Hidup Pas-pasan tanpa Menjual Kehormatan S · Sibarani, Marsidin Nawawi, dan Sugeng Hiyanto keluar...

1
S IDANG di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Jl Siliwangi 512, Kamis (14/4) masih berlangsung meski terik matahari siang mulai bergulir ke sore. Bulir keringat menetes di wajah tiga hakim Tipikor yang sedang mendengarkan keterangan saksi kasus korupsi proyek rehabilitasi lift Gedung Keuangan Negara Semarang II yang berpotensi merugikan negara Rp1,5 miliar. Maklum, ruang sidang yang berfungsi sejak Januari lalu itu tidak dipasang AC. Hingga kini, Pengadilan Tipikor Semarang dengan perangkat pendukungnya masih menumpang di Pengadilan Negeri Semarang. Satu jam kemudian, sidang tuntas. Satu per satu, hakim Sini Sininta Yuliansih Sibarani, Marsidin Nawawi, dan Sugeng Hiyanto keluar ruangan dengan senyum mengembang. Padahal, di balik toga hitam yang menjadi simbol kewibawaan hakim tersimpan persoalan getir. Sejak dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) pada Januari 2011, enam hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang belum menerima tunjangan kehormatan Rp13 juta untuk hakim tingkat pertama. Hakim Tipikor semestinya mendapatkan gaji dan tunjangan seperti uang kehormatan, fasilitas perumahan, transportasi, serta pengamanan. Gaji dan tunjangan para hakim Tipikor diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 86/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 49/2005 tentang Uang Kehormatan bagi Hakim Pengadilan Tipikor. Pada Pasal 3 Peraturan Presiden tersebut, tercantum besarnya uang kehormatan hakim Pengadilan Tipikor tingkat pertama Rp13 juta, tingkat banding Rp16 juta, dan hakim kasasi Rp22 juta. Hakim ad hoc Sininta mengungkapkan, gaji dan tunjangan kehormatan yang seret tidak menyurutkan semangatnya dan rekan hakim ad hoc lainnya untuk memimpin sidang korupsi. “Ya, untuk memenuhi kebutuhan saya pinjam ke koperasi PN Semarang, karena hingga kini gaji belum ada,” ujarnya. Berutang di koperasi merupakan upaya Sininta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti fotokopi berkas persidangan, membeli air mineral di ruang kerja, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Masih untung, tunjangan perumahan sebesar Rp15 juta per tahun sudah diterima Sininta. Itu pun dipakai untuk mengontrak rumah di sekitar PN Semarang. Sebagian besar hakim ad hoc memang berasal dari luar Semarang. Kondisi tidak berbeda juga dialami hakim ad hoc Marsidin Nawawi. Tabungan pribadi terpaksa dibobol untuk memenuhi kebutuhan dinas maupun pribadi. “Padahal, kita kadang-kadang juga kerja sampai malam,” aku Marsidin. Bagi seorang pengadil yang harus bersikap independen dan imparsial tentu terbelit utang mengundang godaan dari pihak beperkara. Apalagi para hakim itu menangani kasus korupsi. Marsidin Nawawi menegaskan, meski kehidupan mereka susah bukan berarti hakim menjual kehormatan. Karena itu, para hakim ad hoc itu juga berjuang untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka lewat lembaga terkait. “Kami selalu beriktikad baik dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diemban,” tukasnya. Nasib lebih baik bagi hakim Tipikor karier seperti Sugeng Hiyanto. Gaji juru bicara Pengadilan Tipikor itu masih tetap mengalir untuk memenuhi kebutuhan hidup. “Kalau gaji saya sebagai hakim masih tetap diterima sehingga tidak ada masalah,” tutupnya. (Akhmad Safuan/ P-3) Sil m ter be wa ya ke ko lif Ne be Rp ru se di kin Se pe SENIN, 18 APRIL 2011 29 POLKAM Hidup Pas-pasan tanpa Menjual Kehormatan

Transcript of Hidup Pas-pasan tanpa Menjual Kehormatan S · Sibarani, Marsidin Nawawi, dan Sugeng Hiyanto keluar...

Page 1: Hidup Pas-pasan tanpa Menjual Kehormatan S · Sibarani, Marsidin Nawawi, dan Sugeng Hiyanto keluar ruangan dengan senyum mengembang. Padahal, di balik toga hitam yang menjadi simbol

SIDANG di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Jl

Siliwangi 512, Kamis (14/4) masih berlangsung meski terik matahari siang mulai bergulir ke sore.

Bulir keringat menetes di wajah tiga hakim Tipikor yang sedang mendengarkan keterangan saksi kasus korupsi proyek rehabilitasi lift Gedung Keuangan Negara Semarang II yang berpotensi merugikan negara Rp1,5 miliar. Maklum, ruang sidang yang berfungsi sejak Januari lalu itu tidak dipasang AC. Hingga kini, Pengadilan Tipikor Semarang dengan perangkat pendukungnya masih

menumpang di Pengadilan Negeri Semarang.

Satu jam kemudian, sidang tuntas. Satu per satu, hakim Sini Sininta Yuliansih Sibarani, Marsidin Nawawi, dan Sugeng Hiyanto keluar ruangan dengan senyum mengembang. Padahal, di balik toga hitam yang menjadi simbol kewibawaan hakim tersimpan persoalan getir.

Sejak dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) pada Januari 2011, enam hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang belum menerima tunjangan kehormatan Rp13 juta untuk hakim tingkat pertama.

Hakim Tipikor semestinya

mendapatkan gaji dan tunjangan seperti uang kehormatan, fasilitas perumahan, transportasi, serta pengamanan. Gaji dan tunjangan para hakim Tipikor diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 86/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 49/2005 tentang Uang Kehormatan bagi Hakim Pengadilan Tipikor. Pada Pasal 3 Peraturan Presiden tersebut, tercantum besarnya uang kehormatan hakim Pengadilan Tipikor tingkat pertama Rp13 juta, tingkat banding Rp16 juta, dan hakim kasasi Rp22 juta.

Hakim ad hoc Sininta mengungkapkan, gaji dan

tunjangan kehormatan yang seret tidak menyurutkan semangatnya dan rekan hakim ad hoc lainnya untuk memimpin sidang korupsi. “Ya, untuk memenuhi kebutuhan saya pinjam ke koperasi PN Semarang, karena hingga kini gaji belum ada,” ujarnya.

Berutang di koperasi merupakan upaya Sininta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti fotokopi berkas persidangan, membeli air mineral di ruang kerja, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Masih untung, tunjangan perumahan sebesar Rp15 juta per tahun sudah diterima Sininta. Itu pun dipakai untuk

mengontrak rumah di sekitar PN Semarang. Sebagian besar hakim ad hoc memang berasal dari luar Semarang.

Kondisi tidak berbeda juga dialami hakim ad hoc Marsidin Nawawi. Tabungan pribadi terpaksa dibobol untuk memenuhi kebutuhan dinas maupun pribadi. “Padahal, kita kadang-kadang juga kerja sampai malam,” aku Marsidin.

Bagi seorang pengadil yang harus bersikap independen dan imparsial tentu terbelit utang mengundang godaan dari pihak beperkara. Apalagi para hakim itu menangani kasus korupsi.

Marsidin Nawawi menegaskan, meski kehidupan

mereka susah bukan berarti hakim menjual kehormatan. Karena itu, para hakim ad hoc itu juga berjuang untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka lewat lembaga terkait. “Kami selalu beriktikad baik dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diemban,” tukasnya.

Nasib lebih baik bagi hakim Tipikor karier seperti Sugeng Hiyanto. Gaji juru bicara Pengadilan Tipikor itu masih tetap mengalir untuk memenuhi kebutuhan hidup. “Kalau gaji saya sebagai hakim masih tetap diterima sehingga tidak ada masalah,” tutupnya. (Akhmad Safuan/P-3)

Silmterbe

wayakekolifNebeRprusejdikinSepe

SENIN, 18 APRIL 2011 29POLKAM

Hidup Pas-pasan tanpa Menjual Kehormatan