Hirschprung's Disease
-
Upload
rizca-maulida -
Category
Documents
-
view
63 -
download
10
Transcript of Hirschprung's Disease
TINJAUAN PUSTAKA
“HIRSCHPRUNG’S DISEASE”
A. Definisi
Hirschsprung merupakan kelainan kongenital berupa aganglionosis
usus, mulai dari sfingter anal internal ke proksimal dengan panjang segmen
tertentu. Jika hanya mengenai rektum sampai sigmoid, dinamakan
hirschsprung klasik atau morbus hirschsprung segmen pendek (75 %). Jika
meluas ke segmen yang lebih tinggi lagi disebut hirschprung segmen panjang
(10 %). Jika mengenai seluruh kolon disebut aganglionik total atau jika
mengenai usus halus disebut aganglionik universal. Kelainan yang terjadi pada
penyakit hirschsprung adalah tidak adanya gelombang peristaltik dan gagalnya
relaksasi sfinter ani internal ketika terjadi dilatasi usus di proksimal.
Gambar 1. Gambar kolon yang normal pada sebelah kiri dan kolon yang
mengalami dilatasi pada penyakit Hirschsprung di sebelah kanan.
B. Etiologi
1. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi kranio-kaudal pada submukosa dinding fleksus.
2. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak mendorong
bahan-bahan yang dicerna dan terjadi penyumbatan.
3. Disebabkan oleh kelainan bawaan sering terjadi pada anak sindrom down.
4. Tidak adanya ganglion di kolon.
C. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi menjadi:
1. Megakolon kongenital segmen pendek jika segmen aganglionik meliputi
rektum sampai sigmoid (70-80 %)
2. Megakolon kongenital segmen panjang jika segemen aganglionik
meliputib lebih tinggi dari sigmoid (20 %).
3. Kolon aganglionik total jika segmen aganglionik mengenai seluruh kolon
(5-15 %).
4. Kolon aganglionik universal jika segmen aganglionik meliputi seluruh
usus sampai pylorus (5%).
D. Patofisiologi
Aganglionik kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian
penyakit Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu terkena,
dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang beragam. Pleksus myenterik
(Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak ditemukan,
menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya. Mekanisme
akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui.
Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama
perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu
ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi.
Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah adanya defek pada
migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi
neuorblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast
dalam bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik
distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan
perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik, komponen
tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor
neurotrophic.
Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus
submukosal (Meissner), intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal.
Ketiga pleksus ini terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus,
termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas yang normal
utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini mengendalikan
kontraksi dan relaksasi otot polos, di mana relaksasi mendominasi. Fungsi
usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya
melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan
kontraksi dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi.
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak
ditemukan sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan
kontrol persarafan ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik
meningkat 2-3 kali dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga
mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos
usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak
diimbangi dan mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos,
peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional.
E. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan
berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat:
a) Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikans. Muntah hijau dan distensi
abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang
dapat menyerang pada usia kapan saja tetapi paling tinggi saat usia 2-4
minggu meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk, dan
disertai demam. Hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi.
b) Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan
pemeriksaan colok dubur maka feses biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-likuid, dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari, dan biasanya
sulit untuk defekasi.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah meskipun pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan
diagnosis Hirschsprung adalah barium enema, di mana akan dijumpai 3
tanda khas:
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan
feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan
feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung tetapi disertai dengan obstipasi kronis maka barium terlihat
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
3. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosis histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas
absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus
submukosa (Meissner). Di samping itu akan terlihat dalam jumlah banyak
penebalan serabut saraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin
tinggi jika memakai pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,
suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf parasimpatis,
dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin
eosin. Di samping memakai asetilkolinesterase, juga digunakan
pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase, dan
pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia
memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa
keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan
adanya perdarahan.
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan 5 cm
proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah
dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.
4. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan
obyektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang
melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal
dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis
meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar: transduser
yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro serta
sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik:
a. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.
b. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen
usus aganglionik.
c. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter
interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai
relaksasi spontan.
F. Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirshsprung tetapi setelah
colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal.
2. Akalasia recti
Keadaan di mana sfingter tidak relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan
penyakit Hirschsprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak
adanya ganglion Meissner dan Aurbach.
G. Penatalaksanaan
1. Tindakan non bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi
yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah
diarahkan pada stabilitasi cairan, elektrolit, asam basa, dan mencegah
terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan non
bedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa rektum, pemberian
antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit ,
serta pengaturan nutrisi
2. Tindakan bedah
a. Tindakan bedah sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan
guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat lain dari
kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan
tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita
Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan
anastomose.
b. Tindakan bedah definitif
1) Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama un tuk ope ra s i penyakit
Hirschprung. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung
rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan
kemudian dilakukan anastomisis langsung di luar rongga
peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat
terjadi akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan.
Untuk mengatasi hal dilakukan sfingterektomi
parsial posterior.
2) Prosedur Duhanel
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal
yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik dan menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side. Prosedur ini memiliki beberapa
kelemahan, di antaranya sering terjadi stenosis, inkontenensia, dan
pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang
ditinggalkan jika terlalu panjang.
3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Tujuan utama dari prosedur ini adalah membuang mukosa rektum
yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang
ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang dikupas tersebut.
4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dilakukan
anastomose end to end antara aganglionik dengan rektum pada
level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge) menggunakan
jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal.
Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna
mencegah stenosis.
H. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah pada penyakit
hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis nekrotikans, dan gangguan fungsi sfingkter. Faktor
predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi diantaranya: usia muda saat
operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan,
keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian
antibiotik, serta perawatan pasaca bedah.
I. Prognosis
Prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera di atasi 90 % pasien
dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami npenyembuhan dan hanya sekitar 10 % pasien yang masih
mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan
kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20 %.