubung ibunda Dani tidak memiliki pekerjaan di luar rumah dan hanya bekerja sebagai ibu rumah
tangga biasa, secara tidak langsung membuat dirinya memiliki banyak waktu yang bisa diluangkan
untuk seisi penghuni rumah.
“Bik..” panggil Dani lagi. “Bik…” kali ini dengan nada yang lebih panjang.
Kemudian ia hanya terdiam di tengah ruang tamu, terbujur kaku melihat pemandangan sekitar.
Isi kepalanya mulai berputar, tanggannya mulai dingin. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri
walaupun sebagian dirinya galau akan segala keanehan ini. Ia kemudian mulai memperhatikan tirai putih
jendela yang melambai terhembus angin. Keganjilan ini makin nyata baginya mengingat bagian jendela
itu jarang dibuka. Hal ini disebabkan jendela itu langsung menghadap ke arah jalan blok, sehingga abu
dengan mudahnya dapat masuk kedalam. Walaupun masih ada pembatas berupa taman kecil
dipekarangan depan, namun asap knalpot serta truk-truk tua yang mengangkut pasir dan tanah bangunan
dari toko pertukangan beberapa blok dari rumah mereka tetap saja dapat menimbulkan polusi ringan
dalam ruangan yang sangat dijaga sehigenis mungkin oleh ibu yang mantan perawat itu. Dani kemudian
berjalan perlahan mendekati tirai yang terhembus oleh angin semilir sore. Ia berjalan semakin dekat dan
semakin dekat menuju tirai itu. Terdengar dentuman suara langkah kaki berjalan dengan sepatu sekolah
yang belum dibukanya sedari tadi. Terasa getaran langkahnya yang berjalan semakin dekat dan semakin
dekat, jantungnya pun berdetak semakin kencang.
13 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Deg… Deg… Deg… kini bisa dirasakannya jantungnya semakin berdegup sementara berbagai
bayangan aneh mulai terbesit dipikirannya, langkahnya mulai tegang mengikuti logikanya. Semakin
dekat dan…
Sraaaaaapppp… tirai dibukanya dengan cepat. Kosong! Tak ada apa-apa, hanya jendela yang
terbuka. Namun sekilas kemudian, tersingkap bayangan yang hendak mendekatinya dengan gerakan
begitu cepat. Ia hendak mengelak namun sudah terlambat, dia sudah tidak dapat menghindar lagi dan…
“Doar!!!!!” kejut suara itu dengan nada tinggi sembari mendorongkan kedua tangan kecilnya di
punggung Dani. Dani terhuyung sebentar dan dengan segenap usaha koordinasi keseimbangan
tubuhnya, ia berhasil membalikkan badannya cepat.
“We meet again…” ucap suara itu, memberikan jeda nada lalu memiringkan kepalanya. “..Dani.”
lanjutnya.
Dani hanya terdiam, tekejut dan terpaku pada posisi tegapnya semula. Matanya sampai tidak bisa
berkedip. Pikirannya berputar dengan ingatan masa lalu. Bayangan hitam putih yang memilukan
hatinya, yang membawa dia pada kerinduan. Kerinduan yang tiba-tiba saja datang kepadanya. Kini
hitam putih itu menjadi nyata, menjadi spektrum penuh warna disekitarnya, dihadapannya tepatnya.
“It’s been a long time I’m not seeing you, ” ucap suara ini lagi dengan nada sayup-sayup suara
kecilnya “I miss you so much.” lanjutnya sembari berjalan cepat ke arah Dani, memeluk tubuh sekitar
lehernya dan tiba-tiba saja mengecup pipi kanannya, sangat dekat ke bibir.
“I miss you so much my brother… Dani.” ucapnya dengan posisi tetap memeluk Dani,
menyandarkan kepalnya ke bahu Dani, tersenyum dan memejamkan matanya untuk menikmati saat-saat
langka itu.
Dani masih membisu dan tidak tahu lagi berbuat apa. Jantungnya semakin berdegup kencang
melebihi yang tadi dirasakannya. Akhirnya dengan nuraninya ia membalas memeluk gadis ini dan
14 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
membelai punggungnya dengan sedikit keraguan. Sementara gadis itu dengan segala kegembiraannya
menghentakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri yang secara tidak langsung menggerakan juga tubuh
Dani mengikuti hentakan tubuh gadis itu.
Suasana saat itu sangat klasik. Sinar mentari yang terbenam masuk melalui celah-celah tirai
jendela yang terus bergoyang dihembus angin sepoi. Mereka berdua berpelukan, mengayunkan tubuh
mereka, dan melepas segala rindu yang terpendam. Masih dalam posisi memeluk tubuh Dani dan masih
tersenyum sambil memejamkan matanya, sang gadis kembali berguman,
“Aku kengen sekali denganmu. Kangen… sekali.”
Dani tidak bisa membalas satu kata apapun. Hanya tetap memeluk dan membelai tubuhnya, kali
ini tanpa keraguan lagi. Ia menatap ke langit-langit rumah dengan pandangan kosong. Ia menghela nafas
panjang lalu tersenyum penuh arti.
“Yakin Pa, Miki gak apa-apa ditinggalin di rumah sendiri? Kita belum ada bilangin ke Dani lho
kalau ternyata keberangkatan Miki dipercepat.”
“Gak apa-apa kok Ma, lagian Miki sendiri kan yang ngotot gak mau diberi tahu.”
“Iya, tapi Mama was-was juga ninggalin dia di rumah sendirian.”
“Habisnya mau gimana lagi, Miki maksa sih. Katanya pengen cepat-cepat ketemu sama Dani.
Dibiarin aja lah Ma, lagian masih ada Bibik kok di rumah.”
“Iya ya, anak itu mirip sekali dengan Ibunya. Keras kepala gak ketulungan.” ucap suara lain yang
berada di sisi depan bangku mobil sambil tertawa khas orang tua.
15 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Hahaha… kamu sadar juga ya? Mungkin itu bukan karena faktor genetik, mungkin kamu saja
yang terlalu memanjakkannya Rio. Hahaha…” balas pria yang berbicara tadi. Ia sedang duduk di bagian
belakang mobil berdampingn dengan istrinya.
“Ah, kamu bisa aja.” timpalnya lagi kali dengan menyeringai lebar.
Dan seisi mobil tertawa membayangkan bagaiman reaksi putra-putri mereka yang tengah
menjadi bahan pembicaraan.
“Ya sudahlah Pak, sekarang kasih tahu dulu sopirnya yang mana jalannya ke rumah tua kita itu.”
“Iya Ma, sabar, toh masih jauh.”
Chapter 2. The Festival
“Hoi Daniel, apa kabar Man?” tanya Joe sewaktu keduanya berjalam masuk menuju ruangan kelas. Joe
adalah teman satu kelas Dani yang sekaligus sahabat Dani.
“Sehat Bos!” seru Dani sembari membalas jotosan tangan temannya, khas anak SMU.
“Lho, mata loe kok bengkak gitu? Ada lingkaran hitamnya lagi. Loe pasti kurang tidur buat
nyiapin bahan buat propososal ketua OSIS ya? Ceile… yang mau jadi ketua OSIS…” ledek Joe sembari
tertawa lebar yang disusul beberapa anak kelas lainnya yang tak sengaja mendengarkan pembicaraan
mereka.
“Enggak kok! Kemaren saudara gue baru datang, jadi gue semalam kurang tidur.” jawab Dani sembari
berjalan menuju ke kantin usai mengantarkan tasnya. Keduanya terus berbicara sambil berjalan.
16 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Emang loe bareng saudara loe tu ngobrol semalaman?” tanya Joe yang menyusul Dani dari belakang.
“Gak juga sih, tapi gue gak bisa tidur aja.”
“A… gua tau, pasti saudara loe tuh cewek kan? Yang umurnya gak jauh sama umur loe kan?”
Glek… Uhuk… seketika itu juga Dani tersedak kopi yang baru aja dihirupya.
“Lo kok tau sih?” tanya Dani curiga.
“Ya tau lah. Ingat man, kita ini sobatan, udah sekelas dua tahun. Mana mungkin gua gak kenal elo.
Lagian akhir-akhir ini gua ngerasa pikiran loe agak kacau. Bukannya selama ini loe orang paling teratur
yang pernah gue kenal. Biar loe tau ja ye, si Andre saingan loe dalam hal perebutan tahta ketua OSIS,
udah mulai menjalankan aksi kempanye tersembunyinya dari kemaren-kemaren hari. Kalo loe masih
dalam posisi bimbang gini, gue gak yakin loe bisa ngalahin dia.” Joe bercerita panjang lebar yang kini
dengan ekspresi lebih serius.
Dani hanya terdiam mendengar tanggapan temannya ini, tetap dengan memegang gelas kopi stereoform
nya itu.
Kring…kring… terdengar suara lonceng berdering yang selalu memaksa setipa murid di luar kelas
untuk beranjak menuju kelas masing-masing.
“Balik yok, Joe?”
“Yuuuk..” jawab Joe sambil memoyongkan bibirnya. “Oya, ngomong-ngomong gak terasa ya festival
musik kita itu udah dekat?” Joe memulai pembicaraan lagi selama di jalan kembali ke dalam kelas.
“Hm…Iya ya.” jawab Dani dengan tersenyum tipis.
“E, loe jangan lupa bawa cewek elo ya pas festival, sekalian elo kenalin ke kita-kita.” Joe berkata
sembari menaik-naikkan kedua alisnya. Kini mereka berdua telah sampai di dalam kelas dan duduk di
kursi mereka yang bersebelahan.
17 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ah, yang benar aja lo. Katanya lo sobatan ama gue dua tahun. Lo kok gak tau gue gak punya
cewek?” Dani menjitakkan tangannya di atas kepala Joe.
“Yaelah.. mana gua tau. Bisa aja kan elo diam-diam udah punya cewek. Gimana sih lo, bagi-bagi
donk ama kita atu.” Joe berkata dengan menyengir lebar.
“Ah lo bisa aja. Gue gak ada.” Dani membalas perkataan Joe sambil senyum. Sejenak kemudian
ia terdiam memandang ke depan dan menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Elo serius ya sampek sekarang belum punya cewek?” tanya Joe lagi penasaran. Dipandanginya
Dani lekat-lekat dalam upaya mendapatkan keseriusan jawaban.
“Hm..belum.” Dani menatap dengan posisi tertunduk kebawah.
“Ah payah loe, Dan. Padahal cewek-cewek udah pada ngantri di hadapan loe. Malah loe sia-
siain. Kalau gua jadi loe, gue pasti udah terkenal sebagai si Mr.Don Juan sekolah.”
Sambil mendongkakkan tubuh Joe dengan kepalan tinju tangannya, Dani berkata “Ah, lo bisa aja
Joe.”
“Ok..ok.. man, gini aja,” ucap Joe dengan mengangkat kedua belah telapak tangganya kedepan,
kearah dada, seperti dalam posisi ingin menyerah.”..lo pokoknya janji harus bawa satu cewek kefestival
musik ini ya? Gue gak mau tau, atu aja. Gue gak peduli deh mau dari adek kelas, kakak kelas, dari
sekolah lain, emak kribo, tante-tante atau siapa aja, yang penting satu orang doang. Supaya gue gak
dibilang homoan ama lo. Hahaha..”
“Hahaha… gampang la man. Gue juga sebenarnya udah berencana sih. Kebetulan elo ngingatin
gue.”
“Ok.. sip man. Ketemu di lapangan dua hari lagi dengan bawa cewek masing-masing.”
Keduanya pun tertawa mengakak namun sejurus kemudian mereka berdua dan seisi kelas hening
sebab guru Kimia yang hendak mengajar pagi ternyata telah sedari tadi masuk kelas dan baru saja
18 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
melemparkan sebatang penghapus papan tulis tepat di meja Joe yang kemudian memantul ke atas meja
Dani.
Minggu, 6 Desember ‘87
Kepada YTH Richard T.
di- Jakarta
Salam hangat,
Hallo Kak, apa kabar sekeluarga? Kabarku disini baik-baik saja. Tidak terasa ya sudah enam bulan aku
meninggalkan rumah itu. Aku kangen dengan keadaan rumah yang hangat, dengan masakan Bibik yang lezat,
kangen juga akan gurauanmu yang khas, tapi terutama kangen dengar nasehat-nasehat Ayah. Bagaimana kabar
Ayah? Semoga dia senantiasa sehat dalam lindungan Tuhan.
Kak, sejujurnya aku ingin Kakak tahu perasaanku tentang betapa kwatirnya aku akan keadaan Ayah. Aku
tahu hatinya masih sangat menderita sepeninggalan Ibunda beberapa tahun yang lalu. Aku sadar mungkin aku
egois meninggalkan dia pada saat-saat dirinya masih rapuh. Tapi ini kesempatan yang jarang bagiku dan
mungkin tidak selalu bisa kudapatkan. Aku ingin Kakak bisa menggantikan peranku untuk membantu Ayah dan
menopangnya agar dapat bangkit dari kesedihan. Tidak seharusnya ia terlarut dalam kesedihannya itu. Kisah lalu
biarlah berlalu, biarlah lembar baru terbuka untuk menutup segala luka-luka hati yang lama. Karena lembaran
hari terus berganti, dan tidak seharusnya disia-siakan dengan renungan dan tangisan duka.
Oya, aku ada kabar bahagia di sini. Aku bertemu dengan seorang gadis cantik, teman sekampusku. Dia
baik dan lembut sekali. Benar-benar tipe yang selama ini kita idam-idamkan. Dia bukan seperti aku, orang
Indonesia yang melanjutkan studinya di luar negeri. Ya, dia kita sebut orang Barat, lebih tepatnya peranakan
Prancis-Australia. Aku sekarang sudah lumayan dekat dengannya, tapi katanya ia masih butuh waktu untuk
19 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
menjalin ikatan denganku. Itu bukan suatu masalah besar bagiku, karena suatu hari aku yakin dia pasti bisa
menerimaku.
Kakak dan Ayah kapan datang ke sini? Aku tidak sempat berkunjung ke Indonesia dalam waktu dekat ini,
Kak. Selain uang kiriman Ayah tidak mencukupi, aku juga memiliki banyak kegiatan di sini yang tidak mungkin
aku tinggalkan begitu saja.
Sekian dulu Kak, harap segera membalas surat ini.
Salam hangat,
(Rio T)
“Ngomong-ngomong Dan, loe kok ngeliatin cewek yang di panggung itu mulu sih? Loe naksir
ya? Atau jangan-jangan itu gandengan loe? Ha… ya kan? Gua bener kan? Itu pasti gandengan loe yang
loe janji mau bawa?”
“Iya.” jawab Dani ringan, ditolehnya sebentar ke arah Joe.
“Hah.. beneran gandengan loe?”
“Eh.. bukan.”
“Lho, jadi apa donk?” tanya Joe heran, dikerutkannya keningnya.
“Sepupu.” jawabnya singkat kemudian segera ia mengalihkan pandanganya ke panggung, ke
sesosok gadis yang tengah asyik menyanyikan lagu-lagu asing namun tidak asing di telinga.
“Cantik ya!” seru Joe yang nadanya lebih mirip suatu pertanyaan yang ingin meyakinkan. Tanpa
sadar perhatiannya juga teralihkan ke arah panggung.
“He-eh.” Pikiran Dani masih berputar dan tidak terfokus pada pertanyaan-pertanyaan Joe.
Ingatannya menerawang ke masa lalu, masa kecil mereka.
20 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Ia tidak berubah, masih tetap banci panggung seperti waktu masih kecil. Ia senang sekali tampil
di depan Mama dan Papa sambil menyanyi riang. Dan semua orang akan tetap berkata kalau dia cantik.
Dani berkata dalam hati.
“Ntar kenalin ke gua ya?”
“Iya, tapi….” sebelum Dani menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja muncul seseorang yang
tidak asing di mata mereka berdua.
“Hoi Dani! Joe!” panggilnya. Pria ini kemudian berjalan mendekati kedua orang itu.
“Datang juga lo, Dan. Gue kira lo gak datang, soalnya gue dengar dari Friska, lo lagi sibuk akhir-
akhir ini.”
“Ya gue sempatin la datang, gak mungkin dong gue lepas tangan dari tanggung jawab gue. Bisa-
bisa gue di gantung ama bos Projek Officer kita.”
“Hahaha…bisa aja lo. By the way, lo datang berdua neh? Mana cewek-cewek lo? Hati-hati, ntar
lo dikatain hombreng lho. Sekarang aja mulai terhembus gosip-gosip tak jelas sejenis itu. Ingat Dan, kita
harus jaga wibawa, terutama belakangan ini, menjelang pemilihan. Hehehe…”
Joe tidak bisa mengelak karena ia gagal membawa serta seorang gadis ke festival itu meskipun
tampaknya ia cukup berjuang dari kemaren-kemaren.
“Tapi gue bareng kok.” balas Dani tidak mau kalah.
“Bareng siapa?”
“Bareng…” Namun sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba muncul seorang
gadis yang baru saja turun dari panggung.
“Hai Dani, How’s my song?” Ia pun menghampiridengan langkah lincah sembari tersenyum
lebar. Gadis itu menerobos masuk kedalam kelompok yang sedang asyik berdiskusi itu. Ketiga pria itu
21 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
terdiam dengan ekspresinya masing-masing. Andre tersenyum setengah hati dan tidak tahu berbuat apa.
Sementara yang lainnya terbengong seperti baru saja melihat mujizat dihadapannya.
“Ehm…,” sentak Dani, berusaha memecahkan perhatian mereka. “Kenalin, ini sepupu gue.”
Miki mengulurkan tangan mungilnya “Miki!” serunya riang.
Beberapa detik kemudian uluran tangan itu pun disabut, disusul dengan sebentuk suara, “Andre.”
Sekilas dan cepat tidak ada yang menyadari apa yang terjadi. Tangan Miki tiba-tiba saja telah
berada di bahu Andre dan dengan cepat ia mulai merapatkan pipinya ke kanan dan ke kiri. Spontan
Andre terkejut, mukanya memerah dan ia terbengong heran. Begitu pula dengan kedua pria yang sedari
tadi masih mematung di sana. Mungkin tradisi yang biasa bagi Miki berkenalan dengan cara begitu,
namun tidak bagi sebagian besar orang Timur. Sejenak kemudian, perhatian Miki tertuju pada teman
Dani yang satunya lagi.
“Miki!” serunya lagi dengan senyuman lebar yang sama dan tangan yang terjulur panjang.
Spontan Joe tersadar dari bengongnya dan membalas mengulurkan tangan.
“Joe.”
Sebelum kejadian tadi terulang lagi, Dani dengan sigap menghadang tubuh Joe dengan sebelah
tangannya dan maju melangkah menyisip kehadapan Miki, diantara Miki dan Joe.
Miki hanya diam saja, celingak celinguk melihat kelakuan sepupunya yang satu ini. Hanya
dengan dalam sepersekian detik, pehatiannya beralih pada aksesoris dan pernak-pernik yang dipajang
tepat beberapa meter di balik tubuh Dani dan Joe yang kini berdiri sebaris seperti hendak mengikuti
barisan Paskibraka.
“Wah… ada barang bagus. Miki mau lihat, Miki mau!” serunya ringan dan ceria seperti yang
tadi-tadi. Ketiga pria yang dari tadi mendapat terapi syok melihat kelakuan gadis itu, masih tetap
22 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
mematung dan membujur kaku di posisinya. Menyadari tidak ada yang mengikuti langkahnya dari
belakang, Miki membalikkan badannya kebelakang lalu menarik lengan Dani.
“Dani, ayo ikut.” pintanya.
Joe dan Andre masih tetap di tempat semula dan akhirnya tersadar ketika beberapa orang teman
mereka memanggil-manggil nama mereka dari kejauhan. Meskipun begitu, perhatian mereka masih di
tujukan pada Dani dan Miki yang telah sibuk melihat-lihat barang-barang yang diobralkan di bazar
sekolah.
“Wah… imutnya. Ini keren sekali!” ucap Miki ketika melihat sebuah gelang bernuansa etnik.
“Miki mau? Biar aku beliin.” Dani kemudian mengeluarkan dompetnya.
Tidak jauh berbeda dengan reaksi Joe dan Andre, para penjaga stand bazar hanya terbengong
melihat kelakuan gadis ini. Tidak jelas heran karena apa. Apakah karena pada saat Miki melafalkan kata
‘keren’ lebih mirip kata ’keyen’. Sebab ia sendiri tidak begitu fasih menggunakan intonasi konsonon ‘r’
dalam bahasa Indonesia. Atau karena bentuk fisiknya yang jarang dijumpai di lingkungan itu, lebih
tepatnya di Indonesia. Tentu saja ia memukau semua orang dengan rambut hitam panjang mengkilat
sepinggul, mata yang bulat namun membiru alamiah seperti warna laut dan tanpa efek kontak lens,
tubuhnya yang kecil mungil, bentuk wajah tidak seperti bangsa keturunan Mongoloit pada umumnya,
sebaliknya tulang wajahnya lonjong dan bersiku cenderung seperti bangsa Kaukasoit, bibirnya yang
merah cerah serta kulit putih bersih ala kraton Jawa.
Kenyataannya tidak hanya Joe, Andre dan penjaga stand itu yang bereaksi seperti itu. Seisi
penonton serta pengisi acaranya sekalian yang melihat Miki dan Dani sedang berjalan, tidak dapat
menyembunyikan rasa heran mereka. Seperti berucap dalam hati “Dari mana panitia memesan malaikat
untuk mengamankan jalannya acara ini?” atau “Peri dari mana yang di doakan panitia agar turun
menangkal hujan demi kelancaran acara?” Walaupun kedua kalimat itu terdengar berlebihan, namun
23 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
kurang lebih seperti itu lah yang mungkin terbersit dari pikiran orang-orang itu bila melihat sendiri
ekspresi mereka.
“Dan, kalau di ingat-ingat lagi, kayaknya gue gak asing deh ama muka sepupu lo.” Joe berbisik
di telinga Dani.
“Emang dia terkenal kok.” Dani menanggapi Joe seadanya.
“Kok bisa?” tanya Joe lagi heran.
“Dia kan…”
“Wa… Dani ini bagus ya!?” pekik Miki sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya.
Ditunjukkan sebuah kalung yang terbuat dari kulit kerang.
“Mas, ini harganya berapa?” tanya sebuah suara di belakang. Itu Andre! Ia kemudian menjuntai-
juntai kalung itu dengan jemarinya.
“I’ll take it for you,” ujar Andre. “For such a beautiful girl.” lanjutnya.
“Surprise!!!!” kejut sebuah suara ketika Rio sedang membuka pintu flatnya. Ia
benar-benar terkejut melihat sesuatu yang ada di hadapannya. Ia terpelongo selagi satu
tangannya masih memegang daun pintu.
“Apa kabar, Rio?” tanya orang itu sembari memeluknya.
“Baik, kamu apa kabar Richard?” balasnya bertanya setelah sadar dari
keterkejutannya. Kemudian mereka berdua berjalan memasuki kamar flat yang sesak dan
penuh. Keduanya tertawa, bercanda dan saling bertukar tatapan.
“Jadi, kenapa tiba-tiba datang kesini?” tanya Rio setelah mengisap kopi dingin
bekas sarapannya pagi tadi yang belum sempat disentuhnya.
24 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Tentu saja karena kangen denganmu. Lagipula Ayah memintaku untuk meninjau
keadaanmu di sini.”
“Sebegitunya kah?”
“Hm…” jawab Richard cuek sembari meyeduh kopi dengan karamel yang masih
hangat itu. Senja itu keduanya duduk santai di beranda apartemen.
“Gimana kuliahmu di sini?” tanya Richard lagi. Nada bertanyanya terdengar bukan
sekedar basa-basi
“Baik.”
“Udah dapat pacar?” tanyanya lagi. Mendengar pertanyaan itu, Rio menunduk
malu. Canggung dengan pertanyaan itu, ia kembali mengambil cangkir kopinya dan
mengisapnya. Keduanya terdiam sejenak.
“Kenapa kamu gak jawab pertanyaan tadi? Dari suratmu itu sepertinya kamu
benar-benar sedang jatuh cinta ya?” tanya Richard penasaran.
Mendengar serangan pertanyaan itu, senyum Rio semakin melebar. Bayangannya
terbang ke seorang gadis. Gadis yang manis sekali. Gadis yang membuatnya berdebar
setiap mengingatnya.
“Ah kamu Rio, jangan menyimpan sesuatu dari aku. Aku bisa membaca
ekspresimu.” ledek Richard.
“Hahaha…,” spontan Rio tertawa lepas.”Iya Richard, aku sampai lupa kalau kamu
itu mantan dukun.”
“Ahahahaha…”
“Ohohoho… ” Keduanya tertawa dengan pembicaraan biasa itu. Mentari senja
yang cerah sebagai penutup hari itu menjadi saksi kehangatan keduanya.
25 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 3. Save My Number PLZ
“Mama… kami pulang!” teriak Dani sembari masuk ke dalam rumah. Dibukakannya kaus kakinya,
kemudian dicampakkannya tasnya ke sofa ruang tamu.
“We are home…!” teriak Miki lagi menyusul suara Dani.
“Wah, udah pulang?” ujar Mama menyambut keduanya.
“He-eh” jawab Miki ketika Mama mengeluskan kepala Miki.
“Wah, rumah jadi rame ya semenjak kedatangan kalian berdua?” ujar Papa yang saat itu tengah sibuk
membaca koran.
“Iya Pa, gak terbiasa kayak gini kan? Soalnya selama ini rumah biasanya kosong. Kita bertiga sibuk
dengan urusan masing-masing.” Dani menanggapi perkataan Papa. Saat itu ia telah duduk di sofa sambil
mengamati tingkah laku Miki yang sedang asyik menyomoti makanan yang terhidang di ruang makan.
“Tiba-tiba jadi rame gini, syok juga ya?” lanjut Mama sambil membantu Bik Inem menyiapkan
makan malam.
26 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ya dinikmati aja lah. Kita juga gak bakalan lama disini.” sambung Om Rio yang juga sedang
duduk-duduk di sofa. Suasana di ruangan itu begitu hangat kala itu. Seluruh keluarga berkumpul di
ruang tengah yang hanya disekati dengan lemari kaca ke arah dapur.
“Memangnya kamu kapan balik ke Australi, Rio?” tanya Papa ke Om Rio.
“Ya, kira-kira dua atau tiga hari lagi. Aku masih banyak kerjaan di sana. Nanti aku titipkan Miki
beberapa minggu ya?” pintanya.
“Kok cepat banget Pa?” protes Miki. Ia kemudian menjilat sisa-sisa makanan di jari-jarinya.
“Urusan Papa kan udah selesai di sini, Ki. Kamu nanti bareng Dani aja biar gak bosan.”
“Oiya Rio, gimana akhirnya soal rumah itu?” tanya Papa ke Om Rio begitu teringat segala
‘urusan-urusan’ orangtua.
“Ya katanya udah bisa di urus ke pihak property.”
“Miki, naik yuk.” Pinta Dani ke Miki diluar pembicaraan kedua orang tua mereka.
Di dalam kamar Miki, diam-diam Dani memperhatikan wajah Miki. Diamatinya perubahan yang
ada dalam diri gadis ini. Miki memang telah menjelma jadi gadis dewasa yang cantik.
“Bibir kamu..” Dani berkata setengah berbisik
“Hm…?” Miki melihat ke arah Dani, tampaknya ia kurang mendengar perkataan Dani barusan.
Dani menundukkan wajahnya mendekati wajah Miki yang sedang duduk di atas sofa kamar.
Dihapusnya dengan tangan bekas karamel yang menempel di dekat wajah Miki. Ditatapnya wajah gadis
itu dalam-dalam. Dia tidak berubah, pikirnya.
“….”
“….”
Miki terdiam, Dani pun demikian adanya. Keduanya hanya saling berpandangan.
27 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki seperti mendapat Déjà vu.” ujar Miki spontan.
“Hm..?” Dani mengerang dengan nada sebuah pertanyan, “Déjà vu?” tanyanya.
“Iya, dulu kita pernah mengalami ini kan?”
“….”
Dani terdiam mencoba untuk mengingatnya.
“Waktu di taman itu. Aku bawa es cream besar banget. Terus karena aku takut es nya mencair
aku makan es krim-nya banyak-banyak. Eh, gak tahunya jadi celomotan deh, terus Dani yang mengelap
pakai baju kan?” Miki menjelaskan panjang lebar.
“….”
Dani masih terdiam. Iya, dia ingat saat itu. Mana mungkin dia lupa. Waktu itu dia mengelap
wajah Miki yang belepotan dengan lengan kemejanya yang berwarna putih. Es krim itu dia yang belikan
ke Miki. Sebab waktu itu Miki tidak berhenti menangis karena ditinggalkan Om Rio.
“Kamu ingat Dani?” tanya Miki. Dimiringkannya kepalanya ingin memastikan Dani.
“Eheh.. aku ingat.” jawab Dani.
“Eh Dani, kamu masih nyimpan foto-foto kita dulu gak? Foto waktu kita masih kecil? Aku
pengen lihat.” pinta Miki dengan penuh semangat.
“Iya, masih disimpan Miki. Ada dikamarku. Kamu mau lihat, Ki?”
“Iya, mau-mau.” jawab Miki dengan penuh antusias.
“Lho, bukannya kamu udah selalu lihat ya? Kamu kan juga punya separoh foto waktu kecil kita
yang kamu bawa ke Aussie.” kata Dani ingin menjahili sepupunya ini.
“Iya, tapi pengen lihat yang lainnya lagi.” rengek Miki.
“Mau lihat?”
“Iya!”
28 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Mau ?”
“He-eh.”
“He-eh?”
“Ih, Dani!!” Miki berteriak sambil melemparkan bantal ke arah Dani. Dengan segera Dani berlari
mengelilingi kamar itu. Miki pun ikut berlari menyusul Dani.
Gebruk… gebrak... terdengar suara gerupuh dari atas loteng rumah yang sebagian besar terbuat
dari kayu itu. Tak lama kemudian suara itu disusul oleh suara tawa yang meledak.
“Aduh… aduh… ributnya...” Mama seolah-olah berbicara sendiri dari ruang tamu, karena tidak
mungkin si biang keributan ‘Dani dan Miki’ dapat mendengar keluhan Mama dari jarak segitu.
“Hahaha… nikmati saja dulu Ma keadaan rumah kita yang seperti ini” ujar Papa yang masih
tetap membaca korannya.
“Iya, asyik ya ramai begini?” sambung Om Rio.
“Iya..iya..”
“Ahahaha..”
Ketiga orang tua itu pun saling tersenyum hangat menikmati keadaan itu.
Zzzt… terdengar suara dengkuran keras dari arah kamar. Malam semakin larut, bintang mulai
tampak banyak bermunculan. Miki dan Dani tertidur dalam kamar itu. Tidur dalam satu selimut di
bawah lantai dengan ditemani tumpukan foto-foto lama yang dirawat dengan baik. Keduanya tampak
lelap dengan senyuman dalam tidur masing-masing. Terlelap setelah lelah tertawa dan bercerita akan
ingatan masa lalu. Tidurlah… biarkan kenangan manis mewarnai tidur kalian masing-masing. Biarkan
ingatan yang indah menjadi mimpi dalam tidur kalian. Dan biarkan sinar rembulan yang menjadi saksi
29 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
indahnya hari yang kalian alami tadi. Biarlah.. biarlah menikmati semuanya sebelum badai datang dan
menguji batin kalian masing-masing.
Melbourne kota yang multietnik dan penuh dengan wisata alam yang menghibur
jutaan wisatawan yang tiap tahun datang menyemarakkan kota ini. Dan di kota ini
juga lah aku jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis yang cantik sekali. Ia tinggal
tidak berapa jauh dari apartemenku. Dia gadis yang ceria dengan senyuman yang
selalu bisa membahagiakan orang di sekitarnya. Rambutnya berwarna pirang
sebahu, kulitnya putih bersih, hidungnya mancung seperti kebanyakan orang bule’
dan dia selalu tampak sederhana. Dibalik kesederhanaannya itu, selalu terpancar
kebaikan pada orang-orang di sekitarnya. Kebaikannya itu pulalah yang
meluluhkan hatiku. Pertama sekali aku bertemu dengannya, aku sudah dapat
merasakan pancaran kebaikannya. Waktu itu musim panas dan terik sekali di
Melbourne. Aku menenteng topi baseball serta bolanya digenggamanku. Setelah
tidak beberapa jauh aku berjalan, tanpa sengaja aku menjatuhkan topiku. Dengan
sigap ia mengutipkannya untukku. Meskipun jaraknya jauh dari dia, meskipun aku
tidak mengenalnya, dan meskipun begitu pun halnya dengan dia tidak mengenal
aku, namun dia begitu baik. Dengan tulus diambilkannya padaku. Dengan tangan
yang lembut dan senyum hangat di berikannya topi itu padaku. Seketika itu juga
aku jatuh cinta padanya.
30 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Rio… bangun Rio. Dik, udah siang ini.” Richard menggoncang-goncangkan tubuh
Rio guna membangunkannya.
“Oh… Ho.. udah siang ya?” jawab Rio pada kakaknya. Matanya masih setengah
terbuka dan suaranya serak.
“Iya, katamu kemaren ingin ke kampus pagi-pagi.”
“Hem… iya, tapi kalau tidurnya nyenyak kayak gini, aku jadi malas ke kampus.”
jawab Rio. Dibentangkannya kedua tangannya berusaha meregangkan tubuh.
“Kak, aku mimpi indah lho tadi.” lanjutnya berbicara.
“Apa?” tanya Richard cuek, ia sibuk membuat sarapan di dapur yang berjarak
tidak jauh dari tempat tidur itu.
“Mimpi tentang gadis yang sedang membuatku jatuh cinta.” jawab Rio.
Mendengar pernyataan adiknya yang tiba-tiba jadi melankonis tersebut, Richard
hanya bisa memandang dengan tatapan bertanya-tanya.
“Ma… pigi dulu ya?” teriak Dani sambil berlari menuruni tangga. Mama yang sedang menyiangi
tanaman hias di ruang tengah langsung menoleh ke arah tangga.
“Wah… mau pergi ke mana lagi ni?” tanya Mama dengan nada mengejek.
“Ke mol tante!” jawab Miki yang tiba-tiba muncul dari atas tangga.
“Wah.. wah… kamu bawa mobil Dan? hati-hati ya!”
“Yoa.” Jawab Dani dengan gaya cueknya sambil diputar-putarkannya kunci mobil. Setelah beberapa
saat memanaskan mobil, akhirnya mereka berangkat.
31 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Didalam mobil Dani berkonsentrasi pada jalanan sementara Miki asyik mengguman sendiri dalam suatu
irama lagu di i-pod nya. Sekilas Dani menatap Miki, berusaha membaca bahasa bibirnya, kemudian
pandangannya kembali ke arah jalanan.
Beautiful girl, wherever you are
I knew when I saw you, you had opened the door
I Knew that I’d loce again agter al long, long while
I’d love again
“Miki, udah nyampe ne, turun yuk.” pinta Dani begitu memarkirkan mobilnya.
“OK!” jawab Miki sambil melepaskan sabuk pengamannya.
“Itu… I-pod nya di bawa?”
“Hem.” deheman Miki mengiyakan.
“O… ya udah,”
Miki dan Dani pun berjalan beriringan ke arah sebuah mol. Dan seperti biasa beberapa pasang mata
melirik ke arah Miki sewaktu gadis itu berjalan. Tentu saja dengan rambut hitam yang panjang lurus,
dagu lancip dan mata biru laut yang dalam serta segala kecantikannya yang lain, begitu banyak mata
yang tidak bisa mengalihakn padangan darinya.
“Ki, masuk yuk. Itu ada toko bagus.” ujar Dani sembari menunjuk ke arah gerai pakaian.
“Hm...” jawab Miki mengiyakan. Ia kemudian melompat riang masuk ke dalam toko tersebut.
Di dalam toko, Dani terlihat begitu asyik melihat-lihat aksesoris yang dipajang. Mungkin karena terlalu
lama atau tidak tertarik dengan isi toko tersebut, Miki melangkah keluar dari toko tersebut dan berjalan-
32 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
jalan sendirian di sekitar toko tersebut. Perhatiannya beralih ketika ia melihat sebuah toko kaset yang
besar. Dan tanpa ragu ia melangkah masuk. Dengan teliti di pandanginya kaset-kaset yang berjejer dari
A sampai Z. Karena telinganya tertutup earphone, ia menjadi kurang peka pada orang-orang sekitar
yang sedang memperhatikannya. Ia pun tidak sadar bahwa ada seseorang sedang berdiri tepat di
sampingnya. Fan dalam beberapa detik mereka pun bertubrukan ringan.
“Ow!” teriak Miki ketika menyenggol sebuah tubuh pria.
“Ups, sorry.” jawab pria tersebut. Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya pada tumpukan kaset,
namun seperti menyadari sesuatu ia tersentak dan memandangi Miki lama sekali. Miki yang menyadari
pandangan itu kemudian balas memandangnya. Untuk beberapa detik mereka terdiam sambil berpikir.
“Miki?”
“Temannya Daniel?”
“Yup, gue Andre.”
“O iya iya, Andre ya?” Miki menganguk-anguk sambil melepaskan earphone yang melekat di
telinganya.
“Iya. Lagi apa?” tanya Andre basa-basi.
“Lihat-lihat aja.”
“Sendiri?”
“Enggak, bareng Dani,”
“O.. dimana dia?”
“Lagi lihat-lihat di toko sebelah.”
“O…”
33 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Pip..pip piririp.. tiba-tiba ponsel Andre berbunyi, pertanda pesan masuk. Sebentar Andrew
merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya. Setelah sejenak diliriknya maka dimasukkannya
kembali ke dalam sakunya.
“HP nya bagus.” puji Miki dengan lafal H dan P yang aneh.
“Oh ini?” kata Andrew sambil mengeluarkan kembali ponselnya. Andrew tersenyum nakal sambil terus
memandangi Miki.
“Tapi lebih bagus lagi kalau ada nomor kamu.” katanya sambil menyeringai lebih lebar.
“Um… tapi aku gak punya nomor HP yang provider Indonesia.”
“Yang dari Australia bisa pakai di sini?”
“Gak bisa.”
“Jadi?”
“Jadi, gak punya nomor HP.”
“Gini aja, gimana kalau aku beliin.”
“Thank you for ur kindness. But…I can’t!”
“Why?”
“Hmm…” Miki memutar-mutar bola matanya mencari alasan. “I wan’t to choose my own
number.”
“Let me choose it for you.”
“I won’t let you.”
“Ahahaha…” Andre tertawa melihat ekspresi manis Miki.
“Hehe..” Miki pun ikut tertawa garing melihat Andre tertawa. Miki tidak sadar bahwa selagi ia
asyik berbicara dengan Andre, Dani yang sedari tadi bingung karena tidak melihat wajah Miki, sedang
sibuk mondar-mondar di depan toko kaset itu tanpa menyadari Miki sedang berada di sana.
34 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Begini aja, ntar aku beli nomor, terus aku ngubungin kamu. Deal?”
“Deal!” jawab Andre mantap.
Setelah berkata seperti itu, Miki celingak-celinguk ke arah luar toko kaset untuk mencari Dani, tetapi ia
tidak menemukannya.
“Dani kemana, kok ninggalin kamu lama banget?” tanya Andre begitu melihat wajah Miki yang sedang
mencari-cari.
“Gak tahu, tadi masih asyik milih-milih baju disini. E, Aku pergi dulu ya cari dia.”
“Eh, tunggu dulu.”
“Apa?”
“Em…,” ujar Andre agak ragu. “Mau kutemani?” tanyanya akhrinya.
“Why not?” jawab Miki sembari mengangkat kedua bahunya.
Hampir sekitar lima belas menit keduanya mengitari serta masuk ke dalam beberapa toko yang
ada di situ hingga akhirnya ia mendengar panggilan dari operator meja informasi lewat speaker.
“Panggilan ditujukan kepada saudari Milcy Daniella. Kedatangan Anda di tunggu oleh saudara
Daniel di meja informasi, terimakasih.”
Mendengar panggilan itu, keduanya pun turun lewat esklator menuju meja informasi. Andre
yang berjalan beriringan dengan Miki tidak dapat berhenti memusatkan pandangan matanya pada gadis
ini. Terkadang kalau Miki menoleh padanya, ia akan berpura-pura sedang melihat sessuatu.
Di sisi lain, Dani saat itu terlihat sekali tidak tenang. Ia sedari tadi mengotok-ngetokkan jarinya
di atas meja informasi. Kakinya berusaha didiamkannya, namun tetap bergoyang tidak tenang. Hingga
ketidaksabarannya itu berubah menjadi keterkejutan ketika mendapati Miki berdiri sejajar dengan Andre
tepat di tangga ekskalator terakhir. Badan Dani menjadi kaku sejenak.
35 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki.. dari mana aja kamu?” tanyanya.
“Dari toko kaset.” jawab Miki datar dan tanpa nada bersalah.
“Heehh, anak ini.” geram Dani sambil menepuk-nepuk kepala Miki dengan lembut.
“Andre, lu ngapain di sini?” Dani beralih menanyai Andre.
“Nongkrong. Emang gak bole’?”
“Kenapa bareng ama sepupu gue?”
“Dani, kamu berterimakasih donk ama Andre. Tadi dia udah niat buat ngantarin Miki lho.” Miki
memotong pembicaraan keduanya. Dani diam sejenak dan menatap lama ke arah Miki.
“Thanks buat ngantarin.” Akhirnya Dani mengalah, terdengar nada bicaranya agak terpaksa.
“Yuk, sama-sama.” jawab Andre datar. Sebelum membalikkan badan ia sempat mengucapkan
salam perpisahan dengan Miki.
“Miki.. I’ll wait.” U\ujarnya sambil menirukan bentuk telepon dengan tangan kanannya.
Matanya mengerdip.
“OK.” jawab Miki dan membalas Andre mengerdipkan matanya juga. Spontan Dani gelisah
melihat keadaan itu. Ia menjadi sewot.
“Apa- apaan Miki?” tanyanya dengan nada agak tinggi.
“Aaada deh.” ledek Miki.
Muka Dani langsung cemberut saat itu juga. Ia tidak suka Miki merahasiakan sesuatu dari
dirinya, apalagi bila rahasia itu dengan saingannya.
Sementara itu, si penjaga meja informasi yang sedari tadi berdiri di situ dan mendengar semua isi
pembicaraan hanya tersenyum kecut, seolah ia dapat membaca keadaan.
36 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Kak Richard, aku mau berangkat ke kampus. Kalau kakak masih capai,
istirahat dahulu saja di flat. Nanti kalau kakak bosan, kakak bisa nyusul aku ke
kampus.” Rio berkata sambil terburu-buru mengerjakan banyak hal: mengambil
tas, mengambil topi, mengikat tali sepatunya.
“Ergh…” pria yang di ajak Rio berbicara mengerang dari balik selimut di
dalam kamarnya.
“Kak, jangan lupa ya Kak, datang ke kampus. Banyak yang mau kutujukkan
ke kakak. Lagian jaraknya tidak jauh kok dari flat, “
“Ergh..” pria itu mengerang untuk kedua kalinya. Tampaknya ia belum
seutuhnya sadar dari alam mimpi. Meskipun terburu-buru, Rio menyempatkan diri
masuk ke dalam kamar lagi untuk menghampiri Richard, kakaknya itu. Diguncang-
guncangnya tubuh pria itu.
“Kak, hari ini ada pekan kebudayaan lho di kampus, jadi kakak bakal nyesal
kalau gak datang.” katanya lagi, setelah itu dia langsung berlari menghamburkan
diri ke luar ruangan.
Sepeninggalannya, ruangan flat terasa begitu sunyi. Hanya terdengar suara
detik jarum jam yang berdetak. Menyadari kesendiriannya, Richard akhirnya
terbangun. Sebentar ia terbengong untuk menyadarkan dirinya. Dipandanginya
langit-langit kamar tidur cukup lama. Setelah itu dia bangkit dari tempat tidur, di
hempaskannya selimut yang telah menghangatkan tubuhnya. Ia berjalan menuju
dapur dan diseduhnya teh dengan air panas. Ia berpikir sembari memandangi
seluruh sudut ruangan flat. Sepertinya ia sedang membayangkan bila dirinya
37 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
tinggal di tempat seperti ini. Setelah bosan, ia berjalan menuju balkon dan di
situlah ia duduk bersantai.
Dari balkon flat yang berlantai dua itu, pemandangan Melbourne di musim
dingin terlihat begitu indah. Ini pertama sekalinya bagi Richard datang ke Australia
dan dia cukup kagum akan semua keunikan tempat itu. Richard memandangi
orang-orang yang hilir-mudik pagi itu sambil sesekali dihirupnya teh hangat dari
cangkir di tangannya. Hampir semua orang yang lewat mengenakan mantel yang
tebal. Salju tipis belum turun pagi ini, namun tumpukan salju yang turun kemarin-
kemarin menumpuk dijalanan dan berbunyi gemersik ketika orang-orang berjalan
melaluinya. Richard terus memerhatikan orang yang lewat di jalan. Ada yang
berjalan dengan cepat dan terburu-buru, namun ada yang lambat sambil
menikmati suasana pagi. Ada yang berjalan bersama-sama dan ada juga yang
sendiri. Dan mereka semua berjalan dengan ekspresi yang berbeda-beda. Richard
sangat menikmati waktunya saat itu.
Tiba-tiba mata Richard terpaku pada sesosok gadis yang tengah berjalan
sendirian. Gadis ini memakai mantel merah yang mencolok. Kedua tangannya di
masukkannya ke dalam mantel itu. Selain itu, ia juga memakai topi hangat serta
sepatu bot berbahan beludru yang berwarna sama. Sebenarnya tidak ada yang
aneh dalam penampilannya, hanya saja dia berjalan begitu anggunnya sehingga
menarik perhatian Richard. Matanya menatap lurus ke depan dan wajahnya
terlihat tersenyum meskipun sebenarnya dia tidak sedang tersenyum. Dia
memang gadis asing biasa, namun seperti ada sesuatu yang berbeda daam dirinya
yang membuat Richard tertarik. Mungkin itu yang di namakan aura.
38 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki, apa sih yang tadi kamu rahasiakan?” Dani kembali bertanya penasaran dengan segala
sesuataunya yang terjadi tadi.
Awalnya Miki tidak berniat merahasiakannya ini namun melihat rasa penasaraan Dani, ia jadi
berpikir menggunakannya sebagai lelucuan mengusili Dani.
“Sst… Dani, ini rahasia. Kamu mau tahu?”
“Iya,” jawab Dani
“Bener-bener mau tahu?”
“Iya.”
“Sini-sini aku bisikan.”
Sewaktu Dani tengah melekatkan telingganya ke Miki, Miki yang mengatupkan tangannya di
sebelah telinga Dani tiba-tiba berteriak,
“HWA!!!”
“Auch..”
“Hahahaha….” Miki tertawa sekuatnya.
“Miki!!! Usil banget!” Dani teriak sembari mengelus-elus telinganya.
“Ahahaha…” Miki masih tertawa. Tampaknya kelakuan jahilnya tidak berubah dari kecil.
“Ah, curang!”
“Yach… Dani ngambek!” Miki meledek Dani. Raut wajah Dani terlihat begitu jelek, bibirnya
sedikit di kedepankan dan alisnya berkerut. Dani tidak berniat menunjukkan perasaan hatinya, namun
ekspresinya muncul begitu saja karena Dani memang orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan
hatinya. Miki diam sejenak melihat Dani, kemudian ia menyerah dan mulai mengaku.
39 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Tadi Miki cuma janji mau hubungi Andre,”
APA? Menghubungi Andre? Hati kecil Dani berteriak, dia tidak terima ini. Mikinya yang lucu
didekatin oleh saingan bebuyutnya?
“Ehm… terus?” tanyanya lagi berusaha bersikap tenang.
“Terus mau jalan.” jawab Miki datar sambil memandang ke arah depan, ia tidak peduli dengan
tanggapan Dani.
“Hah, kemana?” Kali ini Dani tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya.
“Mm…?” Miki tersentak sebenar heran akan reaksi Dani. “What’s wrong?”
“Em..em… enggak, aku cuma mau tahu aja,” elak Dani berusaha untuk menghilangkan
kekwatirannya. “Emang mau kemana?” ulang Dani lagi.
“Miki juga gak tahu pastinya. Hm… yang penting jalan-jalan.” jawab Miki tanpa peduli reaksi
Dani.
“O…ngapa…”
“Look at that, Dani!’ sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya, Miki sudah terlebih
dahulu berteriak ketika melihat ke arah penjual es krim keliling. “Dani, Dani, belik yuk!” bujuk Miki
sambil menarik-narik lengan Dani lalu menunjuk-nunjuk ke arah penjual es krim itu.
Chapter 4. Beautiful Girl
Minggu yang cerah buat jalan-jalan, pikir Dani. Hari minggu ini Om Rio balik ke Australia lagi.
Katanya ada bisnis yang gak bisa ditinggalkannya. Om Rio memang punya jabatan penting di salah satu
perusahaan export-import yang berafiliasi di Indonesia, jadi wajar kalau dia sangat sibuk. Jadi sehabis
40 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
ngantar Om Rio ke Bandara, rencananya aku pengen ngajak Miki jalan-jalan. Satu harian jalan bareng
Miki: nonton, ke mol, nonkrong. Wuah rencana yang mantap, guman Dani dalam hati.
“Papa pergi dulu ya Miki?” pesan Om Rio setibanya di bandara.
“ Be carefull Dad, take care!” balas Miki.
“I’ll take care.” Kemudian Om Rio mengalihkan pandangannya pada pria yang berdiri di samping Miki.
“Dani.” Panggil Om Rio.
“Ya Om?”
“Jaga Miki baik-baik ya?”
“Tenang aja Om. Aku pastiin liburan satu bulan Miki bakal jadi pengalaman berharga.”
“Ahahaha.. pengalaman berharga buat kamu juga kan?”
“Hehehe…” Dani senyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Wing… pesawat pun terbang meninggalkan debu-debu yang terbawa angin. Aku menatap Miki
yang memandang jauh ke arah pesawat. Aku tahu sekali ia tidak suka terbang. Waktu kecil, ia selalu
membawa obat penenang kalau terbang. Apalagi semenjak tragedi itu, ia tidak pernah lagi terbang. Tapi
ia suka melihat pesawat terbang. Apalagi ketika burung besi itu take off. Ia jadi bisa melihat dengan
seksama. Aku lihat rambutnya yang panjang sepinggul terbang melambai terbawa angin. Pemandangan
yang begitu sejuk. Rasanya aku ingin lebih lama seperti ini. Ketika mata biru Miki kosong dan bibirnya
diam tanpa suara, pesonanya tampak begitu membius.
“Dani..” Miki memanggil Dani tanpa menoleh kepadanya. Panggilan itu menyadarkan Dani dari
khayalannya.
“Ya?”
41 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Layang-layang yang kita mainin kemarin, masih aku simpan di rumahku,” Kemudian Miki
memiringkannya lehernya agar dapat dipandangnya Dani dengan tatapan yang dalam. “Aku simpan di
kotak harta karunku.” lanjutnya.
Mendengar pernyataan itu, Dani hanya bisa diam. Ditatapnya gadis itu terus, namun pikirannya terbang
ke alam lain. Semua ingatan-ingatan masa kecilnya terkumpul jadi satu.
“Hum… Dani kita jalan-jalan yuk?” pinta Miki dengan nada yang riang. Sambil beranjak dari tempat
bersandar, ditariknya tangan Dani.
“Kamu mau kemana Miki?” tanya Dani mengikuti langkah Miki.
“Terserah kamu aja. Tapi kita makan dulu ya?” pintanya lagi sambil tersenyum lebar dan mengadah ke
arah Dani. Dani yang agak jangkung dengan tinggi sekitar 180an cm sementara Miki yang hanya 160an
cm membuat Miki selalu harus mengadah ke atas bila ingin melihat wajah Dani dengan jelas.
Sewaktu berjalan ke luar bandara, tanpa mereka sadari beberapa orang melihat ke arah mereka.
Ada yang hanya melirik sekilas dan ada yang terang-terangan memelototi mereka berdua. Miki memang
cantik. Samar terdengar seseorang berbisik dalam gerombolannya, “Cocok ya pasangan itu?”
Tampaknya Dani mendengar perkataan itu. Ia melirik sejenak ke gerembolan itu dan tersenyum.
“Aku bawa I-pod lho!” seru Miki ceria ketika berada di dalam mobil.
“Ada musik apa aja sih di I-pod kamu?” tanya Dani sambil tetap berusaha memperhatikan jalan.
“Ada banyak. Aku lagi suka lagu-lagu lama,”
“Oya?”
“Hm... iya.”
42 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Masi’ suka Beautiful Girl?” Dani bertanya sambil berkonsentrasi mengemudi, sesekali ia berusaha
melirik ke arah Miki.
“Masi ingat juga ya?” balas Miki bertanya.
“Hehehe… iya.” Iya, mana ada yang ku lupa darimu, sebut Dani dalam hati.
Dani terdiam, teringat lagi ia akan kejadian itu. Delapan tahun lalu, begitu berita kematian Ibu Miki
santer terdengar, Miki begitu syok. Ia menangis seharian di dalam kamar. Kamarnya selalu terkunci.
Bahkan Om Rio sendiri tidak diizinkan masuk. Selama seminggu setiap pulang sekolah aku selalu
berdiri di depan kamarnya menunggu ia keluar dari kamar. Namun kamarnya selalu terkunci. Ia hanya
membuka pintu kalau ingin mengambil makanan yang diletakkan Bibik di depan kamarnya. Ia bahkan
sempat dua hari tidak makan. Waktu itu aku khawatir setengah mati. Hingga satu hari, aku melihatnya
bersandar di bawah pohon sambil kedua kupingnya ditutupi earphone. Aliran musik yang berputar di
Walkman-nya semakin menyayat hatinya. Samar-samar aku bisa mendengar alunan lagu itu. Itu adalah
lagu ‘Beautuful Girl’ yang dinyanyikan Jose Mari-Chan, lagu kesukaan Mamanya. Dari jauh aku bisa
melihat air mata jatuh dari pelupuk matanya. Rasanya aku ikut sedih. Aku tidak ingin melihat ia
menangis. Aku sama sekali tidak ingin melihat ia menangis. Melihat itu, aku memberanikan diriku
mendekatinya. Ia hanya terdiam begitu melihatku berdiri di hadapannya. Setelah lama terdiam dan
hening, ia kemudian menawarkan sebelah earphone-nya padaku. Aku sangat senang ia masih mau
membagi perasaannya padaku. Lama kami berdua mendengar alunan lagu itu sambil membisu menatap
langit yang mendung.
“Mamaku… cantik ya?” itu kata pertama yang terucap di bibirnya setelah seminggu membisu.
Hatiku ikut tersayat melihatnya sedih begitu. Pandangannya matanya kosong meskipun ia menatap ke
arah langit mendung itu. Air matanya kembali jatuh tanpa ia mengeluarkan suara.
43 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki… masih ada aku,” hiburku berusaha menenangkan dia. “Aku janji gak akan buat kamu nangis.”
janjiku padanya.
Lama ia menatapku. Matanya yang biru itu menyiratkan arti mendalam. Baru setelah beberapa
detik mematung, ia pun tersenyum padaku. Senyuman lega yang ikut membahagiakanku. Aku senang
sekali melihatnya tersenyum lagi. Ya, aku pernah berjanji suatu hal padanya.
“Dan…?“ Sayup-sayup aku mendengar panggilan dari sebuah suara yang selalu membuatku tersenyum
bila mendengarnya.
“Dani!”suara itu semakin dekat di telingaku.
“Ya?” Dani menoleh.
“Ah Dani gak berubah. Kamu masih suka melamun ya? Kita udah dekat lho. Aku liat papan
petunjuknya, tuh katanya 50 meter lagi menuju objek wisata.”
“Oh iya-iya. Hm.. dari sini harusnya kita belok.”
“Kita salah jalan ya?”
“Iya, kita keterusan.” jawab Dani santai. Di garuk-garuknya kepalanya sambil tersenyum bodoh.
Beautiful girl, where ever u are,
I know when I saw u..
There’s something in your eyes,
44 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Make my heart beating so..
Keduanya duduk di bawah pohon beringin rindang sambil mendengarkan lagu yang berasal dari dalam
I-pod. Tampak di hadapan mereka anak-anak berlarian bersama orang tuanya. Air berciprat dari dalam
sebuah kolam. Keduanya menutup mata menikmati angin semilir yang berhembus kencang sore itu.
Angan mereka tampaknya tertuju pada kejadian yang sama. Kejadian delapan tahun lalu sewaktu
mereka sama-sama mendengarkan lagu ini. Tampaknya mereka mengulang peristiwa yang pernah
mereka lakukan dulu: mendengarkan lagu ini bersama-sama. Tapi kali ini tanpa tangisan, namun dengan
senyum penuh kerinduan.
“Mau aku beliin es cream?” Dani menawarkan diri. Perkataan Dani yang tiba-tiba menjadikan Miki
tersadar dari lamunannya.
“E-he.” jawab Miki.
Seketika itu juga Dani mencopot earphone dari telinga kirinya, memberikannya kepada Miki dan pergi
berlalu. Miki tidak melepaskan sedetikpun pandangannya dari Dani ketika pria itu sedang berjalan
menjauh. Dani memang tampak menawan dengan balutan kemeja hitam plus kaus putih di dalamnya.
Miki terus memandangi bagian belakang tubuh Dani. Bahunya, pundaknya, lengannya, kakinya,
semuanya memang tampak begitu berubah dari delapan tahun yang lalu. Dari kejauhan Miki mencoba
membaca bahasa bibir Dani yang sedang berbicara dengan Bapak Penjual Es.
“Pak, es krim dua ya?”
“Rasa apa Mas?
“Hm.. Vanila dan Coklat.”
45 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Dan, kayaknya gua udah ingat deh dimana gue pernah lihat sepupu loe.” kata Joe tiba-tiba pada Dani
ketika bel tanda pelajaran berakhir berbunyi.
“Dimana?” tanya Dani sambil membereskan buku-buku di meja belajarnya.
“Di toko sport di mol dekat rumah gua!” seru Joe. “Sepupu loe model ya?” lanjutnya bertanya.
“Iya.” jawab Dani acuh tidak acuh. Setelah itu ia langsung beranjak menuju pintu kelas. Meskipun Miki
tidak terlalu tinggi, namun parasnya yang unik cukup dijadikan modal berkarier.
“Dan, loe langsung pulang lagi hari ini?” tanya Joe menyusul Dani dari belakang.
“Iya neh.” jawab Dani sambil terus berjalan cepat ke arah gerbang sekolah.
“Pasti mau jalan ama sepupu loe yang cantik itu lagi kan?” ledeknya.
“He-eh.” jawab Dani santai.
“Terus urusan kampanye gimana?”
“Kemaren udah gue urus kok. Tim sukses gue udah ngurus semuanya, kayaknya aman aja tuh.” Dani
berkata dengan tampang cuek.
“Eh loe jangan gitu dong, Dan. Loe cuma nyerahin ama tim sukses loe sementara loe lepas tangan aja.“
kali ini Joe mulai berekspresi serius.
“Gue kan gak lepas tangan gitu aja, Joe. Sesekali gue juga masih tanya-tanya ini-itu. Gue sering contact
mereka kok.” Dani ikut-ikutan jadi serius.
“Iya, yang gua bilang juga loe gak sepenuhnya lepas tangan, Dan. Masalahnya yang gua dengar neh si
Andre udah ngerencanain kampanye gila-gilaan. Sebagai teman loe, gua gak pengen loe diam aja, loe
harus gerak Dan!”
Dani terdiam dan tertunduk meresapi perkataan Andre.
“Dan… Dani!” Miki setengah berteriak memanggil Dani di dalam mobil. “Tuh kan melamun lagi.”
46 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Eh, dari tadi kamu manggil ya Ki. Kenapa?”
“Hm… nothing. What’s wrong Dan? Do u have any problem?”
“No.. No.. I’m just remembering at something.” jawab Dani sambil menatap ke depan dengan pandangan
kosong. “Hum… anyway, bosan juga ya Ki, kalau jalan-jalan berdua mulu dengan kamu. Gimana kalau
senin ntar kita jalan-jalan bareng sama teman-temanku. Waktu di festival kemaren kan kamu udah aku
kenalin banyak teman, nah aku pengennya jalan ramai-ramai ama sobat-sobatku biar ramai. Gimana Ki?
Dani menyerocos panjang lebar.
“Jalan bareng teman? Hm.. boleh juga.”
“Iya… pasti asyik kan?”
Senin ini semuanya sudah berkumpul bersama: Dani, Miki, Joe dan Friska. Mereka bertiga berdiri di
samping loket penjualan 21 sementara Joe berdiri diantara para antrian lainnya. Dani cengar-cengir
sendiri melihat keadaan ini. Diingatnya usahanya membujuk ke dua sobatnya untuk ikutan nonton hari
jumat lalu. Kembali terbayang olehnya ekspresi kedua orang sahabatnya itu.
“Nomat?” tanya Friska memastikan
“He-eh.” Dani mengiyakan.
“Nomat???” tanya Joe lagi dengan ekspresi heran yang tak kalah hebohnya dengan Friska.
“He-eh” jawab Dani dengan nada yang tidak beda dengan sebelumnya.
Akhirnya dengan segala bujuk rayu maut akhirnya ia berhasil meyakinkan kedua kompaknya tersebut
untuk ikut nonton dengan sepupunya. Sebenarnya nonton bioskop bukanlah masalah besar, masalahnya
ke-dua orang sahabatnya ini memang anti banget sama yang namanya ‘nomat’ maupun nonton bioskop
47 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
biasa. Alasannya berbeda-beda. Kalau Joe karena memang pada dasarnya gak suka nonton. Mungkin
juga karena trauma dua kali diputusin cewek di bioskop. Beda dengan Friska yang sifatnya protektif dan
suka parno sendiri. Alasan Friska sih karena takut terkena virus HIV/AIDS. Pasalnya Friska terlalu
sering baca koran atau nonton berita yang mengabarkan kalau banyak jarum suntik yang di letakkan
dengan sengaja oleh para orang jahil. Katanya jarum tersebut telah dipakai oleh si para penderita
HIV/AIDS dan digeletakkan begitu saja di kursi bioskop dengan meningalkan tulisan ‘Welcome to The
Death’. Memang seram sih, namun ketakutan Friska terkesan agak berlebihan.
“Got it!” seru Joe sambil melompat ke arah mereka bertiga. Di julurkannya empat buah tiket yang
berhasil didapatkannya setelah ngantri berdiri hampir lima belas menit.
“Wah, tempat duduknya pas banget berderet untuk berempat ya?” ujar Friska.
“Hum, iya jadi doube date neh.” sambung Dani bercanda.
“Oh iya juga ya, baru nyadar neh.” Joe ikut menyambung.
“Iya.. iya…” semuanya saling bersambut mengiya-iyakan.
“I’m with Dani!” seru Miki lincah sambil memeluk lengan Dani sedang memasukkan tangannya ke
kantong jins. Sekilas tampak ekspresi masam dari wajah Friska.
“Kalau gitu gua bareng Chika donk! Hahaha..” canda Joe sambil menggandeng lengan Friska berusaha
meniru seperti gerakan yang dilakukan Miki tadi.
“Ih, gak mau deh gue bareng elo. Dari tadi pagi lo kan belum mandi.” elak Friska sambil berusaha
menjauhkan dirinya dari Joe.
“Heh, enak-enak aja lo Joe manggil Chika dengan panggilan sayang dari gue.” Dani berkata dengan
nada jutek. Miki kemudian menyadari wajah Friska yang agak memerah, dipandangnya gadis itu lama.
48 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Friska langsung menoleh begitu menyadari bahwa sedari tadi ia diperhatikan oleh Miki. Dengan secepat
mungkin Miki mengalihkan pandangnya begitu matanya dan Friska beradu.
“Eh masuk yuk, studio satu udah buka tuh.” timpal Joe memotong pembicaraan mereka berempat.
“Yuk.” jawab mereka bertiga berbarengan.
“Popcorn?” Dani menawarkan pada Miki yang duduk paling sudut kanan barisan tempat duduk mereka,
sementara Dani berada di sebelah kirinya.
“Thank You.” jawab Miki sambil mengambil popcorn tersebut dengan tangan kanannya. Matanya
tertancap terus ke arah layar.
Friska yang duduk diapit oleh Dani dan Joe semenjak film di mulai tidak bisa serius menyaksikannya.
Pandangannya lebih lama ke samping kanan daripada ke depan. Terkadang dia bahkan ekstrim
memiringkan badannya ke samping agar bisa melihat keadaan dengan jelas. Takut-takut Dani dan Miki
melakukan adegan mesum karena kebawa suasana, pikirnya. Friska menganggap hal seperti itu mungkin
biasa aja bagi Miki meskipun dilakukan dengan sepupunya. Soalnya budaya Miki memang beda dengan
di Indonesia, ditambah lagi dia seorang model pikirnya. Dia pun terus mengawasi ke arah mereka
berdua. Ia takut tiba-tiba Miki terlalu menghayati adengan film romantis itu sehingga tidak sadar diri.
Tiba-tiba Joe memiringakan posisi badannya ke kanan, ke arah Friska. Didekatnya bibirnya ke telinga
Friska “Nyantai aja Fris,” bisiknya.
Mendengar pernyataan itu, Friska kemudian menyandarkan kembali kepalanya ke kursi. Sesekali masih
diliriknya tajam kekanan.
“HAAH!!!” Friska berteriak kencang dan bangkit dari tempat duduknya. Tiba-tiba saja ia
tersentak ketika melihat punggung tangan Miki berada di bawah tangan Dani. Ternyata dugaannya benar
meskipun tidak separah bayangannya. Dani, Miki dan Joe langsung menoleh ke arah Friska yang
49 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
bersikap aneh. Penonton lain yang sedang asyik menonton adengan film yang sedang seru-serunya itu
pun ikut-ikutan menoleh ke arah Friska.
“Kenapa Fris? lo nemuin jarum suntik?” tanya Dani dengan penuh keherenan dan keseriusan.
“Kenapa? Ada apa?” Miki dan Joe serempak nyusul bertanya.
“Enggak, gue gak apa-apa kok.” elak Friska sambil tersenyum kecut. Ia kemudian duduk
kembali ketempatnya dengan gelisah.
Tampaknya Dani dan Miki memang benar-benar tidak mengerti dasar keterkejutan Friska. Bukankah
mereka sudah sering bergandengan tangan ketika berjalan berdua. Bagi Miki hal tersebut lumrah
adanya. Dari kecil mereka sudah terbiasa jalan berdua sambil bergandengan tangan. Dani pribadi, karena
sudah lama tidak bersama Miki dan karena bentuk fisik Miki sekarang memang menanggap agak ganjil.
Namun berhubung Miki adalah seorang gadis yang ceroboh plus ada kekwatiran Dani yang berlebih
kalau-kalau Miki hilang saat sedang berjalan dikeramaian, jadi Dani membisakan diri saja menggandeng
tangan Miki. Kesimpulannya, Dani dan Miki sudah terbiasa saling menggandeng tangan. Tapi yang baru
saja terjadi tadi memang murni ketidaksengajaan. Sangkin seriusnya menonton tiap adegan dalam film
tersebut, mereka bahkan tidak sadar kalau tangan mereka sedang bersentuhan.
Aku berjalan menyusuri tempat itu. Begitu banyak orang dengan berbagai
pakaian khas yang bervariasi membuat kagum akan tempat itu. Ada yang
memakai pakaian renda dengan belahan dada yang lebar, ada yang memakai
pakaian khas negara yang tidak aku tahu berasal dari mana. Namun kebanyakan
prianya hanya memakai jas dan celana bahan berwarna hitam. Aku terus berjalan
sambil memperhatikan sekelilingku. Saat ini aku sedang sendiri dan memang
50 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
sedang ingin sendiri. Aku memang berjanji dengan Rio bertemu di tempat ini,
namun aku senang dengan suasana ini. Jadi sekarang aku tidak sedang mencari
Rio.
Beberapa kali pelayan menawarkan minuman berwarna-warni, namun ku
tolak. Jas Rio yang pas dikenanakan dibadanku membuatku nyaman berjalan di
tempat ini. Aku terdiam sejenak ketika melihat orang-orang berkerumun di suatu
tempat. Aku berjalan perlahan mendekati tempat itu. Kulihat samar-samar dari
balik punggung orang-orang yang berdiri mengitarinya, terlihat sebuah rok hitam
berkibar-kibar serta suara tapakan sepatu. Semakin penasaran diriku, maka
kucoba semakin mendekat. Akhirnya aku sampai di pinggiran lantai dansa itu. Dari
dekat, dapat ku perhatikan tubuh yang di balut gaun beludru hitam menari begitu
indah di hadapanku. Kakinya sesekali menghentakkan lantai. Kucoba
memfokuskan mata untuk melihat sosok yang menari di depanku. Sepertinya aku
pernah melihatnya. Diakah itu? dia… Iya, dia gadis yang tadi pagi berjalan
melewati flatku. Gadis dengan aura yang sangat kuat. Aku tertegun di tempat itu
dalam posisiku. Mataku tidak dapat beralih dari dia. Dalam tariannya, setiap lekuk
tubuhnya begitu anggun dan begitu ayu. Aku terus menatapnya, kupandangi
parasnya yang rupawan. Ia memalingkan wajahnya ke depan sehingga dapat
kulihat sudut wajahnya semakin jelas. Ia menatapku! Kurasakan tiba-tiba
jantungku berdetak sangat kencang.
“Richard!!” sebuah suara menyadarkanku. Kupandangi dia, adikku Rio. Ia
sedang menggenggam segelas minuman dan ia terlihat gagah dengan pakaiannya
itu. Ia sangat cocok dengan mengenakan paduan celana hitam, kemeja putih
51 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
dilapisi jas hitam, serta dasi bergaris. Ia sangat sesuai berada di antara orang-
orang ini
“Kak, sudah dari tadi ya di sini?” tanyanya.
“Oh, enggak. Aku baru saja mau melihat tarian itu.” jawabku. Sekilas ku lirik
lagi gadis yang masih menari di tengah-tengah kerumunan orang itu.
“Kakak lihat penari itu, cantik kan?” tanya Rio padaku. Ia memiringkan
posisinya ke arah gadis itu ketika sedang berbicara.
“Hm..” jawabku.
“Nanti kukenalkan, Kak.” katanya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya
padaku. Aku hanya terdiam, tidak mengerti maksud dari bahasa tubuhnya
tersebut.
Chapter 5. Afraid to Lose You
“Chik, terus yang diperlukan udah lengkap semua?” tanya Dani dari ujung telepon
“Sip, Dan. Gue udah siapin semuanya.” jawab sebuah suara wanita dari ujung telepon.
52 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“OK. Besok pulang sekolah udah bisa ditempelin kan poster-posternya?”
“Iya… iya udah.”
“OK, Thanks berat ya Chik. ?You are my best friend, dah.”
“You’re welcome.”
“Bye…”
“De..”
Kemudian Dani meletakkan gagang telepon ke tempatnya.
“Siapa Dan?” tanya Miki yang ternyata berdiri di samping Dani sedari tadi. Suara Miki tidak jelas ketika
bertanya. Hal itu karena ia berkata-kata sembari menguyah keripik dengan bungkusan super besar di
tangannya.
“Friska.” jawab Dani tanpa ekspresi.
“Ooo..” Miki menanggapinya sambil mengangukkan kepala. “Mau?” tanyanya sambil menawarkan
makanan yang sedari tadi di kunyahnya.
“Gak Ki, aku dah kenyang. Hum.. dari tadi ngapain aja?” tanya Dani sembari memiringkan badan ke
arah Miki. Diperhatikan seluruh tubuh Miki. Saat itu Miki hanya memakai celana jins pendek dan tank
top putih milik. Menyadari sesuatu, tiba-tiba jantung Dani berdetak lebih kencang. Memang fisik Miki
secara keseluruhan hampir sempurna. Pantas saja dia jadi model, pikir Dani.
“Gak ada, cuma nonton di ruang tamu.” jawab Miki santai.
“Mau jalan?”
“Iya… iya, mau!” Miki langsung loncat kegirangan, pasalnya semenjak acara nonton bareng kemaren
itu, Dani tidak pernah lagi ngajak Miki jalan-jalan. Sepertinya dia sibuk mengurus segala sesuatu yang
berkaitan dengan pencalonanya sebagai ketua OSIS.
53 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Sore itu, Miki dan Dani pun langsung beranjak dengan menggunakan mobil sporty merahnya. Miki
hanya mengubah tatanan rambutnya menjadi sedikit lebih rapi. Meskipun ia tidak mengganti baju dan
berdandan, namun ia tetap kelihatan modis. Disisi lain, Dani juga kelihatan gagah meskipun hanya
memakai setelan rumahan: kaus oblong dan celana boxer. Kacamata yang selalu dikenakannya
menambahkan kesan elegan dalam dirinya.
“Udah sampai Miki, yuk!” kata Dani usai memarkirkan mobilnya di depan sebuah mol.
“Let’s go!” teriak Miki bersemangat.
Setelah lama mereka berdua berkeliling melihat-lihat di dalam mol yang masih baru didirikan itu, Miki
mulai berani menanyakan sesuatu yang dari tadi di pikirkannnya.
“Dan…” panggil Miki
“Ya?” jawab Dani sambil mengalihkan pandangannya dari barang-barang elektronik yang sedari tadi
diperhatikannya.
“Kamu suka ya?”
“Hmm…? Iya, aku suka banget kamera digital kayak gini. Aku lagi serius neh pengen bergelut di bidang
photography.” jawab Dani panjang lebar.
“Bukan, bukan itu!” rengek Miki.
“Hmm…?” Dani menjadi agak heran. Ia meletakkan kembali kamera yang sudah diamatinya dari lima
menit yang lalu.
“Apa?” tanyanya dengan nada sepeti membujuk.
“Kamu suka ya sama Chika?” tanya Miki dengan pandangan curiga.
“Hah?” sejenak Dani terdiam mendengar pertanyaan Miki. “Uh… eh.. Ahahaha….” Akhirnya ia
meledak setelah berusaha menahan tawanya.
54 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Miki terdiam melihat tingkah laku Dani. Ia mendengus dan bibirnya semakin dimajukannya beberapa
centi. Dikiranya itu sebagai jawaban ‘ya’.
“Are you dating with her?” tanyanya lagi untuk memastikan. Berusaha di hilangkannya ekspresi
sedihnya.
“Ahahaha…” Dani masih tertawa. Ia kemudian mengacak-acak rambut Miki dengan sebelah tangannya.
“Miki… Chika itu temanku, teman baikku, sama seperti Joe. Hanya saja Friska itu cewek, sementara Joe
cowok. Ngerti kan?” Dani menjelaskan secara pelan dan lembut.
“Hm…” jawab Miki kurang yakin. Diperbaikinya rambut lurusnya yang kusut karena perbuatan Dani
tadi.
Tidak beberapa lama meranjakkan kaki dari situ, Miki bertanya lagi, “Do you have a girlfriend?”
Dengan tenangnya, Dani menjawab, “No, but I have many friends which are girls.” Kemudian
dilemparkan senyum lebarnya ke Miki. “How about you?” tanyanya masih dengan nada datar.
Sebenarnya saat itu jantung Dani berdegup kencang. Takut tiba-tiba Miki menjawab “Yes, I do.” Hanya
saja ia berusaha terlihat cool.
“SIM Card!” pekik Miki.
“Ha?” Dani tersentak “Simka?” Dani mengira Miki menyebutkan nama pria yang menjadi kekasihnya
adalah si Simka. Dalam pikirannya terbayang Simka adalah seorang pria keturunan India yang sedang
melanjutkan studinya di Australia.
“Yes, SIM card. Itu, disitu ada jual kartu SIM baru Dan, Miki pengen beli.” Miki berceloteh
sambil menunjuk ke arah gerai ponsel.
“Oo…” dari nada bicaranya Dani tak bisa menyembunyikan kelegaannya terhadap penjelasan
Miki barusan.
55 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ki, aku kesana dulu ya?” Dani berkata begitu menyadari ada stand penjual es krim di sudut
kanan counter ponsel tersebut. Miki yang sedang sibuk bertanya-tanya dengan mbak-mbak penjual pulsa
dan berkombinasi dengan suasana hiruk-pihuk sore di mol itu menjadi kurang memperhatikan Dani.
“Miki, aku kesana dulu beli es krim. Kamu yang Vanilla kan?” Dani mengulang pertanyaannya.
“Ha?? Iya.. iya.” Miki menjawab cepat. Padahal sebenarnya ia kurang mendengar petanyaan
Dani. Dani sendiri segera beranjak menuju ke counter es-krim.
“Ada yang rasa Vanila mbak?” tanyanya.
“Thankyou so much.” ujar Miki dengan wajah cerianya setelah berhasil membeli kartu perdana nomor
Indonesia pertamanya. Sewaktu ia membuka dompetnya, mencuat suatu kertas. Itu kertas nomor telepon
Andre yang dulu pernah diberinya. Hm… sekalian aja, pikir Miki.
“Hallo!” sapanya dengan suara ceria.
“Hallo” jawab suara di ujung ponsel dengan nada penuh wibawa .
“This is Miki. This is my new number. You’re the lucky number one! Ahahaha..” tawanya.
Andre yang saat itu sedang nyupir langsung menyungging senyum. “Ah, that’s you Miki! Do I the first
people who knows your number?”
“Iya! Kamu orang pertama yang aku telepon pakai kartuku.”
“Wah, beruntung banget ne, baru beli ya?” tanya Andre.
“Yeah. Aku tepat janji kan?”
“Yeah, you are. Hm… bareng Dani?”
“He-e.”
“Dani disamping kamu ya?”
56 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Oiya, Dani mana ya?” Miki melirik ke samping kanan dan kirnya. “He’s gone!” teriaknya ketika
menyadari tidak menemukan Dani disana.
“Hilang gimana?” Andre mulai bernada kwatir.
“Hm.. I’ll find him first. Call u latter. See Ya!” Dengan buru-buru Miki menutup ponselnya. Dia
pun berlari semakin jauh dari counter pulsa tempatnya membeli kartu tadi. Ia berjalan mencari-cari,
namun tidak ada sosok yang mirip Dani yang ia temui. Ia berlari di antara kerumunan orang. Begitu ia
melihat seseorang memakai celana boxer, ia pun mengejarnya. Ditegurnya dan ternyata bukan Dani! Ia
semakin panik. Semakin lama ia mencari semakin ia tidak menemukan. Ia semakin panik, rasanya mol
itu seperti berputar. Ia sudah nak-turun eskalator dua kali, tapi ia tetap tidak menemukan Dani.
Sementara itu Andre yang masih mengendarai mobil masih memikirkan kata-kata terakhir Miki. Ia
sepertinya cukup kwatir dengan kondisi Miki. Dia mengerti perasaan Miki yang hilang di tempat yang
asing baginya. Dibukanya ponselnya, dilihatnya telepon masuk terakhir, kemudian di tekannya tombol
‘panggil balik’.
Di sisi lain lagi, Dani juga mengalami hal yang sama. Ia jadi panik karena Miki menghilang.
Dalam pikirannya Miki sedang di culik oleh orang-orang jahat yang mungkin mengira kalau Miki adalah
anak pengusaha kaya. Es krim yang ada ditangan Dani mulai mencair.
Miki akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu bangku di depan toko buku. Kakinya sudah letih
selama lebih dari empat puluh menit memutari mol itu. Ia menunduk kepalanya lalu diremasnya rambut
panjangnyanya dengan kedua tangannya. Huff… di hembuskan nafasnya panjang. Tringring…
tringring… dirasakannya ponselnya bergetar dan sejenak menghentakkan dirinya.
“Hallo Miki, udah ketemu Daninya?” tanya suara yang menelepon itu.
“Belum. Aku sendirian.”
“Kamu dimana Mik?Aku nyusul ke sana sekarang.”
57 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Andre lansung memutar arah mobilnya, kemudian ia berusaha menghubungi Dani, namun tidak
diangakat. Dani sepertinya lupa mengubah menu ‘silence’ di ponselnya semenjak pulang dari sekolah.
Lagipula Dani tidak begitu memperhatikan ponselnya karena sibuk mencari-cari. Karena kehabisan akal,
Dani kemudian mendatangi meja informasi. Ini kedua kalinya ia dan Miki mengalami peristiwa seperti
ini dan ia sadar akan hal itu.
“Mbak… tolong berita panggilan pada Milcy Daniella mbak ditunggu Daniel Roberto di meja informasi.
Buruan Mbak! Saudara gue tuh gak tahu mol Jakarta!” Dani begitu panik sehingga seluruh
kewibawaannya jadi luntur.
Sewaktu Dani mencoba menghubungi rumahnya dengan menggunakan ponsel nya, Dani agak terkejut
melihat tiga panggilan tidak terjawab.
“Dari Andre? Aduh tunggu dulu, gue nelpon rumah dulu deh.” Dani berguman sendiri.
Tut.. tut… tepat dua kali nada sambung berbunyi ketika Dani mengadahkan wajahnya dan
melihat Andre dan Miki sedang berdiri di hadapannya sambil… BERGANDENGAN!
“Miki? Andre?” Dani menutup kembali flip ponselnnya dengan gerakan lambat ketika melihat
kedua orang itu tengah berjalan berdua dari arah esklator menuju ke arah Dani.
“Andre? Lo kok disini?” tanya Dani sambil melangkah menuju mereka berdua. Samar-samar
dilihatnya sembab di mata Miki.
“Miki, kamu kemana?” lanjutnya bertanya pada Miki tanpa menunggu jawaban Andre.
“Aku gak kemana-mana.” Miki menjawab dengan nada malas dan sedikit ketus.
“Kamu.. gak pa-pa kan?” tanyanya lagi sambil memperhatikan sekujur tubuh Miki, diremasnya
lengan Miki.
“I’m OK.” kali ini ekspresi Miki benar-benar terlihat suntuk.
“Andre, kok…?” Dani melongo heran melihat sosok pria tersebut dihadapannya.
58 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Dani, I’m very tired and I wan’t to get home quickly.” Tanpa menunggu apapun, Miki langsung
menghaburkan diri menuju ke pintu keluar.
“Andre, entar gue hubungin elo.” ucap Dani cepat. Buru-buru ia menyusul Miki.
Dari jauh Andre bisa melihat Dani menarik lengan Miki yang berjalan sangat cepat. Miki
menghentikan langkahnya dan mematung di tempat ia barusan berdiri. Dani kemudian membujuknya
lembut dan menarik tanggannya keluar dari mol itu menuju parkiran. Andre masih memandangi mereka
hingga kedua orang itu menghilang di balik barisan mobil-mobil.
Didalam mobil Dani dan Miki membisu. Hanya suara musik dari band kenamaan di radio yang
membunuh kekakuan keduanya. Miki sepertinya begtitu kesal dengan Dani. Sementara Dani bingung
akan gelagat Miki.
“Miki, kamu tadi kemana sih?” tanya Dani mulai membuka pembicaraan dengan nada
membujuk.
“Aku gak kemana-mana, kamu yang kemana?” jawab Miki ketus tanpa memandang ke arah
Dani. Melalui kaca jendela mobil yang tertutup dipandanginya terus pemandangan di jalan.
“Aku tadi beli es-krim Miki dan aku udah pamit sama kamu. Kamu ingat gak?” tanya Dani lagi.
“Enggak!” jawab Miki tetap dengan nada ketus.
“Aku tadi udah bilang Miki, kamu gak perhatiin.”
“Kenapa kamu gak nunggu aja?” Miki membalas dengan bertanya.
“Aku kan gak pergi jauh Ki.”
“Gak peduli kamu pergi jauh atau enggak. Kamu harusnya nunggu!” kali ini Miki menoleh ke
arah Dani dengan mata yang melotot.
“Kamu yang harusnya tetap nunggu di sana. Kamu kan gak tahu jalan, aku kwatir.”
59 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“You did’t have to go if you afraid of me!” Miki membentak ke arah Dani. “I’m afraid to losing
you. Im afraid if I’m not be able to see every people that I care.” lanjutnya dengan nada lirih.
Dani terdiam mendengar itu semua. Dipandangnya Miki dalam, namun tak bisa di ucapkannya
satu katapun.
Sesampainya di rumah Miki dengan setengah berlari langsung menaiki loteng menuju kamarnya.
Dibentamkannya wajahnya ke bantal. Setetes air mata menitik dari mata birunya. Tiba-tiba ia teringat
sesuatu yang terlupa. Di ambilnya ponselnya dan dengan cekatan diketiknya sesuatu. Sesudah itu di
campaknya ponselnya dan digeleng-gelengkannya kepalanya berusaha menghilangkan traumanya.
Sesudah itu dipasangnya musik jazz dari stereo tapenya dan kembali direbahkannya tubuhnya ke tempat
tidur.
Sementara itu di sudut mol yang tadi, Andre yang sedang bercanda dengan teman para tim
suksesnya tersenyum ketika melihat sebuah pesan yang masuk ke ponselnya
Di dalam rumah malam itu, Dani tidak berhenti berpikir. Ia merasa heran sekali, kenapa Miki
jadi marah seperti itu padanya. Pasalnya Miki kan hanya hilang sejam. Dani tidak habisnya pikir kenapa
Miki bisa semarah itu dan dalam lamunannnya ia pun terlelap.
60 | P a g e
From: From: Milcy Danielle
Thank
Thankyou,
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Besok paginya Dani bangun cukup cepat. Dikenakannya pakaian trainingnya kemudian ia
beranjak keluar rumah. Sebelum menuruni tangga, sempat ia menghentikan langkahnya di depan kamar
Miki. Lampu kamar itu masih hidup dan tidak ada suara apa-apa dari dalam. Sempat terbesit dalam
pikiran Dani untuk mengetok dan mengajak Miki olahraga pagi seperti yang biasa dilakukannya. Namun
begitu tangannya mengepal di depan pintu kamar Miki, diurungkannya lagi niatnya.
Tiga puluh menit kemudian, Dani telah sampai kembali di rumah dengan nafas terburu-buru.
Sebentar ia lakukan gerakan pendinginan di ruang tengah keluarga yang televisinya sedang dihidupkan
dengan volume tinggi.
“Dan, udah pulang?” tanya Mama dari dalam dapur.
“Udah!” teriak Dani berusaha menandingi suara volume televisi.
“Kok cepat sekali?” tanya Mama sembari mengerjakaan berbagai hal di dapur
“Udah capek Ma.”
“Miki gak di ajak?”
“Gak.”
“Napa Dan?”
“Gak papa Ma, masih tidur dia.”
Tlilit… tlilit… Dani masih melakukan berbagai gerakan ketika telepon yang ada di ruang tamu
berbunyi.
“Dan, ada telepon tuh diangkat!” teriak Mama. Tanpa menjawab apapun Dani beranjak dari
posisinya dan mengangkat telepon.
“Halo, selamat pagi.” jawab Dani.
61 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Halo!! Dani ya?” tanya suara di ujung telepon dengan nada yang ceria.
“Iya. Siapa ya?” tanya Dani sambil mengelap keringatnya yang hampir menetes di sela-sela
telinganya.
“Ni Om Rio, Dan. Apa kabar kamu?”
“Oh, Om Rio. Baik Om, Om apa kabar?”
“Baik juga. Miki gimana?”
“Masih tidur Om.”
“Hm.. masih tidur ya? Tumben, biasanya kalau di Indonesia anak itu cepat bangun, soalnya dia
suka udara pagi di sana katanya, Hohoho...”
“Hehehe..” Dani hanya bisa tertawa garing mendengar penyataan tersebut.
“Oya Dan, udah ajak Miki ke mana aja?”
“Oh… kita jalan-jalan terus kok Om. Malah udah bingung mau kemana lagi sangkin banyaknya
tempat yang udah didatangin.”
“O.. bagus lah kalau Miki senang disana. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu Dan.” Om Rio
berkata dengan nada sok seram. Dani diam saja mendengar pernyataan Om Rio ini. Ekspresi sedikit
bingung terlihat di raut wajahnya.
“Miki itu mengidap syndrom tempat ramai.”
“Hah?”
“Iya, dia gak gitu suka tempat ramai.”
“Masa sih Om?” tanya Dani tidak percaya. Pasalnya kalau tidak salah dari kemaren Dani selalu
mengajak Miki ke tempat-tempat yang ramai.
“Iya,” Om Rio mempertegas. “Kamu masih ingat kan waktu Ibunya Miki meninggal delapan
tahun lalu?”
62 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ha-a.” jawab Dani.
“Nah, Miki yang terpukul dengan kematian Ibunya itu selama di Aussie kerjanya menyendiri
terus, gak banyak temannya.”
“Oya?”
“Iya Belakangan ini aja Miki baru mulai bisa bergaul. Teman-temannya mulai banyak sejak ia
jadi model.”
“Oo...” jawab Dani sambil menganguk-anguk seolah-olah Om Rio bisa melihatnya.
“Makanya kamu jangan heran ya kalau Miki itu hobinya suka gandeng-gandeng orang.”
“Iya Om.” jawab Dani sambil terus menganguk-angguk. Diingatnya peristiwa-peristiwa
kemaren.
“Sekarang kamu udah tahu kan Dan, jadi Om titipin Miki sama kamu selama di sana ya? Om percaya
kok sama kamu. Nah, sekarang tolong kasiin teleponnya sama Papa kamu, Om pengen bicara.” pinta
Om Rio
Setelah memberikan gagang teleponnya pada Papa, Dani hanya terdiam dan duduk di sofa ruang tengah.
Pipinya di tumpukan pada tanggannya yang dikepal, pandangan matanya kosong. Mama yang di dapur
dan Papa yang sedang ayik bertelepon diam saja melihat kelakuan Dani yang aneh. Mereka mengerti
bahwa anak semata wayangnya ini tidak ingin di ajak bicara bila memunculkan ekspresi yang seperti ini.
Akhirnya dengan tekat bulat, Dani beranjak dari sofa tersebut dan langsung melompat menuju loteng. Di
depan kamar Miki, sejenak di hempaskan nafas panjangnya. Pelan-pelan di julurkannya tangannya yang
terkepal.
Tok.. tok… di ketukanya pintu kamar itu secara pelan. Lima belas detik ditunggu, tidak ada jawaban. Di
ketukkannya dua kali dan kali ini lebih keras. Tok…tok… Setelah sepuluh detik ditunggu, tidak ada
jawaban. Untuk yang ketiga kali diketuknya lagi. Tok…tok..tok…!Setelah ditunggu beberapa saat,
63 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
ternyata tetap tidak ada jawaban. Akhirnya kesabaran Dani habis, diketok-ketoknya pintu itu secara
keras. Sepuluh detik ditunggunya, tetap tidak ada jawaban, sunyi. Akhirnya Dani menjadi benar-benar
kwatir, ia pun mengetuk sambil berteriak.
“Miki! Miki! Bukain pintu Miki. Miki! Bukain pintunya.” capai Dani berteriak, namun ternyata masih
tidak ada jawaban juga. Dani menjadi super kwatir, terbesit dalam pikirannya hal yang mengerikan
terjadi pad Miki. Kali ini ia menggedor lebih kuat dan dengan berteriak ia memanggil nama gadis itu.
“MIKI!” Mama dan Papa yang heran mendengar itu kemudian naik ke atas loteng untuk melihat hal
yang terjadi di sana. Dani menghentikan ketokannya ketika ia bertatapan dengan Ibu dan Ayah yang
datang dengan ekspresi takjub melihat tingkah laku anaknya itu. Tangan Dani masih mengejang dengan
bentuk terkepal di depan pintu kamar Miki. Dan disaat itu juga pintu kamar Miki tiba-tiba terbuka.
“Ada apa sih?” tanya Miki dengan muka mengantuk. Terlihat di telinganya melekat earphone yang dari
dalamnya keluar suara-suara dentuman berisik. Bahkan sangkin kuatnya, suara musik yang keluar dari
lubang-lubang earphone itu masih bisa di dengar oleh Dani samar-samar. Mama dan Papa pun sayu-
sayup dapat mendengarkan suara musik keras yang mengalun meskipun berdiri jarak beberapa meter
dari mereka. Ke-empatnya terdiam dalam posisinya, saling bertatapan dan bertukar tatapan dan
melempar tatapan.
Chapter 6. Sorry
Tap.. tap.. tap.. terdengar langah Dani menuruni anak tangga dengan perlahan. Minggu yang indah,
pikirnya. Hari ini dia bangun telat. Jam telah menunujukkan pukul 11 pagi. Dani melangkahkan kakinya
keluar rumah menuju teras. Dilihatnya Mama sedang sibuk mengurusi tananaman di pekarangan rumah
yang sempit.
64 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Pagi Ma!” seru Dani.
“Siang Dani.” ledek Mama.
“Ehehehe… udah siang ya Ma? Mama sih gak bangunin aku.” Dani berdalih sambil menggaruk-
garukkan kepalanya.
Mama mendengus melihat kelakuan anaknya yang satu ini. “Habisnya kamu nyenyak banget
tidurnya Dan. Mama tadinya pengen bangunin kamu, tapi kamu tidurnya kayak gitu, ya…. Mama biarin
aja.”
Whoa.. Dani malah menanggapi perkataan Mama nya dengan menguap. “Iya Mama, aku banyak
kegiatan jadinya kecapean.” lanjutnya.
“Ya sudah, mandi sana! Cari kegitaan gih sekarang.” perintah Mama.
“He-e.” jawab Dani, lalu ia melangkahkan kakinya memasuki rumah.
“Oya Dani,” panggil Mama sebelum Dani menarik daun pintu. “.. tadi teman kamu nelpon.”
“Siapa?”
“Katanya namanya Friska, terus Mama bilang supaya nelpon kamu lagi nanti.”
“Hm.. biar Dani telpon aja ntar.” Dani memutar posisi badannya. Namun sebelum berhasil
menarik pintu, ternyata ada seseorang yang mendorong dari dalam rumah.
BRAAAKK!
“Owch!”
“Ups.” sebuah suara kecil menyambut di balik pintu. “Are you OK?” tanyanya.
“Miki?” Dani berkata hampir berteriak. ”Mau kemana?” lanjutnya sambil berusaha berdiri.
“Gak apa-apa kan Dan?” tanya Miki sambil meraih lengan Dani dengan satu tangannya. Ia berusaha
membantu Dani bangkit.
65 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Iya, aku gak apa-apa. Kamu mau kemana?” tanya Dani setelah benar-benar bangkit berdiri.
Ditepuk-tepuknya tapak tangannya yang kotor.
“Em.. pergi.” jawab Miki.
“Kemana?”
“Nonton.”
“Sama siapa?”
“Andre.”
“Terus?”
“Terus apa Dan? Kok kamu nanyaknya kayak introgasi gitu. Aku cuma pergi berdua dengan
Andre!” keluh Miki dengan mimik kesal.
“Ya cuma ditanyain gitu doang kamu udah gak senang.” Dani ikut-ikutan menjadi kesal.
“Of course I do!” kali ini ekspresi Miki benar-benar kesal. Ia melipatkan kedua tangannya di
depan dada.
“Boleh ikut?” tanya Dani lagi.
“Gak!” jawab Miki dengan tegas sambil berlalu begitu saja. Tampaknya Miki tidak sadar
keberadaan Mama di halaman samping rumah.
Dani terus memandangi punggung Miki sampai gadis itu berlalu dengan sebuah mobil sedan
hitam. Tampaknya Miki masih menyimpan kekesalan pada Dani. Sebenarnya Dani sudah berniat minta
maaf atas perbuatannya kemaren. Akan tetapi, kelakuan Miki barusan malah membuatnya jadi
mengurungkan niat baik itu.
66 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki… hari ini kamu mau nonton film apa?” tanya Andre begitu menyadari Miki sedang
melamun dan menatap keluar jendela.
“Hm..?” tanya Miki yang kurang mendengar perkataan Andre tanpa melihat kepada Andre.
“Mau nonton film apa?” ulang Andre dengan nada lembut dan penuh perhatian. Sepertinya ia bisa
melihat kesedihan di mata Miki.
“Mm… apa aja.” jawab Miki tidak peduli. Sejurus kemudian ia mulai menoleh ke arah Andre.
“Kamu… sakit?” tanya Andre sembari terus berkonsentrasi ke jalanan.
“Enggak. I’m very fine.”
“Are you sure?”
“Hm…” jawabnya. Terkesan nadanya ragu.
“Ya udah, gak usah terlalu dipaksain. Kalau gak mau nonton, hari ini kita kerjakan hal-hal yang fun aja
Miki.” bujuk Andre.
“Hm…” jawab Miki dengan senyum lebar yang terpaksa. Setelah itu mereka mereka hanya terdiam
dalam mobil, terhanyut dalam lagu-lagu jazz yang di putar Andre.
“Andre…” panggi Miki beberapa saat kemudian.
“Ya?”
“Wanna know a secret?” tanya Miki dengan pandangan mata berbinar.
“Hah?” Andre terheran melihat ekspresi Miki yang tiba-tiba berubah.
Segera Miki mendekatkan bibirnya untuk membisikkan sesuatu ke telinga Andre.
Selama beberapa hari ini, Dani memang sibuk (menyibukkan) diri dengan kegiatan di
sekolahnya. Ia memang punya alasan. Sebagai calon ketua OSIS yang baru, tentunya ia memiliki
67 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
segudang hal yang harus dikerjakan. Ia bahkan hanya sempat menyapa Miki di pagi hari sewaktu
sarapan. Dani biasanya pulang sore ke rumah. Tidak berbeda dengan Dani, Miki juga sedang asyik
dengan kesibukannya sendiri. Ya, dia lagi sibuk ikutan kursus merajut. Semua yang ada di kursus
menyukai tingkah laku Miki yang lucu. Dan kalau Miki sedang malas berada di rumah, ia biasanya
mengajak Andre, namun lebih sering Andre sendiri yang mengajak Miki. Miki sudah merasa cukup
dekat dengan Andre. Mereka sudah cukup sering melakukan aktivitas bersama: jalan-jalan ke mol,
nonton di bioskop, liat pementasan band di jalanan hingga cuma jalan-jalan sore, semua sudah dilalukan
bersama Andre. Sebenanya Dani cukup kesal dengan segala tindak tanduk Andre terhadap sepupunya
itu, namun ia tidak dapat berbuat banyak. Hal ini diperparah keadaan yang membuat komunikasi di
antara Dani dan Miki berkurang. Mereka berdua kerap pulang larut dan keduanya sering tidak makan
malam bersama.
Hari ini pun Dani pulang sekolah dengan wajah manyun. Air mukanya menunjukkan sepertinya dia
mempunyai banyak beban. Mama yang sedang duduk-duduk di rumah menyambut kedatangan anak
semata wayangnya ini dengan gembira.
“Dani... udah pulang?”
“Iya Ma, Dani pulang.” jawab Dani masih dengan raut wajah suntuk. Setelah mencampakkan tasnya ke
atas meja, direbahkannya badannya di sofa, dekat kaki Mama.
“Mama.. gak pergi?”
“Enggak, lagi ingin di rumah saja.”
“Dirumah ada siapa?” tanyanya berharap bisa menjumpai Miki siang itu.
“Gak ada siapa-siapa, cuma Bibik.”
68 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ooh…” setelah mendengar jawaban itu, Dani memejamkan matanya. Ia berusaha menenangkan
segala pikirannya. Sinar matahari yang terik masuk melalui sela-sela jendela dan menyilaukan
pandangannya. Angannya berputar ke dimensi yang lalu, ke masa lalu.
Siang terik sepuluh tahun yang lalu, aku dan Miki sedang dirumah itu. Tertawa berkejar-kejaran
di atas rerumputan. Pikiran Dani terus menerawang. Senyumnya melebar sejenak membayangkan
kenangan indah dalam hidupnya. Mama masih berada di samping Dani sambil membaca tabloit.
Akhirnya Mama meletakkan tabloit yang sudah dibacanya itu ke samping dan ia memulai pembicaraan
baru dengan Dani.
“Dani, akhir-akhir ini muka kamu kok sering cemberut? Kenapa, ada masalah ya Nak?” tanya
Mama sambil membelai-belai rambut ikal anak semata wayangnya itu
“Enggak kok Ma, mungkin karena kecapean aja. Akhir-akhir ini aku banyak kegiatan di sekolah, Ma.”
Dani menjawab dengan mata yang masih terpejam. Sadar akan sesuatu, Dani kemudian menggeserkan
posisi tubuhnya sehingga ia dapat merebahkan kepalanya di paha Mamanya. Dani memang cukup sering
memanjakan diri pada Mama, terutama kalau sedang dalam masalah.
“Dan, sebenarnya kamu kenapa dengan Miki? Kamu berantam ya? Akhir-akhir ini Mama jarang
sekali lihat kamu jalan bareng sama Miki lagi. Dia sering keluar sama teman kamu itu kan yang
namanya A..A..”
“Andre? Ya baguslah Ma, jadi Miki gak bosen di rumah terus. Lagian aku juga jadi tenang kok Ma, gak
harus ngantarin Miki ke sana ke mari. Lagian Andre juga orangnya bertanggung jawab Ma.” jawab Dani
menanggapi pertanyaan Mamanya.
Mama curiga dengan perkataan Dani tersebut, pasalnya Dani bercerita panjang lebar sambil
memanyunkan bibirnya serta mengerutkan alisnya
“Loh, kamu kok ngomong kayak gitu, Dan? Kamu cemburu ya?” ledek Mama
69 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Enggak kok! Enggak, enggak! Kok mama bisa berpikiran kayak gitu?” tanya Dani, kali ini dipasangnya
sorot mata tajam memandang Mama.
“Kelihatan banget Dan kalau kamu cemburu. Kamu memang orang yang paling gak bisa
menyembunyikan perasaan kamu.”
Mendengar hal itu, Dani hanya bisa diam sambil mangut-mangut sendiri.
“Kalau Mama sih ngerasa Miki sebenarnya pengen jalan-jalannya sama kamu kok, Dan. Kan selama ini
kamu yang paling dekat sama dia. Kamu, jangan menyianyiakan kesempatanmu bersama dia. Kamu itu
udah kayak bagian hidup Miki. Mama yakin Miki sebenarnya pengen banget pergi bareng kamu. Dani,
di sela-sela kesibukanmu, bukan hal yang susah menyisahkan waktu buat Miki Lagian Miki kan cuma
sebulan di sini, Dan.”
Dani tetap membisu mendengar semua pernyataan Mama. Pikirannya berputar dalam ingatan terhadap
gadis kecil itu. Gadis kecil yang menemaninya sejak kecil. Gadis yang memberi bayangan masa lalu
yang indah. Gadis yang selalu memberi kegembiraan padanya.
“Masuk aja.” pinta Dani yang lebih mirip suatu perintah.
Miki yang tiba-tiba saja dihadang pagi itu syok dengan sergapan Dani. Pasalnya sewaktu lagi berjalan ke
teras untuk ngambil sapu guna membantu Mama membersihkan sarang laba-laba di dapur, tiba-tiba saja
Dani membukakan pintu mobil dan memintanya masuk.
“Mau kemana?” tanya Miki bernada manja.
“Kemana aja.” Dani menjawab ketus.
Dengan pasrah akhirnya Miki masuk kedalam mobil. Di dalam kendaraan merah tersebut, keduanya
masih diam membisu. Berupaya memecahkan keheningan Dani memasang kaset dalam mobilnya.
70 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Setelah itu, dipasangnya kacamata hitam menggantukan kacamata minus miliknya. Dengan gaya yakin,
semakin kencang diinjakkannya pedal gas. Miki yang sedari tadi bingung dengan kelakuan Dani hanya
bisa memperhatikan sikap Dani dengan pandangan mata aneh. Bibirnya sedikit dikedepankannya dan
sesekali ia mendengus. Sepertinya dia masih kesal dengan segala tingkah laku Dani yang terdahulu.
Jalanan pagi itu begitu ramai. Mobil terus melaju dan mereka masih tetap diam. Minggu pagi memang
waktu yang paling tepat untuk rekonsiliasi, pikir Dani. Tanpa sadar ia tersenyum sendiri. Miki hanya
memandanginya dengan cemberut.
Akhrinya mereka sampai disatu tempat. Miki tertegun sejenak. Ia melangkahkan kakinya lambat.
Ditutupinya sebagian pipinya dengan telapak tangannya. Tempat itu, rumah itu, bangunan itu semua
yang ada di situ bagai memaksanya memutar kembali ingatan masa lalunya. Semua kenangan indah
yang dilaluinya bersama orang-orang yang dicintainya. Terutama Mamanya yang pernah ada disitu.
Tidak sanggup sepatah katapun ia berbicara. Dilangkahkannya kakinya hendak memasuki ruangan itu.
Namun tiba-tiba diurungkannya niatnya, dihentikannya langkahnya sejenak. Ia pun berbalik kearah Dani
dan bertanya,
“Dani, why you bring me to here?”
Menjawab pertanyaannya itu, dibukakan Dani kacamatanya yang selama ini setia melekat di wajahnya.
Dani tertunduk. Dengan penuh keberanian diangkatnya wajahnya,
“Aku.. cuma ingin memperlihatkan betapa pentingnya kamu dalam hidupku.” ujar Dani tulus. Baru kali
ini dia berbicara begitu pada Miki. Walaupun agak mengganjal, namun perasaannya lebih tenang
sekarang.
Setelah mendengar pernyaataan Dani itu, Miki terdiam sejenak dan sejurus kemudian kembali
membalikkan badannya. Ia pun melanjutkan berjalan menuju rumah tua itu.
71 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Rumah itu sudah tua, tidak terawat. Plesternya ada yang sudah terkelupas dan catnya sudah tidak jelas
lagi. Alang-alang mulai tumbuh dibagian dalam rumah itu. Dengan sangat perlahan, mereka
melangkahkannya kakinya kedalam ruangan. Ingatan indah masa lalu serasa memenuhi pikiran meraka.
Saat-saat kebersamaan dengan Dani. Tertawa, bercanda, bermain. Semua ingatan dalam rumah itu.
“Rumah itu… sebenarnya gak jauh dari taman bermain kita.“ kata Dani sambil menggoyangkan
anyunan yang di duduki Miki.
Miki yang masih memakai pakaian tidur merasa senang bergoyang di atas ayunan tersebut. Namun
pandangannya kosong. Ia hanya melihat ke depan, ke arah jalannan yang jauh.
“Tapi kalau jalan kaki lumayan jauh juga,” akhrinya Miki membuka suara terhadap Dani. “Mungkin
karena kita dulu masih kecil, jadi kalau berlari ke sini gak terasa jauh ya?” lanjutnya
“Hm.. kalau jalan kaki bisa sampai lima belas menit.” ujar Dani
“Iya sampai lima menit kalau pakai kaki manusia. Kalau pakai kaki semut?” canda Miki.
“Ahahaha…” Dani mulai tertawa
“Hehehe…” Miki pun ikut tertawa. Suasana kini mulai menghangat.
“Hahahaha…” tawa Dani semakin keras sebab menyadari Miki kembali tertawa di hadapannya
“Hehehe...” tawa Miki semakin kencang sebab menyadari suasananya yang mulai membaik.
Keduanya pun saling tertawa lepas pagi itu. Suara mereka penuh mendera taman itu. Bagaikan
paduan suara yang diringi musik-musik dari suara perkusi burung-burung serta serangga-serangga darat.
Sementara kupu-kupu menari sebagai latar yang memeriahkan suasana saat itu.
“Ki..” panggil Dani lembut ketika tawa mereka telah terhenti.
“Hm..” jawab Miki. Keduanya bertatapan begitu lekap.
72 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Maaf ya?” pinta Dani tulus.
Miki hanya memandangi Dani, ia terus melihatnya, melihatnya sambil tersenyum. Pagi itu, penuh
kedamaian di hati mereka berdua.
Aku masuk ke flat itu dengan perasaan bahagia. Wajah gadis itu terkenang
terus dalam tiap rupa yang kutemui di jalan. Baru saja aku menjabat tangannya,
kurasakan tangannya yang putih dan lembut. Hampir jantungku berhenti ketika
aku menyentuhnya. Dia… seperti bidadari.
“Kak, gimana kesanmu pada gadis tadi?” tanya Rio padaku. Kulihat Rio
sedang melonggarkan tali dasinya.
“Hm.. cantik.” Aku tidak berkata sebenarnya pada Rio. Seharusnya aku
bilang dia sangat cantik.
“Ahahaha…,” tiba -tiba tawa Rio meledak. “Bahkan kamu yang tidak bisa
membedakan gadis cantik saja bilang kalau Michelle cantik. Ahahaha…”
Aku tersenyum mendengar perkataan Rio. Ia memang selalu pintar mencari
gadis. Tidak dapat kupikiri juga kenyataan bahwa gadis-gadis yang menjadi
kekasihnya selalu cantik. Sementara aku, dari dulu aku hanya memiliki seorang
gadis yang kukenal sejak kecil di desa kampungku.
“Kak… gadis itu tinggal beberapa blok dari rumah kita lho, Kak.” Kata Rio
lagi sembari merebahkan tubuhnya terlentang di atas tempat tidur.
“Oh…” jawabku. Teringat aku pertemuan dengannya di balkon dua hari lalu.
73 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Aku naksir dia, Kak,” Kata Rio dan seketika itu juga aku melihat ke arah Rio.
Ia sedang memejamkan matanya. “Akan kudapatkan dia…” katanya lagi seolah
berkata sendiri.
Aku terdiam, tidak tahu harus menanggapi apa dari pernyataannya itu. Tiba-
tiba hatiku sesak. Ku rasakan sesuatu yang sakit dalam hatiku. Mungkinkah aku
patah hati hanya sebentar setelah aku jatuh cinta? Gadis itu, gadis berambut
pirang keemasan, telah membuat hatiku tidak karuan dengan hebatnya. Belum
pernah aku alami seperti ini. Apakah kekuatan cinta sedahsyat ini?
74 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 7. Babak Belur
Sudah cukup lama Miki melewati liburannya bersama Dani. Tiap hari rasanya dilewati dengan
perasaan bahagia. Setiap hari bangun dengan perasaan senang, seolah ada hal yang baru yang menanti.
Padahal hari yang dilalui mereka berdua tidak terlalu istimewa. Hanya mondar-mandir keliling Jakarta.
Kerjaan yang dilakukan mereka berdua juga sama. Hanya berjalan, membeli sesuatu untuk oleh-oleh
dan bila ketemu es krim akan langsung membelinya. Kadang mereka sering hanya duduk berdua di satu
tempat sambil mendengarkan alunan music yang berasal dari I-pod milik Miki. Mama sempat kwatir
begitu mengetahui bahwa Dani keseringan membelikan es krim pada Miki. Awalnya Dani sempat
menolak untuk sering-sering membelikan es-krim lagi pada Miki. Namun pada dasarnya Miki memang
sangat menyukai es krim. Ia tidak akan berhenti merengek bila tidak di belikan es-krim, padahal ia sadar
tenggorokannya sudah meradang. Namun Miki tetap tidak peduli dan merahasiakannya pada seisi
rumah. Beberapa hari saja radangnya sembuh sendiri. Dan tidak ada yang tahu kalau selama di Jakarta,
Miki sempat sakit radang tenggorokan.
Tiga minggu telah dilewati Miki dengan riang. Rasanya sudah seperti kegiatan wajib bagi Dani
tiap hari sepulang sekolah mendapati Miki sedang di rumah menyambut Dani. Tiap sore mereka akan
jalan di sekitar rumah bila sedang bosan berjalan jauh. Kadang-kadang mereka terigat masa lalu
kemudian bercerita tentang masa itu. Tiap hari Senin, Dani akan mengajak Miki menonton. Terkadang
barsama dengan teman-temannya sehingga sudah hampir semua teman dekat Dani kenal dengan Miki,
baik karena di kenalkan langsung atau hanya kesemprot ceritanya saja. Karena sifat Miki yang terbuka,
teman-teman Dani jadi gampang bergaul dengan Miki. Batin Dani semakin dekat pada Miki. Rasanya ia
tidak rela bila gadis ini beranjak dari rumahnya kelak.
75 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Lima hari lagi adalah hari kepulangan Miki ke Australia. Dani bertekat untuk menjadikan hari-
hari terakhir Miki di Indonesia menjadi hari terbaik baginya. Jadi, hari ini Dani buru-buru pulang ke
rumah agar bisa segera menjumpai Miki. Hari ini Dani hanya mengajak Miki berjalan-jalan di sekitar
kompleks rumahnya sebab keduanya sudah jenuh berjalan jauh. Siang itu Dani memakai setelan yang
terkesan sporty. Meskipun hanya kaus oblong dengan design garis-garis, celana jins hitam, sepatu kets
plus topi dengan symbol check list di kepalanya, dia tampak begitu keren. Mungkin kesan dari kacamata
hitam Dani selalu menjadi nilai plus bagi penampilan Dani. Sejenak Miki terdiam memperhatikan Dani.
Sebenarnya gadis ini bukan tipe orang yang suka memperhatikan penampilan orang, namun tampaknya
ia cukup memperhatikan Dani.
“Huah… Panas sekali ya?” Miki berkata sambil mengipas-ngipaskan dirinya dengan jari-jari
tangannya.
“Habisnya kamu juga ngapain pakai setelan seperti itu siang bolong gini, Ki?” Dani menanggapi
sambil mentap ke Miki yang berjalan di sebelahnya. Pakaian Miki memang bisa di bilang cukup aneh. Ia
kemaren baru saja diberikan Mama sweater hitam berbulu sebagai oleh-oleh untuk di bawa ke Australia.
Tentu ia merasa senang dengan pakaian itu. Sangkin senangnya ia ingin cepat-cepat memakainya.
Namun sungguh tidak tepat bila ia memakai pakaian itu di siang bolong yang panas di negara tropis.
Sejenak Miki memandangi pakaiannya.
“Habisnya Miki gak nyangka bakal sepanas ini kalau makai baju ini,” ujarnya. “Um… aku punya
ide!” teriaknya spontan.
“Apa?” tanya Dani santai masih dengan stylenya memasukkan tangannya ke dalam kantong
jinsnya.
“Kita beli ice-cream!” teriak Miki sambil mengacungkan sebelah tangannya.
“Hah? Lagi?”
76 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Iya.” pinta Miki.
Sebenanrya Dani ingin menolak permintaan Miki saat itu juga, hanya saja ia tidak rela
mengecewakan gadis itu. Dani akhirnya menyerah setelah bergelut sendiri dalam hati. Setelah berjalan
beberapa blok, mereka akhirnya sampai di sebuah swalayan yang berada di sekitar situ.
“Bisa dibantu, Mbak?” tanya seorang pelayan yang sedari tadi berdiri dalam posisisnya
menunggu pelanggan.
“Ice cream-nya, Mbak.” jawab Miki. Matanya mengintip-intip ke dalam etalase, setelah itu
dibalikkannya kepalanya agar dapat menghadap Dani. Saat itu Dani sedang berdiri di samping Miki
sambil menerawangkan matanya ke dalam swalayan.
“Dani mau?” tanyanya. Dani menjawab pertanyaan Miki tersebut hanya dengan sebuah angukan
kecil.
“Dua ya, Mbak?” pinta Miki sambil membuat huruf V di kedua jari kanannya. “Rasa Coklat dan
Vanilla.”
Miki sedang asyik memperhatikan pelayan yang sedang menggaruk-garuk es krim tersebut
ketika tiba-tiba ponsel Dani berbunyi. Tertulis di layar ponselnya nama ‘Chika’. Dani berjalan terburu-
buru keluar swalayan tersebut. Ia hendak menjawab panggilan Friska, namun ia tahu bahwa lagu dari
speakerphone yang ada di swalayan tersebut akan menggangu pembicaraannya. Akhirnya Dani beranjak
beberapa meter dari swalayan tersebut. Miki yang masih asyik memperhatikan es krim yang sedang di
corongkan tersebut, tidak menyadari bahwa Dani telah beranjak dari sisinya.
“Halo Chika.” jawab Dani ketika dirasanya posisinya sudah mantap untuk menerima telepon.
“Hei Dan. Gue mau tanya neh bahan buat kampanye lo.” kata Friska terdengar dengan nada
terburu-buru.
77 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Oh… kalau sterioformnya udah di belik ama Joe. Ada di simpan ama dia.”
“Bukan, tapi kertas warnanya yang lain buat hiasan di mading…”
Selagi Dani asyik membicarakan perihal kampaye ketua OSIS-nya dengan Friska, Dani tidak
sadar bahwa Miki sedang mencari-cari dia. Miki berjalan berlawanan arah dengan posisi Dani yang
membelakangi swalayan tersbut. Kedua tangan Miki penuh dengan es krim berwarna coklat kehitaman
dan putih. Miki malah berjalan dan berjalan semakin menjauh dari Dani.
“Oke.. oke.. udah mantep kok, Dan.”
“Iya. Thanks ya, Chik.” ucap Dani mengakhiri pembicaraanya. Segera ditutupnya flip ponselnya
kemudian ia berjalan masuk kembali ke dalam swalayan tersebut. Ia akhirnya tersadar sesuatu, Miki gak
ada! Ia hilang! Lagi! Dani berusaha tenang. Ia kemudian mendatangi Mbak Pelayan yang berdiri di
depan stand es-krim tersebut.
“Mbak, tadi cewek yang pakai baju hitam, yang beli es krimnya, kemana ya Mbak?”
“Oh… udah pergi Mas. Ke sana tadi arahnya.” jawab Mbak tersebut sambil menunjukkan arah
yang berlawanan.
“Iya iya, makasih ya Mbak.” jawab Dani terburu-buru. Ia kemudian berlari cepat dan sekencang
mungkin. Dicari-carinya cewek yang sedang memakai baju hitam dengan nafas terengah-engah.
Beberapa meter dari situ, Miki sedang berjalan sambil mencari-cari Dani. Karena hari itu
memang sangat panas sehingga menyebabkan es krim dalam genggaman Miki meleleh dengan cepat.
Miki yang takut lelehan es krim itu menetes ketangannya segera menjilati kedua es krim yang ada di
tangannya tersebut. Wajahnya terlihat cukup belepotan. Tanpa terasa, es krim yang ada di salah satu sisi
tangannya telah habis di makannya. Miki juga telah cukup lelah berjalan. Ia akhirnya berpikir untuk
mencari alternatif menghubungi Dani. Namun saat itu juga ia tersadar bahwa ia belum menyimpan
nomor Dani dalam phonebook ponselnya. Akhrinya Miki memutuskan untuk duduk di satu taman di
78 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
tempat itu. Taman itu kecil, tapi ada banyak tempat duduk dan ada beberapa ayunan di sana. Sayangnya
ia tidak sendiri, banyak orang yang juga sedang bersantai di tempat itu. Orang-orang itu memandangi
Miki dengan pandangan mata tak berkedip. Perasaan Miki menjadi ciut seketika. Dirasanya tempat itu
berputar. Seolah-olah semua orang sedang berusaha menerkamnya. Miki jadi panik. Namun di tengah
perasaan galaunya itu, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri seperti yang telah sering dilakukannya
bila ia tiba-tiba menjadi tidak tenang dalam keramaian. Dibukanya ponselnya dan dicarinya contact
name yang ada di dalam. Ketika telah menemukan satu nama, dengan ligat di tekannya tombol hijau.
Dani masih berlari dan berlari dengan kencang. Beberapa pasang mata melihat dia dengan
pandangan heran. Mungkin orang-orang itu merasa aneh bila disiang bolong begini ada saja orang yang
sedang berolahraga lari. Namun Dani tidak peduli, ia terus berlari sambil matanya mencari-cari. Miki
tidak mungkin pergi jauh dari sini, pikirnya. Akhirnya badan Dani capai juga. Ia berhenti sebentar.
Ditepanya tangannya di lutut kemudian di helanya nafas capainya. Dimana dia? tanyanya dalam hati.
“Halo Miki.” Jawab Andre heran ketika sedang dalam perjalanan pulangnya di dalam mobil, ia
mendapat layar ponselnya berbunyi yang menunjukkan bahwa pemilik nama ‘Miki’ sedang melakukan
panggilan masuk.
“Iya Andre, it’s me, Miki.” jawab Miki begitu panggilannya tersambung.
“What happen?” tanya Andrew begitu mendengar nada cemas Miki.
“Miki hilang.”
“Hah? Lagi?”
“He-e. Miki gak tahu ini dimana.” adu Miki sambil memanyunkan bibirnya. Dipandangnya
orang-orang sekitarnya yang pada saat itu masih tetap memandangi dirinya.
“Dani mana?” tanya Andre.
79 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Gak tahu. Dia menghilang.” jawab Miki.
Samar-samar dari jauh terlihat oleh Miki seorang pria yang berlari dengan nafas tersengal-
sengal. Miki menyipitkan matanya agar dapat melihat lebih fokus lagi. Ya, ternyata itu dia, ucap Miki
dalam hatinya.
“Andre, itu dia Dani!” teriak Miki memotong Andre yang sedang bertanya panjang lebar di
telepon. “Iya, itu Dani. I’ll call you later.” kata Miki sambil buru-buru menutup ponselnya. Dengan
segera ia berlari ke arah Dani.
“Dani!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Dani. Bertolak belakang dengan
Miki, reaksi Dani begitu melihat Miki, ia langsung menunjukkan raut mata tidak senang. Ketika Miki
telah berada cukup dekat dengan Dani, ia pun beteriak dengan riang.
“Dani, I’ve ate your ice cream. Hehehe…”
Dani tidak beraksi apa pun pada perkataan Miki. Ia hanya memandang gadis itu dengan
pandangan agak kesal. Sebenarnya ia begitu kwatir akan kebaradaan Miki tadi. Dani kemudian berjalan
tanpa mengacuhkan Miki berbicara. Miki yang menyadari hal ini langsung memajang muka cemberut.
Ia berjalan cepat mengikuti langkah Dani. Miki hanya mengikuti langkah Dani entah kenapa pun pria ini
berjalan. Matahari masih tepat berada di atas ketika mereka berdua berjalan beriringan dalam bisu.
Beberapa menit kemudian, mereka berdua telah sampai di gerbang rumah yang bercorak kayu, rumah
Dani. Dani hendak membukakan gerbang untuk mempersilahkan Miki masuk ketika tiba-tiba ponselnya
berbunyi pertanda sebuah pesan masuk.
Pip.. Dani menekan sebuah tombol di ponselnya untuk melihat si pesan.
80 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Seketika itu Dani terkejut dan memanggil pada Miki.
“Miki….!”
“Ya?” jawab Miki yang sedang berdiri di tengah-tengah gerbang rumah.
“Kamu ngubungin Andre?”
“Oh, iya.”
“Kenapa?” tanya Dani dengan nada meninggi. Emosinya tampak memuncak akumulasi dari
segala kekesalan dan kekwatirannya tadi.
“Aa?” Miki terheran melihat raut wajah Dani yang dirasanya berlebihan.
“Kenapa kamu hubungin Andre?”
“A… habisnya Miki gak tahu mau hubungin sapa.” jawabnya polos.
“Kenapa harus Andre? Kenapa gak ngubungin aku aja?”
“Aku... gak tahu nomormu, Dani.” jawab Miki dengan wajah memelas.
“Tapi kenapa kamu harus ngubungin Andre?”
“Miki tahu nomor Andre.”
“Kenapa gak hubungin Mama atau Papa aja?” tanya Dani terus menerus dengan nada
membentak.
81 | P a g e
From: Andrea Haris
Dan, jaga donk sepupu lo baik2.
Jangan sampai hilang-hilang.
Baru tau rasa lo kalau ilang beneran.
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Mendapatkan bentakan bekali-kali yang baru pertama kali bagi Miki membuatnya cukup syok.
Dia pun mendengus, semakin cemberut dan menatap Dani dengan tatapan sebal. Dani terdiam
mendapati ekspresi Miki. Akhirnya ia tersadar bahwa dirinya terlalu berlebihan. Selama beberapa lama
mereka berdua hanya mematung di tengah-tengah pagar.
“Miki…” panggil Dani lagi. Kali ini dengan lembut sambil menarik kedua tangan Miki. Namun
sepertinya sudah terlambat, perkataan Dani sudah menancap masuk dalam hati Miki. Ditepiskannya
tangan Dani dan ia berjalan dengan menghentakkan kaki ke dalam rumah.
“Miki…!” panggil Dani lagi sambil terus memandangi punggung Miki. Sebelum Miki benar-
benar menutup pintu depan, ia sempat berteriak,
“I don’t wan’t to speak with you! Don’t speak with me!”
GEBRAK! Dan pintu depan rumah dibantingnya dengan sekuat tenaga. Dengan segera Miki
berlari ke dalam kamarnya sementara Dani masih memantung dalam posisinya. Bik Inem yang sedang
bersih-bersih di ruang tamu ternyata sedari tadi mendengar pembicaraan keduanya. Ia pun hanya
menggeleng-geleng sambil melihat bergantian ke arah loteng dan gerbang.
Malam itu untuk kedua kalinya Miki menangis di rumah itu. Ia membenamkan wajahnya ke
dalam bantal untuk merendam suara tangisnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Setelah capai menangis ia
pun tertidur dengan terceguk-ceguk.
Dikamar lain malam itu ternyata Dani juga tidak bisa tidur. Matanya menatap ke langit-langit.
Begitu menyesal ia akan perbuatannya hari ini. Awalnya ia berencana untuk menyenangkan hati Miki,
namun sebaliknya ia malah membuat Miki menjadi sedih. Di putar-putarkannya badannya agar
mendapat posisi nyaman untuk tidur. Malam cepat berlalu dan hari baru datang untuk mereka berdua.
82 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Hari ini keadaan di rumah Dani sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan seperti pagi sebelumnya
juga, pagi ini Dani berangkat ke sekolah sementara Miki di tinggal di rumah. Dani telah siap dengan
pakaian seragamnya ketika hendak menuruni tangga. Namun sejenak Dani menghentikan langkahnya di
depan kamar Miki yang memang letaknya dekat dengan tangga rumah. Aneh, pikir Dani. Pagi itu tidak
seperti biasanya, lampu kamar Miki mati. Biasanya Miki tidak pernah mematikan lampu kamarnya.
Dani tahu kebiasaan Miki. Miki takut kegelapan, dari kecil sampai sekarang. Sebenarnya Dani hendak
mengecek keadaan di kamar Miki, namun di urungkannya niatnya begitu melihat jam yang sudah
hampir menunjukkan pukul delapan.
“Ma… Dani pergi dulu ya Ma!” teriak Dani sembari mengikat tali sepatunya.
“Iya… hati-hati ya, Nak.” balas Mama dari dalam rumah.
Dengan terburu-buru Dani berlari menyusuri jalan di kompleks tersebut. Sekolah Dani berjarak
hanya beberapa blok dari rumahnya. Keadaan itu membuatnya selalu ingin berlama-lama berangkat
sekolah, sebab ia tidak perlu naik kendaraan umum atau kendaraan pribadi seperti kebayakan temannya
yang lain. Dani hendak mencapai gerbang sekolah ketika samar-samar dilihatnya dua sosok orang yang
tidak asing lagi baginya. Sempat ia berniat untuk menghampiri ke dua orang lelaki dan wanita yang
sedang mengobrol di halaman samping sekolahnya itu, namun akhirna ditepiskannya niat tersebut
mengingat waktu yang terus memburu.
Oh selamat juga, pikir Dani ketika di detik terakhir lonceng sekolah berbunyi, ia berhasil
mencapai pagar.
“Selamat pagi calon ketua OSIS!” teriak beberapa gadis berseragam dari dalam gedung sekolah.
“Heh, ketua OSIS! Lo baru mau kepilih aja udah coba-coba telat.” ceramah Friska dari antara
para rombongan tersebut.
83 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Iya… Maap ketua kelas.” ucap Dani memelas sambil berjalan menuju ruang kelas. “Hm.. udah
selesai tugas Chik?” tanya Dani ketika ia dan Friska berjalan beriring berduaan ke kelas. Barusan Friska
terpisah dengan rombongan temannya yang berbeda kelas dengannya.
“Udah donk! Gue gak pernah ketinggalan ngerjain PR lagi kok, Dan. Gue udah mandiri neh.”
kata Friska dengan alis yang dinaik-naikkan.
“Eh,” tiba-tiba Dani menghentikan langkahnya. Pandangan matanya menerawang, menatap jauh.
“Hah?” Friska jadi ikut-ikutan melihat ke arah yang dipandang Dani. Disadarinya ada sesuatu
yang ganjil. “Itu.. itu kan…”
“Miki!” teriak Dani ketika ia yakin bahwa gadis yang berbicara dengan seorang pria di halaman
sekolah itu adalah sepupunya. Dani masih berjalan pelan ke arah gadis tersebut sebab belum begitu
yakin dengan penglihatannya. Semakin lama semakin diperhatikannya maka semakin yakinlah ia. Tiba-
tiba gadis itu menjatuhkan tetesan air dari matanya. Ia menangis! Iya, itu Miki! Dani semakin yakin.
Miki menangis dan yang membuatnya menangis adalah seorang pria yang sedang berdiri di depannya. Ia
membelakagi Dani dan ketika ia berbalik Dani dapat melihat wajahnya. Dan dia adalah… Andre!
“Miki!!!” teriak Dani semakin kencang sambil berlari menuju ke arah kedua orang tersebut.
Namun di belokan tiba-tiba saja ia dihadang oleh Pak Darius, guru Biologi yang mengajar di
kelas Dani pagi itu.
“Mau kemana Daniel?” Tanya Pak Darius yang berdiri tepat di depan Dani. Dani tidak dapat
bertindak apa-apa lagi selain hanya dapat melihat Miki dan Andre dari balik bahu Pak Darius.
Sementara itu, Friska yang sedari tadi melihat apa yang terjadi hanya mematung melihat sikap Dani
yang tidak biasa tersebut.
84 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Selama jam pelajaran sekolah berlangsung, Dani tidak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian
yang tadi. Dani terus menghayal-hayalkan apa yang barusan terjadi. Berbagai pertanyaan berkecamuk
dalam benaknya. Benarkah itu Miki? Apa yang di lakukan Andre terhadapnya? Kenapa ia bisa
menangis? Mengapa mereka disana? Apa? Kenapa? Mengapa?
Friska yang duduk tepat dua bangku di belakang Dani terus memandang dengan pandangan
kwatir ke arah sobatnya yang satu ini.
KRING... KRING… akhirnya bel sekolah pertanda istirahat pertama berbunyi juga. Bel yang
sedari tadi tidak sabar ditunggu Dani. Sangkin buru-burunya mau pergi, Dani tidak merasa perlu
menyusun bukunya dulu sebelum keluar dari ruangan kelas tersebut. Begitu bel berbunyi, ia langsung
bangkit dan pergi dengan tujuan menjumpai Andre. Dengan langkah kaki berat dan dada yang
membusung, Dani berjalan mengitari sekolah. Dicari-carinya sosok Andre keseluruh ruangan di kelas.
Ke ruang kelasnya, tidak ada. Kekantor guru, tidak ada. Di lapangan, tidak ada juga. Dani menjadi
semakin tidak sabar. Dengan langkah cepat, Dani melangkahkan kakinya ke kantin. Kali ini tebakannya
tepat. Ya, disitu dilihatnya sesosok pria jangkung dengan rambut lurus hitam dan wajah maskulinnya.
Wajah yang paling dibencinya belakangan ini. Seketika itu juga disampirinya cowok itu. Ditepuk Dani
bahunya dari belakang dan spontan ia berkata,
“Andre, elu jangan macem-macem ama sepupu gue ya!” Andre yang menyadari keganjilan dari
perkataan Dani langsung bereaksi. Ia bangkit berdiri sambil menepis tangan Dani di bahunya.
“Macem-macem apa maksud lo? Lo yang jangan cari gara-gara!”
“Eh dengar ya, Miki itu sepupu gue! Lu jangan seenaknya buat nangis sepupu gue!” teriak Dani
dengan emosi sambil jarinya menunjuk nujuk ke wajah Andre.
“Maksud lo apa seh?” tanya Andre tidak mengerti. Dani yang emosinya sudah meluap tidak lagi
memakai akal sehatnya dalam tindakannya.
85 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Gue tekankan sekali lagi, MIKI SEPUPU GUE! Jangan sembarangan lo memperlakuin sepupu
gue.” Dani berucap sambil menghembuskan nafasnya yang tidak beraturan lagi.
“So what? Emang dia nganggap lo sepupu? Lo yang selama ini nelantarin dia, tau gak lo!”
Andre yang tidak mengerti pangkal permasahan melakukan pembelaan.
“Eh kampret lo! Jaga mulut lo!” teriak Dani lagi, kali ini emosinya benar-benar memuncak,
didorongnya Andre sampai pria itu mundur beberapa langkah.
“Lu yang jaga mulut!” Andre ikutan berteriak dan mendorong Dani sampai jatuh. Tidak dapat
dikuasainya lagi emosinya, Dani buru-buru bangkit lalu berjalan cepat ke arah Andre dan meninjunya
dengan kepalan tangan tepat di ulu hati.
Gebrak… Gedebuk... Gubrak... puluhan tinjuan dan tendangan mendarat begitu saja disekujur
tubuh Andre dan Dani. Pertempuran mereka yang sengit dan imbang membuat isi kantin semakin ribut
bersorak-sorai. Pukulan-pukulan diantara keduanya diiringin maki-makian ala hewan kebun binatang.
Masing-masing berdarah dan terluka namun masing-masing juga tidak ada yang mau mengalah. Joe dan
beberapa anak lain yang melihat pertempuran seru itu berusaha meleraikan keduanya, namun terkadang
juga ikut menjadi korban pukulan dan tendangan.
“Eh, bajingan lo!” maki Andre sambil terus mengepalkan tinjunya di atas angin. Tidak dapat di
jangkaunya Dani karena didorong oleh teman lainnya yang berusaha memisahkan mereka berdua.
“Lu yang bajingan!” seru Dani balik sambil melakukan hal serupa.
Keduanya pun berakhir di kantor guru.
86 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Agrh… ahduh sakiit…” Dani memelas sewaktu Friska mengkompres lukanya dengan batu es.
“Tahan donk! Makanya jangan asal berantam membabi buta gitu.” Friska mulai menasehati ala
ibu-ibu.
“Iya Dan, habisnya loe pake acara main pukul aja.” timpal Joe. Mereka hanya bertiga di ruangan
kelas sore itu. Seisi peghuni sekolah telah pergi dan hanya tinggal para penjaga sekolah yang memang
menginap di tempat itu setiap hari. Matahari senja begitu terik, sangat berlawanan dengan suasana hati
Dani yang sedang kacau.
“Loe bisa pulang sendiri gak dengan kondisi kayak gini.” tanya Joe.
“Em... bisha si thapi gue kwatir ama Bokap Nyokap guweh.” Dani berusaha berbicara dengan
bibirnya yang membengkak.
“Ya udah, gini aja kita berdua ngantarin lo pakai alasan kalau lo tadi ketabrak apa gitu.” usul
Friska.
“Emang bisa ketabrak pakek apa Fris sampai bonyok gitu?” tanya Joe meledek Friska
“Ckk.. apa aja kek, ditabrak kreta kuda kek. Kreatif donk lu!” balas Friska tidak mau kalah.
“Heeh..heh..he..” Dani ingin tertawa melihat kelakuan lucu dua sahabatnya ini, hanya saja
tawanya lebih mirip erangan.
“Jadi lo di scors berapa hari Dan?” tanya Friska sambil terus mengompres bengkak-bengkak di
sekujur tubuh Dani.
“Kashanya seminggu.” jawab Dani setengah cemberut.
“Gak papa nih, Dan? Urusan ketua OSIS loe gimana?” tanya Joe penuh prihatin.
“Au ah! Guweh jadi malas.” jawab Dani semakin cemberut.
“Ih gimana sih lo, gak konsisten banget!” Friska yang kesal dengan kelakuan sobatnya satu ini
tidak sadar ketika menekan es begitu kencang.
87 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Auch, phelan-pelan duong, Chik.” pinta Dani sambil mengelus-elus lukanya.
“Eh, sori.”
“…”
“…”
“…”
Ketiganya tiba-tiba hening sambil menatap mentari yang semakin terbenam. Warna langit yang
berpadu antara kuning dan merah membuat mereka tertegun menikmati suasana itu.
“Huff.. udah makin gelap aja nih,” Joe mulai membuka pembicaraan. “Pulang yuk?”
“Yuk.” jawab Friska.
“Kemana neh?” tanya Dani.
“Ya ngantar elu lah begok!” bentak Joe sambil melirik sinis ke arah Dani.
Mereka kemudian berjalan beriringan. Melihat Dani yang jalannnya agak terpincang, Friska
langsung melilitkan tangannya ke lengan Dani guna membantunya berjalan.
“Bisa jalan gak?” tanya Friska.
“Iya.”
Mereka pun berjalan dalam kebisuan, masih menikmati situasi itu.
Dalam kebisuan Dani berucap tulus “Makasih ya sobatku?'
Sesampai di rumah, Mama histeris melihat kondisi Dani. Papa hanya geleng-geleng kepala maklum.
Papa yang berjiwa bebas masih mewajari kelakuan anaknya ini. Maklum emosi remaja, katanya. Hanya
Mama saja yang histeris melihat Dani. Joe dan Friska harus berulang kali menceritakan kronologis
kejadian karangan mereka agar Mama bisa tenang. Tapi tak sekalipun nama Miki (yang merupakan
88 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
biang keroknya) disebut-sebut dalam berita acara tersebut. Mama merekomendasikan Dani dibawa ke
rumah sakit. Tapi Dani bertekak tidak ingin ke rumah sakit. Ia berdalih bahwa yang di dapatinya ini
hanya luka biasa. Padahal kenyataannya memar dan bengkak di sekujur tubuh Dani memang cukup
parah. Akhirnya mereka setuju mengambil alternatif dengan memanggil dokter kenalan Papa ke rumah.
Setelah Mama tenang, Joe dan Friska berpamitan pulang.
Suasana di rumah sudah menjadi tenang ketika dokter kenalan Papa tersebut selesai memeriksa
Dani. Kata dokter itu, Dani menderita memar akibat benturan biasa, namun tetap saja Dani harus
istirahat. Sewaktu sedang tidur-tiduran di kamar, tiba-tiba pikiran Dani menuju pada satu sosok, Miki.
Memang sudah ditunggu-tunggunya sedari tadi, namun Miki tetap tidak muncul juga. Sudah jam
setengah tujuh malam. Ah tunggu sebentar lagi, pikirnya, soalnya Miki juga pernah kelamaan pulang
hingga jam delapan malam. Namun setelah di tunggu lima menit, sepuluh menit, lima belas menit
setengah jam dan satu jam, Miki belum muncul juga. Dani menjadi kwatir setengah mati. Dengan sekuat
tenaga ia bangkit dari tempat tidur, dipanggilnya Mama dan Papa. Ia lalu menelpon kedua orang
sobatnya, Joe dan Friska, yang tidak berapa selang waktu kemudian sudah tiba kembali di rumah Dani.
“Miki dimana?” tanya Dani.
Miki hilang! Benar-benar hilang!!!
Mama sewot, Papa juga, Dani apalagi. Joe dan Friska jadi ikut-ikutan.
Mereka kemudian menelpon polisi.
89 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 8. Hilangnya Miki
“Miki dimana? Dimana? Menghilang dimana?” kata-kata itu terus terucap dan terngiang dalam
hati Dani. Semua nomor telepon teman-teman yang mengenal Miki telah dihubunginya.
Joe dan Friska yang sedari tadi berada di rumah Dani ikut-ikutan heboh. Dani yang paling sibuk
memencet nomor telepon teman-teman ataupun berdiskusi sendiri memikirkan dimana kemungkinan
perginya Miki. Tentu saja mereka sangat gempar, pasalnya Miki sama sekali gak tahu jalanan di Jakarta,
nyasar beberapa blok saja mungkin bisa tersesat apalagi jalan jauh. Tentu saja kemungkinan ia diculik
cukup besar. Ia kan bukan warga negara Indonesia. Maksudnya walaupun ia bukan WNI, tetapi dari
bentuk fisiknya ia kelihatan sekali pasti bukan WNI. Jangankan jalan sendiri, jalan berdua aja dengan
Dani berpasang-pasang mata pasti melihat atau memandanginya. Camkan, bukan melirik!
Berbagai bayangan aneh mulai berputar lagi dalam pikiran Dani. Tangannya mulai dingin, ia tak
bisa menghentikan langkahnya mondar-mandir ruang tamu sekitar meja telepon yang letaknya tak jauh
dibawah tangga. Mama mulai memunculkan batang hidungnya karena gelisah mendengar suara langkah
Dani yang sudah sedari tadi mondar-mandir ruang tamu. Mama menjadi lebih kwatir lagi setelah melihat
ekspresi super cemas dari anak sematawayangnya ini.
Di lain tempat, Andre menghembuskan nafas capainya setelah ngos-ngosan berlari kesana
kemari. Barusan ia dari arah taman komplek, tapi hanya mendapat kecewa setelah melihat hanya
beberapa pasangan sedang berkencan untuk melunasi jadwal apel malam minggu nya di sana. Ia
kemudian membalikkan badan dan berlari ke arah sekolah meskipun jarak dari taman tersebut ke
sekolah cukup jauh. Namun mengingat hari telah petang, maka akan menghabiskan waktu bila harus
menunggu bus menuju sekolah yang jarang sekali datang. Kalaupun ada, bus tersebut akan melalui
jalan yang berkelok-kelok yang akan menghabiskan banyak waktu juga. Jadi dengan segala tekat dan
90 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
keberanian yang dimilikinya, Andre memutuskan untuk berlari menuju sekolah dan menyusuri ruangan
sekolah sendirian. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Pak Kanto, satpam sekolah, sudah pulang
dari tadi dengan meninggalkan pintu gerbang sekolah yang tertutup. Hanya si Suko, si penjaga malam,
yang biasanya ada disekolah jam segini. Agak susah dan membutuhkan waktu lama untuk memanggil
Pak Suko, jadi Andre memutuskan untuk mamanjat guna menerobos pagar. Setelah berhasil melompat,
ia tidak membuang-buang waktu berlari menyusuri seantaro sekolah. Walaupun sebenarnya ada rasa
takut dalam dirinya teringat akan gosip-gosip mistik diseolahnya, tapi tampaknya keinginannya untuk
menemukan Miki lebih besar dari ketakutan lainnya. Ia berlari dan terus berlari, mencoba mencari di
lapangan, tidak ada. Ia beranjak keruangan kelas, tetapi terkunci. Kantin juga kosong, bahkan sampai
dicari ke kamar mandi sekalipun namun tetap saja hasilnya nihil. Nafas Andre kembali terengah-engah,
ia kemudain mencoba beristirahat sebentar menatap kelangit, keringatnya mulai bercucuran jatuh
menetes di atas kursi taman tempat ia duduk. Masih dengan posisi duduk dan nafas tidak teratur, tiba-
tiba seperti ada sesuatu menyentuh bahunya, sebentuk tangan….
Kring…kring… dengan secepat yang dibisa, Dani menyambar gagang telepon dan dengan segera
menjawab,
“Hallo… selamat malam. Apa Anda mau memberi kabar tentang Miki?” sepertinya Dani
menduga telepon ini berasal dari kepolisian, padahal tentu saja tidak mungkin karena baru lima menit
yang lalu Mama menghubungi kantor polisi.
“Dani, ini gue Andre…”
“Andre, gimana jadinya Miki udah ditemukan?” tanyanya dengan penuh pengharapan seolah-
olah lupa peritiwa tadi siang.
91 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Mendengar pernyataan Dani itu, Joe dan Friska langsung bangkit dari tempat duduknya di ruang tamu
dan mendekati Dani. Mereka berudua melekatkan telinga masing-masing ke gagang telepon.
“Dan, gue gak nemuin Miki dimanapun. Gue udah cari-cari ke taman dan seisi sekolah, tapi gue gak
nemuin jejak apapun.” lapor Andre dengan nafas yan tergopoh-gopoh. Mendengar perkataan Andre
tersebut, air muka Dani langsung berubah menjadi pucat. Padahal tadinya ia berharap banyak pada
Andre. Pelan-pelan ia longgarkan gagang telepon yang sedari tadi di genggamnya erat.
“Coba lo ingat-ingat lagi Dan. Biasanya kalau Miki ngambek, dia pergi kemana. Lo pasti tahu kan Dan?
Lo kan sepupunya. Coba lo ingat-ingat lagi, biasanya Miki pergi kemana?” tanya Andre.
Miki ngambek pergi kemana? Miki ngambek pergi kemana? Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepala
Dani. Pikirannya kembali berputar dalam lingkaran hitam dan putih. Sepertinya ia teringat pemandangan
masa lalu lagi. Saat indah masa kanak-kanaknya bersama Miki.
“Miki, ayuk kita balik ke rumah?” pinta sebuah suara lelaki kecil sembari mengulurkan tangan
mungilnya.
“Huhuhu…. Miki gak mau. Miki sebal sama Dani. Miki gak mau… Huhuhu..” ucap seorang gadis kecl
dari atas ayunan papan. Lengannya masih memeluk rantai besi ayunan kayu, sementara jari-jarinya
mencoba menghapus air mata yang mengalir di wajahnya dengan cara mengucek-ucek matanya.
“Iya, Dani tahu Dani salah, lain kali Dani gak akan lakukan kesalahan yang sama.” bujuk suara kecil ini
lagi dengan lembut.
Mendengar bujukan itu, gadis kecil yang rambutnya dikucir dua tersebut terdiam. Ia tersadar dan
menoleh ke arah bocah lelaki.
“Kamu janji?” pintanya.
92 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ya, Dani janji.” Ucap bocah lelaki ini mantap sembari menundukkan wajahnya mendekati wajah sang
gadis kecil. Satu tangannya memegang rantai ayunan mencoba menghentikan goyangannya. Si gadis
cilik tersenyum pada bocah lelaki tersebut kemudian ia menantang dengan mengulurkan jari
kelingkingnya.
“Kalau kamu langgar janji, Miki bakal pergi dari sini dan gak mau balik ke rumah lagi.” ancamnya
dengan mata disipitkan dan bibir agak dicibirkan untuk menunujukkan keseriusannya.
“Aku ingat! Aku tahu Miki dimana!” seru Dani tiba-tiba.
“Hah” Joe ternganga.
“Sumpeh lo? Dimana?” tanya Friska penasaran. Namun sebelum Friska berhasil menyelesaikan
pertanyaannya, Dani telah melesatkan kakinya cepat menuju pintu depan. Ia juga meninggalkan telepon
yang di ujung sambungannya masih terngiang suara Andre yang semakin bingung karena perkataannya
diputus begitu saja.
“Hallo....Hallo..” panggilnya di ujung telepon.
Kreak… kreak... terdengar suara karat besi tua yang berat seolah tidak dapat lagi menahan beban
kayu yang terikat dalam dua buah juntaian rantai di bawahnya.
Sesosok gadis cantiklah yang duduk di bawahnya. Ia duduk manis sembari menggoyangkan kakinya ke
depan dan ke belakang. Ia menarik kursi kayu ayunan dengan beban tubuhnya. Ia kemudian menatap ke
atas, ke arah langit kelam.
Huff… dihembuskannya nafas panjangnya. Setelah itu ia menunduk ke bawah, kecewa karena bintang
tidak ada. Mukanya kusut dan pandangannya kosong. Tampak aura kesedihan terpancar dirinya.
93 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Meskipun begitu, wajahnya tetap memancarkan kecantikannya di setiap ekspresi. Tiba-tiba sesuatu
mengejutkannya.
“Ngapain malam-malam keluyuran, Miss?” tanya sebuah suara berat dari belakang. Suara itu berbicara
sembari menutupi tubuh mungil gadis ini dengan sebuah jaket berbahan wol tebal. Spontan sang gadis
membalikkan wajahnya ke belakang. Dipandanginya sesosok wajah yang hitam dan tidak kelihatan.
Mungkin karena pepohonan di sekitar situ mulai tumbuh lebat sehingga menutupi masuknya sinar
rembulan dan mengaburkan pandangan orang-orang yang berdiri di bawahnya.
“Miki, ayo kita kembali kerumah?” ucap suara itu lagi sembari menundukkan wajahnya ke arah wajah
sang gadis sehingga kini gadis tersebut dapat melihat dengan jelas siapa sosok di balik bayangan
tersebut.
Seperti mengulang drama lama, pikiran gadis itu berputar pada ingatan masa lalunya. Keduanya lalu
terdiam membisu, saling memandang. Beberapa detik kemudian bulir air mata mulai turun dari pelipis
sang gadis, tanpa suara. Kemudian dengan gerakan cepat ia membalikkan tubuhnya dari ayunan dan
memeluk tubuh pria itu. Satu lututnya menekuk diantara gelantungan kayu ayunan sementara kaki lain
menjaga keseimbangannya di tanah. Ia pun menangis sejadi-jadinya di atas bahu pria itu. Dan sang pria
membalas memeluknya serta membelai punggungnya. Kemudian pria itu tersenyum dengan penuh
kelegaan sambil memandang ke arah langit. Dikecupnya kening gadis ini dan ia mulai berkata-kata lagi,
“Dani tidak tepat janji ya, Miki? Dani mengingkari janji…”
Miki hanya menganguk mengiyakan dengan bibir yang dimanyunkan. Dani memandang dalam ke wajah
Miki. Setelah Dani menghapuskan airmata Miki, mereka kemudian berpelukan. Kali ini tanpa tangis lagi
namun dengan senyuman ketenangan.
94 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Kreak... terdengar suara pintu depan yang mendesis ketika dibuka. Dari balik itu muncul dua
sosok orang, Dani dan Miki. Dani menuntun Miki masuk ke dalam rumah. Jaketnya masih terus
bergelantung di atas bahu Miki. Sementara itu Miki berjalan beriringan di samping Dani dengan mata
yang sembab. Keduanya berjalan dalam pikirannya masing-masing. Keduanya berjalan dalam diam.
Begitu pun seisi rumah yang sedari tadi mengkwatirkan keberadaan mereka berdua, terdiam begitu
melihat keduanya masuk. Mama, Papa, Friska dan Joe hanya bisa menatap kedua orang yang berjalan
menaiki nak-anak tangga tersebut dalam diam. Sepertinya orang-orang yang terheran tersebut punya
jawaban sendiri akan kekwatirannya beberapa saat yang lalu.
Bum..! Terdengar suara bunyi pintu kamar yang d tutup, seketika itu juga ke-empat orang
tersebut tersentak dan kemudian saling bertatapan.
Dani mengantarkan Miki sampai ke kamarnya. Diselimutinya gadis itu ketika Miki merebahkan
badannya di atas tempat tidur. Miki tidak begitu saja memejamkan matanya. Selama beberapa lama di
pandanginya ubun-ubun kamarnya. Begitu pula hanya dengan Dani, sejenak hanya terdiam sambil
memandangi Miki. Beberapa saat kemudian, Dani bangkit dari tempat duduknya. Namun dengan
cekatan, Miki langsung mencegah Dani. Dicengkramnya pergelangan tangan Dani begitu erat.
“Dan, Miki belum ingin pulang Dani, belum! Miki masih pengen di sini sama Dani. Miki gak mau sedih
lagi. Miki gak mau merasakan kesunyian lagi. Gak mau!” rengek Miki.
Dani tidak tahu harus menjawab apa mendengar pernyataan gadis tersebut. Ia hanya menatap mata gadis
tersebut dengan tatapan yang dalam sekali. Dipandanginya terus dalam diam. Badannya terkaku di
sebelah sisi tempat tidur.
95 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Malam ini Dani hendak mampir ke rumah Friska. Karena itu Friska menjadi sibuk sejak tadi sore. Sibuk
menyiapkan segala sesuatunya. Ia berusaha merapikan rumahnya, ia berusaha membuat ruangan itu
seindah mungkin. Jangan sampai setitik debu pun terlihat oleh Dani, pikirnya. Sebenarnya ini bukan
pertama kalinya Dani datang ke rumahnya. Memang kedatangan Dani kerumahnya masih bisa dihitung
dengan jari. Hanya saja ini pertama kalinya Dani datang ke rumah Friska semenjak gadis itu menyadari
perasaannya semakin mendalam pada Dani. Entah sejak kapan bila di dekat Dani, jantung Friska tidak
dapat berhenti berdetak kencang. Semua perhatian Dani padanya semakin mempertebal perasaannya
pada Dani. Walaupun ia sadar bahwa Dani berbuat baik pada semua gadis yang dikenalnya yang secara
tidak langsung dan tanpa disadari Dani membuatnya menjadi pujaan banyak gadis di sekolah. Friska
juga sepenuhnya sadar bahwa mungkin cintanya tidak akan berbalas. Akan tetapi, dia tetap dengan sabar
menjaga perasaannya untuk Dani.
Friska menatap lama di depan kaca. Dilihatnya bayangan dirinya: rambutnya yang hitam legam dan
dipotong pendek, badannya yang proporsional dengan tinggi 170 cm, ukuran yang cukup tinggi untuk
orang Asia, matanya yang bulat dan hitam, hidungnya, bibirnya, semuanya sempurna. Ia menyadari
kecantikan yang ada didirinya. Akan tetapi, ia menjadi merasa minder bila membandingkan dirinya
dengan Miki. Terlihat bayangan cemberut dari pantulan kaca ketika ia memikirkan nama gadis itu
‘Miki’. Namun sejurus kemudian, diteguhkan kembali hatinya. Diacungkannya tinju ke arah cermin.
“I’m beautiful with the difrent way!” gumannya sendiri.
Ting.. tong.. bel rumah berbunyi. Jantungnya berdegup kencang. Tidak dapat ia menahan debaran itu. Ia
memang berdandan malam ini, tapi ia berusaha agar dandanan yang ditampilkannya itu tampak senatural
mungkin. Dengan berlari kecil ia menuruni belasan anak tangga yang terbuat dari rangka-rangka besi.
Ketika telah berdiri di ambang pintu utama rumah, ia sejenak menghentikan gerakan tangannya yang
tengah memegang daun pintu. Diambilnya ancang-ancang dan ditunggunya beberapa saat.
96 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Ting..tong didengarnya lagi bunyi bel itu dan kali ini dengan mantap dibukakannya pintu tersebut.
Nafasnya terhenti sejenak. Baginya saat itu waktu pun ikut berhenti. Angannya bagai berada dalam
dunia dongeng. Didapatinya pangeran berdiri tepat di teras rumahnya. Pangeran impian yang selama ini
dinantikannya. Pangeran yang baik dan cakep. Semuanya yang selama ini diharapkannya ada dalam diri
Sang Pangeran. Hanya saja kali ini Pangeran tidak datang dengan kuda putih, ia juga tidak mengenakan
jubah kerajaan serta tidak membawakan seutas mawar. Pangeran yang ini hanya memakai T-shirt oblong
dan celana butut. Namun bagi Friska, dia adalah pangeran segalanya. Chika’s prince charming.
“Chik… chika.. hallow Chika…” panggil Dani berusaha menyadarkan Chika dari lamunannya di depan
pintu. Dilambaikannya tangannya tepat di depan wajah Chika.
“Hm.. hm… ah Dani! Masuk, masuk….” ujar Chika begitu terlepas dari pesona Dani. Pada saat itu Dani
memang tidak mengenakan sesuatu yang spesial. Mungkin karena terbawa suasana romantis yang
berasal dari langit yang penuh dengan bintang serta bulan purnama yang terang benderang, Friska pun
bagai tersihir malam itu.
Dani melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah tersebut. Rumah Friska tidak begitu luas, tetapi
padat karena dihiasi penuh dengan perabotan-perabotan antik. Rumah itu terkesan sangat klasik.
“Nyokap lo pecinta barang antik ya? Sejak terakhir gue datang, makin banyak aja barang antik disini.”
komentar Dani sambil mendudukkan dirinya di atas sofa coklat yang empuk.
“Mm… ya.. mm…gitu deh.”
“Anyway, bonyok lo lagi dimana?” tanya Dani lagi sambil terus menerawang ke segala penjuru ruang
tamu rumah itu.
“Kerja.”
“Belum pulang jam segini?”
“Belum.”
97 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Kenapa malam banget?”
“Em… sebenarnya bokap gue lagi dinas keluar kota. Terus karena nyokap gue kwatir, ya nyokap gue
ikutan deh. Jadi mungkin hari ini gak pulang.” jawab Friska berusaha terlihat sebiasa mungkin.
“Hm… jadi ceritanya gue malam mingguan sendiri neh ketempat lo.” canda Dani sambil memasang
senyum mautnya.
Deg… spontan jantung Friska berdegup kencang. Pernyataan sembarangan dari Dani bgitu saja udah
membuat dirinya mati kutu.
“Anyway kuadarat, minum gue mana ya, Chik?” Dani mengelus-elus lehernya sebagai tanda kehausan.
“Oh iya.. iya.. tunggu sebentar ya?” Friska segera berlari kedapur. Di sana di hembuskannya nafasnya
kencang berusaha melegakan diri, lalu setelah merasa cukup dilanjutkannya aktifitasnya membuat
minuman.
“Jadi, apa yang mau lo omongin?” tanya Friska sekembalinya dari dapur.
Glek..glek..glek.. Dani menghabiskan minumannya dengan tiga kali tegukan. Dani merasa begitu haus.
Tampaknya Dani memang sudah tidak meminum apapun sejak tadi siang.
“Ah…” Terdengar hembusan nafas tanda kepuasan bagi dagaha Dani.
“Malam-malam gini jamuran banget ya kalau harus nongkrong di rumah mulu.” Dani berpendapat tanpa
memperdulikan pertanyaan Friska sebelumnya.
“Lo emang biasanya di rumah mulu ya, Chik?” tanya Dani tanpa mengalihkan pandangannya ke luar
ruangan, ke arah langit yang penuh dengan kerlip bintang dan sinar rembulan.
“He-eh” jawab Friska.
“Mau keluar?” Dani mengajak sambil memasang mata tajamnya memandang Friska. Tanpa menungu
jawaban Friska, ditariknya lengan gadis itu menuju keluar rumah. Jantung Friska kembali berdegup
98 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
kencang. Rasanya seluruh tubuhnya lemas tidak berdaya. Dihidupkan Dani mesin mobilnya dan
keduanya pun berangkat menembus kegelapan malam itu.
Sudah beberapa hari aku tinggal di Australia. Dan beberapa hari lagi aku
akan segera pulang, karena urusanku disini untuk memantau Rio atas perintah
Ayah telah selesai. Rio anak yang baik, prestasinya di kampus juga baik, dia juga
ikut dan aktif dalam beberapa kegiatan di kampus. Tidak ada yang perlu di
kwatirkan darinya. Dari dulu dia memang anak yang pintar dan baik sehingga
selalu jadi kesayangan semua orang. Aku pun sangat menyayangi adikku ini.
Meskipun….
“Kak.. aku berangkat dulu ya?” teriak Rio dari dalam kamar flat sehingga
membuatku terhenyak dari lamunanku. Saat itu aku tengah menikmati kopi di
berenda depan, seperti yang selalu aku lakukan selama berada di sana.
“Yup, hati-hati di jalan, Rio.” sambutku
“OK Kak. Oya, kalau bosan, Kakak datang saja ke kampusku, nanti aku
temani jalan-jalan lagi di sana.” Saran Rio sambil berjalan terburu-buru ke arah
pintu keluar.
“Iya. Lihat nanti saja, Rio.” Jawabku kurang antusias. Sejenak kemudian
terdengar olehku Rio membanting pintunya keluar. Ia tampak begitu terburu-buru.
Sepeninggalan Rio, aku sendirian di kamar flat itu. Meskipun begitu, aku
menikmati tiap suasana di sana yang akan jarang aku alami. Angin musim dingin
99 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
yang sejuk merasuk ke dalam tubuhku. Kurasakan tubuhku merinding, namun aku
sangat menikmatinya. Kuteguk lagi kopi dalam cangkirku kemudian ku arahkan
kembali pandanganku ke jalan raya. Ku perhatikan tiap sosok orang yang lewat
seperti yang kulakukan sudah-sudah. Tiba-tiba mataku terpaku pada sesosok gadis
dengan mantel merah dan berbulu putih dipinggirannya. Kufokuskan mataku dan
kucondongkan wajahku untuk melihatnya lebih jauh. Deg… tiba-tiba jantungku
berdetak keras sewaktu ia melihat ke arahku. Ia benar, dia tidak melihat lurus ke
depan, ia melihat ke atas, ke branda flat ini, ke wajahku! Dia adalah Michelle,
gadis yang aku lihat di beranda dua hari lalu, gadis yang juga dikenalkan Rio
padaku. Aku terdiam. Aku ingin tersenyum, namun entah kenapa senyumku
tertahan. Ia tersenyum. Dia melebarkan wajahnya menatapku. Ia tersenyum
padaku. Deg…deg… deg… aku rasakan jantungku semakin kencang berdegup.
Dengan agak kaku aku berhasil tersenyum padanya. Kemudian ia berlalu. Ia
berlalu begitu saja. Berjalan terus dan meninggalkan jejak-jejak kaki di atas salju.
Begitukah dia, akan meninggalkan kesan saja padaku tanpa aku bisa lebih
mengenalnya? Tidak! Aku ingin tahu siapa dia. Aku ingin mengenalnya. Dari mana
datangnya bidadari itu? Dari khayangankah?
Aku segera beranjak dari tempat dudukku. Aku berlari terburu-buru melewati
pintu kamar flat. Sangkin ingin cepatnya, aku bahkan lupa untuk mengunci
kembali kamar flat tersebut. Aku berlari melewati anak tangga dan mendobrak
pintu depan gedung flat. Aku berlari dan berlari menginjaki salju putih yang mulai
mencair. Aku berlari sambil mencari-cari gadis bermantel merah. Siapakah
sebenarnya dia? Bolehkan aku mengenalnya lebih? Aku berlari dan terus berlari
100 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
mengejarnya. Namun, aku tidak mendapatkannya. Ku pandangi jejak salju
berbentuk kaki yang kutinggalkan di belakangku. Tiba-tiba hatiku menjadi sedih.
Lelah aku berlari, aku pun berjalan lesu melewati jalan trotoar yang tadi telah aku
lalui. Wajahku tertunduk dan tak kuperhatikan lagi orang-orang yang berjalan di
sekelilingku. Aku berbelok di tikungan itu dan tanpa sengaja aku menabrak
sesuatu.
BTAAKK.. Auw.. tabrakan itu terasa renyah sekali. Aku terjatuh di atas
tumpukan salju, begitupula sesuatu yang kutabrak itu. Sesuatu yang berwarna
merah dan…. berambut pirang.
“I’m sorry.” katanya. Aku terpana. Aku tidak bisa bergerak. Bahkan mataku
tidak berkedip dan mulutku tidak dapat berbicara. Dia… si gadis itu.
“Ini tempat apa, Dan?” tanya Friska sembil mengamati sekelilingnya. Udara dingin yang menusuk ke
dalam pori-porinya membuatnya menggigil.
“Ini tempat kenanganku. Kenangan manisku.” jawab Dani dengan wajah senang. Ia pun berjalan ke arah
ayunan dan menggoyangkan ayunan dengan sebelah tangannya.
Sraaap… dibukakannya resleting jaketnya dan dipakaikannya pada Friska yang saat itu tengah
menggigil. Muka Friska tiba-tiba saja memerah namun hal itu tidak disadari Dani karena penerangan
yang kurang mencukupi di malam itu.
“Kenapa lo bawa gue kesini, Dan?” tanya Friska penuh penasaran.
101 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Gue cuma pengen bagi cerita ke sahabat gue. Karena menurut gue, dalam kasus ini gak ada lagi yang
bisa bersimpati ama gue selain lo, Chik.’
“Hm..” erang Friska.
“Emang ini tempat apa?” ulang Friska bertanya
Lama Dani baru menjawab pertanyaan itu. Keduanya diam tanpa gerakan di bawah rembulan malam.
Suara nafas mereka membaur bersama suara-suara malam.
“Ini taman rahasiaku dan Miki,” jawab Dani sambil kembali menggoyangkan ayunan.“Tapi sekarang
bukan rahasia lagi, kan lu sudah tahu.” sambung Dani. Pandangnya kosong dan menatap ke bawah
seperti ada hal berat yang sedang dipikirkannya.
“Ah, sebenarnya ini sudah lama bukan rahasia lagi. Anak-anak sekitar sini dari dulu udah sering
main di sini kok.” lanjutnya dengan mendesahkan nafas.
“Lo teringat dia?” tanya Friska penasaran.
“….”
“Lo kangen kenangan lama lo sama dia kan?”
“….”
Dani masih membisu dan tatapannya tetap hampa ke bawah tanah yang berumput itu. Friska jadi
bingung melihat tingkah laku Dani, didesahkannya nafas panjang.
“Sebenarnya gimana perasaan lo ke dia?” Friska memberanikan diri menanyakan pertanyaan
sensitif itu. Ia sepenuhnya sadar pertanyaan itu akan berbuntut sakit hati pada dirinya, namun ia tidak
dapat lagi menahannya dan kata-kata itu pun meluncur saja dari bibirnya.
Mendengar pertanyaan itu, Dani masih laut dalam diam, namun tidak lama kemudian dia mulai
bersuara.
102 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Gue..,” Dani tampaknya ingin bercerita panjang. ”Gue sendiri gak tahu gimana perasaan gue
yang sebenarnya ke Miki. Gue sayang dia. Sayang… sekali. Sayang… sekali. Rasanya gue pengen
ngelindungin dia dengan segala yang ada didiri gue. Tapi akhir-akhir ini semua yang gue lakukin malah
ngelukain dia. Gue takut ke-egoisan gue melebihi segalanya. Gue takut rasa ingin memiliki dia lebih
besar dari segalanya dan pada akhirnya malah ngejerumisin gue. Gue takut Chika..” Dani bercerita
panjang sambil terus menatap hampa kesatu arah.
Mendengar semuanya itu, Friska hanya bisa diam, dadanya seperti tertusuk. Friska tahu perasaan Dani
pada Miki dari dulu. Dari dulu… sekali. Semenjak pertama mereka dekat. Semenjak pertama kali Dani
menceritakan tentang sepupunya yang bernama ‘Miki’. Kala itu mata Dani bersinar, seolah ada magic
dalam tiap nama ‘Miki’. Mata Friska meredup dan sayu. Ia berjalan perlahan ke arah Dani, didekati pria
itu. Sementara Dani masih diam membisu dalam lamunannya. Sejurus kemudian, Friska telah duduk di
atas ayunan yang bersebelahan dengan Dani. Kreak… bunyi rantai ayunan yang sudah berkarat
memecahkan kesunyiam malam itu, diantara keheningan dua orang itu.
“Gue rasa,” Friska mulai membuka suara ”… lo suka sepupu lo, Dan.”
Mendengar pernyataan itu, Dani langsung mengadahkan wajahnya ke arah Friska dengan mata
terbelalak. Keduanya diam dan tetap dengan posisi saling memandang, saling menunggu jawaban.
Berbagai macam pikrian bergulat dalam kepala mereka masing-masing.
“Rasa suka lo bukan sebagai adik sepupu. Lo cinta sama Miki kan, Dan?”
Dani membisu mendengar pertanyaan Friska ini. Pikirannya berkecamuk. Mencintai Miki? Benarkah
selama ini aku mencintai Miki?
“Jangan bohongi diri sendiri Dani. Sejak kecil bersamanya, ditemani olehnya. Perasaan kalian tumbuh.
Bukan tidak mungkin Miki juga merasakan hal yang sama.”
“….”
103 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“….”
Selama lima menit keduanya diam dalam kesunyian. Hanya ada suara jangkik serta serangga-
serangga malam yang lain yang seakan tahu perasaan kedua orang itu. Bulan purnama tampak terang di
atas sana, tetapi bintang telah tertutup oleh awan kelabu.
“Lo… jangan sia-siain dia.“ Tidak sanggup menahan perasaannya, Friska akhirnya beranjak pergi.
Sebelum benar-benar meninggalkan Dani, Friska memberanikan diri menungkapkan perasaannya
“Dani…” panggil Friska ke Dani yang sedari tadi menunduk. Dani kemudian menoleh dengan
pandangan datar.
“Aku… sayang kamu,” Friska lalu terdiam. Lima detik kemudian baru Friska melanjutkan
pernyataannya “… sayang kamu lebih dari sekedar teman.” Dan seketika itu juga ia pergi menjauh dari
tempat itu. Berlari secepat mungkin dan menghindar dari Dani. Rasanya malu sekali mengungkapkan
perasaan pada seseorang dimana orang tersebut sudah jelas-jelas menyukai orang lain.
Dalam perjalanan pulang, Friska tidak sanggup menahan air matanya. Friska pun menangis di tengah
jalan. Rasanya kesal sekali mendukung urusan cinta orang lain, terutama bila kita menyukai orang itu.
“Kamu kenapa Friska?” tanya Ibu pada Friska ketika ia masuk ke rumah dengan mata sembab.
“Gak papa kok, Bu” jawab Friska tanpa melihat ke arah Ibu.
“Urusan cowok ya?” tanya Ibu penuh kelembutan. Friska mematung terdiam sambil menatapi Ibu.
Keduanya terdiam. Ibu tersenyum dan matanya berkilat melihat kelakuan putrinya yang sudah dewasa
ini.
104 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 9. Suka dan Cinta
Di taman itu, Dani ditinggal sendiri. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekarang
udah terlalu larut, pikirnya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Pikirannya masih
berputar-putar. Ditatapnya ke langit mencoba mencari penyegaran. Udaranya yang dingin membuatnya
memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana nya. Huff… dihembuskannya lagi nafas panjangnya.
Rahang yang keras itu sedikit menggigil menahan udara dingin yang menebus ke dalam kulit.
Aku suka Miki. Chika suka aku. Apakah Miki suka padaku? Tanyanya dalam hati.
Sesampainya dirumah, hari sudah terlalu larut. Jam telah menunjukkan pukul dua belas malam. Setelah
berganti baju dan membereskan segala kerpeluan untuk besok, Dani merebahkan badannya ke atas
tempat tidur. Ia mencoba untuk tidur, namun ia tidak bisa memejamkan mata. Hatinya berkecamuk.
Akhirnya ia bangkit lagi dari tempat tidur. Ia turun ke bawah tangga, kemudian ia berjalan perlahan ke
arah rumah tamu melewati ruang keluarga dan naik kembali ke loteng, lewat ke arah kamar Miki.
Awalnya ia ragu untuk masuk ke dalam. Awalnya ia berniat untuk mengetok kamar tersebut. Namun
sewaktu daun pintunya digerakkan, ternyata pintunya tidak terkuci. Dani memberanikan diri untuk
masuk kedalam. Dengan ekstra perlahan, ia menginjakkan kakinya ke dalam ruangan itu. Setelah
beberapa langkah masuk, didapatinya Miki sedang tertidur dengan lelapnya. Dani tersenyum lembut
mendapati wajah malaikat di kamar itu. Rambut Miki panjang terurai di sisinya. Poninya berantakan.
Wajahnya begitu pulas. Tak kuasa Dani untuk tidak menyentuh wajah Miki yang putih dan lembut
seperti bayi. Sejenak kemudian diberanikannya dirinya untuk mengecup kening Miki. Dalam tidurnya,
105 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Miki bermimpi tentang masa kanak-kanaknya. Ia berlari girang bersama Dani, tertawa dan bermain.
Miki pun tersenyum dalam tidurnya. Pelan-pelan Dani melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu.
Selamat malam Miki, mimpi yang indah! ujarnya dalam hati sebelum menutup pintu kamar itu.
“Slamat pagi semua!” seru Miki riang pagi itu. Suasana pagi begitu cerah hari itu. Matahari tersenyum
dengan silaunya. Seluruh anggota keluarga sibuk mempersiapkan diri untuk memulai kegiatan-kegiatan
hari itu di ruang makan. Hayam… Miki menguap sambil mentup mulutnya dengan sebelah tangan
kirinya. Duster milik Mama yang tengah dipakainya terlihat kebesaran di tangannya.
“Pagi ini riang sekali Miki. Kamu mimpi indah ya?” tanya Papa.
“Hm.. iya!” jawab Miki sambil memakan potongan besar roti.
Di sisi lain, Dani tidak dapat berhenti menatap Miki semenjak ia turun dari tangga. Sambil makan,
sambil mengoles margarin di roti, sambil mengunyah, matanya tidak bisa dialihkannya dari wajah Miki.
Senyum terus mengembang di wajahnya. Miki yang merasa seperti ada sesuatu yang sedari tadi
memperhatikan dirinya akhirnya tersadar. Ia melihat ke arah Dani, mengeryitkan dahi sebentar dan
bertanya,
“Kenapa Dani? Ada yang salah?” Mendapati reaksi Miki tersebut, Dani semakin tersenyum lebar dan
mendesah.
“Gak papa kok, Miki. Cuma kayaknya ada coklat yang menempel di pipimu.” jawabnya sambil
mengalihkan pandangan, berpura-pura mencari margarin.
“Mmm..” Miki mengelus-ngelus bibirnya hingga di jarinya tertempel sebutir coklat hitam.
Pagi ini Dani berjalan sendiri memasuki gerbang sekolah sambil bersiul-siul ringan. Sesudah dari kamar
Miki kemaren, tidurnya nyenyak sekali. Akhinrya ia menyadari perasaan yang selama ini
106 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
membingungkannya. Hari ini juga dia berniat untuk mengucapkan terimakasih pada Friska. Langkahnya
ringan menuju ruang kelas. Begitu sampai, ia langsung mengantarkan tas ke atas mejaunya dan
kemudian berjalan ke arah kelas lain. Friska memang suka nongkorong di kelas lain bersama sahabat
ceweknya. Di kelas sebelah itu memang didapatinya Friska yang sedang menulis sesuatu sendirian di
atas meja.
Brak…! Dipukulkan Dani meja yang sedang digunakan Friska dengan agak kencang dalam rangka
mencoba merebut perhatiannya. Hal itu memang berhasil membuat Friska mengadahkan wajahnya
keatas.
“Hwoh.. sang calon ketua OSIS datang. Selamat pagi, Bos!” serunya.
“Hehehe.. lo bisa aja pagi-pagi gini. Lagi ngerjain apa?” tanya Dani sambil menggeserkan bangku agar
dapat duduk di sisi Friska.
“Hm… ini laporan absen buat guru.” jawab Friska sambil melanjutkan pekerjaannya. Setelah itu mereka
berdua hanya diam. Friska terus menulis dan Dani hanya mengamati pekerjaan Fika.
“Chika…” panggil Dani mencoba untuk mengajak Friska ngobrol serius.
“Hm…?” jawab Friska tanpa menoleh.
“Semalam, setelah aku renungkan… aku rasa yang kamu memang benar. Kamu benar, Chik. Aku
sayang Miki.”
Mendengar pernyataan spontan itu, Friska sempat membeku beberapa detik, tangannya mengejang di
atas meja. Namun tidak berapa lama kemudian, ia berhasil menyadarkan dirinya dan melanjutkan
pekerjaan mencatatnya lagi.
“Aku mencintai Miki.”
“….”
“Mengenai perasaanmu padaku…”
107 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Brak…! Tiba-tiba Friska memukul meja dengan cukup keras.
“Oya Dan, proposal ketua OSIS yang lo kasi’ kemaren masih banyak yang kurang, jadi masih harus
ditambahin dengan ini-itu…” potong Friska dengan cepat. Ia bercerita panjang lebar seolah tidak
mengijinkan Dani melanjutkan kata-katanya.
Dani terdiam melihat reaksi Friska. Ia jadi semakin memahami anak yang satu ini, pikirnya.
Sore yang cerah, seluruh keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga. Dani sedang diam di depan
televisi. Matanya memang mengarah pada acara di televisi namun pandangannya kosong, sesekali ia
tersenyum sendiri. Mama dan Papa saling tukar pandangan lalu menggeleng-gelengkan kepala melihat
kelakuan Dani.
“Dan..” Mama membuka suara di antara bunyi-bunyi yang keluar dari televisi.
“Ya Ma?” jawab Dani dengan ekspresi riang.
“Kamu lagi gak ada kerjaan ya?”
“Hm…” jawab Dani mantap sambil menganguk sekali.
“Ajak Miki jalan-jalan gih!”
“Hm..?” Dani membelalakkan matanya, bukan karena heran tapi kurang mendengarkan perkataan
Mamanya.
“Iya, dari kemaren dia seharian baca buku, mungkin dia udah bosan. Ajak jalan-jalan dong, Dan.”
sambung Papa.
Tidak berapa lama kemudian terlihat mobil merah yang telah dimofikasi itu keluar dari rumah itu.
108 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Kita kemana Dan?” tanya Miki yang tengah menyisir rambutnya dengan di bantu dengan cermin di
balik sun roof mobil. Sore itu cukup panas sehingga Miki hanya mengenakan kaus putih dan hot pants
hitam yang membuat kulit putihnya terlihat jelas.
“Kita ke…” Dani menjawab sambil menaik-naikkan alisnya. “KEBUN BINATANG!” teriaknya.
“Hore!!!” teriak Miki riang sambil menaikkan kedua tangannya.
Miki melompat keluar begitu tiba di kebun binatang tersebut. Di pandanginya beberapa kera yang
seliweran di sana-sini. Ia tertawa dengan riang. Sore itu tidak begitu ramai di tempat itu, namun Miki
tetap saja kembali menggandeng tangan Dani bila sedang tertarik melihat suatu objek, seperti yang
selalu dilakukannya. Sejenak Dani teringat perkataan Om Rio. Dipandanginya jari-jari Miki yang tengah
bergelantung di lengannya, ia kemudian tersenyum. Menyadari sedang di perhatikan, Miki
mengadahkan wajahnya ke atas dan dengan ekspresi heran bertanya,
“Hm.. napa?”
“Ah.. ah enggak.” jawab Dani berusaha mengelak dengan mengalihkan pandangannya. Namun
wajahnya yang memerah tidak dapat di sembunyikannya dari penglihatan Miki.
Sore itu daun-daun yang kering berguguran dan meringis ketika terinjak oleh langkah dua anak muda
itu. Angin semilir seolah-olah melantunkan tembang menemani perjalanan mereka. Sesekali keduanya
saling bertatapan dan tersenyum. Entah apa yang disenyumkan, entahlah…
Aku pikir, aku tidak bisa berlama-lama di kamar flat ini. Pikiranku terus
menerawang membayangkan pertemuan tadi. Ia berbicara denganku lembut
sekali. Aku merasa agak malu tadi ketika aku tidak bisa membalas ucapannya.
Aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba lidahku menjadi kelu? Aku ingin berbicara
109 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
dengan dia. Aku ingin mengoborol dengan dia. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.
Huff… Aku tidak bisa tenang sendiri di sini. Aku ingin segera menjumpainya.
Mungkin ada baiknya aku ikuti saja ajakan Rio untuk datang ke kampusnya.
Segera setelah berpikir panjang, Richard bangkit dari tempat tidurnya. Buru-buru
diambilnya matel yang tergantung di depan pintu kamar flat. Di pakainya sepatu
hitamnya dan ia pun berjalan ke luar rumah. Udara dingin di luar selalu
membuatnya merinding, sepertinya ia belum terbiasa dengan musim dingin di
Melbourne. Ia berjalan sambil mengingat-ingat pertemuannya tadi pagi. Di
susurinya jalan yang tadi pagi di lewati saat bertemu dengan gadis yang sedari
tadi ada dalam benaknya. Mungkin rumah gadis itu tidak jauh dari sini, pikirnya. Di
pandanginya jejak-jejak salju bekas pejalan kaki yang baru saja menginjakkan
kakinya di sana. Sebenarnya ia tidak terlalu ingat jalan menuju kampus adiknya,
namun ia memberanikan diri untuk mencoba kemungkinan jalan yang benar.
Sudah beberapa blok ia berjalan dan ia menjadi ragu pada ingatannya. Ia menjadi
sedikit cemas. Letih ia berjalan, ia pun berhenti sejenak di depan sebuah rumah
berpagar rendah dan berwarna merah. Meskipun sebagian pagar itu telah tertutup
salju, namun warna merah mencolok tersebut tetap menarik perhatian orang-
orang yang melintasinya. Dipandangi Richard pagar itu dengan tatapan kosong. Ia
bersandar pada sebatang pohon kayu yang daun-daunnya telah rontok sambil
mencoba mengingat-ingat jalan yang benar menuju kampus adiknya. Tiba-tiba
sesuatu dari dalam rumah itu mengalihkan perhatian Richard. Dari dalam rumah
tersebut, keluar sesosok wanita yang juga bermantel merah. Deg… Richard
terdiam. Di rasakannya darah mengalir deras dalam tiap nadi darahnya.
110 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dari biasanya. Dia… gadis itu! Betapa
berjodohnya.
“He… Hello…” akhirnya ia berhasil mengeluarkan suaranya. Di perhatikannya
reaksi gadis itu. Ia sedang mengernyitkan keningnya. Rambutnya yang pirang dan
di biarkannya tergerai terbawa angin dingin menghempas wajahnya.
“Looking for someone?” tanya gadis itu dengan senyuman hangat dan membuat
Richard semakin tertegun.
Hari ini Miki janjian bertemu dengan Andre dan tampaknya ini bakal menjadi jalan-jalan terakhirnya
dengan Andre. Besok adalah hari kepulangannya ke Australia. Awal tahun ajaran baru sekolah di
Australia akan segera dimulai. Meskipun begitu, sebenarnya Miki ingin menghabisakn sisa waktunya
bersama Dani. Sayangnya ia telah terlanjur berjanji dengan Andre dan atas bujukan Andre juga.
Sekarang masih jam satu, jadi masih ada sekitar setengah jam lagi dengan janji bertemu Andre. Haah..
bosan dirumah, tapi gak mau gangu Dani yang lagi sibuk di sekolah juga. Jadi, lebih OK kalau hari ini
jalan-jalan bareng Andre, guman Miki dalam hati. Dilangkahkannya kaki menuruni anak tangga.
Ketika hendak keluar dari rumah, tiba-tiba Miki merasa ada yang menarik pintu dari luar. Sementara
dari dalam rumah, Miki juga hendak menarik pintu. Jadi pintu itu tetap tidak terbuka karena adanya tarik
menarik antara dua orang yang berada di sisi dalam dan luar rumah. Selama beberapa saat kondisi itu
terus berlanjut. Dani yang berada di sisi luar rumah tidak merasa bahwa ada seseorang yang juga sedang
menarik gagang pintu dari dalam. Ia dengan cepat menyimpulkan bahwa pintu depan rumah tersebut
sedang rusak. Jadi dengan sekuat tenanga ditariknya daun pintu tersebut dan...
111 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Aw… !” Miki berteriak dan nyaris terjatuh ke lantai karena terseret. Untungnya Dani langsung
tanggap akan kondisi tersebut. Ia langsung membungkuk guna menopang Miki yang nyaris terjatuh
lantai.
“Dani! “ seru Miki masih dalam posisi terduduk.
“Are u OK?” tanya Dani sambil berusaha membetulkan posisi berdiri Miki. Jantungnya
berdegup kencang menyadari wajah gadis tersebut berada begitu dekat dengan dirinya. Namun Dani
berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin.
“Yeah, I’m OK.” jawab Miki sambil mengelus-elus sikunya. “Baru pulang Dani?” tanya Miki
lagi sambil bangkit.
“Mm...iya. Kamu mau kemana?” tanya Dani yang curiga dengan penampilan Miki. Meskipun
hari itu Miki berdandan seadanya - ia hanya mengenakan jins belel plus kaus bali tipis yang di belinya
sewaktu sedang jalan-jalan dengan Dani tempo hari-, namun Dani tahu ada sesuatu yang berbeda dari
Miki bila ia hendak jalan-jalan.
“Just going around.”
“Sama siapa? Andre ya?” tanya Dani penuh curiga.
“Yeah.”
“Kemana?” tanyanya lagi
“Ya mutar-mutar aja.”
“Kenapa gak bareng aku aja?”
“Kan Miki udah janji nya sama Andre dari kemaren-kemaren. Lagian kamu bukannya masih ada
kerjaan buat kampanye ketua OSIS. Ada yang belum selesai kan?”
“Tapi…,”
112 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki!” seru seseorang dari dalam mobil hitam yang di parkir di depan rumah Dani. Itu Andre!
Ternyata ia datang lebih cepat dari janji.
“Hei!” sapa Miki sambil berjalan menuju mobil Andre. Rasanya Dani ingin mencegat Miki pergi
dengan menarik tangannya. Namun ditahannya keinginannya itu. Ia hanya bisa menatap Miki
melangkah dan menjauh darinya.
“Dani, Miki pergi dulu ya?” Mendengar pernyataan itu Dani hanya terdiam sambil tetap
memandang ke arah mereka berdua. Roman wajah Miki pun ikut berubah melihat reaksi Dani.
“It’s OK, Dani. I’ll always support you from back” ujar Miki terakhir kali dan mobil pun melaju.
Dalam pikiran Miki, Dani mungkin sedang berpikir saingannya dalam perebutan tahta ketua OSIS
memanipulsi Miki untuk menjatuhkannya.
Melangkah ke kamar, perasaan Dani gak karuan. Rasanya ingin sekali menonjok Andre saat itu.
Anak itu sepertinya tidak ingin jadi saingan di OSIS saja. Kalau dia mau ngerebut Miki dariku, dia tidak
akan bisa, guman Dani dalam hati. Sebelum mencapai kamarnya, Dani terdiam di depan kamar Miki.
Dipandangingya kamar itu lama sekali sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk. Mulanya ia tidak
berniat karena ia berpikir bahwa kamar Miki sedang dikunci. Namun sewaktu Dani iseng memutar
gagang pintu kamar tersebut, ternyata kamar tersebut tidak dikunci. Dani pun memberanikan dirinya
melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut. Dinyalakannya saklar lampu agar dapat melihat dengan
jelas seisi kamar itu. Sebenarnya kamar yang dihuni Miki sekarang adalah kamar cadangan yang
memang disediakan sebagai kamar tamu darurat. Biasanya bila tidak ada penghuninya, kamar ini
berantakan. Namun, semenjak dihuni oleh Miki, kamar ini menjadi rapi dan terkesan feminin. Memang
Mama sengaja merapikan kamar ini dengan sebaik-baiknya sebelum dihuni Miki. Bahkan Mama sengaja
menambahkan kelambu berupa jaring-jaring berwarna merah jambu di bagian depan tempat tidur Miki.
113 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Dani memperhatikan kamar Miki dengan seksama. Begitu banyak barang-barang bertumpuk di
kamar itu. Kebanyakan barang yang ada memang barang-barang yang ditujukan untuk wanita seperti
majalah, kosemetik, boneka bergambar Teddy Bear, pakaian gaun, sepatu high heels serta barang wanita
lainnya. Ada pula di sudut lain barang-barang unik khas Indonesia yang dibeli Miki sewaktu jalan-jalan
dengan Dani tempo hari, mungkin mau dijadikannya oleh-oleh. Dani melangkahkan kakinya lagi dan
sejenak duduk di atas tempat tidur Miki. Dihembuskan Dani nafasnya sambil berpikir. Miki akan
berangkat besok dan mungkin ia akan butuh waktu yang panjang lagi agar bisa bersama dengan Miki.
Mengapa disaat seperti ini dia masih sempat berpikiran negatif pada Andre. Mungkin Miki hanya ingin
menyampaikan salam perpisahannya pada Andre. Hal itu tidak salah kan mengingat Andre cukup
banyak membantu Miki selama ia berada di sini. Setelah beberapa lama di kamar Miki, Dani beranjak ke
kamarnya. Dani terbengong di dalam kamarnya. Sesungguhnya ia tidak ingin merasakan perasaan yang
seperti ini lagi. Perasaan yang dulu pernah di alaminya. Perasaan ditinggalkan seseorang yang sangat
disayanginya. Akhirnya Dani memutuskan dalam hati akan membuat Miki senang hari ini. Nanti
sekembalinya ia bersama Andre, akan diajaknya Miki jalan bersamanya sambil menikmati setumpuk es-
krim rasa Coklat dan Vanilla, tekatnya dalam hati.
114 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 10. Good Bye
“Jadi barang-barangnya udah lengkap kan, Ki?” tanya Mama dengan posisi badan tegap. Ia
melipatkan tangannya di depan dada.
Miki menganguk dua kali untuk meyakinkan Mama. Bagasi penuh dengan koper-koper yang berisi baju
dan oleh-oleh untuk GrandMa Miki di Australia. Miki berdiri di samping barang bertumpuk itu untuk
kemudian menaikkannya ke dalam bagasi mobil. Mama masih berdiri mengamati di samping teras
sementara Dani membantu Miki menaikkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil.
Plok… Plok… Dani menepukkan kedua tapak tanggannya tanda kepuasannya berhasil mengepak
barang-barang Miki.
“Jadi,” Dani mulai pembicaraan dengan memandang mata Miki “Udah siap berangkat Nona Muda?”
Miki menganggukkan kepalanya lagi, namun lambat dan penuh keraguan.
“Sudah siap berangkat?” ulang Papa dari balik kemudi supir.
“Come on girl, get in into the car!” lanjut Om Rio yang berjalan dari dalam rumah. Om Rio kemudian
menarik lengan Miki, namun Miki malah menepiskan tangan Om Rio.
“Papa, I need a minute please. I need to talk privately with Dani.”
“S’il vous plaît.” jawab Om Rio santai.
115 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Miki kemudian menarik lengan Dani yang berada dihadapannya sehingga sebentar Dani
terdorong mundur.
“I will miss you so much!” serunya dengan nada agak merajuk.
“It’s OK. Kamu gak bakal kangen aku lagi kalau udah ketemu Mr. Teddy.” bujuk Dani berusaha
menenangkan Miki. Mr.Teddy adalah boneka Teddy Bear super besar pemberian almarhum ibu Miki
sewaktu ia masih kecil
“No, no, it’s different between Mr. Tedd and you. Aku sayang Mr. Tedd tapi lebih sayang lagi sama
Dani.” jawabnya cepat.
Senyum Dani perlahan-lahan menghilang, ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Miki pun balas
menatapnya. Rasanya ada sesuatu dalam dirinya, seperti mendorongnya untuk memeluk Miki erat-erat
dan tidak ingin melepasnya. Seperti ada keinginan dalam dirinya untuk menahan Miki sebisanya dan
terus bersamanya sepanjang waktu. Tapi hal itu tidak mungkin, logika mengalahkan intuisinya.
Dipegangnya bahu gadis itu dan dipandangnya bola mata gadis itu lama.
“Miki, bersikap dewasalah, aku gak bisa selamanya ada disampingmu.”
Untuk beberapa waktu Miki masih memandang hitam bola mata Dani. Kemudian dipeluknya tubuh
lelaki itu erat, erat sekali. Lama mereka saling bertukar pandangan lalu Miki melepaskan genggamannya
dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.
Saat Dani melangkahkan kakinya menuju teras masih bisa terlihat olehnya tangan Om Rio melambai ke
arah mereka. Miki yang duduk di jok belakang hanya menoleh sekilas ke samping, ke arah rumah,
tersenyum tipis kemudian kembali menghadapkan wajahnya kedepan.
Fyuuh… dihembuskan Dani nafas panjangnya. Matanya kini sayu menatap ke bawah. Beberapa saat
kemudian, ia kembali masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum berangkat ke
116 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
sekolah. Mama yang sedari tadi berdiri di samping Dani merasa heran melihat ekspresi anaknya itu
lantas mengikutinya berjalan masuk.
Aku tidak tahu hal apa yang membawaku begitu dekat dengannya
belakangan. Setiap pertemuan dengannya di persipangan jalan yang bersisian
dengan pagar-pagar pohon yang daunnya rontok itu, selalu dapat membuat
jantungku berdegup kencang. Setelah itu membawa badanku terbujur kaku. Hanya
bisa memandanginya dan dengan susah payah tersenyum. Bagiku sudah cukup
bila ia membalas senyumanku. Namun mungkin tidak cukup baginya. Terlalu
beruntung pula bagiku ketika dari atas balkon itu dia mendadahkan tangannya
padaku, menyapaku dan bertanya padaku. Pagi berikutnya seperti biasa dia
menyapaku dan aku menyapanya. Tapi tidak biasa ketika aku dan dia mulai
bercerita panjang lebar. Entah dari mana aku bisa mengumpulkan keberanian
untuk mengeluarkan suaraku berbicara padanya. Ia tersenyum, aku terpana. Ia
tertawa, aku tersanjung. Ia terdiam dan aku sadar bahwa tidak seharusnya aku
berada di sini. Seharusnya aku berada di sisi Ayah, di dalam rumah tua kami yang
hangat atau di kampus Rio untuk mengawasi kegiatannya. Tapi biarlah, mungkin
Tuhan sedang berbaik hati padaku dengan mengirimkan malaikat ini untuk
bercengkrama sejenak denganku di siang yang mendung.
117 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Dani berjalan lesu menuju ruangan kelas melewati koridor-koridor sekolah serta lapangan kecil yang
telah menjadi pemandangan sehari-hari baginya selama beberapa tahun ini. Satu tangannya
dimasukkannya ke kantong saku celananya sementara yang lagi memegangi jaket katunnya yang
setengahnya tergantung dekat bahu, seloyoran dibalik punggungnya. Entah lupa memasukkan atau
sedang ingin mengikuti trend, ia tidak seperti biasanya mengeluarkan baju seragamnya dari balik celana.
Sesampainya di kelas dicampkannya tas seta jaketnya. Tanpa merasa perlu repot-repot melihat keadaan
di kanan dan kirinya, dikeluarkannya sebuah buku catatan dan dibalik-baliknya tanpa membaca sepatah
katapun dari buku tersebut.
“Miki udah pulang?” tanya sebuah suara wanita yang berada tepat satu bangku dibelakangnya.
Dani pun menoleh dan menjawab singkat, “Udah.” Kemudian ia kembali sibuk membolak-balikkan
catatannya.
Tidak menyerah begitu saja, gadis yang tadi bertanya melangakah maju dan mempersilahkan diri duduk
di samping bangku Dani.
“Kapan?” tanyanya lagi.
“Tadi.” jawab Dani tanpa perlu menoleh lagi.
“Udah bilangin gua ama Joe kirim salam?
“Udah.”
Gadis itu terdiam, sepertinya kehilangan ide untuk memulai pembicaraan dengan Dani. Akhirnya di
mulainya lagi,
“Kenapa gak lo sendiri aja yang ngantarin dia?”
Gantian kali ini Dani yang terdiam dan..
118 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Srapp…! Dani bereaksi. Ditutupnya catatannya dan...
Tjep… tiba-tiba saja sebelah tangan Dani telah berada di atas tangan Friska, gadis yang sedari tadi tidak
berhenti bertanya.
“Chik, gue boleh gak main ke rumah lo hari ini? Udah lama kan gue gak bertamu ke rumah lo?”
Dengan semua gelagat aneh Dani itu, membuat wajah Friska tiba-tiba bersemu merah.
“E… e-e…” jawabnya penuh keterkejutan dan heran. Dengan kekagokan ia menganggukkan kepalanya.
Semenjak menyatakan cintanya entah kenapa Friska semakin gugup berada di dekat Dani, padahal
Friska tahu Dani menyukai orang lain.
Gosip pertengkaran antara Dani dan Andre yang bisa dibilang basi itu telah menyebar luas di sekolah.
Banyak yang bilang kalau mereka bertengkar dalam perebutan tahta sebagai ketua OSIS. Namun tidak
sedikit pula yang mengetahui bahwa pertengkaran mereka berdua masih ada sangkut pautnya dengan
urusan cewek. Pasalnya ada beberapa orang yang sempat melihat Andre tengah mengobrol dengan
cewek yang pernah diajak Dani ke festival tempo hari. Hal-hal yang tidak nyambung pun dikaitkan oleh
siswa-siswi di sekolah tersebut kemudian dihubungkan dengan pertengkaran antara Dani dan Andre.
Maklum dibangku SMU gosip memang menyebar lebih cepat dan gosip itu sering kali jadi bumbu yang
menghancurkan repurtasi kita.
Sepeninggalan Miki, Dani memang berkonsentrasi pada kampanyenya. Masa scorsnya di pakai untuk
mengejar ketinggalannya dari Andre. Kerap Dani harus datang malam-malam ke rumah Friska untuk
membantu ini-itu. Hari-hari berikutnya Dani sibuk menyebarkan brosur, leaflet spanduk serta aksesoris-
aksesoris lainnya. Hari lain Dani berkampanye di depan lapangan dan di sambut dengan riuhan tepuk
119 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
tangan. Dengan segala kesibukannya itu, Dani mulai dapat menepis kesedihan karena kehampaan
kehadiran Miki. Hingga tibalah hari yang dinantikan.
Hari ini semua guru rapat untuk memilih siapa ketua OSIS periode ini. Perwakilan murid dari masing-
masing kelas serta ekskul telah datang ke ruang rapat. Hari ini mungkin Dani merasa sedikit berbeda
dengan hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan tahu hasil dari perjuangannya selama ini. Rapat berjalan
cukup lancar hingga tibalah saatnya kepala sekolah berdiri di atas podium dan mengumumkan hasilnya
pada seisi ruang rapat tersebut.
“HORE!!!” terdengar teriakan dari beberapa anak yang berkerumun di baris kanan. Mereka adalah
rombongan pendukung Dani. Yup, Dani menang tipis sebagai ketua OSIS periode baru.
Sepulang sekolah, Dani pulang beriringan dengan Friska. Tidak bisa ditahannya senyuman dari
wajahnya. Senyum itu tersungging terus dari semenjak ia berada di ruang kelas hingga pulang sekolah.
“Akhirnya gue menang juga, Chik. Padahal kelakuaan gue udah ancur banget akhir-akhir ne. Ini
pasti karena bantuan tim sukses gue. Karena elu Chik.” tawa Dani riang. Di pukul-pukulnya kepala
Friska. Melihat raut wajah Dani yang seperti itu secara tidak langsung juga membuat wajah Friska ikut
memerah.
Dari kejauhan tampak Andre datang menghampiri Dani. Dani, Frika dan Joe yang sedari tadi berdiri di
pojokan tersebut tampak mematung menunggu kedatangan Andre. Mereka bertiga penasaran terhadap
reaksi Andre akan hasil ini.
“S’lamat ya?” ucapnya dengan mengulurkan tangan pada Dani.
“Iya.. makasih ya, Bro.” balas Dani sambil menepuk-nepukkan pundak Andre. Selama masa kampanye
ini sepertinya Dani terlalu banyak berpikiran jahat terhadap Andre terutama setelah apa yang dilakukan
pria tersebut terhadap Miki tempo hari. Dani menyadarinya dan membuatnya merasa sedikit bersalah
terhadap Andre. Ia ingin menebusnya dengan setidaknya bersikap manis terhadap Andre.
120 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Dan, gue pengan ngomong sesuatu nih.” kata Andre sembari mengantongkan kedua tangannya dalam
saku celananya. Sekilas dipandang Dani kedua temannya satu
persatu.
“Kita ngomong disana.” pinta Andre sambil menunjuk ke arah sebuah bangku di taman dengan dagunya.
“Hm…” jawab Dani. Ia pun mengikuti langkah Andre menuju bangku tersebut.
Setibanya di tempat itu, mereka berdua langsung mengambil posisi masing-masing. Dari kejauhan
terlihat Joe dan Friska memandang penasaran ke arah kedua orang tersebut.
“Dan, gue sebenarnya mau minta maaf soal yang kemaren itu.”
“O... soal itu,” kata Dani yang mengerti maksud Andre. Sebenarnya dari dulu ia sudah berniat minta
maaf pada Andre, tapi sekarang sudah terlambat karena sudah keduluan Andre. “… gak papa kok. Gue
juga minta maaf, gue langsung mukul lo tanpa babibu gitu aja.”
“Tapi lo harus tau satu hal, Dan.” ujar Andre dengan nada serius.
“Apa? “
“Lo salah paham kalau lo pikir gue ngebuat sepupu lo nangis.”
“….”
“Waktu itu Miki sendiri yang tiba-tiba datang ke sekolah. Gue emang udah janji mau ngasih
kenang-kenangan untuk dia, tapi dia tiba-tiba aja sms gue bilang mau datang ke sekolah.”
“….?” Dani terus menatap Andre dengan wajah yang bertanya-tanya.
“Lo bingung ya napa dia sampe nangis? Nah, itu dia gue juga bingung. Waktu gue kasih tu
barang dia malah langsung ngeluarin air mata. Gue jadi bingung. Terkejut lah.”
“Jadi lo serius gak ngatain dia apa-apa?”
“Ya.. ngapain juga orang selucu itu gue jahatin.”
“Emang lo ngasih apa?”
121 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Oh, itu…”
Aku takut bila-bila aku bisa lupa diri karena ini. Aku mulai merasa terlalu
dalam dengan perasaanku. Aku hanya takut bila-bila aku tidak tersadar dengan
diriku dan aku pun terjatuh. Dia begitu indah. Setiap pandangan matanya
menyiratkan makna yang dalam, setiap senyumannya membuatku begitu bahagia,
setiap gerakan tubuhnya adalah berarti bagiku. Inikah cinta sebenarnya? Ataukah
hanya aku saja yang terlalu dalam mencintainya. Aku tidak mengerti. Aku juga
tidak tahu. Aku hanya suka ketika aku dan dia berjalan berdua di atas tumpukan
salju sekarang. Kulihat ke atas dan butiran-butiran putih lainnya mulai jatuh dari
angkasa. Kusingkapkan mantel kepunyaan Rio dan ku pakaikan padanya. Ia
tersenyum, manis sekali. Pandangan matanya yang dalam dan biru menyiratkan
sesuatu yang misterius bagiku. Apa mungkin ia mengerti perasaanku. Apa ia tahu
bahwa aku telah menyukainya bahkan ketika aku baru pertama sekali bertemu
dengannya. Ah, aku tidak tahu dan aku tidak akan menceritakannya padanya. Aku
hanya bisa merasakan bahwa ia senang sekarang. Senang bersamaku, dalam
gandangan tanganku diantara lampu-lampu temaram yang menghangatkan
kebekuan malam itu.
122 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Sudah sekitar enam bulan semenjak Miki kembali ke Australia. Selama ini Dani cuma bisa mengirimkan
sms, ngobrol lewat chatting atau sesekali menelepon. Sepertinya Miki juga sibuk dengan kegiatan
sekolahnya. Mungkin sama seperti Dani, selain sedang ingin berkonsentasi ke pelajaran sekolah juga
bingung melanjutkan ke universitas yang mana setelah lulus. Maklum problema klasik anak kelas tiga
SMU. Sejujurnya Dani ingin sekali bersama Miki di Australia, tapi mungkin mustahil baginya
meninggalkan Mama-Papa sendiri. Dani berpikir dalam hati, betapa aku bisa menjelma menjadi anak
durhaka meninggalkan kedua orang tuaku sendiri sementara aku merantau ke negeri lain.
Hah.. Udah lama gak chatting dengan Miki. Aku sebenarnya kangen ingin mengobrol panjang
dengannya lagi. Untung pagi tadi aku sudah mengirimkan sms minta agar dia online malam ini. Tapi
sebenarnya sore bagiku, karena ada perbedaan waktu sekitar tiga jam dengan Miki di Australia. Kucoba
connect lewat messager, namun ternyata servernya sedang mengalami gangguan. Karena lama akhirnya
kubuka e-mailku. Hm… wah ada paket penawaran penerbangan murah ke Prancis. Asyik… bisa
sekalian ajak Miki neh. GrandPanya Miki kan masih di Prancis, mungkin bisa sekalian berkunjung juga
kapan-kapan. Mungkin kalau aku liburan panjang setelah SPMB. Eh, akhirnya connect juga..
BlackWhite_413: BUZZZ! How’s life?
Dani_elle:=) Fine.. thanks. Masih sibuk OSIS?
BlackWhite_413:Yup, lagi banyak kegiatan di sekolah. Bakal ada banyak acara.
Kamu gimana?
Dani_elle: Same as you. Miki lagi sibuk ikutan theater.
BlackWhite_413: Mau tampil?
Dani_elle: Yup
123 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
BlackWhite_413: Kapan?
Dani_elle: Bulan depan, ada penampilan buat buat wisuda hi-school.
BlackWhite_413: Wah, kamu dapat peran apa?
Dani_elle: Aku jadi Ophelia yang ada di cerita Hamletnya Shakespear.
BlackWhite_413: Wow, cool! *_*
Dani_elle: Thankyou. Anyway, I’ve got ur mail.
BlackWhite_413:: Oya? Email aku yang isinya foto hasil bidikanku itu ya? How do
you think?
Dani_elle:Aku suka angel fotonya Dan. Pemandangannya bagus. Kapan kamu ke
puncak?
BlackWhite_413: O itu sebulan yang lalu, diajakin ama anak pencinta alam.
Dani_elle: Wah… asyiknya. Miki juga pengen. Kapan ya?
BlackWhite_413: Iya, makanya buruan ke sini.
Dani_elle: Iya, I’m planning to go there soon.
BlackWhite_413: Big news!!!
Dani_elle: What?
BlackWhite_413: Kamu ingat rumah tua itu? Rumah bercorak hitam putih tempat
kita sering bersama?
Dani_elle: Iya, knapa? Rumah itu di jual ya?
BlackWhite_413: Enggak... enggak. Rumah itu sedang di renovasi lho!
Dani_elle: Oya?
BlackWhite_413: Yup. Sebenarnnya kerusakannya gak banyak kok. Rumah itu
cuma gak terawat saja. Soalnya semenjak kakek ninggal, Papa Mama kan mutusin
124 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
pindah ke rumah yang lebih dekat sama kantor Papa biar gampang. Hasilnya
rumah itu lama dibiarkan kosong dan jadi gak terawat.
Dani_elle: Iya, apalagi rumahnya udah tua ya.
Dani_elle: Kapan selesai renovasinya?
BlackWhite_413: Kayaknya beberapa bulan lagi udah selesai.
Dani_elle: Oh Great! Jadi udah lama ya mulai di renovasinya?
BlackWhite_413: Kayaknya gitu. Mama dan Papa ngerahasiakannya selama ini.
Padahal Om Rio juga tahu.
Dani_elle: Hum, aku jadi gak sabar pengen ke sana.
BlackWhite_413: Lagipula Miki, aku punya satu mantra yang bakal buat kamu
pengen semakin cepat datang ke Jakarta.
Dani_elle: What’s that? three word?
BlackWhite_413: yup.
Dani_ elle: What?
BlackWhite_413:: …
Dani_elle: ???
BlackWhite_ 413:: I MIZZ U!
Dani_elle: hihihi
Dani_elle: Um…
BlackWhite_413: What?
Dani_elle: Me too.
Pip.. (Disconnected)
125 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Pagi ini Dani melangkahkan kakinya riang ke gedung sekolah. Senyum bahagia mengembang terus di
wajahnya dari semenjak berangkat dari rumah hingga duduk di meja kelasnya.
“Kenapa sih lo Dan, dari tadi senyam-senyum mulu?” tanya Joe yang sedari tadi aneh
memerhatikan tingkah laku Dani.
“Hehehe.. gak papa kok. Gue lagi senang aja.” jawab Dani tidak dapat menyembunyikan perasaan
senangnya.
“Senang kenapa?”, tanya Joe penuh penasaran
“Hehehe.. Miki, Joe.” jawab Dani masih dengan wajah tersenyum.
“Oo.. ya ya ya. Gue tahu, gue tahu.” Seketika itu juga Joe beranjak meninggalkan Dani yang terjatuh ke
atas meja karena tidak kesampaian memeluk Joe.
Chapter 11. Berita Duka
Enam bulan tanpa Miki dilewati Dani dengan menjalani kehidupan anak SMU biasa seperti
sebelum Miki datang. Mengerjakan tugas di sekolah, tanggung jawab di OSIS serta aktif di klub
fotografi. Ia juga sudah jarang sekali pergi jalan-jalan ke luar. Mungkin ia sudah cukup jenuh
menjelajahi kota itu sewaktu bersama Miki. Jadi ia putuskan untuk berkonsentrasi pada pelajaran di
126 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
sekolah dan kegiatan sampingannya. Dani tampaknya mulai menikmati status barunya di sekolah, ketua
OSIS. Apalagi semenjak mendapat jabatan itu, makin banyak cewek yang ngantri ingin nempel padanya.
Mekipun begitu, tidak satupun yang dekat dengan Dani berhasil jadi pacarnya. Entah apa yang ditunggu
atau dicari Dani. Enam bulan sudah ia tidak bertemu dengan Miki dan ia harus bersabar untuk bertemu
lagi dengan gadis itu. Kadang terbersit dalam pikiran Dani untuk melakukan perjalanan ke negeri
Kangguru tersebut. Namun mengigat aktifitasnya yang segudang, mungkin agak sulit baginya. Enam
bulan Dani dan Miki tidak bertemu, namun mereka tetap saling berhubungan lewat komunikasi yang
berkembang cepat dengan kemajuan IPTEK. Enam bulan lamanya mereka tetap saling mengirim pesan
lewat sms, e-mail atau chatting. Hingga akhrinya berita duka itu sampai juga ke rumah Dani. Berita
yang cukup mengejutkan Dani. Berita bahwa GrandMom Miki yang menjadi figur pengganti Ibunya
selama ini, telah meninggal.
“Eh, loe gila ya Dan? Maksud loe, elo mau nyusul Miki ke Australia?” tanya Joe dengan ekspresi
super heran.
“Hm… gitulah.” jawab Dani datar.
“Tapi ujian lo gimana?” tanyanya lagi sambil duduk di bangku sebelah Dani.
“Susulan.” jawab Dani singkat.
“Hah? Loe gila ya? Terus alasan loe apa?” Joe terpelongo dengan jawaban Dani yang terkesan cuek itu.
“Dan, gue tahu loe sayang banget ama sepupu loe itu. Tapi loe gak boleh gini donk. Pikirin masa depan
loe.” lanjut Joe sambil menunjuk-nunjuk jidatnya dengan jari telunjuk.
“Jadi solusi lo gimana?” tanya Dani, kali ini dia mulai mempertimbangkan kata-kata Joe
“Loe tunggu sampai selesai ujian, titik. Apa salahnya sih Dani pending keberangkatan loe dua minggu?“
“Tapi ini berat banget buat dia, Joe.” elak Dani
127 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Gua tau, gua ngerti gimana rasanya kehilangan orang yang disayangi.” Joe menghempaskan nafas
panjangnya teringat kenangan pahitnya sewaktu kehilangan Ibu di masa SD dulu. “Tapi Dan, loe gak
harus ikut-ikutan merasa gitu kan?” lanjutnya.
“Joe, dengar ya gue gak ke sana selama setahun kok. Gue ke sana palingan seminggu. Gue cuma mau
nenangin Miki aja. Gue rasa dia syok banget. Dari kemaren kemaren gue telepon, gak di angkat. Gue
sms juga gak di balas. Gue kwatir banget Joe.”
“Ya iyalah Dan. Wajar kalau loe kwatir. Tapi loe ada atau enggak di samping dia sama aja kan?
Neneknya udah ninggal. Lo kan gak bisa ngerubah keadaan.”
“At least gue bisa ngelihat kondisi Miki.” Dani bersikeras.
“Ih, loe gila ya? Gak abis pikir gue. Emang kalo soal Miki elo gak mikir panjang ya, Dan?” Jo berkata
dengan nada sedikit mengejek dan kesal.
“Apa? Ke Aussie cuma modal nekat? Serius Dan? Gue gak setuju!” Rentetan protes di utaran Friska
sewaktu berjalan menuju ke arah gerbang bersama Dani. Siang itu semua orang di sekolah langsung
balik ke rumah masing-masing. Maklum, masa-masa menjelang ujian semester semua murid tampak
sibuk mempersiapkan diri, terkecuali beberapa murid yang menganggap dunia kiamat pun tidak perlu
belajar.
“Jadi gue harus gimana donk?” tanya Dani lagi.
“Dan, stop jadi orang yang plin-plan. Lo harusnya punya pendirian! Stop nanya-nanyain ama orang-
orang disekitar lo. Lo kan ketua OSIS, gimana sih?” Mendengar nasehat Friska tersebut, Dani hanya
bisa terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Pandangan matanya kosong. Menyadari reaksi Dani itu,
Friska jadi ikut terdiam. Jangan-jangan gue salah ngomong, pikirnya.
128 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Dan…” panggil Friska lembut. Dani diam saja. Tampaknya Dani tidak mendengarkan panggilan
Friska.
“Daniel…” panggilnya lagi masih dengan nada lembut. Tidak lama kemudian ditariknya lengan Dani.
“Hmm?” Dani akhrinya tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah Friska.
“Kamu sebegitu kwatirnya ya sama Miki?”
“Hm…” jawab Dani hanya dengan berdehem. Friska menghentikan langkah kakinya, begitupun Dani.
“Perhatikan diri kamu juga.” pesan Friska dengan menatap mata Dani penuh prihatin.
Papa dan Mama sudah berangkat ke Australia seminggu yang lalu. Mungkin besok Papa dan Mama
sudah akan kembali ke Jakarta. Mereka berdua sudah berusaha menghibur Om Rio dan Miki, tapi
mereka tidak bisa berlama-lama karena memang masih banyak yang harus dikerjakan di sini. Sementara
Dani saat itu masih berada di dalam kamar, berusaha berkonsentrasi untuk ujian hari pertamanya besok.
Huff… dihembuskannya nafas panjang. Dari tadi ia telah berusaha berkonsentrasi belajar, namun tetap
tidak bisa. Tidak ada satupun yang sedari tadi dihafalnya masuk dalam otaknya. Ujian hafalan memang
yang paling berat bagi Dani, karena ia memang bukan orang yang pintar menghafal. Berbeda dengan
ujian hitungan seperti Matematika dan Fisika, ia akan dengan sukacita mengerjakan soal-soal hitungan
tersebut dengan mengaduk-aduk rumus yang entah kenapa sudah dihafalkannya luar kepala.
Disaat seperti ini asyiknya mengubungi Chika, pikir Dani ketika kepalanya sudah tidak mampu lagi
berpikir. Akhrirnya diputuskan Dani lah untuk menelpon nomor itu.
Tut… tut… tut.. tiga kali telepon berdering baru Friska mengangakat telepon rumahnya.
“Hallow, selamat malam.” jawab suara tersebut.
“Chik, lagi pain lo?”
“Eh Dani. Gue lagi belajar nih, lo lagi paen? Gak belajar?”
129 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Iya, tapi gue gak bisa belajar neh. Gue lagi gak konsen. Lo lagi belajar apa? Lo udah nguasain belum?”
“Hm.. belum semua. Gue lagi belajar dari buku paket Sosiologi bab lima neh.”
“Chik, gue datang ke rumah lo ya? Gue pengen belajar bareng biar ngerti. Gue gak bisa ngafal,
sumpah!” Dani memelas.
“Hm.. boleh aja. Tapi gak plus curhat ya?”
“Ah, lo tau aja Chik, Hehehe… Yaudah, gue kesana sekarang ya?”
“OK, gue tungguin sekarang ya?”
“OK bye…”
“Bye…”
Klik. Sesaat terdengar suara gagang telepon yang diletakkan pada posisinya.
Dani segera mengambil jaketnya, memakainya, mengambil kunci motor dan berangkat ke rumah Friska.
Sementara itu, di rumahnya Friska jadi tidak bisa belajar lagi semenjak mengangkat telepon Dani
barusan. Hatinya gundah menunggu kedatangan Dani. Agak menyesal dia menerima permintaan Dani
tadi. Namun ia memang tidak kuasa menolaknya. Mungkin masih ada rasa dalam hatinya terhadap Dani.
Ia sendiri tidak mengerti.
Akhirnya tiba juga hari terakhir ujian semeter. Hari ini adalah hari yang paling di tunggu-tunggu murid-
murid di sekolah itu. Mereka menjuluki hari ini sebagai ‘hari pembebasan’. Bebas dari tugas-tugas dan
bebas dari segala urusan-urusan sekolah (untuk sementara). Liburan semester memang hal yang paling
dinantikan oleh sebagain besar murid sekolah. Apalagi untuk Dani kali ini. Ia merasa tidak perlu
menunggu siapapun juga begitu bel pertanda ujian telah selesai dibunyikan. Ia langsung berlari kencang
menuju pintu gerbang, menyusuri jalan-jalan yang setiap hari dilalui dan tidak berapa lama kemudian ia
pun akhirnya tiba di rumah.
130 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ma…! “ teriak Dani begitu membukakan pintu rumah.
“Ya?” jawab Mama dari ruang tamu, setengah terkejut mendengar teriakan Dani yang begitu
bersemangat.
“Ma…!” teriak Dani lagi sambil berlari kecil menuju Mama.
“Napa Dan?”
“Ma… Dani ingin ke Australi, secepatnya!”
“…..” Mama tidak dapat berkata apa-apa.
Aku pikir tidak bisa aku dalam kondisi tidak jelas seperti ini terus dengannya.
Aku tidak tega dengan perasaan orang-orang di sekelilingku. Aku tidak boleh egois
dan hanya memikirkan kepentingan sendiri saja. Aku memang menyayanginya dan
aku pikir hal itu juga berlaku sama dengannya. Namun aku dan dia tidak akan
mungkin. Banyak hal-hal yang membatasi kami, terutama Rio. Aku pikir sepucuk
surat yang dikirimkan setiap dua minggunya tidak akan cukup menyatakukan
perasaanku terhadapnya. Lagipula ada telah memiliki sebuah janji pada seorang
gadis lain di tempat yang jauh dari sini. Janji yang mungkin akan ditagihnya
beberapa tahun ke depan. Gadis itu tulus menyayangiku seperti juga aku padanya.
Namun ada yang beda dari perasaanku padamu Michelle. Aku menyayangimu
terlalu dalam. Hingga aku sendiri takut pada perasaanku ini. Aku takut kalau-kalau
aku akan melukai diriku sendiri. Terutama aku lebih takut bila aku melukaimu atau
melukai Rio bila dia tahu perasaanku padamu. Apa lebih baik ku lenyapkan saja
131 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
surat-surat darimu yang mungkin dapat meninggalkan jejak tentang kenanganmu.
Aku pikir jika itu memang terbaik untuk semuanya, tidak ada salahnya. Aku tahu
Michelle, menyakitkan ketika kau mendapatkan sesuatu yang kurang baik dariku.
Namun aku tidak berdaya Michelle. Aku mencintaimu dan aku tidak akan
memilikimu.
Di Australia sore itu, angin musim gugur berhembus di bandara. Meskipun saat itu di sana sedang
musim dingin, namun udara tidak sedingin musim dingin di Eropa. Sebuah pesawat dengan bendera
Singapura di ekornya baru mendarat di tempat itu beberapa saat yang lalu. Orang-orang terliht berjalan
mondar-mandir melewati ruangan di bandara tersebut. Dari kejauhan terlihat seorang anak muda tengah
membawa koper. Perawakannya tinggi namun sedikit kurus. Ia mengenakan topi dan memakai kaca
mata berframe hitam yang kemungkinan besar berminus. Tangannya penuh dengan koper serta barang
bawaan lainnya. Dari jauh terlihat sesosok gadis menyambutnya. Rambut gadis itu yang hitam dan
panjang lurus sepinggul bergoyang seiring derap langkahnya. Anak muda itu segera meletaknya koper
dan tasnya ke lantai begitu bertemu melihat gadis itu. Tidak berapa lama kemudian, keduanya
berpelukan melepas rindu. Dani menatap mata Miki sedalam-dalamnya ketika mereka merenggangkan
pelukannya.
“Are you OK, Miki?” tanya Dani membuka pembicaraan di petang itu. Miki hanya mengangguk-angguk
mengiyakan. Sorot wajahnya yang lembut memang menunjukkan perasaan letih namun senyumnya
tampaknya menepis semua itu. Terlihat ia tegar selepas kepergian neneknya.
132 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki, aku terlupa sesuatu sewaktu kamu di Jakarta. Aku datang untuk menyampaikan yang terlupa itu.”
ujar Dani dengan nada serius.
Miki yang bingung memeringkan kepalanya, alisnya di kerutkannya. Tanpa menunggu reaksi apapun
lagi, Dani mendekati wajah Miki. Miki hanya mematung. Dani menundukkan badannya kemudian
dirapatkannya dagunya di bahu Miki. Bibirnya begitu dekat dengan telinga Miki. Selama beberapa detik,
mereka berdiam dalam posisi seperti itu. Dalam otak keduanya sedang berkecamuk berbagai pikiran dan
pertanyaan. Terselip dalam angan mereka hayalan dan ingatan. Ingatan tentang kebersamaan mereka di
tengah perasaan yang tidak karuan.
“Miki… I Love you.” bisik Dani tepat di telinga kiri Miki.
Miki hanya bisa terus mematung mendengar pernyataan spontan itu. Matanya kosong dan wajahnya
tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia sungguh terkejut mendengarkan pernyataan tiba-tiba tersebut.
Berbagai peristiwa terus terjadi silih berganti dalam hidupnya. Perasaan yang ada dalam dirinya
menderu dan bergejolak. Dani terus menatap Miki sambil berjanji dalam hati bahwa ia akan menjagai
gadis ini, menggantikan posisi Mom dan GrandMa-nya.
Sewaktu berjalan ke rumah Miki, Dani menyadari sesuatu yang mengganjal di tangan Miki ketika ia
membantu gadis itu menyebrangi jalan.
“Miki itu…”
“Oh ini?” Miki menjulurkan tangannya. Di pergelangan tangannya terlilit dua gelang bermotif etnik. “
Ini gelang kenang-kenangan waktu Miki di Jakarta. Ini.. yang dari Dani, yang ini dari Andre.” Miki
menjelaskan sambil mengayun-ayun pergelangan tangannya. Dani sendiri terus memandangi gelang itu
sambil teringat perkataan Andre padanya.
“Oya Dan, masih ingat gak waktu Miki hilang dan kamu nyusul di taman itu?” tanya Miki membuka
pembicaraannya dengan Dani.
133 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Aha.” jawab Dani.
“Waktu itu paginya aku sempat nangis lho di sekolah kamu. Miki nangis gara-gara Andre ngasih gelang
yang sama dengan Dani. Miki sedih karena akan segera ninggalin Jakarta.”
“….”
“But I’m happy now. Because you are beside me.”
Salju turun seperti menghiasi senyuman Miki ketika ia telah menyelesaikan kalimatnya. Dani terpesona
akan keindahan sore itu. Bukan hanya karena indahnya salju yang menari di atas udara, tapi juga karena
indahnya senyuman gadis yang sedang berdiri dihadapannya.
Chapter 12. Strawberry Please
Jakarta, Dua tahun kemudian…
“Pip.. Pip.. new SMS!” Miki yang sedari tadi tidur-tiduran sendiri di kamarnya akhrinya
terhenyak oleh bunyi yang berasal dari ponselnya tersebut. Ia pun segera bangkit. Sinar matahari yang
134 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
cerah masuk melalui jendela kamarnya yang bernuansa merah jambu menyala. Musim panas di
Australia selalu membuat Miki ingin lama bersantai di kamarnya sambil membaca buku-buku
koleksinya. Dilihat Miki tombol ‘Option’ yang tertera diponselnya. Muncul tulisan baru di layar tersebut
‘Read SMS?’ Ditekannya tombol yes. Pip…
Sejenak tersungging senyum tipis di bibir Miki.
From: Dani_yummy
Gud Mornin’, I’ve pray 4 you
today.
For such a beautifull angel...
Di sebuha café di belahan benua lain siang itu, terdengar suara nada ponsel berbunyi dengan
nada dering sebuah lagu lawas yang masih kerap diperdengarkan.
It was destany’s game
For when love finally came on..
I rush in line
135 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Only to..
Pip… sebuah tangan menekan tombol di layar ponsel sehingga membuat lagu ‘Beautiful Girl’
yang menjadi nada dering pesan masuk di ponsel itu terhenti. Tertulis dalam layar:
From: Luvly Milcy Daniella
Can’t say a word,
Just…
Dani your’re so yummy like an
ice cream
Dani tersenyum, ditutupnya flip ponselnya. Dilanjutkannya menikmati hidangan yang tersaji di
atas meja dalam café itu.
“Dari siapa Dan?” tanya seorang gadis yang duduk di sampingnya dengan muka penasaran.
“Sepupu gue Chik,” jawab Dani dengan senyum lebar “..namanya, Miki.”
“Oh Miki ya? Apa kabar dia?” tanya Friska dengan berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
“Baik.”
Siang itu Dani sedang bersama dengan teman-teman sekelas lainnya sedang mengadakan reuni.
Dani duduk di sebelah Friska. Keduanya menunggu kedatangan teman yang lain, terutama Joe. Dani dan
136 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Joe cukup sering bertemu semenjak berada di jenjang kuliah. Keduanya mengambil universitas negeri
yang sama dan jurusan yang sama. Kebetulan pula keduanya lulus di pilihan tersebut. Sementara Friska
atas saran ibundanya, ia memilih untuk kuliah di jurusan design sebuah universitas swasta di negeri Jiran
dan ia memang berhasil mendapatkannya.
“Udah setahun ya Chik, lo gak pernah balik. Akhirnya ketemu juga.” ujar Dani sambil mengucek-
ngucek rambut Friska.
“Iya, lo juga jarang ngubungin sih.” balas Friska sambil berusaha melepaskan dirinya dari tangan jahil
Dani.
“Ahahaha.. tapi gue kangen kok ama lo.” ucap Dani jujur. Seperti biasa Dani selalu berbicara apa
adanya dan spontan.
“Lo gak berubah ya Dan?” Friska berbalik melototi Dani.
Kangen samaku? Dani kangen samaku? Benar kah itu? Udah setahun ya? Waktu yang cukup lama buat
bisa ketemu Dani lagi, Friska berbicara dalam hatinya.
Ingatan Friska kini terbuai peristiwa-peristiwa yang pernah dilewatinya dengan teman-teman sekelasnya
selama tiga tahun dulu dan terutama dengan Dani. Tidak dapat terlupakannya peristiwa itu. Ketika takdir
mempertemukannya dengan seorang pria yang hingga kini memiliki suatu tempat di hatinya. Pria yang
bernama lengkap Daniel Hardika Richardo.
Friska kemudian terbayang pertemuan pertamanya dengan Dani. Waktu itu mereka masih kelas satu
SMU dan Friska belum begitu dekat dengan Dani. Mereka berdua hanya sesekali ngoborol, itupun kalau
ada keperluan yang berhubungan dengan inventaris kelas. Hari itu ada pertandingan three on three di
sekolah. Dani ditunjuk mewakili kelas soalnya anak-anak klub basket sudah pada tahu kalau Dani pintar
main basket meskipun ia tidak bergabung dalam eskul basket di SMU. Pasalnya di SMP-nya dulu –yang
137 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
masih dalam satu yayasan dengan SMU mereka- , Dani sudah terkenal jago main basket. Semacam MVP
player lah istilahnya.
Seperti yang sudah terduga, kelas mereka menang telak. Seusai menonton pertandingan, Friska
baru ingat kalau dompetnya ketinggalan di kelas. Friska pun berlari ke kelas dan berusaha mencari,
namun tidak ketemu. Semakin lama Friska mencari, ia pun semakin gelisah. Saat itulah Dani masuk ke
kelas untuk mengambil tasnya yang sengaja ditinggalkan di bangku kelas. Melihat Friska dengan
eskpresi pucat, Dani segera bertanya kepadanya. Akhrinya Dani rela bela-belain gak ikutan timnya
ngerayain kemenangan agar dapat membantu Friska mencari dompetnya yang hilang. Ternyata walau
sudah susah payah dibantu Dani, dompet Friska tetap gak ketemu juga. Friska nangis sejadi-jadinya,
soalnya di dalam dompet itu ada uang serta kartu identitas yang penting bagi Friska. Dani langsung
sewot begitu melihat Friska menangis. Dengan penuh rasa canggung, ia berusaha sebisanya menghibur.
“Udah.. udah jangan nangis donk! Uang kan masih bisa diganti. Soal kartu identitas ntar masih
bisa di urus kok. Jangan nangis ya?” pintanya. Namun ternyata rayuan seperti itu tidak bisa
menghentikan tangisannya Friska. Sebaliknya, isak Friska malah semakin menjadi-jadi.
“Ya udah, udah gue antarin pulang gimana?” tawarnya. Namun Friska tetap menangis terisak.
“Gue beliin es krim deh!” tawar Dani lagi. Friska terdiam.
“Es krim?” Friska bertanya keheranan.
“He-eh. Sebentar ya!” Dan seketika itu juga Dani beranjak dari bangku taman tempat mereka sedari tadi
duduk dan merenung. Dani pun berlari sekencang mungkin.
“ Nih…gue beli dua. Satu sama lo.” tawar Dani sekembalinya ke bangku taman tersebut sambil
memberikan secorong es krim rasa Vanilla. Sementara yang rasa Coklat dinikmatinya sendiri. Es krim
ternyata cukup ampuh untuk meredam tangisan para gadis. Saat itu juga tangis Friska pun terhenti.
138 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Mereka berdua akhrinya mengobrol sambil menjilati es krim. Senja itu para pemain maupun suporter
sudah pada berpulangan. Hanya tinggal beberapa murid yang sedang sibuk membersihkan sisa-sisa
keriuhan lapangan tadi siang.
“Eh, buruan tuh makan es krim lo sebelum meleleh.” Dani menyelak di tengah-tengah pembicaraan.
“Eh iya. Meleleh neh, habisnya sorenya terik sih.”
“Iya, dampak global warming ya?” canda Dani dan ia pun tertawa lepas. Friska memperhatikan keringat
Dani yang mengucur dari atas wajahnya. Dani bukan hanya pintar main basket. Dia baik, ramah dan
humoris. Saat itulah Friska merasa pertama kali jatuh cinta dengan Dani.
“Lo mesen es-krim nya gede banget tuh. Extra large ya? curang!”
“Hehehe..” Dani cengar-cengir saja mendengar protes Friska.
“Es krim Coklat, lo suka ya?” tanya Friska lagi.
“He-eh.” jawab Dani disela-sela menjilati es-krimnya.“Dulu gue dan sepupu gue sering dibeliin es krim
ama bokap nyokap. Selalunya gue dibeliin rasa Coklat terus sepupu gue yang rasa Vanilla. Mungkin
karena kulit gue item sementara sepupu gue putih ya? Hehehe..” canda Dani.
“Gak nyambung kali!” ledek Friska. “Lagian lo gak item-item amat.” lanjutnya.
“Sepupu gue paling suka es krim, soalnya dia cengeng,” Dani masih melanjutkan ceritanya
tentang sepupunya “Jadi, satu-satunya cara meredam tangisannya ya dengan ngebeliin dia es-krim.”
Friska membisu dan terus menghayati cerita Dani.
“Sama kayak elo tuh!” ledek Dani menyambungkan ceritanya.
“Ahahaha..” keduanya pun tertawa berbarengan.
“Eh, ngomong-ngomong nama lo siapa? Kalau gak salah Chika ya?” tanya Dani tanpa merasa
bersalah.
“Hah? Nama gue Friska!” Friska membenarkan.
139 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Oh Friska ya? Gue kira Chika, tapi gue rasa lebih bagus Chika.“ ujar Dani seolah berkata
sendiri sambil menganguk-anggukkan kepalanya.
“Chik… Chik… Chika...” Panggilan Dani yang lembut akhirnya menyadarkan Friska dari
lamunannya. “Chika, lo tunggu disini ya? Gue mau beli es krim dulu.” Segera setelah itu Dani beranjak
bangkit menuju ke arah counter es krim.
“Tunggu Dan!” teriak Friska mencegat Dani. Secara tidak sadar, Friska ikut menarik lengan
Dani sebelum Dani sempat beranjak jauh. Selama beberapa detik mereka berdua mematung dalam
posisinya.
“Napa Chik?” tanya Dani dengan wajah keheranan.
“Em…. gue es krim yang rasa Stroberi aja ya?” pinta Friska. Selama beberapa detik, Dani
tertegun mendengar pernyataan itu.
“OK.” jawab Dani akhirnya dengan nada riang. Sambil tersenyum ia langsung beranjak dari
tempat duduk mereka menuju ke arah counter es krim yang berada di seberang meja.
Dani merindukanku? Aku ragu akan hal itu. Friska bergelut dalam hati. Aku pikir, satu-satunya
orang yang dirindukannya hanya… Miki.
“Ngomong-ngomong Dan, apa kabar dengan sepupu lo yang model itu?” tanya seseorang
mantan teman kelas mereka sekembalinya Dani dari counter es-krim. Ia akhirnya hanya membelikan
satu untuk Friska. Mungkin karena café itu gak menjual yang rasa Coklat.
“Uhhuk.” Dani tersentak ketika salah satu teman sekelasnya menanyakan pertanyaan sensitif itu
padanya.
“Maksud lo Miki?” tanya Dani memastikan setelah meletakkan kembali gelasnya ke atas meja.
“Kalau gak salah namanya Milcy Daniella kan?” tanya yang lainnya.
140 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Iya, kemaren gue liat fotonya di majalah yang di bawa nyokap gue dari Aussie. Tenar juga ya
dia?”
“Iya.. iya.. asyik juga ya kalau jadian ama cewek indon gitu. Model lagi.” celoteh yang lainnya
lagi.
“Emang sepupu lo tu udah punya pacar belum, Dan?” tanya salah seorang cowok yang sedari
tadi hanya diam di sudut café.
“Uhhuk-uhuk.” Untuk kedua kalinya Dani tersentak, kali ini batuknya lebih keras.
Pesta reuni berlangsung dengan penuh warna. Begitu banyak kenangan manis masa SMU yang kalaupun
terus diceritakan tidak akan habisnya. Akhirnya waktu memang selalu menjadi pemisah setiap
pertemuan. Pesta berakhir meninggalkan tumpukan piring dan gelas yang berantakan di atas meja.
Gerombolan orang itu berjalan melalui pintu depan café. Orang-orang dalam gerombolan saling tertawa
dan melambai-lambai pada yang lainnya. Hanya Friska satu-satunya gadis yang menatap kosong pada
sesosok punggung pria. Ditatapnya lekat-lekat Dani dari belakang. Sampai kapanpun tidak pernah
kumiliki, pikirnya. Tiba-tiba sebuah suara terdengung tapat ditelinga, suara serak milik…. Andre.
“Masih suka samanya?”
“A..” Friska tidak dapat berkata apapun mendengar pertanyaan Andre ini. Sebenarnya bukan hanya
pertanyaan Andre yang membuat Friska terkejut, namun juga perawakannya. Andre terlihat begitu
berbeda sekarang. Ia terlihat lebih tinggi dan jauh lebih dewasa, apalagi dengan mantel kulit berwarna
hitam yang dipakaikannya saat itu. Bila diperhatikan lebih dekat, otot-otot badan Andre terlihat lebih
berbentuk. Ditambah dengan rahangnya yang begitu kekar, Andre benar-benar tampak gagah.
“A.... darimana lu tahu?” tanya Friska berusaha menghilangkan kekagumannya pada Andre. Andre
mungkin bukan salah satu dari antara teman sekelas Friska yang mengadakan reuni hari itu, tapi entah
141 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
kenapa Andre ada di sana. Mungkin karena di undang oleh seorang teman sekelas Friska yang cukup
dekat dengan Andre.
“Mau tahu rahasia?” tanya Andre dengan tatapan menggoda pada Friska.
Malam ini Dani pulang ke rumah dengan perasaan yang berwarna-warni. Pikirannya dipenuhi
ingatan akan kenangan SMU. Tersenyum ia mengingat semua kenakalannya dulu dan semua kelucuan
masa SMU. Diingatnya lagi pengalaman-pengalaman manisnya, juga perasaannya. Perasaannya
sewaktu pertama kali diterima di sekolah itu, sewaktu pertama sekali bertemu kedua sahabatnya, Joe dan
Friska, sewaktu kampanya pemilihan OSIS, sewaktu ia tepilih jadi ketua OSIS, juga sewaktu Miki
pertama kali datang ke sekolahnya.
Miki… apa kabar gadis itu di sana? Aku rindu padanya… Waktu serasa begitu lama berputar
tanpa dirinya, ucap Dani dalam hati.
Dani segera bangkit dari tempat tidurnya dan menghidupkan layar komputernya. Segera setelah
itu dia sibuk memijiti tombol keyboard di komputernya.
BlackWhite_413: Have u slept, sweet angel?
Dani_elle: I’m waiting on you…
BlackWhite_413: I can say nothing.
Dani_elle: How’s the reunion?
BlackWhite_413: Fun. Aku terkenang semuanya terutama…
Dani_elle: What?
BlackWhite_413: You!
142 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Dani_elle: Why me? You’re doing reunion whif ur friend, remember?
BlackWhite_413: You’re everywhere in me, remember?
Dani_elle: (icon malu)
BlackWhite_413: Anyway, have you decided?
Dani_elle: About what?
BlackWhite_413: Jangan suka menghindari masalah Ki. Aku tahu kamu bingung,
tapi kamu harus bijak.
Dani_elle: Miki mau college di Indonesia.
BlackWhite_413: Aku juga ingin banget kamu di sini Ki. Bisa kulihatin terus.
Dani_elle: Terus kita main di rumah tua itu kan ,Dan?
BlackWhite_413: Iya, kayak sepuluh tahun lalu. Tapi….
Dani_elle: Yeah, I know.
BlackWhite_413: Gak mungkin ninggalin Om Rio di sana sendiri kan?
Dani_elle: Iya. Papa juga gak mau pindah lagi. Dia…. udah terlampau cinta sama
semua kenangan Mom.
BlackWhite_413:Kenangan?
Dani_elle: Iya, kenangan.
BlackWhite_413: Miki, kamu gak usah kesini. Biar aku saja yang kesana.
Dani_elle: Don’t say that u would like to take the last flight to here?
BlackWhite_413: Bukan, bukan itu. Hehehe…
Dani_ elle: So what?
BlackWhite_413: Ki, aku pengen kuliah serius biar bisa ngelanjut ke sana.
Dani_elle: GREAT!
143 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
BlackWhite_ 413: Ato mungkin aku boleh berharap dapat scholarship ke Oz.
Dani_elle: Greatest idea!!! I’ll pray for U.. (icon semyum malaikat)
BlackWhite_413: (icon senyum berjuang)
BlackWhite_413: Eh tahu gak Ki, aku sekarang sedang mengetik di salah satu
kamar rumah tua itu lho!
Dani_elle: Woa…
BlackWhite_413: Coba tebak kamar mana?
Dani_elle: Pasti kamar yang di lantai dua, yang menghadap ke halaman rumah.
BlackWhite_413: Weitz. Aku sedang gak pakai webcam lho, tahu dari mana?
Dani_elle: Feeling. Hehehe..
BlackWhite_413: Woman feelings never get wrong.
Dani_ elle: Itu kamar tempat kita sering bermain dulu kan?
BlackWhite_413:: hehehe… masih ingat?
Dani_elle: Yeah, I won’t forget it. Kenangan…
BlackWhite_ 413: (icon tertawa lucu)
Dani_elle: (icon muka merah)
BlackWhite_413: Miki…
BlackWhite_413: Seberapa penting kenangan untukmu?
Dani_elle: Hmm…
Dani_elle: Dani, bagi Miki kenangan waktu kamu ngasih Miki ice-cream gak ternilai
harganya.
144 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Dani_elle: Mungkin kalau aku suatu hari mendapatkan kecelakaan dan tiba-tiba
amnesia, terus aku akan lupa cara mengikat tali sepatu tapi aku gak akan lupa
kenagan kita.
BlackWhite_ 413:Hehehe… you just making me wanna take the last flight than go
there to your place.
Dani_elle: Ups, you can’t. Ingat besok ada kuliah!
BlackWhite_413: Iya. Kamu besok juga harus sekolah kan?
Dani_elle: Yup and I’m already feel sleepy.
BlackWhite_413: OK, sleep tight then.
Dani_elle: Nite, Angel will come to guide you tonight.
BlackWhite_413: I love U
Pip… (Disconnected)
Sementara itu di tempat lain yang tidak jauh dari café reuni tersebut di bawah langit malam
yang sama…
“Serius masih mau pesan lagi?” tanya Andre pada sesosok gadis manis yang duduk di depannya.
“Loh? Yang tadi nantangin lomba makan terbanyak siapa?” Friska kembali membalas
pertanyaan Andre.
“Iya deh gue nyerah, gue nyerah. Gue enggak tahan lagi udah kekenyangan,” kata Andre sambil
mengelus-elus perutnya. Lu emang gak terkalahkan, Fris. Padahal baru aja kita makan di café. Emang lu
jagoan makan deh.” lanjutnya sambil mengucek-ucek rambut Friska.
145 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Friska dengan pelan menepis tangan Andre darinya.
“Nah, sekarang buruan kasi tahu rahasianya apa? Gue kan udah menang.” tagih Friska
“Serius lu udah siap dengarnya?”
“Iya, apa? Soal perasaan gue kan?” tanya Friska penasaraan.
“Bukan, bukan perasaan elu.”
“Jadi?” Friska mengernyitkan dahinya.
“Miki.” jawab Andre singkat. Seketika itu juga Friska terdiam dan terus menatap Andre. Nama
itu begitu sensitif baginya.
“Yah, berhubung kita kecil kemungkinan bakal ketemu dia lagi. Lagian gue kira ini bukan
rahasia besar karena sepertinya si tokoh utama sudah tahu, makanya gue ceritain aja ama lo biar lo gak
terus gelap mata.”
“Kenapa?” tanya Friska dengan nada yang lebih rendah dari yang biasa disuarakannya.
“Miki sebenernya udah naksir Dani dari dulu Fris, dari semenjak ia kecil. Dia udah suka Dani
jauh sebelum Dani nyatakan perasaannya ke Miki. Hanya saja dia memang gadis yang pintar yang bisa
nyembunyiin perasaannya. Cinta mereka memang aneh karena mereka sepupuan. Tapi bukannya
beberapa suku di Indonesia malah menganjurkan pernikahan dengan sepupu sedarah, Fris?”
Firska terdiam dengan tatapan yang kosong, diresapinya semua perkataan Andre.
“Friska…” panggil Andre lagi berusaha mendapatkan perhatian Friska. Seketika itu juga Friska
melihat ke arah Andre, terlihat matanya sayu dan berkaca-kaca seperti berusaha menahan tangis.
Andre menjadi kalang kabut mendapati ekspresi Friska yang seperti itu. Ia tidak menyangka
perkataannya barusan akan berefek begitu besar pada Friska.
“Gak papa kok Fris, masih ada gue.” bujuk Andre sambil menepuk-nepuk kepala Friska. Segera
Friska menangis sejadi-jadinya dipelukan Andre. Beberapa orang yang sedang asyik duduk makan di
146 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
warung nasi Padang itu spontan melihat ke arah mereka berdua. Andre hanya dapat tersenyum segan
kepada berpasang-pasang mata yang keheranan itu.
Richard berlari kecil menyusuri jalan kecil yang berkerikil itu. Tidak bisa
dihilangkannya senyuman yang membuat lesung pipitnya terpahat di antara garis-
garis wajahnya. Sudah setahun berlalu dan dia sangat merindukan adiknya. Rio
adiknya akan kembali dari Australia hari ini. Perasaan dalam dirinya meluap
menantikan saudara yang sesungguhnya tidak punya hubungan darah dengannya
itu. Beberapa orang yang berlewatan dan melewatinya menampakkan wajah yang
sedikit heran padanya. Dilirik Richard sekilas pada arloji hitamnya. Jarum pendek
menunjukkan angka tiga sementara jarum panjang tepat di angka dua belas.
Diperkirakan Rio akan datang ke rumah pukul tiga sore. Richard berusaha
menepati janjinya untuk menyambut Rio dengan meriah di rumah. Setibanya di
depan rumah yang bernomor 413 itu, senyumnya langsung merekah. Ia berhenti
sejenak untuk menormalkan nafasnya yang terengah-engah. Matanya menatap
lembut ke atas, ke arah palang rumah yang terpaku kuat. Setelah menyakinkan
hati, perlahan-lahan ia mulai menjajaki kakinya memasuki setiap inci dari rumah
kuno tersebut. Didalam rumah tampak sunyi. Sebentar Richard mengernyitkan
dahinya menyadari keganjilan suasana ini. Kemana semua orang? Beberapa saat
kemudian, Richard tersadar kemungkinan Rio belum tiba di rumah. Ia kemudian
147 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
berjalan menuju lorong lain dalam rumah. Kemudian masuk menuju ke halaman
samping. Disana ditemukannya Mbok Anik sedang memotong rumput.
“Mbok…” panggilnya lembut.
“Ya?” wanita tua berusia sekitar 57 tahun itu menjawab setengah terkejut.
“Eh Mas, ada apa?”
“Bapak mana?”
“Oh, keluar bentar Mas katanya.”
“Ngapain Mbok, jemput Rio?”
“Iya Mas, tapi sepertinya udah keduluan. Mas Rionya udah di dalem.”
“Oh ya?” Richard menunjukkan ekspresi setengah senang dan setengah
terkejut mendengar jawaban dari Mbok Anik.
“Dimana sekarang?” tanya Richard penasaran.
“Tadi sedang di kamarnya Mas terus saya sempat lihat Mas Rio sedang di
kamar Mas Richard juga. Kalau sekarang saya kurang tahu juga.” jawab Mbok Anik
dengan alis yang dikerutkan.
“Oh, iya Mbok. Makasih ya Mbok.” jawab Richard sekenanya dan dengan
segera mungkin ia masuk ke dalam rumah kembali.
“Rio..” suara Richard yang serak namun ramah menggema di dinding-
dinding ruangan rumah tersebut.
“Rio…” panggilnya lagi lebih kuat dan panjang.
Ia berjalan ke arah loteng dengan ditemani suara deritan kayu. Setelah itu ia
membuka pintu kamarnya dan kamar sebelahnya yang tidak lain adalah kamar
Rio, namun ia tidak menemukan apapun. Ia berjalan menuruni anak-anak tangga
148 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
yang kembali berderit-derit. Langkahnya dipercepat dan isi kepalanya berputar.
Dimana Rio? Pikirnya. Dengan digerakkan oleh intuisinya, ia kemudian berjalan
melewati ruang tamu dan melewati ruangan lainnya dalam rumah itu yang diseka
oleh kayu-kayu tipis nan artistik. Setelah melewati rangkainya kursi-kursi yang
dibentangkan berjajar, akhirnya ia sampai di ruang makan. Di situlah
ditemukannya sesorang yang sedari tadi dicari-carinya.
“Rio?” sambutnya riang. Ia berjalan mendekat dan hendak memeluk adiknya
tersebut. Namun sekilas kemudian ia pun tersadar pada keganjilan yang terjadi.
Dengan segera mungkin Rio mundur seperti menciptakan semacam pertahanan
atau berusaha menghindari Richard.
“Rio?” panggil Richard lagi, namun suaranya lebih terdengar seperti sebuah
bisikan.
Akhirnya Richard sadar apa sulut dari keganjilan ini. Pandangannya jatuh
pada secarik surat merah jambu. Surat yang sangat dikenalinya karena selama ini
tersimpan rapi di dalam mejanya. Surat itu satu-satunya surat yang tertinggal
untuknya dari Michelle. Pikiran Richard tiba-tiba saja menjadi buntu, lidahnya kelu,
sekujur tubuhnya kaku. Tapi ia harus berbuat sesuatu untuk menghindari hal buruk
yang diduganya akan terjadi selanjutnya.
“Rio?” suara Richard memanggil lagi dan kali ini lebih terdengar seperti
sebuah permohonan. Ia hendak saja ingin menyampaikan sebuah kalimat
penjelasan namun terhenti karena tiba-tiba sebuah bundaran putih dari keramik
telah melayang ke arah dirinya lalu berdentum keras ketika bertubrukan dengan
dinding tepat di sebelahnya berdiri.
149 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Sore itu di selatan benua terkecil di dunia, seorang gadis berambut panjang sedang tersenyum
sendiri memandangi daun berguguran dari atas ayunannya. Di perhatikannnya satu per satu daun-daun
yang berguguran di halaman itu. Suasana hati yang gembira itu datang entah karena hari ini udara
memang cerah atau karena ia teringat pada sesosok pria yang berada di benua lain yang dengan kata-
kata sederhana selalu bisa membuat Miki tersenyum. Tiba-tiba Miki menghentikan gerakan ayunannya.
Di ambilnya sebuah surat yang sedari tadi diselipkannya di dalam saku jinsnya. Surat tersebut tidak
sengaja dipungutnya sewaktu hendak membersihkan gudang yang dulu pernah di pakai menjadi kamar
Ibunya. Saat ini Miki memang sedang berada di kamar GrandMa-nya, di pinggiran kota yang berjarak
beberapa km dari Melbourne. Perlahan-lahan dibukakannya surat tua yang masih utuh itu agar tidak
lecek. Di sapunya isi surat itu dengan matanya yang biru. Tidak beberapa detik kemudian ia melototkan
matanya. Miki begitu terkejutnya mendapati kalimat-kalimat dalam surat itu. Dibacanya lagi surat itu
dari awal berharap ia melakukan kesalahan membaca. Tapi tidak, penglihatannya tidak salah, kalimat
dalam surat itu juga tidak ada yang salah. Yang salah adalah….
Seketika itu juga Miki bergidik, gemetar. Ditutupkannya mulutnya dengan kedua tangannya, segera ia
bangkit dari ayunananya itu. Dengan kaki yang bergetar ia berusaha berjalan memasuki rumah yang
sudah tua itu. Meskipun tanpa suara namun ia menangis. Hal itu bisa bisa tampak dari bahunya yang
naik turun. Perlahan daun-daun yang berguguran itu mulai tampak buruk dan suram, sama sekali tidak
indah seperti tadi.
150 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 13. Old Letter
Sudah hampir dua minggu Miki sama sekali tidak bisa di hubungin. Padahal Dani merasa baru
saja kemaren mereka chatting. Namun tiba-tiba Miki tidak bisa dihubungin kemanapun. Ponselnya gak
pernah tersambung, begitu pula di internet, Miki tidak pernah on-line. Dani jadi kalang kabut. Pasalnya
Dani tidak pernah lepas berhubungan dengan Miki. Mungkin pernah karena berbagai kesibukannya Dani
tidak menghubungi Miki seminggu, tapi kali ini sudah hampir dua minggu! Dani jadi pusing
memikirkannya. Bahkan ia ikut membawa perasaan uring-uringan ke kampus.
Hari ini Dani pulang dengan wajah lesu dan badan kuyu. Ia tidak pulang ke rumahnya yang
berada di kompleks itu. Sudah semenjak kuliah ia bersama keluarganya tinggal di rumah tua yang telah
direnovasi tersebut. Persoalannya kampus Dani serta tempat kerja Papa yang baru lebih dekat dengan
rumah tua itu daripada rumah mereka yang di kompleks. Sebenarnya ada alasan lain juga mengapa Dani
memilih untuk tinggal di rumah tua itu. Sesungguhnya ia ingin lebih dekat dengan kenangan masa
lalunya.
Kiiikt… pintu depan rumah tua itu mendesis ketika Dani membukanya. Begitu berada di dalam,
Dani tidak langsung masuk ke dalam kamar, namun ia menghempaskan badannya di atas sofa ruang
tamu terlebih dahulu. Lama ia berpikir sambil memejamkan matanya sebelum akhirnya ia bangkit
berdiri. Dia berjalan sambil mengamati isi rumah tersebut. Rumah ini bisa dibilang rumah dengan mode
klasik, terutama bila tanpa perabotan yang memberikan kesan modern pada rumah ini. Masih banyak sisi
dalam rumah ini yang masih asli dan tidak direnovasi karena masih bagus bentuknya: tangga-tangganya
151 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
yang masih utuh serta berbagai sisi lain dalam rumah itu. Dani melanjutkan dengan melangkahkan kaki
menjejali setiap sudut dalam rumah itu. Dibiarkannya kakinya berjalan mengikuti perasaannya.
Pikirannya terkenang akan masa lalu. Dahulu ia sering berlari-lari di sini. Ia tidak sendirian, namun
bersama Miki. Dia dan Miki yang masih kecil sering berlari-lari di tangga ini, berkejar-kejaran sambil
tertawa. Dani tersenyum sendiri. Dalam pandangan Dani, kenangan itu begitu nyata di depanya.
Terlihat senyuman manis Miki kecil begitu indah. Sinar matahari yang menyusup lewat jendela
memantulkan wajah bulat Miki. Dani melangkahkan kakinya ke atas tangga mengikuti langkah lari dua
anak kecil dalam bayangannya yang tidak lain adalah dia sendiri dan Miki. Ia melangkah kaki satu
persatu melewati anak tangga. Pelan-pelan dihitungnya jumlah anak tangga tersebut, seperti yang sering
dilakukannya dengan Miki dulu. Tidak lama ia telah tiba diatas. Kemudian dibelokkannya kakinya
melewati ruang kamarnya. Sesampainya ia di satu kamar di ujung loteng, ia pun terdiam. Bayangan
kedua bocah tadi tiba-tiba lenyap bersama terik sinar matahari yang semakin menyilaukan
pandangannya. Kamar itu jarang disentuhnya. Bahkan semenjak kepindahannya kembali ke rumah ini,
dia sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Kamar itu adalah gudang tempat menyimpan segala
perabotan lama serta barang-barang kuno lainnya. Dani memang tidak pernah menginjakkan kaki lagi ke
sana, namun ia ingat bahwa ia dan Miki sering bermain di sana dulu. Dengan sedikit rasa ragu, Dani
membukaan engsel pintu yang telah berkarat itu.
Kreak.. kerek… kreak.. bunyinya begitu ngilu. Engsel itu cukup sulit di buka berhubung orang-
orang di rumah itu juga jarang memasukinya. Bunyi mendesis terus keluar dari engsel pintu itu hingga
Dani berhasil membukakannya. Pelan-pelan Dani melangkahkan kakinya ke dalam. Begitu banyak debu
dan sarang laba-laba di sana. Terlihat benar bahwa kamar ini jarang didatangi. Mungkin pernah
beberapa kali sewaktu memindahkan barang-barang yang ingin direnovasi ke dalam. Akan tetapi,
selama beberapa bulan belakangan ini sudah tidak pernah lagi orang masuk ke dalam sehingga semua
152 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
debu menumpuk di dalamnya. Semakin jauh Dani melangkahkan kakinya, semakin besar rasa
penasaranya pada isi ruangan tersebut. Semua perabot-perabot tua di dalam ini memiliki kenangan
sendiri pada dirinya. Dirabanya satu persatu perabotan tua yang berdebu tersebut. Jari-jari tangannya
kini telah hitam penuh dengan debu, begitu pula dengan kakinya yang telanjang. Dani terus
melangkahkan kakinya hingga tiba di suatu sudut. Ia melihat tumpukan kardus yang berada di situ. Di
dalam kardus tersebut terdapat berbagai jenis barang. Mama Dani memang tidak suka membuang segala
sesuatunya. Ia bahkan memiliki kebiasaan menyimpan barang-barang, meskipun barang tersebut sudah
rusak. Menurutnya barang-barang tersebut memiliki kenangan yang berbeda-beda yang tidak boleh
dilupakan.
Dani akhirnya mengambil kardus-kardus tersebut dan pelan-pelan dibukanya. Kardus yang
pertama berisi tumpukan mainan: robot-robotan, miniatur rumah serta pistol-pistolan yang semuanya
sudah rusak. Di ambilnya kardus satu lagi. Kardus ini berisi buku-buku tua. Kemungkinan besar ini
adalah buku kuliah Papa dan Mama. Soalnya Dani sempat melihat nama lengkap orangtuanya berikut
nomor mahasiswanya di depan sampul buku-buku tersebut. Di bukanya kardus ketiga. Kardus tersebut
berisi surat-surat lama. Dari perangkonya tertera tanggal pengiriman surat tersebut sekitar hampir dua
puluh tahun yang lalu. Surat-surat itu ada yang masih utuh bersama isinya namun ada juga yang hanya
tinggal amplopnya saja. Dani mengambil sebuah amplop yang berwarna merah jambu. Namun betapa
terkejutnya dia mendapat kata-kata yang tertera dalam amplop tersebut, disana tertulis:
153 | P a g e
To:
Richard H T
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Dibaliknya surat itu dengan segera. Dan disana tertulis…
Diambilnya amplop satu lagi dan… pengirimnya sama!!
Dani agak berdegup ketika membalikkan amplop tersebut dan ternyata sama. Pengirimnya tidak
lain dan tidak bukan adalah Michelle, mendiang ibunda Miki. Kini dengan gerakan cepat Dani
mengucek-ucek isi kardus tersebut. Memang ada surat dari orang lain yang di tujukan pada Papa Dani.
Namun kenapa semua surat yang dikirmkan dari Mama Miki tujuannya adalah Papaku, pikir Dani. Ia
154 | P a g e
From:
Michelle Laura
Dear:
Richard H T
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
terdiam sejenak. Keringat menetes lewat dahinya dalam ruangan yang panas itu. Namun Dani tidak
peduli lagi dengan ruangan yang panas itu. Ia sibuk memikirkan segala kemungkinan yang lahir dari
amplop tersebut. Akhirnya dengan tangan yang sedikit gemetar, Dani mengambil sepucuk amplop yang
masih berisi. Disitu tertulis bahwa pengirmnya adalah Michelle dan di tujukan pada Richard. Dani
menelan ludah sebentar sebelum ia berani membacanya. Dibukanya dan sejenak ia mengernyitkan dahi.
Ternyata isinya bukan dari Michelle. Dicari-carinya lagi surat yang mungkin ada tulisan Michelle.
Diraba-rabanya seluruh surat yang ada. Hampir sekitar lima belas menit ia berjongkok dalam posisi
tersebut, namun hasilnya nihil. Dengan wajah pucat, Dani bangkit dari posisinya. Di langkahkannya
kakinya yang lemas ke arah kamarnya. Sesampainya di kamar, dibukanya pintu kamarnya dan segera ia
merebahkan tubuhnya di sana. Matanya terpejam namun tidak dengan otaknya. Begitu banyak hal yang
dipikirkannya saat itu. Tanpa terasa mentari telah turun ke ufuk barat.
“Dani… kenapa di kamar terus, Nak? Makan dulu Dan…” teriak Mama dari bawah loteng. Dani
sedikit tergugah ketika mendegar suara Mama. Ia memang sedari tadi menyibukkan diri di kamar
dengan berbagai kegiatan: menulis, main gitar, membaca dalam upaya menghilangkan tanda tanya besar
dalam kepalanya.
“Dani… turun dong, Nak.” pinta Mama lagi dengan berteriak tepat di bawah loteng.
Dani akhirnya menyerah, ia bangit dari meja belajar dan berjalan turun. Tampangnya cukup
berantakan. Rambutnya acak-acakan dan pakaiannya kusut. Ia juga tidak memakai kacamata yang selalu
melekat di wajahnya. Mama yang melihat Dani turun dengan penampilan seperti itu merasa sedikit aneh.
Tidak biasanya Dani kelihatan kusam, karena ia selalu menjaga penampilannya rapi.
“Kamu belum mandi, Dan?”
“Belum Ma.” Jawab Dani sambil menyerbu gorengan yang dihidangkan di atas meja makan
bundar itu.
155 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Mandi dong, Dan. Dari tadi kan udah beraktifitas, entar jadi daki lho.” Mama menasehati
dengan lembut. Ia kemudian berjalan ke arah Dani dan di kucek-kuceknya rambut Dani yang kucel.
“Iya Ma, bentar lagi ya?” Dani berkata dengan suara tertahan, sebab makanan yang ada di
mulutnya belum sepenuhnya ia kunyah.
Setelah itu, Dani kembali menyapu pandangannya ke sekililing ruangan itu. Ia teringat peristiwa
tadi siang. Kemudian ia terpaku pada pesawat telepon yang diletakkan beberapa meter dari ruangan
makan. Tiba-tiba sebuah gagasan mampir di otaknya. Ia pun berjalan menghampiri telepon itu.
Diangkatnya gagang telepon itu dan ia bersiap-siap untuk memijit sebuah nomor telepon yang sudah
dihapalnya.
Kiikt… Tiba-tiba terdengar suara pintu depan dibuka. Dani tidak jadi menekan nomor itu, namun
berkonsentrasi pada orang yang akan menyeludukkan kepalanya dari balik pintu rumah.
“Wah… udah pulang, Pa?” tanya Mama ketika melihat wajah pria itu muncul. Ternyata Papa.
“Iya Ma, diluar gerimis lho.” lapor Papa sambil mengecup kedua pipi Mama yang datang
menghampirinya.
Dani mematung di depan meja telepon. Gagang telepon masih terangkat di tangannya yang satu
lagi. Dani terbayang pada surat-surat yang tadi siang ditemukannya. Dipandanginya terus Papanya
dengan pandangan yang tidak biasanya.
“Mau telepon siapa, Dan?” tanya Papa ketika ia berjalan melewati Dani, masuk menuju ke ruang
dapur. Mama segera menyusul Papa sambil mempersiapkan hidangn malam untuk keluarga.
“Eh... Oh…” Dani segera sadar dari imaginasinya. “Mau telepon Om Rio, Pa.” jawab Dani
berusaha bersikap tenang.
“Om Rio? Buat apa Dan?” tanya Papa lagi. Kali ini Papa telah duduk dengan rapi di meja
makan. Jasnya digantungkannya di salah satu sisi kursi.
156 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Em… enggak Pa. Cuma mau tahu kabar Miki aja.” jawab Dani. Ia tidak jadi menelepon.
Diletakkannya gagang telepon tersebut pada tempatnya.
“Loh, memangnya kamu gak tau ya Dan? Om Rio dan Miki kan sedang di Prancis.”
“Hah?” Dengan nada terkejut Dani merespon pernyataan Papa tersebut.
“Iya, atas undangan GrandPa-nya Miki.”
Dani mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha menangkap perkataan Papanya.
“Aneh ya, Dan. Padahal Miki itu kan pobia naik pesawat terbang semenjak peristiwa kecelakaan
almarhum mamanya. Papa juga lumayan terkejut waktu tahu dua tahun lalu Miki ke sini via pesawat. Ia
kan paling takut pesawat.” cerita Papa sembari melonggarkan tali dasinya.
Mama kemudian ikut menyambungkan pembicaraan dengan tangan yang di penuhi dengan
hidangan makan malam. “Tapi mungkin GrandPa-nya udah kangen banget sama Miki ya? Soalnya
semenjak cerai dengan GrandMa-nya kan GrandPa-nya Miki kembali ke Prancis dan udah lama gak
kembali ke Australi, jadi mungkin sudah lama mereka tidak bertemu.”
“Tapi bukannya GrandPa-nya datang ke pemakaman GrandMa Miki ya Ma?” tanya Papa
mengingatkan.
“Iya, baru dua tahun yang lalu GrandPa-nya baru bisa ketemu lagi dengan Miki setelah lama.
Dari situ katanya GrandPa nya minta Miki ikut ke Prancis bersamanya. Karena cucu-cucu GrandPa-nya
yang lain alias saudara tiri Miki sudah cukup dewasa, jadi gak bisa bareng nemenin GrandPa nya terus.”
“Mungkin selama ini Miki masih berpikir atas tawaran GrandPa itu ya Pa?” Mama menerka-
nerka sambil terus menghidangkan makanan di meja.
Sementara dalam keterkejutan Dani mendengar pembicaraan kedua orangtuanya itu, ia tidak
dapat berkata apapun dan teus mematung dalam posisinya. Ia terus bergulat dalam hati. Miki tinggal di
Prancis? Di Prancis? Jauh sekali. Lebih jauh dari Australia. Mungkin tepat bila Miki memutuskan untuk
157 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
ke Prancis sekarang ini. Mungkin Miki telah memutuskan untuk melanjutkan kulihanya di negara mode
tersebut. Baguslah. Pendidikan di Prancis kan cukup bagus. Apalagi kalau Miki di sana bersama dengan
GrandPa serta keluarganya yang lain. Tapi.. kenapa selama ini Miki tidak cerita padaku? Kenapa begitu
banyak hal tentang Miki tidak aku ketahui. Kenapa waktu chatting dengan Miki kemaren ia tidak jujur
saja bahwa ia ingin kuliah di Prancis? Kenapa harus berpura-pura merasa ingin berada di sisiku? Aku
tidak mengerti, aku tidak mengerti! Dani masih terus bergelut dengan pikirannya.
“Dani, kenapa berdiri di situ terus? Sini kita makan malam yuk.” ajak Mama yang telah siap di
meja makan.
Tanpa memperdulikan perkataan Mama, Dani berlari keatas. Dengan menghentak, ia
melangkahkan kakinya yang berat. Anak-anak tangga yang terbuat dari kayu itu pun berbunyi keras saat
Dani melangkahkan kakinya. Sepeninggalannya, Mama dan Papa hanya bisa melemparkan tatapan
bingung atas kelakuan aneh Dani tersebut.
158 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 14. Love me Not
Hari ini adalah tepat hari ke-15 semenjak Dani benar-benar hilang komunikasi dengan Miki. Dan
memang terlihat bahwa semakin hari ia tampak semakin uring-uringan. Teman-teman sekampus Dani
melihat ada yang berbeda dalam diri Dani. Biasanya ia rajin mencatat dan memperhatikan dosen di
kelas, namun belakangan ia hanya mencoret-coret bukunya dengan gambar yang tidak jelas. Mama dan
Papa pun sama bingungnya. Mereka selalu memperhatikan kelakuan Dani yang ganjil, namun tidak
sekalipun mereka menayakannnya pada Dani. Mereka sadar pasti ada sesuatu yang membuat Dani
gundah dan mereka tidak perlu menanyakannya pada Dani karena mereka yakin Dani dapat
menyelesaikan persoalannya sendiri seperti yang selalu ia lakukan.
Pagi ini Dani hendak berangkat ke kampus ketika Pak Pos yang mengendarai sepeda motor
berhenti tepat di depan rumah Dani. Diselipkannya sebuah surat di kotak yang berada di depan teras
rumah Dani -yang memang di buat untuk menampung surat yang masuk-. Dani tidak langsung
menghiraukan keberadaan surat itu. Setelah ia pamit pada Mama dan Papa, barulah ia berjalan ke luar
menuju pagar. Di sempatkannya sebentar melihat surat yang tergeletak di dalam kotak tersebut dengan
niat untuk mengantarkannya ke dalam rumah. Akan tetapi, Dani sedikit heran begitu menyadari bahwa
orang yang dituju surat itu adalah dirinya sendiri. Ia jarang mendapatkan surat pribadi. Biasanya surat
yang masuk adalah berupa tagihan pulsa ponsel Papa atau berkaitan dengan urusan kantor Papa. Namun
kali ini benar-benar untuk dirinya dan lebih anehnya lagi dalam surat tersebut tidak ada nama
pengirimnya hanya alamat pengirimnya saja. Dani tidak mengetahui alamat rumah siapa itu. Lagipula
alamatnya di... Australia. Hah, Australia? Dani tersadar akan sesuatu. Pikirannya langsung tertuju pada
159 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Miki. Buru-buru disobeknya amplop itu dan dibukakannya. Di dalam amplop itu masih ada amplop
lainnya lagi. Namun amplop yang didalamnya terlihat sudah tua. Dani semakin heran dan bertanya-
tanya dalam hati. Dengan seksama di perhatikannya amplop itu. Dan betapa makin terkejutnya ia begitu
menyadari bahwa alamat pengirim surat yang tertera dalam amplop tua itu adalah rumah no. 413.
Rumah itu tidak lain adalah rumah yang sekarang ditempatinya. Dan yang lebih mengherankan lagi, si
pengirim sendiri adalah… Richard, AYAHNYA! Di balikkannya lagi surat itu dan di bacanya tujuan
surat itu adalah… Michelle, IBU MIKI! Dirasakan Dani jantungnya berdetak semakin kencang.
Tangannya sedikit bergetar. Dalam angannya terbersit berbagai pikiran-pikiran yang mungkin belum
pernah dipikirkannya sebelumnya. Setelah menghirup udara panjang dan menelan ludahnya, ia
memberanikan diri membaca isi surat itu. Dibukakannya surat tua itu dengan hati-hati agar tidak lecek.
Bunyi gemersik terdengar ketika ia membolak-balikkan lipatan surat itu. Di tahannya nafasnya ketika
membaca isi surat itu.
160 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Dear Michele,
Maybe this is the last letter that I send to you. I don’t wanna hurt you or my
brother, Rio. But I also won’t deny that I love u so much. I will always miss you
Babe. Truly I am sincere love you. And I don’t expect anything from you. I do love
you.
Michelle, you should know that it is very hard for me to tell you the truth. It
is as hard as my decision to choose this choice. But in the end I think this is the only
right choice. I will forget you even though I know that I cannot forget all the things
about you for all of my life. In the moment when I write this letter, I realize the
really truth. Love hurts, I am on hurt and I don’t want you to be either being in
hurt. The memory about you is carved deep in my heart that can make me
unconscious of myself. That’s why before all the things becomes so wrong, I chose to
past you. I will start my life without you here. In the place where we are separates
about thousand miles. I hope you do also get your happiness there. The last, I’ m
asking you to take care of my brother because I know that he loves you more than
anything.
Take care of yourself.
With all of my deepest love,
161 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Richard H T
Dani terpaku di depan teras rumahnya, tepat ditengah-tengah pagar, begitu menyelesaikan
kalimat akhir surat tadi. Badannya mengejang dan tangannya masih bergetar. Matanya menatap tajam ke
depan, namun mata itu kosong. Mata itu penuh dengan pikiran-pikiran yang tiba-tiba saja memenuhi
otaknya. Dengan posisi badan yang sama, Dani melangkahkan kakinya ke depan. Entah mengapa kali
itu kakinya terasa begitu berat untuk digerakkan. Dani tidak tahu kemana arah langkah kakinya, tiba-tiba
saja ia lupa bahwa ia hendak pergi ke kampus pagi ini. Angannya melayang entah kemana dan dadanya
terasa begitu sesak.
“Dani, masih di sana?” tiba-tiba Mama menyadarkan Dani dari rasa syoknya. Spontan Dani
membalikkan badannya menghadap ke Mama. Matanya menatap Mama penuh arti. Mungkinkah selama
ini Mama tidak tahu, pikirnya.
“Dani, tadi ada Pak Pos ya? Ada surat dari siapa, Dan?” tanya Mama lagi tanpa curiga. Dani pun
tersadar akan pertanyaan Mama. Pelan-pelan disembunyikkannya surat tadi ke balik pungggungnya.
“Enggak, enggak ada surat kok Ma,” jawabnya berusaha tanpa terlihat ganjil. “Ma, Dani
berangkat ya?” pamitnya dengan nada sebiasa mungkin. Meskipun begitu, masih terlihat kekakuan
dalam ucapan Dani. Apalagi langkah Dani uring-uringan membuat Mama tmabah curiga sehingga
wanita separuh baya ini tidak langsung masuk ke dalam rumah, namun terus memandangi Dani dari
belakang hingga wujud Dani tidak terlihat lagi di persimpangan rumah.
Pagi itu Dani tidak berangkat ke kampus. Ia hanya melangkahkan kakinya tanpa arah. Pikirannya
begitu kusut dan terlalu banyak tanda tanya dalam kepalanya. Tanpa ia sadari, kakinya menuntutnya
suatu tempat. Tanpa terasa ia telah tiba di sebuah taman. Taman yang sangat dikenalinya. Itu adalah
162 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
taman rahasianya dengan Miki. Taman itu mungkin sedikit berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Taman
itu tidak selebar dulu karena banyaknya pembangunan di sana-sini. Beberapa wahana di tambahkan dan
bangku taman itu di cat dengan ornamen warna-warni. Hanya ayunan kayunya saja yang tampak tetap
seperti dulu meskipun dengan cat yang telah dipugari. Dani kemudian duduk di atasnya. Ia berpikir lama
sekali di situ. Sesekali di goyang-goyangkannya ayunan dengan memanfaatkan berat tumbuhnya.
Digoyangkannya perlahan ayunan itu sambil berusaha menenangkan pikirannya. Namun pertanyaan-
pertanyaan tetap tidak berhenti berputar di kepalanya: kenapa Miki mengirimkan itu? Adakah
hubungannya dengan keberangkatannya ke Prancis? Mungkinkah Miki baru membacanya dan merasa
terpukul dengan itu.
Dani pun berkata-kata dalam hatinya. Sejujurnya aku juga merasa terpukul. Selama ini Papa dan
Mama pasangan yang mesra. Bahkan aku berharap kalau kelak menikah aku ingin seperti Papa dan
Mama. Tidak pernah terbersit dalam pikiranku kalau Papa bisa mencintai wanita lain selain Mama. Papa
pernah cerita kalau ia sudah mengenal Mama sejak lama, sejak masih di desa. Aku juga tidak tahu desa
mana yang Papa maksud karena ia tidak pernah cerita panjang lebar tentang masa kecilnya. Tapi kalau
soal cinta Papa, aku sejak dahulu berkesimpulan bahwa Papa tidak pernah mencintai orang lain selain
Mama. Apalagi bila orang itu adalah Mom-nya Miki. Atau…. jangan-jangan aku dan Miki bukan hanya
saudara sepupu tapi saudara….
Ah, aku tidak boleh berpikir seperti itu. Tidak mungkin Papa seperti itu. Dani dihantui dengan
segala pertanyaanya hingga tiba-tiba ia tersadar. Tapi bila Miki berpikir seperti itu gimana? Dan kalau
pun itu benar gimana?
163 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Di Paris, ibu kota Prancis malam itu, cuaca yang mendung membuat pemandangan malam di kota itu
semakin suram. Aura Paris yang keemasan tertutup butiran kristal salju yang sedari tadi telah turun
mendinginkan suasana kota. Dari jendela lantai tiga sebuah rumah yang bermodel batu bata dan sengaja
tidak di plaster, seorang gadis berambut hitam panjang dengan mata biru tajam memandang kosong
keluar jendela. Matanya tertunduk kebawah menatap ke tumpukan salju di jalanan.
“Miki, kenapa kamu dari tadi berdiam saja nak?” sebuah suara serak bertanya sambil berjalan
mendekati Miki. Miki tidak beranjak dari posisinya. Ia terus berdiam di depan jendela kaca tersebut.
“Miki, sudah tiga minggu kamu ada disini. Bukannya kamu masih punya urusan di hi school?”
“Hmm…” Miki hanya berguman. Sepertinya ia kurang memperhatikan perkataan ayahnya
barusan.
“Miki… kamu kenapa?” tanya Om Rio sambil membeli kepala Miki.
“Hm.. enggak Pa. Miki tiba-tiba teringat Mom.”
Seketika itu juga tubuh Om Rio mengejang, seketika mendengar pernyataan Miki tadi. Ia pun
berbalik dari posisinya dan ia mendengus.
“Pa…” Miki memanggil masih dengan pandangan mata yang kosong menatap ke butiran salju di
luar.
“Ya?” jawab Om Rio berusaha tegar karena tiba-tiba ia juga ikut-ikutan teringat pada almarhum
istrinya tersebut.
“Papa cinta sama Mom?”
“…..”
“Papa sayang sama Mom?”
“…..”
“…..” Keduanya terdiam dalam bisu. Entah apa yang sedang mereka pikirkan.
164 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Pa.... Apa Mom sayang Papa?”
“…..”
Om Rio masih terdiam sambil memandang dalam pada Miki. Sementara Miki masih tetap
memandang kosong keluar, tetap berdiri diposisinya.
“Miki, sebenarnya kenapa kamu tanya itu semua?” Akhirnya setelah berpikir panjang Om Rio
memutuskan menanyakan kembali.
“Pa, aku sakit.”
“….?”
“Hatiku sakit, Pa.”
Om Rio menjadi pilu mendengarkan ucapan putri tunggalnya ini. Dilihatnya ekspresi Miki yang
sudah cukup menceritakan rasa di hatinya. Dihampirinya lagi Miki dan diperhatikannya gadis tersebut
dari jarak dekat.
“Miki my lovely dauther, Papa tahu rasanya sakit hati. Papa paham, Ki.”
“…..”
Miki terdiam dalam bisu dan tidak sedikitpun diliriknya Om Rio.
“Sejujurnya Miki, hingga hari kematian Mamamu, Papa masih tidak tahu perasaannya pada
Papa. Dia... tidak sekalipun pernah mengatakan kata cinta pada Papa.” Om Rio menghembuskan lagi
nafas panjangnya. Seolah bebannya dapat keluar dalam tiap uap air di nafas yang dihembuskannya.
“Tapi Miki, Papa yakin,” Om Rio menyisipkan jeda sejenak sebelum melanjutkan ucapannya
“…bila kita dengan tulus mencintai seseorang, mungkin dari situ akan kita dapat segala sesuatu yang tak
kalah baiknya. Ya Miki, bila kamu terus menerus dengan tulus mencintai seseorang, tulus memberikan
yang ada pada kita, maka yang terbaik akan datang padamu, Miki.”
165 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Kali ini Miki tidak lagi mematung dengan pandangan kosong. Dia berbalik, dipandanginya Om
Rio yang berdiri tepat di sampingnya. Dia mengadahkan kepalanya agar dapat melihat Om Rio dengan
lebih jelas. Untuk sejenak keduanya hanya saling bertatapan penuh makna.
“Nah Miki, jadi kapan kamu memutuskan balik ke Aussie?”
“Hm… belum tahu Pa. Tapi mungkin setelah Miki ke-Indonesia dulu.”
“Urusan kantor Papa belum selesai disini, jadi mungkin kamu harus berangkat sendiri, Miki.”
“Yeah, You’ve told me. Don’t be afraid, I can take care of my self now.”
“But are you sure that you won’t tell Dani first, hum?”
Miki terdiam sejenak mendengar pertanyaan Om Rio. Dialihkannya pandangannya ke depan dan
kembali dipandanginya tumpukan salju tadi dengan tatapan mata kosong.
“Yeah, I do Dad.” jawab Miki yakin.
Dani akhirnya pulang ke rumah begitu matahari tidak menampakkan sinarnya lagi. Ia
melangkahkan kakinya dengan berat. Seharian ini dia hanya mondar-mandir entah kemana, dia sendiri
pun tidak ingat lagi. Ia berjalan, naik kendaraan umum, berajalan lagi, keliling-keliling dan berjalan
lurus. Suasana yang dilewatinya silih berganti, namun ia hanya memikirkan hal yang sama sedari tadi.
Hanya memikirkan surat itu.
Kriiitk… Terdengar lagi engsel dari pintu rumah tua itu ketika Dani memasukinya. Dani berjalan
lesu ke dalam. Dani bahkan tidak menatap ke depan ketika hendak masuk.
“Sudah pulang, Nak?” terdengar suara Mama menayai Dani. Dari tempat berdirinya di dalam
rumah, Dani juga dapat melihat Papa sedang duduk di meja makan. Terlihat baju kemeja serta dasi Papa
166 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
masih melekat di tubuhnya. Sebenarnya Dani sedikit terkejut ketika melihat Papanya di dalam rumah.
Dani baru sadar ketika melirik ke arah jam yang telah menunjukkan pukul tujuh malam. Biasanya jam
sekarang Papa memang telah pulang ke rumah. Artinya Dani yang kelamaan pulang hari ini.
“Hm… iya, Ma.” jawab Dani.
“Kamu mau makan? Yuk kita makan sama-sama aja.” ajak Mama sambil menggiring Dani ke
meja makan.
Dani pun mengikuti Mama dengan langkah yang agak kaku. Sesampainya di meja makan, ia
duduk tidak seperti biasa, dipandanginya Papa dengan mimik aneh. Menyadari sedang diperhatikan,
Papa balas menatap ke arah Dani. Dan dengan segera Dani memalingkan mukanya.
“Kamu belum makan di luar kan, Dan?” Papa bertanya tanpa menyadari sesuatu yang ganjil
dalam diri Dani.
“Ah… e… belum Pa.” jawab Dani. Memang selama di luar Dani tidak menyicipi apapun.
Selama mondar-mandir di jalanan ia lebih banyak hanyut dalam pikirannya sendiri sehingga jadi lupa
makan. Ketika ditanyai soal makanan barusan Dani baru menyadari bahwa perutnya memang kosong
dan terasa agak asam di lambungnya.
“Ya udah kita makan sama-sama Dan. Sudah lama ya kita gak makan sama-sama? Habis kamu
terlalu sibuk dengan segala kegiatanmu.” Papa berujar dengan mata yang lembut dan sayu. Dani
tertegun menatap mata itu. Papa begitu penuh kasih, ia selalu menunjukkan ekspresi yang menyejukkan
hati. Bagaimana bisa aku membenci Papa? Ucap Dani dalam hati. Gak mungkin aku membenci Papa,
pikirnya.
“Dani, ini piring kamu. Mau Mama ambilin nasinya?” tanya Mama.
“Sini, aku aja Ma.” jawab Dani.
167 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Setelah itu Mama mengambil piring Papa dan menaruhkan nasi ke atasnya. Sebelum memberi kembali
piringnya kepada Papa, Mama menyempatkan mengecup pipi Papa. Dani dengan seksama
memperhatikannya. Sebenarnya ini sudah sering terjadi di rumahnya dan Dani sudah terbiasa
melihatnya. Mama dan Papa benar-benar pasangan yang mesra. Papa benar-benar mencintai Mama dan
juga sebaliknya. Waktu kecil, melihat Mama dan Papa yang selalu seperti itu membuat Dani
menganggap bahwa semua orang memang diciptakan berpasangan untuk saling menyayangi. Dani kecil
selalu bingung kalau melihat anak yang berjalan tanpa kedua orangtuanya, sebab kedua orangtuanya
selalu menyempatkan waktu jalan-jalan bersama dengan Dani.
Selesai makan Dani tidak ingin berlama-lama di ruangan makan. Dia kwatir bila ia berbicara
banyak dengan Mama dan Papa malam itu, dia bisa saja keceplosan dan menanyakan soal surat itu.
Pasalnya otaknya sudah terlalu penuh dengan isi surat itu sehingga tidak mustahil bila ia keceplosan.
Sebelum melangkahkan kakinya ke atas loteng rumah, sempat dilihatnya Mama dan Papa sedang
bercanda bersama, tertawa dengan wajah yang begitu bahagia.
Sesampainya di atas kamar, Dani segera merebahkan tubuhnya. Bagaimana caranya aku menanyainya
pada Papa? Apa arti surat ini? Pikir Dani. Di ambilnya surat kontroversial yang sedari tadi disimpannya
dibalik saku jinsnya. Tidak mungkin aku menanyakannya ini pada Papa. Kalau nanti Mama sampai tahu,
pasti dia akan sangat sakit hati. Aku kwatir hanya dengan satu pertanyaanku dapat menghancurkan
kehidupan rumah tangga Papa dan Mama yang harmonis. Lagipula peristiwa itu kan sudah lama terjadi,
jadi mungkin saja itu hanya kisah lama yang sudah dilupakan. Tapi, kenapa harus sekarang Miki
mengirimkan surat itu padaku? Kenapa begitu tiba-tiba? Apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Dani
terlalu lelah berpikir, dipendamkannya wajahnya dalam bantal. Tiba-tiba sebuah ide tidak terduga
terlintas di pikirannya. Tunggu, jika Miki yang mengirimkan surat ini, pasti dia yang paling mengerti
soal isi surat ini. Kenapa tidak kutanyakan langsung saja padanya? Kenapa harus aku ganggu Papa akan
168 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
sesuatu hal yang tidak pasti? pikir Dani. Ia sadar mungkin itu adalah ide tergila yang pernah di
pikirkannya. Tapi, memang begitulah sifat Dani: orang yang nekad soal cinta.
Malam semakin larut dan Dani masih tidak bisa memejamkan matanya. Dani berjalan menuju
lemari yang bertumpuk buku-buku. Dibukanya lemari kecil yang ada di bagian bawah meja itu. Di
dalam didapatinya map plastik yang berisi surat-surat berharganya: ijazah SD, SMP dan SMUnya, rapot-
rapotnya, sertifikat, dll. Dibongkarnya map itu sehingga kertas-kertasnya berhamburan di atas lantai.
Setelah Dani mengacak-acak kertas-kertas itu, akhirnya berhasil ditemukannya pasportnya. Setelah itu
Dani beranjak dan berjalan menuju sebuah meja di dekat pintu kamarnya, dibukakannya laci meja
belajarnya yang bertumpuk barang-barang, dibongkarnya dan dikutipnya sebuah buku kecil di dalam. Di
bukakannya buku kecil tersebut, angka terakhir yang tertulis disitu adalah 32.350.500,00. Angka
tersebut adalah jumlah saldo terakhir dalam rekeningnya. Dalam hitungan Dani, uang ini kemungkin
masih cukup untuk perjalanan ke Paris selama seminggu.
Bulan sabit mulai menghilang dari langit malam. Ia terganti oleh sinar fajar yang berkilauan.
Pagi ini Dani, Mama dan Papa sarapan bersama di ruang makan. Seperti biasanya suasana hangat
mengantar hari baru di rumah itu. Mama membantu Bi Inem menghidangkan sarapan. Papa dengan
pakaian yang rapi duduk di atas kursi sembari membaca koran pagi. Hanya Dani yang terlihati tidak
biasa. Ia duduk di hadapan Papa sambil termenung. Kedua tangannya ditumpukan di atas dagunya dan
matanya menatap kosong di atas meja makan. Mama menghampiri Dani sembari menghidangkan
sepiring roti bakar di mejanya. Sepertinya Mama sadar keganjilan sikap Dani dari kemaren-kamaren.
“Dan, kamu kuliah jam berapa pagi ini?”
“Hah?” Dani tersadar dari lamumannya.
“Kuliah jam berapa?” ulang Papa.
169 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Oh… pagi Pa.” jawabnya.
“O…” Mama menanggapi ala kadarnya.
Setelah itu Dani kembali melamun dan Mama kembali sibuk membantu Bi Inem. Papa
memperhatikan Dani dari balik koran yang ditegakkannya.
“Ma… aku pergi dulu ya?” ucap Dani selesai melahap sarapannya.
“Kamu mau pergi Dan? Gak bareng Papa saja?” Papa menawarkan diri.
“Enggak usah Pa, Dani sekalian olahraga pagi.” ujar Dani. Kampus Dani memang cukup dekat
dengan rumah tua yang baru saja direnoasi tersebut sehingga dapat di tempuh dengan berjalan sekitar
dua puluh menit dan kalau sambil lari pagi mungkin lebih cepat lagi.
“Oh, ya sudah. Hati-hati ya, Nak?” pesan Mama.
Kriiiitk…. Lagi-lagi terdengar bunyi engsel pintu yang memang selalu mendesis ketika pintu tua
rumah itu dibuka atau ditutup. Mama dan Papa masih menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup
Dani, kemudian mereka saling bertatapan.
“Pa, kenapa Dani tidak bawa tas ya?” tanya Mama.
“Iya, tadinya Papa juga mau tanyakan, tapi keburu Dani udah pergi.” jawab Papa dengan koran
pagi yang masih menggantung di tangannya.
“Apa Papa gak merasa ada yang berbeda sama Dani?” tanya Mama lagi.
“Atau jangan-jangan dia ada masalah di kampus ya?” Papa balas bertanya.
Bi Inem yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan itu hanya diam saja. Keluarga Bi Inem
sudah turun temurun menjaga keluarga ini. Ibunya yang telah meninggal mengabdi pada kelurga ini.
Dari kecil ia sudah sering dibawa ibunya membantu-bantu keluarga tersebut. Bisa dibilang ia juga
tumbuh bersama keluarga ini. Ia telah merawat Dani semenjak Dani masih kecil sehingga dia sangat
170 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
mengenal kepribadian Dani. Dari kemaren ia telah sadar ada sesuatu yang membebani hati Dani dan ia
tahu itu pasti masalah yang cukup berat bagi Dani.
Sementara itu Dani yang masih berjalan beberapa meter dari rumah tidak sadar bahwa ia
meninggalkan kekwatiran pada orang-orang di rumahnya. Ia terus berjalan dengan kedua tangan
dimasukkan ke dalam jins belelnya. Angin dingin yang bertiup pagi itu seolah menghadang langkahnya.
Namun keingininannya lebih kuat. Hari ini ia akan mengurus segala sesuatunya dan secepatnya
menyusul Miki. Ia akan segera berangkat ke Paris, Prancis.
171 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 15. The truth in Paris
Pesawat terbang dengan meninggalkan debu-debu yang terhempas bersama angin. Dani masih larut
dalam lamuannya di atas rangka besi tersebut. Berbagai bayangan kenangan masa lalu terbesit dalam
pikirannya. Perjalanan ke Prancis yang bagi sebagian orang merupakan perjalanan yang menyenangkan,
tidak begitu halnya bagi Dani. Bahkan Dani merasa perjalanan ini sangat lama. Apalagi untuk sampai di
Prancis, Dani masih harus transit dulu di Singapura dan mungkin di perhentian lainnya. Di dalam ruang
tunggu bandara, Dani yang sedang bosan mengambil secarik kertas lalu mencorat-coretkan sesuatu di
atasnya. Belakangan ini Dani memang senang menulis sesuatu dalam agendanya. Entah sejak kapan
Dani mulai jadi puitis.
Nyanyian Kesepian Hati
Dimanakah kau hari ini adikku?
Penyejuk nuraniku,
Penerang kalbuku,
Hatiku terkoyak tersadar kau tak ada.
172 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Rasanya aku menjadi bisu, tuli dan buta.
Aku mati,
Tubuhku seolah mati
Hatiku sesak,
Hanya pikiranku yang terus berlari,
Memburu bayanganmu yang buntu
Tanpa jejak.
Burung bernyanyi bila aku berangan tentang mu
Kenapa kupu-kupu berterbangan ketika kamu dalam mimpiku?
Dan tolong jawab,
Kenapa bulan dan bintang membisu ketika kutanya dimana arahmu pergi?
Kucari-cari kau,
Kucari, tapi kau tak pernah kembali
Hanya memberi kelukaan baru
Membisikkan aku nyanyian kerinduan hati.
Dimanakah kau adikku?
Tak bisakah kembali dalam pelukanku?
Walaupun hanya sebentar
Hanya untuk ucapkan kata perpisahan
Agar aku tahu kalau kau baik-baik saja…
Kumohon jawab aku!
173 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Setelah menyelesaikan puisinya, Dani merilekskan badannya di kursi pesawat yang besar nan
nyaman itu. Tiba-tiba ia terbayang pembicaraan terakhirnya dengan Mama tadi pagi.
“Ma… Dani pergi dulu ya?” ujar Dani.
“Lho, mau kemana Nak, kok bawa tas sebesar ini?” tanya Mama. Di pandanginya tas ransel
hitam yang sedang di punggungi Dani.
“Iya Ma. Kemaren aku lupa pamit. Eh.. eum.. eh… Aku mau pergi wisata alam, Ma.”
“Wisata alam?” Mama terheran, dikernyitkannya dahinya. “Sejak kapan kamu ikut Mapala,
Dan?“ tanya Mama dengan nada heran.
“Enggak, aku gak pernah ikut Mapala kok Ma. Cuma iseng aja pengen travel bareng teman.”
“Berapa lama?” tanya Mama masih dengan nada kwatir. Tampaknya Mama mengerti akan
gelagat aneh Dani. Pasalnya Dani jarang sekali berpergian jauh untuk waktu yang lama, kecuali bila
memang benar-benar perlu.
“Em.. seminggu Ma atau kurang.”
“Hah? Lama sekali Dan. Kamu gak kuliah?”
“Oh... kebetulan kan ada libur nasional tiga hari mulai besok lusa, Ma. Terus Sabtu dan Minggu
aku juga gak kuliah, jadi bolosnya cuma hari ini dan besok dan di usahain bisa kuliah Senin depan. “
kali ini Dani tidak berbohong.
“Heuf…,” dihembuskan Mama nafas kwatirnya. “Kamu buru-buru Dan? Gak nunggu Papa
pulang dulu?” lanjut Mama bertanya.
“Ah, gak usah Ma. Buru-buru ni Ma. Entar aku kabarin Papa lewat telepon aja deh.” pintanya.
“Hah….” kembali di hembuskan Mama nafasnya. “Ya udah kalau itu mau kamu. Hati-hati di
jalan ya? Ada uang kan?”
“Iya, ada Ma.” Dani berkata sambil mengecup kening Mama.
174 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Ma, aku pergi dulu ya Ma. Bye.” ujar Dani untuk terakhir kalinya.
Mama hanya melambai-lambaikan tangan sambil melihat Dani berlalu. Ada perasaan tidak enak
dalam hati Mama. Mungkin batin seorang Ibu.
Dirasakan Dani ada perasaan sesak dalam hatinya mengenang kejadian tadi. Seperti ada sesuatu
yang hilang dari dirinya. Sebenarnya ia bukanlah anak yang suka berbohong atau menyembunyikan
sesuatu, tapi Dani memahami benar perasaan keluarganya. Mama dan Papa tidak akan mengizinkan ia
pergi jauh sendirian. Apalagi ke luar negeri, ke Paris. Bukan, Dani bukan anak yang di manja. Namun
wajar bila orangtuanya cukup melindunginya, mengingat dia anak satu-satunya dikeluarga itu. Tiba-tiba
berkumandang dari spekarephone suara berat wanita dengan memakai berbahas Inggris. Dani paham
bahwa pesawat transitnya akan segera mendarat. Ia beranjak dari tempat duduknya. Sambil berjalan
dirogohnya saku depan tas ransel hitamnya. Di dalam itu didapatinya sebuah sobekan kertas. Sebuah
alamat berkotakan Paris, Prancis.
Bandara Roddeo di Paris di penuhi oleh salju yang turun terus menerus sejak pagi. Beberapa
petugas bandara sibuk menyekop salju-salju yang turun di sisi bandara. Terlihat di salah satu sisi
bandara tersebut dua orang, ayah dan putrinya, sedang berbicara serius.
“Papa cuma bisa mengantarkan sampai di sini ya, Ki?”
“Hm… iya Pa.”
“Jangan lupa pesan Papa ya?”
“Hm…” Miki mengiyakan hanya dengan dengungan suara. Matanya masih sayu dan ia
memandang dengan tatapan capai.
175 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki, jangan menapakkan wajah seperti itu pada Papa sebelum kamu berangkat pergi. Papa jadi
merasa gak enak, my lovely daughter.” bujuk Om Rio.
“He-eh..” Miki mengiyakan. Tidak ada perubahan didirinya, matanya masih sayu dan bibirnya
semakin dicemberutkan. Om Rio dapat merasakan kegelisahan dalam hati putrinya itu, dirangkulnya
Miki dengan hangat, kemudian dielus-elusnya punggung putrinya itu.
“Miki… sejak Mamamu meninggal, Papa merasa sedih sekal…” ucapnya. Di longgarkannya
pelukannya, kemudian di lanjutkannya perkataannya “… tapi kalau melihat tawa kamu di sisi Papa,
seolah-olah rasa sedih itu bisa lenyap begitu saja.”
Miki mengadahkan kepalanya untuk dapat melihat ke arah wajah ayahnya dengan lebih jelas.
Perkataan yang baru saja didengarnya dari mulut ayahnya itu menancap tajam di hatinya.
“Makanya Miki, sejak dulu Papa selalu memanjakanmu. Papa tidak pernah ingin kamu sedih.
Karena kalau kamu sedih, Papa juga ikut-ikutan sedih.”
Miki masih terdiam sambil meresapi tiap perkataan Om Rio.
“Miki, senyumlah..” Dengan segera Miki mengeluarkan senyum manisnya. Meskipun terkesan
agak dipaksakan, namun terlihat tulus. Om Rio segera menyambut senyuman Miki dengan membalas
tersenyumannya lalu membelai rambut anaknya itu.
Di sudut lain bandara tampak seorang pria dengan mengenakan kaus oblong, jaket hijau lumut
berbulu tebal serta topi bersimbol check list warna putih. Tidak ketinggalan kacamata yang tidak pernah
lupa dikenakannya. Ia tengah mengantri bersama orang-orang lain yang baru saja turun dari pesawat.
Tas ranselnya diletakkan di depan dadanya dan dipelukanya erat. Tampaknya ia belum terbiasa dengan
perubahan yang di dapatinya tiba-tiba: perbedaan waktu, perbedaan suasana dan perbedaan lainnya.
Sebenarnya dia kurang menikmati perjalanan sekitar dua belas jam yang baru saja di tempuhnya.
176 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Terutama selama transit di kota-kota tertentu. Rasa pegal menjalar di seluruh tubuhnya. Namun ketika ia
teringat akan tujuannya di tempat itu, maka rasa pegal itu tidak berarti lagi baginya. Dengan tangan yang
sedikit menggigil diulurkannya sebuah kertas kepada petugas bandara. Setelah melewati antrian, Dani
berdiri di tengah-tengah bandara yang luas itu. Matanya menerawang jauh melihat orang-orang asing
yang lalu-lalang. Akhirnya, aku sampai juga di sini, pikir Dani. Di tatapnya tajam ke langit-langit
bandara yang menjulang tinggi. Sejenak Dani menutup mata dan menghirup udara dalam-dalam. Di
resapinya aroma musim dingin kota Paris yang anyir dan lembab. Setelah itu ia dengan tekat yang bulat
melanjutkan perjalannya. Tidak sadar ia hanya berjarak beberapa meter dari apa yang dicarinya di kota
itu. Tidak sadar ia sedang melewati gadis bermantel merah yang menyimpan kenangan masa kecilnya.
Dani tidak sadar sedang bersimpangan jalan dengan Miki.
Miki menatap kebelakang untuk menyampaikan salah perpisahan untuk Ayahnya. Dengan koper
di tangan kanannya dan sebuah tas selempang di bahunya ia berusaha terlihat tegar. Ia tidak ingin ayah
yang sejujurnya sangat disayanginya menjadi kwatir akan kelakuannya yang aneh belakangan ini. Juga
akan keegoisan perasaannya. Terutama akan keinginannya yang tidak dapat dipendam lagi ingin
bertemu dengan Dani. Pria yang sesungguhnya sedang berdiri beberapa meter darinya. Hanya terpisah
oleh iring-iringan orang yang seliweran di tengah-tengah lantai keramik super besar dan berhias marmer
yang terhampar luas. Namun jodoh mungkin tidak berpihak pada mereka.
Sejenak jantung Dani berdetak kencang. Ia seperti sedang menyadari sesuatu. Ia terhenti tepat di
tengah-tengah kesibukan orang-orang yang berjalan dengan cepat. Setelah beberapa detik mematung
pada posisinya, ia membalikkan badan guna melihat kebelakang. Pemandangan bandara tersebut masih
sama dengan yang sedetik lalu dilihatnya, orang-orang masih sibuk hilir mudik. Diperhatikan Dani
dengan penuh fokus ke sekitarnya. Ada kelompok yang terdiri dari seorang lelaki tua berambut putih,
wanita setengah baya dan dua orang bocah lelaki tanggung. Mungkin keluarga yang baru pulang dari
177 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
liburannya, pikir Dani. Kemudian Dani menoleh ke sudut lain bandara, sepasang kekasih sedang tertawa
ceria sembari mendorong tumpukan barang bawaan mereka dengan troler mini. Di samping pasangan
tersebut seorang pria dengan pakaian jas lengkap berjalan terburu-buru melewati mereka. Dani
mendengus lalu menunduk menatap bayangan hitam dirinya di atas keramik putih yang berkilau
tersebut. Sebelum ia benar-benar membalikkan badannya, sekilas cepat ia sempat melihat sesosok gadis
bermantel merah cerah berjalan cepat menuju terminal keberangkatan. Dani sekarang telah dalam posisi
berbalik menuju gerbang keluar. Namun ia masih tetap mematung menyadari yang baru saja di lihatnya.
Sepersekian detik kemudian ia kembali membalikkan seluruh badannya. Namun pemandangan yang
baru saja di lihatnya telah menghilang. Tepat di tempat gadis bermantel merah tadi berjalan telah berdiri
seorang wanita muda berambut pirang dengan mantel merah cerah yang sama. Dani melihat lama pada
gadis tersebut. Menyadari sedang diperhatikan, gadis tersebut tersenyum tipis ke arahnya. Dani
membalas tersenyum, kemudian kembali melanjutkan langkahnya dengan gerakan lambat. Mungkin aku
sedang berkhayal, pikirnya.
Beberapa saat kemudian, Dani telah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang bertingkat tiga.
Rumah itu tidak diplaster sehingga bahan dasar batu-batanya yang tersusun rapi dapat terlihat dengan
jelas. Ada sebuah taman kecil tepat di depan rumah itu. Tidak tampak tumbuhan di sana, hanya
tumpukan salju dan sebuah cemara tua yang tinggi dan daun-daunnya ikut tertutupi butiran salju. Rumah
itu tidak berada tepat di tengah-tengah kota Paris. Rumah itu berada di perbatasan antara pintu gerbang
Paris sehingga keadaan di sana tidak seramai Paris. Dani mengalami kesulitan untuk berbicara dengan
supir taksi tadi sehingga ia terlalu jauh berkeliling dan berputar-putar kota Paris. Tentu saja uangnya
terkuras habis hanya untuk mengetahui alamat rumah itu. Padahal ia sendiri tidak membawa persediaan
178 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
uang yang banyak. Dani bahkan kwatir kalau-kalau ia masih bisa mencapai Indonesia lagi atau tidak
hanya dengan persedian uang sejumlah itu. Memang sebelumnya Dani telah memprediksi akan adanya
kesulitan komunikasi tersebut. Orang Prancis sudah terkenal akan kecintaannya pada bahasa mereka
sendiri lebih dari bahasa Inggris sehingga hanya sedikit orang di sana yang dapat berbahasa Inggris
dengan lancar.
Dani berdiri di depan pagar terus sambil mengamati isi rumah tersebut. Dari dalam salah satu
ruangan rumah tersebut terlihat pijaran lampu neon. Dani kemudian memutuskan untuk memasuki
pagarnya untuk dapat mencapai bel berlonceng yang tepat berada di sisi depan pintu kayunya. Dani
terlebih dahulu menggosok-gosok tangannya lalu menghembuskan nafasnya disela-sela lipatan
telapaknya sebelum mengoncangkan lonceng itu.
Tliling.. tliling.. terdengar bunyi lonceng itu nyaring di telinga. Dani menunggu sejenak. Tidak
ada suara. Namun sejurus kemudian terdengar sebuah langkah kaki yang berat dan lambat. Seorang pria
tua tambun dengan rambut putih keluar dari balik pintu itu. Rambutnya sangat tipis, bahkan sebagian
kepala depannya sudah botak. Pria itu berjalan keluar rumah. Ia mengenakan sweater keabuan dan dari
dalam sweaternya mencuat kerah kemeja berwarna putih.
“Excusez-moi.” sapa Dani membuka pembicaraannya dengan pria tua itu.
“Excusez-moi.” jawab Pria asing tua itu dengan aksen yang pas dan penuh wibawa.
“Je’mapelle… eh.. eum…” tiba-tiba Dani lupa apa yang harus diucapkannya. Padahal baru saja di dalam
taksi dia berhasil menghapal cara menanyakan alamat dalam bahasa Prancis. Mungkin karena dinginnya
hari ikut membuat sel-sel otaknya membeku disaat-saat genting seperti ini. Karena merasa tidak sempat
bila harus membukakan buku praktis bahasa Prancis di kantong tasnya, Dani memutuskan untuk
mengambil kertas alamat di saku jinsnya lalu menunjukkan pada pria tua itu.
“This.. this.. Em.. Is it the right place?” tanyanya. Di putuskannya untuk berbahasa Inggris.
179 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Yeah. It is.” jawab pria tua itu. Dani sedikit heran mendapati bahwa pria tua tersebut mengerti bahasa
Inggris. Kemudian rasa herannya itu segera berganti dengan rasa senang.
“Does Miss. Milcy Daniella live here?” tanya Dani lagi dengan wajah berharap.
“Yeah. She has been stayed here for almost three weeks. She is my grandaughter. Are you belongs to
her friend?”
Dani tidak langsung menjawab pertanyaan pria itu. Dia masih dalam keadaan terkejut mengetahui
bahwa pria yang berada di depannya ini adalah kakek kandung Miki. Diperhatikannya pria itu, memang
ia memiliki mata biru yang sama seperti Miki. Meskipun mata Miki lebih cerah.
“Yeah, I’m her friend, but I’m also her causin.”
“Heh?” Pria itu berdehem dengan nada bertanya.
“Dani???” sebuah suara memanggil dengan nada berteriak dari arah belakang. Suara itu otomatis
memotong pembicaraan Dani dan pria tua itu. Dani segera memalingkan wajahnya. Pria yang tadi
memanggil itu begitu terkejut mendapati Dani dan begitu pula Dani.
“Om Rio?” Dani bertanya dengan nada keherenanan.
“Dani, kamu sedang apa di sini? Kenapa bisa tiba-tiba di sini? Ohohoho..” Om Rio bertanya dengan
dibumbui tawa heran. Ekspresinya senang mendapati Dani di sana. Di dekatinya Dani, dirangkulnya dan
ditepuk-tepuknya punggung Dani. Di sisi lain Dani hanya bisa tertawa senang mendapati Om Rio.
“Dari mana Om?” tanya Dani.
“Dari bandara, Om baru saja mengantarkan Miki. Ini Om mau mengantarkan titipan Miki sama
GrandPa-nya. Terus, kamu juga dari mana Dan? Kenapa wajahmu pucat begitu?”
“Dari bandara? Miki di mana Om?” tanya Dani tanpa mengacuhkan pertanyaan Om Rio.
180 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki sedang berangkat ke Jakarta, Dan. Dia memang sengaja tidak beritahu siapapun.” jawab Om Rio,
kali ini wajahnya tidak lagi tertawa, namun keningnya agak berkerut seperti mengetahui keresahan hati
Dani.
“Ke Jakarta?”
“Iya, baru saja. Dani, apa kamu datang ke sini untuk menjumpai Miki?”
Dani tidak dapat menjawab apa-apa, ia hanya terpaku di hadapan Om Rio. Matanya penuh dengan
kekwatiran.
“Dani, mungkin pesawatnya belum berangkat. Cepat Dani, naik ke mobil!” perintah Om Rio. Dan
dengan terburu-buru kedua orang itu melompat masuk ke dalam mobil sedan biru buatan Eropa tahun
90-an.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan Paris yang bersalju. Dan di dalam mobil itu
Dani dan Om Rio hanya terdiam. Dani menatap lurus dengan penuh kecemasan. Om Rio yang
tampaknya mengerti perasaan cemas Dani sesekali melirik ke arah Dani yang sedang duduk di
sampingnya.
Sesampainya di depan pintu bandara itu, Dani tidak ingin menunggu sampai mobil itu
diparkirkan terlebih dahulu. Ia tidak sabar lagi ingin segera meloncat dan mencari Miki. Ia segera
membuka pintu mobil dan melompat keluar mobil. Dengan secepat mungkin, ia berlari menerobos
gerombolan orang yang sedang mengantri dibalik kasir, juga menerobos pejalan kaki yang sedang
melintas dijalur yang sama. Nafasnya tidak teratur lagi, rambutnya berantakan dan mantelnya hampir
terlepas sebab semua kancingnya telah copot. Sudah entah berapa orang yang ditabarkanya. Orang-
orang itu tidak hanya diam namun memaki-maki Dani dengan bahasa yang tidak dimengerti Dani. Tapi
Dani tidak peduli. Ia hanya peduli keberadaan Miki. Jangan pergi Miki! Teriaknya dalam hati.
181 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Ia berlari berlari dan berlari. Dengan segala kekuatan yang ada dalam dirinya ia berlari.
Pikirannya hanya tertuju pada satu sosok ‘Miki’. Ingatannya pun berputar lagi pada masa lalu. Waktu
itu… Dia pernah mengalami hal ini. Samar-samar diingatnya. Waktu itu sepuluh tahun lalu…
“Dani, kata Papa besok Miki pergi.” kata sesosok wajah mungil dari atas ayunan.
“Kemana?”
“Jauh.”
“Aku boleh ikut kan?”
“Enggak boleh.”
“Kenapa?”
“Karena Dani harus tetap disini menjaga taman rahasia ini. Jangan sampai direbut orang. Dani
harus tinggal, OK?”
“…”
Sunyi. Dani tidak menjawab pernyataan Miki tersebut. Tiba-tiba ia mulai bicara dalam tiga kata.
“I love you, Miki.” sebutnya dengan suara datar dan spontan. Kata-kata ajaib itu diucapkannya
pada gadis yang menjadi cinta pertamanya. Mendengar pernyataan itu Miki memiringkan kepalanya dan
tersenyum semanisnya layaknya sebuah senyuman malaikat.
“I Love u too, Dani.”
Blatzz… tiba-tiba sinaran putih tampak begitu terang di mata Dani. Begitu cepat, begitu terang.
Begitu cepat dan tidak dapat dielakkannya. Sayup-sayup didengarnya suara keramaian. Ingin
dibukakanya matanya, tapi yang dirasakannya begitu sakit, nyeri. Miki.. Miki.. teriaknya. Namun
suaranya tak dapat keluar.
182 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 16. Memories between Jakarta – Paris
Samar terlihat guguran daun dari kejauhan seolah mengerti perasaanku. Kicau burung di musim
gugur begitu mempesona. Namun angin musim dingin yang menusuk sebagai pertanda sesuatu yang
buruk bagiku. Angin pun masuk melalui tirai-tirai jendela yang dibiarkan terbuka. Kubukakan mataku
perlahan, samar terlihat warna putih. Dimana ini? tempat asing! Bau yang amat menyengat. Putih
dimana-mana. Disurgakah ini? Tidak. Aku belum boleh ke surga! Aku belum boleh ke surga sebelum
bertemu Miki. Dengan segenap kekuatanku kuupayakan untuk membuka mata dan seseorang pun
bersuara,
“Kamu sudah sadar, Dan?” tanya sebuah suara yang hangat padaku. Suara ini menyadarkanku
kalau aku bukan di surga.
“Ergh..” erang Dani mencoba menahan rasa nyeri disekujur tubuh. Pandangannya kabur sebab
kacamatanya telah terlepas dari wajahnya.
“Om Rio?” tanya Dani.
“Hah, syukurlah kamu gak apa-apa.” ucapnya dengan penuh rasa tenang.
“Aku.. ceroboh ya Om, sampai ketabrak,” ujar Dani dengan pandangan memelas ke arah Om
Rio.
“Iya, ceroboh. Ceroboh, sama seperti Miki..” jawab Om Rio sambil memandang penuh makna
pada Dani.
183 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Srap… tirai di jendela melambai-lambai dari atas kepala Dani. Keduanya terdiam dan saling
memandang. Pikiran mereka berkecamuk. Miki.. Miki.. Miki… nama itu terus disebut Dani dalam
hatinya. Bagai sebuah mantera.
“Kamu jangan terlalu gegabah, Dan,” ujar Om Rio berusaha mencairkan suasana. “...untung cuma luka
ringan di lengan dan sedikit retak di kaki.” lanjutnya.
“Kepalaku sakit,” Ujar Dani “Tapi aku udah boleh keluar kan, Om?”
“Dua atau tiga hari lagi.” jawab Om Rio
Kemudian hening lagi. Om Rio berdiri melihat ke arah luar kamar rumah sakit. Kebetulan kamar itu
berada di lantai tiga sehingga pemandangan dari atas kamar tersebut begitu indah terlihat.
“Dani, apa kamu sudah bilang sama orangtuamu kalau kamu pergi ke sini?” tanya Om Rio sambil terus
menatap lurus ke depan jendela.
Dani diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, “Belum Om.”
“Kenapa kamu tidak berpikir panjang dulu sebelum bertindak?”
Dani kembali terdiam mendengar pertanyaan itu. Dirasakannya bahwa selama belakangan ini dia terlalu
banyak berpikir hingga pemikirannya jadi benar-benar buntu.
“Dani, Om pikir, baik Miki maupun kamu belakangan berperilaku sangat aneh, saling….” Om Rio
terdiam sejenak dan tidak melanjutkan kata-katanya “Ah, Om tidak tahu apa yang pernah terjadi atau
sedang terjadi antara kalian. Miki mungkin bercerita panjang lebar tentangmu Dan, jadi Om tahu itu
masih terkati denganmu. Tapi, Miki tidak pernah cerita apa sebenarnya yang membebaninya.”
Dani terus terdiam mendengarkan perkataan Om Rio. Dipandanginya langit-langit rumah sakit dengan
pandangan kosong. Tidak tahan dipendamnya pertanyaan dalam hatinya. Akhirnya ditepiskannya rasa
sungakannya lalu diberanikannya dirinya bertanya.
184 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Om..” panggilnya.
“Ya?” jawab Om Rio. Dipalingkan Om Rio wajahnya menghadap Dani.
“Apa… ayahku dan almarhum Ibu Miki pernah ada apa-apa?” tanya Dani dengan nada datar.
Huff… kembali Om Rio menghembuskan nafasnya panjang. Tampaknya ia sudah siap bercerita
panjang lebar.
Tet..Tet.. Tet… Di tekan Miki bel tua yang masih bisa di gunakan di rumah bernomor 413 itu. Di
pandangnya ke dalam tempat itu cukup lama. Pemandangan di dalam rumah itu tidak begitu jelas karena
hari sudah gelap. Akhinya untuk pertama kali Miki dapat pergi sendirian. Dengan menunjukkan alamat
rumah pada si supir taksi bandara, ia dapat juga mencapai rumah tua ini. Rumah yang penuh kenangan
baginya. Selama beberapa saat Miki terdiam memandangi tempat itu. Di ingatnya banyak kenangan
masa kecilnya dengan Dani. Kini ia tidak peduli lagi, apapun hubungannya dengan Dani. Dia sayang
pada Dani dan baginya itu sudah cukup. Apapun yang terjadi pada mereka kelak, biarlah Tuhan yang
mengatur.
“Siapa?” tanya sebuah suara keibuan dari dalam rumah.
“Tante, ini saya, Miki!” teriak Miki.
“Miki?” Mama dengan cepet membuka kunci rumah dan secepatnya menghampiri Miki.
“Miki, kenapa kamu di sini, Nak? Kok gak bilang-bilang datang ke Jakarta?” tanya Mama sambil
mengelus-elus rambut Miki.
“Hm… Iya tante. Miki gak tahu nomor telepon rumah ini. Lagipula mobilephone Miki gak bisa di pakai
sejak di Prancis.” Miki berkata sambil berjalan beriringan dengan Mama menuju ke dalam rumah.
185 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Iya, baru aja tante mau tanya, bukannya kamu dari kemaren di Prancis ya? Bukannya kamu udah
tinggal di sana?” Kali ini mereka telah sampai di dalam rumah. Mama menutup pintu sembari berbicara.
“Iya Tante, Miki udah hampir sebulan di Prancis.”
“Kamu bukannya mau tinggal terus di sana Miki?” Mama terus bertanya sambil menghidangkan
minuman hangat pada Miki.
“Ah, enggak kok, Tan. Kemaren mungkin GrandPa mengajak, tapi Miki nolak. Masih banyak yang
harus Miki kerjakan di Aussie.”
“Jadi kemarena kamu ke Prancis urusan apa?” tanya Mama lagi mengintrogasi.
“Oh.. Miki cuma liburan, jadi pengen jenguk GrandPa di Paris sekalian Papa juga ada urusan bisnis di
sana.”
“Oo..” Mama mulai menarik kursinya dan duduk di samping Miki di tengah ruang keluarga itu.
Setelah meneguk minumannya, Miki berbalik bertanya.
“Hm… ngomong-ngomong Dani mana, Tan?” tanyanya sembari memandang menerawang ke sekeliling
ruangan rumah itu.
“Oh… sayang banget Ki. Dani sedang pergi traveling dengan teman-teman kampusnya.”
“Oya?” Miki sedikit terkejut mendengar jawaban Mama. Pasalnya dia sudah sangat berharap bisa
bertemu Dani secepatnya agar ia dapat menceritakan banyak hal yang selama ini dipendamnya.
“Kemana Tan? Berapa lama?”
“Wah… Tante juga gak tahu kemana tuh. Tapi kata Dani kemungkinan besar seminggu-an.”
“Oo..” jawab Miki dengan nada kecewa. Diteguknya lagi minuman itu lalu ia menunduk dan berpikir.
“Oya Miki, karena kamu tiba-tiba datang dan rumah ini masih agak berantakan, jadi Tante gak punya
kamar untuk kamu tempati. Kalau kamu malam ini tidur di kamar Dani aja bisa kan? Nanti tante rapiin
dulu.”
186 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Gak usah repot, Tan.”
“Habisnya kamu kan jarang main ke mari. Kamu harus nyaman di sini Miki.” Mama berkata-kata sambil
mengelus-elus rambut Miki.
“Rencananya kamu mau tinggal berapa lama disini, Ki?”
“Hm… sampai ketemu Dani.” Jawab Miki polos.
“..…?” Tante bingung melihat Miki. Sebenarnya ia ingin bertanya mengapa dan kenapa kedatangan
Miki yang tiba-tiba, namun sebuah suara menghentikan pembicaraan mereka.
Kiiittkkk… terdengar bunyi dari engsel rumah yang sudah lama itu. Dari balik pintu tersebut muncul
sesosok yang sudah dapat di tebak siapa.
“Wah, Papa pulang ya?” Mama bertanya sendiri sembari berjalan menghampiri Papa. Dikecupnya pipi
pria itu dan digiringnya masuk. Miki menatap adegan penyambutan itu dengan seksama. Sebenarnya ia
lebih lama memperhatikan gelagat Om Richard. Mulai dari bawah ke atas diperhatikannya dengan
seksama sembari dihisapnya terus teh hangat di tangannya. Mungkinkah orang itu Papaku? Tanya Miki
dalam hati. Miki telah bertekat datang ke Indonesia untuk mengetahui asal-asulnya. Mencari segala
misteri yang mungkin disembuyikan selama berpuluh tahun ini. Apapun kenyataan yang ada nanti, akan
di hadapinya dengan berani. Dan apapun kebenaran yang terkuak nanti, Dani harus tahu, tekatnya.
Sambil berpikir dalam hati, diperhatikannya terus Papa.
“Hei!” Papa setengah memekik mendapati Miki di ruang keluarga. Hal itu membuat Miki tersadar akan
lamunannya.
“Hallo Miki. Kapan datang?” tanya Papa sembari mengelus-elus rambut Miki yang sedang duduk.
“Baru saja, Om.” jawab Miki. Kemudian Miki meletakkanya cangkir minuman yang isinya telah habis
tersebut.
187 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“O… kenapa gak bilang-bilang, Ki?” Papa kembali bertanya sambil melonggarkan dasi yang terikat
ketat di lehernya.
‘“Kan mau buat surprice, Om.”
“Ah, kamu bisa aja Miki. Ayah kamu?”
“Oh, masih di Paris.”
“Oya?”
“Hm… urusan bisnisnya belum selesai.”
“Terus kamu tadi gimana ke sini? Sendirian? Gak tersesat?”
“Enggak kok.”
“Kamu masih liburan Miki?”
“Ya. Miki ingin liburan di sini Om.” Miki berbohong.
“Tapi Dani sedang pergi lo, Ki. Kamu udah tahu?”
“Iya, gak papa. Miki senang sendiri kok, Om.”
“Oh…gitu ya. Ntar deh kalau weekend, Om dan Tante ajak kamu jalan ya? OK?. Nikmati waktumu
disini ya Ki. Om ganti baju dulu.” ujar Papa sambil berjalan masuk ke dalam kamar. Menyusul Mama
mengikutinya dari belakang. Miki terus memperhatikan kedua orang itu sampai mereka benar-benar
masuk ke dalam kamar. Setelah kamar di tutup, Miki memandang lurus ke depan. Matanya yang biru itu
kosong. Kemudian ia terasadar akan sesuatu dan kembali di pandanginya seluruh ruangan rumah itu.
Dipandanginya satu persatu perabotan yang ada dalam rumah itu. Sebenarnya bila perabotan di rumah
ini tidak semodern ini, rumah ini pasti terasa sangat klasik, pikirnya. Lama ia berpikir sebalum akhirnya
ia berjalan untuk mengamati isi rumah itu, seperti yang dilakukan Dani beberapa hari yang lalu.
Khayalannya kembali ke masa lalu. Ke masa kecilnya di rumah ini. Dari kecil ia sering di tinggal di sini.
Setahun setidaknya ia dua atau bahkan tiga kali mampir datang kesini. Orangtuanya sewaktu kecil sering
188 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
menitipkanya di sini sambil menghabiskan masa kecilnya. Kenangan masa kecilnya yang indah banyak
tertinggal di tempat ini. Juga kenangan manis petualangannya bersama Dani. Miki melanjutkan
langkahnya menelusuri sisi-sisi rumah itu. Dengan melangkahkan kaki, ia menjejali setiap sisi dalam
rumah itu. Ia pun tersenyum sendiri membayangkan betapa berharganya kenangan itu. Dalam
penglihatannya seolah-olah kenangan itu nyata di depanya. Ia dan Dani sedang berlari-lari kecil
mengelilingi tiap ruangan di situ dan kemudian naik ke atas tangga. Miki melangkah kakinya menaiki
anak tangga. Pelan-pelan dihitungnya jumlah anak tangga yang ada, seperti yang dulu pernah
dilakukannya bersama Dani. Senyum lebar mengembang diwajahnya.
“Miki…” tiba-tiba Mama memanggil namanya yang membuat lamunan Miki seketika itu juga buyar.
“Ya?” jawabnya dari atas anak-anak tangga.
“Miki… kamu sedang apa, Nak? Makan dulu yuk?” pinta Mama.
Segera Miki melangkahkan kakinya menuruni tiap anak tangga. Dari ujung anak tangga, Miki dengan
jelas dapat melihat pemandangan di ruang makan. Di meja makan telah tersedia masakan yang sedari
tadi memang telah disiapkan Mama. Di salah satu ujung meja sedang duduk Papa dengan senyum manis
dan syahdu.
“Miki, yuk makan.” ajak Papa. Miki terpana memandangi Papa, tidak ada jawaban kata-kata apapun
keluar dari bibirnya.
“Miki…” Mama memanggil lagi dan hal itu membuat Miki tersentak.
“Ah, Iya Tan.” jawab Miki akhirnya dan ia berlari menggapai kursi yang berada tepat di sebelah Papa.
Suasana makan malam itu begitu hangat. Mama dan Papa bercerita tentang hal-hal kecil yang selalu
diperhatikan mereka. Sesekali mereka menanyakan pendapat Miki. Namun Miki kebanyakan diam
sambil memperhatikan semua yang ada di dalam diri Papa. Miki kerap hanya menanggapi pernyataan
kedua orang tua itu dengan menganguk-anggukkan kepalanya.
189 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Selesai makan malam, Papa dan Miki berdua mengobrol di depan layar televisi. Sementara Mama dan
Bi Inem sedang merapikan ini-itu, Miki memperhatikan secara seksama setiap kata yang dilanturkan
oleh Papa. Sebenarnya ditiap pembicaraan Papa, ingin sekali ia memotong dengan bertanya “Ada
hubungan apa Om Richard dengan Momku?”, namun selalu di urungkannya niatnya itu. Di lihatnya
ekspresi bahagia Papa. Mungkin Om Richard telah sangat bahagia di sini bersama dengan Tante. Jadi,
kenapa aku harus mengganggu di saat-saat seperti ini? Miki sadar bahwa senyum cerah yang terpancar
dari wajah Om Richard akan hilang dengan segera bila ia jadi menanyakan pertanyaan itu. Jadi
meskipun ia benar-benar ingin bertanya kebenaran itu saat itu, namun di urungkannya niatnya. Mungkin
ada saat yang lebih tepat lagi, pikirnya.
“Miki, kalau kamu mau tidur, naik aja ya?” Mama tiba-tiba memotong pembicaraan mereka berdua.
“Iya Tan, makasih ya?” Ia kemudian beranjak dari sofa tempat duduknya. “Om, Miki naik dulu ya? Miki
capai selama perjalanan di pesawat tadi, Miki pengen segera istirahat.”
“Oh silahkan Miki, silahkan.” jawab Papa sambil merentangkan telapak tangannya mempersilahkan
Miki.
Miki menaiki tangga tersebut sambil menghitung anak tangga yang ada. Seampainya di atas, ia menatap
lurus ke lorong di sebelah kanan kamar Dani. Ia tersadar bahwa ada ruangan serupa gudang disana. Itu
adalah tempat ia sering bermain hide and seek bersama Dani. Sejenak sempat terbersit dalam benaknya
untuk menghampiri tempat itu. Namun karena keadaan sudah cukup gelap, ia pun mengurungkan
niatnya itu. Ia akhirnya melangkah masuk menuju kamar Dani. Sesampainya di kamar itu, ia tidak
langsung merebahkan diri ke atas tempat tidur. Namun ia terpaku sejenak di balik pintu. Di
perhatikannya baik-baik kamar Dani. Ada beberpa set lemari yang isinya buku semua. Dani memang
suka membaca. Ada meja belajar yang di atasnya bertumpuk berbagai barang: miniatur bergambar bola
basket serta miniatur robot-robotan. Lemari pakaian Dani tinggi dan Miki tidak berniat membukanya
190 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
karena ia tahu bahwa ia akan sedikit syok mendapatinya kemungkinan yang ada di dalam. Tempat tidur
Dani besar seperti sebuah double bath, tapi bukan. Sepreinya bermotif garis-garis merah jambu,
mungkin baru saja di ganti Tante, pikir Miki. Miki melangkah mendekati sesuatu yang menarik
perhatiaannya. Diperhatikannya foto yang terpajang di atas meja belajar Dani. Itu adalah foto Dani
sedang tertawa lebar. Ia mengenakan baju SMU-nya. Ada Joe dan Friska juga di sana sedang tertawa
sama gembiranya bersama Dani. Dilihatnya foto yang satu lagi. Foto itu tersembunyi dari balik
tumpukan barang di depannya. Dan itu adalah fotonya, foto wajahnya dan Dani sedang tersenyum
bersama.
“Ahahaha..” Miki tertawa sendiri menyadari keganjilan di foto itu. Dia ingat gambar itu diambil dua
tahun lalu ketika ia sedang jalan-jalan dengan Dani ke kebun binatang. Waktu itu Dani meminta si
Tukang Es Krim mengambil gambarnya. Waktu itu mereka berdua baru saja menghabiskan cone es krim
Coklat dan Vanillanya. Lihat, masih ada bekas es krim di bibir keduanya.
Malam itu Miki tertidur lelap dengan memeluk foto berbingkai kayu di tangannya. Foto kenangannya
dengan Dani. Malam itu juga ia bermimpi indah sekali. Ia bermimpi sedang berada di taman rahasia
mereka. Ia berkejaran bersama-sama dengan Dani. Ia tertawa terbahak-bahak di pagi itu, ketika Dani
mengejarnya sambil meneriaki namanya. Miki… Miki… Miki…
“Miki!” Miki tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara Mama memanggilnya. Terdengar pula
suara pintu kamar yang diketok-ketok.
“Miki….!” panggilan kedua, namun Miki belum cukup sadar untuk menjawab panggilan Mama.
“Miki... bangun, Nak.”
“Ya?” jawab Miki dengan suara serak. Dengan langkah berat Miki berjalan menuju pintu kamar.
“Ya Tante.” jawab Miki dari balik pintu. Matanya masih sayu dan rambutnya yang lurus terlihat acak-
acakan.
191 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Miki, Tante mau pergi belanja dulu. Tadi Om Richard udah berangkat kerja. Jadi kamu di tinggal di
rumah sendirian ya sama Bi Inem. Ok sayang?”
“Iya Tante.” jawab Miki seolah tidak peduli.
“Ya udah, Tante pergi dulu ya? Kamu hati-hati di rumah, Tante gak lama kok.”
“Iya Tante.” jawab Miki lagi sambil menganguk-angguk.
Sepeninggalan Tante, Miki sendiri di kamar itu berusaha menyadarkan dirinya. Ia duduk terbengong di
atas tempat tidur. Sejenak kemudian ia berjalan ke arah kamar mandi, membasuh wajahnya dan
menggosok giginya. Setelah mengganti pakaiannya, ia pun mengambil minuman di dapur. Lama ia
kembali terbengong di dapur. Ia bingung apa yang harus di kerjakannya. Sebenarnya ia ingin
menghubungi Andre atau Joe atau Friska, namun di urungkannya niatnya. Ia masih sedang ingin sendiri,
pikirnya.
“Bik…?” Miki memanggil Bi Inem yang sedang sibuk membersihkan sisa renovasi di halaman samping.
“Ya Neng?” Bibik berjalan masuk menghampiri Miki.
“Bik, Miki pergi dulu ya, Bik. Aku ingin jalan-jalan sebentar di sekitaran sini.”
“Lho Neng, sendiri aja?”
“Iya.”
“Tapi Neng, Bibi takut kalau Neng Miki entar kesesat.” Bibi mengenal sifat Miki yang gampang
kehilang arah. Hal itu karena selama Miki berada di Jakarta dua tahun lalu, Bibi selalu mendengarkan
curhat Dani yang kwatir kalau tiba-tiba Miki tersesat.
“Ah, enggak Bik. Tenang aja. Tapi kalau Bibi tetap kwatir, nih aku kasiin nomor HPku yang baru. Ntar
kalau aku lama pulangnya, Bibi hubungin ke sini aja.” Miki berkata sambil mencoret sebuah notes yang
192 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
tergeletak di atas meja telepon. Bibi dengan seksama memperhatikan angka-angka yang dituliskan Miki
itu.
“OK Bik, Miki pergi dulu ya? Byebye…”
“Bai…” balas Bik Inem sambil melambai-lambaikan tangan kanannya ke kanan dan ke kiri. Sementara
tangannya yang satu lagi masih memegang kain elap.
Chapter 17. I miss U on the phone
Akhirnya Miki memutuskan untuk melangkah kakinya keluar. Meskipun ada kemungkinan dia akan
tersesat, namun ia tepiskan ketakutannya dan dibulatkan tekatnya. Dengan memakai kaus obolong putih,
celana jins serta sandal jepit, Miki berjalan sendiri memutari jalan-jalan di sekitar rumah tua itu.
Berusaha diingatnya jalan menuju suatu tempat, taman rahasia mereka. Dahulu, hampir setiap hari ia
melewati jalan ini. Meskipun banyak perubahan dan pembangunan di sana-sini, namun posisi jalan di
193 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
sini tidak banyak berubah. Dan Miki terus berjalan mengikuti kata hatinya. Sesekali angannya terbuai
akan kenagannya bersama Dani. Ia teringat sewaktu tersesat di kompleks rumah Dani dua tahun yang
lalu. Mioki berjalan sambil senyam-senyum sendiri. Beberapa orang yang jalan di sekitar situ heran
melihat ekspresi Miki. Padahal bila ia tidak bertingkah aneh seperti itu saja orang-orang sudah
memperhatikan keunikannya.
Miki terus berjalan dan berjalan. Sesekali bila ia sudah letih, ia berhenti sejenak sambil memerhatikan
bahu jalan. Pagi itu banyak sekali orang yang berjalan dengan memakai pakaian training. Ya, orang-
orang itu sedang olahraga pagi. Miki senang melihat orang yang sedang jogging sehingga ia tidak
merasa bosan berjalan sendirian pagi itu.
Sudah lebih sejam dia mengitari tempat itu ketika tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia telah sampai di
tempat tujuannya, di seberang itu adalah taman rahasianya. Dengan perlahan Miki melangkahkan
kakinya menuju ke tempat itu. Di sapukannya pandangannya terhadap tempat itu. Di pandanginya satu
persatu setiap wahana yang ada di situ. Ia membuka sandalnya dan dibawanya dengan sebelah
tangannya. Pasir-pasir masuk menyusup di sela-sela jari kakinya. Ia melangkah hingga mencapai
ayuanan kayu yang kelihatan sudah kropos. Meskipun telah di cat ulang, namun tetap saja ayunan itu
kelihatan sudah tua. Miki duduk di atas ayuanan itu dan diayunkannya dirinya sendiri. Dulu sewaktu
kecil, selalu Dani yang mengayunkan ayunan untuk dia. Dan Miki selalu tertawa dengan riangnya bila
Dani mengayunkan dengan sekuat tenaga.
Deg… untuk sesaat Miki terdiam, jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba dia teringat semua
kenangan bersama Dani. Ingatan masa kecilnya yang indah bersama Dani. Perjalanannya yang indah
dua tahun yang lalu. Semua tentang Dani, semua percakapan dengan Dani. Rasanya ingin ia menitikkan
air mata. Semua memori indah dengan Dani tidak mungkin bisa ku hapus, pikirnya.
194 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Titut… Tittut... Bunyi yang berasal dari ponsel mengejutkan Miki tiba-tiba. Tertulis dalam layar
ponsel itu nomor telepon rumah tua. Ah, terlalu dini bila Bi Inem mengkwatirkan kalau-kalau aku
tersesat, pikir Miki.
“Hallo!” jawabnya.
“Miki, ini Tante Anya. Miki,” ucap suara yang menelepon itu lirih dan berusaha menahan tangis
“Miki… Dani… dia di Prancis. Dia... Dani ketabrak…”
“A..A..pa?”
Dani berlari cepat menyusuri jalan itu. Sebenarnya tidak bisa di katakan berlari karena kakinya
yang masih terluka dan di bawa dengan terseret-seret membuatnya tampak seperti meloncat-loncat.
Namun tekat dalam hati Dani mengalahkan segalanya, tidak dihirauakannya lagi segala nyeri yang
meradang di seluruh tubuhnya. Pikirannya terfokus pada satu, Miki! Perkataan Om Rio terus terkenang
dalam benaknya.
“Michelle menamai putrinya Milcy (baca mil-shi) yang adalah singkatan kalimat Michelle Love Ricky.
Sementara nama belakang Danielle diberikan mengikuti nama kamu Daniel, agar kalian dapat selalu
dekat…”
Di malam itu Dani masih terus berlari di atas kakinya yang berat. Udara yang dingin menembus
masuk ke ulu hati. Mantel kulit yang menyelimuti badan Dani sepertinya tidak cukup untuk melindungi
tubuhnya dari dinginnya udara malam musim dingin. Dani tampak begitu berantakan, namun ia sudah
tidak peduli. Di ingat-ingatnya lagi perkataan Om Rio barusan.
195 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Tindakan Michelle memilih nama Miki tepat sekali. Karena sejak awal bertemu denganmu,
kelihatan sekali bahwa kalian bakal menjadi sangat dekat. Pernah suatu kali Miki bayi menangis, kamu
Daniel langsung bisa meredakan tangisnya hanya dengan menepuk-nepuk kepalanya. Sejak kecil kalian
berdua sering bermain bareng. Meskipun usia kalimat terpaut setahun lebih. Tempat favorit kalian,
taman dibelakang halaman rumah tua itu Daniel.”
Setelah itu berbagai pikiran berkecamuk dalam hati Dani. Bagaimana bila aku tidak bisa bertemu
dengan Miki lagi? Bagaimana kalau aku tidak bisa memberitahukan Miki kenyataan yang sebenarnya?
Rumah tua itu hanya akan menjadi kenangan pahit kan? Dani terus berlari menyusuri taman yang basah
karena salju yang mencair, hingga ia sampai di tepi jalan. Ia berhenti sebentar sambil tangannya di
sandarkan pada tiang lampu. Pijar lampu kuning dan temaram menyilaukan pandangannya. Ia setengah
berjongkok berusaha menormalkan pernafasannya. Kabut malam membuat uap-uap putih yang keluar
dari mulut Dani terlihat begitu jelas. Dalam dadanya berkecamuk berjuta rasa. Kembali ditelinga Dani
terngiang ucapan Om Rio.
“Daniel, Om tidak akan menyalahkan kamu bila kamu memang menyayangi Miki. Perasaanmu yang
kuat terhadap Miki mungkin terkait juga dengan rasa yang terpisah antara ayahmu dan Michelle. Tapi
satu yang paling perlu kamu ketahui Dani, sebenarnya ayahmu… “
Tiiin… tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berdiri tepat di depan Dani. Dani terperanga. Ia tidak
mengerti kota ini, mungkinkah ia melakukan suatu kesalahan? Dari dalam mobil itu tiba-tiba menyeruak
sebuah kepala. Dia… Om Rio!
196 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Daniel, sedang apa kamu? Badanmu masih sakit! Kalau kamu gegabah begini yang ada kamu malah
semakin memperparah keadaan. Masuk ke mobil!” perintah Om Rio.
Dani tidak dapat membantah apa pun lagi. Dengan langkah berat ia beranjak dan berjalan menuju pintu
belakang mobil. Dibukanya pintu mobil tersebut agar ia dapat masuk. Beberapa detik kemudian, mobil
itu pun melaju meninggalkan kepulan asap putih yang bercampur bersama kabut.
Om Rio menatap wajah Dani yang pucat dari balik kaca spion. Dani yang menyadari pandangan nanar
itu, balas menatap Om Rio. Keduanya hanya saling bertatapan selama beberapa detik hingga akhirnya
Dani mengeluarkan suara.
“Om.. tadi aku lupa menanyakan sesuatu.”
“Apa?” tanya Om dengan mimik siap bercerita.
“Apa.. “ awalnya Dani sedikit ragu untuk menanyakannya karena kwatir akan resiko yang
mungkin saja terjadi. Namun ia telah bersikukuh dalam hati untuk mengetahuinya apapun kebenaran
yang mungkin tersimpan selama ini. “Apa Miki anak kandung Om?”
Mendengar pertanyaan Dani tersebut, Om Rio sungguh terkejut. Matanya menatap tajam ke arah
Dani melalui spion. Tangannya yang memengang stir mobil membujur kaku. Hingga suara klakson
menyadarkan mereka. TIIN!!! Dan dengan segera, lampu jauh mobil yang berpenjar kekuningan
menyailaukan pandangan mereka berdua.
Dani tertabrak? Di Paris? Apa yang di lakukannya di sana? Dasar Dani bodoh. Bodoh! Kenapa
dia bisa berpikiran ke Paris? Menyusulkukah? Bodoh sekali dia. Miki berlari sekuat tenaga ke rumah
tua. Kali ini dia tidak berjalan salah arah sebab ia telah hapal jalan yang sering dilaluinya dulu itu,
terutama karena jalan itu juga tidak banyak berubah. Dani kenapa ke Paris? Apakah dipikirnya aku
197 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
melarikan diri ke Paris? Aku tidak melarikan diri Dani. Miki tidak akan menghilang darimu Dani. Aku
hanya ingin menenangkan diri di sana. Aku hanya ingin sendiri untuk sementara. Mana mungin aku
meninggalkanmu. Nafas Miki memburu dan jantungnya berdegup kencang. Ia tiba di rumah itu dan
dengan segera didobraknya pintu depan rumah itu.
“Tante? Hosh.. hosh…. “ Dari depan pintu Miki bisa melihat Mama sedang berbicara di ujung telepon.
Wajahnya cemas tidak karuan. Sepertinya ia sedang berbicara dengan seseorang yang penting. Mungkin
membicarakan Dani. Mama hanya mendengarkan orang di ujung telepon sedang berbicara. Kaki Miki
bergetar ketika ia melangkah masuk ke dalam. Dia berjalan melangkah ke depan. Ketika Miki telah
berdiri tepat depan meja telepon, Mama telah selesai berbicara dan dengan perlahan meletakkan gagang
teleponnya.
“Siapa Tan?” tanya Miki dengan nada kwatir.
“Papa kamu Ki, Om Rio.” Sebenarnya Miki hendak menanyakan berbagai hal lainnya. Dani kenapa?
Dia terluka tidak? Kenapa tiba-tiba dia ada di Prancis? Namun Mama lebih dahulu beranjak dari
posisinya dan berkata dengan terburu-buru,
“Miki, kamu tunggu di sini ya? Tante ambil HP dulu ngubungin Om. Kalau ada telepon angkat aja
Miki…”
Miki menatap Mama dengan pandangan kwatir. Baru kali ini dilihatnya ekspresi Mama seperti itu.
Biasanya Mama selalu lembut, tenang dan berhati-hati. Namun, apa yang terjadi pada Dani memang
selalu dapat membuat Mama berubah tiba-tiba.
Mama segera lenyap setelah memasuki pintu kamar. Sementara Miki mematung menatap telepon di atas
meja itu. Miki terus berdiri dan terus memandangi telepon itu. Angannya melayang jauh pada Dani.
Sempat terbersit dibenaknya sesuatu yang paling buruk telah terjadi pada Dani, namun segera
198 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
ditepiskannya pikiran itu. Di geleng-gelengkannya kepalanya guna menghilangkan bayangan aneh itu.
Tidak lama kemudian, terdengar dari dalam kamar Mama sedang berbicara dengan nada yang tinggi.
Tlilit…Tlilit… telepon yang sedari tadi dipandangi Miki tiba-tiba berdering. Hal itu membuatnya
tersentak dan melompat kecil. Selama sepersekian detik sempat terpikir oleh Miki untuk tidak
mengangkat telepon karena kwatir bila ternyata si penelopn hanya memberitakan kabar buruk yang
terjadi pada Dani. Namun akhirnya ia memberanikan diri mengangakat gagang telepon.
“Hallo?” jawabnya. Nafasnya masih agak tidak teratur ketika menjawab panggilan tersebut, sisa
kecapaiannya.
Di ujung telepon sebuah suara pria bertanya dengan nada terpatah-patah “Mi.. Miki..?”
Miki tahu itu suara siapa. Miki kenal suara itu. Betapa leganya Miki mendengar suara itu. Suara
itu adalah suara yang paling disayangnya. Suara itu adalah suara Dani! Ia terdiam di ujung telepon.
Begitu pula Dani di ujung telepon tidak sanggup berkata apapun. Di rasakan jantungnya memacu darah
begitu kencang. Samar-samar terdengar suara isak dari dalam sambungan telepon. Dani mendengarkan
suara itu dengan seksama. Ia masih terdiam, begitupula Miki. Keadaan itu berlangsung hingga hampir
semenit. Mama yang tidak menyadari bahwa Dani sedang menelepon masih terdengar sibuk berbicara
dengan Papa di dalam kamar. Akhirnya dengan suara parau dan tergagap, Miki mencoba berkata-kata,
“Akhrinya… aku bisa mendengar suaramu lagi Dan. Aku takut kalau aku gak bakal bisa
mendengar suaramu lagi.. Miki takut.. hikks… hiks…” ucapnya lirih di dalam telepon. Dani terpana
dengan semua ucapan Miki tersebut. Terdengar suara isak Miki semakin kuat terasa.
“Miki… aku ingin bertemu denganmu,” kata Dani. Terdengar ia berucap begitu tulus. “Sekarang
tanggal berapa?” lanjut Dani bertanya setelah diselingi jeda tangis dalam pembicaraan mereka.
“Tanggal 16 Januari.” jawab Miki dengan suara parau.
199 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Aku susul kamu tiga hari lagi,” Dani berkata-kata seolah lupa kalau ia baru saja mendapat
kecelakaan. “Aku akan menyusulmu. Tiga hari lagi adalah tanggal yang sama dengan dua tahun. Itu
adalah tanggal diadakan festival di sekolah ku. Kamu ingat kan?”
Mendengar itu Miki hanya terdiam dan tidak dapat berkata apapun. Ditahannya isaknya dengan
sebelah tangannya.
“Miki, banyak yang ingin ku katakan padamu.”
“Kamu… kenapa Dan?” tanya Miki.
“Apa? Kamu mau bertanya soal kecelakaan kemaren. Aku tidak apa-apa Miki, cuma retak tulang
kaki saja.” jawab Dani dengan nada dibuat setenang mungkin agar tidak membuat Miki kwatir.
“Miki, siapa?” tiba-tiba Mama muncul di samping Miki dan bertanya dengan nada cemas.
“Dani, Tan.” jawab Miki. Dengan ligat disekanya air mata di wajahnya. Dan dengan segera pula
Mama menyambar gagang telepon itu.
“Dani.. Daniel! Kamu kenapa? Kamu gak papa, kan Dan? Kamu terluka tidak?” tanya Mama
bertanya bertubi-tubi. Wajahnya penuh dengan rasa takut dan kwatir.
Miki segera beranjak dari tempat berdirinya. Tanpa menunggu Mama selesai berbicara dengan
Dani, Miki naik ke atas kamar Dani melalui tangga yang berada dekat dengan meja telepon. Baginya
tidak ada yang perlu ditanyai lagi. Hanya mendengar suara Dani dan mengetahui bahwa dia masih
bernyawa telah melegakan hati Miki yang tadinya pilu.
200 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Chapter 18. The End of The Story
Hari-hari berlalu begitu cepat bagi sebagian besar orang, namun bagi Dani jarum jam seolah
lama sekali berjalan di rumah sakit tersebut. Ia merasa jenuh dan bosan karena tidak dapat melakukan
banyak hal di sana. Hingga hari dimana akhirnya Dani dapat keluar dari sana, disambutnya dengan
gembira. Ia tidak menunggu lama di Paris meskipun ada sedikit keinginan di sisi hatinya untuk
menjelajahi kota itu. Akan tetapi, keingingannya untuk terbang langsung ke Indonesia guna memenuhi
janjinya dengan Miki lebih besar. Setelah transit di sana-sini dan rangka pesawat yang membawanya
terbang pun telah silih berganti, akhirnya ia bisa menginjakkan kaki kembali di Indonesia. Dani berjalan
201 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
terpincang melangkah di bandara Soekarno Hatta. Telihat ia mengenakan tongkat peyangga ketika
sedang berjalan sendirian dari lobby kedatangan luar negeri. Ia menerawang jauh ke depan dan segera ia
beranjak ketika ia melihat sebuah taksi biru dihadapannya.
“Kemana Mas?” tanya supir taksi itu ketika Dani telah duduk di jok taksi hitamnya.
“Hm.. ke-SMU saya dulu, Pak.” jawab Dani sambil menyeringai. Terlihat dari kaca spion si pak
supir mengerutkan dahinya.
“Dimananya Mas?” tanya si pak supir taksi lagi.
Tidak berapa lama kemudian, Dani telah sampai di SMU-nya dulu. Sebuh tempat yang penuh
dengan kenangan masa remajanya. Petang itu sekolah sudah sunyi, murid-murid sudah berpulangan.
Hanya ada beberapa orang berseragam SMU yang mungkin memiliki banyak urusan di sekolah atau
hanya iseng nongkrong di sekolah. Dani menatap tempat itu lama sekali. Ia teringat festival dua tahun
lalu adalah kali pertama ia mengajak Miki ke sana. Pikirannya menerawang lagi. Diingatnya semua yang
pernah di jalaninya dengan Miki. Dari kecil hingga dewasa, belum pernah di rasakan perasaan seperti
ini. Rasanya tidak sabar ingin bertemu dengannnya lagi. Gadis kecil yang selalu menemani hari-harinya,
kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik sekali.
Huff… dihembuskannya nafasnya panjang sekali. Ditatapnya kelangit. Langit memang berawan,
tapi matahari cukup terik sehingga menyingkapkan kumpulan kapas putih itu. Lelah ia duduk, ia pun
berdiri dengan membawa serta tongkatnya. Tidak sedikit pun ia memikirkan hal yang lain. Dalam setiap
gerak-geriknya, selalu Miki yang ia ingat. Ia masih terus berkeliling, berkeliling, berputar dan berputar.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Tiba-tiba perasaannya aneh. Firasatnya tidak enak. Dani
sejenak mengigit bibir atasnya. Setelah setengah jam lewat dari jam yang telah dijanjikan, ia menjadi
sangat cemas. Tidak dapat lagi dtahannya, akhirnya ia memutuskan menelpon ke ponsel Miki.
202 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Tut..tut..tut… TIDAK DIANGKAT! Dicobanya sekali lagi, kali ini pun tidak bisa! Untuk ketiga
kali dicobanya, tidak ada jawaban. Ia semakin gelisah. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya
ia memutuskan menelepon ke rumah tuanya. Tut..Tut.. Setelah dua kali terdengar nada sambung,
akhirnya ada seseorang yang menjawab telepon di ujung sana. Suara itu adalah suara Bi inem.
“Hallo Bik, ini Dani. Bik di rumah ada orang gak?”
“Eh, Den Dani. Lagi dimana Den? Sudah pulang ya?” sambut Bi Inem gembira.
“Iya Bik. Ini udah di Jakarta, baru tadi nyampe. Eh Bik, di rumah ada orang gak?” ulang Dani.
“Gak ada, Den. Dari tadi cuma Bibik doang yang di rumah. Ibuk dan Bapak dari tadi pergi entah
kemana, Den.” jawab Bik Inem.
“Miki dimana Bik?”
“Oh… kalau Non Miki dari tadi udah pergi.”
“Sama siapa Bik? Kapan?”
“Sendiri dan udah dari tadi, Den.”
“Belum pulang-pulang juga dari tadi?”
“Iya Den.”
“Yakin Bi? Coba dilihat keluar, siapa tahu lagi duduk-duduk di teras.”
“Den, kayaknya gak ada. Soalnya Bibik baru dari luar membuang sampah.”
“ Coba cek lagi Bik.” perintah Dani.
“Iya Den, tunggu ya?”
Tidak sampai dalam hitungan semenit, Bibik kembali mengangat telepon yang digantungkannya.
“Bener Den, gak ada orang. Paling cuma tukang sayur yang lewat.”
“Oh gitu,” Dani berpikir sejenak. “Eh Bik, kalau yang nelpon ada gak?”
“Belum ada, Den. Kalau boleh tahu, Den nunggu telepon siapa ya?”
203 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Oh... gak Bik, seseorang Bik. Yaudah la Bik, ntar aku telpon lagi ya, Bik.”
“Oh iya, Den.”
“Makasih ya Bik.”
Klik dan seketika itu juga Dani menutup flip ponselnya. Tidak sabar menungu, akhirnya Dani
memutuskan untuk menelpon ponsel Miki lagi. Tut..Tut.. klik. Eh kali ini dijawab.
“Ha..Hallo.” Dani mulai berbicara tergagap.
“…”
Sunyi sejenak. Dani pun diam menunggu respon dari si penerima panggilan.
“Dani..” Ada suara! Dani begitu mengenali suara gadis itu, suara manja itu. Dibalikkan Dani
badannya 180 derajat. Dan disaat itu lah, di seberang lapangan, di depan ruang kelas, dilihatnya
seseosok gadis dengan memakai baju babydol selutut dengan motif bunga berwaman putih. Ponsel itu
masih ada di tangan Dani, masih diangkat dan masih tersambung, namun keduanya masih tanpa suara.
Selama hampir semenit, Dani hanya menerawang jauh ke depan. Ditatapnya gadis itu penuh makna. Dan
keduanya tetap diam tanpa suara.
“Finally, we meet again.” akhirnya suara itu mulai berbicara. Sebenarnya meskipun tanpa nada
suara dari dalam ponsel, Dani akan mengerti perkataan gadis itu, karena dari jauh Dani bisa membaca
bahasa bibir Miki yang sedari tadi di pandanginya.
“Ya, akhirnya kita bertemu lagi… Miss Milcy Daniella.” Dani berkata dengan posisi badan tegak
dan tidak berubah dari yang tadi.
Angin berhembus di antara mereka berdua. Namun mereka tidak bergerak sedikitpun dari
posisinya. Keduanya masih dengan posisi tangan memegang ponsel yang dirapatkan ke telinga. Dani
masih terus memandang dengan penuh arti sementara Miki menatap dengan penuh haru sambil kedua
204 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
tangannya menutupi wajah sekitar mulut dan dagu untuk menahan tangisnya. Akhirnya ia tidak tahan
lagi, bulir-bulir itu begitu saja jatuh menetes di atas lantai lapangan yang bersemen.
Mereka kemudian saling mendekatkan diri. Dani berjalan pelan ke arah Miki. Terlihat wajahnya
penuh kerinduan. Kini Dani tepat berdiri di depan Miki. Kemudian ia memeluknya hangat. Isak tangis
terdengar dari balik pelukan Dani. Setelah dapat merdakan sedikit tangisnya, Miki berusaha berbicara.
Dengan suara parau dan pandangan mata yang kabur karena penuh dengan air mata, Miki mulai
berbicara.
“Dani, aku gak peduli kamu saudara kandungku, kamu saudara sedarahku, atau siapapun. Yang
aku tahu cuma aku sayang sama kamu. Aku sayang sekali sama kamu. Dari dulu Dani yang paling ngerti
Miki, Dani yang paling tahu keadaanku dan paling peduli.” Isak tangis Miki semakin menjadi-jadi
begitu ia menyelesaikan kalimatnya. Dan setelah itu yang terjadi hanyalah kecupan hangat diantara
mereka. Akhirnya Dani dapat bertemu dengan Miki dalam suatu akhir yang romantis.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua duduk di bawah pohon rindang yang tumbuh semakin
tinggi di sekolah itu. Kepala Miki bersandar di atas bahu Dani. Dani menatap lurus kedepan sementara
Miki menutup kelopak matanya yang sembab. Sepertinya mereka begitu menikmati kebersaannya. Dani
menjadi terkenang akan banyak hal. Semua pengalamannya selama ini bersama teman-temannya dan
bersama Miki. Dani kemudian memiringkan kepalanya agar dapat memandang Miki lebih jelas. Di
helanya kesamping rambut hitam sepinggul yang menutupi wajah Miki. Gadis itu tersadar dan
membukakan matanya.
“Miki… “
“Hm..?” tanya Miki dengan senyum bahagia. Terlihat matanya masih sembab dan berair.
“Kamu mau tahu satu hal?”
“Apa?” tanya Miki masih dengan tersenyum.
205 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
“Sebenarnya kita tidak punya hubungan saudara dekat.”
“Hah?” Miki terkejut, lantas menegakkan kepalanya yang sedari tadi disenderkan di bahu Dani.
“Iya Miki, waktu di Prancis, Om Rio menjelaskan semunya. Om Rio dan Papaku ternyata bukan
saudara sekandung. Papaku sebenarnya anak saudara Kakek yang dari desa. Waktu masih kecil, kedua
orangtua Papaku meninggal karena sakit. Lantas Papaku diangkat jadi anak oleh Kakek karena waktu itu
Kakek belum bisa punya anak. Gak lama setelah Papaku di adopsi lahir satu orang anak dari keluarga
Kakek yang tidak lain adalah Om Rio Ki, Papamu.”
“Jadi kesimpulannya, pada dasarnya kita tidak punya hubungan darah dekat?” tanya Miki
memastikan.
“Iya.” jawab Dani menyakinkan.
“Jadi?”
“Jadi, kesimpulannya, tentunya hubungan ini masih bisa dilanjutkan kan?” tanya Dani sambil
tertawa bahagia.
Miki hanya dapat menanggapi dengan ikut tersenyum bahagia. Ditutupnya senyumnya yang
lebar dengan sebelah tangan kanannya.
Di tempat itu angin terus bertiup sepoi dari arah timur. Kemudian entah dari mana datangnya,
sayup-sayup terdengar lagu itu. Lagu kesayangan mereka berdua. Lagu Beautiful Girl yang di nyanyikan
oleh Jose Marichan. Mungkin dari mediang Ibu Miki yang bahagia karena pada akhirnya kisah
asmaranya puluhan tahun yang lalu kesampaian lewat putriya.
And I’m glad that is you…
Beautiful girl!
206 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
Fin
About the Author:
Olivia adalah lulusan jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia. Ia lahir dan besar di kota kecil di Sumatera Utara bernama Berastagi. Kepeduliannya terhadap kampung halaman dilakukan dengan mendirikan situs www.visitberastagi.com.
Olivia sangat tertarik dengan isu-isu non konvensional seperti isu HAM, lingkungan dan perempuan. Selama berkuliah, Olivia sempat
207 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla © Olivia D. Purba
bekerja untuk Komnas Perempuan, volunteer di Perhimpunan Filantropi Indonesia dan Supporting Unit Program di think thank Propatira Institute.
Olivia juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan skala nasional dan internasional. Pada tahun 2009, ia berpartisipasi dalam World Leadership Conference di Singapura. Di tahun 2010, ia berangkat ke Beijing, Cina, sebagai head delagete Indonesia dalam konferensi Asian International Model United Nations (AIMUN). Di tahun yang sama, ia berangkat ke Toronto, Kanada, sebagai salah satu wakil Indonesia di G-20 Youth Summit.
Olivia sempat melanjutkan studi di Swinburne University of Technology, Australia melalui program Peace Scholarship Award dari IDP Australia (tahun 2009). Atas kepeduliannya terhadap isu lingkungan, Olivia berangkat ke Amerika Serikat dalam program Study of The United States Institutes (SUSI) on Global Environmental Issues di University of Montana. Saat ini ia bekerja di institusi pemerintah bidang perubahan iklim.
Hubungi Olivia:
Website : www.oliviadianina.comE-mail : [email protected]: : OdianinaTwitter : @odianina
208 | P a g e