Thymoma Disease
-
Upload
indra-prasetya -
Category
Documents
-
view
175 -
download
8
description
Transcript of Thymoma Disease
THYMOMA
Wega Sukanto
Pendahuluan
Thymus berasal dari bahasa Yunani “thymos”, yang berarti kekuatan kehidupan (life force),
bangkit membara.1 Fungsi kelenjar thymus sendiri baru diketahui seiring perkembangan dari
imunologi. Pada abad ke-17 dan 18, banyak kasus kematian mendadak yang dikaitkan dengan
kelenjar timus yang membesar, mengarahkan pada teori status limfatikus di abad ke-19. Paltauf1
menyatakan bahwa status limfatikus adalah suatu sindrom akhir pada kematian mendadak pasien
dengan pembesaran kelenjar timus dengan kerusakan trachea dan atau nervus vagus. Tindakan
operasi timektomi tidak diketahui sudah dimulai sejak kapan. Tetapi laporan kasus yang tercatat
adalah pada tahun 1914 oleh McLennan sebanyak 8 kasus.
Tumor kelenjar timus hampir selalu merupakan tumor mediastinum anterior. Timoma selalu
merupakan tumor kelenjar timus yang berasal dari sel epitel timus
Embriologi dan Anatomi Kelenjar Timus
Kelenjar timus berasal dari lapisan endoderm kantung brachial 3 dan 4 pada usia gestasi 6
minggu. Kelenjar timus terus berkembang hingga minggu ke-8, hubungan dengan faring terputus.
Tetapi pulau-pulau jaringan timus dapat ditemukan di rongga tympani, leher , mediastinum atau
paru pada 20-25% populasi. Kelenjar timus terdiri dari 3 jenis sel, yaitu sel epitelial, hematopoietik,
dan aksesorius. Kelenjar timus mencapai proporsi berat terbesar jika dibandingkat berat tubuh pada
saat lahir, berat absolut kelenjar timus terbesar adalah saat pubertas. Involusi fisiologis berjalan
sesuai pertambahan usia ditandai dengan kehilangan jaringan parenkim diganti dengan jaringan
lemak. Proses normal ini berbeda dengan proses involusi yang disebabkan tingginya kadar
kortikosteroid dalam darah.
Kelenjar Timus terletak di rongga mediastinum anterior superior, berwarna merah muda
keabuan dengan permukaan berlobulasi. Batas superior kelenjar timus adalah tepi inferior dari
kelenjar tiroid, batas inferior adalah kartilago interkostal 4, Batas anterior adalah sternum (gbr.1).
Kelenjar timus terdiri dari 2 lobus, biasanya lobus kanan sedikit lebih besar. Kedua lobus
dihubungkan dengan jaringan ikat longgar di tengah nya. Kelenjar timus hampir selalu terhubung
dengan kelenjar tiroid oleh ligamen thyrothymic yang mengandung pembuluh-pembuluh darah
kecil. Pada bagian anterior, kelenjar timus pars cervical tepat dibelakang origin dari muskulus
sternohyoid dan muskulus sternohyoid; kelenjar timus pars mediastinal tepat dibelakang sternum.
Posterior dari kelenjar timus terdapat Vena brakiosefalika (v. inomminate) dan arkus aorta beserta
cabang-cabangnya; terhubung dengan kelenjar timus melalui selapis fascia. Inferior dari kelenjar
timus melekat pada perikardium melalui jaringan ikat. Sisi lateral kelnjar timus terdapat pleura dan
sangat dekat dengan jaringan lemak mediastinal dan nervus phrenikus.
Gbr.1 Anatomi kelenjar timus1
Gbr 2. Arteri dan Vena kelenjar timus1
Perdarahan kelenjar timus berasal dari cabang-cabang arteri di sekitarnya, tetapi terdapat 3
sumber arteri utama (gbr.2). (1) A. Thymic superior, mayoritas berasal dari a. thyroid inferior, kadang
berasal dari a. thyroid medial. (2) A. thymic lateral berasal dari a. mammaria interna (lebih banyak di
kanan), terkadang berasal dari a. phrenikus superior. (3) A. Thymic posterior, berasal dari a.
brakiosefalika dan aorta (gbr.3).
Sistem drainase Vena pada kelenjar timus tidak paralel dengan sistem arteri-nya (gbr.3).
Biasanya terdapat Vena besar pada septa interlobar masuk kedalam kapsul timus dan vena-vena
kecil dari korteks membentuk pleksus vena pada sisi posterior kelenjar timus. Vena thymic posterior
(grand veins of Keynes) terbentuk dari fusi beberapa vena kecil dan bermuara pada vena
brakiosefalika, proksimal dari pangkal vena intercostal superior.
Kelenjar timus tidak memiliki sistem limfatik afferen. Terdapat 3 grup drainase limfatik yang
diketahui, yaitu:
1. duktus limfatikus superior; drainase dari bagian kaudal kelenjar timus ke nodal jugular interna,
innominate, atau mediastinal anterior
2. Duktus-duktus limfatikus anterior; drainase ke nodal parasternal
3. Duktus limfatikus posterior; drainase ke nodal tracheobronchial
Aliran limfe dari (2) dan (3) biasanya akan bermuara pada vena jugular interna dan subklavia
ipsilateral
Gbr.3 Aspek posterior dari kelenjar timus1
Klasifikasi & Staging
Klasifikasi histologik dan staging klinis timoma terus berkembang hingga sekarang. Klasifikasi
histologis yang pertama kali dikenal luas adalah yang diajukan oleh Bernatz, et al2 yang membagi
timoma menjadi 4 kategori berdasarkan jenis sel yang dominan, yaitu lymphocytic, epithelial, mixed
epithelial and lymphocytic, dan tipe spindle-cell. Klasifikasi ini tidak mempunyai korelasi dengan
prognosis. Klasifikasi Muller-Hermelink, et al3 membagi timoma menjadi cortical, medullary, mixed
cortical & medullary dan well-differentiated thymic carcinoma. Tetapi klasifikasi ini tidak mempunyai
korelasi yang konsisten dengan jenis timoma berdasarkan asal sel epitelnya. Klasifikasi yang paling
banyak digunakan saat ini adalah klasifikasi histologik yang dikeluarkan oleh The World Health pada
morfologi sel epitel dan jumlah sel-T.4,5 Tipe A terdiri dari sel-sel epitelial neoplastik berbentuk oval
atau kumparan tanpa atipia ataupun sel-sel limfosit. Tipe AB serupa dengan tipe A, tetapi disertai
fokus limfosit. Tumor tipe B terdiri dari sekumpulan sel epiteloid dan dibagi menjadi 3 subtipe
berdasarkan proporsi sel-sel epitelial dan tingkat atipia sel. Tipe B1 adalah korteks timus normal
dengan area menyerupai medulla timus. Tipe B2 memiliki sel-sel epitelial neoplastik dengan nuclei
vesicular dengan anak inti, tersebar diantara sebukan sel-sel limfosit; dapat ditemukan sel-sel tumor
pada rongga perivaskular. Tipe B3 terdiri dari sel-sel epitelial berbentuk bulat atau poligonal dengan
atipia ringan dengan sedikit komponen limfosit. Tipe C merupakan karsinoma timus dimana sel-sel
tumor jelas atipik dan memiliki semua ciri sel ganas, tidak sama dengan sel timus.
Selain klasifikasi histologik, dibutuhkan juga klasifikasi stadium klinis untuk menentukan
prognosis. Sistem stadium klinis yang paling berkorelasi dengan prognosis saat ini adalah yang dibuat
oleh Masaoka tahun 19816. Sistem ini juga pernah dimodifikasi oleh Koga tahun 1994. Sistem
penentuan stadium lainnya adalah yang dibuat oleh Bergh et al7 dan Wilkins dan Castleman8 (tabel
1). Di Perancis, terdapat sistem stadium Groupe d’Etudes des Tumeurs Thymiques (GETT)9 yang
menitik beratkan pada luas reseksi yang dapat dilakukan (tabel 2).
Tabel 1. Stadium Timoma berdasarkan Bergh et al dan Wilkins dan Castleman (diadaptasi dari Masaoka A.Staging system of thymoma.J Thorac Oncol 2010;5(10):5304-11
Tabel 2. Sistem penentuan stadium GETT9
Klasifikasi stadium yang paling banyak digunakan saat ini adalah klasifikasi dari Masaoka (tabel
3)6. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan karakteristik timoma, yaitu:6
1. Tumor yang bertumbuh sangat lambat. Berdasarkan pengalaman Masaoka, timoma non-
invasif akan menjadi invasif dalam waktu 30 tahun bila tidak direseksi
2. Beberapa timoma non-invasif yang telah direseksi mengalami rekurensi di lokasi yang sama
3. Beberapa pasien dengan timoma invasif yang berhasil dilakukan reseksi komplit dapat
bertahan hidup
4. Diseminasi pada pleura merupakan lokasi progresif sel tumor yang paling sering
5. Hanya beberapa pasien mengalami metastasi limfogenik maupun hematogenik
Masaoka6 menjelaskan progresifitas timoma berdasarkan lapisan-lapisan anatomis di sekitar tumor
(gambar 4). Masaoka menekankan dua poin penting dalam sistem klasifikasinya:
1. Timoma stadium II ditegakkan pada evaluasi perioperatif walaupun tidak ada bukti secara
histologik
2. Stadium IV dibagi menjadi 2 kategori IVa dan IVb. Stadium IVa bila adanya diseminasi sel
tumor pada jaringan serosa (pleura atau pericardium). Stadium IVb bila terbukti adanya
metastasis limfogenik maupun hematogenik (adanya metastasis KGB di regio manapun)
Tabel 3. Sistem Klasifikasi Masaoka
Gambar 4. Proses invasi timoma. Jalur kiri mengarah pada rongga pleura dan jalur kanan mengarah pada mediastinum
Klasifikasi tumor-node metastasis (TNM) pada timoma hingga saat ini belum seragam. Banyak
asosiasi dan peneliti yang mengajukan klasifikasi TNM dengan argumen kelebihan klasifikasi TNM
masing-masing. Klasifikasi TNM sulit diaplikasikan pada timoma karena :
1. Bermacam-macam klasifikasi histologik dan pemahaman progresifitas timoma
2. Timoma jarang bermetastasis
3. Adanya rekurensi pada timoma yang non-invasif
Sampai saat ini terdapat 4 macam klasifikasi TNM yang diajukan oleh (1) Yamakawa dan Masaoka,
tahun 1991; (2) National Cancer Center Hospital of Japan (NCCHJ), tahun 1994; (3) WHO, tahun
2004; (4) National Cancer Institute of Italy (NCII), tahun 2005.
Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis adalah kelainan autoimunitas pada otot skeletal. Kelainan ini ditandai dengan
kelemahan otot skeletal. Kelemahan ini disebabkan adanya gangguan transmisi neuromuskular
karena berkurangnya reseptor neurotransmiter asetilkolin (ACh) di postsynaptic neuromuskular
junction. Proses ini disebabkan aksi dari antibodi anti-asetilkolin reseptor (anti-AChR).
Hubungan antara kelenjar timus dan myasthenia gravis pertama kali ditemukan pada autopsi
pasien-pasien dengan myasthenia gravis oleh Oppenheim, tahun 1889 dan Weigert, tahun 1901.
Alfred Blalock berpendapat bahwa pada pasien dengan myasthenia gravis sebaiknya dilakukan
timektomi. Myasthenia gravis juga sering menyertai kelainan tirotoksikosis, rheumatoid arthritis,
dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan sistem imunitas lainnya. 10
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya kelainan pada sistem motorik, tanpa kehilangan refleks,
sensorik dan koordinasi. Penegakkan diagnosis dibantu dengan test farmakologik dan
elektrofisiologik. Tes Harvey-Masland atau repetitive nerve stimulation test pada pasien dengan
myasthenia gravis akan menunjukkan pola menurun dan akan kembali normal dengan pemberian
agen asetilkolinesterase (gambar 6). Kadar antibodi Anti-AChR juga saat ini sudah dapat diukur dan
positif pada 85-90% pasien dengan myasthenia gravis.11
Gambar 5. Skema neuromuscular junction pada otot skeletal.
Gambar 6. Perbandingan transmisi neuromuskular pada pasien normal dengan myasthenia gravis. Pada stimulasi repetitif
dengan respon normal, terdapat penurunan efisiensi dari pengeluaran asetilkolin yang kemudian akan kembali ke level
normal.
Hal ini tampak pada kurva amplitudo endplate potential, yang sedikit menurun di batas normal dan kembali ke nilai
optimalnya dengan stimulus tetap diberikan dan aksi potensial pada otot dapat dipertahankan. Berbeda dengan kurva
pada pasien myasthenia gravis, yang mengalami penurunan dengan stimulus repetitif (diadaptasi dari Levinson AI.
Myasthenia gravis. In: Rich RR, Fleisher TA, Shearer WT, Schroeder HW, Frew AJ, Weyand CM, editors. Clinical Immunology:
Principles and Practice. 4th
ed.2013.782-92)
Gejala yang timbul pada myasthenia gravis diklasifikasikan menjadi derajat keparahan dalam The
modified Osserman scale (tabel 4).10 Selain itu ada juga klasifikasi klinis yang dibuat oleh Myasthenia
Gravis Foundation of America yang digunakan untuk kepentingan penelitian.
Tabel 4. Modified Osserman Classification10
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologik sederhana foto toraks PA merupakan pemeriksaan yang terpercaya
untuk mendeteksi adanya timoma (massa mediastinum anterior). Gambarannya berupa massa
radioopaq berbatas halus atau berlobulasi di regio superior rongga dada, diatas dari bayangan
jantung, didekat pembuluh darah besar. Bayangan ini dapat terlihat di midline, tetapi lebih sering
membesar ke arah salah satu hemitoraks (gambar 7A). Pada foto toraks lateral, timoma tampak
sebagai massa radioopaq pada anterior dari window cardiac (gambar 7B). Foto lateral berguna untuk
melihat massa timoma yang kecil. Saat ini CT scan thorax merupakan pemeriksaan radiologis yang
paling baik untuk diagnosis dan evaluasi pengobatan. CT scan dapat melihat luas, ekstensi dan massa
timoma yang tidak terdeteksi pada foto toraks.
Gambar 7. A. Foto toraks posteroanterior dari timoma yang membesar ke hemitoraks kanan. B. Foto lateral dari pasien
yang sama. C. Foto toraks dengan massa timoma yang membesar ke hemitoraks kiri. D. CT scan dari lesi yang sama
menunjukkan gambaran paru normal diantara massa timoma dengan aortic knob. (diadaptasi dari Shields TW. Thymic
tumors. In: Shields TW, Locicero J, Ponn RB, Rusch VW, editors. General thoracic surgery. 6th
ed. LWW:2005.2581-2616)
Shields12 berpendapat pemeriksaan biopsi preoperatif pada timoma asimptomatik tidak
diperlukan dan cenderung merusak kapsul dari tumor. Tindakan biopsi ini ditakutkan mempengaruhi
hasil dari operasi yang saat ini terbukti memuaskan. Bila massa mediastinal anterior tidak dapat
dibedakan dengan massa maligna mediastinum anterior lainnya (e.g., lymphoma, germ cell tumor
maligna, metastasis), menimbulkan gejala, atau jelas tidak dapat direseksi, tindakan biopsi
diindikasikan untuk penegakkan diagnosis untuk penentuan terapi. Biopsi jarum halus yang baik
sudah cukup untuk diagnosis, kadang membutuhkan punch biopsy ataupun open biopsy.
Seluruh pasien dengan kecurigaan timoma harus dievaluasi ada tidaknya myasthenia gravis
dengan pemeriksaan yang sudah dibahas diatas. Pada pasien laki-laki usia muda dengan massa
mediastinum tanpa parathymic syndrome sebaiknya diperiksakan kadar serum -fetoprotein dan β-
human chorionic gonadotropin untuk menyingkirkan kemungkinan germ cell tumor.
Tatalaksana Timoma
Prinsip tatalaksana timoma sama seperti keganasan lainnya adalah mengangkat tumor sebersih
mungkin. Tatalaksana ini bergantung pada manifestasi klinis dan karakteristik dari timoma tersebut,
(apakah timoma tersebut berkapsul, bebas atau menemple pada jaringan sekitarnya, bagaimana
hasil pemeriksaan histopatologiknya). Oleh karena itu banyak klasifikasi yang disusun untuk
menentukan staging dan grading dari timoma. Klasifikasi stadium yang banyak diadaptasi adalah
sistem staging Masaoka (tabel 3 & 5). Selain Masaoka, klasifikasi histologik WHO pada timoma juga
mempengaruhi keputusan tatalaksana.
Shields12 mengungkapkan bahwa semua pasien dengan timoma, kecuali pasien dengan timoma
yang sangat besar, tidak resektabel, dan sudah metastasis ke luar rongga thorax, harus dilakukan
operasi reseksi timoma sebersih mungkin. Teknik dan pendekatan operasi untuk timoma juga
bermacam-macam dan hingga sekarang teknik yang paling baik masih menjadi perdebatan.
Masaoka6, membagi operasi timoma menjadi 3 yaitu:
1. Simple thymectomy. Operasi pengangkatan massa timus intrakapsular dengan rute
transcervical ataupun transsternal
2. Extended thymectomy. Operasi pengangkatan seluruh jaringan timus, yaitu massa timus
intrakapsular, kelnjar timus dan seluruh jaringan adiposa mediastinal.
3. Simple thymomectomy. Operasi pengangkatan jaringan timoma (massa dan kelenjar timus)
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)13 mencoba membuat klasifikasi berbagai teknik
timektomi berdasarkan literatur. MGFA melakukan klasifikasi berdasarkan pendekatan operasi
(transcervical, videoscopik, transsternal, atau kombinasi) (tabel 6).
Transcervical timektomi dibagi menjadi 2 tipe, “basic” dan “extended” (gambar 8). Reseksi
“basic” mengangkat thymus mediastinal intrakapsular dan hanya terbatas pada lobus cervical
mediastinal. Reseksi “extended” menggunakan retraktor manubrial spesial untuk memperluas
lapang operasi dan mengangkat kelenjar timus dan lemak yang terlihat. Pendekatan ini dapat
divariasikan dengan sternotomi mediana parsial dan penggunaan mediastinoskopi. Variasi
pendekatan ini dengan sternotomi mediana dikenal dengan nama Transcervical-Transsternal
Maximum Thymectomy, mengangkat semua jaringan timus di leher dan mediastinal.
Videoskopik timektomi juga dibagi menjadi 2 tipe, yaitu “classic” dan “VATET”. Tipe “classic”
merupakan VATS unilateral dengan pengangkatan kelenjar timus yang terlihat beserta sejumlah
jaringan lemak mediastinal anterior. Tipe Video-assisted Thoracoscopic Extended Thymectomy
(VATET) menggunakan bilateral torakoskopik sehingga kedua sisi mediastinum dapat dicapai dan
pengangkatan jaringan timoma dan lemak lebih luas.
Transsternal Timektomi dibagi menjadi tipe “standard” dan “extended” (gambar 9). Tipe
“extended” mengangkat seluruh timus mediastinal dan jaringan lemak perithymic.
Tabel 5. Tatalaksana berdasarkan staging Masaoka5
Tabel 6. Klasifikasi Timektomi MGFA
Gambar 8. Transcervical timektomi
Gambar 9. Transsternal timektomi
Masaoka6 dan Shields12, mengatakan bahwa transsternal timektomi adalah pendekatan yang
paling baik. Tetapi pendekatan posterolateral juga dapat digunakan pada kasus-kasus dengan massa
timus yang sangat besar ke arah salah satu hemitoraks. Mengutip dari Shields12, Patterson
menggunakan pendekatan torakotomi anterior di sela iga 4 yang dilanjutkan dengan insisi
transversal sternum (clamshell incision) untuk kasus-kasus massa di mid-line yang sangat besar.
Pada kasus tumor yang terfiksasi ke jaringan non-vital (pleura, paru, atau pericardium), eksisi
harus meliputi seluruh tumor dan kelenjar timus residual. Bila tumor menginvasi nervus phrenicus
unilateral, eksisi dari nervus tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasien.
Bila kedua nervus phrenikus sudah terinvasi jaringan tumor yang dilakukan adalah debulking. Pada
kasus tumor yang menginvasi dinding vena kava superior, tanpa adanya sindroma vena kava
superior (SVKS), dapat dilakukan reseksi dinding lateral atau eksisi komplit dari vena kava dan repair
pembuluh darah tersebut dengan graft vena safena atau dengan prosthesis polytetrafluoroethylene
(gambar 10).
Gambar 10. Skema rekonstruksi VKS dengan graft prosthesis PTFE pada 3 pasien dengan timoma invasif. PA, Arteri Pulmonal; RA, Atrium Kanan; SVC, Vena kava Superior. Diambil dari Nakahara K, et al: Thymoma: results with complete resection and adjuvant postoperative irradiation in 141 consecutive patients. J Thorac Cardiovasc Surg 95:1041, 1988
Referensi
1. Safieddine N, Keshavjee S. Anatomy of the thymus gland. Thorac Surg Clin 2011;11:191-5 2. Bernatz PE, Harrison EG, Clagett OT. Thymoma: a clinicopathologic study. J Thorac Cardiovasc Surg 1961;42:424–44. 3. Müller-Hermelink HK, Marino M, Palestro G, Schumacher U, Kirchner T. Immunohistological evidences of cortical and medullary differentiation in thymoma. Virchows Arch (Pathol Anat) 1985;408:143– 61. 4. Detterbeck FC. Clinical value of the WHO classification system of thymoma. Ann Thorac Surg 2006;81:2328-34 5. Fujii Y. Published guidelines for management of thymoma. Thorac Surg Clin 2011;12:125-9 6. Masaoka A.Staging system of thymoma.J Thorac Oncol 2010;5(10):5304-11 7. Bergh NP, Gatzinsky P, Larsson S, et al. Tumors of the thymus and thymic region. I. Clinicopathological studies on thymomas. Ann Thorac Surg 1978;25:91–98. 8. Wilkins EW Jr, Castleman B. Thymoma: a continuing survey at the Massachusetts General Hospital. Ann Thorac Surg 1979;28:252–256. 9.Kondo K.Tumor-node metastasis staging system for thymic epithelial tumors.J Thorac Oncol 2010;5(10):S352-6 10. Singhal S, Kaiser LR. Surgery for myasthenia gravis. In: Patterson GA, Pearson FG, Cooper JD, Deslauriers J, Rice TW, Luketich JD, et al, editors. Pearson's Thoracic and Esophageal Surgery. 3
rd ed. 2008.Churchill Livingstone Elsevier.
Philadelphia. 1549-61 11. Levinson AI. Myasthenia gravis. In: Rich RR, Fleisher TA, Shearer WT, Schroeder HW, Frew AJ, Weyand CM, editors. Clinical Immunology: Principles and Practice. 4
th ed.2013.782-92
12. Shields TW. Thymic tumors. In: Shields TW, Locicero J, Ponn RB, Rusch VW, editors. General thoracic surgery. 6th
ed. LWW:2005.2581-2616. 13. Jaretzki III A, Barohn RJ, Ernstoff RM, Kaminski HJ, Keesey JC, Penn AS, et al. Myasthenia gravis: recommendation for clinical research standards. Ann Thorac Surg 2000;70:327-34. 14. Nakahara K, et al: Thymoma: results with complete resection and adjuvant postoperative irradiation in 141 consecutive patients. J Thorac Cardiovasc Surg 95:1041, 1988