Hircshprung

46
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Sejarah Ruysch (1961) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa megakolon 1 . Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi . 1 Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan 1 Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

description

hirschprung disease

Transcript of Hircshprung

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Sejarah

Ruysch (1961) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang

aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa megakolon

1. Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara

jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu

megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2

orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi

kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah

diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini, sehingga

pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi .1 Namun kedua

jenis pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang signifikan. Valle (1920)

sebenarnya telah menemukan adanya kelainan patologi anatomi pada penyakit ini

berupa absennya ganglion parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-

mukosa, namun saat itu pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli.

Barulah 2 dekade kemudian, Robertson dan Kernohan (1938)

mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh

gangguan peristaltik

1

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

usus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion 1,2.

Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas tentang

defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit Hirschsprung, hingga

Swenson dalam laporannya menerangkan tentang penyempitan kolon distal yang

terlihat dalam barium enema dan tidak terdapatnya peristaltik dalam kolon distal.

Swenson melakukan operasi pengangkatan segmen yang aganglionik dengan hasil

yang memuaskan. Laporan Swenson ini merupakan laporan pertama yang secara

meyakinkan menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek ganglion

dengan gejala klinis yang terjadi 1.

Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan

merupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik,

melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat ketidakseimbangan

autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Keterangan inilah

yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan segmen aganglionik dengan

preservasi spinkter ani 1. Okamoto dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan bahwa

penyakit Hirschsprung terjadi akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari

krista neuralis saluran cerna atas ke distal mengikuti serabut-serabut vagal pada

suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rektum 2.

.Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan

oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke

proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus

dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat

dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen 2

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai

seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.2,3

Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang

paling sering pada neonatus, dengan insidens keseluruhan 1:5000 kelahiran hidup.

Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada

kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%.2,3

Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap

tahunnya ke RS Cipto Mangunkusomo Jakarta. Data Penyakit Hirschprung di

Indonesia belum ada. Bila benar insidensnya 1 dari 5.000 kelahiran, maka dengan

jumlah penduduk di Indonesia sekitar 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil,

diperkirakan akan lahir 1400 bayi lahir dengan Penyakit Hirschsprung.2

Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan

dengan berat lahir ≥ 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan)

yang terlambat mengeluarkan tinja.3,4 Trias klasik gambaran klinis pada neonatus

adalah pengeluaran mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama,

muntah hijau, dan perut membuncit keseluruhan.6

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin

mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa

pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan

septikimia yang dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan

komplikasi yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila

tidak ditangani dengan sempurna. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan

3

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan enema barium,

pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi anatomi.1

Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah

dan tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati

komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan

umum penderita sampai pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan. Tindakan

bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan bedah sementara yang bertujuan

untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang

mempunyai ganglion normal di bagian distal dan tindakan bedah definitif yang

dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel, Swenson, Soave, dan

Rehbein.1 Dari sekian banyak sarana penunjang diagnostik, maka diharapkan pada

klinisi untuk segera mengetahui gejala dan tanda pada penyakit Hirschsprung.

Karena penemuan dan penanganan yang cepat dan tepat dapat mengurangi

insidensi Penyakit Hirschsprung di dunia, khususnya di Indonesia.

4

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN EMBRIOLOGI KOLON

Secara embriologik , kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan

kolon kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam

perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional

sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan

ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama

halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid

dengan radiksnya yang sempit.6

Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar

5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter

usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5

cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi

sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks

yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci

pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke

sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan

sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen

kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura

lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan

berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid

5

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan

anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh

sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9

inci.7

Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal

Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis,

tela submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-

gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna

6

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada

sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik

dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia

melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut

apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus

lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada

usus halus inferior.

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan

Gambar 2. Spinkter ani eksternal laki-laki

Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai

dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika

superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika

7

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior

memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum

sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga

cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri

sigmoidea.

Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media

dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan

rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena

hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke

hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan

merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena

hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal

dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan

hemorroid. Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi

preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik

pembuluh limfe melalui sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada

sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase

karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe

virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah

hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisi

iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum

mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.

8

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Gambar 3. Pendarahan anorektal

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter

eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf

vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari

daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars

torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis

preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri

utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa

(meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan

kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis

mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah

aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural

9

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

(Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan

medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan

penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada

penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.8

Gambar 4. Skema syaraf autonom intrinsik usus

2.2 FISIOLOGI KOLON

Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi

mucus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-

1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang

dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum,

atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap di usus,

sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian

dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari.

10

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas

tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.5

2.3 DEFENISI HIRSCHSPRUNG

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan

oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke

proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus

dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat

dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen

yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai

seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.1,2

2.4 EPIDEMIOLOGI

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi

berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200

juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir

1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien

penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto

Mangunkusomo Jakarta.4

Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-

laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan

pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan

kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun

hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down

11

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya

fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks

vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).

2.5 ETIOLOGI

Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas di

ketahui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan

pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler, dan Faber pada tahun 1940

mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan

oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal.

Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek

ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschsprung ataukah

defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam

kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk. Menyatakan bahwa aganglionosis pada

penyakit Hirschsprung bukan di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi

parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat

ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi.

Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan prosedur bedah

definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion disertai

dengan preservasi sfingter anal.4

2.6 PATOLOGI

12

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada

dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang

yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan

perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang agangloinik

terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel-

sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik

menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan

pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang

hipertrofi dengan konsentrasi asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-

lapisan otot dan pada submukosa.1

Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian

usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion

parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang

sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon

proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk

megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segemen pendek, daerah aganglionik

meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut penyakit Hirschsprung klasik.

Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih

sering daripada anak perempuan. Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari

sigmoid disebut Hirschsprung segmen panjang. Bila aganglionosis mengenai

seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan

hamper seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal.5

2.8 DIAGNOSIS13

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Berbagai teknologi tersedia untuk menegakan diagnosis penyakit

Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,

pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi

anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar

kasus dapat ditegakkan.4

2.9 MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan

usia, dan gejala klinis yang mulai terlihat pada :

(i). Periode Neonatal

Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada

neonatus cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni

pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.

Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan

tanda klinis yang signifikans. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium

pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus

penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal

berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup.

Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus

sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk

waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat

berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Distensi abdomen

merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh

kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-lain. Muntah yang berwarna hijau 14

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan

gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans

neonatal, atau peritonitis intrauterine. Tanda-tanda edema, bercak-bercak

kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan di sekitar genitalia

ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis. Sedangkan enterokolitis

merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung

ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4

minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa

diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson

mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis

enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.1,3,4,5

(ii). Anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi

kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik

usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces

biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.

Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan

biasanya sulit untuk defekasi.1,3,4,5

Anamnesis

a. Muntah hijau

b. Mekonium terlambat keluar lebih dari 24 jam

15

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

c. Distensi abdomen

d. Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam

e. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar

obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.

f. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa,

misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan

riwayat tidak dapat defekasi

Apabila pada masa neonates tidak ditemukan gejala akan bertambah berat

dengan bertambahnya usia pada masa anak-anak dengan gejala :

a. kontsipasi berat

b. pertumbuhan terhambat

c. anoreksia

d. berat badan tidak bertambah

Diagnosis akhir dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dari biopsy rectal

yang ditemukan aganglionik.

2.10 PEMERIKSAAN FISIK

a. Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi

16

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan

menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut

anak sudah kempes lagi

Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak abdomen sangat distensi, dan

dinding abdomen kemerahan yang menandakan awal terjadi komplikasi infeksi. Pasien

tampak amat menderita akibat distensi abdomennya

2.11 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada

penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran

obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus

dan usus besar.

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung

adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya

bervariasi.

17

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah

daerah dilatasi.

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

18

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Terlihat gambar barium enema penderitaHirschsprung. Tampak rektum yang mengalami

penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar

19

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit

Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto

setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya

adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.

Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan

obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

Biopsy Rectal

Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah

dengan biopsy rectal full-thickness.

Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata

karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.

Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan

pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama

prosedur ini dilakukan.

Simple Suction Rectal Biopsy

Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik

mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologist

Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau

silinder khusus memotong jaringan yang diinginkan.

20

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Gambar 9. Alat biopsi hisap Noblett

Manometri Anorektal

Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internal sphincter

setelah distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan

tidak ditemukan pada pasien penyakit Hirschsprung.

Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960,

dilakukan perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak

keterbatasan. Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali

penting. Hasil positif palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus,

dan negatif palsu dilaporkan sebanyak 24% dari kasus.

Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri

anorektal jarang digunakan di Amerika Serikat

21

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas

tempat tidur pasien.

Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara

patologis dari sampel yang diambil dengan simple suction rectal biopsy

lebih sulit dibandingkan pada jaringan yang diambil dengan teknik full-

thickness biopsy

Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan

pewarnaan asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf

yang hipertropi sepanjang lamina propria dan muskularis propria pada

jaringan.

Gambar 10. Tampak gambar skema dari manometri anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Padapenderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi spinkter ani.

22

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Penemuan Histologis

Baik pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner)

tidak ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat saraf yang mengalami

hipertropi yang terlihat dengan pewarnaan asetilkolinesterase juga ditemukan

sepanjang lamina propria dan muskularis propria. Sekarang ini telah terdapat

pemeriksaan imunohistokimia dengan calretinin yang juga telah digunakan untuk

pemeriksaan histologis usus aganglionik, dan terdapat penelitian yang telah

menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini kemungkinan lebih akurat dibandingkan

asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.

2.12. Penatalaksanaan

Pengobatan

Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:

1. Penanganan komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi,

Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan

elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi

sistemik, seperti sepsis. Maka dari itu, hidrasi intravena, dekompressi

nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian antibiotik intravena memiliki

peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.

2. Penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan,

Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube

berlubang besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya

23

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

ketidakseimbanganelektrolit.

Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi

prosedur untuk mengurangi resiko terjadinya enterocolitis

3. untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.

.Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan

usus yang normal pada pasien post-operatif.

Tindakan bedah

Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan

hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis

teknik yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave.

Apapun teknik yang dilakukan, membersihan kolon sebelum operasi definitif

sangat penting.

24

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

1. Prosedur Swenson

Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan

untuk menangani penyakit Hirschsprung

Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian

anastomosis oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian

distal

2. Prosedur Duhamel

Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai

modifikasi prosedur Swenson

25

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa

bagian rektum yang aganglionik dipertahankan.

Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit.

Usus bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal

(diantara rektum dan sakrum), kemudian end-to-side anastomosis

dilakukan pada rektum yang tersisa

Gambar 11. Foto prosedur Duhamel modifikasi (searah

jarumjam ). Tampak usus ganglionik diprolapskan melalui

rektumposterior, keluar dari saluran anal. 10 – 14 hari

kemudian,usus yang diprolapskan tadi dipotong dan di

anastomose endto side dengan rektum, kemudian dilakukan

pemotonganseptum dengan klem Ikeda

26

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

3. Prosedur Soave

Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang

mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah

ujung muskuler rektum aganglionik.

Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari

pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang

aganglionik. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan

membuat anastomosis primer pada anus.

2.13 KOMPLIKASI

1. Enterokolitis

Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat berakibat

kematian. Mekanisme timbulnya enterokolitis karena adanya obstruksi

parsial. Obstruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis,

sfingter ani dan kolon aganglionik yang tersisa masih spastic. Manifestasi

klinik dari enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obstruksi

seperti; muntah hijau, feses keluar secara eksplosif cair dan berbau busuk.

Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi parah yang dapat

menyebabkan nekrosis dan perforasi

27

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

2. Kebocoran Anastomose

Kebocoran dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis

anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan

ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur

atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.

Terjadi peningkatan suhu tubuh terdapat infiltrat atau abses rongga pelvis.

3. Stenosis

Stenosis dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah

anastomse, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta

prosedur bedah yang dipergunakan. Manifestasi yang terjadi dapat berupa

gangguan defekasi, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.

2.14 PROGNOSIS

Secara umum prognosis baik. 90% pasien yang segera dilakukan tindakan

pembedahan akan mengalami penyembuhan.

28

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai

dengan tidak danya sel ganglion (aganglionik) parasimpatik pada pleksus

mesentrikus aurbach dan pleksus submukosa meissner mengaikbatkan

terhambatnya gerakan peristaltik sehingga terjadi obstruksi fungsional dan

hipertrofi serta dilatasi dari kolon proksimal.

2. Gejala klinis pada masa neonatus berupa pengeluaran mekonium yang

terlambat, muntah hijau, distensi abdomen. Sedangkan pada masa anak-anak

berupa konstipasi berat dan kurang asupan gizi.

3. Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos abdomen dan barium enema

penting dalam mengeakkan diagnosis berupa gambaran kolon yang mengalami

dilatasi serta pemeriksaan biopsy rectal yang ditemukan secara histology tidak

ditemukannya sel-sel ganglion (aganglionik).

4. Penatalaksanaan berupa tindakan pengobatan dan pembedahan dengan

membuang bagian kolon yang aganglion dengan beberapa prosedur yaitu

Swenson, Duhamel, soave

5. Komplikasi penyakit hisrschprung yang paling berat adalah enetrokolitis,

diikuti dengan kebocoran anastomose, stenosis.

29

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

DAFTAR PUSTAKA

1. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger

JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton &

Lange; 1990. p.555-77.

2. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan

Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993.

3. Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit

Hirschsprung) .Behrmann, Kliegman, Arvin. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak

Nelson. Edisi 15, Jilid II. Jakarta: EGC, 1316-1319

4. Mansjoer Arief, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika,

Setiowulan Wiwiek, 2000. Penyakit Hirschsprung. Dalam : Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius FK UI, 380-

381.

5. Irwan, Budi, 2003. Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit

Hirschsprung pasca operasi pull-through. Available From: Usu digital library

[ Akses 26 Febuari 2012]

6. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.

Sjamsuhidajat.R, De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 646-647.

7. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan. Dalam : Embriologi Kedokteran

Langman. Edisi 7, Jakarta : EGC, 243-271.

30

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh

8. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Dalam:

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 1, Edisi 6.

Jakarta. EGC. 456-468.

9. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksi

usus. Mahanani, Dewi Asih,dkk. Dalam: Ringkasan Patologi Anatomi.

Jakarta. EGC5. 532-538.

31

Prodi Ilmu Bedah FK Unsyiah/RSUZA Banda Aceh